Anda di halaman 1dari 33

SMF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Tutorial

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

LIMFADENITIS TUBERKULOSIS

Disusun Oleh:
Anna Fitriyana
1710029070

Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini., Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

TUTORIAL KLINIK

LIMFADENITIS TUBERKULOSIS

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu


Kesehatan Anak

Oleh:
Anna Fitriyana NIM. 1710029070

Pembimbing:

dr. Hj. Sukartini, Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tutorial yang berjudul Limfadenitis
Tuberkulosis. Tutorial ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di bagian Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda.
Penulisan tutorial ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp.A selaku kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. dr. William S. Tjeng, Sp.Aselaku kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
5. dr. Hj. Sukartini, Sp.A sebagai pembimbing dalam penyusunan tugas tutorial
klinik ini yang telah memberikan banyak waktu dan kesempatan untuk
memberikan bimbingan.
6. Kedua orang tua tercinta serta teman-teman dokter muda yang telah
mendukung, membantu, dan sudah berjuang bersama selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tutorial ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan tutorial ini, semoga tutorial ini dapat bermanfaat bagi banyak
pihak.
Samarinda, Juli 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
BAB 2 LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien............................................................................... 3
2.2 Anamnesa........................................................................................ 3
2.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................... 5
2.4 Pemeriksan Penunjang ................................................................... 7
2.5 Diagnosis Kerja .............................................................................. 7
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi ........................................................................................... 10
3.2 Epidemiologi .................................................................................. 10
3.3 Etiologi ........................................................................................... 10
3.4 Patofisiologi ................................................................................... 11
3.5 Penularan TB ................................................................................. 13
3.6 Manifestasi Klinis .......................................................................... 14
3.7 Penegakan Diagnosis ..................................................................... 15
3.8 Penatalaksanaan ............................................................................. 19
BAB 4 PEMBAHASAN..................................................................................... 23
BAB 5 PENUTUP.............................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 27

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Selama beberapa abad tuberkulosis merupakan salah satu penyakit terparah
pada manusia. Dari semua penyakit infeksi, tuberkulosis masih merupakan
penyebab kematian tersering. WHO memprediksikan insidensi penyakit
tuberkulosis ini akan terus meningkat, dimana akan terdapat 12 juta kasus baru
dan 3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis setiap tahun (Ioachim, 2009).
Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan insidensi TB
tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4 juta), Cina (1,1-1,5
juta), Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-0,55 juta) (WHO, 2013).
Tuberkulosis pada anak adalah komponen penting dalam pengendalian TB
karena jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh
populasi dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB tiap tahun
(Kemenkes, 2016). Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di
tubuh. Meskipun TB pulmoner adalah yang paling banyak, TB
ekstrapulmoner juga merupakan salah satu masalah klinis yang penting. Istilah
TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain pada paru-
paru. Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari
semua kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB
merupakan bentuk terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner).
Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah lebih dari
50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu 35% dari TB
ekstrapulmoner (Sharma, 2011).
Salah satu permasalahan TB anak di Indonesia adalah penegakan diagnosis.
Sejak tahun 2005 sistem skoring TB anak disosialisasikan dan direkomendasikan
sebagai pendekatan diagnosis, namun tidak semua fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes) di Indonesia memiliki fasilitas uji tuberculin dan pemeriksaan foto
toraks, akibatnya dengan keterbatasan tersebut banyak dijumpai underdiagnosis
TB anak. Selain itu permasalahan yang lain juga karena semakin meningkatnya

1
jumlah kasus TB resisten obat (TB RO) pada dewasa yang bisa menjadi sumber
penularan bagi anak (Kemenkes, 2016).

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan tugas ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca serta mendalami kasus yang ada di bagian Ilmu Kesehatan Anak
khususnya pada kasus Limfadenitis TB pada anak.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien


Nama : An. A.Z.N.
Usia : 7 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 17 Kg
Tinggi Badan : 123 cm
Agama : Islam
Alamat : Samarinda
MRS tanggal 30 Juni 2018

2.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 2 Juli 2018, di ruang Melati.
Autoanamnesa oleh pasien dan heteroanamnesa oleh ibu kandung pasien.

