Anda di halaman 1dari 46

Laporan Kasus

PERITONITIS DIFFUSE EC APPENDISITIS


PERFORASI

Oleh :
Camelia Panache, S. Ked
712021064

Pembimbing
dr. Rudyanto, Sp. B

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Laporan kasus dengan judul

PERITONITIS DIFFUSE EC APPENDISITIS PERFORASI

Dipersiapkan dan disusun oleh:


Camelia Panache, S. Ked
NIM. 712021064

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari

Palembang, September 2023


Dosen Pembimbing

dr.Rudyanto, Sp. B

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Zat Yang Maha Indah dengan segala
keindahan-Nya, Zat Yang Maha Pengasih dengan segala Kasih Sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Peritonitis Diffuse ec Appendisitis
Perforasi” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan
Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang di Bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Rudiyanto, Sp. B, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari yang telah
memberikan masukan, arahan, serta bimbingan selama penyusunan laporan
kasus ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan-rekan co-assistensi dan bidan bangsal atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua dan
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan
Allah SWT. Amin.

Palembang, September 2023

iii
Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………… 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Apendisitis........................................................................... 3
2.2 Peritonitis............................................................................. 17
BAB III LAPORAN KASUS .........................................................................27
BAB IV PEMBAHASAN ...............................................................................34
BAB V KESIMPULAN...................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 40

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Apendisitis adalah peradangan pada apendix vermiformis. Penyakit ini
biasanya muncul secara akut, dalam waktu 24 jam setelah timbulnya penyakit,
namun bisa juga muncul sebagai kondisi yang lebih kronis.1

Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara


berkembang. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak < 1
tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun .
Angka kejadiannya kira-kira 233/per 100.000 orang. Laki-laki memiliki
kecenderungan sedikit lebih tinggi untuk mengalami apendisitis akut
dibandingkan perempuan, dengan insiden seumur hidup masing-masing sebesar
8,6% dan 6,7% untuk laki-laki dan perempuan.1,2

Penyebab radang usus buntu biasanya adalah adanya sumbatan pada lumen
usus buntu. Hal ini dapat disebabkan oleh appendicolith (batu usus buntu) atau
etiologi mekanis lainnya. Tumor usus buntu seperti tumor karsinoid,
adenokarsinoma usus buntu, parasit usus, dan jaringan limfatik hipertrofi
semuanya diketahui sebagai penyebab obstruksi usus buntu dan radang usus
buntu. Seringkali, etiologi pasti dari apendisitis akut tidak diketahui. Ketika lumen
usus buntu tersumbat, bakteri menumpuk di usus buntu dan menyebabkan
peradangan akut dengan perforasi dan pembentukan abses.3
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu perforasi appendiks yang akan
menyebabkan peritonitis purulenta. Ditandai dengan demam tinggi, nyeri semakin
hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan
dan defans muskuler di seluruh perut, serta peristaltik usus sampai menghilang
akibat ileus paralitik. Peritonitis merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran
infeksi dari apendisitis. Perlu dilakukan penegakkan diagnosis segera dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta disertai pemeriksaan penunjang untuk
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien apendisitis akut.4,5

1
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini antara lain:
1. Memahami dan mampu mendiagnosis Peritonitis Generalisata ec
Appendisitis Perforasi secara tepat berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan fisik.
2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran
khususnya di Bagian Ilmu Bedah.
3. Memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Apendisitis
2.1.1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks Vermiformis
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10
cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di
bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi,
apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
apendisitis pada usia tersebut. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak, dan
ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.
Posisi apendiks sangat bervariasi, mulai dari parakolika (35%), retrosekal
(65,3%), pelvik (31%), preileal (1%), postileal (1,5%), promontorik (1%)
dan subsekal (2,3%). Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak
apendiks.2
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh sebab itu, nyeri
visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus. Pendarahan apendiks
berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika
arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi apendiks akan
mengalami gangren.2
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL per hari. Normalnya
lendir itu dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya berperanan pada
patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh
GALT (gut associated lymphpoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran
cerna, termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
apendiks tidak memengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan

3
limfe di sini sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran
cerna dan di seluruh tubuh.2

Gambar 2.1. Letak Apendiks Vermiformis

Gambar 2.2. Variasi Lokasi Apendiks


1. A. Ileokolika, 2. ileum terminale, 3. a. apendikularis terletak di retroperitoneal, 4. a.
apendikulare didalam mesoapendiks, 5. ujung apendiks, 6. apendiks letak intraperitoneal, 7. sekum
letak intraperitoneal, 8. apendiks letak retroperitoneal, 9. pertemuan tiga tenia menuju pangkal
apendiks

2.1.2. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendix vermiformis. Penyakit
ini biasanya muncul secara akut, dalam waktu 24 jam setelah timbulnya
penyakit, namun bisa juga muncul sebagai kondisi yang lebih kronis.
Secara klasik, apendisitis awalnya muncul dengan nyeri perut menyeluruh
atau periumbilikalis yang kemudian terlokalisasi di kuadran kanan bawah.

4
Apendisitis adalah salah satu penyebab tersering dari nyeri abdomen akut
dan merupakan keadaan darurat bedah yang umum ditemui.1

2.1.3. Epidemiologi
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di
negara berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir
kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.2
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak <
1 tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30
tahun, setelah itu menurun. Apendisitis paling sering terjadi antara usia 5
dan 45 tahun, dengan rata-rata usia 28 tahun. Angka kejadiannya kira-kira
233/per 100.000 orang. Laki-laki memiliki kecenderungan sedikit lebih
tinggi untuk mengalami apendisitis akut dibandingkan perempuan, dengan
insiden seumur hidup masing-masing sebesar 8,6% dan 6,7% untuk laki-
laki dan perempuan. Sekitar 300.000 kunjungan rumah sakit setiap tahun
di Amerika Serikat untuk masalah terkait radang usus buntu.1

2.1.4. Etiologi
Penyebab radang usus buntu biasanya adalah adanya sumbatan
pada lumen usus buntu. Hal ini dapat disebabkan oleh appendicolith (batu
usus buntu) atau etiologi mekanis lainnya. Tumor usus buntu seperti tumor
karsinoid, adenokarsinoma usus buntu, parasit usus, dan jaringan limfatik
hipertrofi semuanya diketahui sebagai penyebab obstruksi usus buntu dan
radang usus buntu. Seringkali, etiologi pasti dari apendisitis akut tidak
diketahui. Ketika lumen usus buntu tersumbat, bakteri menumpuk di usus
buntu dan menyebabkan peradangan akut dengan perforasi dan
pembentukan abses.3
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan atau obstruksi lumen merupakan
faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus, yang paling sering
disebabkan oleh batu feses. Selain itu hiperplasia jaringan limfe, benda

5
asing, tumor apendiks, dan cacing Askaris dapat pula menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang sering diduga dapat menimbulkan
apendisitis adalah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti
E.histolytica.2
Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan
kuman floral kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya
apendisitis akut.2

