Anda di halaman 1dari 32

1

BAGIAN NEUROLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2020

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

EPILEPSI

Oleh:

FADILAH AULIA RAHMA, S. Ked

10542037712

Pembimbing:

dr. Ramlian, M.Kes, Sp.S

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Neurologi

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2020
2

HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui untuk dipresentasikan Laporan Kasus dengan judul :

EPILEPSI

Diajukan dalam rangka memenuhi salah satu tugas


kepanitraan klinik bagian Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar

Disusun Oleh:
Fadilah Aulia Rahma, S.Ked
10542 0377 12

Makassar, September 2020

Mengetahui,
Dosen Pembimbing

dr. Ramlian, M.Kes, Sp.S


3

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirahim..

Segenap tahmid senantiasa tercurah kepada Sang Pemilik kehidupan yang Maha
Pengasih dan Penyayang atas segala limpahan Rahmat dan nikmatNya sehingga penulis
dapat menyelesaikan refarat ini dengan lancar. Sholawat dan salam untuk Rasulullah
Muhammad SAW, sang pembawa cinta yang membimbing manusia menuju surga serta
mengajarkan kepada manusia untuk saling mengasihi.
Alhadulillah berkat hidayah dan pertolongannya, penulis dapat menyelesaikan tugas
Laporan Kasus yang berjudul “Epilepsi” dalam rangka Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
Dalam Penyelesaian laporan kasus, peneliti ucapkan banyak terima kasih atas

semua bantuan,doa serta motivasinya kepada pihak yang ikut memberi andil dalam

penyelesaian Laporan Kasus ini, terutama kepada dosen dr. Ramlian, M.Kes, Sp.S yang

telah meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan pengarahan dan koreksi

sampai laporan kasus ini selesai.

Penulis sadar bahwa penulisan ini sangat jauh dari kata sempurna, maka dari itu
penulis berharap kepada para pembaca untuk memberi kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan laporan kasus ini.
Demikian, semoga referat ini bisa bermanfaat untuk penulis dan para pembaca,
Insya Allah, Amin.

Makassar, September 2020

Penulis

Fadilah Aulia Rahma, S.Ked


4

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING......................................................ii

KATA PENGANTAR........................................................................................iii

DAFTAR ISI.......................................................................................................4

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 5

BAB II LAPORAN KASUS...............................................................................6

BAB III DISKUSI ............................................................................................. 19

A. Definisi.............................................................................................. 19
B. Epidemiologi..................................................................................... 19
C. Etiologi.............................................................................................. 20
D. Patofisiologi...................................................................................... 21
E. Gejala Klinik..................................................................................... 22
F. Pemeriksaan Penunjang.................................................................... 31
G. Penatalaksanaan................................................................................ 32
H. Komplikasi........................................................................................ 36
I. Prognosis........................................................................................... 37
J. Pencegahan ....................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 38


5

BAB I

PENDAHULUAN

Kegawatan merupakan suatu keadaan dimana seseorang berada dalam keadaan kritis dan
apabila tidak dilakukan suatu usaha atau tindakan akan menyebabkan kematian. Salah satu
kegawat daruratan di bidang neurologi adalah status epileptikus. Walaupun di Indonesia
belum merupakan problem kesehatan masyarakat yang besar. Sebelum membahas penyakit
ini, terlebih dahulu diingatkan kembali mengenai batasan dari epilepsi. Epilepsi adalah
suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya
gangguan fungsi otak secara intermitten yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik
abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal dan disebabkan oleh
berbagai etiologi.

Epilepsi adalah kejang berulang tanpa pencetus (provokasi) ≥ 2 dengan interval > 24 jam
antara kejang pertama dan berikutnya. Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa gangguan
kesadaran, motorik, sensoris, autonom atau psikis (Shorvon, 2007; Swaiman dan Ashwal,
2012). Kejang atau bangkitan epileptik adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat
transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan disorganisasi paroksismal pada
satu atau beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif, negatif atau
gabungan keduanya. Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana bangkitan
dimulai, kecepatan dan luasnya penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya muncul secara
tiba-tiba dan menyebar dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau menit dan sebagian
besar berlangsung singkat (Panayiotopoulos, 2005).
6

BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

1. Nama : An. A

2. Umur : 10 tahun

3. Jenis kelamin : Laki-Laki

4. Alamat : Jl. Melati

5. Pekerjaan : Pelajar

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama : Kejang/ epilepsi

2. Riwayat Penyakit Sekarang:

1 jam sebelum kejang pasien pulang sekolah dengan kehujanan dan terpeleset jatuh tapi
kepala tidak terbentur. 10 menit setelah jatuh pasien mengalami kejang. 30 menit sebelum
datang ke IGD Rumah Sakit Umum Daerah pasien mengalami kejang, kejang berlangsung
selama 5 menit, kemudian pasien mengalami kejang kembali sebanyak 5 kali berlangsung
selama kurang lebih dari 5 menit kemudian berhenti selama 10 menit dan kembali kejang
selama 5 menit kejang terjadi di seluruh tubuh  pasien dan dalam keadaan tidak sadar,
sebelum kejang pasien tampak bingung dan diam saja. kejang seperti tonik klonik, Setelah
itu pasien tertidur 1 jam. Pada saat dibangunkan ia mengeluh nyeri kepala (+), demam (-),
muntah (-), mual (-). Saat usia 2,5 tahun pasien menderita TBC dan mengikuti pengobatan
6 bulan hingga tuntas.

3. Riwayat Kehamilan ibu :

Ibu hamil saat usia 30 tahunan dan saat hamil ibunya menderita hipertensi dan
pembengkakan pada kedua kaki. Pasien dilahirkan pada usia kehamilan 8 bulan melalui
7

persalinan normal di Rumah Sakit Umum Daerah . Berat lahir 1,6 kg dan Panjang Badan
ibu pasien mangaku lupa.

4. Riwayat Pasca Lahir :

Setelah lahir pasien di inkubator selama kurang lebih 15 hari. Ibu pasien mengatakan ketika
menyusu hisapannya kurang kuat dibandingkan dengan kakaknya dahulu

5. Riwayat Penyakit Dahulu dan Imunisasi :

Imunisasi dilakukan lengkap. Infeksi telinga dan infeksi pada gigi disangkal. Pasien sering
sakit batuk dan pilek yang biasanya sembuh dalam 3 hari. Riwayat kejang disangkal.

6. Riwayat Perkembangan dan Pendidikan :

Pasien dapat bicara beberapa kata saat usia 16 bulan pasien sudah bisa merangkak, saat
usia 17 bulan sudah bisa mengucapkan beberapa kata dan usia 24 bulan sudah bisa
berjalan. Tidak ada keterlambatan dalam perkembangan. Di sekolah pasien dapat
mengikuti pelajaran dengan cukup baik. Ibu pasien mengeluh pasien sulit makan dan sulit
untuk naik berat badannya.

7. Riwayat Penyakit Keluarga :

Disangkal adanya penyakit serupa.

C. Anamnesis Sistem :

Sistem serebrospinal : Tidak ada keluhan

Sistem kardiovaskuler : Tidak ada keluhan

Sistem respirasi : Tidak ada keluhan

Sistem gastrointestinal : Tidak ada keluhan

Sistem musculoskeletal : Tidak ada keluhan


8

Sistem integumentum : Tidak ada keluhan

Sistem urogenital : Tidak ada keluhan

D. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status generalis

Terlihat pucat dan sedikit sesak.

Keadaan Umum : BB : 16kg, TB : 110 cm

Kesadaran compos mentis, GCS: E4V5M6

TD  : 110/70 mmHg    R : 28x/menit


Tanda Vital :
N    : 96x/mnt             S : 36,2’C

Kulit : Turgor kulit baik, sianosis (+), ikterik (-)

Normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah


Kepala :
dicabut

Edema palpebra -/-, konjungtiva anemis +/+, sklera  ikterik -/-,


Mata :
pupil isokor diameter 3/3 mm, reflek cahaya +/+, reflek kornea +/+

Telinga : Bentuk normal, simetris, serumen -/-

Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret -/-

Mulut : Bibir sianosis, faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1 tenang

Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada


Leher : deviasi trakhea, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening,
kaku kuduk (-), meningeal sign (-)
9

Pulmo :

I : Normochest, dinding dada simetris

P : Fremitus taktil kanan=kiri, ekspansi dinding dada simetris

P : Sonor di kedua lapang paru

A : Vesikuler (+/+), ronkhi (+/+), wheezing (-/-)

Cor :
Dada :
I : Tidak tampak ictus cordis

P : Iktus cordis teraba di ICS 3 mid clavicula sinistra, teraba thrill.


Batas jantung kanan atas sternal kanan ICS 2 ( bunyi katup aorta),
batas jantung kiri atas sternal kiri ICS 2 ( bunyi katup pulmonal),
sternal kiri ICS 3-4 ( bunyi katup tricuspid), sternal kiri mid
klavikula ICS 5 ( bunyi katup mitral).

P : perkusi teraba pekak.

A : BJ I normal dan II lemah, Gallop (-), Murmur (+)

I : datar, supel

P : Dinding perut supel, turgor kulit baik, hepar teraba 2 cm


dibawah arcus costae, lien tidak teraba, tidak ada nyeri tekan
Abdomen : abdomen

P : Timpani

A : Bising usus (+) normal

Edema (-), sianosis (+), atrofi otot (-), capillary refill <2detik, akral
Ekstremitas :
hangat (+).

2. Status Psikiatrik

Tingkah laku                  : dalam batas normal

Perasaan hati                  : dalam batas normal


10

Orientasi OWTS            : dalam batas normal

Kecerdasan                    : dalam batas normal

Daya ingat                     : dalam batas normal

3. Status neurologikus:

Sikap Tubuh : Lurus dan simetri

Gerakan Abnormal : (-)

Kepala : Normocephal

4.Nervus Kranialis Kanan Kiri

N.I Daya Penghidu Normosmia

Daya Penglihatan + +
N.II

  Penglihatan Warna Tidak dilakukan

 
Lapang Pandang Tidak dilakukan

N.III Ptosis – –

 
Gerakan mata ke medial + +
 

  Gerakan mata ke atas + +

 
Gerakan mata ke bawah + +
 
Ukuran Pupil 3mm 3mm
 

  Reflek cahaya Langsung + +


11

Reflek cahaya konsensuil + +

Strabismus divergen – –

Gerakan mata ke lateral + +


N.IV

  Strabismus konvergen – –

  Menggigit + +
 
Membuka mulut Simetris

Sensibilitas muka + +
N.V

  Reflek kornea + +

 
Trismus – –

Gerakan mata ke lateral


N.VI + +
bawah
 
Strabismus konvergen – –

N.VII Kedipan mata + +

 
Lipatan nasolabial + +
 

  Sudut mulut + +

 
Mengerutkan dahi + +
 
Menutup mata + +
 

  Meringis + +
12

Menggembungkan pipi + +

Daya kecap lidah 2/3 depan Tidak dilakukan

N.VII
Mendengar suara berbisik + +
I

Mendengar detik arloji + +

Tes Rinne Tidak dilakukan


 
Tes Schawabach Tidak dilakukan

Tes Weber Tidak dilakukan

N.IX Arkus Faring Simetris

Daya kecap lidah 1/3


Tidak dilakukan
belakang

Reflek muntah Tidak dilakukan


 

Sengau Tidak dilakukan

Tersedak Tidak dilakukan

N.X Denyut nadi 96x/mnt regular

Arkus Faring Simetris

  Bersuara Normal

Menelan Tidak ada kelainan

N.XI Memalingkan kepala + +


13

Sikap bahu + +

  Mengangkat bahu + +

Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi

N.XII Sikap Lidah Simetris

Artikulasi Jelas

Tremor Lidah Tidak ada kelainan

  Menjulurkan Lidah Simetris

Trofi otot lidah Eutrofi

Fasikulasi Lidah Tidak ada kelainan

Fungsi serebelum        :   Dismetri                     : (-)

Disdiadokokinesis     : (-)

Tes Romberg             : (-)

Stepping test             : (-)

Ataksia                      : (-)

Nistagmus                 : (-)

Sensibilitas         : dalam batas normal

Vegetatif:          : BAB dan BAK normal

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
14

1. Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Hematologi

Darah Lengkap

Darah Lengkap

Hemoglobin 21,1 10,5-13,5

Lekosit 9,6 5,0-13,0

Eritrosit 7,83 4,1-5,3

Hematokrit 64,5 36-44

Trombosit 140 150-400

MCV 82,4 73-89

MCH 26,9 23-31

MCHC 32,7 32-36

RDW 13,7 10-16

MPV 8,2 7-11

Limfosit 0,5 2,0-8,0

Monosit 0,2 0-0,8

Eosinofil 0,0 0,02-0,65


15

Basofil 0,0 0-0,2

Neutrofil 8,9 1,5-8,5

Limfosit % 5,3 25-40

Monosit 2,2 2-8

Eosinofil % 0,1 2-4

Basofil 0,2 0-1

Neutrofil % 92,2 50-70

PCT 0,115 0,2-0,5

PDW 13,1 10-18

Laju endap darah

Laju Endap Darah I 1 1-15

Laju Endap Darah II 2 6-18

Serologi

Widal

S.typhi O Negatif Negatif

S.paratyphi A-H Negatif Negatif

S.typhi H Negatif Negatif

 
16

X-Foto Thorax AP

Kesan :

Cor tak membesar

Pulmo tampak tenang

Tak tampak kelainan pada tulang

NB : tampak gambaran over riding aorta

F. RESUME

Seorang anak Laki-laki berusia 10 tahun datang ke IGD RSD diantar oleh ibunya, pasien
mengeluh kejang. 1 jam sebelum kejang pasien pulang sekolah dengan kehujanan dan
terpeleset jatuh tapi kepala tidak terbentur. 10 menit setelah jatuh pasien mengalami
kejang. 30 menit sebelum datang ke IGD Rumah Sakit Umum Daerah pasien mengalami
kejang, kejang berlangsung selama 5 menit, kemudian pasien mengalami kejang kembali
sebanyak 5 kali berlangsung selama kurang lebih dari 5 menit kemudian berhenti selama
10 menit dan kembali kejang selama 5 menit kejang terjadi di seluruh tubuh  pasien dan
dalam keadaan tidak sadar, sebelum kejang pasien tampak bingung dan diam saja. kejang
seperti tonik klonik, Setelah itu pasien tertidur 1 jam. Pada saat dibangunkan ia mengeluh
nyeri kepala (+), demam (-), muntah (-), mual (-).

Saat usia 2,5 tahun pasien menderita TBC dan mengikuti pengobatan sampai
dinyatakan sembuh, pasien lahir prematur dan dirawat dalam inkubator selama 15 hari.
Berat badan lahir rendah yaitu 1,6 kg. Riwayat kejang sebelumnya disangkal.

G. DIAGNOSIS
Diagnosis klinik             : epilepsi

Diagnosis topik             : intraserebral

Diagnosis etiologik        : susp. Kejang tonik klonik


17

G. PENATALAKSANAAN

Waktu Intervensi
Fase stabilisasi:  Stabilisasi pasien (jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan
0-5 menit disabilitas neurologis)
 Catat waktu mulai bangkitan, monitor tanda vital
 Evaluasi oksigen, berikan oksigen melalui nasal kanul atau
masker, pertimbangkan intubasi bila diperlukan
 Monitor EKG
 Pemeriksaan kadar gula darah. Jika kadar gula darah ,60
mg/dL
- Dewasa : tiamin 100 mg IV lalu 50 ml dekstrosa 50%
IV
- Anak >2 tahun: dekstrosa 50% 2 mL/kgBB
- Anak <2 tahun: dekstrosa 50% 4 mL/kgBB
 Pemasangan akses IV dan mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan laboratorium
 Vasopresor atau resusitasi cairan dapat diberikan jika TD
sistolik <90 mmHg
Fase terapi lini Benzodiazepin:
pertama  Midazolam
 Lorazepam
 Diazepam
Fase terapi lini  Fosfonitoin IV
kedua  Fenotoin IV
 Asam Valproat
 Levetirasetam IV

H. RENCANA FOLLOW UP

Follow up dilakukan untuk memantau perkembangan pasien, adapun langkah-


langkahnya yaitu:5

 Menggali data Subjective pasien (berisi apa saja keluhan/ permasalah yang
dirasakan)
- Onset: akut, kronik, insidious, kronis-progresif.
- Kualitas: sifat demam
- Kuantitas: pengaruh demam, frekuensi demam
- Kronologis: riwayat penyakit sekarang.
- Faktor Memperberat
18

- Faktor Memperingan
- Gejala penyerta
- Riwayat penyakit dahulu: keluhan serupa sebelumnya, riwayat trauma, riwayat .
- Riwayat penyakit keluarga: riwayat keganasan dalam keluarga.
- Riwayat sosial ekonomi: pekerjaan yang berhubungan dengan keluhan utama.
 Mencatat data Objective: berisi data pemeriksaan fisik dan tanda-tanda vital
(tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu) laboratorium,radiologi, dan data lainnya.
 Assesment: setelah melakukan pemeriksaan subjeck dan objective, selanjutnya
mendiagnosis dari gejala yang di rasakan pasien serta hasil lab yang di dapatkan,
 Planning: diberikan terapi baik bersifat farmakologi maupun nonfarmakologi, dan
diberikan edukasi pada pasien.

I. RENCANA EDUKASI PASIEN DAN KELUARGA

Hal-hal yang harus sampaikan pada pasien sebagai berikut:

- Edukasi penyebab, pengobatan, penatalaksanaan,dan prognosis


- Kembali ke aktifitas normal dini dan bertahap
- Memberikan support pada pasien dan keluarga
BAB III

DISKUSI

A. Definisi

Epilepsi adalah gangguan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi

secara terus menerus untuk terjadinya suatu bangkitan epileptik, dan juga ditandai

oleh adanya faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial

akibat kondisi tersebut.

B. Epidemiologi
19

Menurut WHO, diperkirakan terapat 50 juta orang diseluruh dunia yang

menderita epilepsi. Populasi yang menderita epilepsi aktif (terjadi bangkitan terus

menerus dan memerlukan pengobatan) diperkirakan antara 4-10 per 1000

penduduk. Namun, angka ini jauh lebih tinggi dinegara dengan pendapatan

perkapita menengah dan rendah yaitu 2,4 juta pesien yang didiagnosis epilepsi

setiap tahunnya.

Insiden epilepsi tertinggi pada golongan usia dini, menurun pada usia

dewasa muda, dan meningkat pada usia lanjut (Hauser dan Nelson, 2013).

Sebanyak 25% dari seluruh kasus epilepsi terjadi pada anak umur kurang lima

tahun (Yilmas dkk., 2013). Sebuah penelitian melaporkan bahwa insiden epilepsi

pada umur 0-14 tahun sebesar 82,2 kasus/100.000 populasi/tahun (Khatria dkk.,

2003). World Health Organization memperkirakan prevalens epilepsi pada anak di

dunia 4-6 per 1000 anak umur 8-11 tahun. Insiden pada tahun pertama kehidupan

sekitar 120 pada 100.000 (Shakirullah, 2014). Prevalens epilepsi di negara maju 4-

9/1000 populasi, dengan insiden 25-50/100.000 populasi/tahun, sedangkan di

negara berkembang prevalensi 14-57/1000 populasi, insiden 30-115/100.000

populasi/tahun (Kwan dkk., 2010). Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-

1.400.000 kasus epilepsi dengan peningkatan sebesar 70.000 kasus baru setiap

tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak (Harsono, 2006). Insiden

epilepsi pada anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Sanglah

Denpasar, Bali selama kurun waktu 2007-2010 didapatkan 5,3%, terutama terjadi

pada anak laki-laki (56,9%) dengan jumlah kasus 276 pasien (Suwarba, 2011).

