Anda di halaman 1dari 57

PENDAHULUAN

Asma bronkial merupakan salah satu penyakit kronis yang menyerang saluran

napas bagian atas dan seringkali dijumpai pada anak-anak. (1,2,3) Penyakit ini cukup

mendapat perhatian serius karena prevalensinya yang cukup tinggi di berbagai negara

berkembang.(2) Berdasarkan sebuah penelitian tentang asma yang dilakukan di

Amerika Serikat, pada anak-anak dengan usia berkisar 12 tahun di South Wales,

prevalensi riwayat mengi (wheezing) mengalami peningkatan dari 17% pada tahun

1973 menjadi 22% pada tahun 1988. Sedangkan dalam prevalensi penyakit asma di

dunia, ternyata populasi penduduk di Cina yang mengidap penyakit asma lebih

rendah jika dibandingkan dengan negara-negara barat.(4)

Adapun beberapa hal yang diduga menjadi penyebab meningkatnya

prevalensi asma maupun meningkatnya penyakit alergi diantaranya yaitu tingginya

tingginya tingkat polusi udara, baik di dalam ruangan (indoor) maupun di luar

ruangan (outdoor).(5,6) Polusi udara yang terjadi di dalam ruangan seperti debu

ruangan yang jarang dibersihkan dan juga kadang-kadang asap rokok. Sedangkan

polusi yang terjadi di luar ruangan seperti asap yang disebabkan oleh kendaraan

bermotor, pabrik maupun rokok Polutan-polutan tersebut akan berefek pada

peningkatan hiperresponsifitas bronkus yang akan menimbulkan gejala klinis berupa

sesak napas. Oleh sebab itulah, faktor lingkungan sangat memegang peranan penting

dalam menentukan manifestasi penyakit ini.(2,5)


2

Pada penyakit ini, akan dijumpai peningkatan kepekaan saluran napas yang

memicu terjadinya periode mengi yang berulang, sesak napas dan batuk yang

seringkali terjadi pada waktu malam hari. Gejala-gejala ini berhubungan dengan

luasnya inflamasi, hal ini bisa menyebabkan obstruksi saluran napas dengan derajat

yang bervariasi dan bersifat reversible, baik secara spontan maupun dengan

pengobatan.(1,6,7) Hal tersebut bisa diperberat jika ditemukan adanya infeksi pada

saluran napas yang bisa menyebabkan terjadinya eksaserbasi asma, baik pada anak-

anak maupun dewasa. Penyebab tersering infeksi saluran napas adalah infeksi virus

saluran napas biasanya rhinovirus, coronavirus atau influenza.(8)

Asma selalu dihubungkan dengan gangguan pada mediator otot polos di

saluran napas dan kelainan struktur anatomi mukosa saluran napas. Dalam beberapa

tahun terakhir, telah dikemukkaan bahwa pada sistem mediator imun, seperti halnya

leukotrien, prostaglandin, faktor pengaktivasi platelet, serta beberapa faktor seperti

histamine dan bronkokonstriktor lainnya juga mampu meningkatkan kepekaan sistem

mediator imun pada saluran napas, sehingga menimbulkan kontraksi otot polos pada

bronchus.(1,6,7,9) Meskipun begitu, penyebab-penyebab terjadinya penyakit asma

dikategorikan menjadi penyebab alergi dan non alergi, tetapi tidak menutup

kemungkinan bisa disebabkan oleh kedua faktor tersebut.(7)

Terlambatnya penanganan terhadap penderita asma dapat menimbulkan

dampak yang cukup fatal, bahkan bisa berujung pada kematian. Hasil studi penelitian

yang dilakukan oleh Sears MD, menyebutkan bahwa terjadi peningkatan angka

kematian pada orang muda yang diakibatkan penyakit asma antara tahun 1970-an
3

hingga tahun 1980-an.(2) Berikut dilaporkan sebuah kasus penyakit asma bronkial

serangan berat episode jarang pada seorang anak perempuan berumur 6 tahun 5 bulan

yang dirawat di Ruang Anak RSUD Ulin Banjarmasin.


4

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

1. Identitas penderita :

Nama penderita : An. S

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat dan tanggal lahir : Banjarmasin, 25 Maret 2000

Umur : 6 tahun 5 bulan

2. Identitas orang tua/wali :

Ayah : Nama : Tn. H

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Jl. Trisakti RT. 35 Kel. Telaga Biru No. 60

Banjarmasin

Ibu : Nama : Ny. A

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : IRT

Alamat : Jl. Trisakti RT. 35 Kel. Telaga Biru No. 60

Banjarmasin

II. ANAMNESIS

Kiriman dari : Puskesmas Banjarmasin Indah

Dengan diagnosa : Pneumonia


5

Aloanamnesa dengan : Ibu kandung penderita

Tanggal/jam : 24 Agustus 2006/09.00 WITA

1. Keluhan utama : Sesak

2. Riwayat penyakit sekarang :

Sejak 1 hari SMRS anak mengeluh sesak napas. Sesak napas terjadi

pada malam hari dan tidak berubah dengan perubahan posisi, sehingga anak

tidak bisa tidur pada malam tersebut. Saat sesak tidak disertai warna biru

pada bibir, akan tetapi terdengar adanya mengi pada saat bernapas. Anak

tidak mengalami batuk, pilek, muntah maupun berak cair sebelum

terjadinya sesak. Anak mengaku tidak ada tersedak sebelumnya. Pada pagi

hari sebelum terjadinya sesak, anak mengikuti kegiatan olahraga berlari di

sekolahnya. Anak mempunyai riwayat asma, namun jarang terjadi serangan

(sekali dalam setahun). Anak tidak memiliki riwayat keluarga penderita

asma. Anak juga tidak memiliki riwayat kontak dengan penderita batuk

lama.

3. Riwayat penyakit dahulu :

Anak pernah dirawat di rumah sakit karena sesak napas pada umur 3 tahun.

4. Riwayat kehamilan dan persalinan :

Riwayat Antenatal :

Selama kehamilan, ibu memeriksakan kehamilannya ke bidan tiap bulan.

Riwayat Natal :

Spontan/tidak spontan : Spontan


6

Berat badan lahir : 1700 gram

Panjang badan lahir : Ibu lupa

Lingkar kepala : Ibu lupa

Penolong : Bidan

Tempat : Rumah

Riwayat Neonatal :

Anak langsung menangis dengan gerakan aktif dan warna kulit seluruh

badan kemerahan.

5. Riwayat perkembangan :

Tiarap : 6 bulan

Merangkak : 8 bulan

Duduk : 11 bulan

Berdiri : 13 bulan

Berjalan : 15 bulan

6. Riwayat imunisasi :

Nama Dasar Ulangan


(umur dalam bulan)
(bulan)
BCG 2 -
Polio 2 3 4 5 -
Hepatitis B 3 4 5 -
DPT 4 5 6 -
Campak 9 -
7

7. Makanan :

- Sejak lahir sampai dengan usia 1 tahun anak mendapatkan ASI dengan

frekuensi menyusu sesuka anak.

- Sedangkan pada usia 3 bulan, anak mendapat makanan tambahan berupa

bubur SUN, diselingi dengan bubur saring yang ditambahkan wortel yang

dilunakkan. Setiap kali makan anak menghabiskan setengah mangkok kecil

sebanyak 3 kali sehari.

- Usia 1,5 tahun sampai sekarang anak mulai mendapatkan makanan seperti

orang dewasa sebanyak 3 kali sehari setengah mangkok kecil.

8. Riwayat keluarga :

Ikhtisar keturunan :

Keterangan : = Laki-laki

= Perempuan

= Penderita
8

Susunan keluarga :

No. Nama Umur L/P Keterangan

1. Tn. H 38 th L Sehat

2. Ny. A 38 th P Sehat

3. An. Y 14 th P Sehat

4. An. S 6 bln 5 th P Sakit

9. Riwayat sosial lingkungan :

Anak tinggal bersama kedua orangtuanya di sebuah rumah yang terbuat dari

kayu berukuran 8 m x 6 m dengan ventilasi dan penerangan yang cukup.

Keluarga ini menggunakan air dari sumur untuk minum dan memasak, serta

untuk mandi dan mencuci. Jarak rumah penderita dengan rumah di

sekitarnya kurang lebih sejauh 4 meter.

III. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan umum : Tampak sesak

Kesadaran : Komposmentis

GCS : 4-5-6

2. Pengukuran :

Tanda vital : Tensi : 110/70 mmHg

Nadi : 160 x/menit, kualitas cukup, reguler

Suhu : 35,6 oC
9

Respirasi : 60 x/menit

Berat badan : 14,5 kg (71,08% standar BB/U)

Panjang/tinggi badan : 106 cm (89,67 % standar TB/U)

(86,83 % standar BB/TB)

Lingkar Lengan Atas (LLA) : 17 cm

Lingkar Kepala : 49 cm

3. Kulit : Warna : Sawo matang

Sianosis : Tidak ada

Hemangiom : Tidak ada

Turgor : Cepat kembali

Kelembaban : Cukup

Pucat : Tidak ada

4. Kepala : Bentuk : Mesosefali

UUB : Datar, sudah menutup

UUK : Datar, sudah menutup

Rambut : Warna : Hitam

Tebal/tipis : Tebal

Distribusi : Merata

Alopesia : Tidak ada

Mata : Palpebra : Tidak ada edema

Alis & bulu mata : Tidak mudah dicabut

Konjungtiva : Tidak anemis


10

Sklera : Tidak ikterik

Produksi air mata : Cukup

Pupil : Diameter : 3 mm/3 mm

Simetris : Isokor

Reflek cahaya : +/+

Kornea : Jernih

Telinga : Bentuk : Simetris

Sekret : Tidak ada

Serumen : Minimal

Nyeri : Tidak ada Lokasi : -

Hidung : Bentuk : Simetris

Pernafasan cuping hidung : Tidak ada

Epistaksis : Tidak ada

Sekret : Tidak ada

Mulut : Bentuk : Normal

Bibir : Mukosa bibir basah, sianosis tidak ada

Gusi : - Tidak mudah berdarah

- Pembengkakan tidak ada

Gigi-geligi : Sudah tumbuh lengkap

Lidah : Bentuk : Normal

Pucat/tidak : Tidak pucat

Tremor/tidak : Tidak tremor


11

Kotor/tidak : Tidak kotor

Warna : Merah muda

Faring : Hiperemi : Tidak ada

Edema : Tidak ada

Membran/pseudomembran : Tidak ada

Tonsil : Warna : Merah muda

Pembesaran : Tidak ada

Abses/tidak : Tidak ada

Membran/pseudomembran : Tidak ada

5. Leher :

Vena Jugularis : Pulsasi : Tidak terlihat

Tekanan : Tidak meningkat

Pembesaran kelenjar leher : Tidak ada

Kaku kuduk : Tidak ada

Masa : Tidak ada

Tortikolis : Tidak ada

6. Thorak :

a. Dinding dada/paru :

Inspeksi : Bentuk : Simetris

Retraksi : Ada, lokasi : suprasternal

Dispnea : Tidak ada Lokasi : -

Pernafasan : Thorakal
12

Palpasi : Fremitus fokal : Simetris

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Suara Napas Dasar : Suara napas Vesikuler

Suara Napas Tambahan : - Rhonki (+/+)

- Wheezing (+/+) ekspirasi

b. Jantung :

Inspeksi : Iktus : Tidak terlihat

Palpasi : Apeks : Tidak teraba

Thrill : Tidak ada

Perkusi : Batas kanan : ICS IV LPS dextra

Batas kiri : ICS V LMK sinistra

Batas atas : ICS II LPS dextra

Auskultasi :

Frekuensi : 160 x/menit, Irama : Reguler

Suara dasar : S1 dan S2 tunggal

Bising : tidak ada, Derajat :-

Lokasi :-

Punctum max : -

Penyebaran :-

7. Abdomen

Inspeksi : Bentuk : Datar

Palpasi : Hati : Tidak teraba


13

Lien : Tidak teraba

Ginjal : Tidak teraba

Masa : Tidak ada

Perkusi : Timpani/pekak : Timpani

Asites : Tidak ada

Auskultasi : Bising usus (+) normal

8. Ekstremitas :

- Umum : Ekstremitas atas : Akral hangat, tidak ada edem

dan tidak ada parese

Ekstremitas bawah : Akral hangat, tidak ada edem

dan tidak ada parese

- Neurologis :

Lengan Tungkai
Tanda
Kanan Kiri Kanan Kiri

Gerakan bebas Bebas bebas Bebas


Tonus normal normal normal Normal
Trofi eutrofi eutrofi eutrofi Eutrofi
Klonus (-) (-) (-) (-)
Refleks
normal normal normal Normal
Fisiologis
Refleks Hoffman (-) Hoffman (-) Babinsky (-), Babinsky (-),
patologis Tromner (-) Tromner (-) Chaddok (-) Chaddok (-)
Sensibilitas Normal Normal Normal Normal
Tanda Lasegue (-), Lasegue (-),
- -
meningeal Kernig (-) Kernig (-)

9. Susunan saraf : Nervi Craniales I – XII tidak ada kelainan

10. Genitalia : Perempuan, tidak ada kelainan


14

11. Anus : Ada, tidak ada kelainan

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM SEDERHANA

Pemeriksaan Darah Rutin :

WBC : 19.670 /mmk (n = 5,5-15,5 x 103/mmk)

RBC : 5,50 x 106 /mmk (n = 4,0 – 5,2 x 106 /mmk)

HGB : 14,9 g/dL (n = 11,5 – 15,5 g/dL)

PLT : 550 x 103 /mmk (n = 150 – 400 /mmk)

HCT : 44,2 % (n = 35 – 45 %)

Hitung Jenis Leukosit:

Basofil : 0,2 % (n = 1-3%)

Eosinofil : 0,1 % (n = 0-1%)

Neutrofil : 91 % (n = 54-67%)

Limfosit : 6,3 % (n = 25-32%)

Monosit : 2,4 % (n = 3-7%)

V. RESUME

Nama : An. S

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 6 tahun 5 bulan

Berat badan : 14,5 kg

Keluhan utama : Sesak


15

Uraian : Sejak 1 hari SMRS sesak (+), terjadi pada malam hari, tidak

berubah dengan perubahan posisi, tidur (-). Sianosis (-),

wheezing (+). Batuk (-), pilek (-), muntah (-), diare (-).

Aktivitas berlebih (+). Riwayat asma (+) dan riwayat asma

keluarga (-), tersedak (-). Riwayat kontak penderita batuk

lama (-)

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis GCS : 4-5-6

Denyut Nadi : 160 kali/menit

Pernafasan : 60 kali/menit

Suhu : 35,6 oC

Kulit : Sawo matang

Kepala : Simetris dengan UUB dan UUK datar

Mata : Anemis (-), Ikterik (-), konjungtiva tidak edem dan tidak

cekung

Telinga : Simeris, sekret (-), serumen minimal

Mulut : Mukosa bibir basah dan berwarna merah muda

Thorak/paru : Simetris, sonor, suara napas vesikuler, ronkhi (+/+),

wheezing (+/+) ekspirasi, retraksi (+) suprasternal

Jantung : S1 dan S2 tunggal

Abdomen : Simetris, bising usus (+) normal


16

Ekstremitas : Akral hangat, edem (-), dan parese (-)

Susunan saraf : Tidak ada kelainan

Genitalia : Perempuan dengan tidak ada kelainan

Anus : Ada, tidak ada kelainan

VI. DIAGNOSIS

1. Diagnosa banding :

- Asma berdasarkan berat ringannya serangan

Asma serangan berat

Asma serangan sedang

Asma serangan ringan

- Asma berdasarkan episode terjadinya serangan

Asma episodik jarang

Asma episodik sering

Asma persisten

- Bronkiolitis, rinitis alergika, sinusitis, aspirasi benda asing

2. Diagnosa kerja : Asma serangan berat episodik jarang

3. Status gizi :

WHO-NCHS

BB/U = 14,5 – 20,4 = -2,81 (gizi kurang)


2,1
TB/U = 105 – 117,1 = -2,37 (pendek)
5,1
BB/TB = 14,5 – 16,7 = -1,57 (normal)
1,4
17

CDC 2000

BB sebenarnya = BBA = 14,5 kg

BB ideal = BBI = 17 kg

IBW = x 100%

= 14,5/17 x 100%

= 85,29 % (mild malnutrition)

VII. PENATALAKSANAAN

- O2 2-3 liter/menit

- Nebulisasi fenoterol (Berotec) 0,5 mg + NaCl 2 ml

- IVFD D5 ¼ NS + Drip Aminofilin 150 mg dengan pemberian 12 tetes/menit

- Injeksi Deksametason 3 x 2 mg

- Injeksi Ampisilin 3 x 500 mg

VIII. USULAN PEMERIKSAAN

1. Pemeriksaan laboratorium darah rutin

2. Pemeriksaan radiologis foto toraks

3. Tes fungsi fisiologis paru

IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam


18

X. PENCEGAHAN

1. Hindari faktor-faktor pencetus timbulnya asma bronkial

2. Membatasi aktivitas fisik yang berlebihan

3. Penggunaan masker/ saputangan guna menutup hidung bila berada di

ruangan yang berdebu atau bila terpapar dengan asap, baik asap kendaraan

bermotor, rokok, dan lain sebagainya.

XI. FOLLOW UP

25 Agustus 2006

S : Sesak (< ), batuk (-), febris (-), muntah (-), makan (<), minum (+), BAB

(+), BAK (-)

O : HR = 96 x/menit, RR = 54 x/menit, T = 37o C.

Pemeriksaan Fisik :

Kulit : Siaonis (-), turgor cepat kembali (+), kelembaban

cukup

Kepala : Mesosefali, UUB dan UUK menutup

Mata : Konjungtiva anemis (-), Skera ikterik (-), mata

cekung (-)

Telinga : Sekret (-), serumen minimal (-)

Hidung : Sekret (-), pernafasan cuping hidung (-)

Mulut : Mukosa bibir basah, lidah kotor (-)

Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak membesar


19

Thorak : Retraksi (-)

Paru : Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-),

wheezing (+/+)

Jantung : S1 dan S2 tunggal, bising (-)

Abdomen : Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Akral hangat, tidak edem, tidak parese

A : Asma bronkial serangan berat episode jarang

P : - O2 2-3 liter/menit

- Nebulisasi fenoterol (Berotec) 0,5 mg + NaCl 2 ml tiap 6 jam

- IVFD D5 ¼ NS + Drip Aminofilin 150 mg dengan pemberian 12

tetes/menit

- Injeksi Deksametason 3 x 2 mg

- Injeksi Ampisilin 3 x 500 mg

Hasil foto toraks tanggal 25 Agustus 2006

- Cor besar normal

- Infiltrat (–)

- D/ bronkritis kronik

26 Agustus 2006

S : Sesak (-), batuk (-), febris (-), muntah (-), makan (+), minum (+), BAB

(+), BAK (+)

O : HR = 88 x/menit, RR = 40 x/menit, T = 36o C.


20

Pemeriksaan Fisik :

Kulit : Siaonis (-), turgor cepat kembali (+), kelembaban

cukup

Kepala : Mesosefali, UUB dan UUK menutu

Mata : Konjungtiva anemis (-), Skera ikterik (-), mata

cekung (-)

Telinga : Sekret (-), serumen minimal (-)

Hidung : Sekret (-), pernafasan cuping hidung (-)

Mulut : Mukosa bibir basah, lidah kotor (-)

Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak membesar

Thorak : Retraksi (-)

Paru : Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-),

wheezing (-/-)

Jantung : S1 dan S2 tunggal, bising (-)

Abdomen : Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Akral hangat, tidak edem, tidak parese

A : Asma bronkial serangan berat episode jarang

P : - salbutamol 2 mg

- prednison 1/3 tab

- ampisilin 10 mg

- Pasien diizinkan pulang


21

DISKUSI

DEFINISI

Definisi asma secara lengkap yang menggambarkan konsep inflamasi sebagai

dasar mekanisme terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA (Global Initiative for

Asthma). Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik

dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada

orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episod wheezing yang berulang, sesak

napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini

biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun

bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun

dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperaktivitas saluran

respiratorik terhadap berbagai rangsangan.(6)

Pedoman Nasional Asma Anak juga menggunakan definisi yang praktis

dalam bentuk definisi operasional yaitu wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik

sebagai berikut(6) :

 Timbul secara episodik dan/atau kronik

 Cenderung pada malam/dini hari (nokturnal)

 Musiman

 Adanya faktor pencetus, diantaranya aktivitas fisik

 Bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan

 Adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/ keluarganya


22

Asma selalu dihubungkan dengan gangguan pada mediator otot polos di

saluran napas dan kelainan struktur anatomi mukosa saluran napas. Dalam beberapa

tahun terakhir, telah dikemukkaan bahwa pada sistem mediator imun, seperti halnya

leukotrien, prostaglandin, faktor pengaktivasi platelet, serta beberapa faktor seperti

histamine dan bronkokonstriktor lainnya juga mampu meningkatkan kepekaan sistem

mediator imun pada saluran napas, sehingga menimbulkan kontraksi otot polos pada

bronkus.(1,6,9,7) Meskipun begitu, penyebab-penyebab terjadinya penyakit asma

dikategorikan menjadi penyebab alergi dan non alergi, tetapi tidak menutup

kemungkinan bisa disebabkan oleh kedua faktor tersebut.(9)

Pada kasus ini, dijumpai tanda-tanda atau keluhan pasien berupa sesak napas.

Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, ditemukan adanya suara napas tambahan berupa

wheezing pada saat ekspirasi yang berulang. Sesak yang terjadi pada kasus ini terjadi

pada mulanya saat malam hari. Tanda-tanda tersebut telah memenuhi kriteria asma

bronkial berdasarkan pada landasan teori yang telah dikemukakan di atas.


23

EPIDEMIOLOGI

Penyakit ini merupakan penyakit yang cukup luas dalam persebarannya di

dunia. Dilaporkan bahwa sejak dua dekade terakhir prevalensi asma meningkat, baik

pada anak-anak maupun dewasa. Asma mempunyai dampak negatif pada kehidupan

penderitanya termasuk untuk anak, seperti menyebabkan anak sering tidak masuk

sekolah dan membatasi kegiatan olehraga, maupun aktivitas seluruh keluarga.

Prevalensi total asma di dunia diperkiralan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada

anak). Prevalensi tersebut sangatlah bervariasi, terdapat perbedaan antar negara,

bahkan di beberapa daerah di suatu negara.(8)

Salah satu masalah epidemiologi saat ini adalah mortalitas asma yang relatif

tinggi. Beberapa waktu yang lalu, penyakit asma tidak merupakan penyebab kematian

yang berarti. Namun belakangan ini dilaporkan dari berbagai negara terjadi

peningkatan kematian karena penyakit asma, juga pada anak. Berbagai faktor yang

dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma antara lain aktivitas fisik, alergen,

infeksi, perubahan mendadak suhu udara atau pajanan terhadap iritan respiratorik

seperti asap rokok dan lain sebagainya. Selain itu juga berbagai faktor mempengaruhi

tinggi rendahnya prevalensi asma di suatu tempat. Beberapa faktor tersebut

diantaranya yaitu umur, ras, jenis kelamin, tingkat sosio-ekonomi dan faktor

lingkungan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi prevalensi asma, terjadinya

serangan asma, berat ringannya serangan, status asma dan kematian karena penyakit

asma.(5,7)
24

Salah satu penyebab tinggi prevalensi penyakit asma bronkial yaitu adanya

infeksi yang disebabkan oleh virus. Infeksi virus pada saluran napas merupakan

penyebab utama terjadinya mengi pada anak dan dewasa yang menderita asma yaitu

10-85% pada anak dan 10-45% pada dewasa. Virus yang menyebabkan infeksi pada

saluran napas adalah respiratory syncytial virus (RSV), rhinovirus, parainfluensa,

adenovirus, influensa, dan coronavirus 1,5 seperti tampak pada tabel 1 berikut :

Tabel 1. Virus saluran napas dan penyakit yang diakibatkan(8)

Tipe Virus Serotipe CC Asma Pneumonia Bronkitis Bronkhiolitis


Rhinovirus 1-100 + +++ +++ +/- + +

229E
Coronavirus ++ ++
OC43

Influenza A, B, C + + ++ +

Parainfluenza 1,2,3,4 + + +/- ++ +

RSV A, B + + + + +++
Adenovirus 1-43 + + ++ + +
Keterangan :
cc : common cold +/- : jarang + : diketahui
++ : sering +++ : penyebab utama

Berdasarkan sebuah penelitian tentang asma yang dilakukan di Amerika

Serikat, pada anak-anak dengan usia berkisar 12 tahun di South Wales, prevalensi

riwayat mengi (wheezing) mengalami peningkatan dari 17% pada tahun 1973 menjadi

22% pada tahun 1988. Sedangkan dalam prevalensi penyakit asma di dunia, ternyata
25

populasi penduduk di Cina yang mengidap penyakit asma lebih rendah jika

dibandingkan dengan negara-negara barat.(2,4)

Survei mengenai tingkat kejadian asma di Eropa juga telah dilakukan di 7

negara di benua tersebut. Penelitian tersebut dilakukan oleh AIRE (Astma insight &

Reality in Europe) yang meliputi 73.880 rumah tangga, yang berjumlah 213.158

orang. Hasil survei mendapatkan prevalensi populasi current asthma sebesar 2,7%.(6)

Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia juga telah dilakukan dari

tahun ke tahun pada beberapa pusat pendidikan, namun belum semuanya

menggunakan kuesioner yang baku. Pada tabel berikut akan disajukan beberapa hasil

survei penyakit asma pada anak di Indonesia.(6)

Tebel 2. Prevalensi asma pada anak di Indonesia(6)


Jumlah Umur Prevalensi
Peneliti (kota) Tahun
Sampel (Tahun) (%)

Djajanto B (Jakarta 1991 1200 6 – 12 16,4


Rosmayudi O (Bandung) 1993 4865 6 – 12 6,6
Dahlan (Jakarta) 1996 - 6 – 12 17,4
Arifin (Palembang) 1996 1296 13 - 15 5,7
Rosalina I (Bandung) 1997 3118 13 – 15 2,6
Yunus F (Jakarta) 2001 2234 13 – 14 11,5

2678 6–7 3,0


Kartasasmita CB (Bandung) 2002
2836 13 - 14 5,2

6 NN (Jakarta) 2002 1296 13 - 14 6,7


26

PATOFISOLOGI

A. Obstruksi Saluran Respiratorik

Salah satu gejala yang dialami oleh pasien dalam kasus ini ialah sesak napas.

Tidak hanya itu, pada pasien juga ditemukan adanya suara napas berupa wheezing.

Hal tersebut diduga karena adanya proses inflamasi sehingga menimbulkan

penyempitan atau obstruksi pada saluran napasnya.

Inflamasi saluran respiratorik yang ditemukan pada pasien asma diyakini

merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi : obstruksi saluran respiratorik yang

menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau

setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala khas

pada asma, yakni berupa batuk, sesak, wheezing dan disertai hiperaktivitas saluran

respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh

stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi terutama

pada anak.(1,6,7)

Obstruksi saluran napas ini bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat

membaik spontan atau dengan pengobatan. Penyempitan saluran napas ini

menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus

terhadap berbagai stimuli. Penyebabnya multifaktor, yang utama adalah kontraksi

otot polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi.(1,7)
27

Gambar 1. Saluran napas normal dan penderita asma(1)

Adapun beberapa mekanisme yang bisa menyebabkan terjadinya inflamasi

pada saluran napas, diantaranya yaitu(1) :

 Mekanisme limfosit T - IgE

Setelah APC (Antigen Presenting Cells) mempresentasikan alergen / antigen

kepada sel limfosit T dengan bantuan major histocompatibility (MHC) kls II, limfosit

T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan

berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan produknya akan mempengaruhi dan

mengontrol limfosit B dalam memproduksi imunoglobulin. Interaksi alergen pada

limfosit B dengan limfosit T spesifik-alergen akan menyebabkan limfosit B

memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang sama akan

meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan berikatan dengan

sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast, basofil, eosinofil, makrofag
28

dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel tersebut maka sel akan teraktivasi dan

berdegranulasi mengeluarkan mediator yang berperan pada reaksi inflamasi.(1)

 Mekanisme limfosit T – nonIgE

Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-

9, IL-13 dan granulocyte monocyte colony stimulating factor (GMCSF). Sitokin

bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga terjadi proses

inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil, mengeluarkan berbagai protein

toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu penyebab

hiperesponsivitas saluran napas (airway hyperresponsiveness / AHR).(1)

 Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas

Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas

humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit B

sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi

limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster

differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel limfosit T helper (CD4)

dibedakan menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1 mensekresi interleukin-2 (IL-2), IL-3,

granulocytet monocyte colony stimulating factor (GMCSF), interferon-γ (IFN-γ) dan

tumor necrosis factor-α (TNF-α) sedangkan Th2 mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9,

IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons imun dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen

melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen primer ( primary antigen

presenting cells/APC). Skema itu dapat kita lihat pada gambar 2 sebagai berikut (1,6) :
29

Keterangan :
MHC = major histocompatibility
Ig = imunoglobulin
AHR = airway hiperresponsiveness
eos= eosinofil,
Bas = basofil

Gambar 2. Mekanisme imunologi pada asma(1)

B. Hiperreaktivitas Saluran Respiratorik

Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologi

yang secara klinik paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggung
30

jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui

tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi

dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan

kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran napas terutama peribronkial dapat

memperberat penyempitan saluran napas selama kontraksi berlangsung.(1)

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratorik, sel goblet kelenjar

submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat.

Secara keseluruhan, saluran respiratorik pada asma memperlihatkan perubahan

struktur saluran respiratorik yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan

dinding saluran respiratorik. Selama ini, asma diyakini merupakan obstruksi saluran

respiratorik yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang

menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi

dengan inhalasi kortikosteroid.(10) Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering

diperiksa dengan memberikan stimulus aerosol histamin atau metakolin yang

dosisnya dinaikkan secara progresif kemudian dilakukan pengukuran perubahan

fungsi paru (PFR atau FEV 1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisik,

hiperventilasi, udara kering dan aerosol garam hipertonik, adenosis tidak mempunyai

efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti histamin dan metakolin), akan tetapi

dapat merangsang pelepasan mediator dari sel mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel

lain pada saluran respiratorik. Dikatakan hiperaktif bila dengan cara histamin

didapatkan penurunan FEV 1 20% pada konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.(1)
31

FAKTOR RISIKO

Faktor resiko yang mungkin terdapat dalam lingkungan penderita dalam

kasus ini yaitu status sosial yang cukup rendah, hal ini terkait dengan kurangnya

asupan gizi pada penderita.

Adapun beberapa faktor yang bisa menimbulkan terjadinya penyakit asma

diantaranya yaitu(9,11) :

A. FAKTOR PEJAMU (Host)

 Predisposisi genetik

 Hiperesponsif saluran napas

 Atopi

 Jenis kelamin

 Ras

B. FAKTOR LINGKUNGAN

Faktor yang mempengaruhi kerentanan terbentuk asma pada individu yang

terpajan dengan faktor predisposisi.

 Alergen dalam rumah

 Tungau debu rumah

 Alergen pada hewan

 Alergen kecoa

 Jamur

 Alergen luar

 Tepung sari
32

 Jamur

 Pajanan pekerjaan

 Asap rokok

 Perokok pasif

 Perokok aktif

 Polusi udara

 Polutan luar rumah (outdoor pollutants)

 Polutan dalam rumah (indoor pollutants)

 Infeksi saluran napas

 Higiene

 Infeksi parasit

 Status sosial ekonomi

 Diet dan obat – obatan

 Obesitas

ETIOLOGI

Asma bronkial merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor

otonom, imunologis, infeksi, endokrin, dan psikologis dalam berbagai tingkat pada

berbagai individu. Pengendalian diameter jalan napas dapat dipandang sebagai suatu

keseimbangan gaya neural dan humoral. Aktivitas bronkokonstriktor neural

diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Faktor humoral membantu

bronkodilatasi termasuk katekolamin endogen yang bekerja pada reseptor adrenergik-


33

ß yang mengakibatkan terjadinya relaksasi otot polos bronkus. Asma dapat

disebabkan oleh kelainan fungsi reseptor adenilat siklase adrenergik-ß, dengan

penurunan reseptor adrenergik-ß pada leukosit penderita asma.(7)

Selain hal-hal tersebut, terdapat beberapa faktor lain yang juga turut berperan

sebagai etiologi penyakit ini, diantaranya yaitu(1,6,7,12,13,14) :

 Faktor-faktor imunologis

Penderita yang dikategorikan dalam penderita asma ekstrinsik atau alergik,

eksaserbasi terjadi setelah adanya paparan dari faktor lingkungan seperti debu rumah,

serbuksari bunga, dan ketombe. Hal ini seringkali akan meningkatkan kadar

imunoglobulin E ( IgE ) total maupun IgE spesifik pada penderita terhadap antigen-

antigen tersebut. Asma yang tergolong kategori ini, sering dijumpai pada anak-anak

dengan kisaran usia 2 tahun pertama dan pada orang dewasa (asma yang timbul

lambat) yang disebut juga asma intrinsik .

 Faktor endokrin

Asma bronkial dapat menjadi lebih buruk pada pasien dengan keadaan hamil

dan menstruasi, terutama pada premenstruasi atau pada wanita yang menopause.

Sedangkan pada anak dengan masa pubertas, keadaan asma cenderung akan lebih

baik. Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor endokrin pada etiologi dan

patogenesis asma bronkial.

 Faktor Psikologis
34

Faktor emosi dapat memicu timbulnya gejala-gejala asma pada beberapa anak

dan dewasa. Gangguan emosi dan tingkah laku terkait dengan terapi asma pada

penderita.

 Faktor lain

Faktor lain yang juga dapat menjadi pencetus (trigger) terjadinya asma ialah

infeksi saluran napas, faktor fisik (aktivitas fisik yang berlebih), perubahan cuaca,

obat-obatan, dan paparan bahan-bahan di lingkungan kerja.

Dalam kasus asma bronkial ini, diduga salah satu etiologi penyebab

terjadinya serangan asma yaitu faktor imunologis dan faktor aktivitas fisik yang

berlebih. Hal ini mungkin terjadi karena rendahnya asupan gizi pada penderita yang

secara tidak langsung berpengaruh terhadap turunnya daya imunitas pasien terhadap

paparan alergen yang terdapat di lingkungan pasien tinggal. Selain itu, berdasarkan

anamnesis yang dilakukan diketahui bahwa serangan asma terjadi setelah pasien

melakukan olahraga pada pagi harinya.

DIAGNOSIS(12)

Diagnosis ditegakkan dengan aloanamnesa, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Umumnya diagnosa asma tidak sulit, terutama bila ditemukan gejala klasik

asma yaitu batuk, sesak napas, dan mengi yang timbul secara tiba-tiba dan dapat
35

hilang secara spontan/pengobatan. Adanya riwayat asma/riwayat alergi dan faktor

pencetus.

Pada kasus ini dilakukan aloanamnesa dengan orangtua penderita, didapatkan

tanda-tanda yang mengarah pada diagnosis penyakit asma. Beberapa tanda-tanda dari

hasil aloanamnesa yang mengarah ke diagnosis asma diantaranya keluhan utama

berupa sesak napas yang pada mulanya terjadi pada malam hari. Sesak napas diiringi

adanya suara napas berupa mengi (wheezing) pada saat penderita menghembuskan

napasnya (ekspirasi). Selain itu, pada pasien diketahui bahwa pasien menjalani

aktivitas yang berat pada pagi harinya yaitu kegiatan olahraga di sekolahnya. Pasien

memiliki riwayat asma sebelumnya namun jarang mengalami serangan (dalam

setahun kurang lebih terjadi satu kali).

Pemeriksaan Fisik

Dalam keadaan serangan, tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi

pernapasan dan denyut nadi meningkat. Mengi (wheezing) sering terdengar tanpa

stetoskop. Bunyi pernapasan mungkin melemah dengan ekspirasi memanjang

Pada pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, didapat keadaan umum

penderita baik dengan kesadaran kompos mentis dengan GCS 4-5-6 dan tidak

didapatkannya kelainan pada neurologis. Hal ini mengindikasikan bahwa penderita

tidak mengalami kelainan pada intrakranialnya. Pada pemeriksaan tanda vital

didapatkan adanya peningkatan frekuensi jantung (160 kali per menit) dan adanya

napas cepat (60 kali per menit). Berdasarkan pemeriksaan auskultasi, dijumpai
36

adanya suara napas tambahan berupa mengi (wheezing) yang merupakan salah satu

gejala khas penyakit asma.

Pada pemeriksaan status gizi, pada pasien didapatkan adanya gizi kurang (standar

BB/U pada NCHS) dan mild malnutrition (standar CDC 2000). Hal ini dapat menjadi

salah satu faktor risiko dalam hal terjadinya asma dikarenakan status gizi merupakan

komponen penting dalam status imunologi pada anak.

Pemeriksaan Penunjang

Diperlukan uji laboratorium darah dan sputum serta uji fungsi fisiologi paru

guna menunjang diagnosis asma bronkial. Eosinofilia di dalam darah dan sputum

akan mengalami peningkatan. Di dalam darah, eosinofilia akan lebih dari dari 250-

400 sel/mm3. Sedangkan pada sputum juga akan dijumpai adanya eosinofilia, akan

tetapi hal ini tidaklah khas pada penderita asma karena beberapa penyakit anak selain

asma mungkin menyebabkan eosinofilia di dalam sputum. Protein serum dan kadar

imunoglobulin biasanya normal pada penderita asma bronkial, kecuali kadar IgE

mungkin bertambah.(7) Pada pasien ini, hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin

didapatkan hasil adanya peningkatan jumlah leukosit (leukositosis) yang

dimungkinkan terjadinya inflamasi pada pasien ini. Jumlah leukosit yang mengalami

peningkatan ialah neutrofil.

Uji fisiologi paru bermanfaat dalam mengevaluasi anak yang diduga

menderita asma bronkial. Pada penderita asma, uji ini bermanfaat untuk menilai

tingkat penyumbatan jalan napas dan gangguan pertukaran gas.(7)


37

Penentuan gas dan pH darah arterial merupakan hal yang penting dalam

mengevaluasi penderita asma selama masa eksaserbasi yang memerlukan perawatan

di rumah sakit. Penentuan saturasi oksigen dengan oksimetri secara teratur akan

membantu dalam menentukan keparahan eksaserbasi akut. PCO 2 biasanya rendah

selama stadium awal asma akut. Ketika penyumbatan memburuk, maka PCO 2 akan

meningkat.(7)

Pada foto toraks akan tampak corakan paru yang meningkat. Hiperinflasi

terdapat pada serangan akut dan kronik. Atelektasis kadang-kadang dapat ditemukan.

Pada pasien ini hasil foto toraks didapatkan hasil gambaran infiltrat (-) dan adanya

gambaran bronkitis kronis.

DIAGNOSIS BANDING

Beberapa dianosis banding terhadap penyakit asma bronkial ini diantaranya

yaitu(7) :

 Rhinitis alergika

 Sinusitis

 Bronkhiolitis

 Benda asing pada saluran napas

Pada rhinitis alergika, ditemukan adanya penyumbatan hidung secara

bilateral akibat edema basahnya membran mukosa. Selain itu, pada rhenitis alergika

ditemukan bersin-bersin, hidung yang berair, mata yang terasa gatal dan

mengeluarkan air mata yang berlebihan.(7) Sinusitis mempunyai gejala berupa adanya
38

batuk malam hari, tetapi hal itu jarang karena lebih sering batuk pada siang hari.

Selain itu, juga ditemukan nyeri kepala, nyeri wajah dan bisa ditemukan nanah dalah

meatus media.(7) Dalam kasus ini, rhenitis alergika dapat disingkirkan karena tidak

ditemukannya sesak napas serta suara napas tambahan berupa wheezing yang

menjadi salah satu ciri khas penyakit asma bronkial ini.

Pada bronkhiolitis, ditemukan adanya demam, batuk serta wheezing atau

mengi sedangkan pada auskulasi akan ditemukan suara ronkhi. (7) Hal ini mirip dengan

asma bronkial, tetapi pada asma wheezing akan timbul secara periodik atau episode.

Selain itu, asma dicetuskan oleh adanya alergen baik dari lingkungan maupun yang

nonspesifik sedangkan pada bronkholitis tidak demikian.

Benda asing pada saluran napas juga dapat menyebabkan sesak pada

penderita. Tetapi diagnosis ini dapat disingkirkan karena pada aloanamnesa dan

pemeriksaan fisik tidak ditemukan akanya tanda-tanda adanya sumbatan benda asing

pada saluran napas penderita.

Kebanyakan anak yang menderita episode batuk dan mengi berulang

menderita asma. Penyebab lain penyumbatan jalan napas adalah malformasi

kongenital (sistem pernapasan,kardiovaskuler, atau gastrointestinal), benda asing

pada jalan napas atau esofagus, bronkiolotis infeksius, kistik fibrosis, penyakit

defisiensi imunologis, pneumonitis hipersensitivitas, aspergilosis bronkopulmonal

alergika, dan berbagai keadaan lebih jarang yang menggangu jalan napas,termasuk

tuberkulosis endobronkial, penyakit jamur, dan adenoma bronkus.(7)


39

KLASIFIKASI DERAJAT PENYAKIT

Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Anak berdasarkan episode serangan(6)

Parameter klinis Asma Episodik Asma Episodik Asma Persisten


Jarang Sering
1. Frekuensi serangan < 1 x / bulan > 1 x / bulan Sering
2. Lama serangan < 1 minggu > 1 minggu Hampir
sepanjang tahun,
tidak ada remisi
3. Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
4. Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
5. Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
6. Pemeriksaan fisik di luar Normal (tidak Mungkin terganggu Tidak pernah
serangan ditemukan (ditemukan normal
kelainan) kelainan)

Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Anak berdasarkan berat ringannya


serangan(6)

Parameter klinis Ringan Sedang Berat Ancaman henti


napas
Sesak (breathless) Jarang
Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi : Bayi : Bayi :
Menangis -tangis pendek -tidak mau
keras dan lemah makan/minum
-kesulitan
menetek/makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk Duduk
bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin Biasanya irritable Biasanya Kebingungan
irritable irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, sering Nyaring, Sangat Sulit/tidak
hanya pada sepanjang nyaring, terdengar
akhir ekspirasi ekspirasi+inspirasi terdengar
Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya tanpa stetoskop
Ya Gerakan
bantu respiratorik paradok
torako-
abdominal
40

Retraksi Dangkal, Sedang, ditambah Dalam, Dangkal/hilang


retraksi retraksi ditambah
interkostal suprasternal napas cuping
hidung
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi

KOMPLIKASI

Penyakit asma bila tidak mendapatkan terapi atau penangan secara benar, bisa

menimbulkan komplikasi-komplikasi yang cukup mengkhawatirkan. Beberapa

komplikasi yang bisa terjadi diantaranya yaitu(9) :

 Pneumotoraks spontan

Walaupun ini jarang sekali dijumpai, akan tetapi kadang dapat ditemukan

sebagai sebuah fenomena yang cukup menarik.

 Pneumomediastinum

Penyakit ini kadang ditemukan pada penderita dengan usia yang cukup muda.

Penyakit ini timbul sebagai suatu proses yang berlangsung secara alamiah,

seperti yang dilaporkan oleh Jamadar yang telah melakukan penelitian

terhadap hewan coba.Pneumomediastinum ini pada umumnya akan sembuh

dengan sendirinya (self-limited disease)

 Empisema

Penyakit ini sering ditemukan terjadi di subdural dan paling sering terjadi

pada anak-anak. Pergerakan udara terjadi dengan mengarah ke posterior,

yakni dari pneumomediastinum menuju foramina intervertebralis.


41

 Pneumoperikardium

Penyakit ini jarang ditemukan sebagai komplikasi asma. Akan tetapi bila

terjadi, maka akan lebih sering terjadi pada anak-anak. Hal ini disebabkan

selaput pericardial pada anak-anak cenderung lebih rapuh dibndingkan dengan

orang dewasa. Seperti halnya dengan pneumomediastinum,

pneumoperikardium biasanya ditemui dengan sifat yang benigna.

 Perdarahan pada subarakhnoid

Kasus ini bisa ditemui pada pasien status asmatikus dengan perawatan yang

menggunakan ventilator. Pasien dengan keadaan seperti ini rentan terhadap

timbulnya peningkatan tekanan parsial karbondioksida, sehingga dapat

menyebabkan vasodilatasi di pembuluh darah serebral dan meningkatnya

tekanan intrakranial. Keadaan ini dapat diperparah dengan adanya batuk-batuk

pada pasien sehingga terjadi peningkatan tekanan intrathoraks. Terapi

ventilasi diyakini menjadi pencetus terjadinya edema serebral dan terbatasnya

aliran darah vena pada serebral.

Pada kasus ini, pasien tidak mengalami komplikasi yang bisa membahayakan

pasien. Hal ini karena pasien cepat mendapatkan pertolongan sehingga komplikasi-

komplikasi yang berbahaya seperti yang disebut di atas tidak terjadi.


42

PENATALAKSANAAN

A. Tatalaksana di klinik atau Unit Gawat Darurat

Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan di Unit Gawat Darurat,

langsung dinilai derajat serangannya sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam

panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau fleak

flowmeter) merupakan bagian integral penilaian tatalaksana serangan asma, bukan

hanya evaluasi klinis. Namun, di Indonesia penggunaan alat tersebut belum

memasyarakat.(6)

Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian ß-agonis dengan

penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua

kali dengan selang waktu 20 menit. Pada pemberian ketiga, nebulisasi ditambahkan

obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis

yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis dapat

dilakukan dengan cepat dan jelas.(6,7)

Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam serangan yang berat,

langsung berikan nebulisasi ß-agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Pasien

dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolic, mungkin akan

mengalami takifilasis atau refrakter yaitu respons yang kurang baik terhadap

nebulisasi ß-agonis. Pasien seperti ini cukup sekali dinebulisasi kemudian secepatnya

dirawat untuk mendapat obat intravena selain dibatasi masalah dehidrasi dan

asidosisnya.(6,7)

 Serangan Asma Ringan


43

Apabila keadaan pasien dengan sekali pemberian nebulisasi telah

menunjukkan respons yang baik (complete response), berarti serngannya tergolong

ringan. Pasien diobservasi selama 1 jam, jika tetap baik, maka pasien dapat

dipulangkan. Pasien dibekai dengan obat ß-agonis (obat hirup atau oral) yang

diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat

ditambahkan steroid oral, namun hanya diberikan untuk jangka waktu yang pendek

(3-5 hari).(6,7)

 Serangan Asma Sedang

Jika dengan pemberian nebulisasi dua kali, pasien hanya menunjukkan

respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang.

Pada serangan asma sedang, diberikan steroid sistemik (oral) metilprednisolon

dengan dosis 0,5-1 mg/kg/BB/hari selama 3-5 hari. Steroid lain yang dapat diberikan

selain metilprednisolon adalah prednison.(6,7)

 Serangan Asma Berat

Bila dengan nebulisasi tiga kali berturut-turut pasien tidak menunjukkan

respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada maka pasien

harus dirawat di ruang rawat inap. Bila sejak awal dinilai sebagai serangan berat,

maka nebulisasi pertama kali langsung ß-agonis dengan penambahan antikolinergik.

Oksigen 2-4 liter/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur

parenteral dan lakukan foto thoraks.(6,7)

Jika pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus

langsung dirawat di ruang rawat intensif. Untuk pasien dengan serangan berat dan
44

ancaman henti napas, langsung dibuat foto Rontgen thoraks guna komplikasi

pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.(6,7)

B. Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari

Pemberian oksigen tetap diteruskan dengan diberikan nebulisasi ß-agonis +

antikolinergik tiap 2 jam. Kemudian berikan steroid sistemik oral berupa

metilprednisolon atau prednisone. Pemberian steroid ini dilanjutkan sampai 3-5 hari.

Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat

seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari klinik/ UGD. Bila dalam 12 jam

responnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke ruang rawat inap dengan

tatalaksana serangan asma berat.(6,7)

C. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap

Pada penatalaksaan di ruang inap, ada beberapa hal yang dilakukan, yaitu.(6,7)

 Pemberian oksigen diteruskan

 Jika ada dehidrasi dan asidosis, maka diatasi dengan pemberian cairan intravena

dan dikoreksi asidosisnya.

 Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. Dosis steroid intravena

0,5-1 mg/kg/BB/hari.

 Nebulisasi ß-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam,

jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian

dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.

 Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis :


45

 Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis

awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam

fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.

 Jika pasien telah mendapat amonofilin (kurang dari 8 jam), dosis diberikan

separuhnya.

 Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.

 Selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.

 Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam

dan steroid serta aminofilin diganti pemberial peroral.

 Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali

obat ß-agonis (hirup atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam.

Steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48

jam untuk reevaluasi tatalaksana.

D. Kriteria Rawat di Ruang Rawat Intensif

Kriteria pasien yang memerlukan perawatan di ICU adalah(6) :

 Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD dan/atau

perburukan asma yang cepat.

 Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas atau

hilangnya kesadaran.

 Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana di ruang rawat inap.

 Ancaman henti napas : hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberikan

oksigen (Kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 > 45 mmHg, walaupun tentu
46

saja gagal napas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih

rendah).

Berdasarkan patofisiologinya, maka secara garis besar terapi farmakokinetika

pada penatalaksanaan asma bronkial meliputi :

1. Mencegah ikatan alergen dengan Ig E(15)

a. Menghindari alergen, tampaknya sederhana, tetapi seringkali sukar dilakukan

b. Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin

ditingkatkan diharapkan tubuh membentuk IgG (blocking antibody) yang akan

mencegah ikatan alergen dengan IgE pada sel mast.

c. Antibodi monoklonal, merupakan agen yang berasal dari DNA rekombinan yang

menghambat pengikatan IgE pada reseptor IgE afinitas tinggi yang terdapat pada sel

mast dan basofil, sehingga mengakibatkan penurunan pelepasan mediator-mediator

alergi. Contoh sediaan ini adalah Xolair dengan merk dagang Omalizumab.(16)

2. Mencegah pelepasan mediator dan meredam inflamasi saluran napas

- Sodium kromoglikat

Sodium kromoglikat salah satu kerjanya mencegah degranulasi sel mast

merupakan obat untuk mencegah serangan asma terutama bila diberikan secara

teratur. Bila diberikan sebelum kegiatan jasmani dapat mencegah EIA (exercise

induced asthma). Mekanisme yang pasti dari natrium kromolin belum sepenuhnya

dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat

pelepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang

bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag,
47

eosinofil, monosit); selain kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target.
(17)

- Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan mediasi jangka panjang yang paling efektif untuk

mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid

menghasilkan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala,

mengurangi frekuensi dan berat serangan. Kortikosteroid memiliki peran penting

dalam penatalaksanaan asma dikarenakan kemampuannya dalam menurunkan proses

inflamasi. Ia terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan simptom, dan

menurunkan frekuensi serangan. (17)

- Leukotrien inhibitor

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui

oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis

semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien

sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme

kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan

bronkokontriksi akibat alergen, sulfurdioksida, dan exercise. Selain bersifat

bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Saat ini yang beredar di Indonesia

adalah zafirlukas (antagonis reseptor sisteinil). Efek samping jarang ditemukan.

Zileuton dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi hati dianjurkan

apabila diberikan terapi zileuton. (17)


48

- Ketotifen

Ketotifen berperan memperkuat dinding sel mast sehingga mencegah

keluarnya mediator dilaporkan dapat merupakan obat pencegahan per oral yang dapat

diberikan 2 kali sehari. (17)

- Magnesium

Magnesium mungkin menurunkan neutrofil yang berhubungan dengan

respons inflamasi pada asma dan juga menstabilkan membran sel mast serta

menghambat ion kalsium sebagai antagonis kompetitif. Mekanisme bronkodilatasi

tidak diketahui,mungkin dengan menghambat kanal kalsium otot polos jalan napas

serta menghalangi mediasi kalsium pada kontraksi otot. Magnesium juga menurunkan

pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction setelah stimulasi parasimpatis.(18)

3. Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator(17)

a. Simpatomimetik

- Agonis β-2 kerja singkat (short acting β-2 agonist)

Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol dan prokaterol

yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai onset yang cepat. Mekanisme kerja

agonis β-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan

mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan modulasi pelepasan

mediator dari sel mast.(17)

- Agonis β-2 kerja lama (long acting β-2 agonist)

Termasuk di dalam agonis β-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan

formoterol yang mempunyai kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimya agonis β-2
49

mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,

menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari

sel mast dan basofil. Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai efek

antiiflamasi walau kecil. Inhalasi agonis β-2 kerja lama yang diberikan jangka lama

mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi

agonis β-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan

preparat oral. (17)

b. Metilsantin

Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah

dibandingkan agonis β-2 kerja singkat. Aminofilin kerja singkat dapat

dipertimbangkan untuk mengatasi untuk mengatasi gejala walaupun disadari onsetnya

lebih lama daripada agonis β-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah

efek bronkodilatasi agonis β-2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat

untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernapasan dan mempertahankan

respons terhadap agonis β-2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan berikutnya.
(17)

Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana metilsantin,

tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin

kerja singkat sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi

teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam serum.
(17)

c. Antikolinergik
50

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan

asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi

dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat

refleks bronkokontriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodiltasi tidak seefektif

agonis β-2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai

efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat

dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi. Termasuk dalam golongan ini adalah

ipratropium bromide dan tiotropium bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan

ipratropium bromide mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi agonis β-2 kerja

singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko

perawatan rumah sakit secara bermakna. Oleh karena itu disarankan menggunakan

kombinasi inhalasi antikolinergik dan agonis β-2 kerja singkat sebagai bronkodilator

pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang respons

dengan agonis β-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak

bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada

penderita yang menunjukkan efek samping dengan agonis β-2 kerja singkat seperti

inhalasi seperti takikardia, aritmia, dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di

mulut dan rasa pahit. (17)

4. Mukolitik

Perlu juga dikemukakan bahwa pada bayi dan anak serangan asma mungkin

lebih banyak disebabkan oleh udem mukosa dan sekresi mukus dibanding dengan

bronkospasme. (17)
51

5. Antibiotik

Tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri

(pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen

dan demam. Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram

positif, dan bakteri atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram

negatif (penyakit gangguan pernapasan kronik) dan bahkan anaerob seperti sinusitis,

bronkiektasis atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). (17)

PROGNOSIS

Beberapa studi menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak

berlanjut menjadi asma pada masa anak-anak dan remajanya. Proporsi kelompok

tersebut berkisar antara 45% hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe

studi, dan lamanya pementauan. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik

pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya

asma dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka kemungkinan

menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3

keadaan berikut yaitu eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada

keadaan bukan flu.(6)

Prognosis pasien pada kasus ini cukup membaik, hal ini berdasarkan pada

perkembangan yang ditampakkan oleh pasien dari hari ke hari berupa berkurangnya

keluhan-keluhan berupa wheezing dan sesak yang terjadi.


52

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus asma serangan berat episode jarang pada

seorang anak perempuan berumur 6 tahun 5 bulan dengan berat badan 14,5 kg yang

dirawat di Ruang Anak RSUD Ulin Banjarmasin. Pasien datang dengan keluhan

utama sesak napas. Diagnosis asma serangan berat episodik jarang ditegakkan

berdasarkan klasifikasi derajat asma yang ditetapkan dalam Pedoman Nasional Asma

Anak PP Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2004. Tahapan diagnosis meliputi

anamnesis (alloanamnesis), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.


53

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan Patofisiologi Asma.


Cermin Dunia Kedokteran 2003; 41: 5-11

2. Neri M, Spanevello, A Chronic bronchial asthma from challenge to treatment:


epidemiology and social impact. Thorax 2000;55;57-58

3. Cokugras H et al, Ultrastructural examination of bronchial biopsy specimens


from children with moderate asthma. Thorax 2001;56;25-29

4. Wong G.W.K et al, Individual allergens as risk factors for asthma and
bronchial hyperresponsiveness in Chinese children. Eur Respir J 2002; 19:
288–293

5. Pohan MYH, Yunus F, Wiyono WH. Asma dan polusi udara. Cermin Dunia
Kedokteran 2003; 41: 27-29

6. Rahajoe N et al, Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi PP


IDAI, 2004

7. Nelson A et al. Nelson Textbook Of Pediatrics. Vol 2 Edisi 15. EGC Jakarta.

8. Rusli A, Yunus F, Wiyono WH. Pengaruh Infeksi Virus pada Perkembangan


Asma. Cermin Dunia Kedokteran 2003; 41: 19-22

9. Canaday P, MD, FCCP. Asthma. e-medicine 2004, diakses 13 Agustus 2006

10. Koh YY, Lee MH, Sun YH, Park Y, Kim CK. Improvement in bronchial
hyperresponsiveness with inhaled corticosteroids in children with asthma.
Importance of family history of bronchial hyperresponsiveness. Am J Respir
Crit Care Med 2002; 166:340-5

11. Melintira I, Yunus F, Wiyono WH. Peranan Infeksi Chlamydia pneumoniae


dan Mycoplasma pneumoniae terhadap Eksaserbasi Asma. Cermin Dunia
Kedokteran 2003; 41: 12-18

12. Sembiring M. Asma dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK UNLAM/RSUD Ulin Banjarmasin

13. Hasan R dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002. Jakarta
54

14. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2 Edisi ke-3. Media


Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. Jakarta:1216-
28

15. Sundaru H. Asma bronkial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
edisi ketiga. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001.
Jakarta:21-32

16. Kelly W, Argyros G. Allergic and enviromental asthma. e-medicine 2004,


diakses 13 Agustus 2006

17. Mangunnegoro H, Widjaja A, Sutoyo DK, Yunus F. Asma pedoman


diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.2004.Jakarta:41-79

18. Harsono BI, Yunus F, Wiyono WH. Peranan magnesium pada asma. Cermin
Dunia Kedokteran 2003; 41:47-51
55

Laporan Kasus

ASMA SERANGAN BERAT EPISODIK JARANG

Oleh :

Rahmad Budianto
NIM. I1A001058

Pembimbing

Dr. H. Ruslan Muhyi, Sp. A (K)

BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM / RSUD ULIN
BANJARMASIN

SEPTEMBER, 2006
56

DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................................ i
Daftar Isi..................................................................................................................... ii
PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
LAPORAN KASUS.................................................................................................. 4
I. Identitas....................................................................................................... 4
II. Anamnesis................................................................................................. 4
III. Pemeriksaan Fisik.................................................................................... 8
IV. Pemeriksaan Laboratorium Sederhana.................................................... 14
V. Resume...................................................................................................... 14
VI. Diagnosa................................................................................................. 16
VII. Penatalaksanaan...................................................................................... 17
VIII. Usulan Pemeriksaan.............................................................................. 17
IX. Prognosis.................................................................................................. 17
X. Pencegahan................................................................................................ 18
XI. Follow Up................................................................................................ 18
DISKUSI................................................................................................................... 21
Definisi........................................................................................................... 21
Epidemiologi.................................................................................................. 23
Patofisiologi................................................................................................... 26
Faktor Risiko.................................................................................................. 31
Etiologi........................................................................................................... 32
Diagnosis........................................................................................................ 34
Diagnosis Banding......................................................................................... 37
Klasifikasi Derajat Penyakit........................................................................... 39
Komplikasi..................................................................................................... 40
Penatalaksanaan............................................................................................. 42
Prognosis........................................................................................................ 51

ii
57

PENUTUP..................................................................................................... 52

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai