FORENSIK PATOLOGI
Penyusun :
Ingriani Wionika (406182048)
Penguji:
dr. Fitri Ambar Sari, SpF
dengan sebenarnya menyatakan bahwa makalah ini kami susun tanpa tindakan
plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata kami melakukan tindakan plagiarisme, kami akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas
Indonesia kepada kami.
Ingriani Wionika
Plagiarisme adalah tindakan seseorang yang mencuri ide atau pikiran yang telah
ditunagkan dalam bentuk tertulis dan/atau tulisan orang lain dan yang digunakannya
dalam tulisannya seolah-olah ide atau tulisan orang lain tersebut adalah ide, pikiran,
dan/atau tulisan sendiri sehingga merugikan orang lain baik material maupun
nonmaterial, dapat berupa pencurian sebuah kata, frasa, kalimat, paragraph, atau
bahkan pencurian bab dari tulisan atau buku seseorang, tanpa menyebutkan sumbernya,
termasuk dalam plagiarisme adalah plagiarisme diri.
ii
DAFTAR ISTILAH
Jo = Junto
KUHP = Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHAP = Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
VeR = Visum et Repertum
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
RINGKASAN KASUS
Nama : Nn. K
Tempat/Tgl Lahir : Majalengka, 20 Juni 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Rusun Tambora Alok A Anggrek RT5/11 Angke
Nomor RM : 3603A08
2
2.5 Riwayat Kasus
Pada hari Sabtu, 29 Agustus 2015, pukul 16.42 WIB, sesosok mayat
perempuan dibawa ke ruang pemeriksaan forensik RSCM oleh Kepala kepolisian
Sektor Metropolitan Tamansari Jakarta Barat dengan keterangan dugaan bunuh diri
di kost Prima lantai 3 No.18B Taman Sari pada hari Sabtu 29 Agustus 2015 pukul
12.00 WIB. Pihak kepolisian mengeluarkan Surat Permintaan Visum et Repertum
untuk dilakukan pemeriksaan pada mayat itu.
3
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Cara kematian dapat terbagi mejadi kematian wajar dan kematian tidak
wajar. Kematian wajar (natural death) adalah kematian yang terjadi semata-
mata akibat penyakit, sedangkan kematian tidak wajar (unnatural death) adalah
kematian yang terjadi akibat cedera atau luka atau pada individu yang semula
telah mengidap penyakit dan kematiannya dipercepat dengan adanya cedera atau
luka. Dalam prosedur medikolegal terkait kematian tidak wajar, pihak kepolisian
dapat meminta pemeriksaan oleh ahli kedokteran forensic atau dokter ataupun
ahli lainnya sebagaimana tertulis dalam Pasal 133 KUHAP ayat 1 yang isinya,
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan tau ahli lainnya”. Pada
ayat 2 dari pasal yang sama, dijabarkan pula bahwa, “Permintaan keterangan
ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang
dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dana tau pemeriksaan bedah mayat” Permintaan keterangan
ahli dapat diajukan oleh penyidik secara tertulis kepada ahli kedokteran
kehakiman, dokter atau ahli lainnya yang bertujuan untuk kepentingan
peradilan.1,4,5
Visum et repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter,
berisi temuan dan pendapat berdasarkan keilmuan tentang hasil pemeriksaan
medis terhadap manusia atau bagian dari tubuh manusia, baik yang hidup
maupun mati atas permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang yang dibuat
atas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Berdasarkan KUHAP Pasal 184, visum et repertum merupakan alat bukti yang
sah yang dapat digunakan dalam proses penyidikan.4
4
Visum et repertum dimintakan oleh penyidik yang merupakan Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia menurut KUHAP Pasal 6 ayat (1) Jo Peraturan
Pemerintah No. 27 tahun 1983 pasal 2 ayat (1) melalui Surat Permintaan Visum.
Penyidik yang dimaksud adalah Penjabat Polisi Negara RI yang memiliki
wewenang berdasarkan UU, dengan pangkat serendah-rendahnya adalah
Pembantu Letnan Dua, dan untuk penyidik pembantu serendah-rendahnya
Sersan Dua. Pada kondisi ketidak adaan penjabat dengan minimal pangkat sesuai
dengan UU, maka Kepala Kepolisian Sektor yang pangkat bintara (satu tingkat
dibawah Pembantu Letnan Dua) dapat menjadi penyidik.1
Pada kasus ini, terdapat surat permintaan visum dari Kepala Kepolisian
Sektor Metropolitan Tamansari Jakarta Barat untuk RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta Pusat, dengan nomor polisi 105/VS/VIII/2015. Hal ini
merupakan penerapan dari pasal 133 KUHAP ayat 1 yang menyatakan: “Dalam
hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”1 Pada surat permintaan
visum, dituliskan penyidik membawa korban mati atas dugaan bunuh diri, maka
visum et repertum yang dibuatkan adalah visum jenazah.
Pada kasus ini tergolong kematian tidak wajar, terdapat kemungkinan
tindakan bunuh diri, namun kemungkinan adanya unsur pidana berupa
pembunuhan pada kasus ini belum dapat disingkirkan. Perbuatan yang
menyebabkan hilangnya nyawa orang lain diatur dalam Pasal 338 KUHP yang
berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Sedangkan bunuh diri diatur dalam Pasa 345 KUHP yang berbunyi “Barang siapa
yang mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu
atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri”. Pasal 345 KUHP pada
dasarnya melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat
dimaksudkan mendorong orang lain untuk bunuh diri, melarang orang yang
dengan sengaja melakukan perbuatan yang ditujukan untuk menolong orang lain
5
dalam melakukan bunuh diri, dan melarang orang yang dengan sengaja
melakukan perbuatan yang dapat dimaksudkan untuk memberikan sarana pada
orang yang diketahui akan bunuh diri.5
3.2 Tanatologi
6
mumifikasi. Tanda kematian pasti ini dapat digunakan untuk menentukan waktu
kematian.1,8
Lebam mayat (livor mortis) adalah tanda dimana eritrosit menempati tempat
terbawah akibat gaya gravitasi dan mengisi vena dan venula sehingga membentuk
bercak berwarna merah ungu pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian
tubuh yang tertekan alas keras. Lebam mayat mulai tampak 20-30 menit pasca mati,
makin lama intensitasnya bertambah dan menjadi semakin lengkap dan menetap
setelah 8-12 jam. Sebelum waktu itu, lebam mayat masih dapat hilang pada
penekanan dan dapat berpindah jika posisi mayat diubah.1,8
Kaku mayat (rigor mortis) merupakan kekakuan yang muncul akibat
cadangan glikogen yang semakin habis dan tidak terbentuknya ATP sehingga aktin
dan myosin akan menggumpal dan mengakibatkan otot menjadi kaku. Kaku mayat
mulai tampak sekitar 2 jam setelah kematian klinis mulai dari otot-otot kecil ke arah
otot besar secara sentripetal. Dalam waktu 12 jam kematian klinis, kaku mayat akan
menjadi lengkap dan menetap selama 12 jam berikutnya dan kemudian menghilang.
Terdapat kekakuan pada mayat yang menyerupai kaku mayat yaitu cadaveric
spasm, heat stiffening, dan cold stiffening.1,8
Penurunan suhu (algor mortis) dapat terjadi akibat pemindahan panas antar
permukaan dari benda yang lebih rendah suhunya secara radiasi, konduksi,
evaporasi, dan konveksi. Kecepatan penurunan suhu tubuh dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti suhu lingkungan, aliran dan kelembapan udara, bentuk tubuh, posisi
tubuh, dan pakaian.1,8
Pada kasus ini, lebam mayat terdapat pada bagian punggung perut, lengan,
leher dan paha, masih hilang pada penekanan. Dari lebam mayat, diperoleh waktu
kematian terjadi dalam waktu 20 menit – 12 jam sebelum pemeriksaan. Kaku mayat
terdapat pada jari-jari tangan dan kaki, serta rahang, masih mudah dilawan. Dari
kaku mayat diperoleh waktu kematian terjadi dalam waktu 2 jam -12 jam sebelum
pemeriksaan. Dari lebam mayat dan kaku mayat, dapat disimpulkan waktu
kematian pada kasus ini terjadi dalam waktu 2 jam -12 jam sebelum pemeriksaan.1,8
Pembusukan merupakan proses degradasi jaringan yang terjad akibat
autolisis dan kerja bakteri. Autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan
akibat enzim digestif pasca kematian. Proses kedua merupakan kerja bakteri dimana
7
bakteri yang terlibat adalah Clostridium welchii. Pembusukan sendiri dapat terjadi
sejak 24 jam pasca kematian, yang dimulai dari perut bagian kanan bawah (caecum)
dengan warna kehijauan.1,8
Adiposera adalah kondisi terbentuknya bahan keputihan, lunak, ataupun
berminyak dalam jaringan lunak tubuh mayat. Adiposera ini terdiri atas asam lemak
tak jenuh yang terhidrolisis serta mengalami hidrogenasi hingga asam lemak tidak
jenuh tersebut dapat tercampur dengan sisa otot dan jaringan ikat serta saraf.1,8
Mumifikasi merupakan proses penguapan cairan (dehidrasi hebat) terkait
suhu yang tinggi dan berdampak pada pengeringan jaringan serta menghambat
proses pembusukan. Mumifikasi dapat terjadi pada lingkungan yang sifatnya
hangat, kelembapan rendah, aliran udara yang baik dan tubuh dalam kondisi
terdehidrasi selama 12-14 minggu.1,8
Cara kematian dapat dibagi menjadi dua yaitu kematian wajar dan tidak
wajar. Suatu kematian disebut wajar apabila orang tersebut berada dalam perawatan
seorang dokter, diagnosis penyakitnya telah diketahui dan kematiannya diduga
karena penyakit tersebut. Pada kematian yang terjadi dalam perawatan di Rumah
Sakit atau dalam perawatan seorang dokter, umumnya dokter dapat memastikan
bahwa kematian tersebut adalah kematian wajar. Cara kematian yang tidak wajar
adalah pembunuhan, bunuh diri dan kecelakaan.5
Mekanisme kematian adalah suatu keadaan patofisiologis yang diakibatkan
oleh sebab kematian. Pada asfiksia, paling sering ditemukan adalah asfiksia
mekanik yang dapat menimbulkan beberapa keadaan seperti obstruksi jalan nafas,
kompresi pembuluh darah leher, perangsangan sinus karotikus dan perubahan
biokimia dan sirkulasi. Mekanisme kematian merupakan cerminan dari bagaimana
cara seseorang tersebut mati. Sebab mati merupakan perlukaan, kejadian atau
penyakit yang menimbulkan kekacauan fisik sehingga mengakibatkan kematian.
Sebab kematian umumnya dapat ditegakkan bila dilakukan pemeriksaan bedah
jenazah menyeluruh.5
8
3.3 Asfiksia
9
yang mungkin terjadi akibat korban melawan; luka memar atau lecet pada bagian /
permukaan dalam bibir akibat bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan
lidah; luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh korban. Selanjutnya
ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pembedahan
jenazah.1
Gagging atau chocking adalah terjadi sumbatan jalan napas oleh benda
asing yang mengakibatkan hambatan udara untuk masuk ke paru-paru. Gagging
merupakan sumbatan yang terdapat dalam orofaring, sedangkan choking adalah
sumbatan yang terdapat dalam laringofaring. Kematian dapat terjadi akibat bunuh
diri, pembunuhan dan kecelakaan. Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan
tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pembedahan jenazah.
Dalam rongga mulut dapat ditemukan sapu tangan, kertas koran, gigi palsu, dan
sebagainya.1
Pencekikan (manual strangulation) adalah penekanan leher dengan tangan,
yang menyebabkan dinding saluran pernapasan bagian atas tertekan dan terjadi
penyempitan saluran napas sehingga udara pernapasan tidak dapat lewat.
Mekanisme kematian pada pencekikan dapat diakibatkan oleh asfiksia dan refleks
vagal. Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan perbendungan pada muka dan
kepala karena pembuluh darah vena dan arteri yang superfisial turut tertekan.
Tanda-tanda kekerasan pada leher dapat ditemukan luka-luka lecet pada kulit,
dangkal, berbentuk bulan sabut akibat penekanan kuku jari; luka-luka memar pada
kulit; bekas tekanan jari; memar atau perdarahan pada otot-otot bagian dalam leher;
fraktur pada tulang lidah (os hyoid). Bila mekanisme kematian adalah asfiksia,
maka akan ditemukan tanda-tanda asfiksia. Bila mekanisme kematian adalah
refleks vagal, maka tidak ada tekanan intravascular untuk dapat menimbulkan
perbendungan (tidak ada perdarahan petekial, tidak ada edema pulmoner, dan pada
otot-otot leher bagian dalam hampir tidak ditemukan perdarahan.1
Penjeratan (strangulation) adalah penekanan benda asing, melingkari atau
mengikat leher yang makin lama makin kuat, sehingga saluran pernapasan tertutup.
Mekanisme kematian pada penjeratan adalah akibat asfiksia atau refleks vaso-vagal
(perangsangan reseptor pada carotid body). Jejas jerat pada leher biasanya
mendatar, melingkari leher dan terdapat lebih rendah daripada jejas jerat pada kasus
10
gantung. Bila jerat kasar seperti tali, maka bila tali bergesekan pada saat korban
melawan akan menyebabkan luka lecet di sekitar jejas jerat, yg tampak jelas berupa
kulit yg mencekung berwarna coklat dengan perabaan kaku seperti kertas
perkamen. Pada otot-otot leher sebelah dalam tampak banyak resapan darah.1
Kasus gantung (Hanging) hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya
terdapat pada asal tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat.
Mekanisme kematian pada kasus gantung berupa kerusakan pada batang otak dan
medulla spinalis, asfiksia, iskemia otak, dan refleks vagal. Hal-hal yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan jenazah yaitu bila jerat kecil dan keras, terjadi
hambatan total arteri sehingga muka akan tampak pucat dan tidak terdapat ptekie
pada kulit maupun konjungtiva; bila jerat lebar dan lunak maka hambatan hanya
terjadi pada saluran pernapasan dan pada aliran vena dari kepala ke leher sehingga
akan tampak perbendungan pada daerah sebelah atas ikatan; jejas jerat terletak
relatif lebih tinggi pada leher dan tidak mendatar, melainkan lebih meninggi di
bagian simpul; kulit mencekung ke dalam sesuai dengan bahan penjeratnya,
berwarna coklat, perabaan kaku, pada tepi jejas dapat ditemukan luka lecet;
distribusi lebam mayat pada kasus gantung mengarah ke bawah yaitu pada kaki,
tangan dan genetalia eksterna, bila korban tergantung cukup lama. Pada korban
wanita, labium membesar dan terdapat lebam, sedangkan pada korban laki-laki hal
ini terjadi pada skrotum.1
11
3.4 Mekanisme dan Sebab
Pada kasus ini, ditemukan cara mati korban merupakan kematian tidak
wajar. Pada pemeriksaan luar ditemukan tanda-tanda kekerasan tumpul berupa
memar pada bibir dan leher. Pada hasil pemeriksaan dalam ditemukan bintik
perdarahan pada paru dan hati serta resapan darah pada otot leher. Maka mekanisme
kematian yang mungkin terjadi pada korban ini adalah asfiksia akibat pencekikan
(manual strangulation) dan asfiksia karena pembekapan (smothering). Mekanisme
kematian yang paling mungkin pada korban ini adalah asfiksia akibat pencekikan
oleh karena ditemukannya kekerasan tumpul berupa memar pada leher dan resapan
darah pada otot leher. Namun tidak menutup kemungkinan mekanisme kematian
pada korban ini adalah pembekapan oleh karena ditemukannya kekerasan tumpul
berupa memar pada bibir.
12
BAB IV
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
14