Bab 16: Bedah Tangan: Cidera Traumatis Tangan
Basic Surgical Skills: New and
A B
Gambar. 14. A, B, dan C. Anteroposterior, oblique, dan lateral x-ray melihat jari telunjuk kiri proksimal
interphalangeal joint (PIPJ) dislokasi dorsal.
Sendi tampaknya berkurang, sinar-X diambil
untuk memastikan bahwa sendi itu kongruen,
yang ditunjukkan pada Gambar 15A-C.
Dislokasi PIPJ tidak jarang, tetapi
perawatan belum diformulasikan dengan
baik dalam pengaturan gawat darurat.
Pasien-pasien ini sering ditempatkan ke
dalam splinting berkepanjangan untuk
memungkinkan liga air mata untuk
menyembuhkan. Tapi belat yang
berkepanjangan selama lebih dari 3 minggu
akan membuat PIPJ kaku yang akan sangat
sulit untuk mendapatkan kembali fleksi
aktif penuh begitu jaringan parut terbentuk
di sekitar PIPJ. Pada cedera ini, latihan
gerak aktif kontrol dini harus dilakukan
untuk mencegah kontraktur sendi. Setelah
reduksi yang adekuat, pasien ditempatkan
dalam duri pemblokir dorsal untuk menjaga
PIPJ yang berkurang pada 30 derajat fleksi
dalam upaya untuk menghindari dislokasi
lagi. Pasien akan memulai rentang gerak
aktif untuk menjaga mobilitas sendi dan
mencegah kontraktur. Setelah sekitar 3
minggu latihan aktif, struktur ligamen
seharusnya sudah cukup pulih bagi pasien
untuk memulai gerakan jari penuh (Gbr.
16A dan B).
Ada situasi sesekali ketika PIPJ tidak
dapat dikurangi. Alasan untuk kesulitan ini
adalah bahwa pelat volar mungkin robek
dan disisipkan dalam sambungan untuk
mencegah reduksi. Situasi lain mungkin
adalah kepala phalanx proksimal yang
ditangkap antara tendon fleksor dan otot
lumbrical, yang menciptakan efek ikatan
dan mencegah reduksi.
251
Emerging Technology
C
Situasi ini mengharuskan pasien pergi ke agresif di mana fleksor tambahan selubung
ruang operasi untuk reduksi terbuka baik tendon terbuka tidak dianjurkan karena
dengan volar atau dengan pendekatan pengeringan tendon fleksor dapat terjadi.
punggung untuk menempatkan struktur Dalam teknik tertutup, dua sayatan dapat
PIPJ ke dalam penyelarasan anatomi. dibuat, satu sayatan V di atas katrol A1 dan
sayatan mid-aksial terpisah dibuat di atas
Infeksi permukaan ulnar noncontact dari
sambungan DIP untuk memberikan jalan
Pasien adalah wanita berusia 44 tahun,
keluar cairan yang diairi ke dalam selubung
yang mengalami eritema progresif dan
tendon fleksor secara proksimal. Sebuah
membengkak 2 hari setelah gigitan serangga
lubang kecil dibuat pada katrol A1 dan
kecil di jari manis kanannya (Gbr. 17). Pada
kateter 18-gauge kemudian dengan hati-hati
pemeriksaan, pasien mengalami infeksi jari
dimasukkan ke dalam selubung tendon
yang jelas dan menyebar. Ada abses pada
fleksor dan dengan lembut mengairi selubung
dorsum jari, tetapi yang lebih
tendon untuk mengevakuasi semua isi
memprihatinkan adalah nyeri luar biasa
nanah. Setelah cairan menjadi jernih, sayatan
dengan ekstensi jari yang pasif, yang
dapat dibiarkan terbuka untuk berkontraksi
mengindikasikan potensi florour
dan sembuh kedua. Jika ada kekhawatiran
tenorinovovitis yang supuratif.
untuk infeksi residu, kateter dapat dibiarkan
Tanda-tanda klasik infeksi selubung
ke dalam selubung sepuluh don dengan
fleksor meliputi pembengkakan fusiform,
menjahitnya ke kulit dan selubung tendon
kemerahan di sepanjang jari, nyeri tekan
dapat diirigasi setiap 8 jam selama 48 jam ke
dengan palpasi di atas tendon fleksor, dan
depan untuk mengevakuasi nanah
nyeri dengan ekstensi jari secara pasif.
tambahan. Seseorang harus sangat berhati-
Semua tanda ini menunjukkan infeksi
hati untuk tidak mengairi cairan secara
tendon fleksor sarung yang terkadang
agresif karena kebocoran cairan di sekitarnya
merambat di sepanjang sarung tendon ke
pergelangan tangan. Infeksi tangan adalah
keadaan darurat bedah itu membutuhkan
abses untuk dikeringkan (Gbr. 18). Abses pada
dorsum jari dapat dikeringkan dengan sayatan
terbuka, sedangkan infeksi selubung tendon
fleksor harus dievakuasi menggunakan irigasi
kateter tertutup seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 19. Pendekatan terbuka yang jauh
lebih
 252 Bagian II: Keterampilan Bedah Dasar: Teknologi Baru dan Berkembang

A B

Gambar. 15. A, B, dan C: Anteroposterior, oblique,

dan lateral x-ray setelah reduksi, menunjukkan
pengurangan yang baik, kongruen jari
C interphalangeal proksimal sendi.

ditempatkan dalam posisi tinggi, dan

selubung tendon dapat menyebabkan
terperangkapnya cairan irigasi di dalam jaringan
lunak jari, mengakibatkan sindrom kompartemen.
Pasien diberikan antibiotik spektrum luas yang
sesuai sampai infeksi sembuh. Pengobatan khas
untuk infeksi tangan adalah antibiotik, peninggian
tangan, dan imobilitas untuk mengurangi
peradangan yang terkait dengan infeksi. Pasien
harus dikeringkan dengan belat volar untuk
menjaga tangan dalam posisi istirahat,
antibiotik spektrum luas yang ditargetkan
pada bakteri yang menjadi perhatian.
Amputasi
Pasien tersebut adalah seorang pria berusia
60 tahun yang mengalami kerusakan pada
meja melihat ibu jari, jari telunjuk, dan jari
tengah. Indikasi
untuk penanaman kembali jari termasuk
amputasi jempol, amputasi beberapa jari, dan
amputasi apa pun pada anak-anak. Dalam hal ini,
ada komponen penghancur yang membuat ibu jari
dan jari telunjuk tidak dapat diselamatkan (Gbr.
20). Pasien menjalani amputasi revisi ibu jari dan
jari setelah debridemen yang adekuat. Jari tengah
menjalani perbaikan tendon fleksor, saraf, dan
sinyal digital (Gbr. 21A dan B). Manajemen
optimal untuk pasien ini adalah untuk pulih
sebagai
 Bab 16: Bedah Tangan: Cidera Traumatis Tangan 253

A B

Gbr. 16. A dan B: Ekstensi dan fleksi penuh setelah perawatan yang memadai.

Basic Surgical Skills: New and

sebanyak mungkin fungsinya. Cidera
tendon fleksor harus diperbaiki sesegera
mungkin, jika mungkin, dalam waktu 1
minggu setelah cedera untuk mencegah
tendon tertarik secara proksimal yang
akan membuat pemasangan kembali jauh
lebih sulit. Pasien ini mendapatkan
pemulihan fungsi tangan yang baik,
mengingat beratnya cedera (Gbr. 22A dan
B).
INDIKASI UNTUK
BEDAH TANGAN
DARURAT
Kekhawatiran umum adalah untuk
menentukan kapan ahli bedah tangan
harus terlibat dalam perawatan darurat
pasien cedera tangan. Ada dua situasi
ketika layanan ahli bedah tangan
mutlak diperlukan untuk
Emerging Technology
pasien datang ke ruang gawat darurat;
satu adalah masalah vaskular yang
mengganggu kelayakan digit atau tangan,
dan yang lainnya adalah infeksi. Seorang
pasien dengan cedera himpitan sekunder
atau laserasi dari kedua arteri digital ke
jari memerlukan revaskularisasi segera
oleh seorang ahli bedah mikro yang
berpengalaman untuk membangun aliran
darah ke jari atau tangan. Infeksi pada

Gbr. 17. Eritema yang menyebar di jari manis kanan. Gambar 18. Evakuasi nanah dari jari manis.
254 Bagian II: Keterampilan Bedah Dasar: Teknologi Baru dan Berkembang

Gambar 19. Drainase kateter tertutup dari tenosinovitis fleksor Gambar. 20. Cedera tangan kiri akibat gerjaji.
supuratif jari manis.

A B
Gbr. 21. A dan B: Amputasi dilakukan untuk ibu jari dan jari telunjuk dengan sisa saraf dan cedera tendon pada jari tengah.

A B

Gambar 22. A and B: Fungsi yang dapat diterima setelah rekonstruksi saraf dan tendon ke jari tengah kiri

jari atau tangan yang perlu dikeringkan,
seperti tenosynovitis bakteri, sering
dianggap darurat. Adalah penting bahwa
abses dikeringkan dengan benar, terutama
untuk pasien yang immunocompro-mised
seperti individu dengan diabetes atau
kondisi defisiensi imun lainnya. Pendek dari
kedua kondisi itu, sebagian besar cedera
tangan dapat dirujuk ke ahli bedah tangan
untuk perawatan elektif. Masalah tangan
umum yang ada di ruang gawat darurat
termasuk cedera saraf digital, yang dapat
diperbaiki dalam 2 hingga 3 minggu atau
cedera tendon yang dapat diperbaiki dalam
10 hari. Fraktur pengungsi sering dapat
dikurangi di departemen darurat dan fiksasi
yang pasti dapat dilakukan dalam 1 atau 2
minggu.
Perawatan pasien anak-anak adalah
masalah unik. Anak-anak kadang-kadang
tidak dapat mengartikulasikan secara tepat
hilangnya sensasi pada jari-jarinya atau
mungkin tidak dapat melakukannya
KOMENTAR EDITOR
Ini adalah bab yang ditulis dengan baik yang
mengasumsikan bahwa cedera tangan akan terus ada
dan bahwa banyak cedera tangan harus dirawat oleh
ahli bedah umum karena kekurangan ahli bedah
tangan. Ini mungkin tujuan yang akurat untuk bab ini
karena tidak mungkin bahwa akan ada cukup banyak
ahli bedah tangan untuk berkeliling, jadi apa yang
sebenarnya dilakukan adalah melakukan tri-usia
dengan cedera yang kurang konsekuensial dirawat
oleh ahli bedah umum dan kemudian cedera yang
lebih konsekuensial dan rumit dirawat oleh ahli bedah
tangan setelah trivia awal dan mungkin perawatan
darurat oleh ahli bedah umum.
Bagian yang sangat penting dari bab ini adalah
pemeriksaan tangan; terkait dengan itu adalah ulasan
yang baik tentang otot, tendon, dan saraf, yang dapat
dengan mudah diperiksa oleh beberapa manuver
sederhana. Dengan cara ini, triase awal dapat
diperoleh untuk jenis pasien yang akan dirawat oleh
ahli bedah tangan dan mereka yang mungkin dapat
dirawat oleh ahli bedah umum.
Perbaikan esensial yang perlu dijaga dalam
beberapa situasi oleh ahli bedah umum
meliputi:
1. Perbaikan tendon
2. Pengaturan fraktur
3. Perawatan avulsi tendon sederhana atau
bagian intrinsik tangan lainnya
4. Perbaikan lainnya yang mungkin
diperlukan pada awalnya tanpa adanya akses
ke survei tangan
Jelas dalam kasus terakhir, tidak semua ini akan
dilakukan dengan baik, atau pasti.
Dengan pemikiran ini, ulasan oleh Watt et al.
(dipublikasikan secara online di PRSjournal, Plastic
Re- constructive Surgery 2010; 126: 288e-350a)
menyarankan agar apa yang harus dapat dilakukan
oleh peserta dalam ulasan ini adalah meliputi:
1. Kenali dan rawat infeksi tangan yang umum.
Saya ingin menambahkan bahwa dokter bedah
umum yang menangani infeksi tangan harus
memiliki gagasan yang baik tentang apa
kompartemennya dan bagaimana kompartemennya
dapat ditutup oleh berbagai fasia dan tulang.
2. Tetapkan patofisiologi dan kelola cedera injeksi
tekanan tinggi dengan tepat. Secara pribadi, saya
hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang cedera
Bab 16: Bedah Tangan: Cidera Traumatis Tangan
berpartisipasi dalam pengujian aktif
tendon fleksor. Untuk alasan ini, anak-
anak sering dibawa ke ruang operasi
untuk eksplorasi untuk menentukan
tingkat cedera dan memperbaiki struktur
yang terluka. Dalam situasi ketika pasien
yang tidak sadar tidak dapat
berpartisipasi dalam pemeriksaan tangan
karena pengaruh obat atau alkohol atau
cedera kepala, pasien mungkin
memerlukan pemeriksaan lain setelah
kondisi medis mereka stabil dan pasien
cukup sadar untuk menyampaikan
pemeriksaan yang akurat.
Bab ini memberikan panduan praktis
tentang cara mendekati pasien cedera
tangan dalam keadaan darurat.
Pemeriksaan tangan yang terluka
membutuhkan latihan yang konstan untuk
mengembangkan keahlian dalam
menentukan temuan apa yang normal dan
apa yang abnormal. Penguasaan
pemeriksaan tangan dan anatomi tangan
akan mengatasi
injeksi tekanan tinggi, tetapi tampaknya dari
beberapa angka terlihat bahwa ada kekuatan
destruktif yang sangat besar tergan tung pada apa
yang terjadi dengan cedera injeksi, terlepas dari
penampilan luka yang tidak berbahaya ( Gbr. 2).
3. Tetapkan indikasi operasi untuk perawatan
kontraktur Dupuytren.
4. Memahami peran pengobatan operatif pada
rheumatoid arthritis dan osteoarthritis. Seseorang
tentu tidak ingin siapa pun kecuali ahli bedah
tangan khusus untuk melakukan pengobatan
osteoartritis parah dan mengatur ulang sendi.
Perawatan infeksi tangan mungkin merupakan
aspek terbaik danpaling bermanfaat yang dapat
dilakukan oleh ahli bedah umum dalam melihat
pasien dengan infeksi tangan. Pertama dan
terutama, sebelum kultur atau drainase dapat
diperoleh, orang harus dapat mengasumsikan
bahwa sebagian besar infeksi tangan disebabkan
oleh Staphylococcus dan Streptococcus, dan
sefalosporin atau obat lini pertama lainnya
mungkin berguna. Pada pasien dengan
penggunaan obat intravena atau yang dipenjara
atau mereka yang nondiabetes, Staphyococcus
aureus yang resisten methicillin mungkin
merupakan organisme yang menyebabkan
infeksi. Dalam situasi ini, infeksi harus diobati
secara empiris dengan Bactrim, 850 mg, tiga kali
sehari atau vankomisin. Mereka
memperingatkan bahwa cakupan Streptococcus
buruk dengan Bactrim dan vankomisin adalah
bakteri-statis, bukan bakterisidal. Dengan
demikian, pentingnya data kultur dan rejimen
antibiotik yang sesuai dengan apa yang biasanya
dimiliki oleh infeksi di masyarakat.
Ruijis et al. (Jurnal Bedah Tangan 2011;
diterbitkan online) berupaya menggunakan
tes diagnostik vasodilatasi dingin (CIVD)
setelah median traumatis atau cedera saraf
ulnaris. CIVD dapat dideteksi dengan
pendinginan yang lama pada suhu rendah.
Para penulis menguji 12 pasien, 6 di
antaranya memiliki median dan 6 sisanya
memiliki cedera saraf ulnaris, 4 hingga 76
bulan setelah perbaikan saraf. Mereka
menggunakan lempeng dingin pada suhu 5 °
C dan mengukur suhu kulit jari-jari
menggunakan termografi video. Mereka
memplot grafik perubahan suhu dari dasar
kuku. Kehadiran reaksi CIVD didefinisikan
sebagai peningkatan minimal suhu 2,5 ° C
255
kecemasan menghadapi berbagai cedera yang
menimpa tangan dan anggota badan.
BACAAN YANG DISARANKAN
Bindra RR, Dias JJ, Heras-Palau C, et al. Assessing
outcome after hand surgery: the current state.
J Hand Surg 2003;28B(4):289–4.
Cable D, Mullany C, Schaff H. The Allen Test. Ann
Thorac Surg 1999;67:876–7.
Chung K. Reconstructive surgery of the hand. In:
Greenfield LJ, ed. Surgery, scientific principles
and practice. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2001:2294–302.
Chung K. Anatomy and biomechanics of the hand.
In: Chung K, ed. Hand surgery, plastic surgery.
St Louis: Mosby; 2008:935–40.
Chung K, DJ Smith, MC Robson. Management of
thermal, electrical radiation, and chemical in-
Keterampilan Bedah Dasar: Teknologi Baru dan
juries of the hand. In: Peimer CA, ed. Surgery
of the hand and upper extremity. New York:
McGraw-Hill; 1996:1797–818.
Dias J, Garcia-Elias M. Hand injury costs. Injury
2006;37:1071–7.
Berkembang
mulai dari phalax distal. Para penulis
menggunakan ini sebagai tes keberhasilan
perbaikan saraf tetapi memperingatkan
bahwa meskipun ini mungkin merupakan
indikasi pemulihan saraf, reaksi CIVD positif
tidak termasuk gejala subyektif dari
intoleransi dingin pascatrauma.
Bukan untuk mengusulkan bahwa ahli bedah
umum akan dapat melakukan teknik perbaikan ini,
Ho AM dan Chang J menulis dalam The Journal of
Hand Surgery (2010; 35A: 308-11) menggambarkan
operasi flap perforator arteri yang mereka percayai.
flas fasciocutaneous lengan retrograde radial adalah
flap pekerja keras untuk menutupi banyak cacat
tangan dan pergelangan tangan. Mereka membahas
indikasi anatomi bedah, teknik operasi, protokol
rehabilitasi, dan potensi komplikasi dalam
melakukan hal ini. Tampaknya mekanisme
perbaikan ini berada di luar kapasitas sebagian
besar ahli bedah umum, tetapi saya akan
membayangkan bahwa dalam keadaan darurat,
tanpa ada orang di sekitar, semua komunikasi
terputus, dan isolasi, bahwa mungkin ada waktu
ketika seorang ahli bedah umum mungkin harus
membawanya. di luar. Beberapa gambar diberikan
dalam bab ini menunjukkan manfaat dari flap
perforator radikal yang dilakukan dengan baik
retrograde atau prograde agar sesuai dan
memperbaiki sejumlah cacat.
Melihat beberapa gambar dalam beberapa
bab ini, orang terkesan pada betapa rumitnya
mekanisme dari cedera tangan ini dan apa
manfaatnya bagi seseorang dengan pelatihan
lanjutan.
J.E.F.
256 Bagian II: Keterampilan Bedah Dasar: Teknologi Baru dan Berkembang
17 Bedah Robotik
Santiago Horgan dan Michael F. Sedrak
PENDAHULUAN
Sifat manusia dari ahli bedah adalah untuk
mendapatkan akses maksimal ke bidang
bedah yang diminati sambil menimbulkan
trauma seminimal mungkin kepada pasien.
Seiring dengan perkembangan teknik dan
teknologi, kemampuan untuk mencapai tujuan
tersebut telah meningkat pesat. Ahli bedah
telah memperoleh kemampuan dan keahlian
teknis terlebih dahulu untuk membuat
sayatan yang lebih kecil dan lebih strategis
untuk akses bedah terbuka, kemudian untuk
melakukan operasi yang sama menggunakan
teleskop bedah dan alat akses minimal,
kemudian ke penggunaan komputer terkini.
teknologi dan robotika tanpa bantuan untuk
lebih jauh mendapatkan akses penuh ke apa
yang sebaliknya akan sulit untuk mendekati
bidang bedah yang menarik sementara
memiliki trauma bedah sekunder yang hampir
dapat diabaikan bagi pasien.
Sebenarnya, ketika teknologi ini terus
menunjukkan kegunaannya yang sangat
besar sebagai alat untuk secara signifikan
meningkatkan kemampuan dokter bedah
dalam menangani penyakit dengan aman
dan unggul, penggunaannya pada akhirnya
akan ada di mana-mana di ruang operasi
seperti halnya perangkat teleskopik bedah
yang telah menyusup ke bedah. berlatih
dalam beberapa tahun terakhir.
Rintangan yang harus diatasi termasuk
mengembangkan dan meningkatkan teknologi
dan keterbatasan mereka, meningkatkan
pelatihan dokter dan keahlian untuk
memaksimalkan kemampuan mereka untuk
menggunakan alat-alat ini dengan aman dan
efektif, menggabungkan pelatihan teknologi ke
dalam pendidikan umum para peserta
pelatihan dalam berbagai disiplin ilmu, dan
dari Tentu saja mengelola peningkatan biaya
dengan cara yang pada akhirnya akan
memungkinkan peningkatan akses pasien ke
perawatan terbaik yang tersedia.
PLATFORMS DAN TEKNOLOGI
ROBOTIK
Sistem telemanipulasi dikembangkan dari
permulaan yang sederhana dua dekade lalu
dengan dua perangkat yang menggunakan
teknologi robot untuk mengotomatisasi
penentuan posisi kamera selama prosedur
teleskopik. EndoAssist (Armstrong Health Care,
High Wycombe, UK) menggunakan sensor
inframerah untuk mendeteksi pergerakan kepala
ahli bedah untuk melakukan manuver kamera.
Kemudian, di bawah kontrak Penelitian Inovasi
Bisnis Kecil NASA dari Jet Propulsion Laboratory,
Computer Motion Inc., Santa Barbara, CA,
mengembangkan Automated Endoscopic Sys-
tem for Optimal Positioning (AESOP)— sistem
lengan robot yang aplikasinya memasuki ruang
operasi memungkinkan ahli bedah untuk Penggunaan Perwakilan: Menurut Intuitive
Surgical, Inc., da Vinci System telah berhasil
mengontrol kamera bedah yang dikendalikan
oleh lengan robot terlebih dahulu dengan digunakan dalam prosedur berikut, antara lain:
antarmuka kaki-pedal, kemudian kemudian 1. Urologi
dengan perintah suara ketika pengalaman ■ prostatektomi radikal, pyeloplasty,
menunjukkan bahwa ini adalah metode yang kistektomi, nefrektomi, ureter reim-
disukai untuk mengendalikan lengan. plantasi.
Kemudian, memperluas teknologi mereka, 2. Gynekologi
Computer Motion Inc. mengembangkan Sistem ■ Histerektomi, miomektomi, dan
Bedah Zeusotik yang merupakan sistem robot sacrocolpopexy.
master-slave yang memungkinkan ahli bedah 3. Bedah Umum
untuk mengendalikan hingga tiga lengan ■ Kolesistektomi, Nissen fundoplication,
bedah selain sistem kamera dari konsol kontrol Heller myotomy, bypass lambung,
yang terpisah. nefrektomi donor, adrenalektomi,
Stanford Research Institute (SRI) splenektomi, dan reseksi usus.
mengembangkan sistem bedah robotik dengan
4. Bedah Jantung
penelitian yang didanai dari National Institutes
■ mobilisasi arteri mammae internal dan
of Health dan dengan minat dari Defense
ablasi jaringan jantung.
Advanced Research Projects Administration
■ perbaikan katup mitral, endoskopi defek
(DARPA). Pada akhirnya, menjadi Sistem
septum atrium penutupan.
Bedah Robot da Vinci oleh Bedah Intuitif
■ Susu untuk anterior kiri turun
Mountain View, CA, da Vinci juga merupakan
anastomosis arteri koroner untuk
sistem robot master-slave, tetapi dengan
revaskularisasi jantung dengan
beberapa keunggulan yang sangat berbeda
mediastinotomy ajuvan.
atas nenek moyangnya. Sistem ini mencakup
sistem visualisasi tiga dimensi (3-D), definisi
5. Otolaringologi
■ Orofaringeal, laring, dan
tinggi (HD) yang terintegrasi penuh yang
memungkinkan visualisasi spektakular dari hypopharyngeal reseksi; reseksi dasar
topografi bedah yang diperbesar. Selanjutnya, mulut dan rongga mulut.
instrumen memiliki pergelangan tangan yang
sepenuhnya mengartikulasikan yang benar- Dasar-Dasar Peralatan dan
benar memfasilitasi operasi dengan tingkat Pengaturan
kebebasan sedemikian rupa sehingga Sistem Bedah da Vinci memiliki konsol ahli
memungkinkan gerakan alami penuh dalam bedah di mana operator menerima gambar
bidang bedah yang paling ketat. Akhirnya, binokuler dari bidang bedah dan
sistem memiliki lengan keempat, sehingga mengoperasikan lengan robot melalui sistem
mengurangi kebutuhan akan asisten yang komputer menggunakan kontrol master. Dalam
terlatih. sistem ini, tergantung pada modelnya, tiga atau
Administrasi Makanan dan Obat-obatan empat lengan robot dirakit pada satu unit
A.S.(FDA) telah membersihkan Sistem Bedah bergerak, dengan lengan tengah mendukung
da Vinci untuk digunakan dalam prosedur dua kamera definisi tinggi paralel dan lengan
bedah urologis, prosedur bedah laparoskopi lateral yang berfungsi sebagai lengan
umum, prosedur bedah laparoskopi instrumen. Gambar diperoleh dan dikirim
ginekologis, prosedur bedah otolaringologi secara bersamaan ke dua monitor con-sole dan
transoral terbatas pada tumor jinak dan tumor diamati secara binokular paralel oleh mata ahli
bedah, memungkinkan tampilan stereoskopis
ganas yang diklasifikasikan sebagai T1 dan T2,
prosedur bedah torakoskopik umum, dan 3-D yang diperbesar dengan persepsi
prosedur kardiotomi dengan bantuan kedalaman. Posisi kamera dikontrol oleh
torakoskopi. Sistem ini juga dapat digunakan operator di konsol.
dengan mediastinotomi tambahan untuk Tip instrumen memiliki tujuh derajat
melakukan anastomosis koroner selama kebebasan dan aksi pergelangan tangan yang
revaskularisasi jantung. Sistem ini dikendalikan oleh kontrol tangan ahli bedah di
diindikasikan untuk penggunaan dewasa dan konsol yang sangat mirip dengan mekanisme
pediatrik, dan baru-baru ini disetujui untuk gerakan tangan dan pergelangan tangan pada
prosedur bedah THT otolaringologi. Ini bedah terbuka, memungkinkan tugas yang
dimaksudkan untuk digunakan oleh dokter lebih kompleks dan rumit daripada
terlatih di lingkungan ruang operasi sesuai instrumentasi laparoskopi standar di
dengan prosedur spesifik representatif yang
ditetapkan dalam Instruksi Profesional untuk
Penggunaan.
 Bab 17: Operasi Robot 257
tingkat jaringan. Sistem kopling pedal, satu set sakelar konsol, dan dua
memungkinkan penyesuaian posisi tangan ahli
bedah di konsol untuk mempertahankan
kontrol ergonomis instrumen dalam bidang
bedah yang diinginkan.
Prinsip triangulasi umumnya digunakan
dengan pengaturan sistem robot. Biasanya,
kereta pasien, lengan kamera, dan port kamera
sejajar dalam garis lurus dengan bidang yang
diminati. Dua port yang berfungsi ditempatkan
di kedua sisi kamera, memungkinkan
triangulasi ke bidang target. Port keempat
ditempatkan dengan cara yang kondusif untuk
operasi yang dilakukan dan dapat digunakan
untuk asisten atau untuk lengan robot
keempat. Dalam situasi di mana akses yang

Keterampilan Bedah Dasar: Teknologi

tidak normal diperoleh dari area kecil di tingkat
kulit, seperti dalam operasi sayatan tunggal,

Baru dan Berkembang

port yang bekerja dapat dibalik untuk
memungkinkan tingkat kebebasan yang luas di
dalam rongga, mempertahankan triangulasi
dan meminimalkan konflik peralatan.
Selain itu, kanula ditandai dengan titik
tumpu sehingga ketika port dimasukkan ke
dalam rongga yang menarik dengan kedalaman
yang tercatat pada kanula, rentang gerak
penuh dioptimalkan oleh titik titik tumpu yang
telah diukur ke pusat fokus jarak jauh ini.
seperti yang dirancang dalam perangkat lunak
terjemahan sistem robot untuk
memaksimalkan kemanjuran gerakan lengan
robot dengan torsi minimal ke pasien di lokasi
entri pelabuhan.
Akhirnya, manuver port dan arm clutch
digunakan untuk merapat kamera dan
membuat lengan sementara memaksimalkan
ruang antara lengan instrumen.

Ringkasan Sistem Robot

1. Konsol bedah: Dokter bedah beroperasi
sambil duduk di konsol menggunakan empat
kontrol utama. Gerakan jari ahli bedah
ditransmisikan oleh kontrol utama ke
instrumen yang terletak di dalam pasien.
Gambar 3-D dari bidang bedah diperoleh
dengan menggunakan lingkup 12-mm, yang
berisi dua kamera yang mengintegrasikan
gambar.master controls.
2. Menara kontrol: Komponen ini berisi
monitor, sumber cahaya, dan lampiran
kabel untuk kamera.
3. Gerobak lengan bedah: Komponen ini
menyediakan empat lengan robot, tiga
lengan instrumen, dan satu lengan
endoskop, yang menjalankan perintah
dokter bedah.
BEDAH UMUM
Bedah Bariatrik
Bypass lambung Roux-en-Y telah digambarkan
sebagai operasi bariatrik standar emas. Telah
berhasil dilakukan putaran
Gbr. 1. Pengaturan ruang operasi untuk operasi bariatrik robotik.
secara mikroskopis selama dua dekade terakhir,
tetapi secara teknis menuntut. Selain berurusan
dengan torsi peralatan pada dinding perut karena
ketebalan pasien, langkah yang paling menantang
secara teknis dalam operasi adalah menyelesaikan
anestesi gastrojejunal. Beberapa teknik telah
diuraikan, termasuk stapel linier dan sirkular, serta
anastomosis yang langsung (Gambar 1).
Untuk ahli bedah yang lebih suka
mengunyah gastrojejunostomi, penggunaan
peralatan robot yang ditingkatkan oleh
komputer memfasilitasi langkah ini karena
lengan robot mampu menstabilkan teleskop
dan instrumen dari torsi yang disebabkan oleh
dinding perut, sehingga mempertahankan
posisi instrumen dan stabilitas.
Kegunaan bantuan robot dalam penyesuaian
lambung telah dibuktikan pada pasien obesitas
yang sangat tinggi dengan BMI lebih dari 60 kg /
m2 untuk alasan yang sama tentang ketebalan
dinding perut seperti yang dijelaskan
sebelumnya.
Namun, keberhasilan banding lambung yang
dapat disesuaikan pada pasien ini
dibandingkan dengan operasi lain seperti
gastrektomi lengan atau bypass lambung
harus dipertimbangkan. Gastrektomi lengan
vertikal berbantuan robot tidak diragukan lagi
akan didemonstrasikan sebagai pilihan bedah
yang luar biasa karena hasil jangka panjang
dari gastrektomi lengan laparoskopi mulai
mengkonfirmasi keberhasilan jangka panjang
opsi bedah ini untuk pasien bariatrik. Yang
sangat berguna adalah stabilisasi kamera dan
alat-alat selama penguat garis stapel yang
praktis di samping peningkatan kapasitas
pembedahan umum.
Teknik Bedah Lambung Roux-en-Y
yang Didukung Secara Robotik
Pasien ditempatkan dalam posisi litotomi
rendah dengan kaki dan lengan terbuka;
Sebuah
258 Bagian II: Keterampilan Bedah Dasar: Baru dan Muncul
Technology
Gbr. 2. Penempatan Trocar untuk bypass lambung Roux-en-Y yang dibantu robot.
beanbag ditempatkan di bawah pasien
untuk mendukung posisi Trendelenburg
terbalik yang curam selama operasi. Dosis
tunggal antibiotik profilaksis pra operasi
(sefalosporin generasi pertama) diberikan.
Stoking antiemboli paha panjang dan alat
kompresi pneumatik berurutan ditempatkan
pada kedua ekstremitas bawah sebelum
induksi anestesi. Dosis tunggal 5.000 heparin
subkutan U diberikan untuk profilaksis
terhadap trombosis vena. Setelah anestesi
umum tercapai, tabung NG ditempatkan di
perut dan kateter Foley diletakkan pada
posisinya.
Penempatan trocar untuk bantuan pintas
lambung Roux-en-Y yang robotik ditunjukkan
pada Gambar 2. Prosedur ini dimulai dengan
membagi usus kecil ~ 50 cm di bawah sudut
Treitz menggunakan stapler vaskular; mesinasi
usus juga dibagi menggunakan stapler
vaskular. Setelah membuat anggota tubuh 150
cm, anastomosis jejunojejunal dilakukan
menggunakan 2 reload stapler vaskular.
Pembukaan usus ditutup menggunakan
dudukan ujung jarum dengan jahitan terputus
dari sutra 3-0. Cacat antara mesenterium
ditutup menggunakan jahitan sutra 3-0.
Pada saat ini, pasien ditempatkan dalam
posisi Trendelenburg terbalik; omentum
dimobilisasi dan dibelah menggunakan pisau
bedah haronik. Selanjutnya, dimulai pada
kurva yang lebih rendah (~ 5 cm dari
persimpangan gastroesofageal), terowongan
retrogastrik dibuat menggunakan pisau bedah
harmonik. Beberapa penembakan stapler
bedah dilakukan untuk membuat kantong
lambung ~ 30-cm3; setelah selesai, bagian
distal dari ileum diangkat untuk membuat
gastrojejunostomi. Di kali ini, sistem bedah
robot sisi-pasien keranjang bedah diposisikan.
Untuk melakukan gastrojejunal
anastomosis, tang Cadière melekat pada
lengan kanan dan dudukan jarum ke
lengan kiri. Lapisan posterior gastrojejunal
anastomosis dilakukan dengan sutra 3-0.
Kemudian, dengan menggunakan listrik,
pembukaan 1,5 cm dibuat di jejunum dan
kantong lambung; untuk pembukaan,
kauterisasi dihubungkan ke lengan kiri.
Setelah usus dan perut dibuka,
anastomosis buatan tangan menggunakan
robot dimulai. Jahitan yang berjalan
ditempatkan di kanan dan kiri anastomosis
menggunakan jahitan yang dapat diserap 3-
0. Lapisan serosa anterior dari anastomosis
gastrojejunal ditutup menggunakan sutra
3-0. Setelah anastomosis selesai, gerobak
bedah robotik dikeluarkan dari sisi pasien.
Tabung NG diturunkan ke dalam
kantong lambung. Ekstremitas ileum distal
dijepit, dan 60 mL metilen biru
diperkenalkan untuk menyingkirkan
adanya kebocoran. Pasien dianjurkan
untuk ambulasi pada hari operasi yang
sama. Pada hari 1 pasca operasi, pasien
menjalani gastrografin walet untuk
mengevaluasi status gastrojejunal
anastomosis. Setelah ini, mereka memulai
diet cairan bening. Pada hari ke 2 pasca
operasi, jika tidak ada komplikasi yang
dialami, mereka dipulangkan ke rumah.
Banding Lambung yang Dapat
Disesuaikan dengan Bantuan Robot
Teknik Bedah
Pasien ditempatkan dalam posisi
litotomi rendah dengan kaki dan
tangan terbuka. The (sefalosporin
generasi pertama) serta 5.000
heparin subkutan U diberikan
kepada pasien selama induksi
anestesi.
Empat troli digunakan. Yang pertama adalah
trocar bladeless 10 hingga 12 mm yang
dimasukkan di bawah penglihatan langsung 15
hingga 20 cm dari proses xiphoid menggunakan
lingkup 10-mm, 0 derajat. Pneumoperitoneum
kemudian dicapai hingga 20 mm Hg. Sisa trocar
ditempatkan di bawah penglihatan langsung
menggunakan lingkup 30 derajat. Trocar 8-mm
(lengan robot) ditempatkan tepat di bawah
tulang rusuk kiri di garis klavikula pertengahan.
Trocar 18-mm kemudian ditempatkan di sisi kiri
pada tingkat yang sama dengan kamera. Pada
titik ini, pasien ditempatkan dalam posisi
terbalik Trendelenburg, yang memungkinkan
visualisasi yang lebih baik dari persimpangan
gastroesofageal. Sayatan 5 mm dibuat di bawah
proses xyphoid untuk memfasilitasi pengenalan
Nathanson liver retractor. The last 8-mm trocar
(robotic arm) is placed ~8 cm below the right rib
cage, depending on the position of the liver edge.
Tang Cadière melekat pada lengan kanan dan
pisau bedah harmonik ke lengan kiri.
Langkah pertama operasi terdiri dari
melepaskan liga phrenogastrik untuk
mengekspos crura kiri. Kemudian,
ligamentum gastrohepatik dibuka. Lobus
kaudat hati, vena cava inferior, dan crura
kanan kemudian diekspos. Setelah
mengidentifikasi struktur-struktur ini dengan
benar, kami membuat terowongan
retrogastrik menggunakan diseksi tumpul.
Kami memulai diseksi antara tepi crura
kanan dan dinding posterior lambung, dan
dilanjutkan sampai ujung artikulasi
instrumen robot divisualisasikan di sisi lain
lambung, di sudut perut-Nya. Pada saat ini,
dan menggunakan troli 18-mm, pita
ditempatkan di dalam perut. Setelah ini,
ujung tubing ditempatkan di antara rahang
forsep Cadière, melekat pada lengan kiri, dan
pita diikatkan di sekitar perut (Gbr. 3). Karena
ujung instrumen diartikulasikan, maka tidak
perlu menggunakan pelintas pita. Kemudian
ujung tubing dimasukkan ke dalam band
buckle dan dikunci. Dengan band tertutup
dan dalam posisi, bungkus dibungkus keluar
dari perut untuk mengamankan band di
tempat. Kami menempatkan 3 (atau 4 jika
perlu) jahitan seromuskuler yang tidak dapat
diserap selama pembuatan bungkus ini (Gbr.
4). Yang pertama ditempatkan di aspek lateral
kiri kantong gas, dan dua lagi ditempatkan di
aspek anterior. Setelah band dalam posisi,
port kemudian diamankan menggunakan
empat jahitan polypropylene 2-0.

Gbr. 3. Bandul gastrik yang dapat disesuaikan
dan dibantu robot.
Akalasia
Miotomi sfingter esofagus bagian bawah,
atau myotomy Heller, adalah pengobatan
standar emas untuk akalasia. Perforasi
mukosa adalah komplikasi paling signifikan
yang spesifik untuk operasi ini dan
digambarkan dengan insidensi 5% hingga
10% dengan pendekatan laposkopik.
Dengan instrumen presisi dan 3-D yang
diperbesar, visualisasi HD yang diberikan
oleh teknologi bantuan robot yang
ditingkatkan-komputer, myotomy dapat
berhasil dan aman dilakukan dengan
visualisasi yang ditingkatkan secara
signifikan dari transisi ke mukosa. Dengan
teknik ini, sebuah studi multi-institusi yang
melibatkan 121 pasien, yang memiliki data
pra operasi serupa, menunjukkan
kemampuan untuk melakukan operasi ini
dengan perforasi 0% pada kelompok
miotomi yang dibantu robot dibandingkan
dengan 16% pada kelompok laparoskopi.
Semua data operasi dan pasca operasi
lainnya yang diukur adalah serupa dalam
hal menghilangkan gejala,
Gbr. 4. Jahitan pembungkus pita lambung yang
dapat disetel dengan bantuan robot.
mulas pasca operasi, dan waktu operasi
setelah kurva pembelajaran awal dari teknik
yang dibantu robot. Studi retrospektif ini jelas
menunjukkan peningkatan keamanan
teknologi canggih untuk operasi ini.
Teknik Operasi
Setelah induksi anestesi enkracheal umum
yang memuaskan, pasien ditempatkan
dalam posisi semilithotomy di atas "bean
bag." Penggunaan "bean bag" secara rutin
memungkinkan pasien diamankan ke tabel
ketika tanjakan terbalik Trendelenburg
dibutuhkan. Stoking kompresi pneumatik
ditempatkan di kedua kaki secara rutin, dan
kaki ditempatkan di sanggurdi. Tabung
orogastrik ditempatkan, yang mengompres
esofagus dan lambung. Penempatan trocar,
mirip dengan yang untuk mioskomi Heller
laparoskopi, identik untuk setiap prosedur
esofagus lanjutan. Dua trocar 8-mm
(ukuran trocar ini khusus untuk sistem
robot) dan dua trocar 12-mm dimasukkan.
Sayatan 0,5 cm dibuat di daerah subxifoid,
dan lobus kiri hati kemudian di-traksi
kembali secara anterior menggunakan
retraktor hati Nathanson. Pada titik ini,
gerobak bedah robot diposisikan, dan
lengan melekat pada tiga trocar spesifik.
Tang Cadière ditempatkan di tangan kiri
dokter bedah, dan kauterisasi artikulasi kait
diperkenalkan dengan tangan kanan.
Pemasangan robot biasanya dilakukan oleh
yang tahan di samping tempat tidur. Asisten
ahli bedah diposisikan di sisi kiri pasien.
Selama kasing, asisten bertanggung jawab
atas pemotongan, pengisapan, dan
pencabutan. Juga, jika perlu, asisten
mengganti instrumen robot untuk ahli
bedah yang beroperasi. Untuk alasan ini,
pelatihan dasar dalam bedah laparoskopi
dan robotika sangat penting.
Pendekatan crura kiri digunakan secara
rutin. Diseksi dilanjutkan di mediastinum
posterior lateral dan anterior untuk
mengekspos sepertiga bawah esofagus.
Pembuluh lambung pendek kemudian dibagi
dengan hati-hati. Mobilisasi penuh fundus
dilakukan dengan membagi adhesi posterior ke
kapsul anterior pankreas dalam upaya untuk
membuat ketegangan fundoplikasi parsial
bebas. Hanya bagian anterior esofagus yang
dibedah, dengan menghormati perlekatan
posterior. Liga gastrohepatik dan membran
frenoesofageal dibagi. Crura kanan dikenali
dan dipisahkan dari kerongkongan oleh diseksi
tumpul. Tidak ada diseksi posterior yang
dilakukan. Setelah bougie 44-Fr telah
dilewatkan melalui mulut, bantalan lemak
dikeluarkan untuk paparan yang lebih baik
dari persimpangan gastroesofageal. Cabang
anterior saraf vagus dimobilisasi dari dinding
esofagus.
Miotomi dimulai tepat di atas
persimpangan gastroesophageal pada
posisi jam 12 menggunakan robot
elektrokauter yang diartikulasikan robot.
Pesawat submukosa dicapai dalam satu
langkah.
Bab 17: Operasi Robot 259
Ini diikuti oleh perluasan miotomi
minimal 6 cm secara proksimal dan ~ 2
cm distal ke lambung.
Operasi antireflux yang lebih disukai
adalah fundoplikasi Dor, yang
merupakan fundoplikasi 180 derajat
anterior. Fundoplication Dor melibatkan
dua baris jahitan, masing-masing terdiri
dari tiga jahitan. Baris pertama jahitan
termasuk fundus lambung, crura kiri,
dan sisi kiri myotomy. Baris kedua
jahitan dibuat dengan menempatkan
jahitan di antara perut dan tepi kanan
myotomy.
Keterampilan Bedah Dasar: Teknologi Baru
Penilaian Tindak Lanjut
Para pasien terlihat untuk penilaian tindak
dan Berkembang
lanjut 1 minggu setelah operasi, kemudian
setiap 3 bulan untuk tahun pertama. Setelah
ini, pasien terlihat secara berkala 6 bulan, atau
sesuai kebutuhan.
Selama setiap kunjungan tindak lanjut,
evaluasi gejala rinci dilakukan untuk semua
pasien. Pasca operasi, uji fungsi barium,
endoskopi atas, dan esofagus diperintahkan
sesuai kebutuhan.
Fundoplication Lambung dan
Perbaikan Hernia Paraesophageal
Fundoplikasi lambung berbantuan robot telah
terbukti layak dengan hasil yang sama sebagai
pendekatan laparoskopi tradisional.
Peningkatan utilitas teknologi dicatat dengan
perbaikan hernia paraesophaal bersamaan,
dan dinilai secara eksponensial ketika salah
satu dari operasi ini dilakukan dalam
pengaturan operasi ulang karena visualisasi
anatomi yang ditingkatkan dengan perbesaran
3-D yang diperbesar. , Teleskop stereo HD
scopic memfasilitasi diseksi halus dengan alat
artikulasi yang stabil, sehingga
memungkinkan ahli bedah untuk berhasil dan
aman melakukan upaya ini karena mereka
bekerja untuk mengidentifikasi anatomi vital
seperti saraf vagus, aorta, vena cava, pleura,
dan perikardium di bidang reoperatif yang
sering sulit.
Operasi Kolorektal
Pemanfaatan bantuan robot yang ditingkatkan
dengan komputer meningkatkan kemampuan
ahli bedah untuk melakukan reseksi rektal
selama reseksi anterior rendah (LAR) dan reseksi
abdomino-perineum (APR). Visualisasi superior
yang disediakan oleh 3-D, stereotele HD
memfasilitasi diseksi distal maksimal dengan
instrumen artikulasi di batas panggul sementara
juga memungkinkan limfadenektomi on-cologic
dilakukan selama eksisi mesorektal total (TME) )
260 Bagian II: Keterampilan Bedah Dasar: Baru dan Muncul
Technology
sambil menghindari cedera saraf otonom
selama operasi invasif minimal. Selain itu,
ketangkasan alat memungkinkan untuk
anastomosis tangan berdasarkan preferensi
ahli bedah. Dengan adanya beberapa kuadran
abinal yang terlibat dalam operasi, karena
kolon desendens dan fleksura lienalis
dimobilisasi untuk memberikan anastomosis
bebas-ketegangan, laporan awal
menggambarkan pendekatan laparoskopi
hibrida. Namun, karena teknologi robot telah
membaik, bagian belakang sepenuhnya kiri
robotik dan kanker dubur telah dijelaskan.
Mengingat potensi reseksi onkologis maksimal
sambil mempertahankan fungsi otonom
genitourinari selama LAR dan APR, teknik ini
tentu dapat dianggap sebagai pendekatan yang
lebih disukai untuk pasien ini.
BEDAH TORAKS
Operasi Toraks Non-Kardiak
Esofagektomi
Esofagektomi transiatal invasif minimal invasif
robot adalah operasi yang jelas-jelas
memanfaatkan manfaat platform robot yang
ditingkatkan dengan komputer. Kemampuan
peralatan untuk memungkinkan ahli bedah
untuk berhasil melakukan operasi mengurangi
morbiditas kepada pasien dengan
memungkinkan trans-abdomen, pendekatan
trans-hiatal, sehingga menghindari sayatan
toraks. Peralatan memiliki artikulasi dan
jangkauan yang cukup, sedang 7,5 cm lebih
panjang dari alat laparoskopi standar,
memungkinkan diseksi yang aman dan
mobilisasi proksimal di luar tingkat carina.
Selanjutnya, visualisasi stereoskopik yang
ditingkatkan juga memfasilitasi diseksi yang
aman dan limfadenektomi onkologis di seluruh
batas terbatas dari seluruh mediastinum
posterior. Anastomosis di leher lebih disukai
karena potensi komplikasi kebocoran dapat
dikelola dengan mudah; Namun, anastomosis
mediastinal secara teknis layak dengan
bantuan robot dan masih memberikan
pendekatan invasif minimal yang dapat
mengurangi potensi morbiditas yang terkait
dengan sayatan perut atau dada yang lebar.
Evaluasi Praoperasi
Evaluasi pra operasi terdiri dari mengevaluasi
status fungsional pasien dan kemampuan
untuk mentoleransi esofagektomi (mis., Fungsi
jantung dan pernapasan). Ini juga terdiri
pementasan tumor dengan barium
esophagram, endoskopi bagian atas dengan
biopsi, ultrasonografi endoskopi, dan CT-scan
perut dan dada. Selama skrining pra operasi,
pasien dengan penyakit metastasis ke kelenjar
getah bening (mis., Celiac, serviks, atau
supraklavikula) atau organ padat (mis., Hati
atau paru-paru), dan mereka dengan
invasi struktur yang berdekatan (mis., saraf
laring rekuren, pohon trakeobronkial, aorta,
atau perikardium) dikeluarkan dari reseksi.
Sebagai gantinya, pasien-pasien ini
menawarkan terapi paliasi (mis., Stent yang
membesar dan terapi kemoradiasi).
Teknik Operasi
Setelah induksi anestesi endotrakeal
umum yang memuaskan, pasien ditempatkan
dalam posisi semiototomi di atas "kantong
kacang." Penggunaan "kantong kacang" secara
teratur memungkinkan pasien diamankan ke
meja ketika perlu membalikkan trendelenburg
yang tajam. Stoking kompresi pneumatik
ditempatkan di kedua kaki secara rutin, dan
kaki ditempatkan di sanggurdi. Tabung
orogastrik ditempatkan, yang mengompres
esofagus dan lambung. Antibiotik pra operasi
diberikan kepada pasien.
Trocar 12-mm ditempatkan pada awalnya
di bawah penglihatan langsung di perut kiri-
tengah dua jari di lateral umbilicus dan satu
lebar telapak lebih rendah dari margin kosta
kiri. Port ini digunakan untuk kamera robot.
Dua trocar 8-mm kemudian ditempatkan
untuk lengan robot: satu di garis midclavicular
sub-costal kanan dan satu di garis
midclavicular subkostal kiri. Insisi subfoidoid
5 mm digunakan untuk penempatan retraktor
hati Nathanson. Asisten port (10 mm)
dimasukkan dalam garis aksila anterior kiri 2
cm di bawah margin kosta.
Operasi dimulai dengan menggunakan
teknik laparoskopi konvensional. Pasien
ditempatkan dalam posisi Trendelenburg
terbalik curam, dan ahli bedah berdiri di
antara kaki pasien. Asisten pertama berdiri di
sebelah kiri pasien.
Crus kiri kiri pertama kali dimobilisasi dari
membran phrenoesophageal dengan bantuan
gunting ultrasonik. Setelah ini selesai, diseksi
tumpul dilakukan untuk memisahkan
kerongkongan dari crus kiri, sehingga
meminimalkan risiko perforasi. Pembuluh
lambung pendek ditranseksi menggunakan
energi ultrafik, mulai dari kutub inferior limpa.
Selama transeksi pembuluh, perawatan
khusus dilakukan untuk menghindari
kerusakan arteri gastroepiploik kanan karena
pembuluh ini bertanggung jawab untuk
memelihara saluran lambung. Ligamentum
gastrohepatik kemudian dibuka, dan cabang
hati dari saraf vagus ditranseksi.
Selanjutnya, crus kanan dilepaskan dari
koneksi menggunakan electrocautery. Jendela
retro-sophageal dibuat, dan saluran Penrose
lewat dan terpotong di depan. Tiriskan
digunakan untuk mengelilingi esofagus untuk
manipulasi lebih lanjut sebagaimana diseksi
berlanjut. Arteri dan vena lambung kiri
kemudian ditranseksi dengan alat stap linier
vaskular. Diseksi dilanjutkan terus
lengkungan yang lebih besar dan juga posterior
lambung untuk memungkinkan mobilisasi
yang memadai. Pilorus dibedah dengan hati-
hati. Dalam seri saat ini, manuver Kocher dan
pyloroplasty tidak dilakukan dalam 15 kasus
terakhir.
Gerobak bedah robotik dibawa ke posisi
cephalad kepada pasien. Lengan robot melekat
pada tiga trocar spesifik (Gbr. 5). Tang Cadière
diletakkan di tangan kiri ahli bedah. Dengan
tangan kanan, dokter bedah memperkenalkan
kauterisasi kait yang terpasang. Pengaturan ro-
bot biasanya dilakukan oleh asisten di samping
tempat tidur. Asisten ahli bedah diposisikan di
sisi kiri pasien.
Diseksi transhiatal pada kerongkongan
dimulai dan dilanjutkan dalam arah cephalad.
Kauterik artikulasi kait dan forceps Cadière
digunakan untuk diseksi sirkumferensial
esofagus yang tepat, memungkinkan akses
mudah ke lubang masuk toraks. Lampiran
jaringan lunak terbagi secara terus-menerus,
dengan sangat hati-hati untuk menghindari
pembukaan pleura.
Setelah proksimal ke carina, diseksi robotik
diselesaikan, dan gerobak robot dihilangkan.
Leher disiapkan dan dibungkus, setelah itu
dibuat sayatan serviks di sepanjang batas
anterior otot sternokleidomastoid kiri.
Mobilisasi esofagus proksimal sepanjang
mediastinum selesai.
Setelah mobilisasi esofagus selesai, lambung
di tubularisasi sepanjang kelengkungan yang
lebih rendah menggunakan stapler pemotongan
3,5 mm linear. Saluran lambung kemudian
ditarik ke atas ke mediastinum dan keluar
melalui sayatan serviks. Spesimen diangkat
melalui sayatan leher.
Kami menggunakan dua teknik berbeda
untuk menyelesaikan anastomosis
gastroesofageal. Anastomosis staples total
menggunakan perangkat stapler GIA 3,5 mm
untuk dinding posterior, dan perangkat TA 55
untuk penutupan dinding anterior. Atau,
anastomosis dua lapis yang dijahit tangan dapat
dilakukan. Saluran tunggal 7-mm ditempatkan
dekat mediastinum segera lateral dan posterior
ke anastomosis. Jejunostomi makan
laparoskopi dapat dilakukan saat ini.
Manajemen Pasca Operasi
Pasien dipindahkan ke ICU untuk observasi
pasca operasi. Ambulasi dini dianjurkan.
Kontrol nyeri pasca operasi disediakan oleh
analgesia yang dikendalikan pasien. Pada hari
1 pasca operasi, pemberian J-tube dimulai.
Studi kontras GI bagian atas dengan kontras
yang larut dalam air dilakukan pada hari ke-3
pasca operasi untuk mengesampingkan adanya
kebocoran anastomosis. Diet cairan bening
dimulai jika tidak ada kebocoran pada kontras
 Bab 17: OperasiRobotik 261
belajar. Jika ada kebocoran, saluran di leher
dibiarkan di tempat sampai kebocoran ditutup
secara spontan, dan nutrisi diberikan
sepenuhnya melalui jejunostomi makan.

Evaluasi Tindak Lanjut

Para pasien terlihat pada kunjungan tindak
lanjut 1 minggu setelah operasi, kemudian
setiap 3 bulan untuk tahun pertama. Setelah
ini, pasien dilihat secara berkala selama 1
tahun.

Mediastinum Anterior
Batas-batas anterior mediastinum
mewakili area anatomi di mana platform
robot yang ditingkatkan-komputer dapat
memungkinkan ahli bedah untuk
melakukan operasi invasif minimal
dengan aman. Visualisasi anatomi
berbahaya ini membutuhkan keuntungan

Keterampilan Bedah Dasar: Teknologi

maksimal yang diperoleh oleh teleskop
stereo-3-D, HD untuk memungkinkan
identifikasi yang aman dari struktur

Baru dan Berkembang

selama diseksi halus dengan instrumen
artikulasi, yang nilainya dalam ruang
sempit ini diperbesar dalam
memungkinkan prosedur harus
diselesaikan secara invasif minimal.

Reseksi Pulmoner
Lobektomi paru menggunakan bantuan
robotik telah terbukti layak dan telah
memfasilitasi prosedur torakoskopi karena
teknologi ini memungkinkan diseksi invasif
minimal yang ditingkatkan.

OPERASI UROLOGIS
Nefrektomi and Nefrektomi Parsial
Apakah nephrectomy dilakukan untuk
penyakit primer atau untuk pemulihan organ
dalam keadaan nephrectomy donor hidup,
morbiditas yang terkait dengan sayatan lebar
dalam operasi terbuka jelas dikurangi dengan
munculnya teknik laparoskopi pada awal
1990-an. Namun, keterbatasan teknis
membuat diseksi laparoskopi standar hilus
ginjal dalam ruang yang terbatas secara
teknis menuntut, dan visualisasi dan isolasi
ureter juga merupakan tantangan.
Keuntungan dari visualisasi yang lebih baik
dari topografi bedah serta artikulasi seperti
pergelangan tangan dari alat-alat bedah
dalam contoh-contoh ini jelas menunjukkan
manfaat dari teknologi canggih dalam
melakukan operasi dengan gangguan
seminimal mungkin kepada pasien.
Dengan perbaikan seperti itu dalam
peralatan dan teknik, manfaat tambahan
untuk perawatan donor ginjal potensial dapat
berfungsi untuk meyakinkan pasien bahwa
keputusan mereka untuk menawarkan
hadiah organ mereka untuk transplantasi
akan dilakukan dengan gangguan minimal
terhadap kualitas hidup mereka sendiri. .
Gbr. 5. Pemasangan robot untuk operasi esofagus tingkat lanjut.
262 Bagian II: Keterampilan Bedah Dasar: Baru dan Muncul
Technology
Nephron sparing nephrectomy parsial sangat
berguna dalam potensi perawatan berlebih
dengan nephrectomy lengkap dapat dihindari
karena massa ginjal dapat divisualisasikan
baik dengan teleskop bedah dan USG
intraoperatif, memungkinkan eksisi lengkap
lesi dengan margin yang jelas sambil
mempertahankan fungsi ginjal.

Teknik Operasi
Donor Nefroktomi
Setelah pemberian anestesi umum, pasien
ditempatkan pada posisi lateral lateral kanan
dengan titik-titik tekanan terlapisi. Perut
kemudian disiapkan dan dibungkus dengan
cara steril standar. Dimulai dari umbilikus,
insisi infraumbilikus 7 cm dibuat di garis
tengah, kemudian diturunkan melalui fasia
dan masuk ke rongga ab- dominal. Port
bantuan tangan dimasukkan, dan
pneumoperitoneum dicapai dengan 14 mm Hg
karbon dioksida (CO2) inflasi. Dari situs inilah
ginjal donor nantinya akan diekstraksi. Di
bawah visualisasi langsung, trocar 12-mm
ditempatkan di dinding perut lateral kiri; Troli
8-mm ditempatkan di subxifoid dan perut
lateral kiri bawah; dan trocar 12 mm lainnya
ditempatkan di daerah inguinal kiri. Gerobak
sisi pasien bedah robotik kemudian dibawa ke
posisi, dan lengan dihubungkan ke trocar (Gbr.
6).
Usus besar turun bebas dari perlekatan
lateral peritoneum menggunakan elec-
trocautery dan direfleksikan secara medial.
Saluran diidentifikasi selama diseksi sepanjang
psoas, dan dibedah secara bebas melingkar
dalam arah cephalad, dimulai pada tingkat
arteri iliaka umum kiri. Lampiran posterior
ginjal kemudian diturunkan.
Vena gonad diidentifikasi secara medial dan Gbr. 6. Pengaturan ruang operasi untuk donor
diikuti superior sampai persimpangan dengan nephrectomy.
vena ginjal kiri. Vena ginjal kemudian dibedah
bebas, dan anak-anak sungainya (goadal, Setelah penembakan stapler, setelah arteri
Prostatektomi
lumbar, dan vena adrenal kiri) dibagi antara dibagi dan pemaparan yang tepat dari vena Salah satu area pertama di mana manfaat
klip pengunci. Pada titik ini, ginjal ditarik renalis tercapai, stapler pemotong linier telemanipulasi robot yang disempurnakan
kembali secara medial, dan arteri renalis utama laparoskopi digunakan sendirian untuk dengan komputer jelas ditunjukkan adalah
bersama dengan arteri renalis asesoris transeksi vena renalis. Pada titik ini, ginjal kiri dalam penggunaan teknologi untuk
diidentifikasi dan dibedah hingga tingkat lepas dipindahkan melalui sayatan garis tengah karsinoma prostat lokal. Mempertahankan
landas aorta. bawah dan dibawa ke meja belakang di mana manfaat onkologis sambil mempertahankan
Ureter dijepit dua kali secara distal pada ia disiram dengan larutan dingin larutan status fungsional dan kualitas hidup adalah
tingkat arteri iliaka dan ditranseksi dengan University of Wisconsin. Pemeriksaan unggun pertimbangan utama untuk prosedur ini.
tajam. Pada titik ini, heparin intravena (IV) Sebagian besar margin positif terjadi di
ginjal kemudian dilakukan dengan sistem
diberikan dengan dosis 80 U / kg. Arteri renal puncak prostat, di mana bundel
robot untuk memastikan hemostasis neurovaskular berada. Dengan pembesaran
ditransisikan dengan stapler penembakan dan sementara IV protamin dosis yang tepat 3D, pencitraan HD, diseksi sepanjang
endo-TA pertama saat lepas landas dari arteri diberikan. prostat dan mempertahankan fasia prostat,
renalis. Selanjutnya, klip pengunci Setelah evakuasi pneumoperitorinum sambil meminimalkan gangguan pada saraf,
ditempatkan di atas garis staples. Arteri dan pengangkatan trocar, fascia garis tengah dengan kemampuan untuk menggunakan
kemudian dengan tajam dibagi dengan gunting bawah ditutup dengan monofilamen abl alat artikulasi di ruang terbatas
robot yang terletak agak jauh ke garis kawat sorbable nomor 1. Sayatan kulit ditutup memungkinkan kesempatan maksimal
jepit. Kami lebih suka teknik endo-TA ini dengan monofilamen subcuticular 4-0 yang untuk berhasil melakukan operasi
daripada stapler pemotongan karena hanya dapat diserap dan secara rutin diinfiltrasi sementara mencapai tujuan keberhasilan
menembakkan satu garis staples, menawarkan menggunakan bupivakain 0,25% dengan onkologis dan mempertahankan fungsi
panjang arteri tambahan. epinefrin. genitourinari pasien .

Operasi Urologis Lainnya
Kelayakan operasi robot yang disempurnakan
dengan komputer telah dibuktikan dalam
kistektomi, pieloplasti, dan obstruksi
ureteropelvic. Studi jangka panjang masih
diperlukan untuk menunjukkan penerapan
yang luas dari operasi ini relatif terhadap
standar saat ini .
OPERASI JANTUNG
Revaskularisasi Jantung
Revaskularisasi jantung secara tradisional
dilakukan melalui median sternotomi.
Sementara memberikan hasil yang sangat baik
untuk revaskularisasi koroner, morbiditas
yang terkait dengan bypass kardiopulmoner
dan sternotomi tidak signifikan. Teknik
kemudian dikembangkan agar prosedur ini
dilakukan di luar pompa dan melalui torakomi,
sehingga mengurangi masalah tersebut.
Seiring kemajuan teknologi,
penggunaan robotika yang disempurnakan
dengan komputer menunjukkan kegunaannya
yang luar biasa untuk aplikasi ini. Pertama kali
digunakan untuk pemanenan arteri toraks
internal kiri, kemudian kemudian untuk
anastomosis aktual, sistem robot
memungkinkan untuk akses invasif minimal
mengambil keuntungan dari peningkatan
visualisasi dan ketangkasan alat untuk
memungkinkan ahli bedah untuk berhasil dan
aman melakukan multi -Vessel benar-benar
endoskopi arteri koroner (TECAB).
Dengan tingkat patensi yang sebanding
dengan teknik tradisional, menghindari
morbiditas yang terkait dengan teknik
tradisional jelas menunjukkan manfaat dari
teknologi yang muncul.
Perbaikan Katup Mitral
Perbaikan katup mitral yang kompleks
adalah area di mana visualisasi dan
ketangkasan sistem robot yang
ditingkatkan komputer ditunjukkan
dengan jelas. Lebih lanjut menunjukkan
kemampuan untuk menghindari
morbiditas sternotomi, perbaikan katup
mitral robot endoskopi telah terbukti
aman, layak, dan dengan hasil
pascaoperasi yang dapat diterima secara
konsisten.
Operasi Jantung Lainnya
Sebagai teknik dan daya tahan perangkat
telemanipulasi robot dikembangkan dan
diterima, keberhasilan menggunakan teknik
robot invasif minimal tumbuh dalam
aplikasi yang digunakan dalam jantung
pembedahan, termasuk tetapi tidak
terbatas pada sinkronisasi jantung, ablasi
jaringan jantung, perbaikan defek septum
atrium, konstruksi atau penggantian katup
aorta, dan isolasi atau ablasi vena paru .
OPERASI GINEKOLOGI
Penggunaan robotik telemanipulasi yang
disempurnakan dengan komputer telah
meningkatkan keberhasilan teknik invasif
minimal dalam bedah ginekologi termasuk
melakukan histerektomi, miomektomi,
anastomosis tuba, dan prosedur rekonstruksi
panggul. Visualisasi dan ketangkasan yang
ditingkatkan terkait dengan teknik laparoskopi
standar memungkinkan penurunan tingkat
konversi dan peningkatan keberhasilan dalam
menyelesaikan operasi dengan cara yang
minim invasif.
Diseksi di sekitar ureter dan blaster secara
teknis lebih mudah dengan platform robot
dalam histerektomi yang kompleks, dan
visualisasi pesawat memungkinkan pelepasan
mioma uterus yang aman.
Diseksi rektovaginal dan presakral
difasilitasi dengan peralatan robot,
memungkinkan sacrocolpopexy untuk berhasil
diselesaikan dengan pendekatan invasif
minimal.
OPERASI PEDIATRI
Manfaat luar biasa dari operasi robot
yang ditingkatkan dengan komputer
benar-benar diperbesar pada pasien
anak. Ukuran pasien yang lebih kecil ini,
bidang operasi terbatas, dan permintaan
untuk diseksi presisi secara loga
ditingkatkan dengan alat robotik dan
visualisasi yang ditingkatkan.
Laporan pertama dari pediatrik
kardioskopi laparoskopi yang dibantu
oleh robot, menunjukkan fakta ini, dan
dengan instrumentasi presisi dan
visualisasi anatomi HD 3-D, yang
diperbesar, miomomi berhasil dan aman
dilakukan dengan visualisasi dari transisi
ke mukosa, memungkinkan hampir pasti
bahwa pendekatan invasif minimal yang
paling aman diterapkan secara efektif.
Investigasi ke dalam bedah
laparoskopi yang ditingkatkan dengan
robot bekas dalam urologi pediatrik dan
bedah kardiotoraks anak sangat
menjanjikan dan menarik.
KESIMPULAN
Kualitas perawatan harus diukur dengan
cara dan metode, di samping hasil.
Meskipun beberapa orang mungkin
berpendapat itu
Bab 17: Operasi Robotik 263
hasil yang dapat diukur umumnya mirip
dengan operasi laparoskopi standar, seperti
terlihat dengan fundoplikasi lambung Nissen,
kolesistektomi, dan bypass lambung, metode
penggunaan robotik sebenarnya
meningkatkan kualitas bedah. Manfaat
melakukan operasi maksimal dengan trauma
minimal pada pasien sangat berharga.
Keyakinan dokter bedah selama operasi,
mengetahui bahwa operasi mereka aman,
menurunkan morbiditas perioperatif dan
pasca operasi, dan menghasilkan pasien yang
menikmati yang terbaik yang kami tawarkan,
semakin memperkuat motivasi dokter bedah
untuk memodifikasi, menambah , dan
sebaliknya meningkatkan basis teknis mereka
sehingga mereka dapat menawarkan setiap
pasien perawatan terbaik dalam kemampuan
kami. Karena semakin banyak dokter dan
fasilitas yang menjalani operasi robotik dan
manfaatnya untuk pemberian perawatan
Keterampilan Bedah Dasar: Teknologi
kepada pasien mereka, dan ketika ahli bedah
yang lebih muda memperoleh pengalaman
Baru dan Berkembang
sebelumnya dalam pelatihan mereka,
kecerdikan, kreativitas, dan kemampuan ahli
bedah yang beroperasi dalam mengembangkan
operasi. teknik menerapkan teknologi terbaru
hanya akan terus tumbuh secara
eksponensial, membawa kita ke masa depan
operasi.
BACAAN YANG DISARANKAN
D’Annibale A, Morpurgo E, Fiscon V, et al. Ro-
botic and laparoscopic surgery for treatment
of colorectal diseases. Dis Colon Rectum 2004;
47(12):2162–8.
Darzi SA, Munz Y. The impact of minimally inva-
sive surgical techniques. Annu Rev Med 2004;
55:223–37.
Galvani CA, Gorodner MV, Moser F, et al.
Robotically assisted laparoscopic transhiatal
esophagectomy. Surg Endosc 2008;22(1):188–95.
Hanly EJ, Talamini MA. Robotic abdominal sur-
gery. Am J Surg 2004;188(4A):19S–26S.
Horgan S, Galvani C, Gorodner MV, et al. Robotic-
assisted Heller myotomy versus laparoscopic
Heller myotomy for the treatment of esopha-
geal achalasia: multicenter study. J Gastrointest
Surg 2005;9(8):1020–9; discussion 1029–30.
Horgan S, Vanuno D, Sileri P, et al. Robotic-
assisted laparoscopic donor nephrectomy for
kidney transplantation. Transplantation 2002;
73(9):1474–9.
Menon M, Shrivastava A, Kaul S, et al. Vattikuti
Institute prostatectomy: contemporary tech-
nique and analysis of results. Eur Urol 2007;
51(3):648–57; discussion 657–8. Epub 2006 Nov 3.
Modi P, Rodriguez E, Chitwood WR Jr. Robot-
assisted cardiac surgery. Interact Cardiovasc
Thorac Surg 2009;9(3):500–5. Epub 2009 Jun 19.
Suematsu Y, del Nido PJ. Robotic pediatric cardiac
surgery: present and future perspectives. Am J
Surg 2004;188(4A):98S–103S.
Talamini MA, Chapman S, Horgan S, et al. The aca-
demic robotics group. A prospective analysis of
211 robotic-assisted surgical procedures. Surg
Endosc 2003;17(10):1521–4. Epub 2003 Aug 15.
264 Bagian II: Keterampilan Bedah Dasar: Baru dan Muncul
Technology
18 Laparoskopi Diagnostik
Kevin C. Conlon and Paul F. Ridgway
PENDAHULUAN
Evolusi Peran Laparoskopi
Laparoskopi mewakili teknologi yang
mengganggu, di mana kesempatan teknologi
berubah dalam indikasi untuk pengobatan,
bukan hanya metode perawatan. Janji
mengurangi skor nyeri setelah operasi reseksi
laparoskopi, ileus pasca operasi yang lebih
pendek, dan rawat inap yang lebih pendek,
serta kosmesis yang lebih baik telah
mempromosikan penggunaannya dalam
banyak prosedur bedah dan ginekologi umum.
Laparoskopi selanjutnya merupakan
perubahan dalam sikap manajemen terhadap
rehabilitasi dan perencanaan pemulangan.
Bahkan dalam masyarakat di mana lama
tinggal termasuk masa pemulihan, laparoskopi
merupakan strategi invasif minimal yang
memfasilitasi peningkatan program pemulihan
dan pembuangan awal. Perlu dicatat,
bagaimanapun, dengan jalur klinis yang
terintegrasi, bahwa rawat inap di rumah sakit
setelah reseksi kolon terbuka dapat dikurangi
menjadi 2 hari, menunjukkan bahwa
perbedaan yang ditunjukkan dalam penelitian
lain mungkin tidak begitu jelas.
Banyak yang ditulis tentang operasi
endoskopi sekitar 100 tahun yang lalu; banyak
spesialisasi telah mencoba-coba berbagai
teknik yang ada
mengakses rongga tubuh dengan
instrumentasi yang belum sempurna.
Pemeriksaan laparoskopi dari rongga perut
pada manusia pertama kali dijelaskan pada
tahun 1910 oleh Jacobaeus, seorang dokter
Swedia. Dua tahun kemudian, ia menerbitkan
serangkaian 97 pasien yang dilakukan antara
tahun 1910 dan 1912 di Rumah Sakit
Komunitas Stockholm. Namun, tidak sampai
penggunaan diagnostik rutin laparoskopi
dipupuk oleh ginekologi pada awal 1970-an
bahwa laparoskopi menjadi lebih umum.
Endometriosis, infertilitas, dan penyakit kistik
ovarium tampaknya sangat sesuai untuk
evaluasi laparoskopi. Ahli bedah umum adalah
pengadopsi yang agak terlambat dengan
penggunaan laparoskopi secara rutin pada
tahun 1990-an. Manfaat dengan cepat menjadi
jelas dalam pengobatan kondisi seperti
kolesistektomi dan usus buntu. Setelah
masalah kurva belajar awal (Sweeney et al.)
Telah diatasi, laparoskopi telah menggantikan
laparotomi sebagai jalur default untuk
manajemen operasi banyak patologi bedah
umum.
Dasar Pemikiran untuk
Laparoskopi Diagnostik
Penulis awal yang menggambarkan teknik
untuk induksi pneumoperitoneum
adalah ahli kandungan hampir universal
seperti Dr Hasson (yang namanya sering
digunakan secara sinonim dengan teknik
terbuka). Banyak teknik awal dengan
demikian berpusat pada organ panggul.
Pada saat pencitraan cross-sectional secara
signifikan kurang canggih dari hari ini,
tampaknya evolusi alami bahwa laparoskopi
akan mendapat manfaat dalam evaluasi di
banyak patologi klinis jinak dan ganas.
Laparoskopi diagnostik aman, tersedia,
dan dapat diterapkan dalam manajemen
kontemporer berbagai kondisi termasuk
perut dan pelvis akut dan elektif. Peran saat
ini adalah sebagai pengganti laparotomi
eksplorasi, terutama dalam pementasan
onkologis.
Patut dicatat bahwa pengenalan
teknologi bedah tidak diajukan ke studi
ketat yang memerlukan obat-obatan baru.
Ini sangat penting di mana penggunaan
teknik akses minimal dalam diagnosis
kanker harus bermanfaat dalam hal efek
onkologis pada tumor dibandingkan dengan
pembedahan konvensional atau pencitraan
sederhana. Murthy et al. pada tahun 1989
menunjukkan bahwa cedera bedah itu
sendiri mendorong pertumbuhan tumor dan
yang lainnya menunjukkan bahwa
mengurangi trauma peritoneum
mengakibatkan penurunan implantasi sel
tumor.
 Bab 18: Laparoscopi Diagnostik 265
walaupun dengan berbagai posisi monitor.
Tumpukan laparoskopi (dengan monitor budak
kontralal jika mungkin) harus ditempatkan di
seberang tulang belakang iliaka anterior kanan
anterior (ASIS). Untuk kondisi perut bagian
atas, tumpukan paling baik ditempatkan
sesuai kolesistektomi laparoskopi di dada
kanan. Selain itu, kami secara rutin
menggunakan monitor budak di sisi
kontralateral pada tingkat yang sama.
Seringkali, pengaturan untuk
prosedur rutin ini dikompromikan untuk
menghemat waktu. Para penulis merasa
bahwa ini adalah ekonomi palsu karena
dalam kasus yang lebih sulit ini berfungsi
untuk sangat meningkatkan durasi
prosedur. Standarisasi pengaturan, pada
kenyataannya, adalah kunci efisiensi

Keterampilan Bedah Dasar: Teknologi Baru

Gbr. 1. Baki instrumen standar. pengaturan. Ini sangat difasilitasi jika ada
pengaturan "universal" untuk semua tim
bedah yang berbeda dalam suatu
departemen (Gbr. 2).

dan Berkembang
Ada banyak teori, dirangkum terbaik oleh penggenggam (termasuk setidaknya dua
karya Ziprin pada tahun 2002, tetapi penggenggam usus atraumatic), dan gunting Pendahuluan
pesannya sama; kondisi spesifik untuk (Gbr. 1). Penggunaan lensa bersudut (30/45 Pneumoperitoneum
lingkungan bedah laparoskopi derajat) diinginkan jika memungkinkan,
Induksi pneumoperitoneum dicapai dengan
meningkatkan penanaman dan kemampuan terutama jika kondisi pelvis atau pendekatan terbuka yang dimodifikasi. Banyak
invasif yang lebih agresif untuk sel-sel gastrointestinal bagian atas (GI) diduga kuat yang telah ditulis tentang keamanan
tumor yang ditumpahkan. Dengan sebelum operasi. Ini memiliki manfaat pemasangan pneumoperitoneum dengan ditutup
demikian, penggunaan laparoskopi pada kemampuan optik yang ditingkatkan tetapi (Veress) atau port optik. Dalam menafsirkan data
terapi reseksi keganasan intraabdomen mengandalkan bantuan kamera yang memiliki ini, harus dipertimbangkan bahwa metode
pantas dilakukan analisis terpisah, dan keterampilan lebih besar daripada dengan induksi pneumoperitoneum harus nyaman bagi
walaupun introduksi sudah penuh, ia cakupan yang lurus. Pelabuhan harus dipilih ahli bedah. Kami berpendapat bahwa teknik
terbuka adalah yang paling aman meskipun
memiliki pelajaran untuk kita semua. tergantung pada kenyamanan dan praktik
teknik kami sedikit berbeda; tidak satu pun dari
masing-masing. Obesitas adalah alasan utama kita
TEKNIK UMUM kami mengubah instrumen diagnostik kami,
mendukung pelabuhan bariatrik yang lebih
Faktor Pasien dan Posisi panjang di mana mandat ketebalan dinding
perut. Ada pengaturan yang sama untuk
Persiapan pasien telah dimodifikasi dari waktu ke proses peradangan perut bagian atas, Monitor
waktu. Pada hari-hari awal, tabung nasogastrik
dan kateter urin wajib untuk laparoskopi
diagnostik. Dalam waktu yang lebih baru, kami
telah meninggalkan semua ini kecuali beberapa
kasus yang dipilih. Kami meminta pasien kami Monitor
untuk membatalkan kandung kemih mereka
begitu petugas tiba untuk membawa pasien ke
ruang operasi. Pengaturan ruang operasi
tergantung pada pertimbangan faktor pasien dan
patologi. Pengaturan dasar kami tetap serupa
untuk penyelidikan sebagian besar nyeri iliac
fossa kanan (RIF) darurat. Pasien berbaring
terlentang di atas kasur busa-gel yang cocok dan
diamankan dengan dua tali meja, satu di tingkat
Equipment
paha tengah dan yang lainnya di dada bagian Surgeon rack
tengah. Jika dicurigai adanya patologi pelvis yang
signifikan atau perlunya reseksi kolon, maka Assistant
pasien ditempatkan pada bean bag dan
diamankan dengan tali dada tengah (ini
memungkinkan lebih banyak fleksibilitas dan
akses ke serviks jika mobilitas diperlukan).
Nurse
Pemilihan Alat
Set laparoskopi dasar termasuk laparoskop
(baik 5 atau 10 mm), kisaran

Surgical
instruments

Gbr. 2. Pengaturan Ruang Operasi.

