Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
Di RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
Disusun oleh:
Sandi Asbandi
406191028
Pembimbing:
dr. Luh Putu E Santi M, Sp.Rad
1
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh:
Sandi Asbandi (406191028)
Laporan kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat
ujian kepaniteraan klinik di bagian departemen Ilmu Radiologi RSUD K.R.M.T.
Wongsonegoro Semarang
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan baik. Maksud dan tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah untuk
memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara masa periode 17 November – 22 Desember 2019 di
Rumah Sakit Umum Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.
Penulis
3
DAFTAR ISI
JUDUL.................................................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................................3
DAFTAR ISI.....................................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................6
2.1 Kandung Empedu
Anatomi.....................................................................................................6
Fisiologi.....................................................................................................7
2.2 Kolelistitis dan Kolelitiasis
Definisi......................................................................................................9
Etiologi....................................................................................................10
Epidemiologi...........................................................................................13
Patogenesis..............................................................................................13
Manifestasi Klinis....................................................................................20
Diagnosis.................................................................................................21
Diagnosis Banding...................................................................................27
Penatalaksanaan ......................................................................................28
4
BAB IV PEMBAHASAN...............................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................45
BAB I
PENDAHULUAN
5
seiring bertambahnya usia. Diperkirakan bahwa sekitar 20% pasien dewasa yang
berusia lebih dari 40 tahun dan 30% yang berusia lebih dari 70 tahun
menunjukkan adanya pembentukan batu saluran empedu. Pada usia reproduksi,
rasio wanita dibandingkan pria adalah sekitar 4:1, sementara pada usia lanjut
umumnya angka kejadian hampir sama pada kedua jenis kelamin.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Anatomi
6
Gambar 1 Anatomi Kandung Empedu3
7
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.
Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum
interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan
dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran
ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu
duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum
disalurkan ke duodenum.2
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak
kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin
dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan
kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada
ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan
masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu
dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan
membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Proses koordinasi kedua aktifitas ini
disebabkan oleh dua hal yaitu:2
a) Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai
duodenum akan merangsang mukosa sehingga hormon
Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar
peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
b) Neurogen:
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari
sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit.
8
Komposisi Cairan Empedu
Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu
Air 97,5 gm % 95 gm %
Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %
Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %
Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %
Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %
Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %
Elektrolit - -
a. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua
macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah:
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang
terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar
dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna
lebih lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan
vitamin yang larut dalam lemak.
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-
kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian
besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi
kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan
bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu
tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada
gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau
reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu.
b. Bilirubin
9
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole
menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat
ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas
diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide. Bila
terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan maka bilirubin yang
terbentuk sangat banyak.
10
kolelitiasis, yang umumnya disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan
dan demam.1
2.2.2 Etiologi
Etiologi, faktor risiko dan patogenesis untuk kolesistitis umumnya akan berbeda-
beda menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan batu pigmen).
Batu kolesterol
Jenis kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.
Suku bangsa
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu
empedu bisa berjalan dalam keluarga. Di negara Barat penyakit ini sering
dijumpai, di Amerika Serikat 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu
kandung empedu. Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih
dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di negara lain
selain AS, Chile dan Swedia.
Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda. Usia rata-rata
tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun.
11
Obesitas
Sindroma metabolik terkait obesitas, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II,
hipertensi, dan hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi
kolesterol hepar dan merupakan faktor risiko utama untuk terbentuknya batu
kolesterol.
Kehamilan
Batu kolesterol lebih sering ditemukan pada wanita yang sudah mengalami
lebih dari satu kali kehamilan. Faktor utama yang diperkirakan turut berperan
pada risiko ini adalah tingginya kadar progesteron selama kehamilan.
Progesteron dapat mengurangi kontraktilitas kandung empedu, sehingga
menyebabkan terjadinya retensi yang lebih lama dan pembentukan cairan
empedu yang lebih pekat di dalam kandung empedu.
Stasis cairan empedu
Penyebab lain dari stasis kandung empedu yang berhubungan dengan
peningkatan risiko batu empedu meliputi cedera medula spinalis, puasa jangka
panjang dengan pemberian nutrisi parenteral total saja, serta penurunan berat
badan cepat akibat restriksi kalori dan lemak yang berat (seperti diet, operasi
gastric bypass).7
Obat-obatan
Terdapat sejumlah obat yang berhubungan dengan pembentukan batu
kolesterol. Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau terapi kanker
prostat dapat meningkatkan risiko batu kolesterol dengan meningkatkan sekresi
kolesterol empedu. Clofibrate dan obat hipolipidemia fibrat lain dapat
meningkatkan eliminasi kolesterol hepar hepatik melalui sekresi biliaris dan
nampaknya dapat meningkatkan risiko terbentuknya batu kolesterol. Analog
somatostatin nampak menjadi predisposisi terbentuknya baru empedu dengan
mengurangi proses pengosongan batu empedu.5,7
Faktor keturunan
Penelitian pada kembar identik dan fraternal menunjukkan bahwa sekitar 25%
kasus batu kolesterol memiliki predisposisi genetik. Terdapat sekurangnya satu
lusin gen yang berperan dalam menimbulkan risiko ini. Dapat terjadi suatu
sindroma kolelitiasis terkait kadar fosfolipid yang rendah pada individu dengan
12
defisiensi protein transport bilier herediter yang diperlukan untuk sekresi
lecithin.7
2.2.3 Epidemiologi
13
dibandingkan pria adalah sekitar 4:1, sementara pada usia lanjut umumnya angka
kejadian hampir sama pada kedua jenis kelamin.
Sembilan puluh persen kasus kolesistitis terjadi akibat adanya batu duktus
sistikus (kolesistitis kalkulosa), sementara 10% sisanya merupakan kasus
kolesistitis akalkulosa. Dari semua warga Amerika Serikat yang menderita
kolelitiasis, sekitar sepertiganya juga menderita kolesistitis akut.2
2.2.4. Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan
yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus.
14
mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami
perkembangan batu empedu.
A. Batu Kolesterol1,6
15
kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti
ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut :
o Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan
lecithin jauh lebih banyak.
o Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi
supersaturasi.
o Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet)
o Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.
o Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan
ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi
enterohepatik).
o Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain
menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang
lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol
sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu
untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi
kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang
sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi
kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi
akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita
Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama,
setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi
kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa
kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.
16
B. Batu pigmen2
Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan
eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada
keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin
17
menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga
oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan
bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing
ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti
batu adalah dari cacing tambang.
C. Batu campuran6
18
saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan
respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol,
lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung
empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.
19
termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi,
diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu
(misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi
parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama
dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler,
sifilis, tuberkulosis, aktinomises).9
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu
tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk
mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi kondisi statis dari cairan
empedu.
A. Asimtomatik
B. Simtomatik
20
pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak,
terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian
pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan
muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris.6
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik
perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan
suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang
rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai
60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari
adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi
kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan
yang sembuh spontan.
21
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya.
2.2.6. Diagnosis
A. Anamnesis
B. Pemeriksaan Fisik
22
Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang
teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah
kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.1
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu.
Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam
duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan
akut.1
Pemeriksaan radiologis
o Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar
kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut
dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang
menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.1
23
Gambar 4 Gambaran batu di dalam kandung empedu pada foto polos
abdomen.3
o Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.1
o Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan
gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2
mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral
lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
24
Gambar 5 Hasil USG pada kolelitiasis (kiri); hasil kolesistografi pada
kolesistitis (kanan).5
25
kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya
keganasan pada kandung empedu.
26
pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong
kolesistitis akut.6
27
Untuk kolelitiasis, dapat dipertimbangkan kemungkinan adanya patologi
intra-abdominal maupun ekstra-abdominal yang menyebabkan nyeri abdomen
bagian atas. Beberapa penyakit yang perlu dipertimbangkan adalah penyakit ulkus
peptik, pankreatitis (akut atau kronik), hepatitis, dispepsia, gastroesophageal
reflux disease (GERD), irritable bowel syndrome, spasme esofagus, pneumonia,
nyeri dada karena penyakit jantung, ketoasidosis diabetik, apendisitis, striktura
duktus biliaris, kolangiokarsinoma, kolesistitis, atau kanker pankreas.4
2.2.8. Penatalaksanaan
28
kongenital atau kandung empedu yang tidak berfungsi, atau pasien yang menjalani
operasi kolektomi.
A. Penatalaksanaan konservatif
B. Penatalaksanaan Operatif
29
tinggi dari risiko pada penyakit simptomatik, namun Sekitar 25% pasien dengan
batu empedu asimptomatik akan mengalami gejala dalam waktu 10 tahun.
Individu dengan diabetes dan wanita hamil perlu menjalani pengawasan ketat
untuk menentukan apakah mereka mulai mengalami gejala atau komplikasi.
Terdapat beberapa indikasi untuk melakukan kolesistektomi pada batu empedu
asimpomatik, antara lain adalah:
Sirosis
Hipertensi porta
Anak-anak
Kandidat transplantasi
Diabetes dengan gejala minor
Pasien dengan kalsifikasi kandung empedu
Pada pasien kolelitiasis yang diputuskan akan menjalani terapi operatif,
terdapat beberapa teknik pembedahan yang dapat digunakan:
Kolesistektomi
Pengambilan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan
pada pasien yang mengalami gejala atau komplikasi akibat adanya batu
30
empedu, kecuali usia atau kondisi umum pasien tidak memungkinkan
dilakukannya operasi. Pada beberapa kasus empiema kandung empedu, dapat
dilakukan drainase pus sementara dari kandung empedu (kolesistostomi)
sehingga memungkinkan dilakukannya stabilisasi, untuk nantinya dilanjutkan
dengan terapi kolesistektomi elektif.
Pada pasien dengan batu empedu yang dicurigai juga memiliki batu di
saluran empedu, dokter bedah dapat melakukan kolangiografi intraoperatif
pada saat operasi kolesistektomi. Duktus biliaris komunis dapat dieksplorasi
menggunakan koledokoskop. Bila ditemukan adanya batu duktus biliaris
komunis, maka biasanya akan dilakukan ekstraksi intraoperatif. Alternatif lain
yang dapat ditempuh, dokter bedah dapat membuat sebuah fistula antara bagian
distal duktus biliaris dan duodenum di sebelahnya (koledokoduodenostomi),
sehingga batu dapat masuk ke dalam usus dengan aman.
Kolesistektomi yang pertama dilakukan pada akhir tahun 1800an.
Pendekatan operasi terbuka yang dikembangkan oleh Langenbuch masih
menjadi teknik standar sampai akhir tahun 1980an, dimana mulai
diperkenalkan teknik baru berupa kolesistektomi laparoskopik.
Kolesistektomi laparoskopik merupakan revolusi terapi minimal invasif,
yang telah mempengaruhi semua area praktek bedah modern. Saat ini,
kolesistektomi terbuka hanya dilakukan pada kondisi tertentu saja. pendekatan
kolesistektomi terbuka dilakukan menggunakan sebuah insisi subkostal kanan
yang besar. Sebaliknya, kolesistektomi laparoskopik menggunakan 4 insisi
yang sangat kecil. Waktu pemulihan dan nyeri paskaoperasi nampak jauh lebih
rendah pada pendekatan laparoskopik.
Saat ini, kolesistektomi laparoskopik biasanya dilakukan di klinik rawat
jalan. Dengan mengurangi waktu rawat inap dan waktu yang terbuang selama
pasien tidak dapat bekerja, pendekatan laparoskopik juga dapat mengurangi
biaya kolesistektomi.
Pada pedoman penggunaan klinis operasi laparoskopik saluran biliaris
yang dipublikasikan tahun 2010, Society of American Gastrointestinal and
Endoscopic Surgeons (SAGES) menyatakan bahwa pasien dengan kolelitiasis
simptomatik dianggap memenuhi syarat untuk operasi laparoskopik. Pasien
31
kolelitiasis dengan kolesistektomi laparoskopik tanpa komplikasi dapat
dipulangkan di hari yang sama bila nyeri dan mual paskaoperasi sudah
terkendali dengan baik. Pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dapat
menunjukkan risiko yang lebih besar untuk kembali dirawat di rumah sakit.5
Selama melakukan kolesistektomi laparoskopik, seorang dokter bedah
harus mengambil semua batu yang tidak sengaja keluar melalui perforasi pada
kandung empedu. Pada beberapa kasus tertentu, mungkin perlu dilakukan
perubahan menjadi operasi terbuka. Pada pasien dengan batu empedu yang
masuk dan hilang di cavum peritoneum, direkomendasikan untuk melakukan
pemeriksaan follow-up dengan USG selama 12 bulan. Sebagian besar kejadian
komplikasi (biasanya terbentuk abses di sekitar batu) akan terjadi dalam jangka
waktu ini.
Komplikasi yang paling ditakuti dari kolesistektomi adalah kerusakan
pada duktus biliaris komunis. Kejadian cedera duktus biliaris nampak semakin
meningkat sejak dikembangkannya teknik kolesistektomi laparoskopik, namun
kejadian dari komplikasi ini sudah mulai berkurang seiring bertambahnya
pengalaman dan pelatihan yang dilakukan oleh para dokter bedah dalam bidang
operasi minimal invasif.7
Kolesistostomi
Pada pasien yang berada dalam kondisi sakit kritis dengan empiema
kandung empedu dan sepsis, operasi kolesistektomi dapat berbahaya. Pada
kondisi ini, dokter bedah dapat memilih untuk melakukan kolesistostomi, suatu
prosedur minimal invasif yang dilakukan dengan memasang pipa drainase di
kandung empedu. Teknik ini biasanya dapat memperbaiki kondisi klinis
pasien. saat pasien sudah stabil, dapat dilakukan kolesistektomi definitif secara
elektif.
Pada beberapa kasus, kolesistostomi juga dapat dilakukan oleh spesialis
radiologi invasif menggunakan panduan dari CT-scan. Pendekatan ini tidak
32
memerlukan anestesi dan nampak bermanfaat untuk pasien dengan kondisi
klinis yang tidak stabil.2
C. Komplikasi Kolesistektomi
A. Terapi konservatif
33
antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti
peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan
metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang umum
terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun
pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram
negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi.2,7
B. Terapi bedah
34
kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada
kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons
terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi
menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).
Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani
kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi
bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis
keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien
yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan.
35
BAB III
LAPORAN KASUS
Pasien masuk ke IGD RSUD KRMT Wongsonegoro, Semarang pada hari Jumat
tanggal 22 November 2019.
3.2 Anamnesis
Pasien tidak pernah mengalami sesak seperti ini sebelumnya. Pasien belum
mengonsumsi obat apapun untuk mengatasi sesaknya. Riwayat darah tinggi,
36
kencing manis, dan penyakit lainnya disangkal oleh pasien. Pasien juga
menyangkal riwayat alergi dan riwayat trauma. Pasien post SC 3 bulan yang lalu.
Keluarga pasien mengaku tidak ada anggota keluarga mengalami hal yang
serupa dengan pasien. Ayah pasien memiliki riwayat darah tinggi. Riwayat
kencing manis, dan penyakit lain pada keluarga disangkal.
Riwayat Kebiasaan
Pemeriksaan Sistem
Kepala: Bentuk normal (normocephali), rambut putih terdistribusi merata,
tidak ada benjolan
Mata : palpebral simetris, cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera
tidak ikterik, pupil bulat isokor D 3 mm, reflex cahaya pupil normal
Telinga : Serumen (-/-), tidak nyeri, tidak bengkak
Hidung : Simetris, secret (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
Mulut : bentuk simetris, perioral sianosis (-), mukosa rongga mulut warna
merah muda, mukosa lidah normal. Arkus faring anterior/posterior normal,
tonsil palatina ukuran T1-T1 warna merah muda, kripta tonsil normal,
37
detritus tonsil (-/-), dinding posterior faring normal, warna mukosa merah
muda.
Leher: Trakea ditengah, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, tidak teraba
benjolan
Toraks:
a. Pulmo:
Inspeksi : Bentuk normal, simetris dalam keadaan diam dan
pergerakan nafas, tidak ada retraksi otot-otot pernafasan
Palpasi : Stem fremitus kiri dan kanan sama kuat
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler di seluruh lapang paru, ronkhi (-/-), wheezing
(-/-)
b. Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V MCL dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, tidak ada bunyi jantung
tambahan
Abdomen:
Inspeksi : perut tampak membuncit, spider naevi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Pekak, fluid wave (-), shifting dullness (-).
Palpasi : tegang, nyeri tekan (+) di epigastrik, turgor normal,
massa (-), hepar dalam batas normal.
Ekstremitas: Akral hangat, CRT <2 detik, nadi teraba sama kuat kanan dan
kiri dan isi nadi cukup
Tulang belakang: Tidak ada kelainan
Kulit: Tidak ada kelainan
Kelenjar Getah Bening: Tidak ada pembesaran KGB di preaurikular,
postaurikular, submental, submandibular, servikal, supraklavikula dan
inguinal
Anus dan genitalia : tidak ada kelainan
38
Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan Darah
39
NATRIUM 135-147 mmol /L 140 mmol /L
40
Gambar 3.3 Gambaran USG Ginjal Kanan-Kiri dan Lien
HEPAR ukuran dan bentuk normal, parenkim homogen, eksogenitas normal, tepi
rata, sudut tajam, tak tampak nodul, V. Porta dan V. Hepatika tak melebar. Duktus
biliaris intra-ekstrahepatal tak melebar.
VESIKA FELEA tidak membesar, dinding tak menebal, tampak batu multiple
yang saling berkonglomerasi dengan ukuran rerata 0,8cm, tak tampak sludge.
41
GINJAL KANAN ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, PCS
tidak melebar, tidak tampak batu, tidak tampak massa
GINJAL KIRI ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, PCS tidak
melebar, tak tampak batu, tak tampak massa.
KESAN:
Tak tampak kelainan lain pada sonografi organ- organ intra abdomen
di atas saat ini.
Multiple Kolelitiasis
3.6 Tatalaksana
3X1
42
Awasi timbulnya komplikasi
3.8 Edukasi
3.9 Prognosis
43
BAB IV
PEMBAHASAN
Faktor resiko yang dapat ditemukan pada pasien adalah gender. Keluhan
yang dialami pasien sesuai dengan literatur, seperti nyeri yang hilang timbul pada
area atas perut.
44
DAFTAR PUSTAKA
45