Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS

DIVISI RESPIROLOGI

PNEUMOTOCELE PADA ANAK BERUSIA 2 BULAN 14 HARI


DENGAN NUTRITIONAL MARASMUS

A.Husni Esa Darussalam


Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin
RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar

PENDAHULUAN

Pneumatocele merupakan suatu kista berdinding tipis yang < 1 mm


berisi udara yang berkembang di dalam parenkim paru. Biasanya
berhubungan dengan kejadian pasca pneumonia akut. Merupakan
emfisema interstitial murni, dimana dindingnya terdiri dari tunika adventitia
alveolus atau bronchiol yang membesar yang di akibatkan karena
desakan dan biasanya ditemukan multiple pada parenkim basal paru.
Pembentukan dari suatu pneumatocele dapat terjadi akibat Streptococcus
pneumonia, Hemophiluus influenza, Escherichia coli, Streptococcus group
A, Serratia mercescens, Klebsiella pneumonia, adenovirus, dan
Tuberculosis. (Hermanowicz,2017)

Pada tahun 1972, Boisset menyimpulkan bahwa pneumatocele


disebabkan oleh peradangan bronkial yang merusak dinding bronchiolar
dan menyebabkan terbentuknya "saluran udara". Udara yang
terperangkap di parenkim paru akan membentuk pneumatocele.
Pneumatocele ini termasuk jenis traumatik yang memiliki patofisiologi
yang berbeda dari tipe infeksius, berkembang dalam proses 2 langkah.
Awalnya, paru-paru dikompresi oleh kekuatan eksternal trauma, diikuti
dengan dekompresi yang cepat dari peningkatan tekanan intrathoracic
yang negatif. Lesi trauma paru menjadi terdesak oleh udara saat inspirasi
dan terperangkap sehingga menyebabkan pembentukan pneumatocele.
(Keseime,2012)

Pembentukan pneumatocele akibat pasca infeksi, terjadi berkisar


2-8% dari semua kasus pada pneumonia pada anak. Pada anak yang
kurang dari 1 tahun, terbanyak kasus pneumonia yang disebabkan oleh
Staphylococcus Aureus. Suatu studi juga melaporkan bahwa 70 %
pneumatoceles terjadi pada anak anak di bawah 3 tahun, paling sering
ditemui pada masa bayi. Selain infeksi, pneumatocele juga terlihat di
sejumlah setting lainnya diantaranya trauma tumpul akibat penggunann
ventilasi tekanan positif, terutama pada neonates premature

Gizi buruk terjadi akibat malabsorpsi atau kegagalan metabolik.


Gejala klinis gizi buruk diketahui melalui indicator pengukuran berat badan
(BB), tinggi badan (TB) dan lingkar lengan (LILA) jauh dibawah rata-rata.
Gizi buruk dapat berefek jangka panjang terhadap perkembangan fisik,
mental dan kualitas kehidupan anak. Menurut data Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2013, kejadian anak gizi buruk mencapai 4,9% pada
tahun 2010 dan meningkat sebanyak 5,7% pada tahun 2013 3.
Peningkatan kejadian gizi buruk di Indonesia terus berkembang pesat
sampai tahun 2018 dengan prevalensi 17,7%. Target Sustainable
Development Goals (SDGs) adalah tidak ada lagi kasus gizi buruk di
Indonesia pada tahun 2030. Hal ini menunjukkan bahwa kasus gizi buruk
memiliki urgensi yang tinggi untuk ditekan jumlah kejadiannya.

2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama Anak : An. FR
Jenis kelamin : Laki-Laki
Usia : 2 bulan 14 hari
Tanggal Lahir : 10 Mei 2020
No. Catatan Medik : 919556
Alamat : Jln. Muh. Yamin Makassar
Tanggal Masuk : 24 Juli 2020
Tanggal Pemeriksaan : 27 Juli 2020

II. DATA KELUARGA

ANAK (ke-4 dari 4 Anak) Keguguran 0 Kali

NO. SEX TANGGAL LAHIR SEHAT/SAKIT KARENA


1. Laki-laki 30-05-2011 Sehat
2. Perempuan 12-05-2012 Sehat
3. Laki-laki 13-05-2016 Sehat
4. Laki-laki 10-05-2020 Penderita

AYAH IBU
Nama : Tn. B Ny.S
Tgl Lahir : 21/7/1989 1/5/1983
Umur : 31 tahun 37 tahun
Pendidikan : SMA SMA
Pekerjaan : Sopir Ibu Rumah Tangga

3
Gambar 1. Pedigree

III. Anamnesis (Aloanamnesis Ibu Penderita)


Keluhan utama : Sesak Nafas
1. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien dirujuk dari rumah sakit Akademis Jaury Makassar dengan
diagnosis Pneumonia + Gizi buruk + Undescensus testis bilateral +
Hernia Hiatus. Sesak diperhatikan sejak 16 hari sebelum masuk
rumah sakit, memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Anak tidak pernah mengalami biru. Saat ini, anak tidak mengalami
batuk tapi ada riwayat batuk 2 minggu yang lalu saat dirawat di
Akademis. Pasien mengalami batuk selama 1 minggu dan membaik
setelah mendapatkan terapi. Anak tidak mengalami demam,
kejang, dan muntah. Anak sementara dipuasakan. Buang air besar
dan buang air kecil kesan normal.
2. Riwayat penyakit sebelumnya
 Riwayat anak dirawat di RS Akademis Djaury sejak tanggal
11/7/2020 selama 13 hari dan mendapat terapi cefotaxime
100mg/8jam/intravena, gentamicin 12 mg/24 jam/intravena
 Riwayat sering-sering demam sebelumnya tidak ada.
 Riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis dewasa atau
batuk-batuk lama tidak ada.
 Riwayat kontak dengan perokok tidak ada.

4
3. Riwayat kehamilan ibu.
Pasien merupakan anak keempat dari empat bersaudara.
Kehamilan ini merupakan kehamilan yang diinginkan. Pada saat
hamil ibu berusia 36 tahun. Selama hamil, ibu rutin memeriksakan
kehamilannya di bidan dan dokter spesialis (3 kali), Ibu tidak rutin
mengkonsumsi vitamin dan tablet penambah darah. Riwayat minum
jamu-jamuan dan obat-obatan diluar resep dokter selama hamil
tidak ada. Selama hamil ibu tidak pernah mengalami muntah yang
berlebihan dan tidak pernah mengalami keguguran sebelumnya,
tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan selama hamil yang tidak
direkomendasikan dokter. Tidak ada riwayat ibu dengan penyakit
gula, penyakit jantung, dan tekanan darah tinggi. Tidak ada riwayat
batuk, demam, nyeri berkemih dan keputihan selama hamil.
4. Riwayat persalinan

Pasien lahir secara sectio cesaria atas indikasi gagal induksi.


Kehamilan cukup bulan, langsung menangis dengan APGAR score
tidak diketahui. Berat badan lahir 3500 gram dan panjang badan
lahir 50 cm. Segera setelah lahir pasien tidak diketahui mendapat
suntikan vitamin K. Pasien mendapat imunisasi hepatitis B0 dan
polio. Keadaan pasien setelah lahir menurut keluarga baik, pasien
tidak pernah kuning, tidak pernah kejang maupun biru dan tidak
pernah ada riwayat perdarahan.

5. Riwayat kesehatan keluarga


Pasien merupakan anak ke 4 dari 4 bersaudara. Tidak ada
keluarga yang menderita penyakit atau keluhan yang sama. Tidak
ada keluarga yang menderita penyakit tuberculosis paru atau
penyakit pada saluran napas lainnya. Tidak ada keluarga yang
menderita penyakit human immunodeficiency virus atau gangguan
imunitas lainnya.

5
6. Riwayat nutrisi
Pasien tidak pernah mendapat ASI. Pasien minum susu formula
sejak lahir sampai usia 2 bulan 10 hari. 3 hari terakhir, pasien
dipuasakan.

7. Riwayat tumbuh kembang


Pertumbuhan dan perkembangan anak mengalami keterlambatan

8. Riwayat imunisasi
Pasien baru mendapat imunisasi Hepatitis B0 saat lahir.
9. Riwayat kebutuhan dasar anak
”Asuh (fisis-biomedis).

Pasien tidak mendapatkan ASI sejak lahir. Pasien mendapat


susu formula sejak lahir hingga usia 2 bulan 10 hari. Pasien
mendapat imunisasi saat lahir (hepatitis B0). Bila anak sakit,
keluarga membawa pasien ke rumah sakit. Keluarga memenuhi
kebutuhan pangan dan sandang .

Asih (psikososial)

Pasien anak ke empat dari empat bersaudara,


mendapatkan kasih sayang yang cukup dari kedua orang tua dan
saudaranya. Anak lahir dari perkawinan pertama kedua orang
tuanya dan merupakan anak yang diharapkan.

Asah (stimuli)

Orang tua cukup memberikan perhatian terhadap


pertumbuhan dan perkembangan pasien.

11. Riwayat keluarga dan latar belakang sosial ekonomi

Kedua orang tua pasien masih hidup. Ayah bekerja sebagai


sopir kontainer dan ibu tidak bekerja. Penghasilan ayah 4 -5 juta
perbulan. Pendidikan terakhir ayah dan ibu adalah SMA. Rumah
yang ditempati adalah rumah semi permanen. Dinding terbuat dari

6
batu bata dan kayu. Rumah terdiri dari 2 kamar tidur, 1 kamar
mandi, 1 dapur, dan ruang tamu berpisah dengan ruang makan.
Sumber listrik dari PLN. Sumber air dari air PAM dan air sumur
tanah. Selama pasien dirawat, pasien selalu dijaga oleh ibu
pasien. Pasien tinggal bersama kedua orang tua. Sarana
kesehatan yang terdekat adalah Puskesmas. Pasien sudah
mempunyai jaminan kesehatan.

DATA PASIEN SAAT DIJADIKAN KASUS


I. PEMERIKSAAN FISIS (OBJEKTIF)
a. Status present
- Keadaan umum : Sakit berat/ gizi buruk/ sadar GCS 15
E4M6V5
- Nadi : 120 kali/menit
- Respirasi : 54 kali/menit
- Suhu : 36,8 °C
- Skala nyeri : 0 FLACC
- Saturasi Oksigen : 98% (via nasal kanul)

b. Status generalis
- Kepala : Mesosefal, Normosefal.
- Rambut : Hitam, lurus, mudah dicabut.
- Wajah : Simetris kiri dan kanan, tampak old man face
- Mata : Tidak ada konjungtivitis.
- Hidung : Tidak tampak sekret.
- Telinga : Tidak ada otorrhe.
- Mulut : Tidak ada ulserasi pada mulut. Tonsil ukuran
T1-T1, tidak hiperemis. Faring tidak
hiperemis.
- Leher : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah
bening, tidak ada kaku kuduk, tidak ada

7
rangsang meningeal.
- Dada : Bentuk dan pergerakan simetris. Ada iga
gambang. Ada retraksi subkostal.
- Paru : Bunyi pernapasan bronkovesikuler dikedua
lapangan paru, bunyi tambahan
ada ronkhi di kedua lapangan paru, tidak ada
wheezing.
- Jantung : Iktus kordis tidak tampak. Tidak teraba thrill.
Bunyi jantung satu dan dua murni, regular.
Tidak terdengar bising atau irama gallop.
- Abdomen : Datar ikut gerak napas. Bising usus kesan
Normal. Hepar dan lien tidak teraba. Tidak
ada ascites.
- Ekstremitas : Ada wasting, refleks fisiologis kesan normal,
Reflex patologis tidak ditemukan.
- Kulit : Tidak tampak scar BCG.
- Kelenjar : Tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening.
- Punggung : Tidak ada gibbus maupun skoliosis.
- Status pubertas : A1 G1 P1
c. Status neurologis
- Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5)
- Nervus cranialis : Kesan normal
- Tanda rangsang meningeal : Tidak ada
- Motorik : Normal
- Refleks fisiologis : Normal
- Refleks patologis : Tidak ada
- Sensibilitas dan sistem saraf otonom : kesan normal
d. Status antropometri
- Berat badan (BB) : 3000 gram
- Panjang Badan (PB) : 52 cm

8
- Lingkar kepala (LK) : 39 cm (38-42 cm) 
Normosefal
- Lingkar lengan atas (LLA): 8,5 cm
- Lingkar dada : 56 cm
- Lingkar perut : 56 cm
- BB/PB : Terletak dibawah -3 SD (gizi
buruk)
- BB/U : Terletak dibawah -3 SD (berat
badan sangat kurang)
- PB/U : Terletak dibawah -3 SD
(perawakan sangat pendek)
Penilaian status gizi berdasarkan kurva who, pasien massuk
dalam kriteria GIZI BURUK

Perhitungan Tinggi potensi genetik anak


Tinggi badan ayah : 165 cm
Tinggi badan ibu : 165 cm

Tinggi potensial genetik :


(TB ayah + TB ibu + 13 cm) ± 8,5 cm
2
= 163 – 180 cm

9
Gambar 2. Kurva berat badan berdasarkan panjang badan menggunakan
standar pertumbuhan anak dari WHO.

10
Gambar 3. Kurva berat badan berdasarkan umur menggunakan standar
pertumbuhan anak dari WHO.

Gambar 4. Kurva panjang badan berdasarkan umur menggunakan


standar pertumbuhan anak dari WHO

11
Gambar 5. Kurva lingkar lengan atas (LLA) berdasarkan umur
menggunakan standar pertumbuhan anak dari WHO

Gambar 6. Kurva lingkar kepala berdasarkan umur menggunakan standar


pertumbuhan anak dari WHO

Skor Tuberkulosis

- Kontak TB :0
- Uji tuberkulin : (belum)
- Status gizi :2
- Demam :1
- Batuk kronik :0
- Pembesaran kel. Limfe :0
- Foto Thorax :1
- Pembengkakan tulang :0
TOTAL :3

12
II. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (RS Akademis, 13 Juli 2020)

Rapid test antibodi

IgG Anti SARS Cov-2 Reaktif

IgM Anti SARS Cov-2 Reaktif

Laboratorium (RS Akademis, 15 Juli 2020)

Rapid test antibodi

IgG Anti SARS Cov-2 Reaktif

IgM Anti SARS Cov-2 Reaktif

Hasil Swab nasofaring covid 19 di RS Akademis 11 Juli 2020 negatif

Tabel 1. Hasil pemeriksaan darah lengkap


Tanggal Jenis Hasil Nilai normal
Pemeriksaan Pemeriksaan
23-07-2020 Hb 10,9 11,5-15,5 g/dl
Darah lengkap MCV 95,5 77-95 µm3
MCH 29,9 25-33 pg
MCHC 31,3 31-37 gr/dl
HCT 34,8 35-45 %
Leukosit 23.560 5000-13.000 mm3
Eritrosit 3.640.000 3.800.000-5.800.000/

13
mm3
Trombosit 353.000 170.000 -450.000/mm3
%limfosit 9,6 23-53%
%neutrofil 79,9 23-53%
%monosit 9,2 2,0 – 11%
Kesan - Anemia
- Leukositosis

Laboratorium (RS Wahidin Sudirohusodo, 23-07-2020)

Tanggal Jenis Hasil Nilai normal


Pemeriksaan Pemeriksaan
23-07-2020 Retikulosit 2,05 0,00-0,10
Darah lengkap Hb 8,2 12-16 g/dl
MCV 91 80-100 µm3
MCH 30 27-32 pg
MCHC 33 32-36 gr/dl
HCT 25 37-47%
Leukosit 6.300 4000-10.000 mm3
Eritrosit 2.770.000 3.800.000-5.800.000/
mm3
Trombosit 251.000 150.000-400.000/mm3
%limfosit 29,9
%neutrofil 55,7
%monosit 8,5
Glucosa 26
Natrium 133 136-145 mmol/L
Kalium 4,3 3,5 - 5,1 mmol/L
Klorida 103 97 - 111 mmol/L

14
Ureum 8 10 - 50 mg/dl
Kreatinin 0,31 L(<1,3), P (<1,1)
SGOT 132 <38 U/L
SGPT 71 <41 U/L
Albumin 2,8 3,5-5,0 gr/dl
CRP 2,0 < 5 mg/l
Prokalsitonin 2,03 <0,05 ng/ml
Feritine 1018,22 13-400 ng/ml
IgM cov 19 Non
reactive
IgG cov 19 Non
reactive
NLR 1,86
ALC 1871,74
Kesan - Anemia
- Hipoalbuminemia
- Hiponatremia

Apusan darah tepi RS Wahidin Sudirohusodo (23 Juli 2020)


Eritrosit : Normositik normokrom, anisositosis, ovalosit (+),
benda inklusi (-), normoblast (-)
Leukosit : jumlah cukup, PMN > Limfosit, granulasi toksik (+),
sel muda (-)
Trombosit : jumlah cukup, morfologi normal
Kesan : anemia normositik normokrom suspek kausa infeksi
IT ratio 11
Urine rutin RS Wahidin Sudirohusodo (23 Juli 2020)
WarnaWarna Kuning Blood Negatif
pH 7.5 Leukosit Negatif
BJ 1.010 Vit C Negatif

15
Protein Sedimen
Negatif 1
Leukosit
Glukosa Negatif Sedimen Eritrosit 0
Bilirubin Negatif Sedimen Torak 0
Urobilinogen Sedimen epitel
Normal 2
sel
Keton Negatif Sedimen Kristal 1
Nitrit Negatif Sedimen lain-lain Negatif

Hasil bilas lambung RS Wahidin Sudirohusodo (24 Juli 2020)

BTA 1 negatif

BTA 2 negatif

BTA 3 negatif

Hasil Feces rutin RS Wahidin Sudirohusodo 26 Juli 2020

Konsistensi lunak

Warna hitam

Lendir negatif

Darah negatif

Eritrosit negatif

Lekosit negatif

Amoeba negatif

Telur cacing tidak diketemukan

Cacing negatif

Pemeriksaan Kultur darah RS Wahidin Sudirohusodo 23 Juli 2020)

16
Kesan : tidak ada pertumbuhan bakteri aerob

Hasil Pemeriksaan Radiologi

Gambar 7. Foto thoraks AP (RS Akademis Jaury Jusuf 11 Juli 2020)

- Tampak bayangan gelembung udara dasar hemithoraks kiri yang


terkesan berhubungan dengan udara rongga abdomen
- Pulmo dan cor normal
Kesan : Suspek Hiatus hernia.

17
Gambar 8. MSCT Thoraks (tanpa kontras) (RS Wahidin Sudirousodo
23 Juli 2020)

- Tampak pathcy infiltrat tersebar pada segmen posterior lobus


superior pulmo dextra, segmen apcioposterior lobus superior
dan segmen lateral sinistra.
- Tampak multiple lesi hipodens berdinding tebal, batas tegas,
tepi regular, tanpa kalsifikasi, berukuran terbesar +- 2,2 x 1,8 x
2,7 apicopostrior lobus superior superior dan segmen
superoposteriorbasal lobus inferior pulmo sinistra.
- Trachea di midline
- Main branchus dalam batas normal
- Tidak tampak pembesaran KGB paratrachea, subcarina,
peribronchial bilateral
- Cor : ukuran dalam batas normal, aorta dan pembuluh darah
besar lainnya dalam batas normal
- Tampak densitas cairan bebas pada cavum pleura bilateral
- Hepar, gaster, dan lien yang terscan dalam batas normal
- Tulang – tulang yang terscan intak.
Kesan :
- Pneumonia bilateral disertai multiple cavitas pulmo sinistra
suspek pneumatocele.
- Efusi pleura bilateral
- Terpasang gastric tube dengan tip pada oesaphagus setinggi
CV T3

18
MSCT Whole Abdomen (tanpa kontras) (RS Wahidin Sudirousodo 23
Juli 2020)
- Hepar : tidak membesar, permukaan reguler, tip tajam, densitas
parenkim dalam batas normal. Tidak tampak dilatasi vaskular
dan bile duct tidak tampak densitas SOL
- Gall bladder : Dinding tidak menebal, mukosa reguler, tidak
tampak densitas batu/SOL
- Lien : tidak membesar dan densitas parenkim dalam batas
normal. Tidak tampak densitas SOL
- Kedua ginjal : bentuk, ukuran dan densitas parenkim dalam
batas normal. Tidak tampak dilatasi PCS. Tidak tampak
densitas batu/SOL
- Vesica urinaria : distended, mukosa reguler, dinding tidak
menebal, tidak tampak densitas batu/SOL
- Diafragma intak, loop-loop usus tampak distensi dan gaster
berada pada cavum peritoneum
- Tidak tampak pembesaran KGB paraaorta abdominalis
- Tidak tampak densitas cairan bebas pada cavum peritoneum
- Tulang-tulang intak
Kesan:
- Loop-loop usus tampak distensi
- Organ intraabdomen lain yang terscan dalam batas normal

III. DIAGNOSIS KERJA


- Community Acquired Pneumonia
- Pneumatocele
- Anemia Penyakit Kronik
- Hipoalbuminemia
- Peningkatan enzim transaminase
- Suspek hernia diafragmatika sinistra
- Undesencus testis bilateral

19
- Gizi buruk tipe marasmus
- Intake tidak terjamin
- Stunting

IV. RENCANA PENGELOLAAN (PLANNING)


a. Tatalaksana kegawatdaruratan
Gejala yang membutuhkan tindakan kegawatdaruratan pada pasien
ini adalah sesak nafas yaitu dengan memberikan oksigen nasal
kanul 2 liter/menit.

b. Rencana pemeriksaan penunjang diagnosis


Pelacakan sepsis : Septic Work Up (cek retikulosit, apusan darah
tepi, CRP, Prokalsitonin, Kultur darah)
Pelacakan penyebab anemia : cek apusan darah tepi, retikulosit
dan ferritin.

c. Rencana tatalakasana
Terapi medikamentosa
- Kebutuhan cairan 150 ml/kgbb – 20% (distress nafas) = 360
ml/hari
- Ceftazidime 50 mg/kgbb/hari = 75 mg/12 jam/intravena
- Amikasin (Hari 1) 25 mg/kgbb/24 jam/intravena = 75
mg/24jam/intravena, (Hari ke 2 dan seterusnya) 18
mg/kgbb/intravena = 54 mg/24 jam/intravena
- Paracetamol 10 mg/kgbb/dosis = 30 mg/8jam/intravena
- Rencana pelacakan Tuberkulosis (mantoux test dan bilas
lambung)
- Stop intake oral

20
- Nasogastric tube dekompresi
- Rencana tatalaksana gizi buruk fase stabilisasi (WHO) tunda
- Pemberian nutrisi parenteral

d. Asuhan nutrisi
Nutritional assestment : Gizi buruk
Nutritional requirement : Tatalaksana gizi buruk (PNC)
Fase stabilisasi tunda
Kebutuhan Cairan (holiday segar) 100 ml/kgbb – 20% distress
nafas = 240 ml/hari
Kebutuhan energi (Schofield) = 0,16 w + 1517,4 H – 627,6
= 0,16 (3) + 1517,4 (0,52) – 627,6
REE= 171,9 kkal/hari
BMR = REE x faktor stres
= 171,9 x 1,5
= 257,85 kkal/hari
Nutritional route : Parenteral
Nutritional selection : Nutrisi parenteral
Ivelip 20% (1) = 15 ml
Kecepatan 3,25 ml/jam
Aminofusin paed (1) = 73 ml
Dextrose 40% (12,5) = 39 ml
Kaen 3b = 113 ml
Total = 225 ml
Kecepatan 11,2 ml/jam
GIR 7,8 ml/kgbb/menit
Balance nitrogen 1: 201
Kalori nutrisi parenteral
Protein = aminofusin/100 x 5 x 4 = 14,6 kkal
Lemak = Ivelip/100 x 20 x 9 = 27 kkal
Kaen 3 B = kaen 3B/100x 2,7 x 4 = 12,2 kkal
Karbohidrat = D40%/100 x 40 x 4 = 62,4 kkal

21
Total 116,2 kkal
% protein 10 %
%Karbohidrat 66%
% Lemak 25%
Nutritional monitoring : toleransi, efek samping, kenaikan berat
badan.

e. Rencana pemantauan
- Pemantauan kondisi umum pasien meliputi keluhan subjektif
dan tanda vital.
- Pemantauan perkembangan penyakit, dan komplikasi serta
respon pengobatan, kepatuhan, toleransi dan kemungkinan
adanya efek samping obat.
- Pemantauan tanda –tanda infeksi
- Pemantauan status antropometri

f. Pemberian komunikasi informasi dan edukasi


- Memberikan penjelasan kepada orang tua tentang kondisi yang
diderita pasien meliputi penyebab, perjalanan penyakit,
komplikasi, prognosis dan rencana tindakan selanjutnya.
- Menjelaskan tentang pentingnya asupan nutrisi sesuai dengan
kondisi pasien.
- Menjelaskan pentingnya kontrol rutin untuk pemantauan terkait
tumbuh kembang pasien termasuk status antropometri, skrining
perkembangan dan evaluasi masalah yang beresiko
menganggu optimalisasi tumbuh kembang.

22
23
V. FOLLOW UP PERJALANAN PENYAKIT SETELAH DIJADIKAN KASUS
I. FOLLOW UP PERJALANAN PENYAKIT

Hari
Subyektif Obyektif Assesment Planning
pengamatan

Hari 2 Ada demam Keadaan umum : lemah, - Community acquired Oksigen nasal kanul 2 liter/menit via
(24 Juli 2020) Ada sesak Nadi 120 kali/menit pneumonia nasal kanul
Pukul 07.00 BAB belum nafas 50 kali/menit - Pneumatocele 3) Ceftazidime 75 mg/12jam/intravena
hari ini suhu 37,8 ºC - Suspek hernia 3) Amikasin 55 mg/24 jam/intravena
BAK biasa skala nyeri 1 flacc diafragmatika sinistra Paracetamol 30 mg/intravenous (when
kuning Sp02 98% (via oksigen - Undesencus testis temperature ≥ 38.5oC
nasal kanul) bilateral Urdafalk 30 mg/8 jam/naso gastric tube
- Anemia penyakit kronik (NGT) delay
Status generalis: - Hipoalbuminemia Stop intake oral
Ada gambang - Peningkatan enzim NGT dekompresi
Paru : ada retraksi transaminase Kerjasama bedah anak
subcostal, intercostal - Gizi buruk tipe marasmik Divisi nutrisi dan penyakit
metabolik :
Bunyi nafas bronkovesikuler - Intake tidak terjamin Nutritional assestment: Gizi buruk
Ronkhi ada dikedua Nutritional requirement : Tatalaksana
lapangan paru gizi buruk (WHO)
Wheezing tidak ada Fase stabilisasi tunda
Jantung : bunyi jantung I-II Kebutuhan Cairan (holiday segar) = 240
murni reguler ml/hari
Bising tidak ada Kebutuhan energi (Schofield) = 0,16 w
Abdomen : peristaltik kesan + 1517,4 H – 627,6 = 171,9 kkal/hari
normal BMR = 257,85 kkal/hari
Hepar dan lien tidak teraba. Nutritional route : Parenteral
Nutritional selection :
Parenteral: Nutrisi parenteral
Nutritional monitoring : toleransi, efek
samping, kenaikan berat badan.

Hari 2 Tidak Keadaan umum : lemah,


(25 Juli 2020) demam, tidak Nadi 110 kali/menit - Community acquired Oksigen nasal kanul 2 liter/menit via
kejang. pneumonia nasal kanul

25
Pukul 07.00 Tidak batuk, nafas 28 kali/menit - Pneumatocele 4) Ceftazidime 75 mg/12jam/intravena
ada sesak suhu 36,5 ºC - Suspek hernia 4) Amikasin 55 mg/24 jam/intravena
berkurang skala nyeri 1 flacc diafragmatika sinistra Paracetamol 30 mg/intravenous (when
Tidak muntah Sp02 98% (via oksigen - Undesencus testis temperature ≥ 38.5oC
BAB belum nasal kanul) bilateral Urdafalk 30 mg/8 jam/naso gastric tube
hari ini - Anemia penyakit kronik (NGT) delay
BAK biasa Status generalis: - Hipoalbuminemia Stop intake oral
kuning Ada gambang - Peningkatan enzim NGT dekompresi
Paru : ada retraksi transaminase Kerjasama bedah anak
subcostal, intercostal - Gizi buruk tipe marasmik Divisi nutrisi dan penyakit metabolik
Bunyi nafas bronkovesikuler - Intake tidak terjamin Nutritional assestment: Gizi buruk
Ronkhi ada dikedua Nutritional requirement : Tatalaksana
lapangan paru gizi buruk (PNC)
Wheezing tidak ada Fase stabilisasi tunda
Jantung : bunyi jantung I-II Kebutuhan Cairan (holiday segar) = 240
murni reguler ml/hari
Bising tidak ada Kebutuhan energi (Schofield) = 0,16 w
Abdomen : peristaltik kesan + 1517,4 H – 627,6 = 171,9 kkal/hari
normal BMR = 257,85 kkal/hari

26
Hepar dan lien tidak teraba Nutritional route : Parenteral
Nutritional selection :
Enteral : Priming 10 ml/kgbb (SGM
BBLR) = 8x 4 ml
Parenteral : Nutrisi parenteral
Nutritional monitoring : toleransi, efek
samping, kenaikan berat badan.
Hari 5 Tidak Keadaan umum : lemah, - Community acquired Oksigen nasal kanul 1 liter/menit via
(28 Juli 2020) demam, tidak Nadi 110 kali/menit pneumonia nasal kanul
Pukul 07.00 kejang. nafas 28 kali/menit - Pneumatocele 7) Ceftazidime 75 mg/12jam/intravena
Tidak batuk, suhu 36,5 ºC - Undesencus testis 7) Amikasin 55 mg/24 jam/intravena
ada sesak skala nyeri 1 flacc bilateral Paracetamol 30 mg/intravenous (when
berkurang Sp02 98% (via oksigen - Anemia penyakit kronik temperature ≥ 38.5oC
Tidak muntah nasal kanul) - Hipoalbuminemia Urdafalk 30 mg/8 jam/naso gastric tube
BAB belum - Peningkatan enzim (NGT)
hari ini Status generalis: transaminase Kerjasama bedah anak
BAK biasa Ada gambang - Gizi buruk tipe marasmik Divisi nutrisi dan penyakit
kuning Paru : ada retraksi - Intake tidak terjamin metabolik :
subcostal, intercostal Nutritional assestment : Gizi buruk

27
(berkurang) Nutritional requirement : Tatalaksana
Bunyi nafas bronkovesikuler gizi buruk (PNC)
Ronkhi ada dikedua Fase stabilisasi tunda
lapangan paru Kebutuhan Cairan (holiday segar) = 240
Wheezing tidak ada ml/hari
Jantung : bunyi jantung I-II Kebutuhan energi (Schofield) = 0,16 w
murni reguler + 1517,4 H – 627,6 = 171,9 kkal/hari
Bising tidak ada BMR = 257,85 kkal/hari
Abdomen : peristaltik kesan Nutritional route : Parenteral
normal Nutritional selection :
Hepar dan lien tidak teraba Enteral : Priming 30 ml/kgbb (SGM
BBLR) = 8x 10 ml
Parenteral:
Nutrisi parenteral
Nutritional monitoring : toleransi, efek
samping, kenaikan berat badan.

Hari 8 Tidak Keadaan umum : lemah, Oksigen nasal kanul 2 liter/menit via

28
(31 Juli 2020) demam, tidak Nadi 110 kali/menit - Community acquired nasal kanul (tappering off)
Pukul 07.00 kejang. nafas 28 kali/menit pneumonia 7) Ceftazidime 75 mg/12jam/intravena
Tidak batuk, suhu 36,5 ºC - Pneumatocele
7) Amikasin 55 mg/24 jam/intravena
ada sesak skala nyeri 1 flacc - Undesencus testis
berkurang Sp02 98% (via oksigen bilateral Kerjasama divisi
Gastroenterohepatologi
Tidak muntah nasal kanul) - Anemia penyakit kronik
BAB belum - Hipoalbuminemia Urdafalk 30 mg/8 jam/oral

hari ini Status generalis: - Peningkatan enzim Kerjasama bedah anak,


BAK biasa Ada gambang transaminase Divisi nutrisi dan penyakit metabolik
kuning Paru : ada retraksi - Gizi buruk tipe marasmik Nutritional assestment: Gizi buruk
subcostal, intercostal - Intake tidak terjamin Nutritional requirement :
Bunyi nafas bronkovesikuler Tatalaksana gizi buruk (WHO)
Ronkhi ada dikedua Fase stabilisasi fase stabilisasi H1
lapangan paru (WHO)
Wheezing tidak ada BBA x 80 kkal
Jantung : bunyi jantung I-II = 240 kkal
murni reguler
Nutritional route : Enteral (sonde)
Bising tidak ada
Nutritional selection :
Abdomen : peristaltik kesan

29
normal SGM BBLR (0,8 kkal = 1 ml)
Hepar dan lien tidak teraba = 300 ml
12 x 25 ml
Nutritional monitoring : toleransi, efek
samping, kenaikan berat badan
Vitamin A 50.000 IU/sonde
Asam folat 5 mg/24jam/sonde
Vitamin B kompleks 1 tablet/24
jam/sonde

Hari 9 Tidak Keadaan umum : lemah, Oksigen nasal kanul 1 liter/menit via
(1 Agustus demam, tidak Nadi 110 kali/menit - Community acquired nasal kanul (tappering off)
2020) kejang. nafas 28 kali/menit pneumonia
8) Ceftazidime 75 mg/12jam/intravena
Pukul 07.00 Tidak batuk, suhu 36,5 ºC - Pneumatocele
ada sesak skala nyeri 1 flacc - Undesencus testis 8) Amikasin 55 mg/24 jam/intravena
berkurang Sp02 98% tanpa oksigen bilateral
Kerjasama divisi
Tidak muntah Status generalis: - Anemia penyakit kronik
Gastroenterohepatologi
BAB belum Ada gambang - Hipoalbuminemia
hari ini Paru : ada retraksi - Peningkatan enzim Urdafalk 30 mg/8 jam/oral

30
BAK biasa subcostal, intercostal transaminase Kerjasama bedah anak
kuning Bunyi nafas bronkovesikuler - Gizi buruk tipe marasmik
Divisi nutrisi dan penyakit metabolik
Ronkhi ada dikedua - Intake tidak terjamin
Nutritional assestment: Gizi buruk
lapangan paru, Wheezing
Nutritional requirement :
tidak ada
Tatalaksana gizi buruk (WHO)
Jantung : bunyi jantung I-II
Tatalaksana gizi buruk fase transisi H1
murni reguler, Bising tidak
(WHO)
ada
BBA x 100 kkal = 280 kkal
Abdomen : peristaltik kesan
normal Nutritional route : Enteral (sonde)
Nutritional selection :
SGM BBLR (0,8 kkal = 1 ml)
= 350 ml
12 x 30 ml
Nutritional monitoring : toleransi, efek
samping, kenaikan berat badan
Vitamin A 50.000 IU/sonde
Asam folat 1 mg/24jam/sonde
Vitamin B kompleks 1 tablet/24

31
jam/sonde
Vitamin C 50 mg/12jam/sonde

32
V. RESUME
Seorang anak laki-laki berusia 2 bulan 14 hari dirujuk dari RS
Akademis Jaury Makassar dengan diagnosis Community Acquired
Pneumonia + Gizi buruk + Undescensus testis bilateral + Hernia Hiatus.
Sesak diperhatikan sejak 16 hari sebelum masuk rumah sakit,
memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Anak tidak pernah
mengalami biru. Saat ini,anak tidak pernah mengalami batuk tapi ada
riwayat batuk 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Anak tidak pernah
mengalami demam, kejang, dan muntah. Anak sementara dipuasakan.
Buang air besar dan buang air kecil kesan normal. Riwayat anak
dirawat di RS Akademis Djaury sejak tanggal 11/7/2020 selama 11 hari
dan mendapat terapi cefotaxime 100mg/8jam/intravena, gentamicin 12
mg/24 jam/intravena. Riwayat sering-sering demam sebelumnya tidak
ada. Riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis dewasa atau batuk-
batuk lama tidak ada. Riwayat kontak dengan perokok tidak ada.
Pasien hanya mendapat imunisasi Hepatitis B0 sejak lahir hingga
dirujuk.
Berdasarkan pemeriksaan fisis diketahui bahwa keadaan umum
pasien sakit berat/ gizi buruk/ sadar GCS 15 (E4M6V5). Dari
pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan normal, kecuali adanya
takipneu yaitu 54 kali/menit disertai saturasi oksigen 98% (via nasal
kanul). Berdasarkan pemeriksaan status generalis didapatkan rambut
berwarna hitam, lurus, mudah dicabut. Wajah seperti orang tua (old
man face). Pada dada ditemukan adanya iga gambang dan retraksi
subcostal. Pada paru ditemukan bunyi pernapasan vesikuler, bunyi
tambahan ada ronkhi di kedua lapangan paru, tidak ada wheezing.
Pada ekstremitas ditemukan wasting, refleks fisiologis kesan normal,
refleks patologis tidak ditemukan. Pada kulit tidak tampak scar BCG
dan tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Status generalis
pada regio yang lainnya berada dalam batas normal. Pemeriksaan
status neurologis dalam batas normal. Pemeriksaan status antropometri
ditemukan berat badan 3000 gram, tinggi badan 52 cm, BB/TB terletak
di bawah -3SD % (gizi buruk), BB/U terletak dibawah -3 SD (berat
badan sangat kurang), TB/U 94% terletak dibawah -3 SD (perawakan
sangat pendek). Skor TB pasien ialah 3 poin.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang diketahui bahwa pasien
mengalami anemia, leukositosis, dan hipoalbuminemia. Apusan darah
tepi pasien menunjukkan adanya anemia normositik normokrom suspek
kause infeksi IT ratio 11. Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya
Pneumonia bilateral disertai multiple cavitas pulmo sinistra suspek
pnematocele dan efusi pleura bilateral.

VI. DIAGNOSIS DEFINITIF


- Community Acquired Pneumonia
- Pneumatocele
- Anemia Penyakit Kronik
- Hipoalbuminemia
- Peningkatan enzim transaminase
- Suspek hernia diafragmatika sinistra
- Undesencus testis bilateral
- Gizi buruk tipe marasmus
- Intake tidak terjamin
- Stunting

VI. PROGNOSIS
- Ad vitam (hidup): dubia ad bonam
- Ad Sanationam (sembuh): dubia ad bonam
- Ad functionam (fungsi): dubia ad bonam

DISKUSI
Paru merupakan organ tubuh yang berperan dalam sistem
pernapasan (respirasi) dengan mengambil oksigen (O2) dari udara bebas
saat menarik napas kemudian masuk melalui saluran napas (bronkus) dan
sampai di dinding alveoli (kantong udara), oksigen akan ditransfer ke

34
pembuluh darah , dan akan mengalir antara lain sel sel darah merah untuk
dibawa ke sel-sel di berbagai organ tubuh lain sebagai energi dalam
proses metabolisme. Pada tahap berikutnya setelah metabolisme maka
sisa-sisa metabolisme itu terutama karbondioksida (CO2) akan dibawa
darah untuk dibuang kembali ke udara bebas melalui paru pada saat
membuang napas. Karena fungsinya tersebut, jadi dapat dikatakan bahwa
paru paling terekspose dengan polusi udara yang diisap, termasuk asap
rokok yang dihisap dengan penuh kesengajaan itu. (Person A, 2013)
Pneumatocele merupakan salah satu jenis dari kelainan paru yang
berupa seperti kantong. Kantong berbentuk seperti kista yang berdinding
tipis, dengan ukuran < 1 mm berisi gas yang terbentuk dari parenkim paru.
Kejadiannya biasanya berhubungan dengan insiden pneumonia akut.
Merupakan emfisema interstitiel murni, dimana dindingnya terdiri dari
tunika adventitia alveolus atau bronkiol yang menggembung karea
desakan Biasanya ditemukan multiple pada basal paru. Pneumatocele
bisa menjadi lesi emphysematous tunggal tapi lebih sering berlapis
banyak, berdinding tipis, berventilasi air, seperti cavities. Paling sering,
Pneumatocele terjadi sebagai sequel terhadap pneumonia akut, umumnya
disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Namun, pembentukan
Pneumatocele juga terjadi pada agen lain, termasuk Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, streptokokus grup
A, Serratia marcescens, Klebsiella pneumoniae, adenovirus, dan
tuberkulosis. Pneumatocele umumnya diamati segera setelah
perkembangan pneumonia namun dapat diamati pada gambaran radiologi
thoraks awal. (Keseime, Hermanowics, 2017)
Pneumatocele dapat terbentuk melalui tiga mekanisme seperti
berikut : (Paramisivem E bodenham,2018)
1. Overinflasi paru yang disebabkan oleh obstruksi bronkial / bronkiolar.
2. Infeksi parenkim paru yang akan menyebabkan nekrotik.
3. Kantong udara yang muncul akibat adanya peradangan, nekrosis
dinding saluran napas serta pembentukan fistula pada lapisan pleura. \

35
Gambar 9 . Patofisiologi pneumotocele (Fleischner Society, 2018)

Menurut penyebabnya, pneumatocele terjadi oleh karena post


infeksius dan post traumatic. Kejadian pembentukan pneumatocele post
infectious berkisar antara 2-8% dari semua kasus pneumonia pada anak-
anak. Namun, frekuensinya bisa mencapai 85% pada pneumonia akibat
golongan staphylococcal. Bayi yang berusia kurang dari 1 tahun
menyumbang tiga perempat dari kasus pneumonia stafilokokus. Karena
pneumatocele umumnya berkembang sebagai komplikasi pneumonia
staphylococcus, pneumatoceles lebih sering ditemukan pada bayi dan
anak kecil.
Satu studi melaporkan bahwa 70% pneumatoceles terjadi pada
anak-anak di bawah 3 tahun. Meskipun pneumatocel terlihat pada semua
kelompok usia, mereka paling sering ditemui pada masa bayi Mayoritas
pneumatoceles terjadi sebagai akibat pneumonia (pneumatocele post-
menular). Agen penyebabnya meliputi: Staphylococcus aureus (paling
umum), Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Escherichia
coli ,Streptokokus grup A, Klebsiella pneumoniae, Adenovirus, dan
Tuberkulosis paru primer. Selain infeksi, pneumatocele juga terlihat di
sejumlah setting lainnya, diantaranya: Trauma: trauma biasanya tumpul
Ventilasi tekanan positif, terutama pada neonatus prematur.
(Hermanowicz A,2015)
Pasien yang diambil dalam kasus ini adalah seorang anak laki-laki
usia 2 bulan 14 hari yang dirujuk dari rumah sakit Akademis dengan

36
community acquired pneumonia dan membutuhkan penanganan dan
pemeriksaan lebih lanjut. Sebelumnya, pasien sudah dirawat 13 hari
dirawat di RS.Akademis dengan keluhan batuk, sesak disertai demam.
Saat ini keluhan pasien masih sesak, tetapi sudah tidak demam dan
batuk. Karena pasien masih keluhan sesak, jadi direncanakan untuk
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, untuk itu pasien dirujuk kerumah sakit
Wahidin Sudirohusodo. Kasus pasien ini menarik untuk didiskusikan
mengingat angka kejadian pneumatocele yang masih sangat jarang pada
anak.
Sejak tahun 1950an, beberapa teori telah diajukan mengenai
mekanisme pastinya pembentukan pneumatokel. Namun, mekanisme
pastinya tetap menjadi kontroversial. Carrey berpendapat bahwa kejadian
awalnya adalah merupakan peradangan dan penyempitan bronkus, yang
kemudian akan menyebabkan terbentuknya obstruksi pada endobronchial.
Pada akhirnya, obstruksi bronkial ini menyebabkan dilatasi distal bronkus
dan alveoli. Pada tahun 1972, Boisset menyimpulkan bahwa
pneumatocele disebabkan oleh peradangan bronkial yang merusak
dinding bronchiolar dan menyebabkan terbentuknya "saluran udara".
Udara terperangkap di parenkim paru dan membentuk pneumatocele.
Pneumatocele traumatik memiliki patofisiologi yang berbeda dari tipe
infeksius, berkembang dalam proses 2 langkah. Awalnya, paru-paru
dikompresi oleh kekuatan eksternal trauma, diikuti dengan dekompresi
yang cepat dari peningkatan tekanan intrathoracic yang negatif. Lesi
trauma paru menjadi terdesak oleh udara saat inspirasi dan terperangkap
sehingga menyebabkan pembentukan pneumatokel.
Pada kasus ini mekanisme terjadinya pneumatocele kemungkinan
disebabkan oleh karena pasca infeksius, hal itu disebabkan oleh karena
sebelumnya pasien mengalami community acquired pneumonia, yang
mana terdapat gejala demam yang disertai sesak, serta terdapat retraksi
pada dinding dada.

37
Efusi pleura

Gambar 10. Lokasi terjadinya pneumotocele. (Paramasivam, 2018)

Manifestasi klinis yang didapatkan pada anak-anak dengan


pneumatocele paru adalah mirip dengan ciri khas pneumonia, termasuk
batuk, demam, dan gangguan pernapasan. Tidak ada temuan klinis yang
membedakan pneumonia dengan atau tanpa pembentukan
pneumatocele. Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan distres
pernapasan ringan, sedang, ataupun berat mungkin ada, dengan disertai
takipnea, hingga retraksi. Demam hampir selalu ada dan mungkin dapat
mencapai suhu setinggi 40-41 °C. Temuan pemeriksaan paru bervariasi
tergantung stadium pneumonia. Auskultasi dada menunjukkan suara
nafas dapat menurun pada salah satu sisi atau bilateral. Bunyi tambahan
berupa ronkhi inspirasi sering terdengar. Saat pneumonia sembuh dan
pneumatocele berlanjut, temuan pemeriksaan paru bisa menjadi normal
atau bunyi berkurang pada suara nafas yang ada, tergantung dari ukuran
pneumatocele. Pada kebanyakan anak dirawat di rumah sakit, waktu rata-
rata mulai masuk ke perkembangan pneumatocele adalah 4-7 hari.
Kadang-kadang, pneumatocele biasanya ditemukan pada awal
pemeriksaan radiologi. (Lee K, Cho S, 2012)

38
Gambar 11 .Tampak gambaran Pneumatocele pada pasien post
infeksi staphylococcus Aureus. (Hermanowicz A,
2017)
Tatalaksana untuk pasien pneumatocele adalah atasi penyakit
dasarnya. Pada beberapa kasus, dapat dilakukan dengan pemberian
antibiotik spektrum luas jika dicuriga penyebabnya adalah pneumonia.
Terapi yang diberikan sebaiknya sesuai dengan penyebab terbanyak yang
menyebabkan pneumatocele, yaitu S.aureus dan S.pneumoniae.
Pneumatocele yang terjadi akibat infeksi maupun traumatis merupakan
lesi pada paru yang dihasilkan oleh karena infeksi pneumonia dan trauma
tumpul dada, biasanya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda.
Pneumatocele hanya membutuhkan pengobatan konservatif. Intervensi
bedah dianjurkan hanya bila komplikasi seperti sepsis dan kondisi yang
mengancam nyawa terjadi, seperti terjadi komplikasi penumatoraks yang
mengindikasikan untuk tindakan bedah segera. Pemeriksaan CT-Scan
merupakan metode yang paling sensitif untuk mendeteksi pneumatocele.
(Hermanowicz,2017)
Pada pasien ini dicurgai pembentukan pneumatocelenya
diakibatkan oleh karena adanya infeksi pneumonia sebelumnya, karena
ditemukan gejala klinis berupa demam, sesak dan terdapat retraksi pada
saat masuk rumah sakit. Dirumah sakit sebelumnya pasien telah
mendapatkan antibiotik selama 12 hari, kemudian dilanjutkan di rumah

39
sakit wahidin sudirohusodo dengan pemberian antibiotik spectrum luas.
Pada pasien ini tidak dilakukan tindakan pembedahan khusus, karena
sudah terdapat perbaikan klinis dan dilakukan MSCT scan kontrol dengan
hasil tidak ditemukan pneumatocele di lokasi sebelumnya.
Perbaikan radiologi pada jenis pneumotocele yang disebabkan oleh
adanya infeksi sebelumnya dan ukurannya dibawah 2 cm biasanya
membutuhkan waktu 3 bulan untuk perbaikan dari segi radiologinya.Lain
halnya jika diameter pneumatocele lebih dari 2 cm, dibutuhkan waktu yang
lama sekitar 5 bulan untuk resolusinya. (Philips B, 2017)

Pengobatan dari jenis pneumatocele yang disebabkan oleh adanya


infeksi menunjukkan bahwa dengan pemberian antibiotik spectrum luas,
akan memberikan penyembuhan secara spontan. Pada pasien ini telah
diberikan antibiotik ceftazidime dan amikasin. Dan dilakukan follow up dua
bulan kedepanya, dari hasil Ct Scan thorak kontrol sudah tidak didapatkan
adanya pneumatocele.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi sintesis albumin, tetapi


penurunan produksi yang relevan secara klinis biasanya disebabkan oleh
kegagalan hati, peradangan, atau malnutrisi kronis. Pada pasien ini
terjadi malnutirisi kronik yang merupakan salah satu penyebab dari
hipoalbuminemia. (Mazzaferro, 2002)

Peningkatan kadar SGOT/SGPT dapat meningkat lebih dari 20 kali


dari normal dapat disebabkan oleh karena hepatitis viral akut, nekrosis
hati oleh karena toksisitas obat atau kimia). Peningkatan 3-10 kali nilai
normal disebabkan oleh karena infeksi, hepatitis kronis aktif, sumbatan
empedu ekstra hepatik, sindrom Reye dan infark miokard (SGOT>SGPT).
Peningkatan 1-3 kali normal : pankreatitis, perlemakan hati, sirosis
Laennec dan sirosis biliaris. Pada pasien ini terjadi peningkatan enzim
transaminase diakibatkan oleh karena suatu proses infeksi. (Sacher,2004)

Pada pasien ini awalnya di diagnosis dengan suspek hernia


diafragmatika sinistra, tetapi setelah dilakukan pemeriksaan fisik tidak

40
didapatkan adanya bising usus pada auskultasi, dan tidak ditemukan
defect pada diafragma pada hasil CT Scan toraks.

Pada pemeriksaan fisik, tidak didapatkan kedua testis didalam


scrotum, kemudian saat diperawatan orang tua belum setuju untuk
dilakukan usg testis. Rencana akan dilakukan pelacakan pada saat anak
sudah rawat jalan di poliklinik.

Gambar 12. Jenis lesi cavitas pada paru

Differential diagnosis dari pneumatocele :

a) Kista
1. Insiden

Kista paru merupakan salah satu penyakit yang cukup sering terjadi.
Di kalangan perokok khususnya, penyakit ganas ini telah menjadi
ancaman utama. Kista paru ditandai oleh adanya pertumbuhan
jaringan abnormal pada paru-paru. Kelainan kongenital kista paru
sering dijumpai secara tidak sengaja. Biasanya pada janin kelainan
ini ditemukan pada pemeriksaan ultrasonografi. Gejala yang
ditemukan intrauterin berupa hidrop fetalis, kelainan jantung,
polihidramion dan adanya kelainan kongenital lain. Insiden secara
pasti tidak diketahui, di duga sebesar 25% dari keseluruhan
kelainan kongenital paru janin.

41
2. Etiologi

Meskipun etiologi sebenarnya dari tumor jinak pada paru belum


diketahui dengan pasti, namun kemungkinan penyebabnya adalah
suatu respon hipersensitivitas, keturunan, infeksi maupun bahan
kimia. Biasanya muncul pada usia 30-50 tahun dan sangat jarang
ditemukan pada anak

3. Patofisiologi

Terbentuknya kista paru merupakan hiperinflasi udara kedalam


parenkim paru melalui suatu celah berupa klep akibat suatu
peradangan kronis. Kista paru dapat pula disebabkan kelainan
congenital yamg secara radiologic tidak dapat dibedakan dengan
kista paru didapat ( akibat peradangan ). Banyak jenis penyakit
paru-paru mengarah ke pembentukan kista di paru-paru. Kelainan
yang ditandai adanya udara dalam rongga dada bisa berkembang
menjadi penyakit termasuk Langerhans sel histiocytosis,
lymphaniomyomatosis, kista bronkiectasis, honeycombing dan
confluent centrilobular empisema, paraseptal empisema dan bullae.

4. Diagnosis

Gejala kista paru tergantung kepada luas dan cara penyebarannya.


Biasanya gejala utama adalah batuk yang menetap. Penderita kista
paru seringkali menyadari bahwa batuknya semakin memburuk. Alat
utama untuk mendiagnosa kista paru adalah radiology, bronkoskopi
dan sitologi. Kadang petunjuk awalnya berupa ditemukannya
bayangan pada rontgen dada dari seseorang yang tidak
menunjukkan gejala. Rontgen dada bisa menemukan sebagian
besar kista paru, meskipun tidak semua bayangan yang terlihat
merupakan kista.

42
Adapun gambaran radiologi yang tampak adalah:

a. Bayangan rongga spheris dalam semua proyeksi kecuali


karena letaknya sehingga harus terjepit menjadi pipih,
misalnya dekat diafragma atau dinding thorax.
b. Bila berisi air dan penuh akan tampak bayangan radio-
opaque spheris dan circumscript. Bila ruptur ke bronchus,
sebagian terisi udara yang pada foto berdiri tampak sebagai
bayangan bulat spheris dan circumscript dengan fluid level.
c. Bila ada infeksi, dinding menjadi lebih tebal, batas tegas
menghilang dan bergabung dalam paru.
d. Komunikasi yang intermiten dengan bronchus memberikan
Crescentik Airshadow.
e. Letak sering di dekat carina, trachea atau bronchus utama.
f. Lesi kistik Multipel.
g. Mendesak struktur sekitar

Gambar 13. Tampak bayangan radio-opaque spheris dan


circumscript. Komunikasi yang intermitten dengan bronchus
memberikan crescentik Airshadow (Panah merah). Tampak
multiple kista pada paru (panah putih).

43
Gambar 14. Gambaran CT Scan kista pada anak 15 tahun. (Rae
N, Nelson M, 2012)

5. Penatalaksanaan

Kista biasanya diangkat melalui pembedahan karena bisa


menyumbat bronki dan lama-lama bisa menjadi ganas. Kadang
dilakukan pembedahan pada kanker selain karsinoma sel kecil yang
belum menyebar. Sekitar 10-35% kanker bisa diangkat melalui
pembedahan, tetapi pembedahan tidak selalu membawa
kesembuhan. Sekitar 25-40% penderita tumor yang terisolasi dan
tumbuh secara perlahan, memiliki harapan hidup sampai 5 tahun
setelah penyakitnya terdiagnosis. Penderita ini harus melakukan
pemeriksaan rutin karena kanker paru-paru kambuh kembali pada
6-12% penderita yang telah menjalani pembedahan. (Maarrone G,
2012)

b) Kavitas
1. Insiden

Prevalensi kavitas dengan proses tertentu sangat bervariasi.


Secara umum, proses tertentu cenderung membentuk kavitas lebih
sering daripada yang lain. Misalnya Mycobacterium tuberculosis
Umumnya kavitas memiliki prevalensi tertinggi di antara penderita
dengan penyakit paru-paru dari infeksi apapun, mungkin karena ini
Patogen menyebabkan nekrosis kaseosa. Patogen lainnya, seperti

44
Klebsiella pneumoniae terkait dengan nekrosis paru pyogenic
ekstensif dan sering membentuk kavitas.

2. Etiologi

Kavitas bisa terbentuk akibat keganasan, infeksi, pembengkakan


atau kongenital. Kavitas pada keganasan paru (Karsinoma
bronkogenik primer (terutama karsinoma sel skuamosa), Kavitas
pada metastase paru : Karsinoma sel skuamosa , Adenokarsinoma,
mis. Saluran gastrointestinal, payudara , Sarkoma. Infeksi
(Tuberkulosis paru, Abses dengan kavitas pada infeksi pneumonia
paru, Septic pulmonary emboli , Infeksi langka lainnya seperti:
coccidioidomycosis pulmonary, actinomycosis pulmonary,
Nocardiosis pulmonary, melioidosis, cryptococcosis pulmonary).

3. Patofisiologi

Kavitas merupakan hasil dari salah satu dari sejumlah


proses patologis yang meliputi nekrosis supuratif (misalnya, abses
paru piogenik), nekrosis kaseosa (misalnya, tuberkulosis), nekrosis
iskemik (misalnya, infark paru), dilatasi kistik struktur paru
(misalnya, obstruksi katup bola dan pneumonia pneumositis), atau
perubahan jaringan paru oleh struktur kistik (misalnya,
echinococcus). Selain itu, proses keganasan mungkin
membentukan kavitas terkait nekrosis akibat pengobatan.
Kemungkinan bahwa proses pembentukan kavitas tergantung pada
kedua faktor yaitu host dan sifat dari proses patogenik yang
mendasari.

4. Diagnosis

Penegakan diagnosis kavitas paru dilakukan dengan cara


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Foto polos dada dan
computed tomography (CT) merupakan modalitas radiografi yang

45
paling sering digunakan untuk gambaran dada pada kavitas paru.
Ultrasound kurang optimal untuk pencitraan parenkim paru karena
buruknya transmisi suara melalui paru yang sebagian besar berisi
udara. Pada magnetic resonance imaging (MRI) gambaran paru
akan terbatas dengan gerakan artefaak dan resolusi untuk
menggambarkan ruang relatif rendah, sehingga modalitas ini
umumnya tidak digunakan untuk memeriksa paru.

Gambar 15. Gambaran cavitas foto thoraks (Song Q, Zhang G


2016)

5. Penatalaksanaan

a) Antibiotik

Penisilin merupakan pilihan dengan dosis satu juta unit, 2-3 kali
sehari intramuskular. Bila diperkirakan terdapat kuman gram
negatif dapat ditambahkan kloramfenikol 500 mg empat kali
sehari. Respons terapi yang baik akan terjadi dalam 2-4
minggu, dan selanjutnya bisa dilanjutkan dengan terapi
antibiotik peroral. Pada terapi peroral diberikan:

- Penisilin oral 750 mg empat kali sehari.

- Apabila hasil terapi kurang memuaskan, terapi dapat dirubah


dengan:

o Klindamisin 600 mg tiap 8 jam,

o Metronidazol 4x500 mg, atau

46
o Gentamisin 5 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis tiap
hari.(25)

b) Drainase postural

Selalu dilakukan bersama dengan pemberian terapi antibiotik.


Tubuh diposisikan sedemikian rupa sehingga drainase pun
menjadi lancar. Pada kebanyakan pasien, drainase spontan
terjadi melalui cabang bronkus, dengan produksi sputum
purulen.
c) Bronkoskopi

Penting untuk membersihkan jalan napas sehingga drainase


pun menjadi lancar. Pada beberapa kasus, harus dikerjakan
pula bronkoskopi untuk menilai daerah abses pada cabang-
cabang bronkial.

d) Bedah

Sekarang ini intervensi bedah sangat jarang dilakukan pada


pasien dengan kavitas paru. Tindakan bedah pada kavitas paru
biasanya dilakukan pada kasus dengan komplikasi seperti
haemoptisis masif, fistulla bronchopleural dan empiema. Untuk
kavitas abses akut, sebelum dilakukan upaya pembedahan
harus dilakukan upaya medik lainnya terlebih dahulu. Tanda-
tanda kemajuan pada pengobatan adalah pengurangan batuk,
sputum, demam, toksisitas, infiltrasi, dan kavitasi pulmoner
secara radiologik. Bila tidak ada tanda-tanda kemajuan setelah
3-6 minggu, dapat dilakukan tindakan pembedahan.
c) Blebs dan bullae
1. Insiden

Di Eropa dan Amerika Utara. Peran dari Blebs, bullae, atau


emfisema dalam perubahan dan perkembangannya Pneumotorax
spontan terus menjadi masalah kontroversi. Beberapa peneliti

47
menggunakan teknik diagnostik modern, 75 sampai 100% Pasien
dengan pneumotorax spontan tercatat memiliki blebs dan bulla
paru.

2. Etiologi

Etiologi blebs dan bullae dianggap dasarnya sama seperti pada


Emfisema, dan telah dikaitkan dengan batuk kronis, hilangnya
elastisitas, Bronkospasme, alergi, bronkial rekuren Infeksi, atau
sekunder akibat dinding dada Perubahan tampaknya cukup besar.
Jenis mekanisme check valve ada Pada beberapa waktu atau
lainnya, dengan hasil peningkatan intrabronchiolar atau intra
alveolar. Tekanan menyebabkan kista balon yang pada
pembentukan berjalan dengan cepat dalam ukuran.

3. Patofisiologi

Bulla adalah ruang berisi udara (diameter mulai dari 1 cm sampai


sangat besar) dalam parenkim paru-paru yang terjadi karena
adanya deteriorasi jaringan alveolar. Bulla mirip dengan bleb yaitu
pengumpulan udara di subpleura, di antara lapisan-lapisan pleura
viseral, yang disebabkan oleh rupturnya alveolus. Udara masuk
melalui jaringan interstitial ke dalam lapisan fibrosa tipis pleura
visera. Hal ini mirip dengan aneurisma yang terjadi pada dinding
arteri. Biasanya timbul di bagian apikal paru-paru. Bleb-bleb kecil
dapat bersatu membentuk bleb yang lebih besar, atau tidak jarang
bleb dapat pula multiple dan tersebar merata di permukaan atas
paru-paru. Bleb terjadi saat udara meninggalkan paru, seperti pada
alveoli yang ruptur dan terkumpul diantara pleura visceralis dan
parenkim Ukuran diameter biasanya kurang dari satu hingga
beberapa sentimeter. sedangkan bulla adalah rongga berisi udara
di dalam parenkim paru yang disebabkan oleh penyatuan alveoli
yang berdekatan akibat kerusakan septa jaringan ikat

48
Gambar 16. Patofisiologi Bleb dan Bulla pada paru. (Agarwal R, 2016)

4. Diagnosis

Diagnosis blebs dan bulla paru ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada anamnesis perlu
ditanyakan mengenai kebiasaan merokok dan riwayat penyakit
dahulu, seperti asma, kelainan kongenital dan PPOK.Gejala klinis
yang muncul tergantung dari ukuran, lokasi, jaringan yang tertekan
di sekitar bulla, penurunan kapasitas vital paru-paru, perubahan-
perubahan pada tekanan intrathorakal juga tebentuknya kista dan
pneumothoraks Gejala klinis yang paling menonjol pada pasien
bulla paru-paru adalah sesak napas, mulai dari derajat ringan
sampai derajat berat, sesuai kriteria dari Hugh Jones. Tidak jarang,
bila bulla cukup besar, pasien juga merasakan rasa nyeri lokal di
bagian dada tertentu, sesuai lokasi bulla. Baik sesak napas
maupun nyeri ini berhubungan dengan aktifitas. Dalam hal ini
pemeriksaan radiologi digunakan untuk mengidentifikasi ukuran,
lokasi dan penyebaran space occupying lession. Selain itu,
pemeriksaan ini juga berguna untuk menilai kondisi parenkim paru-
paru di sekitar bulla yang bermanfaat untuk memprediksi
meningkatnya fungsi paru-paru setelah operasi. Pemeriksaan
radiologi yang dapat dilakukan dalam diagnosis bulla paru-paru
antara lain adalah foto polos toraks, bronkografi, angiografi, CT
Scan dan payaran ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion scanning).
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan dalam diagnosis bulla

49
paru-paru antara lain adalah foto polos toraks, bronkografi,
angiografi, CT Scan dan payaran ventilasi-perfusi (ventilation-
perfusion scanning)

Gambar 17. Tampak Bleb (panah biru) dan Bulla panah merah
dan hitam) pada hemithoraks dextra Bulla yang besar pada
lobus paru kanan atas.

Pada foto polos juga dapat dijumpai penekanan jaringan paru-paru


oleh bulla disertai penekanan pada diafragma. Penekanan
diafragma ini bersifat terlokalisir, dengan permukaan atas
diafragma yang sedikit cekung ke bawah. Garis batas dinding bulla
dapat terlihat di sisi lateral dari cekungan diafragma tersebut. Bulla
amat jarang menekan trakea dan jantung walau terkadang dapat
melebar sampai ke ruang retrosternal dan membentuk cekungan di
paru-paru sisi kontralateralnya.

50
Gambar 18. Gambaran CT Scan pada paru.

5. Penatalaksanaan
a. Pembedahan

Tujuan pembedahan pada bulla paru-paru adalah merubah


status fungsional sisi paru-paru yang terkena, yaitu dengan:

 Menghilangkan gangguan restriksi paru-paru


 Meningkatkan komplians paru-paru dan diameter jalan
napas.
 Meningkatkan rasio ventilasi perfusi .

Ketiga tujuan ini lebih  mudah dicapai pada pasien dengan


bulla yang besar dan kelainan paru-paru minimal.
Pembedahan juga diindikasikan pada bulla yang sudah
mengalami komplikasi, berupa infeksi, pneumotoraks,
hemoptisis, keganasan atau nyeri. (Blebs P, welchon, 2012)

Secara umum, pneumatocele tanpa komplikasi memiliki prognosis yang


sangat baik. Komplikasi yang jarang, termasuk tension pneumatocele
yang dapat menyebabkan kematian akibat gangguan pernafasan atau
kardiovaskular akibat pembesaran progresif pneumatocele. Namun, hal ini
sangat jarang terjadi dan jika dideteksi segera dapat dilakukan tindakan
dengan benar.

KESIMPULAN

Telah dilaporkan satu kasus pneumatocele pada anak laki-laki usia


2 bulan 14 hari dengan malnutrisi marasmik. Diagnosis ditegakkan

51
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan antropometri
menggunakan kurva WHO, dan pemeriksaan foto thoraks. Tatalaksana
pada pasien ini dengan pemberian antibitoik spectrum luas dan
tatalaksana gizi buruknya. Prognosis quo ad vitam dubia and quo ad
sanationam dubia.

SUMMARY

We have reported a case of pneumatocele in a boy aged 2


months 14 days with marasmic malnutrition. The diagnosis was based on
history, physical examination, anthropometric examination using the WHO
growth chart, and chest X-ray examination. Management of this patient
was using broad spectrum antibiotics and treating the malnutrition.
Prognosis of this patient was quo ad vitam dubia and quo ad sanationam
dubia.

52

Anda mungkin juga menyukai