Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

MANAJEMEN ANESTESI PADA OPERASI


GASTREKTOMI

Disusun Oleh:
Eka Oktaviani
NIM : 71 2018 034

Pembimbing

dr. Rizky Novianti Dani, Sp. An

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan judul:


MANAJEMEN ANESTESI PADA OPERASI
GASTREKTOMI

Dipersiapkan dan disusun oleh


Eka Oktaviani, S.Ked.
712018034

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Anestesi Rumah Sakit Umum
Daerah Palembang Bari.

Palembang, Oktober 2020


Dosen Pembimbing

dr. Rizky Novianti Dani, Sp. An.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus mengenai
“Manajemen Anestesi Pada Operasi Gastrektomi” sebagai salah satu tugas
individu di SMF Anestesi. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir
zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan
pertimbangan perbaikan dimasa mendatang.

Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,


bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan maupun
tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih terutama kepada:

1. dr. Rizky Novianti Dani, Sp.An selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan laporan
kasus ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan co-ass serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
laporan kasus ini.
Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam
lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Oktober 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karsinoma Gaster .................................................................................. 2
2.1.1 Definisi ......................................................................................... 2
2.1.2 Epidemiologi ................................................................................ 2
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko ............................................................ 3
2.1.4 Patofisiologi ................................................................................... 4
2.1.5 Klasifikasi ...................................................................................... 4
2.1.6 Manifestasi Klinis .......................................................................... 6
2.1.7 Diagnosis ....................................................................................... 6
2.1.8 Tatalaksana .................................................................................... 9
2.1.9 Prognosis ....................................................................................... 11
2.2 Manajemen Anestesi Pada Operasi Osteosarcoma ............................... 13
2.2.1 Manajemen Anestesi .................................................................... 13
2.2.2 Pertimbangan Anestesi ................................................................. 16
2.2.3 Pemeliharaan Anestesi .................................................................. 16
2.2.4 Anelgesia Post-Operatif ................................................................ 19
BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................. 21
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 27
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 30

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi merupakan ilmu dibidang kedokteran khusus sebagai praktik


dokter yang bertujuan untuk pemberian anestesi, perawatan pada pasien sebelum,
selama dan setelah operasi atau pembedahan, dan memberi bantuan hidup dasar
pada pasien gawat darurat.1
Setiap pembedahan akan menjalani prosedur anestesi.1 Secara garis besar
anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi regional.
Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang reversible akibat
pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral.
Perbedaan dengan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan
bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran. Anestesi regional terbagi atas anestesi
spinal (anestesi blok subaraknoid), anestesi epidural dan blok perifer.2
Kanker gaster adalah suatu keganasan yang terjadi di gaster, sebagian besar
adalah jenis adenokarsinoma. Kanker gaster lebih sering terjadi pada usia lanjut
kurang dari 25 % kanker itu terjadi pada orang dibawah usia 50 tahun.3
Secara global, kanker gaster menempati urutan keempat diantara kanker
yang paling sering terjadi dan menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian
3
karena kanker. Kanker gaster menempati peringkat kedua setelah kanker paru-
paru dengan estimasi 755,500 kasus baru yang terdiagnosa. Insiden dari penyakit
ini telah menurun secara bertahap, dikarenakan perubahan dalam diet, dan faktor
lingkungan. Penurunan insiden dari kanker gaster terdapat pada Amerika Serikat,
dimana penyakit ini menempati urutan 14 dalam tingkat kematian karena kanker,
dengan estimasi 21,900 kasus baru dan 13,500 kematian pertahunnya. Dengan
perkecualian pada beberapa negara didunia, dimana prognosis penyakit ini masih
tetap buruk. Keseluruhan 5-year survival rate di Amerika Serikat dan kebanyakan
negara barat bervariasi dari 5% sampai 15%. Hal ini bisa terjadi disebabkan
multifaktorial. Tidak jelasnya faktor resiko yang ada dan gejala penyakit yang tidak
spesifik, dan insiden yang relatif rendah telah mengakibatkan penyakit ini sering
terdiagnosa pada stadium lanjut pada negara-negara Barat. Di Jepang, dimana
penyakit ini merupakan endemik, pasien didiagnosa pada stadium dini yang dapat

1
4
terlihat pada 5-year survival rate sebesar 50%.
Oleh sebab itu diperlukan informasi mengenai kanker gaster, cara
mendiagnosis hingga manejemen anestesi pada pasien yang mengalami operasi
gastrektomi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Gaster


2.1.1 Definisi
Kanker gaster adalah suatu keganasan yang terjadi di gaster, sebagian besar
adalah jenis adenokanker. Kanker gaster lebih sering terjadi pada usia lanjut kurang dari
25 % kanker itu terjadi pada orang dibawah usia 50 tahun.3

2.1.2 Epidemiologi
Kanker gaster merupakan kanker keempat yang paling sering terjadi di dunia.
Sekitar 600,000 kasus baru terdiagnosa setiap tahunnya, dan hampir dua pertiga dari
pasien meninggal dikarenakan kanker gaster. Kebanyakan kasus (65% sampai 75%)
4
kanker gaster muncul pada Negara berkembang. Insiden dari adenokarsinoma gaster
5
telah menurun pada Negara-negara barat pada empat dekade terakhir. Data dari
Surveillance Epidemiology and End Results (SEER) terlihat adanya penurunan insiden
dari 11.7 per 100,000 penduduk pada tahun 1975 menjadi 8.8 per 100,000 penduduk
4
pada tahun 2002 di Amerika Serikat. Bagaimanapun juga kanker gaster masih tetap
banyak pada Negara lainnya di dunia, dan tingkat mortalitasnya masih tetap tinggi. Age-
standardized insiden dari adenokarsinoma gaster bervariasi dari 10 per 100,000 populasi
sampai melebihi 80 per 100,000 populasi (Gambar 1). Tingkat mortalitas juga bervariasi
dari 5 per 100,000 populasi di Amerika Serikat sampai 35 per 100,000 populasi di Rusia
5
(Gambar 2). Di Amerika Serikat kanker gaster mempunyai insiden tertinggi pada pria
dibandingkan wanita (rasio sekitar 2:1). Insiden mulai meningkat sejak dekade keempat
3
dan mencapai puncaknya pada dekade ketujuh.

3
Insiden tertinggi dari kanker gaster ditemukan di jepang, amerika selatan, eropa
barat dan timur tengah. Pada kebanyakan Negara tingkat mortalitas hampir setara dengan
tingkat insiden, di Chile dan Costa Rica, tingkat mortalitas melebihi 40 per 100,000
populasi. Berkebalikan dengan daerah insiden yang rendah, seperti New Zealand dan
Australia, mempunyai tingkat mortalitas kurang dari 10 per 100,000 populasi. Di Jepang,
meskipun epidemic dari kanker gaster, telah terlihat penurunan mortalitas sejak 1970
4
sebagai hasil dari dilakukannya screening berskala besar.
Meskipun insiden dari kanker gaster distal telah menurun, tetapi insiden dari
kanker gaster kardia dan proksimal terutama pada gastroesophageal (GE) junction dan
3,4,5
distal esophagus tetap meningkat. Pada penelitian The Rochester Epidemiology
Project menunjukkan penurunan pada kanker gaster, tetapi hanya pada kanker gaster
distal dan tipe intestinal, insiden dari kanker gaster proksimal dan kanker gaster tipe
diffuse tetap stabil. Peningkatan lesi gaster proksimal sekitar 4.3% pada pria kulit putih,
4.1% pada wanita kulit putih, 3.6% pada pria kulit hitam dan 5.6% pada wanita kulit
hitam.
Perubahan trend ini mengkhawatirkan karena kanker gaster proksimal
mempunyai prognosis yang lebih buruk bila dibandingkan dengan kanker gaster
3
distal. Pergeseran kanker gaster dari distal ke proksimal telah ditunjukkan pada
berbagai penelitian dan memperlihatkan adanya faktor lingkungan yang beperan dalam
4
patogenesis dari kanker gaster. Prevalensi obesitas yang meningkat di Amerika Serikat
mungkin merupakan salah satu faktor, karena BMI dan asupan kalori telah
3
dihubungkan dengan adenokarsinoma pada esophagus distal dan gastric cardia.

4
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Dua bentuk dari kanker gaster dapat dibedakan dari faktor resiko dan
histologinya.Kanker gaster tipe difuse dihubungkan dengan faktor herediter dan lokasi
kanker proksimal dan tidak muncul dari lesi prekanker (intestinal metaplasia atau
dysplasia). Kanker gaster tipe intestinal berlokasi lebih ke distal, muncul pada usia muda,
lebih sering bersifat endemik, berhubungan dengan perubahan inflamasi dan infeksi
Helicobacter pylori. Faktor risikonya antara lain:

1. Diet. Kanker gaster telah dihubungkan dengan daging merah, cabai, merica, ikan,
makanan yang diasamkan, diasinkan, diasapkan, diet tinggi karbohidrat,
rendahnya konsumsi lemak, protein dan vitamin A, C, dan E. Makanan yang
diasamkan, diasinkan,diasapkan merupakan faktor resiko “probable” kanker
3,4,6,7
gaster menurut panel ahli WHO/FAO, efek karsinogenik dari makanan yang
diasamkan, diasinkan, diasapkan dikarenakan tingginya kandungan garam dan nitrat.
Pada penelitian dengan menggunakan hewan, terlihat adanya efek karsinogenik dari
N-nitroso compounds (N=-nitro-N- nitrosoguanidine), Nitrat dirubah mejadi
4
carcinogenic nitrite compounds pada gaster. Sedangkan diet selenium, zinc,
3,6,7
cooper, besi, dan mangan dihubungkan dengan rendahnya resiko kanker gaster.
Gastric bacteria (lebih sering terdapat pada gaster yang achlorhydric pada pasien
dengan atrophic gastritis) merubah nitrate menjadi nitrite, yaitu sebuah
3,7
karsinogen. Menurunnya konsumsi dari makanan tinggi nitrat terlihat sebagai
4,7
penyebab menurunnya kanker gaster pada utara US dan Eropa barat.

2. Infeksi. pada tahun 1982, Marshall dan Warren mengisolasi H.pylori untuk
pertama kali dari biopsi epitel gaster. Peranan H.pylori dalam menginisiasi cedera
mukosa dan terjadinya gastritis atropik kronis telah diketahui dengan baik. Pada
pasien yang menjalani reseksi karena kanker gaster tipe intestinal, teridentifikasi
H.pylori pada jaringan nonkanker pada hampir 90% pasien, bila dibandingkan
3,6
dengan 32% kanker gaster tipe difuse. Beberapa penelitian juga melaporkan
hubungan yang signifikan antara infeksi H.pylori dan kanker gaster, terutama
5
kanker gaster distal. Pembentukan kanker gaster berhubungan dengan
meningkatnya level antibody immunoglobulin G dan paling tinggi ketika interval
antara infeksi H.pylori dan diagnosis kanker gaster lebih dari 10 tahun. Peneliti
lainnya juga menemukan tingginya infeksi H.pylori pada pasien dengan kanker
gaster tipe intestinal namun tidak pada kanker gaster tipe difuse. Meskipun
H.pylori di perhitungkan oleh World Health Organization (WHO) sebagai
carcinogen kelas 1,3,5 faktor host dan bakteri. Pasien dengan output asam lambung
yang tinggi akan mempunyai gastritis predominan antral, yang merupakan
predisposisi ulkus duodenum. Pasien dengan output asam lambung yang rendah
akan memiliki gastritis dari body gaster, yang merupakan predisposisi dari ulkus
gaster dan memulai inisiasi kanker gaster. Infeksi H.Pylori juga menyebabkan
pembentukan mucosa associated lymphoid tissue (MALT) pada mukosa gaster.
Lymphoma malignant yang muncul dari jaringan MALT merupakan komplikasi
lainnya dari H.pylori yang jarang terjadi. Pada penelitian insiden dari infeksi
H.pylori berkisar 61% dan 76%, mengindikasikan bahwa kebanyakan infeksi
3
tidak membentuk kanker gaster dan faktor lainnya penting sebagai pathogenesis.
7
Resiko pasien dengan infeksi kronik H.pylori meningkat sebesar tiga kali, tetapi
sejak H. pylori terdapat pada 80% pasien di Negara berkembang, adanya bakteri
ini mempunyai nilai yang kurang bermakna ketika terdeteksi dan mayoritas pasien
yang memiliki infeksi H. pylori memiliki gastritis kronik. 5Seperti yang telah
diketahui bahwa H.pylori merupakan mikroorganisme penting dalam
pembentukan ulkus peptikum. Yang menarik adalah pada pasien dengan riwayat
ulkus peptikum lebih sering terjadi kanker gaster bila dibandingkan pada pasien
tanpa infeksi H.pylori, dan pasien dengan riwayat ulkus duodenum mempunyai
resiko yang rendah untuk terjadinya kanker gaster. Hal ini mungkin dikarenakan
pada beberapa pasien membentuk antral-predominant disease (predisposisi untuk
ulkus duodenum dan bersifat proteksi terhadap kanker gaster), sementara pada
pasien yang dengan gastritis corpus- predominant, mengakibatkan
hypochlorhydria dan merupakan predisposisi dari ulkus peptikum dan kanker
gaster. Yang menarik juga bahwa pasien dengan infeksi H.pylori mempunyai

6
resiko yang rendah untuk terbentuknya adenocarcinoma dari esophagus distal dan
regio cardia. Mungkin karena corporeal gastritis menurunkan sekresi asam
lambung, sehingga mengurangi sekresi asam lambung, dan mengurangi
kemungkinan reflux dan resiko Barrett’s esophagus, yang merupakan lesi
precursor dari kanker gaster. Meskipunn infeksi H.pylori telah secara jelas
merupakan faktor resiko untuk terjadinya kanker gaster, namun harus diketahui
bahwa pembentukan kanker gaster merupakan multifaktor. Tidak semua pasien
dengan kanker gaster mempunyai infeksi H. pylori, dan pada beberapa daerah
terdapat prevalensi tinggi dengan infeksi kronik H. pylori dan rendahnya prevalensi
dari kanker gaster (the "African enigma").7 Virus Epstein-Barr telah diidentifikasi
pada kanker gaster dengan fitur lymphoepithelioid, dan berhubungan dengan kanker
3,6
pada usia muda dan berlokasi pada kardia.

3. Herediter dan Ras. African, Asian, dan Hispanic Americans mempunyai resiko
tinggi untuk menderita kanker gaster bila dibandingkan dengan orang kulit putih.
Pola histologi difuse terlihat predominan pada keluarga dengan beberapa anggota
6
keluarga yang terkena kanker. munculnya kanker gaster yang tersebar pada
kerabat terdekat memperlihatkan bahwa terdapat kemungkinan genetik untuk
terjadinya kanker gaster, dengan insiden berkisar 1%-15% dari semua kanker
gaster. Contohnya adalah pada keluarga Bonaparte, napoleon, ayahnya dan
kakeknya meninggal dikarenakan kanker gaster. Kanker gaster juga muncul pada
anggota keluarga yang terdiagnosa dengan hereditary nonpolyposis colorectal
3
cancer (HNPCC) dan Li-Fraumeni syndrome. Berbagai varian dari abnormalitas
genetik telah dideskripsikan, dimana kebanyakan kanker gaster bersifat aneuploid.
Abnormalitas genetik yang paling sering terlibat pada kanker gaster adalah pada
gen p53 dan COX-2. Lebih dari dua pertiga kanker gaster mempunyai deletion atau
suppression dari tumor supresor gen p53. Dan dengan proporsi yang sama pada
overexpression gen COX-2. 7

4. Polip gaster. Setidaknya setengah dari polip adenomatous menunjukkan


perubahan carcinomatous pada beberapa penelitian. Pasien dengan familial
adenomatous polyposis (FAP) memiliki insiden yang tinggi dari kanker gaster
7
sekitar 50%, dan sepuluh kali lebih sering untuk membenttuk adenocarcinoma.7
Pasien dengan polip adenomatous atau FAP hasrus menjalani endoscopi
surveillance.6 Terdapat lima tipe dari polip epithelial gaster: inflammatory,
hamartomatous, heterotopic, hyperplastic, dan adenoma. Tiga jenis pertama
mempunyai kemungkinan kecil untuk terjadinya malignansi. Adenomas dapat
membentuk karsinoma, dan harus diangkat ketika terdiagnosa. Secara kebetulan,
hyperplastic polyps (> 75% dari semua polip gaster) tidak terlihat potensial
malignansi,6 namun dapat manjadi karsinoma dengan insiden <2%.7

5. Gastritis kronik. Chronic atrophic gastritis merupakan precursor paling sering


untuk kanker gaster, terutama pada tipe intestinal. Pada penelitian di Jepang, 95%
pasien dengan kanker gaster dini mempunyai atrophic gastritis, dan pada
penelitian lainnya resiko untuk membentuk kanker gaster sebesar 20% ketika
gastritis berat melibatkan antrum, dan 5% ketika gastritis melibatkan body
gaster.6,7

8
2.1.4 Patofisiologi

2.1.5 Manifestasi Klinis


Oleh karena manifestasi klinis terjadi pada akhir perjalanan penyakit,
maka kanker lambung jarang terdeteksi pada stadium awal. Kecuali,
perdarahan atau perforasi terjadi, manifestasinya samar dan tidak jelas.
Adanya massa teraba, asites dan nyeri tulang yang disebabkan oleh metastasis
mungkin adalah manifestasi pertama. Manifestasi beragam, bergantung pada
lokasi tumor di lambung. Jika kanker tumbuh didekat kardia, klien mungkin
mengalami disfagia karena keterlibatan awal esofagus. Jika kanker di dekat
pilorus manifestasi mungkin berasal dari obstruksi.4
Pada pengkajian akan didapatkan penurunan berat badan, gangguan
pencernaan yang samar, anoreksia, atau perasaan kenyang atau
ketidaknyamanan ringan yang sangat tersembunyi sehingga klien tidak
menyadarinya sebagai kelainan. Ketidaknyamanan mungkin disebabkan atau
diredakan dengan makan, anemia karena kehilangan darah umumnya terjadi,
dan mungkin terdapat gumpalan darah di feses. Adanya kadar asam laktat dan
dehidrogenase laktat tinggi (LDH) pada cairan lambung menunjukkan
karsinoma.4

Tanda dan Gejala yang ditemui antara lain:4

• Anemia, perdarahan samar saluran pencernaan dan


mengakibakandefisiensi Fe mungkin merupakan keluhan utama
karsinomagaster yang paling umum.
• Penurunan berat badan, sering dijumpai dan menggambarkan
penyakit metastasis lanjut.
• Muntah, merupakan indikasi akan terjadinya (impending)
obstruksi aliran keluar lambung.
• Disfagia atau sulit menelan.
• Nausea atau rasa ingin muntah
• Kelemahan
9
• Hematemesis atau muntah darah
• Regurgitasi adalah keluarnya kembali sebagian susu/ cairan
yang telah ditelan melalui mulut dan tanpa paksaan, beberapa
saat setelah minum susu/air.
• Mudah kenyang.
• Asites perut membesar.
• Kram abdomen.
• Darah yang nyata atau samar dalam tinja.
• Pasien mengeluh rasa tidak enak pada perut terutama sehabis
makan.

2.1.7 Diagnosis

2.1.8 Tatalaksana

2.1.9 Prognosis

2.2 Manajemen Anestesi pada Operasi Osteosarcoma Regio Panggul


2.2.1 Manajemen Anestesi
Kompleksitas anatomi panggul dan luasnya pertumbuhan tumor
membuat sulit untuk mengontrol pengobatan pasien dengan neoplasma
panggul. Sarkoma panggul mewakili 5 sampai 10% dari semua tumor tulang
ganas; yang paling umum adalah kondrosarkoma, sarkoma Ewing, dan
osteosarkoma.24-27
Penilaian pra operasi pasien untuk anestesi dimulai dua hingga tiga
minggu sebelum tanggal operasi yang dijadwalkan. Jika memungkinkan,
pasien akan diperiksa oleh ahli anestesi, namun untuk pasien di daerah
pedesaan penilaian awal dapat dilakukan melalui konsultasi telepon.
Sementara penilaian pra operasi mencakup tinjauan sistem yang biasanya
dilakukan untuk semua jenis operasi, yang paling penting adalah pengetahuan
tentang lokasi dan patologi tumor serta jenis dan dampak dari terapi adjuvan
pra operasi.30
Pemahaman tentang jenis, lokasi dan ukuran tumor membantu ahli
10
anestesi menilai sejauh mana pembedahan diperlukan. Hubungan erat dengan
ahli bedah terjadi pada tahap ini untuk memastikan jenis prosedur
pembedahan yang direncanakan termasuk metode rekonstruksi panggul yang
diusulkan. Misalnya, tumor besar, membutuhkan reseksi ekstensif dengan
dekat dengan struktur vaskular akan lebih mungkin mengalami kehilangan
darah yang lebih besar, trauma jaringan yang lebih besar dan membutuhkan
dukungan pasca operasi yang intensif daripada tumor yang lebih kecil dan
dalam posisi bedah yang lebih baik. Tumor yang terletak di posterior panggul
lebih mungkin melibatkan diseksi rumit di sekitar pleksus lumbosakral dan
memakan waktu jauh lebih lama daripada tumor berukuran sama yang terletak
di anterior di panggul. Pembuluh darah iliaka interna lebih mungkin
menimbulkan masalah bila tumor terletak di posterior panggul. Tumor
panggul anterior yang memerlukan pembedahan di dekat leher kandung kemih
bermasalah karena pleksus vena perivesikal yang sering berdarah berat atau
terus menerus. Pemotongan tulang mengekspos tulang yang berdarah dan
dapat menjadi sumber perdarahan yang berkelanjutan. Tumor metastasis sel
ginjal luar biasa karena sangat vaskular dan berhubungan dengan kehilangan
banyak darah selama pembedahan.31
Pada pasien yang telah menerima kemoterapi atau radioterapi pra
operasi, penting untuk menilai dampak pengobatan tersebut pada fungsi
sumsum tulang. Pemeriksaan darah lengkap bisa menunjukkan anemia,
leukopenia berat, atau trombositopenia. Konsultasi dibuat dengan ahli
onkologi pasien untuk menentukan apakah gangguan hematologis akan pulih
sendiri sebelum operasi atau apakah setelah operasi.32
Prosedur hemipelvektomi ini merupakan tantangan dalam manajemen
bedah radikal neoplasma dan pekerjaan interdisipliner. Perdarahan, risiko
kerusakan neurologis, kondisi metabolisme pasien, manajemen anestesi, nyeri
pasca operasi, dan dampak fisik dari radioterapi atau pengobatan kemoterapi
sebelumnya merupakan elemen dasar pengobatan; Prosedur ini memiliki
angka kematian pasca operasi 6,4% dan kelangsungan hidup 5 tahun 24,3% ±
5,6, tergantung pada garis keturunan tumor dan setiap kasus.24,25
Hemipelvektomi ini disebut reseksi bagian panggul ipsilateral, yang
melibatkan reseksi sendi sakroiliaka ke cabang iliopubik dan ischiopubic. Ini

11
dianggap sebagai prosedur pembedahan yang jarang dan ada subdivisi reseksi
sesuai dengan area yang diangkat; dapat berupa fragmen salah satu komponen
panggul (hemipelvektomi internal) atau seluruh segmen dan sebagian pinggul
(hemipelvektomi eksternal).26 Ini umumnya dilakukan pada patologi
neoplastik ganas, meskipun kadang-kadang diperlukan pada lesi metastatik,
trauma berat atau infeksius.27,28
Perkembangan metastasis dijelaskan: lokal oleh kedekatan di rongga
panggul, yang menyebabkan masuk kesempatan operasi radikal organ
intrapelvis dan metastasis ke jarak dengan pengembangan hingga 25%.26
Selain itu, risiko pasca operasi dari operasi rekonstruksi panggul
ditambahkan, untuk mencoba menetapkan cara yang paling fungsional dan
mungkin untuk membuat pasien pulih, dengan kurang, keutuhan anggota
tubuh yang tidak direseksi akan direhabilitasi untuk kehidupan sehari-hari.25
Anestesi regional telah terbukti memberikan manfaat yang lebih besar
untuk jenis operasi ini, karena mengurangi penggunaan opioid, memberikan
analgesia pasca operasi, kontrol perdarahan yang lebih baik, dan jalan napas
yang paten. Kita harus mempertimbangkan infus obat intravena seperti
propofol, dexmedetomidine lebih banyak blok neuraksis yang didukung oleh
blok pleksus lumbal posterior; semua ini untuk mengontrol semua aspek
seperti hipotermia, aspirasi bronkial, imunosupresi, dan hipovolemia.27,33
Manajemen anestesi, resusitasi, dan prosedur reseksi onkologis saat ini
telah menurunkan risiko pembedahan.25 Anestesi regional pasca bedah
berlanjut melalui penggunaan kateter saraf perifer, dengan infus terkontrol;
Telah terbukti mengurangi penggunaan opioid dalam periode segera pasca
operasi hingga 80% dari mereka yang tidak menyusup dengan cara ini. Ini
bahkan merupakan teknik yang dapat direproduksi oleh ahli bedah.34
Faktor pasien yang paling mempengaruhi kondisi umumnya adalah:
anemia dan trombositopenia, imunosupresi, gagal ginjal dan jantung. Mereka
harus dievaluasi di dan pasca operasi: harus ada ketersediaan paket globular
dan turunannya, terapi antibiotik; jika diperlukan, akses vena kaliber besar;
garis arteri; kateter vena sentral untuk penggantian, dukungan obat vasoaktif,
terutama fungsi ginjal dan miokard yang adekuat. Pasien dengan kerapuhan
hemodinamik, dengan penyakit paru dan jantung mendapat manfaat dari

12
pemasangan kateter balon intrapulmonal (Swan-Ganz), selain pemberian obat
vasoaktif.33-35

2.2.2 Pertimbangan Anestesi


Anestesi untuk hemipelvectomy menantang karena melibatkan trauma
jaringan yang luas, potensi kehilangan darah yang masif dan potensi nyeri
pasca operasi yang parah. Manajemen perioperatif membutuhkan perawatan
dari tim perawatan kesehatan yang terkoordinasi dengan baik, terarah dan
terfokus.36
Dilakukan dengan minimal pemantauan non-invasif (EKG, NIBP dan
SPO2) dimana; terdapat risiko aspirasi, dengan mempertimbangkan pasien
yang menjalani kemoterapi atau radioterapi. Jalan nafas dalam kasus anestesi
umum harus dilindungi dengan manuver Sellick, selain intubasi, oleh karena
itu telah terbukti bahwa dengan mempertimbangkan semua risiko yang sudah
ada sebelumnya, anestesi regional lebih disukai, kecuali dalam kasus syok
hipovolemik33.
Kehilangan darah: kematian akibat hemipelvektomi akibat perdarahan
masif adalah 0-8%, dengan perkiraan kehilangan 400 sampai 12.100 mL;
Dalam studi retrospektif dari 160 hemipelvektomi, 13,4 bundel globular
dilaporkan selama dan setelah dua hari pasca operasi.33,34
Kecemasan: Menekan sistem kekebalan dan menciptakan kembali
lingkungan yang subur untuk kanker; stres psikologis meningkatkan
imunosupresi dan mengganggu aktivitas sel NK. Ini berfungsi sebagai
prediktor untuk lisis sel NK, faktor rekombinan IFN-c, dan respon proliferatif
limfosit dan protein yang berbeda.34,37
Hipotermia: telah dilaporkan dalam penekanan total aktivitas sel NK;
karenanya resistensi terhadap metastasis; Ini terjadi dengan suhu lebih dari
satu jam yaitu 33.8o-35.8o.34,37
Imunoterapi: meningkatkan aktivitas sel NK, selanjutnya ditingkatkan
dengan fentanil. Itu interaksi dengan IFN dan NK yang dipengaruhi oleh jenis
pembedahan dan anestesi. Dengan pemberian IL-2 dan ketorolac itu
berpengaruh pada NK.33,37

13
2.2.3 Pemeliharaan Anestesi
Tidak ada kontraindikasi penggunaan obat anestesi apapun, baik inhalasi
atau intravena, pada pasien dengan sarkoma. Pasien dengan perubahan fungsi
organ mungkin menunjukkan respon abnormal yang signifikan secara klinis
terhadap beberapa obat, terutama yang bergantung pada metabolisme hati atau
ekskresi ginjal. Tumor besar bisa berdarah dan membutuhkan penggantian 2-
4 unit darah. Hemodilusi dapat menurunkan tingkat kehilangan darah
intraoperatif dan perlunya transfusi darah alogenik yang kontroversial.33
Namun, hal itu dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik, terutama
pada pasien dengan anemia pra operasi atau defisiensi sistem otonom. Selama
pembedahan besar yang berkepanjangan (misalnya hemipelvektomi), efek
anestesi intravena atau inhalasi yang berkepanjangan dapat terlihat secara
klinis.33
Berbagai obat dapat digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi
pada pasien onkologi. Karakteristik umum mereka adalah kemampuan untuk
menyebabkan amnesia lengkap dan onset cepat sedasi atau hipnosis yang
dalam dan kemampuan untuk bersinergi dengan agen intravena atau inhalasi
lainnya. Propofol memiliki onset dan pemulihan yang cepat dan dapat
digunakan melalui infus. Ini juga memberikan beberapa efek antiemetik dan
memiliki efek samping yang lebih sedikit daripada anestesi umum lainnya.
Namun, kehati-hatian harus diberikan ketika propofol diberikan kepada pasien
yang hipovolemik, hemodinamik tidak stabil, atau yang menderita disfungsi
hati.38 Midazolam, benzodiazepine yang larut dalam air, sering digunakan
selama induksi dan pemeliharaan anestesi untuk prosedur jangka pendek,
intervensi yang memerlukan anestesi perawatan yang dipantau, atau sesi
kemoterapi pada anak-anak. Depresi pernafasan sentral berikutnya tidak
sedalam opioid atau hipnotik setelahnya, meskipun pemulihannya agak
lama.39
Selama 10 tahun terakhir isoflurane hampir sepenuhnya menggantikan
halotan. Isoflurane sering digunakan untuk pemeliharaan anestesi pada orang
dewasa dan anak-anak. Sevoflurane adalah agen inhalasi baru yang hampir
tidak menyebabkan iritasi saluran napas bagian atas, bahkan ketika diberikan

14
konsentrasi alveolar minimal (MAC) yang tinggi.40 Ini adalah agen yang
sangat baik untuk induksi inhalasi murni pada anak-anak, serta untuk
pemeliharaan pada pasien dari segala usia . Mual dan muntah lebih jarang pada
pasien yang telah menerima sevofluran dibandingkan pada mereka yang
menerima desflurane atau isoflurane.41 Karena cepat dan lancar baik selama
induksi dan pemulihan, sevoflurane adalah pilihan yang baik untuk sesi
kemoterapi atau radioterapi singkat pada anak-anak, terutama ketika jalur intra
vena tidak tersedia sebelum intervensi. Namun, agitasi dapat terjadi setelah
pemberian agen ini, terutama pada populasi pediatrik, dan perhatian khusus
harus diberikan pada pasien yang telah menerima sevoflurane. Selama periode
postanesthesia segera, midazolam dosis rendah dapat mengontrol agitasi.
Desflurane, agen inhalasi dengan onset cepat, sangat berguna untuk operasi
rawat jalan. Tidak dianjurkan untuk induksi pada populasi anak-anak karena
hubungannya dengan insiden batuk dan spasme laring yang tinggi. Relaksan
otot digunakan dalam kombinasi dengan yang lain obat bius narkoba. Obat
kerja pendek baru memiliki lebih sedikit efek samping dan memberikan
pengelolaan yang lebih baik dan kemungkinan penghentian anestesi umum
yang cepat. Ini termasuk atracurium, vecuronium, mivacurium, dan
rocuronium.41
Opioid, termasuk fentanil, sufentanil, alfentanil, dan remifentanil, sering
digunakan selama anestesi. Sufentanil adalah salah satu obat yang paling
banyak digunakan karena waktu onsetnya yang cepat dan waktu paruh
eliminasi yang singkat.42 Sufentanil tujuh sampai sepuluh kali lebih kuat
daripada fentanil. Karena tidak menumpuk di dalam tubuh, sufentanyl adalah
obat pilihan dalam prosedur pembedahan berkepanjangan. Remifentanyl
adalah opioid baru yang bekerja sangat pendek yang dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase. Waktu paruhnya sekitar 10 menit. Alfentanyl adalah
opioid kerja pendek dengan onset cepat. Durasi kerjanya dua sampai tiga kali
lebih pendek dari pada fentanil; Namun, sifat ini juga membatasi kemanjuran
analgesia pasca operasi obat. Secara farmakokinetika, alfentanyl adalah salah
satu dari sedikit opioid yang diindikasikan untuk operasi siang hari.42
Pasien onkologi lebih rentan dibandingkan pasien lain untuk
mengembangkan emboli paru dan trombosis regional pada periode pasca

15
operasi. Hal ini karena faktor prokoagulasi yang bersirkulasi, seperti puing-
puing tumor dan fragmennya yang terbalik, atau pembedahan yang
berkepanjangan.43 Antikoagulasi profilaksis dengan heparin dosis rendah atau
berat molekul rendah, dapat mencegah komplikasi ini.44 Rasio risiko terhadap
manfaat melakukan blok saraf pada pasien antikoagulan sebagian masih bisa
diperdebatkan. Infus anestesi lokal dan / atau opioid secara terus menerus
dalam kateter epidural yang telah dimasukkan sebelumnya tidak
dikontraindikasikan oleh pengobatan antikoagulan; namun, dengan adanya tes
koagulasi yang berubah, penyisipan atau pelepasan kateter tidak dapat
dilakukan.45

2.2.4 Analgesia Post-Operatif36


Mempertahankan layanan kontrol nyeri akut membutuhkan dedikasi dari
anggota tim manajemen nyeri. Mereka harus ada siang dan malam, dan segera
menanggapi segala jenis permintaan atau panggilan dari perawat, ahli bedah,
pasien, atau keluarga. Setiap rumah sakit yang merawat pasien kanker harus
memiliki tim yang bertanggung jawab untuk mengoperasikan layanan
pengendalian rasa sakit. Kelompok ini termasuk ahli anestesi dan intensivis,
ahli bedah, perawat, psikolog, pekerja sosial, dan sukarelawan. Semua pasien
yang mengalami masalah nyeri diperkenalkan ke tim. Dengan dokter yang
merawat mereka memilih protokol terbaik untuk pasien tertentu. Meskipun
keputusan ini dibuat secara terpisah dari jenis pembedahan, keputusan ini
harus mempertimbangkannya.
Perawatan nyeri pasca operasi yang berhasil tergantung pada beberapa
faktor. Pertama, tim bedah harus mendiskusikan rencana tersebut secara detail
dengan anggota keluarga terpilih yang harus dilatih untuk melaksanakan
rencana tersebut. Keluarga harus mematuhi rencana pengendalian rasa sakit
dan yakin itu akan melayani pasien secara optimal. Kedua, orang yang objektif
seperti perawat yang merawat harus sering melakukan penilaian nyeri selama
periode segera pasca operasi. Ketiga, pasien harus melaporkan rasa sakitnya
secara objektif, tanpa melebih-lebihkan atau meremehkan tingkat
keparahannya. Setiap efek samping juga harus dilaporkan. Efek samping
mungkin merupakan tanda pertama kebutuhan untuk hentikan cara

16
pengobatan, ubah dosis, atau ganti ke obat lain. Perawat harus secara teratur
mencatat tanda-tanda vital pasien (misalnya detak jantung, tekanan darah, laju
pernapasan, dan oksimetri nadi oksigen) dan memastikan tanda-tanda tersebut
tetap dalam batas yang dapat diterima pada pasien tertentu. Perawat dan
seluruh tim harus bersiap untuk mengambil tindakan untuk menghentikan
pengobatan nyeri bila perlu, serta untuk memulai tindakan resusitasi dan
meminta bantuan dalam keadaan darurat.
Penting untuk meresepkan dosis yang tepat dan menunjukkan cara
pemberian setiap obat, serta menghitung dosis secara akurat. Pasien onkologi
biasanya memerlukan serangkaian prosedur berulang setelah operasi. Tujuan
dari modalitas pengendalian rasa sakit adalah untuk mengurangi, atau bahkan
menghilangkan, rasa sakit yang terkait dengan pengobatan. Semakin patuh
pasien dengan sistem pengendalian rasa sakit, dan semakin tepat dosis dan
jenis obatnya, semakin kuat pasien dalam menjalani protokol terapeutik
tambahan

17
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identifikasi
Nama : An. C
No RM : 30.69.42
Tanggal lahir : 11 Mei 2014
Umur : 6 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tanggal MRS : 5 Oktober 2020

3.2 Anamnesis (Autoanamnesis) tanggal 5 Oktober 2020


3.2.1 Keluhan Utama
Adanya benjolan/massa yang membesar di panggulnya sebelah kanan

3.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit :


Pasien datang ke UGD RSUD Palembang Bari dengan keluhan muncul massa
yang membesar di panggulnya sejak 2 tahun sebelum masuk. Massa tumbuh
perlahan tanpa rasa sakit sampai 4 bulan yang lalu, saat rasa sakit dimulai. Sebelum
sakitnya timbul, ia dirawat dengan pengobatan alternatif (herbal), namun tidak ada
perbaikan dan massanya tetap membesar. Setelah sakitnya timbul, dia dibawa ke
rumah sakit umum setempat dan kemudian dirujuk ke RSUD Palembang Bari.
Selain nyeri dan massa yang membesar di panggul, orangtuanya juga mengeluhkan
pasien tidak mampu berdiri sejak sekitar 3 minggu yang lalu akibat rasa sakit itu
sendiri.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat alergi makanan disangkal
2. Riwayat asma disangkal
3. Riwayat operasi disangkal
4. Riwayat alergi obat disangkal
5. Riwayat hipertensi disangkal

18
6. Riwayat diabetes mellitus disangkal
7. Riwayat anestesi disangkal

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat alergi makanan disangkal
2. Riwayat asma disangkal
3. Riwayat operasi disangkal
4. Riwayat alergi obat disangkal
5. Riwayat hipertensi disangkal
6. Riwayat diabetes mellitus disangkal
7. Riwayat anestesi disangkal

3.2.5 Riwayat Pengobatan


Tidak ada

3.3 Keadaan Pra Anestesi


Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital
BB : 23 kg
TB : 90 cm
TD : 120/80 mmHg
Pernafasan : 24x/menit
Nadi : 92x/menit
Suhu : 36,8℃
Airway
- Clear, tidak ada sumbatan jalan nafas
- Suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.
- Respiratory Rate (RR) : 24x/menit
- Penilaian LEMON
L (Look) : trauma fasialis (-)
E (Evaluation) : Buka mulut. Jarak antar gigi incisivus >3jari
Jarak hyoid mental >3 jari
Jarak thyromental >2 jari

19
M (mallampati Score) : 1
O (Obstruction) : Tidak terdapat sumbatan.
N (Neck Mobility) : mobilitas maksimal
Breathing
- Suara napas vesikuler
- Tidak ada retraksi iga
- Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan
Circulation
- Akral hangat, tidak pucat, kering.
- Heart Rate (HR) 100 kali/menit, tegangan volume kuat dan cepat.
- Capillarity refill time (CRT) < 2 detik
- Konjungtiva tidak anemis.
Disability : GCS 15 (E:4 V:5 M: 6).
Exposure : Pasien diselimuti

3.4 Pemeriksaan Khusus


Kulit : Dalam batas normal
Kepala:
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : tidak ada secret/bau/perdarahan
Telinga : tidak ada secret/bau/perdarahan
Mulut : bibir tidak sianosis, tidak ada pigmentasi, mukosa tidak pucat.

Leher:
Dalam batas normal
Thoraks:
Cor:
I: ictus cordis tidak tampak
P: ictus cordis teraba normal di ICS V MCL Sinistra
P: batas jantung ICS IV Parasternal dekstra sampai ICS V MCL sinistra
A: BJ I dan II normal
Pulmo:
I: Simetris, tidak ada retraksi, tidak ada ketertinggalan gerak
P: Fremitus raba normal
20
P: Sonor
A: Vesikuler +/+, Ronkhi -/- Wheezing -/-
Abdomen:
I : Cembung
A: bising usus (+) normal
P: redup
P: soepel
Ekstremitas:
Look : Pada regio gluteus dekstra terdapat massa sebesar buah melon,
venektasi (-)
Feel : Terdapat massa dengan diameter 11 cm, teraba keras, terfiksir,
nyeri tekan (+)
Move : ROM terbatas

3.5 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap 5 Oktober 2020 Nilai Rujukan
Hemoglobin 13,9 g/dl 13,3-16,6 g/dl
Leukosit 13,800/mm3 3,370-8,380 /mm3
Trombosit 308.000/mm3 172.000-378.000 /mm3
LED 28 mm/jam <29 mm/jam
Hitung Jenis 0/0/0/56/28/6

21
b. Pemeriksaan Foto Rontgen

Resume

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penujang diatas, maka :


• Diagnosis klinis : Osteosarcoma di Regio Ischium Dextra
• Diagnosis Anestesi: ASA 2
• Rencana operasi : Hemipelvictomy dengan pendekatan Buttockectomy
• Rencana Anestesi : Anestesi Regional dengan Opioid

3.7 Laporan anestesi durante operasi (Catatan Anestesi)


Mulai anestesi : 6 Oktober 2020, pukul 11:00 WIB
Lama anestesi : 30 menit
Lama operasi : 90-600 menit
3.7.1 Status Fisik ASA
ASA 2
3.7.2 Penyulit Pranastesi
Tidak ada
3.7.3 Ceklist Sebelum Induksi
- Izin operasi :+
- Cek mesin anestesi :+
- Check suction unit :+
- Persiapan obat-obatan : +
3.7.4 Teknik Anestesi
Regional anestesi

22
3.7.5 Monitoring
SpO2 :+
TD :+
HR :+
3.7.6 Posisi Pasien
Terlentang
3.7.7 Pramedikasi :
Aprotinin (IV), dosis pemuatan dua juta unit penghambat kallikrein (KIU),
diikuti dengan 0,5 juta KIU per jam dengan infus kontinyu.
3.7.8 Induksi
Propofol 40 mg (IV), Sevoflurane 2.6%

3.8 Post Operasi


Selesai operasi pasien belum sadar kemudian pasien dipindahkan ke bangsal bedah.
3.8.1 ADLRETE Score : 10
1. Sirkulasi :2
2. Kesadaran :1
3. Oksigenasi :2
4. Warna Kulit :2
5. Aktivitas :1
* Score min 8 boleh pindah ruangan
3.8.2 Intruksi Pasca Bedah
Bila kesakitan : Sesuai instruksi dokter
Bila mual/muntah : Sesuai instruksi dokter
Antibiotik : Sesuai instruksi dokter
Obat-obatan lain : Sesuai instruksi dokter
Infus : Sesuai instruksi dokter
Minum : Sesuai instruksi dokter
Pemantauan Tanda Vital dan GCS: Tiap 60 menit selama 24 jam.

23
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien merupakan pasien perempuan, 6


tahun, merupakan pasien yang mengalami benjolan atau adanya massa di regio
panggul sebelah kanan. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan, diketahui pasien menderita osteosarcoma. Pasien
ditetapkan pada klasifikasi PS ASA 2 disebabkan pasien dengan penyakit sistemik
ringan dimana selain adanya osteosarcoma didapatkan juga adanya leukositosis
(13.800/mm3).
Pada kasus ini, dilakukan penilaian status dan evaluasi status generalis dengan
pemeriksaan fisik dan penunjang (pemeriksaan laboratorium) untuk mengoreksi
kemungkinan adanya gangguan fungsi organ yang mengancam serta
mempersiapkan darah untuk transfusi untuk mengantisipasi adanya perdarahan
pada pasien. Selain itu, pasien dipuasakan selama 8 jam sebelum dilakukan operasi.
Anestesi regional (regional anaeshthesia) dipilih menjadi pilihan anestesi
berdasarkan atas indikasi dimana anestesi regional telah terbukti memberikan
manfaat yang lebih besar untuk jenis operasi ini, karena mengurangi penggunaan
opioid, memberikan analgesia pasca operasi, kontrol perdarahan yang lebih baik,
dan jalan napas yang paten. Dimana tindakan operasi pada osteosarcoma khususnya
di regio panggul dapat menyebabkan berbagai komplikasi salah satunya adalah
perdarahan. Sehingga dilakukan anestesi regional yang memiliki kontrol
perdarahan yang lebih baik. Selain itu, pasien terbangun lebih cepat dan memiliki
efek samping sistemik yang minimal.33,37
Pada kasus ini dilakukan pemberian premedikasi kurang lebih 5 menit sebelum
dilakukan induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
membangun reaksi anestesi itu sendiri, diantaranya yaitu meredakan kecemasan dan
ketakutan pada pasien yaitu dengan pemberian sedacum. Pada pasien ini diberikan
premedikasi aprotinin, dimana aprotinin telah terbukti mengurangi secara efektif
intraoperatif dan kehilangan darah perioperatif dan transfusi darah pada bedah
ortopedi mayor.29,40 Aprotinin telah digunakan secara rutin untuk hemipelvektomi
sejak 2001 sejalan dengan publikasi penelitian klinis dan laporan tentang
penggunaannya yang efektif baik dalam bedah ortopedi maupun jantung. Dalam

24
seri ini aprotinin secara klinis tampak mengurangi kehilangan darah mikrovaskular
dari pemotongan margin tulang.36
Pemilihan anestesi intravena propofol pada kasus ini dikarenakan propofol
memiliki onset dan pemulihan yang cepat dan dapat digunakan melalui infus. Ini
juga memberikan beberapa efek antiemetik dan memiliki efek samping yang lebih
sedikit daripada anestesi umum lainnya.47 Sevofluran juga diberikan karena pasien
ini merupakan pasien anak-anak sehingga memerlukan sedasi atau anestesi agar
tidak bergerak selama prosedur. Teknik inhalasi memungkinkan kebangkitan yang
cepat dan lebih disukai daripada obat penenang parenteral seperti benzodiazepin.
Sevoflurane sangat ideal untuk tujuan ini karena kelarutannya yang rendah.
Sevoflurane adalah agen inhalasi baru yang hampir tidak menyebabkan iritasi
saluran napas bagian atas, bahkan ketika diberikan konsentrasi alveolar minimal
(MAC) yang tinggi.40 Ini adalah agen yang sangat baik untuk induksi inhalasi murni
pada anak-anak, serta untuk pemeliharaan pada pasien dari segala usia. Mual dan
muntah lebih jarang pada pasien yang telah menerima sevofluran dibandingkan
pada mereka yang menerima desflurane atau isoflurane.41 Karena cepat dan lancar
baik selama induksi dan pemulihan, sevoflurane adalah pilihan yang baik untuk sesi
kemoterapi atau radioterapi singkat pada anak-anak, terutama ketika jalur intra vena
tidak tersedia sebelum intervensi.46

25
BAB V
KESIMPULAN

1. Jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu regional anestesi dengan menggunakan
opioid

2. Obat-obatan yang digunakan dalam premedikasi adalah Aprotinin (IV), dosis


pemuatan dua juta unit penghambat kallikrein (KIU), diikuti dengan 0,5 juta KIU per
jam dengan infus kontinyu sedangkan untuk induksinya diberikan obat Propofol 40
mg (IV), Sevoflurane 2.6%.

3. Post operasi pasien dirawat di bangsal perawatan bedah untuk dimonitoring stabilitas
pasien post operasi sampai keadaan umumnya membaik yang kemudian dapat
dipulangkan.

4. Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan regional anestesi pada operasi
osteosarcoma regio panggul.

5. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari
segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan & Mikhail’s. Clinical Anesthesiology. 6 th ed., Lane Medical


Books/MsGraw Hill, New York, 2018.
2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s clinical
anesthesiology. 5th edition. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
3. Devita, VT, Hellman, S, Rosenberg, SA. Cancer: Principles and Practice of
Oncology 8th. 8th edition. s.l. : Lippincott Williams & Wilkins Publishers, 2015.
4. Clark, R et al. Current Problems in Surgery: Gastric Cancer. 2016, Vol. 43, pp.
566-670.
5. Zinner MJ, Ashley SW. Maingot’s Abdominal Operations. 11th edition. USA :
The McGraw-Hill Companies, 2017.
6. Casciato DA, Lowitz BW. Manual of Clinical Oncology. s.l. : Lippincott
Williams & Wilkins, 2010.
7. Schwartz, SI. 2015. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of
America: The McGraw-Hills Company.

8. Ando K, Heymann M, Stresing V, Mori K, Redini F, Heymann D. Current


therapeutic strategies and novel approaches in osteosarcoma. Cancers.
2013;5:591-616
9. Solomon L, Warwick D. Nayagam S. Apley’s system of orthopaedics and
fractures. 8th ed. NewYork: Oxford University Press Inc; 2011.p.185-218.
10. Gebhardt, Mark C, Hornicek, Francis J. Osteosarcoma. Orthopaedic knowledge
update musculoskeletal tumors. American Academy of Orthpaedic Surgeons.
1st ed. New York: McGraw-Hill; 2012.p.175-82.
11. Bechler JR, Robertson WW, Meadows AT, Womer RB. Osteosarcoma as a
second malignant neoplasm in children. J Bone Joint Surg Am 2014;74:1079-
83.
12. Fahey M, Spanier SS, Vander Griend RA. Osteosarcoma panggul: studi
klinis dan histopatologi dari dua puluh lima pasien.J Bone Joint Surg [Am].
2012; 74: 321-30.

27
13. Wittig, James C, Bickels J, Priebat D, et al. Osteosarcoma: a multidisciplinary
approach to diagnosis and treatment. A peer reviewed Journal of American
Academic of Family Physicians 2012.
14. Raymond AK, Ayala AG, Knuutila S dkk. Conventional osteosarcoma. In:

World health organization classification of tumors of soft tissue and bone. 1st
ed. Lyon: IARC Press. 2012; p. 264-85.
15. Ritter J, Bielack SS. Osteosarcoma. Annals of oncology. 2010;21:320-5
16. Frassica, Frank J, Frassica, Deborah A, McCarthy, Edward F. Orthopaedic
pathology. In: Miller, Mark D, editors. Review of orthopaedics. 4th ed.
Philadelphia: Saunder; 2014.p.440-58.
17. Tsuji Y, Kusuzaki K, Kanemitsu K, et al. Calcaneal osteosarcoma associated
with werner syndrome. The Journal of Bone and Joint Surgery 2010;82:9-12.
18. Katagiri H, Takahashi M, Takagi T, Nakagawa M. Osteosarcoma of the talus
treated successfully with limb-sparing surgery. A case report. J Bone Joint Surg
Am 2018;90:869-74.
19. Scully SP, Ghert MA, Zurakowski D, Thompson RC, Gebhardt MC. Pathologic
fracture in osteosa- rcoma: prognostic importance and treatment implications.
J Bone Joint Surg Am 2012;84:49-57.
20. Bacci G, Scully SP, Ghert MA, et al. Pathologic fracture in osteosarcoma. J
Bone Joint Surg Am 2013;85:1848-9.
21. Palmerini E, Staals EL, Ferrari S, et al. Nonresectable multiple lung metastases
of high grade osteosarcoma of the humerus: stable after twelve years. A case
report. J Bone Joint Surg Am 2014;90:2240-4.
22. Lewis VO, Gebhardt MC, Springfield DS. Parosteal osteosarcoma of the
posterior aspect of the distal part of the femur. J Bone Joint Surg Am
2010;82:1083.
23. Koyama J, Ito J, Hayashi T. Periosteal osteosarcoma of the mandibule.
Dentomaxillofascial Radiology 2012;31:63-4
24. Imran H, Enders F, Krailo M, et al. Effect of time to resumption of chemotherapy
after definitive surgery on prognosis for non-metastatic osteosarcoma. J Bone
Joint Surg Am 2015;91:604-12.
25. Simon MA, Aschliman MA, Thomas N, Mankin HJ. Limb-salvage treatment
versus amputation for osteosarcoma of the distal end of the femur. J Bone Joint

28
Surg Am 2005; 87: 2822. Accesed on Oct 8th. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4782023/pdf/main.pdf
26. Monlar R. Anaesthesia for hemipelvectomy--a series of 49 cases. Anaesth
Intensive Care. 2007;35:536-543. Accessed on Oct 8th. Available from:
https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0310057X0703500412
27. Stoliarov VI. Interiliac-abdominal amputation in sarcoma of the bones and soft
tissues of the pelvic girdle. Vestn Khir Im I I Grek. 1983;131:60- 64.
28. Pring ME. Chondrosarcoma of the pelvis: a review of sixty-four cases. J Bone
Joint Surg Am. 2011;83:1630-1642.
29. Mavrogenis A. Pelvic resections. Orthopedics. 2012;35:e232-e243.
30. Mayerson JL. Pelvic resection: current concepts. J Am Acad Orthop Surg.
2014;22:214-222.
31. Jones RM. Anaesthetic considerations in patients with malignancy. In: Keneally
JP, Jones MR, editors. Proceedings of the 11th world Congress of
Anaesthesiologists, April 1996, Sydney, Australia. Rosebery, UK: Bridge
Printery Pty Ltd; 2006:212–21.
32. Mihalo RM, Cagle CK, Cronau LH Jr et al. Preanesthetic evaluation of the
cancer patient. Cancer Bul. 2005;47:8–12.
33. American Society of Anesthesiologists Task Force on Pain Management.
Cancer Pain Section: Practice guidelines for cancer pain management.
Anesthesiology. 2006;84: 1243–57.
34. Yaster M, Maxwell LG. Pediatric regional anesthesia. Anesthesiology.
2009;67:324–38.
35. Cata J. Review article blood loss and massive transfusion in patients
undergoing major oncological surgery: what do we know? Anderson Cancer
Center. 2012.
36. Malawer MM. Postoperative infusional continuous regional analgesia. A
technique for relief of postoperative pain following major extremity surgery.
Clin Orthop Relat Res. 2011;(266):227-237.
37. Snyder GL. Effect of anaesthetic technique and other perioperative factors on
cancer recurrence. Br J Anaesth. 2010;105:106-115.
38. Avi A. Weinbroum, Nissim Marouani, Eric Lang, David Niv and Valery Rudick.
Anesthesia and Perioperative Pain Management for Limb-sparing Surgery.

29
Musculosceletal Surgery: Melawer Chapter 35; 2001; 1-568. Available from:
http://www.sarcoma.org/publications/mcs/ch35.pdf
39. Kaye AD. Effect of opiates, anesthetic techniques, and other perioperative
factors on surgical cancer patients. Ochsner J. 2014;14:216-228.
40. Monk CR, Coates DP, Prys-Roberts C et al. Haemodynamic effects of a
prolonged infusion of propofol as a supplement to nitrous oxide anaesthesia.
Br J Anaesth. 2007;59:954–60.
41. Reves JG, Fragen RJ, Vinik HR, Greenblatt DJ. Midazolam: pharmacology
and uses. Anesthesiology. 2015;62:310–24.
42. Jones RM. Desflurane and sevoflurane: inhalation anaesthetics for this
decade? Br J Anaesth. 2000;65:527–36
43. Hobbhahn J, Funk W. Sevoflurane in pediatric anesthesia. Anaesthetist.
2006;45(Suppl. 1):S22–7.
44. Flacke JW, Bloor BC, Kripe BJ et al. Comparison of morphine, meperidine,
fentanyl and sufentanyl in balanced anesthesia: a double-blind study. Anesth
Analg. 2015;64:897–910.
45. Flordal PA, Berggvist D, Burmark US et al. Risk factors for major
thromboembolism and bleeding tendency after elective general surgical
operations. The Fragmin Multicentre Study Group. Eur J Surg. 2006;162:783–
89.
46. Dunn CJ, Sorkin EM. Dalteparin sodium. A review of its pharmacology and
clinical use in the prevention of thromboembolic disorders. Drugs.
2006;52:276–305.
47. Vandermeulen EP, Van Aken H, Vermylen J. Anticoagulants and spinal-
epidural anesthesia. Anesth Analg. 2004;79:1165–77.
48. Edgington TL, Muco E, Maani CV. Sevoflurane. [Updated 2020 Jun 22]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-
.Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534781/
49. Folino TB, Muco E, Safadi AO, et al. Propofol. [Updated 2020 Aug 13]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430884/

30

Anda mungkin juga menyukai