Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH UJIAN KASUS

FORENSIK PATOLOGI

Penyusun :
Ingriani Wionika (406182048)

Penguji:
dr. Fitri Ambar Sari, SpF

MODUK PRAKTIK KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
MEI 2019
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ingriani Wionika


NPM : 406182048

dengan sebenarnya menyatakan bahwa makalah ini kami susun tanpa tindakan
plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata kami melakukan tindakan plagiarisme, kami akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas
Indonesia kepada kami.

Jakarta, 5 Mei 2019

Ingriani Wionika

SK Rektor Universitas Indonesia No. 208/SK/R/UI/2009 tanggal 17 Maret 2009


tentang Pedoman penyelesaian masalah plagiarisme yang dilakukan oleh sivitas
akademika Universitas Indonesia

Plagiarisme adalah tindakan seseorang yang mencuri ide atau pikiran yang telah
ditunagkan dalam bentuk tertulis dan/atau tulisan orang lain dan yang digunakannya
dalam tulisannya seolah-olah ide atau tulisan orang lain tersebut adalah ide, pikiran,
dan/atau tulisan sendiri sehingga merugikan orang lain baik material maupun
nonmaterial, dapat berupa pencurian sebuah kata, frasa, kalimat, paragraph, atau
bahkan pencurian bab dari tulisan atau buku seseorang, tanpa menyebutkan sumbernya,
termasuk dalam plagiarisme adalah plagiarisme diri.

ii
DAFTAR ISTILAH

Jo = Junto
KUHP = Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHAP = Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
VeR = Visum et Repertum

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................................. i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................................... ii
DAFTAR ISTILAH ................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iv
BAB I: PENDAHULUAN........................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ..................................................................................................... 1
BAB II : RINGKASAN KASUS ................................................................................ 2
2.1 Surat Permintaan Visum .................................................................................. 2
2.2 Pemeriksaan Luar ............................................................................................. 2
2.3 Pemeriksaan Dalam .......................................................................................... 2
2.4 Identitas Korban................................................................................................ 2
2.5 Riwayat Kasus ................................................................................................... 3
BAB III : PEMBAHASAN KASUS ........................................................................... 4
3.1 Aspek Medikolegal pada Kasus ....................................................................... 4
3.2 Tanatologi........................................................................................................... 6
3.3 Asfiksia ............................................................................................................... 9
3.4 Mekanisme dan Sebab .................................................................................... 12
BAB IV: KESIMPULAN.......................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 14

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan berkurangnya oksigen


(hipoksia) dan meningkatkan karbon dioksida (hiperkapnea) dalam darah. Asfiksia
dapat disebabkan oleh penyebab alamiah, trauma mekanik dan keracunan bahan.1
Asfiksia merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak yang sering
ditemukan dalam kasus kedokteran forensik di dunia. Menurut data dari Centers for
Disease Control (CDC) tahun 1999-2004 didapatkan sekitar 20.000 kasus baik
kematian disengaja maupun tidak disengaja di Amerika Serikat.2
Di Indonesia sendiri kematian akibat asfiksia berada pada urutan ke-3
sesudah kecelakaan lalu lintas (KLL) dan trauma mekanik.3 Dengan maraknya
kejadian tersebut, seorang dokter haruslah mengerti dan memahami gambaran
asfiksia secara keilmuan medis. Terutama asfiksia mekanik, karena asfiksia jenis
inilah yang paling sering ditemui dalam kasus tindak pidana yang menyangkut
tubuh dan nyawa manusia. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, penulis membuat
makalah ini agar bisa digunakan sebagai sumber informasi oleh teman sejawat.

