Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS RADIOLOGI

“SEORANG PEREMPUAN DENGAN CHOLELITHIASIS


MULTIPLE”

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
Di RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG

Disusun oleh:
Sandi Asbandi
406191028

Pembimbing:
dr. Luh Putu E Santi M, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TARUMANAGARA
PERIODE 17 NOVEMBER – 22 DESEMBER 2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

SEORANG PEREMPUAN DENGAN CHOLELITHIASIS MULTIPLE

Oleh:
Sandi Asbandi (406191028)

Laporan kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat
ujian kepaniteraan klinik di bagian departemen Ilmu Radiologi RSUD K.R.M.T.
Wongsonegoro Semarang

Semarang, Desember 2019


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Luh Putu E Santi M, Sp.Rad

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan baik. Maksud dan tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah untuk
memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara masa periode 17 November – 22 Desember 2019 di
Rumah Sakit Umum Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro.

Selama proses penyusunan makalah ini penulis mengalami keterbatasan


dalam pengerjaan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada
beberapa pihak yang telah mendukung keberhasilan penyusunan laporan kasus ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. dr. Luh Putu E Santi M, Sp.Rad selaku pembimbing bagian Ilmu


Radiologi di Rumah Sakit Umum Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.

Semarang, Desember 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

JUDUL.................................................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................................3
DAFTAR ISI.....................................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................6
2.1 Kandung Empedu
Anatomi.....................................................................................................6
Fisiologi.....................................................................................................7
2.2 Kolelistitis dan Kolelitiasis
Definisi......................................................................................................9
Etiologi....................................................................................................10
Epidemiologi...........................................................................................13
Patogenesis..............................................................................................13
Manifestasi Klinis....................................................................................20
Diagnosis.................................................................................................21
Diagnosis Banding...................................................................................27
Penatalaksanaan ......................................................................................28

BAB III LAPORAN KASUS


3.1 Identitas...................................................................................................36
3.2 Anamnesis...............................................................................................36
3.3 Pemeriksaan Fisik....................................................................................37
3.4 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................38
3.5 Diagnosa kerja.........................................................................................42
3.6 Tatalaksana..............................................................................................42
3.7 Rencana Evaluasi.....................................................................................42
3.8 Edukasi....................................................................................................43
3.9 Prognosis.................................................................................................43

4
BAB IV PEMBAHASAN...............................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................45

BAB I

PENDAHULUAN

Kolelitiasis atau gallstone merupakan penyakit dimana terdapat batu pada


saluran empedu, ataupun di kantung empedu itu sendiri. Batu empedu tersebut
merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip
batu. Biasanya Kolelitiasis tidak bergejala ataupun bergejala minimal, namun bila
bergerjala, biasanya kolelitiasis disertai dengan kolesistitis. Gejala klinis spesifik
untuk mendiagnosis kolesistitis adalah kolik bilier. Untuk mendiagnosis
kolelitiasis, USG, ERCP, CT scan maupun MRI merupakan beberapa metode
pencitraan yang dapat digunakan.1

Kolelitiasis terjadi pada sekitar 10% populasi usia dewasa di Amerika


Serikat, Angka kejadian batu saluran empedu ini nampak semaking meningkat

5
seiring bertambahnya usia. Diperkirakan bahwa sekitar 20% pasien dewasa yang
berusia lebih dari 40 tahun dan 30% yang berusia lebih dari 70 tahun
menunjukkan adanya pembentukan batu saluran empedu. Pada usia reproduksi,
rasio wanita dibandingkan pria adalah sekitar 4:1, sementara pada usia lanjut
umumnya angka kejadian hampir sama pada kedua jenis kelamin.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kandung Empedu

2.1.1 Anatomi

6
Gambar 1 Anatomi Kandung Empedu3

Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear


yang terletak pada permukaan visceral hepar dengan panjang sekitar 7 – 10 cm.
Kandung tersebut memiliki kapasitas sekitar 30-50 cc, dan dalam keadaan
terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi
fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol
dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding
anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan
dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum
dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk
bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus
koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna
menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, yang merupakan
cabang dari arteri hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung
kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga
berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak
dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus
coeliacus.4

2.1.2 Fisiologi Kandung Empedu


Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar
50 ml. Vesica fellea mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk
membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu
sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang
tawon. Sel epitel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli. 2

7
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.
Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum
interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan
dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran
ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu
duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum
disalurkan ke duodenum.2
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak
kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin
dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan
kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada
ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan
masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu
dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan
membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Proses koordinasi kedua aktifitas ini
disebabkan oleh dua hal yaitu:2
a) Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai
duodenum akan merangsang mukosa sehingga hormon
Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar
peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
b) Neurogen:
 Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari
sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
 Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit.

Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun


hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.

8
Komposisi Cairan Empedu
Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu
Air 97,5 gm % 95 gm %
Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %
Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %
Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %
Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %
Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %
Elektrolit -   -  

a. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua
macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah:
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang
terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar
dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna
lebih lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan
vitamin yang larut dalam lemak.
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-
kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian
besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi
kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan
bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu
tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada
gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau
reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu.
b. Bilirubin

9
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole
menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat
ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas
diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide. Bila
terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan maka bilirubin yang
terbentuk sangat banyak.

2.2 Kolelisistitis dan Kolelitiasis


2.2.1 Definisi

Kolelitiasis adalah istilah medis untuk penyakit batu saluran empedu.


Kolelitiasis disebut juga sebagai batu empedu, gallstone, atau kalkulus biliaris.
Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu
(kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada
kedua-duanya.5,6

Gambar 2 Gambar batu di dalam kandung empedu dan saluran biliaris.3

Kolesistitis didefinisikan sebagai inflamasi pada dinding kandung empedu


yang paling sering disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya

10
kolelitiasis, yang umumnya disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan
dan demam.1

2.2.2 Etiologi

Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:7

1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu


kandung empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistitis tanpa adanya batu empedu.

Etiologi, faktor risiko dan patogenesis untuk kolesistitis umumnya akan berbeda-
beda menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan batu pigmen).

Batu kolesterol

Batu kolesterol berhubungan dengan sejumlah faktor risiko, antara lain


adalah:1

 Jenis kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.
 Suku bangsa
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu
empedu bisa berjalan dalam keluarga. Di negara Barat penyakit ini sering
dijumpai, di Amerika Serikat 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu
kandung empedu. Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih
dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di negara lain
selain AS, Chile dan Swedia.
 Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda. Usia rata-rata
tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun.

11
 Obesitas
Sindroma metabolik terkait obesitas, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II,
hipertensi, dan hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi
kolesterol hepar dan merupakan faktor risiko utama untuk terbentuknya batu
kolesterol.
 Kehamilan
Batu kolesterol lebih sering ditemukan pada wanita yang sudah mengalami
lebih dari satu kali kehamilan. Faktor utama yang diperkirakan turut berperan
pada risiko ini adalah tingginya kadar progesteron selama kehamilan.
Progesteron dapat mengurangi kontraktilitas kandung empedu, sehingga
menyebabkan terjadinya retensi yang lebih lama dan pembentukan cairan
empedu yang lebih pekat di dalam kandung empedu.
 Stasis cairan empedu
Penyebab lain dari stasis kandung empedu yang berhubungan dengan
peningkatan risiko batu empedu meliputi cedera medula spinalis, puasa jangka
panjang dengan pemberian nutrisi parenteral total saja, serta penurunan berat
badan cepat akibat restriksi kalori dan lemak yang berat (seperti diet, operasi
gastric bypass).7
 Obat-obatan
Terdapat sejumlah obat yang berhubungan dengan pembentukan batu
kolesterol. Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau terapi kanker
prostat dapat meningkatkan risiko batu kolesterol dengan meningkatkan sekresi
kolesterol empedu. Clofibrate dan obat hipolipidemia fibrat lain dapat
meningkatkan eliminasi kolesterol hepar hepatik melalui sekresi biliaris dan
nampaknya dapat meningkatkan risiko terbentuknya batu kolesterol. Analog
somatostatin nampak menjadi predisposisi terbentuknya baru empedu dengan
mengurangi proses pengosongan batu empedu.5,7
 Faktor keturunan
Penelitian pada kembar identik dan fraternal menunjukkan bahwa sekitar 25%
kasus batu kolesterol memiliki predisposisi genetik. Terdapat sekurangnya satu
lusin gen yang berperan dalam menimbulkan risiko ini. Dapat terjadi suatu
sindroma kolelitiasis terkait kadar fosfolipid yang rendah pada individu dengan

12
defisiensi protein transport bilier herediter yang diperlukan untuk sekresi
lecithin.7

Batu pigmen hitam dan coklat

Batu pigmen hitam umumnya terbentuk pada individu dengan


metabolisme heme yang tinggi. Kelainan hemolisis yang berhubungan dengan
batu pigmen meliputi anemia sel sabit, sferositosis herediter, dan beta-
thalassemia.

Seperti pada kolelitiasis, penyebab kolesistitis juga berbeda menurut


jenisnya. Faktor risiko untuk terjadinya kolesistitis kakulosa umumnya serupa
dengan kolelitiasis dan meliputi jenis kelamin wanita, kelompok etnik tertentu,
obesitas atau penurunan berat badan yang cepat, obat-obatan (terutama terapi
hormonal pada wanita), kehamilan dan usia. Sementara itu, kolesistitis akalkulosa
berhubungan dengan penyakit yang berhubungan dengan stasis cairan empedu,
seperti penyakit kritis, operasi besar atau trauma/luka bakar berat, sepsis,
pemberian nutrisi parenteral total (TPN) jangka panjang, puasa jangka panjang,
penyakit jantung (termasuk infark miokardium), penyakit sel sabit, infeksi
Salmonella, diabetes mellitus, pasien AIDS yang terinfeksi cytomegalovirus,
cryptosporidiosis, atau microsporidiosis. Pasien dengan imunodefisiensi juga
menunjukkan peningkatan risiko kolesistitis akibat berbagai sumber infeksi lain.
Dapat dijumpai sejumlah kasus kolesistitis idiopatik.5

