Anda di halaman 1dari 69

PORTOFOLIO

ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS

Disusun Oleh:

Safitri Nenik Agustin

41161096100057

Pembimbing UIN Pembimbing Puskesmas Sukawali

dr. Witri Ardini, Sp. GK. dr. Mistuti Alwiyah

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PERIODE 28 OKTOBER – 01 DESEMBER 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

PORTOFOLIO KEDOKTERAN KOMUNITAS

Diajukan kepada Program Studi Profesi Dokter

Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk Ujian Modul Klinik Ilmu Kedokteran Komunitas

Disusun Oleh:

Safitri Nenik Agustin

NIM: 41161096100057

Pembimbing UIN Pembimbing Puskesmas Sukawali

dr. Witri Ardini, Sp. GK. dr. Mistuti Alwiyah

Penguji

( )

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PERIODE 28 OKTOBER – 01 DESEMBER 2018

2
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji Syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan nikmat
islam, iman, dan ikhsan sehingga penulis dapat menyelesaikan Portofolio ini tepat pada
waktunya. Portofolio ini merupakan bentuk refleksi kegiatan yang dilakukan selama
kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Komunitas.

Shoalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang
telah membimbing umat dari masa kebodohan menjadi masa keemasan, dengan adanya ajaran
islam.

Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada para
pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan selama penyusunan portofolio ini,
pembeimbing tersebut sebagai berikut :

1. dr. Witri Ardini, Sp. GK, selaku pembimbing di kampus.

2. dr. Mistuti Alwiyah dan dr. Hj. Linda Fatmawati, selaku pembimbing di Puskesmas
Sukawali.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih ada beberapa kekurangan. Kritik dan saran yang
membangun penulis harapkan dari semua pihak demi kesempurnaan portofolio ini. Demikian,
semoga portofolio ini dapat bermanfaat.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Ciputat, November 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL………………………………………………………………………...….1

LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………………......2

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………...…...3

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….....4

KEGIATAN INTERNAL……………………………………………………………………6

Poliklinik Anak…………………………………………………………………………….…..7

Farmasi……………………………………………………………………………………….20

KEGIATAN EKSTERNAL………………………………………………………………..27

Posyandu……………………………………………………………………………………..28

Penjaringan Kesehatan……………………………………………………………………….39

KEGIATAN PROMOSI KESEHATAN…………………………………………………..48

Penyuluhan Kesehatan Pesantren…………………………………………………………….49

KEGIATAN MINI CEX……………………………………………………………………58

Refleksi Kegiatan Mini Cex…………………………………………………………..………59

4
RESUME KASUS PORTOFOLIO

Portofolio Identitas Kasus

BP Anak By. MR/ 11 bulan/ Laki-laki Skabies

Farmasi By. MH/ 5 bulan/ Laki-laki ISPA dan Diare Akut

Posyandu Imunisasi pada Balita dan Ibu Hamil

Promosi Kesehatan di
PHBS dan Penyakit di Musim Hujan (DBD)
Pesantren
Secondary Infection post
Mini CEX An. A/ 13 tahun/ Laki-laki
Vulnus Punctum ec Trauma

5
KEGIATAN INTERNAL

6
LAPORAN KEGIATAN
KINERJA INTERNAL PUSKESMAS

POLIKLINIK ANAK

Nama kegiatan : Poli anak

Tempat : Puskesmas Sukawali

Tanggal : Jumat, 02 November 2018

A. Deskripsi Kegiatan

Pada bulan November 2018, saya dan teman-teman sedang mendapat tugas stase di
Puskesmas Sukawali. Puskesmas Sukawali terletak di Jl. Keramat RT 01/04 Desa Sukawali
Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang. Di Puskesmas ini terdapat berbagai ruang
pelayanan yang terdiri dari ruang Administrasi, Balai Pengobatan (BP) Umum, BP Anak, BP
KIA, BP Khusus TB pada hari Rabu, BP Khusus Gizi pada hari Jumat, BP Khusus Gigi dan
Ruang Farmasi. Kelompok kami membagi tugas menjadi tiga kelompok kecil yang terbagi di
ruangan BP Umum, BP Anak dan Ruang Farmasi dengan perputaran ruangan setiap 2 hari
sekali.

Pada hari Jumat, 02 November 2018 ini, saya mendapat tugas di bagian BP Anak.
Awalnya, kelompok kecil saya mendapat tugas untuk di BP Anak dan BP Khusus Gizi, karena
pada hari Jumat terdapat pelayanan untuk gizi, namun ternyata tidak terdapat satu pasien pun
yang datang ke BP Khusus gizi, sehingga kami lebih banyak melayani pasien anak tanpa
gangguan gizi. Ruang poli Anak berukuran sekitar 2 x 3 meter dengan terdapat tiga buah meja,
ranjang pemeriksaan anak, timbangan bayi, timbangan anak, meteran, pengukur tinggi badan,
dua buah almari dan beberapa kursi. Di salah satu meja terdapat komputer dan printer yang
sering tidak digunakan, karena untuk pengurusan surat rujukan dan input data pasien
seluruhnya dilakukan di BP Umum. Di ruang poli anak terdapat sebuah AC yang tidak dipakai
karena listrik puskesmas akan turun jika AC dinyalakan. Hal tersebut menyebabkan BP Anak
terasa sangat panas. Selain itu, di dinding ruang BP anak terdapat berbagai macam poster yang
terdiri dari alur penerimaan pasien dan poster mengenai kasus-kasus yang boleh dirujuk, tanda-
tanda pasien gizi buruk, gangguan telinga, dan beberapa poster tentang penyakit yang lain pada
anak.

7
BP Anak dibuka sejak pukul 08.00-14.00 WIB dengan pendaftaran ditutup pukul 12.00
WIB, namun biasanya BP anak sudah selesai pada sekitar pukul 11.30 WIB. Pelayanan di BP
Anak biasanya dilaksanakan oleh seorang dokter, namun dokter tersebut sedang cuti, sehingga
pelaksanaan pelayanan digantikan oleh dua orang bidan. Pasien BP anak berkisar antara 20-30
anak setiap harinya dengan kisaran usia yang datang ke BP Anak adalah usia <1 tahun sampai
dengan 13 tahun. Kasus tersering yang dapat ditemui di BP Anak meliputi infeksi saluran napas
akut, penyakit kulit, penyakit mata dan diare. Salah satu penyakit kulit yang sering ditemui
adalah Skabies.

Pada hari ini saya memeriksa seorang pasien, yaitu By. MR, laki-laki, usia 11 bulan dari
Kampung Buaran Mangga. Alloanamnesis dilakukan kepada ibu pasien. Pasien tersebut datang
dengan adanya gatal di seluruh badan sejak 1 bulan sebelum dibawa ke Puskesmas. Gatal
bermula di bagian perut dan punggung kemudian menyebar ke bagian sela jari kaki dan tangan
pasien. Gatal terutama dirasakan pada malam hari sehingga pasien sulit tidur pada malam hari.
Keluhan gatal tidak disertai adanya demam. Ibu pasien menyangkal bahwa pasien memiliki
alergi terhadap obat-obatan tertentu maupun makanan jenis tertentu. Pasien baru pertama kali
mengalami keluhan ini. Awalnya, pasien sedang berkunjung ke rumah nenek pasien dan
berkontak dengan paman pasien yang mengalami gatal yang sama seperti pasien setelah paman
pasien tersebut pulang dari pesantren. Kedua orang tua pasien juga mengalami hal yang sama.
Pasien dan orang tuanya masih tidur dalam satu tempat tidur. Keluhan pasien tersebut sudah
diobati dengan salep Hidrocortison namun tidak kunjung membaik. Ibu pasien sangat
mengkhawatirkan kondisi pasien akan memburuk dan tidak kunjung membaik.

Setelah melakukan anamnesis terhadap pasien tersebut, saya melakukan pemeriksaan


fisik yang diawali dengan melakukan antropometri pada pasien. Pasien memilki berat badan 8
kg dengan panjang badan 74 cm. Pemeriksaan generalis pasien tidak menunjukkan adanya
kelainan. Saya kemudian melihat lesi kulit pasin yang berada di punggung, sela jari tangan dan
kaki, dan lesi kulit di kelamin. Dari efloresensi lesi pada regio thorakal, abdominal, genital,
interphalang manus dextra dan sinistra, interphalang pedis dextra dan sinistra terdapat papulae
eritematosa dengan erosi dan sebagian ekskoriasi.

Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang saya lakukan terhadap pasien tersebut
menunjukkan penyakit yang diderita pasien sesuai dengan penyakit Skabies, sehingga setelah
menemukan kemungkinan penyakit yang dialami pasien tersebut, saya melakukan edukasi
kepada orang tua pasien dan meresepkan obat untuk pasien. Saya mengedukasi orang tua

8
pasien bahwa penyakit yang diderita pasien termasuk penyakit yang menular, mengedukasi
untuk merendam pakaian dengan air hangat, menjemur kasur, menggunakan handuk masing-
masing dan mengedukasi cara penggunaan salep Permetrin yang saya resepkan serta
mengedukasi orang tua untuk juga menggunakan salep yang sama agar penyakit Skabies tidak
berlanjut. Pada pasien ini saya meresepkan Permetrin 5% sebanyak 1 tube untuk digunakan
sebanyak satu kali dan dapat diulang satu minggu kemudian jika belum membaik. Selain itu,
saya juga meresepkan obat Cetirizine sirup dengan sediaan 5mg/5ml sebanyak 1 botol dengan
dosis sebanyak 1x1/2 sendok teh untuk mengatasi gatal yang dialami oleh pasien.

B. Nomor Rekam Medik : 2567


C. Diagnosis Holistik
 Aspek personal
Pasien mengeluh gatal di seluruh tubuh terutama saat malam hari sehingga mengganggu tidur pasien.
Pengobatan sebelumnya tidak memberikan hasil yang baik sehingga ibu pasien khawatir kondisi
pasien akan memburuk.
 Aspek klinis
Skabies
 Aspek faktor internal
Pasien seorang anak laki-laki berusia 11 bulan, pernah berkontak dengan paman pasien yang
mengalami keluhan yang sama dan masih tidur satu kasur dengan kedua orang tua pasien yang
memiliki keluhan yang sama.
 Aspek faktor eksternal
Paman pasien dan orang tua pasien mengalami keluhan serupa pada 1 bulan yang lalu.
 Aspek skala fungsional
Derajat 1
D. Tata Laksana
 Non Farmakologi
- Edukasi bahwa penyakit Skabies menular.
- Edukasi cara pencegahan dengan merendam pakaian dengan air hangat, mencuci sprei,
menjemur kasur.
- Edukasi untuk penggunaan handuk masing-masing.
- Edukasi cara penggunaan obat Permetrin cukup satu kali (digunakan di seluruh tubuh
kecuali bagian wajah dan kepala, ditunggu sampai kering terlebih dahulu kemudian
memakai baju dan selanjutnya tidak boleh terkena air sampai 7-8 jam setelah salep
dioles) dan boleh diulang satu minggu kemudian jika belum membaik.

9
- Edukasi bahwa obat Cetirizine digunakan untuk mengatasi gatal, sehingga obat tidak
perlu diminum jika keluhan gatal sudah menghilang.
- Edukasi untuk orang tua yang serumah dengan pasien untuk menggunakan obat
Permetrin.
 Farmakologi
- Permetrin 5% dipakai satu kali.
- Cetirizine syrup (5mg/5ml) 1x1/2 cth, jika gatal.

RESEP

R/ Permetrin 5% 10 gram No. I


ʃ 1 dd ue

R/ Cetirizine syrup 5mg/5ml 60 ml fls No. I

ʃ 1 dd I ½ Cth pc prn

E. Refleksikan Perbedaan antara teori dan praktek yang dilakukan

Tindakan yang saya lakukan yang menurut saya benar adalah bahwa saya dalam
mencari diagnosis pasien sudah melakukan berbagai langkah-langkah dalam mendiagnosis
pasien, yaitu melakukan ananmnesis secara menyeluruh dan melakukan pemeriksaan fisik.
Pada pasien ini, pemeriksaan penunjang tidak terlalu diperlukan karena klinis pasien sudah
mendukung terhadap diagnosis yang ditegakkan. Pada kasus ini, sebagai kasus kulit, maka
pemeriksaan fisik yang sangat penting adalah gambaran lesi atau effloresensi lesi di kulit.
Berdasarkan berbagai langkah tersebut, didapatkan data yang sangat mendukung terhadap
diagnosis Skabies.

Skabies merupakan penyakit kulit yang diakibatkan oleh adanya infestasi dan sensistisasi
terhadap Sarcoptes scabiei var, hominis dan produknya. Penyakit ini dipengaruhi berbagai
faktor, antara lain sosial ekonomi yang rendah, hygiene yang buruk, hubungan seksual yang
sifatnya promiskuitas, kesalahan diagnosis dan perkembangan dermografik serta ekologik.
Penularan pada penyakit ini dapat terjadi secara kontak langsung maupun tidak langsung.1
Anamanesis yang dilakukan secara alloanamnesis terhadap ibu pasien didapatkan faktor risiko
terjadinya Skabies berupa adanya Paman pasien yang mengalami penyakit yang sama dan
selanjutnya menular terhadap orang tua pasien dan pasien. Cara penularan secara kontak tak
langsung kemungkinan terjadi melalui sprei, karena pasien dan orang tua nya masih tidur dalam
satu kasur.

10
Penegakan diagnosis Skabies perlu ditemukan tanda cardinal penyakit ini, yaitu pruritus
nokturnal, terjadi secara kelompok, terdapat lesi berbentuk terowongan (kunikulus) dan
menemukan tungau. Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan dua dari empat tanda
cardinal tersebut.1 Pada pasien ini terdapat dua dari empat tanda cardinal, yaitu pasien merasa
lebih gatal saat malam hari (pruritus nokturna) dan penyakit yang dialami pasien juga dialami
oleh orang tua pasien, atau penyakit yang terjadi menyerang seluruh anggota keluarga (sebuah
kelompok), sedangkan dua tanda cardinal lain, yaitu lesi berbentuk terowongan dan terdapat
tungau tidak ditemukan pada pasien ini.

Pengobatan yang dapat diberikan pada Skabies berupa obat topikal dengan syarat obat yang
ideal adalah obat harus efektif terhadap semua stadium tungau, tidak menimbulkan iritasi dan
tidak toksik, tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai paaian dan mudah
diperoleh serta harganya murah. Jenis obat topikal yang dapat diberkan berupa Sulfur
presipitaturm 4-20%, Emulsi benzyl-benzoas 20-25%, Gama benzene heksa klorida 1%
(gameksan), Krotamin 10% dan Permetrin 5%.1 Pada pasien ini saya meresepkan dua obat,
yaitu Permetrin 5% dan Cetirizine sirup untuk obat gatalnya. Permetrin 5% dipilih pada pasien
ini karena Permetrin 5% kurang toksik dibandingkan gameksan dengan efektivitas yang sama.
Pemakaian Permetrin yang cukup sekali juga sangat cocok diberikan pada pasien ini yang
usianya masih tergolong anak-anak. Selain mempertimbangkan hal tersebut, pemilihan
Permetrin sebagai pilihan terapi adalah karena di Puskesmas hanya tersedia Permetrin sebagai
obat untuk Skabies.

Selain memberikan terapi farmakologis, saya juga memberikan terapi non farmakologis
berupa edukasi mengenai penyakit Skabies yang dapat menular, cara mencegah penularan, pola
hidup bersih dan sehat dan edukasi cara penggunaan obat dan pentingnya pengobatan untuk
seluruh anggota keluarga yang terkena penyakit yang sama.

Tindakan yang saya rasakan masih kurang antara lain dalam melakukan anamnesis
pada pasien bayi ini, saya tidak menggali mengenai riwayat penyakit dahulu yang lain, riwayat
kehamilan dan persalinan, tumbuh kembang dan imunisasi. Selain itu, saya juga kurang
menggali mengenai riwayat sosial pasien, terutama mengenai pola hidup pasien yang meliputi
penggunaan air bersih, jenis sabun mandi yang dipakai, penggunaan alat mandi, penggunaan
alas kaki, jenis lantai rumah dan ada tidaknya riwayat sering bermain di kebun. Selain
anamnesis mengenai pasien, pada pasien bayi dan anak juga perlu ditanyakan mengenai
identitas orang tua. Pada hal ini, saya tidak menanyakan kepada orang tua.

11
Pada bagian pemeriksaan fisik saya merasa masih perlu untuk belajar telaten dan bersabar
dalam menghadapi pasien anak yang hampir keseluruhan selalu menangis saat berobat ke
dokter. Anak biasanya merasa takut terhadap dokter karena adanya trauma pernah disuntik atau
terdapat adanya ketakutan yang ditanamkan oleh orang tua yang sering menakuti anaknya akan
disuntik oleh dokter. Pada hal ini, seharusnya saya juga menasihati orang tua agar tidak
menakuti anaknya dengan dokter yang akan menyuntik anaknya, sehingga anak tidak merasa
takut sebelum berobat. Saya juga seharusnya membiasakan diri untuk selalu mencuci tangan
sebelum dan sesudah memeriksa pasien.

Saya merasa kurang pada bagian edukasi mengenai penyakit Skabies, saya seharusnya
melengkapi edukasi mengenai penyebab sakit Skabies, cara penularan, komplikasi yang
ditimbulkan dan prognosis penyakit. Hal tersebut tidak saya lakukan karena saya masih belum
terbiasa mengedukasi pasien dan masih merasa terburu-buru karena pasien Puskesmas banyak,
sehingga saya masih harus banyak berlatih untuk melakukan edukasi yang lengkap, tepat dan
tetap efisien dalam memanfaatkan waktu. Selain itu, edukasi yang saya berikan mengenai
PHBS juga belum sempurna karena saya kurang menggali pada anamnesis mengenai riwayat
sosial pasien. Saya juga seharusnya dapat mengedukasi orang tua pasien untuk dapat
memakaikan pasien sarung tangan bayi, sehingga jika pasien sering memasukkan tanganya ke
mulut, tidak terkena lesi kulit pasien. Pada penggunaan obat Permetrin bagi pasien, saya kurang
tepat untuk mengedukasi pasien menggunakannya selama 7-8 jam, sedangkan menurut teori,
seharusnya digunakan selama 10 jam.

Menurut pendapat saya, timbulnya perbedaan antara teori dan fakta yaitu mengenai
anamnesis pasien yang kurang komprehensif dan waktu pelayanan pasien yang sangat singkat.
Hal tersebut dikarenakan jumlah pasien puskesmas yang sangat banyak dengan waktu
pelayanan yang singkat. Selain itu, kurangnya penilaian terhadap diagnosis banding yang
mungkin pada kasus ini menyebabkan anamnesis belum lengkap kepada pasien. Edukasi
penggunaan salep Permetrin juga masih kurang tepat karena saya hanya mengingat-ingat waktu
pemberiannya, seharusnya saya mengecek kembali ke referensi agar tidak salah dalam
mengedukasi pemeberian obat kepada pasien.

Selain itu, fungsi promotif penyakit menular pada komunitas yang masih kurang
menyebabkan pengetahuan masyarakat mengenai Skabies masih belum baik. Hal tersebut
selanjutnya menyebabkan pasien akan sering berkunjung ke puskesmas tanpa disertai adanya
pencegahan terhadap penularan penyakit.

12
Hal yang dapat dipelajari untuk perbaikan kedepannya adalah saya perlu berlatih lebih
sering untuk meningkatkan kemampuan analisis masalah penyakit yang baik, sehingga dapat
memikirkan kemungkinan berbagai diagnosis banding terhadap suatu penyakit. Saya harus
lebih giat lagi dalam membaca dan mengetahui poin-poin penting pada suatu penyakit.
Mempelajari kembali pedoman pelaksanaan praktik klinis di layanan primer terutama
puskesmas sehingga mengetahui minimal pelayanan yang harus diberikan, tenaga kesehatan
yang diperlukan dan mengetahui mengenai alur pelayanan pasien.

Nilai agama yang dapat saya ambil dari kasus ini adalah saat saya seharusnya lebih
bersabar dalam menghadapi pasien anak sehingga pikiran saya menjadi lebih tenang untuk
selanjutnya dapat menganalisis penyakit pasien dengan lebih baik. Secara bahasa sabar berarti
al-habsu (menahan), sedangkan secara syariat, sabar berarti menahan diri atas tiga perkara,
yaitu sabar dalam menaati Allah, sabar dari hal-hal yang Allah haramkan dan sabar terhadap
takdir Allah yang menyakitkan.3 Sebagaimana firman Allah SWT mengenai sabar sebagai
berikut:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar
dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-
Baqarah: 153).

Artinya: “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Q.S. Asy-Syuura: 43).4

Selain sabar, dalam menangani kasus ini, saya juga belajar bahwa memiliki bekal ilmu
yang mumpuni dalam menghadapi pasien itu sangat penting, sehingga perilaku rajin dalam
belajar dan keingintahuan yang besar sangat diperlukan di bidang kedokteran. Sebagaimana
hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:

Artinya: “Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim
perempuan.” (H.R. Ibnu Abdil Barr).5

Pada kasus ini saya juga belajar mengenai pentingnya kebersihan diri dan lingkungan,
bahwa salah satu faktor terjadinya penyakit berasal dari kebersihan yang tidak baik. Islam
mengajarkan mengenai kewajiban menjaga kebersihan, sebagaimana Hadit Nabi Muhammad
SAW berikut:

Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT itu suci dan menyukai hal-hal yang suci. Dia Maha bersih
dan menyukai kebersihan. Dia Maha mulia dan menyukai kemuliaan. Dia Maha indah dan

13
menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempat-tempatmu dan jangan meniru orang-
orang Yahudi. (H.R. Tirmidzi).6

F. Daftar Pustaka
1. Djuanda, A., et all. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010. p.122-126
2. Kementerian Kesehatan. 2014. Panduan Parktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer.
3. Anonim. 2017. Sabar, Dalil dalam Al Quran dan Hadits tentang Sabar.
http://www.berbagaireviewers.com/ diunggah pada tanggal 8 November 2018.
4. Al Quran dan terjemahannya.
5. Al Hafidz, A. 2015. Hadits tentang Kewajiban Menuntut Ilmu. http://www.dic.or.id/
diunggah pada tanggal 8 November 2018
6. Anonim. 2017. Muslim Harus Mencintai Kebersihan. http://www.suaramuslim.net/
diunggah pada tanggal 8 November 2018.

14
Lampiran
Kopi Rekam Medis
a. Identitas
Nama : By. MR
Usia : 11 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Buaran Mangga
Agama : Islam
b. Anamnesis
Alloanamnesis dilakukan kepada ibu pasien pada tanggal 02 November 2018 di BP Anak.
Keluhan Utama

Gatal di seluruh badan sejak 1 bulan sebelum dibawa ke Puskesmas.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien bayi laki-laki, usia 11 bulan, datang dengan keluhan gatal di seluruh badan sejak 1 bulan
sebelum dibawa ke Puskesmas. Gatal awalnya dirasakan di bagian perut dan punggung,
kemudian menyebar ke bagian sela jari kaki dan tangan pasien. Gatal terutama dirasakan pada
malam hari sehingga pasien sulit tidur. Keluhan gatal tidak disertai adanya demam. Gatal
dirasakan setelah pasien berkunjung ke rumah nenek pasien dan berkontak dengan paman
pasien yang mengalami keluhan yang sama setelah pulang dari pesantren. Ibu pasien
menyangkal bahwa pasien memiliki alergi terhadap obat-obatan tertentu maupun makanan
jenis tertentu. Keluhan pasien tersebut sudah diobati dengan salep Hidrocortison namun tidak
kunjung membaik. Ibu pasien sangat mengkhawatirkan kondisi pasien akan memburuk dan
tidak kunjung membaik.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Paman pasien mengalami gatal yang sama seperti pasien setelah paman pasien tersebut pulang
dari pesantren. Kedua orang tua pasien mengalami keluhan yang sama dan mengalami keluhan
setelah berkontak dengan paman pasien. Ibu pasien sudah merasa sembuh, sementara ayah
pasien masih mengalami keluhan yang sama dengan pasien.

15
Riwayat sosial dan kebiasaan

Pasien merupakan anak yang sangat aktif. Pasien sering berrmain dengan teman seusianya.
Pasien dan orang tuanya masih tidur dalam satu tempat tidur.

c. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis :
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
BB : 8 kg
PB : 74 cm
Nadi : 100x/menit, teratur, isi cukup
Pernapasan : 25x/menit
Suhu : 36,5o C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Paru : Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Status lokalis : Pada regio thorakal, abdominal, genital, interphalang manus
dextra dan sinistra, interphalang pedis dextra dan sinistra terdapat papulae eritematosa dengan
erosi dan sebagian ekskoriasi.

d. Diagnosis
Skabies DD/ Dermatitis atopik
e. Terapi
Non Farmakologi
- Edukasi bahwa penyakit Skabies menular.
- Edukasi cara pencegahan dengan merendam pakaian dengan air hangat, mencuci sprei,
menjemur kasur.
- Edukasi untuk penggunaan handuk masing-masing.
- Edukasi cara penggunaan obat Permetrin cukup satu kali (digunakan di seluruh tubuh
kecuali bagian wajah dan kepala, ditunggu sampai kering terlebih dahulu kemudian
memakai baju dan selanjutnya tidak boleh terkena air sampai 7-8 jam setelah salep dioles)
dan boleh diulang satu minggu kemudian jika belum membaik.
- Edukasi bahwa obat Cetirizine digunakan untuk mengatasi gatal, sehingga obat tidak perlu
diminum jika keluhan gatal sudah menghilang.

16
- Edukasi untuk orang tua yang serumah dengan pasien untuk menggunakan obat Permetrin.
 Farmakologi
- Permetrin 5% dipakai satu kali.
- Cetirizine syrup (5mg/5ml) 1x1/2 cth, jika gatal.

RESEP

R/ Permetrin 5% 10 gram No. I


ʃ 1 dd ue

R/ Cetirizine syrup 5mg/5ml 60 ml fls No. I

ʃ 1 dd I ½ Cth pc prn

17
Feedback dari Pembimbing Puskesmas :

Feedback dari Pembimbing Kampus :

Nama Mahasiswa Safitri Nenik Agustin TTD ……………………….

dr. Witri Ardini, Sp. GK. TTD ………………………


Nama
Pembimbing
dr. Mistuti Alwiyah TTD ………………………

18
KEGIATAN INTERNAL

19
LAPORAN KEGIATAN
KINERJA INTERNAL PUSKESMAS

FARMASI
Nama Kegiatan : Farmasi

Tempat : Puskesmas Sukawali

Tanggal : Selasa, 06 November 2018

A. Deskripsi kegiatan

Pada hari Selasa, 06 November 2018, kelompok kecil saya mendapat tugas di bagian
Farmasi Puskesmas Sukawali. Bagian Farmasi ini dikepalai oleh seorang bidan dan pada
pelayanan sehari-hari dibantu oleh seorang perawat. Tidak ada apoteker di Puskesmas
Sukawali. Ruangan Farmasi Puskesmas Sukawali terletak di dekat ruangan BP Anak dan di
depan ruang tunggu pendaftaran. Ruangan tersebut berukuran sekitar 2 x 3 m dan dilengkapi
oleh AC, sehingga ruang Farmasi merupakan salah satu ruangan paling dingin di Puskesmas
Sukawali. Bagian Farmasi Puskemas Sukawali tidak melayani 24 jam, karena bagian Poned
Puskemas sudah memiliki obat sendiri. Bagian farmasi akan tutup seiring dengan tidak adanya
pasien yang datang ke puskesmas, biasanya pukul 12.00 WIB sudah tidak ada pasien yang
datang.

Ruang Farmasi diisi oleh dua meja tempat menyiapkan obat, tiga lemari obat, satu meja
komputer dan beberapa kursi. Bagian Farmasi Puskesmas Sukawali juga dilengkapi oleh alat
untuk membuat puyer yang terdiri dari lumpang, alu dan mesin penghalus obat. Farmasi
Puskesmas Sukawali menyediakan beberapa obat yang jenisnya terbatas. Sediaan obat yang
tersedia terdiri dari tablet, kapsul, sirup, salep, krim, bedak, suppositori, tetes dan ampul. Selain
itu, terdapat sediaan obat yang dikhususkan bagi pasien anak, yang biasanya berusia <5 tahun,
yaitu sediaan puyer.

Pada saat bertugas di bagian Farmasi ini, saya belajar cara membaca resep, memberikan
obat dan membuat puyer. Saya belajar cara menulis etiket obat dan juga belajar cara
mengedukasi pasien mengenai cara penggunaan obat yang meliputi takaran minum obat, waktu
yang tepat minum obat dan tenggang waktu obatnya perlu diminum. Setiap hari, bagian
Farmasi selalu menerima resep puyer. Resep puyer di puskesmas biasanya diresepkan dengan
ukuran total jumlah puyer yang diinginkan, jadi tidak menggunakan ukuran dosis setiap kali
minum. Puyer biasanya dibuat menggunakan lumpang dan alu, sedangkan mesin penghalus

20
puyer sangat jarang digunakan karena listrik puskesmas akan turun jika alat tersebut
dinyalakan. Pada pembuatan puyer tidak terdapat adanya tambahan Saccarum Lactis karena
tidak tersedia di Puskesmas. Setelah semua obat yang ingin dijadikan puyer digerus di
lumpang, serbukan campuran obat tersebut kemudian dibagi secara manual dengan perkiraan
pada setiap perkamen. Saat pembuatan puyer terkadang beberapa serbuk obat ada yang tercecer
ke meja karena tertiup angin. Jumlah resep puyer yang cukup banyak setiap hari merupakan
salah satu alasan untuk tidak mengukur dosis pada setiap perkamen. Setelah lumpang
digunakan, lumpang tersebut tidak langsung dicuci karena akan memperpanjang waktu
pelayanan. Hal tersebut mengakibatkan masih terdapat sisa serbukan obat yang menempel di
lumpang.

Untuk obat dengan sediaan tablet atau kapsul, biasanya sudah dibungkus dalam satu
plastik etiket, dengan jumlah 5,10, atau 20 butir tiap bungkus, misalnya Paracetamol tablet
500mg, biasanya sudah dibungkus sebanyak 5 butir atau 10 butir obat dalam satu bungkus. Hal
tersebut memudahkan dan mempercepat pelayanan obat, namun juga menyebabkan jumlah
peresepan obat menyesuaikan jumlah butir obat dalam bungkus tersebut, sehingga di
Puskesmas Sukawali lebih sering meresepkan Paracetamol tablet 500mg sebanyak 5 butir atau
10 butir, sangat jarang meresepkan 15 butir. Sedangkan untuk obat sirup atau krim tidak
terdapat aturan khusus. Terdapat obat yang tidak ada di Puskesmas atau pada kondisi tertentu
obat sedang kosong di Puskemas. Pada keadaan tersebut, pihak Farmasi biasanya menanyakan
atau meminta pasien untuk kembali ke dokter dan memberitahukan bahwa obat yang
diresepkan tidak ada, sehingga memberikan pilihan kepada dokter untuk mengganti atau
menyuruh pasien membeli di apotek di luar puskesmas.

Pada hari ini saya mengambil satu contoh resep dengan identitas By. MH, laki-laki,
usia 5 bulan, BB 7,5 kg dan mendapat puyer yang berisi obat Ambroxol tablet 4 mg sebanyak
5 butir dan Chlorphniramine Maleat (CTM) tablet 4 mg sebanyak 5 butir, yang terbagi menjadi
10 bungkus puyer, dengan dosis 2x1 puyer tiap hari dan diminum setelah makan. Selain itu,
pasien juga mendapat Zinc tablet 20 mg sebanyak 5 butir dengan dosis 1x½ tablet tiap hari dan
diminum setelah makan.

A. Diagnostik
- Infeksi saluran penafasan akut e.c. viral infection dd/ bacterial infection.
- Diare akut tanpa dehidrasi e.c. viral infection dd/ bacterial infection.

21
B. Tata Laksana
- Non Farmakologi
a. Mengedukasi untuk mengonsumsi obat sesuai aturan yang telah dijelaskan.
b. Mengedukasi untuk menghabiskan obat Zink.
c. Mengedukasi bahwa untuk obat puyer jika keluhan batuk dan pilek sudah tidak ada,
maka tidak perlu dikonsumsi.
- Farmakologi
R/ Ambroxol tab 4 mg No. V
Chlorfeniramin Maleat tab 4 mg No. V
m.f. pulv No. X
ᶴ 2 dd pulv I pc prn
R/ Zink tab 20 mg No. V
ᶴ 1 dd tab ½ pc

C. Refleksi kegiatan

Tindakan yang menurut saya sudah benar adalah saya membaca resep yang ditulis oleh
petugas di BP Anak. Setelah membacanya, saya kemudian melakukan anamnesis singkat
mengenai keluhan yang dialami oleh pasien. Berdasarkan anamnesis didapatkan data bahwa
pasien memiliki BB 7,5 kg, dibawa ke Puskesmas dengan keluhan batuk pilek sejak 2 hari.
Batuk dirasakan berdahak. Batuk tidak disertai sesak napas maupun demam. Batuk disertai
adanya mencret. Pasien sudah BAB sebanyak 4x dengan BAB cair, sedikit ampas, tidak ada
lendir maupun darah. Pasien masih tampak rewel dan aktif. Berdasarkan data tersebut saya
menyimpulkan bahwa pada pasien ini terjadi infeksi saluran napas akut dan diare akut tanpa
dehidrasi.

Awalnya dokter muda yang bertugas di BP Anak memberikan obat untuk keluhan batuk
dan pilek berupa puyer yang berisi Ambroxol tablet 4 mg sebanyak 5 butir dan CTM tablet 4
mg sebanyak 5 butir untuk setiap puyer. Melihat dosis tersebut, saya merasa dosis tersebut
kurang tepat, saya kemudian mengonfirmasi hal tersebut ke dokter muda yang meresepkan,
karena seharusnya untuk anak <2 tahun, dosis Ambroxol sebanyak 7,5 mg per 12 jam atau
secara umum dosis Ambroksol adalah 1,2-1,6 mg/kgbb/hari dan dosis terbagi menjadi 2-
3x/hari. Dokter muda akhirnya mengoreksi resep tersebut dan mengklarifikasi bahwa
seharusnya dosis yang tertulis adalah Ambroxol tablet 30 mg sebanyak 5 butir untuk 10

22
perkamen. Untuk dosis Zink sudah sesuai, yaitu untuk anak usia <6 bulan sebanyak 10mg per
hari dan diberikan selama 10-14 hari.1,2

Selanjutnya saya mulai meracik puyer untuk pasien tersebut dan membagi ke dalam 10
perkamen. Saya kemudian menyiapkan obat Zink dan selanjutnya menulis di etiket untuk
kedua obat tersebut. Saya menuliskan cara meminum kedua obat di bagian etiket kemudian
memberikan obat kepada orang tua pasien.

Pada saat memberikan obat kepada pasien saya mengecek kembali obat yang diberikan
sudah sesuai dengan yang ada di resep. Saya menjelaskan fungsi masing-masing obat yang
diberikan kepada orang tua pasien, yaitu untuk obat puyer digunakan untuk batuk pilek,
sedangkan untuk tablet Zink digunakan untuk diare. Selain melakukan edukasi farmakologi,
saya juga mengedukasi pasien untuk mengonsumsi obat sesuai aturan yang telah dijelaskan,
meminum kedua obat setelah makan dan menghabiskan tablet Zink yang diberikan, sedangkan
untuk obat puyernya dapat dihentikan jika keluhan batuk pilek sudah membaik atau obat tidak
perlu dihabiskan. Untuk tablet Zink, saya mengedukasi orang tua pasien bahwa tablet Zink
akan larut didalam air, sehingga tablet dapat diletakkan di satu sendok air, kemudian ditunggu
terlebih dahulu untuk larut, kemudian diberikan kepada pasien.

Tindakan yang saya rasakan masih kurang antara lain saya seharusnya menuliskan
etiket obat tidak hanya berupa aturan minum obat, namun juga termasuk nama pasien. Hal
tersebut untuk mencegah tertukarnya obat pasien dengan orang lain. Selain itu, saya juga
seharusnya menanyakan perlu tidaknya pasien tersebut diberikan Oralit, dikarenakan pasien
mengeluh diare.

Terdapat beberapa perbedaan antara teori dengan fakta yang ditemukan antara lain
untuk unit kefarmasian berdasarkan peraturan menteri kesehatan no. 74 tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, dikatakan dalam penyelenggaraan
pelayanan kefarmasian minimal dilaksanakan oleh satu orang tenaga apoteker sebagai
penanggung jawab yang dapat dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian sesuai kebutuhan. Pada
Puskesmas Sukawali belum terdapat apoteker maupun asisten apoteker.3

Hal yang dapat dipelajari untuk perbaikan selanjutnya adalah untuk perbaikan
kedepannya saya perlu untuk mempelajari kembali mengenai algoritme pendekatan klinis
pasien dengan batuk dan pilek serta diare. Saya perlu banyak belajar mengenai penggunaan
antihistamin pada anak. Saya akan membaca kembali dan berdiskusi dengan pembimbing saya,

23
bagaimana kendala-kendala di lapangan sehingga penggunaan antihistamin masih sering lebih
bebas.

Nilai agama dan profesionalisme apa yang dapat saya masukkan dalam kasus ini
yaitu mengenai prinsip etika profesionalisme beneficence, non-maleficence, dan justice. Islam
tidak menyukai hal-hal yang berlebihan tidak pula yang kekurangan, maka hendaknya kita
memberikan terapi dengan pemberian obat yang rasional, sesuai dosis, tidak berlebihan dan
tidak kekurangan.

D. Daftar Pustaka
1. Purba, RT. 2016. Pocket Synopsis: Obat di Indonesia. Banjarbaru: PT. Grafika Wangi
Kalimantan.
2. Tim Editor. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
Penerbit IDAI.
3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Puskesmas.

24
Dokumentasi Kegiatan

Gambar 1. Foto Resep Gambar 2. Alat pembuat puuyer

Gambar 3. Puyer di Perkamen

25
Feedback dari Pembimbing Puskesmas :

Feedback dari Pembimbing Kampus :

Nama Mahasiswa Safitri Nenik Agustin TTD ……………………….

dr. Witri Ardini, Sp. GK. TTD ………………………


Nama
Pembimbing
dr. Mistuti Alwiyah TTD ………………………

26
KEGIATAN EKSTERNAL

27
LAPORAN KEGIATAN

KINERJA EKSTERNAL PUSKESMAS

POS PELAYANAN TERPADU

Nama kegiatan : Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

Tempat : Ds. Kohod, Kec. Pakuhaji, Kab. Tangerang

Tanggal : 10 November 2018

A. Deskripsi Kegiatan

Pada hari Sabtu, 10 November 2018, terdapat dua kegiatan eksternal Puskesmas Sukawali
yang berlangsung. Kegiatan eksternal tersebut berupa Posyandu dan Posbindu. Posyandu
merupakan salah satu bnetuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) ynag
dikelola dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, guna memberdayakan masyarakat dan
memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar
bagi ibu, bayi dan anak balita. Posyandu memiliki kegiatan utama yang mencakup kesehatan
ibu dan anak, keluarga berencana, imunisasi, gizi, serta pencegahan dan penanggulangan diare.
Posyandu dilakukan sekurang-kurangnya sebanyak satu kali dalam sebulan.1

Posyandu memiliki beberapa kader. Salah satu peran kader tersebut adalah untuk
menyebarluaskan informasi mengenai hari buka Posyandu melalui pertemuan warga setempat
atau surat edaran. Kader juga membantu dalam melakukan pelayanan kesehatan saat hari buka
Posyandu berupa pencatatan pendaftaran ibu dan balita dan melakukan kunjungan rumah pada
balita yang tidak hadir pada hari buka Posyandu, anak yang kurang gizi, atau anak yang
mengalami gizi buruk rawat jalan, dan lain-lain sesudah hari buka Posyandu.1

Saya mengikuti kegiatan Posyandu bersama salah satu bidan Puskemas di rumah salah satu
kader desa yang terletak di Desa Kohod. Sebelum berangkat ke lokasi, kami menyiapkan
berbagai peralatan berupa timbangan berat badan, peralatan imunisasi dan
sphygmomanometer. Perjalanan ke lokasi kegiatan dimulai sekitar pukul 08.20 WIB. Kami
menggunakan transportasi berupa ambulan puskesmas. Desa Kohod dengan Puskesmas
Sukawali berjarak sekitar 6 km. Kami tiba di lokasi sekitar pukul 09.00 WIB.

