Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPSUS & REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2018


UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT & LAPSUS : Demam Tifoid

OLEH :
Iin Nensi Mendo Tandirerung (C11113569)
Widya Dwi Rahmadhani (C11114538)

SUPERVISOR PEMBIMBING :
Dr. dr. Risna Halim Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM SUB-DIVISI INFEKSIUS TROPIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

1
DAFTAR ISI
BAB I LAPORAN KASUS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Demam Tifoid
2.2 Epidemiologi Demam Tifoid
2.3 Etiologi
2.3.3 Karier pada demam thypoid
2.4 Pathogenesis
2.5 Gejala Klinis
2.6 Diagnosis
2.7 Komplikasi
2.7.1 Komplikasi Intestinal
2.7.2 Komplikasi Ekstraintestinal
2.8 Penatalaksanaan
 Farmakoterapi
 Non Farmakoterapi
2.9 Pencegahan
2.10 Edukasi
2.11 Prognosis

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Tn.S
Tanggal Lahir : 28-10-1993
Alamat : Jalan Dg Tata
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Suku : Bugis
RM :147120
Agama : Islam
Status : Belum menikah
B. Subjective

a. Keluhan Utama : Demam

b. Anamnesis Terpimpin:

Seorang laki-laki umur 24 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan demam semenjak
1 minggu lalu. Demam hilang timbul dan meninggi saat sore dan malam hari. Terdapat nyeri
pada ulu hati, lemas seluruh tubuh, lidah kotor, ada mual dan muntah, nafsu makan menurun,
penurunan berat badan disangkal, tidak terdapat sesak dan nyeri dada, buang air kecil biasa,
buang air besar cair (mencret) sebanyak 1 kali. Riwayat jajan sembarangan disangkal.
Riwayat konsumsi obat tidak ada.

c. Riwayat Penyakit Terdahulu:

 Riwayat demam tifoid sebelumnya tidak ada


 Riwayat Hipertensi tidak ada

 Riwayat diabetes mellitus tidak ada

 Riwayat penyakit jantung tidak ada

d. Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak ada
e. Riwayat Kehidupan Sosial

3
 Pasien adalah seorang mahasiswa

 Pasien tinggal di kost-kostsan.

 Pasien berolahraga tidak teratur

 Tidak pernah merokok ataupun minum alkohol

 Tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan lain sebelumnya

C. Objective

a. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Sakit Sedang/gizi baik/komposmentis


b. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Sakit Sedang/gizi baik/komposmentis


Tekanan darah: 110/70mmHg Suhu: 37,4 C
Nadi: 97 x/menit
Pernapasan : 16x/menit

4
 Kepala : Simetris muka kanan dan kiri, rambut hitam, sukar dicabut

 Mata : Konjunctiva anemis (-), Sklera ikterus (-), Kornea jernih, pupil isokor ODS

 Telinga: Nyeri tekan prosesus mastoideus (-)

 Hidung: Epistaksis (-), sekret (-)

 Mulut : Bibir kering, perdarahan gusi (+), lidah kotor

 Leher : Pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-), pembesaran kel. Gondok (-), kaku
kuduk (-)

 Dada :

Inspeksi : simetris kiri dan kanan


Palpasi : tidak terdapat massa tumor, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor, batas paru hepar ICS V pulmo dextra
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, ronki (-), wheezing (-)
 Jantung

Inspeksi : Iktus cordis tidak nampak


Palpasi: Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung atas ICS II line midclavicularis sinistra, batas jantung
kanan ICS IV linea parasternalis dextra, dan batas jantung kiri ICS V linea
midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni, reguler, tidak ada murmur
 Abdomen

Inspeksi : Datar ikut gerak napas, caput medusa (-), stria (-)
Auskultasi : peristaltik ada kesan meningkat,
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, massa tumor (-), nyeri tekan pada epigastrium
Perkusi : Timpani
 Extremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)

c. Laboratorium

 Pemeriksaan darah rutin : lekosit (3.100), eritrosit (5.510.000), HB (15,3), Hematokrit


(45,6), trombosit (77.000)

5
 Tes widal : STO (1/320), STH (1/320), SPAH (1/40), SPBH ( 1/320), STOA(1/40),
STBO (1/320), STCO (-), STCH (-)

D. ASSESMENT

Demam Thypoid
DBD GRADE 2
E. PLANNING

Transfusi TC 4 bag

F. TERAPI

 IVFD Ringer Laktat 28 tpm

 Transfusi 4 bag TC

 Paracetamol 500 mg/ 8 jam

 Ranitidin amp/12 jam

 Domperidone 10 mg /8 jam

 Ceftriaxon drips 3gr dalam nacl 100cc dalam 30 menit

6
BAB II
DISKUSI

2.1 DEFINISI
Infeksi tifoid adalah penyakit menular fekal-oral yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella enterica, serotipe S typhi. Sindrom klinis serupa disebabkan oleh Salmonella
enterica, serotipe S paratyphi, dan istilah 'demam enterik' dan infeksi tipus digunakan untuk
menggambarkan kedua penyakit tersebut. Kecuali dinyatakan lain, informasi yang disajikan di
sini akan berhubungan untuk kedua penyakit (S typhi dan S paratyphi) yang digambarkan
dengan istilah infeksi tifoid.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Sejak awal abad ke – 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa. Hal ini
dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik, dan belum dimiliki oleh
sebagian besar Negara berkembang.
Insidens demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia Selatan,
Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan (insidens>100 kasus per 100.000 populasi
pertahun). Insidens demam tifoid yang tergolong sedang (10 – 100 kasus per 100.000 populasi
per tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika Latin, dan Oseania (kecuali Australia dan Selandia
baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia
lainnya.
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia tiga
sampai Sembilan belas tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia berkaitan dengan rumah
tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun
untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya
tempat buang air besar dalam rumah.
Ditjen bina upaya kesehatan masyarakat departemen kesehatan RI tahun 2010,
melaporkan demam tifoid menempati urutan ketiga dari sepuluh pola penyakit terbanyak pada
pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia (41.081 kasus).

7
2.3 ETIOLOGI
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
Typhi Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora, motil, berflagel,
berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37 ° C bersifat fakultatif anaerob dan hidup
subur pada media yang mengandung empedu. Isolat kuman Salmonella Typhi memiliki sifat
-sifat gerak positif, reaksi fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif, sedangkan hasil
negatif pada reaksi indol, fenilalanin deaminase, urease dan DNase.
Bakteri Salmonella Typhi memiliki beberapa komponen antigen antara lain antigen
dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik grup.Antigen flagella (H)
yang merupakan komponen protein berada dalam flagella dan bersifat spesifik spesies.Antigen
virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan
sel.Antigen ini menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi
antigen O dari proses fagositosis.Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan
efektivitas vaksin. Salmonella Typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagaian terluar
dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid
A.Antibodi O, H dan Vi akan membentuk antibodi agglutinin di dalam tubuh.
Sedangkan, Outer Membran Protein(OMP) pada Salmonella Typhi merupakan bagian
terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel
dengan lingkungan sekitarnya.OMP sebagain besar terdiri dari protein purin, berperan pada
patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun host .OMP
berfungsi sebagai barier mengendalikan masuknya zat dan cairan ke membran sitoplasma selain
itu berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin.
2.3.3 Karier Demam Tifoid.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung
Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada
penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 – 3 bulan masih dapat ditemukan kuman
Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal
(infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa

8
dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau
memperbaiki kelainan anatominya.

a. Healthy carrier (inapparent)


Adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah menampakkan menderita penyakit
tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada
orang lain, seperti pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
b. Incubatory carrier (masa tunas)
Adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk
menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak
dan pada virus hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis)
Adalah mereka yang baru sembuh dari penyakit menular tertentu, tetapi masih
merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa
penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella,
hepatitis B dan pada dipteri.
d. Chronis carrier (menahun)
Merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada penyakit tifus abdominalis
dan pada hepatitis B.

