Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kandungan dan Kebidanan
di RSI Sultan Agung Semarang
Disusun oleh:
Winda Yunisya Putri
30101507582
Pembimbing:
dr. FX Sunarto Sp.OG
NIM : 30101507582
A. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. P
Usia : 21 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
No RM : 01-39-xxxx
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Genuk indah, Semarang
Pendidikan Terakhir : SMP
Status Pernikahan : Menikah
Nama Suami : Tn. Ag
Tanggal Masuk : 19 oktober 2019
Ruang : VK
B. ANAMNESA
Dilakukan autoanamnesis tanggal 19 Oktober 2019 Pukul 3.30 WIB.
Keluhan utama
Pasien G1P0A0 usia 21 tahun hamil 28 minggu perut kenceng-kenceng, keluar
darah jalan lahir sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat Haid
- Menarche : 14 tahun
- Siklus : 28 hari
- Lama : 7 hari
- Dismenorrhea : (+)
- Leukorrhea : (-)
- Menopause : (-)
Riwayat Pernikahan
Pasien menikah yang pertama kali dengan suami yang sekarang. Usia pernikahan 1
tahun. Menikah usia 20 th.
Riwayat Obstetri
G1P0A0
G1 : hamil sekrang
HPHT : 13 April 2019
HPL : 20 Januari 2020
UK : 28 minggu
Riwayat ANC
Pemeriksaan kehamilan dilakukan di bidan. tetapi tidak Rutin, diberikan vitamin
dan suplemen besi. Selain itu pasien juga melakukan vaksin TT yang diberikan saat
periksa di puskesmas. Tidak ada pesan khusus dari bidan mengenai keadaan
kehamilannya.
Riwayat KB
Riwayat KB : Tidak memakai KB
Riwayat Gizi
Pasien mengatakan tidak ada masalah pada nafsu makan selama kehamilan.
Makanan yang dikonsumsi mencakup 4 sehat 5 sempurna berupa ikan, ayam,
sayur, susu, dan lain-lain.
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. STATUS PRESENT (19/09/2019)
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
TB : 155
BB : 74 kg
BMI : 30 (Obes)
Vital Sign
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x / menit
RR : 20 x / menit
Suhu : 36,5 0C
Status Internus
- Kepala : Mesocephale
- Mata : Conjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Hidung : Discharge (-), septum deviasi (-), nafas cuping hidung (-)
- Telinga : Discharge (-)
- Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-)
- Leher : Simetris, pembesaran kelenjar limfe (-)
- Kulit : Turgor baik, ptekiae (-)
- Mamae : Simetris, membesar, kencang (+), hiperpigmentasi aerola
mamae, papila mamae datar, belum ada pengeluaran asi
- Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Tidak dapat ditentukan batas – batasnya karena terhalang
oleh mamae yang membesar
Auskultasi : Suara jantung I dan II murni, reguler, suara tambahan (-)
- Paru :
Inspeksi : Hemithorax dextra dan sinistra simetris
Palpasi : Stemfremitus dextra dan sinistra sama
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
- Abdomen
Inspeksi : Perut cembung, striae gravidarum (+), linea nigra (+)
bekas operasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-)
Perkusi : tidak dilakukan
- Extremitas :
Superior Inferior
b. Status Ginekologi
- Abdomen
Inspeksi : Perut sedikit cembung, striae gravidarum (+), linea nigra
(+) bekas operasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
HIS : jarang
TFU : 22cm
TBJ : (22-12)x155= 1550
- Genitalia
Externa
Inspeksi : terdapat darah (+), Lendir (+), pada jalan lahir, massa (-),
jaringan (-).
Interna
- VT : pembukaan servix 8 cm, ketuban (+), hordge I+ (3.00 wib)
pembukaan servix 10 cm, ketuban (-), hordge III (6.00 wib)
- Inspekulo : nampak kepala, ketuban (+)
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Urine (19 September 2019) : gravindex (tes kehamilan) (+)
IMUNOSEROLOGI
KIMIA
Creatinin 0,64 -
NA,K,Cl
Riwayat Kehamilan
G1P1A0
G1 : hamil sekrang
HPHT : 13 April 2019
HPL : 20 Januari 2020
UK : 28 minggu
Status Present
Keadaan umum : Baik
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x / menit
RR : 20 x / menit
Suhu : 36,5 0C
Status Internus
Dalam Batas Normal
Status Obstetri
- Abdomen
- Inspeksi : Perut tampak membesar sesuai usia kehamilan, striae
gravidarum (+), linea nigra (+), bekas operasi (-), terlihat
gerak janin (+)
- Palpasi : Nyeri tekan (-), teraba bagian janin:
- Leopold I : teraba bulat besar dan lunak
- Leopold II : teraba tahanan memanjang disebelah kiri
- Leopold III : teraba bulat dan keras
- Leopold IV : konvigurasi kedua telapak tangan konvergen
- TFU : 22cm
- TBJ : (22-12) x 155 = 1550 gram
- HIS : jarang (ringan)
- Auskultasi : DJJ 12-11-11
- Genitalia externa
Inspeksi : terdapat darah (+) lendir (+) pada jalan lahir, massa (-),
jaringan (-).
- Genitalia Interna
VT : pembukaan servix 8 cm, ketuban (+), hordge I+ (3.00 wib)
pembukaan servix 10 cm, ketuban (-), hordge III (6.00 wib)
Inspekulo : nampak kepala, ketuban (+)
F. DIAGNOSA
‐ Pasien G1P0A0 usia 21 tahun Hamil 28 minggu
‐ janin tunggal hidup intrauterine
‐ letakkepala masuk PAP, Puki
‐ Impartu dengan Partus Imaturus Iminens
G. SIKAP
Rawat Inap pasien
Pengawasan: KU, Vital Sign
Lengkapi laboratorium dan konsul radiologi USG
Terapi medicamentosa
Infus Dextrose 5 % 32 tpm
Duvadilan 2 amp
Vitamin B12 S2dd tab 1
Asam mefenamat S3dd1 500mg
Asam Folat S1dd tab 1
H. EDUKASI
a. Rawat inap dan tirah baring
b. Memberitahu kondisi ibu dan janin pada keluarga
c. Pemberian makan dalam jumlah sedikit, namun frekuensi sering.
d. Menghindari makanan asam,pedas, serta berlemak. Minum cairan dalam
jumlah adekuat.
e. Jangan mengelus perut, memutar puting atau tindakan lain yang merangsang
kontraksi uterus
I. PROGNOSA
Kehamilan : dubia ad malam
Persalinan : dubia ad bonam
J. Follow Up
Tgl 19 September 2019
03.30
S : Ibu mengatakan keluar lendir darah
O :
- VT : pembukaan servix 8 cm, ketuban (+), hordge I+
- DJJ : 12-11-11
- HIS : Jarang, setiap 15 menit sekali kencang 20 detik
- TD : 120/80 mmhg, N : 80 x, S : 36,5’C, RR : 20x/m
A : G1P0AO H 28 minggu dengan partus imaturus iminen
P : Rawat VK, Inj.Asam tranexamat 500 mg, Inj.kalnex 1amp,
Inj.duvadilan 2 amp, oral: B12 1*100mg , calcium lactat 1*500mg
06.00
S : Ibu mengatakan kontraksi semakin sering dan perut semakin sakit
O :
- VT : pembukaan servix 10 cm, ketuban (-), hordge III
- DJJ : 12-11-11
- HIS : sering, setiap 10 menit 3x kencang
- TD : 135/80 mmhg, N : 80 x, S : 36,3’C, RR : 20x/m
A : G1P0AO H 28 minggu dengan partus imaturus iminen
P : usul USG ABDOMEN,USG OBSTETRI
06.45
S : Ibu mengatakan sakit terus menerus dan Bayi Lahir spontan kemudian
JK:Laki-laki, AS: 7-8-8,BB:1500gram
O : TD : 130/80, N : 86x/m, RR:20x/m, suhu : 36,5’C
A : P1A0 PP Spontan
P : Inj.OXCI I amp ,Cefadroxil 3*1, methylergometrin 3*1, ferofort 1*1,
as.mefenamat 3*1
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Diagnosis PPI dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu
mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit, yang dapat
berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. Pendapat lain mengatakan
PPI adalah persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan 20-37 minggu dihitung dari
hari pertama haid terakhir (AJOG 1995). Namun, batas bawah usia kehamilan yang
digunakan untuk membedakan PPI dengan abortus spontan bervariasi menurut lokasi.
