Anda di halaman 1dari 59

Laporan Kasus

PITIRIASIS VERSIKOLOR

Disusun Oleh :
Anggun Puspa Arini, S.Ked
NIM : 71 2019 050

Pembimbing :
dr. Lucille Anisa Suardin, Sp. KK, FINSDV

DEPARTEMEN ILMU KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul:
PITIRIASIS VERSIKOLOR

Oleh :
Anggun Puspa Arini, S.Ked
NIM : 71 2019 050

Telah dipresentasikan pada bulan Mei 2022 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI.

Palembang, Mei 2022


Pembimbing,

dr. Lucille Anisa Suardin, Sp.KK, FINSDV

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
Judul: “Pitiriasis Versikolor” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu
tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan
pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:
1. dr. Lucille Annisa Suardin, Sp.KK, FINSDV, selaku pembimbing yang telah
memberikan masukan serta bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini,
2. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.

Palembang, Mei 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL. ....................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... i
KATA PENGANTAR .....................................................................................ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1


1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Maksud dan Tujuan ................................................................................... 2
1.3. Manfaat ...................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3


1.1 Pitiriasis Versikolor ................................................................................. 3
1.1.1 Definisi ......................................................................................3
1.1.2 Epidemiologi .............................................................................4
1.1.3 Etiologi ......................................................................................4
1.1.4 Patogenesis ................................................................................5
1.1.5 Manifestasi Klinis ...................................................................... 7
1.1.6 Pemeriksaan Penunjang ............................................................. 9
1.1.7 Tatalaksana ................................................................................ 10
1.1.8 Prognosis ...................................................................................13
1.2 Pitiriasis Alba...........................................................................................14
1.2.1 Definisi ......................................................................................14
1.2.2 Epidemiologi .............................................................................14
1.2.3 Etiologi ......................................................................................14
1.2.4 Manifestasi Klinis ...................................................................... 15
1.2.5 Pemeriksaan Penunjang ............................................................. 15
1.2.6 Tatalaksana ................................................................................ 16
1.2.7 Prognosis ...................................................................................16

iii
1.3 Morbus Hansen ......................................................................................... 17
1.3.1 Definisi ......................................................................................17
1.3.2 Epidemiologi .............................................................................17
1.3.3 Etiologi ......................................................................................17
1.3.4 Manifestasi Klinis ...................................................................... 19
1.3.5 Pemeriksaan Penunjang ............................................................. 22
1.3.6 Tatalaksana ................................................................................ 23
1.3.7 Prognosis ...................................................................................24

BAB III LAPORAN KASUS ......................................................................... 25

BAB IV ANALISIS KASUS .......................................................................... 32

BAB V KESIMPULAN .................................................................................. 45

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................46

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pitiriasis versikolor (PV) atau dikenal dengan panu merupakan infeksi
kulit superfisial, ditandai oleh area depigmentasi atau diskolorasi berskuama
halus, tersebar diskret atau konfluen, dan terutama terdapat pada badan bagian
atas. PV disebabkan oleh ragi genus Malassezia, Malassezia furfur (atau
Pityrosporum orbiculare, Pityrosporum ovale, dan Malassezia ovalis).
umumnya tidak memberikan gejala subyektif.1 Malassezia furfur merupakan
flora normal yang terdapat pada kulit, dan dapat berupah menjadi patogen yang
dipengaruhi oleh kondisi tertentu seperti genetik, suhu dan kelembaban tinggi,
produksi kelenjar keringat, keadaan imunokompromais, dan malnutrisi.1,2
Gambaran pitiriasis versikolor mirip dengan pitiriasis alba. Lesi pada
PV awalnya berupa makula berbatas tegas, dapat ditemukan dengan beragam
warna seperti hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan kadang eritematosa,
berbagai ukuran, kemudian dapat ditutupi dengan skuama halus diatasnya.
Sedangkan, lesi pada Pitiriasis alba hanya depigmentasi (warna merah muda
atau sesuai dengan warna kulit) dengan skuama halus. Lesi umumnya menetap
dan terlihat tampak memudar setelah skuama menghilang.1
Pitiriasis versikolor merupakan penyakit universal, terutama ditemukan
pada di daerah tropis akibat tingginya suhu dan kelembaban lingkungan.
Insiden terjadinya PV berdasarkan umur biasanya terdapat pada remaja dan
dewasa muda, jarang ditemukan pada anak dan orang tua. Pada remaja dan
dewasa muda kebanyakan terjadi pada usia 16 bulan 20 tahun. Infeksi biasanya
bersifat menahun, ringan, dan biasanya tanpa adanya peradangan. Penyakit ini
merupakan penyakit kulit akibat jamur yang paling banyak ditemukan di
Indonesia.1,2
Tujuan dari terapi PV adalah untuk mengembalikan Malassezia sesuai
jumlah komensalnya, bukan untuk mengeradikasi Malassezia dari tubuh.3
Pengobatan utama pada PV adalah pengobatan topikal. Apabila penyakit sudah

1
melibatkan area kulit yang luas, terjadinya rekurensi, dan serta gagal terapi
topikal, dapat dilakukan terapi sistemik.3,4,5
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
ptiriasis versikolor, seperti kultur jamur dan pemeriksaan mikroskopis dengan
kerokan kulit. Dikarenakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi jamur
masih cukup tinggi kasusnya di Indonesia, penting untuk diketahui bagaimana
cara menegakkan diagnosis, dan memberikan terapi serta edukasi sehingga
mengurangi kejadian penyakit tersebut.

1.2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan kasus ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat memahami kasus Pitiriasis
versikolor
2. Diharapkan kemudian hari dokter muda mampu mengenali dan memberikan
tatalaksana secara benar tentang penyakit Pitiriasis versikolor.

1.3. Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
1. Bagi institusi, diharapkan laporan kasus ini dapat menambah bahan
referensi dan studi kepustakaan dalam bidang ilmu penyakit dalam
terutama tentang Pitiriasis versikolor
2. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan laporan ini dapat dijadikan
landasan untuk penulisan laporan kasus selanjutnya.

1.3.2 Manfaat Praktis


Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh dari laporan ini dalam kegiatan kepaniteraan klinik senior (KKS)
dan diterapkan di kemudian hari dalam praktik klinik

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pitiriasis Versikolor


2.1.1 Definisi
Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisial yang ditandai
dengan adanya makula dengan beragam warna, seperti; hipopigmentasi,
hiperpigmentasi, dan kadang eritematosa. Dapat ditemukan skuama halus,
disertai rasa gatal dan terurama terdapat pada badan bagian atas. PV dikenal
juga sebagai tinea versikolor, dermatomycosis furfuracea, tinea flavea, liver
spots, chromophytosis, tinea alba, achromia parasitica, malasseziasis, panu.
Peningkatan suhu dan kelembapan, keadaan berkeringat berlebih, serta
kebersihan tampaknya menjadi faktor penting yang membuat terjadinya
kelainan pada kulit. 1,6,7

Gambar 1.Tinea Versikolor. Lesi tampak lebih gelap karena hiperemia


akibat respon inflamasi dan peningkatan melanin.4

3
Gambar 2. Tinea Versikolor. ada makula berbatas tajam, terhipopigmentasi
seragam dengan sisik halus, terkadang nyaris tak terlihat, yang mudah
dikikis dengan sisi kaca. Jika lesi sangat besar, seperti di kiri, dapat
disalahartikan sebagai vitiligo.4

2.1.2 Epidemiologi
Di daerah tropis, angka kejadian pitiriasis versikolor lebih tinggi
dengan daerah yang panas dengan kelembapan yang cukup tinggi. Di dunia,
prevalensi pitiriasis versikolor mencapai 50% di daerah yang panas dan 1,1%
di daerah yang dingin. Selain itu adanya hiperhidrosis, bahan pakaian oklusif,
penggunaan bahan-bahan pelembab badan yang berlebihan, penggunaan
antibiotik, kortikosteroid lokal/sistemik jangka panjang, sitostatik dan
penyakit serta keadaan tertentu, misalnya: diabetes mellitus, keganasan,
kehamilan, malnutrisi, keadaan imunokompromais, dan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS), serta sindrom Down menjadi faktor predisposisi terjadinya pitiriasis
versikolor.1,8

2.1.3 Etiologi
Penyebab utama Pitirasis versikoleor adalah ragi genus Malassezia,
namun terdapat faktor predisposisi terjadinya PV.6

4
§ Penyebab : Genus Malassezia pada kulit manusia (M.furfur,
M. sympodialis, M. globosa, M.resticta, M. slooffiae,
M. obtusa) dan pada kulit hewan (M.
pachydermatis).
§ Umur : Dapat menyerang hampir semua umur
§ Jenis Kelamin : Menyerang pria dan wanita
§ Bangsa/ras : Semua bangsa
§ Daerah : Hampir diseluruh dunia
§ Musim/iklim : Panas dan lembab, tropis
§ Kebersihan : Kurangnya kebersihan memudahkan penyebaran
§ Lingkungan :Keadaan basah/berkeringat banyak, sehingga
stratum korneum melunak dan Malassezia furfur mudah masuk

2.1.4 Patogenesis
Genus Malassezia spp. merupakan flora normal pada kulit.
Malassezia spp. merupakan ragi saprofitik, dimorfik yang hidup komensal
pada kulit terutama di daerah badan, kepala, dan leher yang cenderung banyak
mengandung lemak, yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah
menjadi bentuk miselia yang menyebabkan kelainan kulit PV. Kondisi atau
faktor predisposisi yang diduga dapat menyebabkan perubahan tersebut
berupa suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi, dan kadar CO2 pada
kondisi oklusif, sebum pada dewasa muda, hiperhidrosis, faktor genetik,
kondisi imunosupresi, hiv/aids, dan malnutrisi. Kehamilan serta penggunaan
kontrasepsi oral juga merupakan faktor terjadinya PV. Adanya faktor genetik
yang berpengaruh terhadap kerentanan terhadap PV dan mempengaruhi
awitan yang lebih muda pada pasien laki-laki, dan tingkat rekurensi tinggi
pada pengobatan, serta durasi penyakit yang lebih lama. Malassezia dapat
memetabolisme berbagai asam lemak, seperti asam arakidonat atau asam
vaksenik, dan asam azelaic yang dilepaskan sebagai salah satu metabolitnya.
Asam ini bekerja menghambat enzim dopa-tirosinase yang menghalangi
perubahan tirosin menjadi melanin dan memproduksi metabolit