2.1.5. Patofisiologi
Patofisiologi apendisitis kemungkinan besar berasal dari obstruksi
lubang apendiks. Latar belakang etiologi obstruksi mungkin berbeda pada
kelompok umur yang berbeda. Meskipun hiperplasia limfoid sangat
penting, hal ini menyebabkan peradangan, iskemia lokal, perforasi, dan
berkembangnya abses atau perforasi nyata yang mengakibatkan peritonitis.
Obstruksi ini mungkin disebabkan oleh hiperplasia limfoid, infeksi
(parasit), fekalit, atau tumor jinak atau ganas. Bila obstruksi menjadi
penyebab apendisitis, hal ini menyebabkan peningkatan tekanan
intraluminal dan intramural, mengakibatkan oklusi pembuluh darah kecil
dan stasis limfatik. Setelah tersumbat, usus buntu terisi dengan lendir dan
menjadi distensi, dan seiring dengan berkembangnya gangguan limfatik
dan pembuluh darah, dinding usus buntu menjadi iskemik dan nekrotik.
Pertumbuhan bakteri yang berlebihan kemudian terjadi pada usus buntu
yang tersumbat, dengan organisme aerobik yang mendominasi pada awal
radang usus buntu dan campuran aerob dan anaerob pada kemudian hari.
Organisme umum termasuk Escherichia coli, Peptostreptococcus,
Bacteroides, dan Pseudomonas. Setelah peradangan dan nekrosis yang
signifikan terjadi, usus buntu berisiko mengalami perforasi, yang
menyebabkan abses lokal dan terkadang peritonitis.1
Pada stadium awal apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi
mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam

6
waktu 24-48 jam pertama. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submucosa
dan melibatkan peritoneal. Upaya pertahnan tubuh berusaha membatasi
proses radang ini dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus,
atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Di dalamnya,
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa
periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat. Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan
serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan.
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam
lumen yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai
apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah
menjadi nekrosis ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi
dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi.2
Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan akan
mengurai diri secara lambat. Namun apendiks yang pernah meradang tidak
akan sembuh sempurna, tetapi membentuk jaringan parut yang melengket
dengan jaringan sekitarnya hingga terjadi eksaserbasi akut. Dengan hal ini
maka sangat dianjurkan untuk dilakukan pengangkatan apendiks.2

2.1.6. Manifestasi Klinis


Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh terjadinya peradangan mendadak pada appendiks yang memberikan
tanda setempat, baik disertai maupun tanpa rangsang peritoneum local.
Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar samar dan tumpul yang
merupakan nyeri visceral didaearah epigastrium disekitar umbilicus. 2 Nyeri
perut merupakan keluhan utama pasien apendisitis akut. Urutan diagnostik
nyeri abdomen sentral kolik diikuti dengan muntah dengan migrasi nyeri
ke fossa iliaca kanan hanya ditemukan pada 50% pasien. Biasanya, pasien
menggambarkan nyeri kolik periumbilikalis, yang meningkat selama 24
jam pertama, lalu menjadi konstan dan tajam, dan berpindah ke fossa iliaca
kanan. Nyeri awal merupakan gejala lanjutan akibat persarafan visceral
sekitar umbilicus, dan nyeri lokal disebabkan oleh keterlibatan peritoneum

7
parietal setelah adanya progresi proses inflamasi. Keluhan nyeri perut ini
sering disertai dengan mual dan kadang muntah, serta nafsu makan yang
menurun. Konstipasi dan mual dengan muntah banyak mengindikasikan
perkembangan peritonitis umum setelah perforasi, namun jarang menjadi
ciri utama pada simple apendisitis. Konstipasi dapat terjadi perforasi pada
pasien appendisitis akut bila menggunakan obat pencahar, karena tindakan
tersebut dianggap berbahaya karena mempermudah terjadinya perforasi.
Bila terdapat perangsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit
perut bila berjalan atau batuk.2
Pasien apendisitis akut biasanya mengalami demam ringan, yaitu
sekitar 37,5-38,5C. Perforasi dicurigai setiap kali suhu melebihi 38,5C.
Abses periapendiks akan terjadi bila ileum terminal, sekum, dan omentum
mampu menutup peradangan pada appendiks dan membentuk massa
periapendikuler atau dikenal dengan istilah infiltrat apendiks dan akhirnya
akan mengalami perforasi. Peritonitis biasanya berkembang jika ada
perforasi bebas dalam rongga perut.9,6

Tabel 2.1. Akurasi Temuan dari Riwayat dan Pemeriksaan Fisik dalam Diagnosis
Apendisitis Akut pada Dewasa dan Anak.9

Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks. Bila


apendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut kanan bawah
tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena

8
apendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan
atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor
yang menegang dari dorsal.2
Radang pada apendiks yang terletak di rongga pelvis dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rectum sehingga
peristaltik meningkat dan pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta
berulang. Jika apendiks menempel pada vesica urinaria, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kencing akibat rangsangan apendiks terhadap
dinding vesica urinaria.2
Gejala apendisitis akut pada anak tidak terlalu spesifik. Pada
awalnya, anak sering hanya menunjukkan gejala rewel dan tidak mau
makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Beberapa jam
kemudian, anak akan muntah sehingga menjadi lemah dan letargik. Karena
gejala tidak khas tadi, apendisitis sering baru diketahui setelah terjadi
perforasi. Pada bayi, 80-90% apendisitis akut baru diketahui setelah terjadi
perforasi. Sama dengan pasien lanjut usia, gejalanya sering samar-samar
sehingga lebih dari separuh pasien baru dapat didiagnosis setelah
perforasi.2
Dan pada kehamilan, keluhan utama apendisitis akut adalah nyeri
perut, mual dan muntah. Hal ini perlu dicermati karena pada kehamilan
trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan
lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah, tetapi lebih ke regio lumbal kanan.6

2.1.7. Diagnosis
Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan darai anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
Dalam mendiagnosis apendisitis, anamnesis memegang peranan utama
dengan akurasi 76-80% dengan tingkat kesulitan anak-anak yang lebih
tinggi daripada dewasa karena diduga faktor mereka yang tidak bisa
menceritakan sendiri terkait riwayat penyakit.6

9
Gejala awal apendisitis akut adalah nyeri atau rasa tidak enak di sekitar
umbilikus. Nyeri dimulai di epigastrium disertai mual dan anoreksia.
Kemudian, nyeri pindah kekanan bawah dan menunjukkan rangsangan
peritoneum likal di titik mc Burney. 2

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan inspeksi yang meliputi ekspresi
pasien dan keadaan abdomen. Kembung sering terlihat pada komplikasi
perforasi. Penonjolan perut kanan bawah juga bisa dilihat pada massa atau
abses periapendikuler. Pada auskultasi, bising usus normal pada awal
apendisitis, namun dapat hilang bila terjadi perforasi, akibat adanya ileus
paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh apendisitis
perforata. Pada palpasi, didapatkan nyeri yang terbatas pada region iliaka
dextra, bisa disertai nyeri lepas. Kemudian juga dapat dijumpai adanya
defans muscular yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietal. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis. Pada
penekanan perut kiri bawah, akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah
yang disebut dengan tanda Rovsing Sign. Pada apendisitis retrosaekal atau
retroilial, diperlukan palpasi dalam untuk menntukan adanya rasa nyeri.
Pemeriksaan rektal juga dapat dilakukan jika diagnosis meragukan, dan
dapat terasa nyeri bila daerah infeksi dapat dicapai dengan jari telunjuk,
misalnya pada apendisitis pelvika. Suhu tubuh biasanya normal, yaitu
sekitar 37,5-38,5C. Perforasi dicurigai setiap kali suhu melebihi 38,5C
dan dapat disertai dengan takikardi.2
Terdapat 10 sign ditemukan pasien dengan apendisitis akut, yaitu:4
 Psoas sign  Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan
ekstensi dari panggul kanan, Positif jika timbul nyeri pada kanan
bawah
 Obturator sign  Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan
rotasi internal pada panggul. Positif jika timbul nyeri pada
hypogastrium atau vagina

10
 Rovsing sign  Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada
kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan bawah
 Dunphy’s sign  Pertambahan nyeri pada testis kanan bawah dengan
batuk
 Ten horn sign  Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada
corda spermatic kanan
 Kocher’s sign  Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau
sekitar pusat, kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah
 Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign  Nyeri yang semakin bertambah pada
perut kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan pada sisi kiri
 Bartomier-Michelson’s sign  Nyeri yang semakin bertambah pada
kuadran kanan bawah pada pasien dibaringkan pada sisi kiri
dibandingkan dengan posisi terlentang
 Aure-Rozanova’s sign  Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
triangle kanan (akan positif pada Blumberg sign)
 Blumberg sign  nyeri lepas saat dilakukan palpasi pada kuadran
kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-tiba.
Untuk membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut,
terdapat beberapa sistem skoring yang diajukan dan hingga kini yang
paling banyak digunakan yaitu sistem skoring Alvarado dan yang terbaru
yaitu sistem skoring Raja Isteri Pengiran Anak Saleha Appendicitis
(RIPASA). Parameter ini digunakan umumnya meliputi keluhan pasien,
hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium, serta hasil pemeriksaan
penunjang seperti ultrasonografi, atau jenis kewarganegaraan pasien.5

11
Tabel 2.2. Skor Alvarado .5

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sangat membantu bila dikombinasikan
dengan sign and symptom dalam diagnosis apendisitis akut, atau dalam
kombinasi dengan study imaging sebagai bagian dari evaluasi terstruktur.
Pemeriksaan tersebut meliputi hitung jumlah dan jenis sel darah lengkap,
dan umumnya melihat jumlah leukosit karena kebanyakan kasus
apendisitis akut terdapat leukositosis dan hitung jenis shift to the left,
terlebih pada kasus komplikasi.13,6
2. Study Imaging (Radiologi)
CT Scan
CT scan perut memiliki akurasi lebih dari 95% untuk diagnosis
radang usus buntu dan digunakan dengan frekuensi yang semakin
meningkat. Kriteria CT untuk apendisitis meliputi pembesaran apendiks
(diameter lebih dari 6 mm), penebalan dinding apendiks (lebih dari 2 mm),
penumpukan lemak peri-apendiks, peningkatan dinding apendiks, adanya
apendisitis (sekitar 25% pasien). Hal ini tidak biasa untuk melihat udara
atau kontras dalam lumen dengan radang usus buntu karena distensi lumen
dan kemungkinan penyumbatan pada sebagian besar kasus radang usus

12
buntu. Tanpa visualisasi usus buntu tidak menyingkirkan kemungkinan
terjadinya radang usus buntu. USG kurang sensitif dan spesifik
dibandingkan CT tetapi mungkin berguna untuk menghindari radiasi
pengion pada anak-anak dan wanita hamil. MRI juga mungkin berguna
untuk pasien hamil dengan dugaan radang usus buntu dan USG yang tidak
dapat ditentukan. Secara klasik cara terbaik untuk mendiagnosis radang
usus buntu akut adalah dengan riwayat yang baik dan pemeriksaan fisik
terperinci yang dilakukan oleh ahli bedah berpengalaman; namun, sangat
mudah untuk melakukan CT scan di unit gawat darurat. Sudah menjadi
praktik umum untuk mengandalkan laporan CT untuk membuat diagnosis
apendisitis akut. Kadang-kadang usus buntu ditemukan secara tidak
sengaja pada rontgen rutin atau CT scan. Kekhawatiran utama dalam
melakukan CT scan abdominopelvis adalah paparan radiasi; namun,
paparan rata-rata dengan CT tipikal tidak akan melebihi 4 mSv, sedikit di
atas paparan latar belakang yang hampir 3 mSv. Meskipun resolusi
gambar CT lebih tinggi diperoleh dengan radiasi maksimal 4 mSv,
paparan yang lebih rendah tidak akan mempengaruhi hasil klinis. Selain
itu, pemeriksaan CT scan abdominopelvis kontras IV pada pasien yang
diduga menderita apendisitis akut harus dibatasi pada laju filtrasi
glomerulus (GFR) yang dapat diterima sama dengan atau di atas 30
ml/menit. Pasien-pasien ini memiliki risiko lebih tinggi terkena radang
usus buntu dibandingkan populasi umum. Pasien-pasien ini harus
dipertimbangkan untuk menjalani operasi usus buntu profilaksis.
Penelitian juga menunjukkan 10 hingga 30% kejadian radang usus buntu
terdapat pada spesimen usus buntu yang dilakukan untuk radang usus
buntu akut.

13
Gambar 2.3. Tiga Gambaran CT-scan yang Khas pada Apendisitis Akut.15

Ultrasonografi Abdomen (USG)


Ultrasonografi perut adalah pemeriksaan yang banyak
digunakan dan tersedia untuk mengevaluasi pasien dengan nyeri perut
akut. Indeks kompresibilitas spesifik dengan diameter kurang dari 5
mm digunakan untuk menyingkirkan radang usus buntu. Sebaliknya,
beberapa bukti, termasuk diameter anteroposterior di atas 6 mm, suatu
apendisitis, dan peningkatan ekogenisitas lemak peri-apendiks yang
tidak normal, menunjukkan adanya apendisitis akut. Kekhawatiran
utama dalam penggunaan ultrasonografi perut untuk mengevaluasi
potensi diagnosis apendisitis akut adalah keterbatasan bawaan dari
sonografi pada pasien obesitas dan ketergantungan operator untuk
menemukan gambaran yang sugestif. Selain itu, pasien dengan
komplikasi peritonitis akan sulit mentoleransi kompresi bertahap.2

Gambar 2.4. Gambaran USG Apendisitis

14
2.1.8. Diagnosis Banding
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan
sebagai diagnosis banding apendisitis akut:6
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, gejala mual, muntah dan diare mendahului rasa nyeri.
Nyeri perut sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Seiring
dijumpai adanya hiperperistalsis. Panas dan leukositosis kurang menonjol
dibandingkan dengan apendisitis akut.
2. Infeksi panggul
Salfingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah
lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai dengan
keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina akan timbul nyeri hebat di
panggul jika uterus diayun. Dapat dilakukan colok dubur untuk diagnosis
banding.
3. Kista ovarium terpuntir
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas tinggi dan teraba massa dalam
rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina dan colok dubur.
Tidak terdapat demam. Pemeriksaan USG dapat menentukan diagnosis.
4. Penyakit saluran cerna lainnya
Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut seperti
diverticulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis
akut, pankreatitis, dll.

2.1.9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan apendisitis akut tanpa komplikasi dapat diobati
dengan pendekatan antibiotik. Keberhasilan pendekatan non-operatif
memerlukan pemilihan pasien yang cermat dan eksklusi pasien dengan
gangren akut apendisitis, abses, dan peritonitis difuse. Strategi antibiotik-
pertama dapat dianggap aman dan efektif pada pasien tertentu dengan
apendisitis akut tanpa komplikasi. Pasien yang ingin menghindari
pembedahan harus menyadari risiko kekambuhan hingga 39% setelah 5

15
tahun. Strategi antibiotic pertama tampaknya efektif sebagai pengobatan
awal pada 97% anak-anak dengan apendisitis akut tanpa komplikasi
(tingkat kekambuhan 14%), dengan nonoperatif medication juga
menyebabkan morbiditas yang lebih rendah, hari sakit yang lebih sedikit,
dan biaya yang lebih rendah daripada pembedahan. Gold Standar
tatalaksana apendisitis adalah tindakan apendektomi.7
Rejimen antibiotik empiris adalah Amoksisilin/klavulanat 1,2–2,2
g 6 jam atau ceftriazone 2 g 24 jam + metronidazole 500 mg 6 jam atau
cefotaxime 2 g 8 jam + metronidazole 500 mg 6 jam. Pada pasien dengan
alergi beta-laktam: Ciprofloxacin 400 mg 8 jam + metronidazole 500 mg 6
jam atau moxifloxacin 400 24 jam. Pada pasien dengan risiko infeksi
Enterobacteriacea penghasil ESBL yang didapat dari komunitas:
Ertapenem 1 g setiap 24 jam atau tigesiklin 100 mg dosis awal, kemudian
50 mg setiap 12 jam.7
Dalam kasus dimana terdapat abses atau infeksi lanjut, pendekatan
terbuka mungkin diperlukan. Pendekatan laparoskopi mengurangi rasa
sakit, pemulihan lebih cepat, dan kemampuan untuk mengeksplorasi
sebagian besar perut melalui sayatan kecil. Situasi dimana terdapat abses
dari usus buntu yang berlubang mungkin memerlukan prosedur drainase
perkutan yang biasanya dilakukan oleh ahli radiologi intervensi. Hal ini
menstabilkan pasien dan memungkinkan peradangan mereda seiring
berjalannya waktu, memungkinkan operasi usus buntu laparoskopi yang
lebih mudah dilakukan di kemudian hari. Praktisi juga memberi pasien
antibiotik spektrum luas. Terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai
pemberian antibiotik pra operasi untuk apendisitis tanpa komplikasi.
Beberapa ahli bedah merasa antibiotik rutin dalam kasus ini tidak
diperlukan, sementara yang lain memberikannya secara rutin. Ada juga
beberapa penelitian yang mempromosikan pengobatan radang usus buntu
tanpa komplikasi hanya dengan antibiotik dan menghindari operasi sama
sekali.1
Pada pasien dengan abses usus buntu, beberapa ahli bedah
melanjutkan pemberian antibiotik selama beberapa minggu dan kemudian

16
melakukan operasi usus buntu elektif. Bila usus buntu telah pecah,
prosedur masih dapat dilakukan secara laparoskopi, namun diperlukan
irigasi ekstensif pada perut dan panggul. Selain itu, situs trocar mungkin
harus dibiarkan terbuka. Sejumlah besar pasien dengan kesan apendisitis
akut dapat ditangani dengan pendekatan laparoskopi tanpa gangguan.
Namun, ada beberapa faktor yang memperkirakan permintaan untuk
beralih ke pendekatan terbuka. Satu-satunya faktor independen sebelum
operasi yang memprediksi konversi selama operasi usus buntu laparoskopi
adalah adanya penyakit penyerta. Selain itu, beberapa temuan intra-
operatif, termasuk adanya abses peri-appendicular dan peritonitis difus,
merupakan prediktor independen tidak hanya terhadap tingkat konversi
yang lebih tinggi tetapi juga peningkatan signifikan pada komplikasi pasca
operasi.1

2.1.10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu perforasi appendiks yang akan
menyebabkan peritonitis purulenta. Ditandai dengan demam tinggi, nyeri
semakin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan
kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, serta
peristaltik usus sampai menghilang akibat ileus paralitik. Peritonitis
merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi
dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata.
Dengan begitu, dapat terjadi ileus paralitik, dan usus kemudian menjadi
atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus
menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan syok. 1 Gejala
peritonitis lainnya seperti demam, leukositosis, nyeri abdomen, muntah,
abdomen tegang serta nyeri tekan.8

2.1.11. Prognosis

17
Jika apendisitis akut didiagnosis dan diobati lebih awal, dalam 24
hingga 48 jam pemulihan dan prognosis akan sangat baik. Kasus yang
muncul dengan komplikasi seperti abses, peritonitis dan sepsis mungkin
memiliki progres yang lebih lama dan rumit, dan mungkin memerlukan
pembedahan tambahan atau intervensi lainnya.1

2.2. Peritonitis
2.2.1. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa transparan yang terbesar
di dalam tubuh manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan,
antara lain peritoneum parietal yang melapisi bagian internal dari dinding
abdominopelvis dan peritoneum visceral yang melapisi organ-organ
abdomen.4,5 Hubungan peritoneum dan organ-organ dalam kavitas intra
abdomen dikelompokkan menjadi, antara lain organ intraperitoneal yang
terlapisi seluruhnya dengan peritoneum, dan retroperitoneal (duodenum,
kolon asendens, colon desendens, dan rectum) yang tidak terlapisi maupun
terlapisi hanya sebagian peritonum. Peritoneum visceral yang
membungkus atau menunjang organ-organ bersama-sama dengan jaringan
ikat disekitarnya dalam kavitas peritoneum, dikenal dengan istilah ligamen
peritoneum, omentum atau mesenterium.5 Mesenterium merupakan dua
lapis peritoneum yang terjadi akibat invaginasi peritoneum karena suatu
organ dan berfungsi melekatkan organ tersebut dengan dinding posterior
abdomen (mesenterium dari usus halus dan transverse mesokolon). 4,5
Ligamen peritoneum terdiri dari dua lapis peritoneum yang
menghubungkan organ satu dengan lainnya atau dengan dinding abdomen
(falciform ligament yang menghubungkan liver dengan dinding abdomen
anterior).4 Berbeda dengan ligamen peritoneum dan mesenterium, greater
omentum terdiri dari 4 lapisan peritoneum (karena peritoneum melipat
sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan sejumlah jaringan adiposa dan
terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic ligament, gastrosplenic
ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser omentum terdiri dari
hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.4,5

18
Gambar 2.5. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan peritoneum parietal
dan visceral

Gambar 2.6. Ligamen peritoneum dan omentum

19
Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen
dan aferen yang mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomen, 5
sedangkan peritoneum visceral dipersarafi dari cabang saraf visceral
aferen yang juga memberikan suplai saraf otonom pada organ visceral
tersebut.7 Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan
respon sensasi apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi
peritoneum visceral atau parietal. Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat
stimulus mekanik, termal, atau kimiawi pada reseptor nyeri (nociceptor) di
peritoneum parietal. Sensasi nyeri umumnya terjadi di satu atau dua level
dermatom pada setiap lokasi peritoneum parietal yang terstimulasi. Saraf
somatis tersebut selain menghantarkan sensasi nyeri terlokalisir, juga
menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal
peritoneum. Refleks inilah yang menyebabkan localized hypercontractility
(muscle guarding) dan perut papan (rigidity of abdominal wall).5 Di sisi
lain, iritasi dari peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri dan
refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika
saraf visceral peritoneum visceral terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan
ke salah satu daerah dari tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium
(struktur foregut), periumbilikal (struktur midgut), dan suprapubik
(struktur hindgut).5,7

20
Gambar 2.7. Jalur medulla spinalis untuk sensasi visceral

2.2.2. Definisi
Peritonitis adalah peradangan pada selaput serosa yang melapisi
rongga abdomen dan organ viseral di dalamnya (peritoneum) dan
merupakan suatu kegawatdaruratan yang biasanya disertai dengan
bakteremia atau sepsis. Peritonitis didefinisikan sebagai peradangan pada
rongga peritoneum dan dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab yang
mendasarinya (primer atau sekunder), luasnya (terlokalisasi atau umum),
atau adanya agen infeksi (septik atau nonseptik). Peritonitis primer
mengacu pada kondisi inflamasi spontan tanpa adanya patologi
intraabdomen yang mendasarinya atau riwayat cedera tembus peritoneum
yang diketahui. Peritonitis sekunder lebih sering terjadi pada anjing dan
kucing dan merupakan akibat dari kondisi intraabdomen patologis aseptik
atau septik yang sudah ada sebelumnya. Karena banyaknya kondisi yang
dapat menyebabkan peritonitis, jenis tanda klinis dan tingkat keparahannya
bervariasi.9

