Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN KASUS

Anak Laki-Laki 3 Tahun dengan TB Paru Klinis Destroyed Lung disertai


Empiema TB Pulmo Sinistra Klinis Mixed Bacterial

Oleh:
Lale Sirin Rifdah Salsabila
H1A321040

Pembimbing:
dr. SAK Indriyani, M.Kes, Sp.A (K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmat dan petunjuk-Nya penyusunan Laporan Kasus dengan judul
“Anak Laki-Laki 3 Tahun dengan TB Paru Klinis Destroyed Lung disertai
Empiema TB Pulmo Sinistra Klinis Mixed Bacterial” dapat diselesaikan
dengan baik dan tepat pada waktunya. Tujuan dari penyusunan Laporan Kasus ini
adalah untuk memenuhi tugas dalam proses kepanitraan klinik di bagian SMF
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, Rumah Sakit
Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Selain itu, penulis berharap tulisan
ini dapat memberikan manfaat bagi profesi kedokteran serta dapat meningkatkan
dan memperluas pemahaman.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesarbesarnya kepada dr. SAK Indriyani, M.Kes, Sp.A (K) selaku
pembimbing dan semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan dan
dukungan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Laporan
Kasus ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan laporan ini. Semoga
laporan ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya
kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari
sebagai dokter. Terima kasih.

Mataram, Januari 2024

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberkulosis, dan merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di seluruh dunia. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), sekitar 10,6 juta orang diperkirakan menderita tuberkulosis pada tahun
2021, meningkat 4,5% dari tahun sebelumnya. Angka kematian akibat
tuberkulosis juga mencapai total 1,6 juta pada tahun 2021. Sebanyak 9,2% kasus
berasal dari Indonesia sebagai negara kedua dengan kasus tuberkulosis terbanyak
setelah India.1
Sebagian kecil kasus tuberkulosis terjadi pada populasi anak-anak (11%) 1
dengan tingkat kematian tanpa pengobatan sebesar 22% dan meningkat hingga
43% pad anak usia di bawah 5 tahun. Walaupun beban bakteri tuberkulosis dan
transmisinya lebih rendah pada populasi ini, anak lebih berisiko terjangkit
tuberkulosis, terutama anak usia di bawah 5 tahun tanpa imunisasi BCG.2
Tuberkulosis umumnya terjadi pada paru (TB paru) namun juga dapat
mengenai lokasi lain (TB ekstraparu).1 Sebesar 10-20% anak dengan tuberkulosis
mengidap jenis tuberkulosis ekstraparu, bahkan seperempat kasus tuberkulosis
pada anak kurang 5 tahun adalah TB ekstraparu. 3 Dari kasus tuberkulosis
ekstraparu ini, tuberkulosis pleura merupakan jenis yang paling sering. TB pleura
bahkan dapat sering ditemukan di negara-negara dengan insiden tuberkulosis yang
tinggi. Walaupun dengan pemberian tatalaksana yang sesuai, TB pleura dapat
berkembang menjadi empyema tuberkulosis yang menimbulkan sekuelae yang
kronis dan fatal. Adapun mortalitas dan morbiditas akibat kondisi ini tergolong
tinggi.4 Selain empyema tuberkulosis, empyema bakterial bahkan dapat menjadi
komplikasi berat pada 2%-7% pasien anak yang masuk rumah sakit dengan
pneumonia komunitas (CAP). Oleh sebab itu, infeksi tuberkulosis harus dilakukan
penapisan saat melakukan penanganan anak dengan empyema, terutama di daerah
yang beban tuberkulosisnya tinggi.5

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama Lengkap : An. Y
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 8 Maret 2020
Umur : 3 Tahun 9 Bulan
Alamat : Aikmel, Lombok Timur
Tanggal MRS : 13 Desember 2023
No. RM : 2423xx

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis dengan ibu pasien pada
tanggal 23 Desember 2023 didukung dengan data dari rekam medis pasien.
A. Keluhan Utama
Sesak
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki berusia 3 tahun 9 bulan rujukan dari RSUD Dr. R.
Soedjono, Selong dibawa ke RSUD Provinsi NTB pada 13 Desember
2023 dengan keluhan sesak. Keluhan sesak diawali dengan demam yang
naik turun dirasakan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
demam disertai dengan keringat dingin di malam hari. Keluhan lain seperti
batuk, pilek, mual, muntah, mimisan, ruam, dan gusi berdarah disangkal.
BAB dan BAK tidak terdapat keluhan. Nafsu makan masih baik. Pasien
dibawa berulang kali ke Puskesmas namun keluhan tidak membaik. Suhu
demam paling tinggi adalah 42°C, hanya turun selama 3 jam setelah
minum parasetamol. Satu minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien
dibawa kembali ke puskesmas dan dirujuk ke RS Dr. R. Soedjono, Selong.
Keluhan sesak dan batuk pasien mulai disadari oleh orang tua pasien
setelah ditunjukkan hasil pemeriksaan di RSUD Selong berupa adanya
udara di paru. Pasien kemudian dilakukan pemasangan selang di dada
sebelum pada akhirnya dirujuk ke RSUD Provinsi NTB. Selama
perawatan di RSUD Provinsi NTB pasien dikeluhkan sesak, batuk, namun
demam jarang terlalu tinggi.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien tidak pernah sakit yang sampai harus dirawat
inap di puskesmas, klinik maupun rumah sakit. Pasien juga tidak memiliki
riwayat batuk, sesak, kejang atau demam lama dan penyakit lainya.
Kesimpulan: riwayat penyakit dahulu tidak berhubungan dengan penyakit
pasien saat ini.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Orang tua pasien mengatakan bahwa di keluarga pasien saat ini dan
beberapa waktu terakhir menyangkal adanya keluhan yang serupa dengan
pasien. Di keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat batuk atau
demam lama, kejang, alergi dan penyakit genetik lainya. Riwayat
hipertensi hanya dikeluhkan dari nenek dari ibu pasien.
Kesimpulan: riwayat penyakit keluarga tidak berhubungan dengan
penyakit pasien saat ini
E. Ikhisar Keluarga

F. Riwayat Kehamilan
Pasien lahir dari ibu dengan G2P1A0H1 di usia 26 tahun. Ibu
pasien memiliki buku KIA dan rutin melakukan ANC di posyandu tiap
bulan serta melakukan ANC puskesmas. Hasil USG kehamilan (2x
selama hamil) selalu normal. Selama kehamilan ibu selalu meminum
tablet tambah darah dan vitamin serta selalu vaksin TT sesuai arahan
bidan. Selama kehamilan ibu tidak pernah sakit demam, batuk maupun
penyakit lainya.
Kesimpulan: riwayat kehamilan baik
G. Riwayat Persalinan
Ibu pasien mengatakan pasien lahir pervaginam dan cukup bulan di
Puskesmas Aikmel yang dibantu oleh bidan. Berdarkan keterangan ibu
diketahui bahwa saat pasien lahir, pasien langsung menangis, bergerak
aktif, tidak tampak adanya kebiruan mapun kuning. Ibu pasien
mengatakan bahwa berat badan pasien saat lahir sekitar 3.800 gram
sedangkan untuk ukuran panjang badan maupun lingkar kepala tidak ingat.
Kesimpulan: riwayat persalinan baik
H. Riwayat Makanan
Selama 2 tahun pertama pasien selalu mendapatkan asi, 6 bulan
berupa asi eksklusif, sedangkan MP-ASI diberikan setelah usia 6 bulan.
MP-ASI yang diberikan berupa bubur tepung beras yang dibuat sendiri,
setelah usia 1 tahun pasien mulai dikenalkan dengan menu keluarga.
Sebelum sakit, pasien makan lahap 3-4x/hari, satu piring kecil
dengan menu sama dengan keluarga. Saat sakit, frekuensi makan pasien
masih sama namun porsinya sedikit.
Kesimpulan: riwayat makan setelah sakit baik
I. Riwayat Perkembangan dan Kepandaian
Motorik Kasar
1. Bisa tengkurap dan terlentang sendiri (usia 5 bulan)
2. Duduk tanpa berpegangan (usia 7 bulan)
3. Berdiri tanpa berpegangan (usia 1 tahun)
4. Bisa berjalan (usia 1 tahun 1 bulan)
5. Bisa berlari (usia 1 tahun 8 bulan)
6. Bisa berdiri satu kaki (usia 3 tahun 2 bulan)
Motorik Halus
1. Memegang mainan (usia 4 bulan)
2. Mengambil mainan dengan tangan kanan dan kiri (usia 8 bulan)
3. Memasukkan mainan ke dalam wadah (usia 1 tahun 2 bulan)
4. Mencoret-coret (usia 1,5 tahun)
5. Menumpuk kubus (usia 2 tahun)
Komunikasi/Berbicara
1. Bersuara Oooo (usia 3 bulan)
2. Menoleh ke suara (usia 5 bulan)
3. Bersuara ma.. ma.. (usia 8 bulan)
4. Memanggil mama (usia 1 tahun)
5. Berbicara beberapa kata (usia 1,5 tahun)
6. Bercerita singkat sepenuhnya dimengerti (belum bisa)
Sosial Kemandirian
1. Tersenyum spontan (usia 2 bulan)
2. Memasukkan benda ke mulut (usia 6 bulan)
3. Bertepuk tangan (usia 1 tahun)
4. Minum dari gelas (usia 1,5 tahun)
5. Memakai pakain sendiri (belum bisa)
Kesimpulan: riwayat 4 aspek perkembangan tidak terdapat keterlambatan.
J. Riwayat Imunisasi
Berdasarkan pengakuan keluarga pasien, sebelum sakit imunisasi
sudah lengkap sesuai dengan umur pasien dan ketersediaan vaksin di
Puskesmas Aikmel.

Gambar 1. Riwayat imunisasi pasien dalam buku KIA


K. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Ayah pasien adalah seorang buruh bangunan dengan penghasilan
70 ribu per hari, sedangkan ibu pasien merupakan ibu rumah tangga. Gaji
tersebut dinilai kurang cukup untuk membiaya kebutuhan sehari-hari
keluarga pasien.
Pasien tinggal bersama ayah, ibu, dan saudara kandungnya. Pasien
tinggal di lingkungan yang tidak terlalu padat penduduk. Jarak antar tiap
rumah sekitar 2 meter. Berdarkan keterangan orang tua pasien ventilasi di
rumahnya dirasakan cukup baik untuk pertukaran udara maupun
pencahayaan. Sumber air di rumah pasien untuk kegiatan sehari-hari
berasal dari air sumur dan PDAM. Ayah pasien tidak merokok. Keluarga
tidak memiliki hewan peliharaan. Ibu pasien sering membakar sampah di
rumah, setidaknya dua hari sekali.
L. Anamnesis Sistem
1. Thermoregulasi : Riwayat demam (+) menggigil (-) keringat
dingin (+)
2. Serebrospinal: kejang (-) penurunan kesadaran (-) nyeri kepala (-)
3. Kardiovaskular: Kebiruan (-), bengkak (-)
4. Respirasi: Sesak (+), batuk (+), nafas cuping hidung (-)
5. Gastrointestinal: Perdarahan (-), BAB cair (-), mual (-), muntah (-),
distensi (-)
6. Urogenital: BAK (+), 3x sehari
7. Integumen: Ruam di kulit (-), kuning (-)
8. Muskuloskeletal: Keterbatasan gerak (-)
9. Lain-lain: -

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 23 Desember 2023 pada pukul
07.00 WITA.
A. Keadaan Umum
 Kesan : tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : E4V5M6
B. Tanda Vital
 Suhu : 36.2o C
 Frekuensi nadi : 118 x/menit
 Frekuensi napas : 30 x/menit
 Saturasi oksigen : 96% O2 NK 2 lpm
C. Status Gizi
Antropometri
 Berat badan : 13 kg
 Tinggi badan : 99 cm
 Lingkar Kepala : 50 cm
 Lingkar lengan atas : 11.5 cm
 BMI/U :
1. BB/U

Interpretasi : -2<Z<0 SD (Gizi kurang)


2. PB/U

Interprestasi : 0<z<+2 SD (Tinggi normal)


3. TB/BB

Interpretasi : Z = -2 SD (Gizi kurang)


4. LK/U
Interpretasi : +2 SD (Normosefal)
5. BMI/U

Interpretasi : Z<-2 SD (Gizi kurang/wasted)


Antropometri
BB : 13 Kg BB/U : Berat badan normal
PB : 99 cm PB/U : Normal
LK : 50 cm BB/TB : Gizi kurang
Lila : 11,5 cm LK/U : Normosefali
Usia : 3 tahun
JK : Laki-laki
BMI : 13.2 kg/m^2
Kesimpulan status gizi : Gizi kurang

D. Pemeriksaan Lokalis
Kepala - Bentuk: Kesan normosefali
- Rambut: Pesebaran merata, berwarna hitam, lurus dan
lebat.
- Wajah: pucat (-), ikterus (-), edema (-), ruam (-), jejas (-)
Mata - Ptosis (-)
- Konjungtiva: anemis (+/+)
- Sklera: ikterik (-)
- Pupil: refleks pupil (+/+), isokor, ukuran ± 3 mm
Telinga - Inspeksi: simetris, deformitas (-), massa (-), kemerahan (-)
- Palpasi: massa (-), nyeri tekan (-)
Hidung - Inspeksi: simetris Inspeksi: simetris, deformitas (-), deviasi
septum (-), secret (-), epistaksis (-), hiperemis mukosa
hidung (-), edem mukosa hidung (-)
- Palpasi: massa (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Mulut - Bibir: sianosis (-), pucat (-), bibir tampak kering (-)
- Rongga mulut: Perdarahan gusi (-), karies gigi edema dan
hiperemis mukosa faring (-)
Leher - Inspeksi: Trakea di tengah, massa (-)
- Palpasi: pembesaran KGB (-), trakea tepat di tengah (+)
Thoraks Inspeksi: Bentuk tampak simetris (+/+), retraksi subkostal
(+/+), Ictus cordis tidak tampak, tampak luka bekas
pemasangan WSD
Palpasi: Pengembangan dinding dada kiri kesan
tertinggal, krepitasi (+) hemithoraks kiri, nyeri tekan (-),
massa (-), thrill (-)
Perkusi: pulmo kanan: meningkat, pulmo kiri: redup
pada lapang paru bawah, batas jantung dextra ICS II
parasternal line, batas jantung sisnistra ICS V midclavicula
line.
Auskultasi:
Cor: suara jantung S1, S2 tunggal, reguler, murmur (-),
gallop (-)
Pulmo:suara napas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki
(+/+), crackles +/+
Abdomen Inspeksi: Distensi (-), jejas (-)
Auskultasi: bising usus (B), frekuensi 12x/ menit
Perkusi: timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi: Distensi (-), organomegaly (-), nyeri tekan perut
minimal (+) di seluruh kuadran abdomen
Ektremitas Inspeksi: deformitas (-), edema (-), sianosis (-),
ruam (-), kulit tampak keriput (-)
Palpasi: akral teraba hangat (+/+/+/+), CRT<2 detik,
pitting edema (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


A. Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan 13/12/2023 16/12/2023 Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 9.7 11.9 g/dL 12,0-16,0
Leukosit 21.070 15.820 /uL 6.000-18.000
Eritrosit 3,79 4,52 juta/uL 3,60-5,20
Trombosit 659.000 439.000 /uL 150.000-400.000
Hematokrit 30 35 % 26-50
MCV 78,1 77,4 fL 86,0-110,0
MCH 25,6 26.3 pg 26,0-38,0
MCHC 32,8 34,0 g/dL 31,0-37,0
RDW-SD 38,4 39,2 fL 37,0-54,0
RDW-CV 14,0 14,2 % 11,0-16,0
PDW 7,1 7,0 fL 9,0-17,0
MPV 7,6 7,7 fL 9,0-13,0
P-LCR 6,5 8,4 % 13,0-43,0
PCT 0,50 0,34 % 0,17-0,35
Basofil 20 0.1 /uL 0.0 -1.0
Eosinofil 10 0.1 /uL 0.0 – 6.0
Neutrofil 82.7 83.2 /uL 37.0 – 72.0
Limfosit 12.0 9.6 /uL 20.0 – 50.0
Monosit 5.2 7.0 /uL 0.0 – 14.0
Kesimpulan:anemia mikrositik hipokromik membaik, leukositosis, neutrofilia, limfositosis

Jenis Pemeriksaan Hasil (13/12/23) Satuan Nilai Normal


Ginjal dan Parameter Besi
Ureum 27 mg/dL 10-50
BUN 12.62 mg/dL 5,10-16,80
Kreatinin 0.2 mg/dL 0,9-1,3
Serum iron 24,5 mg/dL 70,0-200,0
UIBC 342,0 -
TIBC 366.5 mg/dL 253,0-435,0
Feritin 299,55 mg/mL 208-434
Kesimpulan: fungsi ginjal dalam batas normal, penurunan kadar serum iron
Jenis Pemeriksaan Hasil (18/12/23) Satuan Nilai Normal
Hemostasis
PT 14.3 Detik 11.5-15.5
Kontrol PT 15.4 Detik
APTT 28.2 Detik 28.0-38.0
Kontrol APTT 31.3 Detik
Glukosa 01/01/2024
GDS 105 mg/dl <160
Imunoserologi 09/12/2024
HIV rapid Negatif - Negatif
CRP kuantitatif 9
Kesimpulan: dalam batas normal

Fungsi Hati 18/12/24 01/02/2024 Satuan Nilai Normal


SGOT 103 36 U/l 0-40
SGPT 87 66 U/l 0-41
Bilirubin total 0.2
Bilirubin direk 0.10
Kesimpulan: peningkatan enzim hati membaik

Elektrolit Hasil (18/12/23) 01/02/24 Satuan Nilai Normal


Natrium 136 134 mmol/L 135-146
Kalium 3.8 4.4 mmol/L 3.4-5.4
Klorida 104 100 mmol/L 95-108

Pemeriksaan Hasil
Kultur sputum Organisme terdeteksi: Streptococcus mitis
(14 Desember 2023) Resisten terhadap:
- Amikasin
- Ampisilin
- Ciprofloksasin
- Asam fusidat
- Gentamisin
- Oksasilin
- Penisilin G
- Tetrasiklin
- Tobramisin
- Kotrimoksazol
Sensitif terhadap:
- Kloramfenikol
- Klindamisin
- Eritromisin
- Linezolid
- Vankomisin
GenXpert Mtb Sampel: Sputum
(14 Desember 2023) Mtb not detected
Pengecatan BTA Sampel: Sputum
(14 Desember 2023) BTA tidak ditemukan
Kultur cairan pleura - Tidak ada pertumbuhan kuman
(2 Januari 2024)
Patologi Anatomi Cairan Pleura Makroskopik:
(2 Januari 2024) - Diterima 2 sediaan dalam spuit berisi cairan pleura dengan
volume  1,5 ml, dan dalam tabung dengan volume  2
ml, warna merah keruh. Diproses dalam 4 slide.
Mikroskopik:
- Hapusan cukup sel mengandung sel-sel radang limfosit,
makrofag dengan latar belakang sebaran eritrosit.
Kesimpulan:
- Tidak tampak keganasan pada sediaan ini

B. Pemeriksaan Radiologi
Tanggal: 7 Desember 2023
Foto Thoraks Proyeksi AP
- Hiperlusen avaskular luas dengan kolaps
paru pada hemithoraks kiri, disertai
gambaran deep sulcus sign
- Tampak pula hiperlusen avaskular minimal
pada hemithoraks kanan dengan pleural
white line
- Bercak luas paru kanan
- Cor normal
- Sinus kanan sedikit tumpul
Kesan
- Pneumothoraks bilateral dominan kiri
- Suspek TB paru dd pneumonia
- Efusi pleura minimal dekstra

Tanggal: 13 Desember 2023


Foto Thoraks Proyeksi AP dan Lateral
Kesan
- Jantung besar normal
- Penebalan hilus kanan dan kiri disertai
patchi infiltrate di parakardial kanan
sugestif TB paru
- Tak tampak efusi pleura yang masih
terpasang WSD di hemithoraks kiri dengan
tip setinggi Vth 4-5
- Tulang tak tampak kelainan
CT scan Thoraks Non Kontras Tanggal: 13 Desember 2023
CT Scan Thoraks Kontras
Interpretasi
- Tampak kavitas multipel dengan airfluid
level di lobus medius dan inferior paru
kanan dan lobus superior paru kiri
- Tampak loculated airfluid level di kavum
pleura kanan dan efusi pleura kiri yang telah
terpasang WSD dengan tip setinggi Vth 3-4
yang tampak slight rim contrast
enhancement
- Tak tampak pneumothoraks kanan dan kiri
- Trakea dan bronkus utama kanan kiri paten
- Jantung dan pembuluh darah besar tak
tampak kelainan
- Tak tampak pembesara KGB paratrakeal,
subkarina, dan peribronkial
- Tak tampak nodul di hepar
- Tak tampak proses osteolitik/osteoblastik
- Tampak emfisema subkutis regio thoraks
kiri
Kesan
- Kavitas multipel dengan airfluid level di
lobus medius dan inferior paru kanan dan
lobus superior paru kiri sugestif abses paru
- Sugestif empiema terlokulasi di kavum
pleura kanan dan empiema kiri yang telah
terpasang WSD dengan tip setinggi Vth 3-4
CT scan thoraks Kontras - Emfisema subkutis regio thoraks kiri

Tanggal: 22 Desember 2023


Foto Thoraks Proyeksi AP dan Lateral
Kesan
- Jantung besar normal
- Tak tampak penebalan hilus kanan dan kiri
- Cavitas multipel di lapang paru kanan
(destroyed lung)
- Efusi pleura (empiema) kiri yang telah
terpasang WSD dengan tip setinggi Vth 4-5
- Tulang tak tampak kelainan

Tanggal: 3 Januari 2024


Foto Thoraks Proyeksi AP dan Lateral
- Opasitas inhomogen di kedua pulmo
terutama dekstra, batas tak tegas, dengan
konsolidasi dekstra, cavitas (+)
- Opasitas hemithoraks dekstra laterobasal
- Trachea di tengah tak terdeviasi
- Diafragma dekstra tertutup opasitas
- Sinus costophrenicus dekstra tertutup
opasitas
- Cor: ukuran dan konfigurasi normal
- Retrosternal dan retrocardial space tampak
terbuka
Kesan
- Efusi pleura dekstra cukup banyak
- TB pulmo bilateral DD pneumonia
- Besar cor normal

2.5 Resume
Laki-laki berusia 3 tahun 9 bulan dengan keluhan demam naik turun dan
keringat dingin sejak 2 minggu yang lalu disertai batuk dan sesak sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Riwayat berobat di puskesmas namun
demam tidak bisa turun, riwayat rawat inap di RS Selong selama 7 hari
dengan udara dalam paru dan dilakukan tindakan pemasangan WSD.
Saat pemeriksaan, pasien tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, T =
36,2oC, HR = 118 x/menit, RR = 30 x/menit, SpO2 96% O2 NK 2 lpm, status
gizi kurang, konjungtiva anemis, pemeriksaan thoraks menunjukkan luka
bekas pemasanga WSD pada hemithoraks kiri, ketertinggalan gerak dada kiri,
retraksi subkostal (+/+), krepitasi (+) hemithoraks kiri, perkusi pulmo kanan
meningkat namun pulmo kiri redup pada lapang paru bawah. Abdomen dalam
batas normal.
Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan anemia ringan mikrositik
hipokromik dengan leukositosis dominan neutrofil, peningkatan enzim hati,
kultur sputum terdeteksi Streptococcus mitis yang resisten terhadap banyak
antibiotik, serta pemeriksaan PA cairan pleura menunjukkan sel-sel radang.
Pemeriksaan radiologis serial terhadap foto rontgen dada menunjukkan
pneumothoraks bilateral, susp Tb paru dd pneumonia, efusi pleura minimal
desktra (7/12/23) yang terpasang WSD dengan sugestif TB paru (13/12/23)
serta CT scan thoraks dengan abses paru kiri, empiema bilateral, dan
emfisema subkutis hemithoraks kiri (13/12/23). Foto thoraks tanggal 22/12/23
menunjukkan destroyed lung paru kanan, empiema kiri terpasang WSD, serta
tanggal 3/1/24 tampak efusi pleura dekstra cukup banyak dan TB pulmo
bilateral dd pneumonia.
2.6 Assessment
- TB paru klinis dengan destroyed lung + multicavitas (dominan dekstra) +
empiema TB Sx klinis mixed bacterial
- Susp abses paru Sx dan Emfisema subkutis Sx
- Anemia penyakit kronis
- Gizi kurang
2.7 Planning
A. Planning Diagnostik
- Evaluasi Rotgen Thorax
B. Planning Terapi
1) Medikamentosa
- Levofloxacin 1 x 125 mg IV
- Paracetamol 3 x 150 mg IV KP T≥37,5°C
- Dexamethasone 3 x 3 mg IV
- OAT 2HRZE/10HR KDT Anak 1 x 3 tab (INH 1 x 120 mg, RIF 1
x 180 mg, PZA 1 x 400 mg, Ethambutol 1 x 250 mg)
2) Non medikamentosa
- O2 NK 3 lpm
- IVFD D51/2NS 1000cc/24 jam
- Rencana thorakotomi setelah OAT H-14 (tgl 28/12)
- Nasal washing
- Rawat luka tiap 2 hari
C. Planning Diet
BB: 13 kg
- Kebutuhan cairan:
Kebutuhan cairan = (100x10) ml + (50x1,9) ml
= 1095 ml/L
- Kebutuhan protein
Kebutuhan protein pasien = 14.3 x 1,2 = 17.6gr/hari ~ 15 gr/hari
- Kebutuhan kalori
Kebutuhan protein pasien = 14.3 x 90= 1.287 gram/hari
Bentuk diet: Solid
Jalur Pemberian: oral
Frekuensi pemberian: 3x sehari
2.8 Edukasi
- Edukasi mengenai kondisi pasien saat ini dan rencana terapi yang akan
dilakukan.
- Edukasi mengenai kedisplinan pengobatan pasien
- Edukasi mengenai penggunaan masker untuk mencegah penularan (terutama
pada orang-orang disekitar pasien)
- Edukasi keluarga untuk melakukan skring TB

2.9 Catatan Kronologis Pasien


Tanggal Subjektif dan Objektif Assessment Planning
13 Desember 2023 S/ Sesak, batuk, dan - Pneumothoraks - O2 NK 2 lpm
IGD demam naik turun sinistra on WSD - IVFD D51/2NS
O/ - Efusi pleura 1000cc/24 jam
KU: sedang, Kes: CM - Susp TB dd - Ceftriaxone 2 x 650
HR = 105 x/mnt Pneumonia mg IV H-1
RR= 26x/mnt - Paracetamol 3 x 150
T = 36.7°C mg IV
SpO2 = 99% NK 3 lpm
BB: 13,6 kg
K/L: anemis +/+, ikterik
-/-
Cor: S1S2 tunggal,
reguler, murmur (-),
gallop (-)
Paru: retraksi (+), ves
↑/+, rhonki kasar +/-,
rhonki halus +/-
Abd: soepel, BU(+)N,
distensi (-), nyeri tekan
(-)
Ekstremitas: CRT <2
dtk, akral hangat +/+
14 Desember 2023 S/ Sesak, batuk, dan - Pneumothoraks - O2 NK 2 lpm
demam naik turun sinistra on WSD - IVFD D51/2NS
O/ - Efusi pleura 1000cc/24 jam
KU: sedang, Kes: CM - Parapneumonia dd - Ceftriaxone 2 x 650
HR = 84 x/mnt TB paru mg IV (H+2)
RR= 24x/mnt - Paracetamol 3 x 150
T = 36.7°C mg IV
SpO2 = 99% NK 2 lpm - Diagnostik: work
K/L: anemis +/+, ikterik up TB, Mantoux
-/-
Cor: S1S2 tunggal,
reguler, murmur (-),
gallop (-)
Paru: retraksi (+), ves
/+, rhonki kasar ++/+,
rhonki halus +/-
wheezing -/-
Abd: soepel, BU(+)N,
distensi (-), nyeri tekan
(-)
Ekstremitas: CRT <2
dtk, akral hangat +/+
15 Desember 2023 S/ Sesak (+), batuk (+), - Bronkopneumonia + - O2 NK 2 lpm
demam (-) efusi pleura ec - IVFD D51/2NS
O/ parapneumonia dd 1000cc/24 jam
KU: sedang, Kes: CM TB paru - Ceftriaxone 2 x 650
HR = 112 x/mnt - Abses paru lobus mg IV (H+3)
RR= 28x/mnt medius et inferior - Paracetamol 3 x 150
T = 36.7°C pulmo Dx mg IV KP demam
SpO2 = 98% NK 2 lpm - Loculated empiema - Rencana
K/L: anemis +/+, ikterik Dx on WSD torakotomi
-/- - Anemia penyakit drainase empiema
Cor: S1S2 tunggal, kronis tgl 19/12 dengan
reguler, murmur (-), - Gizi kurang persiapan PRC 1 x
gallop (-) 150 cc
Paru: retraksi (+), ves - Diagnostik: analisa
/+, rhonki kasar ++/+, cairan pleura
rhonki halus +/- terhadap TCM,
wheezing -/- ADA test, kultur,
Abd: soepel, BU(+)N, rivalta, sitologi
distensi (-), nyeri tekan
(-)
Ekstremitas: CRT <2
dtk, akral hangat +/+
16 Desember 2023 S/ Sesak (+), batuk (+), - TB paru klinis - O2 NK 2 lpm
demam (+), BAB (-), dengan destroyed - IVFD D51/2NS
BAK (+) lung + multicavitas 1000cc/24 jam
O/ + empiema TB - Ceftriaxone 2 x 650
KU: sedang, Kes: CM biilateral klinis mg IV (H+4)
HR = 122 x/mnt mixed bacterial - Paracetamol 3 x 150
RR= 32x/mnt - Susp abses paru Sx mg IV KP demam
T = 37.2°C dan Emfisema - Dexamethasone 3 x
SpO2 = 97% NK 2 lpm subkutis Sx 2,5 mg IV
K/L: anemis +/+, ikterik - Anemia penyakit OAT 2HRZE/10HR
-/- kronis KDT Anak 1 x 3 tab
Cor: S1S2 tunggal, - Gizi kurang - INH 1 x 130 mg
reguler, murmur (-), - RIF 1 x 200 mg
gallop (-) - PZA 1 x 480 mg
Paru: retraksi (-), ves - Ethambutol 1 x 270
/+, rhonki kasar ++/+, mg
crackles +/+ wheezing
-/-, terpasang WSD,
produksi (-), bubble (-)
Abd: soepel, BU(+)N,
distensi (-), nyeri tekan
(-)
Ekstremitas: CRT <2
dtk, akral hangat +/+
17 Desember 2023 S/ Sesak (+), batuk (+), - TB paru klinis - O2 NK 2 lpm
demam (-) dengan destroyed - IVFD D51/2NS
O/ lung + multicavitas 1000cc/24 jam
KU: sedang, Kes: CM + empiema TB - Ceftriaxone 2 x 650
HR = 110 x/mnt biilateral klinis mg IV (H+5)
RR= 26x/mnt mixed bacterial - Paracetamol 3 x 150
T = 36.3°C - Susp abses paru Sx mg IV KP demam
SpO2 = 98% NK 2 lpm dan Emfisema - Dexamethasone 3 x
K/L: anemis +/+, ikterik subkutis Sx 2,5 mg IV
-/- - Anemia penyakit OAT 2HRZE/10HR
Cor: S1S2 tunggal, kronis KDT Anak 1 x 3 tab
reguler, murmur (-), - Gizi kurang - INH 1 x 130 mg
gallop (-) - RIF 1 x 200 mg
Paru: retraksi (-), ves - PZA 1 x 480 mg
/+, rales ++/+, crackles - Ethambutol 1 x 270
+/+ wheezing -/-, mg
terpasang WSD,
produksi (-), bubble (-)
Abd: soepel, BU(+)N,
distensi (-), nyeri tekan
(-)
Ekstremitas: CRT <2
dtk, akral hangat +/+
18 Desember 2023 S/ Sesak (), batuk (+), - TB paru klinis - O2 NK 1 lpm
demam (-) dengan destroyed - IVFD D51/2NS
O/ lung + multicavitas 1000cc/24 jam
KU: sedang, Kes: CM + empiema TB - Ceftriaxone 2 x
HR = 112 x/mnt biilateral klinis 650 mg IV (H+5)
RR= 25x/mnt mixed bacterial GANTI 
T = 36.5°C - Susp abses paru Sx Levofloxacin 1 x
SpO2 = 98% NK 1 lpm dan Emfisema 125 mg IV
BB = 12,5 kg subkutis Sx - Paracetamol 3 x 150
K/L: anemis +/+, ikterik - Anemia penyakit mg IV KP demam
-/- kronis - Dexamethasone 3 x
Cor: S1S2 tunggal, - Gizi kurang 2,5 mg IV
reguler, murmur (-), OAT 2HRZE/10HR
gallop (-) KDT Anak 1 x 3 tab
Paru: retraksi subkostal - INH 1 x 130 mg
(minimal), ves +/, rales - RIF 1 x 200 mg
++/+, crackles +/+ - PZA 1 x 400 mg
wheezing -/-, terpasang - Ethambutol 1 x
WSD, produksi (-), 250 mg
bubble (-) - Diagnostik: Ro
Abd: soepel, BU(+)N, thoraks AP/lat +
distensi (-), nyeri tekan DL ulang
(-) - Thoracotomi
Ekstremitas: CRT <2 ditunda karena
dtk, akral hangat +/+ OAT belum H-14
Mantoux indurasi 0
mm
19 Desember 2023 S/ Sesak (), demam (+), - TB paru klinis - O2 NK 1 lpm
lemas (+) dengan destroyed - IVFD D51/2NS
O/ lung + multicavitas 1000cc/24 jam
KU: sedang, Kes: CM + empiema TB - Levofloxacin 1 x
HR = 110 x/mnt biilateral klinis 125 mg IV
RR= 30x/mnt mixed bacterial - Paracetamol 3 x
T = 37.0°C - Susp abses paru Sx 150 mg IV KP
SpO2 = 98% NK 1 lpm dan Emfisema T≥37,5°C
BB = 12,5 kg subkutis Sx - Dexamethasone 3 x
K/L: anemis +/+, ikterik - Anemia penyakit 2,5 mg IV
-/- kronis OAT 2HRZE/10HR
Cor: S1S2 tunggal, - Gizi kurang KDT Anak 1 x 3 tab
reguler, murmur (-), - INH 1 x 130 mg
gallop (-) - RIF 1 x 200 mg
Paru: retraksi subkostal - PZA 1 x 400 mg
(+), ves +/, rales ++/+, - Ethambutol 1 x 250
crackles / wheezing mg
-/-, terpasang WSD, - Klem WSD, bila
produksi (-), bubble (-) bertambah sesak
Abd: soepel, BU(+)N, dan/atau saturasi
distensi (-), nyeri tekan menurun makan
(-) lepas klem
Ekstremitas: CRT <2
dtk, akral hangat +/+
20 Desember 2023 S/ Sesak (), demam - TB paru klinis - O2 NK 3 lpm
subfebris (+) dengan destroyed - IVFD D51/2NS
O/ lung + multicavitas 1000cc/24 jam
KU: sedang, Kes: CM + empiema TB - Levofloxacin 1 x
HR = 144 x/mnt biilateral klinis 125 mg IV
RR= 56x/mnt mixed bacterial - Paracetamol 3 x 150
T = 37.5°C - Susp abses paru Sx mg IV KP T≥37,5°C
SpO2 = 97% NK 4 lpm dan Emfisema - Dexamethasone 3 x
BB = 12,5 kg subkutis Sx 2,5 mg IV
K/L: anemis +/+, ikterik - Anemia penyakit OAT 2HRZE/10HR
-/- kronis KDT Anak 1 x 3 tab
Cor: S1S2 tunggal, - Gizi kurang (H+5)
reguler, murmur (-), - INH 1 x 130 mg
gallop (-) - RIF 1 x 200 mg
Paru: retraksi subkostal - PZA 1 x 400 mg
(+), ves +/+, crackles / - Ethambutol 1 x 250
wheezing -/-, terpasang mg
WSD, produksi (-), - Klem WSD, bila
bubble (-) bertambah sesak
Abd: soepel, BU(+)N, dan/atau saturasi
distensi (-), nyeri tekan menurun makan
(-) lepas klem
Ekstremitas: CRT <2 - Nasal washing
dtk, akral hangat +/+
21 Desember 2023 S/ Sesak (), demam - TB paru klinis - O2 NK 3 lpm
subfebris (↑), batuk () dengan destroyed - IVFD D51/2NS
O/ lung + multicavitas 1000cc/24 jam
KU: sedang, Kes: CM + empiema TB - Levofloxacin 1 x
HR = 131 x/mnt biilateral klinis 125 mg IV
RR= 43x/mnt mixed bacterial - Paracetamol 3 x 150
T = 36.7°C - Susp abses paru Sx mg IV KP T≥37,5°C
SpO2 = 93% NK 2 lpm dan Emfisema - Dexamethasone 3 x
BB = 11.9 kg subkutis Sx 2,5 mg IV
K/L: anemis +/+, ikterik - Anemia penyakit OAT 2HRZE/10HR
-/- kronis KDT Anak 1 x 3 tab
Cor: S1S2 tunggal, - Gizi kurang (H+5)
reguler, murmur (-), - INH 1 x 130 mg
gallop (-) - RIF 1 x 200 mg
Paru: retraksi subkostal - PZA 1 x 400 mg
(), ves +/+, crackles / - Ethambutol 1 x 250
wheezing -/-, terpasang mg
WSD, produksi (-), - Klem WSD, bila
bubble (-) bertambah sesak
Abd: soepel, BU(+)N, dan/atau saturasi
distensi (-), nyeri tekan menurun makan
(-) lepas klem
Ekstremitas: CRT <2 - Rencana
dtk, akral hangat +/+ thorakotomi
setelah OAT H-14
(tgl 28/12)
- Nasal washing
- Diagnostik: besok
rontgen thoraks
AP/Lat
22 Desember 2023 S/ Sesak (), demam (), - TB paru klinis - O2 NK 3 lpm
batuk () dengan destroyed - IVFD D51/2NS
O/ lung + multicavitas 1000cc/24 jam
KU: sedang, Kes: CM (dominan dekstra) + - Levofloxacin 1 x
HR = 130 x/mnt empiema TB Sx 125 mg IV (H+5)
RR= 37 x/mnt klinis mixed - Paracetamol 3 x 150
T = 36.3°C bacterial mg IV KP T≥37,5°C
SpO2 = 96% NK 2 lpm - Susp abses paru Sx - Dexamethasone 3 x
BB = 11.9 kg dan Emfisema 3 mg IV H+7
K/L: anemis +/+, ikterik subkutis Sx OAT 2HRZE/10HR
-/- - Anemia penyakit KDT Anak 1 x 3 tab
Cor: S1S2 tunggal, kronis (H+5)
reguler, murmur (-), - Gizi kurang - INH 1 x 130 mg
gallop (-) - RIF 1 x 200 mg
Paru: retraksi subkostal - PZA 1 x 400 mg
(), ves +/+, crackles / - Ethambutol 1 x 250
wheezing -/-, terpasang mg
WSD, produksi (-), - Klem WSD, bila
bubble (-) bertambah sesak
Abd: soepel, BU(+)N, dan/atau saturasi
distensi (-), nyeri tekan menurun makan
(-) lepas klem
Ekstremitas: CRT <2 - Rencana
dtk, akral hangat +/+ thorakotomi setelah
OAT H-14 (tgl
28/12)
- Nasal washing
- Rawat luka tiap 2
hari
23 Desember 2023 S/ Sesak (), demam (), - TB paru klinis - O2 NK 3 lpm
batuk (), WSD terlepas dengan destroyed - IVFD D51/2NS
O/ lung + multicavitas 1000cc/24 jam
KU: sedang, Kes: CM (dominan dekstra) + - Levofloxacin 1 x
HR = 118 x/mnt empiema TB Sx 125 mg IV (H+5)
RR= 30 x/mnt klinis mixed - Paracetamol 3 x 150
T = 36.2°C bacterial mg IV KP T≥37,5°C
SpO2 = 96% NK 2 lpm - Susp abses paru Sx - Dexamethasone 3 x
BB = 11.9 kg dan Emfisema 3 mg IV H+7
K/L: anemis +/+, ikterik subkutis Sx OAT 2HRZE/10HR
-/- - Anemia penyakit KDT Anak 1 x 3 tab
Cor: S1S2 tunggal, kronis (H+5)
reguler, murmur (-), - Gizi kurang - INH 1 x 120 mg
gallop (-) - RIF 1 x 180 mg
Paru: retraksi (), ves - PZA 1 x 400 mg
+/+, crackles / - Ethambutol 1 x 250
wheezing -/-, rhonki +/+, mg
Abd: soepel, BU(+)N, - Rencana
distensi(-), nyeri tekan(-) thorakotomi setelah
Ekstremitas: CRT <2 OAT H-14 (tgl
dtk, akral hangat +/+ 2/1/24)
- Nasal washing
- Rawat luka tiap 2
hari
29 Desember 2023 S/ Pasien ditunda OK - TB paru klinis - O2 NK 1 lpm
karena belum ACC dengan destroyed - IVFD D51/2NS
anestesi. Saat ini keluhan lung + multicavitas 1000cc/24 jam
pasien membaik.. Batuk (dominan dekstra) + - Levofloxacin 1 x
(+) dahak, demam (-), empiema TB Sx 125 mg IV (H+11)
mual muntah (-), BAB klinis mixed - Paracetamol 3 x 150
normal, tidak ada diare. bacterial mg IV KP T≥37,5°C
BAK normal. - Susp abses paru Sx - Dexamethasone 3 x
O/ dan Emfisema 2.5 mg IV H+13
KU: Sedang subkutis Sx OAT 2HRZE/10HR
HR: 106x/menit - Anemia penyakit KDT Anak 1 x 3 tab
RR: 24x/menit kronis (H+13)
T: 36.9 selsius - Gizi kurang - INH 1 x 140 mg
SpO2: 97% NC 2 lpm - RIF 1 x 200 mg
K/L: anemis (-), ikterik - PZA 1 x 480 mg
(-), pembesaran KGB (-), - Ethambutol 1 x 250
mata cowong (-) mg
Tho: simetris (+), - Tunda tindakan
retraksi (+) minimal, iga thorakotomi setelah
gambang (-). Vesikuler OAT H-14 (tgl
(+/menurun) wheezing 2/1/24)
(-/-), rhonki (+/+)
Cor: s1/s2 tunggal
reguler, murmur(-),
gallop (-)
Abdomen: distensi (-),
nyeri tekan (-), BU (+)
Ekstremitas: akral hangat
(+/+), sianosis (-), CRT <
2 detik
2 Januari 2024 S/ Saat ini pasien tidak - TB paru klinis - O2 NK 1 lpm
ada keluhan. Batuk (-) dengan destroyed - IVFD D51/2NS
dahak, demam (-), mual lung + multicavitas 1000cc/24 jam
muntah (-), BAB normal, (dominan dekstra) + - Levofloxacin 1 x
tidak ada diare. BAK empiema TB Sx 125 mg IV (H+13)
normal. klinis mixed - Paracetamol 3 x 150
O/ bacterial mg IV KP T≥37,5°C
KU: Sedang - Susp abses paru Sx - Dexamethasone 3 x
HR: 118x/menit dan Emfisema 2.5 mg IV H+15
RR: 32x/menit subkutis Sx OAT 2HRZE/10HR
T: 36.4 selsius - Anemia penyakit KDT Anak 1 x 3 tab
SpO2: 98% NC 1 lpm kronis (H+15)
K/L: anemis (-), ikterik - Gizi kurang - INH 1 x 140 mg
(-), pembesaran KGB (-), - RIF 1 x 200 mg
mata cowong (-) - PZA 1 x 480 mg
Tho: simetris (+), - Ethambutol 1 x 250
retraksi (-) minimal, iga mg
gambang (-). Vesikuler - Rencana
(+/menurun) wheezing thorakotomi setelah
(-/-), rhonki (-/-) OAT H-14 (tgl
Cor: s1/s2 tunggal 2/1/24)
reguler, murmur(-),
gallop (-)
Abdomen: distensi (-),
nyeri tekan (-), BU (+)
Ekstremitas: akral hangat
(+/+), sianosis (-), CRT <
2 detik
3 Januari 2024 S/ OK direncanakan hari - TB paru klinis - O2 SM 6 lpm
selasa (2/1/2024). Saat dengan destroyed - IVFD D51/2NS
ini pasien tidak ada lung + multicavitas 1000cc/24 jam
keluhan. Batuk (-) dahak, (dominan dekstra) + - Levofloxacin 1 x
demam (-), mual muntah empiema TB Sx 125 mg IV (H+14)
(-), BAB normal, tidak klinis mixed - Paracetamol 3 x 150
ada diare. BAK normal. bacterial mg IV KP T≥37,5°C
Tidak Ada alergi saat - Susp abses paru Sx - Dexamethasone 3 x
minum OAT dan Emfisema 2.5 mg IV H+16
O/ subkutis Sx OAT 2HRZE/10HR
KU: Sedang - Anemia penyakit KDT Anak 1 x 3 tab
TD: 108/70 kronis (H+16)
HR: 129x/menit - Gizi kurang - INH 1 x 140 mg
RR: 38x/menit - RIF 1 x 200 mg
T: 36.5 C - PZA 1 x 480 mg
SpO2: 100% simple - Ethambutol 1 x 250
mask 6 lpm mg
K/L: anemis (-), ikterik - Rencana
(-), pembesaran KGB (-), thorakotomi setelah
mata cowong (-) OAT H-14 (tgl
Tho: simetris (+), 2/1/24)
retraksi (-) minimal, iga
gambang (-). Vesikuler
(+/menurun) wheezing
(-/-), rhonki (-/-)
Cor: s1/s2 tunggal
reguler, murmur(-),
gallop (-)
Abdomen: distensi (-),
nyeri tekan (-), BU (+)
Ekstremitas: akral hangat
(+/+), sianosis (-), CRT <
2 detik
4 Januari 2024 S/Pasien post op - Post torakotomi - O2 SM 6 lpm
torakotomi eksplorasi. eksplorasi H+0 - IVFD D51/2NS
Saat ini pasien tidak ada - TB paru klinis 1000cc/24 jam
keluhan. Batuk (-), dengan destroyed - Levofloxacin 1 x
demam (-), mual muntah lung + multicavitas 125 mg IV (H+15)
(-), BAB normal, tidak (dominan dekstra) + - Paracetamol 3 x 150
ada diare. BAK normal. empiema TB Sx mg IV KP T≥37,5°C
O/ klinis mixed - Dexamethasone 3 x
KU: Sedang bacterial 2.5 mg IV H+17
HR: 129x/menit - Susp abses paru Sx OAT 2HRZE/10HR
RR: 38x/menit dan Emfisema KDT Anak 1 x 3 tab
T: 36.5°C subkutis Sx (H+17)
SpO2: 100% simple - Anemia penyakit - INH 1 x 140 mg
mask 6 lpm kronis - RIF 1 x 200 mg
K/L: anemis (-), ikterik - Gizi kurang - PZA 1 x 480 mg
(-), pembesaran KGB (-), - Ethambutol 1 x 250
mata cowong (-) mg
Tho: simetris (+),
retraksi suprasternal(-)
minimal, iga gambang
(-). Vesikuler (+/+),
wheezing (-/-), rhonki
(-/-)
Cor: s1/s2 tunggal
reguler, murmur(-),
gallop (-)
Abdomen: distensi (-),
nyeri tekan (-), BU (+)
Ekstremitas: akral hangat
(+/+), sianosis (-), CRT <
2 detik

3.0 Foto Pasien

(1) (2) (3)

Gambar 1. Foto pasien Gambar 2 dan 3. Cairan pleura pasien


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi dan Etiologi


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi M.
Tuberkulosis.6 Selain itu, terdapat bakteri lain yang dapat menyebabkan TB, yaitu
Mycobacterium africanum dan Mycobacterium bovis. 7 Bakteri-bakteri ini dapat
mempengaruhi paru-paru (TB pulmo) dan tempat lain seperti ginjal dan sum-sum
tulang belakang yang secara umum disebut dengan TB ekstra paru (TB ekstra
pulmo).7,8
3.2 Epidemiologi
Dari total keseluruhan kasus tuberkulosis, 11% kasus tuberkulosis terjadi
pada anak-anak.1 Perkiraan angka kematian akibat tuberkulosis pada anak yang
tidak mendapat pengobatan adalah 22% dan bahkan mencapai 43% pada anak
berusia kurang dari 5 tahun.2 Tuberkulosis umumnya terjadi pada paru (TB paru)
namun juga dapat mengenai lokasi lain (TB ekstraparu). 1 Sebesar 10-20% anak
dengan tuberkulosis mengidap jenis tuberkulosis ekstraparu, bahkan seperempat
kasus tuberkulosis pada anak kurang 5 tahun adalah TB ekstraparu. 3 Distribusi
global kasus tuberkulosis anak serupa dengan dewasa dengan beban lebih besar
terdapat di Afrika sub Sahara dan Asia. Prevalensi kasus baru di Indonesia adalah
>300 kasus/100.000 penduduk tahunnya.9
3.3 Faktor Risiko
Faktor risiko yang terkait dengan TB paru pada anak antara lain:10
- Status sosioekonomi kelas bawah
- Kepadatan hunian, termasuk ukuran tempat tinggal 5-9 m 2 dan jumlah orang
per ruangan ≥ 3 orang.
- Tidak adanya ventilasi silang.
- Kontak dengan kasus dewasa, durasi kontak > 2 tahun
- Ingesti susu yang belum dipasteurisasi (tuberkulosis akibat spesies M.
Bovis).
- Malnutrisi berat dengan LILA <11.5 cm11
3.4 Patogenesis
Lini masa perjalanan infeksi TB pada anak tercantum pada Gambar 1.
Infeksi tuberkulosis terjadi ketika seseorang yang tidak terjangkit menghirup
droplet yang mengandung basil tuberkel. Basil akan menuju saluran pernapasan.
Sebagian besar basil akan terperangkap dalam sel goblet penyekresi mukus yang
bertugas memblokade masuknya benda asing. Akan tetapi sebagian basil dapat
lolos ke saluran napas terminal.12,13 Proses peradangan lokal terjadi di dalam paru-
paru, disebut sebagai fokus primer (Ghon), dari mana basil mengalir melalui
saluran limfatik ke kelenjar getah bening regional. Fokus utama bersama dengan
kelenjar getah bening regional yang terkena (dengan/tanpa reaksi pleura di
atasnya) disebut sebagai kompleks primer (Ghon).14

Gambar 1. Lini masa perkembangan infeksi primer tuberkulosis


0, Inkubasi; I, konversi tuberculin skin test; II, Ghon focus dan/atau penyakit milier (diseminata);
III, penyakit kelenjar getah bening (usia <5 tahun)/efusi pleura (usia >5 tahun); IV, penyakit
dewasa (usia >10 tahun)14

Sebelum respons imun yang didapat bereaksi, basil dapat memasuki


sirkulasi sistemik melalui kelenjar getah bening regional dengan penyebaran
hematogen yang tersembunyi. Basil dapat bertahan hidup di organ target untuk
waktu yang lama tergantung pada interaksi patogen-inang yang dinamis di lokasi
deposisinya.14
Laju progresi penyakit ini sangat bervariasi dengan progresi paling cepat
diamati pada anak-anak berusia muda. Infeksi tuberkulosis primer pada anak
dibagi menjadi fase-fase berikut:14
- Fase 1 terjadi 3-8 minggu setelah infeksi primer dan dapat ditandai dengan
demam berkepanjangan, pembentukan kompleks primer yang terlihat pada
rontgen dada (CXR), dan reaksi hipersensitivitas seperti eritema nodosum
dan konversi tes kulit tuberkulin (TST).
- Fase 2 terjadi 1-3 bulan setelah infeksi primer dan mengikuti penyebaran
hematogen tersembunyi. Fase ini merupakan periode risiko tertinggi untuk
pengembangan meningitis tuberkulosis (TBM) dan TB milier pada anak-
anak.
- Fase 3 terjadi 3-7 bulan setelah infeksi primer dan dapat bermanifestasi
sebagai keterlibatan saluran napas yang disebabkan oleh penyakit kelenjar
getah bening pada anak kecil (<5 tahun) dan efusi pleura reaktif pada anak
yang lebih besar.
- Fase 4 berlangsung sampai kompleks primer mengalami kalsifikasi, 1-3
tahun setelah infeksi primer. Fase ini mewakili periode TB osteoartikular
pada anak-anak <5 tahun dan penyakit tipe dewasa pada remaja.
- Fase 5 terjadi setelah kalsifikasi selesai, >3 tahun setelah infeksi primer.

3.5 Klasifikasi
Berdasarkan cara diagnosisnya, kasus tuberkulosis dibagi menjadi:15

● Terduga (presumptif) pasien TB adalah seseorang yang mempunyai

keluhan atau gejala klinis mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai


terduga TB).

● TB terkonfirmasi bakteriologis merupakan kasus TB yang terbukti

positif bakteriologi pada hasil pemeriksaan (contoh uji bakteriologi


adalah sputum, cairan tubuh dan jaringan) melalui pemeriksaan
mikroskopis langsung, TCM TB, atau biakan. Termasuk dalam
kelompok pasien ini adalah :

- Pasien TB paru BTA positif


- Pasien TB paru hasil biakan M.TB positif
- Pasien TB paru hasil tes cepat M.TB positif
- Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik
dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang
terkena.
- TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

● TB terdiagnosis klinis adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria

terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB


aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah :

- Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks


mendukung TB.
- Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis
setelah diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko
TB
- Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun
laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
- TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Diagnosis TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat


diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya menjadi:15
● TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau

trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena


terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstra paru
harus diklasifikasikan sebagai kasus TB ekstra paru

● TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar

parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran


genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak.

Diagnosis TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis berdasarkan


riwayat pengobatannya dibagi menjadi:15

● Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT

sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (< dari
28 dosis bila memakai obat program).

● Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah

mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai obat
program). Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil
pengobatan terakhir sebagai berikut :

- Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan


OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir
pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB episode kembali
(karena reaktivasi atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).
- Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
- Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah menelan
OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2
bulan berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up sebagai hasil
pengobatan.
- Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.
- Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui

Berdasarkan tingkat resistensinya terhadap obat anti tuberkulosis, maka


tuberkulosis dapat dikategorikan sebagai berikut:16

● Monoresisten: resisten terhadap salah satu obat lini pertama.

● Poliresisten: resisten terhadap lebih dari satu obat TB lini pertama

selain isoniazid dan rifampisin pada saat bersamaan.

● Rifampicin resistant (RR-TB): resistansi terhadap rifampisin

● Multidrug resistant (TB-MDR): resistensi terhadap isoniazid dan

rifampisin.

● Extensive drug resistant (TB-XDR): MDR-TB dengan resistansi

terhadap fluoroquinolone (levofloxacin, moxifloxacin) dan injeksi apa


saja obat TB lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
Berdasarkan status HIVnya, maka pasien tuberkulosis dapat dikategorikan
sebagai berikut:15

● Kasus TB dengan HIV positif

● Kasus TB dengan HIV negatif

● Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui

3.6 Penegakan Diagnosis


3.6.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Rekomendasi pendekatan diagnosis TB pada anak:15
a. Anamnesis (riwayat kontak erat dan gejala klinis sesuai TB)
b. Pemeriksaan fisis (termasuk analisis tumbuh-kembang anak)
c. Uji tuberkulin
d. Konfirmasi bakteriologis seperti pemeriksaan TCM, pulasan BTA,
pemeriksaan PCR maupun biakan TB
e. Pemeriksaan penunjang lain yang relevan (foto toraks, pungsi lumbal, biopsi
dan yang lainnya sesuai lokasi organ yang terkena)
f. Skrining HIV pada kasus dengan kecurigaan HIV
TB anak merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering
terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum
atau sesuai organ terkait. Gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala
serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.15
Gejala sistemik / umum TB pada anak:15
b. Batuk lama atau persisten ≥ 2 minggu, batuk bersifat non-- remitting (tidak
pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan penyebab lain
batuk telah disingkirkan.
c. Demam lama (≥ 2minggu) dan / atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam
umumnya tidak tinggi (subfebris) dan dapat disertai keringat malam.
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
e. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi
gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan
gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan
f. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
g. Keringat malam dapat terjadi, namun bukan merupakan gejala spesifik TB
pada anak.
h. Gejala klinis organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ
yang terkena, misalnya: kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang,
dan kulit.

3.6.2 Skoring
Diagnosis anak dengan menggunakan sistem skoring dapat dilakukan
pada fasilitas pelayanan kesehatan primer. Sistem skoring ini diharapkan
dapat membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam
mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana.
Interpretasi dari hasil skoring adalah sebagai berikut:15
1. Jika skor total ≥ 6, anak didiagnosis dengan TB anak klinis dan
segera obati dengan OAT
2. Jika skor total = 6, uji Tuberkulin positif atau ada kontak
erat,dengan gejala lainnya anak didiagnosis dengan TB anak klinis
dan segera obati dengan OAT
3. Jika skor total = 6, uji Tuberkulin positif atau ada kontak erat,
tanpa adanya gejala lainnya anak didiagnosis dengan infeksi laten
TB, berikan pengobatan pencegahan TB
4. Jika skor total 6, dan uji Tuberkulin negatif atau tidak ada kontak
erat, observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap evaluasi
kembali kemungkinan diagnosis TB dan rujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi
5. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut.
Tabel 1. Sistem skoring diagnosis TB anak di fasilitas pelayanan kesehatan primer

3.6.2 Pemeriksaan Penunjang


Secara umum, alur penegakan diagnosis tuberkulosis pada pasien dengan
terduga TB, terdapat dalam algoritma berikut:
Gambar 2. Alur penegakan diagnosis tuberkulosis anak
A. Laboratorium
 Pengecatan BTA
Basil tahan asam merupakan sekelompok bakteri yang memiliki
kemampuan untuk mempertahankan warna dari zat asam selama
pewarnaan preparat. Salah satu jenis basil tahan asam berasal dari
Mycobacterium. Sampel pengecatan BTA biasanya berasal dari
sputum yang bisa didapatkan dari melalui batuk, induksi sputum,
bronkoskopi, atau bilas lambung. Hasil pembacaan pengecatan
BTA menurut standar WHO, adalah sebagai berikut:17
Tabel 2. Interpertasi hasil pengecatan BTA17
Skor Kriteria
Negatif Tidak ditemukan BTA pada paling sedikit 100 lapang pandang
Scanty positive Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang
1+ Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang
2+ Ditemukan 1-10 BTA per lapang pandang (minimal pada 50 lapang pandang)
3+ Lebih dari 10 BTA per lapang pandang (minimal pada 20 lapang pandang)

 Uji Diagnostik Molekular Cepat


Pemeriksaan molekular ini merupakan metode pemeriksaan
tercepat yang sudah dapat dilakukan di Indonesia. Pemeriksaan ini
juga dapat mendeteksi mutasi pada gen yang berperan dalam
mekanisme kerja obat antituberkulosis lini 1 dan lini 2. WHO
merekomendasikan penggunaan Xpert MTB/RIF untuk deteksi
resistan rifampisin.15 Pemeriksaan ini dikatakan memiliki sensivitas
dan spesivitas yang tinggi.18
 Metode Konvensional Uji Kepekaan Obat
Pemeriksaan biakan M.TB dapat dilakukan menggunakan 2 macam
medium padat (Lowenstein Jensen /LJ atau Ogawa) dan media cair
MGIT (Mycobacterium growth indicator tube). Biakan M.TB pada
media cair memerlukan waktu yang singkat minimal 2 minggu,
lebih cepat dibandingkan biakan pada medium padat yang
memerlukan waktu 28-42 hari.15

 Interferon Gamma Release Assay (IGRA)


IGRA memiliki sensivitas 80.8% dan spesifitas 53.8%, hal ini
menunjukkan bahwa IGRA sulit digunakan untuk menyingkirkan
penyakit TB. Oleh karena itu, untuk penegakan diagnosis TB yang
direkomendasikan adalah menggabungkan kultur bakteri dan
PCR.19
 Tuberculin Skin Test (TST)
TST (Tuberculin Skin Test) dikatakan positif jika didapatkan
indurasi ≥5 mm pada orang yang tidak memiliki bukti klinis atau
radiografi penyakit TB.20
 Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) dapat
memberikan gambaran yang khas, yaitu menunjukkan gambaran
granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula
ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.15
 Pemeriksaan lain
Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi
bakteriologis maupun terdiagnosis klinis adalah pemeriksaan HIV
dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi
misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dan lain-lain.15

B. Pencitraan
Berikut ini pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan pada
pasien dengan tuberkulosis:
- Foto Rontgen Thoraks
Foto rontgen thoraks memainkan peran penting dalam diagnosis
dan memantau tuberkulosis anak. Pemeriksaan initidak sensitif dan
nonspesifik, bahkan 15% pasien terkonfirmasi TB dapat memiliki
hasil pemeriksaan yang normal.21 Secara umum, gambaran
radiologis yang menunjang TB adalah: pembesaran kelenjar hilus
atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, konsolidasi segmental/lobar,
efusi pleura, milier, atelektasis, kavitas, kalsifikasi dengan infiltrat,
dan/atau tuberkuloma.15 Pembesaran kelenjar hilus merupakan
penanda radiologis (namun bukan patognomonis) untuk TB primer
pada anak. Limfadenopati dapat ditemukan pada 50-70% kasus
setelah 1-3 bulan paparan.21
Gambar 3. Foto rontgen thoraks tb paru berat anak dengan keterlibatan limfobronkial. a, b
Radiografi dada posteroanterior (a) dan lateral (b) menunjukkan kepadatan jaringan lunak
berlobulasi di daerah hilus dan mediastinum (panah) yang menunjukkan pembesaran kelenjar
getah bening, dengan penyempitan bronkus utama kiri (panah tebal) dan perpindahan ke kiri dari
trakea (panah tipis). c, d Pemindaian tomgrafi komputer dengan kontras yang ditingkatkan pada
dada. Gambar aksial pada pengaturan jendela jaringan lunak (c) menunjukkan nekrosis sentral
yang khas dengan peningkatan tepi perifer pada kelenjar getah bening subkarinal (panah).
Gambaran koronal pada pengaturan jendela paru (d) lebih baik menggambarkan penyempitan
halus bronkus utama kiri (panah) yang disebabkan oleh pembesaran kelenjar getah bening 21

3.6.3 TB Ekstra Paru Pada Anak


Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi minimal
dengan gejala klinis yang ringan, tidak mengancam kehidupan ataupun
menimbulkan kecacatan. Sebagaimana TB dewasa, pada anak dapat muncul gejala
klinis TB secara umum, disertai kelainan pada organ ekstra paru seperti TB
kelenjar, TB abdomen, TB meningitis, dll. Diagnosis TB ekstra paru berdasarkan
gejala klinis TB secara umum, ditambah gejala khas pada organ. Sehubungan
dengan itu, akan diuraikan secara ringkas, hal-hal yang penting untuk diagnosis
TB ekstra paru.15
1. Tuberkulosis kelenjar
Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan histologis dari biopsi
kelenjar dan bakteriologis yang bisa diperoleh melalui kultur cairan
sinus.
2. Tuberkulosis abdomen
Tanda yang dapat ditemukannya diantaranya distensi abdomen, massa
intraabdomen atau asites. Dapat ditemukan bakteri tahan asam dari lesi
atau caran ascites, pertumbuhan MTB dari kultur jaringan atau cairan
ascites, pemeriksaan histopatologi dengan adanya granuloma.
3. Tuberkulosis susunan saraf pusat
Terbanyak TB meningitis, gejala tergantung stadium, dimulai dengan
nyeri kepala, kejang, defisit neurologis dan kesadaran menurun.
Penegakan diagnosis ditunjang dengan riwayat kontak dengan pasien
TB dewasa BTA positif, pemeriksaan uji tuberkulin, foto polos dada,
CT scan atau MRI kepala. Diagnosis pasti dengan tampaknya
mikobakteria dari hapusan atau kultur cairan serebrospinal.
4. Tuberkulosis tulang / sendi
Gejala klinis adalah nyeri pada tulang/sendi yang terlibat, disertai
dengan keterbatasan aktifitas, diikuti oleh bengkak pada tulang /sendi
yang terlibat. Bisa ditemukan giBBus yaitu benjolan pada tulang
belakang yang umumnya seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-
tanda peradangan, dengan warna benjolan sama dengan sekitarnya,
tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses dingin. Penegakan diagnosis
ditunjang dengan uji tuberkulin, pemeriksaan CT scan atau MRI.
Kelainan neurologis terjadi pada keadaan spondilitis yang lanjut,
membutuhkan operasi bedah sebagai tata laksananya.
5. Tuberkulosis urogenital
Secara klinis, TB ginjal paling sering, dengan gambaran klinis yang
tenang pada fase awal, hanya ditandai piuria yang steril dan hematuria
mikroskopis. Disuria, nyeri pinggang atau nyeri abdomen dan
hematuria makroskopis dapat terjadi sesuai dengan berkembangnya
penyakit. Diagnosis dan pemeriksaan penunjang TB urogenital pada
anak, sama dengan dewasa. Khusus pada anak tetap dilakukan uji
tuberkulin. Pengobatan TB ginjal selain pemberian OAT juga dilakukan
penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Apabila diperlukan
tindakan bedah, dapat dilakukan setelah pemberian OAT selama 4-6
minggu.
6. Tuberkulosis kulit
Bentuk tuberkulosis kulit yang paling banyak dijumpai adalah
Skrofuloderma. Skrofuloderma biasanya ditemukan di servikal,
inguinal, aksila atau di area tulang ekstremitas. Lesi awal
skrofuloderma berupa nodul subkutan atau infiltrat subkutan dalam
yang keras (firm), berwarna merah kebiruan, dan tidak menimbulkan
keluhan (asimtomatik). Pada pemeriksaan, didapatkan berbagai bentuk
lesi, yaitu plak dengan fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan cairan,
serta massa yang fluktuatif. Diagnosis definitif adalah adanya M. TB
dengan cara biakan dan pemeriksaan histopatologis jaringan dari biopsi
aspirasi jarum halus ataupun secara biopsi terbuka. Hasil PA dapat
berupa granuloma dengan nekrotik di bagian tengahnya, terdapat sel
datia Langhans, sel epiteloid, limfosit, serta BTA. Selain tata laksana
dengan OAT dapat diberikan kompres lokal/topikal atau higiene yang
baik.
7. Tuberkulosis jantung
Tuberkulosis yang umum terjadi pada jantung adalah perikarditis TB.
Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu, dan BB turun. Nyeri
dada jarang timbul pada anak. Dapat ditemukan friction rub dan suara
jantung melemah dengan pulsus paradoksus. Penegakkan diagnosis
sesuai standar, ditambah dengan echocardiografi. Selain OAT diberikan
juga kortikosteroid. Perikardiotomi parsial atau komplit dapat
diperlukan jika terjadi penyempitan perikard.
8. Tuberkulosis pleura
Gejala dan tanda awal meliputi demam akut yang disertai batuk
nonproduktif, nyeri dada, biasanya unilateral. Pasien juga sering datang
dalam keadaan sesak nafas yang hebat. Pemeriksaan foto toraks
dijumpai kelainan parenkim paru. Penunjang diagnostik yang dapat
dilakukan adalah analisis cairan pleura, jaringan pleura dan biakan TB
dari cairan pleura, dengan jenis cairan bisa bentuk serosa atau empiema.
Drainase cairan pleura dapat dilakukan jika cairan sangat banyak.

3.7 Tatalaksana
Tata laksana medikamentosa TB anak terdiri atas terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,
sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis
primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).15
Mengingat tingginya risiko TB disseminata pada anak kurang dari 5 tahun,
maka terapi TB hendaknya diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan.
Terdapat beberapa perbedaan penting antara anak dengan dewasa, di antaranya
adalah usia muda mempengaruhi kecepatan metabolisme obat sehingga anak
terutama usia kurang dari 5 tahun memerlukan dosis yang lebih tinggi (mg/kgBB)
dibandingkan anak besar atau dewasa. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian
OAT setiap hari lebih baik dibandingkan pemberian OAT intermiten.15
Tabel 3. OAT yang dipakai dan dosisnya15

Anak yang lebih kecil umumnya memiliki jumlah kuman yang jauh lebih
sedikit (paucibacillary) sehingga transmisi kuman TB dari pasien anak juga lebih
rendah, serta rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intensif tidak
sekuat pada orang dewasa, kecuali pada BTA positif, TB berat dan adult-type
TB.15
Terapi TB pada anak dengan BTA negatif menggunakan paduan INH,
Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial 2 bulan pertama kemudian diikuti
oleh Rifampisin dan INH pada 4 bulan fase lanjutan.15
Tabel 4. Panduan OAT Anak15

Respons pengobatan dan pemantauan:15


1. Idealnya setiap anak dipantau setidaknya: tiap 2 minggu pada fase intensif
dan setiap 1 bulan pada fase lanjutan sampai terapi selesai
2. Penilaian meliputi: penilaian gejala, kepatuhan minum obat, efek samping,
dan pengukuran berat badan
3. Dosis obat mengikuti penambahan berat badan
4. Kepatuhan minum obat dicatat menggunakan kartu pemantauan pengobatan.
5. Pemantauan sputum harus dilakukan pada anak dengan BTA (+) pada
diagnosis awal, yaitu pada akhir bulan ke-2, ke-5 dan ke-6.
6. Foto toraks tidak rutin dilakukan karena perbaikan radiologis ditemukan
dalam jangka waktu yang lama, kecuali pada TB milier setelah pengobatan
1 bulan dan efusi pleura setelah pengobatan 2 – 4 minggu.
7. Anak yang tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi TB harus dirujuk
untuk penilaian dan terapi, anak mungkin mengalami resistensi obat,
komplikasi TB yang tidak biasa, penyebab paru lain atau masalah dengan
keteraturan (adherence) minum obat.15
Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat digunakan untuk TB dengan komplikasi seperti
meningitis TB, sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar, dan perikarditis
TB. Steroid dapat pula diberikan pada TB milier dengan gangguan napas
yang berat, efusi pleura dan TB abdomen dengan asites. Obat yang sering
digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kg/hari, sampai 4
mg/kg/hari pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/hari
selama 4 minggu, kemudian tappering off bertahap 12 minggu sebelum
dilepas.15
Sindrom pulih imun (SPI)
Disebut juga reaksi paradoksal, perburukan klinis (gejala baru atau
perburukan gejala, tanda, atau manifestasi radiologis) biasa terjadi setelah
terapi anti TB akibat peningkatan kapasitas respons imun yang akan
merangsang perburukan penyakit, demam dan peningkatan ukuran kelenjar
limfe atau tuberkuloma. Sindrom pulih imun terjadi akibat peningkatan
status gizi atau akibat terapi anti TB sendiri. Pada pasien TB dengan HIV
sindrom pulih imun dapat terjadi setelah pengobatan dengan antiretroviral
(ARV) dan disebut sindrom pulih imun (immune reconstitution
inflammatory syndrome =IRIS). Untuk mencegah SPI, maka ARV diberikan
26 minggu setelah OAT dimulai. Untuk mengurangi risiko hepatotoksisitas,
dipertimbangkan mengganti nevirapin dengan sediaan yang lain. Jika terjadi
SPI, terapi TB tetap diteruskan, sebagian kasus bisa ditambahkan
kortikosteroid, namun jika terjadi keraguan hendaknya anak dirujuk ke
peringkat yang lebih tinggi.15
Nutrisi
Status gizi pasien sangat penting untuk bertahan terhadap penyakit TB,
dan malnutrisi berat berhubungan dengan mortalitas TB. Penilaian yang
terus menerus dan cermat pada pertumbuhan anak perlu dilakukan.
Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi, lingkar lengan atas atau
pengamatan gejala dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle wasting.
Pemberian air susu ibu tetap diberikan, jika masih dalam periode menyusui.
Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan dengan makanan yang
mudah diterima anak dan bervariasi. Jika tidak memungkinkan dapat
diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat di atasi.15
Piridoksin
Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik,
terutama pada anak dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang
mendapatkan ARV. Suplementasi piridoksin (5-10 mg/hari)
direkomendasikan pada bayi yang mendapat ASI ekslusif, HIV positif atau
malnutrisi berat.15
Tata laksana efek samping obat
Efek samping obat TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan
dewasa. Efek samping yang paling penting adalah hepatotoksisitas, yang
dapat disebabkan oleh isoniazid, rifampisin atau pirazinamid. Jika timbul
gejala hepatomegali atau ikterus harus segera dilakukan pengukuran kadar
enzim hati dan jika perlu penghentian obat TB. Penapisan ke arah penyebab
hepatitis lain harus dilakukan. Obat TB diberikan kembali jika fungsi hati
kembali normal, diberikan dengan dosis yang lebih kecil dalam rentang
terapi, dengan tetap memonitor kadar enzim hati.15

3.8 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang terkait dengan tuberkulosis antara lain:22,23
- Destruksi paru luas
- Kerusakan ganglia simpatis servikal mengarah ke sindrom Horner
- Sindrom distres pernapasan akut
- Persebaran milier (diseminata) termasuk meningitis TB
- Empiema
- Pneumothoraks
- Emfisema subkutan disertai pneumomediastinum
- Fistula bronkopleura
- Amiloidosis sistemik

3.9 Prognosis
Angka kekambuhan dan infeksi ulang adalah sebesar 1,9% pada kelompok
usia 5-24 tahun. Kekambuhan didefinisikan sebagai episode TB kedua setelah
interval bebas penyakit >12 bulan setelah pengobatan berhasil. Tingkat
perkembangan infeksi TB menjadi penyakit TB pada anak bervariasi tergantung
usia, >50% pada bayi hingga <5% pada usia sekolah, meningkat lagi menjadi
>10% pada remaja. Hal ini juga bergantung pada status kekebalan tubuh dan
menurun seiring waktu sejak infeksi. Pengobatan pencegahan (PT) infeksi TB
mengurangi risiko perkembangan hingga 60%-90%, tetapi evaluasi terhambat
oleh kurangnya standar emas untuk diagnosis TBI.24
3.10 Pencegahan
Pencegahan tuberkulosis pada anak dapat dilakukan dengan beberapa
langkah berikut:15
1. Vaksinasi BCG (Bacillus Calmette et Guerin)
Vaksin BCG masih sangat penting untuk diberikan, meskipun efek
proteksi sangat bervariasi, terutama untuk mencegah terjadinya TB
berat (TB milier dan meningitis TB). Sebaliknya pada anak dengan
HIV, vaksin BCG tidak boleh diberikan karena dikhawatirkan dapat
menimbulkan BCG-itis diseminata.
2. Pengobatan pencegahan dengan INH
Profilaksis primer diberikan pada balita sehat yang memiliki kontak
dengan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif (+), namun pada
evaluasi dengan tidak didapatkan indikasi gejala dan tanda klinis TB.
Obat yang diberikan adalah INH dengan dosis 10 mg/kgBB/hari selama
6 bulan, dengan pemantauan dan evaluasi minimal satu kali per bulan.
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu
diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai dan
anak belum atau tidak terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada anak
dengan kontak erat TB yang imunokompromais seperti pada HIV,
keganasan, gizi buruk dan lainnya, profilaksis INH tetap diberikan
meskipun usia di atas 5 tahun.
Profilaksis sekunder diberikan kepada anak-anak dengan bukti infeksi
TB (uji tuberkulin atau IGRA positif) namun tidak terdapat gejala dan
tanda klinis TB. Dosis dan lama pemberian INH sama dengan
pencegahan primer. Pengobatan pencegahan terhadap anak yang
berkontak dengan kasus indeks TB RO menggunakan ethambutol 15 –
25 mg/kgBB/hari dan levofloksasin 15 – 20 mg/KgBB/hari pada anak
balita dan anak imunokompromis disegala usia yang kontak erat dengan
pasien TB RO. Durasi pemberian selama 6 bulan.
3. Pencegahan dengan 3HP
Selain pemberian INH selama 6 bulan, WHO 2018 juga
merekomendasikan pemberian regimen lain, yaitu INH-Rifampisin dan
INH-Rifapentin (3HP). Pemberian INH-Rifapentin lebih dipilih karena
pemberiannya yang lebih singkat yaitu diberikan 1x per minggu selama
12 minggu. Studi menunjukkan kepatuhan pasien lebih baik pada
regimen 3HP sehingga angka keberhasilan menyelesaikan terapi
pencegahan lebih tinggi
3.11 Empyema Tuberkulosis
Empyema secara umum didefinisikan sebagai kumpulan pus di kavum
pleura.4 Empyema tuberkulosis ditandai dengan adanya pus dalam kavum pleura
sebagai akibat dari infeksi aktif kronis dari pleura oleh bakteri tuberkulosis. 25
Empyema tuberkulosis merupakan bentuk yang jarang dari TB pleura. Beberapa
dekade terakhir, insiden empyema TB berkurang secara signifikan namun masih
mengancam kesehatan masyarakat.4
Infeksi aktif kronis ini menyebabkan influks neutrofil dan berkembangnya
efusi pleura purulen, penebalan, hingga kalsifikasi pleura. 25 Empyema
diklasifikasikan menjadi 3 tahapan progresifitas, yaitu: fase eksudatif (I),
fibrinopurulen (II), dan organisasi (III).4
Beberapa mekanisme diduga terkait dengan terjadinya empyema
tuberkulosis, antara lain: progresi efusi pleura tuberkulosis yang tidak tertangani
dengan baik, penyebaran langsung infeksi daru KGB toraks yang ruptur, ruptur
dari kavitas paru atau fokus diafragma, penyebaran hematogen dari fokus yang
jauh, atau kontaminasi kavum pleura setelah pembedahan paru atau
pneumonektomi. Penanganan keterlibatan pleura oleh tuberkulosis sama dengan
tuberkulosis paru. Rekomendasi awal adalah berupa pemasangan drainase pleura,
namun sepertiga pasien mengalami kegagalan oleh terapi ini. Terapi invasif
seperti torakotomi terbuka dengan dekortikasi pleura mungkin dibutuhkan untuk
menyelesaikan proses infeksi dan mencegah berkembangnya fibrothoraks. Sama
halnya dengan empyema bakterial, penggunaan terapi intrapleural dengan
fibrinolitik dan deoksiribonuklease (DNase) secara sinergis dengan pengobatan
oral dapat menjadi bagian terapi dari pasien yang gagal dengan drainase toraks.25
Empyema TB yang tidak tertangani dengan adekuat dapat menimbulkan
komplikasi seperti fistula pleurokutan (empyema necessitatis), massa dinding
dada, dan destruksi tulang. Adapun mortalitas dan morbiditas akibat kondisi ini
tergolong tinggi. Diperirakan bahwa mortalitas empyema mencapai 20% dan
angka pembedahan untuk mencapai kesembuhan dalam 1 tahun infeksi awal
mencapai 20%.4
BAB IV
PEMBAHASAN

Laporan kasus ini membahas mengenai seorang anak laki-laki berusia 3


tahun 9 bulan dengan diagnosis TB paru klinis dengan destroyed lung +
multicavitas (dominan dekstra) + empiema TB Sx klinis mixed bacterial + Susp
abses paru Sx dan Emfisema subkutis Sx + Anemia penyakit kronis + Gizi
kurang. Dari hasil anamnesis, diketahui pasien datang dengan keluhan awal
demam dan keringat dingin, diikuti sesak dan batuk. Dilihat dari profil gejala
klinisnya hal ini dinilai sesuai. Gejala demam merupakan gejala tersering dengan
proporsi (70,7%) pada pasien TB anak, diikuti oleh batuk (43,3%), sesak dan
nyeri dada (19,3%).26 Adapun penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan
ditemukan pada 21,3%.26 Adapun dari studi lain menunjukkan bahwa status nutrisi
gizi kurang dan gizi buruk paling banyak ditemukan pada pasien TB anak, dengan
proporsi masing-masing 35%.27
Pada anak, usia < 5 tahun memiliki proporsi terjangkit yang paling tinggi
(30,7%), namun untuk kasus TB pleura, proporsinya hanya 20% karena sebagian
besar ditemukan pada usia 11-17 tahun (62,9%). Terkait tingginya proporsi TB
pada anak <5 tahun, hal ini dapat disebabkan karena kelompok usia ini merupakan
kelompok yang rentan mengalami tuberkulosis.26 Selain itu, dari hasil anamnesis
orang tua pasien didapatkan paparan rutin dari asap pembakaran sampah. Polusi
ini dikenal sebagai secondhand smoke. Risiko TB paru akibat paparan asap ini
adalah sebesar 1,7 kali lipat pada anak-anak.28
Tuberkulosis pleura merupakan yang ke-4 tersering pada anak, setelah TB
paru, TB sistem saraf pusat, dan TB diseminata, bila dilihat dari jenis
tuberkulosisnya. Sebagian besar TB pada anak negatif terhadap pemeriksaan BTA
dan baru terdiagnosis melalui analisis cairan. Adapun pasien TB negatif BTA
yang terdiagnosis klinis terdapat pada 21,3% pasien TB anak. 26 Gambaran
radiologis yang dapat ditemukan antara lain: kavitas, tuberkuloma, fibrosis,
konsolidasi, efusi pleura, kalsifikasi, milier, infiltrate, dan/atau limfadenopati
hilus.27
Pasien awalnya datang dengan diagnosis pneumothoraks sinistra,
dibuktikan dengan hasil pencitraan radiologis awal. Pneumothoraks merupakan
penyakit pleura umum yang didefinisikan sebagai akumulasi udara antara pleura
parietal dan visceral. Pneumothoraks dapat bersifat spontan, iatrogenik, dan
traumatik. Pneumothoraks spontan terjadi akibat masuknya udara ke kavum
pleura tanpa bukti trauma atau mekanisme iatrogenik. Lebih sering ditemukan
pada anak-anak dengan tingkat 1,1-4 per 100.000 penduduk per tahun. Bila tidak
ditemukan patologi primer yang mendasari maka pneumothoraks dikategorikan
sebagai primer, sedangkan bila terdapat patologi yang mendasari maka
pneumothoraks dikatakan sebagai sekunder. Pada pasien ini terjadi
pneumothoraks spontan sekunder karena terdapat patologi berupa dugaan
tuberkulosis.29 Sekitar 1-2% pneumothoraks spontan dikaitkan dengan
tuberkulosis paru aktif. Munculnya pneumothoraks dapat terjadi akibat rupturnya
kavitas subpleura yang berasal dari penyakit tuberkulosis. Destruksi parenkim
paru dengan hilangnya matriks metaloproteinase merupakan karakteristik utama
tuberkulosis paru. Kavitas-kavitas muntul saat granuloma besar dengan likuefaksi
dan erosi sentral dengan pengeluaran kontennya ke saluran napas dibawahnya. 30
Penanganan yang dapat dilakukan adalah konservatif, pemasangan chest tube
dengan water sealed drainage, atau metode invasif (misalnya torakotomi).29
Pasien memiliki berat badan awal 13,8 kg saat masuk rumah sakit namun
mengalami penurunan menjadi 13,0 kg. Berdasarkan grafik BB/U WHO, maka
saat awal MRS pasien tergolong gizi baik (-2 SD ≤ x < 2 SD) menjadi gizi kurang
(-3 SD ≤ x < -2 SD). Pasien memiliki hemoglobin sebesar 9,7 g/dL yang termasuk
ke dalam kategori anemia sedang (Hb = 7-10 g/dL) serta hipokromik mikrositik
(MCV dan MCHC dibawah normal).31 Empat diagnosis banding anemia
hipokromik mikrositik adalah anemia defisiensi besi, anemia penyakit kronis,
anemia sideroblastik, dan talasemia. Hanya anemia defisiensi besi dan anemia
penyakit krinis yang memiliki kadar besi serum yang rendah. Pasien kemungkinan
mengalami anemia penyakit kronis karena kadar feritin masih normal (feritin
rendah pada anemia defisiensi besi).32
Pemeriksaan selanjutnya menunjukkan diagnosis empiema paru pada
pasien. Empyema tuberkulosis ditandai dengan adanya pus dalam kavum pleura
sebagai akibat dari infeksi aktif kronis dari pleura oleh bakteri tuberkulosis. 25
Empyema tuberkulosis merupakan bentuk yang jarang dari TB pleura 4 Infeksi
aktif kronis pada pleura menyebabkan influks neutrofil dan berkembangnya efusi
pleura purulen, penebalan, hingga kalsifikasi pleura.25
Hasil kultur sputum menunjukkan pertumbuhan organisme Streptococcus
mitis. Organisme ini merupakan flora normal di rongga mulut, orofaring, kulit,
dan saluran cerna yang merupakan Streptococcus kelompok Viridans. Organisme
ini sering dikenali sebagai penyebab penyakit invasif seperti sepsis, pneumonia,
endokarditis, enteritis, dan meningitis pada pasien dengan imunokompromais,
namun pada pasien imunokompeten, spesies patogeniknya bersifat rendah.
Perhatian harus diberikan terhadap pilihan terapi antimikroba terkait kemungkinan
resistensi.33
Emfisema subkutan merupakan adanya udara di bawah kulit yang ditandai
dengan pembengkakan di bagian tubuh yang terkena. Pada palpasi dapat teraba
krepitus. Emfisema subkutan merupakan komplikasi dari berbagai kondisi medis
seperti pneumonia, cedera tumpul dan tajam, post torakostomi, dan pemberian
ventilasi positif.34 Pada pasien ini, kemungkinan emfisema subkutan dicetuskan
oleh pemasangan chest tube.
Pemeriksaan CT scan menunjukkan abses paru kiri atas dan kanan medial-
inferior. Abses paru merupakan infeksi yang menyebabkan destruksi parenkm
paru sehingga terbentuk kavitas dan nekrosis sentral dengan cairan purulen.
Patogen yang dapat terisolasi adalah organimse aerob, salah satunya spesies
Stroptococcus. Abses paru biasanya ditandai dengan demam, batuk berdahak,
sesak, dan nyeri dada. Crackle difus juga dapat didapatkan melalui auskultasi dan
konfirmasi diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan radiologi. Terapinya
meliputi terapi konservatif dengan antibiotik atau intervensi invasif bila respons
suboptimal.35 Pasien kemudian berhasil dilakukan torakotomi eksplorasi pada
tanggal 2 Januari 2024.
Regimen pengobatan TB yang diberikan kepada pasien adalah OAT
2HRZE/10HR KDT Anak 1 x 3 tab (INH 1 x 120 mg, RIF 1 x 180 mg, PZA 1 x
400 mg, Ethambutol 1 x 250 mg). Bila dilihat dari jenis tuberkulosisnya, maka
pasien tergolong ke dalam TB paru berat secara lebih spesifik TB disertai
destroyed lung. Pengobatan TB pada pasien dinilai sesuai karena regimen yang
digunakan untuk TB jenis ini adalah 2HRZE/7-10HR. Isoniazid diberikan dengan
dosis 7-15 mg/kgBB/hari, rifampisin dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari,
pirazinamid dengan dosis 30-40 mg/kgBB/hari, dan etambutol dengan dosis 15-25
mg/kgBB/hari. Selain itu, diberikan tambahan deksamethason. Deksamethason
salah satunya dapat diberikan pada pasien dengan efusi pleura. Obat yang sering
digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kg/ hari, sampai 4 mg/kg/hari
pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/hari selama 4 minggu,
kemudian tappering off bertahap 12 minggu sebelum dilepas.15 Dengan berat
badan 13 kg maka prednison yang diberikan adalah dengan dosis 26 mg/hari, atau
setara dengan deksamethason 3,57 mg hingga 7,14 mg/hari maksimal 9 mg/hari. 36
Pemberian steroid berfungsi untuk mengurangi respons imun yang menyebabkan
efusi parapneumonia serta memungkinkan penyembuhan simptomatik yang lebih
cepat.37
Mortalitas TB pleura adalah 8,6%. Kasus ini mengingatkan bahwa infeksi
TB di lingkungan rumah tangga cukup tinggi dan contact tracing serta dimulainya
profilaksis isoniazid sangat penting diperkuat pada anak usia kurang 5 tahun.26
BAB V
SIMPULAN

Laporan kasus ini membahas mengenai seorang anak laki-laki berusia 3


tahun 9 bulan dengan diagnosis TB paru klinis dengan destroyed lung +
multicavitas (dominan dekstra) + empiema TB Sx klinis mixed bacterial + Susp
abses paru Sx dan Emfisema subkutis Sx + Anemia penyakit kronis + Gizi
kurang. Berdasarkan kasus ini dapat ditarik kesimpulan:
- Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis
- Tuberkulosis dapat melibatkan paru dan ekstra paru (contoh pleura)
- Infeksi tuberkulosis dapat terjadi dengan infeksi mikroorganisme lainnya
- Terapi bertujuan untuk mengobati infeksi tuberkulosis dan utamanya terdiri
dari obat anti tuberkulosis (OAT)
- Pengobatan tuberkulosis disesuaikan dengan kondisi pasien serta klasifikasi
tuberkulosis yang dimiliki oleh anak
- Mortalitas Tb pleura adalah 8,6% mengindikasikan pentingnya penelusuran
kontak dan profilaksis pada kelompok umur ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. WHO, editor.


Geneva; 2022. 1–68 p.

2. Carvalho ACC, Kritski AL. What is the global burden of tuberculosis


among children? Lancet Glob Heal [Internet]. 2022 Feb 1 [cited 2023 Mar
29];10(2):e159–60. Available from:
http://www.thelancet.com/article/S2214109X21005489/fulltext

3. Daniel B, Grace G, Natrajan M. Tuberculous meningitis in children:


Clinical management & outcome. Indian J Med Res [Internet]. 2019 Aug 1
[cited 2023 Mar 29];150(2):117. Available from:
/pmc/articles/PMC6829784/

4. Wen P, Wei M, Han C, He Y, Wang MS. Risk factors for tuberculous


empyema in pleural tuberculosis patients. Sci Rep [Internet]. 2019 Dec 1
[cited 2024 Jan 20];9(1). Available from: /pmc/articles/PMC6925241/

5. Yang G, Wen Y, Chen T, Xu C, Yuan M, Li Y. Comparison of pediatric


empyema secondary to tuberculosis or non-tuberculosis community-
acquired pneumonia in those who underwent surgery in high TB burden
areas. Pediatr Pulmonol [Internet]. 2021 Oct 1 [cited 2024 Jan
20];56(10):3321–31. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34289260/

6. WHO. WHO: operational handbook on tuberculosis [Internet]. Module 5:


Management of tuberculosis in children and adolescents. 2022. 264 p.
Available from:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/340256/9789240022614-
eng.pdf

7. Rabiu M, Garba I, John CY, Tukur A. Tuberculosis as an opportunistic


infection in HIV patients: A Review. Lancet Infect Dis. 2018;3(2):1–3.

8. WHO. Global Tuberculosis Report 2019. 2019th ed. Geneva; 2019. 1–100
p.

9. Thomas TA. Tuberculosis in children. Pediatr Clin North Am [Internet].


2017 Aug 1 [cited 2023 Mar 29];64(4):893. Available from:
/pmc/articles/PMC5555046/

10. Attah CJ, Oguche S, Egah D, Ishaya TN, Banwat M, Adgidzi AG. Risk
factors associated with paediatric tuberculosis in an endemic setting.
Alexandria J Med. 2018 Dec 1;54(4):403–9.

11. Narasimhan P, Wood J, Macintyre CR, Mathai D. Risk factors for


tuberculosis. Pulm Med. 2013;

12. Bell LCK, Noursadeghi M. Pathogenesis of HIV-1 and Mycobacterium


tuberculosis co-infection. Nat Rev Microbiol 2017 162 [Internet]. 2017
Nov 7 [cited 2023 Mar 21];16(2):80–90. Available from:
https://www.nature.com/articles/nrmicro.2017.128

13. Luies L, Preez I du. The Echo of Pulmonary Tuberculosis: Mechanisms of


Clinical Symptoms and Other Disease-Induced Systemic Complications.
Clin Microbiol Rev [Internet]. 2020 Oct 1 [cited 2023 Mar 22];33(4):1–19.
Available from: /pmc/articles/PMC7331478/

14. Marais BJ, Schaaf HS. Tuberculosis in Children. Cold Spring Harb
Perspect Med [Internet]. 2014 [cited 2023 Mar 29];4(9). Available from:
/pmc/articles/PMC4143109/

15. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis [Internet]. 2020th ed. Kementrian
Kesehatan RI, editor. Jakarta: Kemenkes RI; 2020. Available from:
http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203

16. Pan American Health Organization, World Health Organization. TB/HIV


coinfection regional clinical manual: 2017 Update [Internet]. 2017th ed.
Washington D.C.: PAHO; 2018. 18 p. Available from:
https://www.paho.org/en/node/58184

17. Bayot ML, Mirza TM, Sharma S. Acid Fast Bacteria. StatPearls [Internet].
2022 Aug 8 [cited 2023 Mar 22]; Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537121/

18. Bracchi M, van Halsema C, Post F, Awosusi F, Barbour A, Bradley S, et al.


British HIV Association guidelines for the management of tuberculosis in
adults living with HIV 2019. HIV Med [Internet]. 2019 May 1 [cited 2023
Mar 21];20:s2–83. Available from:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/hiv.12748

19. Lee YJ, Kim S, Kang Y, Jung J, Lee E, Kim JY, et al. Does Polymerase
Chain Reaction of Tissue Specimens Aid in the Diagnosis of Tuberculosis?
J Pathol Transl Med [Internet]. 2016 [cited 2023 Mar 21];50(6):451.
Available from: /pmc/articles/PMC5122730/

20. Department of Health and Human Services. Guidelines for the Prevention
and Treatment of Opportunistic Infections in Adults and Adolescents with
HIV: Recommendations from the Centers for Disease Control and
Prevention, the National Institutes of Health, and the HIV Medicine
Association of the Inf. Dep Heal Hum Serv [Internet].
2020;http://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/lvguidelines/. Available from:
http://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/lvguidelines/adult_oi.pdf.Accessed

21. Concepcion NDP, Laya BF, Andronikou S, Abdul Manaf Z, Atienza MIM,
Sodhi KS. Imaging recommendations and algorithms for pediatric
tuberculosis: part 1—thoracic tuberculosis. Pediatr Radiol [Internet]. 2023
Aug 1 [cited 2024 Jan 23];53(9):1773–81. Available from:
https://link.springer.com/article/10.1007/s00247-023-05654-1

22. Adigun R, Singh R. Tuberculosis. StatPearls [Internet]. 2023 Jan 2 [cited


2023 Mar 22]; Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/

23. Yanti B, Hadi S, Harrika F, Shehzad A. Giant bronchopleural fistula and


empyema in a tuberculosis patient with diabetes mellitus: Vista from a high
tuberculosis burden country in Southeast Asia. Narra J. 2022;2(2):1–6.

24. Bennet R, Jonsson J, Nejat S, Olsson-Åkefeldt S, Eriksson M. Long-term


Prognosis of Tuberculosis Infection and Disease in Swedish Children.
Pediatr Infect Dis J [Internet]. 2019 Oct 1 [cited 2023 Apr 1];38(10):E243–
7. Available from:
https://journals.lww.com/pidj/Fulltext/2019/10000/Long_term_Prognosis_o
f_Tuberculosis_Infection_and.2.aspx

25. Colares P de FB, Rivas JKD, Sciortino ADS, Sales RKB de, Teixeira LR.
Tuberculous empyema: combined intrapleural therapy might be an
alternative. J Bras Pneumol [Internet]. 2022 Nov 28 [cited 2024 Jan
20];48(6):e20220232. Available from: /pmc/articles/PMC9747172/

26. Ksoo R, Barman H, De M, Lynser D, Duwarah SG, Lyngdoh C. Clinical


Profile of Pediatric Tuberculosis in a Tertiary Hospital in Northeast India:
A Retrospective Analysis. Cureus [Internet]. 2023 May 7 [cited 2024 Jan
23];15(5). Available from: /pmc/articles/PMC10243406/

27. Firnadi LPP, Setyoningrum RA, Suwandi MYS. Profile of Tuberculosis in


Children and Adolescent at Dr. Soetomo General Hospital Surabaya.
JUXTA J Ilm Mhs Kedokt Univ Airlangga. 2022;13(1):42–5.

28. Jafta N, Jeena PM, Barregard L, Naidoo RN. Association of childhood


pulmonary tuberculosis with exposure to indoor air pollution: a case control
study. BMC Public Health [Internet]. 2019 Mar 7 [cited 2024 Jan
23];19(1). Available from: /pmc/articles/PMC6407209/

29. Cömert HSY, Cömert HSY. Pneumothorax in Children. Pleura - A Surg


Perspect [Internet]. 2021 Oct 2 [cited 2024 Jan 23]; Available from:
https://www.intechopen.com/chapters/78826

30. Briones-Claudett KH, Briones-Claudett MH, Moreno AP, Vargas DE,


Alvarez MEM, Andrade MG. Spontaneous Pneumothorax After Rupture of
the Cavity as the Initial Presentation of Tuberculosis in the Emergency
Department. Am J Case Rep [Internet]. 2020 [cited 2024 Jan
23];21:e920393-1. Available from: /pmc/articles/PMC7117856/

31. Alamneh YM, Akalu TY, Shiferaw AA, Atnaf A. Magnitude of anemia and
associated factors among children aged 6–59 months at Debre Markos
referral hospital, Northwest Ethiopia: a hospital-based cross-sectional
study. Ital J Pediatr [Internet]. 2021 Dec 1 [cited 2024 Jan 23];47(1).
Available from: /pmc/articles/PMC8362241/

32. Pearson HA, Kalinyak KA. Chronic Anemia. Pediatrics [Internet]. 2023
Aug 7 [cited 2024 Jan 23];1065–71. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534803/

33. Colomba C, Garbo V, Boncori G, Albano C, Bagarello S, Condemi A, et al.


Streptococcus mitis as a New Emerging Pathogen in Pediatric Age: Case
Report and Systematic Review. Antibiotics [Internet]. 2023 Jul 23 [cited
2024 Jan 23];12(7):1222. Available from: /pmc/articles/PMC10376791/

34. Bello SO, Umejiaku S, Ogunkunle TO, Afolabi OF, Yakubu AA.
Spontaneous subcutaneous emphysema in a male toddler in a health facility
in Nasarawa state: A case report. J Pan African Thorac Soc. 2021;2(1):53–
5.

35. Yousef L, Yousef A, Al-Shamrani A. Lung Abscess Case Series and


Review of the Literature. Children [Internet]. 2022 Jul 1 [cited 2024 Jan
23];9(7). Available from: /pmc/articles/PMC9317617/

36. Liu D, Ahmet A, Ward L, Krishnamoorthy P, Mandelcorn ED, Leigh R, et


al. A practical guide to the monitoring and management of the
complications of systemic corticosteroid therapy. Allergy, Asthma Clin
Immunol [Internet]. 2013 Aug 15 [cited 2024 Jan 23];9(1):1–25. Available
from: https://aacijournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/1710-1492-9-
30

37. Fitzgerald DB, Waterer GW, Read CA, Fysh ET, Shrestha R, Stanley C, et
al. Steroid therapy and outcome of parapneumonic pleural effusions
(STOPPE): Study protocol for a multicenter, double-blinded, placebo-
controlled randomized clinical trial. Medicine (Baltimore) [Internet]. 2019
Oct 1 [cited 2024 Jan 23];98(43). Available from:
/pmc/articles/PMC6824804/

Anda mungkin juga menyukai