Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

DEMAM TIFOID

Disusun Oleh:

Inggrid Napitupulu (140100146)

Zsizsi Akbarinda (140100012)

Pembimbing :

dr. Lili Rachmawati, Sp.A, IBCLC

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK

2018
Laporan kasus

Demam Tifoid

Penyaji : Inggrid Napitupulu (140100146) dan Zsizsi Akbarinda

(140100012)

Hari/ Tanggal :

Pembimbing : dr. Lili Rachmawati, Sp. A, IBCLC

PENDAHULUAN

Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, khususnya di

negara-negara berkembang termasuk Indonesia. WHO memperkirakan terdapat 17 juta

kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insiden 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di

negara-negara dengan status endemis demam tifoid, 95% merupakan kasus rawat jalan

sehingga insiden yang sebenarnya 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap rumah

sakit.1

Demam tifoid (demam enterik atau tifus abdominalis) merupakan penyakit infeksi

sistemik yang disebabkan oleh kuman batang gram negatif Salmonella typhi maupun

Salmonella paratyphi.Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan

reservoar untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari

di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah

terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi banyak terjadi

pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang infeksius adalah 103 -
106organisme yang tertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air

yang tekontaminasi oleh feses.2

Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-

19 tahun dan menempati urutan ketiga diantara negara-negara di dunia. Penyakit ini

didapatkan sepanjang tahun dengan angka kesakitan pertahun mecapai 157/100.000

populasi pada daerah semi rural dan 810/100.000 populasi pada daerah urban dan

cenderung meningkat setiap tahunnya. Menurut riset kesehatan dasar yang dilakuakan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes tahun 2007 berdasarkan pola

penyebab kematian semua umur, tifoid merupakan penyebab kematian peringkat ke-15

dengan proporsi 1,6%.3Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5-14 tahun (1,9%),

usia 1-4 tahun (1,6%), usia 15-24 tahun (1,5%), dan usia <1 tahun (0,8%).3
LAPORAN KASUS

STATUS ORANG SAKIT

Nama : RPR
Usia : 11 tahun 10 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Dr. Mansyur Gg. Sehat no.2
Nomor MR : 05.68.55
Tanggal masuk : 13/08/2018
Keluhan utama : Demam
Telaah :
- Demam dialami pasien sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam tidak
mendadak, muncul perlahan, dan awalnya tidak terlalu tinggi. Namun demam
semakin memberat setiap hari dan mencapai suhu 39°C (9/8/18). Demam bersifat
hilang timbul, terutama meningkat pada sore hingga menjelang malam hari dan
membaik pada pagi hari. Demam turun beberapa saat setelah minum obat penurun
panas, namun kemudian naik lagi. Demam tidak disertai dengan menggigil. Demam
tidak disertai dengan kejang.
- Nyeri kepala dialami pasien sejak 3 hari yang lalu. Nyeri bersifat hilang timbul dan
dirasakan seperti berdenyut pada bagian frontal dengan VAS 6.
- Nyeri sendi dan nyeri otot tidak dijumpai.
- Nyeri perut dialami pasien sejak 3 hari yang lalu. Nyeri bersifat hilang timbul pada
regio umbilikus dan hipogastrium. Nyeri dirasakan seperti tertusuk dan panas,
dengan VAS 5.
- Keluhan mual dan muntah dijumpai dengan frekuensi 1-2x/hari, isi muntahan
berupa makanan dan minuman.
- Penurunan asupan makan dan minum dijumpai.
- Nyeri menelan tidak dijumpai.
- Keluhan batuk dijumpai sejak 3 hari yang lalu. Batuk dialami sesekali dan tidak
berdahak.
- Riwayat perdarahan spontan seperti perdarahan mukosa hidung, perdarahan gusi
ataupun bintik merah tidak dijumpai.
- Riwayat bepergian keluar kota dalam 1 bulan ini disangkal oleh pasien.
- Riwayat keluarga / tetangga / teman sekolah menderita keluhan yang sama tidak
dijumpai.
- Pasien mengaku membeli jajan setiap hari dipinggir jalan.
- BAK dalam batas normal, nyeri saat BAK tidak dijumpai, BAK keruh tidak
dijumpai.
- BAB mencret dialami pasien sejak 1 minggu yang lalu, namun pasien bisa buang
angin.
- Riwayat penyakit terdahulu :-
- Riwayat penggunaan obat : Paracetamol
- Riwayat kehamilan : Ibu pasien memeriksakan kehamilannya ke bidan
sebulan sekali. Riwayat sakit saat hamil tidak dijumpai. Riwayat konsumsi jamu
dan obat-obatan saat hamil tidak dijumpai.
- Riwayat kelahiran : Pasien lahir secara normal, cukup bulan ditolong
oleh bidan dan segera menangis. BBL 3 kg, namun PB dan LK tidak jelas.
- Riwayat imunisasi : BCG 1 kali; Polio 4 kali; Hepatitis B 3 kali; DPT 4
kali, Campak 1 kali.
- Riwayat pemberian makan : ASI : 0 - 15 bulan
Susu formula : 2 bulan - sekarang
MP-ASI : 3 bulan - tidak jelas
- Riwayat tumbuh kembang :
Menegakkan kepala : 5 bulan
Membalik badan : 5 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 7 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 13 bulan
Berbicara : tidak jelas
Status Presens
Sensorium: GCS (E4V5M6) T: 37,5°C BB: 32 kg TB: 140 cm
TD : 110/70 mmHg BB/U : 91,4% (Normoweight)
HR : 90 kali/menit TB/U : 97,2 % (Normoheight)
RR : 18 kali/menit BB/TB : 94 % (Normal)
Kondisi umum : baik
Kondisi penyakit : sedang
Kondisi nutrisi : normal
Tidak terdapat dyspnoe, anemia, jaundice, sianosis, serta edema.