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa
PPI adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.
B. Etiologi
Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab PPI multifaktorial dan sesuai dengan usia
kehamilan. Diantaranya ialah:
1. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),
2. Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau polihidramnion),
3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),
4. Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),
5. Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau trikomonas),
6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus
genitourinaria atau infeksi sistemik),
7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal,
baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau janin), dan
8. Insufisiensi uteroplasenta (misalnya, hipertensi, diabetes tipe I, penyalahgunaan obat,
merokok, atau konsumsi alkohol).
Tabel 2.1 Etiologi dan alur PPI yang diakui secara umum
C. Faktor Risiko
Meskipun patofisiologi PPI kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak faktor
risiko yang diketahui berperan pada PPI, dan pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini
penting dalam menilai kemungkinan terjadinya PPI.Namun sayangnya upaya untuk
menilai faktor risiko tersebut tidaklah mudah, karena lebih dari setengah dari PPI terjadi
pada wanita yang tidak memiliki faktor risiko yang jelas.
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya PPI:
Faktor risiko mayor
1. Kehamilan multipel
2. Polihidramnion
3. Anomali uterus
4. Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu
5. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua
6. Riwayat PPI sebelumnya
7. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop electrosurgical
excision procedure)
8. Penggunaan cocaine atau amphetamine
9. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu
10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.
Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor; atau dua
atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.
Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan adalah
tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status sosioekonomi yang
rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan lainnya (seperti infeksi maternal,
preeklamsia-eklamsia, plasenta previa, kehamilan yang diperoleh melalui bantuan
medikasi, terlambat atau tidak melakukan asuhan antenatal). Merupakan langkah penting
dalam pencegahan PPI adalah bagaimana mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian
memberikan asuhan prenatal serta penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan.
D. Patogenesis
Penyebab PPI multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama lain. Berikut
beberapa alur yang umum terjadi pada PPI:
Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum ialah penyebaran
secara ascending dari vagina dan serviks.Hal ini dapat ditunjukkan oleh suatu kondisi yang
disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan sebuah kondisi ketika flora normal vagina
predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri
anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau Mycoplasma hominis. Keadaan
ini telah lama dikaitkan dengan ketuban pecah dini, PPI, dan infeksi amnion, terutama bila
pada pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0.
Insufisiensi serviks
Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada
trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada serviks
berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup
luas, termasuk PPI.Insufisiensi serviks secara tradisi telah diidentifikasi di antara wanita
dengan riwayat pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa adanya kontraksi
uterus. Terdapat lima penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan
bawaan; (2) in-utero diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat
prosedur operasi seperti Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization;
(4) kerusakan yang bersifat traumatis; dan (5) infeksi.
Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan cervical
cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan kasus insufisiensi
serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan pemendekan serviks prematur dari
proses patofisiologi lainnya yang mana cerclage mungkin tidak selalu tepat dan lebih baik
diprediksi oleh panjang serviks yang ditentukan menggunakan ultrasonografi transvaginal.
Panjang serviks yang diukur dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding
terbalik dengan risiko PPI.Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari
kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan PPI dengan panjang serviks pada kehamilan
berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat obstetri dari insufisiens serviks
dan panjang serviks pada kehamilan berikutnya.
Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan pemendekan
serviks lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari remodeling serviks prematur, hasil
dari proses patologis. Infeksi dan inflamasi mungkin memainkan peranan penting dalam
pemendekan dan dilatasi serviks prematur.Lima puluh persen dari pasien dievaluasi
dengan amniosintesis sehubungan dengan dilatasi serviks asimptomatik pada trimester
kedua, dan 9% dari pasien memiliki panjang serviks < 25 mm tetapi tanpa dilatasi serviks
terbukti mengalami infeksi intraamnion.Data ini menunjukan suatu peranan penting infeksi
intraamnion yang menyebar secara ascending.
Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko PPI juga meningkat pada
perokok.Mekanisme meningkatnya risiko PPI pada wanita yang merokok sampai saat ini
belum jelas.Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia dalam batang rokok, yang masing-
masing efek biologisnya sebagian besar tidak diketahui.Namun, baik nikotin dan karbon
monoksida merupakan vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan
plasenta serta menurunnya aliran darah uteroplasenta.Kedua jalur tersebut mengarah pada
terhambatnya pertumbuhan janin dan PPI.
Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran darah
uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis hypothalamic–
pituitary–adrenal (HPA) janin, yang ditunjukkan dengan peningkatan corticotrophin-
releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus, yang kemudian memacu sekresi
adrenocorticotrophic hormone (ACTH) oleh hipofisis anterior. ACTH pada gilirannya
akan menyebabkan peningkatan sekresi kortisol dari korteks adrenal. Kortisol kemudian
meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi
PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase).
Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik yang juga
dianggap dapat meningkatkan risiko PPI, melalui peningkatan produksi sitokin.
Skoring risiko
Metode skoring risiko ini dirancang oleh Papiernik dan dimodifikasi oleh Creasly
dkk.Pada metode ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam faktor risiko,
antara lain sosioekonomi, riwayat obstetri, kebiasaan hidup, serta penyulit kehamilan yang
dihadapi saat ini.Wanita dengan skor 10 atau lebih dianggap berisiko tinggi mengalami
PPI.Meskipun Creasy dkk.serta Covington dkk. melaporkan bahwa dengan metode skoring
yang disertai program pencegahan dengan penyuluhan, akan memberikan hasil yang baik.
Pada prakteknya, penerapan metode ini belum terbukti berguna.Dan karena metode ini
sangat bergantung dengan riwayat obstetri sebelumnya, maka metode ini tidak sesuai
untuk nulipara.Oleh karena itu, metode ini tidak menawarkan keuntungan lebih dari
penilaian klinis lainnya, dan tidak dapat direkomendasikan.
Estriol saliva
Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan konsentrasi
estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm. Hal ini dapat dijelaskan melalui penelitian
mengenai fisiologi proses persalinan, yang menunjukan peranan aksis hipotalamo-pitutari-
adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan peningkatan produksi estriol dari plasenta
pada saat dimulainya persalinan. Diperkirakan pada kehamilan manusia, aktivasi prematur
dari aksis HPA pada PPIakan meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu, dan
ini dapat menjadi perediktor dimulainya PPI. Telah dilaporkan bahwa peningkatan estriol
akan dimulai sejak 3 minggu sebelum dimulainya persalinan pada wanita yang mengalami
PPI atau aterm. Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan tingkat estriol dalam serum ibu,
dan estriol saliva digunakan untuk menilai risiko PPI dengan atau tanpa gejala.
Dua penelitian prospektif menunjukan bahwa estriol saliva lebih efektif dalam
memprediksi PPI dibandingkan metode skoring risiko.Namun, tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang sangat buruk, dan memiliki tingkat positif palsu yang
sangat tinggi, yang dapat meningkatkan biaya perawatan kehamilan karena intervensi yang
tidak perlu.Tingkat estriol saliva dapat diukur secara akurat dengan menggunakan
radioimmunoassay.Heine dkk.menunjukan bahwa tingkat estriol saliva positif satu (≥ 2,1
ng/ml) dapat memprediksikan suatu peningkatan risiko PPI 3-4 kali lipat pada wanita
dengan resiko rendah maupun tinggi. Jika dua kali secara berturut-turut hasil tes positif, ini
menunjukan peningkatan akurasi prediksi yang signifikan, tetapi masih memiliki sedikit
penurunan sensitivitas. Tes estriol saliva menunjukan beberapa keunggulan yaitu
merupakan tindakan yang tidak invasif, sampel saliva yang mudah didapatkan, dan dapat
memberikan hasil positif beberapa minggu sebelum dimulainya persalinan.1 Namun,
adanya variasi diurnal dari tingkat estriol saliva ibu, serta pemberian betametason untuk
produksi surfaktan yang dapat menekan tingkat estriol saliva ibu, dapat mempersulit
interpretasi hasil. Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai intervensi dan
pengobatan yang potensial pada wanita dengan peningkatan kadar estriol saliva yang
tinggi, sebelum penggunaannya direkomendasikan secara luas pada populasi obtetrik.