1
BAB II

RINGKASAN KASUS

2.1 Surat Permintaan Visum

No. Polisi : 105/VS/VIII/2015


Instansi : Kepolisian Sektor Metropolitan Tamansari Jakarta Barat
Tanggal : 29 Agustus 2015
Permintaan : Pembuatan Visum et Repertum Mayat
Perkara : Bunuh diri

2.2 Pemeriksaan Luar

Tanggal : 29 Agustus 2015


Waktu : pukul 16.42 WIB
Lokasi : Ruang Bedah Jenazah Departemen Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal RSUPN dr. Cipto Mangkusumo

2.3 Pemeriksaan Dalam

Tanggal : 30 Agustus 2015


Waktu : pukul 01.55 WIB
Lokasi : Ruang Bedah Jenazah Departemen Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal RSUPN dr. Cipto Mangkusumo

2.4 Identitas Korban

Nama : Nn. K
Tempat/Tgl Lahir : Majalengka, 20 Juni 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Rusun Tambora Alok A Anggrek RT5/11 Angke
Nomor RM : 3603A08

2
2.5 Riwayat Kasus

Pada hari Sabtu, 29 Agustus 2015, pukul 16.42 WIB, sesosok mayat
perempuan dibawa ke ruang pemeriksaan forensik RSCM oleh Kepala kepolisian
Sektor Metropolitan Tamansari Jakarta Barat dengan keterangan dugaan bunuh diri
di kost Prima lantai 3 No.18B Taman Sari pada hari Sabtu 29 Agustus 2015 pukul
12.00 WIB. Pihak kepolisian mengeluarkan Surat Permintaan Visum et Repertum
untuk dilakukan pemeriksaan pada mayat itu.

2.4 Ringkasan Temuan pada Kasus


Pada pemeriksaan terhadap mayat perempuan berusia dua puluh tiga tahun,
ras mongoloid, panjang tubuh 152 cm, berat tubuh 59 kg, golongan darah “O”,
dengan identitas khusus berupa tato bergambar wanita dengan sayap pada
punggung sisi kiri dan tato bergambar mawar merah dan kuning pada dada sisi
kanan, ditemukan :
- Memar pada bibir dan leher akibat kekerasan tumpul.
- Bintik perdarahan pada paru dan hati.
- Resapan darah pada otot leher.

3
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

3.1 Aspek Medikolegal pada Kasus

Cara kematian dapat terbagi mejadi kematian wajar dan kematian tidak
wajar. Kematian wajar (natural death) adalah kematian yang terjadi semata-
mata akibat penyakit, sedangkan kematian tidak wajar (unnatural death) adalah
kematian yang terjadi akibat cedera atau luka atau pada individu yang semula
telah mengidap penyakit dan kematiannya dipercepat dengan adanya cedera atau
luka. Dalam prosedur medikolegal terkait kematian tidak wajar, pihak kepolisian
dapat meminta pemeriksaan oleh ahli kedokteran forensic atau dokter ataupun
ahli lainnya sebagaimana tertulis dalam Pasal 133 KUHAP ayat 1 yang isinya,
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan tau ahli lainnya”. Pada
ayat 2 dari pasal yang sama, dijabarkan pula bahwa, “Permintaan keterangan
ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang
dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dana tau pemeriksaan bedah mayat” Permintaan keterangan
ahli dapat diajukan oleh penyidik secara tertulis kepada ahli kedokteran
kehakiman, dokter atau ahli lainnya yang bertujuan untuk kepentingan
peradilan.1,4,5
Visum et repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter,
berisi temuan dan pendapat berdasarkan keilmuan tentang hasil pemeriksaan
medis terhadap manusia atau bagian dari tubuh manusia, baik yang hidup
maupun mati atas permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang yang dibuat
atas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Berdasarkan KUHAP Pasal 184, visum et repertum merupakan alat bukti yang
sah yang dapat digunakan dalam proses penyidikan.4

