Anda di halaman 1dari 31

SMF/Laboratorium Ilmu Bedah Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Kolelitiasis

Disusun Oleh:
Ahmad Jaelani
1910027019

Pembimbing:
Dr. dr. Arie Ibrahim, Sp.BS

SMF/LABORATORIUM ILMU BEDAH


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Kolelitiasis.
Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik di bagian Laboratorium Ilmu Bedah di RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.
Penulisan tutorial ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Boyke Soebhali, Sp.U selaku kepala Laboratorium Ilmu Bedah RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. Dr. dr. Arie Ibrahim, Sp.BS sebagai pembimbing dalam penyusunan tugas
laporan kasus ini yang telah memberikan banyak waktu dan kesempatan untuk
memberikan bimbingan.
5. Kedua orang tua tercinta serta teman-teman dokter muda yang telah
mendukung, membantu, dan sudah berjuang bersama selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan laporan kasus ini, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi banyak pihak.
Samarinda, Desember 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
BAB 2 LAPORAN KASUS .............................................................................. 3
2.1 Identitas Pasien ............................................................................... 3
2.2 Anamnesa ........................................................................................ 3
2.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................... 4
2.4 Pemeriksan Penunjang ................................................................... 6
2.5 Diagnosis Kerja .............................................................................. 8
2.6 Tatalaksana .................................................................................... 8
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 11
Hukum Monroe-Kellie ......................................................................... 11
Space Occupying Lesion ...................................................................... 12
3.1 Definisi ........................................................................................... 12
3.2 Etiologi ........................................................................................... 13
3.3 Epidemiologi .................................................................................. 13
3.4 Patofisiologi ................................................................................... 14
3.5 Manifestasi Klinis .......................................................................... 15
3.6 Diagnosis ........................................................................................ 16
3.7 Penatalaksanaan ............................................................................. 18
BAB 4 PEMBAHASAN .................................................................................... 21
BAB 5 KESIMPULAN ..................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 26

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Batu empedu merupakan penyakit yang sering ditemukan di negara
maju dan jarang ditemukan di negara-negara berkembang. Dengan
membaiknya keadaan sosial ekonomi, perubahan menu makanan ala barat serta
perbaikan sarana diagnosis khususnya ultrasonografi, prevalensi penyakit batu
empedu di negara-negara berkembang cenderung meningkat 1.
Di amerika serikat, 10% populasi menderita kolelitiasis dengan batu
empedu kolesterol mendominasi yang terjadi dalam 70% dari semua kasus batu
empedu. Sisanya 30% dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi2.
Prevalensi tergantung usia, jenis kelamin, dan etnis. Kasus batu empedu
lebih umum ditemukan pada wanita. Faktor risiko batu empedu memang
dikenal dengan singkatan 4-F, yakni Fatty (gemuk), Fourty ( 40th), Fertile
(subur), dan Female (wanita). Wanita lebih berisiko mengalami batu empedu
karena pengaruh hormon estrogen. Meski wanita dan usia 40th tercatat sebagai
faktor risiko batu empedu, itu tidak berarti bahwa wanita di bawah 40th dan
pria tidak mungkin terkena. Penderita diabetes mellitus ( DM ), baik wanita
maupun pria, berisiko mengalami komplikasi batu empedu akibat kolesterol
tinggi. Bahkan, anak – anak pun bisa mengalaminya, terutama anak dengan
penyakit kolesterol herediter
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan tugas ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis
dan pembaca serta mendalami kasus yang ada di bagian Ilmu Bedah khususnya
pada Space Occupying Lesion (SOL).

1
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien


Nama : Ny. E. M
Usia : 31 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Loa Bakung
MRS tanggal : 2 januari 2019

2.2 Anamnesa
Anamnesis dilakukan pada tanggal 12 Januari 2019 secara heteroanamnesis
Keluhan Utama
Nyeri kepala

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie dengan keluhan nyeri
kepala yang dirasakan sejak kurang lebih setahun yang lalu. Nyeri kepala yang
dirasakan seperti tertusuk-tusuk pada seluruh bagian kepala hingga ke leher
belakang. Keluhan ini hilang-timbul, dan dirasakan 2-3 kali dalam sehari. Keluarga
pasien mengatakan pasien mengaku sering mengeluh nyeri terutama sebulan
terakhir dan keluhan memberat seminggu sebelum masuk RS. Pasien juga
mengeluhkan muntah tanpa merasa mual 2 kali sebelum masuk RS. Pasien sempat
dirawat di RS swasta selama 6 hari dengan keluhan serupa dan kemudian dirujuk
ke RSUD Abdul Wahab Sjahranie. Keluhan lain seperti kejang, demam dan
pingsan tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada riwayat penyakit sebelumnya, riwayat hipertensi, sakit jantung
ataupun diabetes mellitus disangkal. Pasien memiliki riwayat kecelakaan motor 5
tahun yang lalu dan kepalanya terbentur namun tidak dibawa berobat ke RS atau
klinik. Pasien tidak pernah mengalami hal serupa sebelumnya.

2
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang serupa dengan
pasien.

Riwayat Kebiasaan dan Pengobatan


Riwayat merokok, minum minuman beralkohol disangkal. Pasien minum
obat pereda nyeri kepala untuk mengurangi keluhannya.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 12 Januari 2019 di ruang ICU
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Somnolen, GCS E2V5M2
Tanda Vital : Tekanan Darah 135/81 mmHg
Nadi 92 x/menit
Pernafasan 22 x/menit
Temperatur 36,2o C

Status Generalis
Kepala/leher
Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), sianosis (-), pembesaran KGB (-)

Thorax
Inspeksi : Besar dan bentuk dinding dada normal, pergerakan simetris,
retraksi (-)
Palpasi : Fremitus raba simetris
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+),Ronki (-/-),wheezing(-/-), S1S2 tunggal reguler,
suara tambahan (-)

Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar

3
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Perkusi : Timpani, acites (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), organomegali (-)

Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat (+/+), edema (-/-)
Ekstremitas inferior : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

Status Neurologis
Kesadaran : GCS E2V5M2
Pupil : Bulat, anisokor diameter 3mm/5mm, Refleks cahaya (+/+)
Saraf Kranialis :
- Olfaktorius : tidak dapat dievaluasi
- Optikus : visus tidak dapat dievaluasi
- Okulomotor : reflex cahaya (+/+)
- Troklearis : tidak dapat dievaluasi
- Trigeminus : membuka mulut (+)
- Abdusen : tidak dapat dievaluasi
- Facialis : senyum (+/+), menutup mata sempurna (+/+)
- Vestibulococklearis : pendengaran (+/+)
- Glossofaringeus : tidak dapat dievaluasi
- Vagus : tidak dapat dievaluasi
- Aksesorius : tidak dapat dievaluasi
- Hipoglosus : deviasi lidah (-)
Motorik
- Ekstremitas superior tidak dapat dievaluasi
- Ekstremitas inferior tidak dapat dievaluasi
Sensorik
- Wajah tidak dapat dievaluasi
- Ekstremitas superior tidak dapat dievaluasi
- Ekstremitas inferior tidak dapat dievaluasi

4
Refleks Fisiologis
- Biceps (+ normal/+ normal)
- Triceps (+ normal/+ normal)
- Patella (+ normal/+ normal)
- Achilles (+ normal/+ normal)
Refleks Patologis
- Hoffman (-/-)
- Tromner (-/-)
- Babinsky (-/-)
- Chaddock (-/-)
Fungsi Otonom
- Miksi (normal)
- Defekasi (normal)
Fungsi keseimbangan
- Romberg tidak dapat dievaluasi
- Pronasi-supinasi tidak dapat dievaluasi

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Hematologi 2/1/2019
Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dilakukan didapat
Leukosit 23.160/mm3 4.800 – 10.800/ mm3
Eritrosit 4.490.000/mm3 4.200.000 – 5.400.000/mm3
Hemoglobin 13,4 g/dl 12,0 – 16,0 g/dl
Hematokrit 38,8 % 37,0 – 54,0%
Trombosit 358.000 / mm3 150.000 – 450.000/ mm3
MCV 86,5 fL 81,0 – 99,0 fL
MCH 29,9 pg 27,0 – 31,0 pg
MCHC 34.6 g/dL 33,0 – 37,0 g/dL
GDS 159 mg/dL 70 – 140 mg/d L
Ureum 21,7 mg/dL 19,3 - 49,2 mg/dL
Creatinine 0,6 mg/dL 0,5 - 1,1 mg/dL

5
Natrium 140 mmol/L 135 - 155 mmol/L
Kalium 3,7 mmol/L 3,6 - 5,5 mmol/L
Chloride 107 mmol/L 98 - 108 mmol/L

Pemeriksaan Hematologi 4/1/2019


HbsAg 0,00 Non reaktif <0,13 TV
CEA 1,03 <=5,00 ng/ml
AbHIV Non reaktif Non reaktif
Ca125 34,46 < 35,00

Pemeriksaan Hematologi 7/1/2019


Albumin 3,7 mg/dL 3.5 – 5.5 mg/dL
SGOT 34 U/L < 32 U/L
SGPT 93 U/L < 32 U/L
Gamma GT 190 U/L <40 U/L
TSH 0,05 ulu/ml 0,15 - 5,00 ulu/ml
T4 0,69 ng/ml 0,71 - 1,85 ng/ml
T3 0,26 ng/ml 0,80 - 1,60 ng/ml
Ca 15-3 16,10 U/ml <30,00 U/ml

Pemeriksaan Hematologi 9/1/2019


APTT 19,4 detik 22,8 - 34,6 detik
PT pasien 8,8 detik 9,9 - 12,6 detik
INR 0,81 -

Pemeriksaan Hematologi 11/1/2019


Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dilakukan didapat
Leukosit 28.500/mm3 4.800 – 10.800/ mm3
Eritrosit 4.270.000/mm3 4.200.000 – 5.400.000/mm3
Hemoglobin 12,7 g/dl 12,0 – 16,0 g/dl

6
Hematokrit 37,5 % 37,0 – 54,0%
Trombosit 256.000 / mm3 150.000 – 450.000/ mm3
MCV 87,7 fL 81,0 – 99,0 fL
MCH 29,7 pg 27,0 – 31,0 pg
MCHC 33,9 g/dL 33,0 – 37,0 g/dL
Albumin 3,8 mg/dL 3.5 – 5.5 mg/dL
Ureum 33,6 mg/dL 19,3 - 49,2 mg/dL
Creatinine 0,6 mg/dL 0,5 - 1,1 mg/dL
Natrium 129 mmol/L 135 - 155 mmol/L
Kalium 4,6 mmol/L 3,6 - 5,5 mmol/L
Chloride 101 mmol/L 98 - 108 mmol/L

Pemeriksaan Hematologi 12/1/2019


Natrium 131 mmol/L 135 - 155 mmol/L
Kalium 3,8 mmol/L 3,6 - 5,5 mmol/L
Chloride 100 mmol/L 98 - 108 mmol/L

7
Pemeriksaan Radiologis

MRI kepala dengan kontras :


Midline shift (+) ke kanan
Parenkim cerebri : normal
Ganglia basal, thalamus : normal
Kapsula interna : normal
Midbrain, pons, medulla : normal
Ventrikel : melebar pada ventrikel lateral D/S & ventrikel III,
ventrikel IV sempit
Sulci dan sisterna basali : sempit
Sinus-sinus vena dural : normal
Arteri intracranial : normal
Tulang : normal
Tampak masa ekstraaksial di fossa cerebri posterior kiri, menempel pada
tentorium cerebelli kiridan lapisan meningen cerebellum kiri. Massa berbatas
tegas, memberikan enhancement nyata. Ukuran C-C = 4,85 cm, medio-lateral
= 4,22 cm, anterior-posterior = 4,44 cm

2.5 Diagnosis Kerja


Cephalgia ec SOL, DD:

8
- Tumor metastasis

2.6 Tatalaksana
 Injeksi Dexametason 5mg per 8 jam IV
 Injeksi Omeprazole 40 mg per 12 jam IV
 Parasetamol 3 x 500 mg PO
 Eksisi Biopsi

Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
3 Januari 2019 S: Nyeri kepala A : Cephalgia kronik ec SOL
(perawatan H-1) O: GCS E4V5M6, TD P:
Teratai 2 130/80 mmHg, Nadi 102  Injeksi Dexametason
x/mnt, RR 20 x/mnt 5mg per 8 jam IV
 Injeksi Omeprazole 40
mg per 12 jam IV
 Parasetamol 3 x 500 mg
PO
 Rencana CT scan kepala
dengan kontras
 Cek CEA
 Cek CA125
 Foto thorax PA
4 Januari 2019 S: Nyeri kepala A : Cephalgia kronik ec SOL
(perawatan H-2) O: GCS E4V5M6, TD 125/76 P:
Teratai 2 mmHg, Nadi 96 x/mnt, RR 20  Injeksi Dexametason
x/mnt 5mg per 8 jam IV
 Injeksi Omeprazole 40
mg per 12 jam IV
 Injeksi Metamizol
Sodium 2ml per 8 jam IV

9
 Parasetamol 3 x 500 mg
PO

5 Januari 2019 S: Nyeri kepala (+) A : tumor otak metastase


(perawatan H-3) O: GCS E4V5M6, TD 130/80 P:
Teratai 2 mmHg, Nadi 84 x/mnt, RR 20  Injeksi Dexametason
x/mnt 5mg per 8 jam IV
 Injeksi Omeprazole 40
mg per 12 jam IV
 Injeksi Metamizol
Sodium 2ml per 8 jam IV
 Parasetamol 3 x 500 mg
PO
 Konsul bagian Obgyn
 Konsul bagian BTKV
 Konsul bagian bedah
onkologi
 Rencana biopsi
neuroskopi

10
12 Januari 2019 S: Nyeri kepala (+) A : Tumor otak metastase
(perawatan H- O: GCS E2V5M2, pupil kistik temporoparietal sinistra
10) anisokor 3mm/5mm, TD post eksisi biopsi H-1
ICU 135/81 mmHg, Nadi 92 P:
x/mnt, RR 20 x/mnt  Manitol 150 cc per 8 jam
IV
 Injeksi Ceftriakson 1gr
per 12 jam IV
 Injeksi Asam
traneksamat 1gr per 8
jam IV
15 Januari 2019 S: Tidak ada keluhan A : Tumor otak metastase
(perawatan H- O: GCS E4V5M6, pupil kistik temporoparietal sinistra
12) anisokor 3mm/5mm, TD post eksisi biopsi H-3
129/91 mmHg, Nadi 93 P:
x/mnt, RR 21 x/mnt  Manitol 100 cc per 8 jam
IV
 Injeksi Ceftriakson 1gr
per 12 jam IV
 Injeksi Asam
traneksamat 1gr per 8
jam IV
 Rencana hari ini pindah
ke ruang rawat Teratai 2

11
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

Hukum Monroe-Kellie
Secara normal, komponen intrakranial terdiri dari: otak (1400 ml), volume
darah otak (150 ml) dan cairan serebrospinal(CSS) (80 ml). Komponen-komponen
ini terkandung dalam volume tetap pada tengkorak yang kaku dan mengerahkan
distribusi tekanan yang merata yang disebut tekanan intrakranial (TIK). Rentang
fisiologis normal TIK bervariasi sesuai usia (mmHg): dewasa: 10-15; anak-anak:
3-7; bayi cukup bulan 2-6. Tekanan intrakranial juga dapat diukur dalam cmH2O,
di mana 1 mmHg sama dengan 1,36 cmH2O (Wykes & Vindlacheruvu, 2015).
Parenkim otak memiliki massa sekitar 1400 g, dan terdiri dari neuron dan
sel glial, serta cairan ekstraseluler. Bloodebrain barrier (BBB) terdiri dari pembatas
ketat antara sel endotel kapiler, yang memisahkan darah dari cairan interstitial otak
untuk menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktivitas neuron. Penyebab
peningkatan patologis dalam jaringan otak termasuk tumor, edema sitotoksik
(karena kegagalan membran sel) dan edema vasogenik (karena gangguan BBB)
(Partington & Farmery, 2014).
Cairan serebrospinal menempati ruang antara membran arachnoid dan pia
mater. Fungsinya termasuk menjaga lingkungan yang stabil secara kimiawi,
mendukung transportasi metabolit dan neurotransmiter dan memasok glukosa.
Cairan serebrospinal diproduksi oleh pleksus koroid dengan kecepatan sekitar 500
ml per hari, yang berarti bahwa seluruh volume CSS (sekitar 150 ml) diganti lebih
dari tiga kali selama 24 jam (Partington & Farmery, 2014).
Volume darah intrakranial normal adalah sekitar 150 ml, dua pertiganya ada
dalam sistem vena. Aliran darah otak yang tinggi karena tuntutan kebutuhan energi
otak (rata-rata 50 ml /100 g/mnt ), aliran darah otak secara keseluruhan adalah
sekitar 700 ml/mnt, terhitung lebih dari 15% dari total curah jantung. Volume darah
otak yang meningkat secara patologis biasanya disebabkan oleh perdarahan
(ekstradural, subdural, intrakranial, atau subaraknoid) (Partington & Farmery,
2014).

12
Hipotesis Monroe-Kellie menyatakan bahwa "jika tengkorak utuh, maka
jumlah volume otak, cairan serebrospinaldan volume darah intrakranial konstan".
Hal ini menentukan bahwa peningkatan volume salah satu elemen intrakranial
harus terjadi dengan mengorbankan volume satu atau lebih elemen lainnya
(Partington & Farmery, 2014).

Penyebab peningkatan TIK dapat berupa (Wykes & Vindlacheruvu, 2015):


1. Lesi desak ruang termasuk: hematoma traumatis (ekstradural, subdural,
intraserebral); neoplastik (glioma, metastasis); abses dan edema serebralnya.
2. Gangguan sirkulasi CSF karena hidrosefalus komunikan atau obstruktif.
3. Obstruksi sinus vena mayor oleh trombosis vena serebral.
Gambaran klinis dan neurologi fokal akan ditentukan oleh penyebab yang
mendasari peningkatan TIK, namun triad sakit kepala, muntah dan papilloedema
umumnya dianggap sebagai indikasi peningkatan TIK (Wykes & Vindlacheruvu,
2015).

Space Occupying Lesion (SOL)


3.1 Definisi
Istilah Intracranial Space Occupying Lesion (ICSOL) umumnya
digunakan untuk mengidentifikasi lesi, termasuk yang berasal dari pembuluh
darah, neoplastik, atau inflamasi, yang dapat meningkatkan volume isi intra
kranial dan dengan demikian mengarah pada peningkatan tekanan intra kranial.
Dalam arti yang paling ketat, istilah tumor intracranial tersebut, merujuk pada
neoplasma, baik jinak atau ganas, primer atau sekunder (Yashodhara & Reddy,
2015) (Goyani, Ukani, Naik, Bhagat, Vadel, & Sheth, 2015).

3.2 Etiologi

13
Space Occupying Lesion (SOL) otak dapat terjadi akibat dari (Sajjad ,
et al., 2018):
a. Keganasan: primer atau metastasis
b. Peradangan: abses, tuberculoma, gumma sifilis, granuloma jamur.
c. Infeksi parasit: sistiserkosis, kista terhidrasi, abses amuba, schistosoma
japonicum.
d. Cidera otak traumatik: hematoma subdural & epidural.
e. Kongenital: dermoid, epidermoid, teratoma.
Tumor otak dapat timbul dari berbagai sel dalam sistem saraf pusat
seperti neuron dan sel glial seperti glioma, astrocytoma, ependymoma,
oligodendroglioma, germinoma, medulloblastoma atau dari struktur lainnya
seperti, meningioma, schwannoma, chondroma, osteoma atau dari kelenjar
pituitary seperti adenoma, craniofaringioma atau mungkin berupa tumor
vaskular seperti angioma, hemangioblastoma, papilloma pleksus koroid
ataupun metastasis sekunder (Sajjad , et al., 2018).

3.3 Epidemiologi
Salah satu penyakit yang banyak menyerang otak adalah tumor otak.
Tumor otak meliputi 85-90% dari seluruh tumor susunan saraf pusat dengan
frekuensi 80% terletak intrakranial dan 20% di kanalis spinalis. Di Amerika
Serikat insidensi kanker otak ganas dan jinak adalah 21.42 per 100.000
penduduk per tahun (7.25 per 100.000 penduduk untuk kanker otak ganas,
14.17 per 100.000 penduduk per tahun untuk tumor otak jinak). Mortalitas
lebih tinggi pada pria. Pada kasus karena infeksi, ada sekitar 1500 hingga 2000
kasus abses otak yang didiagnosis di Amerika Serikat setiap tahun. Infeksi
cenderung terjadi pada pria muda, meskipun infeksi dapat terjadi pada semua
kelompok umur; rasio pria-wanita bervariasi antara 2:1 dan 3:1. Urutan
frekuensi neoplasma di dalam ruang intrakranial adalah sebagai berikut: glioma
35-60%, meningioma sekitar 9-22%, hipofisoma 5-16%, neurilemoma 7-9%.
Tumor otak merupakan penyebab kematian yang kedua dari semua kasus
kanker yang terjadi pada pria berusia 20-39 tahun. Di Indonesia data mengenai

14
tumor otak masih kurang (Dewi, Loho, & Tubagus, 2016) (Komite
Penanggulangan Kanker Nasional, 2017) (Sajjad , et al., 2018).
Dua jenis tumor sistem saraf pusat yang paling umum adalah glioma
dan meningioma. Glioma muncul dari sel glial, dan mewakili lebih dari 70%
dari semua tumor otak. Glioma biasanya ganas secara histologis, bisa lambat
atau tumbuh dengan cepat, dan lebih sering didiagnosis pada pria daripada pada
wanita. Meningioma muncul dari sel-sel arachnoidal leptomeninges (pia mater
dan arachnoid mater dari meninges), dan mewakili lebih dari 20% dari semua
tumor otak. Meningioma biasanya jinak (>90%) dan tumbuh dengan lambat.
Risiko meningioma meningkat dengan bertambahnya usia, dan mereka lebih
sering didiagnosis pada wanita (Benson, Pirie, Green, Casabonne, & Beral,
2008).

3.4 Patofisiologi
Isi dari cranial adalah jaringan otak, pembuluh darah dan cairan
serebrospinal. Bila terjadi peningkatan satu dari isi cranial mengakibatkan
peningkatan tekanan Intrakranial, sebab ruang cranial keras, tertutup, tidak bisa
berkembang (Kaye, 2005).
Peningkatan satu dari beberapa isi cranial biasanya disertai dengan
pertukaran timbal balik dalam satu volume yang satu dengan yang lain.
Jaringan otak tidak dapat berkembang, tanpa berpengaruh serius pada aliran
dan jumlah cairan serebrospinal dan sirkulasi serebral. Space occupying lesion
(SOL) menggantikan dan merubah jaringan otak sebagai suatu peningkatan
tekanan. Peningkatan tekanan dapat secara lambat (sehari/minggu) atau secara
cepat, hal ini tergantung pada penyebabnya. Pada pertama kali satu hemisphere
dari otak akan dipengaruhi, tetapi pada akhirnya kedua hemisphere akan
dipengaruhi (Wykes & Vindlacheruvu, 2015).
Peningkatan tekanan Intrakranial dalam ruang cranial pada pertama kali
dapat dikompensasi dengan menekan vena dan pemindahan cairan
serebrospinal. Bila tekanan makin lama makin meningkat, aliran darah ke
serebral akan menurun dan perfusi menjadi tidak adekuat, maka akan
meningkatkan PCO2 dan menurunkan PO2 dan pH. Hal ini akan menyebabkan

15
vasodilatasi dan edema serebri. Edema lebih lanjut akan meningkatkan tekanan
Intrakranial yang lebih berat dan akan menyebabkan kompresi jaringan saraf
(Wykes & Vindlacheruvu, 2015).
Pada saat tekanan melampaui kemampuan otak untuk berkompensasi,
maka untuk meringankan tekanan, otak memindahkan ke bagian kaudal atau
herniasi ke bawah. Sebagian akibat dari herniasi, batang otak akan terkena pada
berbagai tingkat, yang mana penekanannya bisa mengenai pusat vasomotor,
arteri serebral posterior, saraf okulomotorik, traktus kortikospinal dan serabut-
serabut saraf ascending reticular activating system. Akibatnya akan
mengganggu mekanisme kesadaran, pengaturan tekanan darah, denyut nadi,
pernafasan dan temperatur tubuh (Partington & Farmery, 2014).

3.5 Manifestasi Klinis


Pasien dengan desak ruang intrakranial dapat hadir dengan tanda dan
gejala yang dapat bersifat general ataupun fokal. Gejala umum terjadi ketika
ukuran tumor meningkat dan/atau ketika tekanan intrakranial meningkat.
Gejala-gejala ini termasuk sakit kepala, mual, muntah, kejang, gejala
neurokognitif, perubahan kepribadian. Gejala fokal disebabkan oleh kerusakan
otak lokal dan presentasi dapat menunjukkan lokasi lesi. Gejala-gejala ini
termasuk kelemahan, kehilangan somatosensorik, kehilangan penglihatan atau
afasia dan cenderung terjadi pada tahap awal penyakit. Gejala fokal pada
cerebellum berupa ataxia, dysmetria, nystagmus (Soomro, Khalid, & Alvi,
2014).
Lesi infratentorial dapat disertai dengan nyeri kepala, mual dan muntah,
gangguan gaya berjalan dan ataksia, vertigo, defisiensi saraf kranial yang
mengarah ke diplopia (saraf abdusen), mati rasa pada wajah dan nyeri (saraf
trigeminal), defisiensi pendengaran unilateral dan tinnitus (saraf
vestibulocochlear), kelemahan wajah (saraf fasial), disfagia (saraf
glossofaringeal dan vagus), dan obstruksi CSF yang menyebabkan hidrosefalus
dan papilledema. Lesi supratentorial dapat hadir dengan gejala yang berbeda
tergantung pada lokasi. Lesi lobus frontal bermanifestasi sebagai perubahan
kepribadian, demensia, hemiparesis, atau disfasia. Lesi lobus temporal dapat

16
hadir dengan perubahan memori, halusinasi pendengaran atau penciuman, atau
quadrantanopsia kontralateral. Pasien dengan lesi lobus parietal dapat
menunjukkan gangguan motorik atau sensorik kontralateral, apraxias, dan
hemianopsias homonim, sedangkan pasien dengan lesi lobus oksipital dapat
menunjukkan defisit bidang visual kontralateral dan aleksia (Townsend,
Beauchamp, Evers, & Mattox, 2012).
Lesi besar di beberapa lokasi di otak (daerah diam) mungkin tetap
relatif diam sementara lesi kecil di belahan otak dominan dapat secara drastis
mengganggu bicara. Lesi yang menempati ruang di SSP dapat menyusup dan
menghancurkan struktur penting. Hal ini dapat mengganggu aliran cairan
serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus atau dapat menginduksi
pembentukan pembuluh darah baru yang mengarah ke edema vasogenik
(Soomro, Khalid, & Alvi, 2014).

3.6 Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Keluhan yang timbul dapat berupa sakit kepala, mual, penurunan nafsu
makan, muntah proyektil, kejang, defisit neurologik (penglihatan ganda,
strabismus, gangguan keseimbangan, kelumpuhan ekstremitas gerak, dsb),
perubahan kepribadian, mood, mental, atau penurunan fungsi kognitif.
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan mencakup pemeriksaan status
generalis dan lokalis, serta pemeriksaan neurooftalmologi (Komite
Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
Pemeriksaan neurologis formal perlu dilakukan dengan cara sistemik
secara berurutan berikut (Kaye, 2005):
 Kondisi mental.
 Kemampuan bicara.
 Saraf kranial.
 Pemeriksaan badan dan alat gerak:
- postur
- wasting
- tonus

17
- kekuatan
- refleks
- sensori
- koordinasi dan gaya berjalan.

Pemeriksaan fungsi luhur


Fungsi kognitif juga dapat mengalami gangguan baik melalui
mekanisme langsung akibat destruksi jaras kognitif oleh tumor otak, maupun
mekanisme tidak langsung akibat terapi, seperti operasi, kemoterapi, atau
radioterapi. Oleh karena itu, pemeriksaan fungsi luhur berguna untuk
menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional, serta
mengevaluasi pre- dan post tindakan (operasi,radioterapi dan kemoterapi).
Bagi keluarga, penilaian fungsi luhur akan sangat membantu dalam merawat
pasien dan melakukan pendekatan berdasarkan hendaya yang ada (Komite
Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium terutama dilakukan untuk melihat keadaan
umum pasien dan kesiapannya untuk terapi yang akan dijalani (bedah, radiasi,
ataupun kemoterapi). Pemeriksaan yang perlu dilakukan, yaitu: darah lengkap,
hemostasis, LDH, fungsi hati dan ginjal, gula darah, serologi hepatitis B dan
C, dan elektrolit lengkap (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
Pemeriksaan radiologis yang perlu dilakukan antara lain CT scan
dengan kontras; MRI dengan kontras, MRS, dan DWI; serta PET CT (atas
indikasi). Pemeriksaan radiologi standar adalah CT scan dan MRI dengan
kontras. CT scan berguna untuk melihat adanya tumor pada langkah awal
penegakkan diagnosis dan sangat baik untuk melihat kalsifikasi, lesi
erosi/destruksi pada tulang tengkorak. MRI dapat melihat gambaran jaringan
lunak dengan lebih jelas dan sangat baik untuk tumor infratentorial, namun
mempunyai keterbatasan dalam hal menilai kalsifikasi. Pemeriksaan
fungsional MRI seperti MRS sangat baik untuk menentukan daerah nekrosis
dengan tumor yang masih viabel sehingga baik digunakan sebagai penuntun

18
biopsi serta untuk menyingkirkan diagnosis banding, demikian juga
pemeriksaan DWI. Pemeriksaan positron emission tomography (PET) dapat
berguna pascaterapi untuk membedakan antara tumor yang rekuren dan
jaringan nekrosis akibat radiasi (Komite Penanggulangan Kanker Nasional,
2017).
Pemeriksaan sitologi dan flowcytometry cairan serebrospinal dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis limfoma pada susunan saraf pusat,
kecurigaan metastasis leptomeningeal, atau penyebaran kraniospinal seperti
ependimoma (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).

3.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana Penurunan Tekanan Intrakranial
Pasien dengan kanker otak sering datang dalam keadaan neuroemergency
akibat peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini terutama diakibatkan oleh efek
desak ruang dari edema peritumoral atau edema difus, selain oleh ukuran massa
yang besar atau ventrikulomegali karena obstruksi oleh massa tersebut (Komite
Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
Edema serebri dapat disebabkan oleh efek tumor maupun terkait terapi,
seperti pasca operasi atau radioterapi. Gejala yang muncul dapat berupa nyeri
kepala, mual dan muntah, perburukan gejala neurologis, dan penurunan kesadaran.
Pemberian kortikosteroid sangat efektif untuk mengurangi edema serebri
dan memperbaiki gejala yang disebabkan oleh edema serebri, yang efeknya sudah
dapat terlihat dalam 24-36 jam. Agen yang direkomendasikan adalah deksametason
dengan dosis bolus intravena 10 mg dilanjutkan dosis rumatan 16-20 mg/hari
intravena lalu tappering off 2-16 mg (dalam dosis terbagi) bergantung pada klinis.
Mannitol tidak dianjurkan diberikan karena dapat memperburuk edema, kecuali
bersamaan dengan deksamethason pada situasi yang berat, seperti pascaoperasi.

Pembedahan
Operasi pada tumor otak dapat bertujuan untuk menegakkan diagnosis yang
tepat, menurunkan tekanan intrakranial, mengurangi kecacatan, dan meningkatkan
efektifitas terapi lain. Reseksi tumor pada umumnya direkomendasikan untuk

19
hampir seluruh jenis tumor otak yang operabel. Tumor otak yang terletak jauh di
dalam dapat diterapi dengan tindakan bedah kecuali apabila tindakan bedah tidak
memungkinkan (keadaan umum buruk, toleransi operasi rendah). Teknik operasi
meliputi membuka sebagian tulang tengkorak dan selaput otak pada lokasi tumor.
Tumor diangkat sebanyak mungkin kemudian sampel jaringan dikirim ke ahli
patologi anatomi untuk diperiksa jenis tumor (Komite Penanggulangan Kanker
Nasional, 2017).
Radioterapi
Radioterapi memiliki banyak peranan pada berbagai jenis kanker otak.
Radioterapi diberikan pada pasien dengan keadaan inoperabel, sebagai adjuvan
pasca operasi, atau pada kasus rekuren yang sebelumnya telah dilakukan tindakan
operasi (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
Tatalaksana Nyeri
Pada tumor otak, nyeri yang muncul biasanya adalah nyeri kepala.
Berdasarkan patofisiologinya, tatalaksana nyeri ini berbeda dengan nyeri tumor
pada umumnya. Nyeri kepala akibat tumor otak bisa disebabkan akibat traksi
langsung tumor terhadap reseptor nyeri di sekitarnya. Gejala klinis nyeri biasanya
bersifat lokal atau radikular ke sekitarnya, yang disebut nyeri neuropatik. Pada
kasus ini pilihan obat nyeri adalah analgesic yang tidak menimbulkan efek sedasi
atau muntah karena dapat mirip dengan gejala tumor otak pada umumnya. Oleh
karena itu dapat diberikan parasetamol dengan dosis 20mg/berat badan per kali
dengan dosis maksimal 4000 mg/hari, baik secara oral maupun intravena sesuai
dengan beratnya nyeri. Jika komponen nyeri neuropatik yang lebih dominan, maka
golongan antikonvulsan menjadi pilihan utama, seperti gabapentin 100-
1200mg/hari, maksimal 3600mg/hari (Komite Penanggulangan Kanker Nasional,
2017).
Nyeri kepala tersering adalah akibat peningkatan tekanan intrakranial, yang
jika bersifat akut terutama akibat edema peritumoral. Oleh karena itu tatalaksana
utama bukanlah obat golongan analgesik, namun golongan glukokortikoid seperti
deksamethason atau metilprednisolon intravena atau oral sesuai dengan derajat
nyerinya.

20
BAB 4
PEMBAHASAN

TEORI KASUS
ANAMNESIS
 Pada tumor otak gambaran klinis  Pasien wanita, usia 31 tahun datang
ditandai dengan gejala umum yang dengan keluhan nyeri kepala yang
terkait dengan peningkatan tekanan dirasakan sejak kurang lebih 1 tahun.
intrakranial dan gejala fokal terkait  Sering mengeluh nyeri terutama sebulan
dengan lokasi tumor. terakhir dan memberat seminggu sebelum
 Gejala umum berupa sakit kepala, masuk RS.
mual, muntah, kejang, gejala  Nyeri kepala yang dirasakan seperti
neurokognitif, perubahan kepribadian tertususk-tusuk pada seluruh bagian
 Gejala fokal pada cerebellum berupa kepala hingga leher belakang, hilang-
ataxia, dysmetria, nystagmus timbul, dan dirasakan 2-3 kali dalam
sehari.
 Muntah tanpa merasa mual 2 kali sebelum
masuk RS
 Keluhan lain seperti kejang dan pingsan
disangkal oleh keluarga pasien.
PEMERIKSAAN FISIK
 Pemeriksaan fisik yang perlu  Keadaan Umum : Sakit sedang
dilakukan mencakup pemeriksaan  Kesadaran : Somnolen, GCS E2V5M2
status generalis dan lokalis, serta  Tanda Vital TD 135/81 mmHg
pemeriksaan neurooftalmologi Nadi 92 x/menit
 Pemeriksaan neurologis formal perlu Pernafasan 22 x/menit
dilakukan dengan cara sistemik Temperatur 36,2o C
secara berurutan berikut.
 Kondisi mental.  Kepala/leher : Anemis (-/-), Ikterik (-
 Kemampuan bicara. /-), Sianosis (-), massa (-)
 Saraf kranial.

21
 Pemeriksaan badan dan alat  Thoraks : Vesikuler (+/+),
gerak: wheezing (-/-), rhonki (-/-)
- postur  Abdomen : Soefl, nyeri tekan
- wasting (+), organomegali (-), bising usus (+)
- tonus  Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edem (-
- kekuatan /-)
- refleks  Status neurologis:
- sensori Kesadaran : GCS E2V5M62
- koordinasi dan gaya Pupil : Bulat, anisokor
diameter 3mm/5mm, Refleks cahaya
berjalan. (+/+)
 Saraf Kranialis:
- Olfaktorius : tidak dapat dievaluasi
- Optikus : visus tidak dapat dievaluasi
- Okulomotor : reflex cahaya (+/+)
- Troklearis : tidak dapat dievaluasi
- Trigeminus : membuka mulut (+)
- Abdusen : tidak dapat dievaluasi
- Facialis : senyum (+/+), menutup mata
sempurna (+/+)
- Vestibulococklearis : pendengaran (+/+)
- Glossofaringeus : tidak dapat
dievaluasi
- Vagus : tidak dapat dievaluasi
- Aksesorius : tidak dapat dievaluasi
 Hipoglosus : deviasi lidah (-)
 Motorik
- Ekstremitas superior tidak dapat
dievaluasi
- Ekstremitas inferior tidak dapat
dievaluasi
 Sensorik
- Wajah tidak dapat dievaluasi

22
- Ekstremitas superior tidak dapat
dievaluasi
- Ekstremitas inferior tidak dapat
dievaluasi

 Refleks Fisiologis
 Biceps (+ normal/+ normal)
 Triceps (+ normal/+ normal)
 Patella (+ normal/+ normal)
 Achilles (+ normal/+ normal)
 Refleks Patologis
 Hoffman (-/-)
 Tromner (-/-)
 Babinsky (-/-)
 Chaddock (-/-)
 Fungsi Otonom
 Miksi (normal)
 Defekasi (normal)
 Fungsi keseimbangan
- Romberg tidak dapat dievaluasi
- Pronasi-supinasi tidak dapat dievaluasi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan laboratorium terutama Hematologi
dilakukan untuk melihat keadaan  Leukosit 23.160/mm3
umum pasien dan kesiapannya untuk  Eritrosit 4.490.000/mm3
terapi yang akan dijalani (bedah,  Hemoglobin 13,4 g/dL
radiasi, ataupun kemoterapi).  Hematokrit 38,8%
 Pemeriksaan yang perlu dilakukan,  Trombosit 358.000/mm3
yaitu: darah lengkap, hemostasis,  MCV 86,5 fL
LDH, fungsi hati dan ginjal, gula  MCH 29,9 pg
 MCHC 34,6 g/dL

23
darah, serologi hepatitis B dan C, dan  GDS 159 mg/dL
elektrolit lengkap  Albumin 3,7 mg/dL
 Pemeriksaan radiologi standar adalah  SGOT 34 mg/dL
CT scan dan MRI dengan kontras.  SGPT 93 mg/dL
 CT scan berguna untuk melihat  Creatinin 0,6 mg/dL
adanya tumor pada langkah awal  Ureum 21,7 mg/dL
penegakkan diagnosis dan sangat  Natrium 140 mmol/L
baik untuk melihat kalsifikasi, lesi  Kalium 3,7 mmol/L
erosi/destruksi pada tulang  Chloride 107 mmol/L
tengkorak.
 APTT 19,4 detik
 MRI dapat melihat gambaran
 PT 8,8 detik
jaringan lunak dengan lebih jelas dan
 INR 0,81
sangat baik untuk tumor infratentorial

MRI Kepala dengan kontras


 MRI Kepala dengan kontras
 Parenkim cerebri : normal
 Ganglia basal, thalamus : normal
 Kapsula interna : normal
 Midbrain, pons, medulla : normal
 Ventrikel : melebar pada ventrikel
lateral D/S & ventrikel III, ventrikel IV
sempit
 Sulci dan sisterna basali : sempit
 Sinus-sinus vena dural : normal
 Arteri intracranial : normal
 Tulang : normal
 Midline shift (+) ke kanan
 Tampak masa ekstraaksial di fossa
cerebri posterior kiri, menempel pada
tentorium cerebelli kiridan lapisan
meningen cerebellum kiri. Massa

24
berbatas tegas, memberikan
enhancement nyata. Ukuran 4,85 x 4,22
x 4,44 cm
PENATALAKSANAAN
 Penurunan Tekanan Intrakranial  Injeksi Dexametason 5mg per 8 jam IV
 Pembedahan  Injeksi Omeprazole 40 mg per 12 jam IV
 Radioterapi  Parasetamol 3 x 500 mg PO
 Eksisi Biopsi

25
BAB 5
KESIMPULAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien wanita usia 31 tahun yang


didiagnosis dengan Space Occupying Lesion (SOL) berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang didapatkan, penegakkan diagnosis
dan penatalaksanaan telah sesuai dengan literatur yang mendukung pada kasus
tersebut.

26
DAFTAR PUSTAKA

Benson, V. S., Pirie, K., Green, J., Casabonne, D., & Beral, V. (2008). Lifestyle
factors and primary glioma and meningioma tumours in the Million Women
Study cohort. British Journal of Cancer, 99(1), 185 – 190.
Dewi, M., Loho, E., & Tubagus, V. N. (2016). Gambaran CT-scan neoplasma
intrakranial di Bagian/SMF Radiologi FK Unsrat RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado periode Oktober 2014-September 2015. Jurnal e-Clinic,
4(1), 164-169.
Goyani, B. R., Ukani, B. V., Naik, P., Bhagat, H., Vadel, M. K., & Sheth, R. (2015).
A Study On Role Of Magnetic Resonance Imaging (MRI) In Intracranial
Space Occupying Lesions. National Journal of Medical Research, 15(1),
18-21.
Karpagam, B., & Vadanika, V. (2015). Brain Space Occupying Lesions by
Magnetic Resonance Imaging: A Prospective Study. International Journal
of Scientific Study, 3(8), 123-127.
Kaye, A. H. (2005). Essential Neurosurgery (3 ed.). Oxford: Blackwell Publishing.
Komite Penanggulangan Kanker Nasional. (2017). Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) Penanganan Tumor Otak. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Partington, T., & Farmery, A. (2014). Intracranial pressure and cerebral blood flow.
Anaesthesia & Intensive Care Medicine, 15(4), 189–194.
Ropper, A. H., Samuels, M. A., & Klein, J. P. (2014). Adams and Victor's Principles
of Neurology (10 ed.). New York: McGraw-Hill Education.
Sajjad , A., Naroo, G. Y., Khan, Z., Ali, Z., Nasim, B., Sheikh, A., et al. (2018).
Space Occupying Lesions (SOL) of the Brain - Clinical Manifestation with
Subtle Neurological Symptoms in Emergency Department. Journal of
Advances in Medicine and Medical Research, 26(3), 1-8.
Simamora, S. K., & Zanariah, Z. (2017). Space Occupying Lesion (SOL). Jurnal
Medula Unila, 7(1), 68-73.

27
Soomro, B. A., Khalid, S., & Alvi, S. (2014). Analytic study of clinical presentation
of intracranial space-occupying lesions in adult patients. Pakistan Journal
of Neurological Sciences, 9(3), 1-7.
Townsend, C. M., Beauchamp, R. D., Evers, B. M., & Mattox, K. L. (2012).
Sabiston Textbook of Surgery : The Biological Basis of Modern Surgical
Practice (19 ed.). Philadelphia: Elsevier Saunders.
Wykes, V., & Vindlacheruvu, R. (2015). Intracranial pressure, cerebral blood flow
and brain oedema. Surgery (Oxford), 33(8), 355–362.
Yashodhara, P., & Reddy, A. T. (2015). Prospective Study of Intracranial Space
Occupying Lesions in Children in Correlation with C.T. Scan. International
Journal of Science and Research, 4(2), 1-8.

28

Anda mungkin juga menyukai