Status Lokalisata
Kepala : Rambut : normal, berwarna hitam, tidak kering, dan tidak mudah di cabut
Wajah : edema (-)
Mata : refleks cahaya (+/+), 3mm/3mm, pupil isokor, konjungtiva
palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra
(-/-), ptosis (-/-), lagoftalmos (-/-), enopthalmus (-/-),
eksoftalmos (-/-), strabismus (-/-)
Telinga : cerumen prop (-/-)
Hidung : deviasi septum (-), pernafasan cuping hidung (-), epistaksis (-)
Mulut : trismus (-), mulut mencucu (-)
Bibir : sianosis (-)
Gusi : gusi berdarah (-)
Lidah : lidah kotor (-), candidiasis oral (-), tremor (-)
Tonsil faring : ukuran tonsil T1/T1, hiperemis (-), nyeri (-),
pembesaran (-), pseudomembran (-), bercak
perdarahan (-)
Leher : pembesaran KGB (-), TVJ R -2 cmH2O, kaku kuduk (-)
Toraks
a. Inspeksi
- Bentuk (statis) : simetris fusiformis, funnel chest (-), barrel chest (-), pigeon chest
(-), kifosis (-), skoliosis (-), lordosis (-), gibbus (-),ketinggalan
bernafas (-)
- Dinamik : jenis pernafasan: thorakal-abdominal, usaha otot bantu nafas (-),
retraksi (-), RR: 18 kali/menit, regular
a. Palpasi
- Lapangan paru atas : stem fremitus kanan = kiri
- Lapangan paru tengah : stem fremitus kanan = kiri
- Lapangan paru bawah : stem fremitus kanan = kiri
b. Perkusi : sonor pada semua lapangan paru
c. Auskultasi : suara pernafasan : vesikuler
suara tambahan : ronkhi (-/-), wheezing (-)
Jantung : HR : 90 kali/menit, regular, desah (-)
Abdomen : soepel, hiperperistaltik (+) , nyeri tekan (-), Hepar teraba 3 cm dibawah
arcus costa dan 1 cm dibawah processus xiphoideus, Lien/Renal : tidak
teraba
Ekstremitas : Akral hangat, nadi 90 kali/menit, regular, t/v cukup, CRT <2”,
TD: 110/70 mmHg, petekie (-), maculopapular rash (-), rumple leed (-)
Genitalia : Dalam batas normal, perempuan

