Anda di halaman 1dari 35

Mini-CEX

PARTUS IMMATURUS IMMINENS

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kandungan dan Kebidanan
di RSI Sultan Agung Semarang

Disusun oleh:
Winda Yunisya Putri
30101507582

Pembimbing:
dr. FX Sunarto Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KANDUNGAN DAN KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
RSI SULTAN AGUNG
SEMARANG
2019
STATUS ILMU KANDUNGAN DAN KEBIDANAN
SMF KANDUNGAN DAN KEBIDANAN
RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
2019
Nama Mahasiswa : Winda Yunisya Putri

NIM : 30101507582

Dokter Pembimbing : dr. FX Sunarto Sp.OG

A. IDENTITAS PASIEN
 Nama Pasien : Ny. P
 Usia : 21 tahun
 Jenis Kelamin : Perempuan
 No RM : 01-39-xxxx
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Swasta
 Alamat : Genuk indah, Semarang
 Pendidikan Terakhir : SMP
 Status Pernikahan : Menikah
 Nama Suami : Tn. Ag
 Tanggal Masuk : 19 oktober 2019
 Ruang : VK

B. ANAMNESA
Dilakukan autoanamnesis tanggal 19 Oktober 2019 Pukul 3.30 WIB.
 Keluhan utama
Pasien G1P0A0 usia 21 tahun hamil 28 minggu perut kenceng-kenceng, keluar
darah jalan lahir sejak 2 hari yang lalu.

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien G1P0A0 hamil 28 minggu datang ke IGD RISA dengan keluhan keluar lendir
darah dari jalan lahir sejak 2 hari yang lalu. terakhir kali pasien memiliki pekerjaan
rumah yang menumpuk lalu pasien berkeinginan menyelsaikan pekerjaan
rumahnya . pasien sudah mengambil cuti dari pekerjaanya. pasien terbangun tengah
malam dan menyadari lendir yang keluar semakin banyak dan disertai darah saat
BAK. Pasien langsung pergi ke RSI Sultan Agung saat itu juga pada pukul 03.30.
Darah keluar apabila pasien sedang beraktifitas dan kadang berhenti apabila pasien
istirahat. Darah yang keluar berupa darah segar dan tidak disertai prongkolan.
pasien belum pernah berobat sejak pertama kali keluar darah. Pasien mengaku baru
memeriksakan diri ke RS dan jarang memeriksakan diri ke puskesmas. Keluhan
lain berupa pinggang pegal (+). Riwayat trauma (-), konsumsi obat-obatan/ jamu (-
), pijat (-), aktivitas berlebih (+).

 Riwayat Haid
- Menarche : 14 tahun
- Siklus : 28 hari
- Lama : 7 hari
- Dismenorrhea : (+)
- Leukorrhea : (-)
- Menopause : (-)

 Riwayat Pernikahan
Pasien menikah yang pertama kali dengan suami yang sekarang. Usia pernikahan 1
tahun. Menikah usia 20 th.

 Riwayat Obstetri
G1P0A0
G1 : hamil sekrang
HPHT : 13 April 2019
HPL : 20 Januari 2020
UK : 28 minggu

 Riwayat ANC
Pemeriksaan kehamilan dilakukan di bidan. tetapi tidak Rutin, diberikan vitamin
dan suplemen besi. Selain itu pasien juga melakukan vaksin TT yang diberikan saat
periksa di puskesmas. Tidak ada pesan khusus dari bidan mengenai keadaan
kehamilannya.

 Riwayat KB
Riwayat KB : Tidak memakai KB

 Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat Keluhan serupa : disangkal
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat asma : disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat Keluhan serupa : disangkal
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat asma : disangkal

 Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang karyawan swasta, suami pasien bekerja sebagai karyawan
swasta. Biaya pengobatan ditanggung BPJS Non PBI.

 Riwayat Gizi
Pasien mengatakan tidak ada masalah pada nafsu makan selama kehamilan.
Makanan yang dikonsumsi mencakup 4 sehat 5 sempurna berupa ikan, ayam,
sayur, susu, dan lain-lain.
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. STATUS PRESENT (19/09/2019)
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
TB : 155
BB : 74 kg
BMI : 30 (Obes)
Vital Sign
 Tekanan Darah : 120/80 mmHg
 Nadi : 80x / menit
 RR : 20 x / menit
 Suhu : 36,5 0C

Status Internus

- Kepala : Mesocephale
- Mata : Conjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Hidung : Discharge (-), septum deviasi (-), nafas cuping hidung (-)
- Telinga : Discharge (-)
- Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-)
- Leher : Simetris, pembesaran kelenjar limfe (-)
- Kulit : Turgor baik, ptekiae (-)
- Mamae : Simetris, membesar, kencang (+), hiperpigmentasi aerola
mamae, papila mamae datar, belum ada pengeluaran asi

- Jantung :
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : Tidak dapat ditentukan batas – batasnya karena terhalang
oleh mamae yang membesar
 Auskultasi : Suara jantung I dan II murni, reguler, suara tambahan (-)
- Paru :
 Inspeksi : Hemithorax dextra dan sinistra simetris
 Palpasi : Stemfremitus dextra dan sinistra sama
 Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
- Abdomen
 Inspeksi : Perut cembung, striae gravidarum (+), linea nigra (+)
bekas operasi (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-)
 Perkusi : tidak dilakukan
- Extremitas :
Superior Inferior

Oedem -/- -/-

Varises -/- -/-

Reflek fisiologis +/+ +/+

Reflek patologis -/- -/-

b. Status Ginekologi
- Abdomen
 Inspeksi : Perut sedikit cembung, striae gravidarum (+), linea nigra
(+) bekas operasi (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Nyeri tekan (-)
 HIS : jarang
 TFU : 22cm
 TBJ : (22-12)x155= 1550

