Oleh:
Febiyolan, S.Ked
NIM 712019089
Pembimbing:
dr. H. Hadi Asyik, Sp.A
i
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh :
Febiyolan, S.ked
712019089
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Palembang BARI. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang .
Pembimbing,
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur diucapkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat-Nya
referat yang berjudul “Sindrom Nefrotik” dapat diselesaikan dengan baik.
Shalawat dan salam juga disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW dan para
pengikut beliau hingga akhir zaman.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
pembuatan laporan ini. Penulis berharap laporan kasus ini dapat digunakan sebagai
proses pembelajaran.
Febiyolan, S.Ked
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................ii
KATA PENGANTAR...................................................................................iii
DAFTAR ISI..................................................................................................iv
DAFTAR TABEL..........................................................................................v
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...................................................................................1
1.2. Maksud dan Tujuan............................................................................1
1.3. Manfaat..............................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi.....................................................................................................3
2.2 Epidemiologi............................................................................................4
2.3 Etiologi.....................................................................................................5
2.4 Faktor Risiko............................................................................................5
2.5 Gejala dan tanda.......................................................................................6
2.6 Patofisiologi.............................................................................................7
2.7 Klasifikasi epilepsi...................................................................................12
2.8 Diagnosis..................................................................................................15
2.9 Penaatalaksanaan.....................................................................................22
2.10 Komplikasi.............................................................................................29
2.11. Prognosis...............................................................................................29
BAB III KESIMPULAN................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................31
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1...................................................................................................................Latar
Belakang
1.2...................................................................................................................Maksu
d dan tujuan
Maksud dan tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui secara
komprehensif epilepsi pada anak. Tinjauan tersebut dijelaskan dari definisi,
epidemologi, etiologi, faktor risiko, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, alur diagnosa, penatalaksanaan,
komplikasi dan prognosis epilepsi pada anak.
1.3...................................................................................................................Manfaa
t
1.3.1. Manfaat Teoritis
1. Bagi Institusi
Diharapkan referat ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dan
sebagai tambahan referensi dalam bidang ilmu kesehatan anak terutama
mengenai epilepsi pada anak.
2. Bagi Akademik
Diharapkan referat ini dapat dijadikan landasan untuk penulisan karya
ilmiah selanjutnya.
1
1.3.2. Manfaat Praktisi
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
3
Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis
epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai
etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus dan kronisitas.6
Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri pada epilepsi yang
harus ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi klinis dari
epilepsi. Seorang anak terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak
ditemukannya penyebab kejang lain yang bisa dihilangkan atau
disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya pendesakan otak
oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat
trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan
biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak
ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di
kemudian hari.6
2.2.......................................................................................................Epidem
iologi
Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi
yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan
kelompok umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000
kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan
diperkirakan 40%-50% terjadi pada anakanak. Sebagian besar epilepsi bersifat
idiopatik, tetapi sering juga disertai gangguan neurologi seperti retardasi mental,
palsi serebral, dan sebagainya yang disebabkan kelainan pada susunan saraf pusat.
Di samping itu, dikenal pula beberapa sindrom epilepsi pada anak antara lain
Sindrom Ohtahara, spasme infantil (Sindrom West), Sindrom Lenox-Gestaut,
benign rolandic epilepsy,dan juvenile myoclonic epilepsy.7
4
degeneratif, dan penyakit metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor
resiko tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang
pasti. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak
laki – laki lebih tinggi daripada anak perempuan. 2
2.3.......................................................................................................Etiologi
Kejang Fokal
a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Infeksi
d. Malformasi vaskuler
e. Tumor neoplasma
f. Displasia
Kejang Umum
a. Penyakit metabolik
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetik
e. Kejang fotosensitif
2.4.......................................................................................................Faktor
Risiko
5
Tabel 2. Faktor Risiko Epilepsi
1. Prenatal
a) Umur ibu saat hamil terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>35 tahun)
b) Kehamilan dengan eklampsi dan hipertensi
c) Kehamilan primipara atau multipara
d) pemakaian bahan toksik
2. Natal
a) Asfiksia
b) Bayi dengan berat badan lahir rendah (<2500 gram)
c) Kelahiran prematur dan postmatur
d) Partus lama
e) Persalinan dengan alat
3. Postnatal
a) Kejang demam
b) Trauma kepala
c) Infeksi SSP
d) Gangguan metabolik
2.5....................................................................................................... Gejala
dan Tanda
1) Kejang parsial : Berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu hemisfer
serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran
penderita umumnya masih baik.
2) Kejang umum : Berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua hemisfer
serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita
umumnya menurun.
6
a. Kejang Absans : Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan
mendadak disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan
seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik : Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot
anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau
lebih lama.
2.6.......................................................................................................Patofisi
ologi
7
Lima buah elemen fisiologi dari neuron-neuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi
dalam merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi
sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection),
yang memungkinkan adanyan umpan balik positif yang menyebarkan
dan membangkitkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap
sel-sel piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada
hipocampus, yang bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk
terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial
luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan
aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk jga
merekrut respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptok di
korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor
rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
8
1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF)
membedakan seorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding
orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi
hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Spesific Epileptogenic Disturbances (SED)
Kelainan ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung
jawab atas timbulnya epileptiform activyti di otak. Timbulnya bangkitan
epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF)
Merupakan faktor pencetus terjadinya bnagkitan epilepsi pada penderita
epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat
membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Hipotesis secara seluler dan molekular yang banyak dianut sekarang
adalah : membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion
klaium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui ion natrium dan kalsium.
Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel
(intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi.
Sesuai dengan teori Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion
natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya
dengan ion kalsium.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di
dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi
sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok
atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini
dapat terjadi.9
1. fungsi jaringan neuron penghamabat (neurotransmiter GABA dan
Glisin) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik
secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan
Aspirin) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik
berlebihan juga.
9
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimaal antara lain bila
konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid) tdak normal. Pada otak
manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah.
Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial presinaptik (IPSPs
= inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA.
Pada bayi dan anak-anak sel neuron masih imatur sehingga mudah
terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi
10
dan sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta
sel-sek glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya
dapat memebuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik.
Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan
sebagainya, semuanya dapat mengembagkan epilepsi. Akan tetapi anak
tanpa brain demage dapat juga terjadi epilepsi, dalam hal ini faktorgenetik
dia diadan nggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta
benigne centrotempora epilepsy. Walaupun demikian proses yang
mendasari serangan epilepasi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.
2.7.......................................................................................................Klasifik
asi Epilepsi
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk
kejang epilepsi :5,11
11
dengan gejala
somatosensorik atau
sensorik khusus
Kejang parsial sederhana
dengan gejala psikis
Kejang parsial Kejang parsial kompleks
kompleks dengan onset parsial
sederhana diikuti gangguan
kesadaran
Kejang parsial kompleks
dengan gangguan kesadaran
saat onset
Kejang parsial yang Kejang parsial sederhana
menjadi kejang menjadi kejang umum
generalisata sekunder Kejang parsial kompleks
menjadi kejang umum
Kejang parsial sederhana
menjadi kejang parsial
kompleks dan kemudian
menjadi kejang umum
2. Kejang Kejang absans
umum Absans atipikal
Kejang
mioklonik
Kejang klonik
Kejang tonik-
klonik
Kejang atonik
12
oksipital
Simtomatik Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
Kronik progresif parsialis
kontinu
Kriptogenik
2. Epilepsi umum Idiopatik Kejang neonatus familial benigna
Kejang neonates benigna
Epilepsi mioklonik benigna pada
bayi
Epilepsi absans pada anak
(pyknolepsy)
Epilepsi absans pada remaja
Epilepsi mioklonik pada remaja
Epilepsi dengan serangan tonik-
klonik saat terjaga
Kriptogenik atau Sindroma West (spasme bayi)
simtomatik Sindroma Lennox-Gastaut
Epilepsi dengan kejang
mioklonik-astatik
Epilepsi dengan mioklonik
absans
Simtomatik 1. Etiologi non spesifik
Ensefalopati mioklonik
neonatal
Epilepsi ensefalopati pada
bayi
Gejala epilepsi umum lain
yang tidak dapat
didefinisikan
2. Sindrom spesifik
• Malformasi serebral
• Gangguan metabolisme
Epilepsi dan Serangan fokal • Kejang neonatal
sindrom yang dan umum Tanpa • Epilepsi mioklonik berat
tidak dapat gambaran tegas pada bayi
ditentukan fokal fokal atau umum • Epilepsi dengan gelombang
atau paku kontinu selama
generalisata gelombang rendah tidur
(Sindroma Taissinare)
• Sindroma Landau-Kleffner
4 Sindrom khusus Kejang demam
Status epileptikus
13
Kejang berkaitan
dengan gejala
metabolik atau
toksik akut
14
5. Behavior arrest: focal behavior arrest seizure menunjukkan penghentian
aktivitas sebagai gejala yang paling menonjol selama kejang.
6. Motorik/non motorik: subklasifikasi selanjutnya setelah menentukan
tingkat kesadaran.Pada kejang fokal, bila kesadaran sulit ditentukan, jenis
kejang fokal dapat ditentukanhanya dengan karakteristik motor atau non
motor.
7. Deskripsi tambahan: setelah menentukan jenis kejang, dapat menambahkan
deskripsi dari gejala dan tanda. Hal ini tidak mengganggu jenis kejang yang
sudah ditentukan sebelumnya. Sebagai contoh: focal emotional seizure
dengan tonik pada lengan kanan dan hiperventilasi.
8. Bilateral berbanding umum: penggunaan istilah bilateral untuk kejang
tonik-klonik yang menyebar ke kedua hemisfer dan istilah umum untuk
kejang yang secara simultan berasal dari kedua hemisfer.
9. Absans atipikal: disebut absans atipikal bila onset lambat atau offset,
terdapat perubahan tonus, atau < 3 gelombang spike per detik di EEG.
10. Klonik berbanding myoklonik: klonik merujuk pada gerakan menyentak
ritmik yang terus menerus dan myoklonik adalah gerakan menyentak yang
regular tidak berkelanjutan.
11. Myoklonik palpebra: absans dengan myoklonik palpebra merujuk pada
gerakan mengedip selama kejang absans.
2.8.......................................................................................................Diagno
sis
2.8.1. Anamnesis
15
a. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali
selama ini? Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi
dan penyebab kejang. Serangan kejang yang dimulai pada
neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada masa
perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital.
Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak
dan remaja.
b. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari?
Serangan kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai
biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang
lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan
kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.
c. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan
oleh karena kurang tidur, cahaya yang berkedip, panas,
kelelahan fisik dan mental atau dikarenakan suara tertentu.
Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan
pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah
serangan kejang.
d. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat
membantu untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila
sudah mendapat obat obat anti kejang .
e. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ?
Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya
pasien sudah mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat
menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan
spesifik bermanfaat ?
f. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam?
Dengan menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan
menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap.
g. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan
serangan kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang
mengalami luka ditubuh akibat serangan kejang ada yang
diawali dengan “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk
mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat
serangan kejang atau mungkin ada “aura“ , sehingga dalam hal
ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk
mengurangi bahaya terjadinya luka.
h. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat
darurat? Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah
datang ke unit gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat
beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin disebabkan
oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan
minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang
menyertai.
16
1) Pre-iktal/ Sebelum bangkitan Kondisi fisik dan psikis yang
mengindikasikan akan terjadinya bangkitan, seperti perubahan
perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk,
menjadi sensitif, dan lain-lain. Kemudian juga ditanyakan
ingatan terakhir sebelum terjadi serangan, untuk menentukan
berapa lama amnesia terjadi sebelum serangan. Gejala
neurologis mungkin dapat menunjukan lokasi fokal
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekwensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2) Iktal/ Selama bangkitan Ditanyakan apakah terdapat aura atau
adanya gejala yang dirasakan pada awal bangkitan. Serta
bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata,
gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, automatisasi, gerakan
pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan
tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat,
dan lain-lain. Ditanyakan juga apakah terdapat lebih dari satu
pola bangkitan, dan adakah perubahan pola dari bangkitan
sebelumnya, serta aktivitas pasien saat terjadi bangkitan,
misalnya saat tidur, saat terjaga, bermain, dan lain-lain. Serta
berapa lama bangkitan terjadi
17
terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan
kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah
serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang
menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan
tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan gangguan
berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada
gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
18
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk
menentukan apakah ada sindrom epilepsi yang spesifik atau
kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik
dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh
“Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal
convulsion“,“ benign rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan
kejang umum tonik klonik disertai kejang demam.
4) Riwayat Alergi13
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti
antiepilepsi, perlu dibedakan apakah ini suatu efek samping dari
gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila terdapat
semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek
fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau
karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas?
5) Riwayat Pengobatan13
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi,
perlu ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali
diminum sehari dan berapa lama sudah diminum selama ini, berapa
dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya.
2.8.2. Pemeriksaan Fisik Umum
19
serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip
dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti
sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi
apakah ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “
iris hamartoma” pada neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen
patches” , “ subungual fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada
tuberosclerosis, “ port - wine stain “ ( capilarry hemangioma) pada
sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan
dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau
apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat
serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat
terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens
contractures” yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital
jangka lama. 14,15
20
bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.
Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman
EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang
sama di kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-
ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul
secara paroksimal Pemeriksaan EEG bertujuan untuk
membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu atau
tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE)
b. Neuroimaging14,16
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk melihat struktur
otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang
sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan
CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan
tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan
hippocampus kiri dan kanan. Ct Scan (Computed Tomography
Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala
adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan
struktural diotak. Indikasi CT Scan kepala adalah:
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan
dugaan ada kelainan struktural di otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
21
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
22
kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai
kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus
menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan
terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan
berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi
dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien
tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi,
yaitu 6
1) Terapi medikamentosa18
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam
menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat
anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia
adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan
asam valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur
agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun
serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap
diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang
berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian
obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis
terendah yang dapat mengatasi kejang.
Epilepsi yang resistan terhadap obat dikaitkan dengan
meningkatnya tingkat kecacatan, morbiditas dan mortalitas. Jika
terjadi kegagalan terapi menggunakan dua AED, kelayakan
operasi epilepsi harus dipertimbangkan. Untuk pasien yang
tidak melakukan operasi, AED alternatif dapat dicoba. Namun,
banyak AED generasi kedua memiliki dampak minimal pada
keseluruhan hasil klinis, dengan kejang yang tidak terkontrol
masih ditemukan pada sekitar sepertiga pasien. Faktor yang
23
harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat anti-epilepsi
(AED) :
a) Faktor yang terkait dengan individu
- Usia
- Seks
- Etnis
- Genetik
- Gaya hidup
- Status sosial ekonomi (misalnya, keterbatasan keuangan)
b) Faktor terkait penyakit Epilepsi (yaitu, tipe kejang, epilepsi
sindrom dll)
- Etiologi
- Komorbiditas
- Sejarah keluarga
- Riwayat medikasi masa lalu
c) Faktor terkait obat
- Ko-medikasi
1. Generasi pertama
- Carbamazepin (CBZ)
- Clonazepam (CZP)
- Ethosuximide (ETS)
- Phenobarbital (PB)
- phenytoin (PHT)
- sulthiame (STM)
24
- valproic acid (VPA)
2. Generasi kedua
- felbamate (FBM)
- gabapentin (GPT)
- lamotrigine (LTG)
- levetiracetam (LEV)
- oxcarbazepine (OXC)
- pregabalin (PGB)
- tiagabine (TGB)
- topiramate (TPM)
- vigabatrin (GVG)
- zonisamide (ZNS)
3. Generasi ketiga
- eslicarbazepine acetate (ESL)
- lacosamide (LCS)
- perampanel (PER)
- retigabine (RTG)
- rufinamide (RUF)
- stiripentol (STP)
2) Terapi Pembedahan
Operasi epilepsi yang melibatkan reseksi atau, lebih jarang,
pemutusan atau jaringan epilepsi, merupakan terapi efektif
untuk pasien tertentu dengan resistan terhadap obat epilepsy.
Kelayakan untuk operasi ditentukan berdasarkan investigasi,
termasuk pemantauan video-EEG, MRI struktural,
fluorodeoxyglucose positron emission tomography, emisi foton
tunggal ictal dan interiktal computed tomography, MRI
fumgsional, dan pengujian neuropsikologis. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk menggambarkan "zona epileptogenik"
(yaitu,jumlah minimum korteks yang jika direseksi, terputus
25
atau rusak akan menyebabkan bebas kejang ) dan
mendefinisikan morbiditas risiko pasca-operasi. 20
Beberapa pasien juga memerlukan intrakranial EEG, baik
sebagai elektrokortikografi intra-operatif atau rekaman operasi
ekstra, untuk meningkatkan lokalisasi zona epileptogenik.
Probabilitas kebebasan kejang setelah operasi tergantung pada
banyak faktor, termasuk jenis epilepsi, hasil penyelidikan pra-
bedah, etiologi yang mendasari, sejauh mana reseksi, dan durasi
follow up. Wiebe et all. mengacak 80 pasien dengan epilepsi
lobus temporal resistan terhadap tatalaksana dengan reseksi
lobus temporal anterior atau terapi AED lanjutan. Pada satu
tahun pertama , 23/40 pasien yang menjalani operasi (58%)
bebas dari serangan seizure dibandingkan hanya 3/40 pasien
yang dirawat secara medis (8%) (P <0,001).
Pada Kelompok bedah dilaporkan memiliki kualitas hidup
lebih baik secara subjektif dibandingkan dengan kelompok
medis. Pada tahun 2003, American Academy of Neurology
merekomendasikan bahwa pasien dengan kegagalan
penghentian kejang fokal dengan AED lini pertama harus
dipertimbangkan untuk di rujuk ke pusat operasi epilepsi.
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan
memotong bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan
otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama
untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan.
Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak
fokus infeksi :
a) Lobektomi temporal
b) Eksisi korteks ekstratemporal
c) Hemisferektomi
d) Callostomi
3) Terapi nutrisi18,21
26
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan
kejang berat yang kurang dapat dikendalikan dengan obat
antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat.
Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak
penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik
dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan
mengontrol terjadinya kejang.
Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-
anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di
mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan.
Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanan tinggi
lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi
karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian
diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian
kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat
antiepilepsi.
Diet ketogenik adalah konsumsi lemak tinggi, protein yang
cukup, diet rendah karbohidrat yang merupakan terapi lini
pertama terapi untuk defisiensi glukosa tipe 1 sindrom dan
defisiensi kompleks dehidrogenase piruvat, dan terbukti efektif
pengobatan untuk epilepsi anak resisten obat. Dalam uji coba
secara acak, 28/73 anak ditugaskan untuk diet (38%) memiliki >
50% pengurangan kejang pada 3 bulan follow-up dibandingkan
4/72 kontrol (6%) (P <0,0001) . Lima anak dalam kelompok diet
(7%) memiliki > 90% pengurangan kejang dibandingkan
dengan tidak ada kontrol (P =0,06).
4) Terapi lainnya
Terapi neuromodulator dapat diterapkan pada pasien dengan
epilepsi yang resistan terhadap obat yaitu dengan stimulasi otak
pada nukleus anterior pada thalamus. Stimulasi kortikal
27
responsif, yang memberikan stimulasi listrik ketika
elektrokortikografi mendeteksi aktivitas abnormal melalui loop
tertutup yang ditanamkan pada tubuh. Perawatan ini dapat
menyebabkan pengurangan kejang, tetapi jarang membuat
pasien bebas kejang.
Farmakogenomik adalah studi tentang variasi dalam gen-
enzim yang mengkodekan enzim-enzim yang memetabolisme,
transporter dan target obat, dan bagaimana variasi ini
memengaruhi disposisi obat dan responnya. Skrining HLA-B *
1502 sangat disarankan pada individu berisiko tinggi sebelum
memulai carbamazepine (misalnya, Cina, Thailand, India,
Melayu, Filipina dan Penduduk Indonesia). Untuk beberapa
epilepsi genetik, obat dengan presisi gen sudah menjadi
kenyataan. Contoh utama adalah sindrom defisiensi glukosa tipe
1, di mana mutasi dominan pada SLC2A1 mengakibatkan
gangguan pengambilan glukosa oleh otak. Pasien-pasien ini
merespon ketogenic diet, yang menyediakan otak dengan
substrat energi alternatif. Contoh lain adalah epilepsi dependen
piridoksin yang disebabkan oleh mutasi resesif dalam
ALDH7A1, yang membutuhkan perawatan yang cepat dengan
pyridoxine.22
Mengidentifikasi penyebab molekuler epilepsi juga
memungkinkan pencegahan atau minimalisasi efek merugikan
AED. Dalam SCN1A kaitan epilepsi, AEDs pemblokiran
saluran natrium, seperti carbamazepine, dapat memperberat
kejang.Dalam epilepsi karena mutasi POLG, penghindaran
valproate dianjurkan karena peningkatan risiko gagal hati.
2.10. Komplikasi
Bila serangan epilepsy sering terjadi dan berlangsung lama, maka akan
terjadi kerusakan pada organ otak, dimana tingkat kerusakan biasanya
28
bersifat irreversible dan jika sering terjadi dengan jangka waktuyang lama
sering sekali membuat pasien menjadi cacat.
2.11. Prognosis
29
BAB III
KESIMPULAN
Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap anak
di seluruh dunia. Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan
umum terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan
ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang.
Klasifikasi epilepsi sendiri terbagi oleh International League Againts
Epilepsy berdasarkan onset kejang hingga kejang fokal. Kejang fokal dapat
dibedakan menjadi kejang sadar fokal (sebelumnya kejang parsial sederhana) atau
kejang dengan gangguan kesadaran (sebelumnya kejang parsial kompleks),
tergantung pada apakah kesadaran hilang pada setiap kejang.
30
DAFTAR PUSTAKA
31
13. Ahmed SN, Spencer SS. An approach to the evaluation of a patient for
seizures and epilepsy. WMJ [Internet]. 2004 [cited 2018 Nov 6];103(1):49–
55. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15101468
14. Oguni H. Diagnosis and Treatment of Epilepsy. Epilepsia [Internet]. 2004
Dec [cited 2018 Nov 6];45(s8):13–6. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15610188
15. Harsono. Epilepsi. In: Buku Ajar Neurologi Klinis [Internet]. Yogjakarta:
Badan Penerbit dan Publikasi Universitas Gadjah Mada; 2004 [cited 2018
Nov 6]. Available from: http://ugmpress.ugm.ac.id/id/product/kedokteran-
umum/buku-ajar-neurologi-klinis
16. Kuzniecky RI. Neuroimaging of epilepsy: Therapeutic implications.
NeuroRX [Internet]. 2005 Apr [cited 2018 Nov 6];2(2):384–93. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15897958
17. Sareharto TP BT. Penatalaksanaan Kejang. In: Putranti A, editor. Buku Ajar
llmu Kesehatan Anak Semarang: Semarang: Balai Penerbit UNDIP; 2011.
p. 138–9.
18. Perucca P, Scheffer IE, Kiley M. The management of epilepsy in children
and adults. 2018 [cited 2018 Nov 6]; Available from:
https://www.mja.com.au/system/files/issues/208_05/10.5694mja17.00951.p
df
19. Rosati A, De Masi S, Guerrini R. Antiepileptic Drug Treatment in Children
with Epilepsy. CNS Drugs [Internet]. 2015 [cited 2018 Nov 6];29. Available
from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4636994/pdf/40263_2015_
Article_281.pdf
20. Ryvlin P, Cross JH, Rheims S. Epilepsy surgery in children and adults.
Lancet Neurol [Internet]. 2014 Nov [cited 2018 Nov 6];13(11):1114–26.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25316018
21. Cai Q-Y, Zhou Z-J, Luo R, Gan J, Li S-P, Mu D-Z, et al. Safety and
tolerability of the ketogenic diet used for the treatment of refractory
childhood epilepsy: a systematic review of published prospective studies.
World J Pediatr [Internet]. 2017 Dec 12 [cited 2018 Nov 6];13(6):528–36.
Available from: http://link.springer.com/10.1007/s12519-017-0053-2
22. McCormack M, Alfirevic A, Bourgeois S, Farrell JJ, Kasperavičiūtė D,
Carrington M, et al. HLA-A*3101 and Carbamazepine-Induced
Hypersensitivity Reactions in Europeans. N Engl J Med [Internet]. 2011
Mar 24 [cited 2018 Nov 6];364(12):1134–43. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21428769
32