APPENDICITIS AKUT
Oleh :
Aulia Shafira Asmerelda, S. Ked
71 2022 042
Pembimbing :
dr. Rudyanto, Sp. B
i
HALAMAN PENGESAHAN
APPENDICITIS AKUT
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Appendicitis
Akut” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta
para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman. Pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :
1. dr. Rudyannto, Sp. B, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari yang telah memberikan masukan,
arahan, serta bimbingan selama penyusunan laporan kasus ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa yang tulus
dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan-rekan co-assistensi dan bidan bangsal atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi semua dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran.
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................1
KATA PENGANTAR........................................................................................................2
DAFTAR ISI.......................................................................................................................3
BAB I...................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...............................................................................................................4
1.1. Latar Belakang............................................................................................................4
1.2 Tujuan..........................................................................................................................1
1.3 Manfaat.........................................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................2
2.1 Anatomi dan Fisiologi..................................................................................................2
2.2 Definisi...........................................................................................................................3
2.3 Epidemiologi.................................................................................................................3
2.4 Etiologi..........................................................................................................................4
2.5 Patofisiologi...................................................................................................................4
2.6 Manifestasi Klinis.........................................................................................................6
2.7 Diagnosis.......................................................................................................................8
2.8 Tatalaksana.................................................................................................................15
2.9 Komplikasi..................................................................................................................17
2.10 Prognosis...................................................................................................................17
BAB III..............................................................................................................................18
LAPORAN KASUS..........................................................................................................18
BAB IV..............................................................................................................................18
ANALISA KASUS...........................................................................................................18
BAB V................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................21
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini antara lain:
1. Memahami dan mampu mendiagnosis setiap kasus Appendicitis akut secara tepat.
2. Diharapkan adanya pola pikir kritis setelah dilakukannya diskusi kasus Appendicitis
akut .
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan pemahaman yang
didapat mengenai kasus Appendicitis akut.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
5
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
6
jumlahnya disaluran cerna dan di seluruh tubuh.1
7
2.2 Definisi
Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix
vermicularis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering
pada anak-anak maupun dewasa.1 Appendisitis akut merupakan kasus
bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan
remaja. Apendisitis akut adalah keadaan darurat bedah yang umum terjadi
pada anak-anak (1-2% pada pemeriksaan bedah anak-anak). Secara
keseluruhan, 1-8% anak-anak yang mengalami nyeri perut terdiagnosa
apendisitis akut.3
2.3 Epidemiologi
Jumlah apendisitis akut meningkat dari satu menjadi enam per
10.000 dari usia nol sampai empat tahun dan mencapai 19-28 per 10.000
untuk anak-anak di bawah usia 14 tahun dengan risiko keseluruhan
sembilan persen untuk laki-laki dan tujuh persen untuk wanita dan
kejadian puncak antara usia 11 dan 12 tahun. Apendisitis jarang terjadi di
bawah usia lima tahun. Kesulitan diagnostik relatif meningkat pada anak-
anak yang berusia lebih muda. Tingkat perforasi menurun seiring
pertambahan usia, dengan tingkat hampir 100% pada usia satu tahun, 50-
69% pada usia lima tahun, dan umumnya kurang dari 30% pada anak yang
lebih tua.3
Apendisitis jauh lebih umum terjadi di negara maju. Apendisitis
terjadi pada semua kelompok usia namun jarang terjadi pada bayi.
