Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

ENDOMETRIOSIS

Disusun
Oleh :
dr.Siti Sarah

Pembimbing :
dr. Razi Maulana, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN / RSUD T.ISKANDAR MUDA ACEH
2022

0
BAB I
PENDAHULUAN

Endometriosis merupakan kelainan ginekologik jinak yang sering diderita


oleh perempuan usia reproduksi yang ditandai dengan adanya glandula dan stroma
endometrium di luar letaknya yang normal. Endometriosis yang terletak
pada ovarium disebut juga dengan endometrioma atau kista coklat. Hal ini
disebabkan karena bentuknya yang kistik dan berisi cairan berwarna coklat
kehitaman.
Prevalensi endometriosis tanpa gejala didapat sekitar 4% pada wanita yang
pernah menjalani operasi sterilisasi. Kebanyakan perkiraan prevalensi
endometeriosis berkisar antara 5% - 20% pada para wanita penderita nyeri pelvik,
dan antara 20% - 40% pada wanita subfertil. Prevalensi umum berkisar antara 3%
- 10%, terutama pada wanita dalam usia reproduktif. Usia rata-rata wanita yang
menjalani diagnosis bervariasi antara 25 – 30 tahun. Berbagai gejala seperti rasa
nyeri, gangguan haid, dispareunia, hingga infertilitas dapat timbul pada
wanita dengan endometriosis. Namun, ada juga wanita dengan endometriosis
yang tidak memiliki keluhan apapun.
Berbagai teori mencoba menjelaskan patologi dari endometriosis sejak
endometriosis pertama kali diperkenalkan pada tahun 1860 olen Van Rokitansky.
Endometriosis dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti menstruasi retrograde,
penyebaran limfatik metaplasia coelomik, defek imuno-genetik, lingkungan, dan
penyebaran anatomik. Kista endometriosis (endometrioma) biasanya terjadi di
dalam ovarium sebagai akibat dari perdarahan intra ovarium berulang.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ENDOMETRIOSIS
Endometriosis merupakan kelainan ginekologik jinak yang sering diderita
oleh perempuan usia reproduksi yang ditandai dengan adanya glandula dan stroma
endometrium di luar letaknya yang normal. Endometriosis merupakan penyakit
yang pertumbuhannya tergantung pada hormon estrogen. Apabila jaringan
endometrium terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis, sedangkan bila
ditemukan di rongga pelvik, ovarium, kavum Douglasi, bahkan dapat sampai di
luar rongga panggul disebut endometriosis eksterna (Sarwono, 2011).
Endometriosis eksterna adalah jaringan endometrium di luar cavum uteri
dan diluar miometrium, berhubungan dengan siklus haid, jinak, serta dapat
menyerbu ke organ lain dan bersifat progresif (Danudja, 2012).
Menurut urutan yang tersering endometrium ditemukan ditempat-tempat
sebagai berikut: 1) ovarium; 2) peritoneum dan ligamentum sakrouterinum,
kavum douglassi; dinding belakang uterus, tuba falopii, plika vesikouterina,
ligamentum rotundum dan sigmoid; 3) septum rektovaginal; 4) kanalis inguinalis;
5) apendiks; 6) umbilkus; 7) serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva,
perineum; 8) parut laparotomi; 9) kelenjar limfe; dan 10) walaupun sangat jarang,
endometriosis dapat ditemukan di lengan, paha, pleura, dan perikardium
(Sarwono, 2011).
Endometriosis yang terletak pada ovarium disebut juga dengan
endometrioma atau kista coklat. Hal ini disebabkan karena bentuknya yang kistik
dan berisi cairan berwarna coklat kehitaman.

2
Gambar 1. Endometriosis
pada ligamen uterosakral

Gambar 2. Endometriosis
pada kedua ovarium
dengan perlengketan
ke rektum sampai ke cavum douglas

B. Prevalensi
Endometriosis terdapat pada 6-10% wanita usia reproduksi di amerika,
sedangkan insidensi pasti endometriosis di Indonesia belum diketahui. Hal ini
disebabkan karena untuk membuat diagnosa diperlukan tindakan operatif
sehingga angka kejadian saat ini hanya mencerminkan endometriosis pada
populasi tertentu yaitu wanita yang menjalani operasi bukan hasil populasi
wanita keseluruhannya. Meski demikian, prevalensi kasus endometriosis yang
tercatat pada tahun-tahun terakhir nampak meningkat. (Baziad, 1999).
Keseluruhan prevalensi endometriosis masih belum diketahui secara
pasti, terutama karena operasi merupakan satu-satunya metode yang paling
dapat diandalkan untuk diagnosis pasti endometriosis. Selain itu, operasi
umumnya tidak dilakukan tanpa gejala atau ciri-ciri fisik yang mengacu pada
dugaan endometriosis.

3
Prevalensi endometriosis tanpa gejala didapat sekitar 4% pada wanita
yang pernah menjalani operasi sterilisasi. Kebanyakan perkiraan prevalensi
endometeriosis berkisar antara 5% - 20% pada para wanita penderita nyeri
pelvik, dan antara 20% - 40% pada wanita subfertil. Prevalensi umum berkisar
antara 3% - 10%, terutama pada wanita dalam usia reproduktif. Usia rata-rata
wanita yang menjalani diagnosis bervariasi antara 25 – 30 tahun. Jarang sekali
terjadi pada perempuan pramenarke dan menopause (Djuwantono, 2008).

C. Patogenesis
Van Rokitansky merupakan orang pertama yang merinci dan
memperkenalkan endometriosis pada tahun 1860. Sejak saat itu bermunculan
berbagai teori mengenai patogenesis endometriosis yang pada prinsipnya
bersepakat menganggap sebagai penyakit yang bersifat invasif non-neoplastik,
serta mengandung unsur stroma yang kelenjar endometrium yang bersifat
responsif terhadap pengaruh siklik hormonal (Danudja, 2012).
Bermacam-macam teori mengenai histogenesis kelainan ini antara lain :
1. Teori dari Sampson tentang regurgitasi haid, dimana darah menstruasi
mengalir dan keluar dari tuba disertai serpihan endometrium, diikuti
implantasi dan pertumbuhan pada ovaria dan ditempat lain di rongga
panggul. Adanya defek imunologis, kemungkinan keterlibatan –
keterlibatan faktor herediter, serta rendahnya angka kejadian endometriosis
(2-4 %) pada seluruh populasi wanita, memberi kontribusi positif terhadap
teori histogenesis ini.
2. Diseminasi iatrogenik.
Penyebaran langsung jaringan endometrium dapat terjadi saat operasi,
misalnya endometriosis yang terjadi pada tempat insisi setelah seksio
sesaria, histerektomi, atau episiotomi.
3. Fenomena induksi.
Telah diketahui bahwa endometriosis melepaskan zat-zat tertentu ke aliran
darah dan mengaktifkan endometriosis.
4. Metaplasia selomik.
Menurut teori ini endometrium yang menyimpang dari perkembangan
biasa sebagai akibat perubahan-perubahan diferensiasi yang abnormal

4
dalam epitel germinal dan berbagai bagian dari peritoneum, rongga
panggul yang secara embriologi berasal dari epitel selomik.
5. Teori penyebaran limfatik (Halbin).
Jaringan yang menyimpang dari biasa berasal dari endometrium yang
memasuki pembuluh-pembuluh limfe dari uterus pada waktu menstruasi,
kemudian menyebar ke seluruh panggul.
6. Penyebaran endometrium secara hematogen.
Beberapa kasus endoemtriosis yang jarang dan sulit untuk diterangkan
dengan teori lain, dan mungkin dapat diterangkan dengan teori ini.
7. Sisa-sisa sel embrionik.
Sel-sel dari paramesonefron (Muller) mungkin terdapat pada suatu tempat
di dalam badan. Diabwah rangsang hormon ovarium, sel sisa ini diaktiva
membentuk endometrium.
8. Ekstensi langsung.
Telah diduga bahwa endometriosis berasal dari invasi yang jinak melalui
miometrium menembus lapisan-lapisannya dan merusak susunan anatomi
rongga panggul.
9. Sisa mesonefron (Wolf).
Sisa mesonefron disebutkan oleh Recklinghausen dalam tahun 1895
sebagai sumber endoemetriosis. Beberapa kasus endoemtriosis mungkin
terjadi dari ekstensi langsung melalui dinding tuba dan keluar ke kavum
peritoneum. (Danudja, 2012)

Menurut penelitian Nisolle dan Donnez. Ternyata terdapat perbedaan


patogenesis dari berbagai lokasi dari endometriosis. Dibedakan tempat lokasi
daerah peritonium, ovarium, dan rectovaginalis (Danudja, 2012).
Lesi peritoneal berupa lesi merah dari darah haid yang mengalir lewat
tuba falopi disertai dengan serpihan endometrium dan disertai implantasi dan
pertumbuhan. Kemudian terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan skarifikasi
dan kemudian lesi menjadi hitam karena menjadi fibrotik berubah opak
keputihan yang menjadi tidak aktif (Danudja, 2012).
Lesi pada ovarium lebih mendekati teori metaplasia, sedangkan lesi pada
rectovaginalis lebih mungkin berasal dari mesodermal Mullery (Danudja, 2012).
Kista endometriosis (endometrioma) biasanya terjadi di dalam ovarium
sebagai akibat dari perdarahan intra ovarium berulang. Lebih dari 90%
endometrioma adalah pseudokista yang terbentuk akibat invaginasi korteks

5
ovarium, yang kemudian tertutup oleh pembentukan jaringan adhesi.
Endometrioma dapat sepenuhnya menggantikan jaringan ovarium normal.
Dinding kista umumnya tebal dan fibrotik dan biasanya memiliki perlekatan
fibrotik dan adanya area dengan perubahan warna. Di dalam kista umumnya
terdapat cairan kental, berwarna gelap, berisi produk darah yang sudah
berdegenerasi dimana penampilan ini menyebabkan kista endometriosis atau
endometrioma ini sering disebut kista coklat (Danudja, 2012).
Kista endometriosis tidak selalu akan muncul pada setiap orang.
Beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan timbulnya kista endometriosis
antaralain adalah usia reproduktif (24-40 tahun), adanya riwayat keluarga
dengan endometriosis, nulipara, dan memiliki siklus mentruasi yang lebih
pendek, periode yang lebih banyak, lebih lama, atau menarche pendek (de
Ziegler et al, 2010).

D. Klasifikasi
Sistem klasifikasi untuk endometriosis pertama kali dibuat oleh
American Fertility Society (AFS) pada tahun 1979, yang kemudian berubah
nama menjadi ASRM pada tahun 1996, klasifikasi ini kemudian direvisi oleh
AFS tahun 1985

Pada tahun 1996, dalam usaha untuk menemukan hubungan lebih lanjut
penemuan secara operasi dengan keluaran klinis, ASRM lalu merevisi sistem
klasifikasinya, yang dikenal dengan sistem skoring revised-AFS (r-AFS).
Dalam sistem ini dibagi menjadi empat derajat keparahan, yakni:
Stadium I (minimal) : 1-5
Stadium II (ringan) : 6-15
Stadium III (sedang) : 16-40
Stadium IV (berat) : >40

(PNPK POGI)

6
Gambar 1. Klasifikasi Endometriosis menurut ASRM,
revisi 1996 (PNPK, POGI)

Menurut ASRM, Endometriosis dapat diklasifikasikan kedalam 4 derajat


keparahan. Derajat keparahan endometriosis tergantung pada lokasi, luas,
kedalaman implantasi dari sel endometriosis, adanya perlengketan, dan ukuran
dari endometrioma ovarium.

7
(PNPK POGI)

E. Gejala Dan Tanda


Gejala-gejala yang merupakan trias endometriosis adalah adanya
dismenorea, dispareunia, dan infertilitas (Manuaba, 2001).
a. Dismenorea
Nyeri haid yang disebabkan oleh reaksi peradangan akibat sekresi
sitokin dalam rongga peritoneum, akibat pendarahan lokal pada sarang
endometriosis dan oleh adanya infiltrasi endometriosis ke dalam syaraf
pada rongga panggul (Sarwono, 2011).
b. Dispareunia

8
Paling sering timbul terutama bila endometriosis sudah tumbuh di
sekitar Kavum Douglassi dan ligamentum sakrouterina dan terjadi
perlengketan sehingga uterus dalam posisi retrofleksi (Sarwono, 2011).
c. Infertilitas
Perlengketan pada ruang pelvis yang diakibatkan endometriosis dapat
mengganggu pelepasan oosit dari ovarium atau menghambat perjalanan
ovum untuk bertemu dengan sperma.
Endometriosis meningkatkan volume cairan peritoneal, peningkatan
konsentrasi makrofag yang teraktivasi, prostaglandin, interleukin 1, tumor
nekrosis faktor dan protease. Cairan peritoneum mengandung inhibitor
penangkap ovum yang menghambat interaksi normal fimbrial kumulus.
Perubahan ini dapat memberikan efek buruk bagi oosit, sperma, embrio,
dan fungsi tuba. Kadar tinggi nitrit oksidase akan memperburuk
motilitas sperma, implantasi, dan fungsi tuba.
Antibodi IgA dan IgG dan limfosit dapat meningkat di endometrium
perempuan yang terkena endometriosis. Abnormalitas ini dapat mengubah
reseptivitas endometrium dan implantasi embrio. Autoantibodi terhadap
antigen endometrium meningkat dalam serum, implan endometrium, dan
cairan peritoneum dari penderita endometriosis. Pada penderita
endometriosis dapat terjadi gangguan hormonal dan ovulasi, termasuk
sindroma Luteinized Unruptured Follicle (LUF), defek fase luteal,
pertumbuhan folikel abnormal, dan lonjakan LH dini (Sarwono, 2011).

Selain gejala-gejala trias endometriosis, dapat juga timbul gejala-gejala


yang menyertai seperti diskezia dan nyeri pelvik. Gejala ini tidak digunakan
sebagai penentu diagnosis endometriosis namun sering muncul pada pasien
yang menderita endometriosis terutama jika telah terjadi perlengketan dengan
jaringan sekitar.
a. Diskezia
Keluhan sakit buang air besar bila endometriosis sudah tumbuh dalam
dinding rektosigmoid dan terjadi hematokezia pada saat siklus haid
(Sarwono, 2011).

9
b. Nyeri Pelvik
Akibat perlengketan, lama-lama dapat mengakibatkan nyeri pelvik
yang kronis. Rasa nyeri bisa menyebar jauh ke dalam panggul, punggung,
dan paha dan bahkan menjalar sampai ke rektum dan diare. Dua pertiga
perempuan dengan endometriosis mengalami rasa nyeri intermenstrual
(Sarwono, 2011).

F. Pemeriksaan Fisik
Diagnosis endometriosis yang hanya didasarkan pada gejala-gejala yang
muncul dapat menjadi sulit, sebab tampilannya sangat bervariasi dan mungkin
tumpang tindih dengan kondisi lain seperti sindrom usus teriritasi (irritable
bowel syndrome) dan penyakit radang pelvik. Sebagai hasilnya, seringkali
terdapat penundaan hingga 12 tahun ketika gejala mulai muncul hingga
diagnosis yang jelas dan pasti ditemukan (Djuwantono, 2008).
Uji fisik terhadap genital eksternal biasanya normal. Terkadang, uji
spekulum dapat mengungkapkan lesi proliferatif berwarna merah yang
mengalami pendarahan jika disentuh, keduanya biasa ditemukan dalam
forniks posterior. Penyakit pada wanita penderita endometriosis yang
menginfiltrasi dalam biasanya melibatkan sekat rektovagina dan seringkali
terpalpasi. Kondisi ini kurang sering terlihat dan tidak mempunyai tanda-tanda
khusus pada banyak kasus. Uterus seringkali menunjukkan penurunan
mobilitas atau fiksasi (Djuwantono, 2008).
Para wanita dengan endometrioma ovarium mungkin mempunyai massa
adneksal tetap. Focal tenderness dan nodularitas ligamen uterosakral mengacu
pada dugaan penyakit dan seringkali menjadi satu-satunya gejala fisik yang
ditemui. Uji fisik mempunyai sensitivitas diagnosis terbesar saat dilakukan
selama menstruasi, padahal uji normal biasa tidak berhasil menentukan
diagnosis. Secara umum, uji fisik mempunyai sensitivitas, spesifisitas, dan
nilai prediktif yang relatif lebih rendah daripada diagnosis endometriosis
dengan standar emas operasi (Djuwantono, 2008).
Endometrioma secara klinis bisa dikenali dengan perabaan pada palpasi
bila massa berukuran besar atau hanya muncul sebagai nyeri pelvis kronik dan
nyeri abdomen.

10
a. Pemeriksaan abdominal dan bimanual tak dapat menemukan adanya lesi
yang kecil. Disarankan untuk melakukan pemeriksaan bimanual saat atau
beberapa saat sesudah menstruasi agar dapat menemukan lesi pada cavum
douglassi yang umumnya membesar saat menstruasi.
b. Kista besar yang melekat erat sering ditemukan dengan mudah pada
pemeriksaan bimanual.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Ultrasonografi (USG)
USG hanya dapat digunakan untuk mendiagnosis endometriosis
(kista endometrium) >1cm, tidak dapat digunakan untuk melihat bintik-
bintik maupun perlengketan endometriosis (Sarwono, 2011).
Ultrasonografi transvagina biasanya digunakan untuk mendeteksi
endometrioma ovarium, tetapi tidak dapat digunakan untuk pencitraan
adhesi pelvik atau superficial peritoneal foci dari penyakit (Djuwantono,
2008).
Endometrioma dapat menghasilkan berbagai citra ultrasonografis,
tetapi biasanya tampak sebagai struktur kista dengan echoes internal
berdifusi rendah yang dikelilingi oleh kapsul ekogenik kering (crisp
echogenic capsule) di dalam kista. Beberapa mungkin mempunyai
persekatan internal atau dinding nodular yang menebal. Ketika keberadaan
karakteristik gejala ditemukan, ultrasound transvagina diketahui
mempunyai sensitivitas 90% bahkan lebih dan hampir mempunyai
spesifisitas 100% untuk mendeteksi endometrioma. Pencitraan dengan
aliran Color Doppler umumnya menambahkan sedikit diferensiasi
endometrioma dari kista hemorrhagic, teratoma sistik jinak, dan
neoplasma sistik lainnya yang mungkin berpenampilan sama
(Djuwantono, 2008).

11
Gambar 3. Gambaran Ultrasound Transvaginal pada endometrioma ovarium.

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI tidak menawarkan pemeriksaan yang lebih superior
dibandingkan dengan USG. MRI dapat digunakan untuk melihat kista,
massa ekstraperitoneal, adanya invasi ke usus dan septum rektovagina
(Sarwono, 2011).
Seperti ultrasonografi transvagina, magnetic resonance imaging
(MRI) mungkin berguna bagi deteksi dan diferensiasi endometrioma
ovarium dari massa ovarium sistik lain, tetapi tidak dapat diterapkan bagi
pencitraan lesi kecil peritoneum (Djuwantono, 2008).
Untuk deteksi penyakit yang terdokumentasi oleh histopatologi,
MRI mempunyai sensitivitas mendekati 70% dan spesifisitas mendekati
75%. Kelebihan utama dari MRI terhadap ultrasonografi adalah
kemampuannya untuk membedakan hemorrhage akut dan produk-produk
darah terdegenerasi. Ketika endometrioma biasanya menunjukkan
intensitas sinyal tinggi yang relatif homogen pada citra T1-weighted dan
sebuah sinyal dengan hipointensitas pada citra T2-weighted (“shading”),
hemorrhage akut umumnya mempunyai intensitas sinyal rendah pada citra
T1- maupun T2-weighted. Akan tetapi, sebuah interval pendek dari
observasi yang dilakukan selama kista hemorrhagic mengalami
kemunduran perkembangan, akan memberikan hasil akhir yang sama
(Djuwantono, 2008)

12
Gambar 4. Gambaran endometrioma ovarium pada pemeriksaan MRI.

3. Pemeriksaan serum CA 125


Serum CA 125 adalah pertanda tumor yang sering digunakan pada
kanker ovarium. Kadar CA-125 seringkali meningkat pada para wanita
penderita endometriosis tingkat lanjut. Akan tetapi kenaikan kadar juga
dapat diamati di tahap awal kehamilan selama menstruasi normal, dan
pada para wanita dengan penyakit radang pelvik akut atau leiomyoma.
Kadar CA-125 serum bervariasi hingga terkadang melewati siklus
menstruasi. Secara umum, CA-125 serum mencapai kadar paling tinggi
selama fase menstruasi dan paling rendah pada fase midfolikuler dan
periovulatori (Djuwantono, 2008).
Namun, pemeriksaan ini mempunyai nilai sensitivitas yang rendah.
CA 125 juga dapat digunakan sebagai monitor prognostik pascaoperatif
endometriosis. Bila nilainya tinggi berarti prognostis kekambuhannya
tinggi (Sarwono, 2011).
Kadar CA-125 serum juga berguna untuk membedakan
endometrioma ovarium dari kista jinak lainnya, khususnya ketika
dikombinasikan dengan ultrasonografi (USG) transvagina (Djuwantono,
2008).
4. Bedah laparoskopi
Laparoskopi merupakan alat diagnostik baku emas untuk diagnosis
endometriosis. Lesi aktif yang baru bewarna merah terang, sedangkan lesi
aktif yang sudah lama berwarna merah kehitaman. Lesi non aktif bewarna
putih dengan jaringan parut. Biasanya isinya bewarna coklat yang disebut
dengan kista coklat (Sarwono, 2011).
5. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pemeriksaan pasti dari lesi endometriosis adalah didapatkannya
adanya kelenjar dan stroma endometrium (Sarwono, 2011).

H. Penanganan
Pengobatan endometriosis sulit mengalami penyembuhan karena
adanya risiko kekambuhan. Tujuan endometriosis lebih disebabkan oleh akibat
endometriosis itu, seperti nyeri panggul dan infertilitas.
 Pengobatan simtomatik

13
Pengobatan dengan memberikan antinyeri seperti paracetamol
500mg 3x sehari, Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID) seperti
ibuprofen 400mg tiga kali sehari, asam mefenamat 500mg tiga kali sehari.
Tramadol, parasetamol dengan codein, GABA inhibitor seperti gabapentin
(Sarwono, 2011).
 Kontrasepsi Oral
Penanganan terhadap endometriosis dengan pemberian pil
kontrasepsi dosis rendah. Kombinasi monofasik (sehari sekali selama 6-12
bulan) merupakan pilihan pertama yang sering dilakukan untuk
menimbulkan kondisi kehamilan palsu dengan timbulnya amenorea dan
desidualisasi jaringan endometrium (Sarwono, 2011).
Kombinasi pil kontrasepsi apapun dalam dosis rendah yang
mengandung 30-35 ug etinilestradiol yang digunakan secara terus menerus
bisa menjadi efektif terhadap penanganan endometriosis. Tujuan
pengobatan itu sendiri adalah induksi amenorea, dengan pemberian
berlanjut selama 6-12 bulan. Membaiknya gejala dismenorea dan nyeri
panggul dirasakan oleh 60-95% pasien. Kontrasepsi oral merupakan
pengobatan dengan biaya lebih rendah dibandingkan lainnya (Sarwono,
2011).
 Progestin
Progestin memungkinkan efek antiendometriosis dengan
menyebabkan desisualisasi awal pada jaringan endometrium dan diikuti
dengan atrofi. Progestin bisa dianggap sebagai pilihan utama terhadap
penanganan endometriosis karena efektif mengurangi rasa sakit.
Medroxyprogesterone Acetate (MPA) dimulai dengan dosis 30 mg per
hari dan kemudian ditingkatkan sesuai dengan respon klinis dan pola
pendarahan. MPA 150 mg yang diberikan intramuskuler setiap 3
bulan, juga efektif terhadap penanganan rasa nyeri pada
endometriosis.
Pengobatan dengan suntikan progesteron seperti depot suntikan
KB dapat membantu mengurangi gejala nyeri dan pendarahan. Efek

14
samping progestin adalah peningkatan berat badan, perdarahan lecut, dan
nausea.
Strategi pengobatan lain meliputi didrogesteron (20-30 mg perhari baik itu
terus menerus maupun pada hari ke 5-25) dan lynestrenol 10 mg per hari.
Efek samping progestin meliputi nausea, bertambahnya berat badan,
depresi, nyeri payudara, dan pendarahan lecut (Sarwono, 2011).
 Danazol
Danazol menyebabkan level androgen dalam jumlah yang tinggi
dan estrogen dalam jumlah yang rendah sehingga menekan
berkembangnya endometriosis dan timbul amenorea yang diproduksi
untuk mencegah implan baru pada uterus sampai ke rongga peritoneal
(Sarwono, 2011).
Cara Kerja Danazol, meliputi :
1. Mengikat androgen, progesteron, dan reseptor glukokortikoid,
memproduksi aksi agonis dan antagonis.
2. Tidak mengikat resptor estrogen interseluler
3. Mengikat globulin yang berikatan dengan hormon seksual dan
kortikosteroid
4. Menurunkan produksi globulin yang berikatan dengan horomon
seksual (Speroff et al, 1994).
Cara praktis penggunaan danazol adalah memulai perawatan
dengan 400-800 mg. Dosis dapat ditingkatkan bila perlu untuk mencapai
amenorea dan menghilangkan gejala. Efek samping yang paling umum
adalah peningkatan berat badan, akne, hirsutisme, vaginitas atrofil,
kelelahan, pengecilan payudara, gangguan emosi, peningkatan kadar
LDL, kolesterol, dan kolesterol total (Sarwono, 2011).
 Gestrinon
Gestrinon termasuk androgenik, antiprogestagenik, dan
antigonadotropik. Gestrinon berkerja sentral dan perifer untuk
meningkatkan kadar testosteron dan mengurangi kadar Sex Hormone
Binding Globuline, menurunkan nilai serum estradiol ke tingkat folikular
awal, mengurangi kadar LH, dan menghalangi lonjakan LH. Gestrinon
diberikan dengan dosis 2,5-10 mg dua-tiga kali smeinggu, selama enam

15
bulan. Efek samping sama dengan danazol tapi lebih jarang (Sarwono,
2011).
 Gonadotropin Releasing Hormone Agonist (GnRHa)
GnRHa menyebabkan sekresi terus menerus FSH dan LH sehingga
hipofisa mengalami disentisasi dengan menurunnya sekresi FSH dan LH
mencapai keadaan hipogonadotropik hipogonadisme, dimana ovarium
tidak aktif sehingga tidak terjadi siklus haid. GnRHa dapat diberikan
intramuscular, subcutan, intranasal. Beberapa jenis GnRHa antara lain
leuprolide, busereline, dan gosereline (Sarwono, 2011).
- Leuprolide 3.75 mg / bulan secara intramuscular
- Nafareline 200 mg 2 kali sehari intranasal
- Goserelin 3.75 mg / bulan subcutan
 Aromatase Inhibitor
Fungsinya menghambat perubahan C19 androgen menjadi C18
estrogen. Aromatase P450 banyak pada perempuan dengan gangguan
organ reproduksi seperti endometriosis, adenomiosis, dan mioma uteri
(Sarwono, 2011).
 Penanganan Pembedahan pada Endometriosis
Pembedahan pada endometriosis adalah untuk menangani efek
endometriosis itu sendiri, yaitu nyeri panggul, subfertilitas, dan kista.
Pembedahan bertujuan untuk menghilangkan gejala, meningkatkan
kesuburan, menghilangkan bintik-bintik dan kista endometriosis, serta
menahan laju kekambuhan (Sarwono, 2011).
a. Penanganan pembedahan Konservatif
Pembedahan ini bertujuan untuk mengangkat semua sarang
endometriosis dan melepaskan perlengketan dan memperbaiki kembali
struktur anatomi reproduksi. Sarang endometriosis dibersihkan dengan
eksisi, ablasi kauter, maupun laser. Sementara itu kista endometriosis
<3 cm di drainase dan di kauter dinding kista, kista > 3cm dilakukan
kistektomi dengan meninggalkan jaringan ovarium yang sehat.
Penanganan pembedahan dapat dilakukan secara laparotomi satupun
laparoskopi. Penanganan dengan laparoskopi menawarkan keuntungan

16
lama perawatan yang pendek, nyeri pasca operatif minimal, lebih
sedikit perlengketan, visualisasi operatif yang lebih baik terhadap
bintik-bintik endometriosis. Penanganan konservatif ini menjadi pilihan
pada perempuan yang masih muda, menginginkan keturunan,
memerlukan hormon reproduksi, menginat endometriosis ini
merupakan suatupenyakit yang lambat progresif, tidak cenderung
ganas, dan akan regresi bila menopause.
b. Penanganan Pembedahan Radikal
Dilakukan dengan histerektomi dan bilateral salfingo-oovorektomi.
Ditujukan pada perempuan yang mengalami penanganan medis ataupun
bedah konservatif gagal dan tidak membutuhkan fungsi reproduksi.
Setelah pembedahan radikal diberikan terapi subsitusi hormon.
c. Penanganan Pembedahan Simtomatis
Dilakukan untuk menghilangkan nyeri dengan presacral neurectomy
atau LUNA (Laser Uterosacral Nerve Ablation) (Sarwono, 2011).

17
Gambar 2. Alur Tatalaksana Nyeri Pada Endometriosis (PNPK POGI)

Prosedur Pembedahan yang dianjurkan untuk pasien-pasien dengan


endometriosis adalah:

18
1. Laparoskopi, merupakan gold standard dan prosedur operasi yang paling
sering dilakukan. Dengan laparoskopi, pemulihan pasien dapat lebih cepat
2. Laparotomi, tindakan ini lebih invasive yaitu dengan melakukan insisi
yang luas pada linea mediana. Laparotomi jarang dilakukan pada pasien,
kecuali pada endometriosis yang berat (Falcone et al, 2011).

Walaupun dengan tindakan operasi yang berhasil, endometriosis dapat


kambuh kembali dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun (Bulun, 2009).
Menurut penelitian Liu et al (2007), penderita endometrioma yang telah
menjalani tindakan pembedahan dapat mengalami endometrioma ulang. Faktor
predisposisi terjadinya kekambuhan pada penderita endometrioma yaitu
apabila pasien berusia muda dan pernah menjalani terapi endometriosis
sebelumnya (Liu et al, 2007).

2. INFERTIL
Fertilitas ialah kemampuan seorang istri untuk menjadi hamil dan
melahirkan anak hidup oleh suami yang mampu menghamilkannya. Disebut
infertilitas primer kalau istri belum pernah hamil walalupun bersanggama dan
dihadapkan kepada kemunginan kehamailan selama 12 bulan. Disebut
infertilitas sekunder kalalu istri pernah hamil, akan tetapi kemudian tidak
terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada
kemungkinan kehamilan selama 12 bulan (Prawiroharjo, 2008).
Pemeriksaan masalah-masalah infertilitas:
1. Masalah air mani
Air mani ditampung dengan jalan masturbasi langsung ke dalam
botol gelas bersih yang bermulut lebar, setelah abstinensi 3-5 hari. Air
mani yang diejakulasikan dalam bentuk cair akan segera menjadi agar,
untuk kemudian melikuefaksi lagi dalam 5-20 menit menjadi cairan yang
agak pekat guna menungkinan spermatozoa bergerak dengan leluas.
Kemudian ejakulat akan menjadi cairan homogen yang agak pekat, yang
dapat membenang kalau dicolek dengan sebatang lidi. Makin panjang
membenangnya, makin tinggi viskositasnya. Warna jernih atau keruh
tergantung dari konsentrasi spermatozoa. Volume air mani berkisar
antara
2-5 cc. pH air mani yaitu berkisar antara 7,3-7,7.

19
2. Masalah vagina
Kemampuan menyampaikan air mani ke dalam vagina sekitar
serviks perlu untuk fertilitas. Masalah vagina yang dapat mengambat
penyampaina ini ialah adanya sumbatan atau peradangan.
3. Masalah serviks
Infertilitas yang berubungan dengan faktor serviks dapat
disebabkna oleh sumbatan kanalis servikalis, lendir serviks yang abnormal,
malposisi dari serviks, atau kombinasinya. Kelainan anatomis serviks yang
dapat berperan dalam infertilitas yaitu: 1) atresia; 2) polip; 3) stenosis; 4)
servicitis; 5) sinekia; 6) inseminasi yang tidak adekuat.
4. Masalah Uterus
Infertilitas yang berhubungan dengan masalah uterus yaitu: 1)
distorsi cavum uteri; 2) perdangan endometrium; dan 3) gangguan
kontraksi uterus. Kelainan-kelianan tersebut dapat mengganggu proses
implantasi, pertumbuhan intra unterine dan nutrisi serta oksigenasi
jaringan.
5. Masalah Tuba
Masalah infertilitas yang berhubungan dengan tuba yaitu masalah
penyempitan tuba karena kelaianan anatomis. Selain itu daat juga terjadi
penyempitan tuba karena adanya infeksi pada tuba atau pada pelvis.
6. Masalah Ovarium
Meliputi gangguan ovulasi dan regulasi hormonal. Gangguan
tersebut otomatis dapat menyebabkan kelaianan pada proses reproduksi
(Prawirohardjo, 2008).

20
DAFTAR PUSTAKA

Baziad, Ali. 1999. Endometriosis; Ilmu Kandungan, edisi kedua. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Bulun SE. 2009. Endometriosis. N Engl J Med. 15;360(3):268-79.

21
Danudja, Tedja. 2012. Endometriosis: Patogenesis, Dampak pada Kualitas Hidup
dan Penanggulangan. Surakarta: UNS Press.
de Ziegler D, Borghese B, Chapron C. (2010). Endometriosis and infertility:
pathophysiology and management. Lancet.28;376(9742):730-8
Djuwantono, Tono. 2008. Diagnosis Endometriosis Dalam Praktik. Bandung: FK
UNPAD.
Falcone T, Lebovic DI. Clinical Management of Endometriosis. ObstetGynecol
(2011) 118(3):691-705.
Liu, Xishi, Yuan, Lei, Shen, Fanghuahu, Zhilin, Jiang, Hongyuan, Guo, Sun-Wei.
2007. Patterns of and Risk Factors for Recurrence in Women With
Ovarian Endometriomas. Obstetrics & Gynecology 8: pp 1411-1420
Manuaba, IBG. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetric, Ginelologi
dan KB. Jakarta: EGC
PNPK (Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran). Nyeri Endometriosis. POGI
(Pekumpulan Obstetric dan Ginekologi Indonesia).
Prawiroharjo S (2008). Buku Ajar Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Ilmu
Kebidanan Sarwono.

Sarwono P. 2011. Endometriosis. Ilmu Kandungan. Ed 3. Jakarta: PT Bina


Pustaka Prawirohardjo.
Speroff L, Glass RH, Kase N. 1994. Clinical Gynecologic Endocrinology and
Fertility. USA: William & Wilkins.

22

Anda mungkin juga menyukai