Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
TYPHOID FEVER
Disusun Oleh:
Tiara Dwi Sari
1710029072
Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini., Sp.A
TUTORIAL KLINIK
TYPHOID FEVER
Oleh:
Tiara Dwi Sari NIM. 1710029072
Pembimbing:
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tutorial yang berjudul Typhoid Fever.
Tutorial ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik di bagian Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda.
Penulisan tutorial ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp.A selaku kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. dr. Wisnu Wardhana, Sp.A selaku kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
5. dr. Hj. Sukartini, Sp.A sebagai pembimbing dalam penyusunan tugas tutorial
klinik ini yang telah memberikan banyak waktu dan kesempatan untuk
memberikan bimbingan.
6. Kedua orang tua tercinta serta teman-teman dokter muda yang telah
mendukung, membantu, dan sudah berjuang bersama selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tutorial ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan tutorial ini, semoga tutorial ini dapat bermanfaat bagi banyak
pihak.
Samarinda, Juli 2018
Penulis
DAFTAR ISI
2.1 Identitas
Identitas pasien
Nama : An. MAS
Usia : 7 Tahun 6 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 25 Kg
Tinggi Badan : 133 cm
Anak ke : Pertama dari dua bersaudara
Agama : Islam
Alamat : Jl. Bayur Pondok Labu No. 21, Samarinda
Identitas Orang Tua
Nama Ayah : Tn. S
Usia : 40 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Bayur Pondok Labu No. 21, Samarinda
Pendidikan terakhir : STM
Pernikahan ke : pertama
2.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 11 Juli 2018, di ruang Melati.
Autoanamnesa oleh pasien dan heteroanamnesa oleh ibu kandung pasien.
Keluhan Utama
Demam
Riwayat Alergi
Riwayat alergi (-)
Pemeriksaan Prenatal
Periksa di : Klinik bidan
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang sering diminum : Tidak ada
Riwayat Kelahiran
Lahir di : Klinik bidan
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan pervaginam
Keluarga Berencana
Keluarga Berencana : tidak ada
Jadwal Imunisasi
OT mengatakan anak divaksin rutin sesuai jadwal imunisasi
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster Booster
I II
BCG 1 bulan - - - - -
Polio 1 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -
Campak 9 bulan - - - - -
DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -
4 Penatalaksanaan IGD
1. IVFD D5 ½ NS 20 tpm
2. Ceftriaxone inj 2 x 625mg/IV bolus
3. Paracetamol syr 3 x Cth II
Planning : Cek DL
Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
11 Juli 2018 S: demam↑↓, nyeri perut ulu hati A : Obs. Febris, DD
(perawatan H-1) (+), BAB cair (+), mengigau (+), 1. Demam Typhoid
mual (-), nafsu makan↓, batuk 2. DHF
(+) Planning pemeriksaan:
O: KU sedang, kesadaran cm, - DL, UL
akral hangat, anemis (-/-), lidah - Salmonella Typhi IgM
kotor (+), sariawan - Dengue Test IgM, IgG
TD: 110/90, N: 68x/menit, RR: - Widal
20x/menit, T: 37.7 oC - Tubex
P : - IVFD RL
Lab (11/07/18) jam 08.14 1600cc/24jam
Hb: 10.9 g/dl - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
Ht: 30.8% - Paracetamol inf 3 x
Leukosit: 6.570/ mm3 250mg/IV
Trombosit: 70.000/ mm3 - Antasida 3 x ½tab PO
MCV: 79.9 fl - CTM 2,5mg dan
MCH: 26.6 pg Ambroxol 12,5mg (pulv
MCHC: 33.3 g/dl 3x1)
12 Juli 2018 S: demam↑↓, nyeri perut ulu hati A : Demam Typhoid
(perawatan H-2) (+), mengigau (+), mual (-), - ISPA
nafsu makan↓, batuk (+) P : - IVFD RL
O: KU sedang, kesadaran cm, 1600cc/24jam
akral hangat, anemis (-/-), lidah - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
kotor (+), sariawan - Paracetamol inf 3 x
TD: 110/90, N: 70x/menit, RR: 250mg/IV
21x/menit, T: 37.8 oC - Ranitidin 2 x 50mg
- CTM 2,5mg dan
Lab (12/07/18) Ambroxol 12,5mg (pulv
Hb: 10.4 g/dl 3x1)
Ht: 29%
Leukosit: 6.200/ mm3
Trombosit: 117.000/ mm3
- Pemriksaan Urine Lengkap
DBN
Lab (12/07/18)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
IMUNO- SEROLOGI
Salmonella typhi – O (+) 1/320 Negatif
Salmonella typhi – H (+) 1/320 Negatif
Salmonella paratyphi A – O (+) 1/160 Negatif
Salmonella paratyphi A – H (+) 1/80 Negatif
Salmonella paratyphi B – O (+) 1/80 Negatif
Salmonella paratyphi B – H (+) 1/160 Negatif
Salmonella paratyphi C – O (+) 1/80 Negatif
Salmonella paratyphi C – H (+) 1/80 Negatif
Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
13 Juli 2018 S: demam↑↓, mengigau (+), A : Demam Typhoid
(perawatan H-3) mual (-), nafsu makan↓, batuk - ISPA
(+)
O: KU sedang, kesadaran cm, P : - IVFD NS
akral hangat, anemis (-/-), lidah 1600cc/24jam
kotor (+), sariawan - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
TD: 110/90, N: 71x/menit, RR: - Paracetamol inf 3 x
23x/menit, T: 37.8 oC 250mg/IV
- Ranitidin 2 x 50mg
Lab (13/07/18) - CTM 2,5mg dan
Hb: 9.6 g/dl Ambroxol 12,5mg (pulv
Ht: 26% 3x1)
Leukosit: 4.900/ mm3
Trombosit: 118.000/ mm3
14 Juli 2018 S: demam↑↓, mual (-), nafsu A : Demam Typhoid
(perawatan H-4) makan minum (+), batuk (+) - ISPA
O: KU sedang, kesadaran cm,
akral hangat, anemis (-/-), P : - IVFD RL
sariawan 1600cc/24jam
TD: 120/80, N: 70x/menit, RR: - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
21x/menit, T: 36.6 oC - Paracetamol inf 3 x
250mg/IV
- Ranitidin 2 x 50mg
Lab (14/07/18) - CTM 2,5mg dan
Hb: 10.6 g/dl Ambroxol 12,5mg (pulv
Ht: 28.3% 3x1)
Leukosit: 5.370/ mm3
Trombosit: 113.000/ mm3
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
2.4 Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang
mengikuti ingesti organism, yaitu:
1) Penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch,
2) Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer
Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal
sistem retikuloendotelial
3) Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah,
4) Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta
usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di
lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam
usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui,
jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal
berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada
lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan
obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor (Richard
E, Robert M., et al, 2013)..
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik
maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel
khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman
ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika
(Richard E, Robert M., et al, 2013)..
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini
kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik
yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan
gejala infeksi sistemik (Richard E, Robert M., et al, 2013)..
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk
lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi
yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi,
sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak
gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang
terjadi dalam 3 hari berturut- turut (Richard E, Robert M., et al, 2013)..
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus (Richard E, Robert M., et al, 2013)..
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan
organ lainnya. Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas,
hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella
typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis
seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi
sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis (Richard E, Robert M., et al, 2013).
2.2 Patogenesis typhoid fever
3. UJI WIDAL
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun
1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum
penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen
dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
a. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H (flagel kuman)
c. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin
besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi
O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang
yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun.
Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita
sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat.
Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi,
tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan
waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil
tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif
tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O
aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4
kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak
dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi
aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya
sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti
biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
4. TES TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas
ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar
spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa
tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada
uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
5. PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.
typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung
antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan
dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium
yang lengkap. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di
tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas (Richard E, Robert M., et al, 2000).
2.6 Penatalaksanaan
Perawatan umum dan nutrisi
A. Tirah baring
Penderitayang dirawat harus tirah baring untuk mencegah komplikasi,
terutama perdarahan dan perforasi.
B. Nutrisi
a. Cairan
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi dan penurunan kesadaran dan pada pasien yang
sulit makan.
b. Diet
Diet haru mengandung kalori dan protein yang cukup.
Sebaiknya yang rendah serat (rendah selulose) untuk
menghindari perdarahan dan perforasi.
c. Terapi Simptomatik
Terapi simptomatik dapat diberikan pada pasien dengan
pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita
- Vitamin
- Antipiretik
- Anti emetik
C. Kontrol dan monitor dalam perawatan
a. Suhu tubuh
b. Keseimbangan cairan
c. Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi
d. Adanya koinfeksi dan atau komorbid dengan penyakit lain
e. Efek samping dan atau efek toksik obat
f. Resistensi anti mikroba
g. Kemajuan pengobatan secara umum
Antibiotik
Antibiotik
- Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral dan IV, dibagi
dalam 4 dosis selama 10-14 hari
- Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, selama 10 hari
- Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari
- Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, IV atau IM , selama 5 hari
- Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari
- Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran
Deksametason 1-3 mg/kgbb/hari IV, dibagi 3 dosis hingga kesadaran
membaik.
Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus
4.1 Anamnesis
Pasien dibawa ke Poli anak karena demam, hari ke 7 (mulai selasa malam),
demam biasanya pada pagi hari menurun, kemudian sore sampai malam hari
demam muncul lagi, reda bila dikompres dan bila diberikan obat penurun panas,
tetapi keesokan harinya demam timbul lagi, serta suhunya lebih tinggi dari
sebelumnya. Saat demam pasien biasanya menggigil, batuk-pilek (+). Demam
disertai keluhan mual dan nyeri perut ulu hati sejak 3 hari SMRS, BAB cair (+),
muntah (-), mimisan (-), mengigau saat tidur (+), BAK normal, dan nafsu makan
menurun.
Teori Kasus
- Demam hari ke-7, demam
- Demam yang terjadi pada penderita anak tidak
muncul saat sore hari
selalu tipikal seperti pada orang dewasa, kadang-
- Sebelum demam pasien
kadang mempunyai gambaran klasik berupa
menggigil, saat tidur mengigau
stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan
(+)
remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat
- Mual (+), nyeri perut (+)
ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
- keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala,
anoreksia, mual, muntah, diare, batuk, konstipasi.
Pada penderita bayi mempunyai pola demam yang
tidak beraturan, sedangkan pada anak seringkali
disertai menggigil. Pada pemeriksaan fisik, hanya
didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah
minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin
jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid,
pembesaran hati dan limpa, perut kembung
mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang
ringan sampai berat.
4.2 Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
- Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan Lidah kotor berselaput
demam tifoid antara lain adalah pembesaran putih ujung dan tepi lidah
beberapa organ yang disertai dengan nyeri kemerahan (+)
perabaan, antara lain hepatomegali dan Hepatomegali (-),
splenomegali. splenomegaly (-)
- Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah Nyeri tekan pada perut (+)
panas meningkat dengan tanda-tanda antara lain, Kesadaran : composmentis
lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di
bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian
ujung dan tepi lebih kemerahan.
Namun, hasil uji widal yang positif akan Tubex (+) skala 6
- Tes tubex
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat
infeksi demam tifoid
4.5 Penatalaksanaan
Teori Kasus
Antibiotik
- Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 - IVFD NS 1600cc / 24 jam
mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
dosis selama 10-14 hari - Paracetamol inf 3 x
- Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau 250mg/IV
intravena, selama 10 hari
- Ranitidin 2 x 50mg
- Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10
- CTM 2,5mg
hari
- Ambroxol 12,5mg (pulv
- Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena atau
3x1)
intramuskular, sekali sehari, selama 5 hari
- Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam
2 dosis, selama 10 hari
- Kortikosteroid diberikan pada kasus berat
dengan gangguan kesadaran
Deksametason1-3mg/kgbb/hari intravena,
dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik
BAB 4
KESIMPULAN