5
(pityniacitrin) yang dapat mengabsorbsi sinar UV. Bagian kulit di daerah
hipokromik tidak menunjukkan infiltrasi inflamasi karena agen penyebab
pitiriasis versikolor tidak menginduksi IL-1b, IL-6, IL-8, dan TNF-α.
Meskipun lesi pitiriasis versikolor tidak meradang, namun keberadaan ragi
dalam jumlah banyak dan metabolitnya menyebabkan deskuamasi pada kulit.
Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai metabolit jamur yang
berhubungan dengan deskuamasi ini. Produksi melanin dalam variasi
pitiriasis versikolor hiperpigmentasi juga belum diketahui secara jelas
mekanismenya. Pada studi histologis menunjukan adanya melanosom dengan
diameter yang lebih besar dari biasanya pada makula hiperkromik.1,4,10
Perubahan pigmen pada PV disebabkan oleh jamur yang mampu
menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses penggelapan kulit. Lesi
hipopigmentasi terjadi akibat adanya asam azeleat, suatu asam dikabroksilat
metabolit Malassezia spp. yang bersifat menghambat tirosinase dalam alur
produksi melanin.16
Mekanisme terjadinya lesi hiperpigmentasi, adanya pembesaran
ukuran melanosom serta penebalam stratum korneum yang diduga akibat
faktor inflamasi sebagai stimulus melanositosis serta organisme penyebab
dalam jumlah besar turut berperan pada terjadinya hiperpigmentasi.10
Selain itu Malassezia spp. menghasilkan sejumlah senyawa indol,
metabolit tryptophandependent yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi
tanpa gejala inflamasi yang merupakan gambaran klinis PV pada umumnya.
Senyawa indol tersebut ada yang mempengaruhi melanogenesis dan ada yang
mampu menyebabkan downregulation proses inflamasi, antara lain:1,3,4

Pitriacitrin : sebuah senyawa indol yang diproduksi oleh M. furfur.
Pityriacitrin memiliki kemampuan untuk melindungi jamur terhadap
paparan ultraviolet, sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten
terhadap sinar matahari.

Pityrialactone, yang berpendar (fluoresensi) di bawah sinar UV 366nm
memberikan warna kuning-kehijauan.

6

Pityriarubins, yang menghambat respiratory burst neutrofil dan
menghambat aktivitas 5-lipoksigenase.

Malassezin, suatu agonis reseptor; aryl-hydrocarbon yang menyebabkan
apoptosis dalam melanosit, sehingga hipopigmentasi bertahan lama.

Indirubin dan indol[3,2-b] carbazole, yang menghambat maturasi sel
dendritik dan kemampuannya mempresentasikan antigen.
Biasanya lesi terlihat pada punggung, dada, dan kadang-kadang
ekstremitas pada dewasa. Pada anak-anak, terkadang dapat timbul pada
daerah wajah. Lesi tampak sebagai bercak hipopigmentasi, kecoklatan atau
kemerahan dan disertai skuama halus.

2.1.5 Manifestasi klinis


Pada pemeriksaan dapat ditemukan makula dalam berbagai ukuran
dan warna, ditutupi sisik halus dapat muncul dengan rasa gatal atau tanpa
keluhan dan hanya gangguan kosmetik saja. Makula yang timbul dapat berupa
hipopigmentasi, kecokelatan, keabuan, atau kehitam-hitaman dalam berbagai
ukuran dan skuama halus di atasnya. Pigmentasi lesi yang muncul bervariasi
bergantung dari warna pigmen normal pasien, paparan sinar matahari, dan
derajat keparahan penyakit.6,9
Pada orang kulit putih, lesi berwarna lebih gelap dibandingkan dengan
kulit normal tetapi tidak menjadi tan pada pajanan matahari; sementara pada
orang-orang berkulit gelap, lesi cenderung lebih putih atau hipopigmentasi.10
Lesi awal berupa makula atau patch berbatas tegas, tertutup skuama
halus yang terkadang tidak tampak jelas. Untuk menunjukkan adanya skuama
pada lesi yang kering dapat digores dengan ujung kuku sehingga batas lesi
akan tampak lebih jelas (finger nail sign) atau dengan menggunakan kaca
objek, scalpel, atau ujung kuku (coup d’ongle of Besnier).4,9 Pada penyakit
yang telah lanjut lesi akan menjadi bercak luas, penyebaran diskret sampai
konfluens. Bentuk lesi dapat bervariasi, seperti bentuk papuler ataupun
perifolikuler.10

7
A B
Gambar 3.Gambaran klinis PV berdasarkan warna lesi. A. Lesi hiperpigmentasi akibat
respon inflamasi dan peningkatan melanin. B. Lesi hipopigmentasi, batas jelas
dengan skuama tipis.4

A B C

Gambar 4. Gambaran klinis PV berdasarkan bentuk lesi. A. Bentuk makuler B. Bentuk


papuler C. Bentuk perifolikuler.4

Predileksi awalnya dapat ditemukan pada dada atau punggung atas,


kemudian dapat meluas ke bahu, lengan atas dan daerah perut. Namun PV
dapat terjadi dimana saja di permukaan kulit, seperti pada lipat paha, ketiak,
leher, wajah, dan tempat- tempat tak tertutup pakaian.4,6,9
Gambaran klinis PV pada pasien dengan infeksi HIV sama dengan
pasien seronegatif HIV, hanya lebih luas, sedangkan pada pasien
imunokompromais lain, 10 misalnya penerima cangkok organ, lebih sering
terjadi folikulitis Malassezia.1,11 Pada kasus yang lama tanpa pengobatan, lesi

8
dapat bergabung membentuk gambaran seperti pulau yang luas berbentuk
polisiklik. Pada sebagian besar kasus pengobatan akan menyebabkan lesi
berubah menjadi makula hipopigmentasi yang menetap.12

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat memperlihatkan fluoresensi
kekuningan akibat metabolit asam dikarboksilat, yang digunakan sebagai
petunjuk lesi PV serta melihat sebaran lokasi lesi. Adanya hasil positif palsu
akibat penggunaan salap yang mengandung asam salisilat, tetrasiklin. Hasil
negatif palsu dapat terjadi pada orang yang rajin mandi, sehingga harus
dilakukan pemeriksaan mikologis untuk melihat elemen jamur.1
Pada pemeriksaan mikologis langsung sediaan kerokan kulit
menunjukkan kumpulan hifa pendek dan sel ragi bulat, kadang oval.
Gambaran demikian menyebabkan sebutan serupa ‘spaghetti and meatballs’
atau ‘bananas and grapes’. Sediaan diambil dengan kerokan kulit
menggunakan skalpel atau selotip. Pemeriksaan menggunakan KOH 20% dan
dapat ditambahkan sedikit tinta-biru hitam untuk memperjelas gambaran
elemen jamur.1

Gambar 5. Gambaran spaghetii and meatballs Malassezia pada preparat KOH.4

9
2.1.7. Tatalaksana
Non Medikamentosa
Memberitahu pasien bahwa repigmentasi memerlukan waktu
yang lama bahkan sampai setelah sembuh, menjaga agar kulit tetap
kering. Meningkatkan higiene dengan menghindari pemggunaan
handuk atau pakaian bersamaan dengan orang lain. Meningkatkan
nutrisi, serta menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap
keringat merupakan merupakah hal yang penting dalam tatalaksana
PV.1

Medikamentosa
Terapi utama pada PV adalah menggunakan terapi topikal.
Beberapa pertimbangan dalam pemilihan terapi sistemik; melibatkan
area kulit yang luas, terjadinya rekurensi, dan serta gagal terapi
topikal.1
Obat topikal dapat menggunakan selenium sulfide bentuk
sampo 1,8% atau bentuk losio 2,5% yang dioleskan tiap hari selama
15-30 menit dan kemudian dibilas. Aplikasi yang dibiarkan sepanjang
malam dengan frekuensi 2 kali seminggu juga dapat digunakan,
dengan perhatian kemungkinan reaksi iritasi. Pengolesan dapat
digunakan pada seluruh badan selain kepala dan genitalia.
Ketokonazol 2% dalam bentuk sampo juga dapat digunakan. Solusio
natrium hiposulfit 20% dan solutio propilen glikol 50% dapat
digunakan sebagai alternatif.1
Untuk lesi terbatas dapat menggunakan krim derivat azol
misalnya; mikonazol, klotrimoksazol, isokonazol, ekonazol. Dapat
juga menggunakan krim tolsikat, tolnafat, siklopiroksolamin, dan
haloprogin. Obat topikal sebaiknya diteruskan 2 minggu setelah hasil
pemeriksaan dengan lampu Wood dan pemeriksaan mikologis
langsung kerokan kulit negatif.1

10
Obat sistemik dipertimbangkan pada lesi luas, kambuhan, dan gagal
dengan terapi topikal; ketokonazol 200mg/hari selama 5-10 hari atau
itrakonazol 200 mg/hari selama 5-10 hari atau itrakonazol 200 mg/hari
selama 5-7 hari.1
Pengobatan rumatan dipertimbangkan untuk menghindari
kambuhan pada pasien yang sulit menghindari faktor predisposisi,
yaitu sampo selenium sulfide secara periodis atau dengan pengobatan
sistemik; ketokonazol 400 mg sekali setiap bulan atau 200 mg sehari
selama 3 hari tiap bulan.1

Tabel 1. Daftar obat Pitiriasis Versikolor yang ada di Indonesia 4


Nama Sediaan/dosis Cara penggunaan Keterangan
Obat Topikal
Derivat azol (mis; Krim 1-2% 1-2x/hari Untuk lesi
mikonazol) terbatas
Terbinafin Krim 1-2x/hari Untuk lesi
terbatas
Ketokonazole Sampo 2% 1-2x/hari sebelum Tidak untuk
mandi wajah dan
-minimum 1-10 genitalia
menit/hari sebelum
mandi
-setiap dua hari
sekali tiap malam
sebelum tidur
Sodium tiosulfat Solusio 20-25% 2x/hari setiap hari Bau menyengat
sulit hilang,

11
tidak untuk
wajah
Propylene glycol Solusio 50% 2x/hari
Zinc pyrithioe Sampo Dioleskan 5
menit/hari selama 2
minggu
Obat sistemik
Ketokonazole Tablet 200mg -1 tablet/hari Perhatikan pada
selama 7-10 hari efek samping
-Dosis tunggal 2 dan interaksi
tablet atau diulang obat
hingga 4 dosis
dalam 2 minggu
Itrakonasol Kapsul 100mg - 800-1000mg Untuk kasus
selama 5 hari rekalsitran.
- 200-400mg/hari Perhatikan efek
selama 3-7 hari samping dan
- 400mg dois interaksi obat.
tunggal
Fluoknasol Tablet 50mg dan 400mg dosis Tidak
150 mg tunggal atau dianjurkan FDA
diulang setelah 2 untuk PV
minggu

Tujuan pengobatan yaitu membuat Malassezia sebagai koloni normal


atau komensal pada tubuh, bukan untuk mengeradikasi Malaseezia.3,10
Angka kekambuhan antara 60-80% dalam 2 tahun pertama.15

2.1.8. Prognosis
Untuk mendapatkan prognosis yang baik pada pitiriasis
versikolor jika pengobatan dilakukan secara tekun dan

12
konsisten, serta faktor predisposisi dapat dihindari. Lesi
hipopigmentasi dapat bertahan sampai beberapa bulan setelah
jamur negatif, hal ini perlu dijelaskan kepada pasien agar tetap
selalu menjaga higienitas diri.