Apendisitis pada neonatus hanya 100 kasus yang dilaporkan dalam 100
tahun terakhir Apendisitis paling sering terjadi pada dekade kedua
kehidupan (usia 10-19 tahun), terjadi pada tingkat 23,3 kasus per 10.000
per tahun. Setelah itu, kejadian terus menurun, meski terjadi radang usus
buntu pada usia dewasa dan sampai tua.4
8
2.4 Etiologi
Appendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Apendisitis paling
sering terjadi akibat sumbatan lumen dan infeksi. Penyebab obstruksi
lumen dapat sangat bervariasi dan paling umum meliputi fekalith,
hiperplasia folikel limfoid, atau pembengkakan jaringan limfatik lokal
sebagai respons terhadap patogen infeksius.3 Tumor, seperti karsinoid
appendiceal juga jarang dapat menyebabkan apendisitis akut, dan
diagnosisnya paling umum dilakukan pasca operasi. Setelah perforasi
terjadi, abses atau peritonitis dapat terjadi. Pada anak-anak, penyumbatan
biasanya diakibatkan oleh hiperplasia limfoid folikel submukosa.
Penyebab langka termasuk benda asing, infeksi parasit (misalnya
nematoda), dan striktur inflamasi. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit
seperti E.histolytica.1
Meskipun tidak ada gen yang teridentifikasi, risiko radang usus
buntu kira-kira tiga kali lebih tinggi pada orang dengan riwayat apendisitis
positif dalam keluarga dari pada mereka yang tidak memiliki riwayat
apendisitis dalam keluarga. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal,
yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.5
2.5 Patofisiologi
Patogenesis yang tepat dari apendisitis akut bersifat multi faktorial
walaupun masih belum jelas. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa sebagian
besar disebabkan karena obstruksi lumen. Pada anak-anak prasekolah,
penyumbatan ini biasanya disebabkan oleh hiperplasia limfoid dan kecil
kemungkinannya karena fekolit, karena usus buntu mengandung jumlah
jaringan limfoid yang berlebihan dalam submukosa yang meningkatkan
ukuran dan jumlah dengan bertambahnya usia, mencapai jumlah dan
ukuran maksimal selama remaja dengan kemungkinan lebih tinggi terkena
apendisitis akut. Hiperplasia limfoid juga terkait dengan berbagai
9
gangguan inflamasi dan infeksi seperti gastroenteritis, amoebiasis, infeksi
saluran pernapasan, campak, dan mononukleosis menular.2
Obstruksi lumen dengan sekresi terus menerus dan stagnasi cairan
dan lendir dari sel epitel menghasilkan peningkatan tekanan intra-luminal
dan distensi apendiks. Bakteri usus dalam apendiks bertambah banyak,
dan dinding edematous mengendapkan invasi bakteri. Patologi apendisitis
dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding
apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Upaya pertahanan tubuh
berusaha membatasi proses radang ini dengan menutup apendiks dengan
omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk masa
periapendikular yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrate
apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang
dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan dan massa periapendikular akan menjadi tenang dan
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.2
Jika apendiks menjadi terhambat, bakteri yang terperangkap di
dalam lumen apendiks mulai berkembang biak, dan apendiks menjadi
distensi. Tekanan intraluminal yang meningkat menghalangi drainase
vena, dan apendiks menjadi padat dan iskemik. Kombinasi infeksi bakteri
dan iskemia menghasilkan peradangan, yang berkembang menjadi
nekrosis dan gangren. Ketika apendiks menjadi gangren, dapat
berkembang menjadi perforasi. Perkembangan dari obstruksi ke perforasi
biasanya berlangsung lebih dari 72 jam. Satu studi mencatat bahwa
perforasi appendiks lebih sering terjadi pada anak-anak, khususnya anak
yang lebih muda, daripada orang dewasa. Selama tahap awal apendisitis,
pasien mungkin merasa hanya nyeri periumbilikal. Seiring peradangan
memburuk, eksudat terbentuk pada permukaan serosal appendiceal. Ketika
eksudat menyentuh peritoneum parietal, rasa sakit yang lebih intens dan
lokal berkembang. Perforasi menghasilkan pelepasan cairan inflamasi dan
bakteri ke dalam rongga perut. Hal ini membuat inflamasi dan bakteri
semakin menyebar ke permukaan peritoneum, dan peritonitis menjadi
berkembang. Lokasi dan luasnya peritonitis (difus atau terlokalisasi)
10
tergantung pada tingkat dimana omentum dan usus yang berdekatan dapat
berisi tumpahan isi lumen. Jika isinya berdinding dan membentuk abses,
rasa sakit dan nyeri tekan bisa dilokalisasi ke tempat abses. Jika isinya
tidak berdinding dan cairannya bisa bergerak ke seluruh peritoneum, rasa
sakit menjadi tergeneralisir (tidak terlokalisir).4
Perforasi apendiks dapat menyebabkan baik peritonitis difus, atau
abses appendicular lokal. Peritonitis lebih sering terjadi pada anak yang
lebih muda, karena omentum kurang berkembang, sedangkan anak lanjut
usia relatif terlindungi oleh omentum yang berkembang dengan baik.