28
Pada saat kami tiba di lokasi, para kader desa dan ibu serta balita yang akan berobat sudah
berkumpul. Kegiatan posyandu oleh Puskesmas Sukawali kali ini mengenai pemeriksaan
kesehatan ibu berupa Antenatal Care (ANC), imunisasi ibu hamil, imunisasi balita dan gizi.
Pemeriksaan ANC yang dilakukan terdiri dari penimbangan berat badan ibu, evaluasi
penambahan berat badan, pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan Leopold dan pemberian
imunisasi TT serta pemberian suplemen Besi, Kalsium dan biskuit untuk ibu hamil. Untuk
pemeriksaan balita terdiri dari penimbangan berat badan dan pemberian imunisasi. Imunisasi
yang diberikan sesuai dengan usia dan jadwal pemberian imunisasi pada anak yang tertera di
Buku Kesehatan Ibu dan Anak.

Pada kegiatan Posyandu ini, saya lebih banyak membantu dalam melakukan imunisasi
kepada ibu hamil dan balita. Saya melakukan beberapa imunisasi, yaitu imunisasi TT, BCG,
DPT-Hib, dan Campak. Saat melakukan pemberian imunisasi, saya masih terkadang lupa dosis
vaksin yang diberikan dan cara penyuntikan vaksinnya. Sehingga, saya sesekali bertanya
kepada teman dan mencari informasi di internet mengenai dosis dan cara penyuntikan vaksin.
Terdapat seorang balita berusia 9 bulan yang datang untuk mendapat imunisasi Campak. Saat
saya akan menyuntikkan vaksin Campak ke lengan kiri pasien tersebut, ibu pasien terlihat tidak
yakin terhadap letak suntikan. Ibu pasien tersebut kemudian bertanya kepada bidan mengenai
benar tidaknya melakukan imunisasi Campak di lengan. Saya hanya bisa terdiam melihat
ketidakpercayaan ibu tersebut, namun karena bidan juga mengatakan hal yang sama, akhirnya
ibu pasien percaya.

Usia ibu hamil yang datang ke Posyandu lebih banyak berusia 19-28 tahun. Usia pernikahan
di daerah Kohod memang terbilang masih muda. Banyak pasien yang sudah menikah di usia
<20 tahun. Hal tersebut mungkin karena banyak masyarakat yang enggan meneruskan
pendidikan. Masyarakat lebih banyak memiliki pendidikan SD dan SMP.

Selain memberikan imunisasi, saya sesekali melakukan observasi terhadap pemeriksaan


Leopold yang dilakukan oleh bidan. Saat saya melihat bidan sedang memeriksa leopold pada
ibu hamil, saya melihat terdapat seorang ibu hamil yang memakai sebuah benda seperti tali
hitam dengan terdapat sebuah kantong kecil yang dilingkarkan di perut. Ternyata, menurut
penuturan bidan, benda tersebut memang kadang dipakai oleh beberapa ibu hamil karena
dipercaya sebagai jimat untuk melindungi kehamilan mereka agar janin mereka tidak hilang.
Menurut penuturan bidan, bidan sudah pernah melakukan edukasi mengenai hal tersebut,
namun masyarakat masih banyak yang memakainya.

29
Ibu hamil dan balita kemudian mendapatkan biskuit dan suplemen Besi dan Kalsium
sebelum pulang. Kegiatan Posyandu berlangsung selama 2-3 jam. Kegiatan Posyandu ditutup
pada pukul 11.30 WIB saat pasien sudah tidak ada yang datang. Kami kemudian kembali ke
Puskesmas Sukawali untuk melanjutkan kegiatan di Puskemas.

B. Refleksi perbedaan antara teori dengan praktek yang dilakukan:

Tindakan yang saya rasakan sudah sesuai yaitu, dalam melakukan pelayanan terhadap
pasien yang ingin imunisasi, saya terlebih dahulu mengecek dokumen pencatatan pelayanan
imunisasi untuk melihat imunisasi yang sudah dilakukan oleh balita dan mengonfirmasi
mengenai usia balita, sehingga jenis vaksin yang akan diberikan sudah sesuai dengan jadwal
pemberian imuniasi tersebut.

Imunisasi merupakan suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang


secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut
tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Imunisasi program merupakan imunisasi
yang diwajibkan kepada seseorang sebagai bagian dari masyarakat dalam rangka melingdungi
yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Imunisasi program terdiri imunisasi rutin, imunisasi tambahan dan imunisasi khusu.
Imunisasi dasar dilakukan terhadap penyakit Hepatitis B, Poliomyelitis, TB, Difteri, Pertusis,
Tetanus, Pneumonia dan Meningitis yang disebabkan oleh Hemophilus Influenza tipe b (Hib)
dan Campak.2

Gambar 1. Pedoman Imunisasi IDAI 2017.3


Selain mengenai jadwal imunisasi, saya juga memastikan jenis vaksin, dosis dan cara
penyuntikan serta tempat penyuntikan yang saya lakukan sudah sesuai dengan pedoman

30
imunisasi oleh IDAI. Saya juga melakukan tindakan aseptic untuk tempat suntikan
menggunakan alkohol.

Imunisasi BCG diberikan dengan dosis 0,05 ml untuk bayi <1 tahun dan 0,1ml untuk anak
(>1 tahun). Vaksin BCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio
Musculus Deltoideus. Untuk pasien yang berusia >3 bulan, perlu dilakukan uji Tuberkulin
terlebih dahulu. Apabila uji Tuberkulin tidak memungkinkan, BCG dapat diberikan namun
perlu diobservasi dalam waktu 7 hari. Pada pelaksanaan Posyandu kemarin, pasien yang
diimunisasi BCG tidak ada yang berusia >3 bulan. Untuk Imunisasi DTP, Hib, HepB diberikan
dengan dosisi 0,5 ml dan diberiakan secara intramuskular di paha untuk bayi, dan lengan kanan
untuk batita. Imunisasi Polio dapat dilakukan dengan dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui
oral (OPV) dan injeksi (IVP). Bayi paling sedikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV
bersamaan dengan OPV-3 saat pemberian DTP-3. Pada kegiatan Posyandu kemarin, sediaan
vaksin Polio yang tersedia berupa sediaan oral. OPV diberikan 2 tetes per oral, sedangkan IPV
diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intramuskular. Untuk imunisasi Campak diberikan
sebanyak 0,5 ml secara subkutan dalam.2,3,4

Selain itu, sebelum menyuntikkan vaksin, saya memastikan melalui anamnesis kepada ibu
pasien bahwa pasien sedang tidak demam tinggi. Hal tersebut saya lakukan untuk menilai ada
tidaknya kontraindikasi pada pemberian vaksin kepada pasien tersebut.

31
Gambar 2. Kontra Indikasi dan Bukan Pada Imunisasi Program.2
Pemberian imunisasi pada ibu hamil di Posyandu kemarin berupa pemberian imunisasi TT.
Pemberian imunisasi TT pada ibu hamil harus didahului dengan skrining untuk mengetahui
jumlah dosis (dan status) imunisasi tetanus toksoid (TT) yang telah diperoleh selama hidupnya.
Pemberian imunisasi TT tidak mempunyai interval maksimal, hanya terdapat interval minimal
antar dosis TT. Jika ibu belum pernah imunisasi atau status imunisasinya tidak diketahui, dapat
diberikan dosis vaksin (0,5 ml IM di lengan atas). Dosis booster mungkin diperlukan pada ibu
yang sudah pernah diimunisasi. Pemberian dosis booster 0,5 ml IM disesuaikan dengan jumlah
vaksinasi yang pernah diterima sebelumnya.5

Gambar 3. Pemberian vaksin TT untuk ibu yang belum pernah imunisasi (DPT/TT/Td) atau tidak tahu status
imunisasinya.5

Gambar 4. Pemberian vaksin TT untuk ibu yang sudah pernah diimunisasi (DPT/TT/Td). 5

32
Tindakan yang saya rasakan masih kurang antara lain, saya kurang dalam melakukan
edukasi mengenai kejaidan ikutan pasca imunisasi (KIPI) terhadap orang tua pasien. Saya
seharusnya melakukan edukasi tersebut untuk mencegah agar orang tua tidak khawatir dan
untuk menjaga agar orang tua tetap melakukan imunisasi berikutnya. KIPI merupakan kejadian
medik yang diduga berhubungan dengan imunisasi. baik berupa efek vaksin ataupun efek
samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau kesalahan program,
koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.4

Gambar 5. Gejala klinis menurut jenis vaksin dan saat timbulnya KIPI.4
Selain itu, tindakan yang saya rasa masih kurang adalah saya tidak memakai sarung tangan
dan tidak melakukan cuci tangan sebelum melakukan imunisasi. Hal tersebut karena pihak
puskesmas tidak menyediakan sarung tangan dan alat cuci tangan untuk kegiatan Posyandu ini.
Namun, seharusnya saya dapat membawa sarung tangan dan alat cuci tangan sendiri untuk
mencegah terjadinya infeksi.

33
Kemudian, meskipun saya sudah mencoba untuk menyesuaikan dosis, cara dan lokasi
penyuntikan, masih terdapat kesalahan dosis saat pemberian OPV. Pada saat Posyandu
kemarin, saya hanya memberikan OPV dengan dosis satu tetes. Sedangkan menurut referensi,
pemberian OPV sebanyak 2 tetes per oral. Kemudian, untuk cara penyuntikan juga saya masih
harus berlatih lebih agar lokasi dan tempat masuknya obat sudah sesuai, terutama karena
lapisan kulit dan otot balita lebih tipis.4

Selain mengenai KIPI, saya juga tidak melakukan edukasi kepada ibu hamil mengenai
penggunaan barang seperti jimat. Menurut saya, seharusnya kemarin saya melakukan edukasi
mengenai kehamilan yang tiba-tiba menghilang (abortus), agar pasien tidak mempercayai hal-
hal gaib untuk menjaga kandungan mereka. Hal tersebut juga perlu untuk mengurangi
kekhawatiran masyarakat mengenai kehamilan yang hilang secara tiba-tiba.

Terdapat beberapa perbedaan antara teori dengan fakta yang ditemukan antara lain
mengenai perlunya tindakan antiseptik sebelum tindakan imunisasi, yaitu setiap petugas yang
akan melakukan pemberian imunisasi harus mencuci tangan dengan sabun terlebih dahulu.4
Hal tersebut karena puskesmas tidak menyediakan alat untuk tindakan antiseptic tersebut.

Selain itu, pengelolaan limbah yang infeksius juga masih belum baik dalam
pelaksanaannya. Pada saat Posyandu kemarin, spuit bekas suntikan tidak dimasukkan ke dalam
safety box. Limbah tersebut hanya ditumpuk di atas meja pemeriksaan yang selanjutnya
dibungkus dalam satu kantong, kemudian dibuang di tempat sampah rumah kader.

Gambar 6. Pengelolaan Limbah Infeksius.2


Hal yang dapat dipelajari untuk perbaikan selanjutnya adalah saya perlu lebih banyak
belajar mengenai dosis, cara pemberian dan lokasi pemberian imunisasi dengan benar. Hal
tersebut agar saya tidak melakukan kesalahan lagi dalam melakukan imunisasi. Selain itu, saya

34
juga perlu banyak berlatih agar dalam melakukan injeksi pada anak lebih baik dan tidak gugup.
Sedangkan untuk kegiatan antiseptik, saya akan mengusahakan untuk membawa sarung tangan
dan alat cuci tangan sendiri. Selanjutnya, untuk ke puskesmas, saya akan mencoba
menyarankan dan mengingatkan untuk membawa safety box untuk pengelolaan limbah.
Sedangkan untuk ibu hamil yang masih menggunakan jimat, saya akan memberikan edukasi
kepada ibu hamil tersebut, juga memberikan saran kepada bidan Puskesmas untuk lebih
menggalakkan edukasi mengenai tidak diperlukan penggunaan jimat pada ibu hamil.

Nilai agama dan profesionalisme apa yang dapat saya masukkan dalam kasus ini
adalah terutama mengenai larangan untuk mempercayai bahwa barang-barang tertentu
memiliki kekuatan, karena hal tersebut termasuk perbuatan syirik. Hal tersebut sesuai dengan
Q.S. Az-Zumar: 38.

Artinya: “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit
dan bumi?” niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku
tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan
kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika
Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?
Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada-Nya lah bertawakkal orang-orang yang
berserah diri.” (Q.S. Az-Zumar: 38).6

Nabi SAW juga bersabda dalam sebuah hadits mengenai hal tersebut sebagai berikut:

Artinya: “Nabi SAW pernah melihat di lengan seorang pria gelang yang dinampakkan
kepadanya. Pria tersebut berkata bahwa gelang itu terbuat dari kuningan. Lalu beliau berkata,
“Untuk apa engkau memakainya?” Pria tadi menjawab, “(ini dipasang untuk mencegah dari)
wahinah (penyakit yang ada di lengan atas). Nabi SAW bersabda, “Gelang tadi malah
membuatmu semakin lemah. Buanglah! Seandainya engkau mti dalam keadaan maish
mengenakan gelang tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya.” (H.R. Ahmad 4:445
dan Ibnu Majah No. 3531).7

C. Daftar Pustaka
1. Kemenkes RI Pusat Promosi Kesehatan. 2012. Ayo ke Posyandu Setiap Bulan, Posyandu
Menjaga Anak dan Ibu Tetap Sehat. Jakarta: Kemenkes RI.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Keempat.
Jakarta: IDAI.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi.

35
4. Gunardi H, dkk. 2017. Jadwal Imunisasi Anak Usia 0-18 Tahun Rekomendasi IDAI. Jakarta:
Sari Pediatri, Vol. 18, No. 5, Februari 2017.
5. Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar
dan Rujukan Edisi Pertama. Jakarta: Kemenkes RI. p29-30.
6. Al-Quran dan Terjemahnya.
7. Tuaisikal, MA. 2012. Kesyirikan pada Jimat dan Rajah. http://www.rumaysho.com/ diakses
pada 14 November 2018.
D. Dokumentasi

Gambar 1. Pemberian Imunisasi TT kepada ibu hamil

36
Feedback dari Pembimbing Puskesmas :

Feedback dari Pembimbing Kampus :

Nama Mahasiswa Safitri Nenik Agustin TTD ……………………….

dr. Witri Ardini, Sp. GK. TTD ………………………


Nama
Pembimbing
dr. Mistuti Alwiyah TTD ………………………

37
KEGIATAN EKSTERNAL

38
LAPORAN KEGIATAN

KINERJA EKSTERNAL PUSKESMAS

PENJARINGAN KESEHATAN

Nama kegiatan : Penjaringan Kesehatan

Tempat : Balai Desa Sukawali

Tanggal : 21 November 2018

E. Deskripsi Kegiatan

Pada hari Rabu, 21 November 2018, terdapat kegiatan eksternal Puskesmas Sukawali yang
berlangsung. Kegiatan eksternal tersebut adalah penjaringan kesehatan yang ditujukan untuk
ibu hamil. Penjaringan kesehatan yang dilakukan meliputi pemeriksaan golongan darah, tes
rapid HIV, pemeriksaan Hb dan pemeriksaan HBsAg.

Kegiatan Penjaringan Kesehatan ini dilaksanakan di Balai Desa Sukawali yang terletak di
sebelah Puskesmas Sukawali. Kegiatan ini dihadiri oleh beberapa ibu hamil dengan usia
kehamilan yang bervariasi. Kegiatan tersebut rutin dilaksanakan setiap bulan sekali oleh
beberapa bidan dari Puskesmas.

Kegiatan dimulai sekitar pukul 09.00 WIB. Saat saya sampai di tempat kegiatan, para ibu
hamil yang akan melakukan pemeriksaan sudah berkumpul di Balai Desa. Kegiatan diawali
dengan pengumpulan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) oleh ibu kemudian dibuka oleh
bidan disertai penjelasan mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan pada hari tersebut. Bidan
juga menjelaskan kepada para ibu hamil bahwa kegiatan ini dikhususkan untuk ibu hamil yang
belum pernah melakukan pengecekan darah yang diambil sampelnya dari lengan. Jika para ibu
hamil sudah melakukan hal tersebut, maka tidak perlu dilakukan pemeriksaan kembali.

Pada kegiatan penjaringan kesehatan tersebut, saya lebih banyak berperan dalam membantu
menyiapkan alat pemeriksaan Hb dan membantu dalam melakukan pengecekan golongan
darah serta pemeriksaan rapid HIV. Para bidan bertugas mengambil sampel darah dan
melakukan pencatatan di KIA. Beberapa ibu tampak ketakutan saat sampel darahnya akan
diambil. Para bidan menenangkan ibu tersebut sampai akhirnya ibu tersebut mau untuk diambil
darah.

39
Kegiatan tersebut berakhir saat semua peserta sudah dilakukan pemeriksaan dan sudah
dilakukan pencatatan di buku KIA. Kegiatan berakhir sekitar pukul 11.00 WIB. Jumlah total
peserta yang mengikuti kegiatan tersebut sekitar 30. Para peserta membawa pulang konsumsi
dan hasil pemeriksaan golongan darah.

F. Refleksi perbedaan antara teori dengan praktek yang dilakukan:

Tindakan yang saya rasakan sudah sesuai yaitu, dalam melakukan berbagai pemeriksaan
kesehatan tersebut, saya terlebih dahulu memastikan identitas peserta dan sampel sudah sesuai.
Hal tersebut saya lakukan untuk mencegah agar data antar peserta tidak tertukar. Selain itu,
pada pemeriksaan ini, saya sudah memakai APD berupa sarung tangan untuk mencegah
kontaminasi dengan sampel peserta yang berupa darah.

Para bidan juga telah memakai sarung tangan. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara
plebotomi untuk mengambil darah vena. Para bidan menggunakan kapas alkohol untuk
melakukan antiseptik sebelum mengambil sampel. Spuit yang digunakan merupakan
disposable syringe. Spuit yang telah digunakan kemudian dibuang ke safety box. Hal tersebut
sudah sesuai dengan teknik pengambilan sampel dan pengelolaan limbah menurut Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 43 Tahun 2013 tentang Cara Penyelenggaraan Laboratorium
Klinik yang Baik.13

Pemeriksaan laboratorium pada ibu hamil merupakan salah satu standar pelayanan minimal
(SPM) yang berhak diterima oleh ibu hamil. SPM untuk ibu hamil berupa pelayanan antenatal
(ANC) sesuai standar, yaitu ANC diberikan minimal 4 kali selama kehamilan dengan jadwal
satu kali pada trimester pertama, satu kali pada trimester kedua dan dua kali pada trimester
ketiga, yang dilakukan oleh Bidan dan atau Dokter. Standar ANC yang diberikan meliputi
sebagai berikut:

a) Timbang berat badan dan ukur tinggi badan


b) Ukur tekanan darah
c) Nilai status gizi (Ukur LILA)
d) Ukur TFU
e) Tentukan presentasi janin dan DJJ
f) Skrining status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi TT bila diperlukan
g) Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan

40
h) Tes laboratorium: tes kehamilan, pemeriksaan Hb, pemeriksaan golongan darah (bila belum
pernah dilakukan sebelumnya), pemeriksaan protein urin (bila ada indikasi)
i) Tata laksana kasus sesuai kewenangan
j) Konseling.1

Pada ibu hamil, bersalin, dan nifas pemeriksaan laboratorium tersebut terbagi menjadi
pemeriksaan rutin, pemeriksaan rutin pada daerah/situasi tertentu; atau pemeriksaan rutin atas
indikasi penyakit. Pemeriksaan rutin meliputi pemeriksaan hemoglobin dan golongan darah,
sedangkan pemeriksaan rutin pada daerah/situasi tertentu berupa pemeriksaan anti HIV,
malaria, HBsAg, Sifilis, dan/atau pemeriksaan yang lain sesuai kondisi daerah.3

Pemeriksaan golongan darah pada ibu hamil dilakukan selain untuk mengetahui jenis
golongan dara ibu, juga digunakan untuk mempersiapkan calon pendonor darah jika sewaktu-
waktu diperlukan pada situasi kegawatdaruratan. Pemeriksaan Hb diperlukan untuk menapis
ada tidaknya anemia pada ibu untuk menjaga proses tumbuh kembang janin dalam kandungan.
Anemia pada ibu hamil merupakan keadaan dengan kadar Hb <11 g/dl (pada trimester I dan
III) atau <10,5 g/dl (pada trimester III).2,4

Pada penjaringan kesehatan ini, pemeriksaan HIV juga dilakukan karena penyakit HIV
merupakan salah satu penyakit yang dapat menular dari ibu ke bayi. Selain itu, Provinsi Banten,
sebagai provinsi dari Desa Sukawali, merupakan salah satu dari sepuluh provinsi dengan angka
HIV tertinggi pada Januari – Maret 2017. Desa Sukawali juga memiliki penduduk dengan mata
pencaharian berupa nelayan. Pekerjaan tersebut memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga dapat
menjadi salah satu risiko terjadinya HIV.10

Selain HIV, pemeriksaan kesehatan yang tidak rutin dilakukan adalah pemeriksaan HBsAg
untuk mengetahui ada tidaknya penyakit Hepatitis B pada ibu hamil. Berdasarkan Riskesdas
2017, Hepatitis B menyerang 7,2% penduduk Indonesia. Pada ibu hamil, didapatkan HBsAg
reaktif terjadi rata-rata sebanyak 2,7%, sehingga diperkirakan terdapat 150 bayi yang
berpotensi untuk mengalami hepatitis kronik pada 30 tahun ke depan. Berdasarkan hal tersebut,
Kementerian Kesehatan melakukan strategi pencegahan dengan melakukan skrining Hepatitis
B bagi ibu hamil dan melakukan pengobatan bagi ibu hamil yang terinfeksi Hepatitis B.11

Pemeriksaan golongan darah pada penjaringan kesehatan ini menggunakan Slide Test.
Pemeriksaan menggunakan kertas tes golongan darah. Sampel darah peserta diletakkan di
kertas tersebut kemudian ditetesi dengan beberapa reagen. Reagen antisera merupakan reagen
yang digunakan untuk pemeriksaan golongan darah ABO. Penilaian golongan darah ditentukan

41
berdasarkan ada tidaknya aglutinasi. Misalnya, pada golongan darah A ketika ditambahkan
reagen antisera A, reagen antisera B, dan reagen antisera AB, maka terjadi aglutinasi pada
darah yang ditetesi reagen antisera A dan AB, sedangkan pada reagen antisera B tidak terbentuk
aglutinasi.5 Saya lebih banyak melakukan pengadukan antara sampel dengan reagen tersebut
dan juga menentukan golongan darah berdasarkan hasil aglutinasi. Saya sudah menentukan
golongan darah tersebut sesuai dengan teori.

Untuk pemeriksaan HIV pada penjaringan kesehatan kemarin dilakukan dengan


pemeriksaan kualitatif HIV 1 dan 2 dengan menggunakan metode Imunokromatografi Rapid
Test. Saya membantu dalam menambahkan 1 tetes buffer pada lubang strip. Saya juga
melakukan intepretasi terhadap hasil pemeriksaan tersebut. Hasil dari pemeriksaan tersebut
sebagai berikut:

1) HIV negatif : terbentuk satu garis warna pada zona garis control saja.

Gambar 1. Hasil HIV negatif


2) HIV positif : terbentuk dua atau tiga garis berwarna, satu pada zona garis test 1 atau 2 dan
satu pada zona garis control.

Gambar 2. Hasil HIV positif

3) Invalid/tes gagal : yaitu jika tidak timbul garis warna pada zona control.

Gambar 3. Hasil HIV invalid.6


Pemeriksaan HBsAg pada penjaringan kesehatan ini, tidak dilakukan di tempat pelaksanaan
kegiatan, melainkan dilakukan di laboratorium. Pada penjaringan kesehatan ini, sampel untuk
pemeriksaan HBsAg diletakkan di botol EDTA dengan volume darah yang dimasukkan
kedalam botol sebanyak 2 ml, kemudian spesimen dikirim ke laboratorium untuk dilakukan
42
pemeriksaan HBsAg dengan menggunakan metode ELISA. Enzyme-Linked Immunoadsorbent
Assay (ELISA) memiliki sensitifitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan metode
immunokromatografi, dan memiliki keuntungan yaitu reaktif positif palsu akan lebih sedikit
dan memperoleh hasil positif yang lebih cepat setelah infeksi terjadi.12

Tindakan yang saya rasakan masih kurang antara lain, pada awal pemeriksaan, saya
masih lupa kegunaan reagen yang bertuliskan Anti-D. Reagen tersebut ternyata digunakan
untuk menilai Rhesus. Rhesus adalah sistem penggolongan darah berdasarkan ada atau
tidaknya antigen D di permukaan sel darah merah, atau ada tidaknya faktor Rhesus atau faktor
Rh. Nama tersebut diperoleh dari monyet jenis Rhesus pada tahun 1940 oleh Karl Landsteiner.
Seseorang digolongkan memiliki golongan darah Rhesus negatif (Rh-), jika tidak memiliki
faktor Rh di permukaan sel darah merahnya, dan digolongkan menjadi Rhesus positif (Rh+)
jika memiliki faktor Rh pada permukaan sel darah merahnya. Delapan puluh lima persen
penduduk dunia memiliki faktor rhesus (Rh+) dalam darahnya, sementara 15% nya tidak
memiliki faktor rhesus (Rh-) dalam darahnya.7,8

Selain itu, tindakan yang masih belum tepat saat penjaringan kesehatan ini adalah
penyimpanan sampel untuk pemeriksaan HBsAg. Meskipun sudah disimpan di botol EDTA,
seharusnya setelah darah ditampung, kemudian dilakukan homogenisasi dengan cara
membolak – balik tabung kira-kira 10-12 kali secara perlahan – lahan dan merata. Namun pada
pelaksaanannya di kegiatan ini, sampel tersebut tidak dihomogenisasi, sehingga sampel
membeku. Kemudian, sampel juga hanya diletakkan di suhu kamar. Seharunya, untuk
pemeriksaan serologi HBsAg, sampel akan stabil diletakkan pada suhu 2-8°C (2-3 hari), freezer
compartment (1 bulan), deep freezer -20°C (6 bulan, tidak boleh gelas).13

Pada kegiatan ini, pencatatan hanya dilakukan di buku KIA milik masing-masing ibu. Tidak
terdapat pencatatan secara menyeluruh untuk hasil dari setiap pemeriksaan. Seharusnya,
dilakukan pencatatan mengenai hasil setiap pemeriksaan untuk mengetahui jumlah atau angka
ibu hamil yang mengalami anemia atau memiliki hasil HIV positif, sehingga dapat dilakukan
pencegahan penyakit pada ibu hamil secara lebih terarah.

Terdapat beberapa perbedaan antara teori dengan fakta yang ditemukan antara lain
mengenai evaluasi pemeriksaan Hb yang tidak ditentukan waktu. Peserta yang tidak
mengalami anemia sebelumnya tidak dilakukan pemeriksaan Hb kembali. Kemudian, pada
peserta yang mengalami anemia tidak diberikan edukasi mengenai cara menambah Hb.

43
Hal yang dapat dipelajari untuk perbaikan selanjutnya adalah saya perlu membaca
kembali mengenai pengelompokan sistem golongan darah dan metode untuk menentukan
golongan darah. Saya juga perlu membaca kembali mengenai anemia dan beberapa kegunaan
pemeriksaan laboratorium pada ibu hamil.

Nilai agama dan profesionalisme yang saya dapat dalam kasus ini adalah mengenai
prinsip pelaksanaan kedokteran, yaitu Beneficience, melakukan tindakan dengan bertujuan
untuk kebaikan atau kemanfaatan orang lain. Penjaringan kesehatan ini dilakukan untuk
menjaga proses tumbuh kembang janin melalui deteksi dini anemia pada ibu hamil dan untuk
melakukan pengobatan pada ibu yang memiliki penyakit Hepatitis B dan HIV secara lebih dini.

Selain itu, saya juga belajar mengenai peran salah sau dari five star doctor, yaitu dokter
harus bisa menjadi decision maker, yakni dapat menggunakan berbagai pemeriksaan penunjang
secara efektif dan efisien.14 Sedangkan nilai agama yang dapat saya pelajari adalah mengenai
sebuah Hadits Nabi SAW berikut:

Artinya: “Apabila terjadi dalam satu negeri suatu wabah penyakit dan kamu di situ janganlah
kamu ke luar meninggalkan negeri itu. Jika terjadi sedang kamu di luar negeri itu janganlah
kamu memasukinya.” (H.R. Bukhari).

Hadits tersebut mengajarkan perihal melakukan tindakan pencegahan terhadap sebuah


penyakit.9 Penjaringan kesehatan ini juga merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya komplikasi atau untuk mengetahui lebih dini sebuah penyakit, seperti
anemia, sehingga proses tumbuh kembang janin di rahim ibu dapat berjalan dengan baik dan
sehat.

44
G. Daftar Pustaka
8. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan.
9. Kemenkes RI. 2013. Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan
Edisi Pertama. Jakarta: Kemenkes RI. p.160-161.
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 59 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pemeriksaan Laboratorium Untuk Ibu Hamil, Bersalin, dan Nifas.
11. Kemenkes RI. 1997. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Kemenkes RI. p.2.
12. Oktari A, Silvia ND. 2016 Pemeriksaan Golongan Darah Sistem ABO Metode Slide
dengan Reagen Serum Golongan Darah A, B, O. Jurnal Teknologi Laboratorium.
htttp://www.teknolabjournal.com/ diunduh pada 22 November 2018.
13. Harti AS, et al. 2014. Pemeriksaan HIV 1 dan 2 Metode Imunokromatografi Rapid Test
Sebagai Screening Test Deteksi AIDS. Jurnal KesMaDaSka.
http://www.download.portalgaruda.org/ diunduh pada 22 November 2018.
14. Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi Enam. Jakarta: EGC.
p.467-468.
15. Natalina. 2015. Pemeriksaan Sederhana Golongan Darah dan Rhesus.
http://www.rhesusnegatif.com/ diakses pada 22 November 2018.
16. Anonim. 2013. Hadits-hadits tentang Kesehatan. http://www.ukki.student.uny.ac.id/
diakses pada 22 November 2018.
17. Ditjen P2P Kemenkes RI. 2017. Laporan Situasi Perkembangan HIV-AIDS & PIMS di
Indonesia Januari-Maret 2017.
18. Kemenkes RI. 2017. 150 Ribu Orang Potensial Alami Hepatitis Kronis.
http:/www.depkes.go.id/ diakses pada 30 November 2018.
19. Notes, Lecture. 2008. Penyakit Infeksi Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga.
20. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 43 Tahun 2013 tentang Cara Penyelenggaraan
Laboratorium Klinik yang Baik.
21. Boelen, C. 2009. The five-star doctor: an asset to health care reform?. Geneva: WHO.

45
Dokumentasi Kegiatan

Gambar 1. Pemeriksaan Golongan Darah Gambar 2. Pemeriksaan Rapid HIV

Gambar 3. Hasil Pemeriksaan Rapid HIV

46
Feedback dari Pembimbing Puskesmas :

Feedback dari Pembimbing Kampus :

Nama Mahasiswa Safitri Nenik Agustin TTD ……………………….

dr. Witri Ardini, Sp. GK. TTD ………………………


Nama
Pembimbing
dr. Mistuti Alwiyah TTD ………………………

47
KEGIATAN PROMOSI KESEHATAN

48
LAPORAN KEGIATAN

KINERJA EKSTERNAL PUSKESMAS

PROMOSI KESEHATAN PESANTREN

Nama kegiatan : Penyuluhan Kesehatan Pesantren

Tempat : Raudhotus Salafi

Tanggal : Senin, 19 November 2018

A. Deskripsi Kegiatan

Pada hari Senin, 19 November 2018, kelompok kami melakukan penyuluhan di sebuah
pesantren yang terletak di Desa Kalibaru, Kec. Pakuhaji, Kab. Tangerang. Pesantren tersebut
berjarak sekitar 5 km dari Puskesmas Sukawali. Pesantren tersebut bernama PP Raudhotus
Salafi dengan pemimpin pesantren bernama Ust. Mamri Ilyas. Kami memilih pesantren
tersebut atas saran dari pihak puskesmas, karena akses untuk masuk ke pesantren tersebut
cukup mudah. Sebelum melakukan penyuluhan, kami telah melakukan kunjungan ke pesantren
sebanyak 2 kali, yaitu untuk meminta izin dan melakukan survei pesantren.

Pesantren Raudhotus Salafi mulai berdiri sejak tahun 2010, dibangun oleh pemimpin
pesantren di atas tanah milik pribadi. Tempat pesantren tersebut awalnya merupakan sebuah
empang dengan kedalaman 3 m. Pesantren tersebut memiliki luas sekitar 20 m x 30 m, dan
terdiri dari enam bangunan, yaitu bangunan pertama untuk tempat tinggal pemimpin pesantren
dan keluarga beliau, tiga bangunan yang lain digunakan untuk tempat tinggal santri laki-laki
dewasa, satu bangunan digunakan untuk tempat pengajian di lantai satu dan lantai dua untuk
tempat santri laki-laki usia anak-anak, dan satu bangunan yang terakhir, lantai satu digunakan
untuk tempat pengajian, dan lantai dua untuk tempat tinggal santri wanita. Sebelah depan,
kanan dan kiri pesantren berbatasan dengan rumah warga, sedangkan bagian belakang
berbatasan dengan sawah.

Di pesantren tersebut terdapat beberapa genangan air, dan berdasarkan hasil wawancara
terhadap pemimpin pesantren dan santri, pada saat musim hujan, banyak muncul nyamuk dan
para santri kurang mengetahui cara mencegah terjadinya hal tersebut. Berdasarkan hasil
observasi dan wawancara tersebut, kelompok kami memutuskan untuk melakukan penyuluhan
kesehatan mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, dan berbagai penyakit yang sering
terjadi di musim hujan serta pencegahan terhadap penyakit tersebut.

49
Sebelum berangkat, kami mempersiapkan berbagai kebutuhan yang diperlukan, seperti
proyektor, lembar absensi, konsumsi dan sebagainya. Kami berangkat menuju lokasi pada
pukul 19.00 WIB. Penyuluhan ini diputuskan untuk diselenggarakan pada malam hari karena
pada malam hari, santri kalong atau santri yang tidak mukim akan datang untuk mengaji di
pesantren, sehingga jumlah santri yang dapat mengikuti penyuluhan akan lebih banyak.

Pada penyuluhan ini, saya bertugas sebagai penanggung jawab konsumsi dan operator saat
acara. Saya menyiapkan berbagai konsumsi untuk para santri, pemimpin pesantren dan untuk
kami sendiri. Saya merasa sangat senang saat ikut serta membagikan konsumsi kepada para
santri setelah mereka melakukan registrasi.

Kegiatan penyuluhan dimulai pada pukul 20.00 WIB. Kegiatan penyuluhan dimulai dengan
pembukaan, pembacaan ayat suci Al Quran, pre test, penyampaian materi, post test, pembagain
hadiah dan penutup. Kegiatan tersebut dihadiri oleh 48 santri. Para santri tampak sangat
antusias saat mengikuti rangkaian acara. Hal tersebut ditunjukkan dari beberapa santri yang
ikut menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh pemateri dan memberikan pertanyaan
saat sesi tanya jawab. Selain itu, hasil post test para santri juga menunjukkan banyak
peningkatan dibandingkan dari hasil pre test.

B. Refleksikan perbedaan antara teori dan praktek yang dilakukan

Tindakan yang saya lakukan menurut saya benar antara lain bahwa sebelum
melakukan penyuluhan, kami melakukan survei dan meminta izin kepada pihak pesantren
untuk melakukan penyuluhan. Setelah melakukan survei, kami kemudian menentukan prioritas
materi penyuluhan yang sesuai untuk para santri. Kami juga melakukan penjelasan mengenai
acara secara garis besar dan melakukan pemilihan hari untuk penyuluhan bersama dengan
pihak pesantren, sehingga tidak terdapat miskomunikasi mengenai acara penyuluhan yang akan
diselenggarakan.

Pada penyuluhan ini, kami memberikan materi mengenai PHBS, jenis nyamuk dan berbagai
penyakit yang sering terjadi di musim hujan, dengan fokus terutama mengenai penyakit DBD.
Pada pembuatan materi, saya ikut terlibat membuat materinya. Saya sudah mencoba untuk
memberikan konten materi secara menarik, agar saat disampaikan kepada para santri, para
santri menjadi tidak bosan dan lebih mudah memahami materi tersebut.

Saya membuat materi mengenai PHBS. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat merupakan
sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang

50
menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri
(mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.
PHBS mencakup semua perilaku yang dipraktikkan di bidang pencegahan dan penanggulangan
penyakit, penyehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, gizi, farmasi
dan pemeliharaan kesehatan.1

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dapat dipraktikkan dimana pun. Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat di Instuti pendidikan, seperti di Pesantren, dapat dilakukan mencakup antara lain
mencuci tangan menggunakan sabun, mengonsumsi makanan dan minuman sehat,
menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak
mengonsumsi Alkohol dan Napza, tidak meludah sembarang tempat, memberantas jentik
nyamuk dan sebagainya.1

Pada penyuluhan ini, kami fokus memberikan materi PHBS mengenai cuci tangan. Mencuci
tangan dengan sabun merupakan salah satu cara paling efektif untuk mencegah penyakit diare
dan ISPA. Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa hanya separuh orang yang benar-
benar mencuci tangannya setelah membuang hajat besar atau kecil.2

Cuci tangan menurut WHO, terbagi menjadi 8 langkah untuk handrub, dan 11 langkah
untuk handwash, namun saat melakukan penyuluhan kemarin, kami menggunakan 7 langkah
cuci tangan. Sebelum memulai memberikan materi mengenai cuci tangan, pemateri meminta
salah seorang santri untuk memberikan contoh cara mereka melakukan cuci tangan sehari-hari.
Kami memberikan materi sembari mempraktikkan langsung cara mencuci tangan yang baik
dan benar. Kami menjelaskan bahwa mencuci tangan dilakukan seharusnya dengan
menggunakan sabun.3,4

Berbagai jenis sabun dapat digunakan untuk mencuci tangan, baik itu sabun (mandi) biasa,
sabun antiseptik, ataupun sabun cair. Belum terdapat penelitian yang membuktikan bahwa
sabun antiseptik atau desinfektan tertentu dapat membuat seseorang kebal pada organisme
umum yang berada di alam. Perbedaan antara sabun antiseptik dan sabun biasa adalah sabun
antiseptik mengandung zat anti bakteri umum, seperti Triklosan yang memiliki daftar panjang
akan resistennya terhadap organisme tertentu.2

51
Gambar 1. Cara cuci tangan menurut WHO.3 Gambar 2. Tujuh langkah cuci tangan.4

Selain PHBS, kami juga membahas mengenai DBD (Demam Berdarah Dengue), yang
masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Tingkat insiden penyakit
DBD Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara. Pada tahun
2016, kasus DBD nasional sebanyak 492 kasus (Januari 2016, dengan Banten merupakan salah
satu provensi yang mengalami KLB. Faktor risiko terjadinya DBD berupa sanitasi lingkungan
yang kurang baik, misalnya timbunan sampah dan genangan air. Penyakit DBD menular
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Pencegahan pada penyakit ini dapat dilakukan melalui
kegiatan kegiatan 3M Plus, yaitu menguras, mengubur, menutup. Adapun yang dimaksud Plus
adalah menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan,
menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk, menggunakan kelambu saat tidur, dan
sebagainya.5,6 Pencegahan tersebut sangat diperlukan di pesantren ini dengan adanya genangan
air dan beberapa pakaian santri yang tergantung.

Tindakan yang saya rasa masih kurang antara lain saya tidak menanyakan jumlah
keseluruhan santri, hanya menanyakan jumlah santri yang mukim, sehingga saat membagikan
konsumsi kepada para santri, saya khawatir bahwa konsumsi tersebut akan kurang, namun
ternyata konsumsi tersebut cukup untuk para santri yang datang. Selain itu, kemarin, kami juga
lupa untuk melakukan konfirmasi kembali kepada pemimpin pesantren bahwa kegiatan akan
tetap dilaksanakan. Kami baru ingat untuk melakukan konfirmasi pada saat hari H acara.

52
Sedangkan pada penyampaian materi, kami tidak melakukan konfirmasi materi kepada
pembimbing Puskesmas. Kami seharusnya melakukan konfirmasi dan meminta pendapat
beliau mengenai benar tidaknya materi yang telah kami persiapkan untuk penyuluhan, agar
materi yang disampaikan kepada para santri sudah benar dan juga agar kami lebih memahami
mengenai cara pencegahan DBD yang sudah dilaksanakan oleh pihak Puskesmas.

Pada bagian materi cuci tangan, saya tidak mencantumkan materi mengenai waktu yang
tepat atau indikasi untuk mencuci tangan. Mencuci tangan dilakukan setelah menggunakan
toilet, sebelum makan atau memegang makanan, setelah terpajan dengan sekret, seperti saat
batuk atau bersin.4 Saya seharusnya mencantumkan materi tersebut agar para santri dapat lebih
jelas dalam memahami mengenai hal tersebut.

Kemudian, saya merasa masih kurang dalam bagian materi PHBS, yaitu saya tidak
mencantumkan video cara mencuci tangan. Saya sebaiknya mencantumkan video agar para
santri lebih fokus dan lebih tidak jenuh dalam mendengarkan materi. Dengan adanya video,
cara mencuci tangan yang terdiri dari beberapa langkah dapat dijelaskan dengan lebih mudah.

Terdapat perbedaan antara teori dengan fakta yang ditemukan yaitu bahwa menurut
pemimpin pesantren, sejauh ini belum ada tindakan pencegahan dari pihak puskesmas
mengenai DBD. Menurut PMK No. 82 tahun 2014 mengenai Penanggulangan Penyakit
Menular, menyebutkan bahwa DBD termasuk jenis penyakit tular vektor dan binatang
pembawa penyakit. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab
dalam menyelenggarakan penanggulangan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya.
Penanggulangan tersebut dilakukan melalui upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perorangan. Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan dalam penanggulangan
penyakit menular dapat dilakukan melalui kegiatan promosi kesehatan, surveilans kesehatan,
pengendalian faktor risiko, penemuan kasus, penanganan kasus, pemberian kekebalan
(imunisasi), pemberian obat pencegahan secara massal dan kegiatan lainnya yang ditetapkan
oleh Menteri.7

Hal yang dapat dipelajari untuk perbaikan kedepannya adalah saya perlu lebih banyak
belajar untuk komunikasi, terutama mengenai komunikasi kepada pembimbing dalam perihal
materi yang akan disampaikan pada sebuah acara, agar isi penyampaian materi dengan program
yang sudah dilakukan di Puskesmas dapat sinkron. Selain itu, saya perlu lebih banyak belajar
untuk dapat mempersiapkan sebuah acara menjadi lebih matang dengan menanyakan secara
lebih detail mengenai jumlah peserta dan kisaran usia atau pendidikan peserta.

53
Aspek bioetik dan keislaman yang dipelajari pada penyuluhan ini adalah bahwa jika
menjadi dokter, kami tidak hanya melakukan terapi per individu, namun juga diperlukan
tindakan secara komunitas, terutama untuk penyakit menular atau untuk penyakit yang sering
menimbulkan KLB. Hal tersebut merupakan salah satu peran dokter dalam five-star doctor,
yaitu community leader. Saya juga belajar dalam menentukan prioritas penanganan sebuah
masalah, yaitu memilih untuk melakukan penyuluhan karena masalah dasar pada timbulnya
penyakit adalah kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai sebuah penyakit. Saya belajar
mengenai peran dokter sebagai decision maker dalam hal tersebut.8

Saya juga belajar mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan untuk menghindari
penyakit. Hal tersebut sesuai dengan Hadis Nabi SAW yang mengajarkan untuk selalu menjaga
kebersihan lingkungan sebagai berikut:

Artinya: “Sesungguhnya Allah itu Mahabaik yang mencintai kebaikan, Mahabersih yang
mencintai kebersihan. Oleh sebab itu, bersihkanlah halaman-halaman rumah kamu dan jangan
menyerupai Yahudi.” (H.R. Tirmidi dan Abu Ya’la).9

54
C. Daftar Pustaka

1. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS). Jakarta: Kemenkes RI.

2. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2014. Perilaku Mencuci Tangan Pakai
Sabun di Indonesia. http://www.depkes.go.id/ diunduh pada 21 November 2018.

3. WHO. 2009. WHO Guideline on Hand Hygienein Health Care: a Summary.


http://www.who.int/ diunduh pada 21 November 2018.

4. Infection Control Branch, Centre for Health Protection. 2017. Perform Hand Hygiene
Properly. http://www.chp.gov.hk/ diunduh pada 21 November 2018.

5. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi 1. Jakarta: PB IDI. p.47-51.

6. Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. 2015. Demam
Berdarah Biasanya Mulai Meningkat di Januari. http://www.depkes.go.id/ diakses pada 22
November 2018.

7. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Penyakit


Menular.

8. Boelen, C. 2009. The five-star doctor: an asset to health care reform?. Geneva: WHO.

9. Ismail, AS. 2015. Enam Prinsip Rasulullah SAW untuk Pelestarian Lingkungan.
http://www.republika.co.id/ diakses pada 22 November 2018.

55
D. Dokumentasi Kegiatan

Gambar 1. Registrasi oleh para santri Gambar 2. Pembagian Hadiah

Gambar 3. Foto Bersama setelah Kegiatan

56
Feedback dari Pembimbing Puskesmas :

Feedback dari Pembimbing Kampus :

Nama Mahasiswa Safitri Nenik Agustin TTD ……………………….

dr. Witri Ardini, Sp. GK. TTD ………………………


Nama
Pembimbing
dr. Mistuti Alwiyah TTD ………………………

57
KEGIATAN MINI CEX

58
REFLEKSI KEGIATAN

MINI CEX KPKM

Nama kegiatan : Mini CEX (Mini Clinical Evaluation Exercise)

Tempat : KPKM Reni Jaya

Tanggal : 15 November 2018

A. Deskripsi Kegiatan

Salah satu tugas di Stase IKK ini adalah melakukan Mini CEX. Mini CEX dapat
diselenggarakan di KPKM Buaran atau KPKM Reni Jaya. Pada hari ini, Kamis, 14 November
2018, saya dan teman kelompok mendapat jadwal untuk mengikuti kegiatan Mini CEX di
KPKM Reni Jaya. Selain Mini CEX, kelompok kami juga mengambil data pengunjung KPKM
periode Januari sampai April 2018. Kami sampai di KPKM pukul 07.30 WIB dan selanjutnya
mengikuti pengarahan oleh dokter KPKM untuk mekanisme Mini CEX. Awalnya kelompok
kami ujian dengan dr. Risahmawati, Ph.D, namun dikarenakan beliau berhalangan untuk hadir,
penguji Mini CEX digantikan oleh dokter KPKM. Selanjutnya kami menunggu di Poli 1 untuk
menunggu giliran kami mengambil kasus. Saya mendapat giliran terakhir mendapat kasus Mini
CEX.

Saya mendapat pasien anak-anak. Pasien tersebut merupakan pasien lama atau pasien yang
sudah pernah berkunjung ke KPKM sebelumnya. Saya mempersilahkan pasien dan Ayah
pasien untuk masuk dan duduk. Setelah memperkenalkan diri, saya mulai melakukan
anamnesis. Pasien tersebut datang dengan keluhan nyeri dan bengkak di telapak kaki kiri.
Setelah melakukan anamnesis secara komprehensif, saya kemudian melakukan pemeriksaan
fisik. Selanjutnya, saya membantu dokter KPKM untuk melakukan wound toilet dan wound
dressing. Setelah merasa cukup dalam melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, saya
selanjutnya melakukan edukasi kepada pasien. Kemudian, saya dipersilahkan untuk
meninggalkan ruangan Mini CEX.

Setelah mengambil kasus, saya mulai membuat lembar status pasien di kertas folio bergaris
untuk selanjutnya saya diskusikan dengan dokter KPKM. Kelompok kami kemudian
melakukan diskusi dengan dokter KPKM sambil melengkapi status pasien kami yang belum
selesai. Diskusi tersebut berisi tentang feedback dari dokter KPKM mengenai cara kami
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, menentukan diagnosis dan menentukan terapi

59
terhadap pasien. Terdapat beberapa feedback yang diberikan oleh dokter KPKM kepada kami
untuk perbaikan kami. Kegiatan kami di KPKM Reni Jaya selesai sekitar pukul 12.00 WIB.

B. Nomor Rekam Medik : 6077


C. Diagnosis Holistik
 Aspek personal
Pasien mengeluh nyeri dan bengkak di telapak kaki kiri sejak 3 hari. Pada 3 bulan yang lalu pasien
terkena paku di tempat yang sama, sudah diobati dan membaik.
 Aspek klinis
Secondary infection post Vulnus Punctum ec trauma.
 Aspek faktor internal
Pasien seorang anak laki-laki berusia 13 tahun, pernah tertusuk paku di telapak kaki kiri dan sering
tidak memakai alas kaki saat bermain di luar rumah atau di luar pesantren.
 Aspek faktor eksternal
Tempat bermain pasien terletak dekat tempat sampah.
 Aspek skala fungsional
Derajat 1
D. Tata Laksana
 Non Farmakologi
- Edukasi bahwa penyakit yang dialami pasien berhubungan dengan trauma tertusuk paku
sebelumnya dan dipicu oleh infeksi akibat tidak memakai alas kaki saat bermain di luar
rumah.
- Edukasi bahwa penyakit pasien dapat dicegah, yaitu dengan penggunaan alas kaki saat
bermain di luar rumah.
- Edukasi untuk membersihkan luka dengan cairan NaCl dan dioles dengan salep.
- Edukasi untuk selalu menghabiskan makanan, sehingga nutrisi pasien tercukupi.
 Farmakologi
- Gentamicin salf 0,1% 3x dioleskan di tempat luka setelah kaki dibersihkan dengan NaCl
0,9%.
- Paracetamol tab 3x500 mg, diminum setelah makan dan jika nyeri.
- Cetirizine syrup (5mg/5ml) 1x1½ cth, jika gatal.

RESEP

R/ Gentamicin salf 0,1% 5 gram No. I


ʃ 3 dd ue

60
R/ Paracetamol tab 500 mg No. X
ʃ 3 dd I tab pc prn

R/ Cetirizine syrup 5mg/5ml 60 ml fls No. I

ʃ 1 dd I ½ Cth pc prn

R/ NaCl 0,9% 500 ml No. I


ʃ 3 dd ue

E. Refleksikan perbedaan antara teori dan praktek yang dilakukan

Pada saat saya melakukan mini cex, yang menurut saya benar adalah saya melakukan
perkenalan diri terhadap pasien dan ayah pasien. Setelah itu, saya mulai melakukan identifikasi
data, yaitu menanyakan nama, usia, pekerjaan, alamat dan agama. Saya juga menanyakan
mengenai identitas orang tua karena pasien merupakan seorang anak-anak. Saya juga telah
melakukan anamnesis secara lengkap terhadap keluhan pasien. Saya mencari faktor risiko yang
menimbulkan keluhan tersebut. Selain itu, saya juga melakukan anamnesis yang khusus
ditanyakan pada pasien anak, yaitu mengenai kondisi ibu saat mengandungnya, riwayat
kelahiran, tumbuh kembang, nutrisi dan imunisasi.

Pasien datang dengan keluhan nyeri dan bengkak pada telapak kaki kiri. Pada anamnesis
didapatkan faktor risiko berupa adanya riwayat tertusuk paku pada daerah luka dan sempat
membaik. Selain itu, pada pasien juga didapatkan adanya faktor risiko lain berupa sering tidak
memakai alas kaki saat bermain di luar rumah, sementara tempat bermain pasien dekat dengan
tempat sampah. Dari adanya faktor risiko tersebut saya memikirkan bahwa pasien mengalami
infeksi.

Saya memilih untuk memberikan antibitotik topikal, tidak memberikan antibiotik sistemik
dikarenakan pasien tidak menunjukkan tanda infeksi sistemik, seperti demam. Prinsip
pemilihan antibiotik perlu memperhatikan sebagai berikut:

- Antibiotik disesuaikan dengan pola kuman lokal dan sensitivitas bakteri


- Antibiotik yang bermutu
- Antibiotik yang cost effective.1

Pada kasus ini, saya memberikan antibiotik Gentamicin. Gentamicin merupakan antibiotik
golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Microspora purpurea. Obat ini efektif untuk

61
organisme Gram positif dan Gram negatif. Gentamicin merupakan antibiotik pilihan pertama
dari golongan aminoglikosida karena harganya relatif lebih terjangkau dan ampuh melawan
sebagian besar bakteri Gram negatif aerob yang resisten dengan antibiotik yang lain.
Gentamicin memiliki efek samping berupa edema, gatal dan kemerahan yang terjadi pada
<10% pengguna.2

Setelah menentukan diagnosis dan melakukan pemeriksaan fisik, saya menjelaskan


mengenai penyakit yang dialami oleh pasien. Saya mengedukasi pasien dan ayah pasien untuk
melakukan perawatan luka. Saya juga mengedukasi pasien untuk selalu memakai alas kaki saat
bermain di luar.

Tindakan yang saya rasakan masih kurang saat melakukan Mini CEX adalah saya
tidak melakukan pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi dan frekuensi napas. Saya
seharusnya memeriksa tanda vital tersebut untuk memastikan bahwa pasien dalam keadaan
stabil. Saya tidak melakukan pemeriksaan tekanan darah dikarenakan saya tidak membawa
manset sphygmomanometer untuk anak. Saya hanya membawa alat pemeriksaan untuk dewasa.

Selain itu, saya juga tidak melakukan evaluasi terhadap status gizi pasien. Saya melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat badan, namun saya tidak melakukan evaluasi atau
interpretasi terhadap data tersebut. Saya tidak melakukan hal tersebut dikarenakan saya tidak
membawa tabel gizi anak dari CDC. Pada anak usia >5 tahun, penilaian status gizi dilakukan
dengan menggunakan tabel CDC, dengan komponen yang dinilai meliputi BB terhadap usia,
TB terhadap usia, BB terhadap TB, BB ideal dan penilaian Height age.3 Saya sebenarnya dapat
mencari tabel tersebut di internet, namun saat itu saya berpikir bahwa hal tersebut akan
menghabiskan banyak waktu. Saya seharusnya melakukan interpretasi mengenai data tersebut
untuk dapat menilai status gizi pasien, sehingga saya dapat melakukan edukasi mengenai gizi
terhadap pasien tersebut, terutama ayah pasien juga mengeluh bahwa pasien terlihat kurus.

Hal yang kurang saat melakukan Mini CEX kemarin adalah saat melakukan edukasi, saya
tidak mengajarkan cara melakukan perawatan luka dengan baik. Meskipun ayah pasien
mengatakan sudah memahami cara melakukannya, saya seharusnya mengonfirmasi mengenai
pemahaman ayah pasien mengenai cara perawatan luka tersebut, agar pemahaman mengenai
cara perawatan luka antara pemeriksa dan pasien memiliki persepsi yang sama. Selain itu, saya
juga seharusnya mengedukasi mengenai komplikasi yang dapat timbul, yaitu dapat terjadi
komplikasi berupa adanya infeksi sistemik.

62
Kemudian pada bagian dokumentasi, seharusnya saya meminta salah seorang teman untuk
mendokumentasikan kegiatan saat saya sedang melakukan anamnesis terhadap pasien,
sehingga terdapat bukti bahwa saya sudah melakukan Mini CEX. Dokumentasi terhadap resep
yang saya tulis juga seharusnya saya lakukan sebelum resep tersebut dikumpul kepada penguji
Mini CEX, sehingga saya dapat mengevaluasi kembali mengenai kesesuaian dosis dan
penulisan nama obat serta cara pemakain obat yang telah saya tulis di resep.

Menurut pendapat saya, timbulnya perbedaan antara teori dan fakta yaitu bahwa saya
masih terfokus mengenai keluhan pasien yang cukup berhubungan dengan faktor risiko,
sehingga saya tidak mencari kemungkinan penyebab yang dapat menimbulkan keluhan
tersebut. Pada hal ini, saya seharusnya juga menanyakan kepada pasien mengenai ada tidaknya
lesi di tempat lain.

Selain itu, fungsi preventif dan promotif pada kasus ini, atau mengenai penyakit yang
berhubungan dengan penggunaan alas kaki, seharusnya lebih ditingkatkan tingkatkan terutama
untuk masyarakat usia anak-anak dan untuk di institusi pendidikan, seperti pesantren.

Hal yang dapat dipelajari untuk perbaikan selanjutnya adalah saya seharusnya
menyiapkan segala peralatan pemeriksaan fisik lebih lengkap, tidak hanya untuk pasien dewasa
namun juga untuk pasien anak-anak, karena saya belum mengetahui akan mendapat kasus
dewasa atau anak-anak.

Hal yang saya pelajari tekait dengan nilai professionalisme adalah saya belajar untuk
menentukan diagnosis terhadap pasien secara mandiri. Saya belajar mengenai care provider
sebagai seorang dokter.4 Bahwa sebagai dokter, kita harus yakin dalam menentukan diagnosis
pasien berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang kita lakukan.

Pada kasus ini saya juga belajar mengenai pentingnya kebersihan diri dan lingkungan,
bahwa salah satu faktor terjadinya penyakit berasal dari kebersihan yang tidak baik. Islam
mengajarkan mengenai kewajiban menjaga kebersihan, sebagaimana Hadit Nabi Muhammad
SAW berikut:

Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT itu suci dan menyukai hal-hal yang suci. Dia Maha bersih
dan menyukai kebersihan. Dia Maha mulia dan menyukai kemuliaan. Dia Maha indah dan
menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempat-tempatmu dan jangan meniru orang-
orang Yahudi. (H.R. Tirmidzi).5

63
F. Daftar Pustaka
1. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi
Antibiotik. http://www.researchgate.net/ diunduh pada 18 November 2018.
2. Katzung, et al. 2009. Basic and Clinical Pharmacology. China: Mc-Graw Hill.
3. Sjarif, et al. 2011. Rekomendasi IDAI Asuhan Nutrisi Pediatrik. Jakarta: UKK Nutrisi dan
Penyakit Metabolik IDAI.
4. Boelen, C. 2009. The five-star doctor: an asset to health care reform?. Geneva: WHO.
5. Anonim. 2017. Muslim Harus Mencintai Kebersihan. http://www.suaramuslim.net/
diunggah pada tanggal 30 November 2018.

G. Dokumentasi

Gambar 1. Foto luka pasien

64
Lampiran

Kopi Rekam Medis


a. Identitas
 Identitas Pasien
Nama : An. A
Usia : 13 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Pamulang
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
 Identitas Orang tua
Ayah Ibu
Nama : Tn. S Nama : Ny. M
Usia : 38 tahun Usia : 35 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Pamulang Alamat : Pamulang
Agama : Islam Agama : Islam
Pekerjaan : Satpam Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
b. Anamnesis
Autoanamnesis dan Alloanamnesis dilakukan kepada Ayah pasien pada tanggal 15 November
2018 di Poli 2 KPKM Reni Jaya.
 Keluhan Utama

Nyeri dan bengkak di telapak kaki kiri sejak 3 hari SMRS.

 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien anak laki-laki, usia 13 tahun, datang dengan keluhan nyeri dan gatal di telapak kaki kiri
sejak 3 hari sebelum dibawa ke KPKM. Sebelumnya, pada 3 bulan yang lalu, pasien pernah
mengalami tertusuk paku di telapak kaki kiri dan membaik setelah diobati. Keluhan saat itu
tidak disertai adanya kejang maupun badan terasa kaku. Saat itu pasien juga mendapat obat
yang disuntik di lengan kiri sebanyak 2 kali.

Pasien merupakan seorang pelajar yang sering tidak memakai alas kaki saat bermain di luar
rumah atau di luar pesantren. Tempat bermain pasien dekat dengan tempat sampah. Sejak 3

65
hari yang lalu, pasien mengeluh nyeri di lokasi yang pernah terkena paku. Nyeri dirasakan tidak
menjalar dan terutama dirasakan jika pasien berjalan. Keluhan tidak disertai adanya demam.
Keluhan pasien tersebut belum diobati. Pasien merasa sulit berjalan dengan adanya keluhan
tersebut.

 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami rawat inap maupun alergi sebelumnya. Pasien belum pernah
mengalami terjatuh.

 Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama. Tidak terdapat adanya riwayat
penyakit darah tinggi, kencing manis, asma maupun alergi di keluarga.

 Riwayat sosial dan kebiasaan

Pasien merupakan seorang pelajar SMP dan tinggal di pesantren. Pasien sering berrmain
dengan teman seusianya. Pasien sering tidak memakai alas kaki saat bermain di luar rumah
atau di luar pesantren. Tempat bermain pasien dekat dengan tempat sampah.

 Riwayat Kehamilan

Menurut ayah pasien, ibu pasien tidak pernah mengalami demam yang lama saat mengandung
pasien. Ibu pasien sering kontrol ke bidan saat mengandung pasien.

 Riwayat Persalinan
Pasien lahir saat kehamilan ibu cukup bulan. Pasien lahir normal dan ditolong oleh bidan.
Pasien langsung menangis setelah lahir. Tidak terdapat riwayat biru maupun kuning setelah
lahir.
 Riwayat Imunisasi
Menurut ayah pasien, pasien mendapat imunisasi secara rutin di Posyandu. Pasien juga pernah
mendapat imunisasi selama di sekolah.
 Riwayat Tumbuh Kembang

Menurut ayah pasien, pasien tumbuh dan berkembang sesuai dengan teman seusianya dengan
berat badan selalu bertambah saat pasien masih kecil. Namun, beberapa bulan terakhir, pasien
terlihat kurus.

 Riwayat Nutrisi

66
Pasien makan sebanyak 3x di Pesantren dengan sering tidak menghabiskan makanannya.
Pasien lebih sering makan snack.

c. Pemeriksaan Fisik
 Kesadaran : Kompos Mentis
 Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
 Tanda Vital :
- HR : tidak dilakukan pemeriksaan
- RR : tidak dilakukan pemeriksaan
 Antropometri :
- BB : 28,8 kg
- TB : 134,5 cm
- Status Gizi : (saat Mini CEX belum diinterpretasi)
 BB/U : 28,8/45,5 x 100% = 63,2%
 TB/U : 134,5/156 x 100% = 86,2%
 BB/TB : 28,8/28,5 X 100% = 101%
 BBI : 28,5 kg
 HA : 9 tahun
 Kesan : Gizi baik, perawakan pendek, berat badan kurang.
 Status Generalis
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Hidung : Napas cuping hidung (-),
- Mulut : Bibir sianosis (-)
- Paru :
- Inspeksi : Gerakan dinding simetris saat statis maupun dinamis
- Palpasi : Nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor/Sonor
- Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Jantung : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen :
- Inspeksi : Dinding perut datar
- Auskultasi : BU (+)
- Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba
- Perkusi : Timpani

67
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 s, Edema (-/-/-/-)
- Status Lokalis :
Pada regio plantar pedis sinistra tampak plak soliter berukuran lenticular keputihan berbatas
tegas sekitarnya eritema disertai ulkus soliter dan skuama putih berukuran lentikular dan krusta
berwarna kekuningan.
d. Diagnosis
Secondary infection post Vulnus Punctum ec trauma.
e. Terapi
 Non Farmakologi
- Edukasi bahwa penyakit yang dialami pasien berhubungan dengan trauma tertusuk paku
sebelumnya dan dipicu oleh infeksi akibat tidak memakai alas kaki saat bermain di luar
rumah.
- Edukasi bahwa penyakit pasien dapat dicegah, yaitu dengan penggunaan alas kaki saat
bermain di luar rumah.
- Edukasi untuk membersihkan luka dengan cairan NaCl dan dioles dengan salep.
- Edukasi untuk selalu menghabiskan makanan, sehingga nutrisi pasien tercukupi.
 Farmakologi
- Gentamicin salf 0,1% 3x dioleskan di tempat luka setelah kaki dibersihkan dengan NaCl
0,9%.
- Paracetamol tab 3x500 mg, diminum setelah makan dan jika nyeri.
- Cetirizine syrup (5mg/5ml) 1x1½ cth, jika gatal.

RESEP

R/ Gentamicin salf 0,1% 5 gram No. I


ʃ 3 dd ue

R/ Paracetamol tab 500 mg No. X


ʃ 3 dd I tab pc prn
R/ Cetirizine syrup 5mg/5ml 60 ml fls No. I
ʃ 1 dd I ½ Cth pc prn
R/ NaCl 0,9% 500 ml No. I
ʃ 3 dd ue

68
Feedback dari Pembimbing Puskesmas :

Feedback dari Pembimbing Kampus :

Nama Mahasiswa Safitri Nenik Agustin TTD ……………………….

dr. Witri Ardini, Sp. GK. TTD ………………………


Nama
Pembimbing
dr. Mistuti Alwiyah TTD ………………………

69

Anda mungkin juga menyukai