Disusun Oleh:
Eka Oktaviani
NIM : 71 2018 034
Pembimbing
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Anestesi Rumah Sakit Umum
Daerah Palembang Bari.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus mengenai
“Manajemen Anestesi Pada Operasi Gastrektomi” sebagai salah satu tugas
individu di SMF Anestesi. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir
zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan
pertimbangan perbaikan dimasa mendatang.
1. dr. Rizky Novianti Dani, Sp.An selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan laporan
kasus ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan co-ass serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
laporan kasus ini.
Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam
lindungan Allah SWT. Amin.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
JUDUL ................................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karsinoma Gaster .................................................................................. 2
2.1.1 Definisi ......................................................................................... 2
2.1.2 Epidemiologi ................................................................................ 2
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko ............................................................ 3
2.1.4 Patofisiologi ................................................................................... 4
2.1.5 Klasifikasi ...................................................................................... 4
2.1.6 Manifestasi Klinis .......................................................................... 6
2.1.7 Diagnosis ....................................................................................... 6
2.1.8 Tatalaksana .................................................................................... 9
2.1.9 Prognosis ....................................................................................... 11
2.2 Manajemen Anestesi Pada Operasi Osteosarcoma ............................... 13
2.2.1 Manajemen Anestesi .................................................................... 13
2.2.2 Pertimbangan Anestesi ................................................................. 16
2.2.3 Pemeliharaan Anestesi .................................................................. 16
2.2.4 Anelgesia Post-Operatif ................................................................ 19
BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................. 21
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 27
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 30
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
4
terlihat pada 5-year survival rate sebesar 50%.
Oleh sebab itu diperlukan informasi mengenai kanker gaster, cara
mendiagnosis hingga manejemen anestesi pada pasien yang mengalami operasi
gastrektomi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Kanker gaster merupakan kanker keempat yang paling sering terjadi di dunia.
Sekitar 600,000 kasus baru terdiagnosa setiap tahunnya, dan hampir dua pertiga dari
pasien meninggal dikarenakan kanker gaster. Kebanyakan kasus (65% sampai 75%)
4
kanker gaster muncul pada Negara berkembang. Insiden dari adenokarsinoma gaster
5
telah menurun pada Negara-negara barat pada empat dekade terakhir. Data dari
Surveillance Epidemiology and End Results (SEER) terlihat adanya penurunan insiden
dari 11.7 per 100,000 penduduk pada tahun 1975 menjadi 8.8 per 100,000 penduduk
4
pada tahun 2002 di Amerika Serikat. Bagaimanapun juga kanker gaster masih tetap
banyak pada Negara lainnya di dunia, dan tingkat mortalitasnya masih tetap tinggi. Age-
standardized insiden dari adenokarsinoma gaster bervariasi dari 10 per 100,000 populasi
sampai melebihi 80 per 100,000 populasi (Gambar 1). Tingkat mortalitas juga bervariasi
dari 5 per 100,000 populasi di Amerika Serikat sampai 35 per 100,000 populasi di Rusia
5
(Gambar 2). Di Amerika Serikat kanker gaster mempunyai insiden tertinggi pada pria
dibandingkan wanita (rasio sekitar 2:1). Insiden mulai meningkat sejak dekade keempat
3
dan mencapai puncaknya pada dekade ketujuh.
3
Insiden tertinggi dari kanker gaster ditemukan di jepang, amerika selatan, eropa
barat dan timur tengah. Pada kebanyakan Negara tingkat mortalitas hampir setara dengan
tingkat insiden, di Chile dan Costa Rica, tingkat mortalitas melebihi 40 per 100,000
populasi. Berkebalikan dengan daerah insiden yang rendah, seperti New Zealand dan
Australia, mempunyai tingkat mortalitas kurang dari 10 per 100,000 populasi. Di Jepang,
meskipun epidemic dari kanker gaster, telah terlihat penurunan mortalitas sejak 1970
4
sebagai hasil dari dilakukannya screening berskala besar.
Meskipun insiden dari kanker gaster distal telah menurun, tetapi insiden dari
kanker gaster kardia dan proksimal terutama pada gastroesophageal (GE) junction dan
3,4,5
distal esophagus tetap meningkat. Pada penelitian The Rochester Epidemiology
Project menunjukkan penurunan pada kanker gaster, tetapi hanya pada kanker gaster
distal dan tipe intestinal, insiden dari kanker gaster proksimal dan kanker gaster tipe
diffuse tetap stabil. Peningkatan lesi gaster proksimal sekitar 4.3% pada pria kulit putih,
4.1% pada wanita kulit putih, 3.6% pada pria kulit hitam dan 5.6% pada wanita kulit
hitam.
