Anda di halaman 1dari 15

Referat

EPILESI

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara

Oleh :

Ade Setiawati, S.Ked


NIM: 130611044

Preseptor :

dr. Ade Saifan Surya, M.Ked (Ped), Sp.A

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan

kesempatan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan refarat ini dengan judul "Epilepsi".

Penyusunan refarat ini merupakan pemenuhan syarat untuk menyelesaikan tugas

kepaniteraan klinik senior di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum

Daerah Cut Meutia.

Seiring rasa syukur atas terselesaikannya refarat ini, dengan rasa hormat dan rendah hati saya
sampaikan terimakasih kepada:
1. Preseptor, dr.Ade Saifan Surya, M.Ked (Ped), Sp.A atas arahan dan bimbingannya

dalam penyusunan refarat ini.

2. Sahabat-sahabat kepaniteraan klinik senior di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit umum daerah Cut Meutia, yang telah membantu dalam bentuk motivasi

dan dukungan semangat.

Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, saya menyadari bahwa dalam

penyusunan refarat ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat mengharapkan banyak kritik

dan saran yang membangun dalam penyempurnaan refarat ini. Semoga refarat ini dapat

bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Aceh Utara, September 2017

Ade Setiawati, S.Ked


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3
2.1 Definisi ................................................................................... 3
2.2 Klasifikasi ............................................................................... 3
2.3 Etiologi ................................................................................... 4
2.4 Faktor Risiko .......................................................................... 4
2.5 Klasifikasi ............................................................................... 4
2.6 Patofisiologi ............................................................................ 4
2.7 Gejala Klinis ........................................................................... 5
2.8 Diagnosis ................................................................................ 6
2.8.1 Anamnesis .................................................................... 7
2.8.2 Pemeriksaan fisis .......................................................... 7
2.8.3 Pemeriksaan penunjang ................................................ 8
2.8 Diagnosis Banding ................................................................ 9
2.9 Penatalaksanaan ...................................................................... 11
BAB 3 KESIMPULAN .............................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 14
BAB 1
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa

serangan yang berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketiknormalan kerja sama

sementara atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka saraf

yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis

yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel otak

(WHO, 2010).

Epilepsi adalah kelainan neurologis kronik yang terdapat diseluruh dunia. Epilepsi

dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua umur. Insiden epilepsi di dunia

berkisar antara 33-198 tiap 100.000 penduduk tiap tahunnya (WHO, 2006). Insiden ini tinggi

pada negara-negara berkembang karena faktor risiko untuk terkena kondisi maupun penyakit

yang akan mengarahkan pada cedera otak adalah lebih tinggi dibanding negara industri.

Prevalensi epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5-2% (Paryono et al., 2003). Sekitar 1,1 juta

hingga 1,3 juta penduduk Indonesia mengidap penyakit epilepsi (Depkes, 2006). Epilepsi

dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dan gangguan yang berat misalnya malformasi

kongenital, pasca infeksi, tumor, penyakit vaskuler, penyakit degeneratif dan pasca trauma

otak.

Patofisiologi epilepsi adalah adanya eksitabilitas pada sejumlah neuron atau

sekelompok neuron, yang kemudian terjadi lepas muatan listrik secara serentak pada

sejumlah neuron atau sekelompok neuron dalam waktu bersamaan, yang disebut sinkronisasi.

Terjadinya lepas muatan listrik pada sejumlah neuron harus terorganisir dengan baik dalam

sekelompok neuron serta memerlukan sinkronisasi. Epilepsi dapat timbul karna

ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi serta sinkronisasi dari pelepasan neural

(Christensen et al., 2010).


Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis yang dapat memunculkan informasi

tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler,

meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Pemeriksaan fisik dan neurologis,

dapat dilihat dari tanda-tanda gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, dan melakukan

pemeriksaan penunjang seperti elektroensefalografi (EEG)

Pengobatan epilepsi bertujuan untuk membuat penderita terbebas dari serangan,

khususnya kejang. Terapi meliputi terapi kausal, terapi dengan menghindari faktor pencetus,

dan memakai obat anti konvulsi. Penggunaan obat anti epilepsi (OAE) pada kasus epilepsi

rawat jalan memerlukan kesadaran pasien untyk secara rutin melakukan kunjungan kerumah

sakit dan mendapatkan pengobatan yang sesuai (Hendra Utama, 2012).

Komplikasi yang dapat terjadi pada epilepsi adalah kehilangan kontrol pada penderita

dapat tejadi tenggelam, berpotensi jatuh dan mematahkan tulang atau menyebabkan cedera

kepala.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Epilepsi adalah kejang tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan interval

waktu lebih dari 24 jam. Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial)

dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral

cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan

pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai

kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum.

Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi.

Kejang epilepsi adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai

dengan serangan tunggal atau tersendiri. Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan

gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang, meliputi

berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.

2.2 Epidemiologi

Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada anak, di mana

ditemukan 4–10 % anak-anak mengalami satu kali kejang pada 16 tahun pertama kehidupan.

Studi yang ada menunjukkan bahwa 150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, terdapat

30.000 anak yang berkembang menjadi penderita epilepsi. Menurut data yang ada, insidensi

per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1 – 5

tahun, 50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun.


2.3 Etiologi

Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi

tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai kelainan

idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum. Secara

garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Kejang fokal

a. Trauma kepala

b. Stroke

c. Infeksi

d. Malformasi vaskuler

e. Tumor (Neoplasma)

f. Displasia

g. Mesial Temporal Sclerosis

2. Kejang umum

a. Penyakit metabolik

b. Reaksi obat

c. Idiopatik

d. Faktor genetik

e. Kejang fotosensitif

2.4 Faktor resiko

1. Pre natal

a. Umur ibu saat hamil terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>35 tahun)

b. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi

c. Kehamilan primipara atau multipara


f. Pemakaian bahan toksik

2. Natal

a. Asfiksia

b. Bayi dengan beratbadan lahir rendah (<2500 gram)

c. Kelahiran prematur atau postmatur

d. Partus lama

e. Persalinan dengan alat

3. Post natal

a. Kejang demam

b. Trauma kepala

c. Infeksi SSP

d. Gangguan metabolik

2.5 Klasifikasi epilepsi

klasifikasi epilepsi berdasarkan tanda-tanda klinik dan data EEG, dibagi menjadi:

1. Kejang umum (generalized seizure)

Jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfere otak secara bersama-sama. Kejang umum

terbagi atas:

a. Absense (Petit mal)

Jenis yang jarang dijumpai ini umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal

remaja. Kesadaran hilang beberapa detik, ditandai dengan terhentinya percakapan untuk

sesaat. Penderita tiba-tiba melotot atau matanya berkedip-kedip dengan kepala terkulai.

b. Tonik-klonik (grand mal)

Merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi, biasanya didahului oleh suatu

aura. Pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, dan keluar air liur. Bisa terjadi juga
sianosis, ngompol, atau menggigit lidah. Serangan ini terjadi beberapa menit, kemudian

diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau tidur.

c. Mioklonik

Serangan ini biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami

sentakan yang tiba-tiba.

d. Atonik

Serangan tipe Atonik ini jarang terjadi. Pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot yang

mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat segera pulih kembali.

2. Kejang parsial

Serangan parsial merupakan perubahan-perubahan klinis dan elektroensefalografik

yang menunjukan aktivitas sistem neuron yang berbatas di salah satu bagian otak (Harsono,

1999). Kejang parsial ini terbagi menjadi:

a. Simple partial seizure

Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran. Terjadi sentakan-sentakan pada bagian

tertentu dari tubuh.

b. Complex partial seizure

Pasien mengalami penurunan kesadaran. Pada penderita dengan penurunan kesadaran

maka dapat terjadi perubahan tingkah laku misalnya automatisme.

3. Kejang tak terklasifikasikan

Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh data yang

cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan epilepsi pada neonatus misalnya gerakan

mata ritmis, dan gerakan mengunyah serta berenang.


2.6 Patofisiologi

Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat

penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter

eksitatori dan inhibitori. Defisiensi neurotransmiter inhibitori seperti Gamma Amino Butyric

Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti glutamat menyebabkan

aktivitas neuron tidak normal. Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu,

glutamat, aspartat, asetil kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin,

peptida, sitokin dan hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat

neuron) yaitu, dopamin dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga

diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATPase

yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak stabilan membran neuron.

2.7 Gejala Klinis

Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu:

1. Kejang umum

Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua

hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita

umumnya menurun.

a. Kejang absans

Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.

Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak

terdeteksi.

b. Kejang tonik-klonik

Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total

disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase
tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30

detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,

pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.

c. Kejang mioklonik

Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang yang

terjadi dapat tunggal atau berulang.

d. Kejang atonik

Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan

badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.

2. Kejang parsial

Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu

hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran

penderita umumnya masih baik.

a. Kejang parsial sederhana

Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik, psikoilusi,

atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.

b. Kejang parsial kompleks

Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang

paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.

2.8 Diagnosis

Epilepsi adalah diagnosis klinis, ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang EEG hanya untuk konfirmasi diagnosis,

melihat sindroma epilepsi tertentu dan pencitraan kepala yaitu ( CT scan ) atau magnetic

resonance imaging ( MRI ) ( Kuzniecky, 2005 ).


2.8.1 Anamnesis

Anamnesis mendalam dan rinci yang meliputi : tipe kejang, lama kejang, gejala

sebelum dan sesudah kejang, frekuensi kejang, adanya penyakit penyerta, umur saat

pertamakali kejang, riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya, riwayat kehamilan dan

persalinan, riwayat tumbuh kembang, dan riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga (

Camfield et al., 2012).

Anamnesis yang akurat dapat membantu pemeriksa untuk memastikan kejang atau

bukan kejang. Kejang harus berlangsung ≥ 2 kali dengan interval waktu > 24 15 jam untuk

menegakkan diagnosis epilepsi. Kejang yang berulang serial dalam rentang waktu 24 jam

dianggap kejang episode tunggal dan diagnosis epilepsi belum bisa ditegakkan ( Berg et al.,

2012 ).

2.8.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti

trauma kepala, kelainan kongenital, dan gangguan neurologi. pemeriksa harus memastikan

bahwa kejang tidak ada pencetus yang jelas, seperti demam, gangguan elektrolit, dan

gangguan metabolik lainnya. Adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, asimetri

ukuran anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak. gambaran

dismorfik pada muka, tanda-tanda tertentu pada bagian tubuh seperti hemangioma, nodul,

makula, warna pucat dan sebagainya untuk melihat sindroma epilepsi tertentu ( Hauser,

2013).

2.8.3 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan pada penderita epilepsi, jika fasilitas

tersedia yaitu EEG dan neuroimaging ( CT scan kepala tanpa atau dengan kontras atau MRI).
a. Pemeriksaan EEG

Pemeriksaan EEG digunakan untuk membantu membedakan tipe kejang dan sindrom

epilepsi. Pemeriksaan EEG dapat membantu menentukan OAE dan prognosis penderita

(Smith, 2005 ). Gelombang yang normal ditemukan adalah gelombang irama dasar sesuai

dengan usia anak. Perkembangan normal otak ditunjukkan dengan perubahan gelombang

irama dasar mulai dari 3-4 siklus/detik pada usia 4 bulan, 5 siklus/detik pada usia 6 bulan, 6-7

siklus/detik pada usia 9-18 bulan, 7-8 siklus/detik pada usia 2 tahun, 9 siklus/detik pada usia

7 tahun, dan 10-11 siklus/detik pada 10-15 tahun ( Chabolla dan Cascino, 2005 ). Gelombang

yang dapat ditemukan pada penderita epilepsi umum idiopatik spike atau polyspike dan

bangkitan gelombang lambat 3-5 detik/siklus dengan aktivitas otak normal dan sering dengan

fotosensitivitas. Penderita dengan epilepsi tipe absanse memberikan gambaran EEG

gelombang spike yang sinkron 3 siklus/detik. Epilepsi mioklonus memberikan gambaran

EEG polyspike dan interiktal EEG biasanya normal atau pada 15-40% kasus menunjukkan

gelombang ritmik delta di occipital. Pasien epilepsi absanse juvenil menunjukkan gelombang

polyspike dan spike dengan frekuensi diatas 3 siklus/detik dan tidak didapatkan gelombang

ritmik delta di occipital. Epilepsi mioklonik juvenil menunjukkan gambaran letupan singkat

gelombang polyspike pada iktal dan interiktal ( Smith, 2005 ).

b. Pencitraan ( neuroimaging )

Pemeriksaan MRI kepala merupakan pencitraan pilihan terbaik pada epilepsi. MRI

kepala dengan atau tanpa kontras dapat menemukan etiologi epilepsi seperti neoplasma otak,

ensefalitis autoimun, leukomalasia serebral dan sebagainya. pada keadaan fasilitas MRI tidak

tersedia, pemeriksaan CT scan kepala tanpa atau dengan kontras dapat dilakukan, meskipun

memberikan hasil yang tidak sebaik MRI kepala ( Kuzniecky, 2005 ).


2.9 Diagnosis Banding

a. Sinkop

b. Breat holding spells

c. Masturbasi

d. Migran

e. Serangan panik

f. Vertigo

g. Bangkitas psikogenik

h. Ketakutan malam hari

i. Hipoglikemi

2.10 Penaatalaksanaan

1. Tujuan

a. Mengontrol gejala atau tanda secara adekuat dengan penggunaan obat yang

minimal

b. Membantu penyandang epilepsi untuk menjalankan aktivitas dan kehidupan

sosialnya
BAB 3
KESIMPULAN

Epilepsi adalah kelainan di otak yang ditandai oleh aktifitas otak yang terlampau

tinggi dan tidak dapat dikawal. Seseorang yang dapat dikatakan sebagai menderita epilepsi jika

telah mengalami kejang yang tidak dipicu oleh apapun dan yang rekuren (lebih dari 2 insiden

terjadi kejang) (Guyton, 2011).

Diagnosis epilepsi berdasarkan tanda dan gejala klinis, anamnesis, peeriksaan fisik serta

pemeriksaan penunjang. Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi

terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan

sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel—sel

otak akan semakin luas mengakibatkan intelegensi penderita. karena

Anda mungkin juga menyukai