Diagnosis banding :
- Demam tifoid
- ISK
- Malaria

Diagnosis kerja : Demam tifoid


Tatalaksana :
- Tirah baring (bed rest)
- Injeksi D5% NaCl 0.45 % 25 gtt/I (makro)
- Injeksi ceftriaxone 1 g/12 jam/IV
- Inj Paracetamol 300 mg / 4 jam / IV (selang seling oral)

Hasil Laboratorium (13/08/2018)

Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Darah lengkap :
Hemoglobin : 11,3 g/dL (10,8 - 15,6)
Eritrosit : 4,36 x 106/µL (4,50 – 6,50)
Leukosit : 3.85/µL (4.500 – 13.500)
Hematokrit : 33.30 % (33 – 45)
Trombosit : 202.000 /µL (181.000 – 521.000)
MCV : 76.40 fl (69- 93)
MCH : 25.90 pg (22 -34)
MCHC : 33.90 g/dl (32– 36)
Hitung Jenis :
Neutrofil : 76.6% (25.00 - 60.00)
Limfosit : 20.0% (25.00 - 50.00)
Monosit : 3.1% (1.00 - 6.00)
Eosinofil : 0.00% (1.00 - 5.00)
Basophil : 0.3% (0.00 - 1.00)
IMUNOSEROLOGI
Serologi
WIDAL :
S.Typhi H : 1/160 Negatif
Hasil Laboratorium (15/08/2018)

Hasil Rujukan
KIMIA DARAH
Elektrolit
Natrium (Na) : 129 (132 - 145)
Kalium (K) : 3.40 (3.1 – 5.1)

IMUNOSEROLOGI
Serologi
CRP Kualitatif : Positif (Negatif)
Anti S. typhi IgM (Tubex) : Skala 6 (Negatif)
Skala <= 2: Negatif
Skala 3 : Borderline
Skala 4-5 : Positif Lemah
Skala 6-10 : Positif Kuat
Tanggal Pemantauan
14/08/2018 S: Demam (+), nyeri kepala (+), muntah (-), mencret (-), nyeri perut
berkurang.
O: Sensorium: CM T: 38,0 °C
Kepala : Mata : refleks cahaya (+/+), pupil isokor,
konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-),
sklera ikterik (-/-)
Telinga : cerumen prop (-/-)
Hidung : pernafasan cuping hidung (-/-), epistaksis
(-/-)
Mulut : mulut mencucu (-/-)
Bibir : sianosis (-)
Gusi : gusi berdarah (-)
Lidah : lidah kotor (-)
Tonsil faring : ukuran tonsil T1/T1, hiperemis
(-), nyeri (-)
Toraks : simetris fusiformis, retraksi (-/-), RR: 20 kali/menit,
regular, suara pernafasan : vesikuler
suara tambahan : (-)
Jantung : HR: 100 kali/menit, regular, desah (-)
Abdomen : soepel, peristaltik (+) N, nyeri tekan (-), Hepar teraba 3 cm
dibawah arcus costa dan 1 cm dibawah processus
xiphoideus, Lien/Renal : tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, nadi 100 kali/menit, regular, t/v cukup, CRT
<2”, TD: 90/70 mmHg,
petekie (-), maculopapular rash (-)
A: DD/ - Demam tifoid
- ISK
P: - IVFD D 5% NaCl 0,45% 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam/ IV
- Inj. Paracetamol 300 mg / 4jam / IV (selang seling oral)
R/ cek tubex
15/08/2018 S: Demam (+) hari ke 7, muntah (+) ,nyeri kepala (+)
O: Sensorium: CM T: 37,0 °C
Kepala : Mata : refleks cahaya (+/+), pupil isokor,
konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-),
sklera ikterik (-/-)
Telinga : cerumen prop (-/-)
Hidung : pernafasan cuping hidung (-/-), epistaksis
(-/-)
Mulut : mulut mencucu (-/-)
Bibir : sianosis (-)
Gusi : gusi berdarah (-)
Lidah : lidah kotor (-)
Tonsil faring : ukuran tonsil T1/T1, hiperemis
(-), nyeri (-)
Toraks : simetris fusiformis, retraksi (-/-), RR: 22 kali/menit,
regular, suara pernafasan : vesikuler
suara tambahan : (-)
Jantung : HR: 100 kali/menit, regular, desah (-)
Abdomen : soepel, peristaltik (+) N, nyeri tekan (-), Hepar teraba 1 cm
dibawah arcus costa dan 1 cm dibawah processus
xiphoideus, Lien/Renal : tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, nadi 100 kali/menit, regular, t/v cukup, CRT
<2”, TD: 100/70 mmHg,
petekie (-), maculopapular rash (-)
A: DD/ - Demam tifoid
P: - IVFD D 5% NaCl 0,45% 20 gtt/i
- Inj Ceftriaxone 1 g/12 jam/ IV
- inj paracetamol 300 mg / 4jam / IV (selang seling oral)
- diet MB 1700 kkal dengan 70 gr protein

16/08/2018 S: Demam (-), nyeri kepala (-), nyeri perut (-)


O: Sensorium: CM T: 36,7 °C
Kepala : Mata : refleks cahaya (+/+), pupil isokor,
konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-),
sklera ikterik (-/-)
Telinga : cerumen prop (-/-)
Hidung : pernafasan cuping hidung (-/-), epistaksis
(-/-)
Mulut : mulut mencucu (-/-)
Bibir : sianosis (-)
Gusi : gusi berdarah (-)
Lidah : lidah kotor (-)
Tonsil faring : ukuran tonsil T1/T1, hiperemis
(-), nyeri (-)
Toraks : simetris fusiformis, retraksi (-/-), RR: 20 kali/menit,
regular, suara pernafasan : vesikuler
suara tambahan : (-)
Jantung : HR: 90 kali/menit, regular, desah (-)
Abdomen : soepel, peristaltik (+) N, nyeri tekan (-)
Hepar/Lien/Renal : tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, nadi 90 kali/menit, regular, t/v cukup, CRT
<2”, TD: 100/60 mmHg,
petekie (-), maculopapular rash (-)
A: DD/ - Demam tifoid
P: - IVFD D 5% NaCl 0,45% 20 gtt/i
- Inj Ceftriaxone 1 g/12 jam/ IV
- inj paracetamol 300 mg / 4jam / IV (selang seling oral)
- Diet MB 1700 kkal dengan 70 gr protein
R/ PBJ

Pasien pulang pada tanggal 16-08-2018 setelah mendapatkan instruksi dari


supervisor dan dilakukan pengobatan rawat jalan beserta pemberian obat
berupa paracetamol syrup jika perlu.
DISKUSI

Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh Salmonella
typhi. Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman yang
terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi. Gejala biasanya muncul 1-3
minggu setelah terkena, dan mungkin ringan atau berat. Gejala meliputi demam tinggi,
malaise, sakit kepala, mual, kehilangan nafsu makan, konstipasi atau diare, bintik-bintik
merah muda di dada (Rose spots), dan pembesran limpa dan hati. Demam tifoid (termasuk
para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi B,
S.paratyphi C.4

Etiologi

Demam tifoid timbul akibat dari infeksi bakteri golongan Salmonella yang
memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan. Salmonella merupakan bakteri
gram negative, yang memiliki flagella, tidak berkapsul, dan tidak membentuk spora.
Sumber utama yang terinfeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme
penyebab penyakit, baik ketika sedang sakit atau sedang dalam penyembuhan. Pada masa
penyembuhan, penderita masih mengandung Salmonella spp di dalam kandung empedu
atau di dalam ginjal.

Sebanyak 5% pendrita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara,


sedangkan 2% yang lain akan menjadi karier yang menahun. Sebagian besar dari karier
tersebut merupakan karier intestinal ( intestinal type) sedangkan yang lain merupakan
urinary type.4

Patogenesis

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Menurut
penelitian dibutuhkan kuman jumlah tertentu yaitu 106-109 untuk dapat menimbulkan
penyakit. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina
propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque
peyer ileum distal dan kemudian ke kelanjar getah bening mesentrika. Selanjutnya melali
duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi
darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimptomatik).

Bakterimia pertama terjadi 24-72 jam setelah kuman tertelan dan biasanya tanpa
gejala karena jumlah kuman tidak cukup banyak untuk dapat menimbulkan gejala, dan
kuman segera tertangkap oleh sel-sel sistem retikuloendotelial tubuh terutama hati, limpa,
dan sumsum tulang. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten kedalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi setelah memembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag
telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi sistemik
seperti demam, malaise, myalgia, sakit perut, sakit kepala , instabilitas vaskular, gangguan
mental dan koagulasi.
Gambaran Klinis

Masa Inkubasi

Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12
hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidak khas, berupa:4

 Anoreksia
 Rasa malas
 Sakit kepala bagian depan
 Nyeri otot
 Lidah kotor
 Gangguan perut (perut kembung dan sakit)
Gambaran klasik demam tifoid (gejala khas)
 Minggu pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama
dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berkepanjangan, sakit
kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, mutah, batuk, nadi melemah, takikardi, perut
kembung, dan diare/konstipasi. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas
lidah pada penderita adalah kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor.
Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang.
Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen di salah
satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian
hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu
berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit
perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi
yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa teraba dan abdomen mengalami
distensi.4
 Minggu kedua
Pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi,
dengan penurunan sedikit pada pagi hari. Terjadi per lambatan relatif nadi penderita,
gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami
delirium. Lidah tampak kering, merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan
darah menurun, diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat
perdarahan. Pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan sering berbunyi. Mengantuk
terus menerus.4
 Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Bila
keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun
demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi,
akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan memburuk, dimana toksemia
memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, inkontinensia
alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi , juga tekanan abdomen
sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini
menunjukkan perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps
dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi
miokardial toksis merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam
tifoid pada minggu ketiga.4

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria
ini maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis dugaan demam tifoid. Diagnosis pasti
ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah.
Pemeriksaan lain untuk menunjang diagnosa:
 Biakan tinja
Dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu ketiga dan
keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella. Gambaran darah
dapat juga mebantu menetukan diagnosis, terdapat leukopeni polimorfonuklear dengan
limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh demam, maka arah demam tifoid menjadi
jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear dicurigai terjadi perforasi usus
dari penderita.4
 Kultur Gall
Diagnosis definitif penyakit tifoid dengan isolasi bakteri Salmonella typhi dari
spesimen yang berasal dari darah penderita. Pengambilan spesimen darah sebaiknya
dilakukan pada minggu pertama timbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk positif
mencapai 80-90%, khususnya pada pasien yang belum mendapat terapi antibiotic. Pada
minggu ke-3 kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% dan minggu ke-4 hanya 10-15%.
 Tes Widal
Penentuan kadar agutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dalam darah (antigen
O muncul pada hari ke-6-8, dan antibodi H muncul pada hari ke 10-12). Pemeriksaan widal
memberikan hasil negatif sampai 30% dari sampel biakan positif, sehingga hasil tes widal
negatif bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi. Pemeriksaan tunggal dengan tes
widal kurang baik karena akan memberikan hasil positif jika:
- Infeksi berulang karena bakteri Salmonella typhi
- Imunisasi penyakit tifoid sebelumnya
- Infeksi lainnya seperti malaria dan lain-lain.
 Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen Tubex RTF
Pemeriksaan dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen lipopolisakarida
O yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonellatyphi. Tes IgM Anti Salmonella
memiliki beberapa kelebihan:
- Deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitif, karena antibodi IgM muncul paling
awal yaitu setelah 3-4 hari terjadinya demam (sensitivitas > 95%)
- Lebih spesifik mendeteksi bakteri Salmonella typhi dibandingkan dengan
pemeriksaan widal, sehingga mampu membedakan secara tepat berbagai infeksi
dengan gejala klinis demam (spesifisitas > 93%)
- Diagnosa lebih cepat, sehingga keputusan pengobatan dapat segera diberikan
- Hanya memerlukan pemeriksaan tunggal dengan akurasi yang lebih tinggi
dibandingkan widal.4

Diagnosa Banding

Pada tahap diagnosis klinis ini, beberapa penyakit dapat menjadi diagnosis banding
demam tifoid, diantaranya :

1. Demam dengue
2. Malaria
3. Sepsis karena bakteri lain
4. Tuberculosis
5. Appendisitis
6. Brucellosis
7. Influenza
8. Leishmaniasis
9. Penyakit Rickettsia
10. Toxoplasmosis
11. Tularemia

Penatalaksanaan

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan
gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Eradikasi total bakteri untuk
mencegah kekambuhan dan keadaan karier merupakan hal yang penting untuk dilakukan.10

Trilogi penalaksanaan demam tifoid yaitu:11

1). Istirahat dan perawatan.

2). Diet dan terapi penunjang, cukup penting karena makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan menjadi lama. Ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan
dan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus
akan diberikan bubur saring. Namun beberapa peneliti menunjukkan bahwa
pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada
pasien demam tifoid.

3). Pemberian antimikroba yang sering digunakan adalah kloramfenikol,


tiamfenikol, kotrimoksazol, ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin generasi ketiga,
golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan
terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolate tidak resisten
terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu
penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fekal karier kurang dari 2%.
Flouroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh
S.typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi
dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain.11
WHO memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang
dibagi atas pengobatan untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik terapi utama maupun
alternatif dan terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang
membutuhkan pengobatan parenteral, seperti pada tabel 1 dan tabel 2.2,3

Tabel 1. Pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi.2,3

Terapi Optimal Obat Alternatif

Kepekaan Antibiotik Dosis Lama Antibiotik Dosis Lama


Harian pemberian harian pemberian
(mg/kgBB) (hari) (mg/kgBB) (hari)
Sensitif Fluorokuinolon 15 5-7 Kloramfenikol 50-75 14-21
Amoksisilin 75-100 14
TMP-SMX 8-40 14

MDR Flourokuinolon 15 5-7 Azitromisin 8-10 7


atau Sefiksim 15-20 7-14 Sefiksim 15-20 7-14
Resisten Azitromisin 8-10 7 Sefiksim 20 7-14
Kuinolon atau
Seftriakson 75 10-14
Tabel 2. Pengobatan demam tifoid yang berat. 2,3

Terapi Optimal Obat Alternatif

Kepekaan Antibiotik Dosis Lama Antibiotik Dosis Lama


harian Pemberiaan harian Pemberiaan
(mg/kgBB) (mg/kgBB)
Sensitif Fluorokuinolon 15 10-14 Kloramfenikol 100 14-21
Amoksisilin 100 14
TMP-SMX 8-40 14
MDR Flourokuinolon 15 10-14 Seftriakson atau 60 10-14
Sefotaksim 80

Resisten Seftriakson atau 60 10-14 Flourokuinolon 20 7-14


Kuinolon sefotaksim 80

Komplikasi

Komplikasi Intestinal

1). Perdarahan Usus

Pada plak peyer usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat membentuk
tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus
lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya tukak
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Sekitar 25% penderita demam tifoid
dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi.11

2). Perforasi Usus

Terjadi sekitar 3% pada penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula muncul pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan
perforasi mengeluhkan nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran bawah yang
menyebar ke seluruh perut di sertai degan tanda-tanda ileus.11

Komplikasi Ekstraintestinal

1). Hepatitis Tifosa

Hepatitis tifosa asimptomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid ditandai
dengan peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa
disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai,
sedangkan kolesistitis kronik kronik dijumpai pada penderita setelah mengalami demam
tifoid dikaitkan dengan adanya batu empedu.11

2). Miokarditis

Miokarditis dapat timbul denagn manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan


gelombang ST dan T pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), syok kardiogenik,
infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung.11

3). Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoid toksik

Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirim, dengan atau tanpa kejang, semi-
koma atau koma, Parkinson rigidity/ transient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus
generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis,
sindrom Guillain-Barre, dan psikosis.11

Pencegahan

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap


individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi.
S.typhi akan mati dalam air yang dipanaskan pada suhu 570C dalam beberapa menit atau
dengan proses iodinasi/klorinasi. Vaksinasi atau imunisasi, memberikan pendidikan
kesehatan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala terhadap penyaji makanan baik pada
industri makanan maupun restoran dapat berpengaruh terhadap penurunan angka kejadian
demam tifoid.12
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaskin yang
dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan, mengkonsumsi makanan sehat,
memberikan pendidikan kesehatan atau menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dengan
budaya cuci tangan yang benar dan memakai sabun, meningkatkan higenitas makanan dan
minuman, dan perbaikan sanitasi lingkunan.

Vaksin yang sudah ada untuk pencegahan demam tifoid, yaitu:

a). Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna

Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu
jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam,
sedang mengkonsumsi antibiotik. Lama proteksi 5 tahun.

b). Vaksin parenteral sel utuh : Typo Bio Farma

Dikenal 2 jenis vaksin yaitu, K Vaccine (Aceton in activated) dan L Vaccine (Heat
in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6-12 tahun 0,25 ml dan
anak 1-5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping
berupa demam, nyeri kepala, lesu, bengkak, dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi
demam, hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama.

c). Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux

Vaksin diberikan secara intramuskular dan booster setiap 3 tahun, kontraindikasi


pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi
vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan
penderita tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara


dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid
perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pencegahan sekunder dapat berupa, penemuan
penderita maupun carrier secara dini melalui peningkatan usaha surveilans tifoid serta
perawatan umum dan nutrisi diet yang sesuai.12
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan
akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya
tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat
terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita deman tifoid yang carrier perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih
ada atau tidak.12

Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan
berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam
tifoid.Tindakan preventif dan kontrol penularan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid
mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman S.typhi sebagai agen penyakit dan faktor
pejamu (host) serta faktor lingkungan.12

Secara garis besar, terdapat tiga strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid,
yaitu:11

1. Identifikasi dan eradikasi S.typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kasus
karier tifoid.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S.typhi akut maupun
karier. Kegiatan ini dilaukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S.typhi.
3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi dapat dilakukan dengan cara
vaksinansi tifoid di daerah endemic maupun hiperendemik.

KESIMPULAN

Telah dilaporkan suatu kasus Demam Tifoid pada seorang perempuan berusia 11
tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, klinis, dan pemeriksaan penunjang.
Pasien selanjutnya diterapi dengan tatalaksana tirah baring (bed rest), terapi rumatan IVFD
D5% NaCl 0.45% 20 gtt/menit makro, Inj. Paracetamol 300 mg/4 jam/IV, Inj. Ceftriaxone
1gr/12jam/IV dan pemantauan tanda vital.
DAFTAR PUSTAKA

1. Iro.2015. demam tifoid. Diakses melalui fk.ugm.ac.id/2015/06/demam-tifoid/


2. Pohan HT. Management of resistant Salmonella infection. Paper presented at :
12thJakarta Antimicrobal Update; 2011 April 16-17; Jakarta, Indonesia.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik
Indonesia (Desember 2008) Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).2007
4. Inawati (n.d) Demam Tifoid, Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya edn., Surabaya
5. Centers of Disease Control and Prevention. Morbidity and Mortality Weekly Report
(MMWR) 2008;83(6): 49-60
6. Ochiai RL, Acosta CJ, Agtini M, et al. The use of typhoid vaccines in Asia: the DOMI
experiences. Clin Infect Dis 2007; 45 (suppl 1): S34-S38
7. World Health Organization. Bulletin of The World Health Organization 2008;86
(5):321-46
8. Hans-Tandra, Suandoyo E. Aspek Imunologi Demam Tifoid. Medika 1986; 12(7) :
633-9 (n.d)
9. Nelwan, R.H.H. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Divisi Penyakit Tropik
dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM. Jakarta
10. Widodo, D. Demam tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III ed 9. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
11. Soedarno, S.S., Garna, dkk. Demam tifoid. Dalam: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Ed 2. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai