Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2018

UNIVERITAS PATTIMURA

SKROFULODERMA + SEVERLY UNDERWEIGHT + SEVERLY


STUNTED

Disusun oleh:

Riena P. R. Abrahams

2017-84-022

Pembimbing:

dr. Nia Nurul Aziza, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan

rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

Laporan Kasus dengan judul “Skrofuloderma + Severly underweight + severly

stunted” yang merupakan suatu bentuk tuberkulosis ekstraparu yang sering

ditemukan pada anak

Penulis beusaha menyajikan Tema secara lengkap dan komprehensif

dengan tampilan yang menarik agar pembaca dapat memahami maksud dari

tulisan dalam laporan kasus ini. Namun, apabila terdapat kekurangan di dalam

laporan kasus ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca

yang bersifat membangun agar kedepannya tulisan ini lebih lengkap dan mudah

dipahami oleh penulis maupun pembaca.

Ambon, September 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ 2


DAFTAR ISI ........................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ............................................................................ 4
BAB II LAPORAN KASUS
- Identitas ..................................................................................... 6
- Anamnesis .................................................................................. 6
- Status neonatal dan tumbuh kembang ........................................ 7
- Status imunisasi .......................................................................... 8
- Pemeriksaan Fisik ...................................................................... 8
- Pemeriksaan penunjang .............................................................. 10
- Diagnosis .................................................................................... 11
- Tatalaksana ................................................................................. 11
- Follow up ................................................................................... 12

BAB IV DISKUSI ................................................................................... 41


DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 36

BAB I

PENDAHULUAN

3
A. Latar belakang

Sampai saat ini tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan

yang terpenting di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir Indoneisa termasuk

dalam 5 negara dengan jumlah kasus TB terbanyak di dunia. Tuberkulosis

pada anak merupakan komponen penitng dalam pengendalian TB oleh karena

jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh

populasi dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB setiap

tahun. Di Indonesia proporsi kasus TB anak di antara semua kasus TB yang

ternotifikasi dalam program TB hanya 9% dari yang diperkirakan 10-15% dan

pada tingkat kabupaten/kota menunjukan variasi proporsi yang cukup lebar

yaitu antara 1,2-17,3% di tahun 2015. Strategi Nasional 2015-2019 terdapat 6

indikator utama dan 10 indikator operasional. Program pengendalian TB, 2

diantaranya adalah cakupan penemuan kasus TB anak sebesar 80% dan

cakupan anak <5 tahun yang mendapat pengobatan pencegahan PP INH

sebesar 50% pada tahun 2019.

Salah satu permasalahan TB anak di Indonesia adalah penegakan

diagnosis. Sejak tahun 2005 sistem skoring TB anak disosialisasikan dan

direkomendasikan sebagai pendekatan diagnosis. Permasalahannya, tidak

semua fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di Indonesia mempunyai

fasilitias uji tuberkulin dan pemeriksaan foto toraks yang merupakan 2

parameter yang ada di sistem skoring. Akibatnya, di fasyankes dengan askes

dan fasilitas terbatas banyak dijumpai underdiagnosis TB anak.

4
Permasalahan lain dalam program penanggulan TB anak adalah semakin

meningkatnya jumlah kasus TB resisteen obat (TB RO) pada dewasa, yang

bisa merupakan sumber penularan bagi anak. Jumlah pasti kasus TB RO pada

anak di Indonesia saat ini belum diketahui, tetapi semakin meningkat.

BAB II

5
LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama : An. IYL

Jenis kelamin : Laki-laki

Lahir pada tanggal : 28 Juni 2015

Umur saat dijadikan kasus : 3 tahun 1 bulan 22 hari

Masuk Rumah Sakit : 10 Agustus 2018

Mulai diterima sebagai kasus: 20 Agustus 2018

IDIENTITAS ORANG TUA

Ayah Ibu
Nama Tn. M. Laury Ny. B. Laury
Umur 43 tahun 45 tahun
Pendidikan SD SMP
Pekerjaan Buruh IRT

II. Anamnesis (Subjective)

Berdasarkan heteroanamnesis dari ibu pasien

Keluhan utama: Benjolan pada leher dan telinga bagian kanan yang keluar nanah

Anamnesis Terpimpin :

Pasien datang ke Instalasi Rawat Darurat (IRD) dengan keluhan utama

benjolan pada leher dan telinga bagian kanan yang keluar nanah sejak ± 1 tahun

yang lalu sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Benjolan awalnya muncul pada

bulan desember 2017 yang semakin hari semakin membesar, sebelumnya juga

banyak muncul di bawah dagu, ketiak dan leher. Benjolan tidak nyeri, teraba

6
kenyal dan biasanya banyak, benjolan nya kemudian pecah disertai tukak yang

mengeluarkan nanah, dan juga bau. Ibu pasien sempat mengobati dengan obat-

obatan tradisional namun tidak membaik.

Pasien dikertahui ada riwayat batuk sejak ± 1 tahun yang lalu, hilang

timbul, tidak memberat dengan perubahan waktu suhu atau paparan debu. Batuk

tidak dicetuskan oleh aktifitas seperti tertawa, menangis dan atau berlari. Batuk

berdahak namun kadang pasien sulit mengeliuarkan dahak. Dahak berwarna

kuning kental, tidak berbau, riwayat batuk darah diakui pasien sekitar 1tahun

yang lalu. Riwayat kontak erat dengan pasien TB diakui.

Keluhan disertai dengan nafsu makan menurun diakui oleh ibu pasien,

sebelum sakit pasien biasanya makan menu anggota keluarga lain, jumlahnya 3

kali per hari. berat badan pasien turun 2 kg dibandingkan dengan Berat badan

pasien 3 bulan yang lalu (12kg). Keluhan juga disertai sering sekali berkeringat

malam meskipun cuaca sedang dingin. Riwayat diare dan muntah disangkal.