Penelitian epidemiologi mendapatkan epilepsi fokal idiopatik 10%, fokal


20

simtomatik 12% dan fokal kriptogenik 37% dari 613 kasus epilepsi umur kurang 16

tahun (Berg dkk., 2012).

C. Faktor Resiko

Beberapa faktor yang berpotensi meningkatkan risiko terkena epilepsi, antara lain:

 Usia . Epilepsi umumnya dialami oleh usia anak-anak dan lansia. Meski demikian,
kondisi ini juga dapat dialami oleh semua kalangan yang memiliki risiko terkena
epilepsi.
 Genetik. Riwayat kesehatan yang dialami oleh anggota keluarga dapat menjadi
pemicu penyebab epilepsi.
 Cedera pada kepala. Cedera kepala dapat menjadi penyebab epilepsi.
 Stroke dan penyakit vaskular. Stroke dan penyakit pembuluh darah (vaskular)
lainnya dapat menyebabkan kerusakan otak yang dapat memicu kondisi ini.
 Demensia.
 Infeksi otak. Peradangan pada otak atau sumsum tulang belakang dapat
meningkatkan risiko terkena epilepsi.
 Riwayat kejang di masa kecil. Kejang dapat disebabkan oleh demam tinggi. Pada
kondisi ini, anak lebih rentan mengalami epilepsi.

D. Patofisiologi

Mekanisme bangkitan epilepsi terjadi karena adanya gangguan pada

membran sel neuron, membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel

terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron sangat permeabel terhadap ion

kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium sehingga didapatkan

konsentrasi ion kalium yang tinggi dan konsentrasi ion natrium yang rendah

didalam sel dalam keadaan normal (Henry, 2012). Sifat permeabel membran sel
21

dapat berubah sehingga terjadi perubahan kadar ion dan perubahan potensial aksi.

Perubahan potensial aksi pada membran sel tersebut akan menjadi stimulus yang

efektif pada membran sel dan menyebar sepanjang akson, sehingga terjadilah

kejang (Mantegazza dkk., 2010). Mekanisme lain kejang berhubungan dengan

inhibisi presinap dan pascasinap. Sel neuron berhubungan satu sama lain melalui

sinap-sinap. Potensial aksi yang terjadi di satu neuron dihantarkan melalui neural

akson yang kemudian melepaskan neurotransmitter pada sinap, zat tersebut dapat

mengeksitasi atau menginhibisi membran pascasinap. Neurotransmitter eksitasi

(asetilkolin, glutamic acid, aspartat, norepinephrin, histamin, purin, peptida)

mengakibatkan depolarisasi, sedangkan neurotransmitter inhibisi (gamma-amino

butyric acid (GABA), glisin, dopamin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron

sehingga terjadi inhibisi pada transmisi sinap (Henry, 2012). Kegagalan mekanisme

inhibisi akan menimbulkan lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan gangguan

sintesis GABA sehingga terjadi perubahan keseimbangan eksitasiinhibisi, aktifitas

eksitasi lebih dominan dibandingkan aktifitas inhibisi sehingga muncul bangkitan

epilepsi (Benarroch, 2007).

E. Gejala Klinik

Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk

mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized

Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai,


22

hasil dari survei ditemukan kira-kira 44-74 %, tetapi bentuk yang lain dapat juga

terjadi.

Tanda Khas Epilepsi Tonik Klonik Umum

Bangkitan grandmal disebut juga bangkitan tonik klonik umum atau

bangkitan mayor ( serangan besar ). Bangkitan grandmal merupakan jenis epilepsi

yang sering dijumpai. Serangan grandmal yang khas adalah sebagai berikut :

Penderita secara mendadak menghilang kesadarannya, disertai kejang tonik (badan

dan anggota gerak menjadi kaku ), yang kemudian diikuti oleh kejang klonik

(badan dan anggota gerak berkejut - kejut, kelojotan ). Bila penderita sedang berdiri

sewaktu serangan mulai, ia akan jatuh seperti benda mati.

Pada fase tonik badan menjadi kaku. Bila kejang tonik ini kuat, udara

dikeluarkan dengan kuat dari paru-paru melalui pita suara sehingga terjadi bunyi

yang disebut sebagai jeritan epilepsy ( epileptic cry ). Sewaktu kejang tonik ini

berlangsung, penderita menjadi biru ( sianosis ) karena pernafasan terhenti dan

terdapat pula kongesti ( terbendungnya ) pembuluh darah balik vena. Biasanya fase

kejang tonik ini berlangsung selama 20 – 60 detik.


23

Gambar . Epilepsi tonik-klonik umum (ELSEVIER-netterimages.com)

Kemudian disusul oleh fase klonik. Pada fase ini terjadi kejang klonik yang

bersifat umum, melibatkan semua anggota gerak. Semua anggota gerak pada fase

klonik ini berkejang klonik ( kelojotan ) juga otot pernafasan dan otot rahang.

Pernafasan menjadi tidak teratur, tersendat - sendat, dan dari mulut keluar busa.

Lidah dapat tergigit waktu ini dan penderita dapat pula mengompol. Bila penderita

terbaring pada permukaan yang keras dan kasar, kejang klonik dapat

mengakibatkan luka – luka karena kepala digerak – gerakkan sehingga terantuk –

antuk dan luka. Biasanya fase klonik ini berlangsung kira – kira 40 detik, tetapi

dapat lebih lama. Setelah fase klonik ini penderita terbaring dalam koma. Fase

koma ini biasanya berlangsung kira – kira 1 menit. Setelah itu penderita tertidur,

yang lamanya bervariasi, dari beberapa menit sampai 1 – 3 jam. Bila pada saat tidur

ini dibangunkan ia mengeluh sakit kepala, dan ada pula yang tampak bengong.

Lama keadaan bengong ini berbeda –beda. Ada penderita yang keadaan mentalnya

segera pulih setelah beberapa menit serangan selesai. Ada pula yang lebih lama,

sampai beberapa jam atau hari.

Kelemahan umum, muntah, nyeri kepala hebat, pegal otot, gelisah, mudah

tersinggung, dan berbagai perubahan tingkah laku merupakan gejala pasca serangan

yang sering dijumpai. Gangguan pasca serangan ini dapat berlangsung beberapa

saat, namun dapat juga sampai beberapa jam. Sesekali dijumpai keadaan dimana

serangan grandmal timbul secara beruntun, berturut – turut sebelum penderita pulih

dari serangan sebelumnya. Hal ini merupakan keadaan gawat darurat, dan disebut
24

status epileptikus. Dapat berakibat fatal, memautkan dan dapat pula mengakibatkan

terjadinya cacat pada penderitanya.

Tanda Khas Epilepsi Tonik Umum

Kejang ini biasanya terdapat pada BBLR dengan masa kehamilan kurang

dari 34 minggu dan pada bayi dengan komplikasi perinatal berat misalnya

perdarahan intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik

satu ekstremitas, atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai

yang menyerupai sikap deseberasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah

dengan bentuk dekortikasi. Juga ditemukaan adanya epileptic cry. Bentuk kejang

tonik yang menyerupai deserebrasi harus dibedakan dengan sikap opistotonus yang

disebabkan oleh rangsang meningeal karena infeksi selaput otak atau kernikterus.

Gambar 4. Epilepsi tonik (ELSEVIER-netterimages.com)

Tanda Khas Epilepsi Klonik Umum

Kejang klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan permulaan

fokal dan multifokal yang berpindah – pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal

berlangsung 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran
25

dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh

kontusio serebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan, atau oleh

ensefalopati metabolic. Kejang klonik fokal sering diduga sebagai suatu keadaan

gemetar ( jitteriness ).

Pada BBL dengan kejang klonik fokal hendaknya dilakukan pemeriksaan

USG dan penatahan kepala untuk mengetahui apakah terjadi perdarahan otak.

Apabila pemeriksaan tersebut normal tetapi terdapat kelumpuhan salah satu tungkai

setelah kejang berhenti, penatahan kepala harus diulangi 1 minggu kemudian untuk

mencari kemungkinan terjadinya infark serebri.

Bentuk kejang ini merupakan gerakan klonik pada satu atau lebih anggota

gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik

lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kejang yang satu

dengan yang lain sering berkesinambungan, seolah-olah memberi kesan sebagai

kejang umum.

F. Pemeriksaan Penunjang

Elektroensefalografi Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua


penderita epilepsi jika fasilitas tersedia. Gambaran EEG berperan dalam konfirmasi
diagnosis epilepsi, menentukan tipe kejang dan sindrom epilepsi, pemilihan OAE
dan menentukan prognosis (Silanpaa dan Schmidt, 2011). Gambaran EEG pada
rekaman pertama hanya menunjukkan abnormalitas sekitar 37-40% kasus epilepsi
(Chabolla dan Cascino, 2005; Kwan dkk., 2011). Empat puluh persen anak dengan
kejang akan memiliki hasil EEG normal (Stroink dkk., 2003; Smith, 2005; Khan
dkk., 2013). Sensitivitas EEG 56% dan spesifisitas 78% (Stroink dkk., 2003).
Elektroensefalografi menunjukkan gelombang paroksismal pada 32% anak normal
dan sering diinterpretasikan sebagai gelombang abnormal sehingga gelombang EEG
26

saja tanpa memandang informasi klinis tidak dapat menyingkirkan maupun


menegakkan diagnosis epilepsi (Gailard, 2009).
Pencitraan Pemeriksaan MRI kepala merupakan pencitraan pilihan terbaik
pada epilepsi. Pada keadaan fasilitas MRI tidak tersedia, pemeriksaan CT scan
kepala tanpa atau dengan kontras dapat dilakukan, meskipun memberikan hasil
tidak sebaik MRI kepala. Magnetic resonance imaging kepala dengan atau tanpa
kontras dapat menemukan etiologi epilepsi seperti neoplasma otak, ensefalitis
autoimun, dan leukomalasia serebral (Kuzniecky, 2005)

G. Penatalaksanaan

Tujuan dari tatalaksana status epileptikus adalah menghentikan bangkitan

dengan segera, mengidentifikasi dan mengatasi penyebab, serta mengatasi

komplikasi yang ditimbulkan. Karakteristik anti konvulsan yang ideal dalam

tatalaksana adalah rute pemberian yang mudah dan cepat mencapai kadar

terapeutik, sehingga dapat segera mengontrol bangkitan. Tatalaksana lini pertama

dapat dilakukan secara dini.

Pemilihan OAE didasarkan atas: jenis kejang, sindrom epilepsi, efek

samping, dan interaksi antar OAE. Pengobatan dimulai dengan OAE lini pertama,

dosis ditingkatkan sampai dosis maksimal. Pemberian dua jenis terapi (politerapi)

dapat dipertimbangkan bila hasil belum optimal setelah pemberian monoterapi

(Maria dan Drayton, 2009). Tujuan pengobatan epilepsi adalah menghentikan

kejang dan mengurangi frekuensi kejang (Mcnamara, 2011). Tujuan terpenting

dalam pengobatan adalah mempertahankan kadar obat dalam therapeutic range

tanpa menimbulkan gejala toksik, setelah pemberian dosis tunggal OAE, kadar

plasma akan tercapai dalam waktu tertentu tergantung pada proses absorbsi
27

(Walker, 2009). Obat antiepilepsi dosis konvensional dengan persediaan enzim

yang cukup akan mengikuti kaidah first order enzyme kinetics yaitu kecepatan

biotransformasi bertambah secara linier dengan konsentrasi obat. Kadar enzim yang

telah jenuh akan menyebabkan kecepatan biotransformasi akan tetap sama pada

konsentrasi obat yang berbeda (zero order). Kenaikan dosis sedikit saja akan

menyebabkan peningkatan kadar plasma yang berlebihan dan menimbulkan gejala

toksik (Maria dan Drayton, 2009). Obat anti epilepsi lini pertama meliputi:

a. Fenitoin Fenitoin berguna untuk kejang tonik-klonik, kejang parsial

(Maria dan Drayton, 2009). Absorbsi per oral berlangsung lambat

dan tidak lengkap dengan 10% dari dosis oral akan diekskresikan

bersama tinja dalam bentuk utuh, kadar puncak akan tercapai dalam

3-12 jam. Pemberian dalam bentuk injeksi intramuskular akan

menyebabkan pengendapan di tempat suntikan kira–kira 5 hari dan

absorbsinya berlangsung lambat (Conway dan Henry, 2012). Obat

ini kurang baik untuk pengobatan jangka panjang pada anak karena

banyak efek samping dan adanya variasi yang besar dalam absorbsi

dan metabolisme yang mudah terganggu oleh antikonvulsan lain.

Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah nistagmus, ataxia,

letargis, bradikardi, hipotensi. Efek idiosinkrasi fenitoin adalah

hyperplasia ginggiva, jerawat, defisiensi asam folat, kemerahan

(Maria dan Daryton, 2009). Cara kerja utama fenitoin pada epilepsi

adalah memblok pergerakan ion melalui kanal natrium dengan

menurunkan aliran ion natrium yang tersisa maupun aliran ion


28

natrium yang mengalir selama penyebaran potensial aksi (Walker

dkk., 2009). Dosis fenitoin adalah 5 – 7 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis

dan akan mencapai kadar terapeutik (10 – 20 mikrogram/ml) dalam

7-10 hari (Conway dan Henry, 2012).

b. Fenobarbital Fenobarbital (asam 5,5 fenil etil barbiturat) merupakan

obat yang efektif untuk kejang parsial sederhana kompleks dan

kejang tonik-klonik umum (grand mal). Efikasi, toksisitas yang

rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang

penting untuk tipe-tipe epilepsi ini. Efek sedasi serta kecenderungan

menimbulkan gangguan perilaku pada anak telah mengurangi

penggunaannya sebagai obat utama (Harsono dkk., 2012). Aksi

utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan

konduktan natrium dan kalium. Fenobarbital menurunkan kadar

kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor GABA,

aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan

reseptor GABA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida

(Solehiomran dkk., 2010). Dosis awal penggunaan fenobarbital 4-6

mg/kg/hari dalam 2 dosis dan akan mencapai kadar terapeutik dalam

2-3 minggu. Fenobarbital juga dapat menyebabkan peningkatan

profil lipid dan sindrom Stevens-Johnson (Nikolaos dkk., 2004).

c. Karbamazepin Karbamazepin merupakan golongan antidepresan

trisiklik. Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada

terapi kejang parsial dan tonik-klonik. Karbamazepin menghambat


29

kanal natrium yang mengakibatkan masuknya ion natrium kedalam

membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi

oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron (Radeef dkk., 2013).

Dosis pada anak dengan umur kurang dari 6 tahun 10-30 mg/kg/hari

dibagi dalam 2-3 dosis sehari, pemberian dimulai dengan dosis 5-10

mg/kg/hari dinaikkan setiap 5-7 hari sampai mencapai target 15-20

mg/kg/hari (Maria dan Drayton, 2009). Efek samping yang sering

terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan

penglihatan, diplopia, pusing, lemah, mengantuk, mual dan akibat

pemberian dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan

peningkatan profil lipid, ganguan fungsi hati, leukopenia. Sindrom

Steven-Johson relatif sering terjadi akibat penggunaan obat ini

sehingga penderita harus diperingatkan apabila timbul vesikel

setelah meminum obat ini (Aggarwal dkk, 2004; Conway dan Henry,

2012).

d. Asam Valproat Asam valproat merupakan pilihan terapi untuk

kejang umum, fokal, absan, dan kejang mioklonik. Pemberian asam

valproat (dipropilasetat, atau 2-propilpentanoat) secara oral cepat

diabsorbsi dan kadar maksimal serum dapat tercapai dalam 1-3 jam.

Masa paruh asam valproat adalah 8–10 jam dan kadar dalam darah

stabil setelah 48 jam terapi. Asam valproat selain dapat menghambat

sodium chanel juga dapat meningkatkan GABA dengan

menghambat degradasinya atau mengaktivasi sintesis GABA. Dosis


30

penggunaan asam valproat 15 – 40 mg/kg/hari dalam 2–3 dosis

untuk mencapai kadar terapeutik (40 – 150 mikrogram/ml) dalam 1 –

4 hari (Dewan dkk., 2008). Efek samping yang sering terjadi adalah

gangguan pencernaan, termasuk mual, muntah, anorexia,

peningkatan berat badan, pusing, gangguan keseimbangan tubuh,

tremor, rambut rontok, dan hepatotoksik (Greenwood, 2000;

Conway dan Henry, 2012). Prinsip pengobatan epilepsi adalah

dimulai dengan satu OAE dengan dosis kecil, kemudian dosis

dinaikkan bertahap sampai kejang teratasi. Obat antiepilepsi lini

pertama monoterapi I sudah diberikan dengan dosis maksimal

namun masih didapatkan kejang maka dapat diganti ke monoterapi

II. Dosis monoterapi II dinaikkan bertahap sedangkan dosis

monoterapi I diturunkan bertahap (Maria dan Drayton, 2009).

Pilihan monoterapi I pada epilepsi umum adalah asam valproat,

sedangkan pilihan monoterapi I pada epilepsi fokal adalah

karbamazepin. Monoterapi lebih baik untuk mengurangi efek

samping dan meningkatkan kepatuhan penderita dan belum ada bukti

bahwa politerapi lebih baik dari monoterapi. Politerapi kurang

efektif karena interaksi antar obat justru akan mengganggu

efektivitas dan adanya akumulasi efek samping (Kliegman dkk,

2011). Epilepsi dinyatakan remisi atau “sembuh” bila dengan OAE

tercapai keadaan bebas kejang selama 2-3 tahun dengan gambaran

EEG normal (Shorvon, 2007).


31

H. Komplikasi

Kejang pada penderita epilepsi terkadang dapat membahayakan penderitanya dan orang
lain. Bahaya tersebut dapat berupa terjatuh saat kejang, hingga risiko mengalami cedera
atau patah tulang. Bahaya lainnya adalah hilang kesadaran ketika kejang, sehingga
berisiko tenggelam saat berenang atau mengalami kecelakaan saat berkendara.

Selain itu, masalah kesehatan mental juga sering kali dihadapi penderita epilepsi akibat
efek samping pengobatan, atau kesulitan dalam menghadapi kondisinya. Komplikasi
kesehatan mental yang sering timbul, antara lain adalah depresi, kegelisahan, atau
keinginan untuk bunuh diri.

I. Prognosis

Prognosis ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu usia, tipe bangkitan SE, durasi,

kecepatan inisiasi tata laksana, dan etiologi.

J. Pencegahan

Selain dengan obat, penanganan epilepsi juga perlu ditunjang dengan pola hidup yang
sehat, seperti olahraga secara teratur, tidak mengonsumsi minuman beralkohol secara
berlebihan, serta diet khusus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anindhita, T. dan Wiratman, W. Buku Ajar Neurologi, Departemen


Neurologi FKUI, Jakarta, 2017. hal. 75-98
32

2. S.M Lumbantobing. 2018. Neurologi Klinik. Badan Penerbit FK UI. Jakarta


Badan Penerbit FK UI. hal 87-111
3. Scharfman, HE. (2007). The Neurobiology of Epilepsy. Current Neurology
and Neuroscience Reports, 7(4), pp. 348-354.
4. Bahan Ajar Epilepsi Unhas. www.med.unhas.com
5. Sirven J.I, Ozuna J (2005) : Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts,
60,10:    30-35.
6. Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan
Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi &
Neurologi, Agoes A (editor); 129-148.

Anda mungkin juga menyukai