2.2. Pitiriasis Alba


2.2.1. Definisi
Bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui
penyebabnya. Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama
halus yang akan menghilang serta meninggalkan area yang
depigmentasi.17

2.2.2. Epidemiologi
Pityriasis alba paling sering terjadi pada anak-anak berusia tiga
hingga 16 tahun, dengan 90% kasus terjadi pada anak-anak di bawah 12
tahun. Pityriasis alba lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat atopi,
dan sedikit dominasi laki-laki telah dicatat. Tidak ada dominasi ras yang
jelas, meskipun lesi mungkin lebih terlihat pada orang dengan jenis kulit
yang lebih gelap. Pityriasis alba tidak bersifat musiman, meskipun
penskalaan mungkin lebih buruk di musim dingin (akibat udara kering di
rumah), dan lesi mungkin lebih jelas di musim semi dan musim panas
(akibat paparan sinar matahari dan penggelapan kulit di sekitarnya).
Pigmentasi kulit normal kembali secara spontan, biasanya dalam satu
tahun.18

2.2.3. Etiologi
Tidak ada penyebab spesifik dari pitiriasis alba yang telah
diidentifikasi. Itu tidak menular, dan tidak ada etiologi menular yang
dilaporkan. Hal ini paling sering terjadi pada individu dengan riwayat
atopi, meskipun dapat juga terjadi pada individu nonatopik. Dalam banyak

13
kasus, penyakit ini dianggap sebagai manifestasi kecil dari dermatitis
atopik. Hal ini dianggap mewakili dermatitis nonspesifik dengan sisa
hipopigmentasi pasca inflamasi. Histopatologi menunjukkan penurunan
produksi melanin di daerah yang terkena. Temuan terkait dalam beberapa
penelitian termasuk kelenjar sebaceous atrofi, anemia defisiensi besi, dan
kadar tembaga serum yang rendah. Arti penting dari temuan ini dan
hubungannya dengan pitiriasis alba tidak pasti pada kulit di sekitarnya).
Pigmentasi kulit normal kembali secara spontan, biasanya dalam satu
tahun.18

2.2.4. Patogenesis
Gambaran mikroskopis pitiriasis alba adalah dermatitis ringan,
kronis, nonspesifik dengan penurunan produksi melanin. Beberapa
gambaran histopatologi nonspesifik telah dijelaskan. Ini termasuk
hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, spongiosis, dan infiltrat
perivaskular. Meskipun tidak ada kriteria diagnostik khusus, gambaran
tertentu dalam spesimen biopsi yang diambil dari lesi kulit yang khas
merupakan petunjuk diagnosis. Termasuk melanin yang tidak teratur atau
sangat berkurang di lapisan basal, tidak ada penurunan yang signifikan
dalam jumlah melanosit, dan berkurangnya jumlah melanosit aktif dengan
penurunan jumlah dan ukuran melanosom.18

2.2.5. Manifestasi Klinis


Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah
muda atau sesuai dengan warna kulit disertai skuama halus. Setelah
eritema menghilang, lesi yang dijumpai hanya depigmentasi dengan
skuama halus. Pada stadium ini penderita datang berobat terutama pada
orang dengan kulit berwarna. Bercak biasanya multipel 4 sampai 20
dengan luas hingga separuh wajah (50-60%), paling sering dijumpai di
sekitar muut, dagu, pipi, serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas
dan badan. Dapat simetris pada bokong, tungkai atas, punggung, dan

14
ekstensor lengan, tanpa keluhan. Lesi umumnya menetap, terlihat sebagai
leukoderma setelah skuama menghilang.17

2.2.6. Pemeriksaan Penunjang


Jika diagnosis tidak pasti, beberapa prosedur diagnostik
mungkin berguna. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, lesi
pityriasis alba dapat menonjol tetapi tidak berpendar. Temuan ini
berbeda dengan vitiligo, yang akan berpendar lebih terang dan memiliki
tepi dengan demarkasi yang lebih tajam.
Sediaan potasium hidroksida (KOH) dari kerokan kulit akan
berdampak negatif pada unsur jamur. Hasil ini berbeda dengan panu
atau tinea corporis, yang positif mengandung unsur jamur. Biopsi kulit
biasanya tidak diperlukan, tetapi bila dilakukan dapat membedakan
pitiriasis alba dari mikosis fungoides.18

2.2.7. Tatalaksana
Pasien dan orang tua mereka dapat diyakinkan tentang sifat
pityriasis alba yang jinak dan membatasi diri. Namun, mereka juga
harus diberi tahu bahwa resolusi lambatnya dapat memakan waktu
beberapa bulan hingga beberapa tahun, meskipun kebanyakan kasus
sembuh dalam satu tahun. Area yang terkena harus dilindungi dari
paparan sinar matahari, karena penggelapan kulit di sekitarnya dapat
memperburuk penampilan kosmetik. Steroid topikal potensi rendah,
seperti krim atau salep hidrokortison 1%, dapat mengurangi eritema dan
pruritis serta mempercepat repigmentasi. Emolien ringan, seperti
petroleum jelly dan krim, dapat mengurangi skuama. Tabir surya dapat
membantu mencegah lesi terbakar sinar matahari dan mengurangi
penggelapan kulit di sekitarnya. Pengobatan dengan penghambat
kalsineurin topikal, seperti salep tacrolimus 0,1% dan krim
pimekrolimus 1%, juga telah dilaporkan efektif; namun, karena
biayanya yang tinggi, jarang disebutkan. Calcitriol, analog vitamin D

15
topikal, menunjukkan kemanjuran yang sebanding dibandingkan
dengan tacrolimus. Pilihan pengobatan lain, biasanya disediakan untuk
kasus yang luas, termasuk fotokemoterapi psoralen plus ultraviolet-A
(PUVA) dan fototerapi bertarget dengan laser excimer 308 nm.18

2.2.8. Prognosis
Penyakit dapat sembuh spontan setelah beberapa bulan sampai
beberapa tahun.

2.3. Morbus Hansen


2.3.1. Definisi
Morbus hansen atau disebut juga sebagai kusta, merupakan penyakit
infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah mycobacterium leprae yang
bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu
kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali susunan saraf pusat.19

2.3.2. Epidemiologi
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya
diketahui secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di
daerah tropis dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekuensi
tertinggi pada kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih sering
mengenai laki-laki dari pada wanita.20
Penyebaran penyakit ini paling banyak terjadi di daerah tropis, dan
saat ini sekitar 12 juta penduduk dunia diperkirakan mengidap penyakit
ini. Di Indonesia, jumlah pengidap diperkirakan sekitar 129.000 orang,
sebagian besar berada di Indonesia.21

16
2.3.3. Etiologi

Morbus Hansen atau kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh


Mycobacterium Leprae.1 Dibandingka dengan M. tuberculosis, basil tahan
asam Mycobacterium Leprae tidak memproduksi eksotoksin dan ensim
litik. Sumber penularan kusta adalah penderita tipe lepromatosa yang
belum mendapat pengobatan. Penularan memerlukan waktu yang lama
serta sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh seseorang. Cara
penularannya diduga melalui aspirasi percikan ludah yang mengandung
kuman dan/atau kontak kulit. Masa inkubasi berkisar antara enam bulan
sampai puluhan tahun, biasanya 3-5 tahun.21
Penyakit kusta disebabkan oleh M.leprae yang ditemukan oleh
G.H. Armauer Hansen tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan
asam, bentuk pleomorflurus, batang ramping dan sisanya berbentuk
parallel dengan kedua ujung-ujungnya bulat dengan ukuran panjang 1-8
um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman berbentuk
batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan
pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang
utuh, berwarna merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang
mati bentuknya terpecah-pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup
dalam sel terutama jaringan yang bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur
dalam media buatan(in vitro).19

2.3.4. Patogenesis
Spektrum klinis dari leprosy bergantung pada keterbatasan variable
pada kapabilitas host untuk membuat cell mediated imunity (CMI) yang
efektif untuk M. leprae. organisme ini mampu untuk menginvasi dan
memperbanyak diri pada nervus perifer dan menginfeksi dan selamat pada
endotelial dan sel fagosit pada banyak organ. Infeksi subklinis dengan
leprosy adalah umum pada penduduk di daerah endemik. Dapat
diperkirakan subklinikal infeksi bisa ditangani oleh respon CMI tubuh

17
host. Gambaran klinis dari leprosy adalah perkembangan granuloma;
pasien bisa membentuk suaty “reactional state”, yang bisa terjadi .50% dari
grup tertentu pada pasien.22

Granulomatous Spectrum Leprosy22


• Resisten tinggi pada respon tuberkuloid (TT)
• Resisten lemah atau tidak ada resisten pada lepromatosa (LL)
• Regio borderline (BB)
• Regio intermedia
Borderline lepromatosa (BL)
Boderline tuberkulosa (BT)
Untuk mengurangi resisten, spektrumnya adalah TT, BT, BB, BL, LL

Respon Imunologis22
Respon imun untuk M.leprae bisa memproduksi beberapa tipe reaksi
yang ditandai dengan perubahan status klinis
Reaksi tipe I (aksi menurunkan dan mengembalikan )
Individu dengan BT dan BL mengeluarkan inflamasi dengan adanya lesi
pada kulit. Bisa berhubungan dengan demam yang tidak terlaltu tinggi. Lesi
kulit mackulopapul baru yang banyak terbentuuk dan/atau neuritis. Reaksi
penurunan terjadi sebelum terapi. Reaksi pengembalian terjadi setelah terapi
Rekasi tipe II ( Eritem Nodusum Lepra, ENL) terdapat pada sebagian dari
pasien LL. Biasanya terjadi setelah inisiasi dari terapi antilepra, biasanya
pada 2 tahun pertama dari pengobatan. Inflamasi masif dengan eritema-
nodusum lesi
Lucio Reaction
Individu dengan LL difuse menunjukkan lesi yang dangkal poligon
besar pada kaki. Reaksi ini terjadi sebagai variasi dari ENL atau reaksi
kedua dari oklusi arteriolar.22

18
2.2.5. Manifestasi Klinis
Periode inkubasi : 2-40 tahun ( secara umum banyak 5-7 tahun)
Onset : Terjadi diam-diam dan tanpa rasa sakit. Pertama-tama mengenai
sistem nervus perifer yang persisten dan terjadi rekuresni yang
menyebabkan nyeri, parestesia dan kehilangan rasa tanpa adanya gejala
klinis yang tampak secara visual. Pada tahap ini, mungkin bisa ada transien
makular erupsi pada kulit, namun kurangnya kesadaran terhadap trauma
Sistem review : keterlibatan neural memacu kelemahan otot, atrofi otot,
nyeri neuritis berat, dan konntraktur pada lengan dan tungkai
Rekasi lepra tipe 1 : akut atau kelembutan yang terjadi diam-diam dan
nyeri pada sepanjang nervus yang terkena dan diikuti dengan kehilangan
fungsi.22

A. Tuberculoid leprosy (TT,BT)22

Gambar 6. Tuberculoid Leprosy.22

Kulit : banyak terjadi di india dan afrika. Bisa diidentifikasi dengan


makula popigmented hypestetic dengan ujung yang lebih tebal dan
bemacam variasi ukuran dari beberapa milimeter sampai dengan lesi yang
sangat besar yang bisa menutupi semua tubuh. Eritema atau batas ungu dan
hipopigmentasi ditengahnya. Dapat didefinisikan, menebal, biasanya
berbentuk gelang, melebar di perifer. Area tengah menjadi atrofi/menipis.

19
Lesi yang lebih lanjut tidak nyeri, tanpa jaringan pendukung kulit
(glandula keringat, folikel rambut). Menyerang semua bagian termasuk
wajah. TT: lesi bisa hilang secara spontan tidak diikuti dengan reaksi lepra.
BT : lesi tidak hialng secara spontan. Pelebaran nervus perifer besar.
Keterlibatan kulit adalah tidak ada neural leprosy. Test pinprick,
temperatur, vibrasi.

B. Borderline BB leprosy22

Gambar 7. Borderline BB Leprosy.22

Kulit : lesi intermedia antara tuberkuloid dan lepromatoid dan


tergabung dengan makula, papul dan plak. Tidak nyeri dan penurunan
ekskresi keringat menonjol pada lesi

C. Lepromatosa leprosy (LL,BL)22

Gambar 8. Lepromatosa Leprosy.22

20
Kulit : sewarna kulit atau sedikit eritem dengan papul dan nodul. Lesi
membesar. Bisa terdapat lesi baru dan bersatu. Setelahnya : terdistribusi
secara simetris nodul, plak yang menebal, infiltrat dermal difuse, apabila
terjadi di wajah bisa berakibat kehilangan bulu (alis dan bulu mata bagian
lateral) dan wajah seperti singa (lion’s face). Diffuse lepromatosis, terjadi
pada orang mexico barat, kepulauan karibia, yang menunjukkan sebagai
infiltrasi kulit difuse dan dermis yang menebal. Distribusi
lesi : bilateral simetris dengan melibatkan daung telinga, muka, lengan,
pantat. Jarang pada ekstremitas bawah.
Lidah : nodul, plak, atau fisura
keterlibatan saraf : lebih berat dari TT.

2.2.6. Pemeriksaan Penunjang


Slit-skin smear : insisi kecil pada kulit. Kemudian ambil cairan pada
jaringan dan lakukan pewarnaan dengan pewarna Ziehl-Neelsen.
Spesimen biasa didapatkan dari daun telinga dan lesi aktif lainnya. Negatif
Bis bisa terjadi pada kasus paucibacilary, kasus yang sembuh dan kasus
yang diperiksa oleh pemeriksa yang tidak berpengalaman
Nasal smear/ scraping : tidak dianjurkan

Kultur : M. Lepra tidak bisa dikultur secara invitro. Namun bisa tumbuh
ketika dilakukan inokulasi pada “mouse foot pad”. Kultur bakteri secara
rutin bisa mengarah ke infeksi sekunder
PCR : DNA M.lepra dideteksi dengan teknik ini yang bisa menegakkan
diagnosa dari lepra paucibacilarry dan mengidentifikasi M.Lepra setelah
pengobatan.
Dermatopatologi : TL meunjukan terbentuknya sel epiteloid granuloma
disekitar nervus pada kulit.; AFB tidak ada. LL menunjukkan infiltrasi
seluler luas yang terpisah dari epidermis oleh suatu zona sempit yang berisi
dari kolagen yang normal. Jaringan sekitar kulit hancur. Makrofag penuh
terisi M.Lepra, berlimpah-limpah atau sitoplasma tervakuolisasi. (sel lepra
atau sel Virchow).22

21
2.2.7. Tatalaksana
Prinsip Umum tatalaksana :22
• Eradikasi infeksi dengan terapi antilepra
• Cegah dan obati reaksi
• Turunkan risiko kerusakan saraf
• Edukasi pasien bagaimana cara mengobati neuropati dan
kehilangan rasa
• Obati komplikasi dari kerusakan saraf
• Rehabilitasi pasien ke masyarakat
1. Terapi pada pasien PB:
a. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di
depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg) dan
1 tablet dapson/DDS 100 mg.
b. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet dapson/DDS
100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.
c. Pasien minum obat selama 6-9 bulan (± 6 blister).
d. Pada anak 10-15 tahun, dosis rifampisin 450 mg, dan DDS 50 mg.

22
2. Terapi pada Pasien MB:
a. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di
depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg), 3
tablet lampren (klofazimin) @ 100mg (300mg) dan 1 tablet
dapson/DDS 100 mg.
b. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet lampren 50
mg dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.

Tatalaksana melibakan pendekatan multidisiplin yang luas yang


meliputi bedah ortopedi, podiatry, ophtalmology dan physical therapy.22
Terapi reaksi :
Reaksi tipe I : prednisone, 40-60 mg/hari; dosis dikurangi setelah 2-3 bulan
pemakaian. Indikasi prednison : neuritis, ulserasi pada lesi yang diobati, lesi
pada wajah.
Reaksi tipe II : prendisone 40-60 mg/hari, dikurangi secara cepat;
thalidomide untuk ENL rekuren 100-300 mg/hari
Reaksi lucio : prednisone dan thalidomide tidak terallu efektif, karena tidak
ada pilihan lain, gunakan prednisone 40-60 mg/hari dikurangi secara cepat.
Antibiotik sitemik : infeksi sekunder dari ulserasi harus bisa di indetikasi
dan dittalaksana dengan antibiotik yang sesuai dan untuk mencegah infeksi
yang lebih berat seperti osteomyelitis
Perawatan ortopedik : bidai harus digunakan untuk mencegah kontraktur.
Perawatan lebih lanjut diperlukan untuk mencegah ulserasi neuropati

2.2.8. Prognosis
Setelah beberapa tahun pertama terapi dengan obat, masalah paling
berat adalah managemen dari kelainan neurologis sekunder, kontraktur dan
perubahan tropik pada tangan dan kaki. Selain itu, amiloidosis sekunder
dengan gagal ginjal bisa berkomplikasi pada lepra kronik. Reaksi lepra tipe
I berlangsung 2-4 buan pada pasien BT dan bisa sampai 9 bulan pada pasien

23
BL. Reaksi lepra tipe II (ENL) terjadi 50% pada pasien LL dan 25% pada
pasin BL pada 2 tahun pertama pengobatan. ENL bisa berkomplikasi ke
uveitis, dactylitis, arthritis,neuritis,lymphadenitis,myositis, orchitis. Rekasi
Lucio dapat menyebabkan vaskulitis sekunder dengan subsekuen infark.22

24
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : An. A
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 10 tahun
Status : Belum menikah
Pendidikan anak : SD
Pendidikan ibu : SMA
Pekerjaan ibu : IRT
Agama : Islam
Bangsa/ Suku Bangsa : Palembang / Indonesia
Alamat : Jalan Panca
Tanggal kunjungan / jam : 10 Maret 2021/ 19.15 WIB

3.2. Anamnesis
Diperoleh secara alloanamnesa pada tanggal 10 Maret 2021, pukul 19.15
WIB.
3.2.1 Keluhan utama
Timbul bercak-bercak putih pada wajah, leher, dan punggung sejak
2 minggu yang lalu.

3.2.2 Keluhan tambahan


Bercak keputihan terasa gatal

3.2.3 Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak 14 hari yang lalu, ibu pasien mengatakan adanya
timbul becak keputihan berjumlah 1 buah sebesar jarum pentul,lalu
melebar sebesar biji jagung pada pipi kanan. Lalu bercak keputihan

25
menyebar pada daerah leher dan punggung. Pasien juga mengeluh
gatal yang hilang timbul. Gatal terasa ringan. Gatal dipengaruhi oleh
cuaca panas. Gatal semakin hebat ketika berkeringat. Gatal tidak
memberat ketika malam hari. Untuk mengurangi gatal, pasien sering
menggaruk, serta memberikan bedak asam salisil yang dibeli oleh
ibu pasien di apotek. Setelah diberi bedak, gatal terasa berkurang.
Pasien tidak merasakan nyeri ataupun hilang rasa pada daerah
bercak.
Sejak 11 hari yang lalu, ibu pasien mengatakan terdapat
bercak keputihan pada leher, awalnya berjumlah 5 buah, sebesar
jarum pentul, lalu sangat melebar serta terdapat bercak keputihan
lagi dan semakin hari semakin banyak. Pada hari yang sama terdapat
bercak keputihan yang timbul pada punggung. Awalnya muncul
sebesar jarum pentul, namun semakin hari semakin banyak, yang
berjumlah sekitar ±100 buah. Ibu pasien mengatakan pada bercak
teraba sisik halus berwarna putih. Tidak ada perubahan warna pada
bercak. Ibu pasien mengaku keluhan dirasakan pertama kalinya. Ibu
pasien menyangkal adanya demam/flu, penurunan nafsu makan, dan
stres. Ibu pasien menyangkal adanya kontak dengan orang yang
mengalami hal yang serupa. Ibu pasien mengaku belum pernah
berobat ke dokter sebelumnya.
Sejak 1 hari yang lalu bercak tak kunjung hilang dan gatal
masih dirasakan, pasien kemudian berobat ke dokter.

3.2.4 Riwayat penyakit dahulu


Ibu pasien mengaku pasien tidak pernah memiliki riwayat
kencing manis, anemia, tbc, penyakit tiroid, penyakit hiv/aids,
kanker, riwayat transplantasi ginjal, alergi debu atau tungau, serta
tidak menggunakan obat kortikosteroid jangka panjang, serta tidak
berkeringat berlebihan. Pasien tidak ada merasakan seperti mati rasa
pada kuit. Pasien menyangkal tipe kulit kering, serta tidak ada
riwayat gangguan pertumbuhan rambut.

26
3.2.5 Riwayat penyakit dalam keluarga
Ibu pasien menyangkal ada yang menderita keluhan yang
serupa di keluarganya. Riwayat alergi, kencing manis, tbc, tiroid
pada keluarga disangkal. Riwayat penyakit kulit dalam keluarga
juga disangkal.

3.2.6 Riwayat Kebersihan


Pasien sering bermain diluar rumah dan sering terpapar
cahaya matahari sekitar 2-3 jam dan tidak langsung dilap saat
berkeringat dan biasanya dibiarkan mengering dengan sendirinya.
Frekuensi mandi 2 – 3 kali sehari. Pasien menyangkal kebiasaan
memakai minyak mandi/ coccoa butter. Pakaian yang digunakan
sehari-hari berbahan dasar kaos dan menyerap keringat. Pasien tidak
menggunakan pakaian yang ketat. Pasien tinggal didaerah padat
penduduk dan sering membuka jendela rumah pada pagi hari.

3.3. Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Nadi : dalam batas normal
Pernapasan : dalam batas normal
Suhu : dalam batas normal
Berat badan : 30 kg

B. Status Generalisata
Keadaan Spesifik
Kepala
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
- Hidung : sekret (-/-)
- Telinga : sekret (-/-)

27
Leher
- JVP 5-2 cmH2O
- Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar tiroid (-/-)
Thorax
Pulmo
Inspeksi : simetris kanan=kiri, retraksi sela iga (-)
Palpasi : stem fremitus kanan =kiri
Perkusi : sonor kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : teraba iktus kordis ICS IV linea aksilaris anterior sinistra
Perkusi : batas jantung paru normal
Auskultasi : S1/S2 normal, gallop (-), murmur (-)
Ekstremitas Superior : tidak ada kelainan fungsi pergerakan maupun
deformitas
Ekstremitas Inferior : tidak ada kelainan fungsi pergerakan maupun
deformitas

3.4. Status Dermatologikus


Pada regio bucalis dextra, colli, et truncus posterior tampak makula dan
patch hipopigmentasi, berbatas tegas, multiple, irreguler, ukuran 0,2- 4,5cm x 0,2-
6,5cm, pitiriasiformis, tersebar diskret hingga konfluens, sebagian ditutupi skuama
putih halus tipis selapis.

28
Patch hipopigmetasi 2

Makula
Patch
Patch hipopigmetasi 1
Patch hipopigmetasi 1
hipopigmetasi 4
hipopigmetasi 3

Makula
Makula hipopigmetasi 1
hipopigmetasi 2
Patch
hipopigmetasi 1

3.5. Resume
Pasien datang ke Poli RSUD Palembang BARI dengan keluhan adanya
makula dan patch hipopigmentasi pada pipi kanan bawah, leher, dan
punggung. Keluhan disertai gatal. Keluhan dirasakan 11 hari yang lalu.
Muncul tiba-tiba dengan waktu yang lambat. Pasien mengaku memberikan
bedak asam salisilyang dibeli di apotik dan gatal sedikit berkurang.

29
3.6. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Lampu Wood: Didapati hasil (+) berwarna kuning keemasan.
2. Pemeriksaan bakteriologis dengan pewarnaan ziehl-nielsen didapatkan
hasil negatif (-)
3. Kerokan Kulit dengan KOH 20%
Didapati hifa pendek, spora berkelompok diluarnya dengan gambaran
“spagethtii andmeatball”.
4. Rencana pemeriksaan dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi.

3.7. Diagnosis Banding


3. Pitiriasis versikolor
4. Pitiriasis alba
5. Morbus Hansen

3.8. Diagnosis Kerja


Pitiriasis Versikolor

3.9. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
- Memberikan penjelaskan pada pasien tentang penyakit yang diderita
dan cara pengobatannya.
- Menerangkan pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan
tempat tinggal
- Menyarankan bila terasa gatal, sebaiknya jangan menggaruk terlalu
keras karena dapat menyebabkan luka dan infeksi sekunder.
- Pemakaian obat yang diberikan harus diberikan rutin agar mencapai
penyembuhan yang maksimal.

30
Medikamentosa
- Terapi topikal
Sampo ketokonazol 2%, ditunggu hingga 5 menit lalu dibilas
selama 3 – 5 hari
Terbinafine cream 1% 2,1 gram 2x1 selama 7 hari
- Sistemik
Simptomatik: Cetirizine syr. 1x1/2 C. selama 10 hari pada pagi hari

3.10. Prognosis
a. quo ad vitam: bonam
b. quo ad functionam: bonam
c. quo ad sanationam: bonam
d. quo ad cosmetica: bonam

31
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada laporan kasus membahas An. A, berusia 10 tahun, pendidikan SD,


pendidikan ibu SMA, pekerjaan ibu IRT, ras/suku bangsa Palembang/ Indonesia,
beragama Islam. Dalam menegakkan suatu diagnosis klinis dapat diperolehdari
anamnesis (alloanamnesa), pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta
status dermatologikus pasien tersebut.
Pasien seorang laki-laki dengan usia 10 tahun, tinggal di Palembang,
Indonesia. Menurut teori semua umur dapat mengenai pitiriasis versikolor. Pada
jenis kelamin ditemukan sama pada pria dan wanita. Pada kasus ini pasien
tinggal di Palembang, Indonesia yang mana memiliki iklim tropis, panas dan
lembab. Hal ini sesuai dengan teori bahwa di daerah tropis angka kejadia PV
lebih tinggi, di dunia prevalensi PV mencapai 50% di daerah yang panas dan
1,1% di daerah yang dingin. Pitiriasis alba sering terjadi pada anak-anak berusia
3-16 tahun, dengan 90% kasus terjadi pada anak-anak dibawah 12 tahun, dengan
dominasi laki-laki sedikit lebih banyak. Sedangkan pada morbus hansen tersebar
di seluruh dunia terutrama daerah tropis dan subtropis, dapat menyerang semua
umur dengan frekuensi tertinggi terjadi pada kelompok umur antara 30-50 tahun
dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.
Dari alloanamnesis didapatkan keluhan pasien yaitu kurang dari 14 hari
yang lalu timbul bercak-bercak putih berjumlah 1 buah sebesar jarum pentul, lalu
melebar sebesar biji jagung pada pipi kanannya. Lalu bercak keputihan
menyebar pada daerah leher dan punggung. Pasien juga mengeluh gatal yang
hilang timbul. Gatal terasa ringan. Gatal dipengaruhi oleh cuaca panas. Gatal
semakin hebat ketika berkeringat. Gatal tidak memberat ketika malam hari.
Untuk mengurangi gatal, pasien sering menggaruk, serta memberikan bedak
asam salisil yang dibeli oleh ibu pasien di apotek. Setelah diberi bedak, gatal
terasa berkurang. Pasien tidak merasakan nyeri ataupun hilang rasa pada daerah
bercak. Pada pitiriasis versikolor, predileksi penyakit ini, terdapat pada wajah,
leher, punggung, dada, lengan dan tungkai. Manifestasi klinis PV adalah rasa

32
gatal yang meningkat saat berkeringat. Malasezia dapat memetabolisme berbagai
asam lemak. Asam lemak bekerja menghambat enzim dopatirosinase yang
menghalangi perubahan tirosin menjadi melanin dan hal ini mengakibatkan
munculnya makula hipopigimentasi. Sedangkan gambaran pitiriasis alba berupa
dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya. Ditandai
dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan menghilang serta
meninggalkan area yang depigmentasi. Manifestasi yang paling umum adalah
asimtomatik sampai gatal ringan. Morbus hansen memiliki periode inkubasi 2-
40 tahun (secara umum 5-7 tahun). Manisfestasi klinis yang paling sering
ditemukan berupa kehilangan rasa tanpa adanya gejala klinis yang tampak secara
visual.
Kisaran 11 hari yang lalu bercak keputihan meluas pada leher, awalnya
berjumlah 5 buah, sebesar jarum pentul, lalu sangat melebar serta terdapat bercak
keputihan lagi dan semakin hari semakin banyak. Pada hari yang sama terdapat
bercak keputihan yang timbul pada punggung. Awalnya muncul sebesar jarum
pentul, namun semakin hari semakin banyak, yang berjumlah sekitar ±100 buah.
Ibu pasien mengatakan pada bercak teraba sisik halus berwarna putih. Tidak ada
perubahan warna pada bercak. Lesi pada PV awalnya berupa makula berbatas
tegas, dapat ditemukan dengan beragam warna seperti hipopigmentasi,
hiperpigmentasi, dan kadang eritematosa, berbagai ukuran, kemudian dapat
ditutupi dengan skuama halus diatasnya.
Riwayat menderita keluhan serupa sebelumnya disangkal. Riwayat
memiliki penyakit endokrin seperti diabetes mellitus sebelumnya disangkal.
Riwayat memiliki penyakit anemia, penyakit hiv/aids, kanker, riwayat
transplantasi ginjal sebelumnya disangkal. Pasien tidak mengonsumsi obat
kortikosteroid jangka panjang. Keluhan pertama kali dirasakan. Pitiriasis
versikolor disebabkan oleh genus Malassezia. Beberapa faktor risiko telah
diidentifikasi yang mempengaruhi individu untuk mengalami pitiriasis
versikolor, yaitu tentang riwayat diabetes melitus. Penyakit anemia, serta
gangguan kekebalan tubuh seperti penyakit HIV/AIDS, riwayat kanker, riwayat
transplantasi ginjal, termasuk keringat berlebihan, serta kebersihan yang tidak
tepat.
Riwayat anggota keluarga memiliki keluhan yang sama disangkal.

33
Riwayat anggota keluarga memiliki penyakit autoimun disangkal. Riwayat
memiliki penyakit endokrin seperti diabetes mellitus sebelumnya disangkal.
Penularan penyakit PV dalam keluarga adalah hal yang umum. Pasien dengan
Pitiriasis alba mungkin memiliki riwayat dermatitis atopik, rinitis alergi, atau
asma dalam keluarga.
Pasien sering bermain diluar rumah dan sering terpapar cahaya matahari
sekitar 2-3 jam dan tidak langsung dilap saat berkeringat dan biasanya dibiarkan
mengering dengan sendirinya. Frekuensi mandi 2 – 3 kali sehari. Pasien
menyangkal kebiasaan memakai minyak mandi/coccoa butter. Pakaian yang
digunakan sehari-hari berbahan dasar kaos dan menyerap keringat. Pasien tidak
menggunakan pakaian yang ketat. Pasien tinggal didaerah padat penduduk dan
sering membuka jendela rumah pada pagi hari. Pasien mengaku tidak
menggunakan handuk atau pakaian bersama-sama dengan orang lain. Malassezia
merupakan flora normal pada kulit. Malassezia spp. yang semula berbentuk ragi
saprofit akan berubah menjadi bentuk miselia yang menyebabkan kelainan kulit
PV. Kondisi atau faktor predisposisi yang diduga dapat menyebabkan perubahan
tersebut berupa suhu, kelembaban lingkungan yang tinggi, dan tegangan CO2,
tinggi permukaan kulit akibat oklusi, faktor genetik, hiperhidrosis, kondisi
imunosupresi dan malnutrisi.1 Pitiriasis alba tidak memiliki penyebab spesifik
dan tidak ada etiologi menular yang dilaporkan. Pada morbus hansen atau kusta
sumber penularannya adalah penderita lepromatosa yang belum mendapat
pengobatan, cara penularannya diduga melalui aspirasi percikan ludah yang
mengandung kuman dan/atau kontak kulit.
Dilihat dari pemeriksaan fisik dari keadaan umum dan keadaan spesifik
semua dalam batas normal. Pada status dermatologikus regio buccalis dextra,
colli, et truncus posterior tampak makula hipopigmentasi, berbatas tegas,
multiple, irreguler, ukuran 0,2- 4,5cm x 0,2-6,5cm, ptiriasiformis, sebagian
diskret sebagian konfluens, sebagian ditutupi skuama putih halus tipis selapis.
Gambaran lesi pada penyakit PV, yaitu terdapat makula berbatas tegas, dapat
hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan kadang eritematosa, terdiri atas berbagai
ukuran, berskuama halus (pitiriasiformis). Penyebaran dapat diskret atau
konfluen.1,3 Pada pitiriasis alba lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak
teratur. Warna merah muda atau sesuai dengan warna kulit disertai skuama halus.

34
Setelah eritema menghilang, lesi yang dijumpai hanya depigmentasi dengan
skuama halus. Sedangkan morbus hansen memiliki efloresensi makula
hipopigmentasi yang hipostesia hingga anestesia.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan lampu wood
(+) bewarna kuning keemasan, kemudian dilakukan pemriksaan KOH 20% dan
didapatkan hasil terlihat (+) hifa pendek, spora berkelompok diluar hifa dengan
gambaran “spagetthi and meatball”. Pemeriksaan Gram dengan hasil (-).
Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat memperlihatkan fluoresensi
kekuningan akibat metabolit asam dikarboksilat, yang digunakan sebagai
petunjuk lesi PV dan mendeteksi sebaran lokasi lesi. Adanya hasil positif palsu
akibat penggunaan salap yang mengandung asam salisilat, tetrasiklin. Hasil
negatif palsu dapat terjadi pada orang yang rajin mandi, sehingga harus
dilakukan pemeriksaan mikologis untuk melihat elemen jamur.1 Pada
pemeriksaan dengan lampu Wood, lesi pitiriasis alba dapat menonjol tetapi tidak
berfluoresensi.
Pada pemeriksaan mikologis langsung sediaan kerokan kulit
menunjukkan kumpulan hifa pendek dan sel ragi bulat, kadang oval. Gambaran
demikian menyebabkan sebutan serupa ‘spaghetti and meatballs’ atau ‘bananas
and grapes’. Sediaan diambil dengan kerokan kulit menggunakan skalpel atau
selotip. Pemeriksaan menggunakan KOH 20% dan dapat ditambahkan sedikit
tinta-biru hitam untuk memperjelas gambaran elemen jamur.1 Pada pemeriksaan
bakteriologis dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen didapatkan hasil negatif, hal ini
dapat menyingkirkan diagnosis banding pada kasus ini yaitu morbus hansen.
Pemeriksaan penunjang ini pada morbus hansen dapat ditemukan basil hidup
berbentuk batang yang utuh, berwarna merah terang, dengan ujung bulat (solid),
sedangkan basil yang mati bentuknya terpecah-pecah (fragmented) atau granular
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan
statu dermatologikus maka diagnosis kerja kasus ini dapat lebih mengarah ke
pitiriasis versicolor. Diagnosis banding pitiriasis versikolor, pitiriasis alba dan
morbus hansen. Diagnosis banding dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

35
Tabel 4.1. Perbandingan teori dan kasus
Teori Kasus
Epidemiologi Dapat menyerang hampir Pasien adalah anak laki-
semua umur. Laki-laki laki berusia 10 tahun.
dan perempuan sama.3
Faktor Predisposisi -Lingkungan dengan -Pasien sering bermain
suhu dan kelembapan diluar rumah dan sering
tinggi berkeringat jika terpapar
-Hiperhidrosis cahaya matahari sekitar
-Pakaian oklusif 2-3 jam dan tidak
-Penggunaan antibiotik, langsung dilap saat
kortikosteroid berkeringat dan biasanya
lokal/sistemik, sitostatik dibiarkan mengering
dan penyakit dengan sendirinya.
-Diabetes mellitus, Frekuensi mandi 2 – 3
keganasan, kehamilan, kali sehari. Pasien
keadaan menyangkal kebiasaan
imunokompromais memakai minyak mandi/
HIV/AIDS serta sindrom coccoa butter.
Down.1,5 -Pakaian yang digunakan
sehari-hari berbahan
dasar kaos dan menyerap
keringat. Pasien tidak

36
menggunakan pakaian
yang ketat.
-Pasien tinggal didaerah
padat penduduk dan
sering membuka jendela
rumah pada pagi hari.
-Pasien tidak memiliki
riwayat kencing manis,
anemia, tbc, penyakit
tiroid, penyakit hiv/aids,
kanker, riwayat
transplantasi ginjal,
alergi debu atau tungau,
serta tidak menggunakan
obat kortikosteroid
jangka panjang, serta
tidak berkeringat
berlebihan.
Gambaran Klinis -Umumnya tidak disertai -Pasien mengeluh
gejala subjektif, hanya terdapat bercak
keluhan kosmetik keputihan pada wajah,
-Pruritus tidak ada atau leher, dan punggung
hanya pruritus ringan. -Pasien juga mengeluh
gatal yang hilang timbul.
Gatal terasa ringan.

37
Tabel 4.2 Perbandingan diagnosis banding pada kasus
Kelaina
nkulit Pitiriasis Versikolor Pitiriasis Alba Morbus Hansen

Teori
Infeksi Bentuk dermatitis Penyakit infeksi bakteri
Definisi jamu yang tidak spesifik yang
r superfisial. dan belum diketahui bersifa
Ditemukan terutama penyebabnya. Lesi tintraseluler obligat.
pada badan bagian dapat dijumpai pada Saraf perifer sebagai
atas, namun dapat ekstremitas afinitas pertama, lalu
ditemukan juga pada da kulit dan mukosa
wajah, leher, dan n badan. Dapat traktus respiratorius
ekstremitas. simetris pada bokong, bagian atas, kemudian
tungkai atas, dapat ke organ lain
punggung, dan kecuali susunan saraf
ekstensor lengan pusat.
Etiologi Infeksi jamur Masih belum Infeksi yang kronik,
superfisial oleh genus diketahui dengan pasti yang disebabkan oleh
Malasezzia (M.furfur, penyebab pitiriasis Mycobacterium leprae
M. sympodialis, M. alba (idiopatik). yang bersifat intraelular
Globosa, M.resticta, obligat. Saraf perifer
M. Slooffiae, M. sebagai afinitas
Obtusa) dan pada kulit pertama, lalu kulit dan
hewan (M. mukosa traktus
Pachydermatis). respiratorius bagian
atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali
susunan saraf pusat.

38
Epidemiologi Usia: Semua umur Usia: ditemukan pada Usia: semua umur,
Sex:Perempuan dan anak dan remaja ( frekuensi tertinggi pada
laki-laki sama banyak umur 3-16 tahun 30-50 tahun
Iklim: Tropis (cuaca sekitar 30-40%. Sex: Laki-laki lebih
panas) Sex: Perempuan dan sering terkena daripada
Predisposisi: Suhu dan laki-laki sama wanita.
kelembaban banyak. Iklim: Pada daerah
lingkungan yang Iklim: Tropis (cuaca tropis (suhu panas dan
tinggi, dan kadar CO2 panas) kelembapan tinggi)
pada kondisi oklusif, Predisposisi: Paparan Predisposisi: Ditularkan
sebum pada dewasa sinar matahari melalui saluran
muda, hiperhidrosis, berlebihan, higiene pernapasan (inhalasi)
faktor genetik, kondisi yang kurang baik. dan kulit (kontak
imunosupresis Merupakan kasus langsung yang lama dan
(hiv/aids) dan kronis, dengan erat). Anggota keluarga
malnutrisi. frekuensi yang tinggal serumah
Kehamilan serta kekambuhan tinggi dengan penderita
penggunaan dimana pengobatan mempunyai risiko
kontrasepsi oral juga sering tidak berhasil. tertular lebih besar.
dapat memudahkan
terjadinya PV. Faktor
genetik juga
berpengaruh.
Gambaran Makula yang timbul Lesi berbentuk bulat, Lesi dapat berupa
klinis dapat berupa oval, atau plakat yang makula, papula, nodula
hipopigmentasi, tak teratur. Warna dan ulkus. Makula
kecokelatan, keabuan, merah muda atau berwarna keputihan
atau kehitam-hitaman sesuai dengan warna seperti panu, besarnya
dalam berbagai ukuran kulit disertai skuama sebesar uang logam
dan skuama halus di halus. Bercak sampai selebar daun
talas, permukaannya

39
atasnya. Dapat disertai Biasanya multipel 4- kering karena tidak
pruritus ringan. 20. mengeluarkan keringat,
daya rasa ditempat
berkurang atau hilang
sama sekali. Papula
kemerahan dan menebal
pada daerah tepi. Nodul
berwarna kemerahan
sering terdapat pada
daerah wajah, daun
telina dan badan.
Kelainan ini umumnya
terdapat pada tipebasah.
Ulkus merupakan
komplikasi akibat luka
yang terabaikan.
Pemeriksaan Lokasi: Badan bagian Lokasi: Luas hingga Lokasi: Pertama kali
Kulit atas, leher, perut, separuh wajah, paling menyerang saraf tepi
ekstremitas sisi sering disekitar mulut, dan selanjutnya
proksimal. Dapat juga dagu, pipi, dan dahi. menyerang kulit,
ditemukan pada wajah Dapat simetris pada mukosa mulut, saluran
dan kulit kepala, dapat bokong, tungkai atas, pernafasan bagian atas,
juga ditemukan pada punggung, dan sistem
aksila, lipat paha, ekstensor lengan, retikuloendotelial, mata,
genitalia. tanpa keluhan. otot, tulang dan testis
Efloresensi: Lesi Efloresensi: Lesi kecuali susunan saraf
makula berbatas tegas, umumnya menetap, pusat.
dapat hipopigmentasi, terlihat sebagai Efloresensi:
hiperpigmentasi, dan leukoderma setelah Berdasarkan WHO
kadang eritematosa, skuama menghilang. (PB&MB)
terdiri atas berbagai

40
ukuran dan berskuama Pada PB: bercak kusta
halus (pitiriasiformis) berjumlah 1-5. Terdapat
penebalan 1 saraf. Dan
sediaan apusan BTA
negatif. Pada MB:
bercak kusta berjumlah
>5. Penebalan saraf
disertai ganggaun ungsi
saraf yaitu > 1 hari.
Untuk sediaan apusan
terdapat BTA positif.
Pemeriksaa Lampu wood: Lampu wood: lesi
Pada
nPenunjang Fluoresensi pitiriasis alba dapat
pemeriksaa
kunin menonjol tetapi tidak
n bakteriologis dengan
gkeemasan. berfluoresensi.
pewarnaan Ziehl-
Pemeriksaan Histopatologik:
Nielsen Pemeriksaan
kerokankulit akantosis ringan, penunjang ini pada
dengan spongiosis dengan morbus hansen dapat
KOH20%: hiperkeratosis sedang ditemukan basil hidup
Gambaran dan perakeratosis berbentuk batang yang
menunjukkan setempat. utuh, berwarna merah
“spaghetti Pemeriksaan terang, dengan ujung
and mikroskop bulat (solid), sedangkan
meatballs” elektron basil yang mati
ata tampak bentuknya terpecah-
u “bananas and penuruna pecah (fragmented) atau
grapes” yaitu hifa njumlah granular
pendek, spora serta
berkelompok. berkurangnya ukuran
melanosom.

41
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjan dan
status dermatologikus, maka pada kasus ini dapat ditegakkan diagnosis kerja
pitiriasis versikolor
Penatalaksanaan non-medikamentosa menjelaskan kepada pasien
mengenai bahwa repigmentasi memerlukan waktu yang lama bahkan sampai
setelah sembuh, menjaga agar kulit tetap kering. Meningkatkan higiene dengan
menghindari pemggunaan handuk atau pakaian bersamaan dengan orang lain.
Meningkatkan nutrisi, serta menggunakan pakaian yang tidak ketat dan
menyerap keringat merupakan merupakah hal yang penting dalam tatalaksana
PV.
Penatalaksaan medikamentosa dapat menggunakan terapi topikal atau
sistemik dengan beberapa pertimbangan. Pada pengobatan topikal
menggunakan Ketokonazol 2% dalam bentuk sampo selama 3- 5 hari.
Penggunaan sampo ketokonazol telah terbukti sama efektifnya dengan sampo
selenium sulfida 2,5%. Keuntungan dalam sediaan sampo adalah kemudahan
aplikasinya, dapat diterapkan pada area yang lebih luas dari keterlibatan (tidak
seperti antijamur topikal) dan aplikasinya membutuhkan durasi yang lebih
singkat (5 menit) lalu dibilas. Untuk efek samping yang didapatkan minimal.
Penggunaan dapat digunakan pada seluruh badan selain kepala dan genitalia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Canada oleh Danby et al,
Baik sampo ketoconazole 2% dan sampo selenium sulfida 2,5% efektif dalam
pengobatan; Semua efek samping yang dilaporkan selama fase pengobatan
melibatkan pasien yang diobati dengan selenium sulfida dan termasuk pruritus
atau sensasi terbakar pada kulit kepala, erupsi di dekat garis rambut dan
psoriasis pada pasien yang dalam grup yang diberikan shampoo selenium
sulfide 2,5%. Sampo ketoconazole 2% tampaknya dapat ditoleransi dengan
lebih baik dibandingkan pada pasien yang menggunakan sampo selenium
sulfida.
Sebuah laporan terisolasi menjelaskan penggunaan sampo selenium
sulfida 2-3 kali seminggu jangka lama oleh pasien dengan kerusakan kulit yang
menyebabkan keracunan selenium. Peningkatan kadar selenium setinggi 32
mg/mL didokumentasikan dalam kasus ini.

42
Penyerapan sistemik ini dibuktikan dengan tremor, hiperhidrosis,
napas berbau bawang putih, kelemahan, muntah, dan nyeri perut.
Sebuah studi baru-baru ini mengukur kadar selenium dalam urin,
darah, rambut, dan kuku kaki selama dan setelah perawatan dengan sampo
yang mengandung selenium 3 kali seminggu selama 1 bulan. Urine dan darah
tidak menunjukkan peningkatan, sedangkan sampel rambut dan beberapa kuku
kaki menunjukkan peningkatan selama perawatan.
Solusio natrium hiposulfit 20% dan solutio propilen glikol 50% dapat
digunakan sebagai alternatif.1 Untuk lesi terbatas dapat menggunakan krim
derivat azol misalnya; mikonazol, klotrimoksazol, isokonazol, ekonazol. Dapat
juga menggunakan krim tolsikat, tolnafat, siklopiroksolamin, dan haloprogin.
Obat topikal sebaiknya diteruskan 2 minggu setelah hasil pemeriksaan dengan
lampu Wood dan pemeriksaan mikologis langsung kerokan kulit negatif.1
Pada daerah wajah pasien diberikan medikamentosa terbinafine cream
1%, menggunakan perhitungan finger tip unit (FTU) untuk anak laki-laki 1
FTU=0,167g. Untuk lesi pada wajah di regio buccalis dextra, maka pada pasien
ini dibutuhkan 0,3 gram untuk satu hari pemakaian. Untuk pemakaian selama 7
hari pada pasien ini dibutuhkan 2,1gram. Terbinafine topikal tersedia dalam
bentuk krim 1% dengan isi 5g. Terbinafine adalah turunan allylamine bersifat
keratofilik dan fungisidal. Obat ini mempengaruhi biosintesis ergossterol
dinding sel jamur melalui hambatan enzim skuelen epoksidase pada jamur
dan bukan melalui penghambat enzim sitokrom P450.
Terbinafin merupakan suatu derivat alilamin sitetik dengan struktur mirip
naftifin. Obat ini digunakan untuk dermatifitosis, terutama onikomikosis dan
juga secara topikal digunakan untuk dermatofitosis. Terbinafine 1% yang
dioleskan dua kali sehari pada area yang terkena selama 7 hari telah
menghasilkan tingkat kesembuhan lebih dari 80%.
Pemberian terbinafin selama 7 hari berkaitan dengan proses epidermal
turnover time. Epidermal turnover time adalah waktu yang diperlukan untuk
keratinosit berpindah dari stratum basale sampai ke stratum korneum menjadi
keratin.