- Genitalia
 Externa
Inspeksi : terdapat darah (+), Lendir (+), pada jalan lahir, massa (-),
jaringan (-).
 Interna
- VT : pembukaan servix 8 cm, ketuban (+), hordge I+ (3.00 wib)
pembukaan servix 10 cm, ketuban (-), hordge III (6.00 wib)
- Inspekulo : nampak kepala, ketuban (+)

D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Urine (19 September 2019) : gravindex (tes kehamilan) (+)

Darah rutin (19 september 2019)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGY
Darah Rutin 1

Hemoglobin 10,8 (L) 11.7-15.5 g/dl

Hematokrit 30,4 (L) 33-45 %

Leukosit 13,03 (H) 3.6-11.0 ribu/uL

Trombosit 293 150-440 ribu/Ul


Golongan Darah/Rh B/Positif

APTT/PTTK 20,7 21,8 – 28,0 Detik

Kontrol 26,2 21,1 – 28,5 Detik

PPT 8,8(L) 9,3 – 11,4 Detik

Kontrol 10,9 9,3 – 12,5 Detik

IMUNOSEROLOGI

HbsAg Kualitatif Non Reaktif Non Reaktif -

KIMIA

GDS 95 76-110 mg/dL


Ureum 15 -

Creatinin 0,64 -

NA,K,Cl

Natrium 133.5 (L) 135 - 147 Mmol/L

Kalium 2.28 (L) 3.5 - 5 Mmol/L

Chloride 106.4 (H) 95 - 105 Mmol/L

USG Kandungan (????)


E. Ringkasan/Resume
Pasien G1P0A0 hamil 28 minggu datang ke IGD RISA dengan keluhan kencang-
kencang serta keluar lendir darah dari jalan lahir sejak 2 hari yang lalu. terakhir kali
pasien memiliki pekerjaan rumah yang menumpuk lalu pasien berkeinginan
menyelsaikan pekerjaan rumahnya , lalu pasien tengah malam terbangun dan
menyadari lendir yang keluar semakin banyak dan disertai darah saat BAK. Pasien
langsung pergi ke RSI Sultan Agung saat itu juga pada pukul 03.30. Darah keluar
apabila pasien sedang beraktifitas dan kadang berhenti apabila pasien istirahat. Darah
yang keluar berupa darah segar dan tidak disertai prongkolan. Selama adanya darah
yang keluar dari jalan lahir, pasien belum pernah berobat. Pasien mengaku baru
memeriksakan diri ke RS. Keluhan lain berupa pinggang pegal (+). Riwayat trauma (-
), konsumsi obat-obatan/ jamu (-), pijat (-), aktivitas berlebih (+).

 Riwayat Kehamilan
G1P1A0
G1 : hamil sekrang
HPHT : 13 April 2019
HPL : 20 Januari 2020
UK : 28 minggu
 Status Present
 Keadaan umum : Baik
 Tekanan Darah : 120/80 mmHg
 Nadi : 80x / menit
 RR : 20 x / menit
 Suhu : 36,5 0C

 Status Internus
Dalam Batas Normal

 Status Obstetri
- Abdomen
- Inspeksi : Perut tampak membesar sesuai usia kehamilan, striae
gravidarum (+), linea nigra (+), bekas operasi (-), terlihat
gerak janin (+)
- Palpasi : Nyeri tekan (-), teraba bagian janin:
- Leopold I : teraba bulat besar dan lunak
- Leopold II : teraba tahanan memanjang disebelah kiri
- Leopold III : teraba bulat dan keras
- Leopold IV : konvigurasi kedua telapak tangan konvergen
- TFU : 22cm
- TBJ : (22-12) x 155 = 1550 gram
- HIS : jarang (ringan)
- Auskultasi : DJJ 12-11-11
- Genitalia externa
Inspeksi : terdapat darah (+) lendir (+) pada jalan lahir, massa (-),
jaringan (-).
- Genitalia Interna
VT : pembukaan servix 8 cm, ketuban (+), hordge I+ (3.00 wib)
pembukaan servix 10 cm, ketuban (-), hordge III (6.00 wib)
Inspekulo : nampak kepala, ketuban (+)

F. DIAGNOSA
‐ Pasien G1P0A0 usia 21 tahun Hamil 28 minggu
‐ janin tunggal hidup intrauterine
‐ letakkepala masuk PAP, Puki
‐ Impartu dengan Partus Imaturus Iminens

G. SIKAP
Rawat Inap pasien
Pengawasan: KU, Vital Sign
Lengkapi laboratorium dan konsul radiologi USG
Terapi medicamentosa
Infus Dextrose 5 % 32 tpm
Duvadilan 2 amp
Vitamin B12 S2dd tab 1
Asam mefenamat S3dd1 500mg
Asam Folat S1dd tab 1

H. EDUKASI
a. Rawat inap dan tirah baring
b. Memberitahu kondisi ibu dan janin pada keluarga
c. Pemberian makan dalam jumlah sedikit, namun frekuensi sering.
d. Menghindari makanan asam,pedas, serta berlemak. Minum cairan dalam
jumlah adekuat.
e. Jangan mengelus perut, memutar puting atau tindakan lain yang merangsang
kontraksi uterus

I. PROGNOSA
Kehamilan : dubia ad malam
Persalinan : dubia ad bonam

J. Follow Up
Tgl 19 September 2019
03.30
S : Ibu mengatakan keluar lendir darah
O :
- VT : pembukaan servix 8 cm, ketuban (+), hordge I+
- DJJ : 12-11-11
- HIS : Jarang, setiap 15 menit sekali kencang 20 detik
- TD : 120/80 mmhg, N : 80 x, S : 36,5’C, RR : 20x/m
A : G1P0AO H 28 minggu dengan partus imaturus iminen
P : Rawat VK, Inj.Asam tranexamat 500 mg, Inj.kalnex 1amp,
Inj.duvadilan 2 amp, oral: B12 1*100mg , calcium lactat 1*500mg