Riwayat demam pernah dialami oleh pasien sejak 6 bulan yang lalu

dengan lama sekitar 2 hari. demam tidak pernah tinggi sampai menggigil ataupun

sampai kejang, demam muncul tidak terkait dengan waktu. Tidak ada riwayat

nyeri saat buang air kecil, dan frekuensi buang air kecil sebanyak 6-7 kali perhari

dengan warna kuning jernih.

Riwayat Penyakit Dahulu

7
Sejak lahir sampai berumur 3 tahun sebelum masuk rumah sakit pasien tidak

pernah mengalami sakit berat atau riwayat inap di RS. Pasien kemudian MRS di

Dobo sekitar bulan Agustus 2018 dan dirujuk di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon.

Riwayat Kesehatan Keluarga

a. Ayah pasien tidak pernah memiliki sakit sebelumnya, batuk-batuk lama

disangkal, riwayat transfusi darah disangkal.

b. Ibu pasien juga tidak pernah memiliki sakit sebelumnya, tidak ada keluhan

sakit serius saat ini, batu lama disangkal, riwayat transfusi darah disangkal.

Riwayat pribadi atau sosial pasien

a. Riwayat kehamilan ibu

Pasien merupakan anak ke 8 dari 8 bersaudara, merupakan anak yang diinginkan.

Ibu tidak pernah kontrol ke dokter ataupun puskesmas, riwayat demam, batu pilek

selama hamil disangkal, tidak pernah konsumsi jamua-jamuan atau obat-obatan

lain.

b. Riwayat persalinan

Pasien lahir melalui persalinan normal, spontan belakang kepala, ditolong oleh

bidan, cukup bulan, langsung menangis dengan berat badan lahir 3400 gram,

panjang badan dan lingkar kepala tidak tahu. Warna air ketuban tidak ketahui dan

bayi tidak pernah mendapat suntikan antibiotik.

c. Riwayat pasca lahir

Riwayat pucat, biru, kejang maupun perdarahan semasa bayi disangkal.

d. Riwayat makanan

8
Pasien mendapat ASI sampai usia 2 tahun, dan mengkonumsi susu formula sejak

melepas ASI. Makanan semi-padat bubur halus mulai diberikan sejak usia 6 bulan

dilanjutkan dengan bubur kasar 8 bulan. Makanan keluarga berupa nasi diberikan

mulai usia 1 tahun. Saat dirumah, sebelum saki, pasien makan 3-4 kali sehari

dengan makanan menu keluarga sehari-hari.

e. Riwayat tumbuh kembang

Pertumbuhan dan perkembangan pasien normal seperti anak sebayanya.

Perkembangan anak sebagi berikut: gigi pertama muncul usia 9 bulan, berbicara

pertama kali usia 1 tahun, berjalan sendiri 1 tahun.

f. Riwayat Imunisasi

Imunisasi Dasar:

- Imunisasi lengkap sampai usia 9 bulan

- Imunisasi ulangan: tidak pernah

- Imunisasi lainnya: tidak pernah

g. Riwayat keluarga dan latar belakang sosial ekonomi

Pasien adalah anak kedelapan. Ayah pasien merupakan seorang buruh. Ibu

sebagai ibu rumah tangga. Total penghasilan tidak menentu, kadang 500,000-

1,000.000/bulan. Ayah merupakan lulusan SD dan ibu merupakan lulusan SMP.

Selama pasien dirawat, pasien dijaga oleh ayah, ibu dan kakak-kakak serta sanak

saudaranya. Dirumah pasien tinggal dengan banyak orang, 11 orang serumah.

Rumah yang ditempati adalah rumah permanen. Pasien berobat dengan

pembiayaan umum, BPJS masih dalam proses pengurusan.

PERJALANAN PENYAKIT PASIEN SAAT MASUK RS HINGGA DIJADIKAN


KASUS

9
SOA P Laboratorium
11/09/2018 (HP-1) - IVFD D5 ¼ NS 250 ml/24 DR:
S: panas (+), pucat (+), Ma/mi jam Hb: 7,1
kurangm BAB/BAK (+) - Gentamicin 1x60 mg Ht: 23.5
O: KU lemah, Scrofuloderma - KDT anak faseintensif PLT: 588
(+), AHKM CRT < 2 detik 1x2tab WBC: 9.4
A: Scrofuloderma + Severly - PCT 4x100 mg Golda: A
underweight + severly stunted - Diet anak 1000 kkal (Nasi GDS: 113 mg/dl
+ Anemia 3c1, Susu 3x200 ml)
- Rx ADT, Retikulosit,
LED, Golda, UL.
13/09/2018(HP-3) - Inj ampicilin 4x250 mg ADT:
S: Panas (+), Batuk ±, nyeri - Gentamicin 1x60 mg Kesan: Anemia mikrositik
dibenjolan (+), Ma/mi baik, - KDT anak fase intensif hipokrom susp defsiensi besi
BAB/BAK baik 1x2 tab DD Hemoglobinopati,
O: KU lemah, PKGB R. Colli - Metamizole/Novalgin Trombositosis susp
ant/post: bengkak, nanah (+), 4x100 mg trombositosis reaktif
bau (+), AHKM CRT <2detik - Diet anak 1000 kkal (Nasi
A: Scrofuloderma + Severly 3x1 porsi, susu/formula CXR:
underweight + severly stunted 3x200 ml) Sugestif  TB
+ Anemia - Rencana CXR
14/08/2018 (HP-4) - IVFD D5 ½ NS 500 ml/24 jam
S: muntah setiap - Ampicilin 4x 250 mg H-4
makan/minum (+), panas (-), - Gentamicin 1x60 mg H-4
nyeri pada benjolan di leher - KDT anak fase intensif 1x2
(+) tab
O: KU lemah, PKGB R. Colli - Metamizole 4x100 mg
ant/post: bengkak, nanah (+), - Diet anak 1000 kkal (Susu
bau (+), AHKM CRT <2detik 3x200 ml, Nasi 3x1)
A: Scrofuloderma + Severly
underweight + severly stunted
15/08/2018 (HP-5) - IVFD D5 ½ NS 500 ml/24 jam
S: Panas (-), Muntah (-), Diare - Ampicilin 4x250 mg H-5
(-), Ma/Mi baik, Nyeri - Gentamisin 1x60 mg H-5
benjolan di leher (+) - KDT anak fase intensif 1x2
O: KU lemah, PKGB R. Colli tab
ant/post: bengkak, nanah (+), - Metamizole 4x100 mg
bau (+), AHKM CRT <2detik - Rawat luka
A: Scrofuloderma + Severly - Diet anak 1000 kkal (susu
underweight + severly stunted 3x200 ml, Nasi 3x1)
- Transfusi PRC 100 ml (4 jam)
 Pre Furosemid 10 mg
IV, Post: Ca Gluc 1cc
16/08/2018 (HP-6) - Ampicilin 4x250 mg DR:
S: bebas panas 5 hari, post - Gentamisin 1x60 mg Hb: 11.8
transfusi 1x, ma/mi baik, nyeri - KDT fase intensif 1x2 tab Ht: 35.9
benjolan berkurang, muntah - Metamizole 100 mg PLT: 680
(-), BAB/BAK baik - Diet anak 1000 kkal WBC: 14.4
O: KU cukup, PKGB R. Colli (Susu 3x20 ml, Nasi 3x1)
ant/post: bengkak, nanah (+), - Multivitamin 3x1 cth
bau (+), AHKM CRT <2detik
A; Scrofuloderma + Severly
underweight + severly stunted
18/08/2018 (HP-8) - Ceftriaxone 2x500 mg
S: panas (-), muntah (-), nyeri - KDT anak fase intensif

10
benjolan (-), ma/mi baik, 1x2tab
BAB/BAK baik - Metamizole 100 mg KP
O: KU cukup, PKGB R. Colli - Rawat luka
ant/post: bengkak, nanah (+), - Diet anak 1000 kkal
bau (+), AHKM CRT <2detik (Susu 3x200 ml, Nasi
A: Scrofuloderma + Severly 3x1)
underweight + severly stunted - Multivitamin 1x1cth
20/08/2018 (HP-10) - Amoxiclav 3x 1 cth1
S: panas (-), muntah (-), Nyeri - KDT anak fase intensif
benjolan ± , Ma/Mi baik. 1x2 tab
O: KU cukup, PKGB R. Colli - Multivitamin 1x cth
ant/post: bengkak, nanah (+ - ACC KRS
berkurang), bau (+), AHKM
CRT <2detik
A: Scrofuloderma + Severly
underweight + severly stunted

III. DATA PASIEN SAAT DIJADIKAN KASUS (20 Agustus 2018)


Pemeriksaan Fisik (Obyektif)

a. Status present
Kesan umum : Lemah
Nadi : 112 ×/menit kuat dan regular
Laju nafas : 32 ×/menit
Suhu aksila : 38°C
Saturasi O2 : 95% (O2 ruangan)
Kesadaran (GCS) : E4 V5 M6
b. Status generalis
Kepala : Bentuk kepala normal simetris, lingkar kepala 48 cm, rambut lurus
hitam dipendek, tidak mudah dicabut, ubun-ubun besar menutup.
Tidak tampak fasies sindrom tertentu, tidak ada udem, lipatan dahi
Wajah : normal, tidak didapat wajah old man face.
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, kedua pupil bulat
Mata : isokor 3 mm dengan refleks cahaya kedua mata normal. Perdarahan
subkonjungtiva (-), bercak bitot (-). Tidak ada katarak, tidak ada
nistagmus ataupun strabismus. Tidak tampak mata cowong, tidak
ada udem palpebra, celah kelopak mata kanan-kiri simetris.
Tidak didapatkan sekret, membran timpani intak.
Telinga : Tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada deviasi septum,
Hidung : tukak pada telinga kanan, pus(+), bau (+), darah (+) tidak terdapat
sekret, tidak ada perdarahan, tidak ada hiperemi mukosa.
Mulut : Tidak ada sianosis ataupun pucat di sekitar mulut dan mukosa
lidah, mukosa bibir dan lidah basah, sudut mulut kanan-kiri
simetris, refleks menelan normal. Tidak tampak deviasi uvula dan
lidah ke satu sisi. Tidak ada drooling. Didapatkan karies gigi atas
dan bawah, hipertropi ginggival tidak didapatkan.
Tidak ada pembesaran tonsil dan faring tidak hiperemia. Tidak
Tenggorok : terdapat celah gusi dan palatum.
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening multiple leher

11
anterior, posterior, submental dan submandibula, ukuran 0,5-1 cm,
Leher : tidak konfluen, dapat digerakkan dari dasar, nyeri (-), peningkatan
jugular venous pressure (JVP) tidak didapatkan, tukak (+), dasar
jembatan jaringan (+), pus (+), bau (+), darah (+).
Dada
Bentuk normal, gerakan simetris, iga gambang (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus tidak tampak

Palpasi : Ukuran jantung kesan normal

Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak membesar

Auskultasi : Bunyi jantung I/II normal, bising jantung (-), irama derap (-).
Suara jantung menjauh (-)

Paru
Kanan Kiri

Depan

Inspeksi : Simetris, tidak ada retraksi Simetris, tidak ada retraksi

Palpasi : Simetris, tidak ada ketinggalan Simetris, tidak ada ketinggalan


gerak gerak

Perkusi : Sonor Sonor

Auskultasi : Vesikular, rhonki (+), wheezing Vesikular, rhonki (+), wheezing


(-) (-)

Kanan Kiri

Belakang

Inspeksi : Simetris, tidak ada retraksi Simetris, tidak ada retraksi

Palpasi : Simetris, tidak ada ketinggalan Simetris, tidak ada ketinggalan


gerak gerak

Perkusi : Sonor Sonor

Auskultasi : Vesikular, rhonki (-), wheezing Vesikular, rhonki (-), wheezing


(-) (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, pelebaran vena kolateral (-),
Auskultasi : Bising usus normal, bruit aorta (-)
Perkusi : Pekak hepar positif, suara timpani (+) dan meteorismus (-)
Palpasi : Undulasi (-), asites (-)
Hepar tidak teraba.

12
Limpa tidak teraba.
Nyeri tekan dan defans muskuler tidak didapatkan. Massa
intraabdomen tidak ditemukan.

Ekstremitas dan Genitalia


Genitalia eksterna : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas : Teraba hangat, perfusi perifer baik, pengisian kapiler


kurang 2 detik. Edema pada tungkau bawah (+). Di lengan
kanan regio deltoid terdapat parut BCG diameter 6 mm.

Kulit : Kuku tidak tampak kelainan, tidak didapatkan jari tabuh


dan tidak tampak jamur berwarna kehitaman

Kelenjar : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening.

Status neurologis
Kesadaran (GCS) : E4V5M6
Rangsang : Kaku kuduk –, Brudzinki I/II/III/IV : -/-/-/-,
meningeal Kernig -/-, Laseq -/-
Nervi kranialis
NI : Penciuman dalam batas normal
N II : Ketajaman penglihatan dalam batas normal, buta
warna (-)
N III, IV,VI : Pupil besar isokor 3/3 mm, reflek cahaya +/+ normal,
ptosis (-), strabismus (-)
NV : Refleks kornea +/+
N VII : Gerakan otot wajah saat diam dan bergerak tampak
simetris, lipatan nasolabial simetris
N VIII : Pendengaran dalam batas normal
N IX, X : Refleks muntah (+), refleks menelan (+), refleks
batuk (+)
N XI, XII : Kekuatan m.sternocleidomastoideus dan m.trapezius
dalam batas normal
Reflek fisiologis : Reflek bisep N/N, Reflek trisep N/N
Reflek patela N/N, reflek akiles N/N,
Tidak didapatkan klonus
Reflek patologis : Hoffman -/-, Tromar -/-,
Babinski -/-, Chadox -/-, Openheim -/-
Kekuatan motorik : Ekstremitas atas : dalam batas normal
Ekstremitas bawah : lemah
Tonus otot : Normal

c. Status Antropometri
Tanggal Pemeriksaan : 20-08-2018
Tanggal lahir : 28-06-2015
Umur kronologis : 3 tahun 1 bulan 22 hari

13
Berat badan (BB) : 9 kg (< -3SD kura WHO)
Tinggi badan (TB) : 84 cm (<-3SD kurva WHO)
Usia Tinggi : 20 bulam
Berat badan ideal (BBI) : 13 kg
BB/TB (% median) : 69% (kriteria Waterlow)
Lingkar kepala (LK) : 48 cm ( -1 SD kurva WHO)
Lingkar lengan atas (LLA) : 13 cm (< -2 SD kurva WHO)
Penilaian status gizi menggunakan kurva WHO, pasien diklasikan sebagai kriteria
severly underweight, severly stunted, normosefali. (Lampiran 1, 2, 3 dan 4)

Diagnosis

Utama : Skrofuloderma

Penyerta : Severly underweight, severly stunted.

Rencana Pengelolaan (PLANNING)

Rencana Terapi medikamentosa

IVFD D5 ¼ NS 10 tpm

Ampicilin 4x 250mg (15-25 mg/kgBB/dosis)

Gentamicin 1 x 80 mg (8 mg/kgBB/hari  5 mg/kgBB/hari)

KDT Fase intensif selama 2 bulan 1 x 2 tab (FDC berdasarkan BB)

PCT 4x 100 mg (10 - 15mg/kgBB/dosis)

Prognosis

Ad vitam: Bonam

Pasien saat ini dalam kondisi cukup lemah, namun tidak sampai mengancam

jiwa, tanda-tanda vital dalam batas normal, respon terapi masih baik.

Ad Functionam: Dubia

Pasien saat ini belum mengalami komplikasi jangka panjang dengan ketelibatan

multiorgan. Parameter untuk status gizi: buruk sehingga perlu pemantauan ketat

karena berhubungan dengan respon imunologis, respon terapi.

14
Ad Sanasionam : Bonam

Pasien saat ini sedang menjalani terapi untuk tuberkulosis dan infeksi lain yang

menyertai. Terapi TB diharapkan agar dapat mengeradikasi kuman TB itu sendiri.

Jika pemnatauan, kepatuhan, dukungan orang tua baik, diharapkan dapat sembuh

dan tidak meninggalkan gejala sisa.

BAB III

ANALISA KASUS

Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun 1 bulan datang ke Instalasi rawat

darurat (IRD) rumah sakit, dengan keluhan utama benjolan pada leher dan telinga

bagian kanan yang keluar nanah sejak ± 1 tahun yang lalu SMRS. Benjolan

awalnya muncul pada bulan desember 2017 yang semakin membesar, sebelumnya

juga banyak muncul di bawah dagu, ketiak dan leher. Benjolan tidak nyeri, teraba

kenyal dan biasanya banyak, benjolan kemudian pecah disertai tukak yang

mengeluarkan nanah, dan juga bau. Pasien juga diketahui ada riwayat batuk sejak

± 1 tahun yang lalu Dahak berwarna kuning kental, tidak berbau, riwayat batuk

darah diakui pasien sekitar 1tahun yang lalu. Riwayat kontak erat dengan pasien

TB diakui. Keluhan disertai dengan nafsu makan menurun diakui oleh ibu pasien

Riwayat demam pernah dialami oleh pasien sejak 6 bulan yang lalu dengan lama

sekitar 2 hari.

Hal tersebut mengarahkan pada diagnosis TB kulit yang disebut dengan

skrofuloderma. Hal ini dikaitkan dengan gejala klinis dan riwayat kontak erat

pasien dengan pasien yang kontak TB.

15
Faktor Risiko Tuberkulosis

Anak yang terpapar orang dewasa yang punya risiko tinggi, orang dari

negara dengan prevalensi TB yang tinggi, gelandangan, tenaga kesehatan yang

mengurus pasien-pasien dengan risiko tinggi, bayi dan anak < 4 tahun khusunya

anak < 2 tahun, remaja dan dewasa muda, orang dengan koinfeksi HIV, orang

dengan immunocomromides, khususnya pada ksus keganasan, transplantasi organ,

pengobatan bersifat immunosuppresive seperti kemoterapi, diabetes melitus, gagal

ginjal kronik, dan malnutrisi, riwayat kontak dengan pasien dengan pengobatan

tuberkulosis, kontak dengan pasien riwayat resistensi obat tuberkulosis, respon

buruk terhadap terapi standar, BTA positif.1

Diagnosis tuberkulosis

Pasien berusia 3 tahun 1 bulan dicurigai menderita TB kulit

(Skrofuloderma). Dilihat dari gejala klinis dan riwayat kontak.

Berdasarkan anamnesis gejala umum dari penyakit TB anak tidak khas:

nafsu makan kurang, berat badan (BB) sulit naik, menetap atau malah menurun

(kemungkinan masalah gizi sebagai penyebab harus disingkirkan dulu dengan

tatalaksana adekuat selama minimal 1 bulan), demam subfebris berkepanjangan

dengan etiologi demam kronik yang lain perlu disingkirkan dahulu seperti infeksi

saluran kemih (ISK), tifus atau malaria, pembesaran kelenjar superfisial di daerah

leher, aksila, inguinal atau tempat lain, keluhan respiratorik berupa batuk kronik

lebih dari 3 minggu atau nyeri dada, gejala gastrointestinal seperti diare persisten

yang tidak sembuh dengan pengobatan baku atau perut membesar karena cairan

atau teraba massa dalam perut.2

16
Keluhan spesifik organ dapat terjadi bila TB mengenai organ

ekstrapulmonal, seperti: gambaran kelainan kulit yang khas yaitu skrofuloderma,

limfadenopati multipel di daerah colli, aksila atau inguinal.

Pemeriksaan fisik pada pasien ini: regio retroaurikuler dextra an regio colli

terdapat tukak, pus (+), bau (+), darah (+) yang meninggalkan jembatan jaringan,

pada paru ditemukan ronkhi pada kedua lapangan paru, pemeriksaan status

antropometri berdasarkan WHO, pasien diklasifikasikan sebagai kriteria: gizi

buruk, stunting. BB/U: <-3SD, TB/U: <-3SD BB/TB: 69% (Kriteria Waterlow).

Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas:

Antropometri: gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi badan pada posisi

di daerah bawah atau di bawah P5, Suhu subfebris dapat ditemukan pada sebagian

pasien. Kelainan baru dijumpai jika TB mengenai organ tertentu: TB kelenjar:

Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidak nyeri, konsistensi kenyal, multipel

dan kadang saling melekat (konfluens), ukuran besar (lebih dari 2x2cm), biasanya

pembesaran KGB terlihat jelas bukan hanya teraba, tidak respon terhadap

pemberian antibiotika, bisa berbentuk rongga dan discharge. TB kulit: ditandai

dengan adanya ulkus disertai jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).2

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien ini adalah pemeriksaan darah

rutin, dengan hasil Hb: 7,1, trombosit: 588000, leukosit: 9400, gula darah

sewaktu: 113 mg/dl, pemeriksaan apusan darah tepi (ADT): kesan anemia

mikrositik hipokrom susp defisiensi besi dd/hemoglobinopati, trombositosis

suspek trombositosis reaktif, foto thoraks kesan tuberkulosis.

17
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada pasien dengan kecurigaan

tuberkulosis adalah: pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan sputum dilakukan

terutama pada anak berusia > 5 tahun, HIV (+), dan gambaran kelainan paru luas.

Namun, karena kesulitan Namum demikian, karena kesulitan pengambilan

sputum pada anak dan sifat pausibasiler pada TB anak, pemeriksaan bakteriologis

selama ini tidak dilakukan secara rutin pada anak yang dicurigai sakit TB.

Dengan semakin meningkatnya kasus TB resisten obat dan TB HIV, saat ini

pemeriksaan yang seharusnya dilakukan, terutama di fasilitas pelayanan

kesehatan yang mempunyai fasilitas pengambilan sputum dan pemeriksaan

bakteriologis. Cara mendapatkan sputum pada anak: pengeluaran dahak jika

pasien dapat keluarkan sputum/dahak secara langsung, bilas lambung dengan

NGT dapat dilakukan pada anak tidak dapat keluarkan dahak dan dianjurkan

spesimen dikumpulkan minimal 2 hari berturut-turut pada pagi hari, induksi

sputum biasanya relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua

umur, hasil lebih baik dari aspirasi lambung, terutama bila menggunakan lebih

dari 1 sampel. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis TB

pada anak: (a) uji tuberkulin: Uji tuberkulin bermanfaat untuk membantu

menegakan diagnosis TB pada anak, khususnya jika riwayat kontak dengan

pasien TB tidak jelas. Uji tuberkulin tidak bisa membedakan antara infeksi dan

pasien TB. Hasil positif uji tuberkulin menunjukan adanya infeksi dan tidak

menunjukan ada tidaknya sakit TB. Sebaliknya, hasil negatif uji tuberkulin belum

tentu menyingirkan diagnosis TB, (b) foto toraks: Foto toraks juga merupakan

pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosis TB pada anak. Namun

18
gambaran foto toraks pada TB tidak khas kecuali gambaran TB milier, (c)

pemeriksaan histopatologi: Menunjukan gambaran granuloma dengan nekrosis

perkijauan di tenganya dan dapat pula ditemukan gambaran sel daria langhans

dan atau kuman TB.3

Alur diagnosis TB pada anak

Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4 hal, yaitu:

1. Konfirmasi bakteriologis TB

2. Gejala klinis yang TB

3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat dengan

pasien TB)

4. Gambaran foto toraks sugestif TB

Langkah awal pada alur diagnosis TB adalah pengambilan dan pemeriksaan

sputum:

1. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCB, sesuai dengan fasilitas yang

tersedia) positif, anak didiagnosis TB dan diberikan OAT.

2. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM) negatif atau spesimen tidak

dapat diambil, lakukan pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks:

a. Jika tidak ada fasilitas atau tidak ada akses untuk uji tuberkulin dan foto

toraks:

- Jika anak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB menular, anak

dapat didiagnosis TB dan diberikan OAT.

19
- Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinis 2-4 minggu.

Bila pada follow up geala menetap, rujuk anak untuk pemeriksaan

uji tuberkulin dan foto toraks.

b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto toraks, hitung skor

total menggunakan sistem skoring:

1. Skor total > 6  diagnosis TB dan obati dengan OAT

2. Skor total <6, dengan uji tuiberkulin positif atau ada kontak erat 

diagnosis TB dan obati dengan OAT.

3. Jika skor total < 6, dan uji tuberkulin negatif, atau tidak ada kontak erat

 observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang

kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan

yang lebih tinggi.

20
Gambar 1. Alur diagnosis dengan Skoring TB
[Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan
Tatalaksana TB anak. Kemenkes RI, Jakarta: 2016.]
Penjelasan:

1. Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau TCM) tetap merupakan

pemeriksaan utama untuk konfirmasi diagnosis TB pada anak. Berbagai

upaya dapat dilakukan untuk memperoleh spesimen dahak, diantaranya

21
induksi sputum. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan 2 kali dan dinyatakan

positif jika satu spesimen diperiksa memberikan hasil positif.

2. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala

namun tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala

menetap, maka anak dirujuk untuk pemeriksaan lebih lengkap.

3. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun

kontak erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain, dsb.

4. Anak yang dievaluasi bulan kedua tidak menunjukan perbaikan klinis

sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain

misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB

resisten obat maupun masalah kepatuhan berobat dari pasien.

Tabel 1. Skoring TB
[Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan
Tatalaksana TB anak. Kemenkes RI, Jakarta: 2016.]

22
Definisi dan Klasifikasi

1. Definisi

Terduga TB anak:

Anak yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung TB.

Pasien TB anak:

a. Pasien TB anak terkonfirmasi bakteriologis

Anak yang terdiagnosis dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif.

b. Pasien TB anak terdiagnosis secara klinis

Anak yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi

didiagnosis sebagai pasien TB oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan

pengobatan TB.

2. Klasifikasi

a. Klasifikasi pasien TB:

23
Selain pengelompokan pasien berdasarkan definisi tersebut di atas, pasien

juga diklasifikasikan menurut:

i. Lokasi anatomi dari penyakit

ii. Riwayat pengobatan sebelumnya

iii. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

iv. Status HIV

b. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

1. Tuberkulosis paru

TB yang terjadi pada parenkim paru. TB milier dianggap sebagai TB

paru karena adanya lesi pada jaringan paru.

2. Tuberkulosis ekstraparu

TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar

limfe, abdomen, saluran kemih, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.

c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

1) Pasien baru TB: pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB

sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan

(<28 dosis)

2) Pasien yang pernah diobati TB: pasien yang sebelumnya pernah menelan

OAT selama 1 bulan atau lebih (>28 dosis). Pasien ini selanjutnya

diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir yaitu:

1. Pasien kambuh: pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil

24
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh

atau karena reinfeksi).

2. Pasien yang diobati kembali setelah gagal: pasien TB yang pernah

diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

3. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):

pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up.

4. Lain-lain: pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan

sebelumnyatidak diketahui.

Pada pasien anak laki-laki 3 tahun 1 bulan didefinisi dan diklasifikan dengan

pasien TB anak yang terdiagnosis secara klinis dikarenakan pemeriksaan

bakteriologis pada anak yang masih terbatas dan juga diklasifikasikan berdasarkan

lokasi anatomi: TB ektraparu, dan klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan

dikategorikan sebagai pasien baru TB.

Pada pasien ini didiagnosis dengan Skrofuloderma dimana dilihat dari

pemeriksaan fisik dan gejala klinis: (a) Tuberkulosis kelenjar: Infeksi TB pada

kelenjar limfe superfisialis, yang disebut dengan skrofula, merupakan bentuk TB

esktrapulmonal pada anak yang paling sering terjadi, dan terbanyak pada kelenjar

limfe leher. Kebanyakan kasus timbul 6-9 bulan setelah infeksi awal

M.tuberkulosis, tetapi beberapa kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian.

Lokasi pembesaran kelenjar limfe yang sering adalah di bagian servikal anterior,

submandibula, supraklavikula, kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau daerah

aksila.3 Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium awal

penyakit. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras, discrete, dan

25
tidak nyeri. Ukuran besar (lebih dari 2x2 cm), biasanya terlihat jelas bukan hanya

teraba. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada jaringan di bawah atau

diatasnya. Limafadenitis ini paling sering terjadi unilateral, tetapi infeksi bialteral

dapat terjadi karena pembuluh limfatik di daerah dada dan leher bawah saling

bersilangan. Uji tuberkulin biasanya menunjukan hasil yang positif. Gambaran

foto thorax terlihat normal.3

Diagnosois definitis memerlukan pemeriksaan histologis dan bakteriologis

yang dipeoleh lewat biopsi.3 (b) Skrofuloderma: Merupakan manifestasi TB di

kulit yang paling sering dijumpai pada anak, terjadi akibat penjalaran

perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang terkena TB. Manifestasi klinis sama

dengan gejala umum TB pada anak. Biasanya ditemukan di leher atau di tempat

yang mempunyai kelompok kelenjar limfe, misalnya daerah parotis,


3
subamandibula, supraklavikula, dan daerah lateral leher. Lesi awal

skrofuloderma berupa nodul subkutan atau infiltrat subkutan dalam yang keras,

warna merah kebiruan, dan tidak menimbulkan keluhan (asimptomatik). Infiltrat

kemudian meluas/membesar dan menjadi padat kenyal. Selanjutnya mengalami

pencairan, fluktuatif, lalu pecah (terbuka ke permukaan kulit), membentuk ulkus

berbentuk linear atau serpiginosa, dasar bergranulasi dan tidak beraturan, dengan

tepi bergaung, warna kebiruan, disertai fistula dan nodul granulomatosa yang

sedikit lebih keras. Kemudian terbentuk jaringan parut berupa pita/benang fibrosa

padat, yang membentuk jembatan diantara ulkus-ulkus atau daerah kulit yang

normal. Pada pemeriksaan, didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak dengan

fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan cairan, serta massa yang fluktuatif.3

26
Diagnosis definitif adalah biopsi asirasi jarum halus/BAJAH atau secara

biposi terbuka. Pemeriksaan tersebut dicari adanya M.tuberkulosis dengan cara

kultur dan pemeriksaan histopatologis jaringan.3

Tatalaksana Tuberkulosis pada anak

Pasien laki-laki usia 3 tahun 1 bulan, BB: 9kg mendapatkan pengobatan

tuberkulosis fixed drug therapy 1x 2 tablet.

Tatalaksana TB anak terdiri atas terapi (pengobatan) dan profilaksis

(pengobatan pencegahan). Pengobatan TB diberikan pada anak yang sakit TB,

sedangkan pengobatan pencegahan TB diberikan pada anak sehat yang berkontak

dengan pasien TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit

TB (profilaksis sekunder).3

Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa, dengan tujuan

utama pemberian obat anti TB sebagai berikut: (1) menyembuhkan pasien TB, (2)

mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnnya, (3) mencegah TB

relaps, (4) mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat, (5) menurunkan

transmisi TB, (6) mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas

seminimal mungkin, (7) mencegah reservasi sumber sumber infeksi di masa yang

akan datang.3

Beberapa hal penting dalam tata laksana TB anak adalah; (1) menyembuhkan

pasien TB, (2) mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya, (3)

mencegah TB relaps, (4) mencegah terjadinya dan transmisi resisten obat, (5)

menurunkan transmisi TB, (6) mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan

27
toksisitas seminimal mungkin, (7) mencegah reservasi sumber infeksi di masa

yang akan datang.3

1. Obat yang digunakan pada TB anak

- Obat Anti tuberkulosis (OAT)

Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit (pausibasiler)

sehingga rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intensif hanya

diberikan kepada anak dengan BTA positif, TB berat dan TB tipe dewasa. Terapi

TB pada anak dengan BTA negatif menggunakan panduan INH, rifampisin, dan

Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan pertama) diikuti Rifampisin dan INH pada 4

bulan fase lanjutan.3

Tabel 1. Dosis OAT untuk Anak


[Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB anak. Kemenkes RI,
Jakarta: 2016.]
Nama Obat Dosis harian Dosis maksimal Efek samping
(mg/kgBB/hr) (mg/hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersesitivitas
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 GI, Reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, ↑ enzim hati,
cairan tubuh warna orange
kemerahan
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia, GI
Etambutol (E) 20 (15-25) - Neuriris optik, ketajaman
mata kurang, buta warna
merah hijau, hipersensitivitas,
GI

Tabel 2. Panduan OAT dan lama pengobatan TB pada anak

28
[Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB anak. Kemenkes RI,
Jakarta: 2016.]
Kategori Diagnostik Fase Intensif Fase lanjutan
TB klinis
TB Kelenjar 2HRZ 4HR
Efusi Pleura TB
TB Terkonfirmasi Bakteriologis
TB paru dengan kerusakan luas
TB ekstraparu (selain meningitis TB
dan TB tulang/sendi) 2HRZE 4HR
TB Tulang/Sendi
TB Milier 2HRZE 10HR
TB Meningitis

- Kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed drose combination (FDC)

Untuk mempermudah pemberian Oat dan meningkatan keteraturan minum

obat, panduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/FDC. Paket KDT anak

berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg, dan

pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg

dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan:3

Tabel 3. Dosis OAT KDT pada TB anak


[Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB anak. Kemenkes RI,
Jakarta: 2016.]

Berat badan (kg) Fase Intensif (2 bulan) Fase lanjutan (4 bulan)

RHZ (75/50/150) RH (75/50)

5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

29
>30 OAT dewasa

Keterangan:
- Bayi < 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak daam bentuk KDT

- Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet yang diberikan

disesuaikan dengan berat badan saat itu.

- Untuk anak dengan obesitas, dosis KDT berdasarkan BBI (berdasarkan

umur)

- OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan digerus)

- Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum

(chewable) atau dimasukan air dalam sendok (dispersable).

- Obat diberikan pada saat perut kosong atau paling cepat 1 jam setelah

makan.

- Bila INH dikombinasi rifampisin, dosis INH tidak boleh melebihi 10

mg/kgBB/hari

- Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka smeua obat tidak

boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer.

1. Kortikosteroid

Kortikosteroid diberikan dalam kondisi:

a. TB meningitis

b. Sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar (endotrakhial TB)

c. Perikarditis TB

d. TB milier dengan gangguan napas berat

e. Efusi pleura TB

30
f. TB abdomen dengan asites.

Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2

mg/kgBB/hr, sampai 4 mg/kgBB/hari pada kasus sakit berat, dengan dosis

maksimal 60 mg/hr selama minggu. Tappering off dilakukan secara

bertahap setelah 2 minggu pemberian kecuali pada TB meningitis selama

4 minggu sebelum tappering off.

2. Pirirdoksin

Isoniazid dapat menyebakan defisiensi piridoksin simptomatik, terutama

pada anak dengn malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapatkan

ART. Suplementasi piridoksin (5-10 mg/kgBB/hari).3

- Nutrisi

Status gizi pada anak dengan TB akan mepengaruhi keberhasilan terapi

TB. Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian pada anak dengan TB.

Penilaian status gizi harus dilakukan secara rutin selama anak dalam

pengobatan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi, LLA atau

pengamatan gejala dan tanda malnutrsi seperti edema atau muscle wasting.

Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama pengobatan.

Jika tidak memungkinkan, dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak

stabil dan TB dapat diatasi. ASI tetap diberikan jika anak masih dalam masa
4
menyusu.

Pemantauan hasil evaluasi TB anak

- Pemantauan pengobatan pasien TB anak

31
Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setipa hari secara teratur

oleh PMO. Dan sebaiknya dipantau sealama 2 minggu fase intensif, dan sekali

sebulan pada fase lanjutan. Pada setiap kunjungan dievaluasi respon

pengobatan, kepatuhan, toleransi dan kemungkinan efek samping obat.3

Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis membaik (demam

menghilang dan batuk berkurang), nafsu makan meningkat dan BB meingkat.

Pada pasien anak dengan hasil BTA positif pada awal pengobatan,

pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak

ulang pada akhir bulan ke-2, ke-5, ke-6.3

Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu yang lama sehingga

tidak perlu dilakukan foto toraks untuk pemantauan pengobatan, kecuali pada

TB milier setelah pengobatan 1 bulan dan efusi pleura setelah pengobatan 2-4

minggu. Demikian pemeriksaan uji tuberkulin karena yang positif akan tetap

positif.3

Dosis OAT disesuaikan dengan BB. Pemberian OAT dihentikan stelah

pengobatan lengkap, dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun

pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks (pada TB milier, TB dengan

kavitas, efusi pleura).3

Hasil akhir pengobatan pasien TB anak

Tabel 4. Hasil akhir pengobatan


[Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB anak. Kemenkes RI,
Jakarta: 2016.]
Hasil pengobatan Definisi
Sembuh Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada awal pengobataan yang hasil pemeriksaan
bakteeiologis pada akhir pengobatan dan pada salah satu
pemeriksaan sebelumnya menjadi negatif.

32
Pengobatan lengkap Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum
akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti
hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.
Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan atau kapan saja apabila selama demam
pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang
menunjukan adanya resistensi OAT.
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan.
Putus berobat Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
pengobatan terputus selama 2 bulan terus menerus atau
lebih.
Tidak dievaluasi Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.
Termasuk dalam kiteria ini adalah “pasien pindah” ke
kabupaten/kota lain dimana hasil akhir
pengobatannyatidak diketahui oleh kabupaten/kota yang
ditinggalkan.

Tatalaksana Efek samping obat

Efek samping obat TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan dewasa.

Pemberian etambutol untuk anak yang mengalami TB berat tidak banyak

menimbulkan gejala efek samping selama pemberiannya sesuai dengan rentang

dosis yang direkomendasi.

Efek sampimg paling sering adalah hepatotoksisitas, yang dapat disebabkan

oleh isoniazid, rifampisin, atau pirazinamid. Pemeriksaan kadar enzim hati tidak

perlu dilakukan secara rutin pada anak yang akan memulai pengobatan TB.

Pada keadaan peningkatan enzim hati ringan tanpa gejala klinis (kurang dari 5

kali nilai normal) bukan merupakan indikasi penghentian terapi obat anti TB.

Jika timbul gejala hepatomegali atau ikterus harus segera dilakukan

pengukuran kadar enzim hati dan jika perlu penghentian obat TB. Penapisan ke

arah penyebab hepatitis lain harus dilakukan.

Pencegahan

33
Prioritas dalam melakukan kontrol dalam program tuberkulosis sendiri

merujuk pada temukan dan obati, dimana hal ini dapat menurunkan angka

transmisi yang biasanya ditularkan melalui droplet dan juga biasanya sangat

berisiko terhadap orang-orang dekat pasien terkontaminasi TB. Semua anak dan

dewasa dengan gejala yang merujuk pada tuberkulosis dan juga ada riwayat

kontak dengan pasien TB harus dilakukan tes untuk mencari infeksi tuberkulosis.

Rata-rata 30-50% kontak serumah dengan pasien positif TB juga turut tertular dan

1% memang sudah dengan penyakit TB. Program ini diharapkan dapat berjalan

dengan baik jika ada respon yang efektif dan adekuat dari masyarakat dan petugas

kesehatan layanan primer untuk pemberian edukasi. Anak, khusunya < 2 tahun

harus lebih diprioritaskan untuk dilakukan pengamatan lebih lanjut dikarenakan

risiko infeksi lebih tinggi dan lebih cepat berkembang menjadi bentuk

tuberkulosis yang lebih parah.1

Pemberian vaksin BCG (Bacille Calmette-Guérin) merupakan satu-

satunya vaksin yang dapat melawan TB. Vaksin BCG merupakan vaksin dari

strain M.Bovis pemberian biasanya intradermal diberikan mulai usia 0-2 bulan

berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) tahun 2017.1,2

Pencegahan tuberkulosis perinatal juga dapat dilakukan dengan

pemberian profilaksis Izoniasid 10 mg/kgBB selama 6 bulan.1

Bagaimanapun, support dari keluarga terdekat dan kepatuhan minum

obat merupakan salah satu parameter berhasilnya pengobatan dan dapat

menurunkan angka mortalitas dan morbiditas dari penyakit TB ini sendiri

34
DAFTAR PUSTAKA
1. Lindsay HA, Starke JR. Chap 215 Tuberculosis (Mycobacterium

tuberculosis) in Nelson Textbook of Pediatric. 20th edition. Vol 2.

Canada: Elsevier; 2015.

2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. Ed II. Jakarta:

2009.

3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pencegahan

dan Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana

Tuberkulosis Anak. Bakti Husada: 2016.

35

Anda mungkin juga menyukai