Bakteri aerobik yang paling umum menyebabkan apendisitis akut adalah
Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, spesies pseudomonas, dan
Bacteroides fragilis. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh
sempurna tetapi membentuk jaringan parut yang melengket dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang
di perut kanan bawah. Suatu saat organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.4
11
dengan gastroenteritis yang jelas atau bahkan dikonfirmasi harus dengan
cepat dinilai ulang jika mereka mengalami nyeri perut progresif, kerusakan
atau gangguan sistemik. Anak-anak dengan apendisitis yang dibarengi
dengan gejala disuria (7%), diare (15%) dan gejala saluran pernapasan
(7%) lebih mungkin untuk salah didiagnosis.8
Perbedaan antara apendisitis akut dan perforasi yaitu, perforasi
lebih sering terjadi pada pasien laki-laki (34,0% perempuan). Anak-anak
dengan apendisitis perforasi lebih muda dibandingkan anak-anak dengan
apendisitis akut. Pasien dengan perforasi memiliki riwayat nyeri yang jauh
lebih lama dan secara signifikan lebih sering mengalami mual dan muntah
daripada mereka yang menderita apendisitis akut. Disuria dan pireksia
secara signifikan lebih umum terjadi pada perforasi dibandingkan
apendisitis akut. Anak-anak dengan perforasi menunjukkan beberapa tanda
klinis seperti nyeri lepas dan psoas sign. Prediktor perforasi yang paling
baik adalah disuria dan sering buang air besar, menunjukkan iritasi
peritoneal lanjut.2
Neonatus (lahir hingga 30 hari)
Dalam kelompok usia ini, neonatus prematur kemungkinan besar
mengalami apendisitis akut.Obstruksi luminal tidak bertanggung jawab
terhadap terjadinya apendisitis akut. Namun, iskemia karena emboli atau
peristiwa trombosis, terhalang hernia internal atau eksternal, anomali
jantung dan obstruksi kolon distal seperti pada penyakit Hirschprung,
adalah penyebab yang lebih mungkin dari appendisitis akut neonatal.
Nyeri dan mual tidak dapat dinilai dengan baik sebagai bukti apendisitis
akut pada neonatus ini. Pasien-pasien ini biasanya datang dengan distensi
abdomen dalam 60% sampai 90%, muntah 59%, massa teraba 20-40%,
iritabilitas atau lesu pada 22% dan 12-16% dengan selulitis dinding perut.
Namun hipotensi, hipotermia, kekakuan pinggul kanan dan gangguan
pernapasan telah didapatkan dalam beberapa kasus.6
12
Bayi dan balita (kurang dari 3 tahun)
Gejala yang menonjol pada kelompok usia ini adalah muntah
(85% sampai 90%), nyeri (35 sampai 81%), demam (40-60%), dan diare
(18 sampai 46%). Gejala umum lainnya pada kelompok usia ini adalah
iritabilitas (35% sampai 40%), batuk atau rinitis (40%), respirasi
mendengkur (8% sampai 23%), keterbatasan mobilitas pinggul kanan,
nyeri dan pincang pada 3% sampai 23%. Muntah juga menghadirkan
gejala kelainan lainnya pada usia ini seperti gastroenteritis, adenitis
mesenterika, dan intususepsi. Pada pemeriksaan fisik, mayoritas bayi
(87% to100%) memiliki suhu lebih tinggi dari 37oc dan nyeri perut difus
(55% hingga 92%); sedangkan nyeri kuadran kanan bawah didapatkan
pada kurang dari 50% kasus. Tanda mencolok lainnya adalah kelesuan
(40%), distensi abdomen (30-52%), kekakuan (23%), dan massa abdomen
atau rektal (30%). Karena gejala apendisitis akut pada kelompok usia ini
tidak spesifik, interval waktu rata-rata antara gejala awal dan diagnosis
akhir biasanya 3 sampai 4 hari. Penundaan dalam diagnosis ini paling
sering menyebabkan perforasi (82-92%), dan sumbatan usus 82%.6
Prasekolah (usia 3-5 tahun)
Apendisitis akut masih jarang ditemukan sampai usia 6 tahun,
terhitung hanya kurang dari 5% dari semua apendisitis pada anak. Dengan
bertambahnya usia, anak-anak dapat berkomunikasi dengan baik dan
dapat menggambarkan gejala apendisitis akut, diagnosis dini apendisitis
akut menjadi lebih mudah dan akurat. Dalam kelompok usia ini, nyeri
perut adalah gejala yang paling umum (89% to100%), diikuti oleh muntah
(66% to100%), demam (80% sampai 87%) dan anoreksia (53% hingga
60%). Pada pemeriksaan, nyeri tekan kuadran kanan bawah (58% sampai
85%), nyeri lepas (50%), dan suhu di atas 37,5 o c (82%).7
2.7 Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri tekan dan nyeri lepas
pada palpasi. Rovsing sign , obturator sign, dan psoas sign juga didapatkan
hasil yang positif walaupun pemeriksaan ini tidak spesifik ditemukan pada
13
apendisitis. Hanya nyeri lepas yang berkorelasi dengan kasus apendisitis pada
anak. Diagnosis apendisitis akut tidak mudah pada anak kecil. Hal ini
membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan radiologi tertentu di semua
kelompok usia untuk membuat diagnosis yang akurat.2
Diagnosis dalam kelainan abdomen pada anak kecil bisa menjadi
tantangan. Dengan bantuan pemeriksaan penunjang dapat membantu dalam
membuat diagnosis yang lebih cepat dan mencegah komplikasi dari perforasi
appendik. Tidak ada satu tes dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
untuk mendiagnosis apendisitis akut, sehingga pencitraan dan pemeriksaan
laboratorium harus selalu dipertimbangkan dalam konteks riwayat pasien dan
temuan pemeriksaan fisik.3
A. Evaluasi Laboratorium8
Berbagai pemeriksaan biokimia dan hematologis telah ditetapkan
untuk memperbaiki akurasi diagnostik apendisitis akut pada anak. Di
bawah ini yang umum dibahas
i. Penanda biologis
a. Complete blood count (CBC) dan CRP; CBC adalah
pemeriksaan laboratorium yang paling umum disarankan
pada anak-anak dengan dugaan apendisitis akut. Meskipun
jumlah sel darah putih (WBC) meningkat pada apendisitis
akut, hal ini masih tidak spesifik dan tidak peka. Hitung sel
darah putih juga meningkat pada proses penyakit lain
seperti gastroenteritis, limfadenitis mesenterika, penyakit
radang panggul dan infeksi tertentu lainnya. Peningkatan
jumlah neutrofil bersama dengan jumlah WBC total
membantu dalam diagnosis apendisitis akut. Sensitivitas
dan spesifitas jumlah leukosit untuk mendiagnosis
apendisitis akut bervariasi 60-87% hingga 53-100%. C-
reactive protein (CRP) adalah mediator inflamasi
nonspesifik. Ini memiliki sensitivitas 43% hingga 92% dan
spesifisitas 33% hingga 95% untuk mendiagnosis
apendisitis akut pada anak-anak yang mengalami nyeri
14
perut. Namun, ini lebih sensitif daripada perhitungan WBC
dalam mendiagnosis perforasi apendikular dan
pembentukan abses yang lebih sering terjadi pada anak-
anak. Sensitivitas leukositosis dan peningkatan jumlah
neutrofil dapat mendekati 98% dengan peningkatan CRP
untuk mendiagnosis apendisitis akut
b. Neutrophils to lymphocytes (N/L) ratio and the mean
platelets volume (MPV); Telah disarankan bahwa rasio
neutrofil terhadap limfosit dan volume trombosit rata-rata
dapat digunakan sebagai penanda untuk diagnosis
apendisitis. Rasio N / L lebih dari 3,5 adalah indikator
sensitif untuk diagnosis apendisitis akut.
