Anda di halaman 1dari 38

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS DI

RUANG IGD RUMAH SAKIT DAERAH BALUNG JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN APLIKASI KLINIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Aplikasi Klinis Minggu Ke-1 Rumah Sakit
Daerah Balung Jember Di Ruang IGD

oleh
Munazilatul Chasanah
NIM 162310101199

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pendahuluan aplikasi klinis yang dibuat oleh:
Nama : Munazilatul Chasanah
NIM :162310101199
Judul :LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN APENDISITIS RUANG IGD RUMAH SAKIT
RSD BALUNG
Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:
Hari : Rabu
Tanggal : 09 Januari 2019

Balung, 09 Januari 2019

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik, Pembimbing Akademik

Ns. Dicky Endrian K.,Sp.Kep. M.Kep Ns. Enggal Hadi K., Sp.Kep. M.Kep
NIP760016846 NIP 760016844

Pembimbing Klinik

_______________________
NIP ........................................

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Apendisitis Ruang IGD Rumah Sakit RSD Balung” dengan baik meskipun
banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Ns. Dicky
Endrian Kurniawan.,Sp.Kep. M. Kep dan Ns Enggal Hadi K., Sp.Kep. M. Kep
selaku dosen pembimbing akademik pada Praktik Aplikasi Klinis Keperawatan
serta kepada semua pihak yang secara tidak langsung ikut serta membantu dalam
menyelesaikan tugas ini.
Penulis berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan mengenai asuhan keperawatan yang dapat diberikan
pada klien dengan Apendisitis. Penulis juga menyadari bahwa di dalam makalah
ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
penulis buat di masa yang akan datang.

Jember, 09 Januari 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL .......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................2
KATA PENGANTAR ...........................................................................................3
DAFTAR ISI ..........................................................................................................5
BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................................6
1.1 Latar Belakang .................................................................................6
1.2 Tujuan ................................................................................................7
1.3 Manfaat ..............................................................................................7
1.4 Implikasi Keperawatan ....................................................................7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................9


2.1 Anatomi Fisiologi ..............................................................................9
2.2 Definisi .............................................................................................10
2.3 Epidemiologi ....................................................................................10
2.4 Etiologi .............................................................................................11
2.5 Klasifikasi ........................................................................................12
2.6 Patofisologi ......................................................................................16
2.7 Pathway............................................................................................17
2.8 Manifestasi Klinis ...........................................................................18
2.9 Pemeriksaan Penunjang .................................................................20
2.10Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi ................23

BAB 3. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ...............................................24


3.1 Pengkajian .......................................................................................24
3.2 Diagnosa ...........................................................................................25
3.3 Intervensi .........................................................................................27
3.4 Implementasi Keperawatan ...........................................................27
3.5 Evaluasi ............................................................................................30
BAB 4. Discharge Planning .................................................................................36
BAB 5. PENUTUP................................................................................................37
5.1 Kesimpulan ......................................................................................37

4
5.2 Saran ................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................38
LAMPIRAN .........................................................................................................38

5
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi akibat adanya infeksi pada
usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini dapat mengakibatkan
terjadinya sepsis (nanah). Bila infeksi ini bertambah parah,maka usus buntu itu
bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan
menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Selain itu juga dapat
juga menjadi Apendisitis akut yaitu salah satu kasus kegawatdaruratan di bidang
abdomen dengan keluhan utama nyeri perut kanan bawah yang menetap dan
sernakin bertambah nyeri. Keluhan awal penyakit ini hampir rnenyerupai keluhan
gastritis yaitu nyeri di ulu hati yang kemudian berpindah dan menetap di perut
kanan bawah (Sander Mochamad Aleq,2011).
Di Asia indisdensi appendiksitis pada tahun 2013 adalah 4,8% penduduk dari
total populasi. Sedangkan dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di
indonesia, appendiksitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen
dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen.
Insidens appendiksitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus
kegawatan abdomen lainya, pada tahun 2013 jumlah penderita appendiksitis di
indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat pada tahun 2014 sebesar
596.132 orang. Kejadian apendisitis di indonesia menurut data yang dirilis oleh
Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang dengan
persentase 3.36% dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 621.435 orang dengan
persentase 3.53%. Apendisitis merupakan penyakit tidak menular tertinggi kedua
di Indonesia pada rawat inap di rumah sakit pada tahun 2009 dan 2010. Di
Indonesia sendiri Dinas Kesehatan dari Provinsi Sumatera Selatan menyebutkan
bahwa pada tahun 2015 jumlah kasus apendisitis di Provinsi Sumatera Selatan
sebanyak 5.980 penderita, dan177 penderita diantaranya menyebabkan kematian.
Dari kasus appendiksitis diketahui (31,3%) kasus memiliki appendiksitis
perforasi, sementara (69,7%) kasus memiliki appendiksitis sederhana.(Bambang
Soewito. 2017).Sedangkan masalah ependisitis di Amerika insiden apendisitis
mencapai 7% dari populasi 1,1 kasus per 1000 penduduk pertahun. Usia yang
paling sering mengalami apendisitis yaitu dalam rentang usia 20-30 tahun. Laki-

6
laki lebih beresiko 1,4 kali daripada perempuan. Angka kematian secara
keseluruhan yaitu sekitar 0,2 – 0,8% terjadi karena komplikasi yang terjadi pada
saat tindakan pembedahan. Insiden perforasi (pecah) lebih tinggi terkait
keterlambatan dalam diagnosis yang kemudian meningkatkan resiko morbiditas
dan mortalitas (Wylin, 2009).
1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Mahasiswa mampu menjelaskan konsep penyakit dan asuhan
keperawatan pada klien dengan Apendisistis.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu memperoleh informasi tentang:
1. Pengertian Apendisistis.
2. Epidemiologi Apendisistis.
3. Etiologii Apendisistis.
4. Klasifikasi Apendisistis.
5. Patofisiologi dan Pathway Apendisistis.
6. Manifestasi Klinis Apendisistis.
7. Penatalaksanaan Apendisistis.
8. Asuhan Keperawatan Apendisistis.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat menambah wacana dalam perkembangan
ilmu pengetahuan. Menjadi sarana edukatif dalam perkembangan IPTEK
di dunia kesehatan khususnya lingkup keperawatan.
1.3.2 Manfaat Praktis
Makalah ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari memberikan
wawasan baru tentang Apendisitis, sebagai sarana pengembangan yang
lebih baik, meningkatkan kualitas lembaga pendidikan, sekaligus menjadi
bahan pertimbangan untuk diterapkan dikehidupan sehari-hari.
1.4 Implikasi Keperawatan
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa mampu memahami
konsep penyakit Apendisitis dan mampu menerapkan asuhan keperawatan

7
pada klien dengan sehingga dapat meningkatkan citra kemandirian perawat
dalam melakukan tugas layanan kesehatan prima pada masyarakat.

8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi
2.1.1 Anatomi

Apendisitis adalah organ dalam tubuh yang pertama kali terlihat pada saat
perkembangan embriologi yaitu pada saat minggu kedepalan, bagian ujung dari
protuberans sekum. Pada saat terjadinya antenatal dan postnatal, pertumbuhan
dari sekum akan berlebih sehingga mengakibatkan terjadinya apendisitis yang
kemudian akan berpindah yang awalnya di daerah medial menuju katup
ileocaecal. Apendisitisi ini merupakan oragan yang berbentuk seperti tabung
dengan panjang sekitar 10 cm yang berpangkal pada sekum.

2.1.2 Fisiologi

Apendisitis dapat menghasilakan lendir 1-2 ml per harinya. Lendir yang


terjadi saat apendisitis ini secara normal akan dicurahkan kedalam lumen dan

9
kemudian selanjutnya akan mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir yang
terjadi di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis Apendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue
(GALT) yang terdapat disepanjang dalam saluran cerna termasuk juga appendiks
ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi yaitu dapat mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta
mencegah terjadinya penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Oleh
karena itu, jika apendiks diangkat tidak akan mempengaruhi sistem imun tubuh
dikarenakan jumlah jaringan limfe yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan
jumlah disaluran cerna dan diseluruh tubuh (Muttaqin dan Sari, 2011)
2.2 Definisi
Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi akibat adanya infeksi pada
usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini dapat mengakibatkan
terjadinya sepsis (nanah). Bila infeksi ini bertambah parah,maka usus buntu itu
bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan
menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Selain itu juga dapat
juga menjadi Apendisitis akut yaitu salah satu kasus kegawatdaruratan di bidang
abdomen dengan keluhan utama nyeri perut kanan bawah yang menetap dan
sernakin bertambah nyeri. Keluhan awal penyakit ini hampir rnenyerupai keluhan
gastritis yaitu nyeri di ulu hati yang kemudian berpindah dan menetap di perut
kanan bawah (Sander Mochamad Aleq,2011)
Apendisitis merupakan penyebab paling umum dari inflamasi akut kuadran
kanan bawah rongga abdomen dan pembedahan abdomen darurat. Apendisitis
dapat menyerang laki-laki maupun perempuan, tetapi pada kasus tersebut lebih
banyak terjadi pada laki-laki yang berusia 10-30 tahun (Baughman dan Hackley,
2000).
2.3 Epidemiologi
Di Asia indisdensi appendiksitis pada tahun 2013 adalah 4,8% penduduk dari
total populasi. Sedangkan dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di
indonesia, appendiksitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen
dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen.
Insidens appendiksitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus

10
kegawatan abdomen lainya, pada tahun 2013 jumlah penderita appendiksitis di
indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat pada tahun 2014 sebesar
596.132 orang. Kejadian apendisitis di indonesia menurut data yang dirilis oleh
Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang dengan
persentase 3.36% dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 621.435 orang dengan
persentase 3.53%. Apendisitis merupakan penyakit tidak menular tertinggi kedua
di Indonesia pada rawat inap di rumah sakit pada tahun 2009 dan 2010. Di
Indonesia sendiri Dinas Kesehatan dari Provinsi Sumatera Selatan menyebutkan
bahwa pada tahun 2015 jumlah kasus apendisitis di Provinsi Sumatera Selatan
sebanyak 5.980 penderita, dan177 penderita diantaranya menyebabkan kematian.
Dari kasus appendiksitis diketahui (31,3%) kasus memiliki appendiksitis
perforasi, sementara (69,7%) kasus memiliki appendiksitis sederhana.(Bambang
Soewito. 2017)
Sedangkan masalah ependisitis di Amerika insiden apendisitis mencapai 7%
dari populasi 1,1 kasus per 1000 penduduk pertahun. Usia yang paling sering
mengalami apendisitis yaitu dalam rentang usia 20-30 tahun. Laki-laki lebih
beresiko 1,4 kali daripada perempuan. Angka kematian secara keseluruhan yaitu
sekitar 0,2 – 0,8% terjadi karena komplikasi yang terjadi pada saat tindakan
pembedahan. Insiden perforasi (pecah) lebih tinggi terkait keterlambatan dalam
diagnosis yang kemudian meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas (Wylin,
2009). Insiden apendisitis dinegara maju lebih tinggi jika dibandingkan dengan
negara berkembang. Tetapi empat puluh tahun terakhir insiden apendisitis
mengalami penurunan karena meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam
diet harian. Apendisitis dapat terjadi pada semua umur, akan tetapi pada anak
yang berumur kurang dari 1 tahun jarang ditemukan. Insiden tertinggi ditemukan
pada rentang usia sekitar 20-30 tahun, dan pada laki-laki dengan perbandingan 1,4
lebih banyak dibandingkan perempuan (Santacrose, 2009).
2.4 Etiologi
Apendisitis pada umumnya terjadi karena adanya infeksi bakteri bakteri yang
dapat menyebabkan apendiditis anatara lain Bacterodes fragililis, E.Coli,
Splanchicus, Lacto-basilus, Pseudomonas, dan Bacteriodes splanicus.Dan
penyebab dari obstruksi apendiks. Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus

11
terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks
yang biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit),
hiperplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh,
tumor primer pada dinding apendiks dan striktur. Penelitian terakhir menemukan
bahwa ulserasi mukosa akibat parasit seperti E Hystolitica, merupakan langkah
awal terjadinya apendisitis pada lebih dari separuh kasus, bahkan lebih sering dari
sumbatan lumen. Beberapa penelitian juga menunjukkan peran kebiasaan makan
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004)
2.5 Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi dari apendisitis yaitu sebagai berikut:
1. Tumor Apendiks (Adenokarsinoma apendiks)
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendiktomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke
limfo nodi regional, dianjurkan hemikolektomi (pembedahan sebagian
usus besar) kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih
baik dibanding hanya apendiktomi.
2. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah radang pada jaringan apendiks. Apendisitis
akut pada dasarnya adalah obstruksi (penyumbatan) lumen (pembuluh
darah) yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi (penyumbatan) dapat berupa :
a. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks
b. Fekalit (feses yang mengeras/batu feses)
c. Benda asing
d. Tumor

Adanya obstruksi (penyumbatan) mengakibatkan cairan mukosa


yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini dapat
meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan
intra mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan
menyebabkan infiltrasi (masuknya) kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif (radang akibat bakteri) yang
menghasilkan pus/nanah pada dinding apendiks. Selain obstruksi

12
(penyumbatan), apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran
infeksi dari organ lain yang disebar melalui darah.
Apendisitis akut dibagi menjadi :
a.Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa yang
disebabkan oleh obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam
lumen 9 appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen
yang mengganggualiran limfe, mukosa appendiks menebal, edema,
dan kemerahan.Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah
umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan demam ringan
(Rukmono, 2011).
b.Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis).
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding
apendiksdan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat
iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di
usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan
infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi
eksudat dan fibrin.Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema,
hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada
gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada
seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peri tonitis umum
(Rukmono, 2011).
c.Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri
mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren.Selain
didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren
pada bagian tertentu.Dinding apendiks berwarna ungu, hijau
10keabuan atau merah kehitaman.Pada apendisitis akut gangrenosa

13
terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang
purulen (Rukmono, 2011).
d.Apendisitis Infiltrat.
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum,
kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa
flegmon yang melekaterat satu dengan yang lainnya (Rukmono,
2011).
e.Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi
nanah (pus), biasanya di fossa iliakakanan, lateral dari
sekum,retrosekal, subsekal dan pelvikal(Rukmono, 2011).
f. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasia dalah pecahnya apendiks yang sudah
gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut
sehingga terjadi peritonitis umum.Pada dinding apendiks tampak
daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik (Rukmono,
2011)
3. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis (penggumpalan cairan yang berlebih).
Keadaan ini dapat menimbulkan iskemia (kekurangan oksigen) dan
edema (pembengkakan) pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di
usus besar berinvasi (masuk) ke dalam dinding apendiks menimbulkan
infeksi pada serosa (lapisan tipis kaya pembuluh darah) sehingga
serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat (cairan patologis) dan
fibrin (serat-serat benang). Pada apendiks dan mesoapendiks terjadi
edema (bengkak), hiperemia (darah berlebih), dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulen (cairan nanah/pus bercampur
fibrin/serat benang). Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler

14
(nyeri tekan diseluruh lapang abdomen), dan nyeri pada gerak aktif
dan pasif. Defans muskuler (nyeri tekan diseluruh lapang abdomen)
dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis
umum.
3. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika terdapat
tanda seperti riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu,
radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik, serta
keluhan menghilang setelah apendiktomi (pembedahan apendiks).
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis
(pembentukan jaringan fibrin) yang menyeluruh pada dinding
apendiks, sumbatan parsial (sebagian) atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus (luka) lama dimukosa, dan infiltrasi
(aliran) sel inflamasi kronik.
4. Apendisitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan
nyeri berulang di perut bagian kanan bawah yang mendorong
dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut.
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali
sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak pernah kembali ke bentuk
aslinya karena terjadi fibrosis (pembentukan jaringan fibrin) dan
jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50
persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendiktomi
yang diperiksa secara patologik. Pada apendiksitis rekurens biasanya
dilakukan apendiktomi karena sering datang dalam serangan akut.
5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi (perubahan) kistik dari apendiks
yang berisi cairan akibat adanya obstruksi kronik dipangkal apendiks,
yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin
(cairan) akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang, mukokel
dapat disebabkan oleh suatu kista adenoma (kista jinak) yang dicurigai
bisa menjadi ganas. Penderita sering datang dengan keluhan ringan

15
berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa
memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan
timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah dilakukan
apendiktomi.
7. Apendiks
Apendiks merupakan tumor sel argentafin (sel kecil yang
bergranula) apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis prabedah, tetapi
ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen
apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom
karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak
napas karena spasme bronkus, dan diare yang hanya ditemukan pada
sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi
serotonin (hormon yang mengatur aktivitas sel) yang menyebabkan
gejala tersebut di atas. Meskipun diragukan sebagai keganasan,
karsinoid ternyata bisa memberikan residif (kambuh) dan adanya
metastasis sehingga diperlukan operasi. Bila spesimen patologik
apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor,
dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi
(pembedahan sebagian usus besar) kanan.
2.6 Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila
sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai

16
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran
arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua
proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks
lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah
dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya
perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007)
2.7 Pathway

17
2.8 Manifestasi Klinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri
samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau
periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual muntah, dan pada
umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan
beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih
tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun
terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat
konstipasi sehingga penderita merasa memerlukanm obat pencahar. Tindakan ini
dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang
apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5-38,5 derajat
celcius. Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai
akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks
ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
3. Nyeri tekan lepas dijumpai.
4. Terdapat konstipasi atau diare.
5. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
6. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
7. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau
ureter.

18
8. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secar
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai
abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.

19
2.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Menurut Saferi, 2013 ditemukan leukosit 10.00 s/d 18.000/mm3,
kadang-kadang dengan pergeseran kekiri leukositosis lebih dari
18.000/mm3 disertai keluhan atau gejala apendisitis lebih dari empat
jam mencurigakan perforasi sehingga tingginya leukosit akibat dari
peradangan.
Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan
jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis apendisitis.
Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan
apendisitis.
b. Pemeriksaan urin
Pemeriksaan urin bertujuan untuk melihat adanya eritrosit,
leukosit dan bakteri yang ada di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat
membantu agar tidak terjadi kekeliruan diagnosa ke infeksi saluran
kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir
sama dengan apendisitis.
2. Radiologis
a. Foto polos abdomen
Menurut saferi 2013, pada 55% kasus apendisitis stadium awal
akan ditemukan gambaran foto polos abdomen yang abnormal,
gambaran yang lebih spesifik ditandai dengan adanya masa jaringan
lunak diperut kanan bawah dan mengandung gelembung-
gelembung udara.
b. USG (Ultrasonografi)
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk
menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala
apendisitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas
USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran
USG yang merupakan kriteria diagnosis apendisitis akut adalah

20
apendiks dengan diameter anteroposterior 7
mm atau lebih, didapatkan suatu apendisitis, adanya cairan atau
massa periapendix. Kadang juga terjadi kesalahan dalam
pemeriksaan ini, yaitu false positif dan negatifa. False positif dapat
muncul dikarenakan infeksi sekunder apendiks sebagai hasil dari
salphingitis (radang pada tuba fallopi). False negatif juga dapat
muncul karena letak apendiks yang retrocaecal atau rongga usus
yang terisi banyak udara yang menghalangi apendiks yang terletak
dibagian belakang sekum.
c. Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke
colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan
komplikasi-komplikasi dari apendisitis pada jaringan sekitarnya dan
juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
d. CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis apendisitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.
Sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien yang
mengalami obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya
abses, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test
diagnostik. Diagnosis apendisitis dengan CT-scan ditegakkan jika
apendiks dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya.
e. Laparoskopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang
dimasukkan dalam abdomen, apendiks dapat divisualisasikan secara
langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum.
Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada
apendiks maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan
pengangkatan apendiks (apendictomy).

21
2.10 Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi
2.10.1 Penatalaksanaan medis
1. Pre Operasi
a) Observasi
 Dalam 8 – 12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
appendiksitis masih belum jelas dilakukan observasi ketat
pasien dilakukan tirah baring dan dipuasakan.
 Dilakukan pemeriksaan abdomen, rektal, pemeriksaan darah
diulang secara periodik.
 Diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah
abdomen kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya
keluhan.
 Beri antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman /
bakteri aerob dan anaerob.
b) Penanggulangan konservatif
Terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai
akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada
penderita Apendisitis perforasi,sebelum operasi dilakukan
penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik
sistemik.
2. Operasi Appendictomy / Intra Operasi ( Duranta Operasi )
Tindakan Apendiktomi untuk mengangkat apendiks yang dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi (pecah). Apabila
sudah terjadi perforasi (pecah) pada apendiks sebelumnya pasien
diberi antibiotika kombinasi yang aktif terhadap kuman / bakteri
sampai tidak terdapat pus dan keadaan umum pasien baik baru dapat
dilakukan apendiktomi. Pada abses (luka) apendiks dilakukan
drainase (mengeluarkan nanah).
3. Post Operasi
a) Observasi TTV dan tanda – tanda syok.
b) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.

22
c) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan dan
selama itu pasien dipuasakan.
d) Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan
menjadi 30 ml/jam keesokan harinya diberikan makanan saring dan
hari berikutnya diberikan makanan lunak.
e) Satu hari post operasi pasien dianjurkan miring kiri / kanan dan
secara bertahap duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit.
f) Pada hari kedua pasien dapat diberdirikan dan duduk di luar kamar.
g) Pada hari ke tiga rawat luka dan hari ke tujuh jahitan dapat diangkat.

2.10.2 Penatalaksanaan keperawatan


Penatalaksanaan keperawatan penting untuk kesembuhan pasien,
berikut adalah beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada
pasien apendisitis:
a. Tujuan keperawatan upaya meredakan nyeri, mencegah defisit
volume cairan, menurunkan ansietas, mengatasi infeksi yang
disebabkan oleh gangguan potensial atau aktual pada saluran GI,
mempertahankan integritas kulit dan mencapai nutrisi yang optimal
b. Sebelum dilakukan tindakan operasi, siapkan pasien menjalani
pembedahan dimulai dari jalur Intravena (IV) berikan antibiotik dan
bila terbukti ada ileus paralitik pakaikan selang nasogastrik. Jangan
lakukan pemberian enama atau laksatif (memasukkan cairan
kedalam kolon melalui anus) karena dapat menyebabkan perforasi
(pecah).
c. Jika pasien telah di operasi, posisikan pasien high fowler, berikan
analgetik narkotik sesuai program, berikan pasien cairan oral apabila
dapat ditoleransi dan juga berikan pasien makanan yang disukainya
pada hari pembedahan (jika dapat ditoleransi), jika pasien mengalami
dehidrasi sebelum pembedahan berikan cairan IV
e. Jika drain terpasang pada area insisi, pantau secara ketat jika adanya
tanda-tanda obstruksi usus halus, hemoragi sekunder atau abses
sekunder (seperti demam, takikardi, dan peningkatan jumlah
leukosit) (Smeltzer, 2015).

23
BAB. 1II KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1 Data Demografi
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama,suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor register
2 Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama: nyeri pada daerah abdomen kanan bawah.
b. Riwayat kesehatan sekarang :
Pasien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan bawah yang
menembus kebelakang sampai pada punggung dan mengalami
demam tinggi
c. Riwayat kesehatan dahulu :
Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya pada colon.
d. Riwayat kesehatan keluarga :
Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis penyakit yang
sama.
3 Pola Fungsi Kesehatan
a. Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Kebiaaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan
kebiasaan olahraga (lama frekuensinya), karena dapat
mempengaruhi lamanya penyembuhan luka operasi
b. Pola nutrisi/metabolik
Klien mengalami gangguan pemenuhan nutrisi akibat
pembatasan intake makanan atau minuman sampai peristaltik usus
kembali normal
c. Pola eliminasi
Pola eliminasi urine akibat penurunan daya kontraksi kandung
kemih, rasa nyeri atau tidak biasa BAK ditempat tidur sehingga
dapat mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi akan
mengalami gangguan yang sifatnya sementara karena pengaruh
anestesi sehingga terjadi penurunan fungsi
d. Pola aktivitas dan latihan

24
Pola aktifitas terganggu karena rasa nyeri yang dialami sehingga
malas untuk bergerak dan hanya bedrest untuk beberapa waktu
lamanya setelah operasi pembedahan
e. Pola tidur
Luka bekas operasi pembedahan menimbulkan nyeri yang
tajam sehingga dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien
f. Pola kognitif dan koseptual
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta
pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, dan
orientasi orang tua, tempat dan waktu
g. Pola persepsi diri
Klien menjadi ketergantungan karena sudah terbiasa dibantu
dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Klien mengalami
kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga klien mengalami
emosi yang tidak stabil
h. Pola seksualitas dan reproduksi
Adanya larangan untuk berhubungan seksual setelah operasi
pembedahan selama beberapa waktu
i. Pola peran dan hubungan
Dengan keterbatasan gerak memungkinkan klien tidak bisa
memenuhi perannya dikeluarga maupun dimasyarakat. Klien
mengalami emosi yang tidak stabil
j. Pola manajemen koping stress
Sebelum MRS: jika stress klien mengalihkan dengan hal lain.
Setelah MRS: klien bingung bagaimana mengatasi stressnya

k. Pola keyakinan dan nilai


Sebelum MRS: klien rutin beribadah dan tepat waktu. Setelah
MRS: klien beribadah tidak tepat waktu
4 Pemeriksaan fisik ROS (review of system)
a. Keadaan umum: kesadaran composmentis, wajah tampak
menyeringai, konjungtiva anemis

25
b. Sistem kardiovaskuler: ada distensi (penumpukan) di vena jugularis, pucat,
edema (bengkak), TD >110/70 mmHg, hipertensi.
c. Sistem respirasi: frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada
simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan
cuping hidung, tidak terpasang O2, tidak ronchi, wheezing, dan
stridor.
d. Sistem hematologi: terjadi peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan
e. Sistem urogenital: ada ketegangan kandung kemih dan
keluhan sakit pinggang serta tidak bisa mengeluarkan urin
dengan lancar
f. Sistem muskuloskeletal: ada kesulitan dalam pergerakan
karena proses perjalanan penyakit (nyeri sebelum operasi
maupun sebelum operasi)
g. Sistem integumen: terdapat edema (pembengkakan), turgor
kulit menurun, sianosis (kebiruan), dan pucat
h. Abdomen: terdapat nyeri tekan, peristaltik usus ditandai dengan distensi
(pembesaran) abdomen.
5 Pemeriksaan Diagnostik

a. Ultrasonografi adalah untuk diagnostik apendisitis akut


b. Foto polos abdomen: dapat memperlihatkan distensi
(pembesaran) sekum, kelainan non spesifik seperti fekalit (batu
feses), pola gas, dan cairan abnormal atau untuk mengetahui
adanya komplikasi pasca pembedahan
c. Pemeriksaan darah rutin: untuk mengetahui adanya peningkatan
leukosit yang merupakan tanda anya infeksi
d. Pemeriksaan laboratorium
1) Darah: ditemukan leukosit sebesar 10.000-18.000 µ/ml
2) Urine : ditemukan sejumlah kecil leukosit dan eritrosit

26
3.2 Diagnosa
1. Diagnosa pre operasi
Domain 12.
Nyeri akut b.d agen cedera biologis (distensi/pembesaran
Kenyamanan
jaringan intestinal oleh inflamasi)
(00132)
Domain 3.
Eliminasi dan konstipasi b.d penurunan motilitas traktur gastrointestinal
pertukaran

(00011)
Domain 2.
Defisien volume cairan b.d hambatan mengakses cairan
Nutrisi (00027)
Domain 9.
Ansietas b.d ancaman pada status terkini (akan
Koping/toleran
dilaksanakan operasi)
si stres (00146)

2. Diagnosa post operasi


Domain 12.
Nyeri akut b.d agen cedera fisik (luka insisi post
Kenyamanan
operasi apendiktomi)
(00132)
Domain 11.
Keamanan/ Resiko infeksi b.d prosedur invasif (insisi post
perlindungan pembedahan apendiktomi)
(00004)
Domain 4.
Aktivitas/istirahat Defisit perawatan diri: mandi b.d nyeri
(00108)
Domain 5.
Persepsi/kognisi Defisien pengetahuan b.d kurang informasi
(00126)

27
3.3 Intervensi

TUJUAN DAN
NO. DIAGNOSA INTERVENSI (NIC)
KRITERIA HASIL (NOC)
1. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Manajemen nyeri (1400)
cedera biologis 3x24 jam diharapkan nyeri yang dirasakan klien 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif
(distensi/pembesaran dapat berkurang dengan kriteria hasil sebagai yang meliputi lokasi, karakteristik,
jaringan intestinal berikut: onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
oleh inflamasi) Kontrol nyeri (1605) atau beratnya nyeri dan faktor pencetus
1. Klien mampu mengenali apa yang terkait 2. Pastikan perawatan analgesik bagi pasien
dengan gejala nyeri dilakukan dengan pemantauan yang ketat
2. Klien mampu melaporkan nyeri yang 3. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi
terkontrol (seperti: biofeedback, TENS, hypnosis,
Tanda-tanda vital (0802) relaksasi, bimbingan antisipatif, terapi music,
3. Suhu dalam rentang normal terapi aktivitas, akupresur, aplikasi
4. Tekanan nadi dalam rentang normal panas/dingin dan pijatan, sebelum sesudah
5. Tekanan darah sistolik dan diastolik dalam dan jika memungkinkan, kerika melakukan
rentang normal aktivitas yang menimbulkan nyeri sebelum,
6. Tingkat pernafasan dalam rentang normal sesudah, dan jika memungkinkan, ketika

20
Tingkat nyeri (2102) melakukan aktivitas yang menimbulkan
7. Klien tampak rileks dan mampu untuk nyeri, sebelum nyeri terjadi atau
tidur/istirahat meningkatkan, dan bersamaan dengan
tindakan penurun rasa nyeri lainnya)
4. Kolaborasikan dengan pasien, orang
terdekat, dan tim kesehatan lainnya untuk
memilih dan mengimplementasikan tindakan
penurun nyeri nonfarmakologi, sesuai
kebutuhan
5. Monitor kepuasan pasien terhadap
menajemen nyeri dalam interval yang
spesifik
2. Konstipasi b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Manajemen konstipasi/impaksi (0450)
penurunan motilitas 3x24 jam diharapkan konstipasi klien dapat 1. Monitor tanda dan gejala konstipasi
traktur teratasi dengan kriteria hasil sebagai berikut: 2. Konsultasikan dengan dokter mengenai
gastrointestinal Eliminasi usus (0501) penurunan/peningkatan bising usus
1. Pola eliminasi klien 1-2x/hari 3. Instruksikan pada pasien/keluarga pada diet
2. Feses lembut dan berbentuk tinggi serat, dengan cara yang tepat
3. Suara bising usus 5-30x/menit

21
3. Defisien volume Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Manajemen cairan (4120)
cairan b.d hambatan 3x24 jam diharapkan keseimbangan cairan klien 1. Monitor tanda-tanda vital pasien
mengakses cairan dapat dipertahankan dengan kriteria hasil sebagai 2. Timbang berat badan setiap hari dan monitor
berikut: status pasien
Integritas jaringan: kulit dan membran 3. Monitor status hidrasi (misalnya, membran
mukosa (1101) mukosa lembab, denyut nadi adekuat, dan
1. Tekstur kulit lembab tekanan darah ortostatik)
Eliminasi urin (0503) 4. Jaga intake/asupan yang akurat dan catat
2. Jumlah urin yang keluar adekuat: 1 cc/kg output (pasien)
BB/jam
Tanda-tanda vital (0802)
3. Suhu dalam rentang normal
4. Tekanan nadi dalam rentang normal
5. Tekanan darah sistolik dan diastolik dalam
rentang normal
6. Tingkat pernafasan dalam rentang normal
4. Ansietas b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Pengurangan kecemasan (5820)
ancaman pada status 3x24 jam diharapkan ansietas yang dirasakan 1. Gunakan pendekatan yang tenang dan
terkini (akan dapat berkurang dengan kriteria hasil sebagai meyakinkan

22
dilaksanakan berikut: 2. Jelaskan semua prosedur termasuk sensasi
operasi) Tingkat kecemasan (1211) yang akan dirasakan yang mungkin akan
1. Klien tampak rileks dan dapat beristirahat dialami klien selama prosedur (dilakukan)
dengan nyaman 3. Dorong keluarga untuk mendampingi klien
Kontrol kecemasan diri (1402) dengan cara yang tepat
2. Klien mampu mengendalikan respon
kecemasan
5. Resiko infeksi b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Perlindungan infeksi (6550)
prosedur invasif 3x24 jam diharapkan infeksi dapat teratasi dengan 1. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
(insisi post kriteria hasil sebagai berikut: iskemik dan lokal
pembedahan Keparahan infeksi (0703) 2. Periksa kulit dan selaput lendir untuk adanya
apendiktomi) 1. Jumlah leukosit 4,5-11 ribu/ul kemerahan, kehangatan ekstrim, atau drainase
2. Klien mampu memonitor perubahan status 3. Periksa kondisi setiap sayatan bedah atau
kesehatan luka
Perawatan luka (3660)
4. Berikan rawatan insisi pada luka, yang
diperlukan
5. Ganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat
dan drainase

23
6. Oleskan salep yang sesuai dengan kulit/lesi

6. Defisit perawatan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Bantuan perawatan diri: mandi/kebersihan
diri: mandi b.d nyeri 3x24 jam diharapkan klien dan keluarga mampu (1801)
melakukan perawatan mandi sendiri dengan 1. Fasilitasi pasien untuk menggosok gigi
kriteria hasil sebagai berikut: dengan tepat
Perawatan diri: kebersihan (0305) 2. Fasilitasi pasien untuk mandi sendiri dengan
1. Klien mampu mempertahankan kebersihan tepat
tubuh 3. Jaga ritual kebersihan
4. Dukung orangtua/keluarga berpartisipasi
dalam ritual menjelang tidur yang biasa
dilakukan dengan tepat
5. Berikan bantuan sampai pasiean benar-benar
mampu merawat diri secara mandiri

24
3.4 Evaluasi
Waktu Diagnosa Evaluasi Paraf

Tanggal dan Nyeri Akut S : Data subjektif dari pasien melalui wawancara
waktu saat
O : Data objektif dari observasi pemeriksa
melakukan
A : Analisa ulang respon dan objek pasien apakah masalah teratasi ,
Ns. ila
evaluasi
teratasi sebagian atau belum teratasi.

P : Rencana tindakan, apakah intervensi diteruskan, dimodifikasi,


dibatalkan atau selesai.

Tanggal dan Konstipasi S : Data subjektif dari pasien melalui wawancara


Ns. ila
waktu saat
O : Data objektif dari observasi pemeriksa
melakukan
evaluasi A : Analisa ulang respon dan objek pasien apakah masalah teratasi ,
teratasi sebagian atau belum teratasi.

P : Rencana tindakan, apakah intervensi diteruskan, dimodifikasi,


dibatalkan atau selesai.

25
Tanggal dan Defisien volume S : Data subjektif dari pasien melalui wawancara
Ns. ila
waktu saat cairan
O : Data objektif dari observasi pemeriksa
melakukan
evaluasi A : Analisa ulang respon dan objek pasien apakah masalah teratasi ,
teratasi sebagian atau belum teratasi.

P : Rencana tindakan, apakah intervensi diteruskan, dimodifikasi,


dibatalkan atau selesai.

Tanggal dan Ansietas S : Data subjektif dari pasien melalui wawancara


Ns. ila
waktu saat
O : Data objektif dari observasi pemeriksa
melakukan
evaluasi A : Analisa ulang respon dan objek pasien apakah masalah teratasi ,
teratasi sebagian atau belum teratasi.

P : Rencana tindakan, apakah intervensi diteruskan, dimodifikasi,


dibatalkan atau selesai.

Tanggal dan Resiko Infeksi S : Data subjektif dari pasien melalui wawancara
Ns. ila
waktu saat
O : Data objektif dari observasi pemeriksa
melakukan

26
evaluasi A : Analisa ulang respon dan objek pasien apakah masalah teratasi ,
teratasi sebagian atau belum teratasi.

P : Rencana tindakan, apakah intervensi diteruskan, dimodifikasi,


dibatalkan atau selesai.

Tanggal dan Defisit perawatan S : Data subjektif dari pasien melalui wawancara
waktu saat diri: mandi
O : Data objektif dari observasi pemeriksa
melakukan
evaluasi A : Analisa ulang respon dan objek pasien apakah masalah teratasi ,
teratasi sebagian atau belum teratasi. Ns. ila
P : Rencana tindakan, apakah intervensi diteruskan, dimodifikasi,
dibatalkan atau selesai.

27
BAB 4. DICHARGE PLANNING
Discharge planning adalah proses dimana dimulainya klien mendapatkan
pelayanan kesehatan yang diikuti dengan kesinambungan perawatan baik dalam
proses penyembuhan maupun dalam mempertahankan kesehatan hingga klien
siap kembali ke lingkungannya. Tujuan dari discharge planning bertujuan
sebagai tindakan tindak lanjut perawatan, meningkatkan kualitas perawatan dan
memaksimalkan manfaat sumber pelayanan kesehatan. Discharge planning dapat
mengurangi hari rawatan pasien, mencegah kekambuhan, meningkatkan
perkembangan kondisi kesehatan klien dan menurunkan beban perawatan pada
keluarga (Birjandi dan Bragg, 2008). Discharge planning pada klien dengan
apendisitis dapat dilakukan dengan mengajarkan kepada klien dan keluarga, hal-
hal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1 Angkat jahitan
Perawat memberi instruksi kepada klien untuk membuat janji dengan ahli
bdeah untuk mengangkat jahitan antara hari ke 5 dan 7 pasca operasi
2 Kegiatan/aktivitas
Aktivitas mengangkat barang berat harus dihindari pasca operasi, untuk
menghindari luka operasi semakin parah. Namun aktivitas normal dapat
dilanjutkan dalam 2 sampai 4 minggu pasca operasi
3 Perawatan dirumah
Perawatan dirumah mungkin diperlukan untuk membantu perawatan luka
operasi serta memantau klien untuk menghindari terjadinya komplikasi dan
penyembuhan luka

28
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, D. C. Dan J. C. Hackley. 2000. Keperawatan Medikal Bedah:


Buku Saku Dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.

Soewito Bambang. 2017. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan


Pada Pasien Pre Operasi Apendisitis Di Ruang Rawat Inap Rumah
Sakit Umum Daerah Siti Aisyah Kota Lubuklinggau Tahun
2017.Vol : 5(2)

Arifuddin Adhar, Salmawat Lusiai, Prasetyo Andi. 2017. Faktor Risiko


Kejadian Apendisitis Di Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Anutapura Palu. Vol : 8(1).Jurnal Preventif.

Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil kesehatan Indonesia 2007. Jakarta :


Depkes. RI Jakarta

Alvarado, Alfredo. 2018. Clinical Approach in the Diagnosis of Acute


Appendicitis. Amerika Serikat.
http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.75530

Hariyanto, A dan Sulistyowati, R. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah I Dengan Diagnosa NANDA Internasional. Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media

Bulechek, M. Gloria, dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC),


6th edition. Singapore: Elsevier.

Heather, T. Herdman. 2018. Nanda International Inc. Diagnosis


keperawatan: definisi & klasifikasi 2018-2020 edisi 11. Jakarta:
EGC.

Mansjoer, Arief,dkk, 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:


Media Aesculapius.

Moorhead, Sue. 2016. Nursing Outcomes Classifikation (NOC), 5th edition.


Singapore: Elsevier.

Muttaqin, A. dan Sari, K. 2011. Gangguan Gastroistestinal Aplikasi


Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Nugroho, Taufan. 2011. Buku Ajar Obstetri untuk Mahasiswa Kebidanan.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Widyawati,E. 2015. Pemberian Tehnik Relaksasi Genggam Jari


TerhadapPenurunan Intensitas Nyeri Pada Asuhan
Keperawatan AN.A Dengan Post Operasi Appendisitis

29
Laparatomi Di Ruang Kantil 2 RSUD Karanganyar.
Surakarta: Program Studi DIII Keperawatan.

30

Anda mungkin juga menyukai