2.4 PATOFISIOLOGI
Langkah pertama dalam terjadinya infeksi dimulai dari adhesi dan invasi dinding usus,
dimana dibutuhkan sekitar 1.000.000 sel bakteri untuk menyebabkan infeksi. Keasaman lambung
yang rendah (seperti pada orang tua atau pada penggunaan obat antasida) dapat menurunkan
dosis infektif sampai 1000, sementara vaksinasi yang sebelumnya sudah terjadi dapat
meningkatkannya menjadi 1.000.000.000. organism menyebar keseluruh sistem
retikuloendotelial, terutama kehati, limpa, dan sumsum tulang, yang kemudian bakteri akan
muncul di aliran darah dan fase bakteri muncul kemudian.
Waktu inkubasi dari masuknya salmonella enteritica typhii dan paratyphii ke awal demam
biasanya terjadi 2 hingga 3 minggu (kisaran 3-6 hari) atau pada tahap awal infeksi dan sampai
terbentuknya bakteremia. Biasanya tidak ada gejala atau tanda klinis yang terlihat, karena sering

9
kali ada koinfeksi dengan patogen lain dengan penyebaran fekal-oral, keluhan GI, terutama
diare, yang mungkin ada.
Setelah masa inkubasi, fokus metastasis sekunder dapat terjadi, termasuk abses dan
bahkan endokarditis. Lokus infeksi sekunder yang penting adalah pada plak peyeri; daerah
dimana dapat terjadi pendarahan dan perforasi usus (penyebab utama kematian pada era pra-
antibiotik). Mungkin selama fase ini infeksi pada kandung kemih juga terjadi. Pada beberapa
pasien hal ini menyebabkan pengangkutan Salmonella typhii dan paratyphii jangka panjang
(sering seumur hidup) di empedu dan sekresi ke tinja.
Infeksi berulang dapat terjadi, meskipun dengan terapi antimikroba yang tepat, baik pada
infeksi salmonella typhii atau paratphii. Hal ini yang menyebabkan kesulitan untuk memberantas
organisme.
Masuknya kuman Salmonella typhii atau paratyphii ke dalam tubuh manusia terjadi
melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung dan
sebagiannya lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama
sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman akan berkembang biak dan di
fagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembangbiak di
dalam makrofag dan kemudian di bawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Melalui duktus torasiukus kuman yang terdapat dalam makrofag akan
masuk ke dalam sirkulasi darah yang mengakibatkan terjadinya fase bakteremia pertama yang
asimtomatik dan kemudian menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial terutama hati dan
limpa. Di organ-organ ini, kuman akan meningkalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi dan
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dimana terjadinya tanda-tanda gejala penyakit
infeksi sistemik.
Kuman masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan
melalui feses dan sebagian akan masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses
yang sama pun terulang kembali, karena makrofag yang telah teraktifasi sebelumnya menjadi
hiperaktif; maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator

10
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskular, mental, dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag yang hiperaktif akan menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S. Typhii intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan pada saluran cerna terjadi akibat akumulasi sel-sel
mononuclear di didinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga
ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibatnya timbul
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ
lainnya.

2.5 GEJALA KLINIS


Ciri khas infeksi tifoid adalah demam. Secara klasik, suhu meningkat secara bertahap selama
beberapa hari pertama dengan suhu 39 ° C sampai 41 ° C (102 ° F sampai 106 ° F).
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat , dari asimptomatik hingga gambaran penyakit
yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala dapat muncul keluhan atau gejala yang bervariasi
mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk kering sampai
dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur, makin tinggi setiap harinya, rasa tidak
nyaman di perut, sera beraneka ragam keluhan lainnya.
Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis,
seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyei
tekan perut dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau kedua-duanya.
Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan pada awal
gejala yang baru kemudian dilanjutkan dengan konstipasi terutama pada orang dewasa meskipun
jarang ditemukan. Bradikardi relatif saat demam tinggi dapat dijadikan indicator pada demam
tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam macular atau makulopapular mulai terlihat pada hari ke
7-10, terutama pada orang berkulit putih dan abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap selama
2-3 hari.

11
Sekitar 10-15% akan mengalami komplikasi, namun apabila tidak masuk ke fase komplikasi
maka gejala klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu 2-4 minggu.

2.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG


Diagnosis pasti pada demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorim didasarkan pada
tiga prinsip, yaitu :
- Isolasi bakteri
- Deteksi antigen mikroba
- Titrasi antibody terhadap organisme penyebab.
Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik, namun untuk daerah endemic
dimana sering terjadi penggunaan antibiotic yang tinggi, sensitivitas kultur darah rendah.
a. Uji Widal
Pada pemeriksaan widal, dimana pemeriksaan ini untuk mendeteksi antibody
terhadap antigen Salmonella typhii. Biasanya antibody antigen O dijumpai pada hari
ke 6-8 dan antibody terhadap antigen H dijumpai pada hari ke 10-12 setelah sakit.
Pada orang yang telah sembuh, antibody O masih tetap dijumpai setelah 406 bulan
dan antibody H setelah 10-12 bulan.
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan Ha yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Karena itu, widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan
kesebuhan penyakit.
Diagnosis didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan
berselang beberapa hari atau bila klinis disertai hasil pemeriksaan titer widal di atas
rata-raya titer orang sehari setempat.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi buji Widal yaitu : (1) Pengobatan dini
dengan antibiotic, (2) gangguan pembentukan antibody dan pemberian kortikosteroid,
(3) waktu pengambilan darah, (4) daerah endemic atau non endemic, (5) riwayat
vaksinasi, (6) reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, (7) faktor teknik pemeriksaan antar
laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk
suspense antigen.

b. Tubex

12
Pemeriksaan tubex dapat mendeteksi antibody IgM. Hasil pemeriksaan yang
postif menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella.antigen yang dipakai pada
pemeriksaan ini adalah O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D.
Pemeriksaan lain adalah Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan IgG.
Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tidoid, sedangkan terdeteksinya
IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase pertengahan. Antibodi IgG
dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk
membedakan antara kasusu akut dan kasus dalam masa penyembuhan. Yang lebih
baru lagi adalah Typhidot M yang hanya digunakan untuk mendeteksi IgM saja,
Typhidot M memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi dibandingkan
Typhidot. Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai
gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya.

2.7 KOMPLIKASI
1. KOMPLIKASI INTESTINAL
a. Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan
memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh
darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi
dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi
darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25 % penderita demam tifoid mengalami
perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi
hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila
terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kg/bb/jam dengan faktor hemostatis dalam batas normal. Jika
penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan
sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi,
maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.

b. Perforasi Usus

13
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga
namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum yang biasa terjadi maka
penderita demam tifoid dengan perforasi mengeiuh nyeri perut yang hebat terutama di daerah
kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda
ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan
karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda—tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok.
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Bila pada
gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau
subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi
usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi
adalah umur (biasanya berumur
20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S. typhi tetapi juga
untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik. Umumnya diberikan antibiotik
spektrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus
dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalamjumlah yang cukup serta
penderita dipuasakan dan dlpasang nasogostric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila
terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.

2. KOMPLIKASI EKSTRA-INTESTINAL
a. Komplikasi Hematologi
Komplikasi hematologi berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan
prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation
products sampai koagulasi intravaskuiar diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan
pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena
menurunnya produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya
destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat obatan juga menyebabkan penurunan
trombosit. Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan
adalah endotoksin mengaktifkan sistem koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin,
prostaglandin dan histamin menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah

14
dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan koagulasi (KlD kompensata maupun
dekompensata). Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan tranfusi darah, substitusi
trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula yang tidak
sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid.

b. Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam
tifoid dan lebih banyak dijumpai pada S. typhi daripada S. paratyphi. Untuk membedakan apakah
hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik,
parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim
transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan
hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan
system imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.

c. Pankreatitis Tifosa
Merupakan komplikasi yang bisa dijumpai pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat
disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik.
Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CT—Scan dapat membantu diagnosis
penyakit ini dengan akurat. Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan
pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena seperti
seftriakson atau kuinolon.

d. Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan
elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya
tanpa gejala kardiovaskular atau dapat bempa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif,
aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangatjarang terjadi. Perubahan
elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini
disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman Salmonella typhi dan miokarditis sering sebagai
penyebab kematian. Biasanya dijumpai pada pasien yang sakit berat pada infeksi keadaan akut.

15
e. Neuropsikiatrik/Toksik Tifoid
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma
atau koma, Parkinson rigidity/transient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus generalisata,
meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomieiitis, meningitis,
polyneuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dari psikosis. , Gejala demam tifoid diikuti suatu
sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut kesadaran berkabut, apatis,
delirium, somnolen, sopor,atau koma dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan
dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh
beberapa peneliti disebut sebagai toksik tifoid, sedangkan penulis lainnya menyebutnya dengan
demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan toksemia. Semua
kasus toksik tifoid, dianggap sebagai sebagai demam tifoid berat, langsung diberikan.
Pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg ditambah ampisilin 4 x 1 gram dan
deksametason 3 x 5 mg.

2.8 PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
2.Non Farmakologi
Pemberian antimikroba bertujuan untuk menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman, diantaranya adalah :
- Kloramfenikol.
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan untuk mengobati
demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per/hari dapat diberikan
secara per oral atau intravena.Diberikan sampai dengan 7 hari bebas
panas.Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini
tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman,
penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Penulis Iain
menyebutkan penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah hari ke-5. Pada
penelitian yang dilakukan selama 2002 hingga 2008 oleh Moehario LH dkk
didapatkan 90% kuman masih memiliki kepekaan terhadap antlbiotlk ini.

16
- Tiamfenikol.
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya
anemia aplastik lebih rendah dibandlngkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol
adalah 4 x500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.

- Kotrirnoksazol.
Efelctivitas obat ini dilaporkan hamper sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk
orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan
80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.

- Ampisilin dan amoksisilin.


Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan
digunakan selama 2 minggu.

- Sefalosporin Generasi Ketiga. / Seftriakson


Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk
demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam
cfekstrosa 100 cc diberikan selama 1/2 jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3
hingga 5 hari.

- Fluorokuinolon.
Golongan Fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan
pemberiannya :
 Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
 Ofloksasin dosis 2 x 400 rng/hari selama 7 hari
 Pefloksasin closis 400 mg/hari selama 7 hari
 Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
 Levofloksasin dosls 1 x 500 mg/hari selama 5 hari
17
- Azitromisin.
Azitromisin 2x500 mg menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika
dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin secara signifikan mengurangi
kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama jlka penelitian mengikutsertakan
pula strain MDR lmulti drug resistance) maupun NARST (Nalidixic Acid Resistant
Sgqohi). Jika dibandingkan dengan seftriakson, penggunaan azitromisin dapat
mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam
jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cenclerung rendah.
Antibiotlka akan terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotika ini menjadi ideal
untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typhi yang merupakan kuman
intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral
maupun suntikan intravena.

- Kombinasi Obat Antibiotika


Kombinasi 2 antibiotlk atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja
antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang pernah
terbukti ditemukan 2 rnacam organisms dalam kultur darah selain kuman Salmonella.

- Kortikosteroid.
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid
yang mengalami syok septik dengan deksametason dosis 3 x 5 mg. Pengobatan
Demam Tifoid pada Wanit Hamil Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3
kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematur, kematian fetus
intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan
digunakan pada trimester pertama kehamilan karena kemungkinan efek teratogenik
terhadap fetus pada manusia belum dapat disingkirkan. Dernikianjuga obat golongan
fluorokulnolon maupun kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk mengobati
demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah ampisiiin, amoksisilln, dan seftriakson.

2.Penatalaksanaan terapi non-farmakologi untuk pasien demam tifoid adalah:

18
1).Tirah baring absolut (bedrest total)
Penderita yang demam tifoid harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah
komplikasi,terutama pendarahan dan perforasi.Tirah baring minimal 7 hari bebas panas atau
selama 14 hari.

2).Diet
Diet pada penderita demam tifoid adalah diet tinggi kalori dan protein tetapi rendah serat
untuk mencegah pendarahan.

 Penatalaksanaan pada typhoid carier adalah :


A.Tanpa Disertal Kasus Kolelitiasis :
Pilihan regimen terapi selama 3 bulan :
1. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kg BB/hari.
2. Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kg BB/hari.
3. Trimetropin-sulfametoksasol 2 tablet/2 kali/hari.

B.Disertai Kasus Kolelitiasis :


1.Kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari,kesembuhan 80% atau kolesistektomi
+ salah satu regimen.
Terapi di bawah ini :
1. Siprofloksasin 750 mg/2 kali/hari.
2. Norfloksasin 400 mg/2 kali/hari.

C.Disertai infeksi Schistasoma Haernatobium Pada Traktus Urinarius


Pengobatan pada kasus ini harus dilakukan eradikasi S.Haematobium
1. Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau
2. Metrifonat 1,5 10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis,interval 2 minggu. Setelah eradikasi
S. Hoematoblum tersebut baru diberikan regimen terapi untuk tifoid karier seperti di atas.negara
endemic dan hiperendemilc sehingga mereka tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di
daerah kunjungan wisata.

19
2.9 PENCEGAHAN
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar
biasa demam tifoid mencakup banyak aspek. Secara garis besar ada 3 strategi pokok
untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu (1) identifikasi dan eradikasi Salmonella
typhii baik pada kasus demam tifoid atau kasus tidoid karrier, (2) pencegahan
transmisi langsung dari pasien terinfeksi, (3) proteksi pada orang yang beresiko
terinfeksi.
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan
minuman yang tidak terkontaminasi, hygiene perorangan dan terutama menyangkut
kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih
sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya kasus
tersistensi.
Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi, terutama untuk para
pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid. Jenis Vaksin
tifoid yaitu :
a. Vaksin oral : - Ty21a
Vaksin ini tersedia dalam sediaan salut enteruk, dan cair yang diberikan pada
anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing masing
diselang 2 hari. antantibiotichindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi.
Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi perlindungan 67-
82%.
b. Vaksin parenteral : -ViCPS vaksin kapsul polisakarida.
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan
diinjeksikan secara subkutan atau intra-muskular. Vaksin ini efektif selama 3 3
tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini
memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%.
c. Vaksin Vi-Conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 205 tahun di Vietnam dan memberikan
efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin
menetap selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebsar 89%.
Efek samping pemberian vaksin Ty21a menimbulkan demam pada 0-5% kasus sakit
kepala, sedangkan pada ViCPA efek samping demam lebih kecil dibandingkan oral. Namun, efek

20
samping sakit kepala terbesar pada vaksin parenteral dan memungkinkan syok meskipun jarang
terjadi.
2.10 EDUKASI

Mendidik anggota masyarakat, terutama yang paling rentan termasuk penangan makanan dan
orang-orang dalam kelompok seperti penitipan anak / staf Crèche dan peserta; Lembaga tertutup
seperti pesantren rumah hunian untuk orang tua, panti asuhan dan penjara. Hal ini didorong
untuk melakukan hal berikut:
 Berlatih mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum menyiapkan makanan
dan makan, setelah menggunakan toilet, menangani popok kotor, sprei, dll, dan menjaga
standar kebersihan pribadi yang tinggi secara umum.
 Menjaga standar kebersihan yang ketat dalam persiapan makanan dan penanganan
makanan, terutama salad dan makanan ringan lainnya
 Pastikan untuk benar mendinginkan makanan jika memungkinkan.
 Melaporkan semua kematian karena penyakit diare kepada petugas kesehatan.

2.11 PROGNOSIS
Dengan pengobatan antiobiotik yang benar, prognosis dari penyakit ini baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati, S. dkk. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi Ke 6. Departemen
Ilmu Penyakit Dalarn FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Pusat: InternaPublishing h: 549-57
2. Widodo, Dj. 2009. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V .jilid III.
Jakarta: Internal Publishing. 2797-805.
3. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 364/Menkes/V/2006/Tanggal 19 Mei 2006).

21
4. World Health Organization.Background document:The diagnosis, treatment and prevention
of Typhoid fever Communicable disease surveillance and response Vaccines and
BiologicalWHO,Geneva, 2007.Also available online at: www.who.int/vaccines documents
5. World Health Organization. Field Guideline on Control of Communicable Diseases.WHO,
Geneva, 2005.
6. Purba, I.E. dkk. (2016). Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia. Medan:
Universitas Sari Mutiara Indonesia. Sumatera Utara.
7. Centers for Disease Control and Prevention .(2010).Typhoid Vaccines What You Need to
Know. Web. 5 Februari 2018. https:// www.cdc. gov/vaccine /hcp/vis/vis-statements
/typhoid.pdf

22

Anda mungkin juga menyukai