266 Bagian II: Keterampilan Bedah Dasar: Baru dan Muncul
Technology
Umbilicus
Scalpel making
subumbilical skin
incision (longitudinal)
A
telah mengalami cedera yang disebabkan
oleh induksi pneumoperitoneum di lebih dari
4.000 laparoskopi. Teknik ini melibatkan
diseksi fasia infraumbilikalis di dasar
umbilikalis cicatrix menggunakan forsep
arteri, penempatan jahitan tetap
(menggunakan poliglaktin pada jarum J)
melalui fasia anterior setelah insisi vertikal
linea alba (Gbr. 3) . Fasia posterior kemudian
diinisiasi di bawah penglihatan langsung
dengan elektrokauter atau menggunakan jari
secara tumpul tergantung pada preferensi
dokter bedah.
Teknik jarum tertutup pada awalnya
dijelaskan oleh Veress pada tahun 1938.
Meskipun kami tidak menggunakannya secara
rutin, teknik ini telah digunakan kembali
dalam operasi GI atas dan bedah bariatrik.
Dengan pasien dalam posisi Trendelen, jarum
Veress dimasukkan di garis tengah, di bawah
umbilikus, mengarah ke panggul pada 45
derajat ke hontal. Yang lain lebih suka kuadran
kiri atas di atas perut. Selama pemasangan,
dinding perut harus digenggam di kedua sisi,
dengan jepitan handuk, jika perlu, dan
diangkat menjauhi visera. Saat jarum melewati
fasia dan masuk ke rongga peritoneum, dokter
bedah harus merasakan kehilangan resistensi
terhadap jarum. Tes drop saline menunjukkan
kurangnya resistensi untuk mengalir dan
kemungkinan penempatan yang benar karena
salin tersedot ke perut oleh tekanan negatif
yang disebabkan oleh dinding perut yang
terangkat. Tekanan intraabdomen harus
diukur sepanjang; biasanya, mereka tetap di
bawah 5 mm Hg. Insuffasi awal harus
ditetapkan pada laju aliran rendah sampai
entri peritoneal dikonfirmasi. Setelah
pneumoperitoneum yang adekuat terbentuk,
sayatan kulit kecil dibuat di garis tengah di
bawah umbilikus dan trochar 10 sampai 12
mm kemudian dimasukkan dalam cara yang
sama dengan jarum Veress. Trochars mungkin
memiliki "pelindung keselamatan," yang
dipasang di pegas yang melindungi
B
Gbr. 3. Teknik Modifikasi “Hasson”.
tepi tajam trochar saat memasuki rongga
peritoneum dan mengunci dalam posisi untuk
mencegah cedera organ.
Setelah peritoneum dilanggar port diamankan
dan tekanan diatur ke 12 hingga 15 mm Hg.
Kami biasanya merasa ujung bawah kisaran
memadai untuk tujuan. Port tambahan
ditempatkan menurut patologi. Kami biasanya
memulai dengan supraputik 5 mm dengan 10
mm terletak di garis tengah (antara 5 mm dan
optik) atau di kuadran kiri bawah 2 cm dan di
atas ASIS untuk membakukan urutan urutan
bagian diagnostik laposkopi untuk membantu
kelengkapan. Dalam kasus nyeri RIF, RIF
adalah tempat pertama yang memulai dengan
arah berlawanan arah jarum jam untuk
mensurvei struktur lain. Apendiks dilokasi
mengikuti teniae coli ke dasar. Itu atau
mesenterinya tidak harus dipahami sampai
keputusan untuk memilih telah tercapai.
Ovarium, tuba falopii, dan uterus kemudian
dilihat, menggunakan penggenggam tertutup
untuk mengaitkan di bawah tuba untuk
menghasilkan ovarium. Fossa iliaka kiri
kemudian dilihat untuk mensurvei usus
besar. Kemudian usus kecil “lari” dari sekum
ke kelenturan duodenomununal. Ini untuk
menyingkirkan enteritis segmental (inflamasi
atau enteritis Yersina) serta divertikulitis
Meckel. Laparoskopi dapat dilanjutkan ke
kuadran kanan atas untuk mensurvei
duodenum, hati, dan kandung empedu,
dengan demikian, melengkapi urutan
diagnostik standar.
Penempatan port tambahan adalah
diatur oleh rencana operasi yang dibuat
mengikuti bagian diagnostik dari laparoskopi.
Sebagian besar pelabuhan sekali pakai
memiliki profil bubungan yang sangat baik,
yang mencegah selip yang terkait dengan
pelonggaran yang disebabkan oleh prosedur
yang lama. Ini telah menyebabkan
pengurangan dalam penggunaan oversheath
di semua kecuali pelabuhan non-disposable.
INDIKASI (DENGAN
PERTIMBANGAN BUKTI
UNTUK PENGGUNAAN)
Kondisi Inflamasi Akut
Abdomen
Ini adalah indikasi bedah umum yang
paling umum untuk laparoskopi diagnostik
dalam penggunaan evaluasi nyeri RIF. Yang
paling penting adalah ahli bedah yang
melakukan operasi memeriksa pasien sebelum
operasi. Seringkali, saat ini, karena arahan
waktu kerja dan rotasi on-call baru, ahli bedah
mungkin tidak sama dengan ahli bedah yang
masuk. Godaan untuk menerima catatan misi
sebagai kata demi kata harus dilawan.
Informasi yang sangat baik dapat hilang yang
akan memandu laparoskopi diagnostik.
Demikian pula, semua pencitraan pra operasi
dan pekerjaan darah harus ditinjau.
Dalam algoritme pengobatan kami, kami
juga memanfaatkan laparoskopi untuk
melakukan terapi, yaitu apendektomi,
divertikulektomi Meckel, atau tambalan ulkus
duodenum berlubang (DU) yang berlubang, di
mana pun ditunjukkan. Berkenaan dengan
rasa sakit RIF, hal ini, terlepas dari review Co-
chrane, menunjukkan tingkat yang lebih tinggi
dari koleksi intrapelvic dalam apendektomi
laparoskopi untuk apendisitis perforasi. Kami
percaya bahwa percobaan yang diuji dilakukan
dalam kurva pembelajaran awal serta dengan
instrumen aspirasi yang lebih rendah. Tentu
saja dalam praktik kami, kami belum
menyaksikan tingginya angka pelvis dan
peningkatan yang signifikan dalam tingkat
infeksi luka, ditambah dengan tingkat infeksi
luka yang membaik meskipun untuk terapi
yang paling efisien dan manjur. Manfaat dari
manajemen laparoskopi DU berlubang adalah
bahwa penyakit divertikular sedang dipelajari
secara aktif dan tidak mengherankan bahwa
manfaatnya terkait pada

mengurangi rasa sakit, kosmesis yang lebih
baik, dan kembali berfungsi semula .
Trauma (tumpul, tembus)
Peningkatan pencitraan aksial telah
mengurangi utilitas untuk penggunaan rutin
laparoskopi pada trauma abdomen tumpul.
Memang, ada sejumlah kritik bukti tingkat
rendah. Secara keseluruhan, sensitivitasnya
masih di atas 90% untuk mendeteksi cedera
setelah trauma tumpul meskipun dengan
terapi teknik yang ditingkatkan untuk cedera
mungkin juga terpengaruh secara invasif
minimal.
Sebagian besar literatur trauma terdiri dari
seri kasus dan campuran trauma tembus dan
tumpul. Cukup adil untuk menyimpulkan
bahwa laparoskopi memiliki peran dalam
mengevaluasi pasien trauma penetrasi
hemodinamik stabil dan pasien trauma tumpul
hemodinamik stabil dengan temuan CT yang
signifikan. Selain itu, ini dapat mengurangi
biaya laparotomi yang tidak perlu. Teknik ini
mirip dengan laposkopi diagnostik dalam
pengaturan darurat meskipun ada lebih
penting ditempatkan pada kecepatan induksi
pneumoperitoneum dan kemampuan untuk
mengkonversi ke prosedur terbuka harus
cedera atau mandat faktor pasien. Dalam
kasus luka tembus yang signifikan, kebocoran
gas mungkin dikelola dengan penjahitan luka
sederhana secara intraoperatif. Situasi
tumpukan laparoskopi (di ASIS atau kepala
meja) tergantung pada dugaan cedera dan
mekanisme cedera. Kami masih menyukai
teknik terbuka dalam membangun pneu-
moperitoneum dan tidak melihat alasan untuk
menyimpang dari praktik standar. Perlu
dicatat bahwa ada laporan yang layak
melakukan laparoskopi di bawah anestesi lokal
di unit gawat darurat. Ketika teknologi terus
miniatur dan memungkinkan mobilitas, ada
kemungkinan di tahun-tahun mendatang
bahwa lubang alami dan laparoskopi
diagnostik yang dipandu gambar akan muncul
ke permukaan.
Elektif Abdomen
Nyeri
Nyeri perut kronis (> 6 bulan) mencakup
berbagai kondisi, sering dikaitkan dengan
kemanjuran terbatas untuk pengobatan.
Ada sedikit kualitas data yang baik untuk
memandu penggunaan laparoskopi,
sebagian besar karena berbagai macam
diagnosis terkait. Biasanya, ini merupakan
investigasi terakhir setelah pencitraan
lengkap. Efektivitas tertinggi adalah dalam
kondisi ginekologis seperti endometriosis.
Seringkali dalam kasus-kasus ini, tidak
sampai laparoskopi ketika diagnosis
tercapai. Pada saat yang sama dengan terapi
diagnosis seperti cryoablation atau
adhesiolysis
Bab 18: Laparoscopi Diagnostik
dapat dilakukan. Pemasangan sesuai standar
laparoskopi diagnostik, tetapi biasanya pasien
ditempatkan dalam posisi litotomi pada bean
bag; urutan berlangsung sesuai laparoskopi
untuk nyeri RIF.
Laparoskopi untuk nyeri perut bagian atas
kronis tidak biasa diberikan prevalensi organ
padat, yang paling baik divisualisasikan
dengan pencitraan aksial atau laparoskopi
ultrasonografi (LUS).
Tingkatan Kanker
Stadium laparoskopi (LS) pada kanker
bukanlah suatu kemajuan baru-baru ini.
Halstead memiliki seorang pasien yang
dipentaskan sebelum operasi oleh Bernheim.
Dia mengamati bahwa temuan "meta- tase
umum dapat membuat prosedur lebih lanjut
tidak perlu, menyelamatkan pasien dari
pemulihan yang berkepanjangan." Namun, ada
kekosongan setelahnya, dan tidak sampai
pekerjaan Drs Cuschieri dan Warshaw pada
akhir. 1970-an dan 1980-an yang pementasan
operasi invasif minimal sekali lagi menjadi
digunakan. Para pendukung menganjurkan LS
sebagai semakin relevan dalam beberapa
waktu terakhir sebagai strategi invasif minimal
dapat digunakan untuk memfasilitasi bypass.
LS dapat dilakukan segera sebelum konversi
ke laparotomi atau sebagai tindakan staging
interval. Di tangan berpengalaman, itu aman
dan ditoleransi dengan baik sebagai prosedur
kasus harian.
Dua tujuan utama LS adalah menentukan
resectability dan untuk mengidentifikasi
metalik okult. Kedua tujuan ini berupaya
untuk menyediakan data pementasan T dan M
yang relevan tanpa perlu morbiditas terkait
akses yang signifikan yang terlihat dengan
laparotomi. Pekerjaan awal pada 1980-an
menunjukkan bahwa lebih dari seperempat
kohortnya dikalahkan berdasarkan metastasis
hati volume kecil yang tersembunyi saja.
Meskipun ada peningkatan dalam teknologi
pencitraan, nilai tambah laparoskopi pada CT
multislice dinamis state-of-the-art tetap hingga
38% pada beberapa kanker. Namun, secara
nyata, hari ini Anda dapat mengharapkan nilai
tambah untuk sebagian besar kanker ini
mendekati 10%.
Selain menentukan metastasis okuler
dengan volume rendah, LS berperan dalam
mengidentifikasi tumor yang maju secara
locoregion, memungkinkan pasien untuk
menghindari ruang operasi untuk bypass dan
membuatnya ke kemoterapi terapi paliatif
sebelumnya.
Pencucian untuk sitologi yang diperoleh di
LS dapat diperiksa untuk karsinomatosis
okultisme. (200 mL larutan salin normal
hangat ditanamkan ke kuadran kiri dan kanan
atas dan panggul sebelum diseksi atau biopsi;
pasien diguncang di atas meja untuk
menggerakkan cairan. Cairan ini kemudian
disedot ke dalam “perangkap” dan dikirim ke
sitologi rutin.) Ini menyiratkan bahwa reseksi
tumor terjadi pada interval yang direncanakan
setelah LS. Sitologi peritoneum diusulkan
sebagai tambahan yang berguna untuk LS .
267
Secara intuitif, ini masuk akal karena
peritoneum adalah tempat kekambuhan pada
lebih dari 50% kasus kanker yang direseksi.
Masih ada kontroversi apakah harus
digunakan secara rutin. Nilai aditifnya
(perubahan manajemen spesifik sekunder ke
sitologi positif secara terpisah) berkisar hingga
8%. Perlu dicatat, bahwa mayoritas pasien
dengan sitologi peritoneum positif memiliki
metastasis terbuka yang saling berhubungan.
Sitologi memiliki nilai prediksi positif dan
spesifisitas lebih dari 90% untuk penyakit
peritoneum.
Extended LS didefinisikan di awal dengan
pemahaman yang baik tentang sifat invasi lokal
anterior, circumferential, dan posterior primer.
Ini dapat digunakan untuk tumor pankreas,
kolangiokarsinoma, tumor, dan esofagogastrik,
serta kanker GI dan limfoma yang lebih rendah.
Peran laparoskopi adalah untuk menentukan
tingkat anterior / intraperitoneal sementara
LUS dan CT kualitas baik pra-operasi
memungkinkan dokter yang hadir untuk
menentukan hubungan postero-lateral /
retroperitoneal di mana saja yang sesuai.
Laparoskopi dimulai setelah anestesi umum
diperkenalkan. Sangat membantu untuk
menandai sayatan definitif pada kulit,
memungkinkan port untuk ditempatkan pada
luka laparotomi ultimat (Gbr. 4). Pasien
kemudian ditempatkan di 25 derajat anti-
Trendelen dan laparoskopi umum dilakukan.
Keempat kuadran dan panggul diperiksa
untuk setiap metastasis kotor. Adhesi yang
sudah ada sebelumnya dibedah pada saat ini
jika mereka membatasi inspeksi yang
memadai. Peritoneum diperiksa di semua
kuadran; Namun, perhatian khusus
ditempatkan di bagian atas perut. Di sinilah
lensa bersudut terbukti paling berguna. Hati
diperiksa secara sistematis dengan “palpasi.”
Biasanya, semua bagian posterior segmen 4a,
7, dan 8 dapat dilihat. Teknik ini menggunakan
dua sektor untuk meratakan kecembungan
permukaan hati, satu "mengejar" setelah yang
lain (Gbr. 5). Laparoskop disimpan dalam jarak
dekat dan didorong di atas permukaan. Hal ini
memungkinkan apresiasi terhadap lesi
substansi subkapsular yang halus serta
superfisial. Ini menyimpulkan pementasan "M".
Haruskah tidak ada bukti metapasang surut,
cekungan nodal diperiksa. Kantung yang lebih
rendah dibuka di mana saja sesuai dengan
insisi omentum gastrokolik. Ini mudah dicapai
pada sekitar 80%, tanpa perlu diseksi
ultrasonik. Setelah kantung terbuka, mungkin
akan dilakukan pemeriksaan tumor dan biopsi
primer, walaupun ini tidak rutin.
LUS telah diperkenalkan sebagai tambahan
untuk LS terutama untuk mendeteksi
metastasis hati kecil, untuk mengevaluasi
status kelenjar getah bening, dan untuk
mendefinisikan anatomi vaskular terkait
dengan
268 Bagian II: Keterampilan Bedah Dasar: Baru dan Muncul
Technology
tumor primer (Gbr. 6). Yang terakhir ini sangat
relevan ketika pencitraan CT tidak jelas
mengenai kehormatan. Memang, analisis
prospektif LS dengan LUS adalah sekitar 30%
lebih spesifik dan akurat dalam memprediksi
resectabilitas tumor daripada laparoskopi saja.
Ultrasonografi laparoskopi secara signifikan
lebih spesifik untuk menilai kemampuan tidak
berespon dibandingkan dengan CT
sebelumnya. Metode pementasan N yang
akurat tetap sulit dipahami, meskipun LUS
tidak diragukan berguna dalam mengevaluasi
tumor primer dan anatomi vaskular
peripancreatic. Beberapa penulis
mengusulkan bahwa penambahan LUS dapat
memberikan kemampuan yang sama untuk
5-mm port membuka operasi dalam menentukan
5-mm port visibilitas, tanpa trauma terkait akses
10–12 mm port tambahan. Implementasi program pementasan
10/11-mm port LUS ajuvan semacam itu tidak tanpa implikasi
(camera) sumber daya. Teknik dan interpretasi
membutuhkan pelatihan yang memadai.
Dalam kasus pankreas, pasien ditempatkan di
anti-Trendelenburg curam dan omentum yang
lebih besar ditempatkan di kuadran kiri atas.
Gbr. 4. Penempatan port untuk kanker saluran cerna bagian atas (GI). Hal ini memungkinkan ligamentum Treitz dan
mesocolon transversal terpantau. Ini adalah
pengalaman penulis bahwa tumor
menggelembung melalui berdekatan dengan
Falciform vena mesenterika inferior biasanya
ligament menunjukkan ketidakteraturan. Pada pasien
yang lebih kurus, denyut nadi mesenterika
superior terlihat. LUS dapat mengklarifikasi
temuan yang ambigu.

KONTRAINDIKASI
Dalam laparoskopi kontemporer, ada beberapa
kontraindikasi absolut. Umumnya, mereka
pada pasien yang secara medis dianggap tidak
Liver layak untuk anestesi umum atau yang
memiliki diatesis perdarahan yang sedang
berlangsung. Kontraindikasi relatif juga ada
Blunt 10-mm dan muncul dalam setiap keputusan untuk
instrument beroperasi berdasarkan kasus per kasus .
Stomach Ini tercantum dalam Tabel 1. Perlu dicatat
Gbr. 5. Pemeriksaan pada liver. bahwa kekhawatiran sebelumnya bahwa
penciptaan pneumoperitoneum akan
menghasilkan penyebaran penyakit ganas
dalam rongga peritoneum belum
ditanggung oleh pengalaman klinis. Seri
klinis besar telah menyarankan bahwa
kejadian port-situs atau rekursi insisional
mirip dengan operasi terbuka setelah
kurva pembelajaran telah
Liver diperhitungkan.

BUKTI KESIMPULAN
Laparoskopi diagnostik memiliki peran
penting dalam pengelolaan berbagai kondisi
perut akut dan subakut. Ini layak dan aman
pada pasien trauma yang stabil secara
modinamik. Sebagian besar kontraindikasi
sekarang relatif. Laparoskopi dalam
diagnosis dan pengobatan keganasan
sekarang sudah mapan dengan metastasis
port-site jarang terjadi.
Gbr 6. Pemeriksaan lambung menggunakan probe linear array laparoscopic ultrasound (LUS).
 Bab 18: Laparoscopi Diagnostik 269

Minnard EA, Conlon KC, Hoos A, Dougherty EC,

Table 1 Kontraindikasi (Relatif) dan Risiko Terkait Hann LE, Brennan MF. Laparoscopic ultra-
sound enhances standard laparoscopy in the
Kontraindikasi (Relatif) Risko yang Mungkin Terjadi staging of pancreatic cancer. Ann Surg 1998;
operasi sebelumnya Perlengketan menyebabkan belum diakui cedera visceral 228(2):182–7.
usus gembur Paraskeva PA, Ridgway PF, Jones T, Smith A,
Intra-abdominal sepsis usus rentan terhadap cedera gembur tergantung usus rentan Peck DH, Darzi AW. Laparoscopic environ-
terhadap akses mental changes during surgery enhance the
invasive potential of tumours. Tumour Biol
obstruksi Morbid obesitas cedera diffi kultus, persyaratan untuk instrumen lagi 2005;26(2):94–102.
Peningkatan Ridgwa y PF, Smith A, Ziprin P, et al. Pneumo-
intra-abdominal Cedera tekanan untuk gravid rahim peritoneum augmented tumor invasiveness is
distress janin abolished by matrix metalloproteinase block-
Vascular cedera ade. Surg Endosc 2002;16(3):533–6.
kehamilan Saenz NC, Conlon KC, Aronson DC, LaQuaglia MP.
penyakit aorta atau iliac aneurismal The application of minimal access procedures
Cardiopulmonary kompromi ↑ -Abdominal intra tekanan mungkin signifi cantly in infants, children, and young adults with pe-
mengurangi cardiac diatric malignancies. J Laparoendosc Adv Surg
preload CO 2 insuffl asi dapat mengakibatkan CO 2 Tech A 1997;7(5):289–94.
BACAAN YANG DISARANKAN penyimpanan
Conlon KC, Rusch VW, Gillern S. Laparoscopy:
an important tool in the staging of malignant
Shoup M, Brennan MF, Karpeh MS, Gillern SM,
McMahon RL, Conlon KC. Port site metastasis
Bartlett DL, Conlon KC, Gerdes H, Karpeh MS Jr. pleural mesothelioma. Ann Surg Oncol 1996; after diagnostic laparoscopy for upper gastro-

Basic Surgical Skills: New and

Laparoscopicultrasonography:thebestpretreat- 3(5):489–94. intestinal tract malignancies: an uncommon

Emerging Technology
ment staging modality in gastric adenocarcino- Decadt B, Sussman L, Lewis MP, et al. Random- entity. Ann Surg Oncol 2002;9(7):632–6.
ma? Case report. Surgery 1995;118(3):562–6. ized clinical trial of early laparoscopy in the Shoup M, Winston C, Brennan MF, Bassman D,
Brooks AD, Mallis MJ, Brennan MF, Conlon KC. The management of acute non-specific abdominal Conlon KC. Is there a role for staging laparos-
value of laparoscopy in the management of amp- pain. Br J Surg 1999;86(11):1383–6. copy in patients with locally advanced, unre-
ullary, duodenal, and distal bile duct tumors. J Gas- Hasson HM. Open laparoscopy vs. closed laparos- sectable pancreatic adenocarcinoma? J Gastro-
trointest Surg 2002;6(2):139–45; discussion 145136. copy: a comparison of complication rates. Adv intest Surg 2004;8(8):1068–71.
Chol YB, Lim KS. Therapeutic laparoscopy for ab- Plan Parent 1978;13(34):41–50. Sweeney KJ, Dillon M, Johnston SM, Keane FB,
dominal trauma. Surg Endosc 2003;17(3):421–7. Hochwald SN, Weiser MR, Colleoni R, Brennan MF, Conlon KC. Training in laparoscopic appendec-
Conlon KC. Value of laparoscopic staging for Conlon KC. Laparoscopy predicts metastatic tomy. World J Surg 2006;30(3):358–63.
upper gastrointestinal malignancies. J Surg disease and spares laparotomy in selected pa- Warshaw AL, Gu ZY, Wittenberg J, Waltman AC. Pre-
Oncol 1999;71(2):71–3. tients with pancreatic nonfunctioning islet cell operative staging and assessment of resectability
Conlon KC. Staging laparoscopy for gastric cancer. tumors. Ann Surg Oncol 2001;8(3):249–53. of pancreatic cancer. Arch Surg 1990;125(2):230–3.
Ann Ital Chir 2001;72(1):33–7. Leppaniemi A, Haapiainen R. Diagnostic laparos- Ziprin P,Ridgway PF, Peck DH, Darzi AW. The theo-
Conlon KC, Brennan MF. Laparoscopy for staging ab- copy in abdominal stab wounds: a prospective, ries and realities of port-site metastases: a critical
dominal malignancies. Adv Surg 2000;34:331–50. randomized study. J Trauma 2003;55(4):636–45. appraisal. J Am Coll Surg 2002;195(3):395–408.

EDITOR’S COMMENT tend to use a left upper quadrant location to place laparoscopy is usually considered a basic proce- the
Veress needle. After drop test and insufflation dure, advanced laparoscopic skills may be neces-
pressures confirm intra-abdominal needle posi- sary if bleeding, perforation, or other complica-
As an early proponent of laparoscopic ultrasonog- tion, I will use an optical trochar. Radial expanding tions are encountered. Even though laparoscopy
raphy and diagnostic laparoscopy for staging of ports do not slip or require a fixation device. is usually safe, if laparotomy is planned, laparos-
malignancy, Professor Conlon is uniquely quali- In general, I will examine the pelvis, midabdo- copy offers little-to-no added benefit.
fied to summarize the indications, contraindica- men, right upper quadrant, and left upper quadrant Diagnostic laparoscopy is contraindicated
tions, and value of diagnostic laparoscopy. His in that order. Adjusting the patient and table posi- in the setting of a frozen pelvis, uncorrected co-
initial studies demonstrated the value of laparo- tions in Trendelenburg and steep reverse Trendelen- agulopathy, inability to tolerate general anesthe-
scopic evaluation prior to pancreatic resection, burg, or “airplaning” the table right and left makes sia, or inability to tolerate laparotomy. Previous
and today laparoscopic evaluation is a common use of gravity to better expose the operative field surgery increases the potential of visceral injury.
practice among hepatobiliary surgeons. from bowel loops. Pelvic structures are best visual- The authors review relative contraindications.
In order for diagnostic laparoscopy to be a ized with the patient in 40-degree Trendelenburg Morbid obesity requires longer instruments,
useful adjunct, surgeons need to develop a sys- (head-down) position. I will consult gynecology and sometimes higher insufflation pressures
tematic approach to ensure a thorough laparo- specialists if an abnormal ovary, fallopian tube, or to maintain an adequate pneumoperitoneum
scopic abdominal exploration. I use a 5-mm lap- uterus is identified at laparoscopy, and will digitally working space. Injury to the gravid uterus or fe-
aroscope, and will increase size and use a 10-mm record all abnormalities. The midabdomen is best tal distress may occur during pregnancy. Vascu-
laparoscope only if I intend a therapeutic inter- seen with the patient flat and in neutral position. lar injury is more likely in the presence of aortic
vention. A second port will facilitate adhesiolysis. The anterior stomach and intestine can be run with or iliac aneurysm. High insufflation pressures
A third port is usually required to retract, extract, blunt graspers. Next, with the patient head-up and may reduce cardiac preload and require abor-
or biopsy tissues. If intraoperative ultrasonogra- rotated to the left, the gallbladder can be inspected. tion of the procedure.
phy is planned, larger ports will be required. Lastly, the left upper quadrant is best seen with the Laparoscopic examination has proven to be
Drs Conlon and Riddway favor an open Hasson patient in reverse Trendelenburg and the table ro- valuable in a variety of clinical settings: acute
technique for abdominal access in order to avoid tated to the right. Laparoscopic examination must abdominal pain, chronic pain syndromes, fo-
bowel injury, vascular injury, bladder perforation, be done systematically or the surgeon may miss cal liver disease, abdominal masses, ascites, and
hematoma, and extraperitoneal insufflation. He abnormalities. retroperitoneal disease. Future applications for
uses the infraumbilical site. Alternatively, he de- Biopsies should be performed for suspicious diagnostic laparoscopy are evolving as surgeons
scribes a closed technique in which he lifts the skin lesions, although all lesions should not be biop- become more experienced with laparoscopy and
with two towel clips and inserts the Veress needle, sied. Biopsy of hepatic hemangiomas, for example, ultrasonography.
again at the umbilicus. A drop test is performed. I can cause brisk hemorrhage. Although diagnostic D.B.J.
Kepala dan Leher III
 19 Anatomi Kepala dan Leher
Aaron Ruhalter
ANATOMI PERMUKAAN
Anatomi permukaan adalah hubungan antara
struktur yang terlihat dan / atau teraba
dengan struktur yang tidak terlihat dan / atau
teraba. struktur terlihat dan / atau teraba di
leher adalah sebagai berikut :
1. Sternocleidomastoid (sternomastoid) otot
yang melekat pada aspek superior dari
tulang dada manubrium oleh kepala
tendinous dan dari ketiga medial
klavikula oleh seorang kepala otot.
Melewati superior dalam lateral, dan
kemudian posterior, arah. lampiran
superior adalah untuk proses mastoid,
dan ujung lateral dari garis kuduk
superior. kontraksi unilateral dari otot
mendekati telinga ke bahu ipsilateral,
sementara memutar dagu ke sisi
kontralateral. kontraksi bilateral otot
dapat mengakibatkan baik exion fl atau
ekstensi kepala. Jika kepala sedikit fl
Exed, kontraksi bilateral akan
menghasilkan peningkatan exion fl. Jika
kepala sedikit diperpanjang, kontraksi
bilateral akan menghasilkan
peningkatan ekstensi. Denyutan arteri
karotis teraba, anterior ke tepi otot.
2. otot Trapezius yang memiliki asal yang
sangat luas dari bagian medial dari garis
unggul nuchal, oksipital tonjolan
eksternal, ligamentum nuchae, proses
spinosus, dan ligamen supraspinata dari
vertebra toraks. Th e otot serat-serat
berkumpul dan masukkan pada ketiga
lateral klavikula dan proses akromion
skapula. Karena asal-usul yang luas dari
otot, kontraksi berbeda akan menciptakan
gerakan berbeda. Kontraksi dari serat-
serat atas akan menyebabkan elevasi
skapula. Depresi skapula diciptakan oleh
kontraksi dari serat-serat rendah. Bagian
tengah serat akan menyebabkan tepi
medial skapula untuk mendekati garis
tengah. Th e cabang eksternal dari saraf
aksesori menyediakan persarafan ke
trapezius dan otot sternokleidomastoid.
3. Proses mastoid.
4. Ramus mandibula.
5. Tulang hyoid, teraba di garis tengah leher
ketika mandibula sedikit tertekan. Hal
ini terletak di tingkat vertebra serviks
ketiga. tanduk Th e lebih besar dari tulang
hyoid dapat ditelusuri penghentian lateral.
Ini adalah adalah tingkat perkiraan asal
cabang lingual dari arteri karotis eksternal.
Th e cabang tiroid superior muncul hanya
kalah dengan titik ini, dan cabang wajah
dimulai hanya unggul tengara teraba sama
272
6. Fused lamina dari kartilago tiroid. e tepi
atas th struktur teraba ini terletak pada
tingkat vertebra serviks keempat. Ini
merupakan situs bifurkasi dari arteri
karotid.
7. Lengkungan kartilago krikoid, teraba di
bawah ujung inferior lamina tiroid. Sebuah
cacat kecil memisahkan mereka. Th e
krikoid tulang rawan merupakan “tambang
emas anatomi” karena itu adalah tengara
bagi banyak kejadian anatomi. Ini dapat
disebut sebagai “pesawat krikoid.”
a. Saat laring berakhir, dan trakea
dimulai.
b. Saat faring berakhirm dan
kerongkongan dimulai.
c. Kartilago krikoid berada pada tingkat
vertebra servikal keenam.
d. Tendon tengah pada otot omohyoid
ditemukan pada anterior selubung
karotis.
e. Arteri tiroid inferior melewati bagian
posterior selubung karotis dalam kea
ra lobus lateral kelenjar tiroid.
f. Ganglion servikal simpatetik tengah
terletak melintang dari vertebra
servikalis keenam.
g. Nervus laryngeal masuk laring.
h. Ansa servikalis ditemukan pada anterior
selubung karotis.
i. Areteri vertebralis masuk foramen
dalam massa melintang dari vertebra
serviks keenam. Ini terjadi pada puncak
segitiga otot yang dibentuk oleh sisi tak
sama panjang dan longus coli otot
anterior. Pada dasar segitiga adalah
bagian pertama dari arteri subklavia.
j. pasangan superior kelenjar
paratiroid sering ditemukan pada
tingkat ini.
8. Cincin trakea atas yang teraba antara
kartilago krikoid dan tepi unggul dari
sternum manubrium.
9. Sudut superior dari manubrium
sternum. Hal ini pada tingkat vertebra
toraks kedua.
STRUKTUR LEHER
Latar Belakang Skeletal
Pada bagian serviks dari kolom tulang
belakang menciptakan latar belakang
tulang. Hal ini terdiri dari tujuh tulang
leher, dengan kelengkungan cembung
anterior karakteristik. Vertebra C3 melalui
C6 dianggap khas tulang leher. Vertebra C1,
C2, dan C7 adalah atipikal tulang leher. C1
(atlas) tidak memiliki tubuh. C2 (sumbu)
telah memasukkan tubuh C1 dalam
strukturnya. Th e kombinasi dari dua tubuh
menghasilkan proyeksi gigi-seperti disebut
proses yg mirip gigi, atau sarang Epifora.
Ini memberikan sumbu rotasi untuk tengkorak di
atlas. C7 memiliki massa melintang besar dengan
foramen primitif dan proses spinosus yang menonjol
(vertebra prominens). Pada khas tulang leher memiliki
proses spinosus dan foramen berbeda dalam massa
melintang. Pada anterior dan posterior tuberkel terkait
dengan massa melintang. Pada bagian pertama rusuk
harus disertakan dalam latar belakang tulang. Banyak
struktur leher yang melekat, atau melewati, yang
pertama rusuk. Pada permukaan superior dari yang
rrusuk pertama memipih. Pada akan menghindari
trauma pada struktur neurovaskular yang melakukan
perjalanan di atasnya. Tengah antara tulang belakang
dan ujung sternum dari tulang rusuk ini adalah
tuberkulum sisi tak sama panjang, titik penyisipan otot
sisi tak sama panjang anterior. Sebuah sulkus
vaskular ditemukan di kedua sisi tuberkulum sisi tak
sama panjang. Pada sulkus anterior menyediakan
bagian untuk vena subklavia. Arteri subklavia melewati
sulkus posterior. Pada anterior otot sisi tak sama
panjang menempel pada tulang rusuk pertama antara
pembuluh subklavia. Pada otot sisi tak sama panjang
tengah menempel pada tulang rusuk pertama posterior
ke alur untuk arteri subklavia. Arteri subklavia
melewati segitiga sisi tak sama panjang yang dibuat
oleh anterior dan otot sisi tak sama panjang menengah.
Ini adalah daerah disebut sebagai akar dari leher. Ini
akan dijelaskan secara lebih rinci nanti dalam bab ini.
arteri subklavia melewati segitiga sisi tak sama panjang
yang dibuat oleh anterior dan otot sisi tak sama
panjang menengah. Ini adalah daerah disebut sebagai
akar dari leher. Ini akan dijelaskan secara lebih rinci
nanti dalam bab ini. arteri subklavia melewati segitiga
sisi tak sama panjang yang dibuat oleh anterior dan
otot sisi tak sama panjang menengah. Ini adalah
daerah disebut sebagai akara dari leher. Ini akan
dijelaskan secara lebih rinci nanti dalam bab ini.
Latar Belakang Ligamen
Latar belakang ligament termasuk struktur
pendukung untuk atlanto-oksipital dan sendi
atlantoaxial. Pada anterior ligamentum longitudinal
ditemukan pada aspek anterior dari tubuh
vertebral. Ini meluas

dari atlas ke segmen sakral atas. Hal ini
melekat pada cakram intervertebralis dan
bahwa sebagian dari tubuh vertebral
berbohong hanya superior dan inferior ke disk.
Th e nuchal ligamen meliputi proses spinosus
dari semua tulang leher.
Latar Belakang Muskular
Latar belakang otot termasuk otot-otot yang
melekat pada aspek anterior dari vertebra
(anterior vertebral) dan otot yang melekat pada
massa lateral vertebra (lateral tulang belakang).
Kedua kelompok ini digabungkan dan disebut otot
sebagai prevertebral. Pada longus coli dan longus
otot capitis adalah anterior ke kolom vertebral.
Pada longus coli adalah otot yang kompleks yang
melekat inferior ke bagian dada atas ligamentum
longitudinal anterior. Pada serat-serat ini lebih
rendah lulus superolaterally dan melampirkan ke
massa melintang dari tulang leher yang khas.
Serat otot yang sama ini kemudian lulus
superomedially dan melampirkan ke bagian
anterior lengkung dari atlas.
Longus otot capitis terletak anterior ke
serat-serat superomedial dari longus coli otot.
Lewat dari dasar tengkorak ke tuberkel dari
tulang leher yang khas. otot e th yang lateral yang
vertebral di posisi adalah levator skapula,
menengah, dan anterior otot sisi tak sama
panjang.
Longus
Coli
Muscle
Gbr. 1. Struktur Leher. Otot leher.
Bab 19: Anatomi Kepala dan Leher
Otot levator scapula adalah posterior sebagian
besar dari kelompok lateral yang ini. Hal ini
muncul dari tuberkel posterior massa melintang
dari pertama empat tulang leher, turun, dan
menempel pada bagian superior dari perbatasan
vertebral skapula. Otot sisi tak sama panjang
menengah di pesawat yang lebih anterior (Gbr.
1).
otot sisi tak sama panjang menengah
dapat melekat pada tuberkel posterior dari
semua tulang leher. Ini turun dan affi XES
ke menipis unggul dari yang pertama rusuk,
posterior ke alur untuk arteri subklavia.
Beberapa bers otot fi memperpanjang
sampai ke tulang rusuk kedua dan
membuat otot posterior sisi tak sama
panjang. Th e paling anterior dari otot-otot
tulang belakang lateral anterior sisi tak
sama panjang (Gambar. 1). Hal ini muncul
dari tuberkel anterior massa melintang dari
tulang leher yang khas dan melekat di
bawah ini untuk tuberkulum sisi tak sama
panjang dari yang pertama rusuk. Hal ini di
bidang frontal sama dengan otot longus
capitis. Th e otot tulang belakang anterior
akan fl ex tulang belakang leher. Th e otot
tulang belakang lateral akan menyebabkan
lentur lateral daerah yang sama. persarafan
motor disediakan oleh rami ventral saraf
serviks.
Middle scalene muscle
Anterior scalene muscle
273
Latar Belakang Saraf
Lapisan saraf sekarang harus dimasukkan.
saraf dan otot-otot yang erat terkait, sehingga
istilah “lapisan neuromuskular” adalah tepat.
Pada serviks dan pleksus brakialis dan rantai
simpatis servikal sekarang dihadapi karena
kami terus rekonstruksi leher.
Th e serviks rantai simpatis terdiri dari
tiga ganglia dengan cabang yang
menghubungkan. Th e superior ganglion
adalah yang terbesar, dan itu ditemukan
pada massa melintang dari tulang leher
kedua dan ketiga. Ini >1 didalam. panjang
dan terletak pada otot capitis longus,
posterior selubung karotis. Pada ganglion
cervical tengah adalah yang terkecil dan
terletak pada massa melintang dari vertebra
serviks keenam. Pada rendah ganglion
cervical terkait dengan akhir vertebra dari
pertama rusuk dan massa melintang dari
vertebra serviks ketujuh. Ini sering
bergabung dengan pertama ganglion toraks
untuk membentuk struktur
dumbbellshaped disebut cervicothoracic,
atau stellata, ganglion. Stellata mengacu
pada penampilan bintang-seperti yang
diciptakan oleh beberapa cabang yang
dipancarkan. Hal ini posterior ke arteri
vertebralis. Di kali, cabang dari ganglion
cervical tengah akan membentuk lingkaran
di sekitar arteri subklavia sebelum
memasuki ganglion rendah. Ini disebut
sebagai subclavia ansa.
Pleksus servikal dibentuk oleh rami ventral
dari pertama empat saraf serviks. Th saraf ese
terhubung satu sama lain dengan membentuk
loop yang terletak pada interval antara skapula
levator, atau sisi tak sama panjang menengah,
Kepala dan Leher
otot posterior, dan capitis longus atau
kelanjutan rendah, otot sisi tak sama panjang
anterior, anterior (Gbr. 2serviks pleksus
dibentuk oleh rami ventral dari pertama empat
saraf serviks. Th saraf ese terhubung satu sama
lain dengan membentuk loop yang terletak pada
interval antara skapula levator, atau sisi tak
sama panjang menengah, otot posterior, dan
capitis longus atau kelanjutan rendah, otot sisi
tak sama panjang anterior, anterior (Gbr. 2).
Masing-masing dari pertama empat rami
ventral serviks menerima cabang dari ganglion
cervical superior. Th e saraf serviks terletak
dalam fasia prevertebral. Th e serviks pleksus
memberikan persarafan otot dan kulit. Th ere
adalah cabang kulit dari superfi resmi pleksus
servikal dan cabang berotot dari pleksus
servikal yang mendalam. Th e cabang kulit
akan dijelaskan dengan segitiga posterior.
cabang otot menginervasi otot-otot
prevertebral. Selain itu, sebuah cabang dari C1
perjalanan dengan saraf hipoglossus dan
menimbulkan ekstremitas superior (turun
saraf hipoglossus) dari cervicalis ansa. Cabang
dari C2 dan C3 akan membentuk ekstremitas
lebih rendah (turun saraf leher rahim). Th e
dua anggota badan bersatu dan membentuk
cervicalis ansa. Th adalah lingkaran saraf
adalah pada aspek anterior dari selubung
karotis, pada bidang krikoid. Cabang timbul
dari cervicalis ansa yang menyediakan
bermotor persarafan ke otot-otot tali di segitiga
otot. Cabang dari C1,
274 Bab III: Kepala dan Leher
Middle cervical
ganglion
Gbr. 2. Struktur Leher -2. Struktur ganglia and cervical plexus
bepergian dengan saraf hypoglossal, pro-
vide persarafan motorik ke otot tirohyoid
dan geniohyoid. Cabang dari C4 turun pada
permukaan anterior otot scalene anterior, di
dalam fasia pra-vertebral. Ini adalah saraf
frenikus dan dapat menerima cabang dari
C3 dan C5. Ini, pada awalnya, terlihat pada
aspek lateral otot scalene anterior, tetapi
ketika turun ia melewati miring di
permukaan anterior otot dan mencapai tepi
medial di akar leher. Kemudian melewati
anterior ke arteri subklavia dan kursus
medial ke arteri mamaria internal sebelum
memasuki thorax. Ini memberikan
persarafan sensorik dan motorik pada
diafragma pernapasan (Gbr. 2). Ada
beberapa cabang proprioseptif yang timbul
dari pleksus serviks yang berpindah ke otot
sternocleidomastoid dan trapezius.
Seperti yang kita lulus inferior di serviks
Namun, saraf yang sekarang
ditemui akan terdiri atas akar dan batang
pleksus brakialis. Pleksus brakialis dibuat
oleh ventral rami C5 hingga T1. Akar ini
akan membentuk tiga batang. C5 dan C6
bergabung untuk membentuk batang atas.
Root C7 akan menjadi trunk tengah, dan
root C8 dan T1 akan bergabung dan
membentuk trunk bawah.
Left sympathetic
chain
Superior cervical
ganglion
Cervical plexus
Anterior scalene
muscle
Trunks of
brachial plexus
Inferior cervical
ganglion
Phrenic
nerve
Akar dan batang ini melewati antara otot-
otot scalene anterior dan tengah. Batang
bawah disampirkan di atas rusuk pertama
segera posterior ke arteri subklavia (Gbr. 2).
Vena subklavia, tidak seperti arteri yang
menemani, tidak lewat di antara otot-otot
skalen. Ini melewati anterior ke otot scalene
anterior. Menutupi latar belakang skeletal dan
lapisan neuromuskuler adalah bagian
prevertebral dari fasia serviks yang dalam.
Struktur neurovaskular akan menembus fasia
serviks yang dalam dan menyeret sebagian
darinya, menciptakan selubung aksila atau
servicoaxillary.
Fascia Leher
Fasia serviks terdiri dari lapisan superfisial
dan dalam. Fasia superfisial tidak
berkembang dengan baik dan tidak mudah
ditemukan. Ini terdiri dari lemak dan
beberapa jaringan ikat. Otot platysma
berada di fasia superfisial. Ia muncul secara
inferior dari fasia otot pektoralis mayor dan
serabutnya menyatu ketika mereka naik ke
insersi mereka di bagian inferior dari daerah
mandibula. Beberapa serat otot naik dan
bercampur dengan otot-otot penekan
intrinsik
bibir. Saraf kulit dan vena superfisial berada di
bawah otot ekspresi wajah ini. Cabang serviks
dari saraf wajah menginervasi otot ini.
Fasia serviks yang dalam terdiri dari
beberapa lapisan. Lapisan superfisial, atau
investasi, dari fascia serviks yang dalam
membelah untuk menginvasi otot trapezius
dan sternocleidomastoid dan kelenjar
submandibular dan pa- rotid. Ini menciptakan
tabung lengkap yang mengelilingi leher.
Lapisan dalam dari fascia serviks yang dalam,
atau fascia prevertebralis, menutupi kolom
vertebra dan otot-otot erina spinae dan
prevertebral yang terpasang serta bagian
proksimal dari pleksus serviks dan serviks. Ini
menciptakan tabung lengkap.
Fasia pretracheal menciptakan tabung
yang mengelilingi faring dan esofagus, laring
dan trakea, serta kelenjar tiroid dan
paratiroid. Fasia buccopharyngeal adalah
ekstensi posterior dari fasia trakea yang
menutupi otot-otot konstriktor faring. Ini
berhubungan dengan bagian anterior, atau
prevertebral, dari fasia prevertebral. Ruang
potensial ini antara lapisan fasia
prevertebral dan buccoprygine meluas dari
leher ke mediastinum. Retropha ini-
ruang laring dapat berfungsi sebagai jalur
untuk
penyebaran infeksi dari leher ke dada. Fasia
serviks tengah memanjang dari tulang hyoid ke
sternum. Id -
kompas semua otot tali. Lapisan fasia ini
meluas ke lateral ke otot omohyoid dan karena
itu hanya terkait dengan segitiga otot dan
subklavia.
Selubung karotid adalah selubung fasia
tuba pelindung yang ditemukan antara
pangkal tengkorak dan akar leher. Ini
menerima kontribusi jaringan dari semua
lapisan fasia serviks yang dalam dan
membungkus saluran pembuluh darah jugular
dan jugular internal yang umum serta saraf
vagus. Setelah percabangan arteri karotis
umum, cabang karotis interna akan
mengambil posisinya dalam selubung. Vena itu
anterolateral ke arteri, kecuali di dasar
tengkorak, di mana vena terletak di posterior
arteri. Saraf vagus berada di antara, dan
sedikit di belakang, pembuluh darah. Ansa
cervicalis ada di permukaan anterior selubung
dalam bidang krikoid. Rantai simptomatik
bersentuhan dengan permukaan posterior
selubung.
AKAR LEHER
Akar leher adalah bagian anatomi antara dada,
leher, dan aksila. Bukaan toraks superior, atau
lubang masuk toraks, dan selubung aksila (atau
serviksaksis) menciptakan jalur untuk
neurovaskular

struktur ditemukan di daerah ini. Struktur
leher juga berkontribusi pada kompleksitas
anatomi di wilayah penting ini. Lewat antara
klavikula dan tulang rusuk pertama adalah
saraf, arteri, dan vena pada ekstremitas
atas. Penyempitan kanal costoclavicular ini
dapat menyebabkan kompresi struktur
neovaskuler ini. Lubang masuk toraks
dibuat oleh ujung atas manubrium di
anterior, tulang rusuk pertama dan tanda
kosta kosta lateral, dan vertebra toraks
pertama di belakang. Struktur yang
melewati area ini berada pada posisi medial
atau lateral. Kerongkongan dan trakea
bersifat medial saat memasuki
mediastinum. Saluran toraks terletak tepat
di sebelah kiri, dan posterior ke, esofagus.
Di akar leher, di tingkat C7, saluran
melewati lateral. Ini mengarah ke anterior
vertebra kiri dan arteri tiroid inferior kiri dan
posterior selubung karotis. Kemudian
perjalanan anterior ke otot skalen anterior.
Ini dangkal ke lapisan prevertebral dari fasia
serviks yang dalam. Saluran kemudian
turun ke anterior ke arteri subklavia kiri dan
berakhir di tepi lateral persimpangan antara
jugularis internal kiri dan vena subklavia
kiri (lihat Gambar 5).
Setara dengan saluran toraks pada sisi
kanan akar leher disebut saluran limfatik
kanan. Ini jauh lebih kecil dan
Vertebral artery
Middle
Scalene
Muscle
Anterior
Scalene
Muscle
Right
Lung
Gbr. 3. Puncak paru naik dari toraks ke akar leher.
Bab 19: Anatomi Kepala dan Leher
dapat diwakili oleh beberapa saluran kecil. Ia
menerima getah bening dari hemithorax
kanan, ekstremitas kanan atas, dan sisi kanan
kepala dan leher. Limfatik dari semua bagian
tubuh lainnya diangkut oleh saluran thorax.
Rantai simpatik berada dalam kontak dengan
kepala tulang rusuk di tingkat ini. Saraf laring
berulang, cabang dari saraf vagus (X), juga
medial. Saraf laring rekuren kanan muncul di
akar leher, loop di sekitar arteri subklavia
kanan, dan melewati superomedial saat jalan
menuju alur trakeo-esofagus. Rekannya di
sebelah kiri muncul di mediastinum, loop di
sekitar lengkung aorta, dan kemudian naik ke
leher melalui alur trakeo-esofagal kiri. Saraf
berulang kanan, di akar leher, bergerak
menuju alur trakeo-esofagus kanan, tetapi
mungkin belum mencapai posisi terlindungi ini
dan karena itu lebih rentan terhadap cedera.
Puncak pleura parietal serviks naik
ke leher tulang rusuk pertama. Ujung
anterior dari tulang rusuk lebih rendah dari
ujung poste- rior; oleh karena itu, apeks
paru-paru dapat naik dari toraks ke akar
leher (Gbr. 3). Kenaikan ini paling ditandai
selama inspirasi mendalam dan menempati
bagian lateral dari lubang toraks superior.
Bagian dari pleura serviks ini mungkin
Phrenic nerve
Left
Lung
275
memanjang di atas tepi superior dari klavikula.
Penebalan mirip fasia prevertebralis seperti
tenda memanjang dari massa transversal C7
ke tulang rusuk pertama. Ini disebut Sibson,
atau vertebropleural, fasia dan memberikan
perlindungan terhadap pleura ketika sayatan
dibuat di daerah ini.
Struktur lateral termasuk arteri subklavia
dan vena subklavia dan cabang-cabangnya,
dan cabang saraf dari pleksus serviks dan
brakialis. Daerah serviks atau apikal paru-
paru juga ditemukan di bagian lateral dari akar
leher. Tulang rusuk pertama dan otot-otot
scalene memiliki hubungan spasial yang
penting dengan anatomi di area ini.
Batang brakiosefalika adalah cabang
pertama lengkung aorta (Gbr. 4). Ia melewati
superolateral dan bercabang dua di tingkat
sendi sternoklavikula kanan ke dalam arteri
karotis dan subkutan kanan kanan. Arteri
karotis umum akan melewati superior di sisi
kanan leher dalam selubung karotis. Ini akan
dibahas lebih terinci di bab ini. Cabang
lengkung aorta berikutnya adalah arteri karotis
kiri. Cabang terakhir dari lengkungan aorta
adalah arteri subklavia kiri (Gbr. 4). Otot skalen
anterior membagi arteri subklavia menjadi tiga
segmen. Bagian pertama memanjang dari asal
pembuluh ke tepi medial otot skalen anterior.
Bagian kedua terletak di belakang otot, dan
segmen ketiga berkembang dari tepi lateral otot
ke tepi bawah tulang rusuk pertama. Sebagian
besar cabang arteri subklavia muncul dari
bagian pertama. Cabang pertama dan terbesar
adalah arteri vertebralis. Ini muncul dari tepi
superior pembuluh induk, naik secara vertikal,
dan memasuki foramen dalam massa
transversal vertebra servikal keenam. Vena yang
menemani menutupinya.
Foramen terletak di puncak sebuah
segitiga berotot yang diciptakan oleh otot
longus coli di bagian tengah dan otot sisi
anterior secara lateral. Ini disebut sebagai
Kepala dan Leher
segitiga arteri vertebralis. Cabang kedua
adalah batang thyrocervical, yang juga
muncul dari permukaan superior dan
memiliki jalur pendek sebelum membelah
menjadi cabang-cabang berikut. Arteri tiroid
inferior melewati superior, anterior ke otot
skalen anterior. Saraf frenikus berada di
dalam fasia prevertebral karena melewati
inferior pada permukaan anterior otot ini.
Arteri tiroid inferior bersifat superfisialis
pada fasia prevertebralis. Pada sekitar
tingkat puncak dari segitiga arteri vertebral,
arteri tiroid inferior lewat medial, mengalir
posterior ke selubung karotis tetapi anterior
ke arteri vertebra, dan memasuki substansi
lobus lateral
276 Bab III: Kepala dan Leher

artery. It arises from the inferior aspect of

Internal the subclavian artery across from the thyro-
carotid artery cervical trunk. It passes inferomedially,
External courses posterior to the subclavian vein,
carotid artery and initially is in contact with the cervical
Common pleura as it heads for the first costal carti-
carotid artery lage. It then assumes its characteristic loca-
Vertebral tion parallel to the lateral edge of the ster-
artery
Common num. The subclavian vein begins at the outer
Inferior thyroid carotid artery end of the first rib and then passes anterior
artery to the anterior scalene muscle (Fig. 5). It re-
Transverse ceives the external jugular vein before
cervical artery Upper trunk
Middle trunk Brachial
reaching the medial edge of this muscle.
it isWhen thebyvein
theisinternal
medial tojugular
this muscle,
Costocervical plexus
trunk
Lower trunk joined vein,
Left subclavian
Suprascapular artery forming the brachiocephalic vein. The left
artery
Phrenic brachiocephalic vein will pass to the right,
Right subclavian
artery
nerve just inferior to the superior edge of the
manubrium sternum, and join with its right
Thyrocervical counterpart behind the right first costal
trunk
cartilage to create the superior vena cava.
Each brachiocephalic vein will receive the
corresponding vertebral vein. Each vagus
nerve passes anterior to the related subcla-
vian artery. The left nerve then passes pos-
Internal mammary
Brachiocephalic terior to the left brachiocephalic vein. The
artery
artery right nerve is posterolateral to the related

Fig. 4. Structures of the Neck-3. Branch of the aortic arch. brachiocephalic vein.

of the thyroid gland. The transverse cervical the internal thoracic or internal
and the suprascapular arteries are branches mammary
of the thyrocervical trunk that run trans-
versely as they head for the lateral aspect of Thoracic duct
the neck. They cross the anterior scalene
muscle and the phrenic nerve, but are su-
perficial to the prevertebral fascia. The
transverse cervical artery will divide into an
ascending and descending branch when it
reaches the margin of the trapezius muscle.
The suprascapular artery will dip down be-
low the clavicle after entering the posterior
triangle, pass inferiorly, and contribute to
the periscapular vasculature.
The next branch originating from the su-
perior aspect of the subclavian artery is the
costocervical trunk (Fig. 4). It may arise External jugular
from the second portion of the subclavian, vein
and is therefore less at risk during surgical Subclavian
procedures. It arches over the cervical vein
pleura and, when it reaches the neck of the
first rib, divides into the deep cervical ar-
tery that passes up and supplies the mus-
cles in the back of the neck and the supreme
intercostal artery that creates the first and
second posterior intercostal arteries. The
first posterior intercostal vein that will
enter the ipsilateral brachiocephalic vein,
accompanies it.
The last branch of the subclavian artery is Internal jugular
Vertebral
vein
vein

Di luar hutan anatomi ini terdapat kelenjar
timus. Ini terbesar selama masa kanak-kanak,
dan kemudian mulai mengalami kemunduran
dengan timbulnya pematangan seksual.
Kelenjar dapat memanjang dari tulang rawan
tiroid di atas, ke kantung perikardial di bawah
ini. Oleh karena itu, bagian superiornya adalah
bagian dari bagian tengah, atau anterior, dari
akar leher. Kelenjar ini terdiri dari dua lobus
asimetris yang terpisah. Kelenjar ini
bersebelahan dengan vena besar yang
sebelumnya dijelaskan. Ini menjelaskan
mengapa invasi vena sering terlihat dengan
penyakit kelenjar ganas.
Akar pleksus brakialis, C5 hingga T1, akan
membuat tiga batang: batang atas (C5, C6),
batang tengah (C7), dan batang bawah (C8, T1)
(Gbr. 4). Mereka akan melewati antara otot-otot
scalene anterior dan tengah dalam perjalanan
mereka ke aksila. Ini adalah batang bawah
yang bersentuhan langsung dengan
permukaan atas tulang rusuk pertama. Itu
terletak segera posterior ke arteri subklavia.
Batang melewati segitiga posterior. Setiap
batang akan membelah menjadi divisi anterior
dan posterior. Divisi ini, bersama dengan kapal
subklavia yang menyertainya, kemudian akan
melewati ruang costoclavicular. Vena
subklavia adalah yang paling cepat dari
struktur yang melewati ruang ini (Gbr. 5). Vena
ini berlawanan dengan arteri subklavia yang
menyertai dan oleh karena itu, dapat didekati
setelah denyut nadi arteri yang menyertai
dipalpasi. Akar dan batang pleksus brakialis
berada di dalam lapisan prevertebral fasia
serviks yang dalam. Ketika mereka menuju ke
aksila, disertai dengan vena subklavia, mereka
menyeret beberapa fasia yang dalam ini
bersama dengan mereka dan membuat
selubung tubular pelindung untuk barang-
barang neurovaskular ini yang disebut
selubung serviks, atau selubung aksila. Saraf
dan pembuluh darah ini, dalam perjalanan ke
aksila, lewat di bawah penyisipan otot pektoris
minor ke proses koracoid skapula..
Aanatomi Akar Sindrom
Kompresi Leher
Akar sindrom kompresi leher meliputi
yang berikut ini:
■ Sindrom kompresi kostoklavikular
■ Sindrom tulang rusuk servikal
■ Sindrom kompresi skalen anterior
■ Sindrom pektoralis minor
Jika ruang antara tulang rusuk pertama
dan klavikula harus dikurangi, mungkin
ada kompresi struktur neurovaskular yang
melintasi area ini (Gbr. 5). Vena subklavia
adalah yang paling medial dari struktur
neurovaskular yang melewati costoclavic -
Bab 19: Anatomi Kepala dan Leher
ruang ular. Vena berada di bagian tersempit
dari ruang ini, dan jika terjadi penyempitan
tambahan, aliran keluar vena dari ekstremitas
atas dapat terganggu.
Tulang leher rahim dapat muncul
dengan beberapa cara. Seringkali bilateral.
Ini adalah perluasan dari massa transversal
vertebra servikal ketujuh dan mungkin
merupakan tulang rusuk lengkap yang
berartikulasi dengan sternum. Kadang-
kadang, ia dapat bergabung dengan tulang
rusuk pertama atau hadir sebagai pita
berserat yang menempel pada tulang rusuk
pertama. Pada beberapa pasien, itu
mungkin memiliki ujung anterior yang
bebas. Pembuluh subklavia dan pleksus
brakialis, terutama batang bawah, akan
terpengaruh secara negatif ketika mereka
mencoba untuk melewati hambatan
tambahan ini.
Sindrom kompresi skalen anterior terjadi
akibat kejang, atau hipertrofi, dari otot skalena
anterior, dengan konstriksi resisten elemen-
elemen neurovaskular ketika mereka melewati
trias sudut skalena. Jika dokter mengobati
kondisi ini dengan mentransaksikan otot
skalen anterior dekat sisipannya, posisi saraf
frenikus dan vena subklavia, lewat anterior
otot, harus diingat. Istilah "sindrom kompresi
outlet toraks" sering digunakan ketika
mendefinisikan beberapa kondisi klinis yang
ditemui di akar leher. Outlet toraks adalah
keliru ketika digunakan untuk
mengidentifikasi masalah klinis di daerah ini.
Outlet toraks anatomi yang sebenarnya adalah
area yang berhubungan dengan diafragma
pernapasan. Istilah yang benar untuk kondisi
ini mencakup sindrom kompresi aperture
toraks superior atau sindrom kompresi serviks.
Semua sindrom kompresi ini dapat
menyebabkan defisit neurologis dan / atau
masalah sirkulasi arteri dan vena pada
ekstremitas atas.
Aplikasi Anatomi Klinis
1. Insisi serviks harus dibuat sejajar dengan
garis kulit (garis Langer) untuk kosmesis
yang baik. Struktur neurovaskular
terletak jauh ke dalam otot platysma. Otot
harus diperbaiki dengan hati-hati untuk
hasil kosmetik terbaik.
2. Blok ganglion serviks tengah: ganglion
simpatis ini ditemukan anterior terhadap
massa transversal vertebra servikal
keenam. Pada tingkat kartilago krikoid,
tarik kembali selubung karotis akhir-akhir
ini dan suntikkan obat setelah jarum
menyerang massa lateral vertebra.
3. Kontrol perdarahan mungkin dilakukan
jika arteri karotis umum ditekan
terhadap massa transversal vertebra
serviks keenam. Ini adalah bidang
krikoid.
277
4. Angiografi karotid: arteri karotis yang umum
teraba pada triangulasi karotis. Sebagian
tertutup oleh otot sterno-cleidomastoid.
Retraksi lateral otot akan memfasilitasi
pemasangan kateter ke dalam arteri yang
teraba.
5. Kateterisasi vena jugularis interna: vena
jugularis interna menemani pembuluh
karotis interna dan interna. Mereka semua
berbaring di dalam selubung karotis. Vena
adalah anterolateral dari arteri yang
teraba.
6. Vena jugularis dan jugularis interna
kanan, bersama dengan vena cava
superior, membuat saluran lurus ke
atrium kanan dan vena cava inferior .
7. Pembuluh subklavia dapat mendekati saat
melewati ruang costoclavicular. Arteri
dapat diraba dan vena terletak di anterior
dan medialis ke arteri. Vena adalah
struktur yang paling medial melewati
interval costoclavicular. Teknik supra-
klavikula, atau infraklavikula, dapat
digunakan untuk kateterisasi.
8. Blok pleksus brakialis mendekati
saraf ketika mereka melewati ruang
costoclavicular. Arteri subklavia
adalah anterior ke cabang-cabang
pleksus.
9. Pada krikotiroidotomi, bagian dalam
laring dimasukkan melalui interval
krikotiroid. Arteri krikotiroid, cabang
tiroid superior, menembus
ligamentum krikotiroid dekat
pertengahan interval antara krikoid
Kepala dan Leher
dan kartilago tiroid. Sayatan
melintang, dibuat dekat dengan batas
atas lengkungan krikoid, akan
menghindari cedera pada arteri ini.
Ligamen vokal terhindar karena
mereka lebih unggul dari titik masuk.
10. Untuk drainase ruang retrofaringeal,
sayatan dibuat pada tingkat kartilago
krikoid. Otot sternocleido-mastoid dan
selubung karotid ditarik ke belakang, dan
lobus lateral kelenjar tiroid ditarik ke
depan.
11. Menggunakan vena jugularis
eksternal sebagai saluran untuk
akses vena sentral, vena jugularis
eksternal mudah diakses karena
posisinya yang dangkal. Ini bermuara
ke vena subklavia di segitiga
posterior, tetapi mungkin sulit untuk
menegosiasikan sudut di termi-
bangsa ketika mencoba untuk
memperkenalkan perangkat ke
bagian tengah dari sistem peredaran
darah. Pendekatan langsung ke vena
yang lebih besar, jugular internal
kanan atau subklavia kanan, akan
menghilangkan masalah teknis ini.
278 Bab III: Kepala dan Leher
SEGITIGA PADA LEHER
Rekreasi lapis demi lapis dari anatomi leher
sekarang membutuhkan penambahan
selubung karotid dengan isi pembuluh
darah dan cabang-cabangnya, empat saraf
kranial terakhir, dan visera leher, yang
meliputi kelenjar tiroid dan paratiroid,
faring, dan laring. Pleksus servikal
superfisial juga akan diuraikan. Jalur
limfatik serviks kemudian akan dijelaskan,
dan akhirnya sirkulasi vena superfisial akan
diperiksa. Informasi ini disajikan dengan
diskusi tentang segitiga leher .
Anterior and Posterior Triangles
Otot sternokleidomastoid dan trapezius
membagi leher menjadi segitiga anterior
dan post-rior (Gambar 6; juga lihat
Gambar 13). Batas-batas segitiga
posterior adalah otot trapezius di posterior
dan otot sterno-cleidomastoid di bagian
anterior. Sepertiga tengah klavikula
menciptakan batas inferior, dan puncak
segitiga meluas ke garis nuchal superior.
Segitiga berbentuk spiral. Bagian inferior
anterior di leher, tetapi apeks posterior.
Pada anterior
Trapezius
muscle
Inferior belly of
omohyoid muscle
Gbr. 6. Batas-batas segitiga leher (lijat juga Gbr. 14).
segitiga meliputi area antara tepi anterior dari
otot sternokleidomastoid. Batas superior
adalah mandibula dan garis yang ditarik dari
sudut mandibula ke ujung proses mastoid.
Dua otot perut ganda, omohyoid dan digastrik,
membagi segitiga. Perut inferior otot omohyoid
menempel pada ligamentum skapula
transversal superior dan bagian tepi superior
skapula yang berdekatan. Ia melewati superior
ke klavikula dan memasuki bagian bawah tri-
sudut posterior. Tendon antara ada di bidang
cri-coid, anterior ke selubung karotid, dan
angulasi oleh selempang fasia yang melekat
pada klavikula dan manubrium. Perut superior
naik ke tulang hyoid.
Segitiga posterior sekarang terdiri dari
segitiga oksipital besar dan subklan kecil.
Digastric adalah otot double-bellied lainnya
yang menciptakan subdivisi dari segitiga
anterior. Perut posterior menempel hanya
medial ke proses mastoid. Tendon antara
ditambatkan ke tulang hyoid oleh lipatan
fasia servikalis yang dalam. Otot stylohyoid
muncul dari proses styloid tulang temporal
dan berhubungan intim dengan permukaan
anterior dari perut posterior.
Posterior belly of
digastric muscle
Stylohyoid
muscle
Anterior belly of
digastric muscle
Superior belly of
omohyoid muscle
Sternocleidomastoid
muscle:
(Muscular head)
(Tendon head)
Subclavian
Triangle
otot digastrik. Tendon penyisipan otot
stylohyoid ke tulang hyoid terbelah dan
memungkinkan untuk lewatnya tendon
intermediate dari otot digastrik. Segitiga
anterior meliputi segitiga submandula dan
karotis. Mereka dipisahkan satu sama lain oleh
median segitiga berotot dan berotot.
Tulang hyoid adalah struktur sentral di
leher. Secara langsung atau tidak langsung
melekat pada sebagian besar entitas otot
dan membran pada segitiga anterior dan di
dasar mulut. Jika seseorang
mempertimbangkan tulang hyoid dan perut
posterior terpasang dari otot digastrik,
adalah mungkin untuk membagi segitiga
anterior menjadi bagian suprahyoid dan
infrahyoid. Segitiga submandibular, atau
digastrik, dan segitiga submental, adalah
entitas suprahyoid dan terkait dengan dasar
mulut. Mereka telah dibahas dalam bab
lain. Segitiga karotis dan berotot ditemukan
di bagian frahyoid dari segitiga anterior .
Trias Karotis
Batas otot tri-sudut karotid adalah otot
sternokleidomastoid di posterior, perut
posterior dari otot digital anterosuperior, dan
perut superior dari otot omohyoid anteroin-
feriorly (Gbr. 7). Tanduk yang lebih besar dari
tulang hyoid adalah bagian dari segmen
anterior dan superior dari lantai segitiga ini.
Otot hyoglossus dan thyrohyoid melekat pada
bagian tulang hyoid ini, dan merupakan bagian
dari bagian anterior dari lantai otot. Sebagian
kecil dari membran thyiritoid ditemukan tepat
di belakang otot thyrohyoid dan membentuk
sebagian kecil lantai. Otot konstriktor faring
tengah dan inferior menciptakan bagian
posterior dari lantai otot dari segitiga karotis.
Longus capitis, otot prevertebral, juga
berkontribusi pada bagian posterior dari lantai
otot dari segitiga ini. Lapisan pretracheal dari
fasia serviks yang dalam menciptakan sifat
fasia. Lapisan investasi deep fascia
menciptakan atap fasia.
Isi segitiga akan ditentukan Scribed
diawali dengan struktur terdalam (Gbr. 8).
Saraf laring superior adalah cabang dari
saraf vagus yang dilepaskan di pangkal
tengkorak. Ia bergerak secara inferior,
dalam kontak dengan konstruktor superior,
menuju jauh ke dalam arteri karotis interna
dan eksterna, lewat di bawah perut posterior
otot digastrik, dan sekarang berada dalam
segitiga karotis. Ketika mencapai otot
konstriktor tengah, ia menciptakan cabang
internal dan eksternal .
Cabang internal memasuki laring setelah
 Bab 19: Anatomi Kepala dan Leher 279
menusuk selaput tirohyoid. Ini menyediakan
persarafan sensorik ke interior laring di atas
ligamen vokal. Cabang eksternal lewat inferior,
kontak dengan konstriktor inferior, dan
memberikan beberapa cabang pada otot ini. Ini
Mylohyoid juga menyediakan persarafan motorik ke
muscle cricothyroid, salah satu otot intrinsik laring.
Saraf ini, untuk sebagian saja tentu saja lebih
Stylohyoid unggul dari kelenjar tiroid, sangat dekat
muscle
Anterior belly dengan sisi medial dari bundel vaskular tiroid
of digastric muscle superior. Itu harus ditempatkan dan disapu
Posterior belly
Middle constrictor untuk menghindari cedera ketika mengikat
of digastric muscle dan membagi pembuluh darah ini. Pada bagian
muscle
Inferior constrictor superior dari segitiga ini, saraf aksessoris
Superior belly of
muscle omohyoid muscle
spinal terlihat saat melewati inferolateral, jauh
ke otot sternokleidomastoid, dan memasuki
Sternocleidomastoid
segitiga posterior.
muscle
Arteri faring naik, cabang dari bagian
proksimal arteri karotis eksternal, naik pada
otot-otot konstriksi saat menuju ke dasar
tengkorak. Isi yang tersisa dari segitiga ini
termasuk arteri karotis yang umum dan
cabang-cabangnya, vena jugularis interna
dan cabang-cabangnya, saraf kranial X, XI,
XII, dan ansa cervicalis dari pleksus serviks
yang dalam.
The common carotid artery begins in
the root of the neck and passes cephalad in
the carotid sheath (Fig. 9). It is medial to the
accompanying internal jugular vein. The
Gbr. 7. Batas-batas otot dan lantai otot dari segitiga karotis. vagus nerve (X) is between, but slightly posterior
to, the blood vessels. At about the level of the
superior aspect of the thyroid cartilage, the
common carotid artery bifur- cates and gives
rise to the internal and ex- ternal carotid

Kepala dan Leher

vessels. The internal carotid artery, at its origin,
has a small area of dila-
External branch of Ascending pharyngeal
artery
tation, the carotid sinus. It contains spe-
accessory nerve cialized nerve cells, which regulate blood
pressure. This area receives autonomic,
glossopharyngeal, and vagus nerve branches (Fig.
Internal branch of 10). There is also an area of thickening in the
Superior laryngeal superior laryngeal
nerve nerve
arterial wall at the site of bifurcation of the
common carotid artery. This is the carotid
Thyrohyoid
External branch of
muscle
body, which contains chemorecep- tor cells
superior laryngeal receiving branches from the
nerve
glossopharyngeal nerve. The common and
internal carotid arteries do not provide any
branches in the neck.
Arteri karotis eksternal meninggalkan
selubung karotis dan, pada awalnya,
anteromedial dengan arteri karotis interna.
Ini akan menjadi anterolateral pada posisi di
tingkat yang lebih tinggi, setelah melewati
superfisial ke selubung karotis. Ini adalah
arteri karotis eksternal yang memberikan
aliran vaskular ke struktur serviks. Cabang-
cabang adalah medial dan post-rior. Cabang
medial adalah arteri tiroid, lingual, dan
wajah superior (eksternal maksilaris).
Cabang posterior termasuk faring naik,
oksipital,
Gbr. 8. Struktur terdalam dari segitiga karotis.
280 Part III: The Head and Neck

dan arteri aurikularis posterior. Cabang

oksipial berjalan di sepanjang tepi inferior
perut posterior otot digastrik. Cabang auricular
posterior mengikuti jalur yang sama pada
aspek superior otot penting ini. Arteri karotis
eksternal terus superior ke daerah parotis. Di
leher proses condylar mandibula, cabang-
cabang ujung muncul. Mereka adalah arteri
Vagus nerve temporal dan internal maksila superfisialis.
Vena jugularis interna dimulai di dasar
External carotid tengkorak (Gbr. 11). Pada titik ini, posterior
Internal carotid artery ke arteri karotis interna. Empat saraf
artery Lingual artery kranial terakhir melewati antara pembuluh-
Common carotid pembuluh ini dan kemudian menuju ke
artery Superior laryngeal tujuan spesifik mereka. Vena melewati
artery inferior, dengan cepat mengambil posisi
Superior thyroid yang lebih anterolateral pada arteri karotis
artery interna dan interna, sementara di dalam
selubung karotis. Ini menerima cabang-
cabang berikut: vena wajah umum, vena
lingual, vena tiroid superior, cabang-cabang
dari pleksus vena faringeal, dan vena tiroid
tengah. Pada saat terminasi, ia akan
menerima saluran toraks (kiri) dan saluran
limfatik kanan (kanan). Saraf vagus (X)
ditemukan dengan struktur vaskular pada
selubung karotis. Itu terletak di antara, dan
sedikit di belakang, arteri dan vena. Di akar
leher, itu akan melewati posterior ke vena
besar dan memasuki dada. Saraf aksesori
tulang belakang (XI) akan lewat miring
melintasi bagian superior dari segitiga
karotis, berlanjut di bawah otot
Gbr. 9. Arteri dan cabang karotis umum. sternokleidomastoid, berjalan melintasi
segitiga posterior, dan menghilang di bawah
otot trapezius (Gbr. 12). Ini memberikan
inervasi motorik pada kedua otot tersebut.
Saraf hipoglosus (XII) melewati antara vena
jugularis interna dan arteri karotis interna,
dan kemudian turun di bawah perut
posterior otot digastrik untuk memasuki
segitiga karotis. Seringkali mengait di
sekitar cabang arteri oksipital, melewati
Exernal branch of arteri karotis superfisial ke internal dan
accessory nerve eksternal, dan kemudian meninggalkan
segitiga karotis dengan melewati kembali di
Sternocleidomastoid bawah perut post-rior untuk masuk kembali
artery ke sudut submandibular. Saraf
Hypoglossal glossopharyngeal (IX) juga ditemukan
nerve antara vena jugularis interna dan arteri
Descending branch Superior thyroid
karotis interna di dekat pangkal tengkorak.
of hypoglossal artery Lewat inferior, berjalan antara arteri karotis
nerve interna dan eksterna, dan kemudian
memasuki interval antara konstriksi filamen
superior dan tengah. Otot stylopharyngeus
menyertai saraf ini. Setelah menembus
dinding faring, otot menempel pada ujung
bebas posterior lamina kartilago tulang
rawan dan sekarang merupakan bagian dari
dinding otot faring. Rantai simpatis serviks
terletak pada fasia prevertebralis. Ini
posterior selubung karotis.

Gbr. 10. Arteri Karotis Eksterna.

 Chapter 19: Anatomy of the Head and Neck 281
Perut posterior dari otot digastrik
memainkan peran penting dalam area ini. Ini
dangkal untuk semua struktur neurovaskular
ini. Itu menekan mereka ke dinding phin-
ryngeal. Sayatan dapat dilakukan pada perut
posterior tanpa risiko cedera pada saraf atau
Anterior branch of arteri di daerah ini. Mungkin ada beberapa
retromandibular vein vena superfisialis dan, kadang-kadang, cabang
serviks dataran rendah dari saraf wajah yang
ditemukan di daerah superfisial dari tengara
Anterior yang relatif aman ini.
Internal jugular facial vein
vein
Lingual Segitiga Muskular
vein
Superior thryoid Batas-batas segitiga otot adalah perut superior
vein
dari otot omohyoid secara superolateral dan
bagian inferior dari otot sternokleidomastoid
secara inferolatif (Gbr. 13). Tulang hyoid lebih
unggul, dan tepi atas sternum manubrium
menciptakan batas inferior. Tri-angle berisi
kelenjar tiroid dan paratiroid, laring dan trakea,
serta faring dan esofagus. Viscera serviks ini
ditemukan di bawah lantai berotot. Otot
dipasangkan dan disebut sebagai otot pengikat.
Mereka semua infrahyoid di lokasi dan hadir
dalam dua lapisan. Lapisan superfisial terdiri
dari dua otot panjang. Otot omohyoid adalah
lateral dan terdiri dari dua ikatan otot yang
dipisahkan oleh tendon antara. Tendon antara
adalah di bidang krikoid. Perut inferior melekat
Fig. 11. Internal jugular vein.
pada permukaan superior skapula. Ini membagi
segitiga posterior dan kemudian melewati
anterior ke selubung karotis. Ten intermediate
Maxillary
ditambatkan ke klavikula. Perut superior
artery
Superficial melewati ke tulang hyoid. Medial untuk ini
temporal artery adalah otot sternohyoid, yang berpindah dari

The Head and Neck

sternum ke tulang hyoid.
Occipital
Glossophayrngeal
artery
nerve The
External Facial artery
branch of
accessory
nerve Lingual artery

Hypoglossal Superior thyroid lapisan yang lebih dalam terdiri dari

nerve artery struktur yang lebih pendek. Otot
Internal
External sternohyoid melekat lebih rendah ke
carotid artery
carotid artery manubrium sternum, dan meluas hingga
Ascending garis miring tulang rawan tiroid. Lampiran
Carotid sinus pharyngeal atas ini hanya superior dari lobus lateral
Vagus nerve artery kelenjar tiroid, dan mencegah pembesaran
Ansa
lobus agar tidak meluas ke arah yang lebih
Internal cervicalis baik. Otot tirohyoid tampaknya merupakan
jugular kelanjutan yang lebih rendah yang melewati
vein Common dari garis miring ke tulang hyoid. .
carotid artery Konstriktor faring inferior juga melekat pada
garis miring kartilago tiroid. Lapisan tengah
fascia serviks yang dalam mengelilingi otot-
otot tali. Ini tidak hanya ditemukan di
segitiga otot, tetapi juga lateral ke perut
inferior otot omohyoid. Perut ini
menciptakan batas akhir dari subdivisi
subdivisi dari segitiga posterior .
All the strap muscles are depressors of
the larynx. The nerve supply comes from

Fig. 12. Carotid triangle with the sternocleidomastoid muscle removed.

282 Part III: The Head and Neck

Anterior belly of
segitiga oksipital, dan segitiga yang lebih kecil,
digastric muscle inferior, subklavia. Lantai berotot dari seluruh
segitiga posterior terutama terdiri dari tiga otot
Mylohyoid muscle yang serat-seratnya berjalan secara intolateral.
Mereka adalah, dari atas ke bawah, capitis
splenius, levator scapula, dan otot-otot scalene
Hyoid bone tengah (Gambar 14). Otot skalen anterior tidak
Posterior belly of terlihat pada segitiga poste- rior karena otot
digastric muscle sternokleidoma-toid menutupinya. Di apeks
Omohyoid muscle terlihat beberapa serat yang berorientasi
Thyrohyoid muscle vertikal dari otot semitispialis. Ini, bersama
Sternohyoid
dengan spinalius capitis, diklasifikasikan
muscle sebagai otot punggung.
Sternothyroid Otot-otot lantai ditutupi oleh fasia
Sternocleidomastoid muscle (cut) prevertebral, yang menciptakan karpet
muscle fasia. Ada juga atap fasia, yang dihasilkan
oleh lapisan investasi fasia serviks yang
Trapezius dalam. Isi segitiga akan dijelaskan lapis
muscle demi lapis, dimulai dengan isi yang lebih
dalam yang ditemukan di bawah karpet
fasia yang bersentuhan dengan lantai
berotot (Gbr. 15). Mereka termasuk: (a)
arteri oksip, yang sering keluar dari
segitiga post-at pada apeksnya; (B)
cabang-cabang pleksus serviks yang
mendalam lewat inferolateral pada
permukaan otot levator scapula,
ditakdirkan untuk menyediakan
persarafan ke bagian inferior otot
trapezius; dan (c) bagian dari pleksus
brakialis. Akar pleksus bergabung dalam
ke dalam

Fig. 13. The boundaries of the muscular triangle of the neck.

pleksus servikal dalam (C1, C2, dan C3)

melalui ansa serviks. Saraf memasuki bagian
inferior otot. Cabang C1, yang bergerak dengan
saraf hipoglosus, menginervasi otot tirohyoid .

Bantuan Anatomi Klinis

1. Transeksi otot tali harus dilakukan lebih
dekat ke ujung superior untuk
mempertahankan persarafan saraf, yang
memasuki otot dekat ujung inferiornya.
Semispinalis muscle
2. Pintu masuk yang benar ke bidang
pembelahan antara otot sternothyroid dan Splenius capitis
kelenjar tiroid memberikan paparan yang muscle
sangat baik, dan memfasilitasi pendekatan
Levator scapula
bedah untuk, kelenjar .
muscle

Segitiga Posterior Middle scalene

muscle
Batas-batas segitiga posterior adalah batas
anterior otot trapezius dan tepi posterior otot
sternocleido-mastoid, dan sepertiga tengah
klavikula adalah dasarnya. Puncak segitiga ini
adalah garis nuchal superior. Oleh karena itu,
segitiga ini berbentuk spiral karena alasnya
anterior dan apeks posterior. Tri-sudut dibagi
lagi oleh perut inferior otot omohyoid menjadi
entitas yang lebih kecil yang diberi nama untuk
pembuluh darah yang ditemukan di dalamnya.
Sekarang ada yang lebih besar, lebih unggul,

Fig. 14. Muscular floor of the posterior triangle.

 Chapter 19: Anatomy of the Head and Neck 283
menimbulkan saraf yang disebut dari
ekstremitas atas dan bagian ketiga dari
arteri subklavia juga terkait dengan lantai
fasia dari segitiga posterior. Ini dapat
dipalpasi saat lewat di bawah bagian tengah
klavikula dan di atas tulang rusuk pertama.
Arteri subklavia dan cabang-cabang pleksus
Branch of ventral brakialis, setelah melewati antara otot-otot
ramus C3 skalen, akan menyeret sebagian fasia
Branch of ventral prevertebral bersama dengan mereka dan
ramus C4 menciptakan selubung servikskoaksila
(Gambar 16 dan 17).
Root of long Struktur yang melewati antara lantai
thoracic nerve fasia dan atap fasia meliputi cabang
transversal servikal dan suprascapular
Upper trunk of (skapula transversal) dari batang
brachial plexus tirocervical, yang berasal dari bagian
Middle trunk of pertama arteri subklavia. Mereka melewati
secara melintang melintasi aspek anterior
brachial plexus
otot skalen anterior dan dipisahkan dari
Lower trunk of saraf frenikus oleh fasia prevertebralis.
brachial plexus Setelah memasuki segitiga posterior,
arteri suapascapular akan lewat di bawah
klavikula dan berpartisipasi dalam
saluran pembuluh darah kolateral penting
yang ada di daerah skapula. Saraf
aksesori tulang belakang (XI) saat
melintasi segitiga posterior. Ini ditemukan
di permukaan anterior, dan berjalan
dengan, otot skapula levator. Ini akan
menghilang di bawah otot trapezius
sekitar 2 in. Lebih rendah dari klavikula.
Ada beberapa cabang motorik dari pleksus
serviks yang dalam

Fig. 15. Structures below fascia floor of the posterior triangle.

sternokleidomastoid. Akar C5 dan C6

bergabung untuk membuat trunk atas, C7

The Head and Neck

menjadi trunk tengah, dan C8 dan T1
membuat trunk bawah. Batang terlihat di
segitiga posterior. Ada cabang yang muncul
dari akar dan batang ini yang terlihat di
segitiga posterior. Saraf ca-soscapular (C5)
menembus otot skalen tengah dan melewati
lateral menuju otot skapula romboid dan
levator, yang dipersarafi. Saraf toraks panjang
(C5, C6, dan C7) berjalan lebih rendah, Prevertebral
melewati jauh ke bagian lain dari pleksus fascia
brakialis, dan kemudian melewati tulang
rusuk pertama untuk mencapai permukaan
superfisial dari serratus ventralis, tempat saraf
menginervasi. Timbul dari batang atas pleksus
adalah saraf supra-kapular, yang terlihat tepat
di atas batang atas, melewati segitiga posterior
ke skapula, dan menginervasi otot
supraspinatus dan infraspinatus. Saraf
subclavius juga terlihat pada segitiga posterior.
Ini muncul dari batang atas, melewati inferior,
dan melintasi bagian utama pleksus brakialis
secara superfisial. Otot ini menginervasi otot
subclavius.
Batang menciptakan anterior dan
posterior divisi yang akan lewat di bawah
klavikula, dan ketika mencapai aksila, buat
kombinasi lain yang disebut tali. Kabelnya will

Fig. 16. Fascial floor of the posterior triangle.

284 Part III: The Head and Neck

pleksus servikal ficial juga termasuk saraf

aurikularis besar (C2, C3), yang muncul dari
selubung otot sternokleidomastoid yang lebih
rendah dari saraf oksipital yang lebih rendah,
kait di sekitar tepi posterior otot, dan sekarang
terletak pada permukaan superfisialnya
(Gambar 17 dan 18). Kemudian lewat dengan
baik menuju daerah parotis dan memberikan
Lesser persarafan sensoris ke kulit di atasnya dan
occipital sebagian telinga. Saraf ini sering dapat
nerve ditemukan hanya posterior ke vena jugularis
eksternal ketika melewati miring otot. Saraf
Spinal Great auricular servikal transversal (C2, C3) juga muncul di
accessory nerve tepi posterior otot sternocleidomastoid di
nerve sekitar saraf lain dari pleksus ini. Ini
Transverse cervical membungkus dirinya di sekitar tepi posterior
Prevertebral
nerve otot dan melewati secara transversal melintasi
fascia External jugular permukaan eksternalnya untuk mencapai
vein segitiga anterior. Ini kemudian akan membagi
menjadi cabang naik dan turun yang akan
memberikan persarafan kulit kutaneous untuk
Subclavian segitiga anterior.
artery Saraf supraklavikula (C3, C4) pertama
muncul di daerah yang sama, tepat di bawah
tempat munculnya saraf lain, dan kemudian
membelah menjadi cabang medial, menengah,
dan latal. Mereka menyediakan persarafan
kulit kutan untuk aspek anterior toraks ke
tingkat tulang rusuk kedua. Semua cabang
dangkal servikal

Fig. 17. Structures superficial to fascial floor of the posterior triangle.

bepergian dengan saraf kranial ini. Saraf-saraf

ini, dan saraf aksesori tulang belakang, adalah
satu-satunya cabang motorik yang dangkal ke
lapisan prevertebralis dari fasia servikal dalam
di segitiga posterior. Posterior
Vena jugularis eksternus, yang lewat miring auricular vein
melewati otot sternokleidomastoid, menembus
lapisan fasia servikalis dalam dari segitiga Great auricular
subklavia, dan berakhir di vena subklavia. nerve
Vena jugularis servikal, supraskapularis, dan Supraclavicular
anterior adalah anak-anak dari v. Jugularis nerve
Posterior divison of
eksternal. Perut inferior otot omohyoid retromandibular vein
menciptakan batas lateral segitiga subklavia. Lateral branch of
Ini melekat inferior ke permukaan superior supraclavicular nerves
External jugular
skapula, mengarah ke anterioruperior, dan Intermediate vein
melewati jauh ke otot sternokleidomastoid, di supraclavicular nerves
mana tendon intermediatnya digerakkan oleh Medial branch of
ikatan fasia servikal dalam ke klavikula. Perut Transverse cervical
artery supraclavicular nerve
superior berlanjut ke tulang hyoid. Pleksus
servikal superfisial diciptakan oleh ventral Suprascapular
rami C2, C3, dan C4. Ini termasuk saraf artery
oksipital yang lebih rendah (C2), yang muncul
di tepi posterior otot sternokleidomastoid tepat
di bawah saraf aksesori tulang belakang. Ini
naik di dekat tepi posterior otot dan akan
memberikan persarafan sensorik ke telinga
eksternal dan kulit yang berdekatan. Super -

Fig. 18. Superficial structures of the posterior triangle.


pleksus, dan saraf aksesori tulang belakang,
cukup dekat satu sama lain ketika pertama
kali muncul di segitiga posterior di tepi otot
sternokleidomastoid. Jika satu membagi tepi
posterior otot ini menjadi tiga, di persimpangan
tengah dan ketiga adalah situs di mana semua
saraf ini dapat ditemukan berkumpul di
daerah terlokalisasi kecil. Ini disebut sebagai
titik saraf. Mereka kemudian akan
menyimpang saat menuju tujuan spesifik
mereka. Ketika saraf melewati segitiga
posterior, akan terlihat bahwa saraf aksesori
tulang belakang adalah yang paling unggul
dari semua saraf yang ada di segitiga. Oleh
karena itu, sayatan yang dibuat lebih unggul
dari saraf aksesori tulang belakang tidak
mungkin mengalami saraf yang penting. Area
ini telah disebut sebagai area tanpa beban;
sedangkan, sayatan yang dibuat di bawah
saraf ini dapat melukai struktur utama dan
disebut daerah hati-hati.
Clinical Anatomical Aids
1. 1. Blok saraf pleksus serviks superfisial.
Titik saraf terletak dan anestesi lokal
disuntikkan di daerah tepi posterior otot
sternocleido-mastoid. Ini dapat
memberikan anestesi yang memadai pada
segitiga anterior jika injeksi titik saraf
bilateral dilakukan.
2. Catheterization of the subclavian artery
or vein. The third portion of the artery is
palpable as it passes between the mid-
portion of the clavicle and the first rib. The
accompanying vein is anteroinferior to the
artery and is the most medial of the
neurovascular structures that pass
through the costoclavicular space.
3. Diseksi dapat dilakukan dengan aman di
segitiga posterior di daerah superior ke
saraf aksesori tulang belakang (XI).
4. Ada satu atau dua cabang motor untuk otot
trapezius yang berasal dari pleksus serviks
yang dalam. Mereka berjalan dengan, tetapi
sedikit lebih rendah daripada, saraf
aksessoris spinal di segitiga posterior. Di
daerah ini, saraf serviks dan saraf aksesori
tulang belakang ini adalah satu-satunya
saraf motorik yang terletak di luar lapisan
prevertebral fasia servikal dalam.
5. 5. Ketika vena melewati lapisan fasia,
dinding vena melekat pada margin
lubang di jaringan yang dilanggar. Jika
vena ditranseksi pada tingkat penetrasi
fasia, perdarahan dapat diperpanjang
karena perlekatan pada dinding
pembuluh darah dapat mencegahnya
terjadi kejang. Kejang pada ujung
pembuluh darah membantu dalam
mencapai hemostasis.
Chapter 19: Anatomy of the Head and Neck
VISCERA OF THE NECK
Thyroid Gland
Perkembangan kelenjar tiroid dimulai dengan
munculnya foramen cae-cum (Gbr. 19). Ini
adalah lubang atau depresi yang muncul di
persimpangan dua pertiga anterior dengan
sepertiga posterior lidah. Itu berlanjut inferior
dan menciptakan duktus roglossal, yang
berlanjut caudad dan menjadi kelenjar tiroid.
Duktus adalah struktur garis tengah hingga ke
bagian tiroid dan kemudian biasanya
menyimpang ke kiri. Lobus piramidal kelenjar
mewakili bagian distal dari struktur
embriologis ini. Saluran tersebut memiliki jalur
berbentuk U yang berliku di sekitar tubuh
tulang hyoid. Bagian dari saluran ini dapat
tetap paten dan membuat kista saluran
thyroglossal. Ini akan berada pada posisi
median, tetapi lebih dekat ke kelenjar yang
dapat menyimpang dari garis tengah. Kista
yang ditemukan di bawah tulang hyoid
membutuhkan eksisi bagian tengah tulang ini
untuk memasukkan bagian berliku dari sisa
paten yang terus-menerus dari duktus
roglosus ini. Aksesori jaringan tiroid dapat
ditemukan di mana saja di sepanjang jalur
entitas perkembangan ini. Situs yang paling
sering adalah bagian posterior lidah dekat
foramen caecum.
Superior laryngeal
nerve
Internal
laryngeal
nerve
Superior
thyroid
artery
Common
carotid
artery
Inferior
thyroid
artery
Arch of
aorta
Fig. 19. Thyroid gland anatomy.
285
Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus
lateral berbentuk piramidal, dihubungkan
oleh jembatan transversal dari jaringan
kelenjar, yang melintasi anterior ke cincin
trakea kedua, ketiga, dan keempat. Koneksi
melintasi garis tengah ini adalah tanah
genting. Mungkin ada ekstensi superior
jaringan kelenjar yang berasal dari bagian
kiri isthmus. Ini adalah lobus piramidal, dan
mungkin terhubung ke tulang hyoid oleh
pita fibrosa. Jika ada serat otot di pita ini,
itu disebut levator glandula thyroidea.
Lobus lateral memanjang dari garis miring
tulang rawan tiroid ke cincin trakea keenam.
Kelenjar memiliki kapsul yang sebenarnya,
dibuat oleh kondensasi stroma normal, dan
diselimuti oleh lapisan pretracheal dari fasia
servikal dalam, menciptakan kapsul palsu
atau bedah. Fasia pretracheal yang
mengelilingi isthmus melekat pada trakea.
Fasia serviks yang dalam ini juga melekat
pada aspek posteromedial dari lobus lateral
ke cincin trakea pertama dan kedua. Ini
adalah ligamentum Berry, yang biasanya
mengandung beberapa pembuluh darah
kecil. Lampiran ini bertanggung jawab
untuk pergerakan kelenjar tiroid yang
superior dan inferior selama tindakan
menelan. Hubungan medial lobus lateral
termasuk kartilago tiroid dan krikoid,
The Head and Neck
External laryngeal
nerve
Vagus nerve
Cricothyroid
muscle
Pyramidal lobe of
thyroid
Recurrent laryngeal
nerve (retracted)
Vagus nerve
286 Part III: The Head and Neck

Superior saraf laring. Saraf ini memberikan persarafan

laryngeal sensorik ke bagian dalam laring di atas ligamen
nerve vokal. Arteri tiroid superior kemudian melewati
Internal ke bawah secara vertikal, disertai dengan vena
laryngeal tiroid superior, saat menuju ke kutub superior
nerve lobus lateral. Menyertai pembuluh darah ini
External
laryngeal
adalah cabang eksternal dari saraf laring
nerve superior. Itu medial, dan sangat dekat dengan
Superior pembuluh darah. Saraf akan berubah medial,
thyroid hanya lebih rendah dari kutub atas lobus
artery lateral, dan menuju laring. Ini memberikan
inervasi motorik ke bagian inferior dari
Anterior
konstriktor inferior faring dan otot krikotiroid
branch
dari laring.
Right lateral Arteri tiroid inferior timbul dari batang
lobe of thyroid tirocervical, cabang dari bagian pertama
arteri subklavia (Gbr. 21). Ini akan naik ke
Common carotid bidang krikoid, melewati posisior ke
artery Vagus selubung karotis, dan kemudian melewati
nerve inferomedially untuk mencapai permukaan
Inferior posterior lobus lateral. Di daerah ini, daerah
thyroid tersebut berhubungan erat dengan saraf
artery laring berulang, cabang dari vagus (X), yang
Recurrent menyediakan persarafan motorik untuk
laryngeal nerve
semua otot intrinsik laring kecuali
(retracted)
krikotiroid.
Arteri tiroid superior akan memberikan
cabang anterior dan posterior (Gbr. 22).
Arch of Cabang anterior akan berkomunikasi dengan
aorta mitra kontralateral melalui cabang

Fig. 20. Vascular supply to thyroid gland.

otot trakea, esofagus, krikotiroid, dan

konstriktor infra rior, cabang eksternal laring
superior, dan saraf laring berulang. Selubung
karotis dan arteri tiroid inferior posterior.
Pembuluh tiroid superior dan cabang laring
eksternal dari saraf laring superior mendekati
lobus dari atas. Otot sternohyoid, omohyoid,
dan sternothyroid adalah hubungan anterior.
Lobus laten kiri berhubungan dengan duktus
toraks saat berjalan superior, tepat ke kiri Superior
esofagus. Ia mempertahankan posisi ini parathyroid
sampai C7, di mana ia melengkung ke gland
samping. Cricopharyngeal
Zenker area
(weak area)
The superior and inferior thyroid arteries muscle
provide the vascular supply (Fig. 20). In 8% to Right common
10% of the individuals, a thyroid ima ar- tery is Laimer area carotid artery
present. It may be a direct branch of the arch of (weak area)
the aorta, appearing between the Thyroid
brachiocephalic and the left common ca- rotid Inferior thyroid gland
vessels. Occasionally, it may arise from the artery
brachiocephalic trunk or the right com- mon
carotid artery. The superior thyroid ar- tery is the
first of the anteromedial branches of the Left recurrent
external carotid artery. It creates a superior laryngeal nerve
laryngeal vessel that enters the larynx, after
piercing the thyrohyoid mem- brane, along
with the superior laryngeal vein and the Right subclavian
internal branch of the superior artery
Right recurrent
Brachiocephalic laryngeal nerve
trunk
Fig. 21. Posterior view of thyroid gland.

Superior
thyroid
artery
Anterior branch
of superior
thyroid artery
Right common
carotid artery
Fig. 22. Right lateral view of thyroid gland.
yang melintasi garis tengah melalui tanah
genting.Cabang posterior dari arteri tiroid
superior berkomunikasi dengan cabang-cabang
dari arteri tiroid inferior. Drainase vena melalui
vena tiroid superior ke vena jugularis interna
atau vena wajah umum, vena mid-dle tiroid
pendek ke vena jugularis interna, dan vena tiroid
inferior ke vena bra-chiocephalic.
Drainase limfatik kelenjar tiroid dapat
dibagi menjadi jalur superior atau naik, dan
jalur inferior atau menurun. Mereka dapat
dibagi lagi menjadi komponen lateral dan
medial. Pathomedial pathway mengarah ke
prelaryn-geal atau Delphian node yang
ditemukan di anterior membran
cricothyroid. Saluran supero-lateral lewat,
dengan arteri tiroid superior, menuju nodus
yang terletak pada biopsi arteri karotis yang
sama, atau ke nodus omohyoid dari rantai
jugularis interna. Pembuluh limfoma
inferomedial berhubungan dengan nodus
yang ditemukan anterior, dan berdekatan,
dengan trakea. Aliran limfa inferolatal
adalah ke nodus supraklavikula .
Parathyroid Gland
Kelenjar paratiroid ditemukan pada
permukaan posterior kelenjar tiroid -
Chapter 19: Anatomy of the Head and Neck
External
carotid artery
Superior
laryngeal
artery
Thyrohyoid
membrane
Brachiocephalic
trunk
tween kapsul bedah dan kapsul sejati (lihat
Gbr. 21). Mereka juga mungkin terletak di luar
kapsul bedah, atau di dalam kapsul sejati
(intraglandular). Biasanya ada empat kelenjar,
dan masing-masing berukuran hanya 5
sampai 6 mm. Pasangan atas ditemukan pada
tingkat kartilago krikoid dan sering berdekatan
dengan cabang desenden dari arteri tiroid
superior yang teranastosis dengan cabang
asenden dari arteri tiroid inferior. Warnanya
coklat kekuningan dan karena itu dapat
dibedakan dari jaringan tiroid normal, yang
berwarna merah muda kemerahan. Pasangan
kelenjar inferior ditemukan lebih rendah atau
lebih rendah dari inferior tiroid, karena
pembuluh ini melewati secara melintang
melintasi aspek posterior dari kutub bawah
lobus tiroid lateral. Mereka menerima suplai
darah dari arteri tiroid superior dan inferior.
Jaringan kelenjar yang tidak normal tidak
jarang.
Bantuan Anatomi Klinis
1. Kelenjar paratiroid dapat menyerupai
kelenjar getah bening kecil, tetapi
jaringan kelenjar lebih lunak ketika
dipalpasi, dibandingkan dengan nuansa
simpul yang lebih kencang.
2. Pembesaran superior dari lobus tiroid
dicegah dengan memasukkan otot
sternothyroid ke dalam garis miring dari
287
tulang rawan tiroid. Ekspansi lateral dapat
terjadi.
3. Kadang-kadang, mungkin ada percabangan
ekstralaring dari saraf rekuren, yang
mengakibatkan hilangnya satu batang
utama. Ini biasanya terjadi superior ke
arteri tiroid inferior. Karena itu, lebih baik
mencari batang utama saraf yang lebih
rendah dari arteri.
4. Arteri tiroid inferior biasanya akan
membelah menjadi dua atau tiga cabang
sebelum memasuki parenkim kelenjar
tiroid. Saraf rekuren biasanya lewat di
antara cabang-cabang ini.
5. Jika arteri tiroid inferior dibagi lateral,
tepat setelah melewati posterior ke
selubung karotis, cedera saraf tidak
mungkin terjadi..
6. Retraksi anteromedial dari lobus lateral
kelenjar tiroid akan menggeser saraf
laring berulang dari posisi yang
diharapkan dalam alur trakeo-lateral,
menuju aspek posterolateral trakea.
7. Mungkin tidak ada laring berulang
saraf ditemukan di lekukan trakeo-
esofagus jika ada asal saraf yang
tinggi. Ini disebut sebagai saraf yang
tidak berulang.
8. A cricothyroidotomy provides access to
the infraglottic space. This area of the
larynx is below the vocal ligaments.
Faring
Faring adalah tabung berotot, panjang
The Head and Neck
sekitar 5 inci, yang memanjang dari
pangkal tengkorak ke tulang rawan
krikoid, di mana ia kontinu dengan
kerongkongan (Gbr. 23). Dinding anterior
kurang di mana ia menghadapi rongga
hidung dan mulut dan laring. Ini
menciptakan subdivisi nasofaring,
orofaring, dan larofaringof. Nasofaring
adalah antara langit-langit lunak dan
pangkal tengkorak. Langit-langit lunak
melekat ke ujung posterior langit-langit
keras. Ini adalah rak jaringan lunak,
panjang sekitar 2 inci. Pembengkakan
kecil seperti anggur, uvula, dihubungkan
dengan ujungnya yang bebas. Ini berisi
otot-otot kecil, berpasangan, uvular. Ada
empat otot pasangan tambahan di daerah
langit-langit lunak: palatoglossus,
palatopharyngeus, levator, dan tensor
palati. Mereka mempersempit
persimpangan orofaringeal, meregangkan
langit-langit lunak, dan mengangkat
uvula agar orofaring terpisah dari
nasofaring dan rongga mulut selama
deglutisi. Dinding posterior dan lateral
tidak bergerak; oleh karena itu, nasofaring
selalu paten. Di dinding lateral, pada
tingkat concha nasal inferior, adalah
pembukaan tabung pendengaran
(eustachius). Ada tonjolan di ujung
posterior tabung yang dibuat oleh
288 Part III: The Head and Neck

Laringofaring menerima, dalam bagian

atasnya, produk dari sistem pencernaan dan
pernapasan. Segmen bawahnya hanya terkait
dengan sistem pencernaan. Dinding anterior
dibuat oleh pintu masuk ke serambi laring,
Stylohyoid yang kemudian dibatasi oleh lipatan
Posterior belly
muscle aryepiglotis, kartilago arytenoid, dan lamina
of digastric kartilago krikoid. Dinding posterior
muscle Uvula bersentuhan dengan fasia prevertebralis yang
Superior Retracting terletak di anterior vertebra servikal bawah.
constrictor suture Dinding anterior dan posterior segmen distal
muscle faring bersentuhan tetapi dipisahkan oleh
perjalanan makanan. Dinding laten didukung
Stylopharyngeus oleh tepi bebas posterior lamina tiroid. Reses
muscle Epiglottis piriform kecil ditemukan antara lamina tiroid
lateral dan lipatan aryepiglottic medial. Ruang
Middle ini menerima persarafan indera dari saraf
constrictor Retracting laring internal, dan jika benda asing, atau
muscle suture sepotong makanan, terperangkap di daerah ini,
Inferior
itu akan menyebabkan batuk parah dan terus-
constrictor menerus.
muscle
Ligamentous Background
Muscular 1. Stylohyoid ligament is found between the tip
coat of of the styloid process of the skull and
esophagus

Retracting
suture

Fig. 23. Posterior view of pharynx with right portion of constrictor muscle retracted laterally. the lesser horn of the hyoid bone (Fig. 25). It
supports the hyoid, and through the

tulang rawan di dindingnya. Lewat inferior dari

ketinggian ini adalah lipatan
salpingopharyngeal, yang diciptakan oleh otot
salpingopharyngeus. Posterior ke tonjolan dan
lipatan adalah reses faring. Pada dinding
posterior, mungkin ada koleksi jaringan
limfatik yang disebut sebagai tonsil faring, atau
kelenjar gondok. Dinding anterior dibuat oleh
rongga hidung.
Orofaring menghadap rongga mulut dan
permukaan posterior lidah (Gbr. 24).
Internal
Lengkungan palatoglossal terletak di pterygoid
persimpangan antara mulut dan orofaring. muscle
Posterior, dan sedikit lateral dari lengkungan
Epiglottis
ini, adalah lengkungan palatofaringeal. Uvula Tongue
Lengkungan dinamai untuk otot Retracting
melampirkan. Antara lengkungan adalah Retracting suture
suture
palatine atau fossa tonsil, ruang untuk tonsil
palatina. Fauces dianggap sebagai area antara Internal
rongga mulut dan faring. Sepertiga posterior Superior
laryngeal
lidah mengandung jaringan limfatik yang laryngeal
nerve
disebut tonsil lingual. Di belakang lidah adalah artery
tepi bebas atas Posterior Inferior horn of

katup nafas. Permukaan anterior dan lateral cricoarytenoid

ujung-ujungnya melekat pada lidah dengan muscle
lipatan mukosa yang disebut lipatan
glossoepiglottic. Depresi dangkal di antara Inferior
lipatan adalah valleculae. Fasia laryngeal
buccopharyngeal yang menutupi aspek artery
posterior dinding phyngeal bersentuhan
dengan fasia prevertebral yang terletak di Esophagus
anterior vertebra servikal atas.
Fig. 24. Interior view of pharynx.
 Chapter 19: Anatomy of the Head and Neck 289
lidah, dan garis mylohyoid dari kamar mandi.
Konstriktor tengah muncul dari ujung inferior
ligamentum stylohyoid dan tanduk tulang
hyoid yang lebih rendah dan lebih besar.
Constrictor inferior muncul dari garis miring
kartilago tiroid, aspek lateral lengkung krikoid,
dan dari fasia yang melapisi otot krikotiroid
laring. Otot-otot ini melebar ketika mereka
melewati laten dan kemudian posterior, di
mana mereka masuk ke raphe faringeal garis
tengah posterior. Serat terendah dari
konstriktor inferior yang timbul dari tulang
rawan krikoid membentuk otot
cricopharyngeus (Gbr. 27). Ini adalah sfingter
esofagus superior, yang dapat mengatur aliran
ke esofagus. Serabut atas otot lewat secara
Stylohyoid ligament superomedial dan melekat pada rapuh faring,
tetapi serabut bawah lewat secara transversal.
Ada sedikit cacat otot antara transversal dan
Pharyngeal raphe
Hyoid bone bagian miring dari otot cricopharyngeus. Ini
adalah area Zenker, titik lemah, tempat
Oblique line
divertikula pulsi dapat berkembang, dan
merupakan situs potensial untuk perforasi
Cricoesophageal endoskopi.
ligament Stylopharyngeus dan palatopharyn-
otot geus menciptakan lapisan otot longitinal
internal. Otot stylopharyngeus menerima
persarafan motorik dari saraf
glossopharyngeal. Sisa dari dinding otot
disuplai oleh saraf vagus dan glossopharyngeal
melalui

Fig. 25. Skeletal framework of pharynx.

membran thyrohyoid juga bertanggung jawab

untuk suspensi laring.

The Head and Neck

2. Rapuh faring adalah lapisan berserat, yang
melambangkan situs perlekatan posterior
untuk otot konstriktor kiri dan kanan. Ini
melekat superior ke tuberkulum faring
ditemukan pada bagian basal dari tulang
oksipital, ½ in. Lebih rendah dari foramen
magnum. Rendahnya, ia menyatu dengan
dinding esofagus.
3. Raphe pterigomandibular adalah
struktur berserat antara hama pterigoid
dan mandibula. Ini memberikan
lampiran untuk konstriktor superior dan
otot-otot buccinator.
Superior constrictor

Latar Belakang Muskular

Ada lima otot sukarela berpasangan yang Middle constrictor
berkontribusi pada dinding faring. Konstruktor Thyrohyoid
superior, tengah, dan inferior menciptakan membrane
Inferior constrictor
lapisan otot melingkar eksternal (Gbr. 26).
Stylopharyngeus dan palatopharyn-geus
menciptakan lapisan otot longitudinal dalam.
Setiap otot pembatas sebagian tumpang tindih,
secara eksternal, tepi inferior otot di atas.
Constrictor superior muncul dari tepi posterior
bagian bawah lempeng pterigoid medial, hama
ptergoid, raphe pterigomandibula, sisi

Fig. 26. Constrictor muscles of pharynx.

290 Part III: The Head and Neck

bukaan-bukaan ini: (a) fascia

buccopharyngeal, yang juga menciptakan
penutup eksternal dari konstriktor, dan (b)
pharyngobasilar fascia, yang berada pada
posisi submukosa, dan internal pada dinding
otot.
Pleksus saraf faring dan pleksus vena faring
ditemukan antara otot konstriktor dan fascia
Posterior belly of bukopharingeal. Selain itu, ada pleksus vena
digastric muscle submukosa. Bukaan paling atas, antara
pangkal tengkorak dan konstriktor superior,
Stylohyoid muscle memberikan porsi untuk bagian kartilaginum
dari tabung tumor, otot levator palatine, dan
Stylopharyngeus muscle pembuluh palatina kecil. Otot stylopharyngeus
dan saraf glossopharyngeal melewati antara
otot-otot konstriktor superior dan tengah (Gbr.
28). Celah ketiga, antara konstriktor tengah
dan inferior, meliputi area antara tanduk hyoid
yang lebih besar dan kartilago tiroid. Membran
Pharyngeal raphe tirohyoid ditemukan di sini dan ditembus oleh
arteri laring superior yang berasal dari tiroid
superior, cabang internal saraf laring superior
yang menyediakan persarafan sensorik ke
mukosa laring di atas pita suara, dan laring
Zenker area Cricopharyngeus superior pembuluh darah. Melewati antara
muscle konstruktor inferior dan esofagus adalah
kelanjutan dari saraf laring berulang dan arteri
dan vena laring inferior (Gbr. 24).

Innervation of the Pharynx

Fig. 27. Posterior view of pharynx. Pleksus faring, diciptakan oleh vagus
(X) dan saraf glossopharyngeal (IX), memasok
persarafan motor ke faring

pleksus faring. Saraf laring superior muncul dari
vagus di dasar tengkorak. Ini menciptakan saraf
laring eksternal, yang menginervasi bagian
bawah konstriktor inferior, dan otot krikotiroid
laring.
Completion of the Wall of the Pharynx
Ada cacat di dinding faring yang lebih rendah
dan lebih rendah dari asal sempit otot
konstriktor. Ada struktur yang melewati area-
area defisiensi otot ini. Dua lapis fasia
menutup

Body of Greater horn of

hyoid bone Epiglottis
Epiglottis hyoid bone

Thyrohyoid Superior
membrane horn of
thyroid
Superior cartilage
horn of
thyroid
cartilage

Oblique
line
Inferior Arytenoid
horn of Thyroid cartilage
thyroid Inferior
cartilage
cartilage horn of
thyroid
Lamina of cricoid cartilage
cartilage Annulus of Cricoid
cartilage
Cricoid Trachea

Trachea Cricothyroid cartilage

ligament

Right Lateral View Anterior View Posterior View

Fig. 28. Cartilages of the larynx.

otot. Otot stylopharyngeus menerima persarafan
motorik dari saraf glossopharyngeal. Saraf laring
superior muncul dari vagus di dasar tengkorak. Ini
menciptakan saraf laring eksternal yang melindungi
bagian bawah konstriktor inferior dan otot krikotiroid
laring. Sisa dari dinding otot menerima persarafan
motor dari pleksus faring. Persarafan sensorik
disediakan oleh saraf glossofaringeal melalui pleksus
phynralgeal.
Laring
Laring bertanggung jawab untuk vokalisasi.
Pembukaan superior menghadap
laringofaring. Ujung inferior ada di kartilago
krikoid, di mana ia menjadi kontinu dengan
trakea. Ini anterior ke tubuh vertebra C3
hingga C6. Dinding anterior laring
berhubungan dengan fasia serviks dan
kulit. Otot-otot tali anterolateral. Kelenjar
tiroid dan selubung karotid adalah lateral.
Laringofaring memisahkan laring dari kolom
vertebra. Ini memiliki beberapa tingkat
kekakuan dan terdiri dari tulang dan tulang
rawan yang disatukan oleh membran,
ligamen, dan sendi sinovial. Tulang hyoid
adalah bagian dari anatomi dasar mulut,
tetapi karena memberikan dukungan
penting untuk laring, akan dibahas pada
bagian ini.
Skeleton of Larynx
Tulang hyoid adalah struktur berbentuk U
dengan tubuh pusat, berukuran lebar 1 in.
Dan tinggi 1/2 in. Ini berkelanjutan, di setiap
sisi, dengan tanduk yang lebih besar yang
melewati posterolateral sekitar 1½ in. Ujung
bebas tanduk yang lebih besar secara langsung
kalah dengan sudut mandibula. Tanduk yang
lebih kecil adalah tonjolan kecil, superior yang
ditemukan di persimpangan tubuh dan tanduk
yang lebih besar. Ligamentum stylohyoid, yang
menangguhkan tulang hyoid dari pangkal
tengkorak, terpasang di sini .
Laryngeal Cartilages
Ada tiga kartilago tidak berpasangan dan tiga
berpasangan (Gbr. 28). Mobil yang tidak
berpasangan yang lebih besar adalah tiroid,
krikoid, dan epiglotitis. Tulang rawan yang
berpasangan adalah arytenoid, corniculate,
dan runcing.
Tulang hyoid dan kartilago tiroid dan cri-
coid memberikan dukungan utama laring.
Tulang rawan tiroid teraba 1/2 in. Di bawah
tubuh tulang hyoid. Ini terdiri dari tulang
rawan hialin dan dibentuk oleh dua lamina
yang melebur secara umum. Titik fusi
anterosuperior tidak lengkap, meninggalkan
takikan berbentuk V teraba yang disebut
laring, atau tiroid,
Chapter 19: Anatomy of the Head and Neck
keunggulan. Ini juga disebut sebagai apel
Adam, dan merupakan struktur yang
lebih menonjol pada pria. Perbatasan
posterior setiap lamina gratis dan
menghasilkan proyeksi yang disebut
tanduk superior dan inferior. Tanduk
superior tumbuh sekitar 1/2 in. Ke arah,
dan secara vertikal lebih rendah daripada,
ujung tanduk hyoid yang lebih besar.
Tanduk inferior hanya panjangnya 1/4
inci, dan memanjang ke bawah dari tepi
bebas lamina tiroid menuju ujung
posterior lengkung kartilago krikoid. Ada
punggungan dimulai pada akar tanduk
superior yang memanjang secara
inferomial menuju tepi bawah lamina
tiroid yang menyatu. Ini adalah garis
miring, dan mewakili titik perlekatan tiga
otot: sternothyroid, thyrohyoid, dan
konstriktor inferior faring.
Tulang rawan krikoid menciptakan cincin
lengkap. Ini adalah satu-satunya cincin
kartilaginosa lengkap dalam sistem
pernapasan. Bagian anterior dan lateral cincin
itu sempit dan membentuk lengkungan.
Bagian posterior melebar dan menciptakan
lamina. Itu menyerupai cincin meterai.
Lengkungan telah diidentifikasi sebagai bidang
krikoid. Ini adalah level yang disebut sebagai
bonanza anatomis awal dalam bab ini. Cricoid
berpartisipasi dalam dua sendi sinovial:
cricoarytenoid dan cricothyroid. Epiglotis
adalah yang ketiga dari kartilago yang tidak
berpasangan. Ini terdiri dari tulang rawan
elastis, yang memungkinkan struktur
berbentuk raket untuk membantu menutup
masuk ke laring selama deglutition. Ujung
runcing yang lebih rendah melekat pada
kartilago tiroid yang hanya lebih rendah dari
keunggulan laring oleh liga thyroepiglottic. Tepi
superior memanjang di atas tubuh tulang
hyoid. Ligamentum hyoepiglottic melekat pada
aspek posterior tubuh hyoid. Aspek anterior
terhubung ke dorsum lidah dengan lipatan
glossoepiglottic kiri, kanan, dan median. Di
antara lipatan terdapat depresi yang disebut
sebagai vallecula epiglottica. Tepi superior
epiglotis dapat terlihat selama pemeriksaan
oral jika dorsum lidah mengalami depresi.
Permukaan posterior kartilago ini adalah
bagian dari dinding anterior ruang laring.
Arytenoid adalah yang terbesar di dunia
tulang rawan berpasangan. Mereka berbaring
di perbatasan superior lamina kartilago krikoid
dan berpartisipasi dalam sendi krikoarytenoid.
Mereka berbentuk piramidal dan berukuran ½
hingga 3/4 masuk. Basis berada di permukaan
superior lamina cri- coid. Ujung medial dari
pangkal diproyeksikan ke anterior untuk
membuat proses vokal. Sudut posterolateral
alas diperbesar dan membentuk proses otot.
Permukaan medial menghadap pasangannya.
Permukaan anterior memberikan attachment
untuk
291
otot inferior dan membran quadrangular
superior. Arytenoid terdiri dari tulang rawan
hialin, tetapi apeks dibuat oleh tulang rawan
elastis. Corniculate dan cuneiform adalah
batangan kecil elastisilil yang terletak di
dalam lipatan aryepiglottic, tepat di atas
puncak arytenoid..
Membranes and Ligaments
Tulang rawan tiroid ditangguhkan dari
tubuh dan tanduk yang lebih besar dari
tulang hyoid oleh membran thyrohyoid.
Membran ini menebal di garis tengah dan
di setiap tepi, menciptakan ligamen
thyrohyoid median dan lateral. Median
liga krikotiroid adalah penebalan garis
tengah antara aspek anterior lengkung
krikoid di bawah, dan ujung inferior
kartilago tiroid di atas (Gbr. 28). Serat
kuat lainnya muncul dari sisa lengkungan
cri- coid dan melewati superomedially.
Serat anterior melewati aspek internal
kartilago tiroid di bawah takik tiroid (Gbr.
29). Serat posterior melekat pada proses
vokal dan pangkal arytenoid. Serabut
antara perlekatan anterior dan posterior
ini bebas dan disebut ligamen vokal.
Ligamen vokal adalah tepi bebas superior
dari struktur berbentuk kerucut yang
menempel di bawah lengkungan tulang
rawan krikoid. Ini disebut conus elasticus
dan membungkus ruang infraglotis laring
(Gbr. 30). Ikatan cricotracheal
menempelkan cricoid ke tulang rawan trail
pertama. Di atas level ligamen vokal
terdapat membran yang lebih tipis, yang
berpindah dari permukaan anterolateral
kartilago arytenoid ke tepi lateral epiglotis,
di bawah tepi superiornya, dan ke
ligamentum thyroepiglottic. Ini adalah
membran segi empat. Tepi bawah, antara
arytenoids dan ligamentum thyroepi-
glottic, bebas, dan membentuk
The Head and Neck
ligamentum vesibula, atau pita suara
palsu. Jarak antara ligamen vokal dan liga
vestibular yang lebih superior
memisahkan conus elasticus dan
membran segi empat dari satu sama lain
secara inferior. Kedua struktur tersebut
menciptakan membran fibrosis laring.
Keduanya berbentuk kerucut dan
disejajarkan sehingga menyerupai jam
pasir.
Interior of the Larynx
Membran dan ligamen yang dijelaskan
sebelumnya dibatasi oleh mukosa. Laring
dibagi menjadi tiga bagian (Gbr. 29). Ruang
depan lebih unggul dan ruang infraglotis lebih
rendah. Memisahkan kedua area ini adalah
ventrikel. Ruang depan dibatasi secara anterior
oleh epiglotis. Membran kuadranguler adalah
batas lateral, dan mungkin adalah arytenoid
dan
292 Part III: The Head and Neck
Aryepiglottic fold
Saccule
Ventricle
Vocal ligament
Fig. 29. Membranes of the interior of the larynx.
lipatan interarytenoid. Mukosa yang
menutupi tepi superior dari membran segi
empat membentuk lipatan aryepiglottic.
Ruang antara lipatan aryepiglottic adalah
pintu masuk ke ruang depan. Ini adalah
aditus laring. Mukosa yang menutupi
ligamentum vesibula menciptakan lipatan
vestibular, yang merupakan ujung inferior
dari ruang depan. Ruang antara lipatan
vestibular adalah rima vestibuli. Di bawah
lipatan vestibular adalah lipatan vokal.
Mukosa yang menutupi ligamen vokal
menciptakan lipatan vokal. Ini sangat patuh
dan memiliki warna putih. Mukosa lipatan
ini bertingkat
Conus
elasticus
Vocal process
of arytenoid cartilage
Vocal ligaments - superior view
Fig. 30. Superior view of the vocal ligaments.
dari daerah ini naik untuk jarak pendek,
lateral ke lipatan vestibular, dan menciptakan
Epiglottis sakula. Sejumlah kelenjar yang mengeluarkan
mukosa ditemukan di sini. Ruang infraglotis
adalah internal ke conus elasticus dan tulang
rawan krikoid. Rima glottidis adalah batas
Quadrangular atas, dan inferior kontinu dengan lumen
membrane trakea.
Joints and Intrinsic Muscles
of the Larynx
Sendi cricothyroid dan cricoarytenoid adalah
sinovial dan dibuat oleh struktur hyaline carti-
Thyroid cartilage laginous. Sendi cricothyroid memungkinkan
gerakan pivoting, yang mengangkat
lengkungan tulang rawan krikoid sambil
menekan lamina dan darah arytenoid yang
ditemukan pada permukaan superiornya (Gbr.
Vestibular 30). Ini menghasilkan ketegangan ligamen
vokal, yang menghasilkan suara bernada
ligament tinggi. Sumbu rotasi melintang, melalui kedua
sendi krikotiroid. Sendi cricoarytenoid
Conus elasticus memungkinkan dua jenis gerakan tulang
rawan arytenoid. Rotasi di sekitar sumbu
vertikal yang melewati arytenoids akan
Cricoid menghasilkan adduksi atau penculikan
cartilage ligamen vokal. Selain itu, gerakan meluncur
dapat terjadi, yang memungkinkan arytenoid
bergerak ke arah, atau menjauh dari, satu
sama lain. Rima glottidis berbentuk segitiga,
dan dasarnya adalah interval antara proses
vokal. Gerakan meluncur melintang, atau
loncatan arytenoid di sekitar sumbu vertikal,
dapat mengakibatkan pelebaran atau
skuamosa. Sisa dari mukosa laring adalah penyempitan rima glottidis. Ada sembilan otot
kolase silia pseudostratifikasi. Ruang antara intrinsik laring, delapan dipasangkan dan satu
tidak berpasangan. Enam dari pasangan dan
lipatan vokal adalah rima glottidis. Ia tidak berpasangan bertindak langsung pada
ditemukan 1/4 inci. Di bawah rima vestibuli arytenoid, dengan efek yang dihasilkan pada
dan mudah divisualisasikan dengan ligamentum vesibula dan vokal. Otot-otot
dapat dibagi menjadi tiga kelompok fungsional.
pemeriksaan endoskopi melalui rima vestibuli Yang pertama memberikan perlindungan
yang lebih luas. dengan aktivitas seperti sfingter. Mereka
berada di lipatan aryepiglottic. Otot
Bagian tengah laring adalah ventrikel. Ini aryepiglottic berpindah dari permukaan
memisahkan ruang depan secara superior dari posterior arytenoids ke aspek lateral epiglottis
(Gbr. 31). Otot thyroepiglottic memanjang dari
ruang infraglottic inferior. Ini ditemukan aspek internal lamina tiroid ke aspek lateral
antara rima vestibuli dan rima glottidis. epiglotis. Otot-otot ini membantu menutup
Mukosa memanjang ke lateral antara aditus laring. Kelompok otot kedua
menegangkan, mengendur, atau membentuk
vestibular dan pita suara dan membentuk ligamen vokal. Otot krikotiroid, yang
sinus. Sebuah outpouching kecil ditemukan antara lengkungan kriid dan aspek
internal lamina tiroid yang menyatu,
menyebabkan peningkatan lengkungan
krikoid dan depresi lamina. Ini menghasilkan
tegang ligamen vokal. Otot thyroarytenoid,
Thyroid yang ditemukan antara tulang rawan tiroid di
cartilage bagian anterior, dan arytenoids menentang
tindakan ini.
sangat buruk. Ini menarik proses vokal anteri
orly dan melemaskan ligamen vokal. Serat dari
Cricothyroid aspek medial otot ini menempel
ligament
Vocal
ligaments
Cricoid
cartilage
Muscular process of
arytenoid cartilage

Left thyrohyoid
membrane
Aryepiglottic
muscle
Quadrangular
membrane
Thyroarytenoid
muscle
Fig. 31. Interior of the larynx after removal of the right portion of hyoid and thyroid cartilages.
langsung ke ligamen vokal dan dapat
menyebabkan kontraksi dan relaksasi bagian
ligamen vokal yang berbeda. Serat khusus ini
dinamai otot vocalis. Otot cricoarytenoid
lateral, antara bagian posterior lengkungan
cricoid dan proses otot arytenoids, adalah
adduktor utama ligamen vokal. Arytenoid
transversal adalah satu-satunya otot laring
yang tidak berpasangan; melintas di antara
arytenoid dan menyebabkan penyempitan rima
glottidis dan rima vestibuli. Kelompok otot
ketiga bertanggung jawab untuk pelebaran
rima glottidis. Otot krikoarytenoid posterior
lewat miring antara permukaan posterior
lamina krikoid dan proses otot arytenoid. Ini
memperluas rima glottidis dengan menculik
proses vokal tulang rawan arytenoid.
Blood Supply and Nervous Innervation of
the Larynx
Cabang laring superior dari arteri tiroid
superior menyediakan aliran vaskular. Ia
memasuki laring melalui membran thyrohyoid,
bersama dengan saraf laring internal dan vena
laring superior. Vaskular inflow juga terjadi
melalui arteri laring inferior, cabang tiroid
inferior yang memasuki laring di bawah tepi
bawah otot konstriktor inferior, bersama
dengan saraf laring inferior. Saraf ini adalah
kelanjutan intralaryngeal dari saraf laring
berulang.
Cabang saraf Vagus menyediakan semua
persarafan motorik dan motorik. Sensory
inner, di atas lipatan vokal, berasal dari
cabang internal saraf laring superior. Pasokan
saraf laring inferior
Chapter 19: Anatomy of the Head and Neck
Epiglottis
Thyroepiglottic
muscle
Saccule
Cricothyroid ligament
Conus elasticus
persarafan sensorik ke ruang infraglotis dan
trakea. Cabang eksternal saraf laring superior
menginervasi otot krikoroid. Saraf laring
inferior memasok semua otot laring intrinsik
lainnya.
Cedera saraf laring kadang-kadang dapat
terjadi selama operasi tiroid. Pengetahuan
tentang anatomi akan memungkinkan ahli
bedah untuk melakukan prosedur apa pun, di
mana saja di dalam tubuh, secara cepat dan
aman.
Pembelahan saraf laring superior akan
menyebabkan hilangnya persarafan sensorik
laring di atas pita suara (cabang laring
internal). Refleks batuk akan hilang. Selain itu,
akan ada kehilangan kelestarian motorik dari
otot krikotiroid. Suara akan menjadi serak dan
tidak dapat mencapai nada tinggi.
Pembagian unilateral saraf berulang akan
menyebabkan liga vokal berada di tengah-tengah
antara adduksi dan abduksi. Ini adalah posisi
kadaver. Kabel yang tidak terluka dapat melewati
garis tengah dan mendekati pasangannya
sehingga perubahan suaranya mungkin minimal.
Jika kedua saraf yang berulang dipotong, ligamen
vokal menjadi kendur, menghasilkan perubahan
suara tetapi tidak ada masalah pernapasan.
Dalam beberapa bulan, suara akan mulai muncul
kembali sebagai akibat dari perubahan fibrotik
dan pengetatan ligamen vokal. Ini juga akan
menyebabkan penyempitan rima glottidis dan
munculnya masalah pernapasan. Jika ada juri
bilateral, yang diciptakan dengan
menghancurkan, meregangkan, atau
menggabungkan dalam ligatur, tanpa transeksi,
maka serangkaian gejala yang berbeda dapat
terjadi. Masalah pernapasan muncul lebih awal.
Ini dapat dijelaskan oleh hukum Semon, yang
menyatakan bahwa pada penyakit motorik
progresif
293
saraf laring, abduktor kadang-kadang satu-
satunya otot yang terkena. Selain itu, aksi
otot krikotiroid yang tidak terlawan, dan
penyempitan rima glottidis dan kesulitan
pernapasan diharapkan terjadi. .
SUPERFICIAL VENOUS SYSTEM
Vena-vena ini dan struktur neurovaskular
superfisial lainnya dalam hingga otot
platysma.
1. Common facial vein is formed by the
union of the anterior facial vein with the
anterior division of the retromandibular
(posterior facial) vein. It passes over the
submandibular triangle and the poste- rior
belly of the digastric muscle, and
empties into the internal jugular vein in the
superior portion of the carotid tri- angle.
2. External jugular vein is created by the
union of the posterior auricular vein
with the posterior division of the ret-
romandibular vein. The vein passes in-
ferolaterally, runs obliquely across the
superficial aspect of the sternocleido-
mastoid muscle, pierces the deep cervi- cal
fascia in the subclavian division of the
posterior triangle, and empties into the
subclavian vein. The great auricular nerve
(C2, C3) is posterior to this su- perficial
vein in the upper part of the neck.
3. Vena jugularis anterior dimulai pada
bagian leher rahim dan turun secara
The Head and Neck
vertikal, dekat dengan garis tengah,
turun ke klavikula. Kemudian
menembus lapisan investasi dari fasia
serviks yang dalam, melewati jauh ke
sternokleidoma-toid, dan berakhir di
vena jugularis eksternal ipsilateral. Ini
sering memberikan cabang di daerah
suprasternal yang melintasi garis
tengah dan bergabung dengan vena
jugularis anterior kontralateral.
Cabang komunikasi melintang ini
disebut sebagai lengkungan vena
jugularis.
4. Vena Kocher muncul di daerah
submandibular sebagai cabang dari vena fasia
anterior, turun di tepi anterior otot
sternokleidomastoid, dan berakhir di lengkung
vena jugularis, atau vena jugularis interna.
LYMPHATIC PATHWAYS
OF THE NECK
Jalur limfatik leher (Gbr. 32) dapat dibagi
menjadi kelompok horizontal superior yang
ditemukan di persimpangan kepala dan leher.
Ini termasuk submental, sub-mandibular,
parotid (preauricular), mastoid
294 Part III: The Head and Neck

menerima drainase dari amandel. Node

jugulo-omohyoid menerima drainase dari
lidah. (c) Rantai visceral adalah yang
paling anterior dari jalur vertikal dan
mengeringkan semua visus serviks.
Komponen individu dari rantai nodal ini
adalah parapharyngeal, parryngeal,
prelaryngeal atau Delphian, paracheal,
dan pretracheal. Nodus Delphian adalah
temuan konstan dan menerima drainase
limfatik dari laring dan kelenjar tiroid.
Jugular chain 2. Kelompok horizontal inferior, yang
disebut simpul praklavlavikular,
Common carotid Visceral chain ditemukan pada segitiga sub-klavanus.
artery Mereka menerima aliran limfatik dari
saluran serviks vertikal dan ekstremitas
atas, aksila, dan dinding toraks. Mereka
berkomunikasi, melalui saluran eferen,
dengan saluran jugular dan subklavia
internal. Beberapa nodus supraklavikula
yang terletak anterior ke otot skalen
anterior disebut sebagai nodus skalen.
Mereka menerima saluran
bronchomediastinal dari thorax dan
dapat diperbesar akibat penyebaran dari
proses penyakit intrathoracic.
3. Duktus toraks menerima aliran
dari semua limfatik di bawah
diafragma pernapasan,
hemithorax kiri melalui batang
bronkomediastinal kiri, sisi kiri
kepala dan leher melalui batang
Deep Lymphatic Drainage kiri serviks vertikal, dan dari kiri

Fig. 32. Deep lymphatic drainage.

(postauricular), dan simpul oksipital. Ini

menciptakan cincin kelenjar getah bening di
daerah ini.
1. Grup vertikal yang menerima drainase
limfatik dari komponen hori- zontal superior
(Gbr. 33). Ada tiga jalur yang mungkin dalam
pengelompokan ini..
(a) Kelompok serviks posterior terdiri dari Accessory nerve
nodus superfisial yang berjalan dengan lymphatics (deep)
vena jugularis eksterna dan kelompok
nodus yang dalam yang berjalan dengan
nervus asesoris spinalis (XI). Mereka berada External jugular
di segitiga posterior. (B) Kelompok jugularis vein lymphatics
berada di posisi tengah dan sering disebut
sebagai kelompok serviks yang dalam.
Jalur ini adalah yang paling penting. Ini
terdiri dari node di beberapa level, karena
saluran vertikal ini turun dengan vena
jugularis internal. Ada nodus juguoparotid
yang terletak di dekat sudut mandibula,
nodus jugulodigastrik di mana perut
posterior otot digior melintasi vena
jugularis interna, nodus jugulokarotid
dekat pembesaran arteri karotis umum,
dan simpul jugulo-omohyoid di mana otot
omohyoid melintasi vena jugularis interna.
Jugulodigastrik nodus Lymphatic Drainage

Fig. 33. Lymphatic drainage.


ekstremitas atas melalui batang kiri kiri. Ini
bermuara ke dalam sistem vena pada aspek
lateral persimpangan antara jugularis
internal kiri dan vena subklavia kiri. Batang
dapat masuk secara terpisah ke dalam
sirkulasi vena. Di sisi kanan, tidak lazim
batang bronkomediastinal, subklavia, dan
vertikal
EDITOR’S COMMENT
There is little attention paid nowadays to the
neck. It is almost as if general surgeons are ab-
rogating their responsibility and interest in the
neck except in cases of diseases of the thyroid and
parathyroid, and even in those circumstances, in-
terest may be waning, or at least the interest of
others such as otorhinolaryngologists seems to
have increased. The reason for this is difficult to
know.
1. Otorhinolaryngologists were liberated from
the destructive surgery, for example, in mas-
toids and with otitis media, with the advent
of effective antibiotics. In addition, pharyn-
geal neck abscesses from various colds and
infections also vanished from the scene
with effective antibiotics. Thus, they tried to
reinvent themselves in the same area in
which they were trained, but in which much
of the destructive surgery based on infectious
disease was not cared for with antibiotics.
In those cases, they turned, as well as oth-
ers, from destructive surgery to constructive
surgery.
2. The rise of oral surgery. Oral surgery emerged
as differentiated from dentistry some time in
the early 1940s and gradually developed in the
1950s and 1960s. Carcinoma of the tongue,
carcinoma of the tonsil, and pharyngeal max-
illary cancer to a certain extent. This was also
when submandibular cancer became part of
the repertoire of the oral surgeon in some geo-
graphical areas.
3. General surgeons were held in sway by some
leaders who didn’t believe in the resection
of nodes for thyroid cancer. A papillary car-
cinoma, of course, has a low mortality, and
so it is difficult for some surgeons to believe
that general surgeons, especially those tak-
ing care of thyroid cancer, should pursue the
adenopathy, since mortality is so low. Others
believed that carcinoma of the thyroid could
be treated with psychiatry. In any event, this
tide has turned, and at this point in time, most
surgeons dealing with thyroid cancer have
gotten much more aggressive at attacking the
adenopathy with node dissections.
4. Other specialties began to concentrate on
parathyroid surgery, which previously was
the field of general surgery and endocrine ser-
vices. In other chapters of this book, it does
appear that the rates of success between ENT
surgeons and general surgeons differ. In some
of the well-recognized centers for parathyroid
surgery, a success rate of 99% is expected. For
Chapter 19: Anatomy of the Head and Neck
sebelum memasuki sirkulasi vena. Mereka
sering mengosongkan, sebagai entitas yang
terpisah, ke kompartemen vaskular.
BACAAN YANG DISARANKAN
Arnold M. Reconstructive Anatomy: A Method for
the Study of Human Structure. Philadelphia: WB
Saunders; 1968.
those in the ENT field, it does appear as if per-
haps a 95% or 96% rate of success in “curing”
hypoparathyroidism is the norm.
In addition, medical schools stopped teach-
ing anatomy. As medical schools became more
research oriented, bragging rights was not about
how well the students were taught but was about
the NIH grants and the total number of NIH dol-
lars appropriated to that school. In addition, in
schools that have not given up anatomy, there
were inappropriate instructors who were utilized
to [make] up the funds that were [not] appropri-
ated in their NIH grants. A classic example of this
is to have acute abdomen taught by internists
who were not called to the emergency room
to see patients with acute abdomen. In many
schools, surgeons are no longer asked to teach
the acute abdomen. It is also now thought that
medical students can learn in a truncated gen-
eral surgery rotation, which is now increasingly
shared with other surgical specialties, such as
ophthalmology, in the time frame which in the
past was solely utilized by general surgery. I am
not criticizing ophthalmology in this statement,
but I am just pointing out that those surgical spe-
cialties have now lost their own space to surgery
time.
One appreciable thing about this chapter is
that Professor Ruhalter is very well aware of clini-
cal correlation and anatomic correlation. I just
list these because I think they are of interest and
have some clinical relevancy.
Anatomic goodies:
1. The cricoid bone is an anatomic bonanza, as
is detailed in this chapter.
2. The superior surfaces of the first rib are flat-
tened, so that neurovascular structures can
travel over it without compression. This, of
course, is true of thoracic outlet syndrome,
in which the vasculature and sometimes the
nerves are compressed.
3. The subclavian artery passes over the poste-
rior sulcus of the scalene tubercle. The ante-
rior scalene muscle attaches to the first rib
between the subclavian vessels and, there-
fore, is in a position to compress the subcla-
vian artery, giving rise to the thoracic outlet
syndrome.
4. The cervical sympathetic chain has as its
apex a “dumbbell-shaped structure, called
the cervicothoracic, or stellate, ganglion.”
The reason for it being called stellate gan-
glion is that it is star-like and gives out the
multiple branches. The stellate ganglion,
when invaded by a tumor at the apex of the
lung on one side or the other, gives rise to
the Horner’s syndrome and is often the first
295
Healey JE, Hodge J. Surgical Anatomy, 2nd ed.
Philadelphia: BC Decker; 1990.
Leeson CR, Leeson TS. Human Structure: A Com-
panion to Anatomical Studies. Philadelphia: WB
Saunders; 1972.
Thorek P. Anatomy in Surgery. Philadelphia: JB
Lippincott; 1951.
symptom or sign of the presence of that
tumor.
5. The brachial plexus is formed by the ventral
rami of C5 through T1. These nerve roots will
form three trunks—C5 and C6 form the up-
per trunk, C7 root forms the middle trunk,
and C8 and T1 form the lower trunk. These
pass between the middle and anterior sca-
lene muscles.
6. The lower trunk of the brachial plexus is
draped over the first rib immediately poste-
rior to the subclavian artery.
7. The fascia of the neck: The superficial fascia,
which is often is not well developed, forms
the platysma, which may or may not be very
robust; the cervical branch of the facial nerve
enervates the platysma, which contributes to
facial expression.
8. The cutaneous branches and the superficial
veins are below the muscles of facial expres-
sion, which are the platysma.
9. Deep cervical fascia: The superficial or invest-
ing layer of the deep cervical fascia splits to
surround the trapezius and the sternocleido-
mastoid muscle and the submandibular and
parotid glands.
10. The carotid sheath, which is part of the
deep cervical fascia, surrounds the com-
The Head and Neck
mon carotid, the internal jugular, and the
vagus nerve. The vagus nerve is between the
common carotid and the internal jugular,
which is somewhat posterior to the common
carotid.
11. When the common carotid artery divides the
internal carotid, it immediately goes anterior
to the carotid, except at the base of the skull;
the vein is anterolateral to the artery.
12. The sympathetic chain is in contact with the
posterior sheath.
13. The thoracic duct is to the left of, and poste-
rior to, the esophagus. It enters at the junc-
tion of the internal jugular vein and the sub-
clavian vein.
14. The right lymphatic duct, which is the
counterpart of the left thoracic duct, is not
large as the thoracic duct and consists of
several smaller lymphatics. It drains the
right upper extremity and the upper right
hemithorax.
15. The right recurrent laryngeal nerve loops
around the right subclavian. The left re-
current nerve loops the aortic arch on the
left. The right recurrent nerve is less well
protected, as it comes up lateral to the
tracheoesophageal groove, but, to get to
the tracheoesophageal groove on the right,
it is more superficial and more widely
exposed.
(continued)
296 Part III: The Head and Neck
16. Sibson’s fascia is at the apex of the lung and
runs between C7 and the first rib. It is some-
what protective of the apex of the lung.
17. The inferior thyroid artery is superficial to
the prevertebral fascia. It courses posterior
to the carotid sheath and anterior to the ver-
tebral artery.
18. The last branch given off by the subclavian
artery, as it goes from medial to lateral, is
the internal mammary, which then travels
behind the sternum and attaches to the ster-
num medial to the ribs.
19. The anatomy of the root-of-the-neck com-
pression syndromes includes the following:
(a) Costoclavicular compression syndrome.
(b) Cervical-rib compression syndrome.
(c) Anterior scalene compression syndrome
(thoracic-outlet syndrome).
(d) Pectoralis minor syndrome.
The following are the clinical anatomic appli-
cations which are practical in the surgery of this
area.
20. Cervical incisions should be made parallel to
the skin lines for good cosmesis.
21. Control of bleeding may be possible, if the
common carotid artery is compressed against
the transverse mass of the sixth cervical ver-
tebra, which is the cricoid plane.
22. The hyoid bone is the central structure of
the neck. Most of the structures of the
20 Operasi Pada Kelenjar Ludah Submandibular
and Sublingual
Carol M. Lewis and Michael E. Kupferman
PENDAHULUAN
Pembedahan kelenjar liur submandibular dan
sublinual membutuhkan pemahaman tentang
anatomi wilayah kecil tubuh manusia.
Pengetahuan bedah tentang area ini untuk
pengawetan atau pemusnahan yang aman dari
struktur kritis memungkinkan ahli bedah
untuk menentukan indikasi yang tepat untuk
intervensi bedah dan untuk melakukan
prosedur tersebut dengan benar. Ini berlaku
untuk trauma, infeksi, obstruksi, atau
neoplasma. Bab ini berfokus pada indikasi
untuk pembedahan, serta pendekatan bedah
untuk kelenjar sublingual dan submanakular .
ANATOMI
Otot mylohyoid memisahkan ruang subtitle
dari sudut submandibular. Ruang
sublingual dibatasi anterior dan lateral oleh
mandibula,
neck—muscular and membranous—attach
to the hyoid bone. If one considers the hyoid
bone and the attached posterior belly of
the digastic muscle, it is possible to divide
the anterior triangle into suprahyoid and in-
frahyoid portions.
23. The vagus nerve is behind and slightly pos-
terior to the carotid and internal jugular
vessels.
24. The posterior belly of the digastic muscle is
superficial to the neurovascular structures
and presses them against the pharyngeal
wall. Therefore, owing to this structure, inci-
sions can be made without the risk of injur-
ing the nerves or arteries.
25. The intermediate tendon of the omohyoid
between the two bellies is in the cricoid plane
with a number of other venous and tendinous
structures.
26. The transection of the strap muscles closer
to the superior end will preserve the ner-
vous innervation, since the nerve enters the
muscle near the inferior end. Most individu-
als who divide the strap muscles to get at
the thyroid do so at the interior end. Per-
sonally, I have never been taught that one
divides the strap muscles at the superior
end because the nerve enters inferiorly, but
it is something good to remember, because
one of the cosmetic difficulties following
thyroid surgery is the denervation of the
superior oleh mukosa dasar mulut, dan
inferior oleh otot mylohyoid. Ruang ini
berisi kelenjar sublingual dan jaringan
ikat yang terkait, saraf hipoglosus, dan
bagian dalam kelenjar submandibular
(Gbr. 1).
Segitiga submandibular dibatasi anterior
oleh perut anterior otot digastrik, superior oleh
inferior tubuh mandibula dan otot mikohoid,
inferior oleh trochlea dan posterior perut otot
digastrik, dan posterior oleh batas posterior
kelenjar submandibular (Gambar 1 dan 2).
Segitiga ini berisi kelenjar submandibular dan
duktus Wharton terkait, saraf linier dan
ganglion submandibular, saraf hipoglosus, dan
ikatan neurovaskular pada otot milohyoid.
Sangat penting untuk mengenal struktur-
struktur ini dan hubungan anatominya baik
dalam posisi netral maupun bedah.
strap muscles, at times with a bulge in the
lower neck.
27. When one enters the cleavage between the
sternothyroid muscle and the thyroid gland,
this provides excellent exposure of and facili-
tates surgical approach to the gland, which
is avascular.
28. The long thoracic nerve originates from C5,
C6, and C7 and courses inferiorly, passing to
the other portions of the brachial plexus, and
then passing over the first rib to reach the
superficial surface of the serratus ventralis,
which it innervates.
29. Dissection on the posterior triangle is safe
in the area superior to the spinal accessory
nerve.
30. A good landmark for the upper thyroid glands
is that they are usually at the level of the thy-
roid cartilage.
31. If there is a high origin of the recurrent laryn-
geal nerve, it may not be in the tracheoesoph-
ageal groove and it is called a nonrecurring
nerve. Obviously, if there is a high origin, it is
more exposed and not protected by not being
in the tracheoesophageal groove.
The neck is a very hostile place from the
standpoint of anatomy. We are very privileged
to have an anatomist of Professor Ruhalter’s skill
and knowledge to keep us out of trouble.
J.E.F.
EVALUASI KLINIS, RADIOLOGI, DAN
PATOLOGI
Evaluasi setiap pasien dimulai dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
menyeluruh. Kelembutan yang signifikan
biasanya menunjukkan infeksi akut,
tetapi kadang-kadang dapat dikaitkan
dengan neoplasma yang cenderung pada
keterlibatan perineural, seperti karsinoma
kistik adenoid. Fluktuasi ukuran massa,
terutama saat makan, adalah
karakteristik kelenjar submandibular
yang terhambat. Mengingat potensi
penyakit bermetastasis ke kelenjar getah
bening dari segitiga sub-mandibula,
riwayat kanker sebelumnya adalah
relevan; selain kanker saluran aerodigestif
bagian atas, payudara, paru-paru,
saluran pencernaan, saluran
genitourinari, atau kanker kulit kepala
dan leher dapat bermetastasis ke daerah
ini. Kadang-kadang, karsinoma sel
skuamosa rongga mulut dapat melibatkan
 Chapter 19: Anatomy of the Head and Neck 297
kelenjar dengan ekstensi langsung .

Submental triangle
Submandibular triangle
Fig. 1. The submental triangle is bounded by the mandible, mylohyoid muscle (cut edge shown here),
and superiorly by the oral mucosa.
Prior to the specific examination of the
submandibular triangle, a thorough head and
neck examination, including inspection of the
upper aerodigestive tract and the skin of the head
and neck, is mandatory. Cervical palpation
should be performed to identify any associated
lymphadenopathy or masses in other levels of the
neck. Bimanual palpa- tion is a useful diagnostic
maneuver to eval- uate the floor of mouth or
submandibular triangle, performed with one
finger palpat- ing intra-orally and the other hand
assessing the mass from the neck. The mass
should be evaluated for qualities such as
tenderness, mobility, whether it feels cystic or
solid, and whether it is single, multiple, or
lobulated. In addition, intraoral palpation
allows for
Fig. 2. The muscular boundaries of the submandibular triangle.
Chapter 20: Surgery of the Submandibular and Sublingual Salivary Glands
Submandibular gland
with extension
evaluation of calculi along Wharton’s duct in
cases of sialadenitis.
The utility of fine-needle aspirate biopsy
(FNAB), often performed in conjunction with
an ultrasound, is controversial. While an FNAB
may provide a preliminary diagno- sis, some
may argue that surgical removal will be
necessary regardless. However, if the FNAB
reveals a salivary gland malignancy, the surgical
approach should include a com- plete
submandibular triangle dissection at
minimum, and may also require a compre-
hensive neck dissection. Further, the patient may
need to be counseled on the role of hy- poglossal
nerve resection, should a malig- nancy involve
this structure. In addition, if the FNAB
demonstrates carcinoma that is
297
not of salivary gland origin, the work-up
should involve identification of the primary
tumor. Of note, FNAB is 80% to 90% sensitive for
the diagnosis of salivary gland malignan- cies.
Thus, FNAB findings may impact both work-up
evaluation and surgical planning.
Computerized tomography can be help- ful
in determining if a mass is in, adjacent to, or
invading the gland, as well as its cys- tic or
solid qualities. It can also demon- strate
other associated lymphadenopathy or, if the
lesion is metastatic, the primary tumor.
Alternatively, ultrasound or mag- netic
resonance imaging scan may be per- formed. A
sialogram is useful if obstructive sialadenitis
is suspected.
INDICATIONS FOR
SURGERY
The most common indications for removal of
the submandibular gland are suspicion of
neoplasm and chronic obstruction of
Wharton’s duct by calculi with resultant
sialadenitis. Neoplasms of the sublingual gland
are rare, with most sublingual gland excisions
being performed for ranulas.
Neoplasm
The incidence of salivary gland tumors in the
general population is 2.5 per 100,000,
representing 0.3% of all cancers and 1% to 3%
of all head and neck tumors. There are various
neoplasms that may involve the sub- mandibular
and sublingual glands; subman- dibular and
sublingual salivary gland neo- plasms represent
The Head and Neck
7% to 15% and <1% of all salivary gland tumors,
respectively. Of these neoplasms, 40% to 50% of
submandibular gland and >70% of sublingual
gland neo- plasms are malignant. The more
common submandibular gland neoplasms and
their defining characteristics are detailed here.
Pleomorphic adenoma (benign mixed tumor) is
the most common benign salivary neoplasm,
accounting for roughly 90% of benign
submandibular gland neoplasms.
Histologically, it contains mesenchymal,
epithelial, and myxoid stromal components. This
tumor is slow growing, nonpainful, and
nontender, and can recur if not completely
excised. It also has the potential for malig- nant
degeneration, often heralded by rapid growth
and/or neurologic symptoms.
Adenoid cystic carcinoma is the most
common submandibular gland malignancy,
comprising 15% to 43% of malignancies at this
site; 47% extend through the capsule on
presentation. A hallmark of this tumor is
perineural invasion, such that postopera-
tive radiotherapy is indicated with this
298 Part III: The Head and Neck
diagnosa. Pasien harus memiliki setidaknya 10
tahun follow-up karena seringnya terjadi
rekurensi yang tertunda atau metastasis jauh;
39% harapan hidup 10 tahun diharapkan. Ada
tiga variasi histologis: cribriform, tubular, dan
solid; varietas padat membawa prognosis yang
lebih buruk. Penyakit ini dikaitkan dengan
tingkat kekambuhan lokal yang tinggi, dan
metastasis jauh-paling umum, paru terjadi pada
~ 50% pasien. Pasien-pasien ini memiliki masa
hidup rata-rata 3,5 tahun setelah identifikasi
penyakit yang jauh.
Karsinoma mucoepidermoid adalah tumor
ganas paling umum kedua, terdiri dari 17%
dari semua keganasan submandibular. Secara
histologis, ini terdiri dari unsur-unsur mukoid
dan epitel; semakin tinggi jumlah komponen
epitel, semakin tinggi derajat tumor. Tumor
tingkat rendah memiliki prognosis yang baik
(71% kelangsungan hidup 5 tahun); tumor
tingkat tinggi lebih agresif dan dikaitkan
dengan prognosis yang lebih buruk. Yang
terakhir ini biasanya membutuhkan radiasi
pasca operasi. Ada kontroversi mengenai hasil
pasien dengan tumor tingkat menengah,
tetapi data yang muncul menunjukkan bahwa
pasien ini memiliki hasil yang
menguntungkan yang memperkirakan
mereka dengan tumor tingkat rendah.
Adenokarsinoma menyumbang 11% dari
keganasan kelenjar sub-mandibula. Pola histologis
meliputi papiler, asinus, dan padat; jumlah elemen
glandular menentukan grade. Tumor ini agresif
dan cenderung kambuh; histologi menengah dan
tingkat tinggi biasanya menunjukkan perlunya
radioterapi pasca operasi.
Squamous cell carcinoma terdiri 9% dari
keganasan kelenjar submandibular. Diagnosis
banding harus mencakup karsinoma
mucoepidermoid derajat tinggi, meta- tase, dan
penyebaran yang berdekatan. Ada prognosis
yang sangat buruk (ketahanan hidup 5 tahun
24%) terkait dengan penyakit ini dan
radioterapi pascaoperasi umumnya
diindikasikan..
Malignant mixed tumor umumnya hadir
sebagai massa yang tumbuh perlahan
yang memiliki peningkatan ukuran
secara tiba-tiba, dan menyumbang 9%
dari semua keganasan submandibular.
Komponen ganas dari tumor dapat
berupa karsinoma yang tidak
berdiferensiasi, adenokarsinoma, atau
karsinoma sel skuamosa. Diperkirakan
56% kelangsungan hidup 5 tahun dan
31% kelangsungan hidup 10 tahun.
Undifferentiated carcinoma terdiri dari
<5% dari keganasan submandibular. Secara
histologis, ini adalah tumor sel kecil yang
dapat menunjukkan diferensiasi
neuroendokrin. Ada insiden yang meningkat
pada Greenlandic Eski-mos, yang dikaitkan
dengan virus Epstein-Barr. Tumor ini sangat
agresif, ditandai oleh invasi lokal yang
signifikan, metastasis jauh awal, dan tingkat
kelangsungan hidup yang rendah.
Trauma
Trauma yang terisolasi pada tri-sudut
submandibular yang memerlukan intervensi
bedah jarang terjadi, dan biasanya melibatkan
gangguan neurovaskular yang disebabkan oleh
benda tajam. Struktur pembuluh darah yang
beresiko paling besar untuk cedera semacam
itu adalah pembuluh-pembuluh wajah. Saraf
yang terancam bahaya adalah cabang
mandibula marginal dari saraf wajah, saraf
lingual, dan saraf hipoglosus. Pendarahan dari
arteri wajah kadang-kadang bisa begitu cepat
untuk menunjukkan cedera arteri karotis.
Identifikasi sumber untuk perdarahan sangat
penting dan paling baik diperoleh dengan
eksplorasi lengkap segitiga. Pengangkatan
kelenjar submandibular dan identifikasi perut
posterior otot digastrik sangat memudahkan
hal ini. Kontrol proksimal dari arteri wajah
dapat dilakukan dengan membedah hanya
dalam dan lebih rendah dari perut positif dari
otot digastrik..
Dengan eksplorasi apa pun, semua saraf
kranial
harus diidentifikasi dan dinilai integritasnya.
Cabang mandibula marginal dari saraf wajah
terletak di sepanjang tepi inferior ramus
horizontal mandibula di dalam fasia yang
mengelilingi arteri dan vena wajah. Saraf
lingual terletak lebih rendah dari mandibula
dan dalam ke otot mylohyoid; paling mudah
diidentifikasi dengan retraksi anterior dari
batas posterior otot mylohyoid. Saraf
hipoglosus juga harus diidentifikasi dengan
retraksi anterior otot milohyoid, karena
terletak jauh ke bidang saraf lingual dan
duktus submandibular, dan biasanya diapit
oleh vena. Dengan mengidentifikasi saraf-
saraf ini proksimal atau distal dari cedera dan
diseksi sepanjang perjalanannya, tingkat
gangguan potensial dapat dipastikan dan
langkah-langkah yang tepat diambil untuk
memperbaikinya, jika perlu. Di hadapan
edema, hematoma, atau perdarahan,
identifikasi ini bisa sulit dan memakan waktu.
Jika hanya ada dugaan cedera saraf sebelum
operasi, lebih baik untuk menunda prosedur
dan melakukan eksplorasi di kemudian hari,
lebih disukai dalam 7 sampai 14 hari..
Sialadenitis
Massa submandibular atau sublingual paling
sering adalah sialadenitis yang disebabkan
oleh sialolithia. Delapan puluh persen dan 1%
kalkulus saliva terjadi di kelenjar
submandibular dan kelenjar sub-lingual,
masing-masing. Satu batu adalah penyebab
pada 75% kasus. Jika kalkulus dapat diraba
sepanjang saluran Wharton secara intra-oral,
sayatan dapat dibuat tepat di atas batu untuk
melepaskannya. Manajemen medis meliputi
pemijatan kelenjar, sialogogues, dan hidrasi;
antibiotik dapat diindikasikan
purulensi dikeluarkan dari saluran
jika
dengan pijatan kelenjar. Sialadenitis
berulang berulang dengan batu dapat
diobati dengan lithotripsy, sialoendoskopi
dengan pengambilan keranjang dari batu,
atau eksisi kelenjar submandibular.
Penyebab lain sialadenitis termasuk
obstruksi neoplastik dan stenosis duktus.
Yang terakhir dapat diatasi menggunakan
sialendoskopi dengan sinuplasti atau dengan
pengangkatan kelenjar sub-mandibula.
Ranula
Istilah ranula berasal dari kata Latin untuk
katak, dinamakan demikian karena
penampilan pasien dengan ranula yang terjun.
Ranula sederhana dapat berupa kista
penolakan lendir atau pseudokista dari
ekstrasifikasi lendir yang terbatas pada dasar
mulut. Ranula yang jatuh adalah pseudokista
ekstravasasi yang timbul dari kelenjar
sublingual yang memanjang ke leher, baik
melalui dehiscence otot untuk bundel
neurovaskular otot mylohyoid atau di sekitar
batas posterior otot mylohyoid. Ini biasanya
muncul sebagai pembengkakan leher yang
lunak dan kistik. Jika ada bagian dari ranula
yang dicurigai solid untuk palpasi,
kemungkinan neoplasma harus tetap dalam
diagnosis banding. Juga, meskipun jarang,
malformasi limfatik harus tetap dalam
diagnosis diferensial, terutama pada anak-
anak.
Drainase kista, baik secara spontan atau
dengan aspirasi, biasanya menyebabkan
kekambuhan. Pengamatan tepat jika ranula kecil
dan tidak mengganggu fungsi lidah.
Marsupialisasi dari kista menghasilkan tingkat
rekurensi 50%. Perawatan yang paling pasti dari
ranula adalah eksisi kelenjar sub-bahasa dengan
pseudokista; ini mengurangi tingkat perulangan
hingga <2%. Sebagian besar ranula kecil dapat
dieksisi dengan kelenjar sublingual secara
transalis, dengan hati-hati mengidentifikasi dan
menjaga saraf lingual. Pendekatan untuk
neoplasma kelenjar sublingual yang
mencurigakan untuk kanker harus dilakukan
secara transcervial dengan menarik kembali otot
mylohyoid sebagai alternatif untuk prosedur yang
lebih pasti..
SUBMANDIBULAR TRIANGLE
DISSECTION
Lateral Transcervical Approach
Ini dilakukan melalui sayatan melengkung dari
hyoid lateral ke batas anterior otot
sternocleidomastoid, sekitar tiga sidik jari di
bawah batas bawah ramus horizontal
mandibula (Gbr. 3). Dokter bedah harus
menentukan apakah kedalamannya

Incision for submandibular triangle dissection
Extension for combined neck dissection (Schobinger)
Fig. 3. Incision site for a submandibular triangle dissection and extension for combined neck dissection.
sayatan harus dalam ke otot platysma atau
dangkal (Gbr. 4); ini penting jika prosedur
dilakukan untuk massa yang dekat dengan
kulit sehingga memasukkan platysma dalam
reseksi memberikan margin onkologis. Dalam
kebanyakan kasus, flap ditinggikan dalam
bidang subplatysmal (Gbr. 5).
Ketika elevasi flap mendekati tangan, ahli
bedah harus menyadari jalannya cabang
marginal saraf wajah. Penting untuk
mengidentifikasi saraf ini dan memobilisasi
saraf untuk retraksi secara superior; ini
Fig. 4. Skin flap raised superiorly with platysma muscle left in place.
Chapter 20: Surgery of the Submandibular and Sublingual Salivary Glands
memungkinkan kelenjar getah bening arteri
wajah yang berdekatan, yang terletak lebih
tinggi dari saraf karena merambat di lateral
ramus mandibula, harus diangkat dengan
massa sambil menjaga saraf (Gbr. 6). Prosedur
pengikatan arteri wajah dan vena di batas
bawah mandibula dan memantulkannya
secara superior (Hayes Martin manuver)
mempertahankan saraf ini, dan juga menjaga
kelenjar getah bening arteri fisis. Menghapus
kelenjar getah bening ini secara onkologis
penting jika massa adalah metastasis atau
tumor primer kelenjar submandibular. The
manipulation
299
saraf ini, meskipun minimal, tidak diragukan
lagi akan menghasilkan beberapa kelemahan
sudut ipsilateral mulut. Oleh karena itu,
semua pasien harus diberitahu tentang ini
sebelum operasi. Pada kebanyakan pasien,
kelemahan ini bersifat sementara.
Setelah saraf ditarik keluar dari jalan yang
berbahaya dan kelenjar getah bening arteri
wajah ditarik kembali dengan inferior,
pembuluh darah wajah dapat diikat. Jika
massa difiksasi ke periosumum pada batas
bawah mandibula, ini harus dimasukkan
dengan spesimen sebagai margin onkologis
(Gbr. 6). Jika massa tidak melekat pada
periosteum, bidang diseksi harus
dikembangkan di sepanjang tepi inferior bebas
ramus manula dari garis tengah menjadi hanya
posterior ke sudut mandibula. Diseksi
kemudian dilanjutkan, menyapu paket
kelenjar getah bening fibrofatty dengan
inferior. Ini memperlihatkan perut anterior otot
digastrik dan saraf yang memasok otot
mylohyoid. Yang terakhir harus dibagi untuk
melepaskan kelenjar posterior. Jika massa
ganas, pemeriksaan patologis saraf ini
mungkin diperlukan, terutama jika massa
adalah karsinoma kistik adenoid; penting
untuk mengetahui apakah saraf ini telah
diserang karena ia menentukan perilaku dan
luasnya
disease, and may determine whether the
patient requires postoperative radiation.
Dokter bedah sekarang dapat melanjutkan
dengan membedah paket kelenjar getah bening
fibrofatty inferior-posterior, mengekspos perut
anterior otot digastrik. Setelah ini selesai, perut
anterior otot digastrik dapat ditarik kembali
secara medial. Semua jaringan nodal dan
adiposa dikeluarkan dari dalam ke otot ini ke
The Head and Neck
permukaan lateral otot mylohyoid; ini sangat
penting jika penyakit pada segitiga
submandibular merupakan perluasan atau
meta- meta dari keganasan mulut. Bagian
kemudian harus melanjutkan sepanjang aspek
terakhir dari otot mylohyoid dan akan
mengungkapkan bagian distal dari saraf
mylohyoid dan bundel pembuluh darah terkait,
yang perlu ditransaksikan. Diseksi tumpul
kemudian harus mendefinisikan bidang
sepanjang permukaan dalam otot mylohyoid,
memungkinkan untuk ditarik kembali secara
medial. Ini mengekspos saraf hipoglosus dan
vena terkait inferior, saluran ke kelenjar
submandibular, dan, superior, genu saraf
lingual dengan keterikatannya dengan ganglion
submandibular (Gambar 7 dan 8). Seperti
halnya saraf pada otot mylohyoid, jika diduga
ada keganasan, perlekatan saraf ini harus
menjalani pemeriksaan patologis. Saraf ini
harus dibagi lebih unggul daripada ganglion
submandibular sehingga ganglion disertakan
dengan spesimen.
Jika massa meluas di bawah mylohyoid
300 Part III: The Head and Neck
Fig. 5. Skin flap raised superiorly in a subplatysmal plane.
otot ke submukosa dari dasar mulut, saluran
Wharton harus dihilangkan secara keseluruhan
dengan bagian dari lantai sekitarnya dari mukosa
mulut (Gbr. 8) sebagai margin onkologis.
Sekarang setelah lampiran ke kelenjar
submanulular telah dilepaskan ke anterior dan
superior, kelenjar dapat ditarik kembali ke
posterior dan inferior. Jika massa tidak melekat
pada fasia yang berada di atas saraf hipoglosur
dan pleksus vena yang terkait, bidang diseksi
sangat mudah dibuat dangkal untuk struktur ini
sehingga seluruh kelenjar dengan kelenjar
preglandular dan postglandular dapat diangkat.
Dengan evolusi ini, aspek inferior dari segitiga
Marginal branch of 7th cranial nerve with facial
Parotid gland vessels and lymph node(s)
Fig. 6. Marginal branch of the facial nerve and its relationship with the facial vessels. Note also the lymph nodes
in the area of the marginal branch of the facial nerve and underneath the mandible on top of the mylohyoid muscle.
harus dibedah di sepanjang perut posterior dari
otot digastrik, berlanjut secara positif sampai
vena wajah bertemu melintasi otot ini, di mana ia
harus diregangkan. Karena sisa paket kelenjar
getah bening fibrofatty dibedah bebas di
sepanjang bidang yang dalam, perlekatan yang
tersisa harus menjadi arteri wajah, karena
melintasi jauh ke perut posterior otot digastrik
(Gbr. 7). Ini harus diikat dengan setidaknya satu
cm manset untuk mencegah retraksi di bawah
otot, sehingga melepaskan isi dari segitiga
submandibular.
Indikasi lengkap untuk diseksi leher
terkait dan perawatan ajuvan berada di luar
cakupan bab ini. Secara singkat,
Submandibular
gland
Massa ganas dan ada penyakit nodal di leher,
diseksi leher selektif harus dilakukan. Jika ada
invasi perineural atau limfovaskular, atau jika
ada beberapa kelenjar getah bening positif
dalam spesimen reseksi, radiasi pasca operasi
diindikasikan. Demikian juga, jika massa
adalah keganasan kelenjar yang bervariasi
atau tingkat menengah, radiasi pasca operasi
diindikasikan untuk situs yang dibedah dan,
dalam beberapa kasus, harus mencakup
seluruh leher ip-lateral ke klavikula.
Komplikasi diseksi sudut submandibular
melalui sayatan transcervcal lateral meliputi
hematoma (2% hingga 10%), pembentukan
fistula (1% hingga 3%), infeksi luka (2% hingga
9%), cedera pada mandibula marginal (7,7%
hingga 36%), bahasa (0% hingga
22,5%), dan saraf hipoglosal (0% hingga 7%) .
Other Transcervical Approaches
Dua pendekatan transcervical lainnya telah
dijelaskan: submental dan retroaurikular. Tidak
satu pun dari ini cocok untuk diseksi segitiga
submandibular lengkap dan harus dicadangkan
untuk kasus di mana patologi dikonfirmasi
sebelum operasi menjadi jinak, hanya
membutuhkan pengangkatan kelenjar sub-
mandibula. Pembaca harus mencatat bahwa ini
adalah pendekatan yang tidak standar.
Pendekatan submental terjadi melalui sayatan
horizontal garis tengah yang ditentukan oleh
lipatan submental-serviks, biasanya pada tingkat
hyoid. Proses diseksi posterolateral dalam bidang
subplatysmal sampai kelenjar ditemukan. Itu
dibedah tanpa ikatan dengan lampiran fasia, dan
pembuluh darah wajah diikat. Terakhir, lampiran
ganglion dan duktus submandibular terbagi,
Pendekatan retroauricular terjadi melalui
sayatan yang ditempatkan di bagian bawah
sulkus postauricular, terus posterior sepanjang
garis rambut, seperti pada sayatan facelift.
Diseksi, yang dapat luas, berlanjut di bidang
superfisial ke fasia otot sternokleidomastoid,
menjaga agar vena jugularis eksterna dan saraf
aurikularis yang lebih besar, berlanjut secara
anterior pada bidang subplatysmal. Pemusnahan
kelenjar kemudian berlanjut ke arah posterior ke
anterior.
Transoral Approach
As with the submental and retroauricular
approaches, this nonstandard approach is only
indicated in confirmed benign dis-
ease, as it only allows for extirpation of the
submandibular gland and not the entire
contents of the submandibular triangle.

Facial artery
Fig. 7. Detail of the submandibular triangle with the submaxillary gland resected superiorly, showing its
duct going underneath the mylohyoid muscle. Note also the nerve to the mylohyoid muscle, the anterior
belly of the digastric muscle, the 12th cranial nerve, the facial artery, and the trochlea of the digastric
muscle between the anterior and posterior belly of the digastric muscles.
Komplikasi yang terkait dengan prosedur ini
termasuk sensasi lidah abnormal pada 43%
hingga 74% dan pembatasan gerakan lidah
karena kontraktur parut hingga 10%.%.
Secara singkat, sayatan dibuat di lantai
mukosa mulut dari papilla
Fig. 8. Facial vessels with the submandibular gland resected back. Note also the lingual nerve and the
12th cranial nerve.
Chapter 20: Surgery of the Submandibular and Sublingual Salivary Glands
Submandibular gland
Nerve to mylohyoid muscle
and anterior belly of
digastric muscle
Anterior belly of
digastric muscle
Mylohyoid muscle
12th cranial nerve
Trochlea of digastric muscle
Duktus Wharton terhadap trigonum retromolar,
menyisakan satu manset mukosa antara insisi dan
gingiva untuk membatasi kontraktur pasca operasi.
Saraf lingual diidentifikasi dan ganglion
submandibular dan perlekatan saluran dibagi.
Kelenjar ini dibedah bebas dari ikatan fasia,
memungkinkan
301
untuk pengiriman ke luka menggunakan tekanan
transcervical lembut. Saraf hipoglosus
diidentifikasi dan dipertahankan. Pembuluh
wajah kemudian dibagi, memungkinkan
pengangkatan kelenjar.
Endoscopic Approaches
Seperti dengan pendekatan non-standar yang
dijelaskan sebelumnya, pendekatan endoskopi
tidak boleh dilakukan ketika reseksi onkologis
diindikasikan. Pendekatan yang dibantu oleh
endoskopi telah dideskripsikan untuk
pendekatan tranoral dan submental,
memungkinkan pemusnahan kelenjar
submandula dengan sukses melalui sayatan
yang lebih kecil. Pendekatan endoskopi yang
lengkap hanya dijelaskan dalam model hewan .
REVISION SURGERY
Seringkali, ada dilema tentang cara
terbaik untuk melanjutkan ketika kanker
telah sebelumnya "keluar" dari segitiga
submandibular dan pasien dirujuk untuk
perawatan lebih lanjut. Jika margin
reseksi sebelumnya positif untuk tumor,
tetapi di sana adalah
tidak ada penyakit residual dengan palpasi atau
gambar, maka tidak ada yang bisa diperoleh
dengan operasi lebih lanjut dan radiasi pasca
operasi diindikasikan. Namun, jika terdapat
penyakit residual bruto, baik secara klinis
maupun radiologis, pembedahan revisi
diperlukan, tetapi sarat dengan masalah potensial
dan pasien harus dinasihati dengan tepat. Tidak
hanya struktur kritis yang beresiko lebih besar
untuk cedera, tetapi sering kali, luasnya prosedur
The Head and Neck
harus lebih radial dan mungkin melibatkan
reseksi struktur ini untuk memastikan margin
onkologi yang memadai. Jenis sayatan yang
digunakan untuk menyelesaikan ini ditentukan
oleh operasi sebelumnya; bekas luka yang ada
harus dieksisi dan pertimbangan harus diberikan
untuk ketegangan sepanjang insisi Schobinger
yang dimodifikasi (Gbr. 3).
BACAAN YANG DISARANKAN
Batsakis JG. Neoplasms of the minor and lesser
salivary glands. Surg Gynecol Obstet 1972;135:
289.
Baurmash HD. Marsupialization for treatment
of oral ranula. J Oral Maxillofac Surg 1992;50:
1274.
Beahm DD, Peleaz L, Nuss DW, et al. Surgical ap-
proaches to the submandibular gland: A review
of the literature. Int J Surg 2009;7:503–9.
Bentz BG, Hughes CA, Ludemann JP, et al. Masses
of the salivary gland region in children. Arch
Otolaryngol Head Neck Surg 2000;126:1435.
Chiosea SI, Barnes EL, Lai SY, et al. Mucoepider-
moid carcinoma of upper aerodigestive tract:
clinicopathologic study of 78 cases with immu-
nohistochemical analysis of Dicer expression.
Virchows Arch 2008;452:629–35.
302 Part III: The Head and Neck

Cohen EG, Patel SG, Lin O, et al. Fine-needle as-
piration biopsy of salivary gland lesions in a
selected patient population. Arch Otolaryngol
Head Neck Surg 2004;130:773.
Gold DR, Annino DJ. Management of the neck in
salivary gland carcinoma. Otolaryngol Clin N Am
2005;38:99–105.
Hockstein NG, Samadi DS, Gendron K, et al. Pedi-
atric submandibular triangle masses: a fifteen-
year experience. Head Neck 2004;26:675.
Ichimura K, Nibu K, Tanaka T. Nerve paralysis
after surgery in the submandibular triangle:
review of the University of Tokyo Hospital ex-
perience. Head Neck 1997;19:48.
Koch M, Zenk J, Henrich I. Algorithms for treat-
ment of salivary gland obstructions. Otolaryn-
gol Clin N Am 2009;42:1173–92.
McGurk M, Brown J. Alternatives for the treat-
ment of salivary duct obstruction. Otolaryngol
Clin N Am 2009;42:1073–85.
Parekh D, Stewart M, Joseph C, et al. Plunging
ranula: a report of three cases and a review of
the literature. Br J Surg 1987;74:304–9.
Rice DH. Noninflammatory, non-neoplastic disor-
ders of the salivary glands. Otolaryngol Clin N
Am 1999;42:835–42.
Schobinger R. The use of a long anterior skin flap
in radical neck dissections. Ann Surg 1957;
146:221.
Solomon MP, Rosen Y, Gardner B. Metastatic ma-
lignancy in the submandibular gland. Oral Surg
Oral Med Oral Pathol 1975;39:469.
Spiro RH, Hadju SI, Strong EW. Tumors of the sub-
mandibular gland. Am J Surg 1976;132:463.
Weber RS, Byers RM, Petit B, et al. Submandibu-
lar gland tumors: adverse histologic factors
and therapeutic implications. Arch Otolaryngol
Head Neck Surg 1990;116:1055–60.

