Anda di halaman 1dari 10

PENYULUHAN

ENDOMETRIOSIS

PEMBIMBING:
dr. Arvitamuriany T. Lubis, M.Ked(OG), Sp.OG

Oleh:
Halisyah Hasyim Lubis 140100091
Inggrid Hanna Napitupulu 140100146
Haryodi Sarmana Putra 140100217
Astriyani br Kemit 120100318

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
Pendahuluan

Endometriosis merupakan salah satu kelainan ginekologis yang sering terjadi pada
wanita usia reproduksi. Dewasa ini, endometriosis mendapat banyak perhatian dari para
peneliti dan ahli. Di negara – negara maju dan berkembang telah banyak penelitian yang
dilakukan terhadap endometriosis, namun patogenesis dari endometriosis masih belum
diketahui secara pasti. Teori mengenai mekanisme endometriosis semakin berkembang
seiring dengan meningkatnya temuan baru yang ditemukan para peneliti dan ahli. Hampir
seluruh kasus endometriosis terjadi asimtomatik ataupun dengan gejala klinis yang bias
dengan penyakit ginekologis lain, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosis pada tahap
awal terjadinya penyakit ini.

Endometriosis dijumpai 10 – 14 % pada wanita usia reproduksi dengan presentase


gejala klinis dismenore 40 – 60 % dan terjadi 20 – 30 % pada wanita subfertil. Menurut
data yang tecatat pada rekam medis di RSUP Haji Adam Malik Medan, pada periode tahun
2008 – 2011 terdapat total 29 pasien yang didiagnosis endometriosis. Penelitian tentang
epidimiologik tentang endometriosis seara luas belum banyak dilakukan di Indonesia.
Meskipun kasus endometriosis secara umum terjadi pada wanita usia reproduksi, namun
pada beberapa kasus ditemukan bahwa endometriosis masih dapat terjadi pada wanita usia
menepause.

Endometriosis terjadi ketika salah satu jaringan normal dari lapisan uterus, yaitu
endometrium, tumbuh secara ektopik pada organ-organ tubuh selain uterus. Jaringan
ektopik endometrium dapat tumbuh di hampir seluruh organ yang ada di tubuh manusia.
Secara normal, endometrium merupakan lapisan terdalam pada uterus selain peritoneum
dan miometrium. Lapisan endometrium berperan penting dalam proses menstruasi dan
proses berkembangnya uterus menuju uterus yang matang dan siap menjadi tempat
berkembangnya fetus pada masa kehamilan. Jika jaringan endometrium tumbuh di luar
uterus jaringan ini akan menyebabkan iritasi dan inflamasi di organ dan rongga sekitar
tempat berkembangnya jaringan ektopik endometrium, pada akhirnya hal tersebut akan
menimbulkan gejala klinis sesuai dengan organ yang menjadi tempat terjadinya
endometriosis.

A. Definisi

Endometriosis adalah implan jaringan (sel-sel kelenjar dan stroma) abnormal mirip
endometrium (endometrium like tissue) yang tumbuh di sisi luar kavum uterus, dan
memicu reaksi peradangan menahun.

B. Insidensi dan Epidemiologi

Endometriosis sering ditemukan pada wanita remaja dan usia reproduksi dari
seluruh etnis dan kelompok masyarakat, walaupun tidak tertutup kemungkinan
ditemukannya kasus pada wanita perimenopause, menopause dan
pascamenopause. (Saghar, 2009)

Insidensi endometriosis di Amerika 6-10 % dari wanita usia reproduksi.


(Falcone dan Lue, 2010) Di Indonesia sendiri, insidensi pasti dari endometriosis belum
diketahui.

C. Etiopatogenesis

Mekanisme terjadinya endometriosis belum diketahui secara pasti dan


sangat kompleks, berikut ini beberapa etiologi endometriosis yang telah diketahui:
(Giudice, 2010)

 Regurgitasi haid
 Gangguan imunitas
 Luteinized unruptured follicle (LUF)
 Spektrum disfungsi ovarium
Mekanisme Perkembangan Endometriosis: (Falcone, 2010)

 Penyusukan sel endometrium dari haid berbalik (Sampson)


 Metaplasia epitel selomik (Meyer-iwanoff)
 Penyebaran limfatik (Halban-Javert) dan Vaskuler (Navatril)
 Sisa sel epitel Muller embrionik (von recklinghausen-Russel)
 Perubahan sel genitoblas (De-Snoo)
 Penyebaran iatrogenik atau pencangkokan mekanik (Dewhurst)
 Imunodefisiensi lokal
 Cacat enzim aromatase

D. Faktor Resiko

Resiko tinggi terjadinya endometriosis ditemukan pada:

a. Wanita yang ibu atau saudara perempuannya menderita endometriosis.


b. Wanita usia produktif (15 – 44 tahun).
c. Wanita dengan siklus menstruasi 27 hari atau kurang
d. Usia menars yang lebih awal dari normal
e. Lama waktu menstruasi
f. Adanya orgasme ketika menstruasi
g. Terpapar toksin dari lingkungan

Faktor risiko termasuk usia, peningkatan jumlah lemak tubuh perifer, dan gangguan
haid, kebiasaan merokok, kebiasaan hidup, dan genetik. Faktor genetik berperan 6 – 9 kali
lebih banyak dengan riwayat keluarga terdekat menderita.

E. Diagnosis
i. Anamnesis
Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri pelvik
kronis yang disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama
pada endometriosis.18 Endometrium pada organ tertentu akan
menimbulkan efek yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga
lokasi penyakit dapat diduga. (Mounsey et al, 2010)

Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena


penyakit ini bersifat diwariskan. (Giudice, 2010) Kerabat jenjang pertama
berisiko tujuh kali lebih besar untuk mengalami hal serupa. (Falcone,
2010) Endometriosis juga lebih mungkin berkembang pada saudara
perempuan monozigot daripada dizigot. Rambut dan nevus displastik telah
diperlihatkan berhubungan dengan endometriosis. (Jacoeb, 2009)

ii. Tanda dan Gejala

Gejala dan tanda pada endometriosis tidak spesifik. Gejala


pada endometriosis biasanya disebabkan oleh pertumbuhan jaringan
endometriosis, yang dipengaruhi hormon ovarium selama siklus haid,
berupa nyeri pada daerah pelvik, akibat dari:

 melimpahnya darah dari endometrium sehingga merangsang


peritoneum. (Falcone, 2010)
 kontraksi uterus akibat meningkatnya kadar prostaglandin
(PGF2alpha dan PGE) yang dihasilkan oleh jaringan endometriosis
itu sendiri. (Jacoeb, 2009)

Dismenore pada endometriosis umumnya bersifat sekunder atau


peningkatan dari yang primer, dimenore dan dispareuni makin mengarah
ke endometriosis jika gejala muncul bertahun-tahun dengan haid dan
senggama yang semula tanpa nyeri.4 Semakin lama dan berat
intensitas nyeri semakin berat stadium endometriosis pada diagnosis
awal. (Jacoeb, 2009)
Endometriosis juga dijumpai ekstrapelvik, sehingga menimbulkan
gejala yang tidak khas. Dispareunia juga dirasakan pada daerah kavum
douglas dan nyeri pinggang yang semakin berat selama haid nyeri
rektum dan saat defekasi juga dapat terjadi tergantung daeran invasi
jaringan endometriosisnya. Sering dirasakan nyeri pelvik siklik yang
mungkin berkaitan dengan nyeri traktus urinarius dan gastrointestinal.
(Winkel, 2010)

Pada penderita endometriosis juga sering dijumpai infertilitas.


Gangguan haid berupa bercak prahaid atau hipermenore. (Winkel, 2010)

iii. Pemeriksaan Fisik

Pada genitalia eksterna dan permukaan vagina biasanya tidak ada


kelainan. Lesi endometriosis terlihat hanya 14,4% pada pemeriksaan
inspekulo, sedangkan pada pemeriksaan manual lesi ini teraba pada
43,1% penderita. Ada keterkaitan antara stenosis pelvik dan endometriosis
pada penderita nyeri pelvik kronik. Paling umum, tanda positif dijumpai
pada pemeriksaan bimanual dan rektovaginal. (Jacoeb, 2009)

Hasil pemeriksaaan fisik yang normal tidak menyingkirkan


diagnosis endometriosis, pemeriksaan pelvik sebagai pendekatan non bedah
untuk diagnosis endometriosis dapat dipakai pada endometrioma ovarium.
(Jacoeb, 2009)

Jika tidak tersedia pemeriksaan penunjang lain yang lebih


akurat untuk menegakkan diagnosis endometriosis, gejala, tanda fisis dan
pemeriksaan bimanual dapat digunakan. (Jacoeb, 2009)

iv. Pencitraan

Pencitraan berguna untuk memeriksa penderita endometriosis


terutama bila dijumpai massa pelvis atau adnexa seperti
endometrioma.2,9,16 Ultrasonografi pelvis secara transabdomnial (USG-
TA), transvaginal (USG-TV) atau secara transrektal (TR), CT Scan dan
pencitraan resonansi magnetik telah digunakan secara nir-invasif untuk
mengenali implan endometriosis yang besar dan endometrioma. Tetapi hal
ini tidak dapat menilai luasnya endometriosis. Bagaimanapun, cara-cara
tersebut masih penting untuk menetapkan sisi lesi atau menilai
dimensinya, yang mungkin bermanfaat untuk menentukan pilihan teknik
pembedahan yang akan dilakukan. (Jacoeb, 2009)

v. Laparoskopi

Merupakan baku emas yag harus dilakukan untuk menegakkan


diagnosis endometriosis, dengan pemeriksaan visualisasi langsung ke
rongga abdomen,yang mana pada banyak kasus sering dijumpai jaringan
endometriosis tanpa adanya gejala klinis. (Saghar, 2009)

Invasi jaringan endometrium paling sering dijumpai pada


ligamentum sakrouterina, kavum douglasi, kavum retzi, fossa ovarika,
dan dinding samping pelvik yang berdekatan. Selain itu juga dapat
ditemukan di daerah abdomen atas, permukaan kandung kemih dan usus.
(Saghar, 2009)

Penampakan klasik dapat berupa jelaga biru-hitam dengan


keragaman derajat pigmentasi dan fibrosis di sekelilingnya. Warna
hitam disebabkan timbunan hemosiderin dari serpih haid yang
terperangkap, kebanyakan invasi ke peritoneum berupa lesi-lesi atipikal
tak berpigmen berwarna merah atau putih. (Falcone, 2010)

Diagnosis endometriosis secara visual pada laparoskopi tidak


selalu sesuai dengan pemastian histopatologi meski penderitanya
mengalami nyeri pelvik kronik. (Saghar, 2009) Endometriosis yang
didapat dari laparoskopi sebesar 36%, ternyata secara histopatologi hanya
terbukti 18% dari pemeriksaan histopatologi. (Jacoeb, 2009)

F. Stadium

Penentuan stadium endometriosis sangat penting dilakukan terutama untuk


menerapkan cara pengobatan yang tepat dan untuk evaluasi hasil pengobatan. (Ali, 2008)
Namun stadium ini tidak memiliki korelasi dengan derajat nyeri, keluhan pasien, maupun
prediksi respon terapi terhadap nyeri atau infertilitas. (Winkel, 2010) Hal ini dapat
dimengerti karena endometriosis dapat dijumpai pada pasien yang asimptomatik. (Bedaiwy,
2004)

Klasifikasi Endometriosis yang digunakan saat ini adalah menurut American


Society For Reproductive Medicine yang telah di revisi pada tahun 1996 yang berbasis
pada tipe, lokasi, tampilan, kedalaman invasi lesi, penyebaran penyakit dan perlengketan.
(Bedaiwy, 2004)

Penentuan stadium atau keterlibatan endometriosis didasarkan pada system nilai


bobot (weighted point system). Sebaran nilai-nilai tersebut telah ditetapkan secara
sembarang. Untuk menjamin penilaian yang sempurna, inspeksi pelvis hendaknya
dilakukan searah jarum jam atau berlawanan. Catat jumlah, ukuran dan letak susukan
endometriosis, bongkah (plak), endometrioma, dan atau perlekatan. Pada stadium I
(minimal), bobot 1 – 5; stadium II (ringan), bobot: 6 – 15; stadium III (sedang), bobot: 16
– 40; stadium IV (berat), bobot: > 40.16,19

Susukan endometriosis peritoneum didefinisikan sebagai lesi superfisial, dimana


tampilan lesi dapat sebagai warna merah (merah, merah-muda, merah- menyala, gelembung
darah, gelembung bening), warna putih (opasifikasi/keruh, cacat pertitoneum, coklat-
kekuningan), atau hitam (hitam, tumpukan hemosiderin, biru). Endometriosis
diklasifikasikan sebagai lesi dalam jika menyebuk lebih dari 5 mm dibawah permukaan
peritoneum. Ukuran dan kedalaman nodul sukar dinilai dengan pemeriksaan laparoskopi;
tetapi palpasi cermat dengan perabaan dapat mengenali lesi-lesi tersebut. (Jacoeb, 2009)

G. Komplikasi

Komplikasi dari endometriosis sering berhubungan dengan adanya fibrosis dan


jaringan parut yang tidak hanya berefek pada organ yang terkena, namun juga dapat
menyebabkan obstruksi kolon dan ureter (Lobo, 2007). Ruptur dari endemetrioma dan juga
dihasilkannya zat berwarna coklat yang sangat iritan juga dapat menyebabkan peritonitis.
Meskipun jarang, lesi endometrium dapat berubah menjadi malignan dan paling sering
terjadi pada kasus endometriosis yang berlokasi di ovarium

H. Prognosis

Pada kasus endometriosis, salah satu yang terpenting adalah penderita harus
diberikan konseling dan pengertian tentang penyakit yang dideritanya secara tepat. Pasien
harus diberi pengertian bahwa pengobatan yang diberikan belum tentu dapat
menyembuhkan. Operasi definitif tidak dapat memberikan kesembuhan total, sekalipun
resiko kambuh sangat rendah resikonya (3%). Resiko kekambuhan lebih rendah dengan
diberikannya terapi sulih hormon estrogen. Setelah dilakukan operasi konservatif, tingkat
kekambuhan yang dilaporkan sangat bervariasi. Jumlah kasus yang terjadi rata - rata
melebihi 10% dalam tiga tahun dan 35 % dalam lima tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Ali B. Endokrinologi Ginekologi. 3 ed. Jakarta: Media Aesculapius. Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.

Bedaiwy MA and Falcone T. Laboratory testing for endometriosis. Clinica Chimica


Acta 340, 2004; 41-56

Falcone T and Lue JR. Management of Endometriosis. The American College Of


Obstetricians and Gynecologists.Practice Bullettin 116 [1], 1-7-2010; 223- 236

Giudice LC. Endometriosis. The New England Journal of Medicine 362 [25], 24-6-
2010; 2389-2398

Jacoeb TZ and Hadisaputra W. Penanganan Endometriosis. Panduan Klinis dan


Algoritme. 1 ed. Jakarta: Sagung Seto; 2009.

Lobo RA and Katz VL, 2007. Endometriosis: etiology, pathology, diagnosis,


management. Comprehensive Gynecology, 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier.

Mounsey AL, Wilgus A, and Slawson DC. Diagnosis and Management of


Endometriosis. American Family Physician 74 [4], 15-8-2010; 594-600

Saghar S, Sene AA, Mehjerdi EK, and Akhoond MR. The Correlation between
Serum and Peritoneal Fluid CA 125 Level in Women with Pelvic Endometriosis.
International Journal of Fertility and Sterility.Royan Institute 3 [1], 2009; 29-34

Winkel CA. Evaluation and Management of Women with Endometriosis. The


American College of Obstetricians and Gynecologists.Clinical Gynecologic Series: An
Expert's View 102 [2], 2-8-2010; 397-408

Anda mungkin juga menyukai