Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KASUS

DEMAM TIFOID

Disusun oleh:

Laura Rahardini 1102014147

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Pasar Rebo

Periode 19 November 2018 – 26 Januari 2019

Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi

2018
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien:

1. Nama : An. A. H.
2. Umur : 10 tahun 9 bulan
3. Tanggal lahir : 28 Maret 2008
4. Jenis Kelamin : Perempuan
5. Agama : Islam
6. Alamat : Jl. Manunggal 11 No. 22, Ciracas,
Jakarta Timur
7. Tanggal masuk rumah sakit : 26 November 2018
8. Tanggal pemeriksaan : 30 November 2018
9. Tanggal Keluar : 2 Desember 2018
10. Ruang rawat : Bangsal mawar, 601.1
11. Nomor rekam medis : 2011-320499

B. Identitas Orang tua:

Ayah Ibu
Nama Tn. S Ny. A
Usia 35 tahun 32 tahun
Agama Islam Islam
Pekerjaan Karyawan Swasta Ibu rumah tangga
Alamat Jl. Manunggal 11 No. 22, Ciracas, Jakarta Timur
Hubungan Anak kandung
dengan anak

2
C. Anamnesa:

Anamnesa dilakukan secara Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 30


November 2018.

1. Keluhan Utama:
Demam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.

2. Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke IGD dengan keluhan demam sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Menurut ibu pasien, demam pada pasien naik
turun dan demam dirasakan lebih tinggi saat sore ke malam hari mencapai
suhu 39oC. Demam semakin hari semakin tinggi dan tidak disertai dengan
menggigil dan kejang.
Keluhan lain disertai dengan mual dan muntah sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien muntah 3 kali setiap diberikan makan oleh
ibunya dan muntah pasien berisi makanan yang pasien konsumsi tanpa
disertai lendir ataupun darah. Pasien sulit untuk diberikan makan karena
merasa nyeri saat menelan tetapi pasien dapat minum air putih walaupun
sedikit. BAB pasien dalam batas normal dengan warna coklat, konsistensi
padat, tidak disertai lender dan darah. BAK pasien dalam batas normal
dengan warna kuning keruh dan dalam jumlah yang banyak.
Pasien sempat dibawa oleh ibunya ke klinik pada demam hari
pertama kemudian diberikan obat cefizime 2 x 350 mg dan paracetamol 3 x
250 mg tetapi demam kembali naik.
Keluhan lain seperti nyeri pada sendi, gusi berdarah, mimisan, batuk
dan pilek, sesak, BAB cair, dan merah-merah pada kulit disangkal oleh
pasien.

3
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
1. Pada saat usia 8 tahun, riwayat demam tifoid dirawat selama 5 hari
2. Pasien memiliki riwayat diare
3. Riwayat atopik (-)
4. Asma (-)
5. Disentri (-)
6. Kejang Demam (-)
7. Epilepsi (-)
8. TB (-)

4. Riwayat penyakit keluarga:


1. Ayah dan ibu pasien tidak memiliki keluhan yang sama.
2. Kakak pasien 1 minggu sebelum pasien masuk rumah sakit memiliki
keluhan yang sama dan dirawat selama 5 hari.
3. Adik pasien mengalami keluhan yang sama dan dirawat di rumah
sakit yang berbeda dengan pasien.

5. Silsilah Keluarga (Genogram)

Tn S Ny.A

An.A. H.

Keterangan:
: Laki-laki : Pasien

: Perempuan

4
6. Riwayat Tumbuh Kembang:

Usia Motorik kasar Motorik Bicara Sosial


halus

3 bulan Angkat kepala Menyentuh


tegak dan benda-benda
miring-miring kecil

6 bulan Duduk dan


mulai
merangkak

9 bulan Merambat Mengambil Bicara


mainan kecil dengan satu
kata saja

12 bulan Berjalan tanpa Memegang Mulai Meniru aktivitas


bantuan benda kecil mengoceh orang tuanya
sendiri

2 Tahun Naik tangga Menggambar Mulai dapat


dan berlari coret coretan meneyebut
pakai pensil kata kata
dikertas bola

7. Riwayat Pribadi:
Kehamilan Masalah kehamilan Tidak ada
ANC 8 kali
Kelahiran Tempat persalinan RSUD Pasar Minggu
Penolong persalinan Dokter dan Bidan
Cara persalinan Pervaginam
Usia gestasi 38 minggu

5
Paska lahir Keadaan Bayi Berat lahir :3000 gr
Panjang badan: 50 cm
Lingkar kepala: ibu
lupa
Menangis spontan: ya
Kelainan bawaan:
tidak ada

8. Riwayat Imunisasi:
Ibu pasien mengatakan pasien udah mendapatkan imunisasi dasar lengkap.

9. Riwayat Makanan:
ASI : Sejak lahir sampai umur 1 tahun
MPASI : Mulai pada usia 6 bulan bubur cerelac
Makanan saat ini : Nasi, daging (ayam, sapi, ikan), sayur, dan buah

10. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan:


Pasien tinggal bersama kedua orang tua kandungnya dan kakak
perempuan serta adik laki-lakinya dirumah berukuran sekitar 9 kali 6 meter.
Didalam rumah terdapat 3 kamar tidur dan 1 kamar mandi dengan ventilasi
rumah yang baik. Ayah pasien bekerja sebagai karyawan swasta. Ibu pasien
merupakan ibu rumah tangga yang sehari-hari hanya mengurus anak dan
keperluan dirumah.