EDITOR’S COMMENT intensity-modulated radiotherapy achieved good metic result for the treatment of benign disease local
control in a 2.5-year-follow-up period and is improved by avoiding a cutaneous incision. was
well tolerated. The use of chemotherapy Bhatt reported on 18 patients without conversion
Although the operations described in this chap- should probably be reserved for patients with to incisional surgery. Although a majority of the ter
are not commonly performed by general particularly poor prognostic indicators (Int J Rad patient’s experienced at least transient limita-
surgeons, it is essential that the general surgeon Oncol Biol Phys 2010 [Epub ahead of print]). Noh tions in tongue movement postoperatively, there
competently evaluate lesions of the head and published a series of 94 patients with salivary were no facial or hypoglossal nerve injuries in
neck when asked to perform consultations for gland tumors treated with or without postopera- the series (Laryngoscope 2010;120(Suppl 4):S143).
“lymph node biopsy.” The consultant needs a tive radiation. They found that very early stage As the surgical robot continues to search for its
working knowledge of the alternative diagnoses tumors could be treated successfully with surgery ultimate place in the surgical world, (if any), we
and conditions that may be present. In addition, alone without additional risk of recurrence (Clin should not be surprised by reports of its use in
understanding the operative approach for these Exp Otorhinolaryngol 2010;3(2):96–101). head and neck surgery of this type (Laryngoscope
lesions will prevent counterproductive incisions Resection of salivary glands is not without 2010 [Epub ahead of print]). It will be difficult to
that could negatively impact the patient’s out- consequence. Removal of the submandibular assess the cost efficiency of this approach.
come. Fine needle aspiration should be employed glands potentially leads to the added compli- The authors state that the most common op-
liberally in the event of an uncertain diagnosis. cation of xerostomia. Although some authors eration on the sublingular glands is for ranula.
Ashraf reported high sensitivity and specific- postulate that compensatory increased flow They note correctly that drainage and marsu-
ity when benign lesions were sampled; however, from the remaining salivary glands ensues post- pialization are associated with high incidence
only intermediate sensitivity and specificity ma- operatively, recent detailed experimental data of recurrence and definitive excision is the best
lignancies were evaluated using this technique by Jaguar suggests that this is not the case (Oral long-term therapy. Plunging ranula result in cer-
(Diagn Cytopathol 2010;38(7):499–504). Oncol 2010;46(5):349–54 [Epub 2010 Mar 15]). vical swelling and may be approached from cervi-
As the authors note in this chapter, neoplasm Frey’s syndrome which is gustatory sweating, cal or intraoral approaches. Samant describes the
and chronic obstruction of Warthen’s duct by cal- more commonly occurs after parotidectomy, results of 95 patients treated for plunging ranula
culi leading to sialadenitis are the most common but can also occur after submandibular gland using a transoral technique. They experienced
indications for removal of the submandibular resection. one recurrence and only minor complications
gland. The presence of ranula is the most com- The treatment of submandibular gland duct (Eur Arch Otorhinolaryngol 2011 [Epub ahead of
mon indication for sublingual gland excision. obstruction varies with the extent of disease, in- print]). Patel compared the results of transoral
The authors describe the submandibular cidence of recurrence, and size of the calculi as versus cervical approaches for the treatment of
triangle dissection in detail. Reports in the noted by the authors. A recent series by Nahliei ranula. Their results demonstrate a much higher
otolaryngology literature describing the use of describes combining miniature lithotripsy with complication rate associated with cervical ap-
advanced energy devices to facilitate dissection the endoscopic techniques to clear advanced proaches (Laryngoscope 2009;119(8):1501–509).
are now emerging (Otolaryngol Head Neck Surg cases of sialolithiasis with <95% success rate, Ranula in children requires some unique consid-
2005;132(3):487–89). Excellent hemostasis in a thus preserving the salivary gland. Extremely erations. This lesion seems to occur more often
variety of head and neck procedures has been small endoscopes, ranging from 0.5 to 1.1 mm, in females and on the left side of the floor of the
recently described (Otolaryngol Head Neck Surg are employed for duct cannulation ( J Oral Max- mouth. Traditional recommendations suggest a 5
2005;133(5):725–28). Minimally invasive tech- illofac Surg 2010;68(2):347–53). Luer studied the to 6 month period of observation after presenta-
niques for benign tumors such as using a com- learning curve associated with performing this tion and prior to surgical treatment in order to de-
bination of a hairline incision and video con- small duct endoscopy. He noted performance termine whether or not spontaneous resolution
trolled surgery in order to improve cosmesis improvements after the first 10 cases and then may ensue. Bonet-Coloma reported on 57 cases
have been described by Song for benign lesions, again after doing approximately 30 cases (Arch of pediatric ranula. They treated their patients
such as pleomorphic adenoma, of the sub- Otolaryngol Head Neck Surg 2010;136(8):762–65). primarily with epithelial disruption or marsupi-
mandibular gland (Laryngoscope 2010;120(5): Escudier prospectively studied 142 patients with alization; however, they observed a <12% recur-
970–74). either submandibular or parotid calculi who rence rate (Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2011;16 In
general, submandibular gland tumors are were treated by various regimens of extracorpo- (2):e158–62). Seo et al. reported no instance of
uncommon. Shoenfeld et al reported on a series real shockwave lithotripsy (ESWL). They found spontaneous resolution in 17 pediatric patients
of 35 patients’ salivary gland malignancy treated success was greater in the parotid group and was observed for 5 to 14 months. All were treated with
by surgery and radiation therapy with and with- inversely proportional to the size of the stone complete excision without recurrence. These
out adjuvant chemotherapy. The most common when ESWL was employed alone in patients who findings suggest that shorter period of observa-
tumors were adenoid cystic carcinoma in 43% are otherwise surgical candidates. tion may be sufficient prior to complete excision
and mucoepidermoid carcinoma in 17% of the The authors correctly note that transoral ap- as definitive therapy (Int J Pediatr Otorhinolaryn-
patients. They concluded that when combined proaches to the submandibular gland should be gol 2010;74(2):202–5).
with surgical extirpation and neck dissection, avoided in cases of potential malignancy. The cos- J.E.F.

21 Anatomi and Bedah Kelenjar Parotis
Glenn E. Peters, Isaac A. Bohannon, and J. Scott Magnuson
ANATOMI
Kelenjar parotid berpasangan adalah yang
terbesar dari kelenjar ludah utama dan terletak
di daerah preauricular wajah. Saraf wajah
menciptakan pembelahan antara lobus lateral
dan dalam kelenjar, yang lebih bersifat bedah
daripada anatomis. Parotid dibatasi posterior
oleh kanalis auditorius eksterna (EAC),
superior oleh zygoma, dan inferior oleh proses
styloid, otot-otot styloid, serta arteri karotis
interna dan vena juguula interna. . Juga,
sebagian kelenjar parotis membentang
posteroinferior ujung mastoid dan otot
sternokleidomastoid, umumnya dikenal
sebagai ekor parotis.
Selama 6 sampai 8 minggu pertama
perkembangan janin, kelenjar ludah utama
terbentuk. Kantung ektoderm oral yang
dikelilingi oleh mesoderm membentuk anotasi
parotid. Ketika anlage tumbuh di posterior,
saraf wajah bergerak ke anterior menuju garis
tengah. Dengan demikian saraf wajah menjadi
dikelilingi oleh jaringan kelenjar. Kelenjar
getah bening dienkapsulasi oleh kapsul
mesenkim yang mengelilingi kelenjar,
menciptakan kelenjar getah bening
intraprototid di kedua lobus lateral dan dalam.
Parotid dikelilingi oleh kelanjutan lapisan
superfisial fasia serviks profunda. Bagian
superfisial tebal dari lapisan fasia ini
memanjang dari zygoma ke
sternocleidomastoid, dan masseter di bagian
anterior. Pesawat superfisial ke fasia ini
memungkinkan ahli bedah untuk menaikkan
flap kulit tanpa terlalu berani ke jaringan
subkutan. Kapsul parotid ini sangat tidak
elastis, dan dihadapkan pada massa yang
terlalu besar atau proses infeksi dapat
menyebabkan ketidaknyamanan yang
signifikan bagi pasien .
Fasia yang dalam hingga lobus yang dalam
dari rotari membentuk membran
stylomandibular; itu terdiri dari fasia bagian
posterior dari otot digastrik. Membran ini
membagi ruang parotis dari kelenjar sub-
mandibula, membentang ke anterior dari
mandibula, inferior dari ligamentum
stylomandibula, dan posterior dari proses
styloid. Ketika massa parotid herni makan
secara medial melalui membran
stylomandibular, mereka dapat hadir sebagai
massa dinding phynralgeal lateral saat
ekspansi berlanjut di ruang parapharyngeal .
Cabang-cabang dari arteri karotis eksternal
adalah suplai darah utama ke parotis.
Chapter 21: Anatomy and Surgery of the Parotid Gland
Ini bercabang menjadi arteri temporal dan
maksilaris superfisial pada tingkat kondilus
manula. Arteri dan vena wajah transversal,
cabang dari pembuluh temporal superfisial,
bergerak antara duktus parotis dan lengkung
zygomatik untuk memasok duktus parotis,
otot masseter, dan jaringan parotis..
Vena retromandibular (wajah posterior) terdiri
dari vena temporal dan maksila superfisialis.
Terletak jauh ke saraf fasia, vena dominan yang
mengalirkan parotis. Vena retromandibular
adalah lateral dari arteri karotis dan keluar dari
kelenjar pada aspek inferior di mana ia juga
bergabung dengan vena postauricular untuk
membentuk vena jugularis eksternal. Penting
juga untuk dicatat bahwa vena retromandibular
berhubungan dengan vena wajah yang lebih
anterior yang membentuk vena wajah umum,
yang akhirnya bermuara di vena jugularis interna
(Gambar 1 dan 2).
Saluran parotis (Stensen) keluar dari kelenjar di
permukaan anterior kira-kira 1,5 cm lebih rendah
dari zygoma. Salurannya 4 hingga 6 cm di anterior
untuk menembus otot buccinator. Papilla pada
saluran terbuka secara intraoral tepat di
seberangnya
Marginal mandibular branch
Cervical branch
Gbr. 1. Kelenjar parotis dan saraf wajah. Perhatikan bahwa saraf keluar dari foramen stylomastoid lateral
untuk proses styloid. Juga, perhatikan hubungan cabang saraf dengan struktur di sekitarnya.
303
molar kedua rahang atas. Seringkali
ada aksesori jaringan kelenjar di
sepanjang saluran. Cabang bukal dari
saraf wajah biasanya mengikuti jalan
yang sangat dekat dengan saluran.
Kelenjar parotid terdiri dari sistem
saluran tubu-loacinar, yang menghasilkan
air liur yang berlimpah ketika distimulasi
oleh sistem saraf parasimpatis. Setelah
neuron parasimpatis preganglionik di
nukleus saliva dari sinstem batang otak
dengan ganglia otonom, mereka memasuki
parotis melalui saraf sensorik mereka. Saraf
glossopharyngeal (saraf kranial IX)
memasok persarafan parasimpatis ke
parotid. Dengan demikian, serat
parasimpatis diangkut ke ganglion otik
melalui saraf petrosal yang lebih rendah.
Serat postganglionik kemudian dibawa ke
kelenjar parotis oleh saraf auriculotemporal
(cabang saraf kranial V3).
Saraf aurikular yang lebih besar
terlibat dalam mengangkat flap kulit. Ini
adalah cabang terbesar dari pleksus
serviks dan memasok sensasi ke kulit
postauricular dan lobulus telinga. Saraf
sering terbagi secara klinis ketika
melewati batas posterior otot
sternokleidomastoid.
The Head and Neck
Temporal branch
304 Part III: The Head and Neck
Fig. 2. Stylomandibular membrane (deep layer of parotid fascia). Herniations of parotid tissue through
this membrane can result in a parapharyngeal mass.
Saraf wajah meninggalkan dasar tengkorak
melalui foramen stylomastoid, yang terletak
medial ke ujung mastoid dan lateral ke proses
styloid. Ketika saraf keluar dari foramen, ia
mengeluarkan cabang-cabang motorik ke otot
stylohyoid, perut posterior dari digastrik, dan otot
post-rikular. Saraf kemudian berubah untuk
memasuki kelenjar parotis di mana ia dapat
diidentifikasi oleh hubungan dengan struktur
sekitarnya. "Penunjuk yang tragis" adalah
ekstensi segitiga dari EAC kartilaginosa, yang
mengarah ke saraf wajah. Secara umum, saraf
telah ditemukan 6 sampai 8 mm medial ke garis
jahitan tympanomastoid. Selain itu, saraf wajah
terletak inferior dan hanya lateral dari proses
styloid, dan berada pada level yang sama dengan
pemasangan perut posterior otot digastrik.
Batang utama saraf wajah
kemudian membelah pes anserinus (kaki
angsa) menjadi divisi serviksofasial dan
temporofasial. Harus diakui bahwa
variabilitas yang cukup ada dalam panjang
batang utama dan pola percabangan dari
saraf wajah saat berjalan melalui kelenjar
parotis. Secara umum, dua divisi dari
cabang saraf lagi untuk membentuk lima
cabang utama: temporal, zygomatic, buccal,
marginal mandibular, dan serviks. Cabang-
cabang yang saling berkomunikasi adalah
umum di antara cabang-cabang utama dan
harus dilestarikan bila memungkinkan .
PERSIAPAN PREOPERASI
Selama pemeriksaan fisik, palpasi dan
manipulasi bimanual terhadap massa
parotis sangat penting. Pemeriksaan lateral
dinding orofaring dapat mengungkapkan
tumor dari lobus yang dalam dari parotid atau
massa ruang parapharyngeal. Seperti halnya
massa, ukuran, lokasi, fiksasi pada struktur
atau kulit yang berdekatan, dan kualitas
massa dapat berkontribusi besar dalam
pengambilan keputusan perawatan dan
perencanaan pra operasi. Massa parotis juga
dapat hadir dengan kelumpuhan atau
kelemahan saraf fisis, yang dapat menjadi
pertanda invasi tumor pada saraf. Kelemahan
saraf harus ditandai dengan skala fungsi
wajah House-Brackmann.
Pencitraan rutin preoperatif dari massa
kelenjar parotis superfisial yang terdefinisi
dengan baik tidak mungkin mengubah arah
pengobatan. Namun, tumor yang
meningkatkan kecurigaan klinis keganasan,
lobus dalam, atau asal ruang parapharyngeal
harus dievaluasi dengan pencitraan resolusi
tinggi. Pilihan teknik pencitraan terutama
bergantung pada dugaan patologi. Sialografi,
tomografi emisi positron, dan pemindaian
teknologi jarang digunakan, memiliki aplikasi
terbatas pada sebagian besar tumor saliva
yang umum. Ultrasonografi memiliki beberapa
aplikasi untuk mengidentifikasi abses parotis,
batu, atau kista, tetapi sering digunakan
bersamaan dengan biopsi aspirasi jarum halus
(FNA). Computed tomography (CT)
menghasilkan gambar yang sangat baik dari
seluruh kelenjar rotan, ruang parapharyngeal,
mandi, tulang temporal, dan pangkal
tengkorak. CT adalah alat pencitraan pra
operasi yang paling umum digunakan. Atau,
pencitraan resonan magnetik (MRI) memiliki
perbedaan yang superior antara tumor, lemak,
dan otot berdasarkan pada intensitas sinyal
yang berbeda. MRI paling sering digunakan
untuk mengevaluasi massa ruang
parapharyngeal. Kekuatan yang saling
melengkapi dan
kelemahan MRI dan CT kadang-kadang berarti
bahwa kasus yang kompleks mungkin
membutuhkan kedua modalitas pencitraan
untuk lebih memahami gambaran klinis.
FNA diketahui aman, sederhana untuk
dilakukan, dan relatif murah. Banyak
penelitian telah menunjukkan bahwa FNA
memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi. Akurasi diagnostik cenderung
lebih baik untuk tumor daripada tumor
ganas. Keakuratannya paling tergantung
pada pengalaman sitopatologis dan volume
tumor saliva yang ditinjau di institusi.
Kesalahan diagnostik paling sering terjadi
dengan pengambilan sampel massa yang
tidak memadai. Pengambilan sampel sel
dapat ditingkatkan dengan menggunakan
ultrasonografi bersamaan dengan FNA.
FNA adalah praktik diagnostik umum di
daerah kepala dan leher, tetapi FNA massa
parotis adalah masalah kontroversial. Is FNA
really worth doing in the workup of salivary
tumor? Will it change the course of treat-
ment? Heller and colleagues demonstrated
that only 35% of patients who underwent
FNA memiliki perubahan dalam pendekatan
klinis mereka untuk pengelolaan tumor.
Perubahan tersebut termasuk menghindari
pembedahan dalam massa yang berasal dari
inflamasi atau limfoma, dan juga pengamatan
sederhana pada pasien bedah berisiko tinggi
dengan tumor jinak.
Meskipun diagnosis jinak pada FNA
tidak selalu merupakan kepastian, karena
beberapa kesamaan sitologi, diagnosis pasti
keganasan berdasarkan FNA dapat
membantu dalam konseling preoperatif
pasien. Diskusi dapat mencakup tingkat
reseksi, perawatan saraf wajah, dan
kemungkinan perlunya diseksi leher .
Pemantauan saraf wajah adalah metode
yang berguna untuk membantu ahli bedah
mengidentifikasi dan mempertahankan
fungsi saraf wajah. Tujuan dari pemantauan
saraf wajah adalah untuk mengurangi
trauma mekanis pada saraf,
memperingatkan ahli bedah stimulasi yang
tidak terduga, mengidentifikasi jalannya
saraf, dan menguji fungsinya selama dan
setelah prosedur. Saraf dapat dimonitor
dengan satu dari dua cara. Pertama,
memonitor secara visual wajah untuk
gerakan; biasanya asisten memberitahu ahli
bedah berkedut di wajah dengan stimulasi
mekanik atau listrik. Kedua, pemantauan
elektrofisiologis bergantung pada aktivitas
facial electromyographic (EMG) untuk
memberi tahu ahli bedah stimulasi saraf.
Monitor saraf yang paling umum di Amerika
Serikat adalah NIM-Response 2.0 Nerve
Integrity Monitor (NIM-2; Medtronic Xomed,
Jacksonville, FL). Monitor elektrofisiologis
dapat mengukur tingkat aktivitas saraf
wajah pada EMG dan dapat dikaitkan
dengan peringatan yang terdengar. Alasan
untuk menggunakan monitor saraf fial
selama parotidektomi adalah variabel,
termasuk pengalaman

ahli bedah, biaya peralatan pemantauan, dan
kemampuan untuk memecahkan masalah dan
menafsirkan peringatan selama pembedahan.
TEKNIK PEMBEDAHAN
Dengan pasien dalam posisi terlentang kepala
dipalingkan dari sisi operasi. Insisi yang paling
umum dan serbaguna adalah sayatan Blair
yang dimodifikasi. Ia ditempatkan di lipatan
kulit preauricular yang dimulai tepat pada
akar heliks dan menyebar di sekitar lobulus di
atas kulit ujung mastoid. Akhirnya, sayatan
dengan lembut melengkung ke bawah otot
sternokleidomastoid dan maju ke lipatan kulit
leher. Atau, sayatan "face lift" dapat digunakan
pada pasien dengan tumor jinak yang
diketahui terletak di lapisan midparotid atau
ekor parotid. Bagian superior dari sayatan
"face lift" dimulai di tragus; kurva di sekitar
lobulus dan kemudian meluas ke garis rambut
kulit postauricular. Sayatan dapat mengikuti
garis rambut secara inferior untuk
memberikan visualisasi yang memadai.
Flap kulit dinaikkan untuk
mengekspos pada jaringan rotid di bidang
hanya dangkal ke parotid fascia dan di bidang
subplatysmal di bagian leher sayatan.
Perhatian harus dilakukan ketika flap kulit
diangkat melewati batas anterior kelenjar
parotis di mana cabang saraf wajah keluar dari
kelenjar untuk menginervasi otot-otot ekspresi
wajah.
Saraf aurikular yang lebih besar dan vena
wajah posterior diidentifikasi dan dikorbankan
secara umum untuk membebaskan ekor
parotid dari otot sternokleidomastoid. Perut
posterior otot digastrik diekspos di luar
keterikatannya dengan tulang temporal.
Dengan demikian, bagian inferior kelenjar
dengan cepat dimobilisasi dari perlekatan
inferior, posterior, dan medial. Selanjutnya
lampiran fasia antara EAC dan jaringan parotid
dibagi untuk mengidentifikasi penunjuk tragal.
Langkah ini dapat dilakukan dengan
pencabutan telinga oleh ahli bedah di lobulus
dan kontraksi pada kelenjar itu sendiri.
Kauterisasi monopolar dapat memfasilitasi
diseksi. Dengan menggunakan beberapa
landmark yang disebutkan sebelumnya,
batang utama saraf wajah dapat diidentifikasi.
Kecuali jika tumor telah memindahkan saraf,
batang utama terletak kira-kira 1 cm lebih
rendah dan dalam dari penunjuk yang tragis.
Garis jahitan tympanomastoid akan ditemui di
bawah penunjuk tragal. Garis jahitan dapat
diikuti medial untuk mengidentifikasi saraf.
Saraf fasia biasanya 6 sampai 8 mm di bawah
garis jahitan tym Panomastoid. Itu adalah di
tingkat perut posterior dari penyisipan
digastrik.
Dalam kasus di mana tumor mencegah
pajanan batang utama saat keluar dari foramen
stylomastoid, beberapa teknik dapat digunakan
untuk
Chapter 21: Anatomy and Surgery of the Parotid Gland
temukan saraf dan cabang-cabangnya. Saraf
wajah dapat diidentifikasi di tulang temporal
melalui mastoidektomi. Cabang saraf
mandibula marginal dapat ditemukan di mana
ia melintasi pembuluh darah wajah anterior
dan ditelusuri secara retrograde menuju
batang utama. Juga, cabang bukal adalah
cabang lain yang sangat konstan yang dapat
ditempatkan di sepanjang jalurnya dengan
saluran parotis. Dengan saraf wajah
diidentifikasi, penjepit halus harus digunakan
untuk mengangkat jaringan parotid dari
cabang saraf dengan cermat. Jaringan parotis
yang menutupi saraf kemudian dibagi di
antara ujung-ujung penjepit. Bautosteroid
bantu dalam hemostasis, dan harus digunakan
di dekat saraf. Mengingat variabilitas pola
percabangan, beberapa ahli bedah tidak
membagi jaringan parotid di atasnya sampai
kedua divisi utama saraf di bifurkasi
divisualisasikan. Setiap cabang berikutnya
dibedah dalam mode yang sama sampai semua
jaringan lateral ke saraf wajah dikeluarkan. Ini
melengkapi parotidektomi lateral atau
superfisial. Jika diperlukan parotidektomi
total, diseksi harus diperluas dengan cara
atraumatic untuk membebaskan jaringan
dalam dari permukaan medial saraf, sehingga
menjaga fungsi saraf.
Pasien dengan tumor rekuren yang
melakukan revisi parotidektomi secara signifikan
meningkatkan risiko kelumpuhan saraf wajah.
Namun, perawatan bedah hemat saraf tetap
menjadi andalan pengobatan untuk tumor
parotid jinak yang kambuh. Ada sedikit
perbedaan dalam teknik untuk prosedur revisi.
Penutup kulit harus ditinggikan. Batang utama
saraf wajah atau salah satu cabangnya akan
diidentifikasi dengan landmark anatomi. Para
penulis biasanya menggunakan pemantauan
saraf wajah dalam operasi revisi parotid. Daerah
bekas luka yang sangat tergores kadang-kadang
dapat dikelola dengan bantuan mikroskop untuk
melacak dan menjaga cabang saraf. Tumor
berulang sering multifokal. Ini membutuhkan
eksisi yang luas, seringkali dengan struktur di
sekitarnya untuk mendapatkan margin yang
jelas.
Setelah parotidektomi selesai, cangkok
matriks kulit aselular dapat ditempatkan di
luka untuk menutupi trunkus utama dan
divisi utama. Ada bukti bahwa pencangkokan
onlay ini dapat mencegah jaringan parut dari
flap kulit ke saraf wajah, sehingga membuat
saraf wajah lebih dapat diidentifikasi dalam
operasi revisi. Cangkok matriks aselular juga
telah terbukti mengurangi insiden sindrom
Frey (keringat gustatory) dengan memberikan
penghalang untuk pertumbuhan kembali saraf
auriculotemporal.
Saluran pengisap harus diletakkan di dasar
luka parotidektomi, tanpa menyentuh batang
utama saraf. Permukaan potongan jaringan
parotid memang membocorkan sebagian air
liur pada periode pasca operasi,
305
Selain drainase serosanguinous normal.
Biasanya drain parotidektomi dibiarkan
selama 2 sampai 3 hari sebelum
pengangkatan.
KOMPLIKASI
Paresis atau Paralisis Nervus
Fasialis
Disfungsi saraf wajah dapat terjadi
dengan traksi mekanik selama diseksi.
Selama saraf tetap utuh, neuropraxia
yang dihasilkan biasanya akan pulih dari
waktu ke waktu. Disfungsi saraf wajah
sementara terjadi pada sebanyak 20%
hingga 40% pasien yang menjalani
parotidektomi, dibandingkan dengan
kelumpuhan permanen yang terjadi pada
0% hingga 4% pasien. Pemulihan fungsi
dapat bervariasi dari beberapa hari hingga
beberapa bulan. Untuk meminimalkan
cedera, ahli bedah harus mengembangkan
teknik diseksi yang teliti untuk
manajemen saraf wajah. Traksi berlebihan
pada saraf dan penggunaan stimulator
saraf berlebihan juga harus dihindari.
Bahkan selama periode singkat
kelemahan saraf wajah divisi atas,
perawatan mata adalah yang terpenting.
Penggunaan tetes mata, salep, dan pelapis
mata lateral yang bijaksana dapat
mencegah pengeringan kornea, sampai
fungsinya membaik. Operasi rehabilitasi
jangka panjang termasuk implan berat
badan kelopak mata emas, selempang
wajah statis, operasi estetika, dan
pencangkokan saraf jika memungkinkan.
Berkeringat cepat: Sindrom Frey
Sindrom Frey mencakup gejala-gejala
The Head and Neck
seperti berkeringat, kemerahan, dan
kehangatan di daerah pre-rikular saat
makan. Meskipun sindrom Frey paling
sering dibahas dalam asosiasi dengan
parotidektomi, fenomena ini dapat terjadi
dengan trauma pada parotid atau infeksi.
Berbagai studi menunjukkan bahwa
setidaknya 40% pasien mengalami satu
gejala, tetapi kejadian sebenarnya tidak
diketahui. Patofisiologi yang disarankan
adalah karena pertumbuhan kembali
serabut postganglionik parasimpatis yang
menyimpang dengan saraf
aurikulotemporal ke kelenjar keringat
kulit di atas parotid yang menyebabkan
berkeringat, yang dalam keadaan normal
akan menyebabkan air liur.
Diagnosis sindrom Frey tergantung pada
gejala pasien. Tes obyektif untuk
mengonfirmasi diagnosis adalah uji pati /
iodium Minor. Sisi wajah yang sakit dicat
dengan larutan iodin dan dibiarkan kering.
Bubuk tepung kemudian dioleskan di area
yang sama. Pasien diminta untuk mengunyah
sialogogue (mis., Lemon atau permen asam)
selama beberapa menit. Konfirmasi sindrom
Frey adalah bintik-bintik biru pada kulit di
mana pati terlarut dan campuran yodium.
Perawatan dapat sesederhana menerapkan
antiperspirant pada kulit. Losion antikolinergik
glikopirrolat juga efektif .
306 Part III: The Head and Neck

Penelitian terbaru menunjukkan toksin tidak menunjukkan perbedaan dalam defisit Pengumpulan seroma di dalam luka di bawah
botulinum A efektif dalam menghentikan gejala dan pemulihan dari waktu ke waktu. Secara flap kulit. Penatalaksanaan meliputi aspirasi
yang berkaitan dengan obat topikal. Gangguan umum, defisit sensorik ini menurun selama berulang, penempatan drainase, pembalut
bedah dari serat sekretori dapat dilakukan periode pasca operasi, terutama antara 6 dan bertekanan, dan antikolinergik oral untuk
dengan neurektomi timpani jika tidak ada 12 bulan. Dari pasien yang melaporkan gejala, mengurangi aliran yang bervariasi selama
tindakan lain yang berhasil . 77% memiliki sedikit masalah yang proses penyembuhan.
disebabkan oleh gejala dan 90% tidak atau
hampir tidak memiliki gangguan dalam
Kelainan Sensorik kegiatan sehari-hari karena gejala mereka. BACAAN YANG DISARANKAN
Meskipun banyak pasien mengalami defisit Eisele DW, Wang SJ, Orloff LA. Electrophysiologic
Saraf aurikular yang lebih besar sering sensorik, tampaknya kualitas hidup secara facial nerve monitoring during parotidectomy.
dikorbankan selama parotidektomi keseluruhan tidak dipengaruhi oleh Head Neck 2010;32(3):399–405.
untuk memobilisasi ekor parotid dari pembelahan saraf aurikular yang lebih besar Heller KS, Dubner S, Chess Q, et al. Value of fine needle
sternokleidomastoid. Pasien mengalami
selama parotidektomi.. aspiration biopsy of salivary gland masses in clini-
defisit sensorik pada distribusi
cal decision-making. Am J Surg 1992;164(6):667–70.
dermatomal yang meliputi sepertiga
bagian bawah telinga eksternal
Mehle ME. Facial nerve morbidity following parotid
termasuk lobulus dan sekitar kulit pre Fistula dan Seroma Saliva surgery for benign disease: the Cleveland Clinic
dan postauricular. Studi Foundation experience. Laryngoscope 1993;
Fistula dan seroma saliva adalah kejadian yang 103:386–8.
membandingkan pasien dengan
pengorbanan saraf versus hemat saraf tidak biasa dengan penggunaan drainase Patel N, Har-El G, Rosenfeld R. Quality of life after great
selama parotidektomi pasca operasi yang tepat. Paling umum itu auricular nerve sacrifice during parotidectomy.
hadir dengan sialore yang jelas dari luka atau Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2001;127:884–8.

EDITOR’S COMMENT of the facial nerve, which is most at risk. There is the position of the facial nerve in anterograde also
a cervical branch off the facial nerve, which parotidectomy. They believe that there are four
enervates the platysma as is indicated in another landmarks that can be used to point to where the
The parotid gland occupies a major part of the commentary, and injury to this small branch may facial nerve will travel. They studied 26 embalmed
cheek and contributes much of the bulk of the be manifested in paralysis facial expression. Thus, cadavers using four of the most commonly used
cheek on either side. It is a salivary gland which a misadventure in the facial nerve and damage to surgical landmarks of where the facial nerve is,
exists in two lobes. Our interest in it is because the facial nerve when doing a parotid dissection particularly between the bony and cartilaginous of
the occasional parotitis or stones in Stensen’s may result in a very significant cosmetic damage ear canal and the tympanomastoid suture. As they duct,
which may actually be a significant infection in the expression of the face. The nerve plane as Dr. say, the main trunk of the facial nerve was found and
with neoplastic lesions, many of which are be- Ruhalter says is deep to the venous plane, which is 5.5 ± 2.1 mm from the posterior belly of the digas- nign.
This chapter is also in this book because gen- superficial to the arterial plane, as shown in Figure tric muscle. Another landmark included the tragal eral
surgeons get to deal with this in their everyday 3. In Figure 4, the nerve plane is clearly shown. pointer, the junction between the bony and car- surgical
practice in the areas in which there are Much of what is currently being described in tilaginous ear canal. I am not certain that these not a great
many otorhinolaryngologists who have the literature really is about the anatomy of the landmarks are very helpful because in the paper a significant
portion of the surgery for neoplastic parotid gland and related structures for successful they not only draw them on four bony landmarks, disease. In Dr.
Ruhalter’s nice chapter on anatomy, parotid surgery. There are various types of paroti- as shown in Figure 2 in a cadaver head, but also one can see from
Figure 2 the superficial area of dectomies. The most common procedures are for a they are not very clear in the other photographs of the parotid lesion.
Note that there is an external neoplasm of the parotid gland or metastases to the the dissection or where the nerve is supposed to jugular vein which
comes up off of the internal parotid lymph node, for example, in melanoma of be. I suspect it is really easier to learn the anatomy jugular vein and
heads down slightly posteriorly in the scalp (Leverstein H, et al. British Journal of Sur- rather than depend on bony landmarks.
the neck. The parotid gland extends to right below gery 1997;84:399–403; Superficial Parotidectomy Finally, Eisele et al. suggest that facial nerve
the ear and to below the mandible or at least the as in O’Brien CJ, Head and Neck 2003;25:946–52 monitoring might be helpful during parotidectomy tip
of it is below the mandible. The critical issue and Lai SY, et al. Parotidectomy in the treatment to prevent facial nerve injury. They point out that about
operating on the parotid gland is the fa- of aggressive cutaneous malignancies. Archives of temporary facial nerve dysfunction occurs in 20% cial nerve,
which actually splits it into a superfi- Otorhinolaryngology and Head and Neck Surgery to 40% of the patients undergoing parotidectomy, cial lobe and
a deep lobe. The facial nerve, which 2002;128:521–6). In this paper, Figure 3 demon- whereas this only permanently occurs in 0% to 4% is the seventh
cranial nerve, exits from the skull strates a left parotid neoplasm and Figure 4 a of the patients. Parotid nerve monitoring, however, through the
stylomastoid foramen. At this point, modified Blair incision coming down anterior to is also useful in any possible litigation, which may it is usually in
association with the stylomastoid the ear and then curving around underneath the occur, and that is the reason enough to learn how branch at the
posterior auricular artery, which en- mandible in order to take out the parotid. The fig- to do it. Basically, this is carried out by electrically ters the cavity
and should not be interrupted since ures, which are intended to show parotid surgery, evoked facial nerve responses during electrophysi- it supplies the
mucosa of the tympanic cavity, the are unfortunately not figures but poor photographs ological facial nerve stimulation with a close nerve mastoid cells,
and the semicircular canals. The ar- and they do not have line drawing with them so monitoring. Facial nerve injury may of course result tery is usually
superficial to the facial nerve and that I do not believe that they are very helpful. from overstimulation that may occur from a long the only reason
I bother to point this out is that Tahwinder et al. (European Archives of Oto- stimulation. However, with a direct current nerve the facial nerve is
the critical aspect of surgery rhinolaryngology 2010;267:793–800) deal with the stimulator,which is battery powered, thisis unlikely. on the parotid gland.
The facial nerve, as I said rhytidectomy incision which has been used to ap- Like any type of mechanical or electrical stimulator, earlier, comes out of the
stylomastoid foramen proach the gland and showing that it goes around overstimulation or mis-stimulation may result in and then courses between
the superficial and the the ear and directly posteriorly as a retrotragal injury as well, and here we are dealing with the face, deep lobe of the parotid
gland. The five branches skin incision. It also enters the scalp anterior to anda profoundinfluence in facial expression.
of the facial nerve take different courses between the top of the tragus. Again, in the photographic One other thing about after parotidectomy,
the superficial and deep lobe of the facial nerve pictures in cadaveric dissections it looks like you have the facial nerve which is exposed and
between the superficial and deep lobes of the pa- it gives very complete exposure, but it looks to in the chapter they make suggestions as far as the
rotid gland and they break up into the auricular me like the incision that is here is considerably material that may be used to overlay the nerve
temporal nerve and the temporal branch of the greater than that seen in Figure 5, which looks after superficial parotidectomy. This barrier to ir-
facial nerve, which course superiorly the zygo- like it is in a living human being. ritation may result in a lesser incidence of Frey’s
matic branch of the facial nerve, which usually is Rea et al. (Annals of Anatomy 2010;192:27–32) syndrome, which may occur if the nerve is rela- also
out of harm’s way for the most part, and then deal with trying to provide some landmarks, which tively exposed without any covering, except a thin the
two branches at risk, the buccal branch of the the authors claim, in addition to intraoperative flap of skin and a subcutaneous tissue.
facial nerve and the marginal mandibular branch facial nerve monitoring, will help to determine J.E.F.
 Chapter 22: Anatomy of the Parotid Gland, Submandibular Triangle, and Floor of the Mouth
22 Anatomi Kelenjar Parotis, Segitiga
Submandibular, and Dasar Mulut
Aaron Ruhalter
ANATOMI KELENJAR
PAROTIS
Kelenjar parotis adalah yang terbesar dari
kelenjar ludah berpasangan. Kelenjar ini
terjepit ke dalam ruang parotis. Kelenjar
parotis adalah yang terbesar dari kelenjar liur
berpasangan. Kelenjar itu terjepit di ruang
parotis.
Ruang Parotis
Ruang parotid memiliki latar belakang
kerangka yang dibuat oleh ramus mandibula
sebelumnya, proses styloid secara medial,
proses masidide posterior, dan meatus akustik
eksternal dan bagian posterior posterior sendi
temporomandibular posterior (Gambar 1). ).
Latar belakang jaringan lunak dibuat oleh otot-
otot yang melekat pada landmark tulang ini —
otot masseter, dialer pterigoid, dan temporalis
pada mandibula; otot-otot stylohyoid,
styloglossus, dan stylopharyngeus yang timbul
dari proses styloid tulang temporal; dan otot-
otot sternokleidomastoid dan digastrik yang
berhubungan dengan proses mastoid dan
bagian lateral dari garis oksipital posterior .
Fig. 1. Parotid bed.
Kelenjar Parotis
Permukaan superfisial kelenjar parotis
berbentuk segitiga, dengan apeks menunjuk ke
bawah (Gbr. 2). Permukaan dalam kelenjar
terjepit ke dalam ruang parotid ini dan
menyajikan permukaan anteromedial dan
posteromial. Kelenjar sering melampaui batas
ruang parotis. Jaringan kelenjar dapat
memanjang dari tepi terupuperior permukaan
superfisial, menciptakan apa yang disebut
proses wajah, dan lebih unggul dari saluran
parotis. Ekstraksi jaringan kelenjar mungkin
terpisah dari bagian utama kelenjar. Segmen
kelenjar yang terisolasi ini (rotari aksesori)
memiliki saluran yang bermuara di saluran
utama. Seringkali, ekstensi ditemukan dari
permukaan dalam kelenjar menuju faring atau
otot pterigoid medial.
Kelenjar parotis agak artifisial dibagi
menjadi dua lobus oleh saraf wajah saat
melewati. Bagian endofasial (dalam) dan
eksofasial (superfisial) dibuat. Ada banyak
komunikasi
307
antara lobus, bagaimanapun, dibuat oleh
jembatan jaringan kelenjar. Area
komunikasi yang luas, yang disebut
isthmus, terkait dengan bagian proksimal
dari bagian intraparotid dari saraf wajah.
Duktus parotis sekitar 5 cm dan terletak
di permukaan dangkal otot masseter,
sekitar 1 cm di bawah lengkung zygomatik.
Arteri wajah transversal diselingi antara
duktus dan lengkung, sedangkan cabang
bukal saraf fisis dapat ditemukan lebih
rendah dan lebih superior dari duktus.
Ketika saluran ini mencapai batas anterior
otot masseter, ia berubah tajam, menembus
otot buccinator, dan berakhir di ruang
depan rongga mulut yang berhadapan
dengan gigi molar kedua atas.
Hubungan Fasia
Kelenjar ini terbungkus oleh lapisan
investasi lapisan fasia serviks yang
dalam. Lapisan dalam melewati
superior dan menempel pada pangkal
tengkorak. Sebagian dari fasia ini
antara ujung proses styloid dan sudut
mandibula menebal, menciptakan
ligamentum stylomandibular.
Ligamentum ini mendukung sendi
temporomandibular dan memisahkan
The Head and Neck
kelenjar parotis dari kelenjar sub
mandibula. Lapisan superfisial dari
fasia split ini jauh lebih tebal,
menginvestasikan otot masseter, dan
melekat pada lengkung zigmatik.
Ketebalan dan sifat pantang menyerah
bertanggung jawab atas rasa sakit
parah yang dihasilkan dari pembesaran
kelenjar.
Hubungan Neurovaskular
Struktur neurovaskular melewati parenkim
kelenjar dan dapat dengan mudah
digambarkan dalam lapisan atau bidang. Dari
dalam hingga dangkal ditemukan lapisan
artial, vena, dan saraf .
Bidang Arteri
Lapisan arterial meliputi arteri rotariid
eksterna, yang memasuki ruang parotis
setelah lewat dalam ke perut posterior otot
digastrik (Gbr. 3). Pada titik ini arteri karotis
eksternal memunculkan arteri aurikularis
posterior, yang mengeluarkan cabang
stylohyoid yang memasuki foramen styloma-
toid. Pembuluh darah ini biasanya dangkal
ke batang saraf wajah karena keluar dari
tengkorak dengan cara yang sama.
Kemudian arteri aurikularis posterior
308 Part III: The Head and Neck

antara meatus akustik eksternal dan sendi

temporomandibular. Yang menyertai struktur
vaskular ini pada level ini adalah saraf
auriculotemporal, yang muncul dari cabang
mandibula saraf trigeminal di atap fossa
infratemporal. Ini memberikan persarafan
sensorik ke meatus akustik eksternal,
permukaan eksternal membran timpani, dan
sendi temporomandibular, dan persarafan
kulit kutaneus ke daerah daun telinga dan
kulit kepala temporal.

Bidang Vena
Pesawat vena superfisialis dengan bidang
artial (Gbr. 3). Ini termasuk vena
retromanular dan cabang-cabangnya. Vena
retro mandibula dibuat oleh penyatuan vena
temporal dan maksilaris superfisialis. Vena
maksila dibentuk oleh penyatuan vena yang
merupakan bagian dari pleksus vena besar
yang mengelilingi otot pterigoid lateral.
Pleksus vena ini berkomunikasi dengan
vena-vena wajah serta dengan sinus rongga
di dalam tengkorak. Vena parotis juga
berkomunikasi dengan pleksus vena
pterigoid. Pleksus vena pterigoid ini pada
gilirannya merupakan jalur potensial untuk
penyebaran infeksi kulit superfisial ke sinus
kavernosa. Ini adalah kondisi yang
berpotensi mematikan

Fig. 2. Superficial view of the parotid region.

terus posterior, berjalan di bawah penutup,

dan sejajar dengan, tepi superior perut
posterior otot digastrik. Orang harus mencatat
bahwa otot ini melewati superfisial ke dan
melindungi hampir semua struktur yang lewat
antara segitiga submandibular superior dan
segitiga karotis lebih rendah. Ini termasuk
vena jugularis interna dan arteri karotis
interna pada selubung karotis, empat saraf
kranialis terakhir, dan arteri karotis eksterna.
Vena retro mandibula atau cabang-cabangnya,
cabang serviks dari saraf wajah, dan saraf
aurikular yang lebih besar, bagaimanapun,
lewat superfisial ke perut posterior otot
digastrik.
Arteri karotis eksternal kemudian
menembus permukaan medial kelenjar
parotis, dan ketika mencapai leher proses
condylar mandibula berakhir dengan
memunculkan arteri maksila dan arteri
temporalis superfisial. Arteri maksila
melewati dial ke proses kondilus mandibula
dan memasuki fossa infratemporal. Arteri
temporal yang sempurna berlanjut secara
superior, disertai oleh vena temporal yang
dangkal. Arteri wajah transversal, yang
muncul dari bagian proksimal dari arteri
temporalis superfisialis, jalur yang lebih
superior dari saluran rotator. Arteri
temporal yang dangkal kemudian memasuki
wilayah temporal setelah lewat

Fig. 3. Vascular background.

 Chapter 22: Anatomy of the Parotid Gland, Submandibular Triangle, and Floor of the Mouth 309
Vena retromandibular melewati inferior
melalui substansi kelenjar parotis dan
ditemukan antara cabang-cabang saraf wajah
dan lapisan arteri. Vena retromandibular
berakhir di tepi bawah kelenjar dengan
mengeluarkan cabang anterior dan posterior.
Cabang posterior bergabung dengan vena
aurikularis posterior untuk membentuk vena
jugularis eksternal, yang berlanjut inferior,
superfisial ke perut posterior otot digastrik,
kemudian lewat miring melintasi otot
sternokleidomastoid. Hal ini sering ditemukan
hanya anterior ke saraf aurikular besar, yang
sedang dalam perjalanan ke kulit di atas
kelenjar parotis. Cabang anterior vena
retromandibular menyatu dengan vena wajah
anterior, membentuk vena wajah yang umum.
Ini melewati inferior, superfisial ke otot
digastrik, untuk mengosongkan ke dalam vena
jugularis interna.

Bidang Saraf
Bidang saraf dibuat oleh saraf wajah dan
cabangnya (Gbr. 4). Saraf wajah (saraf kranial
ketujuh) keluar dari tengkorak melalui
foramen stylomastoid. Pada titik ini ditemukan
dengan cabang stilomastoid arteri aurikularis
posterior, yang memasuki foramen dan
memasok mukosa rongga timpani, sel mastoid,
dan kanal setengah lingkaran.

Fig. 4. Nerve plane.

Arteri biasanya dangkal ke saraf wajah. Setelah lobus dalam (endofasial). Banyak Ini terkait dengan vena jugularis eksternal dan
muncul dari foramen, dua cabang timbul dari komunikasi ditemukan di antara cabang- berpindah ke nodus supraklavikula pada

The Head and Neck

saraf wajah sebelum masuk kelenjar parotis.
Cabang pertama, saraf aurikularis posterior,
memberikan persarafan pada otot-otot
aurikularis posterior dan otot-otot intrinsik
aurikel. Cabang kedua, yang timbul dari
bagian ekstraparotid dari saraf wajah,
memberikan inervasi motorik ke perut
posterior otot diastrik dan stylohyoid. Bagian
saraf ini, panjangnya sekitar 1 cm, kemudian
menembus permukaan posteromedial
kelenjar parotis. Batang saraf ini bergerak
maju dalam parenkim glandular dengan jarak
sekitar 1 cm atau kurang, kemudian
membelah menjadi dua cabang — cabang
temporo-facial yang lebih besar, yang
menciptakan saraf temporal dan zygomatik,
dan cabang servikofasial yang lebih kecil,
yang menimbulkan bukal , saraf mandibula
marginal, dan serviks. Ismus jaringan
kelenjar memisahkan cabang temporofagus
dari cabang serviksofasial.
Saraf wajah memberikan inervasi
motorik ke otot-otot ekspresi wajah. Platysma
termasuk dalam kategori musik ini. Saraf
bercabang, ketika mereka melewati kelenjar
parotis, membaginya menjadi dua bagian.
Bagian dari kelenjar yang superfisial pada
saraf disebut sebagai lobus superfisial
(eksposisi), dan bagian dari kelenjar yang
internal ke lapisan saraf disebut sebagai
cabang saraf ketika mereka melewati
kelenjar. Saraf zyogmatik dan temporal
sering multipel, sedangkan cabang
mandibula dan servikal sering tunggal.
Cabang serviks dan mandibula dapat
memanjang di bawah mandibula,
sedangkan cabang serviks melewati
superfisial ke perut posterior otot digastrik.
Saraf menjadi lebih dangkal saat lewat dari
jauh.
Inervasi
Kelenjar parotis menerima serabut simpatis
postganglionik dari pleksus saraf yang berjalan
dengan arteri karotis eksternal. Serabut
parasimpatis postganglionik Secretomotor
mencapai fossa infratemporal melalui saraf
petrosal yang lebih rendah, menyinari ganglion
otic, dan kemudian melakukan perjalanan ke
kelenjar parotis melalui saraf
auriculotemporal.
Drainase Limfatik
Drainase limfatik kelenjar parotis terkait
dengan dua sistem. Nodus superfisialis pada
fasia superfisialis (preauricular) mengalir ke
sistem superfisial nodus serviks .
segitiga posterior. Set kedua node ditemukan
di dalam penutup fascia kelenjar rotan. Node
ini mengalir ke nodus serviks yang dalam dan
rantai jugularis .
Bantuan Anatomi
Batang utama saraf wajah dapat ditemukan
dengan menelusuri salah satu cabangnya
secara proksimal. Cabang mandibula dan
serviks lebih sering digunakan karena
sering tunggal dan lebih mudah ditemukan.
Saluran parotis kira-kira 1 cm lebih
rendah dari tepi bawah lengkung zygomatik.
Jalur saluran dapat diciptakan kembali oleh
garis antara ujung bawah tragus telinga dan
komisura mulut.
Dua saraf dapat ditemukan dengan
pembuluh darah temporal yang dangkal.
Saraf auriculotemporal adalah posterior,
sedangkan cabang temporal dari saraf wajah
terletak di depan pembuluh darah ini.
Saraf aurikular besar sering
ditemukan posterior ke vena jugularis
eksternal. Saraf dan vena ini berjalan
bersama sampai tepi inferior kelenjar
parotis tercapai.
310 Part III: The Head and Neck

Saraf melewati ke jaringan subkutan
superfisial ke kelenjar, memberikan persarafan
sensorik ke kulit di atasnya kelenjar parotis.
Sisa wajah menerima persarafan sensoriknya
hanya dari saraf trigeminal. Vena terlihat
muncul dari substansi kelenjar.
Arteri karotis eksternal berhubungan
dengan batas medial ruang parotis. Arteri
karotis interna sedikit lebih dalam. Kedua
Vessel seharusnya tidak bingung. Kita
harus ingat bahwa arteri kobalid internal
tidak memiliki cabang di leher. Memisahkan
arteri karotis eksternal dari arteri karotis
interna adalah proses styloid atau
ligamentum stylohyoid, otot
stylopharyngeus, dan saraf glossofaringeal .
Otot stylohyoid dan perut posterior dari otot
digastrik berbeda pada titik-titik perlekatan
pada tengkorak. Batang utama saraf wajah
melewati interval ini.
Pada persimpangan dari bagian kartilago
dan bagian osseus dari saluran pendengaran,
terdapat proyeksi ke bawah kartilago yang
menunjuk ke batang utama saraf wajah.
Ketika vena jugularis eksternal ditelusuri
secara superior ke struktur induknya, vena
mandibula, itu mengarah ke interval antara
lobus superfisial dan dalam dari kelenjar
parotis. Ini juga merupakan cara untuk
menemukan cabang serviks atau mandibula
dari saraf wajah, karena mereka melewati
permukaan ke vena.
Cabang stylomastoid arteri aurikularis
posterior memasuki folikel stylomastoid dan
dangkal pada batang saraf wajah..
Vena jugularis interna mungkin
bersentuhan dengan permukaan dalam
kelenjar.
Batas Otot
Batas otot dari segitiga submanulular adalah
perut posterior dari otot digastrik dan
stylohyoid di posterior, dan perut anterior dari
otot digastrik di anterior (Gambar 5). Margin
inferior dari tubuh mandibula menciptakan
batas superior untuk area segitiga ini. Otot
digastik menempel posterosuperior ke proses
mastoid tulang temporal, posterior otot
stylohyoid, yang muncul dari permukaan
posterolateral proses styloid. Kedua otot
dengan cepat saling mendekati dan tetap
dalam kontak langsung ke daerah tulang
hyoid, di mana tendon antara dari otot perut
ganda ini ditemukan. Tendon ini melewati split
pada tendon penyisipan otot stylohyoid.
Tendon antara terikat ke tulang hyoid oleh
penebalan fasia. Perut anterior kemudian lewat
superomedial dan berakhir dengan melekat
pada aspek internal mandibula di dekat garis
tengah. Otot digastrik mengangkat tulang
hyoid dan membantu depresi mandibula. Perut
posterior otot digastrik dan stylohyoid
dipersarafi oleh saraf wajah, dan perut anterior
otot digastrik dipersarafi oleh cabang saraf
mylohyoid dari saraf alveolar inferior.
Saraf yang terakhir ini adalah cabang dari
divisi posterior dari saraf mandibula .
Dasar Otot
Lantai otot dari tri-sudut submandibular
terdiri dari empat otot (Gbr. 5). Arah serat otot
dari masing-masing otot adalah karakteristik
dan memungkinkan untuk pengenalan batas
antara otot tetangga. Otot-otot ini tidak terletak
pada bidang yang sama. Otot-otot anterior
lebih dangkal daripada yang posterior, yang
menciptakan pola seperti langkah ke lantai
berotot dari segitiga submandibular ini.
Melewati dari anterior ke posterior, seseorang
bertemu dengan mylohyoid dan kemudian
musik hyoglossus. Bagian inferior dari otot
pembatas superior dan bagian superior dari
otot pembatas tengah melengkapi lantai dari
segitiga submandibular.
Otot mylohyoid (Gbr. 6) adalah
paling anterior dan dangkal otot-otot
menciptakan dasar mulut. Ini muncul
dari aspek bagian dalam mandibula, dan
kedua bagian melewati secara inferomedi
di mana sebagian besar serat
dimasukkan ke dalam garis serat berserat
garis tengah memanjang dari bagian
tengah mandibula ke pusat tubuh tulang
hyoid. Semakin banyak serat posterior
disisipkan ke dalam tubuh tulang hyoid.
Dua bagian otot membuat lantai untuk
rongga mulut. Otot mylohyoid

ANATOMY OF THE
SUPRAHYOID PORTION OF
THE ANTERIOR TRIANGLE
Perut posterior otot digastrik dan tulang
hyoid membagi segitiga anterior leher
menjadi daerah suprahyoid dan infrahyoid.
Segitiga submandibular dan submental
memiliki posisi suprahyoid, dan dijelaskan
dalam bab ini.

ANATOMY OF THE
SUBMANDIBULAR
TRIANGLE
Segitiga submandibular adalah bagian dari
segitiga anterior leher dan posisi suprahyoid.
Kadang-kadang disebut sebagai segitiga
digastrik atau submaksila

Fig. 5. Musculoskeletal background and floor of the mouth.

 Chapter 22: Anatomy of the Parotid Gland, Submandibular Triangle, and Floor of the Mouth
Inferior
alveolar
nerve
Hypoglossal nerve
Mylohyoid nerve
Fig. 6. Submandibular triangle and floor of the mouth. This figure illustrates nerve contents and super-
ficial and deep portions of the submandibular gland.
menyajikan tepi bebas posterior. Ketika otot
ini berkontraksi, ia mengangkat dasar
mulut, menyebabkan peningkatan dan
penempatan posterior lidah. Ini merupakan
bagian integral dari mekanisme menelan.
Hyoglossus adalah otot segi empat yang
muncul dari seluruh panjang tanduk yang
lebih besar dari tulang hyoid. Melewati batas
dan menempel pada permukaan lateral lidah.
Hubungannya yang dalam meliputi
ligamentum stylohyoid, saraf
glossopharyngeal, dan arteri lingual. Lewat
superfisial ke otot hyoglossus adalah saraf
linier, saraf hipoglosus, dan dua venae
comitantes-nya, dan duktus submandibular.
Struktur-struktur yang dangkal untuk otot
hyoglossus menjadi hubungan yang dalam dari
otot mylohyoid ketika mereka mencapai tepi
posterior bebas dari otot miohohid dan
kemudian berjalan dalam interval antara otot-
otot ini. Saraf hipoglosus mempersarafi otot
hyoglossus dan otot-otot lidah ekstrinsik
lainnya, serta semua otot intrinsik lidah. Otot
mylohyoid dan perut anterior dari otot
digastrik diinduksi oleh saraf mylohyoid, yang
muncul dari cabang alveolar inferior dari saraf
mandibula.
Lingual nerve
Sublingual gland
Submandibular duct
Mylohyoid muscle (cut)
Submandibular gland
(superficial portion)
Penutupan Fascial
Atap dan karpet fasia diciptakan oleh
lapisan investasi deep cervical fascia ketika
terbelah untuk menginvestasikan kelenjar
submandibular. Lapisan superfisial
menempel pada tepi inferior mandibula,
sedangkan lapisan dalam melekat pada
aspek dalam mandibula, tepat di bawah
perlekatan otot milohyoid.
Isi dari Segitiga Submandibular
Kelenjar Submandibula
Kelenjar submandibular adalah konten utama
dari segitiga submandibular (Gbr. 6). Ini benar-
benar meluap dan melampaui batas-batasnya.
Kelenjar itu membungkus dirinya sendiri di
sekitar tepi bebas posterior mylohyoid. Ini
menciptakan lobus superfisial yang terletak di
permukaan eksternal mylohyoid dan lobus
dalam yang lebih kecil yang terletak di dalam
otot myohohid. Saluran kelenjar melewati
medial ke lobus yang dalam dan berakhir di
dasar mulut pada ketinggian kecil tepat di
lateral frenulum. Saraf lingual pada mulanya
lebih unggul daripada duktus karena
keduanya lewat superfisial ke otot hyoglossus.
Saraf hipoglosur berada pada level yang lebih
rendah.
311
Struktur Neurovaskular
Struktur yang dangkal ke kelenjar sub-
mandibula termasuk cabang serviks dari saraf
wajah dan ujung distal vena wajah anterior dan
cabang anterior vena retromandibular (wajah
posterior) (Gambar 7). Vena-vena ini bersatu
dalam jaringan-jaringan yang menutupi
segitiga submandibular, menciptakan vena
wajah yang umum, yang lewat di inferior
menjadi kosong ke dalam vena jugularis
interna. Kadang-kadang, cabang mandibula
dari saraf wajah turun di bawah tepi inferior
mandibula dan dapat terluka ketika sayatan
dibuat di daerah ini .
Struktur dalam segitiga submandibular yang
ditemukan antara kelenjar submandibular dan
otot mylohyoid termasuk bagian wajah dan saraf
mylohyoid serta pembuluh darah. Arteri wajah
adalah yang paling superior dari pembuluh yang
muncul dari anteromedial sur-
face of the external carotid artery. It begins in the
carotid triangle, just superior to the tip of the
greater cornu of the hyoid bone, passes deep to
the posterior belly of the digastric muscle, and
enters the submandibular tri- angle. It passes
superiorly and reaches a point well above and
medial to the lower edge of the body of the
mandible. It then passes over
the superior and lateral surfaces of the gland
and is adherent to these surfaces. It now
arches superiorly in contact with the exter-
nal surface of the mandible, creating a groove
just anterior to the insertion of the masseter
muscle. It gives a submental branch that runs
along the inferior surface of the mandible in
The Head and Neck
contact with the upper surface of the gland.
Muncul di tepi anterior kelenjar
adalah saraf dan pembuluh mylohyoid.
Saraf muncul dari cabang alveolar
inferior dari saraf mandibula. Struktur
neurovaskular ditemukan jauh ke
dalam kelenjar sub-mandibula, tetapi
di sisi lain (dalam ke) otot milohyoid.
Mereka terletak pada interval antara
otot-otot hyoglos dan mylohyoid, dan
bertanggung jawab untuk fungsi lidah
dan nutrisi.
Saraf lingual, cabang dari saraf manular,
melewati interval sampai mencapai batas
anterior otot hyoglossus. Kemudian
berputar secara medial, setelah melingkar di
sekitar saluran submandibular, dan
menembus lidah. Ini memberikan sensasi
umum untuk dua pertiga anterior lidah .
Chorda tympani (yang timbul dari saraf
fasia) bergabung dengan saraf lingual di bagian
atas fosa infratemporal. Ini membawa serat
rasa dari lidah dan membawa serat
parasimpatis preganglionik ke ganglion
submandibular. Ganglion ini melekat pada
saraf lingual dan merupakan tempat sinapsis
untuk serat preganglionik ini .
312 Part III: The Head and Neck
Retromandibular
vein
External
carotid
artery
Internal
jugular
vein
Common carotid
artery
Fig. 7. Submandibular triangle.
Serat sekomotorik postganglionik kemudian
berpindah ke kelenjar sublingual dan
submandibular. Saraf hipoglosus dan vena
lingual juga terlihat di wilayah ini. Yang
menyertai struktur neurovaskular ini adalah
saluran submandibular (saluran Wharton).
Lobus yang dalam dari kelenjar
submandibular juga ditemukan internal pada
otot mylohyoid.
Drainase Limfatik
Limfatik kelenjar submandibular ditemukan di
dalam parenkimnya, sedangkan kelenjar getah
bening lainnya berada di luar penutup fasia
kelenjar. Limfatik daerah mandibula dapat
dibagi menjadi sistem horizontal dan vertikal.
Rantai horizontal berjalan di sepanjang
mandibula dari kelenjar rotari ke garis tengah,
menerima saluran aferen dari wajah ipsilateral
dan rongga mulut. Limfatik tri-sudut
submental juga mengalir ke sistem horizontal
ini. Dari daerah pengumpulan submandibular
ini, saluran vertikal melewati ke sistem node
yang terkait dengan vena jugularis interna
(nodus servikal dalam). Saluran vertikal
lainnya masuk ke segitiga posterior ke sistem
serviks posterior superfisial (ditemukan
dengan vena jugularis eksternal) dan sistem
serviks posterior dalam (ditemukan dengan
spinal
Facial artery
and vein
Submental vein
(artery located
under vien)
Submandibular
gland
saraf aksesori). Node kelenjar getah bening
terletak di saluran jugularis interna, yang
ditemukan di mana otot-otot perut ganda
melewati superfisial ke vena jugularis interna
(mis., Jugulodigastrik dan jugulomylohyoid).
Bantuan Anatomi
Cabang mandibula dan serviks saraf wajah
dapat memanjang di bawah tepi bawah
mandibula. Semua struktur lain yang
menjadi perhatian terletak pada perut
posterior dari otot digastrik. Insisi dapat
dilakukan pada otot ini dengan sedikit rasa
takut melukai struktur neurovaskular vital.
Penutup fasia kelenjar submandibular
kurang melekat pada permukaan kelenjar
dibandingkan dengan penutup kelenjar
parotis. Ini memungkinkan enukleasi kelenjar
submandibular yang lebih mudah.
Arteri wajah sangat melekat pada
permukaan kelenjar dan superior kelenjar dan
harus sering dihilangkan dengan kelenjar
setelah kontrol proksimal dan distal diperoleh.
Otot hyoglossus adalah tengara anatomi. Hal
ini dangkal dari saraf glossopharyngeal dan
arteri lingual tetapi ditemukan internal pada
saraf lingual dan hipoglosus, saluran
submandibular, dan proses yang dalam dari
kelenjar submandibular. Vena lingual
juga dangkal untuk otot ini dan terkait erat
dengan saraf hipoglosus.
Saraf lingual lebih unggul daripada proses
dalam kelenjar submandibular dan duktusnya
sebelum membentuk lingkaran di sekitar
duktus dengan melewati lateral dan kemudian
inferior sebelum menembus kerangka lidah.
Saraf hipoglosus dan komit vena-nya lebih
rendah dibandingkan duktus.
Saraf hipoglosus melintasi arteri karotis
interna dan eksterna secara superfisial. Saraf
glossopharyngeal, saraf phynryngeal yang
timbul dari vagus, dan otot stylopharyngeus
melewati antara arteri yang sama, sedangkan
saraf laring superior (yang timbul dari saraf
vagus dekat pangkal tengkorak) melewati jauh
ke arteri-arteri tersebut.
Cabang-cabang saraf kecil muncul dari
saraf linier dan ganglion submandibular, yang
memasuki kelenjar submandibular. Ini harus
ditranseksi selama eksisi kelenjar untuk
mencegah cedera avulsi pada saraf linier.
ANATOMI SEGITIGA
SUBMENTARL
Ruang ini ditemukan di bagian suprahyoid
leher (Gbr. 8). Ini memisahkan segitiga sub-
mandibula dan berkontribusi pada struktur
dasar mulut. Perut bagian atas dari otot
digastrik menciptakan batas lateral dari
segitiga ini. Tubuh tulang hyoid adalah
dasarnya, dan puncaknya adalah simfisis
menti. Mylohyoid menciptakan lantai
berotot. Serabutnya muncul dari garis
mylohyoid, pada aspek medial mandibula;
lewat inferomedial dan menempel pada
tubuh tulang hyoid dan rap garis tengah
yang ditemukan antara hyoid dan
mandibula. Kontraksi otot akan
mengakibatkan ketinggian lantai mulut.
Cabang mylohyoid dari saraf alveol inferior
menyediakan inervasi motorik. Lapisan
investasi dari fasia serviks yang dalam
menciptakan atap fasia. Satu-satunya isi
segitiga adalah kelenjar getah bening
submental, yang mengeringkan ujung lidah,
dasar mulut, bibir bawah, dan dagu.
Saluran eferen berpindah ke nodus
submandibular, atau ke nodus jugularis
dari rantai serviks vertikal. Vena jugularis
anterior ditemukan di jaringan superfisialis
hingga sudut trimental. Sayatan yang
dibuat di area ini tidak akan melukai
struktur neurovaskular utama .
ANATOMI DASAR MULUT
Otot mylohyoid adalah struktur anatomi
yang memisahkan rongga mulut dari
leher, dan dengan demikian menciptakan
dasar mulut. Lampiran otot ini
 Chapter 22: Anatomy of the Parotid Gland, Submandibular Triangle, and Floor of the Mouth
Submandibular
triangle
Hyoid bone
Omohyoid muscle
Sternohyoid
muscle
Sternocleidomastoid
muscle
Fig. 8. Submental triangle.
telah disebutkan sebelumnya. Otot higosus
berkontribusi batas posterolateral untuk
pemisahan antara dasar mulut dan segitiga
submandibular (bagian dari leher anterior).
Dasar mulut juga dapat didefinisikan sebagai
area antara lidah dan pantulan mukosa lateral,
dan otot mylohyoid.
Lidah
Lidah adalah struktur otot besar yang
menghadapi rongga mulut dan faring (Gambar
5 dan 6). Itu melekat pada dasar mulut,
mandibula, dan tulang hyoid .
Otot Ekstrinsik
Otot ekstrinsik lidah termasuk genioglossus,
hyoglossus, styloglossus, dan palatoglossus.
Otot genioglossus muncul dari tuberkel genial
yang ditemukan pada aspek internal
midportion mandibula dan berpindah ke
sebagian besar dorsum lidah. Hyoglossus
muncul dari tulang hyoid, melewati superior,
dan menyentuh aspek lateral lidah. Otot
styloglossus muncul dari ujung proses styloid
dan bagian proksimal dari ligamentum
stylohyoid. Serabutnya melewati anterior
inferior
Anterior belly of
digastric muscle
Submental
triangle
Posterior belly of
digastric muscle
Thyrohyoid muscle
Sternothyroid
muscle (cut)
dan menempel pada permukaan lateral lidah,
di mana mereka berinterdigitasi dengan serat-
serat otot hyoglossus.
Otot Intrinsik
Otot intrinsik lidah terdiri dari serat
memanjang, horizontal, dan vertikal yang
membentuk jaringan yang saling mengunci.
Pergerakan
Karena interdigitasi yang luas pada otot-otot
lidah, berbagai gerakan mungkin dilakukan.
Selain itu, otot mylohyoid dipindahkan oleh
gerakan tulang hyoid. Gerakan-gerakan ini
diciptakan oleh kontraksi kelompok otot
suprahyoid dan infrahyoid. Kamar mandi
dapat ditekan oleh kontraksi otot mylohyoid,
stylohyoid, digastric, dan geniohyoid jika
tulang hyoid tetap pada posisinya dengan
kontraksi otot-otot infrahyoid.
Inervasi
Semua otot intrinsik dan ekstrinsik lidah
menerima persarafan dari saraf hipoglosus.
Satu-satunya pengecualian adalah otot
palatoglossus, yang dipersarafi oleh pleksus
faring saraf.
313
Persarafan sensorik dari bagian anterior lantai
mulut disediakan oleh saraf lingual. Bepergian
dengan saraf ini adalah serabut saraf chorda
tympani (ketujuh), yang memberikan sensasi
rasa untuk bagian anterior lidah, dan serabut
motorik sekretium preganglionik dalam
perjalanan mereka untuk menyelaraskan di
ganglion submandibula sebelum melanjutkan
ke kelenjar submandibular dan sublingual .
Sensasi dan rasa untuk sepertiga posterior
lidah disediakan oleh saraf glossopharyngeal .
Pasokan Vaskular
Pasokan vaskular ke lidah disediakan oleh
arteri lingual, yang muncul dari arteri karotis
eksternal di segitiga karotis, masuk ke dalam
segitiga submandibular, dan memasuki daerah
dasar mulut setelah melewati bagian dalam
otot hyoglossus. . Ini memberikan cabang
sublingual dan kemudian, sebagai arteri
lingual yang mendalam, melewati ke puncak
lidah hanya lateral ke garis tengah. Hanya
sedikit komunikasi yang ada di garis tengah
antara kapal lingual mendalam kiri dan kanan .
Isi dari Dasar Mulut
Otot Geniohyoid
Otot geniohyoid berasal dari awal
genioglossus dan melewati
anteroinferiorly untuk menempel pada
badan
of the hyoid bone. The left and right parts of
this muscle lie side by side. When they con-
tract, the hyoid bone is displaced anteriorly
and superiorly.
The Head and Neck
Kelenjar Ludah dan Salurannya
Kelenjar sublingual ditemukan di dasar mulut,
antara otot geniohyoid dan mandibula (Gbr. 9).
Ini adalah yang terkecil dari tiga kelenjar ludah
berpasangan dan sering memiliki dua sistem
saluran. Satu terdiri dari beberapa duktula,
yang kosong langsung ke dasar mulut. Sistem
kedua terdiri dari saluran (atau saluran)
dengan berbagai ukuran yang dikosongkan ke
saluran submandibular yang lebih besar. Di
daerah yang sama ini ditemukan proses dalam
kelenjar submandibular dan salurannya.
Proses mendalam ini mungkin memiliki
ukuran yang signifikan dan mungkin tampak
berbaur dengan kelenjar sublingual. Saluran
submandibular, saraf lingual dan vena, dan
saraf hipoglosus dialihkan ke kelenjar
sublingual. Aliran anatomis ada antara segitiga
submandibular dan dasar mulut (ruang
sublingual), yang memungkinkan untuk
lewatnya isi dari satu area ke domain yang
lain.
Drainase Limfatik
Drainase limfatik pada dasar mulut sangat
kompleks. Lesi dari bagian tengah lantai
mulut dan ujung lidah bisa mengalir ke
submandibular
 314 Part III: The Head and Neck

Submandibular kelenjar di kedua sisi, atau tiriskan

ganglion langsung ke node submental, dan kemudian
Cut edge of
ke node subman- dibular (sistem
hyoglossus horizontal). Drainase kemudian diarahkan
muscle terutama ke sistem serviks yang dalam,
yang terkait dengan sistem vertikal limfatik
Lingual nerve yang ditemukan dengan vena jugularis
interna. Beberapa penyebaran dapat terjadi
pada sistem serviks superfisial posterior di
External
segitiga posterior, yang ditemukan dengan
carotid artery
vena jugularis eksternal. Drainase getah
bening dari bagian posterior lidah langsung
ke kelenjar serviks yang dalam di salah satu
Digastric muscle Tongue Deep lingual atau kedua sisi.
(posterior belly) artery
Bantuan Anatomi
Sedikit komunikasi yang ditemukan di garis
tengah lidah antara arteri lingual yang
dalam. Itu membatasi kehilangan darah
Internal pada saat hemiglossectomy.
jugular vein Submandibular
duct

Lingual artery
SUGGESTED READINGS
Lingual veins
Arnold M. Reconstructive Anatomy, 1st ed. Phila-
delphia: WB Saunders; 1968.
Delmas A. Atlas Aide-memoire d’Anatomie (Rou-
viere). Paris: Masson; 1991.
Hollinshead WH. Anatomy for Surgeons, 2nd ed.
New York: Harper & Row; 1971.
Fig. 9. Submandibular triangle and floor of the mouth (deep structures).

EDITOR’S COMMENT have led to tremendous differences in approach. of up to 80%. Shock-wave lithotripsy represents a
Interventional sialography and other radiologi- therapeutic alternative of the first choice in the
cally controlled methods such as ultrasound- parotid gland and the fragments may be extracted
This is not an area in which general surgeons have guided techniques and sialendoscopy all have in an endoscopically controlled manner.
a great deal of experience. Even theparotid gland been developed lately and make the therapy of in- Stones are difficult to feel manually. I recently
which does appear every now and then in a busy flammation of the gland a much more direct and had a patient who had a neck procedure elsewhere
surgical practice yields little familiarity to the av- informed concept than just taking the gland out. and developed pain in her neck and it appeared as
erage general surgeon. This may be different in the If there is direct visualization of the findings with- she pointed to the right side of the neck that she
case of the rural general surgeon in which setting out the use on contrast material and with lack of probably did have a sialadenitis of the submandib-
there is probably no ear, nose and throat surgeon exposure to radiation, there is a high success rate. ular gland with a sympathetic adenopathy going
and the area of tenderness may be beyond the There are other gland preserving techniques such down the entire right neck. I had started her on
expertise of the general practitioner or the fam- as transoral duct slitting or transcutaneous stone antibiotics prior to seeing her because that what it
ily physician. While the general surgeon may have retrieval which likely will not be utilized by the sounded like and indeed she told me that an ENT
some familiarity with parotid disease in this case average general surgeon. In this nicely authored person she had seen years ago that she had stones
the most important aspect is to know the differ- article there is an algorithm for the treatment of in her duct. I could not feel it nor could I milk any-
ence between a parotitis and some type of tumor, various diseases of the salivary glands starting thing out through the bottom of the mouth but I
many of which are benign, in the case of the sub- with the necessity of oral therapeutic diagnostic am certain that’s what she had. It subsided.
mandibular gland and the submaxillary gland examination which include, as mentioned earlier, In the parotid gland which is not the subject
there is even less familiarity with inflammation. ultrasound and sialendoscopy. Ultrasound en- of this particular exposition the 25% of all stones
The most common malady that the general ables the presumptive diagnosis to make quickly, have an intraparenchymal location and therefore
surgeon is called upon to treat is a chronic sialad- safely and cost effectively and in the hands of ex- are more difficult to deal with.
enitis. It’s commonly associated with an acute perienced people with great precision. Endoscopy Stenoses are another major cause of symp-
chronic inflammation and an obstruction of the serves as a direct determination of the obstruc- tomatic sialadenitis and may be seen by endos-
excretory duct. But the differentiation between tion. Endoscopy controlled treatment such as in- copy. However some stenoses may be multiple,
chronic sialadenitis and obstruction of the excre- terventional sialendoscopy also is a boon to non- they may be in difficult locations, they may be tory
duct is difficult even the bestof circumstances. destructive operations on the salivary glands. long and the tissue of the stenosis may be fi- Stones
are responsible for about 60–70% and may Less than 5 mm stones and mobile stones brotic. Sialendoscopy has the advantage of a
occasionally be palpated, stenosis in 15–25%, and located in the main excretory ducts and possi- direct assessment and does allow an inflamma-
inflammation of the duct alone in about 5–10%. bly even as far as the first and second branching tory stenosis to be differentiated from a fibrous
Anatomic variations or foreign bodies (the latter ducts may be successful in the hands of the skilled stenosis. The major of the inflammatory stenoses
difficult to comprehend) are only about 1–3%. In endoscopist of which most general surgeon will may be treated non-operatively with irrigation the
past as Koch M, et al. (Otolaryngology Clinics not be. The stones may be fragmented during in- and intraductal steroid placement. In regard to of
North America 2009;42:1173–1192) point out tervention and the fragments then retrieved by the submandibular gland, symptom free steno- the
operative removal of the gland was recom- endoscopically controlled means. Micro-instru- sis, especially if one can recognize atrophy of the mended
as the therapeutic method of choice after ments also exist but probably will require a spe- gland require no or exclusively conservative form
unsuccessful non-operative treatment. As with cialist. Radiologically controlled or fluoroscopic of treatment. The basic treatment rule applies for
many other things, minimally invasive techniques methods can be preformed with a success rate symptomatic stenosis, as inflammatory stenoses
 Chapter 23: Lip Reconstruction 315

are treated primarily non-operative whereas fi- Ranulas, so named for frogs, may be the result Finally Yu C, et al. Journal of Oral and Maxillo-
brous stenoses are operated on. This is an exten- of inspissated mucus and may not be an indica- facial Surgery 2010; 68:1770–1775 writing from the
sive paper and the detail that is contained in it is tion of malignancy or a situation which requires Shanghai 9th People’s Hospital at Shanghai Univer-
beyond the scope of what I wish to impart but it excision of the duct or the gland. Should such sity report on endoscopy observation and manage-
is readable and informative and the practitioner excision be required however Kauffman RM, ment of obstructing submandibular sialadenitis.
who deals with these may want to avail them- et al., Laryngoscopoe 2009;119:502–507 propose 128 cases, a very substantial number, were identi-
selves of the wisdom in this particular paper. a transoral surgical approach to excising the fied endoscopically and radiographically. They had
Beahm, David D, et al. (International Journal submandibular gland. They describe relevant three types of sialoliths in 114 or 89%, mucus plugs
of Surgery 2009;7:503–509) reviewed the surgical anatomy and what to avoid. They describe nine in 8 (6%) and stenosis in 5% (6). 47 were removed
approaches to the submandibular gland. Surgi- patients in which this approach was attempted successfully for a success rate of 92% of 51 obstruc-
cal incision of the submandibular gland is com- over the past ten years. Of the nine patients who tions treated surgically. Of 63 patients treated us-
monly indicated in patients with neoplasm or oc- underwent attempted transoral submandibu- ing interventional sialendoscopy, 52 were removed
casional with chronic sialadenitis and ranula and lar gland excision, eight operations were com- with a success rate of 83%. The remaining unsuc-
drooling. In the past, traditional SMG surgery has pleted transorally and only one operation was cessful cases were treated endoscopically or surgi-
involved a direct transcervical approach while aborted and converted to a standard external cally. Obstructive symptoms were relieved in 12 of
more recently alternative approaches through approach because of severe scarring. Six of the 14 patients without stones using dilation and ir-
the submandibular gland excision have been de- nine patients had chronic sialadenitis and three rigation under sialendoscopy. Of the 114 patients
scribed to avoid scarring and to offer minimally had obstructing sialoliths. Three other patients with a stone, the sialoliths of 67 (59%) in the distal
invasive options with better cosmetic results. presented with other benign cystic lesions con- region behind the first molar. It stands to reason
In this paper the authors utilize dissection of sistent with a ranula, an infected mucocele, and that their conclusion that the more posterior the
cadavers which were dissection via both the a cystic teratoma. The only complication with a stone the more difficult it was to remove and that
transcervical and transoral approaches together patient with incisional breakdown and delayed was correct. Three patients with treatment failure
with the use of endoscopic assistance when indi- healing because of a prior irradiated field. The underwent resection of the gland. A basin-like
cated. The authors conclude that while tradition lingual nerve, or hypoglossal nerves, were spared structure in the hilus region was found in 67%. In
submandibular gland excision (nobody seems to and there were no hemostatic complications. The 5 patients a fishbone was found surrounded by a
both much with the submaxillary gland) a direct authors conclude that this option actually is safe sialolith. The authors conclude that this is a rela-
transcervical approach is what is preferred. The and there are no external scars. Obviously some tively new technique and is sparing of the subman-
modes of excision include open, endoscopic and skill and association with a thorough knowledge of dibular gland and holds great promise. I agree.
robotic-assisted dissections. anatomy is useful. J.E.F.

23 Rekonstruksi Bibir
Bernard T. Lee and Samuel J. Lin

The Head and Neck

Rekonstruksi bibir secara parsial atau total
dapat timbul pada keadaan seperti trauma,
rekonstruksi cacat ablatif, dan pengaturan
kongenital. Karena karsinoma bibir adalah
keganasan rongga mulut yang paling umum
(sekitar 30%), penting untuk memiliki rencana
yang jelas untuk rekonstruksi. Tujuan utama
dari rekonstruksi bibir adalah untuk
memberikan hasil fungsional dan estetika.
Untuk mengembalikan fungsi, akses ke rongga
mulut harus dikembalikan bersama dengan
kompetensi oral. Pemulihan penampilan
estetika sama pentingnya dengan bibir adalah
titik fokus untuk ekspresi wajah dan verbal.
Kerusakan bibir diklasifikasikan
berdasarkan ketebalan, lokasi, dan ukuran
keseluruhan. Karena cacat ini mungkin
melibatkan kulit, otot, dan mukosa, rencana
perawatan harus dirancang untuk
merekonstruksi setiap lapisan secara
individual. Lokasi ini juga penting karena
perbatasan vermilion, kolom filtral, dan
commissure terbukti menjadi daerah yang
sulit untuk direkonstruksi. Akhirnya, ukuran
cacat berkorelasi dengan kemudahan (atau
kesulitan) rekonstruksi; secara umum, cacat
<30% dapat ditutup dengan flap kemajuan
lokal; namun, cacat> 60% sering memerlukan
opsi penutupan yang rumit atau banyak.
Ada perbedaan tambahan antara
rekonstruksi bibir atas atau bawah. Dua
struktur ini memberikan fungsi dan estetika
yang berbeda. Pemulihan estetika pada bibir
atas lebih menantang karena hasilnya lebih
terlihat dan bekas luka kurang memaafkan.
Regulasi fungsional bibir atas dan bawah
memiliki tujuan yang berbeda karena kedua
struktur tersebut dinamis secara independen.
Fungsi bibir bawah dalam banyak sumbu
untuk mempertahankan kompeten oral;
namun, fungsi bibir atas tidak hanya
mencakup kemampuan oral, tetapi juga
berperan dalam fonasi dan bicara.
Meskipun ada banyak pilihan berbeda
dan eponim spesifik yang terkait dengan
rekonstruksi bibir, pemahaman prinsip jauh
lebih penting. Seperti halnya cacat apa pun,
"tangga" rekonstruktif berlaku untuk
rekonstruksi bibir sehubungan dengan
ukuran cacat, kondisi pasien, dan tujuan
operasi. Rentang opsi berkisar dari
penyembuhan luka dengan niat sekunder,
penutupan primer, cangkok kulit, cangkok
komposit, flap lokal, flap regional, dan
transfer jaringan gratis dengan tingkat
kompleksitas tambahan berdasarkan pada
cacat yang ada..
Penyembuhan luka dengan niat sekunder
seharusnya tidak menjadi pilihan dalam
rekonstruksi bibir kecuali dalam keadaan yang
paling mengerikan. Secara umum, penyembuhan
dengan niat sekunder akan menyebabkan
pembentukan cicatrix, membatasi mobilitas,
kemampuan berbicara, dan kemampuan oral.
Cangkok kulit split-thickness menyediakan
cakupan cacat sementara tetapi memiliki hasil
estetika yang kurang memuaskan di sebagian
besar area bibir dan terlihat jelas bahkan
bertahun-tahun pasca operasi. Cangkok kulit
full-thickness berguna untuk koreksi sekunder
kontraktur bibir tetapi, seperti cangkok split-
thickness, meninggalkan bekas luka yang nyata.
Kualitas dan tekstur bibir sangat
sulit untuk diciptakan kembali; oleh
karena itu flap lokal merupakan pilihan
terbaik untuk cacat yang tidak dapat
ditutup terutama. Struktur khusus
bibir seperti vermilion atau mukosa
idealnya direkonstruksi dengan
jaringan lokal yang tersedia, karena
tidak ada alternatif yang memadai.
Meskipun flap lokal memberikan
kesesuaian warna yang sesuai,
ketebalan rekonstruksi bibir yang
memadai, dan jaringan parut yang
dapat diterima secara umum dalam
pengaturan trauma atau peregangan
tumor, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Segmen yang dialihkan
mungkin agak
316 Part III: The Head and Neck
adynamic transfer berikut; Selain itu, revisi
sekunder mungkin diperlukan karena efek
“bantalan pin” dari berbagai tingkat jaringan
asli versus flap. Rekonstruksi commissure
membutuhkan penataan jaringan lokal
khusus yang berada di luar lingkup bab ini
(mis., Z-plasties, V-Y advance flaps).
Kontraktur luka dapat menciptakan
distorsi lebih lanjut setelah rekonstruksi dan
menyebabkan hasil fungsional dan estetika
yang buruk. Bekas luka parut bermasalah dan
bahkan dengan perencanaan lokasi bekas luka
yang ideal dapat mengompromikan hasil yang
sangat baik dari waktu ke waktu. Mikrostomia
adalah komplikasi lain yang terlihat pada
rekonstruksi bibir dan harus dihindari jika
memungkinkan. Akhirnya, tidak seperti
struktur khusus wajah lainnya (telinga,
hidung, mata), tidak ada prosedetik yang dapat
menggantikan rekonstruksi..
Sebelum melanjutkan dengan prosedur
rekonstruktif, penting untuk mendiskusikan
dengan harapan realistis pasien dan keluarga.
Karena dalam keadaan yang paling tidak
mungkin untuk mengembalikan bibir normal,
dokter bedah harus menetapkan tujuan yang
realistis. Seiring dengan persetujuan,
dokumentasi foto pra operasi dan pasca
operasi penting untuk rekam medis, terutama
dalam pengaturan cedera traumatis yang
dapat mengarah pada tinjauan medikolegal .
ANATOMI
Bibir dapat digambarkan sebagai
memiliki bentuk heksagoal dengan
bantalan superior dan inferior, dan
perbatasan lateral berpasangan baik
superior dan inferior. Perbatasan ini
terdiri dari persimpangan jaringan
khusus, vermilium, antara kulit dan
mukosa rambut. Perbatasan superior
adalah dalam bentuk busur Cupid,
bentuk lengkung dengan dua lubang.
Kedua apeks ini mewakili
persimpangan bawah ke kolom filtral,
yang meluas secara superior ke dasar
Table 1 Reconstruction of the Upper Lip
Method Use
Primary closure Defects up to 30% of lip
A to T closure Superficial defects up to 30%
Perialar crescentic Lateral lip defects 30% to 60%
excision
Abbe/Estlander Defects 30% to 60% of lip
Karapandzic (reversed) Defects greater than 60% of lip
hidung. Perbatasan vermilion-cutaneous
memiliki gulungan putih yang dapat dengan
mudah dilihat di haluan Cupid. Vermilion
dipisahkan menjadi permukaan kering dan
basah; vermilion kering merupakan warna
merah dari bibir luar dan permukaan basah
adalah batas mukosa tempat kontak bibir atas
dan bawah.
Anatomi otot terutama terdiri dari otot elips
orbicularis oris, yang melingkari bibir sebagai
sfingter. Otot memiliki delapan segmen,
masing-masing dalam distribusi berbentuk
kipas dari modiolus. Di bibir atas, otot
orbicularis oris menyisipkan filamen yang
berlawanan dan secara fungsional menekan
dan mengerutkan bibir. Otot-otot tambahan
berfungsi untuk mengangkat atau menekan
bibir. Leva tor labii superioris, levator anguli
oris, dan zygomaticus mayor dan minor
meninggikan bibir atas. Depresor labii
inferioris dan otot depresor anguli oris
menekan bibir bawah; yang terakhir juga
menggerakkan komando inferior dan lateral.
Akhirnya, otot meninggi mengangkat dan
menjulur ke bagian tengah bibir bawah.
Cabang bukal dari saraf wajah
mengganggu saraf orbicularis oris dan
mengangkat. Cabang marginal mandibula
saraf wajah menginervasi penekan bibir
bawah. Saraf infraorbital memberikan
persarafan sensorik ke bibir atas sedangkan
saraf mental memasok bibir bawah.
Pasokan vaskular utama ke bibir adalah
dari cabang-cabang arteri wajah karena
arteri labial superior dan infra-merah
masing-masing memasok bibir atas dan
bawah. Arteri wajah memasok arteri lateral
nasal dan angular, keduanya penting untuk
suplai darah flap lokal.
INDIKASI
Indikasi untuk rekonstruksi bibir langsung
karena etiologi yang paling umum adalah
dari neoplasma atau trauma. Tumor bibir
yang paling umum adalah sel skuamosa
Advantage
No additional incisions
Closure of defects adjacent to
vermilion
Good scar location
Potential for sensory
restoration
Full-thickness lip tissue
transfer
Restoration of orbicularis oris
Preservation of muscle and Microstomia
sensory function
karsinoma, yang mempengaruhi bibir bawah
lebih dominan. Tumor paling umum pada bibir
atas adalah karsinoma sel basal. Eksisi
lengkap tumor dengan margin yang jelas
diperlukan sebelum rekonstruksi yang
kompleks; Bedah mikrografi Mohs lebih
disukai di banyak pusat untuk mencapai
kontrol lokal.
Rekonstruksi bibir setelah trauma paling
sering terlihat setelah gigitan anjing. Cedera ini
seringkali kompleks dan tebal penuh. Dalam
pengaturan bagian komposit yang besar,
replantasi mikro diindikasikan jika pembuluh
labial dapat diidentifikasi. Luka bakar
pediatrik pada komisura sebelumnya sering
terjadi pada anak-anak yang menggigit kabel
listrik; Namun, cedera ini menjadi sangat
langka.
PENGOBATAN
Rekonstruksi bibir memerlukan pendekatan
individual karena tidak ada dua cacat yang
sama. Cacat bibir atas (Tabel 1)
diperlakukan secara berbeda dari cacat
bibir bawah (Tabel 2) dan akan dibahas
secara terpisah. Karena perawatan cacat
superfisial sangat berbeda dibandingkan
dengan cacat full-thickness, mereka juga
akan dibahas secara terpisah. Akhirnya,
rekonstruksi vermilion dan commissure
penting dan sulit dan akan dibahas pada
akhir bab ini.
BIBIR ATAS
Anestesi regional untuk bibir atas dapat
dilakukan dengan blok saraf infraorbital. Saraf
infraorbital terletak 7 mm di bawah tepi
infraorbital dan di garis midpupilary lateral ke
ala. Jarum 25-gauge dimasukkan lateral ke
dasar alar dan diarahkan secara superior
kearah infraorbital. Pendekatan intraoral juga
dapat digunakan dengan menyuntikkan
langsung di atas gigi taring.
Disadvantage Potential complications
May shorten lip Change in oral competence
Only for small defects Vermilion notching
Can only be used for Vermilion notching
isolated defects at
the lateral lip
Staged surgery Vascular compromise
Relative microstomia Vermillion notching
Lip asymmetry
Poor scar location
 Chapter 23: Lip Reconstruction 317

Table 2 Reconstruction of the Lower Lip

Method Use Advantages Disadvantages Potential complications
Primary closure Defects up to 30% No additional incisions May shorten lip Change in oral competence
Visible hypertrophic scar
A to T closure Superficial defects Closure of defects adjacent to vermilion Only for small defects Vermilion notching
Abbe/Estlander Defects 30% to 60% Potential for sensory restoration Staged surgery Vascular compromise
Full-thickness lip tissue transfer Relative microstomia Vermillion notching
Restoration of orbicularis oris Temporary denervation Lip asymmetry
Gillies fan Defects 30% to 60% Less microstomia Lack of motor and sensory Oral incompetence
function
Karapandzic Defects 30% to 60% Preservation of muscle and sensory Microstomia Poor scar location
function Inversion of vermillion
Bernard–Burrow– Up to total lip defect Good aesthetic result Microstomia Postoperative drooling
Webster Potential for preservation of muscle Insensate
function
Fujimori gate Up to total lip defect Closure of large defects Adynamic reconstruction Vascular compromise

Cacat yang Dangkal
Defek superfisial pada bibir atas adalah umum
dari reseksi karsinoma sel basal. Cacat yang
berukuran lebih kecil dari 1 cm biasanya
ditutup terutama dengan perlakuan tidak
bijaksana. Arah penutupan lebih disukai
membuat sayatan vertikal untuk menutupi
dalam garis ketegangan kulit yang santai.
Cacat mukosa sering ditutup terutama atau
dibiarkan sembuh sekunder.
Pilihan untuk penutupan cacat yang
berukuran 1 hingga 2 cm didasarkan pada
lokasi. Untuk defek lateral, flap muka pipi dapat
memfasilitasi penutupan saat jaringan lateral
direkrut ke garis tengah. Untuk cacat medial
Lesi yang berdekatan dengan batas vermilion
paling baik dibangun kembali dengan
penutupan A to T. Cacat yang terletak di
dalam philtrum dapat dibiarkan sembuh
secara sekunder atau direkonstruksi dengan
cangkok kulit ketebalan penuh. Akhirnya, flap
nasolabial berbasis inferior dapat
memberikan cakupan cacat besar pada bibir
atas.
Cacat Kurang dari 30%
Cacat ketebalan penuh membutuhkan
penutupan lapisan mukosa bagian dalam, otot,
dan kulit. Pada defek yang kurang dari 30%
dari bibir atas, penutupan primer
Penutupan primer cacat yang berdekatan
dengan philtrum yang ditutup terutama
dapat menggeser filtrum; namun, seiring
waktu ia akan kembali ke posisi garis
tengahnya.
Kerusakan pada bibir bagian atas
tengah lebih sulit untuk dikoreksi
ketika ketebalannya penuh. Penutupan
primer pada philtrum akan
menghasilkan penampilan datar pada
bibir atas. Pilihan terbaik untuk
rekonstruksi cacat sentral adalah flap
sakelar bibir Abbe (Gbr. 2A, B).
Prosedur dua tahap ini mentransfer
lipap bibir bawah dengan ketebalan
penuh dengan pedikel vaskular di
perbatasan vermilion yang mencakup

The Head and Neck

yang berdekatan dengan philtrum, flap aditif
perialar crescentic sering digunakan (Gbr. 1).
dimungkinkan setelah reseksi irisan tanpa arteri labial. Flap dirancang untuk
risiko pengetatan yang signifikan. Sangat merekonstruksi seluruh subunit
penting bahwa perbatasan vermilion dievaluasi philtral meskipun biasanya lebar flap
kembali dengan cermat karena setiap adalah 50% dari cacat. Setelah 2
kerusakan pada gulungan putih mudah minggu, suplai darah dan pedikel
dibagi.
terlihat.