06.00
S : Ibu mengatakan kontraksi semakin sering dan perut semakin sakit
O :
- VT : pembukaan servix 10 cm, ketuban (-), hordge III
- DJJ : 12-11-11
- HIS : sering, setiap 10 menit 3x kencang
- TD : 135/80 mmhg, N : 80 x, S : 36,3’C, RR : 20x/m
A : G1P0AO H 28 minggu dengan partus imaturus iminen
P : usul USG ABDOMEN,USG OBSTETRI

06.45
S : Ibu mengatakan sakit terus menerus dan Bayi Lahir spontan kemudian
JK:Laki-laki, AS: 7-8-8,BB:1500gram
O : TD : 130/80, N : 86x/m, RR:20x/m, suhu : 36,5’C
A : P1A0 PP Spontan
P : Inj.OXCI I amp ,Cefadroxil 3*1, methylergometrin 3*1, ferofort 1*1,
as.mefenamat 3*1

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Diagnosis PPI dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu
mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit, yang dapat
berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. Pendapat lain mengatakan
PPI adalah persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan 20-37 minggu dihitung dari
hari pertama haid terakhir (AJOG 1995). Namun, batas bawah usia kehamilan yang
digunakan untuk membedakan PPI dengan abortus spontan bervariasi menurut lokasi.
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa
PPI adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.

B. Etiologi
Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab PPI multifaktorial dan sesuai dengan usia
kehamilan. Diantaranya ialah:
1. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),
2. Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau polihidramnion),
3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),
4. Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),
5. Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau trikomonas),
6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus
genitourinaria atau infeksi sistemik),
7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal,
baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau janin), dan
8. Insufisiensi uteroplasenta (misalnya, hipertensi, diabetes tipe I, penyalahgunaan obat,
merokok, atau konsumsi alkohol).
Tabel 2.1 Etiologi dan alur PPI yang diakui secara umum

C. Faktor Risiko
Meskipun patofisiologi PPI kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak faktor
risiko yang diketahui berperan pada PPI, dan pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini
penting dalam menilai kemungkinan terjadinya PPI.Namun sayangnya upaya untuk
menilai faktor risiko tersebut tidaklah mudah, karena lebih dari setengah dari PPI terjadi
pada wanita yang tidak memiliki faktor risiko yang jelas.
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya PPI:
Faktor risiko mayor
1. Kehamilan multipel
2. Polihidramnion
3. Anomali uterus
4. Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu
5. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua
6. Riwayat PPI sebelumnya
7. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop electrosurgical
excision procedure)
8. Penggunaan cocaine atau amphetamine
9. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu
10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.

Faktor risiko minor


1. Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu
2. Riwayat pielonefritis
3. Merokok lebih dari 10 batang perhari
4. Riwayat abortus satu kali pada trimester kedua
5. Riwayat abortus > 2 kali pada trimester pertama.

Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor; atau dua
atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.
Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan adalah
tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status sosioekonomi yang
rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan lainnya (seperti infeksi maternal,
preeklamsia-eklamsia, plasenta previa, kehamilan yang diperoleh melalui bantuan
medikasi, terlambat atau tidak melakukan asuhan antenatal). Merupakan langkah penting
dalam pencegahan PPI adalah bagaimana mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian
memberikan asuhan prenatal serta penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan.

D. Patogenesis
Penyebab PPI multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama lain. Berikut
beberapa alur yang umum terjadi pada PPI:

 Aktivasi aksis hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin atau ibu:


stres
Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang
mengancam atau yang dianggap mengancam homeostasis pasien, akan mengakibatkan
akitivasi prematur hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin atau ibu. Stres semakin
diakui sebagai faktor risiko penting untuk PPI. Beberapa penelitian telah menemukan50%
hingga 100% kenaikan angka kelahiran pretermberhubungan dengan stres pada ibu, dan
biasanya merupakan gabungan dari berbagai peristiwa kehidupan, kecemasan, atau
depresi. Neuroendokrin, kekebalan tubuh, dan proses perilaku(seperti depresi) telah
dikaitkan dengan PPI terkait stres. Namun, proses yang paling penting, yang
menghubungkan stres dan kelahiran preterm ialah neuroendokrin, yang menyebabkan
aktivasi prematur aksis HPA. Proses ini dimediasi oleh corticotrophin-releasing hormone
(CRH) plasenta. Penelitian in vitro pada sel plasenta manusia menunjukan CRH
dilepaskan dari kultur sel plasenta manusia dalamdosis yang sesuai responnya terhadap
semua efektor biologi utama stres, termasuk kortisol, katekolamin, oksitosin,angiotensin
II, dan interleukin-1 (IL-1). Dalam penelitian in vivo juga ditemukan hubunganyang
signifikan antarastres psikososial ibu dan kadar CRH,ACTH, dan kortisol plasma ibu.
Beberapa penelitian menghubungkan kadar awal CRH plasma ibu dengan waktu
persalinan. Hobel dkk. melakukan penilaian kadar CRH serial selama kehamilan dan
menemukan bahwa dibandingkan dengan wanita yang melahirkan aterm, wanita yang
melahirkan preterm memiliki kadar CRH yang meningkat secara signifikan, dengan
mempercepat peningkatan kadar CRH selama kehamilan. Selain itu, mereka menemukan
bahwa tingkat stres psikososial ibu pada pertengahan kehamilan secara
Gambar 2.2 Alur yang umum terjadi pada PPI

signifikan dapat memprediksi besarnya peningkatan CRH ibu di antara pertengahan


kehamilan dan setelahnya.
Data ini menunjukan bahwa hubungan antara stres psikologis ibu dan prematuritas
dimediasi oleh peningkatan prematur dari ekspresi CRH plasenta.Pada persalinan term,
aktivasi CRH plasenta sebagian besar didorong oleh aksis HPA janin dalam suatu feedback
positif pada pematangan janin. Pada PPI, aksis HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH
plasenta. Stres pada ibu, tanpa adanya penyebab PPI lainnya, seperti infeksi akan
menyebabkan peningkatan efektor biologi dari stres termasuk kortisol dan epinefrin, yang
mengaktifkan ekspresi CRH plasenta. CRH plasenta, pada gilirannya, dapat menstimulasi
janin untuk mensekresi kortisol dan dehydroepiandrosteronesynthase (DHEA-S) (melalui
aktivasi aksis HPA janin) dan menstimulasi plasenta untuk mensintesis estriol dan
prostaglandin, sehingga mempercepat PPI.
Stres dapat berkonstribusi pada peningkatan angka kejadian PPI di antara orang
Afrika-Amerika di Amerika serikat.Asfiksia dapat mewakili hasil akhir yang umum pada
berbagai alur yang meliputi stres, perdarahan, preeklampsia, dan infeksi.Asfiksia
memainkan peranan penting dalam PPI, bayi lahir mati, dan perkembangan neonatal yang
merugikan.Asfiksia kronik yang berhubungan dengan insufisiensi sirkulasi uteroplasenta
dapat terjadi pada infeksi plasenta seperti malaria, atau penyakit ibu (seperti diabetes,
preeklamsia, hipertensi kronik), dan ditandai oleh aktivasi aksis HPA janin dan berikutnya
kelahiran preterm.

 Infeksi dan inflamasi


Patogenesis dari PPI masih belum dimengerti dengan benar.Namun, infeksi
tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam PPI.Meskipun demikian,
patogenesis infeksi hingga menyebabkan PPI pun hingga kini belum jelas benar, namun
diduga berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, dan diawali oleh aktivasi fosfolipase A2
yang dihasilkan oleh banyak mikroorganisme. Fosfolipase A2akan memecah asam
arakidonat dari selaput amnion janin, sehingga asam arakidonat bebas meningkat untuk
sintesis prostaglandin. Selain itu, endotoksin (lipopolisakarida) bakteri dalam cairan
amnion akan merangsang sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan prostaglandin yang
dapat menginisiasi proses persalinan. Berbagai sitokin, termasuk interleukin-1 (IL-1),
interleukin-6 (IL-6), dan tumour necrosis factor (TNF) adalah produk sekretorik yang
dikaitkan dengan PPI.Sementara itu, platelet activating factor (PAF) yang ditemukan
dalam cairan amnion terlibat secara sinergik pada aktivasi jalinan sitokin tadi.PAF diduga
dihasilkan oleh paru dan ginjal janin.Oleh karenanya, janin tampaknya memainkan suatu
peran yang sinergik untuk inisiasi kelahiran preterm yang disebabkan oleh infeksi
bakterial.Secara teleologis, hal ini kemungkinan menguntungkan bagi janin yang ingin
melepaskan dirinya dari lingkungan yang terinfeksi.
Endotoksin mikroba dan proinflammantori sitokin akan merangsang produksi
prostaglandin, mediator inflammatory lainnya, serta matrix-degrading enzymes.
Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus, dan berperan dalam mengatur
metabolisme matriks ekstraselular yang terkait dengan pematangan serviks saat dimulainya
persalinan, sedangkan degradasi dari matriks ekstraselular pada membran amnion akan
menyebabkan ketuban pecah dini yang kemudian menyebabkan PPI.
Endotoksin mikroba akan merangsang produksi progesteron melalui pemecahan
asam arakidonat, dan bersama sitokin akan meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin
H synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin
dehydrogenase).Meningkatnya PGHS-2 akan menstimulasi sintesis prostaglandin.
Sedangkan downregulation PGDH akan meningkatkan ratio prostaglandin (PG) terhadap
prostaglandin metabolite (PGM), yang akan meningkatkan aktivitas uterus, pematangan
serviks, dan rupturnya membran amnion.
Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan kelahiran prematur meliputi infeksi
intrauterin, infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu, bakteriuria asimptomatik, dan
periodontitis ibu.Mikroorganisme yang umum dilaporkan pada rongga amnion adalah
genital Mycoplasma spp, dan Ureaplasma urealyticum.Beberapa mikroorganisme yang
umum pada saluran genitalia bawah, seperti Streptococcus agalactiae, jarang tampak pada
rongga amnion sebelum selaput amnion pecah. Rongga amnion biasanya steril dari bakteri,
dan adanya bakteri yang jumlahnya cukup signifikan pada membran amnion diduga
melalui mekanisme sebagai berikut:
1. Secara ascending dari vagina dan serviks
2. Penyebaran secara hematogen melalui plasenta
3. Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif
4. Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.

Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum ialah penyebaran
secara ascending dari vagina dan serviks.Hal ini dapat ditunjukkan oleh suatu kondisi yang
disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan sebuah kondisi ketika flora normal vagina
predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri
anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau Mycoplasma hominis. Keadaan
ini telah lama dikaitkan dengan ketuban pecah dini, PPI, dan infeksi amnion, terutama bila
pada pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0.

Gambar 2.3 Jalur masuknya kuman penyebab infeksi


 Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)
Perdarahan desidua dapat menyebabkan PPI.Lesi vaskular dari plasenta biasanya
dihubungkan dengan PPI dan ketuban pecah dini.Lesi plasenta dilaporkan 34% dari wanita
dengan PPI, 35% dari wanita dengan ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term;;;; tanpa
komplikasi.Lesi ini dapat dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi
dari arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin.Diperkirakan mekanisme
yang menghubungkan lesi vaskular dengan PPI ialah iskemi uteroplasenta.Meskipun
patofisiologinya belum jelas, namum trombin diperkirakan memainkan peran utama.
Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease
multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular, intestinal, dan otot halus
miometrium.Trombin menstimulasi peningkatan kontraksi otot polos longitudinal
miometrium, secara in vitro.Baru-baru ini, observasi in vitro mengenai trombin dan
kontraksi miometrium yang diperkuat oleh penelitian in vivo menunjukan bahwa kontraksi
miometrium secara signifikan menurun dengan pemberian heparin yang diketahui
merupakan inhibitor trombin.Penelitian in vitro dan in vivo memberikan penjelasan
kemungkinan mekanik mengenai peningkatan aktivitas uterus secara klinis yang diamati
pada abrupsi plasenta serta PPI yang mengikuti perdarahan pada trimester pertama dan
kedua.
Mungkin juga terdapat hubungan antara trombin dan ketuban pecah dini.Matrix
metaloproteinase (MMPs) memecah matriks ekstraseluler dari membran janin dan
choriodesidua, serta terlibat terhadap KPD, seperti dibahas di bawah ini. Secara in vitro,
trombin meningkatkan ekspresi protein MMP-1, MMP-3, dan MMP-9 pada sel-sel desidua
dan membran janin yang dikumpulkan dari kehamilan term tanpa komplikasi.Trombin
juga menimbulkan peningkatan IL-8 desidua, sebuah sitokin yang bertanggung jawab
terhadap recruitment neutrofil. Abrupsi plasenta terbuka, sebuah contoh ekstrim dari
perdarahan desidua, ditandai infiltrasi neutrofil pada desidua, sumber yang kaya protease
dan MMPs. Ini mungkin melengkapi mekanisme ketuban pecah dini (KPD) pada
perdarahan desidua.

 Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)


Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai PPI yang
berhubungan dengan kehamilan multipel, polihidramnion, dan makrosomia.Kehamilan
multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang dibantu oleh tekhnologi (assisted
reproduction technologies (ART)), termasuk induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan
merupakan satu dari penyebab yang paling penting dari PPI di negara-negara maju. Di
Amerika Serikat misalnya, ART merupakan 1% dari semua kelahiran hidup, tetapi 17%
dari semua kehamilan multipel; 53% neonatus hasil dari ART pada tahun 2003 merupakan
anak kembar. Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan PPI
masih belum jelas. Namun diketahui, peregangan rahim akan menginduksi ekspresi protein
gap junction, seperti connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta menginduksi protein lainnya
yang berhubungan dengan kontraksi, seperti reseptor oksitosin. Pada penelitian in vitro,
regangan miometrium juga meningkatkan prostaglandin H synthase 2 (PGHS-2) dan
prostaglandin E (PGE). Regangan otot pada segmen menunjukan peningkatan produksi IL-
8 dan kolagen, yang pada gilirannya akan memfasilitasi pematangan serviks. Namun,
penelitian eksperimental pada hewan mengenai uterine overdistension hingga saat ini
belum ada, dan penelitian pada manusia sepenuhnya hanya berdasarkan observasi.

 Insufisiensi serviks
Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada
trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada serviks
berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup
luas, termasuk PPI.Insufisiensi serviks secara tradisi telah diidentifikasi di antara wanita
dengan riwayat pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa adanya kontraksi
uterus. Terdapat lima penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan
bawaan; (2) in-utero diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat
prosedur operasi seperti Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization;
(4) kerusakan yang bersifat traumatis; dan (5) infeksi.
Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan cervical
cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan kasus insufisiensi
serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan pemendekan serviks prematur dari
proses patofisiologi lainnya yang mana cerclage mungkin tidak selalu tepat dan lebih baik
diprediksi oleh panjang serviks yang ditentukan menggunakan ultrasonografi transvaginal.
Panjang serviks yang diukur dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding
terbalik dengan risiko PPI.Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari
kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan PPI dengan panjang serviks pada kehamilan
berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat obstetri dari insufisiens serviks
dan panjang serviks pada kehamilan berikutnya.
Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan pemendekan
serviks lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari remodeling serviks prematur, hasil
dari proses patologis. Infeksi dan inflamasi mungkin memainkan peranan penting dalam
pemendekan dan dilatasi serviks prematur.Lima puluh persen dari pasien dievaluasi
dengan amniosintesis sehubungan dengan dilatasi serviks asimptomatik pada trimester
kedua, dan 9% dari pasien memiliki panjang serviks < 25 mm tetapi tanpa dilatasi serviks
terbukti mengalami infeksi intraamnion.Data ini menunjukan suatu peranan penting infeksi
intraamnion yang menyebar secara ascending.

Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko PPI juga meningkat pada
perokok.Mekanisme meningkatnya risiko PPI pada wanita yang merokok sampai saat ini
belum jelas.Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia dalam batang rokok, yang masing-
masing efek biologisnya sebagian besar tidak diketahui.Namun, baik nikotin dan karbon
monoksida merupakan vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan
plasenta serta menurunnya aliran darah uteroplasenta.Kedua jalur tersebut mengarah pada
terhambatnya pertumbuhan janin dan PPI.
Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran darah
uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis hypothalamic–
pituitary–adrenal (HPA) janin, yang ditunjukkan dengan peningkatan corticotrophin-
releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus, yang kemudian memacu sekresi
adrenocorticotrophic hormone (ACTH) oleh hipofisis anterior. ACTH pada gilirannya
akan menyebabkan peningkatan sekresi kortisol dari korteks adrenal. Kortisol kemudian
meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi
PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase).
Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik yang juga
dianggap dapat meningkatkan risiko PPI, melalui peningkatan produksi sitokin.

E. Identifikasi Wanita yang Berisiko Mengalami PPI


Cara utama untuk mengurangi risiko PPI dapat dilakukan sejak awal, sebelum tanda-
tanda persalinan muncul.Dimulai dengan pengenalan pasien yang berisiko, untuk diberi
penjelasan dan dilakukan penilaian klinik terhadap PPI serta pengenalan kontraksi sedini
mungkin, sehingga tindakan pencegahan dapat segera dilakukan.Pemeriksaan serviks tidak
lazim dilakukan pada kunjungan antenatal, padahal sebenarnya pemeriksaan tersebut
mempunyai manfaat yang cukup besar dalam meramalkan terjadinya PPI.Bila dijumpai
seviks pendek (< 1 cm) disertai dengan pembukaan yang merupakan tanda serviks
matang/inkompetensi serviks, maka pasien tersebut mempunyai risiko terjadinya PPI 3-4
kali.
Berikut beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi wanita yang
berisiko mengalami PPI:

 Skoring risiko
Metode skoring risiko ini dirancang oleh Papiernik dan dimodifikasi oleh Creasly
dkk.Pada metode ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam faktor risiko,
antara lain sosioekonomi, riwayat obstetri, kebiasaan hidup, serta penyulit kehamilan yang
dihadapi saat ini.Wanita dengan skor 10 atau lebih dianggap berisiko tinggi mengalami
PPI.Meskipun Creasy dkk.serta Covington dkk. melaporkan bahwa dengan metode skoring
yang disertai program pencegahan dengan penyuluhan, akan memberikan hasil yang baik.
Pada prakteknya, penerapan metode ini belum terbukti berguna.Dan karena metode ini
sangat bergantung dengan riwayat obstetri sebelumnya, maka metode ini tidak sesuai
untuk nulipara.Oleh karena itu, metode ini tidak menawarkan keuntungan lebih dari
penilaian klinis lainnya, dan tidak dapat direkomendasikan.

 Uji kontraksi uterus ambulatorik atau Home uterine activity monitoring


Metode ini didasarkan pada prinsip tokodinamometer, yang dicobakan pada wanita
yang berisiko mengalami PPI. Metode ini melibatkan pencatatan telematika dari kontraksi
rahim, dengan menggunakan alat sensor kontraksi yang diikatkan disekitar abdomen, dan
dihubungkan dengan sebuah perekam elektronik kecil yang dipasang dipinggang,
kemudian hasil aktivitas uterus akan dihantarkan ke beberapa monitor senter. Dari hasil
pemantauan tersebut, para praktisi kesehatan akan memberikan saran serta dukungan
setiap harinya terhadap pasien tersebut melalui telepon.
Penelitian-penelitian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan aktivitas
uterus di rumah tersebut tidak efektif dalam mencegah PPI, baik pada wanita yang berisiko
rendah atau wanita yang berisiko tinggi. Bahkan penggunaan metode ini akan
meningkatkan kunjungan diluar jadwal asuhan prenatal yang dianjurkan serta
menyebabkan peningkatan yang signifikan terhadap terapi obat tokolisis profilaktik pada
wanita hamil. Selain itu metode ini membutuhkan biaya yang cukup besar dalam
pelaksanaannya.Oleh karena itu, metode ini tidak direkomendasikan pada praktek klinis
rutin.

 Estriol saliva
Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan konsentrasi
estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm. Hal ini dapat dijelaskan melalui penelitian
mengenai fisiologi proses persalinan, yang menunjukan peranan aksis hipotalamo-pitutari-
adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan peningkatan produksi estriol dari plasenta
pada saat dimulainya persalinan. Diperkirakan pada kehamilan manusia, aktivasi prematur
dari aksis HPA pada PPIakan meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu, dan
ini dapat menjadi perediktor dimulainya PPI. Telah dilaporkan bahwa peningkatan estriol
akan dimulai sejak 3 minggu sebelum dimulainya persalinan pada wanita yang mengalami
PPI atau aterm. Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan tingkat estriol dalam serum ibu,
dan estriol saliva digunakan untuk menilai risiko PPI dengan atau tanpa gejala.
Dua penelitian prospektif menunjukan bahwa estriol saliva lebih efektif dalam
memprediksi PPI dibandingkan metode skoring risiko.Namun, tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang sangat buruk, dan memiliki tingkat positif palsu yang
sangat tinggi, yang dapat meningkatkan biaya perawatan kehamilan karena intervensi yang
tidak perlu.Tingkat estriol saliva dapat diukur secara akurat dengan menggunakan
radioimmunoassay.Heine dkk.menunjukan bahwa tingkat estriol saliva positif satu (≥ 2,1
ng/ml) dapat memprediksikan suatu peningkatan risiko PPI 3-4 kali lipat pada wanita
dengan resiko rendah maupun tinggi. Jika dua kali secara berturut-turut hasil tes positif, ini
menunjukan peningkatan akurasi prediksi yang signifikan, tetapi masih memiliki sedikit
penurunan sensitivitas. Tes estriol saliva menunjukan beberapa keunggulan yaitu
merupakan tindakan yang tidak invasif, sampel saliva yang mudah didapatkan, dan dapat
memberikan hasil positif beberapa minggu sebelum dimulainya persalinan.1 Namun,
adanya variasi diurnal dari tingkat estriol saliva ibu, serta pemberian betametason untuk
produksi surfaktan yang dapat menekan tingkat estriol saliva ibu, dapat mempersulit
interpretasi hasil. Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai intervensi dan
pengobatan yang potensial pada wanita dengan peningkatan kadar estriol saliva yang
tinggi, sebelum penggunaannya direkomendasikan secara luas pada populasi obtetrik.

 Skrining bacterial vaginosis (BV)


Vaginosis bakterialis telah lama dikaitkan dengan PPI spontan, ketuban pecah dini,
infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion.Platz-Christense dkk.(1993) telah
memberikan beberapa bukti bahwa vaginosis bakterialis dapat mencetuskan PPI dengan
suatu mekanisme yang serupa dengan jalur jaringan sitokin yang diusulkan untuk bakteri
cairan amnion. Banyak penelitian klinis secara konsisten menemukan bahwa wanita
dengan vaginosis bakterialis pada kehamilannya, memiliki risiko mengalami PPI yang
meningkat 2 kali lipat.1 Diagnosis vaginosis bakterialis ditegakan jika memenuhi 3 dari 4
kriteria berikut ini:
1. pH vagina > 4,5
2. adanya “clue cells” (sel epitel vagina yang terlapis tebal oleh basil) pada pewarnaan
gram
3. adanya duh vagina homogen
4. bau amin bila sekresi vagina dicampur dengan kalium hidroksida.
Bukti terkini tidak mendukung skrining dan terapi pada semua wanita hamil yang
ditujukan untuk vaginosis bakterialis.Untuk wanita risiko tinggi dengan riwayat PPI
sebelumnya, skrining dan terapi vaginosis bakterialis dapat mencegah PPI pada sebagian
dari wanita.Namun, meta-analisis terbaru menunjukan banyak perbedaan diantara 6
penelitian mengenai hal ini, sehingga membatasi penarikan kesimpulan yang pasti.Telah
banyak hasil yang tidak meyakinkan dan tidak memberikan manfaat dari skrining
vaginosis bakterialis yang bertujuan untuk memprediksi PPI, terutama pada kelompok
risiko rendah.

 Skrining fibronektin janin atau fetal fibronectin (fFN)


Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi dalam 20 bentuk molekul
yang berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas, fibroblast, sel endotel,
dan amnion janin.Glikoprotein ini terdapat dalam konsentrasi tinggi di darah ibu dan di
cairan amnion, serta dianggap memainkan peranan pada adhesi antarsel dalam kaitannya
terhadap implantasi serta dalam mempertahankan adhesi plasenta ke desidua. Fibronektin
janin diukur dengan menggunakan enzyme linked immunosorbent assay. Normalnya,
fibronektin janin terdeteksi pada sekret serviks sampai usia kehamilan 16-20 minggu. Pada
kehamilan 24 minggu atau lebih, kadar fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih dianggap
sebagai hasil positif dan mengindikasikan risiko PPI.
Lockwood dkk.(1991) yang melaporkan bahwa penemuan fibronektin janin pada
sekret servikovagina sebelum selaput amnion pecah dapat menjadi suatu pertanda adanya
ancaman PPI.Berdasarkan teori, peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks
dan cairan amnion memberikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antara korion
dan desidua.
Fibronektin janin dapat dideteksi di dalam sekret servikovagina pada kehamilan
normal aterm dengan selaput amnion utuh, dan tampaknya memperlihatkan remodeling
stroma serviks sebelum persalinan.Cox dkk.(1996) menemukan bahwa dilatasi serviks
lebih bermakna untuk mendeteksi fibronektin daripada untuk meramalkan kelahiran
preterm. Namun demikan, banyak penelitian telah menunjukan adanya peningkatan risiko
PPI, jika fFN positif pada sekret serviks setelah usia kehamilan 24 minggu, dan sebaliknya
terdapat penurunan risiko jika didapatkan fFN negatif.
Spesifisitas dari tes fibronektin janin untuk memprediksi PPI dalam 1 dan 2 minggu
kemudian ialah 89%, sedangkan untuk memprediksi PPI dalam 3 minggu kemudian ialah
92%. Sensitivitas dari tes ini, dalam memprediksi dimulainya PPI dalam 1 minggu dan 3
minggu kemudian, masing-masing ialah 71% dan 59%.
Perlu diketahui, faktor-faktor lain seperti manipulasi serviks dan infeksi peripartum
dapat merangsang pelepasan fibronektin janin.Serupa dengan hal tersebut, Jackson
dkk.(1996) memperlihatkan bahwa sel amnion manusia in vitro menghasilkan fibronektin
janin bila dirangsang oleh produk-produk radang yang dicurigai mengawali PPI akibat
infeksi.

 Pengukuran panjang serviks


Serviks memerankan peranan ganda pada kehamilan. Serviks mempertahankan isi
uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterine sampai persalinan, dan serviks
akan berdilatasi untuk memungkinkan bagian dari isi uterus untuk melintasinya selama
proses persalinan. Kompetensi serviks tergantung pada kesatuan antara anatomi dan
komposisi biokimia dari serviks.Salah satu indikator dini dari inkompetensi serviks atau
dimulainya persalinan ialah terjadinya pemendekan dari serviks.Perhatian terhadap
penilaian panjang serviks menggunakan ultrasonografi sebagai prediktor PPI muncul
setelah Iams dkk.(1996) menentukan distribusi normal dari panjang serviks setelah umur
kehamilan 22 minggu. Hal ini kemudian diterima secara luas, bahwa panjang serviks
kurang dari 25 mm pada usia kehamilan 24-28 minggu dapat meningkatkan risiko PPI.
Suatu penelitian prospektif yang melibatkan 2.915 wanita yang dievaluasi menggunakan
ultrasonografi pada serviks secara serial menunjukan suatu risiko relatif terhadap PPI ialah
9.57, 13.88, dan 24,94 untuk panjang seviks masing-masing < 26 mm, < 22 mm, < 13 mm,
pada usia kehamilan 28 minggu. Hasil dari beberapa penelitian yang menggunakan
penilaian panjang serviks sebagai prediktor PPI tidak selalu dapat dipercaya.terdapat
variasi yang luas pada nilai prediksinya.Sebuah tinjauan terhadap 35 penelitian yang
melibatkan penilaian panjang serviks menunjukan variasi yang sangat luas dalam
sensitivitas (68-100%) dan spesifisitas (44-79%). Oleh karena itu hingga saat ini tidak ada
bukti kuat yang mendukung penggunaan penilaian panjang serviks dengan menggunakan
USG pada usia kehamilan 24-28 minggu dalam memprediksi PPI sebagai pemeriksaan
rutin. Namun, dapat dilakukan pada kehamilan dengan risiko tinggi atau dalam kombinasi
dengan test fFN.

 Kombinasi penilaian fFN dengan ultrasonografi serviks


Penilaian panjang serviks yang disertai dengan estimasi fFN sekret vaginoserviks
pada wanita yang berisiko tinggi mengalami PPI mungkin bermanfaat. Suatu penelitian
yang menilai risiko terulangnya PPI spontan pada wanita yang memiliki riwayat PPI
sebelumnya melaporkan, risiko sebesar 65% jika panjang serviks kurang dari 25 mm dan
fFN positif. Namun, jika fFN negatif, risiko PPI hanya sebesar 25%.Seperti yang
ditunjukkan pada tabel di bawah, risiko terulangnya PPI pada wanita dengan panjang
serviks > 35 mm dan fFN negatif, hanya sebesar 7%.Oleh karena itu, kombinasi penilaian
panjang serviks dengan menggunakan USG, dan estimasi fFN dapat membantu
memprediksi terulangnya PPI pada wanita risiko tinggi.

Tabel 2.2 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam memprediksi
risiko terulangnya PPI
Risiko terulangnya PPI
Panjang serviks
fFN positif fFN negatif
< 25 mm 65% 25%
25-35 mm 45% 14%
> 35 mm 25% 7%

F. Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman PPI.Diferensiasi dini
antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit dilakukan sebelum adanya
pendataran dan dilatasi serviks.Kontraksi uterus sendiri dapat menyesatkan karena ada
kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur,
tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan
keraguan yang amat besar dalam penegakan diagnosis PPI. Tidak jarang, wanita yang
melahirkan sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi
Braxtons Hicks, yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI, yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8
menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa
tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau telah
terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.

Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The American
Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis PPI ialah sebagai
berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan kali
dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.

G. Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan PPI ialah, apakah ini memang
PPI.Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin yang dapat
dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun ultrasonografi, meliputi pertumbuhan/berat
janin, jumlah dan keadaan cairan amnion, persentasi dan keadaan janin/kelainan
kongenital.

Bila proses PPI masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah dilakukan
segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter spesialis
kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm, atau berapa
persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma gawat
nafas.
4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan bayi
preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.
5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan rencana
perawatan intensif neonatus.

Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami PPI dan/atau menunjukan tanda-tanda
PPI perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal outcomes.

Manajemen PPI tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:


1. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat bilamana
selaput ketuban sudah pecah.
2. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4 cm.
3. Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah persalinan makin
perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila TBJ > 2000
gram, atau kehamilan > 34 minggu.
a. Usia kehamilan ≥34 minggu; dapat melahirkan di tingkat dasar/primer,
mengingat prognosis relative baik.
b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas
perawatan neonatus yang memadai.
4. Penyebab/komplikasi PPI.
5. Kemampuan neonatal intensive care facilities.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1. Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,
2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,
3. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik.

 Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak ada
yang benar-benar efektif.Namun, pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila
dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan serviks pada kehamilan preterm.

Alasan pemberian tokolisis pada persalianan preterm ialah:


1. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur
2. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan paru
janin
3. Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengkap
4. Optimalisasi personil.

Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:


1. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam
sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya hanya diperlukan 20
mg. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi berulang.Dan dosis perawatan
3x10 mg.
2. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol dapat
digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil.
Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 µg/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2-4
kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15 µg/menit,
subkutan: 250 µg setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam
(maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah: hiperglikemia,
hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema paru.
3. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara bolus
selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat ini jarang
digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada ibu ataupun janin.7
Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi
pernafasan (pada ibu dan bayi).
4. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide dapat
menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases (COXs)
yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat
COX yang cukup kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin.
Sulindac memiliki efek samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan
nimesulide saat ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.

Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu membatasi
aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.

Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine


terbukti tidak baik, seperti:
a. Oligohidramnion
b. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c. Preeklamsia berat
d. Hasil nonstrees test tidak reaktif
e. Hasil contraction stress test positif
f. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien stabil dan
kesejahteraan janin baik
g. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.

 Akselerasi pematangan fungsi paru


Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru
janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome(RDS), mencegah perdarahan
intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya
menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan
kurang dari 35 minggu.
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason.Pemberian steroid ini
tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus tunggal
kortikosteroid ialah:
1. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
2. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.

Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing hormone
400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang kemudian dapat
meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol, karena inositol
merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan.

 Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang tepat
dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum.9 Antibiotika
hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi, seperti pada
kasus KPD.Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3
hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat
menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-
amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.7
Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun anaerob.
Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman. Setelah itu dilakukan
deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko PPI, bila tidak ada kontra indikasi, diberi
tokolisis.
 Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti:
apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama pada
berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forseps untuk
melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis
yang luas untuk mengurangi trauma kepala. Bila janin presentasi kepala maka
diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi lebar dan perlindungan forseps
terutama pada bayi < 35 minggu.
Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan
merugikan ibu.Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk
melakukan seksio sesarea.Seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik.
Indikasi seksio sesarea:
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah, oligohidramnion,
dan cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan sebagainya).
H. Komplikasi
Pada ibu, setelah PPI, infeksi endometrium lebih sering terjadi sehingga
mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi.Sedangkan bagi bayi,
PPImenyebabkan 70% kematian prenatal atau neonatal, serta menyebabkan morbiditas
jangka pendek maupun jangka panjang. Morbiditas jangka pendek diantaranya ialah
respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan intra/periventrikular, necrotising
enterocolitis (NEC), displasia bronko-pulmoner, sepsis, dan paten duktus arteriosus.
Adapun morbiditas jangka panjang yang meliputi retardasi mental, gangguan
perkembangan, serebral palsi, seizure disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, juga
dapat terjadi disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik.

DAFTAR PUSTAKA
Wiknjosastro, H. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono
Prawirohardjo.
Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Manuaba, IBG. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC.
Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan
(Human Labor and Birth).Yogyakarta : YEM.
Joseph HK, dkk. 2010. Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri (obsgyn).Yogyakarta
: Nuha Medika.
Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan Kedokteran
Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Varney, H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2.Jakarta : EGC.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai