Anda di halaman 1dari 33

SMF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Tutorial

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

TYPHOID FEVER

Disusun Oleh:
Tiara Dwi Sari
1710029072

Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini., Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

TUTORIAL KLINIK

TYPHOID FEVER

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu


Kesehatan Anak

Oleh:
Tiara Dwi Sari NIM. 1710029072

Pembimbing:

dr. Hj. Sukartini, Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tutorial yang berjudul Typhoid Fever.
Tutorial ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik di bagian Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda.
Penulisan tutorial ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp.A selaku kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. dr. Wisnu Wardhana, Sp.A selaku kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
5. dr. Hj. Sukartini, Sp.A sebagai pembimbing dalam penyusunan tugas tutorial
klinik ini yang telah memberikan banyak waktu dan kesempatan untuk
memberikan bimbingan.
6. Kedua orang tua tercinta serta teman-teman dokter muda yang telah
mendukung, membantu, dan sudah berjuang bersama selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tutorial ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan tutorial ini, semoga tutorial ini dapat bermanfaat bagi banyak
pihak.
Samarinda, Juli 2018

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
BAB 2 LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien............................................................................... 3
2.2 Anamnesa........................................................................................ 3
2.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................... 5
2.4 Pemeriksan Penunjang ................................................................... 7
2.5 Diagnosis Kerja .............................................................................. 7
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi ........................................................................................... 10
3.2 Epidemiologi .................................................................................. 10
3.3 Etiologi ........................................................................................... 10
3.4 Patofisiologi ................................................................................... 11
3.6 Manifestasi Klinis .......................................................................... 14
3.7 Penegakan Diagnosis ..................................................................... 15
3.8 Penatalaksanaan ............................................................................. 19
BAB 4 PEMBAHASAN..................................................................................... 23
BAB 5 PENUTUP.............................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 27
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella enterica reservoar typhi, umumnya disebut Salmonella typhi (S.typhi).
Jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia diperkirakan terdapat 21 juta kasus
dengan 128.000 sampai 161.000 kematian setiap tahun, kasus terbanyak terdapat
di Asia Selatan dan Asia Tenggara (WHO, 2018).
Diperkirakan 17 juta kasus penyakit demam tifoid dan paratifoid terjadi
secara global pada tahun 2015 terutama di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan
Afrika sub-Sahara, dengan beban dan insiden terbesar yang terjadi di Asia
Selatan. Tanpa diobati, baik demam tifoid maupun paratifoid mungkin fatal
dengan 178.000 kematian diperkirakan di seluruh dunia pada tahun 2015. Demam
tifoid merupakan 10 besar penyakit terbanyak pada pasien rawat inap rumah sakit
di Indonesia dengan jumlah kasus tahun 2010 terdapat 41.801 kasus dengan CFR
0,67% dan tahun 2011 terdapat 55.098 kasus dengan CFR 2,06% (Kementerian
Kesehatan RI, 2012).

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan tugas ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca serta mendalami kasus yang ada di bagian Ilmu Kesehatan Anak
khususnya pada kasus Demam Typhoid pada anak.
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Identitas pasien
Nama : An. MAS
Usia : 7 Tahun 6 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 25 Kg
Tinggi Badan : 133 cm
Anak ke : Pertama dari dua bersaudara
Agama : Islam
Alamat : Jl. Bayur Pondok Labu No. 21, Samarinda
Identitas Orang Tua
Nama Ayah : Tn. S
Usia : 40 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Bayur Pondok Labu No. 21, Samarinda
Pendidikan terakhir : STM
Pernikahan ke : pertama

Nama Ibu : Ny. J


Usia : 34 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. Bayur Pondok Labu No. 21, Samarinda
Pendidikan terakhir : SMA
Pernikahan ke : pertama
MRS tanggal 10 Juli 2018, Pukul 20.50 WITA

2.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 11 Juli 2018, di ruang Melati.
Autoanamnesa oleh pasien dan heteroanamnesa oleh ibu kandung pasien.
Keluhan Utama
Demam

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dibawa ke IGD oleh orangtuanya karena demam. Demam
dirasakan sudah 7 hari SMRS (mulai selasa malam), demam biasanya pada
pagi hari menurun, kemudian soe sampai malam hari demam muncul lagi,
reda bila dikompres dan bila diberikan obat penurun panas, tetapi
keesokan harinya demam timbul lagi, serta suhunya lebih tinggi dari
sebelumnya. Saat demam pasien biasanya menggigil, pasien juga
mengeluhkan batuk pilek ± 1 minggu terakhir. Demam disertai keluhan
mual dan nyeri perut ulu hati sejak 3 hari SMRS, BAB cair (+), muntah
(-), mimisan (-), mengigau saat tidur (+), BAK normal, dan nafsu makan
menurun. Selain itu lidah pasien terlihat kotor ditutupi oleh selaput putih,
ujung dan tepi lidah kemerahan dan pasien juga mengeluhkan sariawan
pada bibirnya. Sebelum sakit, ibu pasien mengatakan anaknya sering
makan jajanan pentol di pinggir jalan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada riwayat penyakit terdahulu pada pasien

Riwayat Alergi
Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien. Riwayat penyakit keluarga HT (-), DM (-), Asma (-)

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir : 4000 gram
Panjang badan lahir : 52 cm
Berat badan sekarang : 25 kg
Tinggi badan sekarang: 133 cm
Gigi keluar : OT lupa
Tersenyum : OT lupa
Miring : OT lupa
Tengkurap : OT lupa
Duduk : OT lupa
Merangkak : OT lupa
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 13 bulan
Berbicara : OT lupa

Makan dan Minum Anak


ASI : ASI ekslusif hingga usia 6 bulan
Susu sapi : 7 bulan, namun masih diselingi ASI
Makanan lunak : Mulai usia 7 bulan
Makan padat dan lauknya : 11 bulan

Pemeriksaan Prenatal
Periksa di : Klinik bidan
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang sering diminum : Tidak ada

Riwayat Kelahiran
Lahir di : Klinik bidan
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan pervaginam

Keluarga Berencana
Keluarga Berencana : tidak ada
Jadwal Imunisasi
OT mengatakan anak divaksin rutin sesuai jadwal imunisasi
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster Booster
I II
BCG 1 bulan - - - - -
Polio 1 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -
Campak 9 bulan - - - - -
DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -

2.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 11 Juli 2018
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan : 25 Kg
Panjang Badan : 133 cm
Tanda Vital : Tekanan Darah 110/80 mmHg
Nadi 89 x/menit
Pernafasan 38 x/menit
Temperatur axila 37,8o C
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam, tebal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), edema palpebra
(-/-)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Lidah kotor berselaput putih ujung dan tepi lidah
kemerahan (+), Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-),
perdarahan (-), faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris,
retraksi supra sternum (-), retraksi
supraclavicula (-),
Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, Stridor (-), Ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung: Inspeksi :Ictus cordis tampak pada ICS 5
midclavicularis sinistra
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS 5
midclavicularis sinistra
Perkusi : Normal pada batas jantung
Auskultasi : S1S2 kesan normal
Abdomen
Inspeksi : Cembung, scar (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan epigastrium (+), organomegali (-), turgor
kembali cepat
Perkusi : Timpani, acites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)
Ekstremitas inferior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)

2.1 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium 10 Juli 2018
Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dilakukan didapat
Leukosit 4.290/mm3 6.000 – 17.000/ mm3
Hemoglobin 10.4 g/dl 14,0 – 18,0 g/dl
Hematokrit 29.4 % 34,0 – 40.0%
Trombosit 70.000 / mm3 150.000 – 450.000/ mm3
MCV 68.1 fl 81.0 – 99.0 %
MCH 24.0 pg 27.0 – 31.0 pg
MCHC 35.3 g/dl 33.0 – 37.0 g/dl
Eritrosit 4.31 ul 3.90 – 5.90 ul

3 Diagnosis Kerja (IGD)


Prolong Fever + Trombositopenia, Suspect Demam Typhoid

4 Penatalaksanaan IGD
1. IVFD D5 ½ NS 20 tpm
2. Ceftriaxone inj 2 x 625mg/IV bolus
3. Paracetamol syr 3 x Cth II
Planning : Cek DL

Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
11 Juli 2018 S: demam↑↓, nyeri perut ulu hati A : Obs. Febris, DD
(perawatan H-1) (+), BAB cair (+), mengigau (+), 1. Demam Typhoid
mual (-), nafsu makan↓, batuk 2. DHF
(+) Planning pemeriksaan:
O: KU sedang, kesadaran cm, - DL, UL
akral hangat, anemis (-/-), lidah - Salmonella Typhi IgM
kotor (+), sariawan - Dengue Test IgM, IgG
TD: 110/90, N: 68x/menit, RR: - Widal
20x/menit, T: 37.7 oC - Tubex
P : - IVFD RL
Lab (11/07/18) jam 08.14 1600cc/24jam
Hb: 10.9 g/dl - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
Ht: 30.8% - Paracetamol inf 3 x
Leukosit: 6.570/ mm3 250mg/IV
Trombosit: 70.000/ mm3 - Antasida 3 x ½tab PO
MCV: 79.9 fl - CTM 2,5mg dan
MCH: 26.6 pg Ambroxol 12,5mg (pulv
MCHC: 33.3 g/dl 3x1)
12 Juli 2018 S: demam↑↓, nyeri perut ulu hati A : Demam Typhoid
(perawatan H-2) (+), mengigau (+), mual (-), - ISPA
nafsu makan↓, batuk (+) P : - IVFD RL
O: KU sedang, kesadaran cm, 1600cc/24jam
akral hangat, anemis (-/-), lidah - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
kotor (+), sariawan - Paracetamol inf 3 x
TD: 110/90, N: 70x/menit, RR: 250mg/IV
21x/menit, T: 37.8 oC - Ranitidin 2 x 50mg
- CTM 2,5mg dan
Lab (12/07/18) Ambroxol 12,5mg (pulv
Hb: 10.4 g/dl 3x1)
Ht: 29%
Leukosit: 6.200/ mm3
Trombosit: 117.000/ mm3
- Pemriksaan Urine Lengkap
DBN

Lab (12/07/18)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
IMUNO- SEROLOGI
Salmonella typhi – O (+) 1/320 Negatif
Salmonella typhi – H (+) 1/320 Negatif
Salmonella paratyphi A – O (+) 1/160 Negatif
Salmonella paratyphi A – H (+) 1/80 Negatif
Salmonella paratyphi B – O (+) 1/80 Negatif
Salmonella paratyphi B – H (+) 1/160 Negatif
Salmonella paratyphi C – O (+) 1/80 Negatif
Salmonella paratyphi C – H (+) 1/80 Negatif

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


IMUNO- SEROLOGI
Dengue Ig G Negatif Negatif
Dengue Ig M Negatif Negatif
Salmonella typhi Ig G Negatif Negatif
Salmonella typhi Ig M Positif Negatif
Tubex ( + ) Skala 6 0-2

Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
13 Juli 2018 S: demam↑↓, mengigau (+), A : Demam Typhoid
(perawatan H-3) mual (-), nafsu makan↓, batuk - ISPA
(+)
O: KU sedang, kesadaran cm, P : - IVFD NS
akral hangat, anemis (-/-), lidah 1600cc/24jam
kotor (+), sariawan - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
TD: 110/90, N: 71x/menit, RR: - Paracetamol inf 3 x
23x/menit, T: 37.8 oC 250mg/IV
- Ranitidin 2 x 50mg
Lab (13/07/18) - CTM 2,5mg dan
Hb: 9.6 g/dl Ambroxol 12,5mg (pulv
Ht: 26% 3x1)
Leukosit: 4.900/ mm3
Trombosit: 118.000/ mm3
14 Juli 2018 S: demam↑↓, mual (-), nafsu A : Demam Typhoid
(perawatan H-4) makan minum (+), batuk (+) - ISPA
O: KU sedang, kesadaran cm,
akral hangat, anemis (-/-), P : - IVFD RL
sariawan 1600cc/24jam
TD: 120/80, N: 70x/menit, RR: - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
21x/menit, T: 36.6 oC - Paracetamol inf 3 x
250mg/IV
- Ranitidin 2 x 50mg
Lab (14/07/18) - CTM 2,5mg dan
Hb: 10.6 g/dl Ambroxol 12,5mg (pulv
Ht: 28.3% 3x1)
Leukosit: 5.370/ mm3
Trombosit: 113.000/ mm3
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi dan Etiologi


Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus dengan
gejala demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan pencernaan dan
dapat menurunkan tingkat kesadaran. Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi
sistemik yang bersifat akut. Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhi. Gejala
klinis dari demam tifoid yaitu demam berkepanjangan, bakterimia, serta invasi
bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel-sel fagosit mononuklear dari hati,
limpa, kelenjar limfe, usus dan peyer’s patch (Martha, 2019).
3 Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri
Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora
fakultatif anaerob. (Soedarmo, Sumarmo S., et al, 2010).
Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1) Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2) Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3) Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin
(Parry M, Hien TT., et al 2013).

2.1 Mikroskopik Salmonella Typhi


2.3 Epidemiologi
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang
menjadi masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di
negara-negara subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di
negara berkembang. WHO mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus
demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai
600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara
Asia (WHO, 2010).
Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian
demam tifoid di Indonesia pada tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per
10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia tahun 1981
sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar
35,8%, yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus (DEPKES, 2015). WHO
mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid.
Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya. Berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional
adalah 1,6% (Septiawan IK, Herawati S,. et al 2013).

2.4 Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang
mengikuti ingesti organism, yaitu:
1) Penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch,
2) Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer
Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal
sistem retikuloendotelial
3) Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah,
4) Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta
usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di
lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam
usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui,
jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal
berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada
lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan
obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor (Richard
E, Robert M., et al, 2013)..
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik
maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel
khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman
ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika
(Richard E, Robert M., et al, 2013)..
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini
kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik
yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan
gejala infeksi sistemik (Richard E, Robert M., et al, 2013)..
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk
lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi
yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi,
sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak
gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang
terjadi dalam 3 hari berturut- turut (Richard E, Robert M., et al, 2013)..
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus (Richard E, Robert M., et al, 2013)..
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan
organ lainnya. Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas,
hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella
typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis
seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi
sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis (Richard E, Robert M., et al, 2013).
2.2 Patogenesis typhoid fever

2.4 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang
pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti
pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi. Masa inkubasi rata-rata
bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3 hari dan
terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi
dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status
imunologis penderita (Richard E, Robert M., et al, 2013).
Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis
besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
 Demam satu minggu atau lebih.
 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah,
diare, batuk, konstipasi. Pada penderita bayi mempunyai pola demam yang
tidak beraturan, sedangkan pada anak seringkali disertai menggigil. Pada
pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah
minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin
disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat (Richard E, Robert
M., et al, 2013)..
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1,5 mm, seringkali dijumpai pada daerah abdomen, thoraks
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan
pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama
2-3 hari (Soedarmo,2010).

2.5 Penegakan Diagnosis


Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai
sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom
normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau
perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia
disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah.
Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis,
terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun,
gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat
shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali
menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus. Gambaran sumsum tulang menunjukkan
normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit
dalam batas normal (Prasetyo, 2012).
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang
diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke
dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai
nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada
deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen,
jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen
tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut
dalam perjalanan penyakit) (Prasetyo, 2012).

3. UJI WIDAL
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun
1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum
penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen
dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
a. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H (flagel kuman)
c. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin
besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi
O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang
yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun.
Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita
sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat.
Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi,
tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan
waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil
tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif
tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O
aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4
kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak
dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi
aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya
sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti
biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.

 Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu


1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
(Prasetyo, 2012).

4. TES TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas
ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar
spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa
tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada
uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.
Ada 4 interpretasi hasil :
 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:


 Immunodominan yang kuat
 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen
Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat
kuat terhadap sel B.
 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T
sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat
dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor
yang lain.
 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :


 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat (Prasetyo, 2012).

5. PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.
typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung
antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan
dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium
yang lengkap. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di
tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas (Richard E, Robert M., et al, 2000).

6. METODE enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi.
Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi
dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.
Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.

2.6 Penatalaksanaan
Perawatan umum dan nutrisi
A. Tirah baring
Penderitayang dirawat harus tirah baring untuk mencegah komplikasi,
terutama perdarahan dan perforasi.
B. Nutrisi
a. Cairan
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi dan penurunan kesadaran dan pada pasien yang
sulit makan.
b. Diet
Diet haru mengandung kalori dan protein yang cukup.
Sebaiknya yang rendah serat (rendah selulose) untuk
menghindari perdarahan dan perforasi.
c. Terapi Simptomatik
Terapi simptomatik dapat diberikan pada pasien dengan
pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita
- Vitamin
- Antipiretik
- Anti emetik
C. Kontrol dan monitor dalam perawatan
a. Suhu tubuh
b. Keseimbangan cairan
c. Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi
d. Adanya koinfeksi dan atau komorbid dengan penyakit lain
e. Efek samping dan atau efek toksik obat
f. Resistensi anti mikroba
g. Kemajuan pengobatan secara umum

Antibiotik

Antibiotik
- Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral dan IV, dibagi
dalam 4 dosis selama 10-14 hari
- Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, selama 10 hari
- Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari
- Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, IV atau IM , selama 5 hari
- Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari
- Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran
Deksametason 1-3 mg/kgbb/hari IV, dibagi 3 dosis hingga kesadaran
membaik.

Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus

Tabel 2.2 Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid Tahun 2010


( KONSENSUS KONAS PETRI - BALI )
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis
Pasien dibawa ke Poli anak karena demam, hari ke 7 (mulai selasa malam),
demam biasanya pada pagi hari menurun, kemudian sore sampai malam hari
demam muncul lagi, reda bila dikompres dan bila diberikan obat penurun panas,
tetapi keesokan harinya demam timbul lagi, serta suhunya lebih tinggi dari
sebelumnya. Saat demam pasien biasanya menggigil, batuk-pilek (+). Demam
disertai keluhan mual dan nyeri perut ulu hati sejak 3 hari SMRS, BAB cair (+),
muntah (-), mimisan (-), mengigau saat tidur (+), BAK normal, dan nafsu makan
menurun.

Teori Kasus
- Demam hari ke-7, demam
- Demam yang terjadi pada penderita anak tidak
muncul saat sore hari
selalu tipikal seperti pada orang dewasa, kadang-
- Sebelum demam pasien
kadang mempunyai gambaran klasik berupa
menggigil, saat tidur mengigau
stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan
(+)
remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat
- Mual (+), nyeri perut (+)
ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
- keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala,
anoreksia, mual, muntah, diare, batuk, konstipasi.
Pada penderita bayi mempunyai pola demam yang
tidak beraturan, sedangkan pada anak seringkali
disertai menggigil. Pada pemeriksaan fisik, hanya
didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah
minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin
jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid,
pembesaran hati dan limpa, perut kembung
mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang
ringan sampai berat.
4.2 Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
- Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan  Lidah kotor berselaput
demam tifoid antara lain adalah pembesaran putih ujung dan tepi lidah
beberapa organ yang disertai dengan nyeri kemerahan (+)
perabaan, antara lain hepatomegali dan  Hepatomegali (-),
splenomegali. splenomegaly (-)
- Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah  Nyeri tekan pada perut (+)
panas meningkat dengan tanda-tanda antara lain,  Kesadaran : composmentis
lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di
bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian
ujung dan tepi lebih kemerahan.

4.3 Pemeriksaan Penunjang


Teori Kasus

Darah tepi Darah Lengkap:


Hb : 10.4 g/dl
-Pada penderita demam tifoid didapatkan anemia
Hct: 29.4 %
ringan sampai sedang
Leukosit : 4.290 /ul
-Terdapat gambaran leukopeni, tetapi bisa juga Trombosit: 70.000/ul
normal atau meningkat. MCV: 68.1 fl
MCH: 24.0 pg
-Kadang-kadang didapatkan trombositopeni
MCHC: 35.3 g/dl
-Leukopeni polimorfonuklear dengan limfositosis
yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, Pemeriksaan Widal:
menunjukkan arah diagnosis demam tifoid Salmonella typhi-O (+) 1/320
menjadi jelas. Salmonella typhi-H (+) 1/320
Salmonella paratyphi A-O (+)
2. Uji serologis widal
1/160
- Uji ini merupakan suatu metode serologik yang Salmonella paratyphi A-H (+)
memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen 1/80
Salmonella paratyphi B-O (+)
somatik (O).
1/80
- Titer yang bernilai > 1/200 dan atau Salmonella paratyphi B-H (+)
menunjukkan kenaikan 4 kali, maka diagnosis 1/160
demam tifoid dapat ditegakkan.Titer tersebut Salmonella paratyphi C-O (+)
mencapai puncaknya bersamaan dengan 1/80
penyembuhan penderita. Salmonella paratyphi C-H (+)

-Uji serologis ini mempunyai berbagai kelemahan 1/80

baik sensitivitas maupun spesifisitasnya yang


rendah dan intepretasi yang sulit dilakukan. Salmonella typhi IgM (+)

Namun, hasil uji widal yang positif akan Tubex (+) skala 6

memperkuat dugaan pada penderita demam


tifoid.

- Tes tubex
Ada 4 interpretasi hasil :
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat
infeksi demam tifoid

4.5 Penatalaksanaan

Teori Kasus

Antibiotik
- Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 - IVFD NS 1600cc / 24 jam
mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
dosis selama 10-14 hari - Paracetamol inf 3 x
- Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau 250mg/IV
intravena, selama 10 hari
- Ranitidin 2 x 50mg
- Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10
- CTM 2,5mg
hari
- Ambroxol 12,5mg (pulv
- Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena atau
3x1)
intramuskular, sekali sehari, selama 5 hari
- Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam
2 dosis, selama 10 hari
- Kortikosteroid diberikan pada kasus berat
dengan gangguan kesadaran
Deksametason1-3mg/kgbb/hari intravena,
dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik
BAB 4
KESIMPULAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien laki-laki usia 7 tahun yang


didiagnosis dengan Demam Typhoid, dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang didapatkan penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan
yang telah dilakukan sebagian besar sesuai dengan literatur yang mendukung pada
kasus tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ardiria, Martha. Epidemiologi, Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan


Demam Tifoid. Journal of Nutrition and Health 7:2; 2019
2. Kementerian Kesehatan RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
3. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2015. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia;
2015.
4. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2010. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang
_Perlu_Diketahui.html.
5. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta:
EGC ; 2013.
6. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. Examination of The
Immunoglobulin M Anti Salmonella in Diagnosis of Typhoid Fever. E-
Jurnal Medika Udayana 2.6; 2013: 1080-1090. http://ojs.unud.ac.id
/index.php/eum/article/view/5626.
7. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2010. h. 338-45.
8. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid
Fever. New England Journal of Medicine. 2013; 347:1770-1782.
http://www.nejm.org/doi/ full/10.1056/NEJMra020201.
9. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid
pada anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2012. h. 1-10.
10. [WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention
of typhoid fever. World Health Organization; 2010: 17-18.
11. WHO. 2018. Weekly Epidemiological Record. Geneva: WHO

Anda mungkin juga menyukai