4
Visum et repertum dimintakan oleh penyidik yang merupakan Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia menurut KUHAP Pasal 6 ayat (1) Jo Peraturan
Pemerintah No. 27 tahun 1983 pasal 2 ayat (1) melalui Surat Permintaan Visum.
Penyidik yang dimaksud adalah Penjabat Polisi Negara RI yang memiliki
wewenang berdasarkan UU, dengan pangkat serendah-rendahnya adalah
Pembantu Letnan Dua, dan untuk penyidik pembantu serendah-rendahnya
Sersan Dua. Pada kondisi ketidak adaan penjabat dengan minimal pangkat sesuai
dengan UU, maka Kepala Kepolisian Sektor yang pangkat bintara (satu tingkat
dibawah Pembantu Letnan Dua) dapat menjadi penyidik.1
Pada kasus ini, terdapat surat permintaan visum dari Kepala Kepolisian
Sektor Metropolitan Tamansari Jakarta Barat untuk RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta Pusat, dengan nomor polisi 105/VS/VIII/2015. Hal ini
merupakan penerapan dari pasal 133 KUHAP ayat 1 yang menyatakan: “Dalam
hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”1 Pada surat permintaan
visum, dituliskan penyidik membawa korban mati atas dugaan bunuh diri, maka
visum et repertum yang dibuatkan adalah visum jenazah.
Pada kasus ini tergolong kematian tidak wajar, terdapat kemungkinan
tindakan bunuh diri, namun kemungkinan adanya unsur pidana berupa
pembunuhan pada kasus ini belum dapat disingkirkan. Perbuatan yang
menyebabkan hilangnya nyawa orang lain diatur dalam Pasal 338 KUHP yang
berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Sedangkan bunuh diri diatur dalam Pasa 345 KUHP yang berbunyi “Barang siapa
yang mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu
atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri”. Pasal 345 KUHP pada
dasarnya melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat
dimaksudkan mendorong orang lain untuk bunuh diri, melarang orang yang
dengan sengaja melakukan perbuatan yang ditujukan untuk menolong orang lain

5
dalam melakukan bunuh diri, dan melarang orang yang dengan sengaja
melakukan perbuatan yang dapat dimaksudkan untuk memberikan sarana pada
orang yang diketahui akan bunuh diri.5

3.2 Tanatologi

Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan kematian)


dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian Ilmu Kedokteran Forensik yang
mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor
yang mempengaruhi perubahan tersebut. Menurut UU nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan Pasal 117, kematian merupakan kondisi dimana fungsi jantung, sirkulasi
dan system pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen atau apabila
kematian batang otak telah dapat dibuktikan.1,7
Dalam bidang tanatologi, kematian dapat dibagi menjadi beberapa istilah
yaitu mati somatis, mati suri, mati seluler, mati serebral, dan mati otak. Mati somatis
(mati klinis) adalah berhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan, yaitu
susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan, yang menetap
(irreversible). Mati suri merupakan terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan
yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana, namun dengan peralatan
kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih
dapat berfungsi. Mati seluler adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang
timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Mati serebral merupakan kerusakan
pada kedua hemisfer otak yang irreversible, sedangkan sistem pernapasan dan
kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat. Mati otak (mati batang otak)
adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang
irreversible, termasuk batang otak dan serebelum.1,8
Pada kematian terjadi perubahan baik tanda tidak pasti dan tanda pasti
kematian. Tanda tidak pasti kematian terdiri dari berhentinya pernapasan yang
dinilai selama lebih dari 10 menit, sirkulasi yang berhenti selama lebih dari 15
menit, kulit yang berwarna pucat, hilangnya tonus otot (relaksasi primer),
segmentasi pembuluh darah retina setelah beberapa menit kematian, dan kornea
yang mongering. Tanda pasti kematian terdiri atas lebam mayat (livor mortis), kaku
mayat (rigor mortis), penurunan suhu (algor mortis), pembusukan, adiposera dan

6
mumifikasi. Tanda kematian pasti ini dapat digunakan untuk menentukan waktu
kematian.1,8
Lebam mayat (livor mortis) adalah tanda dimana eritrosit menempati tempat
terbawah akibat gaya gravitasi dan mengisi vena dan venula sehingga membentuk
bercak berwarna merah ungu pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian
tubuh yang tertekan alas keras. Lebam mayat mulai tampak 20-30 menit pasca mati,
makin lama intensitasnya bertambah dan menjadi semakin lengkap dan menetap
setelah 8-12 jam. Sebelum waktu itu, lebam mayat masih dapat hilang pada
penekanan dan dapat berpindah jika posisi mayat diubah.1,8
Kaku mayat (rigor mortis) merupakan kekakuan yang muncul akibat
cadangan glikogen yang semakin habis dan tidak terbentuknya ATP sehingga aktin
dan myosin akan menggumpal dan mengakibatkan otot menjadi kaku. Kaku mayat
mulai tampak sekitar 2 jam setelah kematian klinis mulai dari otot-otot kecil ke arah
otot besar secara sentripetal. Dalam waktu 12 jam kematian klinis, kaku mayat akan
menjadi lengkap dan menetap selama 12 jam berikutnya dan kemudian menghilang.
Terdapat kekakuan pada mayat yang menyerupai kaku mayat yaitu cadaveric
spasm, heat stiffening, dan cold stiffening.1,8
Penurunan suhu (algor mortis) dapat terjadi akibat pemindahan panas antar
permukaan dari benda yang lebih rendah suhunya secara radiasi, konduksi,
evaporasi, dan konveksi. Kecepatan penurunan suhu tubuh dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti suhu lingkungan, aliran dan kelembapan udara, bentuk tubuh, posisi
tubuh, dan pakaian.1,8
Pada kasus ini, lebam mayat terdapat pada bagian punggung perut, lengan,
leher dan paha, masih hilang pada penekanan. Dari lebam mayat, diperoleh waktu
kematian terjadi dalam waktu 20 menit – 12 jam sebelum pemeriksaan. Kaku mayat
terdapat pada jari-jari tangan dan kaki, serta rahang, masih mudah dilawan. Dari
kaku mayat diperoleh waktu kematian terjadi dalam waktu 2 jam -12 jam sebelum
pemeriksaan. Dari lebam mayat dan kaku mayat, dapat disimpulkan waktu
kematian pada kasus ini terjadi dalam waktu 2 jam -12 jam sebelum pemeriksaan.1,8
Pembusukan merupakan proses degradasi jaringan yang terjad akibat
autolisis dan kerja bakteri. Autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan
akibat enzim digestif pasca kematian. Proses kedua merupakan kerja bakteri dimana

7
bakteri yang terlibat adalah Clostridium welchii. Pembusukan sendiri dapat terjadi
sejak 24 jam pasca kematian, yang dimulai dari perut bagian kanan bawah (caecum)
dengan warna kehijauan.1,8
Adiposera adalah kondisi terbentuknya bahan keputihan, lunak, ataupun
berminyak dalam jaringan lunak tubuh mayat. Adiposera ini terdiri atas asam lemak
tak jenuh yang terhidrolisis serta mengalami hidrogenasi hingga asam lemak tidak
jenuh tersebut dapat tercampur dengan sisa otot dan jaringan ikat serta saraf.1,8
Mumifikasi merupakan proses penguapan cairan (dehidrasi hebat) terkait
suhu yang tinggi dan berdampak pada pengeringan jaringan serta menghambat
proses pembusukan. Mumifikasi dapat terjadi pada lingkungan yang sifatnya
hangat, kelembapan rendah, aliran udara yang baik dan tubuh dalam kondisi
terdehidrasi selama 12-14 minggu.1,8
Cara kematian dapat dibagi menjadi dua yaitu kematian wajar dan tidak
wajar. Suatu kematian disebut wajar apabila orang tersebut berada dalam perawatan
seorang dokter, diagnosis penyakitnya telah diketahui dan kematiannya diduga
karena penyakit tersebut. Pada kematian yang terjadi dalam perawatan di Rumah
Sakit atau dalam perawatan seorang dokter, umumnya dokter dapat memastikan
bahwa kematian tersebut adalah kematian wajar. Cara kematian yang tidak wajar
adalah pembunuhan, bunuh diri dan kecelakaan.5
Mekanisme kematian adalah suatu keadaan patofisiologis yang diakibatkan
oleh sebab kematian. Pada asfiksia, paling sering ditemukan adalah asfiksia
mekanik yang dapat menimbulkan beberapa keadaan seperti obstruksi jalan nafas,
kompresi pembuluh darah leher, perangsangan sinus karotikus dan perubahan
biokimia dan sirkulasi. Mekanisme kematian merupakan cerminan dari bagaimana
cara seseorang tersebut mati. Sebab mati merupakan perlukaan, kejadian atau
penyakit yang menimbulkan kekacauan fisik sehingga mengakibatkan kematian.
Sebab kematian umumnya dapat ditegakkan bila dilakukan pemeriksaan bedah
jenazah menyeluruh.5

8
3.3 Asfiksia

Asfiksia merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya


gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang
(hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Asfiksia
dapat disebabkan oleh beberapa penyebab yaitu penyebab ilmiah, misalnya
penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti laringitis difteri atau
menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru; trauma mekanik
yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan
sumbatan atau halangan pada saluran napas; Keracunan bahan yang menimbulkan
depresi pusat pernapasan misalnya barbiturat dan narkotika.1
Ilmu kedokteran forensik focus terhadap asfiksia mekanik dan segala unsur
yang melibatkan tindak pidana. Asfiksia mekanik merupakan mati lemas yang
terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai
kekerasan yang bersifat mekanik. Klasifikasi dari asfiksia mekanik dapat dilihat
pada bagan berikut :

Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas


 Suffocation
 Smothering
 Choking
Penekanan dinding saluran pernapasan
 Throttling
 Strangulation
 Mugging
Penekanan dinding dada dari luar

Saluran pernapasan tertutup air

Gambar 3.1 Klasifikasi Asfiksia Mekanik1

Smothering (pembekapan) adalah penutupan lubang hidung dan mulut yang


menghambat pemasukan udara ke paru-paru. Cara kematian yang berkaitan dengan
pembekapan adalah pada kasus bunuh diri, kecelakaan, dan pembunuhan.
Kekerasan yang mungkin ditemukan pada pembekapan adalah luka lecet jenis tekan
atau geser, goresan kuku dan luka memar pada ujung hidung, bibir, pipi dan dagu

9
yang mungkin terjadi akibat korban melawan; luka memar atau lecet pada bagian /
permukaan dalam bibir akibat bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan
lidah; luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh korban. Selanjutnya
ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pembedahan
jenazah.1
Gagging atau chocking adalah terjadi sumbatan jalan napas oleh benda
asing yang mengakibatkan hambatan udara untuk masuk ke paru-paru. Gagging
merupakan sumbatan yang terdapat dalam orofaring, sedangkan choking adalah
sumbatan yang terdapat dalam laringofaring. Kematian dapat terjadi akibat bunuh
diri, pembunuhan dan kecelakaan. Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan
tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pembedahan jenazah.
Dalam rongga mulut dapat ditemukan sapu tangan, kertas koran, gigi palsu, dan
sebagainya.1
Pencekikan (manual strangulation) adalah penekanan leher dengan tangan,
yang menyebabkan dinding saluran pernapasan bagian atas tertekan dan terjadi
penyempitan saluran napas sehingga udara pernapasan tidak dapat lewat.
Mekanisme kematian pada pencekikan dapat diakibatkan oleh asfiksia dan refleks
vagal. Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan perbendungan pada muka dan
kepala karena pembuluh darah vena dan arteri yang superfisial turut tertekan.
Tanda-tanda kekerasan pada leher dapat ditemukan luka-luka lecet pada kulit,
dangkal, berbentuk bulan sabut akibat penekanan kuku jari; luka-luka memar pada
kulit; bekas tekanan jari; memar atau perdarahan pada otot-otot bagian dalam leher;
fraktur pada tulang lidah (os hyoid). Bila mekanisme kematian adalah asfiksia,
maka akan ditemukan tanda-tanda asfiksia. Bila mekanisme kematian adalah
refleks vagal, maka tidak ada tekanan intravascular untuk dapat menimbulkan
perbendungan (tidak ada perdarahan petekial, tidak ada edema pulmoner, dan pada
otot-otot leher bagian dalam hampir tidak ditemukan perdarahan.1
Penjeratan (strangulation) adalah penekanan benda asing, melingkari atau
mengikat leher yang makin lama makin kuat, sehingga saluran pernapasan tertutup.
Mekanisme kematian pada penjeratan adalah akibat asfiksia atau refleks vaso-vagal
(perangsangan reseptor pada carotid body). Jejas jerat pada leher biasanya
mendatar, melingkari leher dan terdapat lebih rendah daripada jejas jerat pada kasus

10
gantung. Bila jerat kasar seperti tali, maka bila tali bergesekan pada saat korban
melawan akan menyebabkan luka lecet di sekitar jejas jerat, yg tampak jelas berupa
kulit yg mencekung berwarna coklat dengan perabaan kaku seperti kertas
perkamen. Pada otot-otot leher sebelah dalam tampak banyak resapan darah.1
Kasus gantung (Hanging) hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya
terdapat pada asal tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat.
Mekanisme kematian pada kasus gantung berupa kerusakan pada batang otak dan
medulla spinalis, asfiksia, iskemia otak, dan refleks vagal. Hal-hal yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan jenazah yaitu bila jerat kecil dan keras, terjadi
hambatan total arteri sehingga muka akan tampak pucat dan tidak terdapat ptekie
pada kulit maupun konjungtiva; bila jerat lebar dan lunak maka hambatan hanya
terjadi pada saluran pernapasan dan pada aliran vena dari kepala ke leher sehingga
akan tampak perbendungan pada daerah sebelah atas ikatan; jejas jerat terletak
relatif lebih tinggi pada leher dan tidak mendatar, melainkan lebih meninggi di
bagian simpul; kulit mencekung ke dalam sesuai dengan bahan penjeratnya,
berwarna coklat, perabaan kaku, pada tepi jejas dapat ditemukan luka lecet;
distribusi lebam mayat pada kasus gantung mengarah ke bawah yaitu pada kaki,
tangan dan genetalia eksterna, bila korban tergantung cukup lama. Pada korban
wanita, labium membesar dan terdapat lebam, sedangkan pada korban laki-laki hal
ini terjadi pada skrotum.1

11
3.4 Mekanisme dan Sebab

Pada kasus ini, ditemukan cara mati korban merupakan kematian tidak
wajar. Pada pemeriksaan luar ditemukan tanda-tanda kekerasan tumpul berupa
memar pada bibir dan leher. Pada hasil pemeriksaan dalam ditemukan bintik
perdarahan pada paru dan hati serta resapan darah pada otot leher. Maka mekanisme
kematian yang mungkin terjadi pada korban ini adalah asfiksia akibat pencekikan
(manual strangulation) dan asfiksia karena pembekapan (smothering). Mekanisme
kematian yang paling mungkin pada korban ini adalah asfiksia akibat pencekikan
oleh karena ditemukannya kekerasan tumpul berupa memar pada leher dan resapan
darah pada otot leher. Namun tidak menutup kemungkinan mekanisme kematian
pada korban ini adalah pembekapan oleh karena ditemukannya kekerasan tumpul
berupa memar pada bibir.

12
BAB IV

KESIMPULAN

Pada kasus ini, dilakukan pemeriksaan terhadap mayat perempuan


berusia 23 tahun dengan golongan darah “O”. Terdapat surat permintaan visum
yang ditujukan ke RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, dari
Kepolisian Sektor Metropolitan Tamansari Jakarta Barat dengan nomor polisi
105/VS/VIII/2015 tanggal 29 Agustus 2019. Pada pemeriksaan ditemukan
memar pada bibir dan leher akibat kekerasan tumpul. Selanjutnya ditemukan
bitnik perdarahan pada paru dan hati serta resapan darah pada otot leher. Sebab
mati pada orang ini adalah kekerasan tumpul pada leher yang menyebabkan
mati lemas

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im TWA, Sidhi, Hertian S, et al.


Ilmu kedokteran forensik. Edisi pertama. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
FKUI;1997.
2. Michael AG. Pathologhy of Asphyxial Death. 2016. [cited 2017 Aug 13].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1988699-
overview#a18.
3. Tasmono H. Distribusi kasus kematian akibat asfiksia di Malang Raya yang
diperiksa di Instalasi Kedokteran Forensik RSSA Tahun 2006-2007. Malang:
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; 2007.
4. Safitry O. Mudah membuat visum et repertum luka-luka. Jakarta: Departemen
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2013.
5. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Teknik Autopsi Forensik; 2000.
6. Safitry O. Kompilasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran.
Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
7. Presiden RI. Undang-Undang No. 36 Tahun 2019 Tentang Kesehatan. Presiden
Republik Indonesia; 2014.
8. Saukko P, Knight B. Knight’s forensic pathology. 4rd ed. London: Edward
Arnold; 2016.

14

Anda mungkin juga menyukai