Anda di halaman 1dari 11

Referat

“ENDOMETRIOSIS"
Diajukan untuk memenuhi Tugas Akhir Kepaniteraan Klinik Madya di SMF Obstetri
dan Gynekologi RSUD Dok II Jayapura

Oleh:
Tandimin Tabuni
0120840263

Pembimbing:

dr. Jefferson N. Munthe, Sp.OG (K),M.Kes

SMF OBSTETRI DAN GYNEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOK II JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA PAPUA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Endometriosis sudah diketahui sejak berabad yang lampau berdasarkan catatan
pada Papyrus 1600 SM. Publikasi lengkap yangnpertama dibuat oleh Sampson pada
tahun 1921. Namun demikian hingga kini etiologi endometriosis masih belum
diketahui secara pasti sehingga pengobatan maupun penanganan yang selama ini
telah banyak digunakan ternyata tidak ada satu pun yang benar-benar ampuh untuk
semua keadaan endometriosis.
Pada tahun 1990-1998, endometriosis merupakan penyakit ginekologik ketiga
terbanyak pada perempuan berusia antara 15-44 tahun. Prevalensi endometriosis
pada populasi secara umum berkisar 10%. Prevalensi ini meningkat hingga 82%
pada perempuan dengan nyeri pelvik dan 21% pada perempuan infertil.4 Di Amerika
Serikat, endometriosis ditemukan 5-10% perempuan usia produktif.5 Dan di
Indonesia, ditemukan 15-25% perempuan infertil disebabkan oleh endometriosis,
sedangkan prevalensi endometriosis pada perempuan infertil idiopatik mencapai 70-
80%.
Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukan angka
kejadian yang meningkat. Angka kejadian antara 5- 15 % dapat ditemukan diantara
semua operasi pelvik. Endometriosis jarang didapatkan pada orang-orang Negro, dan
lebih sering didapatkan pada perempuan-perempuan dari golongan sosio-ekonomi
yang kuat. Yang menarik perhatian adalah bahwa endometriosis lebih sering
ditemukan ada perempuan yang tidak kawin pada umur muda, dan yang tidak
mempunyai banyak anak. Rupanya fungsi ovarium secara sikllis yang terus menerus
tanpa diselingi oleh kehamilan, memegang peranan dalam terjadinya endometriosis.
Penanganan endometriosis yang baik memerlukan diagnosis yang tepat.
Pengobatan secara hormonal masih merupakan pilihan utama dan beberapa peneliti
menyatakan bahwa gabungan pengobatan hormonal dengan tindakan pembedahan
memberikan hasil yang lebih baik.
BAB II
ENDOMETRIOSIS

2.1 Definisi
Endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam uterus) yang
memiliki susunan kelenjar atau stroma endometrium atau kedua-duanya dengan atau
tanpa makrofag yang berisi hemosiderin dan fungsinya mirip dengan endometrium
karena berhubungan dengan haid dan bersifat jinak, tetapi dapat menyebar ke organ-
organ dan susunan lainnya. Endometriosis merupakan suatu keadaan dimana
jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat baik diluar endometrium
kavum uteri maupun di miometrium (otot rahim). Bila jaringan endometrium
tersebut berimplantasi di dalam miometrium disebut endometriosis interna atau
adenomiosis, sedangkan jaringan endometrium yang berimplantasi di luar kavum
uteri disebut endometriosis eksterna atau endometriosis sejati. Pembagian ini
sekarang sudah tidak dianut lagi karena baik secara patologik, klinik ataupun
etiologik adenomiosis dan endometriosis berbeda.

2.2 Lokasi Endometriosis


Berdasarkan urutan tersering endometrium ditemukan ditempattempatsebagai
berikut:
1) Ovarium
2) Peritoneum dan ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dinding
belakang uterus, tuba Fallopi, plika vesiko uterina, ligamentum rotundum,
dan sigmoid.
3) Septum rektovaginal
4) Kanalis inguinalis
5) Apendiks
6) Umbilikus
7) Serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum;
8) Parut laparotomi
9) Kelenjar limfe
10) Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat ditemukan di lengan, paha,
pleura, dan perikardium.

2.3 Patogenesis
Sampai saat ini belum ada yang dapat menerangkan secara pasti penyebab
terjadinya endometriosis. Namun demikian beberapan ahli mencoba menerangkan
kejadian endometriosis, antara lain:
2.3.1 Teori implantasi dan regurgitasi (John A. Sampson)
Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui
tuba ke dalam rongga pelvis.1,2 Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid
ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang masih hidup ini
kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis.2 Teori ini paling banyak
penganutnya, tetapi teori ini belum dapat menerangkan kasus endometriosis di luar
pelvis.
2.3.2 Teori metaplasia (Rober Meyer)
Endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal dari
selom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini akan
menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan
endometrium. Secara endokrinologis, epitel germinativum dari ovarium,
endometrium dan peritoneum berasal dari epitel selom yang sama. Teori Robert
Meyer akhir-akhir ini semakin banyak ditentang. Disamping itu masih terbuka
kemungkinan timbulnya endometroisis dengan jalan penyebaran melalui darah atau
limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium saat operasi.
2.3.3 Teori penyebaran secara limfogen (halban)
Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui
saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke berbagai tempat
pelvis dimana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik. Jaringan endometrium
ditemukan dalam limfatik pelvis pada sampai 20% dari penderita endometriosis.
2.3.4 Teori imunologik
Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit
autoimun karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada perempuan, bersifat
familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan multiorgan, dan menunjukkan
aktivitas sel B-poliklonal. Di samping itu telah dikemukakan bahwa danazol yang
semula dipakai untuk pengobatan endometriosis yang disangka bekerja secara
hormonal, sekarang ternyata telah dipakai untuk mengobati penyakit autoimun atas
dasar bahwa danazol menurunkan tempat ikatan IgG pada monosit, sehingga
mempengaruhi aktivitas fagositik.

2.4 Patologi
Lokasi yang sering terdapat endometriosis ialah pada ovarium, dan biasanya di
dapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil sampai kista
besar berisi darah tua menyerupai coklat (disebut kista coklat atau endometrioma).
Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada dinding kista, dan dapat
menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan
dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang dapat mengalir dalam jumlah banyak ke
dalam rongga peritoneum karena robekan dinding kista, dan menyebabkan acute
abdomen. Tuba pada endometriosis biasanya normal. Pada salah satu atau kedua
ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dan permukaan uterus sebelah
belakang dapat ditemukan satu atau beberapa bintik sampai benjolan kecil yang
berwarna kebiru-biruan. Juga pada permukaan sigmoid atau rektum seringkali
ditemukan benjolan yang berwarna kebiru-biruan ini. Sebagai akibat dari timbulnya
perdarahan pada waktu haid dari jaringan endometriosis, mudah sekali timbul
perlekatan antara alat-alat di sekitar kavum Douglasi.

2.5 Gambaran Mikroskopik


Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan ciri-ciri khas bagi endometriosis yakni
kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, serta perdarahan bekas dan baru berupa
eritrosit, pigmen hemosiderin dan sel-sel makrofag berisi hemosiderin. Disekitarnya
tampak sel-sel radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi dari jaringan endometriosis.

2.6 Gambaran Klinis


Aktivitas jaringan endometriosis sama halnya dengan endometrium yakni sangat
bergantung pada hormon. Aktivitas jaringan endometriosis akan terus meningkat
selama hormon masih ada dalam tubuh, setelah menopause gejala endometriosis
akan menghilang.
Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penyakit endomeriosis berupa:
1) Dismenorea adalah nyeri haid siklik merupakan gejala yang sering dijumpai.
Terjadi 1-3 hari sebelum haid dan dengan makin banyaknya darah haid yang
keluar keluhan dismenorea pun akan mereda. penyebab dari dismenorea ini
belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan adanya vaskularisasi dan
perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa
haid.
2) Dispareunia merupakan gejala tersering dijumpai setelah dismenorea,
keluhan ini disebabkan adanya endometriosis di dalam kavum Douglasi.
3) Diskezia atau nyeri waktu defekasi terutama pada waktu haid, disebabkan
adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid.
4) Gangguan miksi dan hematuria bila terdapat endometriosis di kandung
kencing, tetapi gejala ini jarang terjadi.
5) Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada endometriosis apabila
kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium terganggu.
6) Infertilitas juga merupakan suatu gejala endometriosis yang masih sulit
dimengerti. Tetapi faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada
endometriosis ialah mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan
jaringan disekitarnya.
Pada pemeriksaan ginekologik, khususnya pada pemeriksaan vagino-rekto-
abdominal, ditemukan pada endometriosis ringan bendabenda padat sebesar butir
beras sampai butir jagung di kavum Douglasi, dan pada ligamentum sakrouterinum
dengan uterus dalam retrofleksi dan terfiksasi. Ovarium mula-mula dapat diraba
sebagai tumor kecil, akan tetapi dapat membesar sampai sebesar tinju.

2.7 Klasifikasi Endometriosis


2.7.1 Klasifikasi endometriosis menurut Acosta (1973)
1) Ringan
Endometriosis menyebar tanpa perlekatan pada anterior atau posterior kavum
Douglasi atau permukaan ovarium atau peritoneum pelvis.
2) Sedang
- Endometriosis pada satu atau kedua ovarium disertai parut dan retraksi
atau endometrioma kecil.
- Perlekatan minimal juga di sekitar ovarium yang mengalami
endometriosis.
- Endometriosis pada anterior atau posterior kavum Douglasi dengan parut
dan retraksi atau perlekatan, tanpa implantasi di kolon sigmoid.
3) Berat
- Endometriosis pada satu atau dua ovarium, ukuran lebih dari 2 x 2 cm2.
- Perlekatan satu atau dua ovarium atau tuba atau kavum Douglasi karena
endometriosis.
- Implantasi atau perlekatan usus dan/ atau traktus urinarius yang nyata.

2.7.2 Klasifikasi endometriosis menurut Revisi American Fertility Society (1985)


2.8 Diagnosis
Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dipastikan
dengan pemeriksaan laparoskopi. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi
seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi dan sebagainya, biopsi
dapat memberi kepastian mengenai diagnosis. Pemeriksaan laboratorium pada
endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila adadarah dalam tinja
atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk tentang adanya
endometriosis pada rektosigmoid atau kandung kencing.
Diagnosis banding endometriosis berdasarkan gejala, yakni
1) Dismenorea: dismenorea primer, dismenorea sekunder yang disebabkan
antara lain adenomiosis, mioma, infeksi, dan stenosis servikalis.
2) Dispareunia : kurangnya lubrikasi,kelainan gastrointestinal (irritable bowel
syndrome), kongestif vaskular pelvik, dan sebagainya.
3) Infertilitas : anovulasi, defisiensi fase luteal, infeksi atau penyakit tuba.

2.9 Terapi
Standar terapi medis pada pasien endometriosis meliputi: analgesik (NSAID atau
acetaminophen), pil kontrasepsi oral, agen androgenik (danazol [Danocrineâ]), agen
progestogen (medroksiprogesteron asetat [Proveraâ]), hormon pelepas gonadotropin
(GnRH) misalnya leuprolid [Lupronâ], goserelin [Zoladexâ], triptorelin [Trelstar
Depotâ], nafarelin [Synarelâ]), and antiprogestogen (gestrinone).
Dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah bahwa pertumbuhan dan fungsi
jaringan endometriosis sama seperti jaringan endometrium yang normal, dimana
jaringan endometriosis juga dikontrol oleh hormon-hormon steroid. Data
laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis mengandung reseptor
estrogen, progesteron dan androgen, yakni estrogen merangsang pertumbuhan
jaringan endometriosis, androgen menyebabkan atrofi, sedang progesteron masih
diperdebatkan, namun progesteron sintetik yang mengandung efek androgenik
tampaknya menghambat pertumbuhan endometriosis.
Dari dasar tersebut, prinsip pertama pengobatan hormonal endometriosis adalah
menciptakan lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik, sehingga diharapkan
kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis dan keadaan
yang asiklik mencegah terjadinya haid yang berarti tidak terjadinya pelepasan
jaringan endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis. Kemudian
prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormon tinggi androgen atau tinggi
progestogen yang secara langsung menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Di
samping itu, prinsip tinggi androgen atau tinggi progestogen juga menyebabkan
keadaan rendah estrogen yang asiklik karena gangguan pada pertumbuhan folikel.

2.10 Terapi Pembedahan


Endometriosis yang cukup berat (stadium III atau IV) dapat menyebabkan
kelainan anatomis pelvis, dimana hal tersebut sangat memungkinkan merusak
fertilitas (kesuburan) dengan cara mengganggu jangkauan oosit dan transportasi
sepanjang tuba fallopi. Keadaan ini umumnya diterapi dengan cara pembedahan.
Pada umumnya terapi pembedahan pada endometriosis bersifat bedah konservatif
yakni mengangkat saranng-sarang endometriosis dengan mempertahankan fungsi
reproduksi dengan cara meninggalkan uterus dan jaringan ovarium yang masih sehat,
dan perlekatan sedapat mungkin dilepaskan. pembedahan konservatif dapat
dilakukan dengan dua cara pendekatan yakni laparotomi atau laparoskopi operatif.
Pembedahan konservatif pada pasien usia duapuluhan akhir dan awal empatpuluhan
terutama bila fertilitas di masa depan dikehendaki, maka endometriosis yang cukup
luas diterapi dengan:
1) reseksi endometriomata
2) melepaskan perlekatan tuba dengan atau tanpa neurektomi presakral (untuk
mengurangi dismenorea)
3) suspensi uterus (melepaskan fiksasi retroversi fundus uteri dari kavum
Douglasi akibat perlekatan endometriotik)
4) menghilangkan apendiks dikarenakan tidak jarang sarang-sarang
endometriosis terdapat pada serosa apendiks.
Pembedahan radikal dilakukan pasien usia 40 tahun dengan menderita
endometriosis yang luas disertai banyak keluhan. Pilihan pembedahan radikal
histerektomi total, salpingo-ooforektomi bilateral dan pengangkatan sarang-sarang
endometriosis yang ditemukan.

2.11 Komplikasi
Komplikasi tersering pembedahan adalah pecahnya kista, tidak dapat
terangkatnya seluruh dinding kista secara baik dan sempurna. Hal ini mengakibatkan
tingginya perlekatan pasca-pembedahan. Untuk mencegah pecahnya kista,
dianjurkan pengobatan terapi hormonal praoperatif selama beberapa bulan. Cara lain
untuk mencegahmpecahnya kista dengan pungsi kista per-laparaskopi yang
kemudian dilanjutkan terapi hormonal selama 6 bulan, tetapi cara ini masih belum
banyak dilakukan dan masih diperdebatkan.

2.12 Pencegahan
Kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis. Gejala-
gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan sesudah
kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang endometriosis. Oleh
sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama, dan sesudah
perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang diinginkan
dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak hanya merupaka
profilaksis yang baik terhadap endometriosis, melainkan menghindari terjadinya
infertilitas sesudah endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan pemeriksaan
yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, karena dapat menyebabkan
mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul.
DAFTAR PUSTAKA

1. Baziad A, Jacoeb TZ, Basalamah A, Rachman IA. Endometriosis. Dalam :


Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z, editor. Endokrinologi
Ginekologi. Kelompok Studi Endokrinologi Reproduksi Indonesia (KSERI),
Edisi Ke-1, Jakarta 1993; 107-23.
2. Prabowo, Raden P. Endometriosis. Dalam : Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Edisi Ke-2, Jakarta 2005; 314-27.
3. Manuaba, Ida Bagus G. Endometriosis. Dalam : Manuaba, editor. Kapita
Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta 2001; 526-32.
4. Mounsey A, Wilgus A, Slawson DC. Diagnosis and Management of
Endometriosis. Dalam : American Academy of Family Physician 2006, Vol.
74, No. 4; 594-602.
5. Bulun SE. Mechanisms of Disease Endometriosis. Dalam : The New
England Journal of Medicine 2009, Vol. 360, No. 3; 268-79.
6. Olive DL, Pritts EA. Treatment Endometriosis. Dalam : Wood AJ, editor.
The New England Journal of Medicine 2001, Vol. 345, No. 4; 266-75.
7. Moore JG. Endometriosis dan Adenomiosis. Dalam : ChristinamY, editor.
Esensial Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Buku Hipokrates, Edisi Ke-2,
Jakarta 2001; 401-9.
8. Taber B. Endometriosis. Dalam : Melfiawati, editor. Kapita Selekta Obstetri
dan Ginekologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 1994; 200-5.

Anda mungkin juga menyukai