43
Waktu yang diperlukan berkisar antara 25-56 hari, sehingga
pemberian obat selama 7 hari diharapkan terjadinya pergantian keratin yang
terinfeksi dengan lapisan keratin baru yang telah resisten terhadap jamur.
Jika dikembalikan ke anatomi dari epidermis, terdapat 5 lapisan dari
epidermis (korneum, lucidum, granulosum, spinosum, basal). Waktu
Epidermal turnover time adalah 25-56 hari, tetapi tidak perlu menunggu sel
keratinosis dari stratum basal untuk mengganti keratin yang berada di stratum
korneum, penggantian sel keratinosit yang belum terinfeksi dapat digantikan
oleh lapisan stratum lucidum yang berada satu lapis dibawah stratum korneum.
Maka hanya diperlukan waktu 5-11 hari untuk mengganti keratin yang
terinfeksi ke keratin yang tidak terinfeksi.
Pasien juga diberikan cetirizine syrup 1x1/2 sendok makan (Cochlear)
secara oral per hari selama 10 hari. Dosis cetirizine pada anak adalah
0,25mg/kgbb/hari.
Sediaan cetirizine di Indonesia berupa tablet 10mg, syrup 5mg/5ml
(60ml), dan drops 10mg/ml. Pada kasus ini pasien memiliki berat badan 30 kg,
maka dosis per hari yang dibutuhkan sebesar 7,5 mg.
Antihistamin digolongkan menjadi 3 kategori yaitu antihistamin
penghambat reseptor H1 (AH1), antihistamin penghambat reseptor H2 (AH2)
dan histamin penghambat reseptor H3 (AH3). AH1 dan AH2 paling banyak
digunakan menyusul AH3, tetapi pada bidang dermatologi AH3 tidak dipakai,
berperan dalam menurunkan produksi dari sitokin proinflamasi, pelepasan
mediator sel mas dan basofil. AH1 generasi pertama memiliki efek sedasi
karena mempunyai kemampuan untuk menembus sawar darah otak. Pada AH1
generasi pertama, terjadi dalam waktu 30 menit sampai 1 jam setelah
pemakaian obat dan mencapai puncak pada 4-6 jam, lama kerja berlangsung 4-
6 jam, ada beberapa obat yang bekerja selama 24 jam atau lebih.
Sedangkan AH1 generasi kedua tidak dapat menembus sawar darah
otak sehingga efek sedasi minimal atau tidak ada, dapat diberikan 1-2 kali
sehari karena lama kerjanya lebih panjang dari AH1 generasi pertama,
sehingga dikenal sebagai long acting. Obat ini di absorbsi lebih cepat,
contohnya Cetirizine.

44
Cetirizine merupakan antihistamin 1 (AH1) generasi kedua yang
memiliki sedikit atau tidak ada efek sedasi, AH1 generasi kedua tidak dapat
menembus sawar darah otak.
Cetirizine menunjukkan selektivitas tinggi terhadap reseptor histamin
1, sehingga tidak memiliki efek terhadap reseptor muskarinik serta hanya
menunjukkan efek antiserotonergik dan antikolinergik minimal yang dapat
diabaikan. Cetirizine merupakan antihistamin yang sangat kuat dan spesifik.
Cetirizine merupakan antagonis reseptor histamin-1 (AH1) generasi kedua
yang aman dalam efek samping obat digunakan. Selain mempunyai efek
antihistamin, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Cetirizin adalah
metabolit aktif asam karboksilat dari antagonis reseptor H1 generasi pertama
yaitu hidroksizin. Efek antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui
penghambatan migrasi eosinofil ke lokasi kulit.
Pasien diberikan Cetirizine sebagai obat anti gatal karena masa kerjanya
panjang, efek sedasi minimal dan aktivitas antikolinergiknya minimal, sehingga
pemberian cukup 1 kali perhari dengan dosis 7,5 mg. Pemberian cetirizine syrup
per oral pada pagi diharapkan dapat mengurangi keluhan gatal sehingga pasien
dapat beraktivitas, khususnya tidak mengganggu saat pasien bersekolah dan
meningkatkan quality of life dari pasien sehingga lesi tidak berkembang lebih
luas akibat dari proses garukan.

45
Prognosis pada penyakit ini yaitu baik jika diterapi adekuat, namun
mengingat bahwa repigmentasi kulit memerlukan waktu yang lama bahkan
sampai setelah sembuh tergantung dari kepatuhan pasien dalam menggunakan
obat secara teratur, menjaga higine individu dan lingkungan, menghindari
pakaian lembab dan berkeringat, mencuci pakaian, handuk, seprei yang
digunakan dengan air panas direndam kemudian jemur dibawah sinar matahari,
jangan menggunakan handuk/ pakaian bersama.
Pada pasien ini prognosisnya adalah baik dengan penjabaran sebagai berikut:

1. Quo ad vitam : bonam karena penyakit pitiriasis versikolor tidak


mengancam nyawa.
2. Quo ad functionam: bonam karena tidak mengakibatkan gangguan fungsi
organ-organ tubuh.
3. Quo ad sanationam: bonam karena penyakit ini dapat sembuh dengan
pengobatan yang benar dan kepatuhan pasien dalam pengobatan, serta
diperlukan juga pengobatan kepada keluarga pasien bila mengalami
keluhan yang sama
4. Quo ad cosmetica: bonam, repigmentasi memerlukan waktu yang
cukup lama yaitu 3 – 4 minggu.

46
BAB V
KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pada penderita didapatkan diagnosis banding pada kasus ini adalah
Pitiriasis Versikolor, Pitiriasis Alba, dan Morbus Hansen.
2. Penyebab Pitiriasis Versikolor adalah genus Malassezia. Malassezia dapat
ditemukan pada flora normal kulit manusia dan pada kulit hewan.
3. Pemeriksaan yang dilakukan pada kasus ini adalah fluoresensi dengan
lampu wood dan pemeriksaan KOH 20% untuk membantu penegakkan
diagnosis. Pada pemeriksaan lampu wood tampak lesi berwarna kuning
keemasan. Pada pemeriksaan KOH tampak hifa pendek, spora
berkelompok diluar hifa dengan gambaran “spaghethii and meatball”.
4. Pengobatan pada kasus ini, selain diberikan edukasi mengenai penyakitnya,
cara memakan obat dan menggunakan obat oles, perbaikan higine diri dan
lingkungan, pasien diberikan terapi topikal ketokonazol sampo 2% dan
terbinafine krim 1% 2,1 gram selama 7 hari serta terapi sistemik
Cetirizine syr. 1x1/2 C. selama 10 hari pada pagi hari. Prognosis pada
kasus ini untuk Quo ad vitam, quo ad functionam, quo ad sanationam,
quo ad cosmetica bonam bila kelembaban dan kebersihan kulit selalu
dijaga serta diberikan pengobatan yang adekuat.
5. Edukasi pasien bahwa repigmentasi kulit memerlukan waktu yang lama
sampai beberapa bulan sangat penting agar pasien tidak menganggap
penyakitnya belum sembuh. Pasien dapat meningkatkan higiene dengan
menghindari pemggunaan handuk atau pakaian bersamaan dengan orang
lain, meningkatkan nutrisi, serta menggunakan pakaian yang tidak ketat.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Bramono, K & Budimulja, U. 2019. Nondermatofitosis: Pitiriasis Versikolor,


in Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th edn. Badan Penerbit FK UI: Jakarta.
pp. 103–105.
2. Pramono, A. S., & Soleha, T. U. 2018. Pitiriasis Versikolor: Diagnosis dan
Terapi. J Agromedicine, 5(1), 449-453.
3. Gaitanis G, Magiatis P, Hantschke M, Bassukas ID, Velegrakid A. 2012. The
Malassezia genus in skin and systemic diseases. Clin Microbiol Rev; 25: 106-
41.
4. Kimdu RV and Garg A. Yeast Infection: Candidiasis, tinea (pityriasis)
versicolor, and Malassezia (pityrosporum) folliculitis. In: Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ and Wolff K, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012. p.
2298-311.
5. Hu SW, Bigby M. Pityriasis versicolor: a systematic review of interventions.
Arch Dermatol 2010; 146:1132.
6. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2005; 10-2.
7. Janik M.P & Heffernan M.P, 2008. Yeast Infection Candidiasis and Tinea
Versicolor. In Wolff K, Goldsmith L.A, Katz S.I, Gilchrest B.A, Paller A.S,
Leffel D.J, editor: Fitzpatrick Dermatology in General Medicine 7th ed. New
York: Mc.Graw Hill. Inc. pp 1822-30
8. Tabri F., & Firmansyah R. 2016. Pitiasis Versikolor, in Tatalaksana Bercak
Putih Pada Kulit Anak. Penerbit: Al Hayaatun Mufidah; 33-6.
9. El-Gothamy ZMG. 2004. A review of pityriasis versicolor. J Egypt Wom
Dermatol Soc; 1:38-43.
10. Hay RJ and Ashbee HR. Mycology. 2010. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Oxford:
WileyBlackwell. p. 36.10 – 36.12.

48
11. Venkatesen P, Prefect JR, Myers SA. 2009. Evaluation and management of
fungal infection in immunocompromissed patients. Dermatol Ther; 12: 87-107.
12. Hussein MM, Naby HE, Salem AASM, Abdo HM, Hassan HM. 2010.
Comparative study for the reliability of cellophane tape and standard KOH
mount in diagnosis of pityriasis versicolor. The Gulf J of Dermatol and
Venereol; 17(2): 29-34.
13. Callen JP. 2006. Vitiligo. In: Frankel DH, editor. Field Guide to Clinical
Dermatology, 2nd ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins. p. 158-9.
14. Ortonne, Jean-Paul., Passeron, Thierry. 2012. Vitiligo and Other Disorders of
Hypopigmentation. In : Bolognia, J.L., Jorizzo, J.L., Schaffer, J.V., editors.
Dermatology. 3rded. New York: Elseviers. p. 1049-74.
15. Mellen LA., Vallee J, Feldman SR, Fleischer AB. 2004. Treatment of pityriasis
versicolor in United States. J Dermatolog Treat; 15: 89-92.
16. Akaberi AA, Amini SS, Hajihosseini H. 2009. An Unusual Form of Tinea
Versicolor: A Case Report. Iran J of Dermatol; 12(3): 30-1.
17. Soepardiman L. 2019. Pitiriasis Alba,, in Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th
edn. Jakarta, pp. 403.
18. Givler DN, Basit H, Givler A. Pityriasis Alba. [Updated 2021 Jan 24]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431061/
19. Wisnu IM, Daili SS, Menaldi S. 2019. Kusta. Ilmu penyakit kulit dan kelamin
7th edn. Badan Penerbit FK UI: Jakarta. pp.87-102.
20. Kartowigno, Soenarto. 2011. 10 Besar Kelompok penyakit Kulit, edisi
Pertama. Palembang: Unsri Press. Hal ; 181-205.
21. Prawoto. 2008. Faktor-faktor Risiko Yang Mempengaruhi Terhadap
Terjadinya Reaksi Kusta (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten
Brebes). Thesis. Universitas Diponegoro Semarang. Dipubliksikan
(https://core.ac.uk/download/files/379/11717447.pdf diakses tanggal 12 maret
2021)

49
22. Klaus W, Richard AJ, Polano MK and Suurmond D. 2005. Fitzpatrick’s
Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Jakarta : Salemba
Medika. Hal ; 666-670.

50
51
52
53
54

Anda mungkin juga menyukai