Asma bronkial merupakan salah satu penyakit kronis yang menyerang saluran
napas bagian atas dan seringkali dijumpai pada anak-anak. (1,2,3) Penyakit ini cukup
mendapat perhatian serius karena prevalensinya yang cukup tinggi di berbagai negara
Amerika Serikat, pada anak-anak dengan usia berkisar 12 tahun di South Wales,
prevalensi riwayat mengi (wheezing) mengalami peningkatan dari 17% pada tahun
1973 menjadi 22% pada tahun 1988. Sedangkan dalam prevalensi penyakit asma di
dunia, ternyata populasi penduduk di Cina yang mengidap penyakit asma lebih
tingginya tingkat polusi udara, baik di dalam ruangan (indoor) maupun di luar
ruangan (outdoor).(5,6) Polusi udara yang terjadi di dalam ruangan seperti debu
ruangan yang jarang dibersihkan dan juga kadang-kadang asap rokok. Sedangkan
polusi yang terjadi di luar ruangan seperti asap yang disebabkan oleh kendaraan
sesak napas. Oleh sebab itulah, faktor lingkungan sangat memegang peranan penting
Pada penyakit ini, akan dijumpai peningkatan kepekaan saluran napas yang
memicu terjadinya periode mengi yang berulang, sesak napas dan batuk yang
seringkali terjadi pada waktu malam hari. Gejala-gejala ini berhubungan dengan
luasnya inflamasi, hal ini bisa menyebabkan obstruksi saluran napas dengan derajat
yang bervariasi dan bersifat reversible, baik secara spontan maupun dengan
pengobatan.(1,6,7) Hal tersebut bisa diperberat jika ditemukan adanya infeksi pada
saluran napas yang bisa menyebabkan terjadinya eksaserbasi asma, baik pada anak-
anak maupun dewasa. Penyebab tersering infeksi saluran napas adalah infeksi virus
saluran napas dan kelainan struktur anatomi mukosa saluran napas. Dalam beberapa
tahun terakhir, telah dikemukkaan bahwa pada sistem mediator imun, seperti halnya
mediator imun pada saluran napas, sehingga menimbulkan kontraksi otot polos pada
dikategorikan menjadi penyebab alergi dan non alergi, tetapi tidak menutup
dampak yang cukup fatal, bahkan bisa berujung pada kematian. Hasil studi penelitian
yang dilakukan oleh Sears MD, menyebutkan bahwa terjadi peningkatan angka
kematian pada orang muda yang diakibatkan penyakit asma antara tahun 1970-an
3
hingga tahun 1980-an.(2) Berikut dilaporkan sebuah kasus penyakit asma bronkial
serangan berat episode jarang pada seorang anak perempuan berumur 6 tahun 5 bulan
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
1. Identitas penderita :
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pedagang
Banjarmasin
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Banjarmasin
II. ANAMNESIS
Sejak 1 hari SMRS anak mengeluh sesak napas. Sesak napas terjadi
pada malam hari dan tidak berubah dengan perubahan posisi, sehingga anak
tidak bisa tidur pada malam tersebut. Saat sesak tidak disertai warna biru
pada bibir, akan tetapi terdengar adanya mengi pada saat bernapas. Anak
terjadinya sesak. Anak mengaku tidak ada tersedak sebelumnya. Pada pagi
asma. Anak juga tidak memiliki riwayat kontak dengan penderita batuk
lama.
Anak pernah dirawat di rumah sakit karena sesak napas pada umur 3 tahun.
Riwayat Antenatal :
Riwayat Natal :
Penolong : Bidan
Tempat : Rumah
Riwayat Neonatal :
Anak langsung menangis dengan gerakan aktif dan warna kulit seluruh
badan kemerahan.