2.2.1 Keluhan Utama


Bengkak di kaki kiri

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD dengan keluhan bengkak di kaki kirinya.
Keluhan dirasakan sejak seminggu sebelum masuk rumah sakit. Orang tua
pasien mengatakan bahwa anaknya mengeluhkan sakit pada kaki kirinya
saat turun dari bis di Balikpapan. Pasien mengatakan ada serangga yang
menggigit kakinya, seperti lebah. Awalnya bengkak berukuran kecil,
berwarna merah dan terasa nyeri. Keluhan dirasakan kian memberat.
Sempat dibawa berobat dan diberi salep. Bengkak kemudian semakin
membesar dan semakin nyeri. Pasien juga mengalami demam. Bersamaan
dengan membesarnya bengkak di kaki, leher kiri pasien juga muncul
benjolan yang kian membesar setiap harinya, benjolan dirasakan tidak
sakit, konsistensi kenyal, ukuran ± 4cm. Tiga hari sebelum masuk rumah

3
sakit, pasien mengalami batuk-batuk. Keluhan batuk sudah lama muncul,
namun sesekali. Pasien pada malam hari sering berkeringat. Tidak ada
perubahan berat badan pasien, nafsu makan baik.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada riwayat penyakit terdahulu pada pasien

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama
dengan pasien. Nenek pasien memiliki riwayat diabetes mellitus. Tidak
diketahui riwayat penyakit seperti jantung, ginjal, hipertensi, diabetes
mellitus, dan TB di anggota keluarga lain.

2.2.5 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir : 3400 gr
Panjang badan lahir : 50 cm
Berat badan sekarang : 17 kg
Tinggi badan sekarang: 123 cm
Gigi keluar : OT lupa
Tersenyum : OT lupa
Miring : OT lupa
Tengkurap : OT lupa
Duduk : OT lupa
Merangkak : OT lupa
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : OT lupa
Berbicara : OT lupa
2.2.6 Makan dan Minum Anak
ASI : lahir – 6 bulan
Susu sapi : mulai 6 bulan
Makanan lunak : mulai 8 bulan
Makan padat dan lauknya : mulai 1 tahun

4
2.2.7 Pemeriksaan Prenatal
Periksa di : Klinik bidan
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang sering diminum : Tidak ada

2.2.8 Riwayat Kelahiran


Lahir di : Klinik bidan
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan pervaginam

2.2.9 Keluarga Berencana


Keluarga Berencana : Tidak ada

2.2.10 Jadwal Imunisasi

Imunisasi Usia saat imunisasi


I II III IV Booster Booster
I II
BCG 1 bulan - - - - -
Polio 1 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -
Campak 9 bulan - - - - -
DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -

2.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 2 Juli 2018
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan : 17 Kg
Panjang Badan : 123 cm
Tanda Vital : Tekanan Darah 90/60 mmHg
Nadi 93 x/menit
Pernafasan 28 x/menit
Temperatur 37,2o C

5
Status Gizi : BB/U : 17/23 x 100% = 73,91%
TB/U : 123/123 x 100% = 100%
BB/TB : 17/23 x 100% = 73,91%

Kepala/leher
Rambut : Warna hitam
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), edema palpebra
(-/-)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-), perdarahan (-),
faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-/+), diameter 4 cm

Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris,
retraksi supra sternum (-), retraksi
supraclavicula (-),
Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing(-/-),
stridor (-)
Jantung: Inspeksi :Ictus cordis tidak tampak
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS 5
midclavicularis sinistra
Perkusi : Normal pada batas jantung
Auskultasi : S1S2 kesan normal, suara tambahan (-)

Abdomen
Inspeksi : Normal
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (+), organomegali (-), turgor kembali cepat
Perkusi : Timpani, acites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)
Ekstremitas inferior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-), luka (-/+) post
debridement

2.4 Pemeriksaan Penunjang

6
Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium 12 Juni 2018
Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dilakukan didapat
Leukosit 17.750/mm3 4.500 – 14.500/ mm3
Eritrosit 4.380.000/mm3 4.000.000 – 5.200.000/mm3
Hemoglobin 11,0 g/dl 12,0 – 16,0 g/dl
Hematokrit 32,4 % 35,0 – 45.0%
Trombosit 377.000 / mm3 150.000 – 450.000/ mm3
MCV 74.0 fL 81.0 – 99.0 Fl
MCH 25.2 pg 27.0 – 31.0 pg
MCHC 34.0 g/dL 33.0 – 37.0 g/dL
Bleeding Time 3 menit 1 – 6 menit
Clothing Time 9 menit 1 – 15 menit
Glukosa Sewaktu 116mg/dL 70 – 140 mg/dL
Natrium 139 mmol/L 135 – 155 mmol/L
Kalium 4,0 mmol/L 3,6 – 5,5 mmol/L
Chloride 95 mmol/L 98 – 108 mmol/L
Ab HIV Non Reaktif
HBsAg Non Reaktif

Pemeriksaan Patologi
Makroskopis : FNAB tu. colli sinistra diameter 4 cm kenyal, aspirat : pus
Mikroskopis : Sediaan apusan terdiri dari sel radang PMN neutrophil dan
limfosit dan histiosit epiteloid latar belakang nekrosis serta eritrosit
Kesimpulan : Tu. colli sinistra, FNAB : Radang granulomatous supurativa
( TB dengan infeksi sekunder)

Kuman Hasil Kultur Pus : Staphylococcus aureus

2.5 Diagnosis Kerja


Abses Regio Cruris + Limfadenitis TB

7
Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
2 Juli 2018 S: Nyeri di kaki kiri A : Abses Regio Cruris susp.
(perawatan H-3)
Limfadenopati
O: KU sedang, kesadaran cm,
ada benjolan di leher kiri
±4x4cm, kenyal, tidak nyeri P : - Ceftriaxone 2x750 mg
TD 90/60 mmHg, Nadi 93x/I, IV
RR 27 x/i, Suhu 37.2oC SpO2 - Paracetamol 3x100 mg
98% - Cek FNAB

3 Juli 2018 S: Nyeri di kaki kiri, ada A : Abses Regio Cruris +


(perawatan H-4) benjolan di leher kiri
Limfadenitis TB
O: KU sedang, kesadaran cm,
TD 90/60 mmHg, Nadi 98x/I, P : - Paracetamol 3x100 mg
RR 28 x/i, Suhu 36.5oC SpO2 - Isoniazid 1x170 mg
98%, FNAB KGB colli - Rifampisin 1x250 mg
sinistra = sel granulomatous - Pirazinamid 1x350 mg
 TB

4 Juli 2018 S: Nyeri kaki kiri ke paha, ada A : Abses Regio Cruris +
benjolan di leher, nyeri perut
(perawatan H-5) Limfadenitis TB
epigastrium (+)

O: KU sedang, kesadaran cm, P : - Paracetamol 3x100 mg


TD 100/60 mmHg, Nadi - Isoniazid 1x170 mg
90x/I, RR 26 x/i, Suhu 37.0oC - Rifampisin 1x250 mg
SpO2 97%, FNAB KGB colli - Pirazinamid 1x350 mg
sinistra = sel granulomatous - Antasida syr 3xcth½
 TB - Likurmin 1xcth1
- Cefadroxil syr 2xcth½

5 Juli 2018 S: Nyeri kaki kiri ke paha, ada A : Abses Regio Cruris +
(perawatan H-6) benjolan di leher,
Limfadenitis TB
O: KU sedang, kesadaran cm,
TD 100/60 mmHg, Nadi P : - Paracetamol 3x100 mg
88x/I, RR 28 x/i, Suhu 36.8oC - Isoniazid 1x170 mg
SpO2 98%, FNAB KGB colli - Rifampisin 1x250 mg
sinistra = sel granulomatous - Pirazinamid 1x350 mg
 TB - Ranitidine 3x17mg
- Likurmin 1xcth1
- Cefadroxil syr 2xcth½

8
6 Juli 2018 S: Nyeri kaki kiri berkurang, A : Abses Regio Cruris +
(perawatan H-7) ada benjolan di leher
Limfadenitis TB
O: KU sedang, kesadaran cm,
TD 110/80 mmHg, Nadi P : - Paracetamol 3x100 mg
90x/I, RR 30 x/i, Suhu 36.5oC - Isoniazid 1x170 mg
SpO2 99%, FNAB KGB colli - Rifampisin 1x250 mg
S : TB - Pirazinamid 1x350 mg
- Ranitidine 2x35mg
- Likurmin 1xcth1
7 Juli 2018 S: Ada benjolan di leher kiri, A : Abses Regio Cruris +
(perawatan H-8) demam (-), nyeri perut ulu
Limfadenitis TB
hati (+)

O: KU sedang, kesadaran cm, P : - Paracetamol 3xcth1


TD 90/80 mmHg, Nadi 97x/I, - Isoniazid 1x170 mg
RR 33 x/i, Suhu 36.6 C SpO2
o
- Rifampisin 1x250 mg
97%, FNAB KGB colli S : TB - Pirazinamid 1x350 mg
Hasil Kultur (+) - Ranitidine 2x35mg
- Likurmin 1xcth1
- Erytromicin 3xcth1

9
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Limfadenitis TB atau TB kelenjar getah bening termasuk salah satu
penyakit TB di luar paru (TB ekstra paru). Penyakit ini disebabkan oleh M.
Tuberkulosis (Amanda, 2015). Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di
leher disebut dengan scrofula. Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang
biasanya paling sering terjadi. Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti
pembengkakan kelenjar (Amaylia, 2013).

3.2 Epidemiologi
Limfadenitis tuberkulosis perifer merangkum ~ 10% dari kasus-kasus
tuberkulosis di Amerika Serikat. Karakteristik epidemiologi termasuk
perbandingan 1.4:1 untuk perempuan kepada laki-laki , memuncak pada rentang
usia 30-40 tahun, dan dominan untuk pendatang asing, terutama Asia Timur.
(Fontanilla et al. , 2011). Tinjauan literatur menunjukkan limfadenopati servikal
menjadi predileksi paling sering untuk limfadenitis TB diikuti oleh limfadenopati
aksilaris dan limfadenopati sangat jarang di lokasi inguinal. Insiden kelompok
leher terlibat dalam 74% - 90% kasus, kelompok aksilaris dalam 14%-20% kasus
dan kelompok inguinal dalam 4-8% kasus (Bezabih et al., 2002).

3.3 Etiologi

Gambar 3.1 Kuman Mycobacterium TB dengan metode Ziehl Neelsen

10
Limfadenitis TB disebabkan oleh M.tuberculosis complex, yaitu
M.tuberculosis (pada manusia), M.bovis (pada sapi), M.africanum, M.canetti dan
M.caprae. Secara mikrobiologi, M.tuberculosis merupakan basil tahan asam yang
dapat dilihat dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen atau Kinyoun-Gabbett. Pada
pewarnaan tahan asam akan terlihat kuman berwarna merah berbentuk batang
halus berukuran 3 x 0,5μm. Basil TB adalah bakteri aerobic obligat berbentuk
batang tipis lurus dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan
filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain M.tuberculosis dapat
tumbuh dengan energi yang diperoleh dari oksidasi senyawa karbon yang
sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan. M.tuberculosis merupakan
mikroba kecil seperti batang yang tahan terhadap desinfektan lemah dan bertahan
hidup pada kondisi yang kering hingga berminggu-minggu, tetapi hanya dapat
tumbuh di dalam organisme hospes. Kuman akan mati pada suhu 60 0C selama 15-
20 menit, Pada suhu 300 atau 400-450C sukar tumbuh atau bahkan tidak dapat
tumbuh. Pengurangan oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman. Daya
tahan kuman M.tuberculosis lebih besar dibandingkan dengan kuman lainnya
karena sifat hidrofobik pada permukaan selnya. Kuman ini tahan terhadap asam,
alkali dan 5 zat warna malakit. Pada sputum yang melekat pada debu dapat tahan
hidup selama 8-10 hari. M.tuberculosis dapat dibunuh dengan pasteurisasi
(Bazemore, 2012).

3.4 Patofisiologi

Gambar 3.2 Patofisiologi Limfadenitis TB

11
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner dan Tb ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). Basil tuberkulosis juga
dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner.
Organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil suatu lesi penyembuhan yang
didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam
beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit. Jika terjadi
reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas seluler,
hal ini disebut dengan TB-post primer. Adanya imunitas seluler akan mebatasi
peneybaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan
jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada Tb primer, basic TB pada TB post-primer
dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua
organ. Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat
penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru (Spelmen, 2013).
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil
tuberkulosis adalah kelanjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, menigens,
peritoneum, dan pericardium. TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali
terpapar terhadap basil tuberkulosis. Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi
droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan
mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag.
Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag
sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum,
bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara
limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, di mana penyebaran basil TB
tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis)
dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas
baik, dalam waktu 3-4 minggu setelah ineksi akan terbentuk imunitas seluler.
Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi
basil TB dalam makrofag membentuk suatu focus primer yang disebut focus Ghon.
Fokus Ghon bersama-sama dengan limfnagitis dan limfadenitis regional disebut
dengan komplek Ghon. Terbentuknya focus Ghon mengimplikasikan dua hal penting.
Pertama, focus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler
yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, focus Ghon merupakan suatu lesi

12
penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat
bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan
penyakit. Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah
memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB-post primer. Adanya imunitas
seluler akan mebatasi peneybaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai
dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada Tb primer, basic TB
pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar
limfe lalu ke semua organ. Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal
merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru
(Spelmen, 2013).
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB
masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh
makrofag dan di bawa ke tonsil, selanjutnya akan di bawa ke kelenjar limfe di leher
(Spelmen, 2013).

3.5 Penularan Tuberkulosis


Penularan tuberkulosis melalui berbagai cara, yaitu lewat udara/ droplet
nuclei dengan diameter 3-5 μm (>90%) dengan jarak 1-5 meter, dapat juga
(jarang) melalui kontak langsung kulit/ luka/ lecet, dan kongenital, minum susu
terkontaminasi basil (M. bovis). Basil tetap hidup dan virulen dalam keadaan
kering beberapa minggu, mati dalam cairan dengan suhu 60oC selama 15-20
menit. Basil tidak membentuk toksin. Penularan pada umumnya berasal dari TB
dewasa dengan BTA (+). Faktor yang berpengaruh dalam penularan TB adalah:
- Dosis/ jumlah paparan

- Konsentrasi kuman di udara

- Virulensi kuman

- Durasi/ lama pajanan

- Keadaan imunitas host


(Ferrer, 2013)

13
3.6 Manifestasi Klinis
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner.
Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik.
Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang
lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher
terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga
pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis
banding dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang
endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai
beberapa bulan (Mohapatra & Janmeja, 2009).
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis,
kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris,
mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra &
Janmeja, 2009). Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau
bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan
berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling
sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di regio
supraklavikular (Mohapatra & Janmeja, 2009). Beberapa pasien dengan
limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti demam,
penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak
menunjukkan gejala sistemik. Terdapat riwayat kontak terhadap penderita TB
pada 21,8% pasien, dan terdapat TB paru pada 16,1% pasien (Mohapatra &
Janmeja, 2009).

14
Limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima
stadium, yaitu (Mohapatra & Janmeja, 2009):
 Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.
 Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan
sekitar oleh karena adanya periadenitis.
 Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
 Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
 Stadium 5, pembentukan traktus sinus.
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit.
Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi
sekunder bakteri, (ii) pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi dengan
infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang
dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus.
Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadenitis TB servikalis (Mohapatra
& Janmeja, 2009). Secara klasik, sinus tuberkulosis mempunyai pinggir yang
tipis, kebiru-biruan, dan rapuh dengan pus cair yang sedikit. Skrofuloderma
adalah infeksi mikobakterial pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung
infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh paparan langsung terhadap
basil TB (Mohapatra & Janmeja, 2009).
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran ≥ 2 cm biasanya
disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya
disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan
pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis (Mohapatra & Janmeja,
2009).

3.7 Penegakan Diagnosis


Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan
gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB
anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor IDAI telah membuat
Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring

15
system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.
Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional pengendalian
tuberkulosis untuk diagnosis TB anak (DEPKES, 2016).

Tabel 3.1 Skor TB pada Anak


Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas Laporan BTA positif


keluarga,
BTA negatif
atau tidak
jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif
(10mm, atau
5mm pada
keadaan
imunosupresi)
Status Gizi Bawah garis Klinis gizi
merah atau buruk
BB/U <80% (BB/U<60%)
Demam tanpa 2 minggu
sebab yang
jelas
Batuk 3 minggu
Pembesaran 1 cm, jumlah
Kelenjar limfe >1, tidak nyeri
coli, aksila,
inguinal
Pembengkakan Tidak Ada Ada
tulang/sendi Pembengkakan Pembengkakan
panggul, lutut,
falang
Foto Thoraks Normal/tidak Kesan TB
jelas

16
- Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti Asma, sinusitis, dan lain-lain. Jika dijumpai skrofuloderma
(TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
- Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
- Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
- Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
- Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan
jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6
tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi,
pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan
lain lainnya (Mohapatra & Janmeja, 2009).
Pemeriksaan Fisik
Lokasi pembesaran kelenjar limfe yang sering adalah di servikal anterior,
submandibular, supra klavikula, kelenjar limfe inguinal, epitroklear atau daerah
aksila. Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan- lahan pada stadium awal
penyakit. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras, dan tidak nyeri.
Ukuran besar (lebih dari 2x2 cm) biasanya terlihat jelas bukan hanya teraba.
Limfadenitis ini paling sering terjadi unilateral, tetapi infeksi bilateral dapat
terjadi karena pembuluh limfatik di daerah dada dan leher- bawah saling
bersilangan.
Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan
kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl- Neelsen.
Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsiaspirasi. Dengan
pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basilmikobakterium pada
spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif.

17
Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur
positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus. Berbagai media dapat
digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, danBactec TB. Diperlukan
waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasilkultur. Pada adenitis
tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab tersering,diikuti oleh M.bovis
(Kemenkes, 2016).
Uji Tuberkulin
Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk
menunjukkan adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen
mikobakterium pada seseorang. Reagen yang digunakan adalah protein purified
derivative (PPD). Pengukuran indurasi dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi.
Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat
apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm (Mohapatra
& Janmeja, 2009).
Uji Serologi
Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan imunologi antigen-
antibodi spesifik untuk M. tuberculosis ELISA dengan menggunakan PPD, A60,
38kDa, lipoarabinomanan (LAM) dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum,
cairan bronkus (bronkus dan bronchoalveolar lavage; BAL), cairan pleura, dan CSS
terus dilakukan. Beberapa pemeriksaan serologis yang ada: PAP TB, mycodot,
immunochromatographic test (ICT), dan lain-lain masih belum bisa membedakan
antara infeksi TB dan sakit TB. Tes serologis ini memiliki sensitivitas 19-68% dan
spesifitas 40-98% (Spelmen, 2013).
Patologi Anatomi
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya
kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma
tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah
granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinucleated giant cell
(sel datia Langhans). Diagnosis histopatologi dapat ditegakkan dengan menemukan
perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans. Kadang dapat
ditemukan juga BTA. Kendala pemeriksaan PA adalah sulitnya didapatkan spesimen
yang representatif. Spesimen yang paling mudah dan paling sering diperiksa adalah

18
limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar gambaran
histopatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksaan PA kelenjar limfe ini mempunyai
perancu, yaitu infeksi M. atipik dan limfadenitis BCG yang secara histopatologi sulit
dibedakan dengan TB (Bazemore, 2012).
Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk
membantu diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan
yang konsisten dengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks
lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus
(Bayazit, Bayazit, & Namiduru, 2004).
USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular
atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal. Pemeriksaan dengan
USG juga dapat dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar
(infeksi TB, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada pembesaran
kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion
tendency, peripheral halo, dan internal echoes (Bayazit, Bayazit, & Namiduru,
2004).
Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral,
adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya,
derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan
dermal dan subkutan mengarahkan pada limfadenitis TB (Bayazit, Bayazit, &
Namiduru, 2004)
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan
konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer
dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak
membedakannya dengan kelenjar metastatik (Bayazit, Bayazit, & Namiduru,
2004).

3.8 Penatalaksanaan
1. Terapi Non- Farmakologi
Pembedahan bukan pilihan terapi yang utama. Prosedur pembedahan yang
dapat dilakukan adalah dengan:

19
 Biopsi eksisional : Limfadenitis yang disebabkan oleh karena atypical
mycobacteria
 Aspirasi
 Insisi dan drainase
Indikasi pembedahan pada limfadenitis adalah ketika pusat radang
tuberkulosis sudah terdiri dari pengejuan dan dikelilingi jaringan fibrosa. Adanya
jaringan nekrosis akan menghambat penetrasi antibiotik ke daerah radang
sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena itu sarang infeksi di
berbagai organ misalnya kaverne di paru dan debris di tulang harus dibuang. Jadi,
tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis. Selain itu
tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya pada
tuberkulosis paru yang menyebabkan destruksi luas dan empiema, pada
tuberkulosis usus yang menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan osteitis atau
artritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat (Kumar, 2011).
2. Terapi Farmakologi
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011) mengklasifikasikan
limfadenitis TB ke dalam TB ekstra paru dan mendapat terapi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) Kategori I. Regimen obat yang digunakan adalah
2HRZE/4H3R3. Obat yang digunakan adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,
dan Etambutol.
3.2 Golongan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Golongan dan Jenis Obat
Gol 1.Lini Pertama  Isoniazid  Pyrazinamide
 Ethambutol  Rifampicin
 Streptomycin
Gol 2.Suntikan Lini  Kanamycin  Amikasin
Kedua  Capreomycin
Gol 3.Golongan  Ofloxacin  Moxifloxacin
Floroquinolone  Levofloxacin
Gol 4.Bakteriostatik Lini  Etionamide  Para Amino Salisilat
Ke-2  Prothionamide  Terizidone
 Cycloserine
Gol 5.Belum terbukti  Clofazimine  Thioacetazone
efikasinya  Linezolid  Clarithromycin
 Amoxilin-Clavulanate  Imipenem

20
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam rangka memperoleh efektifitas
pengobatan TB adalah:
1. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan
dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dengan jumlah dan dosis yang
tepat sesuai dengankategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya
kekebalan terhadap OAT.
2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

a. Tahap Intensif
1. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perludiawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan
b. Tahap Lanjutan
1. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan (WHO, 2013)

Tabel 3.3 Dosis OAT KDT pada TB Anak (DEPKES, 2016)

21
22
Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami
efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti TB (OAT) disediakan dalam bentuk
paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu
pasien dalam satu masa pengobatan (DEPKES, 2016).

Tabel 3.4 Dosis OAT Kombipak pada Anak


Jenis Obat BB<10kg BB 10-19 kg BB 20-32 kg
Isoniazid 50mg 100mg 200mg
Rifampicin 75mg 150mg 300mg
Pirazinamid 150mg 300mg 600mg

BAB 4
PEMBAHASAN

Anamnesis
Teori Kasus
Pembengkakan kelenjar limfe dapat  Benjolan di leher kiri dengan
terjadi secara unilateral atau bilateral, ukuran 4cm
tunggal maupun multipel, biasanya  Ukuran menetap
berukuran ≥2mm, dimana benjolan ini  Demam ringan
biasanya tidak nyeri dan berkembang  BB tidak berubah selama 1 tahun
secara lambat dalam hitungan minggu terakhir
sampai bulan, dan paling sering berlokasi

23
di regio servikalis posterior dan yang
lebih jarang di regio supraklavikular
(Mohapatra & Janmeja, 2009). Beberapa
pasien dengan limfadenitis TB dapat
menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti
demam, penurunan berat badan, fatigue
dan keringat malam.
Selain menanyakan ada tidaknya gejala  Ibu pasien mengatakan bahwa
TB, anamnesis perlu dilakukan lebih orang serumah, keluarga,
detail tentang riwayat kontak erat dengan tetangga maupun teman di
pasien TB, misalnya kontak erat dengan sekolah pasien tidak ada yang
pasien TB seperti kontak serumah, di mengalami TB atau batuk lama
sekolah, di tempat penitipan anak, dsb.

24
Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
Lokasi pembesaran kelenjar limfe yang  Pembesaran KGB colli S dengan
sering adalah di servikal anterior, ukuran 4 cm.
submandibular, supra klavikula, kelenjar  Konsistensi kenyal dan tidak
limfe inguinal, epitroklear atau daerah keras
aksila. Kelenjar limfe biasanya membesar  Tidak nyeri, terlihat jelas
perlahan- lahan pada stadium awal penyakit.  Unilateral colli sinistra
Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal,
tidak keras, dan tidak nyeri. Ukuran besar
(lebih dari 2x2 cm) biasanya terlihat jelas
bukan hanya teraba. Paling sering unilateral

Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
a. Pemeriksaan Patologi Anatomi  FNAB pada KGB menunjukkan
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran TB :
gambaran granuloma yang ukurannya kecil, Sediaan apusan terdiri dari sel
terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang radang PMN neutrophil dan
dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut limfosit dan histiosit epiteloid
mempunyai karakteristik perkijuan atau area latar belakang nekrosis serta
nekrosis kaseosa di tengah granuloma. eritrosit
Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya
Kesimpulan : Tu. colli sinistra,
multinucleated giant cell (sel datia Langhans).
FNAB : Radang granulomatous
Diagnosis histopatologi dapat ditegakkan
supurativa ( TB dengan infeksi
dengan menemukan perkijuan (kaseosa), sel
sekunder)
epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans.
Kadang dapat ditemukan juga BTA.
b. Tes Tuberkulin
c. Pemeriksaan Sitologi
d. Pemeriksaan Radiologis

25
Penatalaksanaan
Teori Kasus
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap Terapi OAT 6 bulan :
yaitu tahap intensif dan lanjutan. - Fase Intensif (2 bulan)
(DEPKES, 2016) Isoniazid 1x170mg
Untuk kategori anak (2RHZ/4RH), Rifampicin 1x250mg
prinsip dasar pengobatan tuberkulosis Pirazinamid 1x350mg
minimal 3 macam obat dan diberikan Ranitidine 2x20mg
dalam waktu 6-12 bulan. Pengobatan TB Likurmin 1xcth1
kelenjar membutuhkan waktu pengobatan Cefadroxil syr 2xcth½
minimal 9 bulan. OAT pada anak
diberikan setiap hari baik pada fase *BB = 17kg
intensif (awal) maupun fase lanjutan,
dosis obat harus disesuaikan dengan berat
badan anak. (DEPKES, 2016).
Pada TB berat maka dapat diberikan
Streptomisin atau Etambutol pada
permulaan pengobatan kemudian
dilanjutkan dengan Isoniazid dan
Rifampisin selama 10 bulan atau lebih,
sesuai dengan perkembangan klinisnya.
Apabila terjadi kegagalan karena
resistensi obat, maka obat diganti sesuai
dengan hasil uji resistensi, atau diberikan
tambaha dan perubahan kombinasi OAT.

26
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien perempuan An. A.Z.N usia 7
tahun yang didiagnosis dengan Limfadenitis TB, dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang didapatkan penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan yang telah sesuai dengan literatur yang mendukung pada kasus
tersebut.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Amaylia O. Pendekatan Diagnosis Limfadenopati. Jakarta: Cermin Dunia


Kedokteran-2009, Vol 40, no. 40. 2013.
2. Ananda Mandal MD. Struktur dan Fungsi Kelenjar Getah Bening. Available
from : http://www.news-medical.net/health/Structure-and-function-of-lymph-
nodes-(Indonesian).aspx (Accessed November 11th 2015)
3. Bazemore AW. Smucker DR. Lymphadenitis and malignancy. Am Fam
Physician. 2012 ;66: 2103- 10.
4. Bayazit, Y. A., Bayazit, N., & Namiduru, M. (2004). Mycobacterial Cervical
Lymphadenitis. ORL, 275-280.
5. Bezabih M, Mariam DW, Selassie SG. Fine needle aspiration cytology
of suspected tuberculous lymphadenitis. Cytopathology 2002; 13 (5) :
284-90.
6. DEPKES. (2016). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
DEPKES RI.
7. Ferrer R. Lymphadenitis: Differential diagnosis and evaluation. Am Fam
Physician. 2013;58:1315.
8. Fontanilla JM, Barnes A, von Reyn CF, Current diagnosis and management of
peripheral tuberculous lymphadenitis. Clin Infect Dis. 2011;53(6):555.
9. Ioachim, M. L., & Medeiros, L. J. (2009). Ioachim's Lymph Node Pathology
(4th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins.
10. Kemenkes. (2016). Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak.
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jendral Pencegahan Dan
Pengendalian Penyakit.
11. Kumar, Vinary, Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. Limfadenitis
Tuberkulosis. Dalam : Buku Ajar Patologi Edisi Vol.2. Jakarta : ECG, 2011:
316-53.
12. Mohapatra, P. R., & Janmeja, A. K. (2009). Tuberculous Lymphadenitis.
JAPI, 585-590.
13. World Health Organization. Global Tuberculosis Control. Geneva : World
Health Organization. 2013.

28
14. Sharma SK, Mohan A. Extrapulmonary Tuberculosis. Indian : Journal of
Medicine Microbiology Res. 2011.
15. Spelman D. Tuberculous lymphadenitis. 2013 Sep [cited 2018 July 07].
Available from: www.uptodate.com.

29

Anda mungkin juga menyukai