STATUS EPILEPTIKUS
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUDZA/FK Unsyiah
Banda Aceh
Oleh:
Khairil Umam As Shiddiqi
1607101030092
Pembimbing:
dr. Jufitriani Ismy, M.Ked(Ped),Sp.A
Banda Aceh,Desember 2018
Penulis,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS.......................................................................... 2
2.1 Identitas Pasien.......................................................................... 2
2.2 Anamnesis................................................................................. 2
2.3 Vital Sign.................................................................................. 3
2.4 Data Antropometri.................................................................... 4
2.5 Pemeriksaan Fisik..................................................................... 4
2.6 Pemeriksaan Penunjang............................................................ 5
2.7 Diagnosis Kerja......................................................................... 6
2.8 Terapi........................................................................................ 6
2.9 Prognosis................................................................................... 7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 8
3.1 Definisi...................................................................................... 8
3.2 Epidemiologi............................................................................. 8
3.3 Etiologi...................................................................................... 9
3.4 Patofisiologi.............................................................................. 10
3.5 Penegakkan Diagnosis.............................................................. 12
3.6 Tatalaksana................................................................................ 17
3.7 Komplikasi dan Prognosis......................................................... 19
BAB IV ANALISA KASUS............................................................................ 22
BAB V KESIMPULAN................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 30
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Sehingga perlu dilakukan untuk melihat factor resiko yang terjadi pada pasien
yaitu apakah pasien baru setidakanya sebelum nya mengalami satu kali episode status
epileptikus dalam perjalan sakitnya ataupun pasien yang mengalami sakit kritis
berupa ensefalopati hipoksis-iskemik (EHI), trauma kepala sebelumnya. Infeksi saraf
pusat berupa meningitis TB ataupun meningoensefalitis, atau penyakit jatung bawaan
(terutama post operatif).
Perlu dilakukan edukasi keluarga pasien untuk masalah prognosis dan komplikasi
yang akan terjadi pada anak pasien yang nantinya pasien akan mengalami perubahan
pada system jaringan neuron, keseimbangan metabolic, system saraf otonom, serta
kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi sistemik dapat menyebabkan juga
kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan
hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga
menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung ( hipertensi,
hipotensi, gagal jantung atau aritmia). Edema otakpun dapat terjadi akibat proses
inflamasi, peningkatan vaskularitas atau gangguan sawar darah-otak, komplikasi
sekunder akibat pemakian obat anti-konvulsan adalah depresi napas serta hipotensi,
terutama golongan benzodiazepine dan fenobarbital. Kematian dilaporakan sering
terjadi karena disebabkan oleh komorbiditas atau penyakit yang mendasarinya, bukan
akibat langsung dari status epileptikus.
Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat
mungkin. Sehingga prognosis pada pasien SE lebih baik namun pada SE gejala sisa
lebih sering terjadi pada SE simtomatis, 37% menderita deficit neurologis permanen,
48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang mengalami SE akan
mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus yang terjadi dalam 2
tahun pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda, ensefalopati progresif,
etiologi simtomatis remote, sindrom epilepsy
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Kejang
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa keluargannya dengan keluhan kejang yang dialami sejak ½ jam SMRS,
pasien kejang saat dijalan menuju ke Puskesmas, kejang 1x, keseluruhan tubuh, dengan
mata melotot dan tangan serta kaki gelonjotan. Lama kejang >1 jam , saat di IGD pasien
masih kejang, kejang diawali dengan demam. Setelah pasien kejang pasien mengalami
penurunan kesadaran. Demam naik tinggi perlahan namun demam turun dengan obat
penurun panas. Demam sejak kemarin sore kemudian demam turun dengan obat
dengan diberi obat paracetamol sirup. Pasien juga dikeluhkan batuk berdahak yang
dialami sejak 3 hari yang lalu dahak sulit dikeluarkan. Batuk disertai pilek dengan ingus
encer dan sulit bersin-bersin. Pasien mengalami BAB cari 1x saat dirumah, ampas >air
3
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya pernah mengalami kejang 1x pada 1 tahun yang lalu.
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien dengan keluhan kejang seperti pasien
2.2.5 Riwayat Pengobatan
Stesolid supp 10 mg
2.2.6 Riwayat Psikososial
Pasien adalah anak pertama dari 2 bersaudara,. Lingkungan padat, bersih, dan
di rumah tidak ada yang menderita gejala yang sama, ventilasi rumah memadai.
2.2.7 Riwayat Kehamilan Ibu
Kunjungan ANC teratur dengan bidan setiap bulan, ibu tidak mengkonsumsi
obat-obatan selama masa kehamilan, ibu tidakpernah sakit selama masa kehamilan,
penyulit kehamilan tidak ada.
2.2.8 Riwayat Persalinan
Pasien anak ke 2 dari 2 bersaudara
2.2.9 Riwayat Imunisasi
Menurut ibu pasien mendapatkan imunisasi lengkap.
2.2.10 Riwayat Makanan
Pasien makan-makanan keluarga
2.2.11 Riwayat Tumbuh Kembang
Pasien sesuai KPSP 24 bulan
4
2.4 Data Antropometri
Berat badan : 11 Kg
Tinggi badan : 85 cm
Lingkar Kepala : 48 cm
BBI : 12 kg
5
Rhonki (-) Rhonkhi (-)
• Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V, midclavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung atas ICS II linea parasternal sinistra
Batas jantung kanan ICS IV linea parasternal dextra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : BJ I > BJ II, Reguler, Bising (-)
• Abdomen
Inspeksi : Simetris, ikterik (+), distensi (-),
Palpasi : Nyeri Tekan (-), soepel (-)
- Lien : Tidak teraba
- Hepar : Tidak teraba
Asites : Tidak ada
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Peristaltik 5x/ menit
Genetalia : Laki-laki
Anus : Akral dingin, CRT >2 detik, tidak sianosis.
6
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Foto Thorax
7
Tampak infiltrate di suprahiler kanan kiri, kedua hemisfer tampak licik dan kedua
sinus kostofrenikus lancip.
Kesimpulan : COR Normal dan kesan pneumonia
Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan Pemeriksaan
Hematologi Nilai Satuan
08/11/2018 13/11/2018
Hb 12,0-14,5 g/dL 11,0 11,7
Ht 45-55 % 34 36
Eritrosit 4,7-6,1 106/mm3 4,4 4,8
Leukosit 4,5-10,5 103/mm3 41,6 8,1
Trombosit 150-450 103/mm3 394 225
MCV 80-100 Fl 77 75
MCH 27-31 Pg 25 24
MCHC 32-36 % 32 32
RDW 11,5-14,5 % 15,2 14,9
GDS <200 mg/dL
Eosinofil 0-6 % 0 1
Basofil 0-2 % 0 0
Neutrofil Batang 2-6 % 0 0
Neutrofil segmen 50-70 % 56 23
Limfosit 20-40 % 40 67
8
Monosit 2-8 % 4 9
Ureum 29 mg/dL 29
2.8 Terapi
2.8.1 Terapi Medikamentosa
- O2 sunkup 6 liter/i (SpO2 78-80%) kemudian O2 diberikan NRM 10
liter/menit (SpO2 82-85%) kemudian diberikan ventilasi tekanan positif
- Pamol supp 125 mg (keluar BAB)
- IVFD NaCl 0,9% 10cc/kg/jam Ω110 cc/jam (13.45-14.45)
-inj ceftriaxone 400 mg/12 jam/IV
- inj dexametaxone 2 mg/8 jam/IV
- inj ranitidine 10 mg/8 jam/IV
-inj novalgin 150 mg/8 jam/ IV
9
- stesolid supp 5 mg jika tidak berhenti berikan stesolid 2 mg IV ekstra jika
kejang masih belum berhenti phenitoin 220 mg dalam 30 cc NaCl 0,9% habis
dalam 30 menit.
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
Subjective Pasien dengan penurunan kesadaran Rawatan H2, Demam naik turun, kejang tidak ada,
ada.
Objective TD :81/45, HR:133x, RR:40x, Sp.O2: 94% TD: 90/50, HR: 108x, RR:24x, T::37,1, Hasil
GCS: dibawah pengaruh obat Ph:7,472 BE:-2
Mata: Pupil bulat isokor 2mm/2mm pO2 : 100 HCO3 :21,9
RCL(+/+),RCTL(+/+) Pco2 : 30 SaO2:92
10
Respi : RR:40,Sp.O2:94%, Mata: Pupil bulat isokor 3mm/3mm RCL(+/+),RCTL
Thorax : simetris, retraksi tidak ada Respi : RR:24x,Sp.O2:100%,
Paru :vesikuler, ronki dan wheezing tidak ada Thorax : simetris, retraksi tidak ada
Kardiovaskular :TD:82/45 Paru :vesikuler, ronki dan wheezing tidak ada
HR:133x, Reguler, murmur tidak ada Kardiovaskular :TD:90/55
Gastrointestinal : Simetris, soepel, turgor HR:108x, Reguler, murmur tidak ada
kembali cepat, peristaltic kesan meningkat Gastrointestinal : Simetris, soepel, turgor kemba
Extremitas :akral hangat, CRT<2 detik peristaltic kesan meningkat.
Diuresis15 jam : - Extremitas :akral hangat, CRT<2 detik
Balance cairan : - Diuresis15 jam : 5,4 cc/mg/jam
Infeksi : T:39 C, Antibiotik :ceftriaxone Balance cairan :446cc/15 jam
Metabolic : KGD: 120 mg/dl Infeksi : T:37,1 C, Antibiotik :ceftriaxone
Ur/Cr:29/0,41,Hb :11 g/dL Ht :34%, Metabolic : KGD: 86 mg/dl
Tr :394.10 /mm
3 3
Ur/Cr:29/0,41,Hb :11 g/dL Ht :34%, Tr :394.
Na/K/Cl : 136/4,5/92 Leu :41,6.103/mm3
Na/K/Cl : 136/4,5/92
Assesment - Status epileptikus ec dd - Status epileptikus ec dd 1.Enc
1.Encepalitis,2.Meningoencepalitis, 3. Encephalopathy3.Meningoencepalitis, 4. Me
Meningitis, - Diare akut
- Diare akut - Sepsis
Tatalaksana - O2 10 liter/ menit NRM:SpO2: 96%, - O2 10 liter/ menit NRM:SpO2: 96%, Head u
Head up 30 o
- Radiant warmer
- Radiant warmer - IVFD 2:1 44 cc/jam Kaen 4B 44cc/jam
- IVFD 2:1 44 cc/jam - Inj ceftriaxone 500 mg/12 jam/IV (H2)
- Inj ceftriaxone 500 mg/12 jam/IV
- Inj dexamethason 2 mg/8 jam/IV (H2)
(H1)
- Inj ranitidine 10 mg/8 jam/IV
- Inj dexamethason 2 mg/8 jam/IV
- Inj ranitidine 10 mg/8 jam/IV - Inj novalgin 150 mg/8 jam/IV
- Inj novalgin 150 mg/8 jam/IV
- Drip Phenitoin maintenance dose 25 mg dal
- Drip Phenitoin maintenance dose 25
dex 5% /12 jam/IV (H2)
mg dalam 20cc dex 5% /12 jam
- Lacto B 2x1 sachect - Lacto B 2x1 sachect
- Zink syr 1x cth 1 (20 mg)
- Zink syr 1x cth 1 (20 mg) (H2)
- Spooling NGT, jika NGT bersih diet
TF 40 cc/3 jam
11
Planning Cek AGDA, Pantau kejang berulang, pantau -Foto thorax susul hasil, pantau kejang.
hemodinamik dan tanda-tanda vital, foto - Prokalsitonin dan kultur darah
thorax cito bed -Acc pindah ruangan DPJP neurologi anak
12
Tanggal 10/11/2018 11/11/2018
Subjective Demam tidak ada, kejang tidak ada, batuk Demam ada, kejang tidak ada, batuk ada, mencret tidak ada
masih ada, pilek, BAB cair tidak ada, muntah
2x.
Objective HR:150x, RR:20x, T:36,9. HR:150x, RR:20x, T:38,2.
GCS: E4M6V5: 15(compos mentis) GCS: E4M6V5: 15(compos mentis)
Kepala : Conj palp inferior tidak pucat , RCL Kepala : Conj palp inferior tidak pucat , RCL dan ada normal,
dan ada normal, faring hiperemis, tonsil T1/T1 faring hiperemis, tonsil T1/T1
Thorax : simetris, retraksi tidak ada, vesicular, Thorax : simetris, retraksi tidak ada, vesicular, ronki dan
ronki dan whezzing tidak ada whezzing tidak ada
Abdomen : Simetris, soepel, peristaltic , kesan Abdomen : Simetris, soepel, peristaltic , kesan normal
normal Ekstremitas : deficit neurologi tidak ada.
Ekstremitas : deficit neurologi tidak ada.
Assesment - Status epileptikus ec dd - Status epileptikus ec dd 1.Encephalopathy 2.
1.Encephalopathy 2. Encepalitis Encepalitis
- Diare akut - Diare akut
- Sepsis - Sepsis
- Tonsilofaringits akut - Tonsilofaringits akut
- Diare akut ( perbaikan) - Diare akut ( perbaikan)
Tatalaksana - IVFD kaen 4B 44cc/jam - IVFD kaen 4B 1000 cc/hari (42 cc/jam)
1000cc/hari (42 cc/jam) - Inj ceftriaxone 500 mg/12 jam/IV (H4)
- Inj ceftriaxone 500 mg/12 jam/IV - Inj dexamethason 2 mg/8 jam IV (H4)
(H3) - Inj ranitidine 10 mg/8 jam/IV
- Inj dexamethason 2 mg/8 jam IV (H3) - Inj novalgin 150 mg/8 jam/IV
- Inj ranitidine 10 mg/8 jam/IV - Drip Phenitoin maintenance dose 25 mg dalam 20cc
- Inj novalgin 150 mg/8 jam/IV dex 5% /12 jam
- Drip Phenitoin maintenance dose 25 - Lacto B 2x1 sachect
mg dalam 20cc dex 5% /12 jam - Zink syr 1x cth 1 (20 mg) (H3)
- Lacto B 2x1 sachect - Diet 800 kkal,10 gram MB 3x/hari, snack 2x hari
- Zink syr 1x cth 1 (20 mg) (H20
- Diet 800 kkal,10 gram MB 3x/hari,
snack 2x hari
Planning Monitor suhu Monitor suhu
13
Tanggal 12/11/2018 13/11/2018
Subjective Demam naik turun 1 episode, muntah mencret Demam tidak ada, kejang tidak ada, muntah mencret tidak
berkurang, kejang tidak ada. ada, batuk sesekali.
14
Tanggal 14/11/2018
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi status epileptikus
(SE) karena International League Againts Epilepsy (ILAE) hanya menyatakan bahwa
SE adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau
berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi
menurut ILAE tersebut adalah batasan lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab
itu sebagaian para ahli membuat kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30
menit atau lebih.1
3.2 Epidemiologi
Angka kejadian SE pada anak berkisar 10-58 per 100.000 penduduk pertahun.
Adaapun kejadian SE pada populasi pasien epilepsy anak berkisar antara 9,5 %
sampai 27%. SE lebih sering terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun, dimana 80%
nya tanpa demam atau penyebab simtomatik akut.2
3.3 Etiologi
Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi :
1. Simtomatik : penyebab diketahui
a. Akut : Infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit,
trauma kepala, perdarahan, atau stroke
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya : Ensefalopati
hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelinan otak
congenital
c. Kelainan neurologi progresi: tumor otak, kelainan metabolic, otoimun
(contoh vaskulitis)
d. Idiopatik/kriptogenik : penyebab tidak dapat diketahui.2
16
3.4 Patofisiologi
Awalnya terjadi mekanisme kompensasi otak, khususnya hipertensi dengan
peningkatan aliran darah ke otak untuk mencegah kerusakan otak. Status epileptikus
yang berlangsung lama menyebabkan : hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi dan
hipertermia, dengan penurunan tekanan oksigen otak. Ketidakseimbangan antara
kebutuhan oksigen dan glukosa tinggi menyebabkan penurunan aliran darah ke otak
dan penurunan glukosa dan oksigen otak. Kompensasi otak membutuhkan aliran
udara, napas, sirkulasi dan aliran darah otak yang cukup dan kompensasi ini terjadi
pada stadium awal .Kematian dan kesakitan terjadi akibat gagalnya mekanisme
kompensasi.
Hipoksia terjadi karena gangguan ventilasi, air liur yang berlebihan, sekresi
trakeobronkial , dan peningkatan kebutuhan oksigen. Hipksia diertai kejang yang
lama dan asidosis menyebabkan fungsi ventrikel jantung menurun, menurunkan curah
jantung, hipotensi yang menggangu fungsi sel jaringan dan neuron. Selain itu sering
terjadi asidosis metabolic dan respiratorik. Saat terjadi SE, dikeluarkan hormone
katekolamin dan perangsanga saraf simpatis yang menyebabkan peningkatan tekanan
darah, denyut jantung ,dan tekanan vena sentral. Edema otak yang terjadi akibat
adanya hipoksia, asidosis dan hipotensi dapat menyebabkan herniasi. Serum
glukosapun dapat menurun.
Kejang yang tidak dapat teratasi, dapat menyebakan hiperpireksia,
mioglobinuria, dan peningkatan kreatinin fosfokinase akibat rabdomiolisis.
Komplikasi tersering adalah hipoksia, asidosis laktat, hiperkalemia, hipoglikemia,
syok, hiperpireksia, gagal ginjal, dan gagal napas. Pada status epileptikus yang
berlangsung lama terjadi kehilangan inhibisi reseptor GABA dan perubahan fungsi
reseptor GABA. Pada kerusakan jaringan otak, kematian disebabkan gagalnya
mekanisme kompensasi.3
17
3.5 Faktor Risiko
Berikut adalah beberapa keompok pasien yang berisiko mengalami status
epileptikus :
1. Epilepsi
Sekitar 10-20% penderita epilepsy setidaknya akan mengalami satu kali
episode status epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat
merupakan manifestasi epilepsy pertama kali pada 12% pasien baru epilepsy
2. Pasien sakit kritis
Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala,
infeksi SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama
post operatif), dan ensefalopati hipertensi.4
3.6 Klasifikasi
Setiap tipe kejang yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi SE.
Klasifikasi SE ditegakkan berdasarkan observasi klinis dan gambaran
elektroensefalografi bila memungkinkan. Untuk tatalaksana pasien , yang terpenting
adalah membedakkan apakah status pasien konvulsivus atau bukan. Klasifikasi ini
menentukan tatalaksana dan intervensi selanjutnya. Klasifikasi SE dapat dibagai atas
konvulsivus dan bukan konvulsivus. Klasifikasi SE konvulsivus terbagai atas parsial
dan umum. Pembagian klasifikasi SE konvulsivus dapat dilihat dalam Tabel 2.
Dibawah ini.5
Tabel 2. Klasifkasi status epileptikus konvulsivus
Proposed classification of status epilepticus convulsive
Partial
Tonic hemiclonic SE, hemiconvulsion-hemiplegio-epilepsy
Clonic hemiconvulsive, generalized convulsive, status epilepticus
Generalized
Tonic
Clonic
18
Tonic-clonic:generalized convulsive epilepticus convulsivus
Myoclonic:myoclonic SE
19
pemeriksaan laboratorium tersebut, oleh karenanya tidak diindikasikan pada kejang
demam, kecuali bila didapatkan kelainan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik.12
Bila dicurigai adanya meningitis bakterial, lalukan pemeriksaan kultur darah, dan
kultur cairan serebrospinal. Bila dicurigai adanya ensefalitis, lakukan pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus herpes simpleks.
b. Pungsi lumbal Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
kejang disertai penurunan status kesadaran / mental, perdarahan kulit, kuduk kaku,
kejang lama, gejala infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau tidak adanya
faktor pencetus yang jelas.2,12 Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48 atau
72 jam untuk memastikan adanya infeksi SSP.
Bila didapatkan kelainan neurologis fokal dan adanya peningkatan tekanan
intrakranial, dianjurkan memeriksakan CT scan kepala terlebih dahulu, untuk
mencegah terjadinya risiko herniasi.12 Menurut rekomendasi American Academy of
Pediatrics, pungsi lumbal sangat dianjurkan pada serangan pertama kejang disertai
demam pada anak usia di bawah 12 bulan, karena meningitis pada kelompok usia ini
dapat menunjukkan gejala klinis yang minimal atau bahkan tidak ada. Pada anak usia
12 – 18 bulan lumbal pungsi dianjurkan, sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan
lumbal pungsi dilakukan bila ada kecurigaan adanya infeksi intrakranial (meningitis).
c. Neuroimaging Pemeriksaan CT scan kepala dilakukan pada anak dengan
kecurigaan trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, tumor, perdarahan intrakranial
pada kelainan pembekuan darah (APCD – aquired prothrombine complex
deficiency).8.12. MRI dilakukan bila kelainannya mengenai batang otak, atau
dicurigai adanya adanya tumor otak atau gangguan mielinisasi.
d. Elektroensefalografi Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) segera setelah
kejang dalam 24 – 48 jam, atau sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai
macam kelainan.
Beratnya kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya manifestasi
klinis. Gambaran EEG akan memperlihatkan gelombang iktal epileptiform. Normal
atau kelainan ringan pada EEG merupakan indikasi baik terhadap kemungkinan
20
bebasnya kejang setelah obat antiepilepsi dihentikan.2,5 Contoh gambar EEG iktal
dapat dilihat pada Gambar 1.
3.7.1 Diagnosis
Penegakkan status epileptikus(SE) adalah dengan melihat bangkitan yang
berkelanjutan atau seizure yang multipel tanpa adanya fase kembali sadar, dapat diamati
adanya gejala sensoris, motoris dan atau disfungsi kognitif minimal 30 menit. Walaupun
begitu, seizure pada umumnya berlangsung hanya beberapa menit. Oleh karena itu, pada
serangan seizure yang berlangsung selama 20 menit, 10 menit atau bahkan hanya 5 menit
dan bertahan dalam kondisi tidak sadar, maka secara fungsional dikategorikan sebagai
status epileptikus.7
21
3.8 Tatalaksana
Keterangan
22
Diazepam IV: 0,2 – 0,5 mg/kg IV ( maksimum 10 mg) dalam spuit kecepatan 2 mg/
menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan
Fenobarbital : pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan
yang sama.
Midazolam buccach dapat menggunakan midazolam sedian IV/ IM , ambil sesuai
dosis yang diperlukan dengan menggunkan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya,
dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal
berdasarkan kelompok usia ;
2,5 mg (usia 6-12 bulan)
5 mg (usia 1-5 tahun)
7,5 mg (usia 5-9 tahun)
10 mg (usia > 10 tahun)
Tapering off midazolam infuse kontinyu. Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap
dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setealah 48 jam bebas kejang
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam kedaan
tidak kejang, maka dapat diberikan feniotin atau fenobarbital 10 mg/kg IV
dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan.
23
otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi sistemik. Proses
kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE konvulsif dapat menyebabkan
kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan
hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis. Kejang
juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung ( hipertensi,
hipotensi, gagal jantung atau aritmia ). Metabolisme otak pun terpengaruh ;
mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit
kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang,
kebutuhan otak kan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan
memperberat kerusakan otak. Edema otakpun dapat terjadi akibat proses
inflamasi, peningkatan vaskularitas atau gangguan sawar darah-otak.8
Komplikasi Sekunder
Komplikasi sekunder akibat pemakian obat anti-konvulsan adalah depresi napas
serta hipotensi, terutama golognan benzodiazepine dan fenobarbital. Efek sampng
propofol yang harus diwaspadai adalah propofol infusion.8
Mortalitas
Angka kematian terkait SE pada 30 hari perwatan dilaporkan kurang dari 10%.
Kematian tersebut lebih disebabkan oleh komorbiditas atau penyakit yang
mendasarinya, bukan akibat langsung dari status epileptikus.8
3.9 Prognosis
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis, 37% menderita deficit
neurologis permanen, 48% disabilitas intelektua. Sekitar 3-56% pasien yang
mengalami SE akan mengalami kembali kejang yang lama atau status epoleptikus
yang terjadi dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda,
ensefalopati progresif, etiologi simtomatis remote, sindrom epilepsy9
BAB IV
24
ANALISA KASUS
25
jika dalam 5-10 kejang sudah berhenti maka kita pertimbangkan dengan pemberian
feniotoin rumatan 5-10 mg/kg dibagi 2 dosis atau fenobarbital 3-5 mg/kg/hari dibagi
dalam 2 dosis.9
Pada pasien diberika O2 sunkup 6 liter/i (SpO2 78-80%) kemudian O2 diberikan
NRM 10 liter/menit (SpO2 82-85%) kemudian diberikan ventilasi tekanan positif
dan diberikan IVFD NaCl 0,9% 10cc/kg/jam Ω110 cc/jam (13.45-14.45). Pada
tatalaksana status epileptikus langkah awal pada menit 0-5 menit awal yang dilakukan
adalah stabilisasi pasien berupa (jalan nafas, pernapasan, sirkulasi, disabilitas, dan
pemeriksaan neurologi). Pada awal kita harus memastikan kecukupakan oksigen
pasien dengan melihat apakah ada tanda-tanda distress nafas baik itu berupa
penggunaan otot nafas tambahan yaitu penggunan cuping hidung, adanya retraksi
epigastrial ataupun pada hasil SpO2 pasien menunjukkan perburukan tatalaksana
yang dilakukan yaitu dengan pemberian nasal kanul/mask maupun intubasi jika
dibutuhkan. Pemberian cairan merupakan langkah untuk mengembalikan keadaan
kecukupan cairan ataupun sirkulasi, pemberian cairan NaCL 0,9 yang merupakan
cairan kristaloid yang baik sebagai cairan resusitasi dan waktu yang diperlukan
relative lebih pendek dibandingkan dengan cairan koloid, pada kristaloid cairan ini
dapat meningkatakan isi intravaskuler yang adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini
4x lebih besar dari kehilangnya. 10
Pada pasien waktu di IGD diberikan obat pamol supp 125 mg (keluar BAB) inj
ceftriaxone 400 mg/12 jam/IV inj ranitidine 10 mg/8 jam/IV inj novalgin 150 mg/8
jam/ IV. Pada pasien ini dengan masuk di IGD dengan suhu 39C pemberian pamol
supp dan pemberiaan novalgin( metamizole) 150 mg dengan tujuaan untuk
menurunkan suhu, pada penggunaan metamizole merupakan obat yang termasuk
dalam golongan obat anti radang non-steroid yang memiliki bahan aktif metamizole
Na yang merupakan metabolit dari dipyrone yang merupakan anti nyeri non opioid
yang efektif dan memiliki efek anti nyeri yang kuat, selain itu memiliki efek anti
kejang dan penurun panas yang signifikan tanpa efek samping antikolingerik, cara
kerja metamizole dengan menghambat transmisi rasa sakit ke susunan saraf pusat dan
perifer. Sedangkan pemberian pamol (parasetamol) merupakan metabolit fenasetin
26
dengan efek antipiretik dan analgesic tetapi sifat anti inflamasinya lemah sekali ini
dikarenakan parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang
lemah yang hanya mengatur dalam termoregulator pada hipotalamus sehingga
pemberian dua terapi pada kasus diatas sangat baik. Dan pemberian ranitidine pada
pasien ini dikarenakan pada ranitidine merupakan gologongan antagonis H2-reseptor
yang fungsinya untuk menghambat sekresi asam lambung pentagastrin-stimulated
yang di digunakan untuk menghambat sekresi asam lambung ditambah dengan
pemberian steroid dapat meningkatakan perdarahan di lambung ini dapat mengurangi
dari perdarahan di lambung.11
Pada pasien dilakukan kultur darah dengan tujuan untuk melihat penyebab dari
suatu status epileptikus pada anak. Dari banyak studi dilaporkan bahwa etiologi dari
suatu status epileptikus dari The American academy of neurology untuk
mendiagnosis suatu epilepsy pada anak dengan status epilepsy convulsive harus
dilakukan pemeriksaan level pengobatan dari anti kejang yang rendah (32%),
neuroimaging(4%),electrolyte (6%), gangguan metabolisme (4%), Infeksi SSP(3%),
dan positif kultur darah (3%) untuk mengidentifikasi factor ini maka pada menit awal
(2 menit awal ) dilakukan pemeriksaan serum glukosa , darah lengkap, dan elektrolit
sehingga dapat dilakukan koreksi secara cepat penyebab dari suatu status epileptikus.8
27
menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis. Pada pasien dilakukan
pemeriksaan elektrolit ureum dan keratin dikarenakan untuk melihat apakah kejang
yang timbul akibat dari imbalance elektrolit ataupun melihat adanya perburukan dari
suatu status epileptikus.10
Status Epileptikus (SE) didefinisikan sebagai kejang yang berlangsung terus atau
berulang tanpa pulihnya kesadaran selama 30 menit atau lebih. SE berdasrkan
semiologi dibagi atas :SE konvulsivus (parsial/fokal motorik dan tonik-klonik umum)
dan SE bukan konvulsivus (absens dan parsial kompleks). SE konvulsivus terdiri atas
kejang tonik atau klonik yang berlangsung terus, mungkin asimetris, subtle, atau
gerakan bilateral yang kadangkala asimetris.
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan kejang yang dialami sejak ½
jam SMRS. Pasien saat dijalan menuju ke puskemas. SE didefinisikan sebagai kejang
yang berlangsung terus atau berulang tanpa pulihnya kesadaran selama 30 menit atau
lebih, Umumnya kejang akan berlangsung sebentar dan berhenti sendiri. Oleh karena
itu definisi operasional yang digunakan untuk pengobatan kejang adalah kejang yang
berlangsung lebih dari 5 menit atau kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran.
Kejang 1x, keseluruhan tubuh, dengan mata melotot dan tangan serta kaki
gelonjotan. Lama kejang >1 jam , saat di IGD pasien masih kejang, kejang diawali
dengan demam. Setelah pasien kejang pasien mengalami penurunan kesadaran.
Demam naik tinggi perlahan namun demam turun dengan obat penurun
panas.Awalnya pada kejang akan terjadi mekanisme kompensasi otak, khususnya
hipertensi dengan peninkgatan aliran darah ke otak untuk mencegah kerusakan otak.
Status epileptikus yang berlangsung lama menyebabkan hipoksemia, dan hipertermia
dengan penurunan tekanan oksigen ke otak.
Pada rencana kerja pada pasien harus dilakukan pemeriksaan AGDA ini
dikarenakan pada pasien SE akan terjadi hipoksia yang diakibatkan karena gangguan
ventilasi, air liur yang berlebihan, sekresi trakeobronkial, dan peningkatan kebutuhan
oksigen. Hipoksia disertai kejang yang lama akan menyebabkan cedera otak,
khususnya struktur limbic seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang otak
28
masih dapat mempertahankan homeostatis melalui peningkatan aliran darah, glukosa
darah dan pemanfaatan oksigen. Namun setelah 30 menit akan terjadi asidosis karena
sebagai hasil dari pembakaran otot spectrum luas yang terjadi secara terus- menerus.9
Kejang pada pasien ini sesuai teori bahwa bentuk SE yang paling sering
dihadapi yaitu status epileptikus tonik-klonik umum dan potensial dalam
mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang
parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik
umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap kejang berlangsung
dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan
pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini,
diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah,
hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum
terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan
metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.10
29
BAB V
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Riviello JJ. Convulsive status epilepticus. Dalam: Duchowny M, Cross JH, Arzimanoglou A,
penyunting. Pediatric Epilepsy. New York: Mc Graw Hill Medical, 2013. h. 288-96.
2. Morton LD, Pellock JM. Status epilepticus. Dalam : Swaiman, KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor
NF, penyunting. Swaiman’s Pediatric neurology principles and practice. Edisi ke-5. China: Elsevier
Saunders, 2012. h. 798-810.
4. Marik PE, Varon J. The management of status epilepticus. Chest 2004; 126:582- 91.
5. Costello DJ, Cole AJ. Treatment of acute seizures and status epilepticus. J Inten Care Med. 2006;
20:1-29..
6. Riviello JJ, Ashwal SD, Glauser T, Ballaban-Gil K, Kelley K, Morton LD, Phillips S, Sloan E,
Shinnar S. Practice parameter: diagnostic assessment of the child with status epilepticus (an evidence
best review). Report of the Quality Standard Subcommittee of the American Academy of Neurology
and the practice committee of the Child NeurologySociety. Neurology. 2006;67:1542-50.
7. Tan RYL,Neligan A, Shorvon SD. The uncommon causes of status epilepticus: A systematic
review. Epilepsy Research .2010; 91:111—22
8. Singh RK, Gaillard WD Status epilepticus in children. Curre Neurol Neurosc Repor. 2009,: 9:137–
144
9. Brophy GM, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck TP, Glauser T, dkk. Guidelines for the
evaluation and management of status epilepticus. Neurocrit Care. 2012; 5:768-89.\
10. Mangunatmadja I. Kejang pada anak. Dalam: Trihono PP, Purnamawati S, Syarif DR dkk. Hot
topics in Pediatrics II. Jakarta: Departemen IKA FKUI-RSCM, 2002. h. 245-61
11. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am. 2001; 48:683-
94.
31