2.2.3. Epidemiologi

21
Menurut survei World Health Organization (WHO), angka
mortalitas peritonitis mencapai 5,9 juta per tahun dengan angka kematian
9661 ribu orang meninggal. Negara tertinggi yang menderita penyakit ini
adalah Amerika Serikat dengan penderita sebanyak 1.661 penderita. (3)
Hasil survey yang dilakukan pada tahun 2015 angka kejadian peritonitis
masih tinggi. Di Indonesia jumlah penderita peritonitis berjumlah sekitar
9% dari jumlah penduduk atau sekitar 179.000 penderita. (4) Peritonitis
salah satu penyebab kematian tersering pada penderita bedah dengan
mortalitas sebesar 10-40%. Beberapa penelitian menunjukan angka
mortalitas di Indonesia mencapai 60% bahkan lebih.10
Hampir 80% kasus peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus
gastrointestinal. Penyebab umum dari peritonitis sekunder, antara lain
appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum),
perforasi kolon karena diverticulitis, volvulus, atau keganasan, dan
strangulasi dari usus halus. Terdapat perbedaan etiologi peritonitis
sekunder pada negara berkembang (berpendapatan rendah) dengan negara
maju. Pada negara berpendapatan rendah, etiologi peritonitis sekunder
yang paling umum, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus
peptikum, dan perforasi tifoid. Sedangkan, di negara-negara barat
appendisitis perforasi tetap merupakan penyebab utama peritonitis
sekunder, diikuti dengan perforasi kolon akibat divertikulitis. Tingkat
insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara 1%-20% pada pasien
yang menjalani laparatomi.2

2.2.4. Etiopatologi
Peritonitis dapat diklasifikasikan menjadi peritonitis primer,
peritonitis sekunder, dan peritonitis tersier. Peritonitis primer disebabkan
oleh penyebaran infeksi melalui darah dan kelenjar getah bening di
peritoneum dan sering dikaitkan dengan penyakit sirosis hepatis. Peritonitis
sekunder disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang berasal dari traktus
gastrointestinal yang merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi.
Peritonitis tersier merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan

22
langsung yang sering terjadi pada pasien imunokompromais dan orang-
orang dengan kondisi komorbid. Peritonitis perforasi organ berongga
merupakan peritonitis sekunder akibat adanya perforasi di gastrointestinal
tract.11
Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum
yang steril terhadap mikroorganisme yang berasal dari traktus
gastrointestinal.8 Dalam keadaan fisiologis tidak ada hubungan langsung
antara lumen gastrointestinal dengan rongga peritoneum, namun apabila
terjadi kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal hubungan tersebut
tercipta. Kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal terjadi pada
beberapa kondisi, seperti appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum
(gaster atau duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis,
sampai volvulus, kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis, femoralis, atau
obturator).1 Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti
Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan
anaerobik lainnya) masuk dalam rongga peritoneum. Infeksi pada peritonitis
sekunder secara tipikal bersifat polimikrobial (gram negatif aerob dan
anaerob). Adanya invasi dari bakteri-bakteri tersebut menyebabkan reaksi
peradangan seperti yang mengaktifkan seluruh mekanisme pertahanan
peritoneum (dari eliminasi mekanik sampai pembentukan eksudat).
Eliminasi mekanik menjadi salah satu jalur utama bagi bakteri-bakteri
masuk dalam pembuluh darah (bakteremia) yang pada akhirnya dapat
berlanjut menjadi sepsis, sepsis berat, syok sepsis, dan MODS (Multiple
Organ Dysfunction Syndrome). Reaksi peradangan lokal menyebabkan
peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah kapiler sehingga terjadi
perpindahan cairan ke “rongga ketiga” yang dapat berlanjut menjadi
hipovolemia. Reaksi peradangan tersebut dapat berlanjut menjadi SIRS
(Systemic Inflammatory Response Syndrome), dimana dapat ditemukan dua
tanda berikut, antara lain suhu >38° C atau <36° C, nadi >90 kali/menit, laju
nafas >20 kali/menit, or PaCO2 <32 mmHg, WBC >12,000 sel/mm3 or
<4000 sel/mm3, or <10% imatur (neutrofil batang). Proses inflamasi akut
dalam rongga abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis

23
dan supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan
terganggu sehingga cairan tidak hanya terdapat pada rongga peritoneum,
tetapi juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus paralitik menyebabkan
pertumbuhan mikroorganisme yang tidak terkontrol.
2.2.5. Klasifikasi
Peritonitis berdasarkan luas infeksinya dibagi menjadi peritonitis
lokalisata yang merupakan peritonitis dengan nyeri yang dapat dilokalisasi
atau diisolasi pada bagian tertentu dari perut. Sedangkan peritonitis
generalisata/difus yang ditandai dengan nyeri tekan yang telah meluas di
seluruh lapang perut. Contoh klasik peritonitis lokal adalah nyeri tekan
lokal pada titik McBurney dalam diagnosis apendisitis. Saat iritan
menyebar ke seluruh rongga peritoneum, peritonitis menjadi difus.
Klasifikasi peritonitis sebagai lokal versus difus sangat membantu secara
klinis. Pasien dengan peritonitis difus memerlukan tindakan
bedah/eksplorasi segera, sedangkan pasien dengan tanda klinis lokal
seringkali dapat menjalani evaluasi lebih lanjut.17
Sedangkan peritonitis berdasarkan penyebabnya dapat dibagi
menjadi peritonitis primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis primer terjadi
akibat translokasi bakteri, penyebaran hematogen, atau kontaminasi
iatrogenik pada abdomen tanpa defek makroskopik pada saluran cerna.
Peritonitis primer biasanya disebabkan oleh infeksi monomikroba aerobik.
Peritonitis sekunder disebabkan oleh infeksi polimikroba yang merupakan
hasil dari kontaminasi langsung peritoneum oleh tumpahan dari saluran
gastrointestinal, urogenital atau organ padat terkait. Peritonitis tersier
mengacu pada peritonitis sekunder yang berlangsung lebih dari 48 jam
setelah perawatan bedah yang awalnya bermanifestasi sebagai iritasi lokal
dan memiliki patogen nosokomial sebagai agen penyebab. Peritonitis
tersier pula disebabkan oleh iritan langsung yang sering terjadi pada pasien
imunokompromais dan orang-orang dengan kondisi komorbid.17
2.2.6. Diagnosis
1. Anamnesis

24
Persarafan peritoneum parietal dan visceral menentukan gejala
yang dialami pasien. Peritoneum parietal dipersarafi oleh saraf frenikus,
torako-abdominal, subkosatal, dan lumbosacral di perut bagian atas dan
oleh saraf obturator di panggul. Saraf ini mengandung serabut saraf
motorik, sensorik, dan simpatis. Sebaliknya, persarafan ke peritoneum
visceral melalui saraf splanknikus dan oleh pleksus celiac dan
mesenterika. Peritoneum parietal sensitif terhadap tekanan, suhu, dan
laserasi, sedangkan peritoneum visceral hanya sensitif terhadap iritasi
kimia dan distensi. Peritonitis parietal bermanifestasi sebagai nyeri yang
tajam, konstan, dan terlokalisir. Jika bagian peritoneum yang terkena
berada disamping otot superfisial, peritonitis dapat dikaitkan dengan
kekakuan otot dan pelindung dinding perut tersebut. Pasien biasanya
berbaring diam. Sebaliknya, peritonitis visceral menghasilkan nyeri
"kolik" khas, yang bersifat paroksismal dan dirujuk ke bagian perut
anterior garis tengah yang sesuai dengan badan sel saraf aferen yang
terkait. Pasien biasanya menggeliat kesakitan. Peradangan visceral dapat
menyebabkan gejala yang berhubungan dengan peritonitis parietal ketika
prosesus visceral transmural dan organ visceral yang terlibat cukup dekat
dengan permukaan peritoneum parietal untuk menyebabkan peradangan
sekunder.12,13
Pasien dengan keluhan nyeri abdomen akut harus dilakukan
penilaian keseluruhan dan tanda-tanda vital. Pemeriksaan harus
menentukan waktu, lokasi, dan karakter nyeri pada pasien. Riwayat
demam dengan suhu >380 C, anoreksia, malaise, perut kembung, mual,
muntah, konstipasi dapat ditemukan dalam kasus ini.12,13
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan harus fokus pada identifikasi peritonitis umum yaitu,
tanda ileus paralitik berupa bising usus menurun, perkusi hipertimpani,
rigiditas, rebound tenderness, sakit di seluruh kuadran abdomen
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium didapat:

25
 lekositosis ( lebih dari 11.000 sel/L ) dengan pergeseran ke kiri pada
hitung jenis. Pada pasien dengan sepsis berat, pasien
imunokompromais dapat terjasi lekopenia.
 Asidosis metabolik dengan alkalosis respiratorik.
Pemeriksaan pencitraan akan menunjukkan gambaran
pneuperitoneum atau adanya udara atau gas di rongga peritoneum (free
air). Tanda ini menunjukkan adanya kebocoran organ yang berongga
contohnya gaster. Pengambilan foto polos disrankan pasien dalam posisi
duduk. Tanda yang berhubungan dengan radiografi rongga perut yaitu
cupola/saddlebag/mustache sign, decubitus abdomen sign, Ringler’s sign,
football sign,inverted V sign, doge’s cap sign, double bubble sign,
continuous diaprag sign, dan uracus sign. Pencitraan CT scan dan USG
memiliki peranan penting dalam diagnosis dan menentukan terapi.
Pemeriksaan CT scan tidak dilakukan pada pasien dengan kondisi tidak
stabil sedangkan USG dapat digunakan untuk evaluasi di UGD karena
cepat, mobile, dan tanpa paparan radiasi.14

Gambar 2.8. Pneumoperitoneum (free air under diaphragm)

2.2.6. Tatalaksana

26
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad
spectrum, seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau
ceftriaxone 1x2 gram), penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam
4x 3,375 gram pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal). 15 Terapi empiris
untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien dengan primary bacterial
peritonitis (PBP atau SBP). Pasien peritonitis primer umumnya mengalami
perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat
diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur darah
yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya
rekurensi pada SBP, sampai 70% pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi
<20%. Regimen yang diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain
ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim-
sulfamethoxazole.15
Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi
etiologi (source control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian
antibiotik sistemik, dan terapi suportif (resusitasi). 2 Tidak seperti penanganan
peritonitis primer yang secara prinsip adalah tindakan non-pembedahan, sine qua
non penanganan peritonitis sekunder adalah tindakan pembedahan dan bersifat
life-saving.15 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat “early and definitive source
control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder, tetapi juga dapat
mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga abdomen. 16 Keterlambatan
dan tidak adekuatnya tindakan pembedahan dapat memperburuk prognosis.
Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan resusitasi
cairan (resusitasi hemodinamik, berikan vasopressor bila dibutuhkan) untuk
mencegah terjadinya syok hipovolemik (dan syok septik) yang memperparah
disfungsi organ.16 Pemberian antibiotik mencakup bakteri gram positif dan negatif
serta bakteri anaerob (walaupun secara umum perforasi upper GI tract lebih
mengarah ke gram positif dan perforasi pada usus halus distal dan colon lebih
mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob).1 Beberapa pilihan regimen
antibiotik yang direkomendasikan, antara lain gabungan dari golongan penicillin/
β-lactamase inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena), atau

27
golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750 mg intravena), atau sefalosporin
generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan metronidazole 3x500
mg intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care Unit dapat diberikan
imipenem 4x 500 mg intravena atau meropenem 3x 1gram intravena). 12 Pemberian
antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit normal dan hitung
jenis batang < 3%. Resusitasi cairan dan monitoring hemodinamik perlu untuk
dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial pressure >65 mmHg, dan
urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central venous pressure CVP antara
8-12mmHg).1 Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric tube (NGT)
pada pasien ileus dengan distensi perut dan mual-muntah yang dominan. 13 Pada
pasien penurunan kesadaran dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan
pemasangan intubasi.
Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari
kontaminasi (koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan
mencegah sepsis.16 Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan
tujuan agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan komplit tercapai. 16
Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang mengalami
perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair (perforasi ulkus).16 Pada
perforasi kolon lebih aman dipasangkan stoma usus secara sementara sebelum
dilakukan tindakan anastomosis usus di kemudian hari (beberapa minggu setelah
keadaan umum pasien membaik).11 Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan
cairan normal saline (>3L) hangat dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan
tujuan mengurangi bacterial load dan mengeluarkan pus (mencegah sepsis dan re-
akumulasi dari pus).16 Tidak direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan
iodine atau agen kimia lainnya. Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup
kembali. Secara ideal, fascia ditutup dengan benang non-absorbable dan kutis
dibiarkan terbuka dan ditutup dengan kasa basah selama 48-72 jam. Apabila tidak
terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat dilakukan (delayed primary closure
technique). Teknik ini merupakan teknik closed-abdomen, pada laporan kasus ini
tidak akan dibahas secara mendalam mengenai teknik open-abdomen).

28
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. Hafidz Fariz
No. RM : 66.99.77
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 22 tahun
Alamat : Jl. KH Faqih Usman, 2 Ulu, Seberang Ulu, Palembang
Tanggal masuk : 5 September 2023

3.2 Anamnesis (Autoanamnesis)


Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan bawah.
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke IGD RSUD Palembang BARI dengan keluhan nyeri
seluruh perut secara tiba-tiba sejak ± 4 jam SMRS. Awalnya nyeri dirasakan
di bagian ulu hati bawah sejak ± 6 jam SMRS. Nyeri yang dirasakan tajam
seperti ditusuk jarum dan terus menerus sepanjang hari. Keesokkan harinya
pasien mengatakan nyerinya dirasakan diseluruh perut. Nyeri bertambah saat
pasien bergerak. Pasien juga mengatakan keluhan diserrtai dengan demam,
demam terus menerus. Pasien juga mengeluh mual dan muntah serta tidak
nafsu amakn. Flatus (+), BAB (-), dan BAK (+) biasa dalam batas normal.
Dari riwayat penyakit dahulu didapatkan bahwa pasien tidak pernah
mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat
penyakit jantung, kencing manis, dan hipertensi. Tidak ada keluarga pasien
yang memiliki penyakit hipertensi, diabetes melitus, maupun penyakit
jantung.

29
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Presens
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4 V5 M6)
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 90x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
RR : 18x/menit
Suhu : 36,70C
SpO2 : 99%

Status Generalisata
Kepala : Normocephali.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung
(-/-), pupil isokor, refleks cahaya (+/+)
Telinga : Simetris, sekret (-), otorrhea (-), nyeri mastoid (-)
Hidung : Simetris, napas cuping hidung (-), lendir (-)
Tenggorokan : Dalam batas normal, Tonsil T1-T1.
Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), mukosa kering (-)
Leher : JVP meningkat (-), trakea di tengah, pembesaran KGB (-),
pembesaran kelenjar tyroid (-).
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tak tampak.
Palpasi : Pulsasi ictus cordis tidak teraba.
Perkusi : Pekak, Batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)

Thoraks
Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris bilateral, retraksi (-/-).
Palpasi : Nyeri tekan (-), vocal fremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi : Sonor (+/+) pada kedua lapangan paru.
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-).

30
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, tidak terlihat ada massa.
Auskultasi : Bising usus (+) menurun
Palpasi : Defans muscular (+).
Perkusi : Timpani seluruh abdomen.
Genitalia : Dalam batas normal
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, sianosis (-), edema (-), CRT < 2”.
Inferior : Akral hangat, sianosis (-), edema (-), CRT < 2”.

Status Lokalisata
Inspeksi : Bentuk datar, simetris, massa (-).
Auskultasi : Bising usus (+) menurun.
Palpasi : Defans muscular (+).
Perkusi : Timpani seluruh abdomen.

Skor VAS :8

31
3.4 Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 15,8 12-14 g/dL
Eritrosit 45,89 4.0 - 5.0 juta/uL
Leukosit 16,1 (H) 5 - 10 x 103/µL
Hematokrit 48 35 - 47 / %
Trombosit 363.000 150,000 - 400,000 /µL
Hitung Jenis Lekosit
Basophil 0% 0-1
Eosinophil 1%(L) 1-3
Batang 2% (L) 2-6
Segmen 80% (H) 50 - 70
Limfosit 14% (L) 20 - 40
Monosit 3% 2-8

 Pemeriksaan USG

Kesan: Susp. Appenddisitis akut non perforated

32
 Pemeriksaan foto thoraks AP

Kesan : Radiologis tak tampak kelainan Thorax

3.5 Diagnosis
Peritonitis diffuse ec appendisitis perforasi

3.6 Tatalaksana
 Pada Saat di IGD RSUD Palembang Bari
- IVFD RL 500 ml 20 tetes / menit
- Inj. Ketorolac 1 amp
- Inj. Ondansetrom 1 amp
- Inj. Ranitidine 1 amp
 Pre-Operatif
- IFVD RL 500 ml 20 tetes/menit
- Inj. Ceftriaxone 2x1gr (IV)
- Inj. Ketorolac 2x1 amp
- Puasakan Pasien
- Kateter urin
- Rencana Operasi, Rabu 6 September 2023

33
 Operatif
Laparotomi eksplorasi + appendektomi
 Post-Operatif
- Tirah baring 24 jam
- Puasa sampai flatus
- Edukasi
- Observasi vital sign
- IFVD RL gtt 20x/menit
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Inf. Metronidazole 3x500 mg

3.7 Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Bonam
Quo ad Sanationam : Bonam

34
3.8 Follow Up
Waktu dan tanggal Hasil follow up
7-9-2023 S/ nyeri pada luka operasi, perdarahan (-)
Pukul 06.00
O/ KU : Tampak sakit sedang
Keasadaran : Compos Mentis
GCS : E5M6V4
TD : 110/80 mmHg
HR : 85x/menit
RR : 21x/menit
T : 36,5oC

A/ Post laparotomy ec peritonitis

P/ - IFVD RL gtt 20x/menit


- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Inf. Metronidazole 3x500 mg
- Aff drain
- Mobilisasi

35
8-9-2023 S/ Nyeri luka bekas operasi, perdarahan (-)
Pukul 06.00 O/ KU : tampak sakit ringan
Keasadaran : kompos mentis
GCS : E5M6V4
TD : 110/70 mmHg
HR : 88x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,5oC

A/ Post laparotomy ec peritonitis


P/ - IFVD RL gtt 20x/menit
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Inf. Metronidazole 3x500 mg
- GV
- Mobilisasi

36
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada laporan kasus ini didapatkan pasien Tn.HF berusia 22 tahun datang
ke IGD RSUD Palembang BARI pada tanggal 5 September 2023 dengan
keluhan nyeri seluruh perut kanan bawah secara tiba-tiba sejak ± 4 jam SMRS.
Awalnya nyeri dirasakan di bagian ulu hati bawah sejak ± 6 jam SMRS. Nyeri
yang dirasakan tajam seperti ditusuk jarum dan terus menerus sepanjang hari.
Keesokkan harinya pasien mengatakan nyerinya dirasakan diseluruh perut. Nyeri
bertambah saat pasien bergerak. Pasien juga mengatakan keluhan diserrtai dengan
demam, demam terus menerus. Pasien juga mengeluh mual dan muntah serta
tidak nafsu amakn. Flatus (+), BAB (-), dan BAK (+) biasa dalam batas normal.
Dari riwayat penyakit dahulu didapatkan bahwa pasien tidak pernah
mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan skor
VAS 9. Secara klasik, apendisitis awalnya muncul dengan nyeri perut menyeluruh
atau periumbilikalis yang kemudian terlokalisasi di kuadran kanan bawah.
Apendisitis adalah salah satu penyebab tersering dari nyeri abdomen akut dan
merupakan keadaan darurat bedah yang umum ditemui. Apendisitis adalah
peradangan pada apendix vermiformis. Penyakit ini biasanya muncul secara akut,
dalam waktu 24 jam setelah timbulnya penyakit.
Pada kasus didapatkan bahwa keesokan harinya pasien mengeluh nyeri pada
seluruh perut. Hal ini merupakan gejala dari peritonitis yaitu defans muskular.
Peritonitis merupakan komplikasi dari terjadinya perforasi pada apendiks.
Diagnosis peritonitis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pasien dengan keluhan nyeri abdomen akut harus
dilakukan penilaian keseluruhan dan tanda-tanda vital. Pemeriksaan harus
menentukan waktu, lokasi, dan karakter nyeri pada pasien. Riwayat demam
dengan suhu >38o C, anoreksia, malaise, perut kembung, mual, muntah, konstipasi
dapat ditemukan dalam kasus peritonitis.
Pada kasus mengalami peritonitis sekunder. Peritonitis sekunder merupakan
infeksi kavitas peritoneum yang berasal dari usus atau pelvis dan mencakup
peritonitis setelah perforasi hollow viscus, kebocoran anastomosis, nekrosis

37
iskemik, atau cedera lain di dalam traktus gastroinstestinal. Peritonitis ini sering
terjadi pada pasien bedah kritis. Iskemia intestinal dan nekrosis usus besar dapat
disebabkan oleh berbagai macam proses termasuk keganasan, insufisiensi
vaskular, volvulus, atau intususepsi. Ruptur abses pankreas, hepar, atau limpa,
ruptur gallbladder/kantong empedu (jarang). Peritonitis abdominal bagian bawah
juga dapat terjadi akibat infeksi ginekologik seperti salfingitis atau endometriosis.
Hal ini terjadi karena, Segera setelah kontak fisik pertama bakteri dengan
peritoneum akan terjadi cedera pada sel-sel mesotelium yang disusul oleh aktivasi
mediator inflamasi yang akan mengaktivasi respons imunologi seluler dan
humoral. Respons awal peritoneum melawan bakteri ditandai oleh hiperemia dan
eksudasi cairan meningkat bersamaan dengan fagosit di dalam kavum peritoneum.
Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya demam yang menggambarkan
adanya infeksi yang terjadi. Keluhan mual, muntah, serta nafsu makan menurun
pada pasien disebabkan oleh inflamasi dan tekanan yang berlebihan pada
appendiks yang distensi sehingga pusat muntah akan diaktifkan dari saluran
pencernaan melalui aferen nervus vagus. Hal ini berakibat mengurangi nafsu
makan sehingga menyebabkan anoreksia.
Berdasarkan pemeriksaan status generalis, ditemukan kelainan pada
abdomen melalui palpasi berupa : Defans muscular (+). Pada kasus didaptakan
adanya defans muskural yaitu nyeri tekan pada seluruh lapang abdomen. Defans
muscular merukan salah satu gejala dari peritonitis. Hal ini terjadi karena adanya
penebaran infeksi dari apendiks ke lapisan peritoneum sehingga mengakibatkan
terjadinya nyeri perut pada seluruh lapang abdomen. Dimana nyeri yang dapat
dirasakan pada pasien peritonitis yaitu, nyeri yang dirasakan pasien dapat
bertambah berat apabila pasien melakukan gerakan sehingga kebanyakan pasien
akan berbaring diam dengan posisi menekuk lutut untuk mengurangi rasa sakit
dan ketegangan pada dinding perut.
Berdasarkan diagnosis klinis yang telah ditegakan, maka pasien
direncanakan untuk dilakukan operasi appendektomi dan laparotomi eksplorasi.
Hal ini merupakan Gold Standar tatalaksana apendisitis, yaitu tindakan
apendektomi. Penatalaksanaan apendisitis akut tanpa komplikasi dapat diobati
dengan pendekatan antibiotik. Keberhasilan pendekatan non-operatif memerlukan

38
pemilihan pasien yang cermat dan eksklusi pasien dengan gangren akut
apendisitis, abses, dan peritonitis difuse. Pasien yang ingin menghindari
pembedahan harus menyadari risiko kekambuhan hingga 39% setelah 5 tahun.

Setelah operasi selesai, tatalaksana yang diberikan berupa terapi cairan dan
pemberian antibiotic. Antibiotic yang diberikan berupa ceftriaxone 2x1 gr dan
metronidazole 3x500 mg. Rejimen antibiotik empiris adalah
Amoksisilin/klavulanat 1,2–2,2 g 6 jam atau ceftriazone 2 g 24 jam +
metronidazole 500 mg 6 jam atau cefotaxime 2 g 8 jam + metronidazole 500 mg 6
jam. Tatalaksana tambahan diberikan analgetik berupa ketorolac. Ketorolac
merupakan golongan NSAID yang dapat digunakan untuk meredakan nyeri pada
pasien post operasi. Selain itu, perlu dilakukan observasi tanda vital untuk
mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok, hipertermia atau gangguan
pernafasan.

Kemudian dilakukan edukasi yang diberikan kepada pasien dan


keluarganya mengenai penyakit yang diderita pasien, pengobatan dan perlunya
dilakukan tindakan operatif untuk menghilangkan sumber infeksi dan
mencegah penyebaran infeksi. Selain itu dijelaskan pula mengenai komplikasi
dari tindakan operatif tersebut. Edukasi juga mengenai keadaan post operasi
selesai, untuk membantu proses penyembuhan dan pemulihan post operasi
pasien harus menjaga kebersihan bekas luka post operasi, minum obat teratur
dan kontrol ke dokter.

39
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan diskusi dapt disimpulkan bahwa apendisitis adalah salah satu


penyebab tersering dari nyeri abdomen akut dan merupakan keadaan darurat
bedah yang umum ditemui. Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan berdasarkan
gejla klinis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Pada pasien
ditemukan gejala klinis apendisitis yang paling umum yaitu nyeri perut kanan
bawah, kemudian dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tanda tanda peritonitis,
lalu dari pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis. Pada pasien ini telah
dilakukan terapi gold standar yaitu apendektomi.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Jones, Mark W, dkk. 2023. Appendicitis. Stat Pearls [Internet]. NCBI Book
2. Sjamsuhidajat, R., dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Keempat. Jakarta:
EGC ; 2017
3. Bhangu A, Søreide K, Di Saverio S, Assarsson JH, Drake FT. Acute
appendicitis: modern understanding of pathogenesis, diagnosis, and
management. Lancet. 2015 Sep 26;386(10000):1278-1287.
4. Brunicardi, FC., Andersen DK., Billiar TR., et al. Shwartz’s Principle of
Surgery. 9th Ed. USA: McGrawHill Companies ; 2010
5. Baresti, SW., dan Tofik R. Sistem Skoring Baru untuk Mendiagnosis
Apendisitis Akut. Majority. 6(3); 2017. p. 170-172
6. Amalia A., Avit S., dan Deddy S. Hubungan Jumlah Leukosit Pre Operasi
dengan Kejadian Komplikasi Pasca Operasi Apendektomi pada Pasien
Apendisitis Perforasi di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas. 7(4):2018. p. 491-96
7. Di Saverio S, Podda M, De Simone B, et al. Diagnosis and treatment of acute
appendicitis: 2020 update of the WSES Jerusalem guidelines. World J Emerg
Surg. 2020;15(1):1-42. doi:10.1186/s13017-020-00306-3
8. Jameson, Fauci, Kasper, et al. Harrison’s Manual of Medicine. 20th Ed. US:
McGraw-Hill Education ; 2020
9. Volk, Susan W. 2015. Peritonitis. Small Animal Critical Care Medicine.
doi: 10.1016/B978-1-4557-0306-7.00122-7
10. Japanesa A, Zahari A, Renita Rusjdi S. Pola Kasus dan Penatalaksanaan
Peritonitis Akut di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. J Kesehat
Andalas. 2016;5(1):209-14
11. Sayuti, Muhammad. 2020. Karakteristik Peritonitis Perforasi Organ Berongga
di RSUD Cut Meutia Aceh Utara. Jurnal Averrous 6(2)
12. Ross JT, Matthay MA, Harris HW. Secondary peritonitis: Principles of
diagnosis and intervention. BMJ. 2018;361. doi:10.1136/bmj.k1407

40
13. van Baal JOAM, Van de Vijver KK, Nieuwland R, et al. The histophysiology
and pathophysiology of the peritoneum. Tissue Cell. 2017;49(1):95- 105.
doi:10.1016/j.tice.2016.11.004
14. Enrico P, Okaniawan P, Ayu I, et al. DIAGNOSIS DAN PENDEKATAN
TERAPI PASIEN PERITONITIS. Ganesha Med J. 2022;2(2):120-128.
15. Baresti, SW., dan Tofik R. Sistem Skoring Baru untuk Mendiagnosis
Apendisitis Akut. Majority. 6(3); 2017. p. 170-172
16. Matthew JS., Marjorie G., and Stephen C. Acute Appendicitis: Efficient
Diagnosis and Management. American Family Physician. 98(1); 2018. p. 25-
33
17. Marques, H. S., Araújo, G., da Silva, F., de Brito, B. B., Versiani, P., Caires,
J. S., Milet, T. C., & de Melo, F. F. (2021). Tertiary peritonitis: A disease that
should not be ignored. World journal of clinical cases, 9(10), 2160–2169.
https://doi.org/10.12998/wjcc.v9.i10.21 60

41

Anda mungkin juga menyukai