ii. Analisis Urin
Analisis urin disarankan untuk menyingkirkan infeksi
saluran kemih. Namun 7-25% pasien anak dengan apendisitis akut
memiliki lebih dari 5 leukosit atau sel darah merah per bidang
dalam sampel urin. Badan ketone urin positif dan nitrat mungkin
menjadi penanda penting yang membantu dalam mendiagnosis
apendisitis akut perforasi. Keputusan untuk menyarankan jumlah
WBC, jumlah neutrofil, dan CRP, atau analisis urin biasanya
didasarkan pada kesan klinis, durasi gejala, dan preferensi dokter
ruang gawat darurat atau ahli bedah konsultan.
B. Pencitraan
i. Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen secara rutin dilakukan dalam kasus abdomen
akut. Temuan radiografi, sugestif apendisitis akut adalah skoliosis
sisi kanan, massa jaringan lunak, ileus lokal, obstruksi usus, cairan
peritoneum bebas, dan faecolith. Yang paling spesifik di antara
temuan ini untuk diagnosis apendisitis akut adalah faecolith yang
ditemukan pada 28 hingga 33% pasien. dengan apendiks yang
meradang dan ada kurang dari 1 sampai 2% kasus tanpa
15
pembengkakan usus buntu. Menariknya, perforasi ditemukan hadir
dalam 45 sampai 100% kasus di mana sinar-x menunjukkan
appendicolith kalsifikasi. Sebagian besar studi terbaru
memperkirakan bahwa radiografi polos normal pada apendisitis
akut menyesatkan pada sebagian besar kasus. Oleh karena itu, foto
abdomen polos sebagian besar direkomendasikan pada kasus-kasus
abdomen akut, dimana obstruksi usus, peritonitis, batu ginjal atau
batu empedu dicurigai
ii. Ultrasonography (USG)
Temuan ultrasound sugestif apendisitis akut adalah: distensi dan
obstruksi lumen appendiceal, apendiks bengkak (diameter> 6 mm),
appendicolith, target sign dengan lima lapisan konsentris,
echogenicity tinggi di sekitar apendiks, cairan pericecal dan
perivesical, dan loop usus menebal dengan peristaltik yang telah
hilang. Sensitivitas dan spesifisitasnya berkisar dari 80 hingga 92%
dan 86 hingga 98%. Dalam meta-analisis dari 26 penelitian yang
mengevaluasi peran USG dalam diagnosis AP, sensitivitas yang
didapat adalah 88% dan spesifitas 94%. Tingkat visualisasi
appendiks yang meradang bervariasi dari 22 hingga 98%.
