Disusun Oleh:
Sulthan Salsabil Neza, S. Ked (H1AP20056)
Miftahul Haniyah, S.Ked (H1AP20047)
Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan tugas SMF
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, RS Harapan dan Doa Kota Bengkulu,
Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, Bengkulu.
2
HALAMAN PENGESAHAN
Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan tugas SMF
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, RS Harapan dan Doa Kota Bengkulu,
Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, Bengkulu.
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS Harapan
dan Doa Kota Bengkulu, Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Amalia Rizkha Malini, Sp.KK sebagai
pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan telah memberikan
masukan-masukan, petunjuk serta bantuan dalam penyusunan tugas ini.
2. Teman–teman yang telah memberikan bantuan baik
material maupun spiritual kepada Kami dalam menyusun laporan kasus ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini,
maka kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Kami sangat
berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.
Penulis
4
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................................2
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................................3
KATA PENGANTAR..............................................................................................................4
DAFTAR ISI..........................................................................................................................5
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................................7
BAB II. LAPORAN KASUS.....................................................................................................8
2.1 Identitas...................................................................................................................8
2.2 Data Subjektif (Autoanamnesis)...............................................................................8
2.2.1 Keluhan Utama..................................................................................................8
2.2.2 Keluhan Tambahan............................................................................................8
2.2.3 Riwayat Perjalanan Penyakit.............................................................................8
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu...................................................................................9
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga................................................................................9
2.2.6 Riwayat Pekerjaan dan Sosioekonomi...............................................................9
2.2.7 Riwayat Kebersihan Diri....................................................................................9
2.3 Pemeriksaan Fisik.....................................................................................................9
2.4 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................................13
2.5 Resume...................................................................................................................13
2.6 Diagnosis Banding..................................................................................................14
2.7 Diagnosis Kerja.......................................................................................................14
2.8 Pemeriksaan Anjuran.............................................................................................14
2.9 Rencana Penatalaksanaan......................................................................................14
2.10 Prognosis..............................................................................................................15
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................16
3.1 Definisi...................................................................................................................16
3.2 Epidemiologi...........................................................................................................16
3.3 Etiologi dan Patogenesis.........................................................................................16
3.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosis.............................................................................18
5
3.5 Diagnosis Banding..................................................................................................19
3.6 Penatalaksanaan....................................................................................................19
3.7 Prognosis................................................................................................................21
BAB IV. PEMBAHASAN.....................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................23
6
BAB I. PENDAHULUAN
7
BAB II. LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Tn. MYA
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Karang Tinggi
Tgl/Jam Masuk : Jln. DP Negara 7B No.66
Status Pekerjaan : Pelajar
Status Penikahan : Belum menikah
Agama : Islam
No. RM : 093392
8
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
1 tahun lalu pasien memiliki keluhan serupa. Keluhan berkurang setelah
diobati sendiri dengan salep yang dibeli di apotek.
Riwayat penyakit kulit lainnya, alergi obat dan makanan, sesak napas
disertai mengi dan sering bersin, ataupun penyakit yang menyerang kekebalan
tubuh disangkal.
9
Tekanan darah : 110 / 70 mmHg
BB/TB : 60 kg/ 174 cm
Status Gizi : 19,82 kg/m2 (Normal)
Status Generalis
Kepala : Normochepali, jejas (-), rambut tidak mudah rontok,
berwarna hitam, kelainan kulit (-)
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-),
edema palpebra (-/-), refleks pupil langsung (+/+), refleks
Thorax
Pulmo Anterior I : Gerakan dinding dada statis dinamis, simetris kiri-
kanan, makula hipopigmentasi (+), makula merah muda
10
P : Sonor
A: Suara napas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Cor I : Iktus kordis tidak terlihat
P : Iktus kordis tidak teraba
P : Batas kiri SIC V, linea midclavicularis sinistra
Batas atas SIC II
Batas kanan, linea sternalis dextra
A: Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-), irama
regular
Abdomen I : Perut datar, simetris, striae (-), luka bekas operasi (-)
P : Hepar dan lien tidak teraba
P : Timpani
A : Bising usus (+) normal
Ekstrimitas Superior : Sianosis (-), akral dingin (-/-), koilonokia (-), ruam diskoid
Ekstrimitas Inferior : Sianosis (-), akral dingin (-/-), koilonokia (-), ruam diskoid
Status Dermatologi
11
Gambar 2.1 Klinis Pasien
12
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Lampu Wood
Cara : Lampu Wood diletakkan pada jarak 10 cm dari bercak putih di
ruang gelap, kemudian dilihat apakah ada fluoresensi kuning
keemasan.
Hasil : (+), tampak fluoresensi kuning keemasan
KOH
Cara : Kulit dibersihkan dengan alkohol 70-96% guna menghilangkan
lemak kulit. Kulit kemudian dikerok menggunakan skalpel
kemudian diletakkan pada kaca objek, lalu ditetesi KOH 10%.
Hasil : Tampak gambaran spaghetti and meatballs, hifa pendek dengan
ragi bulat (+).
2.5 Resume
Pasien laki-laki 18 tahun datang ke poli dermatovenerologi dengan
keluhan pada regio thoraks anteroposterior terdapat makula hipopigmentasi
multipel lentikular hingga numular konfluen yang ditutupi skuama halus sejak 4
minggu yang lalu. Sejak 1 minggu yang lalu pasien merasa makula
hipopigmentasi bertambah banyak dan meluas yang disertai sedikit rasa gatal saat
13
berkeringat. Riwayat keluhan serupa mulai dialami pasien sekitar 1 tahun yang
lalu. Keluarga tidak memiliki keluhan serupa. Dari pemeriksaan dermatologis
didapatkan pada regio thoraks antereposterior tampak makula hipopigmentasi
multipel lentikular hingga numular konfluens yang ditutupi skuama halus. Hasil
pemeriksaan penunjang didapatkan pada penyinaran lampu wood tampak
floresensi kuning keemasan, dan pada pemeriksaan KOH 10% tampak gambaran
hifa pendek dan ragi bulat serta gambaran spaghetti and meatballs.
14
- Menjelaskan mengenai pilihan terapi dan kemungkinan efek samping
serta hasilnya.
- Edukasi agar teratur menggunakan obat sesuai anjuran dokter dan
menjaga hygiene
b. Medikamentosa
Topikal
- Sampo Selenium Sulfide 1,8% atau losio 2,5%, dioleskan pada bercak
putih, didiamkan selama 15-30 menit kemudian dibilas. Pemberian
dilakukan selama 2 minggu.
- Krim Ketokonazol 2% 2x sehari pada bercak putih.
Sistemik
- Tablet Fluconazole 150-300mg/minggu single dose selama 2-4 minggu.
2.10 Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Dubia at Bonam
Ad kosmeticam : Dubia at Bonam
15
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Pityriasis versicolor (PV) atau yang lebih dikenal sebagai panu,
merupakan infeksi kulit superfisial kronik yang disebabkan oleh ragi genus
Malassezia yaitu Malassezia furfur.1 PV umumnya infeksi yang tidak memberikan
gejala subyektif, ditandai dengan adanya area depigmentasi atau diskolorasi yang
disertai skuama halus dan seringkali menginfeksi badan bagian atas.3
3.2 Epidemiologi
Pityriasis versicolor sering dijumpai pada masyarakat tropis dikarenakan
tingginya suhu dan kelembaban lingkungan, diperkirakan 40-50% dari populasi di
negara tropis terinfeksi penyakit ini. Pityriasis versicolor dapat menyerang semua
jenis kelamin dan semua usia, namun paling rentan pada remaja dan dewasa
muda. Di Indonesia sendiri belum ada data mengenai angka kejadian pitiriasis
versikolor, namun di Asia dan Australia pernah dilakukan percobaan secara umum
pada tahun 2008 dan didapatkan angka yang cukup tinggi karena mendukungnya
iklim di daerah Asia.2,3
16
pityriasis versicolor saat bermanifestasi menjadi bentuk filamen patogennya yang
berbentuk misellia. Faktor-faktor penyebab konversi patogen ini diantaranya
kecenderungan genetik, kondisi lingkungan seperti panas dan kelembaban yang
tinggi, keadaan imunokompromais, kehamilan, kulit berminyak, serta penggunaan
losion dan krim berminyak.4
Pada pasien dengan penyakit klinis, organisme ditemukan dalam tahap
ragi (spora) dan bentuk filamen (hifa). Pada keadaan imun yang kuat, Human
peptide cathelicidin LL-37 berperan dalam pertahanan kulit melawan organisme
ini.4 Faktor lain pada respon imun yang kuat ditandai dengan meningkatnya
produksi TNF-α yang menyebabkan apoptosis keratinosit sehingga rete ridge
epidermis menjadi datar. Malassezia juga mempengaruhi produksi sitokin
proinflamasi oleh sel mononuklear. Pada populasi Malassezia yang rendah,
produksi IL-1β dan TNF-α cenderung terpacu, sementara jika populasi tinggi
produksi sitokin tersebut akan terhambat. TNF-α akan menekan melanogenesis
melalui hambatan jalur NF-kB dengan menekan aktivitas promoter tirosinase. Hal
ini sesuai dengan fakta bahwa pada kasus PV dengan lesi hipopigmentasi
umumnya organisme hanya dijumpai di bagian superfisial stratum korneum. 6
Aktivasi histiosit juga akan meningkatkan produksi elastase sehingga mungkin
dapat menjelaskan terjadinya elastolisis pada kasus PV yang disertai atrofi lesi.4
Beberapa mekanisme perubahan Malassezia ini diketahui menyebabkan
perubahan warna pada lesi kulit yang terinfeksi. Malassezia kemudian
memproduksi asam dikarboksilat yang dapat menurunkan proses pembentukan
pigmen melanin, sebaliknya memproduksi metabolit bernama pityriacitrin yang
mampu menyerap sinar UV sehingga menyebabkan lesi yang terinfeksi menjadi
hipopigmentasi.3
Pitriacitrin yang meyerap sinar UV berperan sebagai tabir surya.
Pityriacitrin juga memiliki kemampuan untuk melindungi jamur terhadap paparan
ultraviolet, sehingga menyebabkan Malassezia furfur lebih resisten terhadap sinar
matahari.7
Pada lesi hiperpigmentasi tampak peningkatan ukuran melanosom serta
penebalan stratum korneum. Diduga faktor inflamasi sebagai stimulus
17
melanositosis serta organisme penyebab dalam jumlah besar turut berperan pada
terjadinya hiperpigmentasi.3
Penegakan diagnosis PV selain melihat dari lesi yang dapat dilihat secara
objektif, bisa juga dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
langsung dengan larutan KOH terhadap sediaan skuama yang berasal dari kerokan
atau menggunakan selotip akan menunjukkan hifa atau miselia jamur yang seperti
putung rokok pendek, berbentuk seperti huruf i,j, dan v, serta spora bulat atau oval
dalam jumlah banyak dan cenderung bergerombol, sehingga memberi gambaran
khas sebagai spaghetti and meat ball atau banana and grapes.5,8 Temuan
miselium memastikan diagnosis, dan lebih dominan daripada spora.1 Pengecatan
dengan larutan KOH 10-20% dan tinta Parker biru-hitam memberi warna biru
pada jamur yang mempermudah pemeriksaan.7 Pemeriksaan dengan lampu Wood
juga dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis terutama untuk bercak PV
subklinis, warna kuning kehijauan akan berpendar pada sepertiga kasus saja. Hal
ini mungkin dapat disebabkan infeksi oleh spesies non-fluoresens karena hanya
M. furfur yang menghasilkan fluorochromes. Pemeriksaan dengan lampu Wood
kadangkala dapat menunjukkan lesi yang lebih luas atau banyak dibandingkan
dengan pengamatan biasa. Perlu diketahui bahwa tidak semua lesi PV
menunjukkan fluoresensi dengan lampu Wood.10
18
menjadi bercak luas, berkonfluens atau tersebar. Bentuk lesi bervariasi dan dapat
ditemukan lesi seperti bentuk papuler ataupun perifolikuler.8
Lesi PV memiliki lokasi predileksi di dada atau punggung yang kemudian
dapat meluas ke bahu, lengan atas, dan perut. Bila penyakit tidak diobati, lesi akan
meluas ke daerah panggul, tungkai atas hingga fosa poplitea. Meskipun relatif
jarang, lesi juga dapat mengenai aksila, inguinal, atau fosa poplitea yang disebut
sebagai tipe inversa; selain itu juga terdapat pada telapak tangan dan genitalia.
Variasi klinis yang jarang terjadi dan dilaporkan secara sporadis antara lain bentuk
atrofikans, periareolar atau imbrikata.3,8
3.6 Penatalaksanaan
Mengidentifkasi faktor predisposisi dan menyingkirkan yang dapat
dihindari merupakan hal penting dalam tatalaksana PV selain terapi. Terapi dapat
menggunakan terapi topikal atau sistemik, dengan beberapa pertimbangan, antara
lain luas lesi, biaya, kepatuhan pasien, kontraindikasi dan efek samping.3
Beberapa agen topikal yang efektif dalam pengobatan tinea versikolor
antara lain selenium sulfida, zinc pyrition, sodium sulfasetamid,
siklopiroksolamin, begitu juga golongan azole dan preparat anti jamur alilamin.
Protokol yang digunakan secara luas dan tidak mahal yaitu penggunaan losion
19
selenium sulfida 2,5% yang diaplikasikan pada area yang terkena selama 7-10
menit kemudian dibersihkan. Penggunaan harian dipertimbangkan pada kasus
yang luas, aplikasi 3-4 kali per minggu umumnya cukup adekuat dan frekuensinya
dapat diturunkan hingga sekali atau dua kali dalam sebulan dan digunakan sebagai
regimen pemeliharaan untuk mencegah kekambuhan. Sebagai alternatif, dapat
digunakan ketokonazole shampo 2% pada area yang terkena, didiamkan selama 5
menit kemudian dibilas; pengobatan ini diulang selama tiga hari berturut-turut.
Terbinafin solusio 1% yang diaplikasikan dua kali sehari pada area yang terkena
selama 7 hari dapat memberikan kesembuhan lebih dari 80%. Walaupun terapi
topikal ideal untuk infeksi yang terlokalisir, atau ringan terapi sistemik mungkin
diperlukan untuk pasien dengan penyakit yang luas, sering berulang, atau jika
tidak berhasil dengan agen topikal. 1,2 Ketokonazole, flukonazole, dan
itrakonazole merupakan terapi oral pilihan dengan berbagai variasi dosis yang
efektif. Ketokonazole oral 200 mg per hari selama 7 atau 10 hari atau itrakonazole
200-400 mg per hari selama 3-7 hari hampir secara umum efektif. Ketokonazole
oral yang diberikan dosis tunggal 400 mg merupakan regimen yang gampang
diberikan dengan hasil yang sebanding. Dosis tunggal itrakonazole 400 mg juga
menunjukkan efektivitas lebih dari 75% dan dalam satu penelitian memiliki
efektivitas yang sama dengan itrakonazole selama 1 minggu. Flukonazole juga
efektif diberikan dosis tunggal 400 mg. Terbinafin oral merupakan suatu alilamin,
tidak direkomendasikan untuk pengobatan kelainan terkait Malassezia, karena
obat ini tidak dihantarkan secara efisien ke permukaan kulit. Potensi toksisitas
obat serta interaksi melalui pengaruh azoel pada isoenzim sitokrom P450 harus
diperhatikan pada penggunaan azole oral untuk pengobatan tinea versikolor.
Pengobatan yang paling banyak digunakan untuk pengobatan PV adalah golongan
azol, oleh karena efektivitasnya yang tinggi.3,10
Tujuan pengobatan yaitu membuat Malassezia sebagai koloni normal atau
komensal pada tubuh, bukan untuk mengeradikasi Malaseezia. 1,5 Angka
kekambuhan antara 60-80% dalam 2 tahun pertama.30 Terapi preventif yang
dapat digunakan antara lain berupa obat topikal 1 - 2kali per bulan; ketokonazol
400mg sekali sebulan atau 200mg/ hari selama tiap hari berturut-turut di awal
20
bulan; atau itrakonazol 2 kali 200mg/ hari setiap bulan.1,5 Meskipun demikian,
sebaiknya diobati ulang saat PV kambuh daripada pemberian terapi supresif atau
preventif dalam jangka lama.5
3.7 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanactionam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad cosmeticam : dubia at bonam
21
BAB IV. PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan bercak-bercak putih yang tak kunjung hilang
di badan dan punggung pasien. Efloresensi kulit menunjukkan pada regio thoraks
anteroposterior terdapat makula hipopigmentasi multipel lentikuler berbatas tegas
yang tidak disertai rasa nyeri dan gatal. Pasien kemudian diduga menderita
Pityriasis versicolor. Pendugaan diagnosis ditegakkan setelah melihat lesi khas
dan riwayat sosial serta kebersihan diri pasien. Pemeriksaan penunjang tidak
dilakukan.
Seperti yang diketahui PV merupakan penyakit jamur superfisial ringan
akibat infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia. Manifestasi
klinis khas berupa bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna, baik
hipopigmentasi, hiperpigmentasi ataupun eritematosa, yang tertutup skuama
halus, terutama pada bagian atas dan ekstremitas proksimal.
Dalam menanggapi keluhan pasien yang ingin segera menghilangkan bercak
keputihan dalam waktu yang singkat, pasien diedukasi untuk menjalankan terapi
dengan patuh dan menghindari faktor risiko yang dapat menimbulkan rekurensi
penyakit. Repigmentasi yang memerlukan waktu lama bahkan hingga beberapa
bulan dinformasikan ke pasien agar tidak menganggap penyakitnya belum
sembuh.
Dengan semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis PV,
sedang dikembangkan terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxide-liberating
cream selama 10 hari, atau aplikasi solusio cycloserine selama 5 hari, yang
menghasilkan angka kesembuhan dengan repigmentasi cepat. Terapi fotodinamik
dengan 5- aminolevulenic acid juga digunakan untuk terapi area terbatas.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Mahmoud YAG, Metwally MA, Mubarak HH, Zewawy NE. Treatment of tinea
versicolor caused by Malassezia furfur with dill seed extract: an experimental study.
J Pharm Pharmaceut Sci. 2014;7(2):975-1491.
2. Rai MK, Wankhade s. Tinea versicolor - an epidemiology. J Microbial Biochem
Technol. 2009;1(1):51-6.
3. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatami W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 th ed.
FK UI: UI Publishing. 2021.
4. Prohić A, Jovović Sadiković T, Kuskunović-Vlahovljak S, Baljić R. Distribution of
Malassezia Species in Patients with Different Dermatological Disorders and Healthy
Individuals. Acta Dermatovenerol Croat. 2016 Dec. 24 (4):274-281. [Medline].
5. Hay RJ and Ashbee HR. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Oxford: WileyBlackwell; 2010.
6. Crowson AN, Magro CM.Atropyhing tinea versicolor : A clinical and histological
study of 12 patients. Int J Dermatol 2003; 42: 928-32.
7. Radiono S, Suyoso S, Bramono K. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Bramono K, Suyoso
S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editor. Dermatomikosis
Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013. h. 24-34.
8. Kimdu RV and Garg A. Yeast Infection: Candidiasis, tinea (pityriasis) versicolor,
and Malassezia (pityrosporum) folliculitis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ and Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012.
9. Hussein MM, Naby HE, Salem AASM, Abdo HM, Hassan HM. Comparative study
for the reliability of cellophane tape and standard KOH mount in diagnosis of
pityriasis versicolor. The Gulf J of Dermatol and Venereol 2010; 17(2): 29-34.
10. Mellen LA., Vallee J, Feldman SR, Fleischer AB. Treatment of pityriasis versicolor
in United States. J Dermatolog Treat 2004; 15: 89-92.
23