2.2.3 Epidemiologi

Kolelitiasis terjadi pada sekitar 10% populasi usia dewasa di Amerika


Serikat, dimana batu empedu kolesterol ditemukan pada 70% dari semua kasus
dan 30% sisanya terdiri atas batu pigmen dan jenis batu dari sejumlah komposisi
lain. Angka kejadian batu saluran empedu ini nampak semaking meningkat seiring
bertambahnya usia. Diperkirakan bahwa sekitar 20% pasien dewasa yang berusia
lebih dari 40 tahun dan 30% yang berusia lebih dari 70 tahun menunjukkan
adanya pembentukan batu saluran empedu. Selama usia reproduksi, rasio wanita

13
dibandingkan pria adalah sekitar 4:1, sementara pada usia lanjut umumnya angka
kejadian hampir sama pada kedua jenis kelamin.

Sembilan puluh persen kasus kolesistitis terjadi akibat adanya batu duktus
sistikus (kolesistitis kalkulosa), sementara 10% sisanya merupakan kasus
kolesistitis akalkulosa. Dari semua warga Amerika Serikat yang menderita
kolelitiasis, sekitar sepertiganya juga menderita kolesistitis akut.2

2.2.4. Patogenesis

2.2.4.1. Patogenesis Kolelitiasis

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan
yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus.

Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada


kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan
batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol
adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-
garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam
empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak
yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang

14
mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami
perkembangan batu empedu.

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui


duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut
dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada
disana sebagai batu duktus sistikus.8

Patofisiologi pembentukan batu empedu

A. Batu Kolesterol1,6

Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan


prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan
permukaannya halus. Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol
bertanggung jawab bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian
besar empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung paling
sedikit 75 % kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid,
pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di
dalam empedu dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya
tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin. Ini dapat dinyatakan
oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar
garam empedu, lesitin dan kolesterol.

Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam tiga tahap:

 Supersaturasi empedu dengan kolesterol


Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen
yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu
membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya
dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol
tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam
keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana

15
kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti
ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut :
o Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan
lecithin jauh lebih banyak.
o Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi
supersaturasi.
o Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet)
o Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.
o Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan
ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi
enterohepatik).
o Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain
menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
 Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang
lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol
sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
 Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu
untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi
kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang
sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi
kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi
akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita
Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama,
setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi
kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa
kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.

16
B. Batu pigmen2

Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika


Serikat. Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu
kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel,
sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung
dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu
dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak senyawa organik lain.
Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60
% dari semua batu empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai
hitam. Bilirubin pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, aktif
disekresikan ke empedu oleh sel liver. Kebanyakan bilirubin dalam empedu
dibentuk dari konjugat glukorinide yang larut air dan stabil. Tetapi ada sedikit
yang terdiri dari bilirubin tidak terkonjugasi yang tidak larut dengan kalsium.

Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan


mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan
pigmen abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris
merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen. Pasien dengan peningkatan
beban bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim membentuk batu
pigmen murni. Di negara Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa
berhubungan dengan invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang
di infeksi parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli
membentuk B- glukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan bilirubin di
dalam empedu, yang bisa menyokong pembentukan kalsium bilirubinat yang tak
dapat larut.

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :

 Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan
eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada
keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin

17
menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
 Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga
oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan
bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing
ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti
batu adalah dari cacing tambang.

C. Batu campuran6

Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini


sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat
majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai
dasar metabolisme yang sama dengan batu kolesterol.

2.2.4.2. Patogenesis Kolesistitis8

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah


stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan
sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut
akalkulus).

Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan


empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu
menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia
dan nekrosis dinding kandung empedu. Meskipun begitu, mekanisme pasti
bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai

18
saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan
respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol,
lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung
empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.

Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50


sampai 85% pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari
kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus
grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang
dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya
lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan
iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu.

Gambar 3 Patofisiologi kolesistitis akut.1

Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko


terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan
trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang
menyertai persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar
nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat

19
termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi,
diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu
(misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi
parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama
dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler,
sifilis, tuberkulosis, aktinomises).9

Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu
tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk
mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi kondisi statis dari cairan
empedu.

2.2.5. Manifestasi Klinis

2.2.5.1. Manifestasi Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis)

A. Asimtomatik

Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak bergejala


(asimtomatik). Bila bergejala, gejalanya adalah nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri
bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan
penyakit sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien
yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan
gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada
data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan
batu empedu asimtomatik.2

B. Simtomatik

Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan


atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit,
dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri

20
pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak,
terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian
pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan
muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris.6

2.2.5.2. Manifestasi Kolesistitis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik
perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan
suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang
rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai
60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari
adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi
kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan
yang sembuh spontan.

Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan


penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami
anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan
fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada
seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan
membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan
atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda
Murphy).

Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan


peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas
sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus
paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen
biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20%
kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi
bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik.
Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan
gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja.7

21
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya.

2.2.6. Diagnosis

2.2.6.1. Diagnosis Kolelitiasis

A. Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis.


Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri
di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya
adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang
baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-
lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak


bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan
bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis,
keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.2

B. Pemeriksaan Fisik

 Batu kandung empedu


Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu,
empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan
nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung
empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu
penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang
tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.

22
 Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang
teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah
kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.1

C. Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu.
Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam
duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan
akut.1
 Pemeriksaan radiologis
o Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar
kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut
dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang
menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.1

23
Gambar 4 Gambaran batu di dalam kandung empedu pada foto polos
abdomen.3

o Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.1
o Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan
gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2
mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral
lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.

24
Gambar 5 Hasil USG pada kolelitiasis (kiri); hasil kolesistografi pada
kolesistitis (kanan).5

2.2.6.2. Diagnosis Kolesistitis

Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas


dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas,
demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang
berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran
ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5
μmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami
peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat).
Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan
kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada
kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pielonefritis.
Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta
leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu
dipertimbangkan.

Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat


memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus
kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu. 15 Foto polos abdomen tidak
dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15 % pasien
kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena
mengandung kalsium cukup banyak. Kolesistografi oral tidak dapat
memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga
pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran adanya

25
kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya
keganasan pada kandung empedu.

Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin


dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding
kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90 – 95%. Adapun gambaran di USG yang pada
kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan dinding
kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu
empedu membantu penegakkan diagnosis.4

Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI


dilaporkan lebih besar dari 95%. Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan
perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema
subserosa tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas.
Pemeriksaan dengan CT – scan dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik
yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.6

Gambar 6 CT Scan abdomen pada pasien kolesistitis akut menunjukkan adanya


batu empedu dan penebalan dinding kandung empedu.1

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n


Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik
ini tidak mudah. Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis
dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna.
Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu

26
pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong
kolesistitis akut.6

Gambar 7 Kiri: Scintigrafi normal, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45


menit; Kanan: pada pasien kolesistitis, HIDA tidak mengisi kandung empedu
setelah 1 jam 30 menit1

Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat


digunakan untuk melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu
empedu di duktus biliaris komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani
laparaskopi kolesistektomi.

Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti


pada jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran
kolesistitis kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel
inflamasi seperti neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang
disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada kasus – kasus lanjut dapat
ditemukan gangren dan perforasi.

2.2.7. Diagnosis Banding

Diagnosis kolelitiasis dan kolesistitis harus dapat ditegakkan sesegera


mungkin agar dapat dilakukan penanganan sedini mungkin dan menghindari
terjadinya peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien.

27
Untuk kolelitiasis, dapat dipertimbangkan kemungkinan adanya patologi
intra-abdominal maupun ekstra-abdominal yang menyebabkan nyeri abdomen
bagian atas. Beberapa penyakit yang perlu dipertimbangkan adalah penyakit ulkus
peptik, pankreatitis (akut atau kronik), hepatitis, dispepsia, gastroesophageal
reflux disease (GERD), irritable bowel syndrome, spasme esofagus, pneumonia,
nyeri dada karena penyakit jantung, ketoasidosis diabetik, apendisitis, striktura
duktus biliaris, kolangiokarsinoma, kolesistitis, atau kanker pankreas.4

Untuk kolesistitis akut, dapat dipertimbangkan diagnosis banding untuk


nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri
saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti appendiks yang retrosekal,
sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan
infark miokard. Pada wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia,
appendisitis dan kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus
dilakukan segera karena dapat mengancam nyawa ibu dan bayi. Penyakit lain
yang dapat dipertimbangkan antara lain adalah aneurisma aorta abdominal,
iskemia mesenterik akut, dan kolik biliaris.7

2.2.8. Penatalaksanaan

2.2.8.1. Penatalaksanaan untuk Kolelitiasis

Saat ditemukan adanya batu empedu asimptomatik selama melakukan


pemeriksaan pasien, maka umumnya belum perlu dilakukan kolesistektomi
profilaktik karena adanya beberapa faktor. Hanya sekitar 30% pasien dengan
kolelitiasis asimptomatik yang memerlukan operasi selama masa hidup mereka,
dan ini menunjukkan bahwa pada beberapa pasien, kolelitiasis merupakan suatu
kelainan yang relatif ringan dan tidak berbahaya. Pada beberapa pasien ini dapat
dilakukan penanganan konservatif. Namun, terdapat beberapa faktor yang
menunjukkan kemungkinan terjadinya perjalanan penyakit yang lebih berat pada
pasien dengan batu empedu asimptomatik sehingga perlu dilakukan
kolesistektomi profilaksis. Beberapa faktor ini antara lain adalah pasien dengan
batu empedu yang berukuran besar (>2,5 cm), pasien dengan anemia hemolitik

28
kongenital atau kandung empedu yang tidak berfungsi, atau pasien yang menjalani
operasi kolektomi.

Pada batu empedu yang simptomatik, umumnya diindikasikan untuk


melakukan intervensi bedah definitif menggunakan kolesistektomi, meskipun
pada beberapa kasus dapat dipertimbangkan untuk meluruhkan batu menggunakan
terapi medikamentosa. Pada kolelitiasis non-komplikata dengan kolik biliaris,
penanganan medikamentosa dapat menjadi alternatif untuk beberapa pasien
tertentu, terutama yang menunjukkan risiko tinggi bila menjalani operasi.4

A. Penatalaksanaan konservatif

Untuk penatalaksanaan konservatif dapat diberikan obat yang dapat


menekan sintesis dan sekresi kolesterol, serta menginhibisi absorbsi kolesterol di
usus. Ursodiol merupakan jenis obat yang paling sering digunakan. Ursodiol
(asam ursodeoksikolat) diindikasikan untuk batu empedu radiolusens yang
berdiameter kurang dari 20 mm pada pasien yang tidak dapat menjalani
kolesistektomi. Obat ini memiliki sedikit efek inhibitorik pada sintesis dan sekresi
asam empedu endogen ke dalam cairan empedu dan nampaknya tidak
mempengaruhi sekresi fosfolipid ke dalam cairan empedu. Setelah pemberian
dosis berulang, obat akan mencapai kondisi seimbang setelah kurang lebih 3
minggu. Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis
harian. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18 bulan dan umumnya berhasil bila
batu berukuran kecil dan murni merupakan batu kolesterol, serta memiliki angka
kekambuhan sebesar 50 % dalam 5 tahun.4

Terapi lain yang dapat digunakan adalah Extarcorporal Shock Wave


Lithotripsy (ESWL). Litotripsi pernah sangat populer beberapa tahun yang lalu,
namun saat ini hanya digunakna pada pasien yang benar-benar dianggap perlu
menjalani terapi ini karena biayanya yang mahal. Supaya efektif, ESWL
memerlukan terapi tambahan berupa asam ursodeoksilat.10

B. Penatalaksanaan Operatif

Sebaiknya tidak dilakukan terapi bedah untuk batu empedu asimptomatik.


Risiko komplikasi akibat intervensi pada penyakit asimptomatik nampak lebih

29
tinggi dari risiko pada penyakit simptomatik, namun Sekitar 25% pasien dengan
batu empedu asimptomatik akan mengalami gejala dalam waktu 10 tahun.
Individu dengan diabetes dan wanita hamil perlu menjalani pengawasan ketat
untuk menentukan apakah mereka mulai mengalami gejala atau komplikasi.
Terdapat beberapa indikasi untuk melakukan kolesistektomi pada batu empedu
asimpomatik, antara lain adalah:

 Pasien dengan batu empedu besar yang berdiameter lebih dari 2 cm


 Pasien dengan kandung empedu yang nonfungsional atau nampak mengalami
kalsifikasi (porcelain gallbladder) pada pemeriksaan pencitraan dan pada
pasien yang berisiko tinggi mengalami karsinoma kandung empedu
 Pasien dengan cedera medula spinalis atau neuropati sensorik yang
mempengaruhi abdomen
 Pasien dengan anemia sel sabit, dimana kita akan sulit membedakan antara
krisis yang menyebabkan nyeri dengan kolesistitis
Selain itu, terdapat sejumlah faktor risiko terjadinya komplikasi batu
empedu yang dapat menjadi indikasi untuk menawarkan kolesistektomi elektif
pada pasien, meskipun masih asimptomatik. Beberapa faktor tersebut antara lain
adalah:

 Sirosis
 Hipertensi porta
 Anak-anak
 Kandidat transplantasi
 Diabetes dengan gejala minor
 Pasien dengan kalsifikasi kandung empedu
Pada pasien kolelitiasis yang diputuskan akan menjalani terapi operatif,
terdapat beberapa teknik pembedahan yang dapat digunakan:

 Kolesistektomi
Pengambilan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan
pada pasien yang mengalami gejala atau komplikasi akibat adanya batu

30
empedu, kecuali usia atau kondisi umum pasien tidak memungkinkan
dilakukannya operasi. Pada beberapa kasus empiema kandung empedu, dapat
dilakukan drainase pus sementara dari kandung empedu (kolesistostomi)
sehingga memungkinkan dilakukannya stabilisasi, untuk nantinya dilanjutkan
dengan terapi kolesistektomi elektif.
Pada pasien dengan batu empedu yang dicurigai juga memiliki batu di
saluran empedu, dokter bedah dapat melakukan kolangiografi intraoperatif
pada saat operasi kolesistektomi. Duktus biliaris komunis dapat dieksplorasi
menggunakan koledokoskop. Bila ditemukan adanya batu duktus biliaris
komunis, maka biasanya akan dilakukan ekstraksi intraoperatif. Alternatif lain
yang dapat ditempuh, dokter bedah dapat membuat sebuah fistula antara bagian
distal duktus biliaris dan duodenum di sebelahnya (koledokoduodenostomi),
sehingga batu dapat masuk ke dalam usus dengan aman.
Kolesistektomi yang pertama dilakukan pada akhir tahun 1800an.
Pendekatan operasi terbuka yang dikembangkan oleh Langenbuch masih
menjadi teknik standar sampai akhir tahun 1980an, dimana mulai
diperkenalkan teknik baru berupa kolesistektomi laparoskopik.
Kolesistektomi laparoskopik merupakan revolusi terapi minimal invasif,
yang telah mempengaruhi semua area praktek bedah modern. Saat ini,
kolesistektomi terbuka hanya dilakukan pada kondisi tertentu saja. pendekatan
kolesistektomi terbuka dilakukan menggunakan sebuah insisi subkostal kanan
yang besar. Sebaliknya, kolesistektomi laparoskopik menggunakan 4 insisi
yang sangat kecil. Waktu pemulihan dan nyeri paskaoperasi nampak jauh lebih
rendah pada pendekatan laparoskopik.
Saat ini, kolesistektomi laparoskopik biasanya dilakukan di klinik rawat
jalan. Dengan mengurangi waktu rawat inap dan waktu yang terbuang selama
pasien tidak dapat bekerja, pendekatan laparoskopik juga dapat mengurangi
biaya kolesistektomi.
Pada pedoman penggunaan klinis operasi laparoskopik saluran biliaris
yang dipublikasikan tahun 2010, Society of American Gastrointestinal and
Endoscopic Surgeons (SAGES) menyatakan bahwa pasien dengan kolelitiasis
simptomatik dianggap memenuhi syarat untuk operasi laparoskopik. Pasien

31
kolelitiasis dengan kolesistektomi laparoskopik tanpa komplikasi dapat
dipulangkan di hari yang sama bila nyeri dan mual paskaoperasi sudah
terkendali dengan baik. Pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dapat
menunjukkan risiko yang lebih besar untuk kembali dirawat di rumah sakit.5
Selama melakukan kolesistektomi laparoskopik, seorang dokter bedah
harus mengambil semua batu yang tidak sengaja keluar melalui perforasi pada
kandung empedu. Pada beberapa kasus tertentu, mungkin perlu dilakukan
perubahan menjadi operasi terbuka. Pada pasien dengan batu empedu yang
masuk dan hilang di cavum peritoneum, direkomendasikan untuk melakukan
pemeriksaan follow-up dengan USG selama 12 bulan. Sebagian besar kejadian
komplikasi (biasanya terbentuk abses di sekitar batu) akan terjadi dalam jangka
waktu ini.
Komplikasi yang paling ditakuti dari kolesistektomi adalah kerusakan
pada duktus biliaris komunis. Kejadian cedera duktus biliaris nampak semakin
meningkat sejak dikembangkannya teknik kolesistektomi laparoskopik, namun
kejadian dari komplikasi ini sudah mulai berkurang seiring bertambahnya
pengalaman dan pelatihan yang dilakukan oleh para dokter bedah dalam bidang
operasi minimal invasif.7

 Kolesistostomi
Pada pasien yang berada dalam kondisi sakit kritis dengan empiema
kandung empedu dan sepsis, operasi kolesistektomi dapat berbahaya. Pada
kondisi ini, dokter bedah dapat memilih untuk melakukan kolesistostomi, suatu
prosedur minimal invasif yang dilakukan dengan memasang pipa drainase di
kandung empedu. Teknik ini biasanya dapat memperbaiki kondisi klinis
pasien. saat pasien sudah stabil, dapat dilakukan kolesistektomi definitif secara
elektif.
Pada beberapa kasus, kolesistostomi juga dapat dilakukan oleh spesialis
radiologi invasif menggunakan panduan dari CT-scan. Pendekatan ini tidak

32
memerlukan anestesi dan nampak bermanfaat untuk pasien dengan kondisi
klinis yang tidak stabil.2

C. Komplikasi Kolesistektomi

Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan


paru lainnya, pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan
interna, fistula biliaris-enterik dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin
mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu sumber intraabdomen akibat
kebocoran empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu, bekuan
darah intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi
dini tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu
kolesistektomi.

Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat


berhasil yang menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas gejala
pada 75 sampai 90 persen pasien. Penyebab paling sering pada gejala
pascakolesistektomi yang menetap adalah adanya gangguan ekstrabiliaris yang
tidak diketahui (misalnya esofagitis refluks, ulkus peptikum, sindrom
pascagastrektomi, pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada sebagian
kecil pasien terdapat gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik yang
menyebabkan gejala persisten.2

2.2.8.2. Penatalaksanaan untuk Kolesistitis

A. Terapi konservatif

Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis


akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit
sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki
status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit,
obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian

33
antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti
peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan
metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang umum
terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun
pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram
negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi.2,7

Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam


dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole
dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus
yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat
mual dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube.
Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan
kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien
dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus
dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat
tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain
yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang,
pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan
Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai.7

B. Terapi bedah

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,


apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu
setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 %
kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini
menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat
dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya
daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan
menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih
sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi.

Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu


dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi

34
kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada
kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons
terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi
menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).
Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani
kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi
bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis
keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien
yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan.

Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar


pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas
untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk
kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari
60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit
pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau
jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit
berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase
selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat
dilakukan pada lain waktu.2

35
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. RY Alamat : Penggaron Kidul

Usia : 21 tahun Pekerjaan : Wiraswasta

Tanggal lahir : 6 September 1998 Agama : Islam

Pasien masuk ke IGD RSUD KRMT Wongsonegoro, Semarang pada hari Jumat
tanggal 22 November 2019.

3.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di bangsal Nakula 2 pada hari Rabu


tanggal 23 November 2019 pukul 06.59.

Keluhan Utama: Nyeri akut

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dibawa keluarganya ke IGD RSUD KRMT Wongsonegoro


Semarang pada tanggal 22 November 2019 dengan keluhan nyeri perut daerah ulu
hati sejak 2 hari SMRS. Selain nyeri, pasien juga mengeluhkan BAB dan BAK
yang disertai darah.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami sesak seperti ini sebelumnya. Pasien belum
mengonsumsi obat apapun untuk mengatasi sesaknya. Riwayat darah tinggi,

36
kencing manis, dan penyakit lainnya disangkal oleh pasien. Pasien juga
menyangkal riwayat alergi dan riwayat trauma. Pasien post SC 3 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien mengaku tidak ada anggota keluarga mengalami hal yang
serupa dengan pasien. Ayah pasien memiliki riwayat darah tinggi. Riwayat
kencing manis, dan penyakit lain pada keluarga disangkal.

Riwayat Kebiasaan

Riwayat konsumsi alcohol, merokok, menggunakan obat terlarang


disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum: Tampak sakit sedang
 Kesadaran: GCS: 15, Compos mentis
 Tanda-tanda vital:
 Tekanan darah : 100/60 mmHg
 Frekuensi nadi : 83 kali/menit
 Frekuensi napas : 20 kali/menit
 Suhu tubuh : 36,2oC
 Data Antropometri : BB 60 kg; TB 155 cm (IMT 24,97 kg/m2)
Kesan: Normal

Pemeriksaan Sistem
 Kepala: Bentuk normal (normocephali), rambut putih terdistribusi merata,
tidak ada benjolan
 Mata : palpebral simetris, cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera
tidak ikterik, pupil bulat isokor D 3 mm, reflex cahaya pupil normal
 Telinga : Serumen (-/-), tidak nyeri, tidak bengkak
 Hidung : Simetris, secret (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
 Mulut : bentuk simetris, perioral sianosis (-), mukosa rongga mulut warna
merah muda, mukosa lidah normal. Arkus faring anterior/posterior normal,
tonsil palatina ukuran T1-T1 warna merah muda, kripta tonsil normal,

37
detritus tonsil (-/-), dinding posterior faring normal, warna mukosa merah
muda.
 Leher: Trakea ditengah, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, tidak teraba
benjolan
 Toraks:
a. Pulmo:
Inspeksi : Bentuk normal, simetris dalam keadaan diam dan
pergerakan nafas, tidak ada retraksi otot-otot pernafasan
Palpasi : Stem fremitus kiri dan kanan sama kuat
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler di seluruh lapang paru, ronkhi (-/-), wheezing
(-/-)
b. Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V MCL dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, tidak ada bunyi jantung
tambahan
 Abdomen:
Inspeksi : perut tampak membuncit, spider naevi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Pekak, fluid wave (-), shifting dullness (-).
Palpasi : tegang, nyeri tekan (+) di epigastrik, turgor normal,
massa (-), hepar dalam batas normal.
 Ekstremitas: Akral hangat, CRT <2 detik, nadi teraba sama kuat kanan dan
kiri dan isi nadi cukup
 Tulang belakang: Tidak ada kelainan
 Kulit: Tidak ada kelainan
 Kelenjar Getah Bening: Tidak ada pembesaran KGB di preaurikular,
postaurikular, submental, submandibular, servikal, supraklavikula dan
inguinal
 Anus dan genitalia : tidak ada kelainan

38
Pemeriksaan Neurologis

Tidak dilakukan pemeriksaan

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah

DARAH NORMAL HASIL (16-04-2019)

Hemoglobin 11,7-15,5 g/dL 13,9 g/dL

Hematokrit 35-47% 40,10%

Leukosit 3.600-11.000/L 8.600/L

Trombosit 150.000-400.000/L 286.000/L

KIMIA KLINIK NORMAL HASIL (14-04-2019)

SGOT 0-50 U/L 450 U/L (H)

SGPT 0-50 U/L 671 U/L (H)

Alkali fosfatase 42-98 241 (H)

Albumin 3.4 – 4.8 g/dL 4.2 g/dL

Bilirubin Total 0 – 1 mg/dL 5.19 mg/dL (H)

Bilirubin direk 0 – 0,35 mg/dL 3,98 mg/dL (H)

Bilirubin indirek 0 – 0,65 mg/dL 1,21 mg/dL (H)

IMUNOLOGI NORMAL HASIL

HBsAg kualitatif Negatif Negatif

ELEKTROLIT NORMAL HASIL

CALCIUM 1-1.15 mmol /L 1.13 mmol /L

39
NATRIUM 135-147 mmol /L 140 mmol /L

KALIUM 3.5-5 mmol /L 3.7 mmol/L

DIABETES NORMAL HASIL

GDS 70-110 Mg/dL 86 Mg/dL

Pemeriksaan USG Abdomen (25-11-2019)

Gambar 3.1 Gambaran USG Hepar

Gambar 3.2 Gambaran USG Aorta dan Gallbladder

40
Gambar 3.3 Gambaran USG Ginjal Kanan-Kiri dan Lien

Gambar 3.4 Gambaran USG Bladder, Uterus dan Lien

HEPAR ukuran dan bentuk normal, parenkim homogen, eksogenitas normal, tepi
rata, sudut tajam, tak tampak nodul, V. Porta dan V. Hepatika tak melebar. Duktus
biliaris intra-ekstrahepatal tak melebar.

VESIKA FELEA tidak membesar, dinding tak menebal, tampak batu multiple
yang saling berkonglomerasi dengan ukuran rerata 0,8cm, tak tampak sludge.

LIEN ukuran normal, parenkim homogen, V. Lienalis tidak melebar, tidak


tampak nodul.

PANKREAS ukuran normal, parenkim homogen, duktus pankreatikus tidak


melebar.

41
GINJAL KANAN ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, PCS
tidak melebar, tidak tampak batu, tidak tampak massa

GINJAL KIRI ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, PCS tidak
melebar, tak tampak batu, tak tampak massa.

AORTA tak tampak melebar. Tidak tampak pembesaran limfonodi paraaorta.

VESIKA URINARIA dinding tidak menebal, reguler, tidak tampak batu/massa.

UTERUS ukuran normal, posisi antefleksi, parenkim homogen, tak tampak


massa, endometrial line baik.

tak tampak efusi pleura. Tampak cairan minimal di cavum Douglas.

KESAN:

 Multiple kolelitiasis (saling berkonglomerasi dengan ukuran rerata


0,8cm).

 Cairan minimal di cavum Douglas.

 Tak tampak kelainan lain pada sonografi organ- organ intra abdomen
di atas saat ini.

3.5 Diagnosa Kerja

 Multiple Kolelitiasis

3.6 Tatalaksana

 Ursodeoxycholic Acid 250 mg- PO ; Jumlah : (9)

3X1

 Cefixime 100 mg- PO ; Jumlah : (12): 2 X 2

 Curcuma tab- PO ; Jumlah : (9) 3 X 1;

3.7 Rencana Evaluasi

 Keadaan umum dan tanda-tanda vital


 Hasil laboratorium

42
 Awasi timbulnya komplikasi

3.8 Edukasi

 Penjelasan mengenai kemungkinan penyebab dan mekanisme penyakit


yang diderita

 Penjelasan mengenai tatalaksana

 Penjelasan mengenai kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi

3.9 Prognosis

 Ad vitam : dubia ad bonam


 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad functionam : dubia ad bonam

43
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien adalah seorang perempuan usia 21 tahun datang ke RSUD KRMT


Wongsonegoro Semarang pada tanggal 22 November 2019 dengan nyeri
epigastrium. Keluhan nyeri dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Selain nyeri, pasien
juga mengeluhkan BAB dan BAK yang bercampur darah. Pasien tidak pernah
mengalami nyeri seperti ini sebelumnya. Pasien belum mengonsumsi obat apapun
untuk mengatasi nyeri tersebut.

Faktor resiko yang dapat ditemukan pada pasien adalah gender. Keluhan
yang dialami pasien sesuai dengan literatur, seperti nyeri yang hilang timbul pada
area atas perut.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya nyeri tekan di epigastrik. Hal


ini sesuai dengan literatur mengenai adanya nyeri tekan pada penderita
kolelithiasis.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien sudah tepat, yaitu


pemeriksaan USG. Dari hasil pemeriksaaan USG abdomen didapatkan adanya
kolelitiasis multiple dengan ukuran batu rerata 0.8cm.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Bloom AA, Katz J. Cholecystitis. Diunduh tanggal : 28 April 2019. Dari


[online] http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview
2. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th
edition. 2007. US : McGraw-Hill Companies.826-42.
3. Adam. Gallstones and gallbladder disease. [Online] [2018 Januari 16] [cited
2019 Oct 10] Available from:URL: http://aia5.adam.com/content.aspx?
productId=10&pid=10&gid=000010
4. Welling TH, Simeone D. M.Gallbladder and Biliary Tract: Anatomy and
Structural Anomalies, in Textbook of Gastroenterology (ed T. Yamada),
Blackwell Publishing Ltd., Oxford, UK. 2008
5. Heuman DM, Katz J. Cholelithiasis. Diunduh tanggal : 10 oct 2019. Dari
[online] http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview
6. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th
edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
7. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. Hal 477-478
8. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin
Gastroenterol Hepatology. Sep 9 2009
9. Greenbergen N.J., Isselbacher K.J. Diseases of the Gallbladder and Bile
Ducts, dari Harrison’s Principles of Internal Medicine, Edisi ke-14. Mc Graw
Hill, 1998. hal.1725-1736
10. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380-
4.

45

Anda mungkin juga menyukai