16
iii. Computed Tomography Scan (CT scan) dan MRI
CT scan telah banyak digunakan ketika ultrasound gagal
mengidentifikasi apendiks yang meradang. Kriteria diagnostik
pada CT scan; termasuk usus buntu bengkak (berdiameter lebih
dari 6 mm), goresan lemak, penebalan apikal caecal, limfadenopati,
adanya apendikolit, abses, terputusnya kontras kolon pada lumen
appendiceal proksimal, dan pemisahan kontras di caecal lumen dari
17
appendicolith proksimal. Berbagai penelitian telah melaporkan
sensitivitas CT scan dalam diagnosis apendisitis antara 87 dan
100%, dan spesifisitas 83% hingga 100%. Namun, sangat penting
untuk memahami bahwa radiasi pengion yang dipancarkan dari CT
scan telah terbukti dikaitkan dengan risiko kanker seumur hidup
yang lebih tinggi pada anak-anak. MRI belum secara rutin
digunakan dalam diagnosis apendisitis akut. Akurasi diagnostic
MRI telah terbukti sangat tinggi dengan sensitivitas 97% dan
spesifisitas 97%. Sensitivitas dan spesifisitas MRI sebanding
dengan CT pada kedua appendicitis serta apendisitis perforasi.
Mengingat manfaat dari tidak ada paparan radiasi, MRI memiliki
potensi untuk menjadi modalitas radiografi utama untuk membantu
diagnosis apendisitis. Keterbatasan saat ini termasuk pertimbangan
biaya dan kurangnya keakraban dokter dengan interpretasi MRI
bagi mereka yang tidak menggunakannya secara rutin.
C. Pemeriksaan Lainnya9
Barium enema dan laparoskopi diagnostik baru-baru ini telah
digunakan dalam diagnosis apendisitis akut pada anak-anak tetapi
keakuratan diagnostiknya belum diketahui.
D. Sistem Scoring10
Untuk membantu klinisi dalam membuat diagnosis apendisitis
akut, telah dikembangkan untuk menghitung kemungkinannya dengan
mengelompokkan kelompok menjadi kategori kategori rendah, menengah,
dan berisiko tinggi. Skor Alvarado, juga dikenal sebagai MANTRELS,
adalah model pemberian skor yang paling banyak digunakan dalam
populasi pediatrik dan orang dewasa. Sensitivitas dan spesifisitas skor
Alvarado ≥ 7 untuk apendisitis akut cukup bervariasi dalam literatur dan
dilaporkan masing-masing 72-93% dan 79-81% pada populasi anak-anak.
The Pediatric Appendicitis Score (PAS) juga memiliki ketepatan variabel
dengan sensitivitas yang dilaporkan 61-100% dan spesifisitas 92-96%
untuk skor ≥ 7. Sistem penilaian ini dikembangkan untuk mengatasi
18
temuan klinis yang spesifik untuk pasien anak-anak, termasuk "hopping"
pain sebagai pengganti rebound pain dan suhu 38 ° C (37,5 ° C dalam nilai
Alvarado). PAS akan membantu dalam mendiagnosis apendisitis akut
pada anak-anak yang lebih muda. Menimbang bahwa anak-anak yang
lebih muda memiliki radang usus buntu yang lebih parah, diharapkan nilai
PAS lebih tinggi dalam kelompok ini.
19
2.8 Tatalaksana
Anak-anak yang didiagnosis dengan apendisitis akut harus segera
dirawat untuk observasi dan / atau apendektomi. Ketersediaan radiologi
tambahan seperti USG, CT, dan MRI bervariasi dan dapat berdampak baik
pada pengambilan keputusan dan hasil bedah apendisitis akut.
Sekelompok pasien dengan risiko sangat rendah berdasarkan sistem
skoring Alvorado atau PAS dapat dikeluarkan dari ruang gawat darurat
dengan saran evaluasi ulang setelah 8 hingga 12 jam. Secara historis,
apendektomi terbuka telah dipraktekkan pada anak-anak di seluruh dunia
untuk apendisitis akut. Namun dengan munculnya teknik invasif minimal,
apendektomi laparoskopi telah menjadi semakin populer di kalangan ahli
bedah anak.2
Baru-baru ini, para peneliti telah mulai menggunakan antibiotik
saja untuk mengobati apendisitis tingkat rendah sebagai alternatif untuk
operasi ketika keluarga menolak atau lebih memilih untuk menghindari
operasi. Setelah diagnosis apendisitis telah dibuat, manajemen ditentukan
berdasarkan apakah itu apendisitis sederhana, apendisitis lanjut atau rumit
dengan perforasi bebas, atau apendisitis lanjut dengan phlegmon atau
abses. Resusitasi cairan, antibiotik intravena, dan analgesia diperlukan
pada semua pasien. Profilaksis antibiotik dosis tunggal harus diberikan
sebelum operasi setelah diagnosis apendisitis akut telah dilakukan.
Mengingat morbiditas yang terkait dengan komplikasi infeksi seperti rawat
inap yang berkepanjangan, penerimaan kembali, dan operasi ulang,
sebagian besar merekomendasikan antibiotik profilaksis. Dalam hal agen
antimikroba spesifik, cakupan spektrum luas termasuk anaerob harus
diberikan.. Sefalosporin generasi kedua dengan aktivitas anaerobik atau
sefalosporin generasi ketiga dengan aktivitas anaerobik parsial biasanya
direkomendasikan dengan atau tanpa penambahan metronidazol.2
Pengobatan utama untuk apendisitis dini atau sederhana adalah
pengangkatan apendiks yang segera terjadi untuk mencegah
perkembangan hingga pecah dengan peritonitis. Pembedahan telah
menjadi pendekatan standar sejak tahun 1890-an. Karena standardisasi
20
appendectomy prompt dikombinasikan dengan profilaksis antibiotik,
mortalitas setelah appendectomy adalah kejadian yang sangat jarang
terjadi. Kadang-kadang, temuan patologis akan membantu mengarahkan
perawatan pasca operasi (misalnya perforasi).2
Ada bukti yang menunjukkan bahwa hasil buruk seperti perforasi,
komplikasi, atau waktu operasi tidak meningkat untuk anak-anak yang
menjalani usus buntu lebih dari enam jam dibanding kurang dari enam jam
setelah diagnosis. Pilihan laparoskopi dibanding operasi terbuka sebagian
besar didasarkan pada ketersediaan alat laparoskopi dan pengalaman ahli
bedah. Hasil appendektomi terbuka dan laparoskopi pada dasarnya sama
dalam apendisitis tanpa komplikasi. Namun, dalam apendisitis laparoskopi
yang rumit dikaitkan dengan infeksi luka superfisial yang lebih rendah,
durasi tinggal di rumah sakit yang lebih pendek, penurunan risiko
obstruksi usus pasca operasi, tetapi waktu operasi yang lebih lama dan
risiko infeksi intraabdominal yang lebih tinggi dalam meta-analisis studi
selama 12 tahun terakhir. Dalam kasus apendisitis neonatal yang langka,
operasi terbuka dianjurkan karena potensi kehadiran diagnosis lain
(misalnya necrotizing enterocolitis).3
Apendisitis perforata dapat ditentukan sebelum operasi dan dapat
ditemukan secara intraoperatif selama operasi. Menurut pedoman
American Academy of Pediatrics (AAP), bayi (nol-satu tahun) dan anak-
anak (dua-12 tahun) dengan apendisitis perforasi harus ditangani oleh
dokter bedah anak bahkan jika didiagnosis oleh dokter bedah non-
pediatrik Jika tidak ada massa appendiceal atau abses, disarankan
dilakukan appendiktomi segera. Tidak ada peningkatan morbiditas ketika
prosedur dilakukan pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa.3
Pada pasien yang awalnya dikelola secara non-operatif, rehidrasi,
optimasi nutrisi, dan antibiotik adalah komponen penting. Dekompresi
nasogastrik mungkin diperlukan untuk muntah terus-menerus. Pada
populasi apendisitis perforasi dosis sekali sehari dari ceftriaxone dan
metronidazole sama efektifnya dengan kombinasi threedrug ampisilin,
gentamisin, dan klindamisin dengan penurunan suhu yang lebih cepat,
21
lama tinggal lebih pendek, dan penghematan substansial dalam
administrasi dan obat-obatan.3
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah perforasi, sepsis, shock,
infeksi luka dan obstruksi usus. Komplikasi infeksi pasca operasi termasuk
infeksi luka dan abses terjadi pada sekitar satu hingga lima persen anak-
anak dengan usus buntu sederhana dan dua hingga sembilan persen dari
mereka dengan apendisitis lanjut. Abses intra-abdominal atau pelvis terjadi
pada sekitar lima persen dari semua kasus.3 Faktor-faktor yang
meningkatkan infeksi termasuk usia yang lebih tua, indeks massa tubuh
yang lebih tinggi, riwayat diare pada presentasi, demam setelah hari pasca
operasi dua, dan leukositosis setelah hari pasca operasi lima.11
2.10 Prognosis
Secara keseluruhan, mortalitas untuk appendisitis pada anak-anak
sangat jarang dan terjadi pada kurang dari 0,1% kasus. Kematian terjadi
pada anak-anak yang sangat muda, pasien yang mengalami resusitasi yang
menjalani operasi, dan sepsis pasca operasi.3 Di negara-negara menengah,
angka kematian dilaporkan 1–4%, dan oleh karena itu mungkin merupakan
penanda yang berguna untuk perawatan di seluruh dunia.5
22
23
BAB III
LAPORAN KASUS
Paru
Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris bilateral, retraksi (-/-).
Palpasi : Nyeri tekan (-),stem fremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi : Sonor (+/+) pada kedua lapangan paru.
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-).
Abdomen
Inspeksi : Datar, tampak tegang, tidak terlihat ada massa
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, sianosis (-), edema (-), CRT < 2”.
Inferior : Akral hangat, sianosis (-), edema (-), CRT < 2”.
Status Lokalisata
Inspeksi : Bentuk datar, simetris, massa (-).
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Palpasi : Nyeri tekan Mc.Burney (+), Rovsing sign (-), Obturator sign (+),
Psoas sign (-), Blumberg sign (+), Defans muscular (-).
Skor VAS :9
26
ALVARADO SCORE
Pemeriksaaan laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Interpretasi
HEMATOLOGI
Hemostasis
Kimia Klinik
Gallbladder : normal
Ascites (-)
Kesan :
R. Mc. Burney :
Kesan :
3.4 Diagnosis
Appendicitis Akut
29
3.5 Tatalaksana
3.5.1 Farmakologi
IVFD RL gtt 20 x/menit
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 amp
Inj. Ranitidine 2 x 1 amp
Inj. Ondancetron 2 x1 amp
3.6 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
3.7 Follow Up
Waktu dan tanggal Hasil follow up
Kamis, 09 Desember 2023 S/
Pukul 13.30 WIB Nyeri luka bekas operasi
O/
KU : Tampak sakit sedang
Keasadaran : Compos mentis
GCS : E5M6V4
TD : 110/70 mmHg
HR : 79x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,8C
A/
Post Op Appendectomy
30
P/
O/
KU : Tampak sakit sedang
Keasadaran : Compos mentis
GCS : E5M6V4
TD : 110/80 mmHg
HR : 82x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,8C
A/
Post Op Appendectomy
P/
ANALISA KASUS
18
19
berguna untuk menyingkirkan diagnosa apendisitis dan memilah pasien untuk
manajemen diagnostik lanjutan. Pada kasus init didapatkan tabel alvadaro score 8,
dimana harus dilakukan tindakan pembedahan appendectomy, menurut teori jika
perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan
parieal akan menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi,
syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjutdapat terjadi sepsis,
akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.
19
20
BAB V
KESIMPULAN
20
21
DAFTAR PUSTAKA
21