Tabel 2.2 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam memprediksi
risiko terulangnya PPI
Risiko terulangnya PPI
Panjang serviks
fFN positif fFN negatif
< 25 mm 65% 25%
25-35 mm 45% 14%
> 35 mm 25% 7%
F. Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman PPI.Diferensiasi dini
antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit dilakukan sebelum adanya
pendataran dan dilatasi serviks.Kontraksi uterus sendiri dapat menyesatkan karena ada
kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur,
tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan
keraguan yang amat besar dalam penegakan diagnosis PPI. Tidak jarang, wanita yang
melahirkan sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi
Braxtons Hicks, yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI, yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8
menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa
tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau telah
terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The American
Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis PPI ialah sebagai
berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan kali
dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
G. Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan PPI ialah, apakah ini memang
PPI.Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin yang dapat
dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun ultrasonografi, meliputi pertumbuhan/berat
janin, jumlah dan keadaan cairan amnion, persentasi dan keadaan janin/kelainan
kongenital.
Bila proses PPI masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah dilakukan
segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter spesialis
kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm, atau berapa
persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma gawat
nafas.
4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan bayi
preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.
5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan rencana
perawatan intensif neonatus.
Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami PPI dan/atau menunjukan tanda-tanda
PPI perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal outcomes.
Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak ada
yang benar-benar efektif.Namun, pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila
dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan serviks pada kehamilan preterm.
Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu membatasi
aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing hormone
400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang kemudian dapat
meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol, karena inositol
merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan.
Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang tepat
dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum.9 Antibiotika
hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi, seperti pada
kasus KPD.Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3
hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat
menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-
amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.7
Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun anaerob.
Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman. Setelah itu dilakukan
deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko PPI, bila tidak ada kontra indikasi, diberi
tokolisis.
Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti:
apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama pada
berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forseps untuk
melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis
yang luas untuk mengurangi trauma kepala. Bila janin presentasi kepala maka
diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi lebar dan perlindungan forseps
terutama pada bayi < 35 minggu.
Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan
merugikan ibu.Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk
melakukan seksio sesarea.Seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik.
Indikasi seksio sesarea:
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah, oligohidramnion,
dan cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan sebagainya).
H. Komplikasi
Pada ibu, setelah PPI, infeksi endometrium lebih sering terjadi sehingga
mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi.Sedangkan bagi bayi,
PPImenyebabkan 70% kematian prenatal atau neonatal, serta menyebabkan morbiditas
jangka pendek maupun jangka panjang. Morbiditas jangka pendek diantaranya ialah
respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan intra/periventrikular, necrotising
enterocolitis (NEC), displasia bronko-pulmoner, sepsis, dan paten duktus arteriosus.
Adapun morbiditas jangka panjang yang meliputi retardasi mental, gangguan
perkembangan, serebral palsi, seizure disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, juga
dapat terjadi disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Wiknjosastro, H. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono
Prawirohardjo.
Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Manuaba, IBG. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC.
Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan
(Human Labor and Birth).Yogyakarta : YEM.
Joseph HK, dkk. 2010. Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri (obsgyn).Yogyakarta
: Nuha Medika.
Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan Kedokteran
Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Varney, H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2.Jakarta : EGC.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.