11. Riwayat Kebiasaan:


Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, pasien tinggal
bersama kedua orangtua kandungnya, serta kakak dan adiknya. Hubungan
antara orangtuanya dan ketiga anaknya baik. Pasien diasuh oleh ibu
kandungnya setiap hari. Pasien makan mau sehari 3 kali. Pasien bersekolah

6
didaerah dekat dengan rumahnya. Menurut ibu pasien, pasien sering
mengkonsumsi makanan dan minuman yang dijual di luar sekolahnya.

D. Status Generalis
Di Bangsal Mawar 30/11/2018 jam 15:00 WIB
 Keadaan umum : Sakit ringan
 Kesadaran umum : Composmentis, GCS=15
 Nadi : 80 kali/menit regular, isi, teraba kuat
 Suhu : 36,4 oC
 Pernafasan : 20 kali/menit, tidak tampak retraksi
 Saturasi O2 : 98%
 Status Gizi :
a. Berat badan : 36 kg
b. Tinggi badan : 145 cm
c. Lingkar Kepala : 51 cm
d. BB/U : 109% (berat badan cukup) terdapat lampiran
e. TB/U : 105 (tinggi badan normal) terdapat lampiran
f. BB/TB : 97% (gizi cukup) terdapat lampiran
g. LIKA : terletak antara – 2 SD sampai + 2 SD
(normal)Terdapat lampiran

E. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
1. Bentuk : normochepal
2. Rambut : warna hitam, tumbuh teratur, tidak mudah dicabut
3. Posisi : simetris
4. Wajah : tidak sembab, tidak seperti orang tua
5. Dahi Cekung : Tidak ada

7
2. Kulit
1. Warna : Kuning langsat, hipo/hiperpigmentasi (-)
2. Jaringan Parut: Tidak ada
3. Pigmentasi : dalam Batas Normal
4. Turgor : Baik
5. Ikterus : Tidak ada
6. Sianosis : Tidak ada
7. Pucat : Tidak ada
8. Efloresensi : Tidak ada

3. Mata
1. Exophthalmus : Tidak ada
2. Enopthalmus : Tidak ada
3. Edema kelopak : Tidak ada
4. Konjungtiva anemis : -/-
5. Sklera ikterik : -/-
6. Pupil : isokor
7. Refleks cahaya : langsung (+/+), tidak langsung (+/+)
8. Mata cekung : Tidak ada

4. Hidung
1. Bentuk : Normotia
2. Napas cuping hidung : Tidak ditemukan
3. Septum deviasi : Tidak ditemukan
4. Sekret : Tidak ditemukan
5. Telinga
1. Bentuk : dextra dan sinistra Normotia
2. Darah dan sekret : Tidak ditemukan

6. Mulut
1. Trismus : Tidak ada
2. Faring : mukosa hiperemis (-)
3. Lidah : lidah tidak kotor berwarna putih, deviasi (-)

8
4. Uvula : Sulit dinilai
5. Tonsil : T1/T1, mukosa hiperemis (-)
7. Leher
1. Trakea : Ditengah, Tidak deviasi
2. Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran
3. Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran
4. Tarikan nafas : Tidak ada
8. Paru-paru
1. Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris dalam keadaan statis dan
dinamis kanan kiri. Retraksi (-)
2. Palpasi : Tidak teraba kelainan dan masa pada seluruh lapang paru.
Fremitus taktil statis kanan kiri.
3. Perkusi : Terdengar sonor pada seluruh lapang paru.
4. Auskultasi : Suara dasar napas vesicular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
9. Jantung
1. Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
2. Palpasi : Iktus cordis teraba lemah
3. Perkusi :
a. Batas jantung kanan pada ICS III-IV linea sternalis dekstra
b. Batas jantung kiri pada ICS V linea parasternal sinistra
c. Batas pinggang jantung pada ICS II linea parasternalis sinistra
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal regular, gallop (-) murmur (-)
10. Abdomen
1. Inspeksi : Buncit simetris, sikatriks (-), massa (-), hematom (-), spider
nevi (-)
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal, tidak meningkat, bunyi abnormal
(-)
3. Perkusi : Timpani di seluruh kuadran, shifting dullness (-)
4. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba membesar, lien
tidak teraba membesar, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), undulasi (-),
kandung kemih tidak teraba penuh, ascites (-).

9
11. Genitalia
1. Pada genitalia eksterna, terdapat rambut halus pada mons pubis
2. labia mayora yang menutupi labia minor dan klitoris
3. tidak adanya sekret atau cairan abnormal yang keluar dari uretra ataupun
vagina
12. Ekstremitas
1. Akral tidak dingin pada ekstremitas atas dan bawah kanan-kiri
2. Edema tidak ada pada ekstremitas bawah kanan-kiri
3. Capilarry refill time < 3 detik

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium (26-11-2018)
Jenis Pemeriksaan Hasil
Hematologi
Hemoglobin 11,3 g/dL (L)
Hematokrit 36 %
Eritrosit 6,5 juta/uL ^ (H)
Leukosit 16,50 103 /uL (H)
Trombosit 628.000 /uL (H)

Jenis Pemeriksaan Hasil


Serologi - Widal
S. parathypi AH Negatif
S. parathypi AO (+) 1/80
S. parathypi BH Negatif
S. parathypi BO (+) 1/80
S. parathypi CH Negatif
S. parathypi CO Negatif
S. thypi H Negatif

10
S. thypi O Negatif

Pemeriksaan laboratorium (27-11-2018)


Urin Lengkap
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Kimia Urin
Berat Jenis 1.018
Ph 6.0
Glukosa Negatif
Bilirubin Negatif
Keton (1+)
Darah / Hb (2+)
Protein Negatif
Urobilinogen Negatif
Nitrit Negatif
Leukosit Esterase (1+)
Sedimen Flowcytometri
Leukosit 13
Eritrosit 196
Silinder 0.4
Epitel 12
Kristal 0
Bakteri 8
RBC Info Dismorphic

Jenis Pemeriksaan Hasil


Imunologi
Tubex 6

11
G. Resume
Pasien datang ke IGD dengan demam sejak 7 hari sebelum masuk
rumah sakit dengan demam dirasakan naik turun dan semakin tinggi.
Keluhan lain yaitu mual, muntah, dan nyeri saat menelan. Pada
pemeriksaaan fisik tidak ditemukan kelainan. Pada hasil lab ditemukan Hb
yang sedikit menurun dan peningkatan eritrosit, leukosit, dan trombosit.
Hasil pemeriksaan serologi widal (+) 1/80 pada S. parathypi AO dan S.
parathypi BO. Pada pemeriksaan urinalisa ditemukan adanya keton +1,
darah +2, leukosit esterase (+1) dan peningkatan eritrosit dan leukosit pada
sedimen urin. Hasil pemeriksaan imunologi tubex adalah 6.

H. Diagnosis
 Demam Tifoid

I. Diagnosis Banding

 Dengue Haemorragic Fever


 ISK

J. Tatalaksana
Nonmedikamentosa
 Bedrest
 Diet makanan lunak cukup kalori, cukup protein, rendah serat.
 Edukasi untuk menjaga kebersihan atau kehigenisan makanan yang
dimakan oleh anak.
Medikamentosa
- IVFD Kaen 1B 500 cc/ 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 200 mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg
- Paracetamol Tab 4 x 100 mg

12
Follow Up
26 November 2018 jam 19.15 (IGD)
S/. Demam naik turun sejak 1 minggu sebelum masuk RS, mual (+), muntah (-
). BAB cair (-), BAK dalam batas normal, nyeri kepala (+), batuk (-), pilek(-)
O/
Keadaan Umum : sakit ringan GCS: 15
Tanda-tanda Vital
Frekuensi Nadi : 125 x/menit BB : 36 kg
Frekuensi Nafas : 24 x/menit
Suhu : 38,8˚C
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Kepala : normochephal
Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung /
tidak langsung (+/+), cekung (-)
THT : Auricular dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen (-)
Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : mukosa hiperemis (-)
Toraks
Pul: vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing -/-
Cor: BJ1 BJ2 reg. Murmur: (-) Gallop: (-)
Abdomen : Bising Usus (+) Nyeri Tekan (-) Turgor (baik)
Ekstremitas : Akral Hangat (+)
A/ Prolonged febris pada bacterial infection
Susp. Demam tifoid
P / Jam 21.20 konsul dengan dr Evi, Sp.A
- IVFD Kaen 1B 1000 cc/ 24 jam
- Inj. Cefotaxime 3 x 100 mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg
- Sanmol Tab 4 x 100 mg (p.o)
→ cek urin sedimen dan TUBEX diruangan

13
27 November 2018 jam 05.00 (Ruangan Mawar)
S/ demam naik turun, mual (+), muntah (+) 1x, makan hanya 3 sendok makan,
minum (+), BAK (+), BAB (-), batuk (-), pilek (-), nyeri perut (-)
O/
Tanda-tanda Vital
Frekuensi Nadi : 90 x/menit
Suhu : 38,4˚C
Tekanan Darah : 99/60 mmHg
Pernafasan : 22x/menit
Kepala : normochephal
Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung / tidak
langsung (+/+), cekung (-)
THT : Auricular dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen (-)
Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : mukosa hiperemis (-)
Mulut dan bibir : lembab, sianosis (-), stomatitis (-), caries gigi (-), pucat (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-), trachea terletak di
tengah.
Toraks
Pul: vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing -/-
Cor: BJ1 BJ2 reg. Murmur: (-) Gallop: (-)
Abdomen : Bising Usus (+) Nyeri Tekan (-) Turgor (baik)
Ekstremitas : Akral Hangat (+)
A/ Susp. Demam tifoid
P/- IVFD Kaen 1B 500 cc/ 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2000 mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg
- Paracetamol Tab 4 x 100 mg

14
28 November 2018 jam 05.00 Mawar
S/ demam (+), semalam demam sampai 38˚C kemudian diberikan parasetamol
demam kemudian turun, mual (+), muntah (+) 3 kali, BAK (+), BAB (+) normal,
nafsu makan masih menurun.

O/
Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Composmentis, GCS= 15
Tanda-tanda Vital
Frekuensi Nadi : 77 x/menit
Frekuensi Nafas : 24 x/menit (Retraksi -)
Sp02 : 98%
Suhu : 36,6˚C
Tekanan Darah : 96/62 mmHg
Kepala : normochephal
Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung / tidak
langsung (+/+), cekung (-)
THT : Auricular dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen (-)
Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : mukosa hiperemis (-)
Mulut dan bibir : lembab, sianosis (-), stomatitis (-), caries gigi (-), pucat (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-), trachea terletak di
tengah.
Toraks Pul: vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing -/-
Cor: BJ1 BJ2 reg. Murmur: (-) Gallop: (-)
Abdomen : Bising Usus (+) Nyeri Tekan (-) Turgor (baik)
Ekstremitas : Akral Hangat (+) Edem a(-)
A/ demam tifoid
P/- IVFD Kaen 1B 500 cc/ 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2000 mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg
- Paracetamol Tab 4 x 100 mg

15
29 November 2018 jam 05.00 Mawar
S/ demam (+), saat sore dan malam hari dengan suhu terukur 38 ˚C, mual (-),
muntah (-), BAK (+), BAB (+) normal, nafsu makan masih menurun.
O/
Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Composmentis, GCS= 15
Tanda-tanda Vital
Frekuensi Nadi : 125 x/menit
Frekuensi Nafas : 24 x/menit (Retraksi -)
SpO2 : 99%
Suhu : 37˚C
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Kepala : normochephal
Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung / tidak
langsung (+/+), cekung (-)
THT : Auricular dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen (-)
Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : mukosa hiperemis (-)
Mulut dan bibir : lembab, sianosis (-), stomatitis (-), caries gigi (-), pucat (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-), trachea terletak di
tengah.
Toraks Pul: vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing -/-
Cor: BJ1 BJ2 reg. Murmur: (-) Gallop: (-)
Abdomen : Bising Usus (+) Nyeri Tekan (-) Turgor (baik)
Ekstremitas : Akral Hangat (+) Edema(-)
A/ demam tifoid
P/- IVFD Kaen 1B 500 cc/ 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2000 mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg

16
30 November 2018 jam 05.30
S: demam (+) pukul 00.00 dengan suhu terukur 39˚C setelah diberikan obat langsung
turun demamnya. Mual (-), muntah (-), BAB (+) lunak berwarna coklat 1 kali, BAK
(+), nafsu makan membaik sudah makan 3 kali sehari dan minum cukup.
Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Composmentis, GCS= 15
Tanda-tanda Vital
Frekuensi Nadi : 80 x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Sp02 : 99%
Suhu : 36˚C
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Kepala : normochephal
Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung / tidak
langsung (+/+), cekung (-)
THT : Auricular dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen (-)
Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : mukosa hiperemis (-)
Mulut dan bibir : lembab, sianosis (-), stomatitis (-), caries gigi (-), pucat (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-), trachea terletak di
tengah.
Toraks Pul: vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing -/-
Cor: BJ1 BJ2 reg. Murmur: (-) Gallop: (-)
Abdomen : Bising Usus (+) Nyeri Tekan (-) Turgor (baik)
Ekstremitas : Akral Hangat (+) Edema(-)
A/ demam tifoid
P/- IVFD Kaen 1B 500 cc/ 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2000 mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg

17
1 Desember 2018 jam 05.30
S: demam (+) pukul 18.00 (30/11) dengan suhu 38 ˚C, mual (-), nyeri menelan (-),
BAB (+), BAK (+), nafsu makan membaik
Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Composmentis, GCS= 15
Tanda-tanda Vital
Frekuensi Nadi : 100 x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Sp02 : 99%
Suhu : 36˚C
Tekanan Darah : 105/60 mmHg
Kepala : normochephal
Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung / tidak
langsung (+/+), cekung (-)
THT : Auricular dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen (-)
Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : mukosa hiperemis (-)
Mulut dan bibir : lembab, sianosis (-), stomatitis (-), caries gigi (-), pucat (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-), trachea terletak di
tengah.
Toraks Pul: vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing -/-
Cor: BJ1 BJ2 reg. Murmur: (-) Gallop: (-)
Abdomen : Bising Usus (+) Nyeri Tekan (-) Turgor (baik)
Ekstremitas : Akral Hangat (+) Edema(-)
A/ demam tifoid
Tonsilofaringitis
P/- IVFD Kaen 1B 500 cc/ 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2000 mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg

18
K. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam


Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

19
TINJAUAN PUSTAKA

DEMAM TIFOID

1.1 DEFINISI

Demam tifoid adalah infeksi yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi. Penyakit ini biasanya menyebar melalui makanan atau air
yang terkontaminasi. Setelah bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh lewat
dimakan atau diminum, mereka berkembang biak dan menyebar ke dalam aliran
darah. Demam tifoid, juga dikenal sebagai demam enterik, adalah penyakit
multisistemik yang berpotensi fatal yang disebabkan terutama oleh Salmonella
enterica, subspesies enterica serovar typhi dan, pada tingkat yang lebih rendah,
serovar terkait paratyphi A, B, dan C.

1.2 EPIDEMIOLOGI
Perbaikan kondisi hidup dan pengenalan antibiotik menghasilkan
penurunan drastis morbiditas dan mortalitas demam tifoid di negara-negara
industri. Di daerah berkembang di Afrika, Amerika, Asia Tenggara dan wilayah
Pasifik Barat, bagaimanapun, penyakit ini terus menjadi masalah kesehatan
masyarakat. WHO memperkirakan beban penyakit demam tifoid global pada 11-20
juta kasus per tahun, menghasilkan sekitar 128 000-161 kematian per tahun.
Risiko tifoid lebih tinggi pada populasi yang tidak memiliki akses ke air
yang aman dan sanitasi yang memadai. Masyarakat miskin dan kelompok rentan
termasuk anak-anak berisiko paling tinggi. Perbaikan kondisi hidup dan pengenalan
antibiotik menghasilkan penurunan drastis morbiditas dan mortalitas demam tifoid
di negara-negara industri. Di daerah berkembang di Afrika, Amerika, Asia
Tenggara dan wilayah Pasifik Barat, bagaimanapun, penyakit ini terus menjadi
masalah kesehatan masyarakat.
WHO memperkirakan beban penyakit demam tifoid global pada 11-20 juta
kasus per tahun, menghasilkan sekitar 128 000-161 kematian per tahun. Risiko
tifoid lebih tinggi pada populasi yang tidak memiliki akses ke air yang aman dan

20
sanitasi yang memadai. Masyarakat miskin dan kelompok rentan termasuk anak-
anak berisiko paling tinggi.

1.3 ETIOLOGI

 Struktur

Bakteri Salmonellosis adalah bakteri yang menular dengan


kecepatan luar biasa, dan bisa memperburuk dalam waktu yang sangat
cepat. Infeksi Salmonella, disebabkan oleh bakteri Salmonellosis, bisa
menyebabkan dehidrasi ekstrim dan juga kematian. Salmonellosis
disebarkan kepada orang-orang dengan memakan bakteri Salmonella yang
mengkontaminasi dan mencemari makanan. Salmonella ada diseluruh dunia
dan dapat mencemari hampir segala tipe makanan. Namun sumber dari
penyakit baru-baru ini melibatkan makanan-makanan seperti telur-telur
mentah, daging mentah, sayur-sayur segar, sereal, dan air yang tercemar.

Salmonella bersifat host-adapted pada hewan dan infeksi pada


manusia biasanya mengenai usus. Infeksi muncul dala m bentuk diare akut
yang sembuh sendiri. Pada beberapa kesempatan organisme ini dapat
menyebabkan penyakit yang invasif, meliputi bakteremia dan septikemia
yang mengancam. Organisme ini ditemukan pada hewan dosmetik.
Transmisinya melalui fekal-oral, biasanya dari mengingesti makanan yang
terkontaminasi.

 Daur hidup dan morfologi

Morfologi

 Berbentuk batang, tidak berspora, bersifat negatif pada pewarnaan


Gram.
 Ukuran Salmonella bervariasi 1–3,5 µm x 0,5–0,8 µm.
 Besar koloni rata-rata 2–4 mm.
 Optimal 37,5oC) dan pH pertumbuhan 6–8.

21
 Mudah tumbuh pada medium sederhana, misalnya garam empedu.
 Tidak dapat tumbuh dalam larutan KCN.
 Membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa.
 Menghasikan H2S.
 Antigen O: bagian terluar dari lipopolisakarida dinding sel dan
terdiri dari unit polisakarida yang berulang. Beberapa polisakarida
O-spesifik mengandung gula yang unik. Antigan O resisten terhadap
panas dan alkohol dan biasanya terdeteksi oleh aglutinasi bakteri.
Antibodi terhadap antigen O terutama adalah IgM.
 Antigen Vi atau K: terletak di luar antigen O, merupakan
polisakarida dan yang lainnya merupakan protein. Antigen K dapat
mengganggu aglutinasi dengan antiserum O, dan dapat berhubungan
dengan virulensi. Dapat diidentifikasi dengan uji pembengkakan
kapsul dengan antiserum spesifik.
 Antigen H: terdapat di flagel dan didenaturasi atau dirusak oleh
panas dan alkohol. Antigen dipertahankan dengan memberikan
formalin pada beberapa bakteri yang motil. Antigen H beraglutinasi
dengan anti-H dan IgG. Penentu dalam antigen H adalah fungsi
sekuens asam amino pada protein flagel (flagelin). Antigen H pada
permukaan bakteri dapat mengganggu aglutinasi dengan antibodi
antigen O.
 Organisme dapat kehilangan antigen H dan menjadi tidak motil.
 Kehilangan antigen O dapat menimbulkan perubahan bentuk koloni
yang halus menjadi kasar.
 Antigen Vi atau Sebagian besar isolat motil dengan flagel peritrik.
 Tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15–
41oC (suhu pertumbuhan
 K dapat hilang sebagian atau seluruhnya dalam proses transduksi.

22
(Jawezt et al, 2004)

Siklus Hidup Salmonella typhi

1. Infeksi terjadi dari memakan makanan yang terkontaminasi dengan


feses yang terdapat bakteri Salmonella typhi dari organisme pembawa
(host).

2. Setelah masuk dalam saluran pencernaan, maka S. typhi menyerang


dinding usus yang menyebabkan kerusakan dan peradangan.

3. Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena


dapat menembus dinding usus tadi ke organ-organ lain, seperti hati,
limpa, paru-paru, tulang-tulang sendi, plasenta dan dapat menembus
sehingga menyerang fetus pada wanita atau hewan betina yang hamil,
serta menyerang membran yang menyelubungi otak.

4. Substansi racun dapat diproduksi oleh bakteri dan dapat dilepaskan dan
mempengaruhi keseimbangan tubuh.

5. Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi, pada fesesnya terdapat


kumpulan S. typhi yang dapat bertahan sampai berminggu-minggu atau
berbulan-bulan.

6. Bakteri tersebut tahan terhadap range temperatur yang luas sehingga


dapat bertahan hidup berbulan-bulan dalam tanah atau air.

23
 Cara Infeksi

Makanan yang mengandung salmonella belum tentu menyebabkan


infeksi salmonella, tergantung jenis bakteri, jumlah dan tingkat virulensi
(sifat racun dari suatu mikroorganisme). Misalnya saja Salmonella
enteriditis baru menyebabkan gejala bila sudah berkembang biak menjadi
100.000, dalam hal ini bisa saja si penderita meninggal. Perkembangan
Salmonella pada tubuh manusia dapat dihambat dengan asam lambung yang
ada di tubuh kita.

Makanan, termasuk daging dan hasil olahan daging, telur, ikan,


susu, produk dari susu, dan sayuran yang tercemar tinja dapat pula
menularkan bakteri ini. Makanan yang telah dimasak dapat tercemar bakteri
Salmonella sp. lewat sisa-sisa bahan makanan mentah yang masih
menempel pada peralatan dapur seperti pisau, talenan, dsb. Tikus, lalat,
kecoa, dan serangga lain juga merupakan penularan yang potensial bagi
manusia dan ternak. Letupan salmonellosis dapat terjadi berupa keracunan
makanan lewat produk restoran atau jasa catering. Penelitian juga
membuktikan bahwa penularan demam tifoid dan demam enterik lain
terutama disebabkan oleh penularan dari orang ke orang. Penularan yang
paling sering terjadi yaitu melalui air yang tercemar oleh tinja yang
mengandung salmonella.

 Sifat

Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri


Gram-negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk
spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope
antigen (K) yang terdiri atas polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipoposakrida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan
dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid
faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotic.

24
1.4 PATOGENESIS

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke


dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, dan sebagian lolos masuk
ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel
– sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel – sel fagosit terutama di makrofag.
Kuman dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui ductus torasikus
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
dan menyebar ke seluruh organ retulendotellial tubuh terutama hati dan
limpa. Di organ – organ ini kuman meninggalkan sel – sel fagosit dan
kemudian berkembang baik di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda – tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,


dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen
ususu. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang terulang kembali,
karena makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mendiator inflamasi yang
selanjtnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan vascular dan
koagulasi.

Di dalam Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi


hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Pendarahan saluran cerna dapat terjadu akibat erosi pembuluh darah sekitar

25
plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
akumulasi sel – sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.

26
1.6 MANIFESTASI KLINIS

Sindrom demam tifoid klasik

Sindrom klinis yang terkait dengan S. typhi dan paratyphi tidak dapat
dibedakan. Demam tifoid dimulai 7-14 hari setelah konsumsi makanan atau
minuman yang mengandung organisme penyebab. Pola demam adalah langkah
demi langkah, ditandai dengan meningkatnya suhu selama setiap hari yang turun
pada pagi berikutnya. Puncak dan palung naik secara progresif seiring waktu.

Selama minggu pertama penyakit, manifestasi gastrointestinal yang


dominan dari penyakit ini berkembang. Ini termasuk nyeri perut difus dan nyeri
tekan dan, dalam beberapa kasus, nyeri kuadran kanan atas kolik yang ganas.
Infiltrasi monositik memompa patch Peyer dan menyempitkan lumen usus,
menyebabkan konstipasi yang berlangsung selama durasi penyakit. Individu
kemudian mengembangkan batuk kering, sakit kepala frontal yang tumpul,
delirium, dan malaise yang semakin sulit.

Pada sekitar akhir minggu pertama penyakit, demam tinggi di 103-104 ° F


(39-40 ° C). Pasien mengembangkan bintik-bintik mawar, yang berwarna salmon,
blanching, pada bagian trunkus, makulopapul biasanya 1-4 cm lebar dan kurang
dari 5 jumlahnya; ini umumnya sembuh dalam 2-5 hari. Ini adalah emboli bakteri
ke dermis dan kadang-kadang berkembang pada orang dengan shigellosis atau
salmonellosis nontyphoidal.

Selama minggu kedua penyakit, tanda dan gejala yang tercantum di atas
mengalami kemajuan. Perut menjadi buncit, dan splenomegali lunak sering terjadi.
Bradikardia relatif dan pulsa dicrotic (double beat, detakan kedua lebih lemah dari
yang pertama) dapat berkembang.

Pada minggu ketiga, individu yang masih demam tumbuh lebih beracun dan
anoreksia dengan penurunan berat badan yang signifikan. Konjungtiva terinfeksi,
dan pasien mengalami tachypneic dengan denyut nadi dan ronki di atas dasar paru-

27
paru. Distensi abdomen parah. Beberapa pasien mengalami busuk, hijau-kuning,
cairan diare (diare sup kacang). Individu dapat turun ke keadaan tifoid, yang
ditandai dengan sikap apatis, kebingungan, dan bahkan psikosis. Peyer necrotic
patch dapat menyebabkan perforasi usus dan peritonitis. Komplikasi ini sering tidak
terdeteksi dan mungkin ditutupi oleh kortikosteroid. Pada titik ini, toksemia yang
luar biasa, miokarditis, atau perdarahan usus dapat menyebabkan kematian.

Jika individu bertahan hingga minggu keempat, demam, keadaan mental,


dan distensi abdomen perlahan membaik dalam beberapa hari. Komplikasi usus dan
neurologis masih dapat terjadi pada individu yang tidak diobati. Berat badan dan
kelemahan melemahkan bulan lalu. Beberapa orang yang selamat menjadi
pembawa S. typhi tanpa gejala dan memiliki potensi untuk menularkan bakteri
tanpa batas.

Berbagai presentasi klinis demam tifoid

Perjalanan klinis individu tertentu dengan demam tifoid dapat menyimpang


dari uraian di atas penyakit klasik. Waktu terjadinya gejala dan respons inang dapat
bervariasi berdasarkan wilayah geografis, faktor ras, dan strain bakteri yang
menginfeksi. Pola demam stepladder yang pernah menjadi ciri khas demam tifoid
sekarang terjadi hanya dalam 12% kasus. Dalam kebanyakan presentasi
kontemporer demam tifoid, demam memiliki onset berbahaya yang stabil.

Anak-anak kecil, orang dengan AIDS, dan sepertiga dari orang dewasa
imunokompeten yang terjangkit demam tifoid mengembangkan gejala klinis diare
daripada sembelit. Selain itu, di beberapa daerah, demam tifoid umumnya lebih
cenderung menyebabkan diare daripada sembelit.

Manifestasi atipikal demam tifoid termasuk sakit kepala berat yang


terisolasi yang mungkin meniru meningitis, pneumonia lobar akut, artralgia
terisolasi, gejala kencing, ikterus berat, atau demam saja. Beberapa pasien, terutama
di India dan Afrika, hadir terutama dengan manifestasi neurologis seperti delirium
atau, dalam kasus yang sangat jarang, gejala parkinsonian atau sindrom Guillain-

28
Barré. Komplikasi lain yang tidak biasa termasuk pankreatitis, meningitis, orkitis,
osteomielitis, dan abses di mana saja pada tubuh.

1.7 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

1. Anamnesis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Maas tunas rata-rata 10-20 hari.
Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan,sedangkan yang
terlamasampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi
mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu perasaan tidak enak badan,
lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul
gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :

a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat
febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama,
suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun
pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam
minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali
pada kahir minggu ketiga

b. Gangguan saluran pencernaan


Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap. Bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung. Hati dan limfa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula
normal, bahkan dapat terjadi diare.

29
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan gelisah.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5–40 hari dengan
rata-rata antara 10–40 hari.Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal
tersebut dapat terjadi disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi
dan imunologik penjamu, serta lama sakit di rumahnya.Penampilan demam
pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder
temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian
naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir
minggu pertama. Setelah itu demam akan bertahan tinggi. Pada minggu ke-
4, demam turun perlahan secara lisis. Demam lebih tinggi saat sore dan
malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis. Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas,
yaitu berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti
dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput,
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium, dan psikosis.

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai
sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit
normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum
tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga

30
leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam
peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat
pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit
jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis
relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right
bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid
dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah
yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan
tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan
spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung
pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai
untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium
dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi:
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan
sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara
antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip

31
uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda
ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum
terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi
yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi
dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap
menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih
cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih
tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih
lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan
biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi
biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi
hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%.
Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid,
akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter
mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau
pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca

32
imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti
mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya
sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang
terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan denganpenderita dan faktor teknis.
 Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian
kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu
atau vaksinasi.
 Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
 Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian
paling sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –>nggak
sembuh dalam 5 hari –> tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
 Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S.
paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga

33
menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa
menimbulkan hasil positif palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan
tifoid).
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen
O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella
serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi
IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa
tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik
daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.

Ada 4 interpretasi hasil:


 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
 Immunodominan yang kuat

34
 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi
(antigen Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen
yang sangat kuat terhadap sel B.
 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T
sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat
dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor
yang lain.
 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX:
 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut
sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana
didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan
antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-
M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah
dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan
pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.

35
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus
demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan
sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan
nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16 Sedangkan penelitian oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar
76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%.Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan


salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan
demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA
lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu
diikuti dengan uji Widal positif.Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini
dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur
untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan
akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan


sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan
untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah
(karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),
tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara
luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana
dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah
bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum
ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan
pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah
penerimaan serum pasien.
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,

36
antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap
antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40%
pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi
pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas
65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial
serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada
deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi
urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi
tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu
pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan
adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa
yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-humanimmobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan,
tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang
dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas
sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian
lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar

37
96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan
serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam
tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau
di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia
perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan


bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya
di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi


hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume
darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada


anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.Bakteri dalam sumsum
tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum
tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah
walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi
dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil

38
karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat


pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan
biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu
pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan
rasio darah dengan media kultur yang dipakai.Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas
karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit
dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau
dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat
invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan
tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada
anak.Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas
kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh


keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika,
jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang
tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai


sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang

39
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk
identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai
sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah


mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam
darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA
dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi
antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR


sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada
penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL
darah.Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas
sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji
Widal (35.6%).

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini


meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang
terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-
bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin
dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu
dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif
rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum
memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya
masih terbatas dalam laboratorium penelitian.

40
KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan


gastrointestinal dan mungkin disertai dengan perubahan atau gangguan kesadaran,
dengan kriteria ini seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam
tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi dan darah.

DIAGNOSIS BANDING

1. Abses perut
2. Amebic Liver / Hepatic Abscesses
3. Radang usus buntu
4. Brucellosis
5. Dengue
6. Influenza
7. Leishmaniasis
8. Malaria
9. Penyakit Rickettsial
10. Toksoplasmosis
11. Tuberkulosis (TB)
12. Tularemia

1.8 PENATALAKSANAAN

1. Medikamentosa
a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi


antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman
dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,
sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna

41
yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na
yaitu antrain atau Novalgin.

b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah:
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-
anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian
intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari
atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan
infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh,
dan carier.

 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika


trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi
dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan
untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu.
Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara
antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.

 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah


dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun

42
untuk anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup
efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi
menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih
lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),


merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih
dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap
Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100
mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-
7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi
dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan
Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg
dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai
48 jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-


kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.

2. Non medikamentosa
a. Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu.


Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai
pemulihan.5
b. Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah
serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita

43
namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa
(rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur
lunak, tim, dan nasi biasa.
c. Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral


maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit
berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan
harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
b. Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya


menurunkan suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada
daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum
tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas dihipotalamus
dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai
berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah
diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak,
dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi
vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/
kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat),
diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan
suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat,
makapusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga
sebaliknya.7

44
1.9 KOMPLIKASI

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :


1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja
dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai
nyeri perut dengan tanda – tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan
terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga
peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara
hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa
perforasi ususdengan adanya gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat,
dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.

2. Komplikasi diluar usus halus


a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan
dan disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi
sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut.
Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi
minggu kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila
terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang
karier.

45
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis
berupa kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi,
pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang
maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh
gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering
didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan
gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata
peyebabnya adalah Salmonella havanadan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta
gambaran klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur
7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan
ketiga.Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi,
depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I,
aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri
Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh.
Sistitis maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam
tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan
glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala
penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella
typhosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces
selama tiga bulan.Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen.
Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah

46
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki
bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi
menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada
kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus
urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin
memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.

1.10 PROGNOSIS

Prognosis di antara orang dengan demam tifoid terutama tergantung pada


kecepatan diagnosis dan inisiasi pengobatan yang benar. Umumnya, demam tifoid
yang tidak diobati memiliki tingkat mortalitas 10% -20%. Pada penyakit yang
diobati dengan benar, tingkat kematian kurang dari 1%.

Sejumlah pasien yang tidak spesifik mengalami komplikasi jangka panjang


atau permanen, termasuk gejala neuropsikiatrik dan tingginya tingkat kanker
gastrointestinal.

47
DAFTAR PUSTAKA

2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Edisi VI Jilid I. Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam : Jakarta.

Behrman, R. E., dkk., 2012. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. EGC. Jakarta
Brusch, John L. 2018. Typhoid Fever. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/231135-overview#a5 pada tanggal 10
Desember 2018.
CDC. 2018. Typhoid Fever and Paratyphoid Fever. Diakses dari
https://www.cdc.gov/typhoid-fever/index.html pada tanggal 10 Desember 2018.
Soedarmo, S.S.P, Gama, H., Hadinegoro, S.R.S. , and Satari, H.I. 2012. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Jakarta

World Health Organization (WHO). 2011. Guidelines for the Management of


Typhoid Fever. Diunduh dari
http://apps.who.int/medicinedocs/documents/s20994en/s20994en.pdf pada tanggal
9 Desember 2018.
World Health Organization (WHO). 2018. Typhoid Fever. Diakses dari
https://www.who.int/mediacentre/factsheets/typhoid/en/ pada tanggal 9 Desember
2018.

48

Anda mungkin juga menyukai