5. Riwayat perkembangan :
Tiarap : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Duduk : 11 bulan
Berdiri : 13 bulan
Berjalan : 15 bulan
6. Riwayat imunisasi :
7. Makanan :
- Sejak lahir sampai dengan usia 1 tahun anak mendapatkan ASI dengan
bubur SUN, diselingi dengan bubur saring yang ditambahkan wortel yang
- Usia 1,5 tahun sampai sekarang anak mulai mendapatkan makanan seperti
8. Riwayat keluarga :
Ikhtisar keturunan :
Keterangan : = Laki-laki
= Perempuan
= Penderita
8
Susunan keluarga :
1. Tn. H 38 th L Sehat
2. Ny. A 38 th P Sehat
3. An. Y 14 th P Sehat
Anak tinggal bersama kedua orangtuanya di sebuah rumah yang terbuat dari
Keluarga ini menggunakan air dari sumur untuk minum dan memasak, serta
Kesadaran : Komposmentis
GCS : 4-5-6
2. Pengukuran :
Suhu : 35,6 oC
9
Respirasi : 60 x/menit
Lingkar Kepala : 49 cm
Kelembaban : Cukup
Tebal/tipis : Tebal
Distribusi : Merata
Simetris : Isokor
Kornea : Jernih
Serumen : Minimal
5. Leher :
6. Thorak :
a. Dinding dada/paru :
Pernafasan : Thorakal
12
Perkusi : Sonor
b. Jantung :
Auskultasi :
Lokasi :-
Punctum max : -
Penyebaran :-
7. Abdomen
8. Ekstremitas :
- Neurologis :
Lengan Tungkai
Tanda
Kanan Kiri Kanan Kiri
HCT : 44,2 % (n = 35 – 45 %)
Neutrofil : 91 % (n = 54-67%)
V. RESUME
Nama : An. S
Uraian : Sejak 1 hari SMRS sesak (+), terjadi pada malam hari, tidak
wheezing (+). Batuk (-), pilek (-), muntah (-), diare (-).
lama (-)
Pemeriksaan Fisik :
Pernafasan : 60 kali/menit
Suhu : 35,6 oC
Mata : Anemis (-), Ikterik (-), konjungtiva tidak edem dan tidak
cekung
VI. DIAGNOSIS
1. Diagnosa banding :
Asma persisten
3. Status gizi :
WHO-NCHS
CDC 2000
BB ideal = BBI = 17 kg
IBW = x 100%
= 14,5/17 x 100%
VII. PENATALAKSANAAN
- O2 2-3 liter/menit
- Injeksi Deksametason 3 x 2 mg
IX. PROGNOSIS
X. PENCEGAHAN
ruangan yang berdebu atau bila terpapar dengan asap, baik asap kendaraan
XI. FOLLOW UP
25 Agustus 2006
S : Sesak (< ), batuk (-), febris (-), muntah (-), makan (<), minum (+), BAB
Pemeriksaan Fisik :
cukup
cekung (-)
wheezing (+/+)
P : - O2 2-3 liter/menit
tetes/menit
- Injeksi Deksametason 3 x 2 mg
- Infiltrat (–)
- D/ bronkritis kronik
26 Agustus 2006
S : Sesak (-), batuk (-), febris (-), muntah (-), makan (+), minum (+), BAB
Pemeriksaan Fisik :
cukup
cekung (-)
wheezing (-/-)
P : - salbutamol 2 mg
- ampisilin 10 mg
DISKUSI
DEFINISI
dasar mekanisme terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA (Global Initiative for
dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada
orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episod wheezing yang berulang, sesak
napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun
dalam bentuk definisi operasional yaitu wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik
sebagai berikut(6) :
Musiman
saluran napas dan kelainan struktur anatomi mukosa saluran napas. Dalam beberapa
tahun terakhir, telah dikemukkaan bahwa pada sistem mediator imun, seperti halnya
mediator imun pada saluran napas, sehingga menimbulkan kontraksi otot polos pada
dikategorikan menjadi penyebab alergi dan non alergi, tetapi tidak menutup
Pada kasus ini, dijumpai tanda-tanda atau keluhan pasien berupa sesak napas.
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, ditemukan adanya suara napas tambahan berupa
wheezing pada saat ekspirasi yang berulang. Sesak yang terjadi pada kasus ini terjadi
pada mulanya saat malam hari. Tanda-tanda tersebut telah memenuhi kriteria asma
EPIDEMIOLOGI
dunia. Dilaporkan bahwa sejak dua dekade terakhir prevalensi asma meningkat, baik
pada anak-anak maupun dewasa. Asma mempunyai dampak negatif pada kehidupan
penderitanya termasuk untuk anak, seperti menyebabkan anak sering tidak masuk
Prevalensi total asma di dunia diperkiralan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada
Salah satu masalah epidemiologi saat ini adalah mortalitas asma yang relatif
tinggi. Beberapa waktu yang lalu, penyakit asma tidak merupakan penyebab kematian
yang berarti. Namun belakangan ini dilaporkan dari berbagai negara terjadi
peningkatan kematian karena penyakit asma, juga pada anak. Berbagai faktor yang
dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma antara lain aktivitas fisik, alergen,
infeksi, perubahan mendadak suhu udara atau pajanan terhadap iritan respiratorik
seperti asap rokok dan lain sebagainya. Selain itu juga berbagai faktor mempengaruhi
diantaranya yaitu umur, ras, jenis kelamin, tingkat sosio-ekonomi dan faktor
serangan asma, berat ringannya serangan, status asma dan kematian karena penyakit
asma.(5,7)
24
Salah satu penyebab tinggi prevalensi penyakit asma bronkial yaitu adanya
infeksi yang disebabkan oleh virus. Infeksi virus pada saluran napas merupakan
penyebab utama terjadinya mengi pada anak dan dewasa yang menderita asma yaitu
10-85% pada anak dan 10-45% pada dewasa. Virus yang menyebabkan infeksi pada
adenovirus, influensa, dan coronavirus 1,5 seperti tampak pada tabel 1 berikut :
229E
Coronavirus ++ ++
OC43
Influenza A, B, C + + ++ +
RSV A, B + + + + +++
Adenovirus 1-43 + + ++ + +
Keterangan :
cc : common cold +/- : jarang + : diketahui
++ : sering +++ : penyebab utama
Serikat, pada anak-anak dengan usia berkisar 12 tahun di South Wales, prevalensi
riwayat mengi (wheezing) mengalami peningkatan dari 17% pada tahun 1973 menjadi
22% pada tahun 1988. Sedangkan dalam prevalensi penyakit asma di dunia, ternyata
25
populasi penduduk di Cina yang mengidap penyakit asma lebih rendah jika
negara di benua tersebut. Penelitian tersebut dilakukan oleh AIRE (Astma insight &
Reality in Europe) yang meliputi 73.880 rumah tangga, yang berjumlah 213.158
orang. Hasil survei mendapatkan prevalensi populasi current asthma sebesar 2,7%.(6)
menggunakan kuesioner yang baku. Pada tabel berikut akan disajukan beberapa hasil
PATOFISOLOGI
Salah satu gejala yang dialami oleh pasien dalam kasus ini ialah sesak napas.
Tidak hanya itu, pada pasien juga ditemukan adanya suara napas berupa wheezing.
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi : obstruksi saluran respiratorik yang
menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau
pada asma, yakni berupa batuk, sesak, wheezing dan disertai hiperaktivitas saluran
stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi terutama
pada anak.(1,6,7)
Obstruksi saluran napas ini bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat
menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus
otot polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi.(1,7)
27
kepada sel limfosit T dengan bantuan major histocompatibility (MHC) kls II, limfosit
memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang sama akan
sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast, basofil, eosinofil, makrofag
28
dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel tersebut maka sel akan teraktivasi dan
Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-
bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga terjadi proses
toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu penyebab
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas
humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit B
sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi
differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel limfosit T helper (CD4)
dibedakan menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1 mensekresi interleukin-2 (IL-2), IL-3,
tumor necrosis factor-α (TNF-α) sedangkan Th2 mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9,
IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons imun dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen
melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen primer ( primary antigen
presenting cells/APC). Skema itu dapat kita lihat pada gambar 2 sebagai berikut (1,6) :
29
Keterangan :
MHC = major histocompatibility
Ig = imunoglobulin
AHR = airway hiperresponsiveness
eos= eosinofil,
Bas = basofil
yang secara klinik paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggung
30
jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui
tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi
kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran napas terutama peribronkial dapat
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratorik, sel goblet kelenjar
submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat.
dinding saluran respiratorik. Selama ini, asma diyakini merupakan obstruksi saluran
respiratorik yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang
fungsi paru (PFR atau FEV 1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisik,
hiperventilasi, udara kering dan aerosol garam hipertonik, adenosis tidak mempunyai
efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti histamin dan metakolin), akan tetapi
dapat merangsang pelepasan mediator dari sel mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel
lain pada saluran respiratorik. Dikatakan hiperaktif bila dengan cara histamin
didapatkan penurunan FEV 1 20% pada konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.(1)
31
FAKTOR RISIKO
kasus ini yaitu status sosial yang cukup rendah, hal ini terkait dengan kurangnya
diantaranya yaitu(9,11) :
Predisposisi genetik
Atopi
Jenis kelamin
Ras
B. FAKTOR LINGKUNGAN
Alergen kecoa
Jamur
Alergen luar
Tepung sari
32
Jamur
Pajanan pekerjaan
Asap rokok
Perokok pasif
Perokok aktif
Polusi udara
Higiene
Infeksi parasit
Obesitas
ETIOLOGI
otonom, imunologis, infeksi, endokrin, dan psikologis dalam berbagai tingkat pada
berbagai individu. Pengendalian diameter jalan napas dapat dipandang sebagai suatu
diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Faktor humoral membantu
Selain hal-hal tersebut, terdapat beberapa faktor lain yang juga turut berperan
Faktor-faktor imunologis
eksaserbasi terjadi setelah adanya paparan dari faktor lingkungan seperti debu rumah,
serbuksari bunga, dan ketombe. Hal ini seringkali akan meningkatkan kadar
imunoglobulin E ( IgE ) total maupun IgE spesifik pada penderita terhadap antigen-
antigen tersebut. Asma yang tergolong kategori ini, sering dijumpai pada anak-anak
dengan kisaran usia 2 tahun pertama dan pada orang dewasa (asma yang timbul
Faktor endokrin
Asma bronkial dapat menjadi lebih buruk pada pasien dengan keadaan hamil
dan menstruasi, terutama pada premenstruasi atau pada wanita yang menopause.
Sedangkan pada anak dengan masa pubertas, keadaan asma cenderung akan lebih
baik. Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor endokrin pada etiologi dan
Faktor Psikologis
34
Faktor emosi dapat memicu timbulnya gejala-gejala asma pada beberapa anak
dan dewasa. Gangguan emosi dan tingkah laku terkait dengan terapi asma pada
penderita.
Faktor lain
Faktor lain yang juga dapat menjadi pencetus (trigger) terjadinya asma ialah
infeksi saluran napas, faktor fisik (aktivitas fisik yang berlebih), perubahan cuaca,
Dalam kasus asma bronkial ini, diduga salah satu etiologi penyebab
terjadinya serangan asma yaitu faktor imunologis dan faktor aktivitas fisik yang
berlebih. Hal ini mungkin terjadi karena rendahnya asupan gizi pada penderita yang
secara tidak langsung berpengaruh terhadap turunnya daya imunitas pasien terhadap
paparan alergen yang terdapat di lingkungan pasien tinggal. Selain itu, berdasarkan
anamnesis yang dilakukan diketahui bahwa serangan asma terjadi setelah pasien
DIAGNOSIS(12)
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Umumnya diagnosa asma tidak sulit, terutama bila ditemukan gejala klasik
asma yaitu batuk, sesak napas, dan mengi yang timbul secara tiba-tiba dan dapat
35
pencetus.
tanda-tanda yang mengarah pada diagnosis penyakit asma. Beberapa tanda-tanda dari
berupa sesak napas yang pada mulanya terjadi pada malam hari. Sesak napas diiringi
adanya suara napas berupa mengi (wheezing) pada saat penderita menghembuskan
napasnya (ekspirasi). Selain itu, pada pasien diketahui bahwa pasien menjalani
aktivitas yang berat pada pagi harinya yaitu kegiatan olahraga di sekolahnya. Pasien
Pemeriksaan Fisik
pernapasan dan denyut nadi meningkat. Mengi (wheezing) sering terdengar tanpa
penderita baik dengan kesadaran kompos mentis dengan GCS 4-5-6 dan tidak
didapatkan adanya peningkatan frekuensi jantung (160 kali per menit) dan adanya
napas cepat (60 kali per menit). Berdasarkan pemeriksaan auskultasi, dijumpai
36
adanya suara napas tambahan berupa mengi (wheezing) yang merupakan salah satu
Pada pemeriksaan status gizi, pada pasien didapatkan adanya gizi kurang (standar
BB/U pada NCHS) dan mild malnutrition (standar CDC 2000). Hal ini dapat menjadi
salah satu faktor risiko dalam hal terjadinya asma dikarenakan status gizi merupakan
Pemeriksaan Penunjang
Diperlukan uji laboratorium darah dan sputum serta uji fungsi fisiologi paru
guna menunjang diagnosis asma bronkial. Eosinofilia di dalam darah dan sputum
akan mengalami peningkatan. Di dalam darah, eosinofilia akan lebih dari dari 250-
400 sel/mm3. Sedangkan pada sputum juga akan dijumpai adanya eosinofilia, akan
tetapi hal ini tidaklah khas pada penderita asma karena beberapa penyakit anak selain
asma mungkin menyebabkan eosinofilia di dalam sputum. Protein serum dan kadar
imunoglobulin biasanya normal pada penderita asma bronkial, kecuali kadar IgE
mungkin bertambah.(7) Pada pasien ini, hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin
dimungkinkan terjadinya inflamasi pada pasien ini. Jumlah leukosit yang mengalami
menderita asma bronkial. Pada penderita asma, uji ini bermanfaat untuk menilai
Penentuan gas dan pH darah arterial merupakan hal yang penting dalam
di rumah sakit. Penentuan saturasi oksigen dengan oksimetri secara teratur akan
selama stadium awal asma akut. Ketika penyumbatan memburuk, maka PCO 2 akan
meningkat.(7)
Pada foto toraks akan tampak corakan paru yang meningkat. Hiperinflasi
terdapat pada serangan akut dan kronik. Atelektasis kadang-kadang dapat ditemukan.
Pada pasien ini hasil foto toraks didapatkan hasil gambaran infiltrat (-) dan adanya
DIAGNOSIS BANDING
yaitu(7) :
Rhinitis alergika
Sinusitis
Bronkhiolitis
bilateral akibat edema basahnya membran mukosa. Selain itu, pada rhenitis alergika
ditemukan bersin-bersin, hidung yang berair, mata yang terasa gatal dan
mengeluarkan air mata yang berlebihan.(7) Sinusitis mempunyai gejala berupa adanya
38
batuk malam hari, tetapi hal itu jarang karena lebih sering batuk pada siang hari.
Selain itu, juga ditemukan nyeri kepala, nyeri wajah dan bisa ditemukan nanah dalah
meatus media.(7) Dalam kasus ini, rhenitis alergika dapat disingkirkan karena tidak
ditemukannya sesak napas serta suara napas tambahan berupa wheezing yang
mengi sedangkan pada auskulasi akan ditemukan suara ronkhi. (7) Hal ini mirip dengan
asma bronkial, tetapi pada asma wheezing akan timbul secara periodik atau episode.
Selain itu, asma dicetuskan oleh adanya alergen baik dari lingkungan maupun yang
Benda asing pada saluran napas juga dapat menyebabkan sesak pada
penderita. Tetapi diagnosis ini dapat disingkirkan karena pada aloanamnesa dan
pemeriksaan fisik tidak ditemukan akanya tanda-tanda adanya sumbatan benda asing
pada jalan napas atau esofagus, bronkiolotis infeksius, kistik fibrosis, penyakit
alergika, dan berbagai keadaan lebih jarang yang menggangu jalan napas,termasuk
KOMPLIKASI
Penyakit asma bila tidak mendapatkan terapi atau penangan secara benar, bisa
Pneumotoraks spontan
Walaupun ini jarang sekali dijumpai, akan tetapi kadang dapat ditemukan
Pneumomediastinum
Penyakit ini kadang ditemukan pada penderita dengan usia yang cukup muda.
Penyakit ini timbul sebagai suatu proses yang berlangsung secara alamiah,
Empisema
Penyakit ini sering ditemukan terjadi di subdural dan paling sering terjadi
Pneumoperikardium
Penyakit ini jarang ditemukan sebagai komplikasi asma. Akan tetapi bila
terjadi, maka akan lebih sering terjadi pada anak-anak. Hal ini disebabkan
Kasus ini bisa ditemui pada pasien status asmatikus dengan perawatan yang
Pada kasus ini, pasien tidak mengalami komplikasi yang bisa membahayakan
pasien. Hal ini karena pasien cepat mendapatkan pertolongan sehingga komplikasi-
PENATALAKSANAAN
Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan di Unit Gawat Darurat,
langsung dinilai derajat serangannya sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam
panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau fleak
memasyarakat.(6)
penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua
kali dengan selang waktu 20 menit. Pada pemberian ketiga, nebulisasi ditambahkan
obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis
yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis dapat
Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam serangan yang berat,
dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolic, mungkin akan
mengalami takifilasis atau refrakter yaitu respons yang kurang baik terhadap
nebulisasi ß-agonis. Pasien seperti ini cukup sekali dinebulisasi kemudian secepatnya
dirawat untuk mendapat obat intravena selain dibatasi masalah dehidrasi dan
asidosisnya.(6,7)
ringan. Pasien diobservasi selama 1 jam, jika tetap baik, maka pasien dapat
dipulangkan. Pasien dibekai dengan obat ß-agonis (obat hirup atau oral) yang
diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat
ditambahkan steroid oral, namun hanya diberikan untuk jangka waktu yang pendek
(3-5 hari).(6,7)
dengan dosis 0,5-1 mg/kg/BB/hari selama 3-5 hari. Steroid lain yang dapat diberikan
respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada maka pasien
harus dirawat di ruang rawat inap. Bila sejak awal dinilai sebagai serangan berat,
Oksigen 2-4 liter/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur
Jika pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawat di ruang rawat intensif. Untuk pasien dengan serangan berat dan
44
ancaman henti napas, langsung dibuat foto Rontgen thoraks guna komplikasi
metilprednisolon atau prednisone. Pemberian steroid ini dilanjutkan sampai 3-5 hari.
Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat
seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari klinik/ UGD. Bila dalam 12 jam
responnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke ruang rawat inap dengan
Pada penatalaksaan di ruang inap, ada beberapa hal yang dilakukan, yaitu.(6,7)
Jika ada dehidrasi dan asidosis, maka diatasi dengan pemberian cairan intravena
Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. Dosis steroid intravena
0,5-1 mg/kg/BB/hari.
jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian
awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam
Jika pasien telah mendapat amonofilin (kurang dari 8 jam), dosis diberikan
separuhnya.
Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali
obat ß-agonis (hirup atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam.
Steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48
Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD dan/atau
Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas atau
hilangnya kesadaran.
oksigen (Kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 > 45 mmHg, walaupun tentu
46
saja gagal napas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih
rendah).
c. Antibodi monoklonal, merupakan agen yang berasal dari DNA rekombinan yang
menghambat pengikatan IgE pada reseptor IgE afinitas tinggi yang terdapat pada sel
alergi. Contoh sediaan ini adalah Xolair dengan merk dagang Omalizumab.(16)
- Sodium kromoglikat
merupakan obat untuk mencegah serangan asma terutama bila diberikan secara
teratur. Bila diberikan sebelum kegiatan jasmani dapat mencegah EIA (exercise
induced asthma). Mekanisme yang pasti dari natrium kromolin belum sepenuhnya
pelepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang
bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag,
47
eosinofil, monosit); selain kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target.
(17)
- Kortikosteroid
- Leukotrien inhibitor
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Saat ini yang beredar di Indonesia
Zileuton dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi hati dianjurkan
- Ketotifen
keluarnya mediator dilaporkan dapat merupakan obat pencegahan per oral yang dapat
- Magnesium
respons inflamasi pada asma dan juga menstabilkan membran sel mast serta
tidak diketahui,mungkin dengan menghambat kanal kalsium otot polos jalan napas
serta menghalangi mediasi kalsium pada kontraksi otot. Magnesium juga menurunkan
a. Simpatomimetik
yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai onset yang cepat. Mekanisme kerja
agonis β-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan
Termasuk di dalam agonis β-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimya agonis β-2
49
sel mast dan basofil. Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai efek
antiiflamasi walau kecil. Inhalasi agonis β-2 kerja lama yang diberikan jangka lama
agonis β-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan
b. Metilsantin
lebih lama daripada agonis β-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah
efek bronkodilatasi agonis β-2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat
respons terhadap agonis β-2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan berikutnya.
(17)
tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin
kerja singkat sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi
teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam serum.
(17)
c. Antikolinergik
50
dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat
agonis β-2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai
efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat
dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi. Termasuk dalam golongan ini adalah
singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko
perawatan rumah sakit secara bermakna. Oleh karena itu disarankan menggunakan
kombinasi inhalasi antikolinergik dan agonis β-2 kerja singkat sebagai bronkodilator
pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang respons
dengan agonis β-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak
penderita yang menunjukkan efek samping dengan agonis β-2 kerja singkat seperti
inhalasi seperti takikardia, aritmia, dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di
4. Mukolitik
Perlu juga dikemukakan bahwa pada bayi dan anak serangan asma mungkin
lebih banyak disebabkan oleh udem mukosa dan sekresi mukus dibanding dengan
bronkospasme. (17)
51
5. Antibiotik
(pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen
dan demam. Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram
positif, dan bakteri atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram
negatif (penyakit gangguan pernapasan kronik) dan bahkan anaerob seperti sinusitis,
PROGNOSIS
berlanjut menjadi asma pada masa anak-anak dan remajanya. Proporsi kelompok
tersebut berkisar antara 45% hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe
studi, dan lamanya pementauan. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik
pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya
asma dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka kemungkinan
menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3
keadaan berikut yaitu eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada
Prognosis pasien pada kasus ini cukup membaik, hal ini berdasarkan pada
perkembangan yang ditampakkan oleh pasien dari hari ke hari berupa berkurangnya
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus asma serangan berat episode jarang pada
seorang anak perempuan berumur 6 tahun 5 bulan dengan berat badan 14,5 kg yang
dirawat di Ruang Anak RSUD Ulin Banjarmasin. Pasien datang dengan keluhan
utama sesak napas. Diagnosis asma serangan berat episodik jarang ditegakkan
berdasarkan klasifikasi derajat asma yang ditetapkan dalam Pedoman Nasional Asma
Anak PP Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2004. Tahapan diagnosis meliputi
DAFTAR PUSTAKA
4. Wong G.W.K et al, Individual allergens as risk factors for asthma and
bronchial hyperresponsiveness in Chinese children. Eur Respir J 2002; 19:
288–293
5. Pohan MYH, Yunus F, Wiyono WH. Asma dan polusi udara. Cermin Dunia
Kedokteran 2003; 41: 27-29
7. Nelson A et al. Nelson Textbook Of Pediatrics. Vol 2 Edisi 15. EGC Jakarta.
10. Koh YY, Lee MH, Sun YH, Park Y, Kim CK. Improvement in bronchial
hyperresponsiveness with inhaled corticosteroids in children with asthma.
Importance of family history of bronchial hyperresponsiveness. Am J Respir
Crit Care Med 2002; 166:340-5
12. Sembiring M. Asma dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK UNLAM/RSUD Ulin Banjarmasin
13. Hasan R dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002. Jakarta
54
15. Sundaru H. Asma bronkial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
edisi ketiga. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001.
Jakarta:21-32
18. Harsono BI, Yunus F, Wiyono WH. Peranan magnesium pada asma. Cermin
Dunia Kedokteran 2003; 41:47-51
55
Laporan Kasus
Oleh :
Rahmad Budianto
NIM. I1A001058
Pembimbing
SEPTEMBER, 2006
56
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................ i
Daftar Isi..................................................................................................................... ii
PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
LAPORAN KASUS.................................................................................................. 4
I. Identitas....................................................................................................... 4
II. Anamnesis................................................................................................. 4
III. Pemeriksaan Fisik.................................................................................... 8
IV. Pemeriksaan Laboratorium Sederhana.................................................... 14
V. Resume...................................................................................................... 14
VI. Diagnosa................................................................................................. 16
VII. Penatalaksanaan...................................................................................... 17
VIII. Usulan Pemeriksaan.............................................................................. 17
IX. Prognosis.................................................................................................. 17
X. Pencegahan................................................................................................ 18
XI. Follow Up................................................................................................ 18
DISKUSI................................................................................................................... 21
Definisi........................................................................................................... 21
Epidemiologi.................................................................................................. 23
Patofisiologi................................................................................................... 26
Faktor Risiko.................................................................................................. 31
Etiologi........................................................................................................... 32
Diagnosis........................................................................................................ 34
Diagnosis Banding......................................................................................... 37
Klasifikasi Derajat Penyakit........................................................................... 39
Komplikasi..................................................................................................... 40
Penatalaksanaan............................................................................................. 42
Prognosis........................................................................................................ 51
ii
57
PENUTUP..................................................................................................... 52
Daftar Pustaka