Perubahan trend ini mengkhawatirkan karena kanker gaster proksimal
mempunyai prognosis yang lebih buruk bila dibandingkan dengan kanker gaster
3
distal. Pergeseran kanker gaster dari distal ke proksimal telah ditunjukkan pada
berbagai penelitian dan memperlihatkan adanya faktor lingkungan yang beperan dalam
4
patogenesis dari kanker gaster. Prevalensi obesitas yang meningkat di Amerika Serikat
mungkin merupakan salah satu faktor, karena BMI dan asupan kalori telah
3
dihubungkan dengan adenokarsinoma pada esophagus distal dan gastric cardia.
4
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Dua bentuk dari kanker gaster dapat dibedakan dari faktor resiko dan
histologinya.Kanker gaster tipe difuse dihubungkan dengan faktor herediter dan lokasi
kanker proksimal dan tidak muncul dari lesi prekanker (intestinal metaplasia atau
dysplasia). Kanker gaster tipe intestinal berlokasi lebih ke distal, muncul pada usia muda,
lebih sering bersifat endemik, berhubungan dengan perubahan inflamasi dan infeksi
Helicobacter pylori. Faktor risikonya antara lain:
1. Diet. Kanker gaster telah dihubungkan dengan daging merah, cabai, merica, ikan,
makanan yang diasamkan, diasinkan, diasapkan, diet tinggi karbohidrat,
rendahnya konsumsi lemak, protein dan vitamin A, C, dan E. Makanan yang
diasamkan, diasinkan,diasapkan merupakan faktor resiko “probable” kanker
3,4,6,7
gaster menurut panel ahli WHO/FAO, efek karsinogenik dari makanan yang
diasamkan, diasinkan, diasapkan dikarenakan tingginya kandungan garam dan nitrat.
Pada penelitian dengan menggunakan hewan, terlihat adanya efek karsinogenik dari
N-nitroso compounds (N=-nitro-N- nitrosoguanidine), Nitrat dirubah mejadi
4
carcinogenic nitrite compounds pada gaster. Sedangkan diet selenium, zinc,
3,6,7
cooper, besi, dan mangan dihubungkan dengan rendahnya resiko kanker gaster.
Gastric bacteria (lebih sering terdapat pada gaster yang achlorhydric pada pasien
dengan atrophic gastritis) merubah nitrate menjadi nitrite, yaitu sebuah
3,7
karsinogen. Menurunnya konsumsi dari makanan tinggi nitrat terlihat sebagai
4,7
penyebab menurunnya kanker gaster pada utara US dan Eropa barat.
2. Infeksi. pada tahun 1982, Marshall dan Warren mengisolasi H.pylori untuk
pertama kali dari biopsi epitel gaster. Peranan H.pylori dalam menginisiasi cedera
mukosa dan terjadinya gastritis atropik kronis telah diketahui dengan baik. Pada
pasien yang menjalani reseksi karena kanker gaster tipe intestinal, teridentifikasi
H.pylori pada jaringan nonkanker pada hampir 90% pasien, bila dibandingkan
3,6
dengan 32% kanker gaster tipe difuse. Beberapa penelitian juga melaporkan
hubungan yang signifikan antara infeksi H.pylori dan kanker gaster, terutama
5
kanker gaster distal. Pembentukan kanker gaster berhubungan dengan
meningkatnya level antibody immunoglobulin G dan paling tinggi ketika interval
antara infeksi H.pylori dan diagnosis kanker gaster lebih dari 10 tahun. Peneliti
lainnya juga menemukan tingginya infeksi H.pylori pada pasien dengan kanker
gaster tipe intestinal namun tidak pada kanker gaster tipe difuse. Meskipun
H.pylori di perhitungkan oleh World Health Organization (WHO) sebagai
carcinogen kelas 1,3,5 faktor host dan bakteri. Pasien dengan output asam lambung
yang tinggi akan mempunyai gastritis predominan antral, yang merupakan
predisposisi ulkus duodenum. Pasien dengan output asam lambung yang rendah
akan memiliki gastritis dari body gaster, yang merupakan predisposisi dari ulkus
gaster dan memulai inisiasi kanker gaster. Infeksi H.Pylori juga menyebabkan
pembentukan mucosa associated lymphoid tissue (MALT) pada mukosa gaster.
Lymphoma malignant yang muncul dari jaringan MALT merupakan komplikasi
lainnya dari H.pylori yang jarang terjadi. Pada penelitian insiden dari infeksi
H.pylori berkisar 61% dan 76%, mengindikasikan bahwa kebanyakan infeksi
3
tidak membentuk kanker gaster dan faktor lainnya penting sebagai pathogenesis.
7
Resiko pasien dengan infeksi kronik H.pylori meningkat sebesar tiga kali, tetapi
sejak H. pylori terdapat pada 80% pasien di Negara berkembang, adanya bakteri
ini mempunyai nilai yang kurang bermakna ketika terdeteksi dan mayoritas pasien
yang memiliki infeksi H. pylori memiliki gastritis kronik. 5Seperti yang telah
diketahui bahwa H.pylori merupakan mikroorganisme penting dalam
pembentukan ulkus peptikum. Yang menarik adalah pada pasien dengan riwayat
ulkus peptikum lebih sering terjadi kanker gaster bila dibandingkan pada pasien
tanpa infeksi H.pylori, dan pasien dengan riwayat ulkus duodenum mempunyai
resiko yang rendah untuk terjadinya kanker gaster. Hal ini mungkin dikarenakan
pada beberapa pasien membentuk antral-predominant disease (predisposisi untuk
ulkus duodenum dan bersifat proteksi terhadap kanker gaster), sementara pada
pasien yang dengan gastritis corpus- predominant, mengakibatkan
hypochlorhydria dan merupakan predisposisi dari ulkus peptikum dan kanker
gaster. Yang menarik juga bahwa pasien dengan infeksi H.pylori mempunyai
6
resiko yang rendah untuk terbentuknya adenocarcinoma dari esophagus distal dan
regio cardia. Mungkin karena corporeal gastritis menurunkan sekresi asam
lambung, sehingga mengurangi sekresi asam lambung, dan mengurangi
kemungkinan reflux dan resiko Barrett’s esophagus, yang merupakan lesi
precursor dari kanker gaster. Meskipunn infeksi H.pylori telah secara jelas
merupakan faktor resiko untuk terjadinya kanker gaster, namun harus diketahui
bahwa pembentukan kanker gaster merupakan multifaktor. Tidak semua pasien
dengan kanker gaster mempunyai infeksi H. pylori, dan pada beberapa daerah
terdapat prevalensi tinggi dengan infeksi kronik H. pylori dan rendahnya prevalensi
dari kanker gaster (the "African enigma").7 Virus Epstein-Barr telah diidentifikasi
pada kanker gaster dengan fitur lymphoepithelioid, dan berhubungan dengan kanker
3,6
pada usia muda dan berlokasi pada kardia.
3. Herediter dan Ras. African, Asian, dan Hispanic Americans mempunyai resiko
tinggi untuk menderita kanker gaster bila dibandingkan dengan orang kulit putih.
Pola histologi difuse terlihat predominan pada keluarga dengan beberapa anggota
6
keluarga yang terkena kanker. munculnya kanker gaster yang tersebar pada
kerabat terdekat memperlihatkan bahwa terdapat kemungkinan genetik untuk
terjadinya kanker gaster, dengan insiden berkisar 1%-15% dari semua kanker
gaster. Contohnya adalah pada keluarga Bonaparte, napoleon, ayahnya dan
kakeknya meninggal dikarenakan kanker gaster. Kanker gaster juga muncul pada
anggota keluarga yang terdiagnosa dengan hereditary nonpolyposis colorectal
3
cancer (HNPCC) dan Li-Fraumeni syndrome. Berbagai varian dari abnormalitas
genetik telah dideskripsikan, dimana kebanyakan kanker gaster bersifat aneuploid.
Abnormalitas genetik yang paling sering terlibat pada kanker gaster adalah pada
gen p53 dan COX-2. Lebih dari dua pertiga kanker gaster mempunyai deletion atau
suppression dari tumor supresor gen p53. Dan dengan proporsi yang sama pada
overexpression gen COX-2. 7
8
2.1.4 Patofisiologi
2.1.7 Diagnosis
2.1.8 Tatalaksana
2.1.9 Prognosis
11
dianggap sebagai prosedur pembedahan yang jarang dan ada subdivisi reseksi
sesuai dengan area yang diangkat; dapat berupa fragmen salah satu komponen
panggul (hemipelvektomi internal) atau seluruh segmen dan sebagian pinggul
(hemipelvektomi eksternal).26 Ini umumnya dilakukan pada patologi
neoplastik ganas, meskipun kadang-kadang diperlukan pada lesi metastatik,
trauma berat atau infeksius.27,28
Perkembangan metastasis dijelaskan: lokal oleh kedekatan di rongga
panggul, yang menyebabkan masuk kesempatan operasi radikal organ
intrapelvis dan metastasis ke jarak dengan pengembangan hingga 25%.26
Selain itu, risiko pasca operasi dari operasi rekonstruksi panggul
ditambahkan, untuk mencoba menetapkan cara yang paling fungsional dan
mungkin untuk membuat pasien pulih, dengan kurang, keutuhan anggota
tubuh yang tidak direseksi akan direhabilitasi untuk kehidupan sehari-hari.25
Anestesi regional telah terbukti memberikan manfaat yang lebih besar
untuk jenis operasi ini, karena mengurangi penggunaan opioid, memberikan
analgesia pasca operasi, kontrol perdarahan yang lebih baik, dan jalan napas
yang paten. Kita harus mempertimbangkan infus obat intravena seperti
propofol, dexmedetomidine lebih banyak blok neuraksis yang didukung oleh
blok pleksus lumbal posterior; semua ini untuk mengontrol semua aspek
seperti hipotermia, aspirasi bronkial, imunosupresi, dan hipovolemia.27,33
Manajemen anestesi, resusitasi, dan prosedur reseksi onkologis saat ini
telah menurunkan risiko pembedahan.25 Anestesi regional pasca bedah
berlanjut melalui penggunaan kateter saraf perifer, dengan infus terkontrol;
Telah terbukti mengurangi penggunaan opioid dalam periode segera pasca
operasi hingga 80% dari mereka yang tidak menyusup dengan cara ini. Ini
bahkan merupakan teknik yang dapat direproduksi oleh ahli bedah.34
Faktor pasien yang paling mempengaruhi kondisi umumnya adalah:
anemia dan trombositopenia, imunosupresi, gagal ginjal dan jantung. Mereka
harus dievaluasi di dan pasca operasi: harus ada ketersediaan paket globular
dan turunannya, terapi antibiotik; jika diperlukan, akses vena kaliber besar;
garis arteri; kateter vena sentral untuk penggantian, dukungan obat vasoaktif,
terutama fungsi ginjal dan miokard yang adekuat. Pasien dengan kerapuhan
hemodinamik, dengan penyakit paru dan jantung mendapat manfaat dari
12
pemasangan kateter balon intrapulmonal (Swan-Ganz), selain pemberian obat
vasoaktif.33-35
13
2.2.3 Pemeliharaan Anestesi
Tidak ada kontraindikasi penggunaan obat anestesi apapun, baik inhalasi
atau intravena, pada pasien dengan sarkoma. Pasien dengan perubahan fungsi
organ mungkin menunjukkan respon abnormal yang signifikan secara klinis
terhadap beberapa obat, terutama yang bergantung pada metabolisme hati atau
ekskresi ginjal. Tumor besar bisa berdarah dan membutuhkan penggantian 2-
4 unit darah. Hemodilusi dapat menurunkan tingkat kehilangan darah
intraoperatif dan perlunya transfusi darah alogenik yang kontroversial.33
Namun, hal itu dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik, terutama
pada pasien dengan anemia pra operasi atau defisiensi sistem otonom. Selama
pembedahan besar yang berkepanjangan (misalnya hemipelvektomi), efek
anestesi intravena atau inhalasi yang berkepanjangan dapat terlihat secara
klinis.33
Berbagai obat dapat digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi
pada pasien onkologi. Karakteristik umum mereka adalah kemampuan untuk
menyebabkan amnesia lengkap dan onset cepat sedasi atau hipnosis yang
dalam dan kemampuan untuk bersinergi dengan agen intravena atau inhalasi
lainnya. Propofol memiliki onset dan pemulihan yang cepat dan dapat
digunakan melalui infus. Ini juga memberikan beberapa efek antiemetik dan
memiliki efek samping yang lebih sedikit daripada anestesi umum lainnya.
Namun, kehati-hatian harus diberikan ketika propofol diberikan kepada pasien
yang hipovolemik, hemodinamik tidak stabil, atau yang menderita disfungsi
hati.38 Midazolam, benzodiazepine yang larut dalam air, sering digunakan
selama induksi dan pemeliharaan anestesi untuk prosedur jangka pendek,
intervensi yang memerlukan anestesi perawatan yang dipantau, atau sesi
kemoterapi pada anak-anak. Depresi pernafasan sentral berikutnya tidak
sedalam opioid atau hipnotik setelahnya, meskipun pemulihannya agak
lama.39
Selama 10 tahun terakhir isoflurane hampir sepenuhnya menggantikan
halotan. Isoflurane sering digunakan untuk pemeliharaan anestesi pada orang
dewasa dan anak-anak. Sevoflurane adalah agen inhalasi baru yang hampir
tidak menyebabkan iritasi saluran napas bagian atas, bahkan ketika diberikan
14
konsentrasi alveolar minimal (MAC) yang tinggi.40 Ini adalah agen yang
sangat baik untuk induksi inhalasi murni pada anak-anak, serta untuk
pemeliharaan pada pasien dari segala usia . Mual dan muntah lebih jarang pada
pasien yang telah menerima sevofluran dibandingkan pada mereka yang
menerima desflurane atau isoflurane.41 Karena cepat dan lancar baik selama
induksi dan pemulihan, sevoflurane adalah pilihan yang baik untuk sesi
kemoterapi atau radioterapi singkat pada anak-anak, terutama ketika jalur intra
vena tidak tersedia sebelum intervensi. Namun, agitasi dapat terjadi setelah
pemberian agen ini, terutama pada populasi pediatrik, dan perhatian khusus
harus diberikan pada pasien yang telah menerima sevoflurane. Selama periode
postanesthesia segera, midazolam dosis rendah dapat mengontrol agitasi.
Desflurane, agen inhalasi dengan onset cepat, sangat berguna untuk operasi
rawat jalan. Tidak dianjurkan untuk induksi pada populasi anak-anak karena
hubungannya dengan insiden batuk dan spasme laring yang tinggi. Relaksan
otot digunakan dalam kombinasi dengan yang lain obat bius narkoba. Obat
kerja pendek baru memiliki lebih sedikit efek samping dan memberikan
pengelolaan yang lebih baik dan kemungkinan penghentian anestesi umum
yang cepat. Ini termasuk atracurium, vecuronium, mivacurium, dan
rocuronium.41
Opioid, termasuk fentanil, sufentanil, alfentanil, dan remifentanil, sering
digunakan selama anestesi. Sufentanil adalah salah satu obat yang paling
banyak digunakan karena waktu onsetnya yang cepat dan waktu paruh
eliminasi yang singkat.42 Sufentanil tujuh sampai sepuluh kali lebih kuat
daripada fentanil. Karena tidak menumpuk di dalam tubuh, sufentanyl adalah
obat pilihan dalam prosedur pembedahan berkepanjangan. Remifentanyl
adalah opioid baru yang bekerja sangat pendek yang dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase. Waktu paruhnya sekitar 10 menit. Alfentanyl adalah
opioid kerja pendek dengan onset cepat. Durasi kerjanya dua sampai tiga kali
lebih pendek dari pada fentanil; Namun, sifat ini juga membatasi kemanjuran
analgesia pasca operasi obat. Secara farmakokinetika, alfentanyl adalah salah
satu dari sedikit opioid yang diindikasikan untuk operasi siang hari.42
Pasien onkologi lebih rentan dibandingkan pasien lain untuk
mengembangkan emboli paru dan trombosis regional pada periode pasca
15
operasi. Hal ini karena faktor prokoagulasi yang bersirkulasi, seperti puing-
puing tumor dan fragmennya yang terbalik, atau pembedahan yang
berkepanjangan.43 Antikoagulasi profilaksis dengan heparin dosis rendah atau
berat molekul rendah, dapat mencegah komplikasi ini.44 Rasio risiko terhadap
manfaat melakukan blok saraf pada pasien antikoagulan sebagian masih bisa
diperdebatkan. Infus anestesi lokal dan / atau opioid secara terus menerus
dalam kateter epidural yang telah dimasukkan sebelumnya tidak
dikontraindikasikan oleh pengobatan antikoagulan; namun, dengan adanya tes
koagulasi yang berubah, penyisipan atau pelepasan kateter tidak dapat
dilakukan.45
16
pengobatan, ubah dosis, atau ganti ke obat lain. Perawat harus secara teratur
mencatat tanda-tanda vital pasien (misalnya detak jantung, tekanan darah, laju
pernapasan, dan oksimetri nadi oksigen) dan memastikan tanda-tanda tersebut
tetap dalam batas yang dapat diterima pada pasien tertentu. Perawat dan
seluruh tim harus bersiap untuk mengambil tindakan untuk menghentikan
pengobatan nyeri bila perlu, serta untuk memulai tindakan resusitasi dan
meminta bantuan dalam keadaan darurat.
Penting untuk meresepkan dosis yang tepat dan menunjukkan cara
pemberian setiap obat, serta menghitung dosis secara akurat. Pasien onkologi
biasanya memerlukan serangkaian prosedur berulang setelah operasi. Tujuan
dari modalitas pengendalian rasa sakit adalah untuk mengurangi, atau bahkan
menghilangkan, rasa sakit yang terkait dengan pengobatan. Semakin patuh
pasien dengan sistem pengendalian rasa sakit, dan semakin tepat dosis dan
jenis obatnya, semakin kuat pasien dalam menjalani protokol terapeutik
tambahan
17
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identifikasi
Nama : An. C
No RM : 30.69.42
Tanggal lahir : 11 Mei 2014
Umur : 6 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tanggal MRS : 5 Oktober 2020
18
6. Riwayat diabetes mellitus disangkal
7. Riwayat anestesi disangkal
19
M (mallampati Score) : 1
O (Obstruction) : Tidak terdapat sumbatan.
N (Neck Mobility) : mobilitas maksimal
Breathing
- Suara napas vesikuler
- Tidak ada retraksi iga
- Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan
Circulation
- Akral hangat, tidak pucat, kering.
- Heart Rate (HR) 100 kali/menit, tegangan volume kuat dan cepat.
- Capillarity refill time (CRT) < 2 detik
- Konjungtiva tidak anemis.
Disability : GCS 15 (E:4 V:5 M: 6).
Exposure : Pasien diselimuti
Leher:
Dalam batas normal
Thoraks:
Cor:
I: ictus cordis tidak tampak
P: ictus cordis teraba normal di ICS V MCL Sinistra
P: batas jantung ICS IV Parasternal dekstra sampai ICS V MCL sinistra
A: BJ I dan II normal
Pulmo:
I: Simetris, tidak ada retraksi, tidak ada ketertinggalan gerak
P: Fremitus raba normal
20
P: Sonor
A: Vesikuler +/+, Ronkhi -/- Wheezing -/-
Abdomen:
I : Cembung
A: bising usus (+) normal
P: redup
P: soepel
Ekstremitas:
Look : Pada regio gluteus dekstra terdapat massa sebesar buah melon,
venektasi (-)
Feel : Terdapat massa dengan diameter 11 cm, teraba keras, terfiksir,
nyeri tekan (+)
Move : ROM terbatas
21
b. Pemeriksaan Foto Rontgen
Resume
22
3.7.5 Monitoring
SpO2 :+
TD :+
HR :+
3.7.6 Posisi Pasien
Terlentang
3.7.7 Pramedikasi :
Aprotinin (IV), dosis pemuatan dua juta unit penghambat kallikrein (KIU),
diikuti dengan 0,5 juta KIU per jam dengan infus kontinyu.
3.7.8 Induksi
Propofol 40 mg (IV), Sevoflurane 2.6%
23
BAB IV
PEMBAHASAN
24
seri ini aprotinin secara klinis tampak mengurangi kehilangan darah mikrovaskular
dari pemotongan margin tulang.36
Pemilihan anestesi intravena propofol pada kasus ini dikarenakan propofol
memiliki onset dan pemulihan yang cepat dan dapat digunakan melalui infus. Ini
juga memberikan beberapa efek antiemetik dan memiliki efek samping yang lebih
sedikit daripada anestesi umum lainnya.47 Sevofluran juga diberikan karena pasien
ini merupakan pasien anak-anak sehingga memerlukan sedasi atau anestesi agar
tidak bergerak selama prosedur. Teknik inhalasi memungkinkan kebangkitan yang
cepat dan lebih disukai daripada obat penenang parenteral seperti benzodiazepin.
Sevoflurane sangat ideal untuk tujuan ini karena kelarutannya yang rendah.
Sevoflurane adalah agen inhalasi baru yang hampir tidak menyebabkan iritasi
saluran napas bagian atas, bahkan ketika diberikan konsentrasi alveolar minimal
(MAC) yang tinggi.40 Ini adalah agen yang sangat baik untuk induksi inhalasi murni
pada anak-anak, serta untuk pemeliharaan pada pasien dari segala usia. Mual dan
muntah lebih jarang pada pasien yang telah menerima sevofluran dibandingkan
pada mereka yang menerima desflurane atau isoflurane.41 Karena cepat dan lancar
baik selama induksi dan pemulihan, sevoflurane adalah pilihan yang baik untuk sesi
kemoterapi atau radioterapi singkat pada anak-anak, terutama ketika jalur intra vena
tidak tersedia sebelum intervensi.46
25
BAB V
KESIMPULAN
1. Jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu regional anestesi dengan menggunakan
opioid
3. Post operasi pasien dirawat di bangsal perawatan bedah untuk dimonitoring stabilitas
pasien post operasi sampai keadaan umumnya membaik yang kemudian dapat
dipulangkan.
4. Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan regional anestesi pada operasi
osteosarcoma regio panggul.
5. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari
segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.
26
DAFTAR PUSTAKA
27
13. Wittig, James C, Bickels J, Priebat D, et al. Osteosarcoma: a multidisciplinary
approach to diagnosis and treatment. A peer reviewed Journal of American
Academic of Family Physicians 2012.
14. Raymond AK, Ayala AG, Knuutila S dkk. Conventional osteosarcoma. In:
World health organization classification of tumors of soft tissue and bone. 1st
ed. Lyon: IARC Press. 2012; p. 264-85.
15. Ritter J, Bielack SS. Osteosarcoma. Annals of oncology. 2010;21:320-5
16. Frassica, Frank J, Frassica, Deborah A, McCarthy, Edward F. Orthopaedic
pathology. In: Miller, Mark D, editors. Review of orthopaedics. 4th ed.
Philadelphia: Saunder; 2014.p.440-58.
17. Tsuji Y, Kusuzaki K, Kanemitsu K, et al. Calcaneal osteosarcoma associated
with werner syndrome. The Journal of Bone and Joint Surgery 2010;82:9-12.
18. Katagiri H, Takahashi M, Takagi T, Nakagawa M. Osteosarcoma of the talus
treated successfully with limb-sparing surgery. A case report. J Bone Joint Surg
Am 2018;90:869-74.
19. Scully SP, Ghert MA, Zurakowski D, Thompson RC, Gebhardt MC. Pathologic
fracture in osteosa- rcoma: prognostic importance and treatment implications.
J Bone Joint Surg Am 2012;84:49-57.
20. Bacci G, Scully SP, Ghert MA, et al. Pathologic fracture in osteosarcoma. J
Bone Joint Surg Am 2013;85:1848-9.
21. Palmerini E, Staals EL, Ferrari S, et al. Nonresectable multiple lung metastases
of high grade osteosarcoma of the humerus: stable after twelve years. A case
report. J Bone Joint Surg Am 2014;90:2240-4.
22. Lewis VO, Gebhardt MC, Springfield DS. Parosteal osteosarcoma of the
posterior aspect of the distal part of the femur. J Bone Joint Surg Am
2010;82:1083.
23. Koyama J, Ito J, Hayashi T. Periosteal osteosarcoma of the mandibule.
Dentomaxillofascial Radiology 2012;31:63-4
24. Imran H, Enders F, Krailo M, et al. Effect of time to resumption of chemotherapy
after definitive surgery on prognosis for non-metastatic osteosarcoma. J Bone
Joint Surg Am 2015;91:604-12.
25. Simon MA, Aschliman MA, Thomas N, Mankin HJ. Limb-salvage treatment
versus amputation for osteosarcoma of the distal end of the femur. J Bone Joint
28
Surg Am 2005; 87: 2822. Accesed on Oct 8th. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4782023/pdf/main.pdf
26. Monlar R. Anaesthesia for hemipelvectomy--a series of 49 cases. Anaesth
Intensive Care. 2007;35:536-543. Accessed on Oct 8th. Available from:
https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0310057X0703500412
27. Stoliarov VI. Interiliac-abdominal amputation in sarcoma of the bones and soft
tissues of the pelvic girdle. Vestn Khir Im I I Grek. 1983;131:60- 64.
28. Pring ME. Chondrosarcoma of the pelvis: a review of sixty-four cases. J Bone
Joint Surg Am. 2011;83:1630-1642.
29. Mavrogenis A. Pelvic resections. Orthopedics. 2012;35:e232-e243.
30. Mayerson JL. Pelvic resection: current concepts. J Am Acad Orthop Surg.
2014;22:214-222.
31. Jones RM. Anaesthetic considerations in patients with malignancy. In: Keneally
JP, Jones MR, editors. Proceedings of the 11th world Congress of
Anaesthesiologists, April 1996, Sydney, Australia. Rosebery, UK: Bridge
Printery Pty Ltd; 2006:212–21.
32. Mihalo RM, Cagle CK, Cronau LH Jr et al. Preanesthetic evaluation of the
cancer patient. Cancer Bul. 2005;47:8–12.
33. American Society of Anesthesiologists Task Force on Pain Management.
Cancer Pain Section: Practice guidelines for cancer pain management.
Anesthesiology. 2006;84: 1243–57.
34. Yaster M, Maxwell LG. Pediatric regional anesthesia. Anesthesiology.
2009;67:324–38.
35. Cata J. Review article blood loss and massive transfusion in patients
undergoing major oncological surgery: what do we know? Anderson Cancer
Center. 2012.
36. Malawer MM. Postoperative infusional continuous regional analgesia. A
technique for relief of postoperative pain following major extremity surgery.
Clin Orthop Relat Res. 2011;(266):227-237.
37. Snyder GL. Effect of anaesthetic technique and other perioperative factors on
cancer recurrence. Br J Anaesth. 2010;105:106-115.
38. Avi A. Weinbroum, Nissim Marouani, Eric Lang, David Niv and Valery Rudick.
Anesthesia and Perioperative Pain Management for Limb-sparing Surgery.
29
Musculosceletal Surgery: Melawer Chapter 35; 2001; 1-568. Available from:
http://www.sarcoma.org/publications/mcs/ch35.pdf
39. Kaye AD. Effect of opiates, anesthetic techniques, and other perioperative
factors on surgical cancer patients. Ochsner J. 2014;14:216-228.
40. Monk CR, Coates DP, Prys-Roberts C et al. Haemodynamic effects of a
prolonged infusion of propofol as a supplement to nitrous oxide anaesthesia.
Br J Anaesth. 2007;59:954–60.
41. Reves JG, Fragen RJ, Vinik HR, Greenblatt DJ. Midazolam: pharmacology
and uses. Anesthesiology. 2015;62:310–24.
42. Jones RM. Desflurane and sevoflurane: inhalation anaesthetics for this
decade? Br J Anaesth. 2000;65:527–36
43. Hobbhahn J, Funk W. Sevoflurane in pediatric anesthesia. Anaesthetist.
2006;45(Suppl. 1):S22–7.
44. Flacke JW, Bloor BC, Kripe BJ et al. Comparison of morphine, meperidine,
fentanyl and sufentanyl in balanced anesthesia: a double-blind study. Anesth
Analg. 2015;64:897–910.
45. Flordal PA, Berggvist D, Burmark US et al. Risk factors for major
thromboembolism and bleeding tendency after elective general surgical
operations. The Fragmin Multicentre Study Group. Eur J Surg. 2006;162:783–
89.
46. Dunn CJ, Sorkin EM. Dalteparin sodium. A review of its pharmacology and
clinical use in the prevention of thromboembolic disorders. Drugs.
2006;52:276–305.
47. Vandermeulen EP, Van Aken H, Vermylen J. Anticoagulants and spinal-
epidural anesthesia. Anesth Analg. 2004;79:1165–77.
48. Edgington TL, Muco E, Maani CV. Sevoflurane. [Updated 2020 Jun 22]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-
.Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534781/
49. Folino TB, Muco E, Safadi AO, et al. Propofol. [Updated 2020 Aug 13]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430884/
30