A B
Fig. 1. Upper lip reconstruction with a perialar Fig. 2. Upper lip reconstruction with an Abbe flap. (A) Lesion of upper lip and Abbe flap creation at
crescentic excision and advancement flap lower lip, (B) after flap transposition to the upper lip. Note that a second-stage procedure is necessary
to divide the vascular supply.
318 Part III: The Head and Neck
Cacat antara 30% dan 60%
Pada cacat yang berkisar antara 30% hingga
60% beberapa flap lokal sering diperlukan
karena penutupan primer tidak
dimungkinkan. Porsi lateral dari defek sering
ditutup dengan flap advance pipi berdasarkan
lateral atau flap cialcentic perialar. Cacat
sentral yang melibatkan filtrum sering
direkonstruksi dengan tutup Abbe yang
disebutkan sebelumnya; namun, cacat besar
hingga 50% bibir dapat direkonstruksi dengan
lipatan ini juga. Flap nasoklial merupakan
alternatif lain untuk defek pada kisaran
ukuran ini. Cacat bibir lateral yang melibatkan
komisur terbaik direkonstruksi dengan lipatan
Estlander, yang merupakan modifikasi dari
lipatan Abbe dan juga menggunakan jaringan
bibir bawah untuk rekonstruksi.
Cacact Lebih dari 60%
Cacat bibir atas yang besar jarang terjadi dan
menimbulkan tantangan yang sulit. Sekali
lagi, beberapa flap akan diperlukan. Sebagai
contoh, flap nasional bilateral dan flap Abbe
dapat digunakan untuk menciptakan cacat
sentral yang besar. Pasien dengan sedikit
kelemahan kulit direkonstruksi terbaik
dengan flap Karapandzic terbalik. Dengan
merekrut area besar jaringan yang
berdekatan, mikrostomi sering terjadi setelah
flap Karapandzic.
Dengan tidak adanya jaringan lokal yang
cocok, transfer jaringan gratis mungkin
diperlukan. Flap bebas yang paling umum
digunakan untuk tujuan ini adalah flap lengan
bawah radial. Kesulitan utama dengan flap
bebas untuk rekonstruksi bibir adalah
perbedaan antara donor dan jaringan penerima
karena flap bebas sering besar dengan
kecocokan warna yang buruk. Selain itu,
kurangnya otot dalam rekonstruksi mencegah
mobilitas dan gerak bibir yang tepat. Mungkin
ada graft tendon yang digunakan bersama
dengan radial flap bebas lengan bawah untuk
struktur yang ditempatkan dari satu modiolus
ke modiolus lainnya..
BIBIR BAWAH
Anestesi regional untuk bibir bawah dapat
dilakukan dengan blok saraf mental. Saraf
mental terletak di bidang vertikal yang sama
dengan saraf infraorbital dan garis mid-
pupillary. Eversi bibir bawah akan mengekspos
saraf, yang terlihat di mukosa. Jarum 25-
gauge diperkenalkan di mukosa 1 cm lateral ke
gigi taring di sulkus bukal.
Cacat Superfisial
Penutupan primer dari defek superfisial bibir
bawah sering kali mungkin berkurang
Fig. 3. Primary closure of lower lip defect.
bibir bagian bawah menunjukkan elastisitas
yang besar. Bila perlu, flap kemajuan
bilateral dapat dirancang untuk
memfasilitasi penutupan. Cacat yang
berdekatan dengan perbatasan vermilion
dapat berupa rekonstruksi dengan flap A to
T. Cacat mukosa dapat ditutup secara
primer atau dibiarkan untuk penyembuhan
sekunder.
Cacat Kurang dari 30%
Pada defek ketebalan penuh kurang dari
30% bibir bawah, penutupan primer
sederhana karena mukosa, otot, dan kulit
diaplikasikan kembali dengan penyejajaran
dengan bantalan vermilion. Kurangnya
struktur sentral di bibir bawah
memudahkan penutupan. Bagian inferior
dari sayatan ini harus menghindari labio-
A
Fig. 4. Lower lip reconstruction with an Estlander flap. (A) Lesion of lower lip and Estlander flap cre-
ation at lateral upper lip. (B) After transposition to the lower lip.
lipatan mental jika memungkinkan karena pita
hipertrofik dapat terbentuk. Konversi dari
sayatan ke eksisi W-plasty atau berbentuk
barel mungkin diperlukan .
Cacat Antara 30% dan 60%
Seperti dalam kasus bibir atas,
penutupan lesi bibir bawah dengan
ukuran ini mungkin memerlukan
beberapa lipatan. Flap Abbe dua tahap
dapat digunakan untuk rekonstruksi
bibir bawah, merekrut jaringan dari bibir
atas lateral. Flap Abbe harus dirancang
pada 50% dari lebar cacat bibir bawah.
Jumlah maksimal jaringan donor dari
bibir atas adalah seperempat dari bibir,
atau 2 cm. Pada lesi yang melibatkan
komisura, lipatan Estlander juga dapat
digunakan untuk cacat kecil. Gambar 4A,
B). Tutup ini, bagaimanapun, dapat
menyebabkan mikrostomia.
Untuk lesi yang lebih besar yang tidak
melibatkan commissure, flap kipas Gillies dapat
dirancang (Gbr. 5). Seperti flap Estlander, flap
Gillies adalah kemajuan rotasi jaringan pipi
berdasarkan arteri labial superior. Flap
didasarkan secara lateral dan terletak di sekitar
komisura, memajukan jaringan dari lipatan
nasolabial. Desain flap melindungi jaringan, yang
bisa bermasalah dengan fungsinya.
Flap Karapandzic pada dasarnya adalah
modifikasi dari flap Gillies; namun
demikian, motor ini mempertahankan
fungsi motorik dan sensorik (Gbr. 6). Karena
fungsi otot dipertahankan, ia memberikan
keuntungan tertentu dibandingkan flap
Gilles. Insisi perioral dibuat sepanjang
lipatan nasolabial dan persarafan otot
orbicularis dipertahankan. Mikomia umum
terjadi dan bekas luka kulit tidak
tersembunyi dengan baik.
B

Fig. 5. Lower lip reconstruction with a Gillies fan
flap.
Cacat Lebih dari 60%
Rekonstruksi cacat lebih dari 60% bibir bawah
merupakan tantangan yang sulit. Beberapa
lipatan sering diperlukan seperti pada bibir atas
dan lipatan Abbe sering digunakan dalam
kombinasi dengan prosedur lain. Cacat defek
bibir bawah subtotal sering melibatkan Gillies
bilateral atau flap Karapandzic.
Flap Bernard – Burrow – Webster dapat
digunakan untuk cacat bibir bawah yang besar
(Gbr. 7). Kemajuan kulit pipi medial dan
jaringan subkutan dikombinasikan dengan
eksisi tri-sudut pada lipatan nasolabial dan
dagu lateral. Struktur neurovaskular dapat
dipertahankan untuk mempertahankan fungsi
otot dan mukosa digunakan untuk
merekonstruksi
Fig. 6. Lower lip reconstruction with a Karapandzic
flap.
Fig. 7. Lower lip reconstruction with a Bernard–
Burrow–Webster flap.
merah terang. Cacat bibir bawah hampir
total dapat direkonstruksi dengan flap ini.
Total bibir bawah dapat direkonstruksi
menggunakan flap gerbang Fujimori bilateral
(Gbr. 8). Flap nasolabial besar ini inferior
berdasarkan pada arteri sudut; Namun, animasi
bagian atas dapat dipengaruhi dari pelestarian.
Rekonstruksi vermilion dilakukan dengan
merekrut mukosa atau lidah yang berdekatan.
Dengan tidak adanya pilihan lokal yang tersedia
untuk rekonstruksi, transfer jaringan gratis
mungkin diperlukan.
VERMILION
Vermilion memanjang dari persimpangan bibir
atas dan bawah dengan eksternal
Fig. 8. Lower lip reconstruction with a Fujimori
gate flap.
Chapter 23: Lip Reconstruction 319
kulit wajah ke permukaan mukosa di dalam
bibir. Vermilion "basah" didefinisikan
sebagai area mukosa yang kontak antara
bibir atas dan bawah. "Kering" vermilion
didefinisikan sebagai warna eksternal
merah muda ke merah dari bibir yang tidak
bersentuhan antara bibir atas dan bawah.
Gulungan putih vermilion adalah area
jaringan yang diposisikan antara mukosa
vernis dan kulit bibir. Struktur ini sangat
penting untuk berfungsi sebagai tengara
ketika membangun kembali bibir. Seperti
halnya struktur dalam tubuh, penting
untuk merekonstruksi lapisan anatomi yang
terlibat. Secara khusus, otot-otot orbicularis
penting untuk memperbaiki selain
permukaan mukosa bibir dan vermilion
basah / kering. Secara umum, pada posisi
istirahat, bibir atas menonjol 2 sampai 3
mm di depan bibir bawah. Selain itu,
konstruksi ulang bibir harus mengatasi
ketidakmampuan bibir; misalnya, dengan
gigi atas dan bawah dalam posisi tertutup,
and lower lips should meet. Any discrep-
ancy or step-offs on the order of 1 to 2 mm
in the vermilion may be noted at conversa-
tional distance.
Saat menandai gulungan putih dan
tanda bibir, banyak ahli bedah
menggunakan jarum hipodermik 25-
gauge. Aspek berlubang dari jarum
hipodermik dapat berguna dalam
mengontrol jumlah pewarna yang
ditransfer ke cutis. Penting untuk
mengaplikasikan metilen biru dengan
hemat ketika mendegradasi batas
anatomi bibir untuk menghindari
limpasan pewarna ke dalam bidang
bedah yang mengubah tanda.
Untuk cacat yang lebih kecil pada
The Head and Neck
vermilion, penutupan primer atau
reseksi irisan parsial merupakan opsi
lini pertama yang potensial. Cangkok
mukosa gratis dari langit-langit mulut
adalah pilihan lain untuk cacat terbatas
vermilion kurang dari 2 cm. Meskipun
ini menambahkan situs donor ulang
tambahan, ini adalah situs donor graft
yang berpotensi berguna yang memiliki
kegunaan lain dalam pembangunan
kembali.
Untuk perbedaan kecil perbatasan putih dan
perbatasan vermilion, Z-plasty sederhana
mungkin memadai. Untuk cacat vermilion yang
lebih luas, flap kemajuan V – Y mungkin
diperlukan. Dalam kasus hampir total atau total
ablasi vermilion (mis., Pencukuran bibir atau total
vermilionectomy), ada beberapa opsi. Salah satu
pilihan melibatkan kemajuan jaringan mukosa
labial yang ada sebagai flap bipedicled. Meskipun
awalnya mungkin ada perbedaan warna antara
flap mukosa dan bibir asli, paparan kronis di luar
rongga mulut menyebabkan keratinisasi
rekonstruksi dari waktu ke waktu. Pilihan flap
bertangkai lokal lainnya adalah flap lidah anterior.
Flap lokal ini membutuhkan prosedur bertahap
yang melibatkan pemasangan awal flap ke bibir
dan pembagian pedikel flap berikutnya.
320 Part III: The Head and Neck
Untuk cacat yang melibatkan komis oral,
tersedia mukosa mukosa bukal lokal. Flap
musculomucosal arteri wajah (FAMM) adalah
flap aksial yang berguna yang dapat
digunakan untuk berbagai cacat rongga
oronasal; flap FAMM adalah opsi untuk
reseksi vermilion lebih besar dari 40%. Pada
kasus tertentu, flap otot orbicularis oris lokal
merupakan opsi untuk menambahkan bulk
pada rekonstruksi bibir.
Commissure
Rekonstruksi commissure membutuhkan
pemahaman tentang struktur anatomi
yang unik dari daerah ini. Commissure,
daripada hanya menjadi "sudut" mulut,
memiliki kemampuan khas memiliki
penampilan sudut pada posisi istirahat
atau dengan mulut sedikit terbuka,
sementara pada saat yang sama mampu
sepenuhnya memanjang hingga panjang
ketika mulut sepenuhnya terbuka.
Demikian pula, itu adalah jebakan untuk
hanya mencoba merekonstruksi komisura
sebagai sudut akut intraoperatif. Selalu,
sudut akut ini bertindak sebagai
penyempitan yang dapat membatasi
kemampuan pasien untuk mengucapkan
kata-kata tertentu, memberi makan
secara lisan, sepenuhnya dapat
menggunakan mulut / bibir mereka
untuk ekspresi wajah, dan memiliki
perjalanan penuh mulut. Pada pasien
yang datang untuk prosedur revisi setelah
rekonstruksi bibir, penglihatan
komissuroplasti tetap menjadi prosedur
yang dilakukan sering berputar
pelepasan cicatrix dan memberikan
perjalanan yang lebih besar dari bibir.
Untuk cacat yang lebih kecil dari komisal
oral yang melibatkan komisura dan tidak lebih
dari 1 cm dari bibir atas atau bawah, lipatan
maju vermillion dan penutupan komisura A ke
T adalah salah satu pilihan. Dalam
pengaturan ini, lipatan muka vermillion
dilakukan untuk lapisan oral, dan cacat
eksternal dikonversi menjadi hampir sama
kaki segitiga sebelum eksisi kerucut kerucut
untuk menutup cacat..
Untuk cacat yang lebih kecil dari komisal
oral yang melibatkan komisura dan tidak
lebih dari 1 cm dari bibir atas atau bawah,
lipatan maju vermillion dan penutupan
komisura A ke T adalah salah satu pilihan.
Dalam pengaturan ini, lipatan muka
vermillion dilakukan untuk lapisan oral, dan
cacat eksternal dikonversi menjadi hampir
sama kaki segitiga sebelum eksisi kerucut
kerucut untuk menutup cacat..
Metode yang dijelaskan lainnya dari
rekonstruksi commissure termasuk Fries,
Gillies dan Millard, Platz dan Wepner,
Converse, Zisser, Converse, dan Kazanjian
Roopenian I dan II. Meskipun flap ini berada di
luar ruang lingkup bab ini, secara umum
metode lain menggunakan kombinasi flap
tambahan dari pipi lateral yang ada dan
mungkin melibatkan flap lanjutan dari mukosa
mulut..
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ingin berterima kasih kepada Carin
H. Han atas bantuannya dengan gambar
dan ilustrasi.
BACAAN YANG DISARANKAN
Abbe R. A new plastic operation for the relief
of deformity due to double harelip. Med Rec
1898;53:477.
Estlander JA. A method of reconstructing loss of
substance in one lip from the other lip. Arch
Klin Chir 1872;14:22.
Fujimori R. Gate flap for the total reconstruction
of the lower lip. Br J Plast Surg 1980;33:340.
Godek CP, Weinzweig J, Bartlett SP. Lip recon-
struction following Mohs’ surgery: the role for
composite resection and primary closure. Plast
Reconstr Surg 2000;106:798.
Karapandzic M. Reconstruction of lip defects by
local arterial flaps. Br J Plast Surg 1974;27:93.
MacGregor IA. Reconstruction of the lower lip.
Br J Plast Surg 1983;36:40.
Tobin GR, O’Daniel TG. Lip reconstruction with
motor and sensory innervated composite flaps.
Clin Plast Surg 1990;17:623.
Walton RL, Beahm EK, Brown RE, et al. Microsur-
gical replantation of the lip: a multi-institution-
al experience. Plast Reconstr Surg 1998;102:358.
Webster JP. Crescentic peri-alar cheek excision
for upper lip flap advancement with a short
history of upper lip repair. Plast Reconstr Surg
1955;16:434.
Zide BM. Deformities of the lips and cheeks. In:
McCarthy JG, ed. Plastic surgery, Vol 3. 9th ed.
Philadelphia: WB Saunders; 1990;2009.

EDITOR’S COMMENT closure. It is important, as the authors state, be- are generally restricted to defects confining less
tween the upper and the lower lip. The two struc- than two-thirds of the lip to avoid microstomia.
tures provide different degrees of function and In the current practice the reconstruction of
Reconstruction of the lip is perhaps one of the aesthetics. The upper lip is more challenging; the defects in excess of this usually involves advanc-
most sensitive and functionally important re- result is more visible; and, as the authors state, ing flaps that require significant cheek laxity or
pairs in plastic surgery. While carcinoma of the “the scars are less forgiving.” A functional restora- free tissue transfer. In this paper the authors
lip is the most common oral cavity malignancy, tion of the upper and lower lip has different goals describe a lower lip reconstruction technique in
it is crucial to have a clear plan for reconstruc- as both structures are dynamic “independently”; which the flaps are extended by recruiting tissue
tion. Briefly stated, the major goals of lip recon- the lower lip functions in multiple axes and is re- from the perioral cheek, allowing reconstruction
struction (lips after all are one of the first things quired to retain oral competence so the patient “of near-total and total lower lip defects which
that an individual sees in another human being) does not drool and is able to hold their food. The would normally not be reconstructible using the
are to provide both a functional and an aesthetic upper lip functions include not only oral compe- standard technique.” Of course, neurovascular
outcome and access to the oral cavity for eat- tency, but also speech and phonation. structures are carefully dissected and maintained
ing, which must be restored together with oral Many of the repairs that are described are to ensure enervation and perfusion. They report
competency so that the patient does not drool. specifically eponymic but the understanding of eight patients underwent successful single-stage
The lips are the focal point for facial and verbal principle is much more important. The healing lower lip reconstruction. Three cases required
expression, so doing a first-class cosmetic recon- needs to be by primary intention; otherwise, bilateral extended Karapandzic flaps for total
struction is essential. scarring is extraordinarily difficult. Having said lower lip defects. In five additional cases, only
The defects may involve muscle, mucosa, that, the evolution of the various types of flaps unilateral Karapandzic flaps were combined with
skin, the vermillion, the white roll, the philtral has gone in one direction, that is, incorporation other flaps, done locally, for near-total defects.
column, and the commissure, which may prove of other different types of tissue including muscle The critical test of success was that all patients to
be difficult areas to reconstruct. The success in from orbicularis oris, for example, or parts of the achieved oral competence at normal or near- lip
reconstruction relates to the size of the defect cheeks that are innervated and in general things normal mouth opening. Complications included and
the ease or difficulty of reconstruction. De- that will extend the range of lip repair has be- one fistula that healed with conservative therapy fects
less than 30% are usually closed with local come more common. For example, Hanasono and and one hematoma. The authors in denominating
advancement flaps as the author states. However, Langstein (Plast Reconstr Surg 2011;127:1199– the advantages of this approach indicate that the
when defects in the upper or low flips are greater 205) describe Karapandzic flaps, which consist color match of the reconstructed lip is superior
than 60%, the repairs require complex and mul- of well-vascularized, sensate lip tissue that have to reconstructions relying on tissue transfer from
tiple reconstructions and different options for been elongated because the Karapandzic flaps distant sites. Given the fact that one looks at an
 Chapter 24: Surgery for Cancer of the Oral Cavity 321

individual straight on with a local reconstruction, However, considering the defect that one began significance was achieve in columella-to-Cupidís
it is no wonder that the authors claimed that this with, the proper Cupidís bow that relates this bow distance, nostril gap area, and nostril height
extensive repair is complex, takes a long time, but seems to be an excellent way to go about a dif- (P < 0.08, P < 0.001, and P < 0.001.) The alar
probably does extremely well for the patient. ficult repair. base-to-interpupillary distance is shown in Fig-
Another extension of partial-thickness ver- Cleft lips and palates are some of the most ure 2 and the nostril gap area is measured in
milion defect with a mucosal V-Y advancement difficult repairs for young people particularly in Figure 1. Both pictures are convincing, and, of
flap encompassing the orbicularis oris muscle developing countries. Gosla-Reddy et al. (Plast course, as the old wheeze a typical result is shown is
reported by Jin et al. from Peking Union Medi- Reconstruct Surg 2011;127:761–7) reported on a (meaning itís our best one) but it is impressive. cal
College ( J Plast Reconstr Aesthetic Surg 2011, complete unilateral cleft lip utilizing an Afroze In commenting on this paper, S. Anthony Wolfe,
64:472–6). They once again begin by stating that incision with primary septoplasty and evaluated a Millard trainee working in Florida, compared
when the length of defect is greater than half the by a standardized two-dimensional photographic two incisions to repair a complete unilateral cleft
vermilion and the width of the defect is greater analysis. This is a high-volume center in which lip. The author again comes down on the side of
than 1.5 cm it is impossible to correct this defect there were 1,200 patients reported, of which a the rotation advancement for all unilateral clefts.
using the traditional mucosal V-Y advancement prospective cohort study of 190 consecutive pa- He states that he does not perform precisely the flap.
They therefore describe a modified mu- tients with complete unilateral cleft lip and al- way Millard illustrated in Cleft Craft but by using cosal
V-Y advancement flap in which they have veolus with cleft lip were treated with or without the McComb method for nasal correction, which recruited
the orbicularis oris muscle and point septoplasty using the Afroze incision technique. often does not require a vestibular incision. The out that this
flap possesses the mobility sufficient Of the 190, 76 patients with primary septoplasty photographs look very nice and it would appear to serve as the
pedicle for transfer and for repair were evaluated and compared with 82 operated that when Dr. Wolfe is finished with this that it is of large vermilion
defects. Eight patients were on without septoplasty. The evaluation was car- very difficult to tell that the patient was born with repaired in this
fashion between August 2006 ried out by assessing symmetry with alar base- a crippling cosmetic defect. Certainly activities and January 2009.
A satisfactory cosmetic and to-interpupillary line distance, columella-to- such as this are in the highest level of craft and functional outcome
occurred in all cases, which Cupidís bow distance, nostril gap area, nostril can be commended for any child who has his or in fact is correct
utilizing the viewing of Figure 2 width, and nostril height. The result in this large her life ahead of him and it is nice to know that and Figure 3 in
the case of the upper lip despite volume of patients indicated that patients oper- it can be reconstructed as well as these children the fact that in
Figure 3 one can tell that there has ated on with primary septoplasty showed more can be.
been some work done on the left side of the face. nasal symmetry than patients without. Statistical J.E.F.

24 Bedah untuk Kanker Rongga Mulut

William R. Carroll

Pada tahun 1893, presiden Amerika Serikat ke- keseluruhan tingkat kelangsungan hidup 5 kanker orofaringeal. Kanker ini lebih sering
24 berlayar dengan kapal pesiar rahasia dari New tahun adalah 61,2. Kesenjangan ras / etnis muncul di orofaring daripada di rongga mulut,
untuk kanker mulut adalah di antara yang sering melibatkan rongga mulut dengan

The Head and Neck

York ke rumah musim panasnya di
Massachusetts. Di atas kapal, dokter telah
mengubah geladak menjadi ruang operasi
darurat. Cleverland dibius dan tumor rongga
mulut ganas direseksi. Presiden kembali meliput
dan hidup 16 tahun lagi. Operasi itu kemudian
digambarkan sebagai prosedur yang luar biasa
untuk saat itu. Ulysses Grant, Sigund Freud,
George Harrison, dan Sammy Davis Jr. semuanya
menderita kanker mulut.
INCIDENCE, MORTALITY,
AND ETIOLOGY
Di seluruh dunia, kanker rongga mulut
adalah jenis kanker keenam yang paling
umum. The American Cancer Society
memperkirakan bahwa 28.500 kasus baru
kanker rongga mulut dan phar-ynx terjadi di
Amerika Serikat pada tahun 2010. Sekitar
7.600 meninggal karena penyakit ini. Usia
rata-rata saat didiagnosis adalah 63 tahun
dan lebih dari 70% pasien adalah laki-laki.
Sayangnya, tingkat kelangsungan hidup
secara keseluruhan untuk kanker mulut
belum membaik secara signifikan dalam 20
tahun terakhir. Data Epidemiologi dan Hasil
Akhir Surveilans (SIER) dari National
Cancer Institute mengungkapkan bahwa
paling mencolok dari semua jenis kanker dan
paling jelas di antara laki-laki. Tingkat
kelangsungan hidup lima tahun adalah 63,7%
untuk pria kulit putih dan 38,3% untuk pria
kulit hitam. Penyebab perbedaan tingkat
kelangsungan hidup yang kemungkinan
termasuk komorbiditas, penyakit stadium
akhir pada presentasi, perbedaan dalam
pengobatan yang diterima, dan kemungkinan
perbedaan biologis pada tumor dan inang..
Delapan hingga sembilan puluh persen
kanker mulut adalah karsinoma sel skuamosa.
Sekitar 90% pasien menggunakan tembakau
dalam beberapa bentuk dan 75%
menggunakan alkohol. Efeknya sinergis dan
risiko relatif mengembangkan kanker mulut
meningkat 16 kali lipat untuk individu yang
menggunakan keduanya. Risiko
mengembangkan tumor primer kedua juga
meningkat secara dramatis pada mereka yang
terus merokok setelah perawatan awal (37% vs
6% risiko).
Kasus kanker mulut yang mengganggu juga
terlihat pada pasien tanpa faktor risiko yang
jelas. Penyebab lain yang mungkin termasuk
trauma berkepanjangan dari gigi yang buruk,
diet rendah buah dan sayuran, imunosupresi,
dan pajanan pada human papilloma virus
(HPV). Subtipe HPV 16 dan 18 terkait erat
dengan kanker serviks dan terlibat dalam 15%
hingga 20% oral dan
ekstensi langsung. Kanker terkait HPV sering
berkembang pada pasien yang lebih muda dan
memiliki prognosis yang lebih baik daripada
tumor non-HPV. Kanker bibir diklasifikasikan
sebagai kanker mulut dan sangat berkorelasi
dengan paparan sinar matahari pada orang
yang berkulit putih. Pasien-pasien yang
didapat dengan sindrom defisiensi imun
(AIDS), penerima transplantasi, dan orang-
orang lain yang mengalami gangguan
kompromi oleh penyakit atau terapi medis
berada pada peningkatan risiko kanker mulut.
Kanker yang terjadi pada orang-orang ini
sayangnya secara biologis sangat agresif.
Perubahan genetik dalam mukosa
mulut dapat diukur dengan baik sebelum
perkembangan karsinoma invasif.
Paparan kronis terhadap karsinogen
merusak DNA di atas bidang mukosa.
"Efek lapangan" dari mukosa yang
berubah dapat menjadi bukti sejauh 7 cm
dari keganasan yang sudah ada.
Perubahan ini dapat mengaktifkan atau
memperkuat onkogen yang mendorong
proliferasi sel tumor dan menghambat
atau menonaktifkan gen penekan tumor.
Sel-sel tumor dapat lolos dari kematian sel
yang diprogram dan berkembang biak
dengan sendirinya. Tujuh hingga delapan
puluh persen dari lesi premaligna oral
mengandung perubahan kromosom 9p21,
yang mengkode
322 Part III: The Head and Neck
gen penekan tumor p16 dan p14ARF. Proses
epigenetik dari metilasi gen-gen ini adalah
mekanisme inaktivasi yang jelas. Mutasi gen
penekan tumor p53 telah menerima banyak
perhatian dalam literatur tetapi mungkin
merupakan peristiwa selanjutnya dalam
transformasi maligant. mutasi p53 pada margin
reseksi juga telah berkorelasi dengan
peningkatan tingkat kekambuhan meskipun
margin yang secara histologis jelas..
ANATOMI
DAN GEJALA
KLINIS
Rongga mulut memanjang dari batas
vermillion bibir ke pilar tonsil anterior (Gbr. 1).
Untuk tujuan pementasan, subsitus berikut
dianggap sebagai bagian dari rongga mulut:
bibir, lidah lisan (dua pertiga anterior), dasar
mulut, mukosa bukal, alveolus atas dan
bawah, palatum keras, dan trigonum
retromolar. Rongga mulut memiliki pasokan
limfatik yang kaya dan metastasis nodal
regional biasanya merupakan tempat
penyebaran pertama. Cekungan limfatik
primer adalah nodus perifacial, jugularis atas,
submandula, dan submental. Situs yang dekat
dengan garis tengah sering mengering secara
bilateral.
Gejala yang paling umum dari kanker
mulut adalah ulkus yang tidak dapat
disembuhkan di mulut diikuti oleh rasa
sakit yang terus-menerus. Gejala umum
Frenulum
Fig. 1. Subsites of the oral cavity.
lainnya termasuk massa, persisten, atau
perdarahan. Trismus, gigi lepas, massa leher,
dan kesulitan berbicara atau menelan
biasanya menunjukkan penyakit yang lebih
parah. Ketika gejalanya menetap lebih dari 3
minggu, pemeriksaan terfokus untuk kanker
mulut sangat penting.
Kanker mulut paling sering muncul di
dasar mulut, diikuti oleh lidah lateral.
Distribusi berdasarkan situs dirangkum
dalam Gambar 1. Diagnosis biasanya dibuat
di kantor dengan pemeriksaan fisik
sederhana dan biopsi menggunakan
anestesi lokal. Kanker mulut seringkali
sangat dapat disembuhkan ketika terdeteksi
pada tahap awal. Hal yang sama tidak
berlaku untuk penyakit tahap selanjutnya.
Kemudahan pemeriksaan dan akses untuk
biopsi membuat keterlambatan pengenalan
penyakit sangat disesalkan.
STAGING AND
DIAGNOSTIC WORKUP
Kanker rongga mulut dipentaskan menurut
pedoman American Joint Commit on Cancer
(AJCC) edisi ke 7 (2010). Tumor T1 hingga T3
dipentaskan hanya berdasarkan ukuran (Tabel
1). Tumor T4 dibagi lagi menjadi T4a dan T4b
sesuai dengan tingkat invasi struktur di
sekitarnya dan daya tanggap pamungkas.
Sistem pementasan TNM belum memasukkan
kedalaman invasi sebagai variabel penentu
untuk tumor rongga mulut. Banyak
Gingiva
Hard palate
Buccal mucosa
Retromolar
trigone
Tongue
Floor of mouth
Namun, para peneliti telah menunjukkan
bahwa kedalaman invasi berkorelasi
langsung dengan frekuensi nodus
metastasis. Sebagian besar ahli merasa
bahwa tumor T1 dengan kedalaman invasi
lebih dari 4 mm memiliki peluang lebih
besar untuk mengembangkan metastasis
nodal daripada tumor T2 atau T3 yang
sangat dangkal..
Pemeriksaan stadium untuk tumor
rongga mulut meliputi pemeriksaan fisik
lengkap dengan pemeriksaan mukosa
terfokus pada saluran aerodigestif bagian
atas dan pemeriksaan nodal yang cermat.
Palpasi rongga mulut yang hati-hati sangat
penting dalam pemeriksaan stadium karena
banyak dari tumor ini memiliki ekstensi
submukosa yang tidak diduga (terutama
kanker lidah). Pemindaian computed
tomography (CT) dari situs utama dan leher
dapat membantu pementasan locoregional
yang akurat. Pencarian untuk metastasis
jauh termasuk radiografi dada dan tes
fungsi hati minimal. CT scan dada dan perut
diindikasikan pada pasien yang dianggap
berisiko lebih tinggi terkena penyakit jauh.
Pemindaian emisi positron (PET) tidak
dianggap sebagai bagian rutin dari
pemeriksaan stadium untuk kanker kepala
dan leher saat ini. Karena tumor primer
kedua terdeteksi pada sekitar 10% pasien,
pemeriksaan di bawah anestesi
(laringoskopi langsung, esofagoskopi)
dilakukan sebelum memulai pengobatan.
Bronkoskopi direkomendasikan hanya
untuk pasien dengan bukti penyakit
subglotis, batuk persisten, atau temuan
radiografi dada yang mencurigakan..
Teknik pencitraan yang dirancang
untuk mendeteksi perubahan displastik
pada mukosa mulut pada akhirnya dapat
meningkatkan deteksi dini dan kontrol
margin untuk kanker rongga mulut.
Mikroskopi konfokal, antibodi
radiolabeled untuk penanda tumor,
pencitraan pita sempit, dan teknologi
fluoresensi multi-panjang gelombang dan
teknologi pemantulan adalah teknologi
yang dirancang untuk mendeteksi
penyakit subklinis pada pasien berisiko
atau untuk mengidentifikasi displasia
pada margin kanker yang diketahui..
PENGOBATAN
Pedoman pengobatan saat ini untuk karsinoma
sel skuamosa kepala dan leher diterbitkan oleh
National Comprehensive Can- cer Network
(www.nccn.org). Pedoman tersebut termasuk
informasi pentahapan, rekomendasi untuk
penilaian pra-perawatan, dan pendekatan yang
seimbang untuk pilihan pengobatan untuk
kanker rongga mulut. Perawatan optimal kanker
kepala dan leher membutuhkan upaya
multidisiplin. Anggota tim termasuk ahli bedah
kepala dan leher, ahli bedah rekonstruksi, ahli
onkologi radiasi, dan ahli kanker medis. Bicara
dan menelan ahli patologi merehabilitasi fungsi
yang hilang selama terapi multimodal. Anggota
tim penting lainnya members
 Chapter 24: Surgery for Cancer of the Oral Cavity 323

Table 1 2002 American Joint Committee on Cancer TNM Staging System for the Lip and Oral Cavity
Primary Tumor (T)
TX Primary tumor cannot be assessed
T0 No evidence of primary tumor
Tis Carcinoma in situ
T1 Tumor 2 cm or less in greatest dimension
T2 Tumor more than 2 cm but not more than 4 cm in greatest dimension
T3 Tumor more than 4 cm in greatest dimension
T4 (lip) Tumor invades through cortical bone, inferior alveolar nerve, floor of mouth, or skin of face (i.e., chin or nose)
T4a (Oral cavity) tumor invades adjacent structures (e.g., through cortical bone, into deep (extrinsic) misuse of tongue (genioglossus,
hyoglossus, palatoglossus, and styloglossus), maxillary sinus, skin of face)
T4b Tumor invades masticator space, pterygoid plates, or skull base and/or encases internal carotid artery
Regional Lymph Nodes (N)
NX Regional nodes cannot be assessed
N0 No regional lymph node metastasis
N1 Metastasis in a single ipsilateral lymph node, 3 cm or less in greatest dimension
N2 Metastasis in a single ipsilateral lymph node more than 3 cm but not more than 6 cm in greatest dimension; or in multiple
ipsilateral lymph nodes, none more than 6 cm in greatest dimension; or in bilateral or contralateral lymph nodes, none
more than 6 cm in greatest dimension
N2a Metastasis in a single ipsilateral lymph node more than 3 cm but not more than 6 cm in greatest dimension
N2b Metastasis in multiple ipsilateral lymph nodes, none more than 6 cm in greatest dimension
N2c Metastasis in bilateral or contralateral lymph nodes, none more than 6 cm in greatest dimension
N3 Metastasis in a lymph node more than 6 cm in greatest dimension
Distant Metastasis (M)
MX Distant metastasis cannot be assessed
M0 No distant metastasis
M1 Distant metastasis
Stage Grouping Histologic Grade (G)
eN
c

k
Stage 0 Tis N0 M0 GX Grade cannot be assessed
Stage I T1 N0 M0 ae

d nd
a
H
Stage II T2 N0 M0 G1 Well differentiated e
Stage III T3 N0 M0 G2 Moderately differentiated

Th
T1 N1 M0
T2 N1 M0 G3 Poorly differentiated
T3 N1 M0
Stage IVA T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
Stage IVB Any T N3 M0
T4b Any N M0
Stage IVC Any T Any N M1

Used with the permission of the American Joint Committee on Cancer (AJCC), Chicago, Illinois. The original and primary source for this information is the AJCC Cancer
Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by Springer-Verlag, New York ( for more information, visit www.cancerstaging.net). Any citation or quotation of this material
must be credited to the AJCC as its primary source. The inclusion of this information herein does not authorize any reuse or further distribution without the expressed,
written permission or Springer Verlag, New York, Inc., on behalf of the AJCC.
Note: Superficial erosion alone of bone/tooth socket by gingival primary in not sufficient to classify as T4.
324 Part III: The Head and Neck
termasuk dokter gigi, prostodontis, nutrisi, dan
pekerja sosial. Untuk pasien dengan penyakit
lanjut atau berulang, rekomendasi pengobatan
dipertimbangkan secara optimal dalam format
papan tumor multispesialis. Pendekatan tim yang
terkoordinasi sangat penting.
Dalam bab ini, pengobatan kanker mulut
akan dibagi menjadi dua bagian utama:
Diskusi umum penyakit tahap awal dan lanjut
secara lokal diikuti oleh rekomendasi khusus
untuk setiap subsite. Fokus utama adalah
manajemen bedah. Opsi alternatif akan
dimasukkan tetapi uraian terperinci berada di
luar cakupan bab ini. Pengobatan penyakit
leher metastasis dibahas di bagian lain dalam
teks ini dan merupakan bagian integral dari
manajemen yang tepat dari situs primer.
Carcinoma In Situ or
Microinvasive Carcinoma
Awal, penyakit yang sangat dangkal dalam rongga
mulut paling baik diobati dengan eksisi lokal yang
luas. Ketika penyakit terbatas pada karsinoma in
situ pada patologi akhir, biopsi eksisi dengan
margin yang jelas adalah terapi yang memadai.
Situs harus diikuti secara klinis dengan ambang
batas rendah untuk rebiopsy atau reexcision.
Karsinoma mikroinvasif harus dieksisi dengan
margin 1 hingga 2 cm pada aspek perifer dan
dalam. Bagian yang dibekukan dipelajari secara
intraoperatif karena displasia yang parah pada
margin dapat sulit untuk dilihat secara kasar
(Gbr. 2). Kanker tahap awal dari dasar mulut
mungkin melibatkan saluran saliva, dan
mendapatkan akses awal ke leher. Status nodal
membutuhkan penilaian yang cermat.
Penutupan primer dari situs ini optimal
jika dapat dilakukan tanpa menambatkan
lidah atau menghapus sulci normal. Dokter
bedah harus memiliki sedikit keraguan
untuk mengizinkan
Fig. 2. Leukoplakia of the lateral tongue. One nodular area contained microinvasive carcinoma.
cacat dangkal ini untuk granulasi.
Penyembuhan dengan niat sekunder lebih
disukai daripada penutupan yang mengganggu
mobilitas. Kadang-kadang, lesi yang lebih
besar tetapi sangat dangkal akan dieksisi pada
lapisan submukosa. Cangkok kulit tipis
dengan ketebalan terpisah akan menutupi area
yang lebih luas secara efektif dan mempercepat
proses pemulihan. Allografts dermal yang
tersedia secara komersial tidak berhasil secara
merata di rongga mulut di tangan kita .
T1 and T2 Carcinoma
of the Oral Cavity
Tingkat kelangsungan hidup lima tahun
adalah 85% hingga 90% untuk stadium I dan
70% hingga 80% untuk karsinoma sel
skuamosa tahap II dari rongga mulut. Terapi
modalitas tunggal biasanya memadai. Bedah
dan radioterapi umumnya dianggap sama-
sama efektif tetapi dalam banyak kasus operasi
lebih disukai untuk penyakit tahap awal.
Terapi radiasi untuk kanker rongga mulut
tahap awal efektif bila diberikan oleh sinar
eksternal atau brachytherapy. Xerostomia dan
penyakit gigi lebih sering terlihat setelah
radioterapi dan ada risiko osteoradionekrosis
mandibula. Beberapa penelitian secara kritis
membandingkan hasil fungsional terapi radiasi
dengan pembedahan. Modalitas mana pun
yang dipilih, perawatan situs utama dan leher
harus konsisten. Dengan kata lain, jika situs
utama dirawat dengan pembedahan dan ada
kekhawatiran mengenai micrometastases,
leher harus dirawat dengan pembedahan juga.
Demikian juga, jika rongga mulut diobati
dengan radiasi, limfatik diperlakukan serupa.
Perawatan bedah untuk oral tahap I dan II
kanker rongga secara konsisten
direkomendasikan pada awalnya oleh dewan
tumor multispesialis lembaga kami. Perawatan
bedah efektif dan cepat selesai dengan
minimall im-
pairment bentuk atau fungsi. Masa inap di
rumah sakit adalah satu atau dua malam,
penerimaan oral dilanjutkan dengan cepat,
dan pasien biasanya melanjutkan aktivitas
penuh dalam waktu 3 minggu. Bahkan
orang-orang dengan pekerjaan yang
menuntut fungsi lisan yang tepat
(pengacara, profesor, tenaga penjualan)
biasanya menikmati hasil yang sangat
baik.es.
Dalam merencanakan reseksi, ahli bedah
harus mempertimbangkan rute akses, status
margin, keterlibatan tulang, dan apakah
limfatik memerlukan perawatan atau tidak.
Rute akses lebih disukai transoral untuk lesi
yang lebih kecil. Margin harus jelas terlihat,
bagaimanapun, dan pasien dengan gigi
lengkap atau pembukaan mulut terbatas dapat
menyajikan tantangan akses bahkan untuk
lesi kecil. Pembelahan bibir dan / atau
mandibulotomi mungkin diperlukan untuk
visualisasi margin yang memadai. Margin 2 cm
di semua sisi ideal untuk lesi ini. Sebagai
peringatan, upaya pertama untuk
menghilangkan lesi ini memiliki peluang
keberhasilan terbesar. Setiap upaya
penyelamatan berikutnya memiliki hasil yang
menurun. Untuk menahan upaya kuratif
penuh untuk manfaat kosmetik atau
fungsional minimal adalah merugikan pasien.
Tulang tidak akan secara kasar diserang
pada lesi tahap awal I dan II ini, meskipun
mukosa displastik atau keganasan utama
dapat mendekati gigi atau periosteum
mandibula. Secara umum, periosteum adalah
penghalang yang efektif jika sebelumnya tidak
diradiasikan. Jika tumor bergerak bebas
terkait dengan tulang, periosteum direseksi
sebagai margin dan tulang dipertahankan.
Permukaan alveolar mandibula rentan
terhadap invasi mikro dan memungkinkan
akses ke rongga meduler melalui soket gigi.
Risiko invasi mikro mandibula lebih tinggi
pada mandibula edentulous atau terpancar
sebelumnya. Ketika tumor secara langsung
menginvasi periosteum, segmen mandibula
tersebut harus direseksi dengan setidaknya
mandibulektomi tepi.
Risiko mikrometastasis terhadap limfatik
serviks meningkat secara proporsional
dengan kedalaman invasi tumor. Sebagai
aturan umum, tumor yang berukuran lebih
dari 4 mm memiliki risiko, dan pengobatan
limfatik serviks harus dipertimbangkan..
T3 and T4 Carcinoma
of the Oral Cavity
Kanker rongga mulut yang besar dan kanker
yang sangat menyerang lidah, tulang, atau
ruang yang berdekatan membutuhkan
terapi multimoda. Tingkat kelangsungan
hidup untuk karsinoma sel skuamosa T3
dan T4 rongga mulut adalah 50% hingga
65% tanpa adanya metastasis nodal. Metoda
nodal umumnya memangkas tingkat
kelangsungan hidup menjadi dua. Reseksi
bedah primer tetap menjadi pilihan
perawatan awal yang disukai. Sebaliknya

keganasan orofaring lanjut sering diobati
awalnya dengan kemoradiasi. Ketika
merencanakan reseksi, dokter bedah harus
mempertimbangkan limfatik, akses,
keterlibatan tulang, dan rekonstruksi karena
cacat ini jarang dapat ditutup terutama.
Perawatan bedah leher untuk mengendalikan
penyakit limfatik dan untuk memberikan akses
ke tumor primer adalah rutin. Jarang lesi T3 atau
T4 dapat direseksi secara adekuat dengan
pendekatan transoral saja. Paparan leher
memungkinkan pelestarian struktur
neurovaskular yang penting dan memfasilitasi
pengelolaan margin dalam reseksi. Lesi yang ter-
lateralisasi dengan baik yang tidak melibatkan
otot lidah dalam mungkin ditangani dengan
diseksi leher unilateral. Secara klinis, leher N0
diobati dengan diseksi leher selektif, yang hanya
menimbulkan sedikit morbiditas (lihat Bab 26).
Pasien edentulous dengan jaringan lunak perioral
lentur mungkin tidak memerlukan lip split untuk
akses dari sisi oral. Sekali lagi, jika visualisasi
margin terganggu, lip split atau mandibulotomi
direkomendasikan sebagai hal yang diperlukan
untuk memungkinkan paparan yang tepat.
Reseksi tumor lengkap harus menjadi perhatian
utama.
Invasi kotor dari mandibula-tanggal
reseksi segmental. Kapan pun
memungkinkan, seluruh rongga medula
mandibula harus direseksi. Tumor yang
menyerang mandibula dapat menyebar luas
melalui tulang kanselus yang longgar.
Sebagai contoh, jika lesi menyerang bagian
tengah mandibula, reseksi tulang segmental
dengan margin 2 cm dikombinasikan
dengan pelepasan rim medula rongga yang
tersisa kembali ke takik sigmoid.
Rekonstruksi seringkali membutuhkan
lebih dari penutupan primer. Pada beberapa
reseksi komposit lateral, cacat yang sangat
besar
Fig. 3. Early-stage carcinoma of the anterior floor of mouth.
Chapter 24: Surgery for Cancer of the Oral Cavity
dapat ditutup terutama ketika tidak ada
rekonstruksi tulang yang direncanakan.
Namun, kerusakan ini diucapkan, dan
sebagian besar pasien lebih menyukai
rekonstruksi bedah segera. Kembalinya
penampilan yang lebih normal dan
kemampuan mengunyah adalah aspek penting
dari kualitas hidup. Glossektomi besar dan
cacat bukal ketebalan penuh tidak bisa ditutup
tanpa jaringan tambahan. Transfer jaringan
bebas yang divaskularisasi telah menjadi
andalan rekonstruksi bedah untuk cacat
mulut besar. Cacat jaringan lunak biasanya
dipasangkan kembali dengan lengan radial,
paha lateral, atau flap rektus abdominus.
Cacat mandibula dikelola dengan flap
osteokutan, flap fibular menjadi yang paling
umum.
SITE-SPECIFIC SURGICAL
MANAGEMENT
Floor of Mouth
Lantai mulut adalah tempat yang paling
umum untuk karsinoma sel skuamosa oral.
Lidah ventral yang berdekatan dan
permukaan lingual dari alveolus mandibula
terlibat sejak tumor membesar. Anterior, lesi
dari mulut ke mulut sering melibatkan
duktus submanerbular dan nodus
kontralateral yang berisiko. CT scan
berguna dalam penentuan stadium sebelum
operasi untuk menilai luas tumor, status
nodal, dan invasi mandibula awal.
T1 and T2 Carcinoma of the
Floor of Mouth
Lesi T1 dan T2 dari dasar mulut diobati
dengan eksisi lokal yang luas (Gbr. 3).
Margin 2 cm direkomendasikan dan kontrol
bagian beku margin intraoperatif dapat
menghindari menghadap displasia parah
pada mukosa yang tampak normal. Lesi
yang lebih dalam dari 4 mm memiliki yang
lebih tinggi
325
kejadian metastasis nodal dan diseksi leher
selektif elektif harus dipertimbangkan. Akses
transoral tanpa pembelahan bibir atau
mandibulotomi seringkali dimungkinkan.
Penampilan penuh atau pembukaan mulut
yang buruk dapat membuat akses secara
mengejutkan sulit untuk lesi kecil. Pasien
harus siap untuk mandibulotomi untuk akses
jika ini terjadi.
Ketika diseksi mendalam di dasar lateral
mulut dikombinasikan dengan diseksi leher
level 1, defek through-and-through sering
terjadi yang secara mengejutkan sulit untuk
ditutup. Flap bertangkai seperti flap platysma
atau flap pulau submental berguna untuk
menutup cacat kecil ini. Flap bebas lengan
bawah bekerja dengan sangat baik. Tutup
pectoralis sering terlalu besar untuk cacat kecil
di situs ini.
T3 and T4 Carcinoma of the
Floor of Mouth
Lesi dari mulut ke mulut T3 dan T4 biasanya
direseksi bersamaan dengan
limfadenektomi serviks. Rencana
perkembangan bedah yang masuk akal
diuraikan di bawah ini. Langkah-langkah ini
akan dapat disesuaikan untuk sub-situs
lain di rongga mulut juga.
1. Ulangi pemeriksaan dengan
anestesi. Nilai ukuran, kedalaman,
struktur yang terlibat, dan
kedekatan dengan mandibula.
Finalisasi pemikiran tentang akses
dan invasi tulang.
2. Trakeotomi
3. Gastrostomi perkutan. Jika
diperkirakan akan terjadi pemberian
makan tabung secara singkat,
tempatkan tabung nasogastrik
sebagai gantinya.
The Head and Neck
4. Diseksi leher. Luas ditentukan oleh status
nodal. Lihat Bab 26 untuk detailnya.
5. Pendekatan primer. Pisahkan bibir dan
lakukan mandibulotomi langkah-tangga
anterior ke foramen mental jika perlu untuk
akses (Gbr. 4). Untuk tumor besar dengan
invasi tulang kasar, rencanakan
mandibulotomi pada batas anterior reseksi
tulang. Membengkokkan dan menerapkan
rekonstruksi atau pelat fraktur sebelum
memotong tulang kecuali tumor
memanjang melalui inti lateral. Langkah ini
mengoptimalkan oklusi gigi pasca operasi.
Jika reseksi komposit segmental
direncanakan, visualisasi tumor akan lebih
mudah jika pemotongan tulang posterior
selesai pada saat ini juga.
6. Untuk tumor yang menghubungi
mandibula tanpa destruksi tulang kasar,
lakukan mandibulektomi tepi untuk
menghilangkan permukaan oklusal dan
kavitas medula tulang yang terlibat (Gbr.
5). Berhati-hatilah pada pasien edentulous
karena sisa mandibula inferior mungkin
sangat tipis dan rentan terhadap fraktur
patologis..
7. Distract the mandible at the anterior
osteotomy and visualize tumor margins
Make mucosal cuts 2 cm from obvious
326 Part III: The Head and Neck

Horizontal
part of
incision
in labiomental
crease Stair-step
osteotomy
A B

Fig. 4. Transmandibular access to the floor of mouth. A: The

Tumor lip split incision. The angles, based on the labiomental crease,
prevent downward contracture from scarring. B: Stair-step
osteotomy anterior to the mental foramen spares sensation
of the lip. C: Distraction of the segments allows exposure of
the floor-of-mouth lesion.
C

penyakit. Ketika pembedahan berlangsung
lebih dalam, revisualisasikan saraf
hipoglosus di leher karena akan sering
memasuki medial lidah ke tumor dan dapat
dilakukan. Kontrol cabang arteri lingual
dengan ligatur. Jangan mengandalkan
kauterisasi untuk cabang yang lebih besar.
8. Lepaskan spesimen dan periksa.
Arahkan spesimen untuk patologi.
Periksa margin dengan bagian beku
9. Periksa cacat dan tentukan metode
penutupan. Hindari penutupan primer di
bawah tekanan atau penutupan yang
secara signifikan akan menambatkan lidah.
Seringkali, tim rekonstruksi akan
melanjutkan dengan flap elevasi selama
fase akhir pemusnahan tumor.

Tongue
T1 and T2 Carcinoma of the Oral Tongue
Kanker lidah sering memiliki ekstensi
subkumis jauh melampaui margin yang
terlihat. Studi palpasi dan pencitraan sangat
membantu dalam penentuan stadium yang
akurat. Kanker lidah T2 dan T1 (> 4 mm)
memiliki tingkat metabolis okultisme
mendekati 30%. Perawatan leher biasanya
dianjurkan.
Small lateral tongue lesions can be
widely excised with very little morbidity.
These malignancies are generally more
easily visualized than floor-of-mouth
Fig. 5. Rim mandibulectomy to resect disease involving periosteum or minimally invading the mandible. lesions and rarely require lip split or man-
Resection includes the medullary cavity of the mandible. dibulotomy. If possible, a deep wedge
 Chapter 24: Surgery for Cancer of the Oral Cavity 327

A B

Fig. 6. Resection of T1 carcinoma of the lateral tongue. A: Pedunculated lesion of the lateral tongue. B: Vertical excision and
closure maintains optimal mobility.
reseksi dirancang dalam bidang vertikal
yang mempertahankan margin 2 cm di
tepi periferal dan margin dalam. Reseksi
vertikal memungkinkan penutupan lidah
lateral terhadap lidah lateral yang sesuai
dan meminimalkan tethering (Gbr. 6).
Penutupan horizontal, sebaliknya,
menambatkan lidah dorsal ke dasar
mulut dan mengganggu mobilitas. Sub-
bagian dari tumor T2 superfisial pada
lidah lateral menghasilkan cacat yang
melibatkan sebagian besar permukaan
lateral (Gbr. 7). Cacat ini harus ditutup
dengan cangkok kulit tipis atau dibiarkan
granul. Pasien memulai latihan mobilitas
lidah lebih awal untuk mencegah
kontraktur parut dan kehilangan fungsi.
Kanker lidah punggung jarang
terjadi. Lesi ini direseksi dalam bidang

The Head and Neck

Fig. 7. Following resection of a T2 superficial lesion of the lateral tongue, primary closure is not feasible sagital jika mungkin dan ditutup
without severe restriction of motion. Options for closure include a split-thickness skin graft or healing terutama. Fungsinya biasanya luar
by secondary intention. biasa.
T3 and T4 Carcinoma of the Oral Tongue
Seperti dicatat, kanker lidah yang lebih besar
akan membutuhkan terapi multimodal. Tidak
ada pilihan pengobatan yang ditemukan lebih
unggul daripada operasi diikuti oleh
radioterapi untuk karsinoma lidah lisan.
Tumor ini dapat meluas ke lateral ke
mandibula yang berdekatan, atau ke dalam
akar otot lidah yang dalam.
Lesi lidah lateral yang besar mendekati
seperti yang dijelaskan di atas di bawah
"Lantai Mulut." Osteotomi membuat
reseksi lebih mudah karena paparannya
luas. Reseksi ini adalah prosedur
"komando" atau "lidah-rahang-leher"
klasik yang diuraikan selama beberapa
dekade dalam literatur kepala dan leher
(Gbr. 8). Penutupan primer mukosa bukal
ke sisa lidah sering terjadi dan fungsi
A B bicara dan menelan secara mengejutkan
baik. Namun, pasien tidak dapat
mengunyah, dan penampilannya berubah
secara dramatis. Rekonstruksi flap segera
Fig. 8. Composite resection for advanced oral tongue cancer involving the mandible. A: The cheek flap biasanya digunakan di reseksi modern.
is reflected following a lip split. The bone cuts are positioned after determining the location of tumor
invasion. B: If the tumor does not extend lateral to the mandible, a reconstruction plate can be coapted
prior to making the bone cuts.
328 Part III: The Head and Neck

5. Biasanya tidak diperlukan pemecahan bibir

untuk akses. Mukosa dasar mulut yang
tidak terlibat diinsisi pada sisi tumor dan
dilanjutkan ke lidah kontraleral yang tidak
terlibat, mempertahankan margin 2 cm.
Diseksi akan sering meluas melintasi garis
tengah. Musik mylohyoid ditransaksikan
dari bawah. Bekerja dari atas dan bawah,
diseksi berlangsung sampai potongan
anterior dan lateral berkomunikasi dari
leher ke rongga mulut. Spesimen kemudian
dikirim ke bawah, di bawah mandibula
utuh dan ke leher. Mengikuti teknik ini,
visualisasi dari pemotongan posterior
disederhanakan dan reseksi selesai (Gbr.
10).
Fig. 9. Deeply invasive T3 carcinoma of the anterior tongue.

Untuk lesi yang meluas lebih terpusat ke
akar yang dalam dari otot-otot lidah,
diperlukan pendekatan pull-through alternatif
untuk reseksi (Gbr. 9). Langkah-langkahnya
dibahas di bawah ini.
1–3. Sama seperti "Lantai Mulut" di atas.
4. Diseksi leher harus bilateral untuk lesi
dalam yang menjalar ke arah lidah
tengah. Flap penasihat kulit leher
diangkat ke batas bawah mandibula.
6. Nilai margin secara kasar dan
berdasarkan bagian beku. Jangan
mengabaikan margin lidah yang dalam,
yang akan meluas hingga ke tulang
hyoid.

Visor flap

Mandible
Dorsal tongue

Mucosal incision

A B

Tongue

Fig. 10. Pull-through approach for glossectomy. A: The skin flaps are elevated to the
lower border of the mandible. B: Intraoral cuts along the uninvolved floor of mouth
are connected with external cuts dividing the floor-of-mouth diaphragm. C: The spec-
imen is pulled downward and into the neck, allowing visualization of more posterior
C
cuts.
 Chapter 24: Surgery for Cancer of the Oral Cavity 329

7. Dengan mandibula yang utuh, lesi-lesi

ini hampir mustahil untuk ditutup tanpa
flap pedikel atau bebas.
8. Jika volume besar otot lidah
dipantulkan, rekonstruksi flap harus
memberikan jumlah yang cukup untuk
memungkinkan neo-lidah untuk
menghubungi langit-langit mulut. Ini
akan mengoptimalkan bicara dan
menelan pasca operasi. Tutup lengan
radial mungkin tidak memberikan
volume yang memadai dalam pengaturan
ini.
Lesi lidah oral besar yang muncul lebih
posterior perlu disebutkan secara khusus.
Lesi ini sering melibatkan pangkal lidah
secara luas dan / atau mungkin melewati
Fig. 11. A patient demonstrates an early buccal mucosal carcinoma caused by smokeless tobacco use.
garis tengah anterior. Dalam keadaan
Note the adjacent leukoplakia extending into the gingivobuccal sulcus.
seperti ini,
surgical resection will require a near-total ses terjadi lebih awal (40% untuk lesi T2 ingatlah fakta-fakta berikut ketika
dalam satu) merencanakan perawatan untuk tumor
glossectomy. Dokter bedah harus hati-hati meta-analisis). Karsinoma tahap awal dari lanjut di wilayah ini:
menjelaskan implikasi fungsional dari daerah ini diperlakukan dengan cara yang
reseksi tersebut dan memastikan bahwa mirip dengan lantai mulut. Dianjurkan 1. Lapisan daerah bukal adalah
pasien memahami alternatif kemoterapi dan eksisi lokal yang luas dengan margin 2 cm mukosa bukal, submukosa, otot
radiasi bersamaan dengan penyelamatan dan penutupan primer untuk cacat yang buccinator, lemak subkutan, dan
bedah. Dalam keadaan khusus ini, fungsi lebih kecil biasanya mudah dilakukan. kulit pipi. Setelah lesi cukup dalam
posttreatment mungkin lebih unggul Cangkok kulit yang tipis juga memberikan untuk menyerang otot bukator, kulit
perlindungan yang memadai jika otot pipi di atasnya berpotensi terlibat.
dengan kemoradiasi awal. Pasien mungkin buccinator yang tidak sehat masih utuh.
ingin mencoba pengobatan nonsurgical Reseksi sering kali menghasilkan
Untuk semua kecuali lesi yang paling cacat through-and-through yang
untuk pelestarian organ pada awalnya. dangkal, batorator harus diambil sebagai
margin reseksi yang dalam. Tingkat membutuhkan cakupan tutup lokal
Penyelamatan bedah, jika perlu, masih
kegagalan untuk karsinoma bukal dini minimum.
membutuhkan glossectomy total. Meskipun
tidak ada perbandingan prospektif langsung tinggi. Perawatan untuk lesi T1 / T2 2. Invasi posterior yang dalam dari
retromolar trigone (Gbr. 12) adalah serupa . tumor trigonum bukal dan
untuk primer lidah oral, data seri kasus retromolar meluas menuju ruang
menunjukkan bahwa kemoterapi masseter. Perhatian yang cermat

The Head and Neck

bersamaan dengan penyelamatan bedah T3 and T4 Carcinoma of the Buccal terhadap arah penyebaran potensial
harus memberikan tingkat penyembuhan Mucosa and Retromolar Trigone ini diperlukan untuk menghindari
yang sebanding untuk operasi dan radiasi Tumor besar mukosa bukal atau trigonum pengulangan lokal (Gbr. 14).
ajuvan.. retromolar sulit dikelola (Gbr. 13). 3. Mukosa trigonum retromolar memberikan
Seharusnya ahli bedah kepala dan leher penutup yang cukup tipis di atas
mandibula asenden. Tumor yang lebih
Buccal Mucosa and besar dengan cepat menyerang
Retromolar Trigone
Mukosa bukal termasuk lapisan pipi yang
lentur, memanjang dari alveolus rahang atas
superior ke alveolus mandibula inferior. Di
posterior, mukosa bukal bersebelahan dengan
trigonum retromolar. Mukosa trigonum molar
meliputi ramus asenden mandibula dan
memanjang ke posterior ke pilar tonsilar
anterior pada awal orofaring. Karsinoma di
daerah ini biasanya adalah sel skuamosa dan
dapat berupa ulseratif, eksofitik, atau
verukosa. Pengguna tembakau yang tidak
merokok memiliki risiko lebih tinggi untuk
terkena kanker bukal .

T1 and T2 Carcinomas of the Buccal

Mucosa and Retromolar Trigone
Tumor mukosa bukal relatif tidak umum di
Amerika Serikat tetapi merupakan tempat
tersering kanker mulut di negara-negara Asia
Tenggara (Gbr. 11). Di India,

buccal cancer is the most common of all Fig. 12. T1 carcinoma of the retromolar trigone. These lesions often invade the adjacent mandible or
cancers occurring in men. Nodal metasta- masseteric space early.
330 Part III: The Head and Neck

A B

C D

Fig. 13. T4 carcinoma of the buccal mucosa with extension through overlying skin. A: Transbuccal extension B: Exten-
sive involvement of overlying skin C: Wide resection to include most of the right cheek; rectus free flap reconstruction.
D: Eighteen months postoperative. The patient was not interested in further flap debulking.

tulang dan terus ke ruang masticator
seperti disebutkan di atas.
4. Tumor trigonum retromolar sering meluas
ke posterior ke orofaring. Banyak dokter
menganggap perilaku biologis lebih
konsisten dengan karsinoma orofaring
daripada karsinoma rongga mulut..
Ketika ada ekstensi besar ke tonsil atau
langit-langit lunak, radiasi bersamaan
dan kemoterapi diberikan lebih banyak
pertimbangan sebagai terapi lini pertama
untuk mempertahankan fungsi bicara
dan menelan. Seperti halnya untuk situs
rongga mulut lainnya, bagaimanapun,
tidak ada perawatan yang terbukti lebih
unggul
pembedahan dan radiasi ajuvan untuk
karsinoma trigonum bukal atau retromolar.
5. Node perifacial dan node parotid adalah
cekungan nodal tingkat pertama untuk
tumor ini..
6. Paparan transoral mungkin terbatas.
Bersiaplah untuk pendekatan transfasial
untuk meningkatkan akses.

Masseter
muscle

Tumor in
masseteric
space

Tumor in
buccalmucosa

Tumor in
mandible
A
B
Fig. 14. T4 carcinoma of buccal mucosa. A: Extensive involvement of masseteric space demonstrated by CT scan. B: The
mandible and masseteric spaces illustrated here are the most common locations for failure of complete resection.

Fig. 15. Carcinoma of the palate extending upward into the maxillary sinus and illustrating the impor-
tance of preoperative scanning in tumor staging.
Hard Palate
T1 and T2 Carcinoma of the Hard Palate
Karsinoma palatal jarang terjadi. Lebih banyak
kanker sel nonsquamous terjadi di langit-langit
mulut daripada di lokasi rongga mulut lainnya.
Keganasan kelenjar liur minor merupakan
sebagian besar keganasan lainnya. Semua
kecuali lesi palatal yang paling dangkal
memiliki potensi untuk menyerang tulang yang
mendasarinya. Foramina palatine yang tajam
dan lebih besar juga menyediakan jalur untuk
penyebaran perineural. Lesi tipiz
A B
Fig. 16. Minor salivary gland adenocarcinoma of the palate. A: Lesion involving left side of hard palate.
D B: Defect with clear margins. C: Initial obturator fashioned by prosthodontist to fill defect. D: Obturator in
position allowing normal oral function.
Chapter 24: Surgery for Cancer of the Oral Cavity
langit-langit keras dapat dikelola dengan
eksisi lokal yang luas. Margin tepi dikelola
seperti dibahas di atas. Jika periosteum
yang tidak terpasang diselingi antara tumor
dan tulang di bawahnya, operasi ulang
tulang mungkin tidak diperlukan. Jika ada
keraguan, tulang palatal dapat dibor ke
mukosa hidung tanpa membuat fistula
oronasal. Jika harus dibuat fiskula kecil,
flap mukosa palatal rotasional atau flap
miomuskum buccinator biasanya akan
menutup defek secara efektif..
C
331
T3 and T4 Carcinoma of the Hard Palate
Lesi palatal yang lebih besar secara khas
melibatkan tulang. CT scan pra operasi sangat
membantu dalam menilai perluasan penyakit
yang superior ke hidung atau sinus maksilaris
(Gbr. 15). Maksilektomi inferior biasanya
diperlukan untuk reseksi lengkap. Lesi-lesi ini
dapat keluar secara posterior ke dalam plat
pterigoid dan otot-otot pterigoid dan meluas ke
dasar tengkorak. Ruang pterigomaksila dan
foramen rotundum adalah tempat persistensi
penyakit pada karsinoma palatal yang sangat
invasif.
Rekonstruksi cacat palatal sangat penting
untuk berbicara dan menelan. Rekonstruksi
bisa berupa prostetik atau bedah. Obturator
gigi sementara dapat ditempatkan secara
intraoperatif atau setelah kunjungan pasca
operasi pertama sekitar hari ke-10. Obatorator
akhir dapat dibuat beberapa bulan kemudian
ketika kontraksi jaringan lunak telah stabil
(Gbr. 16). Keuntungannya adalah rongga
terbuka untuk pengawasan tumor dan tidak
ada morbiditas bedah tambahan untuk pasien.
Kerugiannya adalah persyaratan untuk
mempertahankan obturator yang pas agar
dapat dinikmati normal
bicara dan menelan. Banyak pasien frustrasi
oleh kebocoran kecil atau rasa sakit dengan
kecocokan yang tidak tepat .
Penutupan bedah cacat yang lebih
besar biasanya memerlukan
rekonstruksi flap gratis. Opsi ini
bermanfaat bagi pasien yang lebih
muda yang tidak akan dipaksa untuk
mempertahankan prostesis yang pas
untuk sisa hidup mereka. Rekonstruksi
flap biasanya ditawarkan pada saat
The Head and Neck
eksisi primer. Jika keraguan tentang
margin tetap ada, pengamat sementara
dapat dengan mudah dibuat dan cacat
direkonstruksi secara sekunder.
332 Part III: The Head and Neck
PERAWATAN SETELAH
OPERASI
Pasien kanker rongga mulut rata-rata
berusia 62 tahun saat didiagnosis dan lebih
dari 80% adalah pengguna tembakau
jangka panjang. Penyakit jantung, penyakit
pembuluh darah perifer dan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) adalah
komorbiditas umum yang mempengaruhi
pemulihan pasca operasi dan harus
dipertimbangkan dalam pengaturan
perioperatif. Sementara reseksi untuk
kanker kepala dan leher lanjut mungkin
membosankan dan memakan waktu,
pemulihan dari operasi juga bisa
mengejutkan cepat. Pergeseran cairan dan
tekanan fisiologis yang umum terjadi pada
pembedahan intraabdomen dan intratho-
rik seringkali lebih ringan. Pasien biasanya
didorong untuk melanjutkan ambulasi dan
nutrisi enteral pada hari pertama pasca
operasi. Setiap kali saluran aerodinamik
atas diubah secara pembedahan,
bagaimanapun, jalan napas, menelan, dan
bicara memerlukan pertimbangan khusus.
Jalan napas oral terganggu oleh edema operatif
dan penambahan curah dari flap konstruktif
atau kasa. Lesi kecil biasanya diangkat dengan
perubahan minimal dalam patensi jalan nafas.
Reseksi yang lebih besar, terutama bila
dikombinasikan dengan diseksi leher, memiliki
potensi untuk menghasilkan edema jalan nafas
yang signifikan. Trakeotomi lebih disukai
daripada intubasi berkepanjangan karena
pasien dapat rawat jalan segera dan tempat
operasi lebih mudah dipantau. Pepatah bedah,
“Jika Anda berpikir Anda mungkin
membutuhkan trach, lakukanlah. . . ”Tetap
relevan hari ini.
Ada dua pertimbangan terkait menelan
yang penting untuk dipertimbangkan. Yang
pertama adalah ketika luka sembuh secara
memadai untuk melanjutkan asupan oral.
Pertimbangan kedua adalah kapan pasien
dapat menelan lagi tanpa aspirasi. Jika
bagian telah membuat lubang dari rongga
mulut ke leher, pasien berisiko untuk
pembentukan fistula saliva. Jika tidak ada
bukti kebocoran, asupan oral dapat diambil
kembali untuk sebagian besar pasien pada
hari ke 6 atau 7. Pasca operasi, meskipun
diperoleh segel yang memadai, mekanisme
menelan mungkin masih terganggu.
Kapasitas yang berubah untuk
memindahkan makanan melalui rongga
mulut dan faring menciptakan risiko
aspirasi. Tabung nasogastrik atau
gastrostomi endoskopi perutan (PEG)
biasanya ditempatkan secara intraoperatif
untuk mengantisipasi disfagia.. Keterlibatan
patologi wicara
dalam proses rehabilitasi dianjurkan.
Pengembalian fungsi menelan berkorelasi
terbalik dengan volume jaringan normal
direseksi.
Pidato juga dipengaruhi oleh operasi
untuk kanker mulut. Sementara berbicara
bukan fungsi vital, pasien harus siap untuk
kemungkinan kesulitan berbicara dan
dilengkapi dengan sarana komunikasi pasca
operasi. Pasien yang dirawat di rumah sakit
yang tergantung pada tabung trakea dan
tidak dapat berbicara memerlukan
pemantauan khusus oleh staf perawat
karena mereka tidak dapat menggunakan
sistem interkom "perawat-panggilan".
KOMPLIKASI
Prediktor terbaik komplikasi setelah
pembedahan untuk kanker rongga mulut
adalah komorbiditas sedang, pengobatan
sebelumnya dengan radiasi / kemoterapi, dan
kanker yang berhubungan dengan kanker.
Komplikasi kardiovaskular, paru, ginjal, dan
penyembuhan luka yang umum dijumpai pada
pasien bedah umum terlihat pada pasien
kanker mulut juga..
Komplikasi utama dalam operasi kepala
dan leher terjadi pada sekitar 10% dari
pasien. Komplikasi utama termasuk yang
memerlukan tambahan rawat inap di rumah
sakit, kembali ke ruang operasi, atau
mengakibatkan pemulihan fungsi yang
berkurang. Yang paling umum adalah
infeksi luka, cedera luka dengan
pembentukan fistula, perdarahan, dan
pneumonia aspirasi.
Dengan reseksi rongga mulut yang kecil,
penyembuhan luka yang tertata adalah
gangguan tetapi tidak sering mematikan.
Dengan reseksi yang lebih besar, terutama
yang kontinuitas dengan leher, komplikasi
luka bisa mematikan. Kebocoran yang
bervariasi ke leher menghasilkan infeksi
polimikroba yang bermanifestasi sebagai
selulitis, abses, dehiscence luka, dan
potensi perdarahan dari pembuluh darah
besar. Langkah-langkah untuk mencegah
komplikasi luka termasuk antibiotik
perioperatif, perhatian cermat untuk
mendapatkan penutupan defek oral kedap
air, dan dimulainya kembali nutrisi yang
tepat. Pertanyaan apakah akan menunda
operasi sambil meningkatkan nutrisi tetap
menjadi kontroversial dalam operasi kepala
dan leher. Parameter nutrisi awal dapat
ditingkatkan dengan dukungan nutrisi
preoperatif yang agresif. Ada data dari
percobaan kemoradiasi, yang menunjukkan
bahwa pasien menerima pretreatment
bantuan
nutrisonal memiliki lebih sedikit komplikasi
pengobatan tetapi menurunkan
kelangsungan hidup secara keseluruhan;
mungkin dukungan nutrisi mendorong
pertumbuhan tumor. Pendekatan yang
masuk akal adalah membangun dukungan
nutrisi selama kontak awal dengan pasien
tetapi tidak menunda pengobatan dengan
harapan mengurangi komplikasi..
Pasien yang diradiasi sebelumnya
memerlukan perhatian khusus. Dosis
radiasi telah meningkat selama dekade
terakhir dan pasien biasanya menerima 70+
gy — sering dengan kemoterapi bersamaan.
Fistula menilai sebagai setinggi 70%
dilaporkan dengan bedah penyelamatan
untuk lesi kepala dan leher setelah
kemoradiasi. Penutupan bebas-ketegangan
dan penggunaan liberal dari jaringan
vascularized dari flap daerah atau bebas
telah terbukti mengurangi tingkat fistula
dalam situasi penyelamatan. Untungnya,
kanker rongga mulut lebih jarang diobati
dengan radiasi primer, dan operasi
penyelamatan di bidang yang sangat
terpancar tidak diperlukan sesering
laryngeal dari pendahuluan faring..
BACAAN YANG DISARANKAN
American Cancer Society. Cancer Facts & Fig-
ures 2009. Atlanta: American Cancer Society;
2009.
Beenken SW, Krontiras H, Maddox WA, et al. T1 and
T2 squamous cell carcinoma of the oral tongue:
prognostic factors and the role of elective
lymph node dissection. Head Neck 1999;21:124.
Chhetri DK, Rawnsley JD, Calcaterra TC. Carci-
noma of the buccal mucosa. Otolaryngol Head
Neck Surg 2000;123:566.
Choi S, Myers JN. Molecular pathogenesis of oral
squamous cell carcinoma: implications for
therapy. J Dent Res 2008;87(1):14–32.
Cooper J, Pajak TF, Forastiere A, et al. Postoperative
concurrent radiotherapy and chemotherapy for
high-risk squamous-cell carcinoma of the head
and neck. N Engl J Med 2004;350:1937.
Gillespie MB, Brodsky MB, Day TA. Swallowing-re-
lated quality of life after head and neck cancer
treatment. Laryngoscope 2004;114(8):1362.
Horner MJ, Ries LAG, Krapcho M, et al. SEER
Cancer Statistics Review, 1975–2006. Bethesda,
MD: National Cancer Institute. http://seer.
cancer.gov/csr/1975_2006/, based on Novem-
ber 2008 SEER data submission, posted to the
SEER web site, 2009
Hunter KD, Parkinson EK, Harrison PR. Profiling
early head and neck cancer. Nat Rev Cancer
2005;5:127.
Urken ML, Moscoso JF, Lawson W, et al. A systematic
approach to functional reconstruction of the oral
cavity following partial and total glossectomy.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1994;102:589.
 Chapter 24: Surgery for Cancer of the Oral Cavity 333

EDITOR’S COMMENT proven node-negative upon presentation are Speksnijder CM, et al. (Head Neck 2010, with-
generally just observed. The news, however, in out citation, published online, DOI, 10.1002/hed
this paper is that of the patients who recurred, 21573) dealt with a difficult area of deteriorated
Cancer of the oral cavity is a disease which in the mean time of neck recurrence was 6.2 masticatory performance. This series was taken
society is often associated with the underprivi- months. This suggests that the metastases were from several universities in the Netherlands, in-
leged. As a basis for the cancer of the oral cav- present in the neck at the time of presentation cluding Utrecht and the Nijmegen Medical Cen-
ity, they may smoke, they may take snuff, they and node resection was not carried out. Thirty- ter and dealt with the difficulties of mastica-
make drink alcohol to excess, and they may be two of the patients who were node-negative on tion, which affects quality of life (certainly) and
patients who are underprivileged or derelicts. physical examination at presentation recurred food choice (perhaps). The authors believe that
Because of this, they have not received ap- in the neck (30%). Two of the patients who were the altered food choice may result in lower in-
propriate care in a timely fashion. In addition, node-positive at presentation also recurred takes of key nutrients and weight loss, which is
the therapy for cancer of the oral cavity, which in the neck and the mean time for recurrence probably true. This proved to determine dental
manages to save lives, is very destructive and was 6.2 months. Among the 32 initially “node- status, bite force, and masticatory performance
results in surgical outcomes, which while may negative” patients who developed regional re- in 45 patients with squamous cell carcinoma
be curative of the disease, may be an ongoing currence, there were antecedent seven cases of the tongue and/or floor of mouth. These
problem for the patient in swallowing, nutri- of local recurrence, and 22 cases of isolated patients were examined and weighed before
tion, and so forth. regional recurrence. Figure 1 of this paper re- surgery and various times after surgery and/or
Because of this, the paper by Morris LGT, veals the regional failure rate with 38% of pT4 radiotherapy.
et al. (Head Neck 2011;33:824–830), from the Head and 18.7% of pT1, and the rest in between. In The authors conclude, not surprisingly, that
and Neck Service at Memorial Sloane Kettering, Figure 3, disease-specific survival according to surgical intervention had a large, negative im- is
most welcome. This is not a common disease, regional recurrence status is given, and at the pact on all functions. Postoperative radiotherapy and
so the 139 patients with squamous cell car- end of 60 months, those patients without re- actually worsened oral function. Recovery of oral cinoma
of the hard palate and maxillary alveolus, gional recurrence had an 81% survival, and 41% function 1 year after surgery was less prominent from 1985
to 2006, represent a fairly large series. of patients who did have regional recurrence in the group receiving both surgery and radio- The
incidence rates of regional metastasis at survived, which is statistically significant at the therapy than surgery alone.
presentation and at recurrence were calculated. P = 0.001 level. The results suggest strongly for It is difficult to ascertain whether or not
They also attempted to determine what the etiol- elective node resection independent of what these patients had significant weight loss. The
ogy was of recurrence and what was associated the nodes feel like, and if there are a significant authors seem more interested in maximum
with it. hard palate or alveolus cancer, elective node re- bite pressure and dentition and mixing ability
Not surprisingly, regional failure occurred section should be carried out. than the actual outcome as far as weight loss,
in 28.4% of patients and was of course associ- Another troublesome tumor is reviewed by preferring dentition index. Presumably, the ated
with the extent of disease and the patho- Kokemuller H, et al. (Head Neck Oncol 2011;3), loss of dentition index and bite force resulted logic T
classification, which ranged from 18.7% who reviewed the German experience over 30 in a poorer outcome as far as weight mainte- (pT1) to
37.3% (pT4). T classification was an years of 341 patients with squamous cell carci- nance with these patients.
independent predictor of regional recurrence- noma of the tongue treated in the Department An attempt was made to determine whether free
survival on multivariate analysis. Sadly, as of Head and Neck Surgery in Hanover, Germany. or not there are various growth factor influences the
authors state, most patients (66%) with re- Average follow-up was 5 years. A total of 309 of with tumor differentiation in oral squamous gional
recurrence were not able to be salvaged. the 341 patients received surgical therapy, and cell carcinoma. Hanabata Y, et al. (Odontology,
Interestingly, however, the recurrence was not of these, 10% had neoadjuvant therapy and 20% published online, 2011) determined whether or
local, despite the alarming title of the paper, with postoperative radiation and occasionally not overexpression of epidermal growth factor
“High Rates of Regional Failure in Squamous chemotherapy. Primary radiation remained receptor (EGFR) is associated with resistance to
Cell Carcinoma of the Hard Palate and Maxil- the primary and only course of treatment of 32 various forms of treatment, including and not

The Head and Neck

lary Alveolus.” Regional recurrence was defined patients who were excluded from surgery. Not limited to, chemotherapy and radiation therapy, as
the development of biopsy-proven neck me- surprisingly, there was a total failure rate of 37% advanced tumor stage, invasion, metastasis, and
tastases at any time after definitive treatment, after an average duration of 1.6 years. The pri- poor prognosis in malignant tumors. They point in
the absence of a secondary head and neck mary factors for survival, which was 54.5% after out that the overexpression of EGFR has been
primary. Patients with tumors from adjacent 5 years, were nodal status, extracapsular spread, made more difficult because the response rates
subsites, such as the maxillary sinus, buccal and clear margins. The authors recommend a were at most 20%. An accompanying factor may
mucosa, or oropharynx extending to the hard categorical bilateral neck dissection to remove be that the sodium–glucose cotransporter, which
palate or alveolar region were not included. occult node metastases. Adjuvant therapy should is a membrane protein, mediates the transport
However, the principal place of occurrence was be applied more frequently in controlled clinical of glucose across cellular membranes. EGFR ap- in
neck metastases. It has heretofore been be- trials and should generally be implemented in parently is also associated with SGLT1 and pro- lieved
that the chance of nodal metastases is cases with lymphatic spread and unclear mar- motes glucose uptake into cancer cells through a rather low
in squamous cell carcinoma of the gins, which I assume means that patients have kinase-independent process.
hard palate and upper (maxillary) alveolus. positive margins. The immunohistochemical study showed
Therefore, the clinical node-negative neck is The overall survival rate after 1, 2, 5, and a significant correlation between SGLT1 and
usually observed rather than electively treated. 10 years of all comers (including the nonsurgi- EGFR. Moreover, expression of SGLT1/EGFR
There have been a large number of historical cal group) was 80.5%, 67.7%, 50.6%, and 36.6%. was inversely related to tumor differentiation
studies as these authors refer to in references The results of the surgical group were a little among the five clinicopathological factors one
to nine in this paper, including a paper by better, with overall survival being 83.8%, 71.5%, (P = 0.004). The combination of these two
Martin H (Am J Surg 1941;54:770–806), but be- 54.5% at 5 years (already noted), and 39.6% at factors might be required in the dedifferentia-
cause of the grouping of these tumors together, 10 years. The nonsurgical group did not fare as tion of oral squamous cell carcinoma, but the
the whole idea of what the outcome is in hard well, with 47.8% survival after 1 year, 30.7% af- authors were reticent to name it as a factor in
palate and maxillary alveolus is lacking. What- ter 2 years, 13.7% after 5 years, and 6.8% after recurrence or in death.
ever is thought, however, the patients who are 10 years. J.E.F
334 Part III: The Head and Neck

25 Diseksi Leher
Jatin P. Shah and Ian Ganly

kelenjar getah bening memiliki prognosis yang

PENDAHULUAN SISTEM STAGING UNTUK sangat buruk. Faktor prognostik penting
Satu-satunya faktor terpenting yang METASTATIK KARSINOMA lainnya adalah adanya penyebaran
ekstranodal di mana kapsul kelenjar getah
mempengaruhi prognosis karsinoma sel SEL SQUAMOSA bening pecah, akibat invasi jaringan lunak di
skuamosa kepala dan leher, kanker keenam
yang paling umum di seluruh dunia, adalah Sebuah sistem pementasan yang seragam sekitarnya. Hal ini meningkatkan kejadian
status kelenjar getah bening serviks. untuk metastasis regional ke kelenjar getah kekambuhan regional dan juga metastasis
Metastasis ke kelenjar getah bening regional bening serviks dibentuk oleh American Joint jauh. Pada leher N1 yang positif secara klinis,
mengurangi tingkat kelangsungan hidup 5 Committee on Cancer dan International terdapat insidensi 30% penyebaran
tahun sebesar 50% dibandingkan dengan Union Against Cancer. Sistem pementasan ekstranodal, sedangkan pada leher N2a / N3
pasien dengan penyakit tahap awal (Gbr. 1). untuk karsinoma sel skuamosa yang positif secara klinis, penyebaran
The American Cancer Society telah melaporkan ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 4. ekstranodal terdapat pada 50% hingga 70%.
bahwa 40% pasien dengan karsinoma Sistem pementasan untuk karsinoma tiroid Infiltrasi perivaskular dan perineural oleh
skuamosa rongga mulut dan faring hadir ditunjukkan pada Tabel 3. Sistem tumor juga memiliki efek negatif pada
dengan metastasis regional (Gbr. 2). Oleh pementasan didasarkan pada ukuran dan prognosis. Semua faktor ini harus
karena itu, pengelolaan kelenjar getah bening jumlah kelenjar getah bening yang dipertimbangkan ketika merencanakan
serviks merupakan komponen penting dalam perawatan tambahan setelah diseksi leher .
membesar. Kedua faktor ini memiliki
rencana perawatan keseluruhan untuk pasien
dengan karsinoma sel skuamosa kepala dan
signifikansi prognostik yang penting.
Prognosisnya memburuk dengan
leher.
meningkatnya stadium N. Namun, ada FAKTOR RESIKO
faktor nodal lain yang mempengaruhi METASTASIS
ANATOMI CERVICAL
prognosis yang tidak termasuk dalam
sistem pementasan.
NODUS
LYMPHATICS Risiko metastasis nodus serviks
dipengaruhi oleh karakteristik tumor primer
Kelenjar getah bening serviks FAKTRO NODUS seperti lokasi, ukuran, dan histologi.
diklasifikasikan menurut sistem yang MEMPENGARUHI PROGNOSIS Sebagai aturan umum, risiko metastasis
dikembangkan di Memorial Sloan- kelenjar getah bening meningkat untuk
Kettering Cancer Center pada 1930-an. Karakteristik nodus regional yang tumor yang letaknya lebih posterior, seperti
Sistem ini membagi kelenjar getah bening memengaruhi prognosis meliputi keberadaan orofaring dan hipofaring dibandingkan
di aspek lateral leher menjadi lima tingkat nodus positif patologis, ukuran kelenjar getah
nodal, I sampai V, seperti yang dengan bibir dan rongga mulut (Gambar 5).
bening metastasis, jumlah kelenjar getah Sebagai contoh, kanker orofaringeal berisiko
ditunjukkan pada Gambar. 3. Selain itu, bening yang terlibat, dan lokasi kelenjar getah
kelenjar getah bening di bagian pusat lebih tinggi daripada tumor rongga mulut.
dikategorikan ke dalam level VI dan yang
bening. Keterlibatan node serviks bawah (level Lesi amandel
di mediastinum superior anterior sebagai IV) dan segitiga posterior bawah
level VII. Tabel 1 mencantumkan
landmark klinis dan bedah yang
digunakan untuk menggambarkan level
ini. Baru-baru ini, level I, II, dan V node
disubklasifikasi ke level IA dan IB, IIA dan
IIB, dan VA dan VB. Level IA mencakup
kelenjar getah bening submental,
sedangkan level IB mencakup kelenjar
getah bening submandibular. Level IIA
termasuk kelenjar getah bening di bawah
saraf aksesori, sedangkan IIB mencakup
node di atas saraf aksesori. Segitiga
posterior telah dibagi menjadi level VA dan
VB, dengan garis pemisah menjadi saraf
aksesori di sudut posterior. Subdivisi ini
didasarkan pada pola penyebaran kelenjar
getah bening dari berbagai primer.
Sebagai contoh, penyebaran kelenjar
getah bening tingkat IA jarang terjadi
kecuali untuk tumor bibir bawah dan
dasar mulut anterior. Studi terbaru
menunjukkan bahwa, pada pasien yang
tidak memiliki level level IIA secara klinis,
penyebaran meta- statis ke level level IIB
jarang terjadi. Demikian pula, pada
kanker tiroid, penelitian telah dilakukan
shown

that metastatic spread to level VA lymph Fig. 1. Five-year survival rates of squamous cell carcinoma of the head and neck in relation to extent of
nodes is exceedingly rare. disease.
 Chapter 25: Neck Dissection 335

Fig. 2. Distribution of patients with squamous cell carcinoma of the head and neck in relation to extent
of disease at the time of initial diagnosis.

Fig. 3. Memorial Sloan-Kettering Cancer Center leveling system of cervical lymph nodes (A); current modification of leveling
system (B); and levels VI and VII (C).

Table 1 Clinical and Surgical Landmarks for Neck Node Levels

d nd Neck
Node level Clinical landmarks Surgical landmarks
Level I Submental and submandibular Superior-lower border of the body of the Table 2 Staging System of Regional
Lymph Nodes (N Stage) for a
triangles mandible; posterior-posterior belly of e aH
Squamous Cell Carcinoma e
digastric; inferior-hyoid bone of the Upper Aerodigestive

Th
Level II Upper jugular lymph nodes Superior-base of skull; posterior-posterior Tract Excluding
border of sternocleidomastoid muscle; Nasopharynx
anterior-lateral limit of sternohyoid;
inferior-hyoid bone Nx Regional lymph nodes cannot be
assessed
Level III Middle jugular lymph nodes Superior-hyoid bone; posterior-posterior
border of sternocleidomastoid muscle; N0 No regional lymph node metastases
anterior-lateral limit of sternohyoid; N1 Metastases in a single ipsilateral
inferior-cricothyroid membrane lymph node, 3 cm or less in
Level IV Lower jugular lymph nodes Superior-cricothyroid membrane; posterior- greatest dimension
posterior border of sternocleidomastoid N2a Metastases in a single ipsilateral
muscle; anterior-lateral limit of ster- lymph node, >3 cm but <6 cm
nohyoid; inferior-clavicle in greatest dimension
Level V Posterior triangle lymph nodes Posterior-anterior border of trapezius N2b Metastases in multiple ipsilateral
muscle; anterior-posterior border of lymph nodes, none >6 cm in
sternocleidomastoid muscle; inferior- greatest dimension
clavicle
N2c Metastases in bilateral or contralat-
Level VI Anterior compartment of the Superior-hyoid bone; inferior-suprasternal eral lymph nodes, none >6 cm in
neck notch; lateral-medial border of carotid greatest dimension
sheath on either side
N3 Metastases in a single ipsilateral
Level VII Superior mediastinal lymph Superior-suprasternal notch; inferior- lymph node >6 cm in greatest
nodes innominate artery dimension
336 Part III: The Head and Neck
Fig. 4. Staging system of regional lymph nodes (N stage) for squamous cell carcinoma of the upper
aerodigestive tract, excluding the nasopharynx.
and base of tongue have a very high inci
dence of nodal metastases. Tumors of the
hypopharynx universally have lymph node
metastases. The risk of nodal metastases is
higher for tumors of the supraglottic larynx
compared with the glottic larynx because of
the relative absence of lymphatic vessels in the
glottic larynx. The greater the T size of the
primary tumor, the greater the prob- ability of
having lymph node metastases. For example,
T1, T2, and T3 tongue cancers have an
incidence of metastatic disease to the neck of
30%, 50%, and 70%, respectively. Pathologic
features such as endophytic versus exophytic
tumors, poorer degree of differentiation, depth
of invasion, vascular
Table 3 Staging System of Regional
Lymph Nodes (N Stage) for
Thyroid Carcinoma
Nx Regional lymph nodes cannot be
assessed
N0 No regional lymph node metastases
N1 Regional lymph node metastases
N1a Metastases in central compartment
lymph nodes
N1b Metastases in unilateral, bilateral,
contralateral cervical or superior
mediastinal lymph nodes
invasion, and perineural invasion also de-
termine the risk of cervical metastases.
PATTERNS OF NODAL
METASTASES
The location of metastases is mainly deter-
mined by the location of the primary site.
Figure 6 illustrates the nodes typically af-
Fig. 5. The risk of nodal metastasis increases in relation to location of the primary squamous cell carci-
noma of the head and neck.
diposisikan oleh lokasi tumor primer. Kanker
rongga mulut biasanya menyebar pertama ke
node di level I hingga III, sedangkan kanker
orofaring, hipofaring, dan laring menyebar
terlebih dahulu ke node di level II hingga IV.
Pengamatan ini didasarkan pada filosofi bahwa
penyebaran nodal kanker terjadi secara teratur
dan dapat diprediksi sebagaimana ditentukan
oleh pola drainase limfatik di leher. Pada tahun
1972, Lindberg, dari MD Anderson Cancer
Center, adalah orang pertama yang
melaporkan bahwa kelompok kelenjar getah
bening yang paling sering terlibat dalam
kanker rongga mulut adalah tingkat II / III, dan
pada pasien dengan kanker di lantai dasar.
mulut, lidah, dan mukosa bukal, simpul yang
paling sering terlibat terletak di segitiga
submandibular (level IB). Lindberg juga
melaporkan bahwa kanker dapat
bermetastasis ke kedua sisi leher dan dapat
melewati node submandibular dan
jugulodigastrik yang bermetastasis terlebih
dahulu ke node midjugular (level III).).
Pola metastasis nodal adalah
kemudian dideskripsikan dengan baik oleh
Shah, dari Memo-Sloan-Kettering Cancer
Center, pada 1990. Untuk menentukan
kadar kelenjar getah bening yang berisiko
dari situs primer tertentu, Shah
menganalisis spesimen patologi dari 1.119
pembedahan leher radial klasik (RND) untuk
karsinoma sel skuamosa pada saluran
aerodigestif bagian atas. This consisted of
343 RNDs for the
leher negatif secara klinis (N0) dan 776 RND
untuk leher positif secara klinis. Dari
penelitian ini, insidensi spesimen leher positif
patologis adalah 82% untuk leher positif klinis
dan 33% untuk leher negatif klinis. Tabel 4 dan
5 menunjukkan persentase pasien dengan
node positif patologis pada setiap level untuk
penyakit positif klinis dan negatif secara klinis.
 Chapter 25: Neck Dissection 337

Fig. 6. Regional lymph nodes draining at a specific primary site.

pada laring, sebagian besar simpul positif

Dalam pengaturan leher positif secara telah menyebar ke kelenjar submaxillary,
berada pada level II hingga IV; level I dan V
klinis (Tabel 4), pasien dengan tumor rongga pengangkatan total penyakit tidak mungkin
masing-masing terlibat dalam 14% dan 7%.
mulut primer memiliki mayoritas node dilakukan. ”Pada tahun 1847, Warren
Pertanyaan tentang metastasis level V
positif di level I hingga III; level IV dan V menggambarkan upaya pengangkatan kanker
telah dibahas dalam sebuah studi terpisah
masing-masing terlibat dalam 20% dan 4% di leher melalui sayatan dari otot masseter ke
pada 1.277 RND oleh Davidson et al. pada
spesimen. Pada pasien dengan tumor klavikula, walaupun ini pastilah prosedur yang
tahun 1993. Metastasis ditemukan pada 40
orofaring primer, mayoritas node positif tidak direncanakan , tidak didasarkan pada
(3%) pasien. Metastase Level V adalah yang
berada di level II hingga IV; level I dan V pertimbangan atom. Kocher pada tahun 1880
tertinggi pada pasien dengan situs primer
masing-masing terlibat dalam 17% dan 11% menggambarkan penghapusan lidah untuk
hypopromyngeal dan oropharyngeal
spesimen. Pada pasien dengan tumor kanker melalui segitiga submaxillary, pertama
(masing-masing 7% dan 6%). Hanya 3 dari
hipofaringeal, sebagian besar nodus positif memindahkan limfatik dan kelenjar liur
40 pasien dengan leher negatif secara klinis
berada pada level II hingga IV; level I dan V submaxillary dan sublingual. Dia kemudian
yang memiliki kelenjar getah bening tingkat
masing-masing terlibat dalam 10% dan 11% mengusulkan bahwa limfatik serviks harus
V positif. Oleh karena itu, kejadian
spesimen. Pada pasien dengan tumor primer diangkat secara lebih luas dan
metastasis level V kecil dan sangat tidak
laring, sebagian besar simpul positif berada menggambarkan sayatan "Kocher", sayatan

The Head and Neck

mungkin dalam pengaturan leher negatif
pada level II hingga IV; level I dan V masing- berbentuk Y dengan lengan panjang berjalan
masing terlibat dalam 8% dan 5%. secara klinis. dari ujung mastoid ke bawah batas anterior
Dalam pengaturan leher negatif secara otot sternocleido-mastoid ke otot omohyoid,
klinis (Tabel 5), pasien dengan tumor rongga CLASSIFICATION OF dan tungkai pendek berjalan pada sudut
mulut primer memiliki mayoritas node NECK DISSECTION AND kanan ke daerah submental. Belakangan pada
positif di level I hingga III; level IV dan V INDICATIONS FOR NECK tahun 1885, Butlin menggambarkan
terlibat dalam 9% dan 2% spesimen, pengangkatan kelenjar getah bening serviks
masing-masing. Pada pasien dengan tumor DISSECTION untuk kanker lidah dan bahkan
orofaringeal primer, mayoritas node positif mendiskusikan pengangkatan profilaksis dari
berada pada level II hingga IV; level I dan V History “kelenjar” ini untuk kanker lidah.
terlibat dalam 7%. Pada pasien-pasien Pentingnya limfatik serviks regional pada Solis-Cohen of Philadelphia, America’s
dengan tumor-tumor hypophyngeal, kanker rongga mulut dicatat oleh Chelius pada first head and neck surgeon, later advocated the
kebanyakan simpul-simpul positif berada tahun 1847 yang berkomentar, “limfatik removal of cervical lymph nodes during total
pada level II hingga IV; level I dan V tidak tetangga menjadi keras dan menyakitkan” dan laryngectomy. However, most of the credit for
dilibatkan. Pada pasien dengan tumor “begitu pertumbuhan di mulut neck dissection as a curative opera- tion for
primer of cervical metastases belongs to orge
Washington Crile from the Cleveland inic. In 1900,
heGeperformed different types
Clf neck dissections and subsequently de- bed
Table 4 Percentage of Positive Lymph Nodes in the CN+ Neck oscri
the classic operation of RND in his article of
1905 published in the ransactions of the
seminal
Clinical N+ neck
TSouthern Surgical and Gy- ecological
% Positive nodes at each lymph node level according to primary site Association. This operation is now onsidered to
nbe the basic neck dissection all other
Primary site I II III IV V cprocedures are considered to be ifications.
Oral cavity 61 57 44 20 4 and
George Crile later described
Oropharynx 17 85 50 33 11 mods experience with 132 operations of RND in In
hi
1906. this operation, all lymphatic tissues
Hypopharynx 10 78 75 47 11
Larynx 8 68 70 35 5
338 Part III: The Head and Neck

llymph nodes in levels I to V, and also the

Table 5 Percentage of Positive Lymph Nodes in the CN0 Neck s ternocleidomastoid muscle, internal jugu-
Clinical N0 neck llar vein, spinal accessory nerve, and sub-
mand ibular salivary gland. MRND is divided
% Positive nodes at each lymph node level according to primary site iinto
type I, II, or III, depending on the struc-
Primary site I II III IV V tures that are preserved. Type I MRND in-
Oral cavity 58 51 26 9 2 volves preservation of one structure, the
spinal accessory nerve. Type II involves pres-
Oropharynx 7 80 60 27 7
ervation of two structures: the spinal acces-
Hypopharynx 0 75 75 0 0 sory nerve and the sternocleidomastoid
Larynx 14 52 55 24 7 muscl e. Type III involves preservation of the
s pinal accessory nerve, internal jugular vein,
and the sternocleidomastoid muscle. Type I
MRND is the most commonly employed
di leher lateral dari level I ke V secara untuk berbagai jenis diseksi leher ini neck dissection for squamous cell carcinoma
sistematik dihilangkan bersamaan dengan ditunjukkan pada Tabel 6. of the upper aerodigestive tract with clini-
otot sternokleidomastoid, vena jugu
cally positive neck disease. Type III MRND is
internal, saraf aksesori tulang belakang, dan
kelenjar liur submandibular. Operasi ini Comprehensive Neck Dissection most commonly employed for metastatic-
dipopulerkan oleh Hayes Martin dari Pusat differentiated carcinoma of the thyroid.
Diseksi leher komprehensif melibatkan
Kanker Sloan-Kettering Cancer Center, yang
pengangkatan semua jaringan limfatik di
menggambarkan prosedur bertahap RND
leher lateral (level I ke V) dan umumnya Selective Neck Dissection
dalam artikel klasiknya pada tahun 1951.
Namun, operasi ini bukan tanpa morbiditas, dilakukan untuk leher positif secara klinis Diseksi leher selektif menghemat semua
karena menghasilkan kelainan bentuk (N +). Mereka dapat diklasifikasikan ke jaringan sinonim-limfatik, termasuk otot
kosmetik dan disfungsi gerakan bahu. dalam RND dan MRND (Gambar 7), sternokleidomastoid, vena jugularis interna,
Hal ini menyebabkan tergantung pada struktur apa yang dan saraf aksesori tulang belakang. Namun
pengembangan diseksi leher yang dieksisi. RND melibatkan penghapusan tidak demikian
dimodifikasi / fungsional. Oswaldo Suarez
dari Argentina adalah yang pertama
menggambarkan diseksi leher fungsional
pada tahun 1963, yang sekarang disebut
diseksi leher radikal termodifikasi Nodal levels Structures
(MRND). Dia menggambarkan Comprehensive removed preserved Indications
pengangkatan semua lima level kelenjar Radical neck dissection Levels I–V None N+ neck for SCC where SAN
getah bening di leher sambil menjaga saraf
aksesori tulang belakang, otot involved
sternocleido-mastoid, dan vena jugularis Modified radical neck Levels I–V SAN N+ neck for SCC where SAN
interna untuk membatasi segala dissection type I
kecacatan fungsional pada shoulder.
free of disease
Namun, terbitannya ada di Spanish dan Modified radical neck Levels I–V SAN, SCM N+ neck for SCC where IJV
oleh karena itu teknik itu tidak dissection type II involved but SAN free of
dipopulerkan sampai Ettore Bocca, yang
disease
mempelajari teknik ini dari Suarez, dan
menerbitkannya dalam literatur bahasa Modified radical neck Levels I–V SAN, SCM, IJV Metastatic differentiated
Inggris pada tahun 1967. Penghapusan dissection type III thyroid carcinoma
selektif kelompok nodal regional
berdasarkan pola pola kelenjar getah Selective
bening yang dapat diprediksi. spread Supraomohyoid neck Levels I–III SAN, SCM, IJV N0 neck for SCC of oral cavity
kemudian dipopulerkan by Ballantyne from
dissection and oropharynx (include
M.D. Anderson Cancer Center. In 1985, Byers from
level 4)
M.D. Anderson Cancer Center menggunakan
istilah diseksi leher "anterior" dan N0 neck malignant melanoma
"supraomohyoid" untuk menggambarkan where primary site is
prosedur diseksi leher selektif untuk kanker anterior to ear (include
rongga mulut dan faring. Diseksi leher ini parotidectomy for face and
dideskripsikan untuk digunakan pada pasien scalp)
dengan leher yang secara klinis negatif dan Extended suprao- Levels I–IV SAN, SCM, IJV N0 neck for SCC of lateral
didasarkan pada filosofi bahwa penyebaran mohyoid neck tongue
kanker secara progresif dilakukan dengan cara dissection
yang teratur dan dapat diprediksi. Sayangnya,
Lateral neck dissection Levels II–IV SAN, SCM, IJV N0 neck for SCC of larynx and
istilah "diseksi leher yang dimodifikasi,"
hypopharynx
"diseksi leher fungsional," dan "diseksi leher
selektif" menyebabkan kebingungan yang Posterolateral neck Levels II–V, SAN, SCM, IJV N0 neck malignant melanoma
cukup besar. Oleh karena itu, pada tahun dissection suboccipital, where primary site is
1991 American Academy of Otolaryngology- retroauricular posterior to ear
Head and Neck Surgery menerbitkan artikel nodes
yang mengklasifikasikan pembedahan leher
menjadi komprehensif dan selektif. Ini SAN, spinal accessory nerve; SCM, sternocleidomastoid muscle; IJV, internal jugular vein.
kemudian diperbarui pada tahun 2002.
Struktur dihapus dan indikasi

Fig. 7. Classification of comprehensive neck dissections.
lepaskan semua jaringan limfatik pada sisi
leher yang terlibat seperti halnya diseksi leher
yang komprehensif, tetapi gunakan
pengangkatan selektif daerah nodal yang
berisiko. Ini ditentukan oleh pola prediksi
metastasis berdasarkan lokasi tumor primer.
Hal ini didasarkan pada pengamatan klinis
bahwa karsinoma sel skuamosa dari
metastasis saluran aerodigestif bagian atas
dalam pola yang dapat diprediksi dan
berurutan. Diseksi leher selektif karena itu
umumnya dilakukan untuk leher negatif
secara klinis (N0), di mana ada setidaknya 15%
sampai 20% risiko penyakit metastasis
okultisme. Indikasi tambahan dapat berupa
situasi di mana akses bedah ke primer meluas
ke kelompok kelenjar getah bening yang
berisiko metastasis. Lebih kontroversial, dapat
digunakan untuk metastasis nodal terbatas
pada node eselon pertama (biasanya N1) ketika
primer sedang dirawat oleh operasi. Namun,
penting untuk menunjukkan bahwa leher
memerlukan terapi radiasi pasca operasi
dalam pengaturan ini, seperti yang dilaporkan
oleh Byers, Pellitteri et al., Spiro et al., Dan
Traynor et al. Diseksi leher selektif umum
ditunjukkan pada Gambar. 8. Ini termasuk
suprao-
diseksi leher mohyoid (SOHND), di mana
kelenjar getah bening di tingkat I sampai III
dan kelenjar liur sub-mandibula dihilangkan
(Gambar 8A); SOHND yang diperluas, di mana
kelenjar getah bening di level I ke IV dan
kelenjar submandula diangkat (Gbr. 8B);
diseksi leher antero-lateral (LND), di mana
kelenjar getah bening di tingkat II sampai IV
dihapus (Gambar 8C); posterolateral neck
dissection (PLND), di mana kelenjar getah
bening di tingkat II ke V dan juga kelenjar getah
bening suboksipital dan retroauricu diangkat
(Gbr. 8D); dan bagian leher kompartemen
sentral atau anterior, di mana kelenjar getah
bening pada level VI di daerah prelaring,
pretrakeal, dan pararacheal dihilangkan (Gbr.
8E).
SOHND direkomendasikan untuk
karsinoma sel skuamosa rongga mulut
dengan risiko tinggi mikrometastasis di
leher yang secara klinis negatif untuk
penyakit. Byers melaporkan tingkat
kekambuhan 5,8% pada 154 N0 pasien yang
diobati dengan SOHND. Tingkat
kekambuhan yang serupa dilaporkan oleh
Spiro et al. dan O'Brien. Untuk penyakit
simpul-positif, hasil SOHND selektif lebih
bervariasi. Byers melaporkan tingkat
kekambuhan regional sebesar 15%. Pellitteri
et al. melaporkan regional
Chapter 25: Neck Dissection 339
tingkat kekambuhan 11%. Pada tahun
The Head and Neck
1999, Byers melaporkan bahwa tingkat
kekambuhan regional adalah 36% pada
pasien dengan penyakit leher N1 positif
patologis yang belum menerima terapi
radiasi, tetapi 5,6% di antara mereka yang
telah menerima radiasi pasca operasi.
Untuk penyakit N2b yang positif secara
patologis, tingkat kegagalan adalah 8,8%
dengan radiasi dan 14% tanpa. Spiro et al.
pada tahun 1996 melaporkan tingkat
kekambuhan 6% pada pasien yang telah
menerima radiasi pasca operasi setelah
SOHND.
SOHND yang diperpanjang
direkomendasikan untuk karsinoma sel
skuamosa lidah lateral. Hal ini didasarkan
pada pengamatan bahwa pasien dengan
karsinoma primer dari batas lateral lidah
lisan memiliki risiko yang kecil tetapi
meningkat metastasis skip ke level IV
dibandingkan dengan situs lain di rongga
mulut. Oleh karena itu, perawatan selektif
leher N0 pada kanker lidah lateral harus
mencakup level IV.
LND direkomendasikan untuk karsinoma
sel skuamosa laring atau faring dengan risiko
tinggi micrometastases di leher yang secara
klinis negatif untuk penyakit. Jika tumor
primer melewati garis tengah, prosedur ini
adalah
340 Part III: The Head and Neck
dilakukan secara bilateral. LND diindikasikan
untuk kanker orofaring ketika tumor primer
diobati dengan operasi di leher yang secara
klinis negatif untuk penyakit. Jika terapi
radiasi pascaoperasi diindikasikan, tidak
perlu untuk melakukan LND bilateral karena
radiasi saja efektif dalam mengobati leher
kontralateral node-negatif. Kanker hipofaring
sering bermetastasis ke
Fig. 8. Classification of selective neck dissections.
kedua sisi leher. Oleh karena itu, LND bilateral
direkomendasikan pada pasien dengan
pengaturan leher negatif secara klinis. Pada
kanker glotis supra-glotis dan lanjut, diseksi
leher bilateral umumnya direkomendasikan.
LND tidak diindikasikan untuk lesi glotis awal.
Pada tahun 1985, Byers melaporkan data
efikasi untuk tingkat kekambuhan setelah
LND 3,9% di antara 256 pasien dengan
penyakit leher negatif patologis (pN0). Dia juga
melaporkan tingkat kekambuhan 7,3% di
antara 41 pasien dengan penyakit leher positif
patologis (pN +) yang menjalani LND; 37 dari 41
pasien menerima radiasi pascaoperasi.
Namun, pada pasien dengan beberapa kelenjar
getah bening positif, Byers melaporkan tingkat
kegagalan regional sebesar 30% untuk mereka
yang diobati dengan pasca operasi radiasi

dan 33% untuk mereka yang tidak. Diseksi
leher selektif karena itu tidak diindikasikan
ketika ada bukti dari beberapa node positif.
PLND direkomendasikan untuk
keganasan kulit primer pada kulit kepala
posterior (mis., Melanoma dan karsinoma
sel skuamosa). Diseksi leher kompartemen
sentral direkomendasikan untuk karsinoma
tiroid yang berdiferensiasi di mana penyakit
ini terbatas pada kelenjar pretrakeal dan
paratrakeal..
Sentinel Node Biopsy
Nodus limfa sentinel didefinisikan sebagai
nodus limfa eselon pertama tempat kanker
menyebar. Teknik biopsi kelenjar getah
bening sentinel (SLNB) memungkinkan
pemeriksaan terfokus pada kelenjar getah
bening dengan risiko tertinggi untuk
metastasis, sehingga diseksi leher hanya
dilakukan pada pasien dengan simpul
positif dan sisanya dapat terhindar dari
morbiditas kelenjar getah bening. operasi.
Identifikasi simpul sentinel memerlukan
penggunaan limfosintigrafi preoperatif
menggunakan teknetium radioaktif dan
kemudian injeksi pewarna biru (toluidine
blue) pada saat operasi. Node sentinel
diidentifikasi menggunakan gamma probe
dan dikonfirmasi dengan injeksi pewarna
biru pada saat biopsi. Patologi simpul
sentinel membutuhkan pewarnaan
hematoklin dan eosin dan
imunohistrokimia. Node membutuhkan
pemutusan serial pada bagian 150 μm
untuk analisis yang akurat.
Melanoma
Melanoma kulit sangat cocok untuk teknik ini
karena tumor primer mudah divisualisasikan
membuat injeksi ke dalam tumor relatif
mudah. Kegunaan dan keandalan teknik telah
dijelaskan dengan baik dalam berbagai
publikasi sejak pertama kali dilaporkan pada
tahun 1990 oleh Morton. Pada melanoma
kepala dan leher, SLNB adalah cara paling
akurat untuk menentukan leher dan
merupakan prediktor penting dari hasil. Studi
menunjukkan bahwa kelangsungan hidup
spesifik penyakit 2 tahun untuk pasien SLN-
negatif adalah 93% dibandingkan dengan 50%
untuk pasien SLN-positif (P = NS). Jika pasien
positif SLN, mereka dapat dikelola dengan
diseksi leher atau dengan terapi sistemik
dengan agen imunomodulator seperti
interferon, interleukin, atau terapi berbasis
vaksin. Tinjauan sistematis melaporkan bahwa
tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
diseksi leher pada pasien yang SLN positif
meningkatkan kelangsungan hidup secara
keseluruhan dibandingkan dengan pasien
yang tidak memiliki bagian leher. Oleh karena
itu apakah atau tidak untuk melakukan
diseksi leher pada pasien yang SLN positif
adalah keputusan individu antara ahli bedah
dan pasien.
Mucosal Squamous Cell Cancer
Sebagian besar kanker rongga mulut juga
mudah divisualisasikan dan, secara umum,
dapat diakses dengan injeksi langsung. Ini
telah mengarah pada saran bahwa teknik
biopsi simpul sentinel mungkin berguna
dalam manajemen leher untuk kanker
rongga mulut. Teknik ini untuk karsinoma
sel skuamosa rongga mulut pertama kali
dilaporkan oleh Shoaib et al. di mana biopsi
nodus sentinel dilakukan sebelum diseksi
leher elektif (END) pada pasien dengan leher
negatif secara klinis. Sebuah laporan
meneliti SLNB di 57 leher N0 secara klinis
pada 48 pasien dan melaporkan bahwa 15
(35%) dikalahkan oleh SLNB dan 28 (65%)
dipentaskan SLN negatif. Dengan rata-rata
follow up selama 18 bulan, hanya satu
pasien yang mengembangkan penyakit leher
regional setelah dipentaskan negatif pada
SLNB. Sensitivitas keseluruhan dari teknik
ini adalah 94%. Namun, teknik ini masih
eksperimental dan hanya boleh dilakukan di
pusat-pusat dengan keahlian yang
diperlukan dan volume kasus yang sesuai
karena telah ditunjukkan bahwa pusat-
pusat yang melakukan teknik ini dengan
<10 kasus per tahun memiliki sensitivitas
yang jauh lebih rendah. . Masalah teknis
"bersinar melalui," di mana tingkat
radioaktivitas di situs utama berpotensi
mengaburkan simpul sentinel, adalah salah
satu masalah potensial. Peran SLNB dalam
kanker rongga mulut lanjut terbatas karena
negatif palsu yang dihasilkan dari obstruksi
aliran limfatik yang disebabkan oleh tumor
dan pengalihan aliran ke nodus yang
berdekatan..
Neck Dissection
Post-chemoradiation
Proporsi yang semakin meningkat dari pasien
dengan karsinoma sel skuamosa stadium
lanjut pada laring dan faring diterapi dengan
protokol pelestarian organ radioterapi dengan
kemoterapi. Penatalaksanaan kelenjar getah
bening serviks pada pasien-pasien ini yang
dirawat dengan leher yang positif secara klinis
masih menjadi area kontroversi. Leher dapat
dikelola dengan satu dari tiga cara; dengan
observasi, dengan diseksi leher yang
direncanakan, atau dengan diseksi leher
penyelamatan.
Observation
Pengamatan leher dapat dilakukan pada
pasien yang memiliki respon lengkap atau
hampir lengkap terhadap pengobatan. Bukti
untuk pendekatan ini berasal dari studi yang
telah melaporkan tingkat kekambuhan
regional yang rendah. Satu studi melaporkan
pada 102 pasien dengan penyakit leher N2 / 3
dengan respon lengkap secara klinis dan
radiologis pada 12 minggu setelah kemoradiasi
di mana tidak ada bagian yang direncanakan
dilakukan. Dengan rata-rata tindak lanjut 4,3
tahun, tidak ada pasien yang mengalami
kekambuhan leher.
Chapter 25: Neck Dissection 341
Lau et al. melaporkan bahwa pada pasien
yang diamati setelah respons lengkap pasca
kemoradiasi dengan penyakit leher N2 / 3,
kelangsungan hidup bebas rekurensi
lokoregional 2 tahun adalah 95%. Namun,
penelitian lain melaporkan pada 65 pasien
yang memiliki respons lengkap terhadap
CTRT yang dikelola dengan observasi leher.
Dengan rata-rata tindak lanjut 9 tahun, ada
10% hingga 15% kejadian kekambuhan
leher. Pasien yang memiliki respons lengkap
terhadap kemoterapi induksi lebih kecil
kemungkinannya untuk meningkatkan
saran bahwa respons terhadap kemoterapi
induksi dapat digunakan sebagai indikator
untuk siapa yang harus merencanakan
diseksi leher..
Planned Neck Dissection
Diseksi leher yang direncanakan biasanya
dilakukan pada pasien dengan penyakit
leher N2 dan N3, terlepas dari respons
terhadap CTRT. Diseksi leher biasanya
dilakukan 6 minggu setelah kemoterapi
selesai; ini memiliki keuntungan
melakukan diseksi leher sebelum
timbulnya fibrosis, sehingga membuat
diseksi leher secara teknis serupa dalam
kompleksitasnya dengan diseksi leher
nonchemadiadiation. Bukti untuk
kebijakan diseksi leher yang direncanakan
berasal dari penelitian, yang telah
menunjukkan adanya tumor pada
spesimen diseksi leher pada pasien yang
memiliki respons radiologis dan klinis
lengkap atau hampir lengkap di leher.
Sebelum pengenalan pemindaian PET,
diseksi leher yang direncanakan adalah
metode konvensional untuk mengelola
leher yang mengikuti CTRT. Beberapa
kelompok masih mempraktikkan
kebijakan ini karena keterbatasan atau
ketidakmampuan PET. Namun, sebagian
The Head and Neck
besar kelompok sekarang menggunakan
kebijakan diseksi leher penyelamatan.
Salvage Neck Dissection
Diseksi leher penyelamatan biasanya dilakukan
jika ada bukti klinis dan / atau radiologis
penyakit leher setelah selesainya kemoradiasi.
Penggunaan FDG-PET telah membantu
mengidentifikasi pasien yang berisiko untuk
kanker residual setelah CTRT, memungkinkan
kami untuk memilih pasien yang akan mendapat
manfaat dari kebijakan diseksi leher. FDG-PET
biasanya dilakukan pada 12 minggu setelah
selesai CTRT untuk meminimalkan hasil positif
palsu dari peradangan residual dari CTRT.
Diseksi leher penyelamatan pada pasien yang
memiliki node PET-positif dilakukan setelah 12
minggu pasca-CTRT. Ini memiliki keuntungan
membuat operasi secara teknis lebih sulit karena
timbulnya fibrosis. Hal ini dapat mengakibatkan
peningkatan morbiditas dalam hal disfungsi
bahu, komplikasi luka, dan kualitas hidup
dibandingkan dengan diseksi leher yang
dilakukan tanpa kemoterapi. Selain itu,
pemeriksaan patologis spesimen sering gagal
menunjukkan bukti
342 Part III: The Head and Neck
penyakit di luar node positif (po) pada CT scan
awal. Ini telah menyebabkan banyak ahli
bedah mempertanyakan perlunya melakukan
diseksi leher komprehensif dalam situasi ini
dan sekarang ada beberapa laporan yang
menggambarkan penggunaan selektif atau
superselektif (perpindahan dua atau lebih
level leher yang berdekatan) diseksi leher ke
mengobati penyakit residual tanpa
peningkatan kekambuhan regional.
MANAGEMENT OF THE NECK
IN THYROID CANCER
Pada pasien dengan leher negatif secara klinis,
kejadian mikrometastasis okultisme di leher
berkisar dari 30% hingga 70%. Insidensi
tergantung pada ukuran primer (26% pada
tumor <1 cm dan 66% pada tumor> 1 cm).
Machens et al. melaporkan bahwa node pusat
dan lateral terlibat dalam 29% masing-masing,
sedangkan Wada et al. melaporkan 61% untuk
kompartemen pusat dan 40% untuk
kompartemen lateral. Miralley melaporkan
bahwa node paratrakeal adalah situs yang
paling umum terlibat (50%). Shaha
melaporkan pada 1.038 pasien di MSKCC
bahwa 56% pasien memiliki leher positif secara
klinis pada evaluasi awal. Mengingat fakta
bahwa metastasis kelenjar getah bening begitu
umum, mungkin agak mengejutkan bahwa
kanker tiroid memiliki tingkat kelangsungan
hidup 10 tahun 93% hingga 98%. Masih ada
kontroversi tentang dampak metastasis nodal
pada kelangsungan hidup. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
penurunan dalam kelangsungan hidup di
hadapan penyakit nodal, terutama pada
populasi yang lebih muda dari pasien <45
tahun. Studi lain melaporkan kelangsungan
hidup yang berkurang. Ukuran nodal> 3 cm
dan penyebaran ekstrakapsular adalah tanda
prognostik yang buruk. Oleh karena itu
pengelolaan leher adalah subjek yang
kontroversial.
Management of the Clinically
Negative Neck
Central Compartment Nodes
Karena tingginya insiden metoda okultisme,
banyak yang merekomendasikan pengobatan
elektif pada kelenjar getah bening
kompartemen pusat. Dalam sebuah studi
kasus kontrol dari 195 pasien yang mengalami
diseksi leher kompartemen sentral, satu studi
melaporkan bahwa kelangsungan hidup 10
tahun lebih besar pada kelompok yang
memiliki diseksi leher dibandingkan dengan
mereka yang tidak (98,4% vs 89% menjadi
92%) . Disarankan lain bahwa hanya bagian
sentral ipsilateral yang perlu dibedah untuk
tumor <2 cm; kadar tiroglobulin
pascaperawatan untuk pasien yang memiliki
kompartemen sentral ipsilateral versus
komplit adalah setara. Penulis lain
menunjukkan bahwa terapi yodium radioaktif
aktif mungkin menjadi pengobatan alternatif
karena kompartemen sentral
Diseksi berhubungan dengan tingginya
insiden hiperatiroidisme sementara dan
permanen serta meningkatkan risiko
kerusakan pada saraf laring berulang.
Dengan demikian, pembedahan dari bagian
pusat hanya boleh dilakukan jika ada node
yang tampak membesar atau
mencurigakan.
Lateral Compartment Nodes
Meskipun metastasis okultisme terlihat pada
hingga 40% dari pasien, penelitian telah
menunjukkan bahwa pada pasien yang
memiliki diseksi leher lateral dan mereka yang
tidak, laju aliran regional sama,
menunjukkan bahwa diseksi elektif rutin
lateral leher tidak diindikasikan. Terapi
yodium radioaktif mungkin cukup untuk
mengobati penyakit metastasis okultisme.
Pengobatan elektif pada leher latal karena itu
bukan praktik standar.
Management of the Clinically
Positive Neck
Jika ada node di kompartemen pusat, diseksi
leher kompartemen sentral dilakukan. Jika
ada node di kompartemen lateral, maka diseksi
leher lateral juga harus dilakukan. Pasien yang
memiliki nodus lateral positif tetapi tidak ada
nodus di kompartemen sentral secara klinis,
yaitu, melewati metastasis, diobati dengan
diseksi leher lateral dan sentral terpadu;
sebuah studi terbaru oleh Khafif et al.
melaporkan bahwa pada pasien dengan node
positif di kompartemen leher lateral, 84% dari
pasien ini juga akan memiliki node positif di
kompartemen sentral. Perdebatan utama
adalah mengenai jenis diseksi leher lateral apa
yang harus dilakukan. Beberapa penelitian
telah menunjukkan bahwa berbagai level leher
terlibat ketika leher lateral positif secara klinis.
Ini adalah argumen yang menentang “memetik
buah beri” atau diseksi leher super selektif
karena hal ini dapat menyebabkan tingkat
yang lebih tinggi dari penyakit yang terlewat
dan operasi yang berulang. Direkomendasikan
bahwa RND tipe III modifikasi komprehensif
dilakukan untuk leher positif. Dalam studi
Kuperman dari 44 pembedahan leher pada 39
pasien, semua pasien memiliki tingkat II
sampai V yang dibedah; insiden metastasis
adalah 52% di level II, 57% di level III, 41% di
level IV, dan 21% di level V. Roh melaporkan
bahwa 76% level IV dan 70% level IIA dan III
node terlibat, 17% dari level IIB, 4% di level I,
dan 16% di kompartemen infraaccessory level
V tetapi 0% di kompartemen saraf
supraaccessory level V. Oleh karena itu penulis
ini merekomendasikan pembedahan level II ke
V termasuk level IIB tetapi hemat.
kompartemen suaccesscessory level V.
Sebaliknya, sebuah studi membandingkan
MRND tipe III dengan diseksi leher selektif
(level II ke IV) menunjukkan tidak ada
perbedaan dalam bebas penyaki,
kelangsungan hidup, kelangsungan hidup
secara keseluruhan, atau rekurensi lokal pada
80 bulan follow up.
MANAGEMENT OF THE
NECK IN MELANOMA
Management of the
Clinically Negative Neck
Metastasis nodal regional relatif jarang pada
melanoma kulit tipis (tebal <1 mm) pada
daerah kepala dan leher, dan oleh karena itu
END tidak direkomendasikan. Lesi yang lebih
tebal (> 4 mm) dikaitkan dengan insiden tinggi
metastasis jauh dan oleh karena itu END
kemungkinan tidak berdampak pada
kelangsungan hidup dalam populasi ini. Peran
END pada pasien dengan melanoma dengan
ketebalan sedang (tebal 1,0 hingga 4 mm) terus
diperdebatkan, karena hanya sekitar 15%
pasien yang memiliki nodus metastasis yang
dapat dibuktikan secara histologis sehingga
85% sisanya dapat dianggap telah mengalami
perlambatan. prosedur sary. Pasien-pasien ini
dipilih untuk biopsi simpul sentinel untuk
memudahkan penatalaksanaan lebih lanjut.
Empat percobaan acak dan studi retrospektif
yang besar pada pasien dengan melanoma
ketebalan menengah telah gagal menunjukkan
peningkatan dalam kelangsungan hidup
setelah END.
Management of the
Clinically Positive Neck
Penyebaran limfatik regional yang tampak
secara klinis ke kelenjar parotis atau ke
kelenjar getah bening serviks harus dikelola
dengan parotidektomi yang memadai dan
diseksi leher komprehensif, dengan
kemungkinan terapi radiasi tambahan.
Awalnya diyakini sebagai tumor yang resisten
terhadap radiasi, melanoma kulit memiliki
respons radiasi yang berbeda dari karsinoma
sel skuamosa, menunjukkan kematian sel
tumor yang efektif pada dosis per fraksi yang
lebih tinggi daripada SCC. Akibatnya, skema
hipofraksiasi yang menggunakan fraksi dosis
besar telah digunakan. Radioterapi
hipofractionasi ajuvan telah terbukti
meningkatkan tingkat kontrol lokoregional
aktuaria 5 tahun untuk pasien dengan
penyakit stadium II dan III.
MANAGEMENT OF THE NECK
IN SALIVARY GLAND CANCER
Management of the Clinically
Negative Neck
Metastasis serviks okultisme jarang terjadi
pada kanker kelenjar ludah utama. Armstrong
et al. melaporkan kejadian metastasis
okultisme sebesar 12% pada 407 pasien

yang secara klinis simpul negatif. Faktor
risiko yang signifikan untuk metastasis
nodal okultis dari kanker kelenjar ludah
utama meliputi ukuran tumor primer
ukuran> 4 cm (20% vs 4%), dan kadar tumor
tinggi (49% vs 2%). Oleh karena itu, END
harus dipertimbangkan pada pasien dengan
kelainan tingkat tinggi dan tumor T3 / T4.
Diseksi leher selektif untuk kanker parotis
harus mencakup level I hingga IV. Atau, jika
diantisipasi bahwa radioterapi pasca operasi
akan diberikan ke situs utama, maka leher
ipsilateral dapat diobati dengan radioterapi
pada saat yang sama daripada dengan END.
Management of the
Clinically Positive Neck
Untuk metastasis nodal yang jelas secara klinis,
pasien harus dirawat dengan parotidektomi, dan
diseksi leher komprehensif diikuti oleh
radioterapi pasca operasi. Klussman et al. telah
melaporkan bahwa pada analisis multivariat,
keterlibatan kelenjar getah bening tingkat I
adalah prediktor independen of
poor disease-specific survival.
The benefit of adjuvant radiotherapy has
been demonstrated in a matched-pair anal-
ysis of patients receiving combined surgery
and postoperative radiotherapy compared
untuk pasien yang dirawat dengan operasi
saja. Kelangsungan hidup determinasi lima
tahun untuk kelompok terapi kombinasi
ditingkatkan dibandingkan dengan
kelompok yang menjalani operasi saja
(48,9% vs 18,7%), dan kontrol locoregional
juga ditingkatkan (69,1% vs 40,2%).
Manfaat terapi radiasi pasca operasi
terutama diucapkan pada pasien dengan
tumor primer stadium tinggi dan tingkat
tinggi.
TECHNIQUE OF NECK
DISSECTION
Comprehensive Modified
Neck Dissection: Type 1
Ini saat ini merupakan operasi yang paling
sering dilakukan pada pasien dengan
penyakit leher positif secara klinis (cN +) di
mana saraf aksesori tidak terlalu terlibat
oleh kanker..
Anesthesia
Anestesi endotrakeal umum dengan relaksasi
otot sangat penting untuk melakukan diseksi
leher. Pasien biasanya ditempatkan dalam
posisi terlentang dengan kepala terangkat
hingga 30 derajat. Leher dihipotesiskan dan
diputar ke sisi yang berlawanan .
A B
Comprehensive Supraomohyoid
D E
Posterolateral Comprehensive
(Thyroid)
Fig. 9. Skin incisions for various types of neck dissections.
Procedure
Diseksi dimulai dengan peningkatan flap kulit
posterior. Kulit diiris dengan pisau bedah dan
kemudian prosedur dilakukan dengan
menggunakan electrocautery. Sayatan kulit
diperdalam melalui jaringan subkutan dan
kemudian melalui otot platysma. Flap posterior
kemudian dinaikkan di bidang subplatysmal
dengan menerapkan traksi ke flap dengan kait
kulit dan kontra gerak dari jaringan lunak
yang lebih dalam. Flap diangkat hingga ke
bagian anterior otot trapezius (Gbr. 10).
Selama peningkatan ini, perawatan diambil
untuk tidak memasuki bantalan lemak segitiga
posterior untuk mencegah cedera pada saraf
aksesori tulang belakang. Perbatasan anterior
otot trapezius adalah kerangka dan kemudian
perawatan diambil untuk mengidentifikasi
saraf aksesori tulang belakang (Gambar 11).
Hal ini dapat dilakukan dengan
mengidentifikasinya ketika melewati bagian
bawah otot trapezius di bagian bawah leher,
atau dengan mengidentifikasi 1 cm lebih tinggi
dari titik Erb (yang merupakan pleksus saraf
kulit serviks di perbatasan posterior). otot
sternokleidomastoid ~ 6 cm dari lobulus
inferior telinga). Setelah diidentifikasi, saraf
dibedah keluar dari entri di otot trapezius
hingga batas posterior otot
sternokleidomastoid. Saraf kemudian
ditindaklanjuti melalui otot
sternocleidomastoid, membagi otot dengan
electrocautery sambil melindungi
Chapter 25: Neck Dissection 343
C
Jugular
F
Modified
(Parotid)
nerve with an Adson clamp under direct
vision at all times.
Menarik kembali bagian anterior
dari cephalad otot sternocleidomastoid
dan bagian belakang caudad membantu
dalam diseksi saraf. Saraf kemudian
dengan hati-hati dibedah dalam arah
The Head and Neck
cephalad sepanjang batas lateral vena
jugularis interna sampai keluarnya dari
foramen jugularis pada dasar tengkorak
di bawah perut posterior otot digastrik.
Setelah ini dilakukan, saraf kemudian
dipisahkan dengan hati-hati dari
jaringan di bawahnya menggunakan
gunting Martin dan Reynolds.
Penempelan superior otot sternocleido-
mastoid kemudian dilepaskan dari
proses mastoid, dan jaringan lemak
yang terletak pada segitiga
supraaksesoris dibedah dari lantai otot,
bekerja dari arah lateral ke medial.
Jaringan dibedah secara berurutan dari
otot caplen splenius, diikuti oleh otot
skapula levator. Pada titik ini, jaringan
kemudian dapat dilewatkan di bawah
saraf aksesori yang dibedah dan
dibedah dari sisa lantai otot dari
segitiga posterior (Gbr. 12). Bekerja
dalam arah lateral-ke-medial, batas
anterior setiap otot berikutnya terbuka.
Otot skalen posterior terbuka dan
kemudian perut inferior otot omohyoid
dibagi pada perlekatannya pada
skapula. Pembuluh servikal transversal
ditemui inferior dan
344 Part III: The Head and Neck

dibagi antara klem dan diikat dengan dasi

sutra. Hal ini memungkinkan spesimen ditarik
kembali secara medial, memungkinkan diseksi
lebih lanjut dari lantai berotot, pertama
mengekspos otot skalen tengah dan kemudian
otot skalena anterior dengan pleksus brakialis
di antara.
Pada permukaan anterior otot skalene
anterior, saraf frenik diidentifikasi lewat
dalam arah lateral ke medial (Gbr. 13).
Perawatan harus diambil untuk tidak
mengangkat saraf ini dengan blok jaringan
lunak di atasnya. Setelah saraf frenikus
diidentifikasi dan dipertahankan, diseksi
kemudian dilanjutkan ke arah cephalad,
mengidentifikasi cabang serviks kulit saat
mereka memisahkan akar cervical. Cabang-
cabang ini dibagi dan tunggul akar saraf
diikat. Hal ini memungkinkan spesimen
untuk ditarik kembali secara medial untuk
mengekspos vena jugularis interna, arteri
karotis umum, dan saraf vagus.
Pada titik ini, spesimen dibiarkan jatuh
kembali ke posisi aslinya di segitiga
posterior. Perhatian kemudian dialihkan ke
flap kulit anterior. Sayatan transversal kulit
selesai dari titik trifurkasi hingga ujung
medial. Kulit, jaringan subkutan, dan otot
platysma dibagi, dan flap subplatysmal
anterior meningkat hingga garis tengah
secara superior dan ke ujung medial otot
sternokleidoma-toid pada perlekatannya
pada sterum dengan inferior. Retractor loop
besar digunakan untuk meningkatkan
Fig. 10. Elevation of the posterior skin flap. paparan lebih rendah. Menggunakan elec-
trocautery dengan arus koagulasi, kepala
sternum dan klavikular otot sternocleido-
mastoid dibagi. Otot kemudian ditarik ke
arah cephalad dan jaringan areolar yang
longgar dibedah untuk mengekspos
selubung karotis. Perbatasan lateral otot-
otot tali ditarik kembali secara medial,
memungkinkan selubung karotid terekspos
sepenuhnya. Selubung dibuka dan arteri
karotis, saraf vagus, dan vena jugularis
interna diidentifikasi dan dibedah. Vena
jugularis interna kemudian dibagi antara
klem dan diikat dua kali dengan ikatan
sutra 2-0 (Gbr. 14). Jahitan transfiksion 3g
chromic catgut digunakan untuk
mengamankan ujung distal vena. Jaringan
limfatik yang terletak lateral dari vena
jugularis interna yang meliputi duktus
rasialis di sisi kiri dan limfatik yang tidak
disebutkan namanya di sisi kanan leher
dibagi dengan hati-hati dalam klem dan
diikat dengan ikatan sutra untuk mencegah
kebocoran chyle. Pada titik ini, bagian
proksimal pembuluh serviks transversal
dibedah, dibagi, dan diikat dengan sutra 3-
0.
Jaringan lunak, termasuk otot
sternokleidomastoid dan vena jugularis
interna, sekarang ditarik ke arah cephalad dan
dibedah dengan hati-hati pada bidang
avaskular.

Fig. 11. Identification of the spinal accessory nerve in the posterior triangle of the neck.
 Chapter 25: Neck Dissection 345
saraf vagus dan arteri karotis (Gbr. 15). Vena
tiroid tengah perlu diidentifikasi, dibagi, dan
diikat dengan sutera 3-0 saat memasuki aspek
medial vena jugularis interna. Bekerja dalam
arah cephalad, saraf hipoglosus kemudian
diidentifikasi di luar bifurkasi arteri karotis.
Mobilisasi medial tambahan spesimen
diperoleh dengan membagi pleksus serviks
superior. Batas anteromedial dari diseksi
adalah perut anterior otot omohyoid. Ini
dimasukkan ke dalam spesimen dengan
membedahnya hingga keterikatannya dengan
tulang hyoid, di mana ia kemudian terlepas.
Diseksi yang hati-hati pada level ini
memungkinkan identifikasi pembuluh tiroid
superior. Vena tiroid superior dibagi dan diikat
dan arteri tiroid superior dipertahankan.
Flap kulit superior kemudian
diangkat. Setelah membagi otot platysma,
fasia pada aspek inferior kelenjar
submanerbular dibagi dan dibedah,
memungkinkan lipatan kulit superior untuk
diangkat pada bidang ini. Hal ini
memungkinkan cabang mandinal dari saraf
wajah diekspos, dilindungi, dan
dipertahankan. Saraf ini terletak tepat di
depan fasia submandibular dan superfisial
ke posterior wajah

Fig. 12. Dissection of fibrofatty tissue in the posterior triangle of the muscular floor proceeds in a lateral-
to-medial direction.

The Head and Neck

Fig. 13. Identification of the phrenic nerve on the surface of the anterior scalene muscle.
346 Part III: The Head and Neck

Fig. 14. The lower end of the internal jugular vein is identified, dissected, and then divided between clamps.

Fig. 15. Dissection of the sternocleidomastoid muscle and internal jugular vein proceeds in a cephalad direction off the
carotid artery and vagus nerve.

Fig. 16. Identification of the marginal branch of the facial nerve anterior to the submandibular fascia
and superficial to the posterior facial vein.
vena (Gbr. 16). Vena diikat dan tunggul
atasnya menarik cephalad, melindungi
cabang marginal saraf wajah (Gbr. 17). Di
luar, diseksi ini dilakukan dengan tajam,
mengangkat saraf dengan lipatan kulit.
Dalam melakukan manuver ini,
Fig. 17. Ligation of the posterior facial vein with
retraction of its upper stump cephalad to protect
the marginal branch of the facial nerve.
cabang serviks saraf wajah diidentifikasi
dan dapat dibagi distal ke pemisahannya
dari cabang mandibula marginal. Diseksi
sekarang berlanjut di sepanjang batas
bawah mandibula. Lampiran fasia antara
otot sternokleidoma-toid dan sudut
mandibula dibagi, dan kemudian diseksi di
sepanjang batas bawah mandibula
memungkinkan pengiriman kelenjar getah
bening wajah prevaskular. Vena wajah dan
arteri dibagi pada titik ini pada bagian
posterior superior kelenjar submandibular.
Identifikasi perut anterior otot ipsilateral
dan kontralateral digastrik kemudian
dilakukan. Jaringan nodal dalam segitiga
submental dibedah, ligating pembuluh di
puncak segitiga dengan ikatan sutra 3-0.
Jaringan lunak dari segitiga submental
kemudian dibedah ipsilateral
Chapter 25: Neck Dissection 347
perut anterior dari otot digastrik, diikuti oleh
otot mylohyoid. Bundel neuro-vaskular ke otot
mylohyoid diidentifikasi, dibagi, dan diikat
(Gbr. 18). Beberapa klem digunakan untuk
menerapkan traksi lembut pada kelenjar
submandibular, sehingga memungkinkan
untuk dimobilisasi dari tempat tidurnya.
Retractor loop ditempatkan di bawah tepi otot
mylohyoid yang bebas, menariknya secara
khusus. Manuver ini memungkinkan paparan
saraf lingual dan sekretor serabut ke ganglion
submandibular. Serat-serat ini dibagi, dengan
hati-hati untuk melindungi dan menjaga saraf
lingual (Gbr. 19). Setelah ini, saluran
submandibular dibedah, dibagi, dan diikat.
Perawatan diambil untuk tidak memasuki
fasia otot hyoglossus seperti di pesawat ini
bahwa saraf hipoflalal terletak. Kelenjar
submandibular sekarang ditarik ke lateral dan
dipisahkan dari perut posterior otot digastrik.
Bagian proksimal dari arteri wajah kemudian
diidentifikasi pada aspek pos teromedial dari
perut posterior otot digastrik. Terbagi dalam
klem dan diikat dengan sutra 3-0 (Gbr. 20).
Following this, the tail of parotid is re-
tracted cephalad, allowing access to the
posterior belly of the digastric muscle. Sev- eral
small pharyngeal veins need to be divided
and ligated. After this, the posterior belly of the
digastric muscle is retracted ce- phalad with a
deep right-angled retractor. The occipital
artery and vein lying superfi- cial to the internal
jugular vein are divided and ligated, allowing
exposure of the upper end of the internal
jugular vein at the base of the skull. The vein is
The Head and Neck
then skeletonized circumferentially and then
doubly ligated with 2-0 silk (Fig. 21). The
specimen is then
able to be delivered.
Meticulous hemostasis is then secured
with ligation or electrocautery and the
wound irrigated with a plentiful amount of
saline. Large suction drains are inserted
through stab incisions in the lower skin
flaps (Fig. 22). Satu saluran ditempatkan di
sepanjang batas anterior otot trapezius dan
ditahan dengan loop jahitan krom. Drain
anterior ditempatkan di sepanjang otot-otot
tali, medial ke arteri karotis, dan sekali lagi
diamankan dengan loop jahitan catgut krom.
Kedua saluran pembuangan diamankan ke
kulit dengan jahitan sutra tali-tas. Sayatan
kemudian ditutup dalam dua lapisan
menggunakan 3-0 chromic catgut interrupted
suture untuk otot platysma dan 5-0 nylon
untuk kulit.
Hisap pada saluran air dipertahankan saat
luka sedang ditutup. Penutup kedap udara
diperlukan untuk memastikan kepatuhan
antara kulit dan struktur dalam leher. Saluran
pembuangan tetap di tempatnya selama 4
hingga 7 hari dan
348 Part III: The Head and Neck
Fig. 18. The neurovascular bundle to the mylohyoid muscle is identified, divided, and ligated.
dihapus hanya sekali drainase serosa minimal
hadir.
Selective Neck Dissection
Supraomohyoid Neck Dissection
Sayatan kulit yang digunakan untuk SOHND
berada di lipatan kulit sekitar dua jari di bawah
batas bawah mandibula (Gbr. 9B). Sayatan
kulit diperdalam melalui otot platysma dengan
electrocautery. Perawatan diambil untuk
menjaga saraf aurikular yang lebih besar saat
berjalan di atas otot sternokleidomastoid. Flap
superior dinaikkan pertama kali di bidang
subplatysmal. Fasia yang menutupi kelenjar
submandibular yang mengandung cabang
marjinal dari saraf wajah diinsisi dan lapisan
ini diangkat bersamaan dengan flap kulit
superior menggunakan retraktor ujung
tumpul.
Diseksi segitiga submental dan submanubular
Selanjutnya, saraf aksesori tulang belakang
kemudian dilakukan dengan cara yang identik
diidentifikasi karena menembus sepertiga
dengan yang dijelaskan untuk MRND tipe I.
bagian atas otot sternokleidomastoid. Dengan
Diseksi kemudian dilanjutkan ke kelenjar
getah bening level II dan III. Flap kulit inferior
menggunakan gunting Reynalds, saraf dibedah
keluar, ke arah ujung proksimal vena jugularis
dinaikkan di bidang subplatysmal ke tepi
posterior otot sterno-cleidomastoid secara
interna dan perut posterior otot digastrik.
Bantalan lemak dan kelenjar getah bening
lateral dan perlekatan sternokleidoma-otot toid
yang terletak di level IIB kemudian dengan
secara inferior. Retractor loop digunakan
hati-hati dibedah menggunakan
untuk menarik kembali flap inferior. Fasia
electrocautery, dengan hati-hati agar tidak
pada batas anterior otot sternokleidoma-toid
merusak saraf aksesori tulang belakang.
diinsisi, dan hubungan fasia antara ekor
Jaringan ini kemudian dilewatkan di bawah
kelenjar parotis dan otot sternokleidomastoid
saraf aksesori tulang belakang dan ditarik ke
dibedah, memungkinkan pemaparan dari
arah medial menggunakan penjepit. Dengan
perut posterior otot digastrik. Retractor loop
otot sterno-cleidomastoid ditarik ke lateral
besar digunakan untuk menarik kembali otot
menggunakan retraksi Richardson dan
sternocleidomastoid secara lateral, membagi
kontraksi pada jaringan lunak secara medial,
beberapa pembuluh makanan kecil dari
jaringan yang menutupi pleksus serviks saraf
oksipital dan arteri tiroid superior saat mereka
terbagi. Klem ditempatkan di atas
memasuki otot sternokleidomastoid

Fig. 19. Exposure of the lingual nerve and the secretomotor fibers to the submandibular ganglion.
Jaringan lunak dan ditarik medial,
memungkinkan saraf yang mendasari dari
pleksus serviks untuk divisualisasikan.
Diseksi kemudian dilanjutkan dengan arah
lateral-ke-medial pada bidang yang hanya
dangkal pada saraf-saraf ini. Batas bawah
bagian adalah perut inferior otot omohyoid
yang terletak pada aspek inferior segitiga
posterior. Saraf frenikus kemudian
diidentifikasi pada otot skalen anterior dan
dipertahankan dengan hati-hati. Fasia
selubung karotis terbagi, memungkinkan
paparan saraf vagus, arteri karotis, dan vena
jugularis interna. Ini paling baik dilakukan
dengan bekerja dari arah cephalad ke caudal
menggunakan penjepit Adson untuk
menyebarkan amplop fasia untuk pembagian
dengan electrocautery. Bekerja dari arah
lateral ke medial, jaringan lunak yang meliputi
kelenjar getah bening level II dan III dibedah
dari vena jugularis interna. Batas anteromedial
dari
diseksi adalah perut superior dari otot
omohyoid. Persimpangan antara otot ini,
otot sternokleidomastoid, dan vena
jugularis interna diidentifikasi
menggunakan loop retractor. Jaringan
lunak yang mengandung kelenjar getah
bening dari rantai midjugu kemudian
ditarik kembali ke arah sefalad dan
dibedah dari vena jugol interna dan perut
superior dari otot omohyoid. Diseksi
adalah dalam pesawat hanya superfisial
ke pembuluh tiroid superior. Arteri tiroid
superior dipertahankan tetapi vena perlu
dibagi dan diikat pada aspek medial vena
jugularis interna. Secara superior, vena
wajah umum kemudian diidentifikasi
pada aspek medial vena jugularis interna
dan dibagi dalam klem dan diikat dengan
sutra 3-0. Saraf hipoglosus diidentifikasi
dan jaringan berbaring lateral dan inferior
dibedah. Beberapa vena faring ditemukan
dekat dengan hipo-
Chapter 25: Neck Dissection 349
The Head and Neck
saraf glossal; ini perlu diikat secara individual
dengan dasi sutra 3-0.
Spesimen yang mencakup level I hingga
III kemudian dikirimkan. Luka diirigasi
dengan saline, hemostasis diperoleh dengan
elec-trocautery, dan drain pengisapan
tunggal dimasukkan melalui sayatan tusuk
terpisah dan diamankan ke kulit dengan
jahitan tali-tas. Sayatan ditutup dalam dua
lapisan dengan catgut kromik 3-0
terinterupsi untuk otot platma dan nilon 5-
0 untuk kulit. Defisit fungsional dan
kosmetik yang dihasilkan tidak signifikan .
Anterolateral Neck Dissection
Diseksi ini biasanya dilakukan sebagai
prosedur pementasan dalam hubungannya
dengan eksisi karsinoma primer laring atau
faring pada pasien dengan leher dengan
penyakit yang secara klinis negatif. Ini
melibatkan diseksi kelenjar getah bening
dari level II ke IV. Pada
350 Part III: The Head and Neck

Oleh karena itu sayatan direncanakan sesuai

dengan reseksi tumor primer. Ini biasanya
merupakan sayatan transversal pada tingkat
membran tirohyoid dari perbatasan posterior
satu otot sternokleidomastoid ke garis tengah
(Gbr. 9C). Flap kulit bagian atas dan bawah
diangkat pada bidang subplatysmal. Fasia
pada batas anterior otot sternokleidomastoid
diinsisi dan diangkat secara medial untuk
mengekspos kelenjar getah bening jugularis
yang mendasarinya. Bagian posterolateral dari
diseksi adalah akar saraf serviks ketika
mereka muncul dari kolom vertebra. Otot
omohyoid dibagi sangat rendah untuk
memungkinkan diseksi kelenjar getah bening
tingkat IV. Seperti pada SOHND, saraf aksesori
diidentifikasi karena menembus aspek medial
otot sternocleidomastoid dan dilacak secara
superior. Kelenjar getah bening pada level IIB
superior dan lateral ke saraf dideteksi seperti
yang dijelaskan untuk SOHND.
Diseksi lagi melanjutkan lateral ke
medial, mengidentifikasi otot scalene
anterior, saraf frenikus, dan akar pleksus
serviks. Selubung karotid dibuka untuk
mengidentifikasi saraf vagus, arteri karotis,
dan vena jugularis interna. Tiroid tengah,
tiroid superior, dan vena wajah umum pada
aspek medial vena jugularis interna dibagi
dan diikat dengan sutra 3-0 untuk
memungkinkan spesimen dipantulkan
secara medial. Spesimen dapat dibiarkan
melekat pada tumor primer atau dapat
dihapus secara terpisah. Penyisipan saluran
pembuangan dan penutup luka seperti
dijelaskan sebelumnya.

Posterolateral Neck Dissection

Ini dilakukan untuk penyakit leher negatif
secara klinis untuk melanoma atau karsinoma
sel skuamosa dari kulit kepala posterior. Ini
melibatkan pengangkatan kelenjar getah
bening di level II hingga V, termasuk kelenjar
getah bening suboksipital dan retourikular.
Insisi hoki-stick digunakan (Gbr. 9D),
memanjang dari ujung mastoid di sepanjang
Fig. 20. Separation of the submandibular gland from the posterior belly of the digastric muscle is batas anterior otot trapezius dan kemudian
achieved by ligating the proximal part of the facial artery. melengkung secara anterior hanya superior
pada klavikula. Flap kulit anterior meningkat
pada bidang subplatysmal hingga batas
anterior otot sternokleidomastoid. Saraf
asesoris spinal diidentifikasi pada tri- sudut
posterior seperti yang dijelaskan sebelumnya
dan dibedah dari aspek inferior otot trapezius
hingga batas posterior otot sterocleidomastoid.
Diseksi kelenjar getah bening segitiga posterior
berlangsung seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Untuk membedah kelenjar getah
bening jugularis atas, tengah, dan bawah, otot
sternokleidomastoid ditarik ke medial. Fasia
selubung karotis terbagi, mengidentifikasi
arteri karotis, saraf nervus, dan vena jugularis
interna. Diseksi kelenjar getah bening level II
ke IV terjadi dalam

Fig. 21. Exposure of the upper end of the internal jugular vein.

Fig. 22. Suction drains are inserted through separate stab incisions in the lower skin flaps and posi-
tioned as shown.
cara caudal-to-cephalad, dan spesimen
termasuk jaringan lunak segitiga posterior
dikirim. Untuk memasukkan kelenjar getah
bening postauricular dan suboccipital,
dilakukan perpanjangan lateral ujung atas
sayatan kulit dari proses mastoid ke tubercul
oksipital. Otot trapezius kemudian dilepaskan
dari perlekatan nuchalnya, yang
memungkinkan paparan kelenjar getah bening
di segitiga suboksipital, yang kemudian
diangkat sebagai spesimen yang terpisah.
Saluran hisap tertutup dimasukkan melalui
sayatan tusuk terpisah dan luka ditutup
berlapis dengan catgut kromik 3-0 untuk otot
platysma dan nilon 5-0 untuk kulit.
BACAAN YANG DISARANKAN
1. Ang KK, Peters LJ, Weber RS, et al. Postopera-
tive radiotherapy for cutaneous melanoma of
the head and neck region. Int J Radiat Oncol
Biol Phys 1994;30:795–8.
2. Armstrong JG, Harrison LB, Thaler HT, et al.
The indications for elective treatment of the
neck in cancer of the major salivary glands.
Cancer 1992;69:615–9.
3. Balch CM, Soong SJ, Bartolucci AA, et al.
Efficacy of an elective regional lymph node
dissection of 1 to 4 mm thick melanomas for
patients 60 years of age and younger. Ann Surg
1996;224:255–63.
4. Bocca E, Pignataro O, Sasaki CT. Functional
neck dissection: a description of operative
technique. Arch Otolaryngol 1980;106:524.
5. Byers RM. Modified neck dissection: a study
of 967 cases from 1970 to 1980. Am J Surg
1985;150:414.
6. Chelius JM. A System of Surgery (South JT,
trans.), Vol 3. Philadelphia: Lea & Blanchard;
1847:515.
7. Cooper DS, Doherty GM, Haugen BR, et al.
Management guidelines for patients with thy-
roid nodules and differentiated thyroid can-
cer. Thyroid 2006;16:109–42.
8. Crile GW. Excision of cancer of the head and
neck with special reference to the plan of dis-
section based on one hundred and thirty two
operations. JAMA 1906;47:1780.
Chapter 25: Neck Dissection 351
9. Davidson BJ, Kulkarny V, Delacure MD, et al.
Posterior triangle metastases of squamous
cell carcinoma of the upper aerodigestive
tract. Am J Surg 1993;166:395.
10. Kocher. Ueber radicalheilung des Krebses.
Deutsche Zlschr J Chir 1880;13:134.
11. Kupferman ME, Patterson M, Mandel SJ, et al.
Patterns of lateral neck metastasis in papillary
thyroid carcinoma. Arch Otolaryngol Head
Neck Surg 2004;130:857–60.
12. Lau H, Phan T, Mackinnon J, Matthews TW.
Absence of planned neck dissection for the
N2-N3 neck after chemoradiation for locally
advanced squamous cell carcinoma of the
head and neck. Arch Otolaryngol Head Neck
2008;134:257–61.
13. Lindberg R. Distribution of cervical lymph
node metastases from squamous cell carci-
noma of the upper respiratory and digestive
tracts. Cancer 1972;29:146.
14. Machens A, Hinze R, Thomusch O, et al. Pat-
tern of nodal metastases for primary and re-
operative thyroid cancer. World J Surg 2002;
26:22–28.
15. Mirallie E, Vissset J, Sagan C, et al. Localisation
of cervical node metastases of papillary thy-
roid carcinoma. World J Surg 1999;23:970–3.
16. Morton DL, Cagle LA, Wong JH, et al. Intra-
operative lymphatic mapping and selective
lymphadenectomy: technical details of a new
procedure for clinical stage I melanoma. Pre-
sented at the Annual Meeting of the Society of
Surgical Oncology. Washington, DC, 1990.
17. O’Brien CJ. A selective approach to neck dis-
section for mucosal squamous cell carcinoma.
Aust N Z J Surg 1994;64:236.
18. Roh JL, Kim JM, Park CI. Lateral cervical
lymph node metastases from papillary thy-
roid carcinoma: pattern of nodal metastases
and optimal strategy for neck dissection. Ann
Surg Oncol 2007;15:1177–82.
19. Sato N, Oyamatsu M, Koyama Y, et al. Do the
The Head and Neck
level of nodal disease according to the TNM
classification and the number of involved cer-
vical nodes reflect prognosis in patients with
differentiated carcinoma of the thyroid gland?
J Surg Oncol 1998;69:151–5
20. Shah JP. Patterns of lymph node metastases
from squamous cell carcinomas of the upper
aerodigestive tract. Am J Surg 1990;160:405.
21. Shaha AR, Shah JP, Loree TR. Risk group stratifi-
cation and prognostic factors in papillary carci-
noma of thyroid. Ann Surg Oncol 1996;3:534–8.
22. Shoaib T, Soutar DS, MacDonald DG, et al. The
accuracy of head and neck carcinoma sentinel
lymph node biopsy in the clinically N0 neck.
Cancer 2001;91(11):2077–83.
23. Wada N, Duh QY, Sugino K, et al. Lymph node
metastasis from 259 papillary thyroid micro-
carcinomas: frequency, pattern of occurrence
and recurrence, and optimal strategy for neck
dissection. Ann Surg 2003;237:399–407.
24. Warren JC. Surgical Observations on Tumours:
with Cases and Operations. Boston: Crocker
and Brewster; 1847.
352 Part III: The Head and Neck

EDITOR’S COMMENT tients, not surprising, but only 74 percent in sentinel ity to the spinal accessory nerve (27 percent). In this
node-positive patients, and this difference was sta- study, the majority of the tumor-bearing nodes were
tistically significant. The authors comment that the found in the posteriortriangle (72 percent). Wei, WI,
In the past five years, there has been a continuing sentinel node biopsy was a safe and accurate staging et al., Archives of Otolaryngology—Head and Neck
evolution in the place of the radical neck dissec- modality in select patients with clinical stages I and Surgery, 2001, 127:1457–1462, and found that the
tion in the treatment of head and neck cancer. II. The results are not only promising short-term, most common area was Level II in 53 percent of
Specifically, as individuals have gotten experi- but long-term as well. The significant outcome to patients. Taken all together, Khafif, et al., conclude ence
in the place of radical neck dissection in the me is the degree of control of the neck, even follow- that the best choice of recurrent nasopharyngeal treatment
of oral, hypopharyngeal, oropharyn- ing a positive sentinel lymph node result. carcinoma is dissection of N2 and N3 because this is
geal, and carcinoma of the thyroid and squamous What happens after the salvage dissections in where the recurrence generally occurs.
cell of the various orifices of the head and neck as local regional failures vs. isolated nodal failures in In a later paper from Wei’s group (Tsang, RKY,
well as melanoma, there has been a tendency to nasopharyngeal carcinoma as reported by Khafif, et al., with Wei, WI being the senior and last author,
be freer in the case of head and neck carcinoma A., et al., European Archive Otorhinolaryngology, Head and Neck, published online, 2011) conclude
to do radical neck dissections. Although chemo- 2010, 267:997– 999. Khafif and his co-authors wrote that neck dissection is efficacious in nasopharyn-
radiation has its supporters, in fact, recently there an editorial entitled, “Is it Necessary to Perform geal carcinoma with nodal failure despite or with
has been a recognition that despite treatment Radical Neck Dissection as a Salvage Procedure for synchronous local failure. In this paper, a retro-
with chemoradiation, the use of radical neck dis- Persistent or Recurrent Neck Disease after Chemo- spective review of all patients who underwent neck
section as salvage or in the case of recurrence, has radiotherapy in Patients with Nasopharyngeal dissections for nodal failure, the five year overall
something to offer as far as long-term survival. Cancer?” The answer appears to be that it is. This survival was 58 percent. Wei is credited with a lot
Thus, individuals have turned to sentinel node is a multi country report, including data from the of the excellent papers in this particular area.
biopsy for oral and oropharyngeal squamous cell Sackler Faculty of Medicine at Tel Aviv University in To switch gears, Porterfield, JR, et al., Archives
carcinoma to stage these lesions. Such an approach Israel (Dr. Khafif), The University of Udine, Italy (Dr. of Surgery, 2009, 144:567–574, presented data
has been recently published by Broglie, MA, et al., Ferlito), the Nijmegen Medical Center, The Nether- in the management of lymph node metastases,
Annals of Surgical Oncology, published online, lands (Dr. Takes), and the Division of Otolaryngol- which they claim represents approximately 90
2011, reviewed the long term results of sentinel ogy-Head and Neck Surgery at Southern Illinois percent of disease recurrence in papillary thyroid
node biopsy in early (T1/T2) oral and oropharyn- University School of Medicine in Springfield (Dr. carcinoma. According to their data, they define geal
squamous cell carcinoma in the Department Robbins). Initially, they referred to the radical neck (Clive Grant is the chief of the section at the of
Otolaryngology, Head and Neck Surgery, of the dissection (Khoo, ML, et al., Australia and New Zea- Mayo Clinic) of the techniques by which recur-
Kantonhospital St. Gallen, Switzerland. In this sin- land Journal of Surgery, 1999, 69:354–356) of 68 pa- rent carcinoma of the thyroid can be treated in gle
institution study, a prospective consecutive co- tients with nasopharyngeal cancer who underwent a stepwise fashion with good salvage in papillary hort
analysis of 79 patients with a median age of 60 radical neck dissection for regionally recurrent dis- thyroid carcinoma. Dr. Sally Carty of Pittsburgh in years,
and an age range of 34 to 87 years, 67 percent ease, and there were 74 neck dissection specimens. the discussion is not as sanguine as Clive Grant’s of whom
were male, was carried out between 2000 They wanted to analyze the site of positive resec- group in dissection of recurrence of papillary car- and 2006.
Lymphatic mapping was carried out in tions. Level II had the highest rate of metastases, cinoma of the thyroid, although she believes that this study,
although I am not certain that this is very and Level V immediately thereafter. 68 percent of being that aggressive may not be as much as is commonly
carried out, but utilizing a preoperative the patients had metastatic disease at a single level. called for.
lymphoscintigram and an intraoperative use of a They believe that radical neck dissection is the Finally, Falchook, AD, et al., from the Univer-
handheld gamma probe. The endpoints of this study treatment of choice because of the multiple levels sity of Florida in Gainesville (American Journal
were naturally disease overall, disease-specific, and of metastases, with Level II being the highest rate of Otolaryngology—Head and Neck Medicine and
disease-free survival, as well as neck control rate. with 88 percent. The authors of this paper include Surgery, 2011, published online) took up the ques-
Sentinel node biopsy was carried out in the 79 that Level II and Level III disease after concurrent tion of the second primary after previously defini-
patients of which 37 percent (29) had positive senti- chemo radiation is appropriate, because Ferlito, tive radiotherapy. They concluded that there was
nel nodes. Isolated tumor cells only were present in A., et al., Head and Neck, 2010, 32:253–261, believes a small yield in which only one (eight percent) of
six of the 29 (21 percent), 48 percent (14 out of 29) that these would be the most fertile for metastases. 13 neck dissection specimens was positive in ten
micrometastases and nine of 29 (31 percent) mac- Wei, et al., “Pathological Basis of Surgery in the patients. Local regional control was 67 percent,
rometastases. For the entire cohort, overall survival Management of Post-Radiotherapy Cervical Me- in this group local control was 88 percent, disease
(OS) was 80 percent, disease specific survival (DSS) tastasis in Nasopharyngeal Carcinoma.”, Archives of free survival was 62 percent, overall survival was
was 85 percent, and disease-free survival (DFS) was Otolaryngology—Head and Neck Surgery, 1992, 118: 33 percent, and cause specific survival rate was
87 percent; for sentinel node-negative patients; 923–929 with discussion at page 930, examined the 77 percent. There were a fair number of complica-
overall survival was 88 percent; disease specific sur- specimens of 43 patients with either persistent or tions of treatment, but it did appear that the au-
vival was 96 percent; and disease-free survival was recurrent nasopharyngeal carcinoma in the neck thors thought that it was worthwhile carrying out
96 percent. For the sentinel node biopsy positive as metastases. The tumors showed a fair amount of collective neck dissections for a second primary.
patients, the results were 74 percent OS, 73 percent aggressiveness including extracapsular spread in 70 Clearly, as Dr. Carty said in her discussion of
DSS, and 77 percent DFS. The DSS reached statis- percent of patients, tumor cells and isolated clusters, Clive Grant’s group’s paper, there is ample room
tical significance. The neck control rate after five again outside of the capsule (30 percent), and proba- for discussion, and this area is not yet settled.
years was 96 percent in sentinel node-negative pa- bly most troubling of all, tumor cells lying in proxim- J.E.F.

26 Congenital Lesions: Thyroglossal Duct Cysts,

Branchial Cleft Anomalies, and Cystic Hygromas
Michael A. Skinner

Anomali kongenital pada leher malities yang dihasilkan dari kesalahan tik malformasi. Manajemen bedah kelainan
dimanifestasikan secara klinis sebagai nodul dalam perkembangan embriologis struktur ini ditujukan untuk reseksi lengkap dan
subkutan atau lesi massa, lubang kulit, atau di kepala dan leher termasuk kista saluran mencegah infeksi.
sinus drainase. Kelainan yang paling abnor- tiroglos, sisa sumbing cabang, dan limfa -
 Chapter 26: Congenital Lesions: Thyroglossal Duct Cysts, Branchial Cleft Anomalies, and Cystic Hygromas
THYROGLOSSAL DUCT CYST
Embryology and Anatomy
Duktus tiroglosus adalah struktur sisa yang
dihasilkan dari penurunan ke bawah rata-rata
tiroid median selama minggu ke-3 kehamilan.
Struktur kursus inferior di leher dari pangkal
lidah berkembang untuk menyatu dengan
anlage tiroid lateral. Selama keturunan,
struktur melewati atau dekat tulang hyoid
yang sedang berkembang, yang merupakan
fitur penting dalam manajemen bedah definitif.
Selama minggu ke 5 sampai 8 kehamilan,
saluran tyroglossal biasanya hilang, hanya
menyisakan foramen cecum di pangkal lidah.
Namun, dalam beberapa kasus, ada sisa
saluran tiroglosus yang memanjang ke leher
(Gbr. 1). Struktur dilapisi dengan epitel
sekretori yang diaktifkan karena alasan yang
tidak diketahui menyebabkan perkembangan
kista.
Clinical Presentation and Evaluation
Lebih dari setengah dari semua kista saluran
tiroglos didiagnosis dalam 10 tahun pertama
kehidupan. Lesi biasanya hadir sebagai nodul
kistik tanpa gejala, tanpa gejala di garis tengah
leher (Gbr. 2). Kadang-kadang, mereka mungkin
berada di luar garis tengah dengan 1 hingga 2
cm. Lesi biasanya lebih rendah dari tulang hyoid,
dan bergerak dengan menelan. Diagnosis yang
berbeda termasuk kista dermoid, pembesaran
kelenjar getah bening garis tengah, teratoma,
dan jaringan tiroid ektopik. Karena
komunikasinya dengan pangkal lidah, kista
saluran thyroglossal awalnya dapat
menunjukkan tanda-tanda infeksi yang khas
termasuk pembengkakan, kemerahan, dan
nyeri.
Fig. 1. Photograph of a thyroglossal duct cyst.
Fig. 2. Thyroglossal duct cyst anterior to the hyoid bone with the thyroglossal duct tract passing through
the hyoid bone and extending to the foramen cecum.
Diagnosis biasanya dapat ditegakkan dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sangat
penting untuk mengeluarkan keberadaan
tiroid ektopik sisa, yang mungkin merupakan
satu-satunya sumber hormon tiroid untuk
pasien. Jika keberadaan kelenjar tiroid normal
dapat ditetapkan pada pemeriksaan fisik, tidak
ada evaluasi lain yang diperlukan. Namun,
biasanya tepat untuk melakukan penelitian
USG untuk mengkonfirmasi keberadaan
kelenjar tiroid normal. Biasanya tidak
diperlukan untuk mendapatkan pemindaian
skintiroid tiroid .
SURGICAL MANAGEMENT
AND OUTCOME
Ketika presentasi awal adalah salah satu
infeksi, manajemen harus terdiri dari aspirasi
jarum dari isi kista dan pemberian antibiotik
yang dipilih untuk mengendalikan flora oral.
Jika mungkin, sayatan dan drainase formal
harus dihindari karena ini akan mempersulit
perawatan bedah definitif. Perlu dicatat bahwa
saluran tiroglos yang awalnya menunjukkan
infeksi berhubungan dengan peningkatan
kejadian rekurensi setelah reseksi bedah.
Pengangkatan lesi yang terinfeksi secara elektif
harus dilakukan 6 sampai 8 minggu setelah
resolusi infeksi akut.
Dalam kasus yang tidak rumit, reseksi
bedah elektif dengan prosedur Sistrunk telah
terbukti efektif, dengan risiko kekambuhan
sekitar 2% hingga 5%. Prosedur ini biasanya
dapat dilakukan secara rawat jalan. Pasien
harus ditempatkan dalam posisi terlentang,
dengan leher diperpanjang. Antibiotik
pencegahan untuk menutup kulit dan flora
oral harus diberikan. Insisi transversal dibuat
di atas kista yang teraba, dan
353
kista dimobilisasi dari struktur sekitarnya
menggunakan electrocautery (Gbr. 3). Dokter
bedah harus menahan godaan untuk
berdiseksi terlalu dekat ke saluran, karena
berkembang ke posterior dan superior ke
tulang hyoid. Sebaliknya, sejumlah besar
jaringan di sekitarnya harus diambil dalam
diseksi hingga tulang hyoid, untuk
mengurangi kemungkinan saluran aksesori
yang terlewat dengan kekambuhan yang
diakibatkannya. Ketidakmampuan untuk
mengidentifikasi dengan jelas saluran yang
meluas ke tulang hyoid menunjukkan bahwa
The Head and Neck
diagnosis adalah kista dermoid daripada kista
saluran tiroglos; lesi ini biasanya tidak dapat
dibedakan pada studi USG preoperatif.
Electrocautery dapat digunakan untuk
membagi otot lebih rendah dan superior pada
tulang hyoid, dan pemotong tulang dapat
digunakan untuk menghilangkan bagian 1 -
1,5 cm dari tulang hyoid (Gbr. 4). Pada pasien
yang lebih muda, ketika tulang mengeras tidak
sempurna, hyoid dapat dibagi menggunakan
electrocautery. Kemudian, diseksi berlanjut ke
posterior dan superior ke dasar waktu, lagi-lagi
meninggalkan sejumlah besar jaringan di
sekitar saluran (Gbr. 5). Liga jahitan dan
pembelahan duktus di dasar lidah kemudian
dilakukan, dan spesimen diangkat (Gbr. 6).
Dalam beberapa kasus, tangan yang bersarung
dapat dimasukkan ke dalam mulut untuk
menilai perkembangan diseksi ke pangkal
lidah. Luka dapat ditutup dengan lapisan
jahitan yang dapat diserap. Penempatan
saluran pembuangan rutin tidak diperlukan.
Komplikasi paling serius adalah mantan
jarang sekali terjadi perdarahan dengan
pelampiasan jalan nafas. Ini dapat dihindari
dengan diseksi hemostatik yang hati-hati
selama operasi. Kekambuhan kista saluran
tiroglos terjadi pada 2% hingga 5% kasus; ini
biasanya terbukti dalam waktu 1 tahun sejak
awal direseksi. Perulangan ini biasanya present
354 Part III: The Head and Neck

Fig. 5. Dissection proceeds cephalad to the fora-

men cecum where the tract and investing tissues
are suture-ligated.

BRANCHIAL CLEFT ANOMALIES

Embryology and Anatomy
Struktur wajah dan leher timbul dari
Fig. 3. Thyroglossal duct cyst—technique of excision. A: Incision is placed over the presenting cyst. No lengkung faring atau cabang branchial
skin is excised. B: The thyroglossal duct cyst has been dissected from surrounding tissues. The hyoid is embrionik keempat, muncul pada minggu
exposed after division of the sternohyoid and thyrohyoid muscles at insertion. The bone is encircled with ke-4 dan ke-5 perkembangan embrionik.
a short right-angle clamp 1.0 cm from its midpoint, where it is divided with a bone cutter or cautery. Mereka terdiri dari bar jaringan
mesenchymal dipisahkan oleh celah dalam,
yang dikenal sebagai celah faring. Proses ini
menyerupai develop
dengan peradangan dan infeksi di leher peradangan sembuh, dan kemudian operasi ment of gills in fish; however, since humans do
anterior; mungkin ada drainase berulang dari harus dilakukan. Untuk mencegah not possess gills (branchia), it is more correct
lokasi sayatan. Tingkat kekambuhan terulangnya lagi, operasi ulang harus to use the term “pharyngeal” rather than
meningkat pada pasien yang memiliki infeksi dilakukan dengan sayatan elips di sekitar “branchial” in describing the arches, clefts, and
sebelumnya sebelum operasi, atau jika jumlah sayatan sebelumnya, dan pengangkatan pouches in the human embryo.
tulang hyoid yang tidak memadai telah jaringan yang terbakar dengan reseksi tulang Apa yang biasa disebut anomali cabang
dihilangkan. Untuk mengelola kekambuhan hyoid yang murah hati, dan eksisi luas pada terdiri dari kista, sinus, atau sisa-sisa
tersebut, anti biotik harus diberikan sampai otot garis tengah dan geniohyoid. tulang rawan bawaan yang dihasilkan dari
signifikan

Fig. 4. Traction on the divided hyoid facilitates Fig. 6. Resected specimen, demonstrating the thyroglossal duct cyst on the left, and the hyoid bone in
exposure and division of the opposite ramus. the center of the specimen.
 Chapter 26: Congenital Lesions: Thyroglossal Duct Cysts, Branchial Cleft Anomalies, and Cystic Hygromas
kesalahan dalam pengembangan aparatur filin
embrionik. Lesi tersebut mewakili sekitar 30%
dari massa leher bawaan. Agak keliru untuk
menyebut anomali sumbing cabang ini, karena
pada kenyataannya ketidaknormalan ini memiliki
kontribusi dari celah, lengkung, atau kantong
bran. Ketika lengkungan phyngeal menunjukkan
obliterasi yang tidak lengkap, dan berkomunikasi
dengan kulit atau mukosa, hasil sinus. Jika ada
kegagalan sumbing dan kantong untuk
melenyapkan, akan ada komunikasi terus
menerus antara mukosa dan kulit, menghasilkan
fistula cabang. Akhirnya, ketika sisa celah faring
membentuk rongga berlapis epidermis tanpa
komunikasi lainnya, kista akan menghasilkan.
Ingatan yang strukturnya normal kepala
dan leher timbul dari celah atau kantong faring
tertentu membantu memprediksi lokasi kelainan
yang terkait. Karena lengkungan pertama
akhirnya berkembang menjadi struktur telinga
tengah dan saraf wajah, kista sumbing cabang
pertama biasanya hadir sebagai fistula
pengeringan di daerah preauricular atau
postauricular, atau dapat dikaitkan dengan
saluran fistula atau kista yang berdekatan
dengan saraf wajah dan kemungkinan
melibatkan kelenjar parotis. Demikian pula,
lengkungan faring kedua membentuk tulang
hyoid dan area terkait leher, dan memunculkan
fosil tonsil dan supratonsilar. Dengan demikian,
anomali sumbing kedua terletak di leher latal
yang berdekatan dengan otot sternokleidoma-
toid, dan biasanya memiliki saluran fistula yang
memasuki fossa supratonsillar. Akhirnya,
kantong ketiga dan keempat membentuk faring
inferior, dan sinus dan fistula ini biasanya
memasuki sinus pyriform. Mereka terlihat secara
eksternal sebagai kista atau sinus yang terletak
di batas bawah dan anterior otot
sternokleidomastoid. Sinus faring ketiga dan
keempat dapat melalui kelenjar tiroid, dan
presentasi klinis awal dapat menjadi tiroiditis
supuratif.
Clinical Presentation and Evaluation
Anomali cabang biasanya ditemukan dalam 10
tahun pertama kehidupan. Sinus dan fistula
umumnya didiagnosis lebih awal dari kista,
karena drainase yang jelas. Pada sekitar
sepertiga kasus, presentasi awal adalah infeksi.
Antara 70% dan 95% kasus berasal dari
aparatur lengkung faring kedua, dan sekitar 10%
hingga 20% timbul dari anomali lengkung
pertama. Keseimbangan lesi akan menjadi
anomali lengkung faring ketiga dan keempat.
Evaluation begins with a careful history and
physical examination. As noted above,
the location of the sinus or mass can generally
be correlated with the pharyngeal arch or
sumbing dari mana lesi berasal. Pemindaian
computed tomographic (CT) direkomendasikan
untuk perencanaan bedah. Dalam sekitar 80%
kasus, CT scan akan dapat menentukan secara
akurat jalannya saluran fistula. Jika dicurigai
adanya fistula sumbing cabang ketiga atau
keempat, enoskopi juga dianjurkan sesaat
sebelum operasi untuk mengidentifikasi
masuknya fistula ke dalam sinus pyriform.
Kanulasi ostium ini dengan kateter
pengumpanan kecil dapat membantu
menghilangkan seluruh saluran fistula.
Surgical Management and Outcome
Manajemen definitif sisa-sisa sumbing faring
membutuhkan eksisi bedah lengkap. Eksisi
yang tidak lengkap berhubungan dengan
insiden tinggi infeksi berikutnya. Jika lesi
awalnya muncul dengan infeksi akut, aspirasi
jarum dan antibiotik harus digunakan untuk
mengelola proses akut. Pembedahan harus
ditunda selama 6 hingga 8 minggu. Waktu
operasi pada pasien tanpa gejala agak
kontroversial. Beberapa penulis
merekomendasikan reseksi bedah definitif
pada saat diagnosis, bahkan pada periode
neonatal. Yang lain merekomendasikan
menunggu sampai anak-anak sedikit lebih tua,
mungkin 2 atau 3 tahun. Risiko utama
menunggu sampai anak menjadi lebih besar
adalah perkembangan infeksi yang terjadi
bersamaan, membuat pembedahan definitif
lebih sulit; juga, ini dikaitkan dengan yang
lebih tinggi
Fig. 7. Typical location of a second branchial cleft cyst. The cyst is at the level of the carotid bifurcation.
No external opening is present. Note the relationship to regional nerves. CN, cranial nerve.
355
kemungkinan kekambuhan setelah operasi.
Risiko-risiko ini harus diseimbangkan dengan
meningkatnya kesulitan melindungi saraf dan
pembuluh darah kecil pada bayi yang mungkin
berhubungan intim dengan saluran fistula.
Secara seimbang, mungkin dapat menunda
operasi sampai usia 9 hingga 12 bulan, untuk
memfasilitasi diseksi.
Anomali bronkial yang paling umum adalah
sisa-sisa celah faring kedua. Kista sumbing
cabang paling umum, mewakili sekitar 63%
dari anomali sumbing faringal kedua, muncul
sebagai nodul di leher lateral yang berdekatan
dengan otot sterno-cleidomastoid (Gbr. 7).
Diagnosis banding meliputi pembesaran
kelenjar getah bening, kista dermoid, atau
malformasi limfatik. Sinus sumbing bercabang
kedua mewakili sekitar sepertiga lesi yang
timbul dari sumbing kedua. Dalam kasus ini,
traktus sinus akan melewati superior antara
arteri karotis interna dan eksterna, dan
berdekatan dengan saraf glosofaringeal dan
hipoglosur, dalam perjalanan menuju faring
dan fossa tonsil (Gbr. 8).
Reseksi bedah harus dilakukan
dengan anestesi umum, dan antibiotik
perioperatif harus diberikan. Sayatan
awal harus secara elips memilih ostium
eksternal. Identifikasi dan diseksi
saluran dapat difasilitasi dengan
penempatan probe saluran lakrimal
kecil ke dalam ostium, dan dengan
menggunakan bedah kecil
The Head and Neck
356 Part III: The Head and Neck
Fig. 8. Course of a second branchial cleft fistula. The external ostium is at the anterior border of the
sternocleidomastoid muscle. The fistula passes between the internal and external carotid arteries and
enters the pharynx at the tonsillar fossa.
penjepit untuk menahannya di tempat
selama prosedur. Diseksi tajam yang tepat
menggunakan gunting halus atau
elektrokauter harus dilakukan di sepanjang
saluran (Gbr. 9). Sebagai risalah
Fig. 9. Technique of excision of second branchial cleft fistula. The skin ostium is incorporated in the el-
liptical incision. Note the lacrimal duct probe in the tract to facilitate its dissection.
maju secara superior, mungkin perlu untuk
buat tandingan "tangga" lebih tinggi di leher
(Gbr. 10). Saluran yang dibedah dapat
dialihkan hingga sayatan kedua ke con -
tahan diseksi sampai membabi buta dan
memasuki fossa tonsil (Gbr. 11). Perawatan
harus diambil untuk menghindari cedera saraf
kranial IX dan XII yang berdekatan, serta arteri
karotis saat saluran melewati antara cabang
eksternal dan internal. Saluran yang benar
harus direseksi dan dijahit saat memasuki
faring (Gbr. 12). Lapisan-lapisan platysma dan
kulit dapat didaur ulang menggunakan jahitan
yang dapat diserap, pita-pita kulit dapat
diaplikasikan, dan pasien biasanya dapat
dipulangkan ke rumah.
Kista celah cabang kedua tidak biasanya
memiliki pembukaan kulit. Mereka direseksi
melalui sayatan kulit transparan yang dapat
diterima secara kosmetik, yang terletak di
lipatan kulit leher jika memungkinkan.
Perawatan harus diambil untuk menghindari
memasuki kista selama diseksi. Jika ada
saluran ke fossa tonsil, harus dibedah dan
dijahit dengan hati-hati.
Anomali bronkial yang timbul dari
lengkung faring ketiga dan keempat juga
dihilangkan. Kadang-kadang, saluran fisk
terkait akan berjalan melalui kelenjar tiroid,
membutuhkan lobektomi tiroid untuk
reseksi lengkap.
Kemungkinan komplikasi setelah reseksi
sisa-sisa sumbing cabang termasuk infeksi,
cedera pada struktur yang terkait, dan
kekambuhan lesi. Seperti halnya dengan kista
duktus roglossal, insidensi peningkatan
meningkat pada lesi yang sebelumnya telah
terinfeksi. Ada juga beberapa bukti bahwa
perulangan lebih bebas-
quent following resection of lesions arising
from the first branchial cleft, probably ow- ing
to the difficulty in completely remov- ing the
lesion that is in intimate associa- tion with
the facial nerve and the parotid gland.
LYMPHATIC MALFORMATIONS
Embryology and Anatomy
Sistem limfatik berfungsi
mengembalikan cairan jaringan
ekstravaskular ke sirkulasi darah.
Sistem ini muncul dari kantung getah
bening yang berkembang di seluruh
tubuh tempat pembuluh darah besar
bergabung. Mereka awalnya berbagi
derivasi embrionik dengan pembuluh
darah tetapi akhirnya limfatik terpisah
menjadi sistem sirkulasi yang terpisah.
Dari kantung-kantung ini muncul sel-
sel enfatik limfatik yang berkembang
biak, bermigrasi, dan bertunas untuk
membentuk saluran limfatik, kapiler,
dan pembuluh darah untuk
transportasi getah bening di antara
kantung limfa. Diperkirakan bahwa
kelainan limfatik kongenital terjadi
ketika ada kegagalan fusi lym-
phatic vessels arising from these various
lymph sacs.
 Chapter 26: Congenital Lesions: Thyroglossal Duct Cysts, Branchial Cleft Anomalies, and Cystic Hygromas 357

Fig. 10. The extent of the tract eventually limits the dissection. A clamp
is passed along the dissected tract to guide the performance of a coun-
terincision or “stepladder” incision.
Clinical Presentation and Evaluation
Mayoritas kelainan limfatik kongenital
muncul di leher, hampir semuanya menjadi
jelas sebelum usia 2 tahun. Mereka terjadi
paling umum pada segitiga leher post-rior
atau anterior, biasanya menunjukkan
massa massa kompres yang tidak nyeri
(Gambar 13). Mungkin ada pertumbuhan
lesi yang tiba-tiba selama beberapa hari,
karena infeksi ekspirasi atas. Malformasi
limfatik diklasifikasikan menurut ukuran
kista endotel di dalamnya; istilah
limfangioma kapiler, limfangioma
kavernosa, dan kistik hygroma digunakan
Fig. 11. The previously mobilized tract is passed from the original incision to
the counterincision.
lesi dengan getah bening yang semakin
besar kista.
Malformasi limfatik adalah proses
jinak, yang reseksi bedah lengkap
secara tradisional direkomendasikan.
Lesi sering menyinari saraf dan
pembuluh darah, sehingga reseksi
lengkap cukup sulit. Karena sifat jinak
dari proses, tidak tepat untuk
menghilangkan struktur normal untuk
memastikan reseksi lengkap
malformasi limfatik. Pencitraan
resonansi magnetik adalah metode
yang paling efektif untuk menentukan
tingkat anatomi lesi.
Surgical Management and Outcome
Complete surgical resection remains the
preferred therapy for lesions that are local-
ized and that do not have evidence of in-
sinuation around other vital neck struc-
tures on magnetic resonance imaging. The
procedure should be done under general
anesthesia, with the administration of peri-
operative antibiotics. A transverse incision
should be made, followed by careful dissec- tion
through the platysma layer to the le- sion. It is
preferable to avoid entering the lesion during
the course of dissection, since a distended
malformation is easy to dissect from the
surrounding tissues. Care should

The Head and Neck

untuk menggambarkan

CN XI

Fig. 12. Passage of the previously mobilized tract to the counterincision facilitates fur-
ther dissection of the tract in a superomedial direction to its termination at the tonsillar
fossa, where it is suture-ligated and divided. Fig. 13. Depiction of a cystic hygroma. CN, cranial nerve.
358 Part III: The Head and Neck
diambil untuk menghindari cedera pembuluh
dan saraf yang berdekatan; struktur normal
tidak boleh dikorbankan untuk mencapai
reseksi lengkap. Pada sebagian besar kasus,
saluran hisap tertutup ditinggalkan pada saat
selesai operasi. Drainase tetap sampai
drainase menurun hingga nihil, yang dalam
beberapa kasus mungkin memakan waktu
beberapa minggu. Setelah reseksi bedah,
tingkat kekambuhan yang dilaporkan adalah
sekitar 10% jika ahli bedah berpikir bahwa lesi
benar-benar direseksi; rekurensi adalah 50%
hingga 100% pada lesi yang diketahui belum
sepenuhnya direseksi.
Karena tingginya tingkat
kekambuhan setelah reseksi bedah,
ada pandangan konsensus yang
muncul bahwa manajemen awal
dengan skleroterapi, daripada operasi,
direkomendasikan untuk limfatik
kompleks
sions, and especially for those with
large cystic sacs.
Skleroterapi dengan etanol, bleomycin, BACAAN YANG DISARANKAN
atau Picibanil (OK-432) telah menunjukkan
Acierno SP, Waldhausen JH. Congenital cervical cysts,
keberhasilan manajemen malformasi limfatik
sinusesandfistulae. Otolaryngol Clin North Am
dalam banyak penelitian. Perawatan biasanya 2007;40:161–76, vii–viii.
terdiri dari aspirasi kista yang dipandu USG, Blei F. Congenital lymphatic malformations. Ann N Y
diikuti oleh penanaman sclerosant selama 10 Acad Sci 2008;1131:185–94.
Grasso DL, Pelizzo G, Zocconi E, et al. Lymp-
hingga 15 menit. Perawatan mungkin perlu
hangiomas of the head and neck in children. Acta
diulang beberapa kali untuk lesi yang lebih
Otorhinolaryngol Ital 2008;28:17–20.
besar dan lebih rumit, dan paling efektif
Rosa PA, Hirsch DL, Dierks EJ. Congenital neck
dengan hygroma kistik dari varietas masses. Oral Maxillofac Surg Clin North Am 2008;
makrokistik.. 20:339–52.
Komplikasi manajemen operasi atau non- Schroeder JW Jr, Mohyuddin N, Maddalozzo
operasi malformasi limfatik termasuk J. Branchial anomalies in the pediatric popu-
kekambuhan, infeksi, dan cedera pada lation. Otolaryngol Head Neck Surg 2007;137: 289–
95.
struktur yang berdekatan. Kebanyakan ahli
bedah merekomendasikan perawatan dengan
sclerotherapy untuk lesi yang telah kambuh
setelah operasi.

EDITOR’S COMMENT underwent a Sistrunk procedure, but in addition, cauterization of the sinus tract opening, 15%; and a
total thyroidectomy was performed in eight of open neck surgery with partial thyroidectomy, the
nine patients. Interestingly, the median size of 8%. The complications after surgery primarily oc-
Thyroglossal duct cysts, branchial cleft anoma- the TGD carcinomas was 10 mm. The therapeutic curred in children eight years or younger.
lies, and cystic hygromas are among the most neck dissection was included in two patients at The authors believe that their experience
common abnormalities of the neck. They may be the time of total thyroidectomy. There were two shows that fourth arch anomalies are more com-
manifested, as the authors say, as a subcutaneous patients with a regional recurrence. Eight of nine mon than once thought. Incision and drainage
nodule, a mass, a skin pit, or a draining sinus. The patients received radioactive iodine therapy. Of won as one would expect and yielded a fairly high
intent of the surgery is to completely rid the pa- the nine patients with TGD carcinoma, there was recurrence rate. Therefore, they devised evidence
tient of the lesion and of any infection associated one patient who was awaiting surgery at the time that complete incision of the entire fistula tract
with it. The authors give a no-nonsense approach of writing the article. appears preferable, which I agree with. Whether
to these lesions, whether or not it is an infection, Cystic hygromas are generally thought of as or not partial thyroidectomy will further de-
in which case needle aspiration is appropriate, being quite benign and not causing too much crease the recurrence rate, as the authors claim,
with subsequent antibiotics after culture of the trouble, yet we know that lymphatic malforma- is not clear. The authors suggest that neck open-
cystic contents. tions in children can sometimes be troublesome. ing surgery be delayed, the bases be treated with
On the other hand, there is a significant dif- Therefore, it is not surprising that a report of four antibiotics until the inflammation is decreased,
ference between thyroglossal duct cysts in chil- cases of cystic hygromas invading the brachial and then proceed to tract incision. This sounds
dren and adults. A comparison between chil- plexus or compressing it were reported by Tubbs like an appropriate approach to me.
dren and adults was reviewed by Lin et al. (Am J et al. ( J Neurosurg Pediatr 2011;7:282–5). The au- Finally, Bajaj et al. (Int J Pediatr Otorhinolar-
Otolaryngol—Head Neck Med Surg 2008;29:83–7), thors wanted to bring attention to the fact that yngol 2011, published online) reviewed all of the
in which the authors with a retrospective chart cystic hygromas, although generally not thought branchial cleft anomaly cases operated on at the
reviewed the thyroglossal duct cysts of both chil- of and with a differential diagnosis of tumors Great Ormond Street Hospital over the past 10
dren and adults between 1997 and 2002. A total of that apparently compress the brachial plexus, years. The second cleft lesions accounted for 95%
84 patients comprising 32 children and 52 adults do nonetheless occur. Although the resection of of the branchial abnormalities. They had 80 pa-
were analyzed. There was no significant sex dif- this lesion was ambivalent in the sense that not tients, evenly split—38 female and 42 male—from
ference. As compared with children, adults had all could be resected; nonetheless, there were no 1 to 14 years. There were 15 patients who had a
more left-sided and infrahyoid cyst locations. As recurrences and no damage to the neurological first branchial cleft anomaly, which is not the sub-
expected, the size of the cysts was significantly structures. ject of this paper, and 62 had a second branchial
larger in adults. Ninety percent of the adults and Other anomalies of the thyroglossal duct cleft anomaly. Complete excision was achieved in
75% of children underwent a Sistrunk operation, cysts and cystic hygromas involve congenital all first cleft cases; there was a temporary mar-
which consists of a cystectomy and excision of fourth branchial arch abnormalities as reported ginal mandibular nerve weakness in this group.
the middle of the hyoid bone and a continua- by Nicoucar et al. ( J Pediatr Surg 2008;44:1432–9), In the 62 children with a second branchial cleft
tion of excision to the thoracic inlet. There were in which a series of patients was reviewed be- anomaly, there were 12 who were bilateral and
only five recurrences, three in adults and two in tween the Department of Head and Neck Surgery the remaining 50 were unilateral. A note of cau-
children. The authors suggested that the Sistrunk at the University Hospital in Switzerland, McLean tion: in the vast majority of children, the tract ex-
operation, which has been in service since 1920, Hospital in Harvard Medical School, and the Pe- tended through a carotid bifurcation and ended
should continue to be the operation of choice. diatric Intensive Care Unit at the University Hos- up in the pharyngeal constrictor muscles. There Not
every thyroglossal duct cyst is benign. I pital in Geneva. There were 526 cases reported were two operative complications, one patient must
confess that I had never heard of a thyroglos- and fourth arch anomalies were usually located developed a seroma and one had incomplete ex- sal
duct cyst carcinoma until I read the paper by on the left and generally presented as acute sup- cision. The results suggest that even with carotid
Forest et al. (J Otolaryngol—Head Neck Surg 2011; purative thyroiditis in 45%. Recurrent neck ab- bifurcation, may be close and involved and a clean
40:151–6), in which 139 patients were reviewed scess occurred in 42%, which was surprising. Di- excision can give excellent results. One does have
from the Royal Prince Alfred Hospital in Camper- rect laryngoscopy was the most useful diagnostic to be careful in these patients because, in fact, the
down, Australia. Of those with thyroglossal duct tool. There were a variety of treatment options, tentacles, as it were, of the branchial cleft cysts,
cysts, nine patients—comprising 6.5%—had a but most of them were related to the technique be they first, second, or fourth, tend to conglom-
thyroglossal duct carcinoma. All were papillary that was used. Treatment options differed in re- erate, since they go to very strange places, and it
carcinoma. The median age at diagnosis was 44 currence rates: open neck surgery and tract inci- will give people difficulty.
years and the follow-up was 6.7 years. All patients sion, 15%; incision and drainage, 89%; endoscopic J.E.F.

27 Anomali Vaskular pada Bayi dan Anak
John B. Mulliken and Arin K. Greene
Anomali vaskular adalah bidang baru yang
melibatkan beberapa spesialisasi medis dan
bedah. Semua anomali vaskular terlihat sangat
mirip, dalam berbagai warna merah, merah
muda, dan biru. Lapangan ini telah dihadang
oleh terminologi klinis dan histopatologis yang
membingungkan. Istilah diagnosis tradisional
gagal memandu manajemen. Kata
"hemangioma" adalah contoh paling mengerikan;
telah digunakan dalam arti umum untuk semua
jenis lesi vaskular.
Klasifikasi biologis anomali vaskular,
pertama kali diusulkan pada tahun 1982,
didasarkan pada temuan klinis, riwayat
alamiah, dan karakteristik seluler. Skema
biner ini diterima oleh Masyarakat
Internasional untuk Studi Anomali Vaskular
(ISSVA) pada tahun 1996. Anomali vaskular
secara luas dibagi menjadi dua kelompok:
tumor dan malformasi (Tabel 1). Tumor
vaskular ditandai oleh proliferasi sel
endotel. Malformasi vaskular timbul akibat
disfogenesis dan memiliki pergantian sel
endotel yang normal. Berdasarkan
klasifikasi ini, anomali vaskular dapat
didiagnosis dengan riwayat dan
pemeriksaan fisik pada 90% pasien.
Sepuluh persen pasien memerlukan studi
radiografi untuk konfirmasi diagnostik;
histopatologi jarang diperlukan.
Tumor vaskular yang paling umum adalah
hemangioma infantil (IH), hemangioma
kongenital (hemangioma kongenital yang cepat
terlibat (RICH), hemangioma konvensional
noninvolusi (NICH)), kaposiform
hemangioendothelioma (KHE), dan granuloma
pomogenik (PG) (PG) ( Gambar 1). Malformasi
dibagi menjadi lesi aliran lambat (malformasi
kapiler (CM), malformasi vena (VM), malformasi
limfatik
Chapter 27: Vascular Anomalies of Infancy and Childhood
(LM)) dan lesi aliran cepat (malformasi arteri
(aneurisma, ektasia, stenosis, fistula) atau
malformasi arteriovenosa (AVM)) (Gbr. 2). Ada
juga anomali vaskular kombinasi, sering
eponymous karena dokter dikreditkan untuk
deskripsi awal. Salah satu contoh dari anomali
vaskular kombinasi adalah Klippel-Trenaunay
syndrome (KTS), malformasi kapiler-limfatik-
vena (CLVM) yang terkait dengan jaringan
lunak dan hipertrofi tulang..
Pasien dengan anomali vaskular sering
berpindah dari satu spesialis ke spesialis
lainnya. Masalah mereka tampaknya berada di
luar bidang bedah umum dan bedah vaskular.
Karena sebagian besar anomali vaskular hadir
di kulit, "nomaden medis" ini biasanya dilihat
oleh dokter kulit atau ahli bedah plastik, dan
kadang-kadang seorang ahli kanker karena lesi
mereka dianggap semacam tumor..
Pemisahan biologis dari dua kategori
utama, tumor dan malformasi, telah
merangsang pembentukan pusat anomali
vaskular di rumah sakit rujukan utama. Jelas
bahwa tidak ada spesialis yang dapat memiliki
pengetahuan yang cukup untuk merawat
pasien ini. Bidang anomali vaskular melekat di
antara semua spesialisasi bedah, banyak
disiplin ilmu medis, serta radiologi dan patologi
intervensi. Ahli genetika molekuler juga
terlibat. Gen penyebab untuk lesi yang
diwariskan telah ditemukan dan banyak dari
sindrom ini melibatkan lesi vaskular dari visera
yang rendah dan padat..
This chapter was written as a primer to
encourage general surgeons to adopt the
modern terminology of vascular lesions.
Surgeons who are curious and fascinated
by these common and often insoluble dis-
or ders are encouraged to join a vascular
anomal ies team.
VASCULAR TUMORS
IInfantile Hemangioma
Clinical Presentation
I is a benign endothelial tumor that oc-
IH
curs in approximately 4% to 5% of Cauca-
s ian infants. The old terms “capillary,” “cav-
ernous,” and “strawberry” hemangioma are
i
impr ecise and no longer used. IH is more
frf equent in premature children and in
f
femal es (4:1). IH typically is single (80%)
and involves the head and neck (60%),
359
trunk (25%), atau ekstremitas (15%). Usia
penampilan median adalah 2 minggu; 30%
hingga 50% lesi dicatat saat lahir sebagai
pewarnaan telekektifik atau area ekimotik.
IH tumbuh lebih cepat daripada anak
selama 9 bulan pertama (fase proliferasi).
Ketika IH melibatkan dermis superfisial, ia
tampak berwarna merah. Lesi di bawah kulit
mungkin tidak terapresiasi sampai usia 3
sampai 4 bulan ketika telah tumbuh cukup
besar untuk menyebabkan kelainan bentuk
yang terlihat; kulit di atasnya mungkin
tampak kebiru-biruan. Pada usia 9 hingga
12 bulan, pertumbuhan IH mencapai
puncak. Setelah usia 12 bulan, tumor mulai
mengalami kemunduran (fase involuting),
warnanya memudar, dan lesi rata. Involusi
berhenti pada sekitar 50% anak-anak pada
usia 5 tahun (fase involusi). Setelah involusi,
setengah dari anak-anak akan memiliki
kelainan: sisa-sisa lesi, jaringan parut,
residu fibrofatty, kulit berlebihan, atau
hancurnya struktur anatomi.
Head and Neck Hemangiomas
The majority of IHs are small, harmless le-
sions that can be monitored under the
watchful eye of a pediatrician. Ten percent of
proliferating IHs, however, cause signifi- cant
deformity or complications, usually when
located on the head or neck. Ulcer- ated
lesions may destroy the eyelid, ear, nose, or
The Head and Neck
lip. IH of the scalp or eyebrow can result in
alopecia. Periorbital hemangioma can block the
visual axis or distort the cor- nea, causing
amblyopia. Subglottic heman- gioma may
obstruct the airway.
Multiple Hemangiomas
Approximately 20% of infants have more
than one IH. The term hemangiomatosis
designates five or more small (<5 mm) tu-
mors. These children are at increased risk for
IH of internal organs, although the risk is low.
The liver is most commonly affected; the brain,
gut, or lung are rarely involved.
Ultrasonogram should be considered to
rule out hepatic IH.
Hepatic Hemangiomas
The liver is the most common extracutane- ous
site for IH. Ninety percent of fast-flow hepatic
lesions are IH. The differential diag- nosis
includes AVM, hepatoblastoma, and metastatic
neuroblastoma, which do not demonstrate
significant shunting on imag- ing. There are
three subtypes of hepatic hemangioma: focal,
multifocal, and diffuse.
360 Part III: The Head and Neck

A B C D

Fig. 1. Vascular tumors of infancy and childhood. (A) A 5-month-old male with superficial IH of cheek. (B) Newborn infant
with RICH of lower extremity. (C) A 11-month-old male with KHE of trunk. (D) A 23-month-old female with PG of right lower
eyelid.

Meskipun kebanyakan IH hepatik bersifat
nonproblematik dan ditemukan secara
kebetulan, tumor besar dapat menyebabkan
gagal jantung, hepatoma, anemia, atau
hipotiroidisme. Hemangioma fokus fokal
biasanya asimptomatik dan tidak
berhubungan dengan lesi kulit; mereka
sering diidentifikasi sebelum kelahiran. Ada
bukti bahwa heangioma hepatik soliter
adalah KAYA. Kadang-kadang tumor ini
dapat menyebabkan kelebihan jantung dan
trombositopenia; Namun, gejala-gejala ini
sembuh saat tumor mengalami regresi. IHs
multifokal hati sering disertai dengan lesi
pasien. Meskipun biasanya asimptomatik,
lesi multifokal dapat menyebabkan gagal
jantung output tinggi, yang dikelola oleh
kortikosteroid atau embolisasi. IH hepatik
difus dapat menyebabkan hepatomegali
masif, gangguan pernapasan, atau sindrom
kompartemen perut. Bayi juga berisiko
mengalami hipotiroidisme dan cedera otak
yang ireversibel karena volume tumor yang
besar mengekspresikan cukup deodinase
untuk menonaktifkan hormon tiroid. Pasien
memerlukan pemantauan hormon stimulasi
tiroid dan, jika abnormal, penggantian
hormon tiroid intravena sampai IH mulai
membaik.
Hemangioma dan Anomali Struktural Ada
presentasi IH yang tidak biasa dengan
malformasi, baik di kepala / leher atau di
daerah lumbosakral. Asosiasi PHACE
mempengaruhi 2,3% pasien dengan IH, dan
terdiri dari IH seperti plak dalam distribusi
regional wajah dengan setidaknya satu dari
anomali berikut: Malformasi otak posterior
fossa; Hemangioma; Anomali serebrovaskular
arteri; Koarktasio aorta dan defek jantung;
Kelainan mata / endokrin. Ketika cacat
perkembangan ventral (Sternal clefting atau
Supraumbilical raphe) hadir, "S" ditambahkan
(PHACES). Sembilan puluh persen bayi adalah
anomali perempuan dan serebrovaskular
adalah temuan yang paling umum (72%).
Karena 8% dari anak-anak dengan PHACE
mengalami stroke pada masa bayi, pasien
harus memiliki magnetic reso-imaging (MRI)
untuk mengevaluasi otak dan serebrovaskatur.
Bayi dirujuk untuk evaluasi opthalmologis,
endokrin, dan jantung untuk menyingkirkan
anomali terkait ini.
Hemangioma retikuler adalah varian tidak
biasa dari IH yang paling umum
mempengaruhi area lumbosakral dan
ekstremitas bawah. Wanita (83%) biasanya
terpengaruh. tidak seperti
IH khas, tumor retikular cenderung mengalami
ulserasi dan jarang menyebabkan kelebihan
jantung. Hemangioma retikuler sering
dikaitkan dengan malformasi ventral-kaudal
(ompha-locele, fistula rekto-vagina, duplikasi
vagina / uterus, ginjal soliter / dupleks, anus
imperatif, anus tali pusat, lipomielomenin-
gokel tali pusat). Setelah involusi, vena kecil
sering tetap, yang dapat diobati dengan
sklerotomi. Ultrasonografi (US) diperoleh
untuk menyingkirkan anomali terkait pada
bayi berusia kurang dari 4 bulan. MRI
diindikasikan pada bayi yang lebih tua atau
ketika AS samar-samar.
Diagnosis
Sebagian besar IHs mudah didiagnosis dengan
riwayat dan pemeriksaan fisik. Aliran cepat
dikonfirmasi menggunakan perangkat Doppler
genggam. Oleh US formal, IH muncul sebagai
massa jaringan lunak dengan aliran cepat,
penurunan resistensi arteri, dan peningkatan
drainase vena. Pada MRI tumor isointense pada
T1, hyperintense pada T2, dan meningkat selama
fase proliferasi. Melibatkan IH telah
meningkatkan lobularitas dan jaringan adiposa;
jumlah kapal dan aliran berkurang. Jarang,
biopsi diindikasikan jika keganasan dicurigai
atau jika diagnosis tetap tidak jelas setelah
pencitraan

A B C D E

Fig. 2. Vascular malformations. (A) Newborn infant with CM of the trunk. (B) A 9-year-old female with left facial LM. (C) A
2-year-old female with upper labial VM. (D) A 14-year-old male with left facial AVM. (E) A 18-month-old female with a com-
bined capillary–lymphatic–venous malformation of right lower extremity and overgrowth (KTS).

studi. Transporter glukosa tipe-eritrosit positif
(GLUT1) immunostaining membedakan IT dari
tumor dan malformasi vaskular lainnya.
Nonoperative Treatment
Sebagian besar IHs hanya diamati karena 90%
kecil, terlokalisasi, dan tidak melibatkan area
yang secara anatomis penting. Selama fase
proliferasi, 16% lesi akan mengalami ulserasi;
paling umum di bibir, leher, dan daerah
genital. Komplikasi lain termasuk perdarahan
dan infeksi. IH dijaga tetap lembab selama fase
proliferatif dengan minyak bumi terhidrasi
untuk meminimalkan pengeringan dan untuk
melindungi terhadap trauma insidental. IH
dapat dilindungi lebih lanjut dengan
menggunakan penghalang kasa minyak tanah.
Jika suatu ulserasi berkembang, ia dikelola
dengan perawatan luka lokal; seringkali
penyembuhan membutuhkan waktu 4 hingga
6 minggu.
Topical Corticosteroid
Kortikosteroid topikal memiliki khasiat minimal;
khususnya terhadap IH yang melibatkan derek
yang dalam dan subkutis. Agen ultrapoten
mungkin efektif untuk IH yang sangat dangkal.
Meskipun penerangan dapat terjadi, jika ada
komponen yang dalam, itu tidak akan
terpengaruh. Efek samping termasuk
hipopigmentasi, atrofi kulit, dan bahkan supresi
adrenal.
Intralesional Corticosteroid
IHs kecil dan terlokalisasi dengan baik yang
menghalangi sumbu visual atau jalan napas
hidung atau yang berisiko merusak struktur
penting (mis., Kelopak mata, bibir, hidung)
paling baik dikelola oleh kortikosteroid
intralesi. Triamcinolone (3 mg / kg)
menstabilkan pertumbuhan lesi pada
setidaknya 95% pasien; 75% tumor akan
berkurang ukurannya. Kortikosteroid
berlangsung selama 4 hingga 6 minggu dan
dengan demikian bayi mungkin
memerlukan satu atau dua injeksi lagi
selama fase proliferatif. Kortikosteroid
intralesi dapat menyebabkan atrofi lemak
subkutan. Kebutaan telah dilaporkan
setelah injeksi hemangioma periorbital yang
dalam akibat oklusi emboli arteri retina.
Systemic Corticosteroid
Setiap IH bermasalah yang lebih besar dari 3
hingga 4 cm dikelola oleh prednisolon oral
harian. Pasien mulai menggunakan 3 mg / kg
/ hari selama 1 bulan, yang kemudian
dikurangi dengan
0,5 cc setiap 2 hingga 4 minggu sampai
dihentikan antara usia 10 dan 12 bulan ketika
tumor tidak lagi berkembang biak. Baru-baru
ini, propranolol telah dijelaskan untuk
pengobatan IH, tetapi kemanjuran dan
keamanannya, dibandingkan dengan
kortikosteroid, belum diteliti. Kortikosteroid,
sebaliknya, telah digunakan untuk mengobati
IH selama lebih dari 40 tahun dan telah
terbukti sangat aman dan efektif. Meta-
analisis menunjukkan bahwa 84% pasien
Chapter 27: Vascular Anomalies of Infancy and Childhood
diobati dengan dosis kortikosteroid yang berbeda
akan memiliki (a) stabilisasi pertumbuhan atau
(b) regresi yang dipercepat. Namun, hampir
semua pasien akan merespons 3 mg / kg.
Respons pengobatan biasanya jelas dalam 1
minggu terapi dengan tanda-tanda involusi:
tingkat pertumbuhan menurun, warna pudar,
dan pelunakan lesi. Lokasi hemangioma tidak
mempengaruhi tingkat respons. Untuk lesi
langka yang gagal distabilkan dengan
kortikosteroid, dosis dapat ditingkatkan hingga 5
mg / kg, yang dapat meningkatkan respons
pengobatan. Atau, anak tersebut dapat beralih
ke vincristine. Interferon tidak lagi
direkomendasikan pada anak-anak di bawah 12
bulan karena dapat menyebabkan gejala
neurologis, terutama diplegia spastik.
Komplikasi kortikosteroid sistemik untuk
pengelolaan IH telah dipelajari; tidak ada efek
buruk pada perkembangan saraf. Morbiditas
jangka pendek dapat mencakup wajah
cushingoid, perubahan kepribadian, iritasi
lambung, infeksi jamur (oral atau perineum),
miopati, penurunan tinggi badan, dan
penurunan berat badan. Temuan ini
menyelesaikan setelah terapi selesai. Lebih dari
90% anak-anak kembali ke kurva pertumbuhan
pretreatment mereka untuk tinggi pada usia 24
bulan.
Embolic Therapy
IHs besar, yang paling umum lesi multifokal,
dapat menyebabkan gagal jantung kongestif
keluaran tinggi. Embolisasi dapat diindikasikan
untuk kontrol awal dari kelebihan jantung
sementara terapi kortikosteroid sistemik
berlaku. Gagal jantung sering berulang bahkan
setelah perbaikan awal, dan terapi obat harus
dilanjutkan setelah embolisasi sampai anak
berusia sekitar 12 bulan ketika involusi alami
dimulai.
Laser Therapy
Ada sedikit, jika ada, peran untuk perawatan
laser pulsed-dye untuk memperbanyak IH.
Laser hanya menembus 0,75 hingga 1,2 mm ke
dalam derek, dan dengan demikian hanya
memengaruhi bagian permukaan tumor.
Meskipun pencerahan dapat terjadi, massa IH
tidak terpengaruh. Sebagai gantinya, pasien
memiliki peningkatan risiko atrofi kulit dan
hipopigmentasi. Cedera termal yang
ditimbulkan oleh laser ke dermis iskemik
meningkatkan risiko ulserasi, nyeri,
perdarahan, dan jaringan parut. Lapisan
pewarna berdenyut diindikasikan selama fase
involusi untuk memudar telangiectasias
residual.
Operative Treatment
Proliferative Phase (Infancy)
Perawatan operatif pada masa bayi umumnya
tidak dianjurkan. Tumor ini sangat vaskular
selama periode ini dan ada risiko kehilangan
darah, cedera iatrogenik, dan hasil estetika
yang lebih rendah, dibandingkan dengan
pemotongan
361
jaringan residual setelah tumor mengalami
regresi. Namun demikian, di tangan bedah yang
berpengalaman, ada indikasi untuk intervensi
operasi selama fase proliferasi: (a) kegagalan atau
kontraindikasi terhadap kortikosteroid; (B)
tumor terlokalisasi dengan baik di daerah yang
secara anatomis aman; (c) reseksi akan
diperlukan di masa depan dan bekas luka akan
sama. Lesi sirkular yang terletak di area yang
terlihat, khususnya wajah, paling baik
dihilangkan dengan eksisi sirkular dan
penutupan purse-string. Teknik ini
meminimalkan panjang bekas luka serta distorsi
struktur sekitarnya. Eksisi lenticular dari
hangiangioma sirkular menghasilkan bekas luka
sepanjang tiga kali diameter lesi (Gbr. 3). Sebagai
perbandingan, reseksi sirkuler dua tahap diikuti
oleh eksisi lenticular / linear linear 6 sampai 12
bulan kemudian akan meninggalkan bekas luka
yang kira-kira sama panjangnya dengan
diameter hemangioma asli (Gbr. 4).
Involuting Phase (Early Childhood)
Sementara manajemen operatif IH
umumnya tidak diindikasikan selama fase
proliferatif, reseksi selama involusi jauh
lebih aman karena lesi kurang vaskular
dan lebih kecil. Karena luas eksisi
berkurang, hasilnya lebih unggul. Kira-
kira 50% IHs meninggalkan jaringan
fibrofatty atau kulit yang rusak setelah
tumor pulih, menyebabkan deformitas.
Terkadang seorang anak membutuhkan
rekonstruksi struktur yang rusak (mis.
Hidung, telinga, bibir). Eksisi bertahap
atau total harus dipertimbangkan selama
periode ini, daripada menunggu untuk
infus lengkap jika (a) jelas bahwa lesi akan
membutuhkan reseksi (misalnya, jaringan
The Head and Neck
parut postulcerasi, struktur yang hancur,
kulit yang membesar, sisa fibrofatty yang
signifikan) ; (B) panjang bekas luka akan
sama jika prosedur ditunda ke fase
involusi; (c) bekas luka ada di lokasi yang
menguntungkan. Keuntungan dari
intervensi operatif selama periode ini,
dibandingkan dengan masa kanak-kanak,
adalah bahwa rekonstruksi sedang
dilakukan sebelum perkembangan
memori anak atau kesadaran akan
perbedaan wajah.
Involuted Phase (Late Childhood)
Menunggu sampai IH telah sepenuhnya terlibat
sebelum reseksi memastikan bahwa jumlah
residu fibrofatty dan kulit berlebih yang paling
sedikit dipantulkan, menghasilkan bekas luka
sekecil mungkin. Menunda intervensi sampai
terjadi involusi total harus ditimbang terhadap
implikasi psikososial yang mungkin dari
mempertahankan kelainan bentuk sampai akhir
masa kanak-kanak. Membiarkan involusi penuh
direkomendasikan untuk lesi ketika tidak jelas
apakah bekas luka bedah akan meninggalkan
deformitas yang lebih buruk daripada
penampilan hemangioma residual.
362 Part III: The Head and Neck

A B

Fig. 3. A 2-year-old female with involuting phase IH of the scalp resulting in fibrofatty residuum and alopecia: lenticular
excision and linear closure.

A B C

D E F

Fig. 4. (A,B) A 2.5-year-old female with frontal IH and fibrofatty residuum. (C) Lenticular excision would result in a scar
approximately three times the diameter of the tumor. (D,E) Circular excision/purse-string closure. (F) Small scar 3 months
postoperatively.

Congenital Hemangiomas
Clinical Presentation
Ada hemangioma langka yang muncul pada
janin, tumbuh sepenuhnya saat lahir, dan
tidak memiliki pertumbuhan pascanatal.
Hangiangioma kongenital ini berwarna merah-
merah dengan telangiectasias kasar, pucat
sentral, dan halo pucat perifer. Lesi ini lebih
umum di ekstremitas, memiliki distribusi jenis
kelamin yang sama, dan soliter dengan
diameter rata-rata 5 cm. Ada dua bentuk:
RICH dan NICH. RICH mengalami
kemunduran dengan cepat setelah kelahiran;
50% telah menyelesaikan regresi pada usia 7
bulan. KAYA mempengaruhi kepala atau leher
(42%), anggota badan (52%), atau batang (6%).
RICH tidak meninggalkan komponen adiposa
yang signifikan, tidak seperti IH. NICH,
sebaliknya, tidak mengalami involusi; ada
aliran cepat terus-menerus. Ini melibatkan
kepala atau leher (43%), anggota badan (38%),
atau batang (19%).
Treatment
RICH biasanya tidak memerlukan reseksi pada
masa bayi karena mengalami regresi yang
dipercepat. Kadang-kadang, RICH diperumit
oleh gagal jantung kongestif, yang dikontrol
oleh kortikosteroid atau embolisasi ketika lesi
terjadi. Setelah regresi, RICH dapat
meninggalkan kulit atrofi dan jaringan
subkutan. Rekonstruksi dengan cangkok
otonom (lemak, dermis) atau dermis aselular
dapat diindikasikan. NICH jarang bermasalah
saat masih bayi; diamati sampai diagnosis
jelas. Reseksi NICH dapat diindikasikan untuk
meningkatkan penampilan daerah yang
terkena, selama bekas luka bedah akan kurang
terlihat dibandingkan lesi .
Kaposiform Hemangioendothelioma
Clinical Presentation
KHE adalah neoplasma vaskular yang jarang
yang secara agresif agresif, tetapi tidak
bermetastasis. Meskipun setengah dari lesi
hadir saat lahir, KHE dapat berkembang
selama masa bayi (58%), antara usia 1 dan 10
tahun (32%), atau setelah usia 11 tahun (10%).
KHE memiliki distribusi jenis kelamin yang
sama, soliter, dan mempengaruhi kepala /
leher (40%), batang (30%), atau ekstremitas
(30%). Tumor sering lebih besar dari 5 cm
diameter, dan dengan demikian lebih besar
dari IH khas. KHE menyebabkan deformitas
yang terlihat serta rasa sakit. Selain itu, 50%
pasien memiliki fenomena Kasabach-Merritt
(KMP) (trombositopenia <25.000 / mm3,
petekia, perdarahan). Sebagian KHE
mengalami regresi setelah usia 2 tahun,
meskipun biasanya bertahan lama
menyebabkan nyeri dan kekakuan kronis.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pencitraan. Tidak seperti
Chapter 27: Vascular Anomalies of Infancy and Childhood
IH, KHE biasanya hadir saat lahir sebagai lesi
datar, kemerahan-ungu, edematous. Itu tidak
menunjukkan pertumbuhan postnatal yang
cepat; bagaimanapun, tumor dapat
berkembang dengan timbulnya KMP. MRI
diindikasikan untuk konfirmasi diagnostik dan
menilai luasnya tumor. MRI menunjukkan
margin, kapal kecil, dan invasi jaringan yang
berdekatan tidak jelas. Ada hiperintensitas T2
dan peningkatan postg adolinium; kekosongan
sinyal juga mungkin ada. Secara histologis,
KHE memiliki lembaran atau nodul sel endotel
yang menginfiltrasi kapiler. Ruang
hemosiderin yang dipenuhi celah seperti
pembuluh darah dengan fragmen sel darah
merah, serta limfatik melebar, hadir.
Treatment
Kebanyakan lesi luas, melibatkan banyak
jaringan, dan berada di luar batas bagian. Pasien
dengan KMP memerlukan perawatan sistemik
untuk mencegah komplikasi yang mengancam
jiwa. Tumor besar tanpa gejala tanpa KMP juga
dikelola dengan farmakoterapi untuk
meminimalkan fibrosis dan nyeri jangka panjang
serta kekakuan. Vinkristin adalah terapi lini
pertama; tingkat responsnya adalah 90%. KHE
juga tidak merespons terhadap obat lini kedua,
interferon (50%), atau korosteroid (10%).
Trombositopenia tidak akan membaik secara
signifikan dengan transfusi trombosit karena
trombosit terperangkap dalam tumor. Transfusi
juga memperburuk pembengkakan dan harus
dihindari kecuali jika ada perdarahan aktif atau
prosedur bedah direncanakan. Pada usia 2
tahun, tumor sering mengalami involusi parsial
dan hitung plat normal. Ada bukti bahwa KHE
tidak pernah mengalami kemunduran total.
Pyogenic Granuloma
PG bukan "piogenik" atau "granuloma-tous."
Beberapa ahli patologi menyebutnya
hemangioma kapiler lobular. PG adalah soliter,
papula merah yang tumbuh dengan cepat di
tangkai. Itu kecil, dengan diameter rata-rata
6,5 mm; usia rata-rata onset adalah 6,7 tahun.
Laki-laki: rasio perempuan adalah 2: 1. PG
umumnya rumit oleh perdarahan (64%) dan
ulserasi (36%). PG terutama melibatkan kulit
(88%), tetapi juga bisa melibatkan selaput
lendir (11%). PG didistribusikan di kepala atau
leher (62%), batang (19%), ekstremitas atas
(13%), atau ekstremitas bawah (5%). Di daerah
kepala dan leher, situs yang terkena termasuk
pipi (29%), rongga mulut (14%), kulit kepala
(11%), dahi (10%), kelopak mata (9%), atau
bibir (9)%).
PG membutuhkan intervensi untuk
mengendalikan kemungkinan ulserasi dan
perdarahan. Banyak metode yang telah
dijelaskan: kuretase, eksisi mencukur, terapi
laser, atau eksisi. Karena lesi dapat melibatkan
dermis reticular,
363
mungkin di luar jangkauan laser pulsed-dye,
kauterisasi, atau eksisi mencukur. Akibatnya,
modalitas ini memiliki tingkat kekambuhan
43,5%. Eksisi kulit dengan ketebalan penuh
lebih pasti.
VASCULAR MALFORMATIONS
Capillary Malformation
Clinical Presentation
CM sekarang istilah yang diterima untuk
pewarnaan "port-wine". Pemeriksaan
histopatologis menunjukkan kapiler yang
melebar dan pembuluh vena di dermis
superfisial. CM paling sering menyendiri;
dapat dilokalisasi atau luas. Seiring
waktu, noda akan menjadi gelap dan
menunjukkan pertumbuhan berlebih
fibrovaskular. Ini dapat dikaitkan dengan
hipertrofi jaringan lunak dan skeletal.
Sturge-Weber syndrome ditandai oleh CM
pada dermatom trigeminal oftalmik (V1)
yang berhubungan dengan anomali
vaskuler okular dan leptomeningeal.
Anomali leptomeningeal dapat
menyebabkan kejang, hemiplegia
kontralateral, dan keterlambatan
perkembangan. Pasien berisiko
mengalami ablasi retina dan glaukoma;
mereka harus diikuti oleh dokter mata.
Lebih dari setengah pasien dengan
sindrom Sturge-Weber memiliki noda
kapiler yang tidak merata pada batang
dan ekstremitas. Presentasi ini
menyebabkan kebingungan dengan
anomali vaskular kombinasi dan
menyumbang label yang keliru "Klippel –
Weber– Trenaunay syndrome.”
Treatment
Terapi laser pulsed-dye (585 nm) dapat
The Head and Neck
meningkatkan tampilan CM; daerah kepala
dan leher merespon lebih baik daripada yang
dialaminya. Hasil juga lebih baik untuk lesi
yang lebih kecil dan yang dirawat pada usia
yang lebih muda. Lima belas persen pasien
mencapai setidaknya 90% penerangan, 65%
meningkatkan 50% hingga 90%, dan 20%
merespons dengan buruk. Perawatan
multipel, berjarak 6 minggu, sering
diperlukan sampai CM tidak lagi membaik
dengan perawatan tambahan. Setelah
perawatan laser, CM sering redarkens dari
waktu ke waktu.
CM juga dapat dikaitkan dengan
pertumbuhan jaringan lunak dan tulang.
Hipertrofi labial ditingkatkan dengan reseksi
kontur. Pembesaran rahang atas atau rahang
bawah dapat menyebabkan oklusal dan
maloklusi. Maloklusi dapat diperbaiki pada
masa remaja dengan manipulasi ortodontik
dan / atau prosedur ortognatik. CM batang
atau ekstremitas dapat dikaitkan dengan
pertumbuhan berlebih lemak yang
menyebabkan ketidaksimetrisan dan
perbedaan panjang kaki. Dalam kasus yang
parah, penebalan kulit dan jalan berbatu dapat
direseksi dan direkonstruksi dengan
penutupan linier, cangkok kulit, atau flap
lokal. Wajah asimetris
364 Part III: The Head and Neck
disebabkan oleh pertumbuhan berlebih dari
zygoma, rahang atas, atau mandibula dapat
ditingkatkan dengan pemberian kontur.
Lymphatic Malformation
Clinical Presentation
LM disebabkan oleh kesalahan dalam
pengembangan embrio sistem limfatik. LM
ditandai oleh ukuran saluran yang salah
bentuk: mikrokistik, makrokistik, atau
gabungan. Lesi makrokistik didefinisikan
sebagai kista yang cukup besar untuk ditusuk
oleh jari dan dirawat dengan skleroterapi.
Karena sistem limfatik dan vena berbagi asal
embriologis yang sama, malformasi limfatik-
vena (LVM) juga dapat terjadi. LM biasanya
dicatat saat lahir atau dalam 2 tahun pertama
kehidupan. LM paling sering berada di kepala
dan leher; situs sering lainnya termasuk
ketiak, dada, dan perineum. Lesi lunak dan
kompresibel. Kulit yang berbaring mungkin
normal, memiliki warna kebiruan, atau
bertatahkan vesikel merah muda-merah.
LM biasanya menyebabkan deformitas dan
masalah psikososial, terutama ketika
melibatkan kepala dan leher. Dua komplikasi
paling umum yang terkait dengan LM adalah
perdarahan dan infeksi. Perdarahan intralesi
terjadi pada 35% lesi, menyebabkan
perubahan warna ekimosis, nyeri, atau
pembengkakan. Infeksi merumitkan sebanyak
70% lesi dan dapat berkembang dengan cepat
menjadi sepsis. Vesikula kulit bisa berdarah
dan menyebabkan drainase yang tidak sedap.
Lesi oral dapat menyebabkan macroglossia,
kebersihan mulut yang buruk, dan karies.
Pembengkakan karena pendarahan, infeksi
lokal, atau penyakit sistemik dapat
menghambat struktur vital. Dua pertiga bayi
dengan LM serviksofasiial membutuhkan
trakeostomi. Pertumbuhan berlebih tulang
adalah komplikasi lain; mandibula paling
sering terlibat, menghasilkan gigitan terbuka
dan prognatisme. LM Thoracic atau abdominal
dapat menyebabkan efusi chylus pleural,
pericardial, atau peritoneal. LM periorbital
menyebabkan penurunan penglihatan
permanen (40%), dan 7% pasien menjadi buta
pada mata yang terkena. LM yang umum
muncul dengan lesi tulang multifokal atau
osteosit terkait dengan efusi pleura dan / atau
perikardial; apa yang disebut lymphangiectasia
usus dengan enteropati yang kehilangan
protein juga dapat terjadi .
Diagnosis
Sembilan puluh persen dari LM didiagnosis
dengan riwayat dan pemeriksaan fisik. Lesi
kecil dan superfisial tidak memerlukan
evaluasi diagnosa lebih lanjut. Lesi besar atau
dalam dinilai oleh MRI untuk (a)
mengkonfirmasi diagnosis;
(B) menentukan sejauh mana malformasi; dan
(c) merencanakan perawatan. LM muncul
sebagai makroskopik, mikrokistik, atau
gabungan lesi
dengan pemisahan ketebalan variabel. Ini adalah
sensasi pada urutan T2-weighted dan tidak
menunjukkan peningkatan difus. Meskipun US
tidak seakurat MRI, itu dapat memberikan
konfirmasi diagnostik atau pendarahan
dokumen intralesi. Temuan AS untuk LM
makrosistik termasuk kista anechoic dengan
septasi internal, seringkali dengan kadar puing-
puing atau cairan. LM mikrokistik muncul
sebagai massa echogenik yang tidak terdefinisi
dengan keterlibatan difus jaringan yang
berdekatan. Konfirmasi histologis LM jarang
diperlukan. LM menunjukkan ruang vaskular
berdinding abnormal dengan eosinofilik, cairan
kaya protein, dan koleksi limfosit. Imunostaining
dengan penanda limfatik D2-40 dan LYVE-1
adalah positif.
Treatment
LM adalah lesi jinak; intervensi tidak wajib.
Lesi kecil atau tanpa gejala dapat diamati.
LM yang terinfeksi sering tidak dapat
dikontrol dengan antibiotik oral dan
biasanya diperlukan terapi antimikroba
intravena. Intervensi untuk LM dicadangkan
untuk lesi gejala yang menyebabkan rasa
sakit, kelainan bentuk yang signifikan, atau
mengancam struktur vital.
Sclerotherapy
Skleroterapi adalah manajemen lini pertama
untuk LM makrosistik besar / bermasalah.
Kista disedot diikuti dengan injeksi zat
inflamasi, yang menyebabkan jaringan parut
kista saling berhadapan. Skleroterapi memiliki
efektivitas yang unggul dan tingkat komplikasi
yang lebih rendah daripada eksisi. Beberapa
sclerosant digunakan untuk mengecilkan LM:
doksisiklin, natrium tetradecyl sulfate (STS),
etanol, bleomycin, dan OK-
432. Kami lebih suka doksisiklin karena efektif
(pengurangan ukuran 83%) dan aman (risiko
ulserasi kulit kurang dari 5%). STS adalah
agen lini kedua kami. Etanol adalah sclerosant
yang efektif tetapi memiliki tingkat komplikasi
tertinggi. Dapat digunakan untuk lesi kecil,
tetapi volume besar harus dihindari untuk
mengurangi risiko toksisitas lokal dan
sistemik. Etanol dapat melukai saraf dan
karenanya tidak boleh digunakan di dekat
struktur penting. Penggunaan OK-432 terbatas
karena tidak tersedia secara luas.
Komplikasi yang paling umum dari
skleroterapi untuk LM adalah ulserasi kulit
(<5%). Etanol dikaitkan dengan toksisitas
sistemik tambahan: depresi sistem saraf
pusat (SSP), hipertensi paru, hemolisis,
tromboemboli, dan aritmia. Ekstravasasi
sklerosan ke dalam otot dapat menyebabkan
atrofi dan kontraktur. LM sering
berkembang kembali seiring waktu; 9%
berulang dalam 3 tahun setelah pengobatan
OK-432 dan sebagian besar akan
melakukan ekspansi ulang dengan tindak
lanjut yang lebih lama. Akibatnya, pasien
sering membutuhkan re-
sclerotherapy berulang selama hidup mereka.
Jika LM berulang dan makrokista yang
bermasalah tidak lagi ada dalam lesi, maka
reseksi adalah alternatif berikutnya .
Resection
Upaya pemusnahan LM dapat
menyebabkan morbiditas yang signifikan:
kehilangan darah utama, cedera genetik,
dan kelainan bentuk. Misalnya, reseksi LM
serviks dapat melukai saraf wajah (76%)
atau saraf hipoglosus (24%). Eksisi
biasanya subtotal karena LM melibatkan
beberapa bidang jaringan dan struktur
penting; rekurensi demikian umum (35%
hingga 64%). Reseksi dicadangkan untuk
(a) LM mikrokistik simtomatik yang
menyebabkan perdarahan, infeksi, distorsi
struktur vital, atau deformitas yang
signifikan; (B) gejala makrosistik /
gabungan LM yang tidak lagi dapat dikelola
dengan skleroterapi karena semua
makrokista telah dirawat;
(c) LM kecil dan terlokalisasi dengan baik
(mikrokistik atau makrokistik) yang dapat
dieksisi sepenuhnya. Ketika
mempertimbangkan reseksi, bekas luka /
kelainan pasca operasi setelah pengaktifan
LM harus ditimbang terhadap penampilan
lesi sebelum operasi..
Untuk malformasi difus, direkomendasikan
penentuan area anatomi yang telah ditentukan.
Eksisi subtotal dari area yang bermasalah, seperti
vesikel yang berdarah atau bibir yang mengalami
trofi, harus dilakukan alih-alih “menyelesaikan”
lesi jinak, yang akan menghasilkan deformitas
yang lebih buruk daripada malformasi itu sendiri.
Macroglossia mungkin memerlukan reduksi
untuk mengembalikan lidah ke rongga mulut
atau untuk memperbaiki kelainan bentuk gigitan
terbuka. Pertumbuhan berlebih tulang
ditingkatkan dengan pembentukan osseus dan
maloklusi mungkin membutuhkan koreksi
ortognatik, biasanya setelah maturitas kerangka..
Vesikula kulit yang berdarah atau bocor
dapat dikelola dengan reseksi jika dilokalisasi
dan luka dapat ditutup dengan perkiraan
langsung jaringan. Vesikel sering berulang
melalui bekas luka. Area besar perdarahan
atau drainase vesikular paling baik dikelola
oleh skleroterapi atau karbon dioksida; sebagai
alternatif, reseksi luas dan cakupan cangkok
kulit diperlukan. Varietas mikrokistik yang
melibatkan rongga mulut merespon dengan
baik terhadap ablasi frekuensi radio. Pasien
dan keluarga dinasihati bahwa LM dapat
memperluas mengikuti intervensi apa pun, dan
dengan demikian perawatan tambahan sering
diperlukan di masa depan.
Venous Malformation
Clinical Presentation
VM hasil dari kesalahan dalam morfogenesis
vaskular; saluran anomali dilebarkan dengan
dinding tipis dan otot polos abnormal. Akibatnya,
aliran mandek, lesi membesar,

dan pembekuan terjadi. Lesi berwarna biru,
lunak, dan kompresibel; phlebolith yang
terkalsifikasi dapat diraba. VMS berkisar dari
lesi kulit kecil yang terlokalisasi hingga
malformasi difus yang melibatkan beberapa
bidang jaringan dan struktur vital. VM
biasanya sporadis dan soliter pada 90%
pasien; Namun, 50% memiliki mutasi somatik
pada reseptor endotelial TIE2. VM sporadis
biasanya lebih besar dari 5 cm (56%), tunggal
(99%), dan terletak di atas
kepala / leher (47%), ekstremitas (40%), atau
batang (13%). Hampir semua lesi melibatkan
kulit, mukosa, atau jaringan subkutan; 50%
juga memengaruhi struktur yang lebih dalam
(mis., Otot, tulang, sendi, visera).
Sekitar 10% pasien dengan VM memiliki
lesi multifokal, familial. Malformasi glomerous
(GVM) adalah tipe yang paling umum,
malformasi cutaneomucosal-venous (CMVM)
jarang terjadi. GVM adalah kondisi dominan
otomatis dengan sel-sel glomus seperti otot
polos yang abnormal di sepanjang vena
ectaktik. Ini disebabkan oleh mutasi
kehilangan fungsi pada gen glomulin. Lesi
biasanya multipel (70%), kecil (dua pertiga <5
cm), dan terletak di kulit dan jaringan
subkutan; struktur yang lebih dalam tidak
terpengaruh. GVM melibatkan ekstremitas
(76%), trunk (14%), atau kepala / leher (10%).
Lesi lebih menyakitkan daripada VM biasa.
CMVM adalah lesi mukokutomi multifokal
kecil yang disebabkan oleh mutasi fungsi pada
reseptor TIE2. Kondisi ini dominan autosomal
dan kurang umum daripada GVM. Lesi kecil (76%
<5 cm), multipel (73%), dan terletak di kepala /
leher (biasanya lidah atau mukosa bukal) (50%),
ekstremitas (37%), atau batang (13).%).
Malformasi kavernosa serebral (CCM)
adalah gangguan keluarga yang jarang
terjadi dengan VM yang melibatkan otak
dan sumsum tulang belakang; pasien
mungkin juga memiliki lesi kulit
hiperkeratotik. Perbedaan hasil dari mutasi
pada gen CCM1 / (KRIT1), CCM2, dan
CCM3 dan pasien berisiko untuk
pengembangan lesi intrakranial baru dan
perdarahan.
Blue rubber bleb nevus syndrome
(BRBNS) adalah kondisi yang jarang
terjadi dengan beberapa VM kecil <<2 cm
yang melibatkan kulit, jaringan lunak,
dan saluran pencernaan. Morbiditas
berhubungan dengan perdarahan
gastrointestinal, memerlukan transfusi
darah kronis.
Komplikasi VM termasuk masalah nyeri,
pembengkakan, dan psikososial. VM kepala
dan leher dapat hadir dengan perdarahan
mukosa atau distorsi progresif yang mengarah
ke jalan napas atau gangguan orbital. VM
ekstremitas dapat menyebabkan perbedaan
panjang kaki, hipoplasia karena atrofi yang
tidak digunakan, fraktur patologis,
hematotrosis, dan artritis degeneratif. VM otot
dapat menyebabkan fibrosis dan nyeri serta
kecacatan selanjutnya. VM besar yang
melibatkan sistem vena dalam beresiko untuk
trombosis
Chapter 27: Vascular Anomalies of Infancy and Childhood
dan emboli paru. VM gastrointestinal dapat
menyebabkan perdarahan dan anemia kronis.
Stagnasi dalam hasil VM besar dalam
koagulopati intravaskular lokal (LIC) dan
phlebothrombosis menyakitkan.
Diagnosis
Setidaknya 90% dari VM didiagnosis oleh
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Posisi
tergantung dari daerah yang terkena biasanya
mengkonfirmasi diagnosis. VM kecil dan dangkal
tidak memerlukan pemeriksaan diagnostik lebih
lanjut. Lesi besar atau lebih dalam dievaluasi oleh
MRI untuk (a) mengkonfirmasi diagnosis; (B)
menentukan sejauh mana malformasi; dan (c)
merencanakan perawatan. VM adalah
hyperintense pada urutan T2-weighted. Tidak
seperti LM, VM meningkatkan kontras, sering
menunjukkan phlebolith sebagai kekosongan
sinyal, dan lebih cenderung melibatkan otot. USG
dapat digunakan untuk beberapa lesi
terlokalisasi; Temuan-temuannya meliputi
saluran yang kompresibel, anechoic-hypoechoic
yang dipisahkan oleh daerah yang lebih padat
dari variabel echogenicity. Phlebolith adalah
hyperechoic dengan bayangan akustik.
Computed tomography (CT) kadang-kadang
ditunjukkan untuk menilai VM tulang. Diagnosis
histologis VM jarang diperlukan, tetapi dapat
diindikasikan untuk menyingkirkan keganasan
atau jika pencitraan samar-samar.
Treatment
Pasien dengan VM ekstremitas luas
diresepkan pakaian kompresi khusus untuk
mengurangi stagnasi darah dan dengan
demikian meminimalkan ekspansi, LIC,
formasi phlebolith, dan nyeri. Pasien dengan
nyeri berulang akibat phlebothrombosis
diberikan aspirin harian profilaksis (81 mg)
untuk mencegah trombosis. Lesi besar
beresiko koagulasi darah stagnan, stimulasi
trombin, dan konversi fibrinogen menjadi
fibrin. LIC dapat menjadi koagulopati intra
vaskular diseminata (DIC) setelah trauma atau
intervensi terapeutik. Koagulopati konsumtif
kronik dapat menyebabkan trombosis
(phleboliths) atau perdarahan (hipertrosis,
hematoma, kehilangan darah intraoperatif).
Heparin berat molekul rendah (LMWH)
dipertimbangkan untuk pasien dengan LIC
signifikan yang berisiko terhadap DIC. Pasien
yang mengalami kejadian trombotik serius
membutuhkan antikoagulasi jangka panjang
atau filter vena caval.
Sclerotherapy
Intervensi untuk VM dicadangkan untuk lesi
simtomatik yang menyebabkan nyeri, kelainan
bentuk, obstruksi (mis., Penglihatan, jalan
napas), atau perdarahan gastrointestinal.
Pengobatan lini pertama adalah skleroterapi,
yang lebih aman dan lebih efektif daripada
reseksi. Malformasi difus dikelola dengan
menargetkan area gejala tertentu; seringkali
seluruh lesi terlalu mahal untuk diobati pada
satu waktu. Skleroterapi diulangi sampai
gejala berkurang or
365
ketika ruang vaskular yang disuntikkan tidak
ada lagi. Meskipun sclerotherapy secara efektif
mengurangi ukuran lesi dan meningkatkan
gejala, malformasi tetap ada. Akibatnya, pasien
memiliki massa atau kelainan bentuk setelah
perawatan yang dapat diperbaiki dengan
reseksi. Selain itu, VM biasanya berkembang
kembali setelah skleroterapi, dan dengan
demikian pasien sering memerlukan
perawatan tambahan.
Scleroscents yang disukai untuk VM
adalah STS dan etanol; STS paling sering
digunakan. Meskipun etanol lebih efektif
daripada STS, etanol memiliki tingkat
komplikasi yang lebih tinggi. Sebagian
besar pasien, terutama anak-anak,
dikelola dengan anestesi umum
menggunakan US atau pencitraan
fluoroskopi. Komplikasi lokal skleroterapi
untuk VM yang paling umum adalah
ulserasi kulit (<5%). Ekstravasasi
scleroscent ke dalam otot dapat
menyebabkan atrofi dan kontraktur.
Pembengkakan posttreatment mungkin
memerlukan pemantauan ketat. Sindrom
kombinasi merupakan konsekuensi serius
skleroterapi untuk VM ekstremitas. Efek
samping sistemik dari skleroterapi,
termasuk hemolisis, hemoglobinuria, dan
DIC, lebih sering terjadi jika lesi besar
diobati. Pasien dengan kadar fibrinogen
rendah diberikan LMWH 14 hari sebelum
dan sesudah prosedur. Antikoagulasi
dilakukan selama 24 jam secara
perioperatif (12 jam sebelum dan sesudah
intervensi) untuk mencegah komplikasi
perdarahan.
Resection
Pemusnahan VM dapat menyebabkan
morbiditas utama; kehilangan darah,
The Head and Neck
cedera iatrogenik, dan deforitas. Berbeda
dengan skleroterapi, reseksi jarang
merupakan perawatan primer karena (a)
seluruh lesi sulit untuk dihilangkan; (B)
risiko kekambuhan tinggi karena saluran
yang berdekatan dengan lesi yang terlihat
tidak diobati; dan (c) risiko kehilangan
darah dan cedera iatrogenik lebih besar.
Reseksi harus dipertimbangkan untuk (a)
lesi kecil, terlokalisasi dengan baik yang
dapat dihilangkan seluruhnya atau (b)
massa atau cacat persisten setelah
selesainya skleroterapi (saluran paten
tidak lagi dapat diakses untuk injeksi
lebih lanjut). Ketika mempertimbangkan
reseksi, bekas luka / deformitas pasca
operasi setelah pengangkatan VM harus
ditimbang terhadap penampilan lesi
praoperasi. Reseksi subtotal dari area
yang bermasalah, seperti hipertrofi klinis,
diindikasikan daripada mencoba eksisi
"lengkap" dari lesi jinak yang mungkin
menghasilkan defor- mitas yang lebih
buruk daripada malformasi itu sendiri.
Pasien dan keluarga dinasihati bahwa VM
dapat berkembang setelah eksisi, dan
intervensi opatif mungkin diperlukan di
masa depan.
Hampir semua VM harus memiliki
skleroterapi sebelum intervensi operasi.
Setelah
366 Part III: The Head and Neck
sclerotherapy yang memadai, VM digantikan
oleh bekas luka dan dengan demikian risiko
kehilangan darah, cedera genetik, dan
kekambuhan berkurang. Selain itu, fibrosis
memfasilitasi reseksi dan rekonstruksi. Karena
GVM biasanya kecil dan kurang bisa menerima
skleroterapi, terapi lini pertama untuk lesi
yang menyakitkan mungkin reseksi. Nd:
Fotokoagulasi YAG dapat menjadi adjuvant
untuk skleroterapi untuk pengelolaan lesi
jalan napas yang sulit. VM gastrointestinal
dengan perdarahan kronis, anemia, dan
persyaratan transfusi biasanya dikelola
dengan reseksi. Lesi soliter dapat diobati
dengan banding endoskopi atau skleroterapis.
Lesi multifokal dari BRBNS membutuhkan
pemindahan sebanyak mungkin lesi melalui
enterotomi multipel, alih-alih bedah usus,
untuk menjaga panjang usus. Difusi,
kolorektal kolorektal yang bermasalah dapat
membutuhkan kolektomi, mukosektomi
anorektal, dan pull-through endorektal .
Arteriovenous Malformation
Clinical Presentation
AVM hasil dari kesalahan dalam vasculogenesis
selama perkembangan embrionik. Ketidakadaan
kapiler menyebabkan shunting darah langsung dari
arteri ke sirkulasi vena, melalui fistula (koneksi
langsung dari arteri ke vena) atau nidus (saluran
abnormal menjembatani arteri makan ke vena yang
mengering). Kelainan genetik menyebabkan
beberapa jenis AVM familial. Telangiectasia
hemoragik herediter (HHT) disebabkan oleh mutasi
pada endoglin dan kinase seperti reseptor aktivin 1
(ALK-1), yang memengaruhi pensinyalan
pensinyalan growth factor-beta (TGF-þ). Malformasi
kapiler - malformasi arteriovenosa (CM-AVM) hasil
dari mutasi pada RASA1.
Kepala dan leher adalah situs AVM
ekstrakranial yang paling umum, diikuti oleh
tungkai, batang tubuh, dan jeroan. Meskipun
hadir saat lahir, AVM mungkin tidak menjadi
bukti sampai masa kanak-kanak. Shunting
arteriovenosa mengurangi pengiriman oksigen
kapiler yang menyebabkan iskemia; pasien
beresiko mengalami nyeri, ulserasi,
perdarahan, dan gagal jantung kongestif. AVM
juga dapat menyebabkan kerusakan,
penghancuran jaringan, dan obstruksi
struktur vital. AVM memburuk dari waktu ke
waktu; lesi dapat diklasifikasikan sesuai
dengan sistem pementasan Schobbin (Tabel 2).
Diagnosis
Sebagian besar AVM didiagnosis dengan
riwayat dan pemeriksaan fisik. Jika dicurigai
AVM, diagnosis harus dikonfirmasi oleh AS
dengan pemeriksaan Doppler warna yang
menunjukkan aliran cepat dan pirau. MRI
juga diperoleh untuk (a) mengkonfirmasi
diagnosis; (B) menentukan luasnya lesi; dan
(c) merencanakan perawatan. MRI
menunjukkan arteri makan melebar
Table 2 Schobinger Staging of AVM
Stage Clinical ftndings
I (Quiescence) Warm, pink-blue,
shunting on
Doppler
II (Expansion) Enlargement,
pulsation, thrill,
bruit, tortuous
veins
III (Destruction) Dystrophic skin
changes,
ulceration,
bleeding, pain
IV (Decompensation) Cardiac failure
dan menguras vena, peningkatan, dan aliran
void pada pencitraan T2-weighted. Dalam
keadaan yang jarang, angiografi diagnostik
diperlukan. Angiografi juga diindikasikan jika
embolisasi atau reseksi direncanakan untuk
menentukan dinamika aliran lesi. AVM
menunjukkan arteri berliku, melebar dengan
shunt vena dan vena drainase melebar pada
angiogram. Seringkali, blush on
menggambarkan nidus lesi. Diagnosis
histopatologis AVM jarang diperlukan, tetapi
dapat diindikasikan untuk menyingkirkan
keganasan atau jika pencitraan bersifat samar-
samar.
Treatment
Karena AVM sering difus, melibatkan beberapa
bidang jaringan dan struktur penting,
penyembuhan jarang terjadi. Tujuan perawatan
biasanya untuk mengendalikan malformasi.
Intervensi difokuskan pada meringankan gejala
(mis., Perdarahan, nyeri, ulserasi), menjaga
fungsi vital (mis., Penglihatan, pengunyahan),
dan meningkatkan deformitas yang terlihat. Opsi
manajemen meliputi embolisasi, reseksi, atau
kombinasi. Reseksi menawarkan peluang terbaik
untuk kontrol jangka panjang, tetapi tingkat
ekspansi ulang tinggi dan pemusnahan dapat
menyebabkan deformitas yang lebih buruk.
Hampir semua AVM akan diperluas kembali
setelah embolisasi. Akibatnya, embolisasi paling
sering digunakan sebelum operasi untuk
mengurangi kehilangan darah selama reseksi,
atau kadang-kadang untuk paliasi lesi yang
tidak dapat dioperasi.
AVM asimptomatik harus diamati kecuali
dapat sepenuhnya dihilangkan dengan
morbiditas minimal; embolisasi atau eksisi
yang tidak lengkap dari lesi asimptomatik
dapat menstimulasi untuk membesar dan
menjadi masalah. Intervensi ditentukan oleh
(a) ukuran dan lokasi AVM; (B) usia pasien;
dan (c) tahap Schobinger. Meskipun reseksi
AVM Tahap I asimptomatik menawarkan
peluang terbaik untuk kontrol atau
“penyembuhan” jangka panjang, intervensi
harus diindikasikan berdasarkan deformitas
yang akan disebabkan oleh reseksi dan
rekonstruksi. Misalnya, AVM Tahap I besar di
a nonan-
atomical ly important location (e.g., trunk,
pro ximal extremity) may be resected without
c onsequence, before it progresses to a higher
s tage where resection is more difficult and
tht e recurrence rate is greater. Similarly, a
s mall, well-localized AVM in a more difficult
lol cation (e.g., face, hand) may be excised for
p ossible “cure” before it expands and com-
plete extirpation is no longer possible.
In contrast, a large, asymptomatic AVM
lol cated in an anatomically sensitive area is
b est observed, especially in a young child who
iis not psychologically ready for major resec-
tion and reconstruction. Resection and re-
cons truction may result in a more noticeable
d eformity or functional problem than the
malformation . Although the recurrence rate
si lower when Stage I AVM is resected, it is still
high, and thus even after major resection and
reconstruction the malformation can recur.
Some patients (17.4%) do not have significant
morbidity from their lesion long term.
Intervensi untuk Tahap II AVM serupa dengan
yang untuk lesi Tahap I. Ambang untuk
perawatan lebih rendah jika lesi yang membesar
menyebabkan kelainan bentuk yang memburuk
atau jika terjadi masalah fungsional. AVM tahap
III dan IV membutuhkan intervensi untuk
mengendalikan rasa sakit, perdarahan, ulserasi,
atau gagal jantung kongestif.
Embolization
Embolisasi adalah pengiriman zat inert, melalui
kateter proksimal ke AVM, untuk menyumbat
aliran darah dan / atau mengisi ruang vaskuler.
Iskemia dan jaringan parut mengurangi pirau
arteriovenosa, mengecilkan lesi, dan mengurangi
gejala. Embolisasi digunakan baik sebagai
tambahan pra operasi untuk operasi ulang atau
sebagai monoterapi untuk lesi yang tidak dapat
dimusnahkan. Karena AVM tidak dihilangkan,
hampir semua lesi akhirnya berkembang kembali
setelah perawatan. Tahap I AVM memiliki tingkat
kekambuhan yang lebih rendah daripada lesi
yang lebih tinggi. Sebagian besar kekambuhan
terjadi pada tahun pertama setelah embolisasi,
dan 98% mengalami reekspansi dalam 5 tahun.
Terlepas dari kemungkinan ekspansi ulang yang
tinggi, embolisasi dapat secara efektif meredakan
AVM dengan mengurangi ukurannya,
memperlambat ekspansi, dan mengurangi rasa
sakit dan perdarahan. Embolisasi pra operasi
juga mengurangi kehilangan darah selama
ekstirpasi, tetapi tidak sampai sejauh reseksi.
Zat yang digunakan untuk embolisasi
adalah baik cairan (n-butil sianoakrilat (n-
BCA), Onyx) atau padat (partikel polivinil
alkohol (PVA), koil). Tujuan embolisasi adalah
oklusi nidus dan aliran vena proksimal. Bahan
emboli dikirim ke nidus, bukan ke pembuluh
makanan arteri proksimal. Penyumbatan
aliran masuk akan menyebabkan
kolateralisasi dan perluasan AVM; akses ke
nidus juga akan diblokir, mencegah embolisasi
di masa depan. Untuk keterlibatan pra
operasi, sementara oklusif substansi

(bubuk gelfoam, PVA, embospheres) yang
menjalani fagositosis digunakan. Zat cair
permanen yang mampu menyerap nidus (n-
BCA, Onyx) digunakan ketika embolisasi
adalah pengobatan utama. Komplikasi
embolisasi yang paling sering adalah ulserasi.
Resection
Reseksi AVM memiliki tingkat rekurensi
yang lebih rendah daripada embolisasi saja
dan dipertimbangkan untuk lesi yang
terlokalisasi dengan baik atau untuk
mengoreksi deformitas fokal (mis., Daerah
yang mengalami perdarahan atau ulserasi,
hipertrofi labial). Pemusnahan luas dan
rekonstruksi AVM besar dan difus harus
dilakukan dengan hati-hati karena (a)
penyembuhan jarang terjadi dan tingkat
kekambuhan tinggi;
(B) deformitas yang dihasilkan seringkali
lebih buruk daripada penampilan
malformasi;
(c) reseksi berhubungan dengan kehilangan
darah yang signifikan, cedera iatrogenik,
dan morbiditas. Ketika eksisi direncanakan,
operasi pra operasi akan memfasilitasi
prosedur dengan mengurangi ukuran AVM,
meminimalkan kehilangan darah, dan
membuat jaringan parut untuk membantu
diseksi. Beberapa embolisasi, berjarak 6
minggu terpisah, mungkin diperlukan
sebelum reseksi. Eksisi harus dilakukan 24
hingga 72 jam setelah embolisasi, sebelum
recannalization mengembalikan aliran
darah ke lesi.
Margin reseksi paling baik ditentukan
secara klinis, dengan menilai jumlah
perdarahan dari tepi luka. Sebagian besar
cacat dapat direkonstruksi dengan memajukan
flap kulit lokal. Area ulserasi cangkok kulit
memiliki tingkat kegagalan yang tinggi karena
jaringan yang mendasarinya adalah iskemik;
eksisi dengan transfer flap regional mungkin
diperlukan. Rekonstruksi flap bebas
memungkinkan reseksi luas dan penutupan
primer dari cacat yang rumit, tetapi tampaknya
tidak meningkatkan kontrol AVM jangka
panjang. Meskipun pemusnahan subtotal dan
dianggap "lengkap", sebagian besar AVM
diobati dengan reseksi berulang. Mayoritas
rekurensi terjadi pada tahun pertama setelah
intervensi dan 86,6% ekspansi dalam 5 tahun
setelah reseksi. Namun demikian, banyak dari
pasien ini tetap tanpa gejala. Klien dan
keluarga diberi tahu bahwa AVM kemungkinan
akan diperluas setelah reseksi, dan dengan
demikian perawatan tambahan mungkin
diperlukan di masa depan.
EDITOR’S COMMENT
We are especially pleased to have Professor John organs, bones, and especially of face, ears, etc., propanolol and sirolimus (rapamycin). In addi-
Mulliken write the chapter because he is cred- which can be destroyed because of these lesions, tion, with some lesions, such as lymphatic VMs, ited
by numerous papers as writing a defini- requires an expert. It is quite rare that a general operations without knowing the implications can tive
paper in 1982 (Mulliken JB and Glowacki J. practitioner, a pediatrician, a general surgeon, or result in uncontrollable hemorrhage and death of
Hemangiomas and vascular malformations in somebody who is not part of the vascular malfor- the infant.
infants and children: a classification based on mation (VM) team can really make an accurate According to the authors, 90% of the lesions
endothelial characteristics. Plast Reconstr Surg diagnosis. This is important because there are can be diagnosed by history and physical exami-
1982;69:412–22). As the authors state, detailed certain lesions that one should operate on and nation. They usually fall within a binary system,
Chapter 27: Vascular Anomalies of Infancy and Childhood
Capillary Malformation–Arteriovenous
Malformation
CM – AVM adalah gangguan keluarga;
prevalensinya adalah 1 dalam 100.000
Kaukasia. CM-AVM adalah kondisi dominan
autosom yang disebabkan oleh hilangnya
fungsi mutasi pada gen RASA1. Pasien
memiliki CM atipikal yang kecil, multifokal,
bulat, merah muda, dan sering dikelilingi oleh
halo pucat (50%). Tiga puluh persen orang
juga memiliki AVM: Parkes-Weber syndrome
(PWS) (12%), AVM extracerebral (11%), atau
AVM intrace-rebral (7%). PWS mengacu pada
AVM difus dalam ekstremitas yang ditumbuhi
dengan CM atasnya. PWS melibatkan
ekstremitas bawah sekitar dua kali lebih
sering daripada ekstremitas atas; pasien
mengalami microshunt pada otot. Seorang
pasien dengan beberapa CM, terutama
dengan riwayat keluarga lesi yang serupa,
harus dievaluasi untuk kemungkinan AVM
pada pemeriksaan fisik. Karena 7% pasien
CM-AVM akan memiliki lesi aliran cepat
intrakranial, MRI otak harus
dipertimbangkan. Imaging eksplorasi daerah
anatomi lainnya tidak diperlukan karena
AVMs ekstrakranial belum ditemukan
melibatkan visera. Meskipun CM jarang
bermasalah, AVM terkait dapat menyebabkan
morbiditas utama.
Combined Vascular Malformations
Klippel–Trenaunay Syndrome
KTS adalah eponim yang menunjukkan
CLVM aliran lambat dalam hubungannya
dengan jaringan lunak dan / atau
pertumbuhan berlebih kerangka. KTS
mempengaruhi ekstremitas bawah pada
95% pasien, ekstremitas atas pada 5%
pasien, dan paling jarang pada trunkus.
Perbedaan kaki-panjang didokumentasikan
oleh radiografi polos dan MRI menegaskan
diagnosis serta menentukan tingkat
anomali. Vena embrional yang besar dalam
jaringan subkutan (vena marginal Servelle)
sering terletak di betis lateral dan paha dan
berkomunikasi dengan sistem vena dalam.
Komplikasi termasuk tromboflebitis (20%
hingga 45%) dan emboli paru (4% hingga
24%). KTS dari ekstremitas bawah dapat
melibatkan panggul, menyebabkan he-
maturia, hematochezia, konstipasi, dan
obstruksi outlet kandung kemih. Tidak
seperti
knowledge is needed to ascertain what exactly there are others in which steroids should be used, one
is dealing with. That is important because and as we see subsequently there are some ad- the
disfigurement and destruction of various ditional therapeutic innovations lately such as
367
sindrom hemihipertrofi lainnya, pasien dengan
KTS tidak berisiko tinggi untuk tumor Wilms
dan skrining US tidak diperlukan. Perluasan
kaki mungkin membutuhkan sinar,
pertengahan, atau amputasi Syme untuk
memungkinkan penggunaan alas kaki.
Manajemen komponen VM KTS konservatif
dengan stocking kompresif untuk insufisiensi
dan aspirin untuk meminimalkan
phlebothrombosis. Varises simtomatik dapat
dihilangkan atau sclerosed. Sistem vena dalam
berfungsi, meskipun seringkali sulit untuk
memvisualisasikan karena aliran di vena
superfisial. Kadang-kadang, sclerotherapy dan
eksisi bedah diperlukan untuk komponen LM .
BACAAN YANG DISARANKAN
Bennett ML, Fleischer AB, Chamlin SL, et al. Oral
corticosteroid use is effective for cutaneous he-
mangiomas. Arch Dermatol 2001;137:1208–13.
Choi DJ, Alomari AI, Chaudry G, et al. Neuroint-
erventional management of low-flow vascular
malformations of the head and neck. Neuroim-
aging Clin N Am 2009;19:199–218.
Finn MC, Glowacki J, Mulliken JB. Congenital vas-
cular lesions: clinical application of a new clas-
sification. J Pediatr Surg 1983;18:894–90.
Limaye N, Boon LM, Vikkula M. From germline
towards somatic mutations in the pathophysi-
ology of vascular anomalies. Hum Mol Genet
2009;18:65–75.
Liu AS, Mulliken JB, Zurakowski D, et al. Extracra-
nial arteriovenous malformations: natural pro-
gression and recurrence after treatment. Plast
Reconstr Surg 2010;125(4):1185–94.
Mulliken JB, Glowacki J. Hemangiomas and vas-
cular malformations in infants and children: a
classification based on endothelial characteris-
The Head and Neck
tics. Plast Reconstr Surg 1982;69:412–22.
Mulliken JB, Rogers GF, Marler JJ. Circular exci-
sion of hemangioma and purse-string closure:
the smallest possible scar. Plast Reconstr Surg
2002;109:1544–54.
Mulliken JB, Anupindi S, Ezekowitz RA, et al. Case
13—2004: a newborn girl with a large cutane-
ous lesion, thrombocytopenia, and anemia.
New Engl J Med 2004;350:1764–75.
North PE, Waner M, Mizeracki A, et al. GLUT1: a
newly discovered immunohistochemical mark-
er for juvenile hemangiomas. Hum Pathol 2000;
31:11–22.
Wu IC, Orbach DB. Neurointerventional manage-
ment of high-flow vascular malformations of
the head and neck. Neuroimaging Clin N Am
2009;19:219–40.
(continued)
368 Part III: The Head and Neck

in which there are vascular tumors and VMs. With VMs, the anomalous channels are di- treated as one disease that these patients suf-
Vascular tumors are characterized by endothelial lated with thin walls and abnormal smooth fered from in the manifestation; for example, the
cell proliferation, and VMs are comprised of cells muscle. What happens is that the flow stagnates, second patient was able to have the chest tube re-
that have dysmorphogenesis but have normal cell lesions expand, and clotting occurs. There may moved in 14 days and the bone and lesions were
turnover. Thus, it is not a tumor, but it consists of be pulmonary emboli. Lesions are generally blue; stabilized. The third patient no longer required
abnormal cells that do not grow rapidly. There is they are soft unless a clot occurs. They may be red cells and had decreased leg circumference and
a life history to many of these lesions, which sug- sporadic and solitary (90%); however, sporadic improvements in the lymphatic blebs; the fourth
gest that watchful waiting, injection of steroids, VMs are usually <5 cm (56%), single (99%), and patient had the chest tube removed in 8 days with
sclerotherapy, etc., will tide the infant or child located unfortunately on the head and neck the resolution of chylous pleural effusion, which
over until such a time that spontaneous regres- (47%), trunk only (13%), and extremities (40%). as you know, can be extremely difficult, and the
sion occurs. A person who is not knowledgeable However, approximately 10% of the patients with bony lesions were stabilized; the fifth patient re-
about the different forms of this disease will not VM have multifocal familial lesions. They may oc- sponded in 8 days with removal of the first chest
be able to make an educated diagnosis of this type. cur in various organs and need to be checked so tube, and in 9 days the second chest tube was
Many of these lesions involve syndromes that that if there are lesions in certain places that are removed, the bony lesions were stabilized; and
have eponymic names not known to the general potentially dangerous the physician or surgeon the sixth patient was extubated after 15 days, and
surgeon, and which involve lesions of the solid or knows that that is the case. after 5 weeks, the first chest tube was removed,
hollow viscera, such as the liver. Rapid flow arte- The authors come down on the side of scle- and after 6 weeks the second chest tube, and after
rial venous malformations may result in cardiac rotherapy as the principal means of therapy. 9 weeks the third chest tube. Consequently, bony
failure and are associated in many instances with However, Sidbury (Curr Opin Pediatr 22:432–37) lesions improved. In addition, they were near
intralesional thrombosis with depression of the believes that propanolol, which has come to light complete resolution of the abdominal lesions,
platelet count. in the past 2 years, may be the first line. There are normalization of coagulation, and improvement
Just a general cosmetic statement: when the some excellent pictures especially and an impres- of gross motor skills. This seems to be rather a
lesions, especially those of the face, have regressed sive set (Figure 2) that reveal complete resolution breakthrough and probably will get a randomized
to the point where there is a relatively small le- of such a lesion in infantile hemangioma of an prospective trial.
sion, the authors advocate a circular incision, ear. One does not know whether this applies to a An interesting article originates largely from
which leaves almost no scar. While some of you malformation, but chances are since Sidbury re- the Children’s Hospital in Boston and is entitled
may be horrified at this, let me tell you, when I fers to tumors, it applies to tumors but not to he- “Vascular Anomalies of the Male Genitalia”
was a surgical resident, I had a lentigo on my right mangiomas, and therefore sclerotherapy should (Kulungowski AM et al.—Professor Mulliken is one
cheek and I was excised by Dr. Bradford Cannon, be the mainstay of therapy. of the authors—J Pediatr Surg 2011;46:1214–21).
the noted Boston plastic surgeon in a dentist Of greater interest is the occasional patient They reviewed 3,889 male patients referred to the
chair in his office, and my incision was closed in whom interventional radiologic therapy in VM Children’s Hospital for various vascular tumors,
with 2-0 chromic double needle and a surgical such as hemangiomas by Legiehn GM and Heran and selected 117 with a vascular anomaly of the
closure. Needless to say, I was horrified, but I had MKS, writing from the Division of Neuroradiol- genitalia. There were 12 tumors and 105 malfor-
no scar and I just have a minor discoloration. ogy at the Vancouver General Hospital in British mations. The referring diagnosis was accurate in
Some of the most dangerous lesions, accord- Columbia, showing that sclerotherapy at times 72% of the patients with a tumor; however, 46%
ing to the authors, are lymphatic malformations is very complicated to treat VMs. An MRI some- of the malformations were misdiagnosed. Com-
(LMs), which are theoretically benign. LMs are times is useful and when dealing with an arterial mon VMs were lymphatic, venous, and capillary-
characterized by the size of the malformed chan- venous malformation of some size, superselective lymphatic venous. The presenting symptoms of
nels, microcystic, macrocystic, or combined. Mac- transarterial and transvenous access with flow tumors were ulceration, ambiguous genitalia,
rocystic lesions are defined as cysts large enough reduction techniques may be required. Figure 12 swelling, and fluid leakage. Further, 79% of the to
be punctured by a needle and treated with shows a good illustration of the technique that patients required therapy, and the others were
sclerotherapy. Because the lymphatic and venous they used, in which tourniquets are used to slow observed. Management included pharmaco-
systems share a common embryological origin, flow out of a lesion and the delivery of sclerosant therapy and excision, and malformations were
lymphatic-venous malformations can also occur. is carried out under radiographic guidance to largely treated with sclerotherapy and surgical
Attempts at excision of an LM may cause major control reflux from the lesion, local compression, procedures. Results do show that the expertise
blood loss, deformity, and a cosmetic injury, as and tourniquets and intraluminal outflow occlu- in such therapies in referring to therapy actually
well as neurologic injury. Dissection of the surgi- sive techniques may be required. was lacking and the diagnosis was inappropriate
cal facial LM, according to the authors, injures a A seemingly important progress is the use in a large number of cases.
facial nerve in 76% or a hypoglossal nerve in 24%. of sirolimus (rapamycin) for the treatment of Finally, in some rarer lesions, such as Klippel- In
addition, excision ends up usually being subto- complicated vascular anomalies as reported by Trénaunay syndrome (KTS), there is a tendency tal
because there are multiple tissue planes and Hammill et al., from the Cincinnati Children’s to undergo pulmonary embolism and clotting.
important structures and recurrence is between Hospital, in five cases, and the Minnesota Three adult patients with KTS, comprising two
34% and 64%. Thus, resection is dangerous, prob- Children’s Hospital in one case. The hypothesis women (aged 19 and 46 years) and one male (aged
ably injurious in most situations and reserved for here is that of the many genetic abnormalities 26 years), underwent pulmonary thromboendar-
asymptomatic microcystic LM, which that occur is the PI3K/mTOR pathway that has terectomy (PTE) in KTS. An impressive resection
been implicated in the generation and prolifera- of a fully resected organized thrombus was taken
1. Causes infection, distortion of vital struc- tion of vascular anomalies. In addition, and not from the right pulmonary artery in patient 1, and
tures, deformity, or bleeding surprisingly, vascular endothelial growth factors is shown in Figure 1. This technique, which was
2. Symptomatic macrocystic combined LM that (VEGFs) are key regulators in lymphangiogenesis developed by Jamieson and colleagues (Jamieson
no longer can be managed with sclerothera- and angiogenesis and may be abnormal and act et al. J Thorac Surg 2003;76:1457–64), describing py
because all of the macrocysts have been as an upstream stimulator(s) and a downstream 1,500 cases of pulmonary thromboenderectomy,
treated effector(s) in the mTOR signaling pathway. indicates that even in thrombotic situations, this
3. Small, well-localized microcystic or macro- Of the six patients, the most impressive is the can be carried out by someone knowledgeable.
cystic LM that may be completely excised. patient with KHE, in which there is an enormous Patients received inferior caval filters, the average One
should always remember that a total ex- leg, and the response started in 4 days with nor- follow-up was 2.6 years, and no deep vein throm- cision
may not be necessary, that there may malization of fibrinogen and a rise in the platelet bosis or pulmonary embolism was seen. The be
lesions which have problematic areas, for count. In addition, there was resolution of a high second patient was symptomatically improved,
example, a lesion of the face which is close output cardiac failure and improvement in the but had no changes in pulmonary pressures post- to
the lip and leads to an enlargement of the size and improvement in the lesions and the leg, operatively, whereas the others did. All patients lip;
excision of that portion of the LM that although not normal. The platelet count, which reported marked symptomatic relief postopera- involves
the lip may give enough relief as far was near zero, is now normal and the leg is shown tively despite the absence in one with no relief of as the
cosmetic appearance that the entire le- 21 months on sirolimus. A series of lymphatic pulmonary hypertension.
sion need to be resected. and lymphatic venous malformations were also J.E.F.

28 Perawatan Bedah Kanker Laring: Warisan Inovasi
Minimal Invasif dan Pelestarian Airway, Menelan,
dan Fungsi Vokal
Steven M. Zeitels and John C. Wain
INTRODUCTION
Manajemen pembedahan yang berhasil untuk
kanker laring mengharuskan dokter untuk
mengintegrasikan algoritma kompleks dari
host inang dan masalah tumor. Pasien dan ahli
bedah harus saling mempertimbangkan
modalitas pengobatan yang optimal. Ini
didasarkan pada kemanjuran penyembuhan
bersama dengan efek merugikan yang
berpotensi dari intervensi tersebut pada
patensi jalan nafas, suara, dan penelanan.
Hasil fungsional harus berasimilasi dengan
usia pasien, kebutuhan vokal, dan cadangan
paru, serta keterampilan dari ahli bedah,
ketersediaan teknologi, dan riwayat onkologis
pasien sebelumnya. Konsep-konsep ini dimulai
pada abad ke-19 dan secara progresif didirikan
hingga abad ke-20 karena meningkatnya
frekuensi kanker laring setelah pengenalan
rokok yang diproduksi secara massal.
Perawatan bedah canary laryngeal cer
selama dua abad terakhir terdiri dari sejarah
yang kaya mencatat perkembangan bedah
laring endoskopi invasif minimal, manajemen
jalan napas atas, rehabilitasi swal-lowing, dan
pelestarian suara
A
Fig. 1. A: Horace Green (1802–1866) was the “Father of American Laryngology.” B. Green demonstrating blind intubation of
the tracheobronchial tree. (From Harper’s Weekly: Dr. Horace Green and His Method. 1859, February 5:88–90.)
Chapter 28: Surgical Treatment of Laryngeal Cancer
Kemajuan independen dan saling
tergantung telah mengarah pada filosofi saat
ini di mana pengobatan kuratif rutin dengan
jalan nafas dan fungsi menelan yang
bermanfaat sementara hasil vokal yang
optimal tetap menjadi pengejaran.
HISTORY AND DEVELOPMENT OF
GLOTTIC CANCER TREATMENT:
THE 19TH CENTURY
Horace Green: The First Direct
Laryngoscopic Resection of a
Laryngeal Neoplasm
Reseksi endolaring pertama dari neoplasma
laring dapat ditelusuri ke pencapaian
monumental dari Horace Greene (Gbr. 1A, B)
pada tahun 1840-an.
Setelah menjadi orang pertama yang secara
trakea merawat trakea secara rutin, keterampilan
dan kepercayaan diri Green meningkat sehingga
pencapaian berikutnya menjadi salah satu yang
paling penting dalam manajemen jalan napas
manusia. Dia dihadapkan dengan seorang anak
yang menderita apnea obstruktif dengan disertai
stridor. Menggunakan spatula lidah bengkok,
bersama dengan sinar matahari
B
369
untuk penerangan, ia
laringoskopi langsung pertama.
melakukan
Setelah berhasil melihat introitus laring
secara langsung, ia mengamati polip fibroepitel
bola-valving yang menghalangi aperture glottal.
Dia melanjutkan menggunakan tang
melengkung untuk menghilangkan massa. Ini
menjadi reseksi endoskopik pertama yang
dikontrol secara visual dari laring, yang
mendahului penggunaan rutin laringoskopi
cermin dan bedah endolaring yang dipandu
cermin.
THE EARLY CURES FOR
LARYNGEAL CANCER
Hebatnya, beberapa tahun setelah
kemenangan Green, Garcia
mempresentasikan mirror laryngos-
copy, yang mengkatalisasi
perkembangan formal laryngology oleh
Czermak dan Turck. Laryngologi
menjadi sangat berkembang sebagai
hasil dari diagnosis dan prosedur
endolaring tidak langsung berbasis
kantor.
Selama periode ini, Solis Cohen (Gbr.
2) kemungkinan mencapai penyembuhan
pertama kanker laring dengan melakukan
laryngofissure dan cordectomy untuk
kanker glotis awal (1869). Untuk yang
The Head and Neck
terbaik yang penulis dapat menentukan
siapa dia
370 Part III: The Head and Neck
Fig. 2. Jacob Solis Cohen (1838–1927). (Photo-
graph circa 1868, courtesy of Thomas Jefferson
University, Archives & Special Collections, Scott
Memorial Library, Philadelphia.)
ahli bedah pertama yang mengkhususkan diri
dalam bidang laringologi telah dilatih oleh
Samuel Gross dan melayani Uni sebagai ahli
bedah umum selama 4 tahun Perang Saudara.
Meskipun ada penggunaan laryngofissure dan
cordectomy yang intermiten dengan keberhasilan
yang bervariasi pada akhir abad ke-19, prosedur
ini ditetapkan oleh Semon, Butlin, dan Jackson.
Billroth (Gbr. 3) melakukan laryngectomy total
pertama untuk kanker laring (1874). Meskipun
Billroth berhasil melakukan reseksi, Solis Cohen
dan Gluck menyempurnakan prosedur dengan
menjahit trakea ke kulit dan memisahkan jalan
napas dari pharyngo-esophagus.
Pada tahun 1884, Koller dan Jelinek
memperkenalkan kokain topikal untuk anestesi
mukosa, yang menjadi teknologi platform kimia
utama yang sangat maju dalam operasi laring
berbasis kantor. Segera sesudahnya, Fraenkel
Fig. 4. Bernhard Fraenkel (1836–1911).
(Fig. 4) performed the first successful tran-
soral endoscopic resection of glottic cancer
menggunakan panduan cermin. Ada
kemungkinan bahwa ini juga merupakan
penyembuhan kanker endoskopi invasif
minimal invasif pertama. Ada lebih banyak
laporan terisolasi serupa selama 30 tahun ke
depan. Pencapaian perawatan kanker
endoskopi awal ini tidak secara signifikan
mengubah strategi manajemen untuk kanker
glotis, yang terutama terdiri dari prosedur
laringektomi terbuka transkriptikal.
HISTORY AND DEVELOPMENT OF
GLOTTIC CANCER TREATMENT:
THE 20TH CENTURY
Formal Direct Laryngoscopic
Treatment of Glottic Cancer
Pada tahun 1895, Kirstein (Gbr. 5)
memperkenalkan kembali laringoskopi
langsung, menggambarkan trakeoskopi, and
established this technique as a routine sur- gical
methodology. It can be argued that this
advancement was the most influential in the
history of laryngology given the ensuing
development of general endotracheal anes-
thesia, cardiopulmonary resuscitation, and
critical care management. Pursuant to our
specialty, direct laryngoscopy became the
foundation for a majority endoscopic cancer
treatment of the upper aerodigestive tract.
Kirstein also predicted that Oertel’s laryn- geal
stroboscope would be combined with direct
laryngoscopy to enhance patient
management of vocal-fold lesions. It was the
promise of increased precision associated with
direct laryngoscopy and commensu- rate
advancements in anesthesia that subse- quently
promulgated the migration of direct
endolaryngeal cancer surgery to the operat-
ing room, where most complex endolaryn-
geal surgery was done in the 20th century.
Killian (Fig. 6) acknowledged Kirstein’s
achievements and based on this work intro-
bronkoskopi kaku dan suspensi
laringoskopi. Setelah memodifikasi
laringoskop suspensi Killian, Lynch (Gbr.
7) menerbitkan serangkaian 39 pasien
yang kanker glotis awalnya dieksisi en
blok dengan susulan laringoskopi. Ini
menjadi seri substansial pertama dari
reseksi kanopi glotis endoskopi. Dia
dengan hati-hati memilih lesi yang
terpapar dengan cukup, volume kecil,
terbatas pada pita suara tunggal, dan
tidak meluas ke komisura anterior atau
proses vokal. Karena kesulitan teknis
laringoskopi suspensi tanpa anestesi
endotrakeal umum, pendekatan ini tetap
tidak jelas..
Jako memulai percobaan dengan teknologi
laser untuk menghilangkan jaringan manusia
pada pertengahan 1960-an. Pada awal 1970-an,
Jako, Strong, dan Vaughan mungkin yang bedah
pertama

Fig. 7. Robert Clyde Lynch (1880–1931).
untuk menghilangkan jaringan manusia
dengan laser dan segera setelah itu
menggunakan teknologi inovatif ini untuk
mereseksi kanula glotis. Tiga puluh tahun
kemudian, Zeitels et al. Memperkenalkan
perawatan laser angiolitik kanker glotis
berdasarkan prinsip Folkman tentang
neoplastik angiogenesis.
GLOTTIC CANCER
Disease Presentation and
Philosophy of Management
Di Amerika Serikat, kanker glotis terjadi ~
6.500 dari ~ 10.000 kasus kanker laring
baru per tahun. Suara serak adalah gejala
utama yang muncul, namun, dengan
neoplasma yang lebih besar, pasien juga
dapat melaporkan pembatasan jalan nafas,
ketidaknyamanan, hemoptisis, disfagia,
odinofagia, dan nyeri telinga yang terkait
(otalgia). Kanker glotis adalah unik
dibandingkan dengan situs lain pada
saluran aerodigestif atas karena rendahnya
metastasis regional dan kemudahan
penyakit ini disembuhkan secara lokal jika
prosedur bedah yang benar dipilih.
Keberhasilan kontrol lokal terhadap
tumor mary muncul dari kenyataan bahwa
anatomi laring adalah "kotak" yang relatif
terisolasi. Ini dibatasi oleh kerangka tulang
rawan yang tebal dan jaringan ikat yang
padat yang tahan terhadap penyebaran
kanker lokal dan regional sambil
menciptakan serangkaian kompartemen
mandiri. Komposisi struktural ini
memfasilitasi berbagai prosedur
laringektomi parsial transoral (endoskopi)
dan transcervical (leher terbuka) yang
berusaha untuk melestarikan tiga fungsi
paling kritis.
Chapter 28: Surgical Treatment of Laryngeal Cancer
laring: (a) kaliber jalan nafas yang memadai, (b)
katup yang kompeten untuk menghalangi
aspirasi selama deglutisi, dan (c) fonasi dan
suara.
Karsinoma glotis adalah unik sebagai
tempat kanker organ karena lesi yang
sangat kecil (2 mm) atau bahkan displasia
prakanker dapat menyebabkan defisit
fungsional, suara serak yang jelas. Selain
itu, pada sebagian besar pasien, kehilangan
suara adalah satu-satunya gejala dominan,
yang mudah dikenali oleh teman dan
keluarga. Karena kontrol lokal adalah rutin
dan aspirasi biasanya dapat dihindari,
metrik utama untuk sukses dalam
manajemen adalah patensi jalan napas dan
pemulihan / pelestarian suara..
Karena kekurangan relatif limfatik pada
lipatan vokal yang sebenarnya, tidak umum
bagi pasien untuk datang dengan metastasis
regional dengan penyakit T1 dan T2. Oleh
karena itu, kanker glotis berukuran kecil
hingga menengah sangat ideal untuk
modalitas tunggal endoskopi in-
vasive treatment. Remarkably, even those
with T3 and T4 lesions often do not have as-
sociated adenopathy. However, the surgical
mayoritas pengobatan T3 dan T4 glotis car-
memerlukan reseksi terbuka (transcervical)
dengan menghilangkan beberapa atau semua
kerangka kerja cartiage (total laryngectomy).
Kanker laring dipentaskan menggunakan
sistem klasifikasi TNM standar (Tabel 1)
berdasarkan subsite yang terkena dampak
(supraglottis, glottis, atau subglottis). Seperti
kanker lainnya, stadium TNM memiliki nilai
prognostik untuk bertahan. Karena keputusan
perawatan sering dibuat berdasarkan stadium
kanker, maka sangat berharga untuk
mengenal sistem ini.
Surgery Versus Radiation
Dua modalitas pengobatan definitif untuk
karsinoma glotis adalah terapi radiasi (XRT)
dan operasi. Terapi bedah untuk kanker glotis
dapat dibagi menjadi teknik terbuka atau
endoskopi. Tidak seperti radioterapi, bedah
hanya memperlakukan area penyakit tanpa
menghilangkan dan mendistorsi anatomi
normal yang tersisa. Operasi kanker glotis
dapat dilakukan dengan margin milimeter
sehingga mengurangi morbiditas bedah
dengan menyelamatkan jaringan normal
beberapa milimeter dari margin tumor. Oleh
karena itu, operasi reseksi kanker glotis
terpilih dapat dilakukan dengan teknik
phonosurgical, yang memungkinkan untuk
kontrol penyakit yang tepat dengan menjaga
ligamen vokal, otot thyaryaryoidoid, dan
lamina propria dangkal (SLP). Dengan
demikian, hasil suara pasca operasi sangat
baik, terutama ketika rekonstruksi
phonosurgical dilakukan. Keuntungan lain
dari operasi termasuk biaya yang lebih rendah,
berkurangnya waktu penyakit intercurrent,
dan tingkat komplikasi yang sangat rendah.
371
unlike XRT, endoscopic treatment preserves
all treatment modalities including further
endoscopic management.
Pengobatan radioterapi kanker glotis dini
berhasil mengendalikan penyakit lokal pada
sebagian besar kasus; Namun, keuntungan
ini dikurangi dengan fakta bahwa XRT adalah
pengobatan sekali pakai dan pasien dengan
kanker laring sering mengalami neoplastik
metachronous. Namun, meskipun satu abad
sukses dengan angka kesembuhan yang lebih
tinggi menggunakan prosedur bedah fungsi
transoral dan transcervical, karsinoma glotis
biasanya diobati dengan terapi sinar eksternal
(XRT) di sebagian besar negara barat. Penyakit
T1 dan T2 diobati dengan radioterapi saja
sementara lesi T3 dan T4 biasanya diobati
dengan XRT dan kemoterapi. Keuntungan
utama dari pendekatan ini adalah
keseragaman manajemen yang tidak
memerlukan keterampilan yang sangat
individual, syarat utama intervensi bedah
yang optimal.
For early disease, the disadvantages of
XRT include damage to noncancerous glot-
tal tissue including (e.g., contralateral vocal
lipatan), yang merupakan sumber suara
utama serta ablasi kelenjar sakular, yang
sangat penting untuk melumasi glotis untuk
memfasilitasi getaran lipatan-vokal. Untuk
penyakit lanjut, biasanya radiasi dan
kemoterapi menyebabkan pembengkakan
jalan nafas dan / atau stenosis yang
membutuhkan trakeomi serta disfagia berat
dan / atau stenosis faringgo-esofagus,
keduanya biasanya tidak hadir sebelum
perawatan dan sangat sulit untuk
diselesaikan.
The Head and Neck
Radiasi juga umumnya menyebabkan
mucositis kronis yang sering menutupi
kekambuhan sementara mengakibatkan
ketidaknyamanan, kekeringan, dan
perubahan rasa. Yang lebih jarang, pasien
mengalami osteoradionekrosis pada
tulang rawan laring yang mengakibatkan
gejala fungsional yang disebutkan di atas
serta infeksi luka. Akhirnya, telah
diketahui dengan baik bahwa mayoritas
efek yang tidak diinginkan dari terapi
radiasi adalah tahan lama dan seringkali
tidak dapat dikembalikan lagi..
Pada abad ke-20 yang terakhir, radioterapi
menjadi pengobatan andalan untuk sebagian
besar stadium kanker laring dengan
kemoterapi yang digunakan secara tambahan.
Ini sebagian karena fakta bahwa ahli bedah
kurang percaya diri bahwa mereka dapat
mencapai hasil fungsional yang optimal.
Namun, sekarang telah diakui bahwa ada
peningkatan secara substansial survval dalam
berbagai tahap jika operasi tidak digunakan
sebagai modalitas pengobatan awal primer.
Lebih lanjut, komplikasi dan hasil fungsional
yang buruk (suara, menelan, dan jalan nafas)
dari rejimen nonsurgical semakin diakui.
Untuk perawatan awal dan penyelamatan, ini
telah mengatalisasi peluang baru untuk ahli
bedah
372 Part III: The Head and Neck

ski lled in endoscopic approaches for small-

Table 1 TNM Staging of Laryngeal Cancer to mid-sized tumors as well as open partial
Primary tumor (T) ttechniques for larger tumors. The endo-
■ TX: Primary tumor cannot be assessed
sc opic methods for supraglottic primaries
■ T0: No evidence of primary tumor
w ill likely be further advanced by robotic
■ Tis: Carcinoma in situ
iinnovation due to frequent restrictions in
optimal laryngoscopic exposure.
Supraglottis
■ T1: Tumor limited to one subsite of supraglottis with normal vocal cord mobility
■ T2: Tumor invades mucosa of more than one adjacent subsite of supraglottis or glottis or
Classical Endoscopic Glottic Surgery
region outside the supraglottis (e.g., mucosa of base of tongue, vallecula, or medial wall of for Early Cancer
pyriform sinus) without fixation of the larynx Th e overarching key to successful endo-
■ T3: Tumor limited to larynx with vocal cord fixation and/or invades any of the following:
postcricoid area, pre-epiglottic tissues, paraglottic space, and/or minor thyroid cartilage
sc opic treatment of laryngeal cancer is
erosion (e.g., inner cortex) ob taining the best possible laryngoscopic
■ T4a: Tumor invades through the thyroid cartilage, and/or invades tissues beyond the larynx exp osure, which comprised of optimal ana-
(e.g., trachea, soft tissues of the neck including deep extrinsic muscle of the tongue, strap tomi c positioning along with the largest
muscles, thyroid, or esophagus) wel l-designed speculum and laryngoscope
■ T4b: Tumor invades prevertebral space, encases carotid artery, or invades mediastinal ho lder. Toward that end, we methodically
structures d escribed the key principles for success as
Subsites include the following: wel l as designing a universal modular glot-
■ Ventricular bands ( false cords) ti scope and a new suspension gallows.
■ Arytenoids The goal of endoscopic treatment of
■ Suprahyoid epiglottis ear ly glottic cancer is eradication of the dis-
■ Infrahyoid epiglottis ease with maximal preservation of the nor-
■ Aryepiglottic folds (laryngeal aspect) mal layered microstructure. This approach
Glottis r esults in the optimal postoperative voice
w ithout compromising oncologic cure.
■ T1: Tumor limited to the vocal cord(s), which may involve anterior or posterior commissure,
with normal mobility Th ere are four basic procedures that are
■ T1a: Tumor limited to one vocal cord b ased on the depth of treatment (Fig. 8):
■ T1b: Tumor involves both vocal cords ( a) dissection just deep to the epithelial
■ T2: Tumor extends to supraglottis, subglottis, and/or with impaired vocal cord mobility b asement membrane and superficial to the
■ T2a: Tumor limited to one vocal cord s uperficial lamina propria for epithelial aty-
■ T2b: Tumor involves both vocal cords pi a and microinvasive cancer, (b) dissection
■ T3: Tumor limited to the larynx with vocal cord fixation, invades paraglottic space, and/or w ithin the superficial lamina propria mi-
minor thyroid cartilage erosion (e.g., inner cortex) croin vasive cancer that is not attached to
■ T3a: Tumor limited to one vocal cord
th t e vocal ligament, (c) dissection between
■ T3b: Tumor involves both vocal cords
th t e deep lamina propria (vocal ligament)
■ T4a: Tumor invades through the thyroid cartilage and/or invades tissues beyond the larynx
(e.g., trachea, soft tissues of neck, including deep extrinsic muscle of the tongue, strap muscles, and the vocalis muscle for lesions that are
thyroid, or esophagus) at tached to the ligament but not through it,
■ T4b: Tumor invades prevertebral space, encases carotid artery, or invades mediastinal and (b) dissection within the thyroarytenoid
structures muscl e for lesions penetrating the vocal
(The authors employ the (a, b) unilateral versus bilateral designation used for T1 lesions with T2 lligament and invading the vocalis. This
and T3 lesions as well) appro ach can be fine-tuned further by
Subglottis p erforming partial resections of any of the
■ T1: Tumor limited to the subglottis
llayered microstructure.
■ T1a: Tumor limited to one vocal cord
In the classical surgical paradigm, if dis-
■ T1b: Tumor involves both vocal cords section is performed in the SLP, cold instru-
■ T2: Tumor extends to vocal cord(s) with normal or impaired mobility ments facilitate precise tangential dissec-
■ T2a: Tumor limited to one vocal cord ttion
around the curving vocal fold. This
■ T2b: Tumor involves both vocal cords al lows for maximal preservation of the su-
■ T3: Tumor limited to larynx with vocal cord fixation perficial lamina propria and for pliability of
■ T3a: Tumor limited to one vocal cord th e regenerating epithelium. Dissection be-
■ T3b: Tumor involves both vocal cords t ween the vocal ligament and the vocalis
■ T4a: Tumor invades cricoid or thyroid cartilage and/or invades tissues beyond the larynx (e.g.,
muscl e can be performed equally well with
trachea, soft tissues of neck, including deep extrinsic muscles of the tongue, strap muscles,
thyroid, or esophagus)
c old instruments alone or with assistance
■ T4b: Tumor invades prevertebral space, encases carotid artery, or invades mediastinal
by a laser. Dissection within the muscle is
structures p erformed most precisely with a cutting la-
(The authors employ the (a, b) unilateral versus bilateral designation used for T1 glottic lesions ser, which allows for improved visualization
with T1, T2, and T3 subglottic lesions as well) because of hemostatic cutting properties.
Subepithelial saline-epinephrine infusion
into Reinke’s space improves pre-excisional
assessment of lesion depth. If the tumor has
invaded the vocal ligament, the SLP at the

4 3
2
5 1
6 Vocal ligament
Fig. 8. Coronal section of the mid-vocal fold displaying. A: different potential depths of tumor invasion. B: Classifica-
tion of different resection depths.
perimeter lesi akan buncit menciptakan
depresi kontur di wilayah kanker. Infus
subepitel membantu dengan pelaksanaan
teknis bedah pada sejumlah cara lain: (a) Infus
memfasilitasi sayatan mukosa dengan
meningkatkan visualisasi dari batas lateral lesi
dan dengan menjauhkan SLP sehingga epitel
diatasnya di bawah tekanan.
(b)Infus ini juga meningkatkan kedalaman lamina
propria superfisial, yang memfasilitasi diseksi
traumatis yang lebih sedikit pada lapisan ini dan
menyebabkan epitel regenerasi yang lebih lentur.
(c) Tekanan epinefrin dan hidrostatik dari infus
vasokonstriksi mikrovaskulatur dalam SLP dan
ini meningkatkan visualisasi dan diseksi yang
tepat..
(d) Jika laser digunakan, saline bertindak
sebagai heat sink, yang mengurangi trauma
termal ke jaringan lipatan vokal normal.
Ketika jaringan lunak glotis yang cukup
besar direseksi, itu adalah hal biasa untuk
memiliki beberapa disfungsi vokal karena
kekurangan glotis aerodinamik. Selama tahun
1990-an, kami mengembangkan berbagai
prosedur untuk merekonstruksi katup glottal,
yang diadopsi di dalam negeri dan luar negeri.
Jaringan lunak paralitik yang hilang ditambah
dengan lemak dan / atau Gore-tex dan tendon
komisura anterior direkonstruksi dengan
menggunakan laringofisura anterior dan
subluksasi tiroid-lamina. Namun,
mengembalikan kelenturan mukosa fonasi
tetap menjadi tantangan.
Setelah satu dekade penelitian, kami
telah merancang biogel vokal yang
menjanjikan dan berharap untuk memulai
uji coba manusia pada tahun 2012. Biogel
vokal ini mempertahankan kemungkinan of
restor-
Chapter 28: Surgical Treatment of Laryngeal Cancer
Epithelium
Superficial lamina propria
V
I
II
III
Vocalis muscle
IV
ing jutaan suara termasuk ratusan ribu pasien
kanker laring yang serak. Ini bahkan mungkin
akan memfasilitasi peningkatan suara pada
pasien yang telah menjalani laryngectomy
parsial atau total. Pada yang terakhir, getaran
mukosa yang berhubungan dengan bicara
esofageal dan fonasi dengan pidato katup
trakeomofagus akan menjadi lebih efektif.
Endoscopic Angiolytic Laser
Treatment of Early Glottic Cancer
Baru-baru ini, model reseksi bedah
dikembangkan lebih lanjut sehingga laser
angilytic berbasis serat digunakan. Kami telah
memperkenalkan laser angiolytic (585 nm
pulsed-dye laser, 532 nm pulsed-KTP laser)
untuk memfasilitasi reseksi mikroflap displasia
glotis pada akhir 1990-an. Photoangiolisis dari
mikrosirkulasi subepitel memungkinkan
untuk bagian epitel mikroflap yang sangat
tepat, pelestarian arsitektur histopatologis,
dan kerusakan minimal agunan pada
perivaskular lamina propria superfisial.
Janji perawatan laser angiolitik kanker
glotis awal lebih lanjut didukung oleh konsep
neovaskularitas menyimpang yang dijelaskan
oleh Jako dan Kleinsasser (Gbr. 9) pada tahun
1966 dan angogenesis tumor intralesi (Gambar
10 dan 11) yang ditetapkan oleh Folkman tak
lama kemudian pada tahun 1971.
Selama 8 tahun terakhir, ~ 100 lesi telah
dirawat dengan angiolisis dengan tingkat
kesembuhan ~ 95%. Sangat mungkin bahwa
ini adalah demonstrasi pertama menggunakan
non ionisasi radiasi
373
tanpa peningkatan bahan kimia (mis., agen
pemekaan terhadap) untuk melibatkan dan
mengobati kanker tanpa reseksi atau ablasi
kotor. Pendekatan ini menggabungkan elemen
bedah dan radiasi untuk menciptakan
pendekatan hibrida yang unik. Hasil suara
yang telah kami capai dalam kelompok pasien
di sini biasanya lebih unggul dari apa yang
telah kami capai di masa lalu. Ini khususnya
The Head and Neck
terjadi pada pasien yang memiliki penyakit
bilateral. Ada beberapa alasan untuk
peningkatan suara, yang semuanya dapat
dijelaskan dengan peningkatan kompetensi
aerodinamik posttreatment dari glottis dan /
atau peningkatan kemampuan mukosa
fonatori melalui peningkatan pelestarian
jaringan lunak glottal termasuk lamina propria
superfisial non-kanker, perlu lapisan untuk
getaran glottal.
Tidak seperti teknologi laser mikrolaring
sebelumnya Nikel yang digunakan secara
eksklusif sebagai pisau bedah atau perangkat
ablasi yang membeda-bedakan (misalnya, CO2,
KTP gelombang kontinu, dan Thulium), laser
angiolitik memusatkan energi di dalam
sirkulasi mikro angiogenik yang menyimpang
dari tumor tanpa melakukan penetrasi
mendalam ke dalam jaringan lunak normal dari
pita suara. Tumor tebal diuapkan dalam mode
gelombang kontinu dengan pendinginan
simultan hingga antarmuka dengan jaringan
lunak yang mendasari normal. Antarmuka
diperlakukan dalam mode berdenyut dan
margin bagian beku diperoleh dari pasien
untuk memastikan bahwa tumor telah
dihapus. Dengan membatasi lebar pulsa hingga
Š15 ms, laser angiolytic menginduksi
pemanasan selektif dari lesi
'intralesional/subepithelial
374 Part III: The Head and Neck

A B

D
C

Fig. 9. A. Vascular pattern of normal arborizing microcirculation seen through the transparent epithelium and within the
superficial lamina propria of the phonatory mucosa. B: Precancerous dysplasia of the epithelium obscures visualization of the
subepithelial microcirculation. C and D: Invasive carcinoma is comprised of aberrant disordered and dense microvasculature.
(Redrawn after Jako GJ, Kleinsasser O. Endolaryngeal Micro-diagnosis and Microsurgery. Reprint from the Annual Meeting of
the American Medical Association, 1966.)

sirkulasi mikro. Hal ini meminimalkan trauma
termal dan fibrosis jaringan lunak glotis
normal ekstralesi yang tidak melekat, sehingga
secara optimal mempertahankan jaringan
lunak lipat vokal yang diperlukan untuk
getaran fonatori. Photo-
Fig. 10. Early vocal-fold cancer demonstrating
complex looping angiogenic microcirculation.
angiolytic pengobatan laser pulsed-kanker
glotis awal memiliki kemampuan
mempertahankan jaringan lunak paraglottic-
space dalam neoplasma yang lebih dalam serta
SLP mukosa pada tumor yang lebih dangkal
(Fig. 12).
Fig. 11. Histology of a T1 vocal-fold cancer. Note
the vascular channels at the base of the nests of
malignant epithelial cells and the ingrowth of ves-
sels within the neoplasm.
Keterlibatan kanker tendon anterior-
komisura dan / atau tulang rawan arytenoid
bukan merupakan kontraindikasi untuk
teknik ini jika paparan laringoskopi yang
memadai dapat diperoleh. Invasi kartilago
tiroid merupakan kontraindikasi untuk
pendekatan ini dan membutuhkan
pengangkatan lamina tiroid secara
transcervical. Untuk melestarikan arsitektur
commissure anterior, adalah umum untuk
mengangkat tumor dengan penyakit bilateral
dalam dua tahap.
Perawatan laser photoangiolytic berdenyut
dua tahap oleh ahli bedah yang menggunakan
radiasi nonionisasi mempertahankan elemen
phono-microsurgery dan model radioterapi
saat ini yang mensinkronisasi aset utama
keduanya dan terdiri dari revisi signifikan dari
paradigma bedah khas, yang menyiratkan
manajemen yang efektif sebagai intervensi
soliter. Ini bertentangan dengan radioterapi
dan terapi ibu, yang bersifat inkremental.
Untuk janji fungsi yang ditingkatkan,
perawatan kanker non-bedah ini telah
mencapai penerimaan meskipun fakta bahwa
pasien memiliki penyakit kambuhan selama
berbulan-bulan perawatan. Selain itu, telah
menjadi hal yang umum selama beberapa
dekade bagi pasien dengan penyakit primer
lanjut dan metastasis regional ke
 Chapter 28: Surgical Treatment of Laryngeal Cancer 375

A B

C D

Fig. 12. A: Microlaryngoscopic examination of a right vocal-fold cancer with a 0.4-mm KTP laser fiber directed at the tumor.
B: A 15-ms pulse of green light is absorbed at the intralesional microcirculation. C: Toward the end of the cancer treatment.
D: Office laryngoscopic examination after healing—the patient is over 4 years without recurrence.

The Head and Neck

menjalani kemoterapi tambahan dan XRT
sementara penyakit kambuhan dibiarkan
selama 3 sampai 6 bulan.
Mempertimbangkan hal ini, dan fakta
bahwa dari biopsi mikrolaringoskopik
hingga penyelesaian XRT biasanya paling
tidak 2 bulan untuk kanker glotis awal,
tidak ada alasan untuk percaya bahwa
perawatan bedah endoskopi bertahap
bertahap selama periode waktu yang sama
akan menghasilkan risiko tambahan bagi
pasien.
Mempertimbangkan bahwa tiga perawatan
kanker konvensional (pembedahan, radioterapi,
dan kemoterapi sitotoksik) berevolusi dari ilmu
dasar primer (biologi, fisika, dan kimia), agen
anti-angiogenesis menjadi pengobatan kanker
keempat. Namun, agen ini digunakan sebagai
bahan pembantu dengan modalitas pengobatan
konvensional lainnya. Berdasarkan diskusi
dengan Dr. J. Folkman (komunikasi pribadi),
perawatan laser pulsed-photoan-giolytic dari
glottis kemungkinan merupakan pengobatan
kanker organ modalitas tunggal pertama, yang
memanfaatkan filosofinya dan mewakili
pengobatan kanker kelima.
Endoscopic Angiolytic Laser
Treatment of Cancer: Future
Considerations
Lipatan vokal adalah tempat yang unik untuk
mempelajari kanker invasif minimal lokal
pada saluran aerodigestif bagian atas. Seperti
yang dinyatakan sebelumnya, metastasis
yang terkait dengan kanker glotis dini sangat
jarang terjadi sehingga penyakit yang
menyertai berisiko minimal. Ini memberikan
jendela kesempatan yang unik untuk
merancang strategi baru yang
mengakomodasi kebutuhan biomekanik dan
fungsional yang berbeda dari jaringan lunak
lipatan vokal. Hambatan untuk terjemahan di
masa depan kemungkinan akan menjadi
biaya instrumentasi, yaitu~ $ 70.000
Mempertimbangkan bahwa ~ 60% kanker
organ berasal dari mukosa, konsep yang
dikembangkan untuk lipatan vokal mungkin
diekstrapolasi ke situs lain seperti kandung
kemih, usus, pohon trakeo-bronkial, dan
serviks. Selanjutnya, photoangiolysis pulsed-
laser dapat dilakukan selama prosedur
terbuka atau yang endoskopi dan serat laser
kecil bisa
diperkenalkan melalui mikroskop yang
kaku atau fleksibel. Laser angiolitik juga
dapat dianggap sebagai pengobatan
tambahan yang berguna pada perimeter
reseksi konvensional jika ada margin dekat
yang dipertanyakan atau di bidang mukosa
terkutuk pada margin reseksi.
Temuan dari investigasi awal mendukung
fakta bahwa penelitian lebih lanjut dalam
pengembangan teknologi laser yang mampu
menghilangkan selektifitas pembuluh darah
tumor intralesi / sublesional secara selektif
adalah tujuan yang patut dipuji. Tidak sulit
membayangkan bahwa perawatan laser
fotoangiolitik dapat digunakan sebagai
modalitas tunggal seperti dalam laporan ini
atau mungkin berfungsi sebagai pengobatan
cytoreduction dan adjuvant. Perawatan ringan
induksi dapat diterapkan pada saat
pementasan endoskopi. Mengingat
pengalaman kantor kami dengan perawatan
laser photoangiolytic berdenyut dari glottal
dysplasia dengan anestesi topikal, dapat
diterima bahwa perawatan induksi lebih lanjut
dapat dilanjutkan di klinik sebelum radioterapi
lengkap untuk primer yang lebih besar .
376 Part III: The Head and Neck
Mengingat migrasi dari banyak
intervensi bedah menjadi invasif
minimal dan / atau prosedur kantor,
prospek ini tidak terbayangkan.
Endoscopic Vertical
Partial Laryngectomy
Laser laringektomi parsial vertikal endoskopi
secara teknis dapat dilakukan untuk sebagian
besar lesi T2 glotis; Namun, itu memang
membutuhkan pengalaman yang substansial.
Steiner memperjuangkan teknik-teknik ini
setelah mengunjungi kelompok Universitas
Boston (Jako, Strong, dan Vaughan) pada
akhir 1970-an. Tumor ini sering melanggar
atau menyerang otot glotis intrinsik di
kompartemen paraglottic. Penentuan tumor
secara tiga dimensi dilakukan dengan cara
endoskopi dan studi pencitraan (CT scan atau
MRI). Reseksi ini dapat dilakukan
with a CO2 laser, with or without a fiber, as
well as the thulium and KTP lasers, which
are both delivered with a fiber. The primary
difference between endoscopic and open
transcervical partial laryngectomy proce-
dures is that the cartilage framework is re-
sected in open procedures. Although laryn-
goscopic procedures can usually be done
without a tracheotomy, transoral proce-
dures preclude immediate vocal reconstruc- tion.
After healing has taken place, various
reconstructive procedures (previously men-
tioned) can be utilized (injection laryngo-
plasty with or without medialization thyro-
plasty) to restore a laryngeal phonation
source. Because of the delayed reconstruc- tion,
some surgeons still opt to employ clas- sic open
partial laryngectomy techniques.
Open (Transcervical) Cancer
Surgery: General Considerations
Seperti ditinjau sebelumnya, ada sejarah
yang kaya dalam inovasi bedah untuk
pengangkatan kanker laring secara
transcervial. Banyak desain awal untuk
prosedur reseksi kanker didasarkan pada
pengalaman ahli bedah dalam manajemen
trauma tembus dari pertarungan tangan ke
tangan serta pembunuhan dan bunuh diri.
Selain itu, teknik untuk pengangkatan dan
rekonstruksi tumor tidak banyak berubah
dalam beberapa dekade. Lebih jauh, nuansa
variasi rincian metode-metode ini sangat
luas dengan buku-buku teks yang
dikhususkan untuk subjek ini dan karena
itu jauh di luar ruang lingkup bab ini.
Akhirnya, laryngectomy parsial terbuka
dilakukan dengan penurunan frekuensi
kecuali untuk pusat-pusat keunggulan
tertentu. Oleh karena itu, highlight dari
teknik reseksi transcervical (Gbr. 13) akan
diberikan
Fig. 13. Different types of vertical partial laryngectomy procedures based on the size of the lesion to
treat glottic carcinoma.
pembaca didorong untuk meninjau sumber
khusus yang komprehensif untuk detailnya .
Transcervical Laryngofissure
and Cordectomy
Kordektomi terbuka dapat digunakan untuk
pasien dengan lesi T1 dan T2 yang dipilih
dari lipatan vokal yang sebenarnya dan
subglotis yang bukan kandidat untuk
reseksi laser endoskopi karena paparan
laringoskopi terbatas. Dalam prosedur ini
tulang rawan tiroid dipertahankan. Setelah
mengekspos kerangka tulang rawan laring,
trakeotomi dilakukan sebelum memasuki
laring. Kemudian tulang rawan tiroid
dipisahkan secara anterior tanpa memasuki
jalan napas. Selanjutnya, membran
krikotiroid dimasukkan untuk melihat
tumor glotis dari bawah untuk secara
memadai menyambungkannya. Perawatan
diambil untuk menjaga setiap sisi insersi
tendon anterior-commissure. Ketika
laryngofissure dibuka, visualisasi yang
memadai dari neoplasma tercapai;
memperbesar loupes bisa membantu.
Setelah tumor telah direseksi, korda palsu
dapat dibuka untuk merekonstruksi
jaringan lunak glotis yang dipantulkan.
Lamina tiroid di aproksimasi kembali
dengan dua pilihan 2-0 prolene di atas dan
di bawah glotis. Otot-otot pengikat
diaproksimasi kembali dan drainase
penrose subplatma ditempatkan, yang
membantu mencegah emfisema subkutan.
Transcervical Partial
Vertical Laryngectomy
Laryngectomy parsial vertikal biasanya
digunakan untuk memperluas neoplasma
transglottic T2
ing through the ventricle to the lower false
tali tetapi tidak ke daerah epilaring.
Prosedur awal ini mirip dengan lary-ofissure
dan cordectomy termasuk traotomi. Namun,
lamina tiroid anterior serta tali pusat, tali
pusat benar, dan subglotis disambung
ulang. Laryngectomy parsial klasik vertikal
dapat diperluas untuk memasukkan
arytenoid, kartilago krikoid atas, dan bagian
dari tiroid kontalateral. Rekonstruksi
dicapai dengan memutar jaringan lokal
seperti mukosa hipofaring, epiglotis, lamina
tiroid post-rior, dan otot-otot tali ekstrinsik.
Ada variasi luas dalam penggunaan jaringan
lokal ini, yang berada di luar cakupan bab
ini dan dirinci dalam teks khusus untuk
operasi kanker laring. Tujuan utama adalah
untuk mempertahankan deglutition dan jika
mungkin, untuk membuat kaliber jalan
nafas yang memungkinkan pengangkatan
tabung trakeotomi. Sampai baru-baru ini,
dekannulasi trakeotomi tidak mungkin
terjadi ketika segmen ketebalan penuh dari
kartilago krikoid memerlukan reseksi dan /
atau satu sendi krikoarytenoid. Meskipun
sumber suara laring bertenaga paru-paru
dicapai secara rutin, suara biasanya
memiliki rentang nada terbatas dan sering
tegang dan bernafas.
Supracricoid Laryngectomy
with Cricohyoidopexy
Pasien yang dipilih dengan lesi T2 glotis atau lesi
infrahyoid T2 dan T3 supra-glotis yang memiliki
fungsi paru yang memadai (mirip dengan parsial
horizontal
 Chapter 28: Surgical Treatment of Laryngeal Cancer 377

A B

C D

Fig. 14. A Pemeriksaan klinis dari kekambuhan sedang-besar dari karsinoma glotis kiri dengan ekstensi substansial ke subglotis
dan lipatan vokal kanan kontralateral. B: Spesimen ditampilkan termasuk glotis dan subglotis. Permukaan bawah tali palsu terlihat
tersisa di pasien. C: Lengkungan homograft aorta akan digunakan untuk rekonstruksi. D: Homograft aorta dijahit dalam posisi
untuk menggantikan area reseksi dari kerangka tulang rawan.
pasien laryngectomy) adalah kandidat reseksi dengan mempertahankan scaffolding
untuk laryngectomy supracricoid. Biasanya, cartilaginous struktural yang cukup dan
jaringan glotis dari arytenoid ke depan jaringan lunak internal untuk mencapai
bersama dengan tali palsu dan lamina tiroid deklarasi trakeotomi. Jaringan lunak lokal
yang mendasarinya dihilangkan. Aspirasi dan / atau flap regional biasanya menutup
awal pasca operasi adalah umum seperti defek secara adekuat, tetapi juga kolaps dan
pada pasien laringektomi parsial horizontal. mempersempit lumen jalan napas
Pelestarian kedua sendi cricoarytenoid intralaring, sering membatasi kemampuan
memfasilitasi dekonulasi traototomi untuk mendekannulasi pasien.
akhirnya dan memulihkan fungsi menelan.
Pada tahun 2009, kami memulai
Sumber suara fonatory bernada rendah dan
rekonstruksi bidang luas dari defek
monoton; Namun, sering kali cukup kuat
laringektomi parsial yang diperluas dengan
dan muncul dari osilasi mukosa arytenoid
aorta homograft cryopreserved (Gambar 14).
peri-corniculate dan lipatan aryepiglottic.
Hasil awal sejauh ini sangat menjanjikan,
menunjukkan bahwa pendekatan ini akan
Extended Laryngectomy memberikan peluang baru untuk pelestarian
Partial Terbuka dengan organ dan fungsi untuk pasien dengan
Rekonstruksi Homograft kanker laring yang besar. Pada kelompok uji
coba awal dari tujuh pasien, semua pasien
Aortic memiliki> 40% kartilago krikoid diangkat
Metode laryngectomy parsial diperpanjang bersama dengan> 50% kartilago tiroid laring.
klasik sering dibatasi oleh keseimbangan Empat dari tujuh pasien sebelumnya gagal
mencapai onkologis yang memadai radioterapi dan lima dari tujuh berusia di
atas 65 tahun.
Dengan rekonstruksi homograft aorta, tidak
ada fistula atau komplikasi yang signifikan,
semua pasien melanjutkan diet per-oral
penuh, dan semua kasus telah didiagnosis.
Sungguh luar biasa bahwa telah ada
pekerjaan bangku sebelumnya
menggunakan aorta hoogmog untuk
rekonstruksi trakea lebih dari 50 tahun
yang lalu dan minat baru dalam beberapa
tahun terakhir.
Menggantikan volume kerangka tulang rawan
laring yang disebutkan sebelumnya dengan
restorasi jalan nafas dan fungsi menelan yang
konsisten belum tercapai sebelumnya. Homograft
aorta cryopreserved unik dalam beberapa aspek.
Ini pada dasarnya adalah perancah aseluler
sehingga terapi imun kimia tidak diperlukan.
Homograft aorta lentur dan mempertahankan
reologi dalam bentuk tubular, yang
mempertahankan lumen saluran napas. Graft
secara tekstur kuat sehingga mudah untuk
dijahit menjadi tambalan dan penggunaannya
membutuhkan keterampilan onkologis bedah
rutin.
378 Part III: The Head and Neck
The aortic homograft appears to be ex-
tremely tolerant of exposure to upper
aerodigestive tract reflux, barotrauma from
coughing, and microbial flora. It maintains
its structural integrity following implanta-
tion for prolonged periods of time. Based
on our observations, there is ingrowth of
microcirculation from the soft tissues of
the neck, which maintains the viability of
the graft. However, there is a prolonged pe-
riod of intraluminal granulation in the air-
way (2 to 4 months) prior to epithelializa-
tion that is similar to wide-field endoscopic
resections. This is more substantial in pre-
viously irradiated patients but does not
preclude decannulation during this period.
In the future, it is likely that these grafts will
be seeded with patients’ mucosal epithe-
lium retrieved in a clinic biopsy, prior to the
cancer resection, to hasten epithelializa-
tion of the reconstruction, which we have
observed to eventually occur.
Total Laryngectomy
Complete extirpation of the larynx has
not changed dramatically over the past
125 years apart from diminishing the perim-
eter margins to preserve uninvolved phar-
yngo-esophageal soft tissue and developing
innovative methods of pharyngo-esophageal
reconstruction. Fortunately, this procedure
with its attendant morbidity of a permanent
tracheostomy and the loss of a lung-pow-
ered laryngeal phonation has become rela-
tively infrequent in recent decades. The rea-
son for this decline is multifactorial and
includes extensive experience with endo-
scopic and transcervical partial laryngec-
tomy techniques along with enhanced re-
sults with radiotherapy and chemotherapy.
Despite these advancements, total larynge-
ctomy remains a valuable treatment option
that is often life-preserving in patients who
have extremely large neoplasms or have
failed prior treatments. A clear concern of
surgeons who must perform total laryngec-
tomy in those who have failed prior radio-
therapy and chemotherapy is the high inci-
dence of severe pharyngo-cutaneous fistula
formation. Vascularized nonirradiated flaps
have only provided limited mitigation of this
morbid routine outcome.
SUPRAGLOTTIC CARCINOMA
Disease Presentation and
Philosophy of Management
Supraglottic cancer comprises approxi-
mate-ly one-third of new laryngeal cancer
cases per annum in the United States. Dis-
comfort and a neck mass are of the most
common presenting symptoms, however,
with larger neoplasms, patients may also
report voice changes, airway restriction,
dysphagia, odynophagia, hemoptysis, and
referred ear pain (otalgia). Unlike glottic
cancer, supraglottic cancer frequents
presents with regional metastasis, which
is the primary determinant of survival.
Similar to glottic cancer, controlling the
disease at the primary site is typical with
careful treatment selection and vigilant
surveillance. However, achieving local
control with preservation of optimal air-
way, swallowing, and vocal function re-
mains as a challenge.
The general success of controlling supra-
glottic cancer locally is similar to glottic
cancer. It is due to the fact that the anatomy
of the larynx is comprised of a thick carti-
laginous frame and dense connective tissue
that are resistant to local invasion outside
the larynx thereby creating a series of self-
contained compartments. Like glottic can-
cer, this structural composition facilitates a
variety of transoral (endoscopic) and tran-
scervical (open neck) partial laryngectomy
procedures.
Unlike the glottis, supraglottic carci-
noma typically presents with advanced
disease. Initial presentation of precancer-
ous mucosa and early cancer are relatively
rare since these lesions are unaccompa-
nied by symptoms. They are typically iden-
tified because a patient is under surveil-
lance for previous aerodigestive tract
cancer. Pathologic assessment of tumors
initially staged as T1 and T2 reveal that the
largest majority are T3 and T4. Because of
the rich lymphatics of the supraglottis, it
commonplace for patients with supraglot-
tic cancer to present with clinical evidence
of regional lymph-node metastasis or oc-
cult adenopathy discovered on elective
neck dissection.
Preservation of laryngeal function can
be a substantial challenge with advanced
supraglottic primaries regardless of treat-
ment modality. Smaller volume neoplsms
are typically controlled locally with endo-
scopic removal, open supraglottic larynge-
ctomy, or radiotherapy. Larger supraglottic
tumors often require surgery and radio-
therapy often including chemotherapy as
well. Preservation of normal laryngeal
function can be extremely difficult with
large supraglottic cancers. Regardless of
treatment selection of the primary site,
neck lymphatics should always be consid-
ered carefully when designing a treatment
regimen.
Endoscopic Resection
of Supraglottic Cancer
Jackson described piecemeal endoscopic
removal of supraglottic cancer over 70 years
ago this philosophy is conformed to and
deemed acceptable to the present. Vaughan
championed this approach and performed
the first endoscopic supraglottic laryngec-
tomies in the 1970s when the Boston Uni-
versity Otolaryngology group introduced
laser technology to facilitate soft-tissue dis-
section and surgical oncology. Cutting the
tumor into segments was done because the
field of resection was substantially larger
than the laryngoscope speculae. Steiner,
who has been the primary proponent of this
philosophy over the past 2 decades, visited
Boston in the late 1970s and subsequently
advanced this approach technically. Through
steadfast perseverance as well as relentless
lecturing and teaching, he has secured
worldwide recognition of the effectiveness of
endoscopic treatment of laryngeal cancer.
Endoscopic resection of supraglottic
cancer provides several advantages over
open supraglottic laryngectomy (Fig. 15). In
most circumstances, a perioperative tra-
cheotomy is not necessary. In addition, the
superior laryngeal nerves are not cut so
critically important sensory function of the
neosupraglottic valve is retained. This is a
key determinant of posttreatment swallow-
ing function in preventing aspiration. With
endolaryngeal treatment, wound break-
down leading to fistula formation does not
occur. Finally, supraglottic cancer, even in
the deep compartments is typically encased
by a capsule, which enhances endoscopic
feasibility and efficacy.
The piecemeal resection philosophy
has always remained problematic for a
majority of surgeons trained in classical
techniques requiring en bloc removal of
the tumor. To address this, over 20 years
ago, Zeitels designed a wide bivalve ad-
justable supraglottiscope that would allow
for en bloc supraglottic cancer resection.
Despite the success in simulating en bloc
open surgery through an endoscopic ap-
proach, the technique remained time-con-
suming and difficult. Remarkably, en bloc
resection is being resurrected today with
the technical advantages of transoral ro-
botic surgery.
There have been two general approaches
to endoscopic treatment of supraglottic
cancer. This is comprised of single-modal-
ity transoral resection and the use of endo-
scopic resection combined with postoper-
ative radiotherapy. The logic of the latter
approach is that treating most supraglottic

A B
Fig. 15. A: Infrahyoid epiglottic cancer demonstrating the resection boundaries for a wide-field supra-
glottic laryngectomy and a narrow-field tumor removal. B: The same tumor is seen on a sagittal.
cancers with radiation (alone or with che-
motherapy) results in local failure in 25%
to 40% of cases and subsequent total laryn-
gectomy becomes necessary. If the primary
cancer has been removed endoscopically
prior to radiotherapy (induction surgery),
local failure is <10%. This endoscopic ap-
proach mitigates functional deficits while
maximizing larynx preservation. In accor-
dance with this philosophy, our group now
performs total or near-total endoscopic
tumor removal with the angiolytic KTP
laser.
Open Horizontal Supraglottic
Laryngectomy (Supraglottic
Laryngectomy)
The horizontal supraglottic laryngectomy
procedure was perfected in the mid-20th
century for T1 to T3 carcinomas confined
to the supraglottic soft tissues. This proce-
dure can be extended in all directions to
include portions of the tongue base, pyri-
form sinus, and glottis. Understandably,
with wider swaths of pharyngeal and laryn-
geal soft tissue, there is increased difficulty
preserving airway, swallowing, and vocal
function. Since aspiration and pneumonia
are common complications, patients must
have adequate pulmonary reserve and will
need to work with a speech language pa-
thologist postoperatively for swallowing
rehabilitation.
A tracheotomy is necessary to perform
a supraglottic laryngectomy. Once this is
done, a pharyngotomy entry to view the
tumor is performed in the oropharyngeal
Chapter 28: Surgical Treatment of Laryngeal Cancer
vallecula, glossoepiglottica, or in the pyri-
form sinus as a lateral pharyngotomy. In
1991, Zeitels described a reliable precise
suprahyoid pharyngotomy technique that
is valuable for a majority of cancers in the
tongue base, larynx, and/or hypopharynx.
It is useful to preserve some soft tissue of
the supraglottis and its neurovascular
pedicle if oncologically feasible since it
can be valuable for reconstructing the
neo-supraglottic valve for swallowing re-
habilitation.
In a classic supraglottic laryngectomy
the upper thyroid laminae are resected with
the tumor, however, often this is not neces-
sary if the neoplasm is not adjacent to the
cartilage. It is valuable to use magnifying
loupes when it is necessary to preserve crit-
ical soft tissue such as the anterior-com-
missure infrapetiole region. To mitigate
postoperative aspiration, it is important to
resuspend the residual larynx by affixing
the thyroid laminae to the hyoid bone with
0 prolene sutures. Complete mucosal clo-
sure is not typically feasible so that epitheli-
alization occurs by regional approximation
of soft tissues. The tracheotomy tube is re-
moved when the perioperative edema di-
minishes to sustain an adequate airway lu-
men and when aspiration is mostly resolved
so that tracheobronchial access is not nec-
essary.
SUMMARY
The larynx retains the most complex neuro-
muscular function of any human organ,
which supports human communication as
379
well as balancing respiration and degluti-
tion. Surgical treatment of larynx cancer
has been recognized for over a century as
an extremely effective treatment. Regard-
less of size, the overwhelming majority of
larynx cancers are controlled locally with
surgical removal if the tumor is removed
with the correct procedure. Preservation of
an adequate airway, as well as swallowing
and voice function, becomes the key goal
while performing larynx cancer surgery. Re-
markably, transoral surgery of laryngeal le-
sions chronicles a 150-year development of
minimally invasive surgery. Solis Cohen es-
tablished that managing laryngeal disease
required high-level skills in endoscopic and
open surgery and this continues to be a re-
quirement of laryngeal surgeons today.
These disparate skill sets are especially
valuable for larynx cancer surgery. It is not
surprising that Solis Cohen was probably
the first surgeon to become a laryngologist
and he was also likely the first individual to
cure larynx cancer.
SUGGESTED READINGS
Anderson R, Parrish J. Selective photothermoly-
sis: precise microsurgery by selective absorp-
tion of pulsed radiation. Science 1983;220:
524–7.
Folkman J. Clinical applications of research on an-
giogenesis. N Engl J Med 1995;333:1757–63.
Fraenkel B. First healing of a laryngeal cancer tak-
en out through the natural passages. Archiv fur
Klinische Chirurgie 1886;12:283–6.
Green H. Morbid growths within the larynx.
The Head and Neck
In: On the Surgical Treatment of Polypi of the
Larynx, and Oedema of the Glottis. New York:
G.P. Putnam; 1852;46–65.
Gussenbauer C. Ueber die erste durch Th. Billroth
am Menschen, Ausgerfuhrte Kehlkopf Exstir-
pation und die Anwendungeines kunstlichen
Kehlkopfes. Archiv fur Klin Chir 1874;17:343–
56.
Hoffman HT, Porter K, Karnell LH, et al. Laryngeal
cancer in the United States: changes in demo-
graphics, patterns of care, and survival. Laryn-
goscope 2006;116(9 Pt 2 Suppl 111):1–13.
Jako GJ, Kleinsasser O. Endolaryngeal micro-
diagnosis and microsurgery. Reprint from the
Annual Meeting of the American Medical As-
sociation, 1966.
Kirchner JA. What have whole organ sections con-
tributed to the treatment of laryngeal cancer?
Ann Otol Rhinol Laryngol 1989;98:661–7.
Kirstein A. Autoscopy of the larynx and trachea
(Direct Examination without Mirror). 1897.
Kirstein A. Autoskopie des larynx und der trachea
(Laryngoscopia directa, Euthyskopie, Besichti-
gung ohne Spiegel). Archiv fur Laryngol Rhinol
1895;3:156–64.
Kitamura T, Kaneko T, Togawa K, et al. Supracri-
coid laryngectomy. Ann Otol Rhinol Laryngol
1970;79(6):1027–32.
Lynch RC. Intrinsic carcinoma of the larynx, with
a second report of the cases operated on by
380 Part III: The Head and Neck

suspension and dissection. Trans Am Laryngol
Assoc 1920;40:119–26.
Martinod E, Seguin A, Pfeuty K, et al. Long-term
evaluation of the replacement of the trachea
with an autologous aortic graft. Ann Thorac
Surg 2003;75(5):1572–78; discussion 1578.
Pressman JJ, Simon MB. Observations upon the
experimental repair of the trachea using au-
togenous aorta and polyethylene tubes. Surg
Gynecol Obstet 1958;106(1):56–62.
Silver CE, ed. Surgery for Cancer of the Larynx. New
York: Churchill Livingstone; 1981.
Solis-Cohen J. Clinical history of surgical affec-
tions of the larynx. Med Rec 1869;4:244–7.
Steiner W. Experience in endoscopic laser surgery
of malignant tumours of the upper aerodiges-
tive tract. Adv Otorhinolaryngol 1988;39:135–44.
Strong MS, Jako GJ. Laser surgery of the larynx:
early clinical experience with continuous CO2
laser. Ann Otol Rhinol Laryngol 1972;81:791–8.
Tucker GF. Human Larynx Coronal Section Atlas.
Washington, DC: Armed Forces Institute of Pa-
thology; 1971.
Vaughan CW. Transoral laryngeal surgery using the
CO2 laser. Laboratory experiments and clinical
experience. Laryngoscope 1978;88:1399–420.
Weinstein GS, O’Malley BW Jr, Snyder W, et al.
Transoral robotic surgery: supraglottic partial
laryngectomy. Ann Otol Rhinol Laryngol 2007;
116(1):19–23.
Zeitels SM. Premalignant epithelium and micro-
invasive cancer of the vocal fold: the evolution
of phonomicrosurgical management. Laryngo-
scope 1995;105(Suppl 67):1–51.
Zeitels SM. Phonomicrosurgical treatment of early
glottic cancer and carcinoma in situ. Am J Surg
1996;172:704–9.
Zeitels SM. Jacob Da Silva Solis-Cohen: America’s
first head and neck surgeon. Head Neck 1997:
342–6.
Zeitels SM. A universal modular glottiscope
system: the evolution of a century of design
and technique for direct laryngoscopy. Ann Otol
Rhinol Laryngol Suppl 1999;108(Suppl 179):1–24.
Zeitels SM. Atlas of Phonomicrosurgery and oth-
er Endolaryngeal Procedures for Benign and
Malignant Disease. San Diego, CA: Singular;
2001.
Zeitels SM, Davis RK, ed. Cancer of the supraglot-
tis: endoscopic laser management. In: Smee R,
Bridger P, eds. Laryngeal Cancer: Proceedings
of the 2nd World Congress on Laryngeal Can-
cer. Amsterdam: Elsevier; 1994;444–56.
Zeitels SM, Healy GB. Laryngology and phonosur-
gery. New Engl J Med 2003;349(9):882–92.
Zeitels SM, Vaughan CW. A submucosal vocal fold
infusion needle. Otolaryngol Head Neck Surg
1991;105:478–9.
Zeitels SM, Vaughan CW. Preepiglottic space inva-
sion in “early” epiglottic cancer. Ann Otol Rhinol
Laryngol 1991;100:789–92.
Zeitels SM, Jarboe J, Franco RA. Phonosurgical
reconstruction of early glottic cancer. Laryngo-
scope 2001;111:1862–5.
Zeitels SM, Hillman RE, Franco RA, et al. Voice
and treatment outcome from phonosurgical
management of early glottic cancer. Ann Otol
Rhinol Laryngol 2002;111(Suppl 190):1–20.
Zeitels SM, Burns JA, Dailey SH. Suspension lar-
yngoscopy revisited. Ann Otol Rhinol Laryngol
Suppl 2004;113(1):16–22.
Zeitels SM, Franco RA Jr, Dailey SH, et al. Office-
based treatment of glottal dysplasia and pap-
illomatosis with the 585-nm pulsed dye laser
and local anesthesia. Ann Otol Rhinol Laryngol
2004;113(4):265–76.
Zeitels SM, Akst L, Burns JA, et al. Office Based
532 nm pulsed-KTP laser treatment of glottal
papillomatosis and dysplasia. Ann Otol Rhinol
Laryngol 2006;115:679–85.
Zeitels SM, Burns JA, Akst LM, et al. Office-based
and microlaryngeal applications of a fiber-
based thulium laser. Ann Otol Rhinol Laryngol
2006;115:891–6.
Zeitels SM, et al. Carbon dioxide laser fiber for
laryngeal cancer surgery. Ann Otol Rhinol Lar-
yngol 2006;115(7):535–41.
Zeitels SM, Blitzer A, Hillman RE, et al. Foresight
in laryngology and laryngeal surgery: a 2020
vision. Ann Otol Rhinol Laryngol 2007;116
(Suppl 198):1–16.
Zeitels SM, Burns JA, Hillman RH, et al. Pho-
toangiolytic laser treatment of early glottic
cancer: a new management strategy. Ann
Otol Rhinol Laryngol Suppl 2008;117 (Suppl
199):1–24.

EDITOR’S COMMENT The inability to speak or to speak with esopha- that a transcervical approach should be reserved geal
speech is one of the more flagrant, and I use for selected cases where the individual “anatomic this
word not in an accusatory fashion, disabilities factors do not permit complete tumor exposure
As with both this chapter and the following chap- that patients ever have to suffer. Their interplay during diagnostic microlaryngoscopy.” How well
ter the surgeons and therapists who deal with and integration into society is distinctly prohib- did these people do as far as long-term survival? the
larynx and the pharynx bear a heavy burden. ited. There are some individuals who really cannot Quite well. Five-year disease-specific survival was The
patients who present certainly with laryngeal tolerate esophageal speech in somebody that they 96.5% for T1a and 94.3% for T1b cases. The differ- and
hypopharyngeal cancers are habituated to are talking with. The ability to make speech less of ence between these two categories was statisti- tobacco
and perhaps alcohol, they are not well- a difficult event and also not to be as labored will cally significant largely because of the large num- to-do, and
they are often neglected medically. enable these patients to return to society. ber of patients. Local disease control was 93.6%
They have significant comorbidities and present The theme certainly since the last edition is for T1a and 90.6% for T1b cases, but this was not with
an advanced stage of disease. The surgeon’s the continuation of otorhinolaryngology in par- significant. No significant differences were noted purpose
here is to preserve whatever one can: a ticular laryngologists who continually try and use between the different types of procedures.
voice, swallowing, nutrition, and respiration, a surgical approaches, which are less destructive in Takes et al. (Head and Neck DOI 10.1002/
large number of complex functions that take place the early stages of glottic cancer (T1s) and they hed;2010:1–15) reviewed the initial management
in a very small area. The senior author gets credit utilize the oncological results of transoral surgi- of hypopharyngeal cancer. As with many other
for some of the early and continuing transoral la- cal techniques in glottic cancers as well as in oth- papers in this particular area the subhead, the
ser therapies for carcinoma of the larynx and hy- ers intraoral and intralaryngeal diseases. Karat- declining use of open surgery, is another theme,
popharynx. The purpose of this therapy, research zanis et al. (The Laryngoscope 2009;119:1704–8) which abounds throughout this area. This group
into which continues, is to preserve as much func- reviewed 438 T1a and T1b glottic cancers man- is the International Head and Neck Scientific
tion as possible in as many different areas. aged with primary surgery. Transoral laser sur- Group and while it consists mostly of European
One of the absolutely brilliant innovations gery (TOLS) and open surgical procedures were and U.S.members the flavor is distinctly European.
that is mentioned casually as almost in pass- used to treat these cases, which include resec- Why do I say that? Because it seems to me that
ing is an almost casual mention “after a decade tion of the cord, vertical partial laryngectomy, regardless of whether one talks of Wilms tumor,
of research we have designed a promising vocal and frontolateral partial laryngectomy, and all Chapter 187, or in this particular tumor the re-
biogel and expect to commence human trials in of these were compared for disease-specific sur- liance on radiation and chemotherapy seems to
2011. This vocal biogel retains the possibility of vival and local control rates. Major complications be fixture in the European approach. However
restoring millions of voices including hundreds and tracheostomies were one of the criteria by the outcome is not terrific. “While most patients
of thousands of hoarse laryngeal cancer patients. which results were evaluated. No statistically present with significant comorbidities and ad-
It will likely even facilitate voice enhancement significant differences between laser surgery vance stage disease, the over all survival is rela-
in patients who have undergone partial or total and open procedures were obvious with regard tively poor because of high rate of regional and
laryngectomy. In the latter, mucosa vibration to disease-specific survival and local control of distal metastasis at presentation or early in the
associated with esophageal speech inphonation both T1a and T1b cases. Laser surgery, interest- course of the disease.” There is the usual appeal for
with tracheal esophageal valve speech will likely ing enough, showed a significantly lower inci- multidisciplinary management but there is a dis-
be made more effective.” dence of tracheostomies. The authors conclude tinct bias in this paper away from laryngectomy
 Chapter 29: Surgical Treatment of Pharyngeal Cancer 381

and/or partial or circumferential pharyngectomy classified as T1, had TOLS only and 23 receiving The senior author of the chapter, Professor
followed by reconstruction and postoperative more extensive therapy because of more extensive Zeitels, continues with his microlaryngoscopic
radiotherapy in most cases. The authors readily tumors. All patients were N0. They received addi- and office-based attack of glottal papillomatosis
admit that squamous cell carcinoma of the hypo- tional radiotherapy locally and to the neck. Unfor- (Annals of Otology, Rhinology & Laryngology 2009;
pharynx is less prevalent than at most major sites tunately, 7 of the 23 cases had positive margins and Suppl 201:1–24). This is again somewhat a leap
of the head and neck, such as the oral cavity. The 5 or 26% of the total group failed locoregionally. of faith in trying to minimize the destructive ef-
traditional operation of laryngopharyngectomy However, the recorded 5-year recurrence-free sur- fects of laryngeal cancer or its precursor, in this
with reconstruction of the pharynx has been the vival rate for stage I and II was 95% as compared case glottal papillomatosis. Apparently, photo-
preferred initial treatment modality for hypopha- with a stage III and IV disease at 69%, respectively. angiolytic laser treatments while they effectively
ryngeal cancer. That is pretty respectable salvage as far as I am treat this condition do not reliably treat reoccur-
Whatever therapy one uses, this is a bad dis- concerned. In summary, the oncological result rence and I assume, if they do reoccur, ultimately
ease in a very bad place. Nonsurgical treatments of TOLS appears comparable with open results they turn malignant. Therefore, the authors have
appeared to have gain popularity, at least in with an overall survival rate of between 50% and attempted to inject sublesional injections of the
Europe and treatment with radiotherapy alone, 70% for stage I and II disease and 40% or 50% with antiangiogenic agent bevacizumab (Avastin) in-
however, has a worse prognosis as compared stage II and IV disease. There is a high incidence jected sub-epithelially. This was a pilot group of
with the combined treatment of surgery and of larynx preservation in these selective cases but 10 adult patients with bilateral glottal papilloma-
radiotherapy particularly of Stage 4 disease. In most patients continue to require postoperative tosis who had undergone angiolitic laser treat-
addition, adding chemotherapy to a primary radiotherapy. Here, of course, the emphasis is on ment but recurred as one would expect. They
radiotherapy protocol apparently does result in nonsurgical management by which I assume the underwent five injections of 5 to 10 mg into the
improved outcome, which is comparable to sur- authors mean open resectional management. To diseased vocal folds along with 532-nm pulsed-
gery and postoperative radiotherapy but with the me, TOLS is surgical treatment. KTP laser photoangiolysis 4 to 6 weeks apart.
advantage of larynx preservation in a large num- Another article which begins “nonsurgical They were compared with prior treatments alone
ber of cases. (Lefebvre JL, et al. Journal of National management of oropharyngeal cancer and hy- and a voice-related quality of life survey. Accord-
Cancer Institute 1996;88:890–9). popharyngeal cancer” is brought forth by Gen- ing to the results all 10 patients had a “greater
There are a number of ways of reconstruct- evieve Andrews et al., largely from the Fox Chase than 90% reduction in recurrence.” I am not sure
ing this area with, for example, a pectoralis myo- Cancer Center (Head and Neck DOI 10.1002/ what does this mean since only 4 of the 10 had
cutaneous flap, which may be useful for lesions hed;2010:1–9). They reviewed 180 patient records resolution, 4 of the 10 had limited recurrence or
with minimal extension into the esophagus and form 1993 to 2004 and found that the number of persistent disease and received injections of Avas-
“has proved useful in severely depleted or elderly patients with oropharyngeal cancer treated nearly tin at 8- to 12-week periods and have not had la-
patients.” Similarly, gastric “pull-up” or transposi- doubled, whereas the number of patients with ser treatment. Two of the 10 required office-based
tion is utilized for patients for whom the tumor laryngeal and hypopharyngeal cancers declined KTP laser treatment along with the injections. No has
extended as far down as the middle third of (P = 0.006). Chemotherapeutic regimens delivered patient has required microlaryngeal surgery with the
esophagus. These patients apparently can concurrently rather than radiation alone appears general anesthesia and all 10 have had “substan-
present rather late indeed. Microvascular flaps to be the dominant approach with associated tial improvement in vocal function.”
have increased the surgeons’ armamentarium in improvements in recurrence-free and overall sur- This is another extension of minimally in-
range with microvascular transplants of jejunum, vival, which is statistically significant. The survival vasive transoral surgery in an attempt to make
the workhorse radial forearm free flap, or antero- of patients with oropharyngeal cancer improved treatment of this disease effective and less de-
lateral thigh flap. Nonetheless, the morbidity after markedly, whereas the survival rate of patients structive. This is indeed a noble goal because we
flap construction is considerable, as one might with laryngeal cancer did not change. The recur- have all seen, regardless of how well the patient
expect. Fistulas and wound complications were rence-free survival of nonsmokers was statistically does as far as survival, the inability to phonate
seen especially after radiation therapy in 33% different from that of former or current smokers. effectively and to communicate with one’s fellow
and 25%, respectively. Not surprisingly stricture The initial site of failure remained the primary site man is a severe limitation, which has all sorts of

The Head and Neck

rates were 26% and 15%, respectively and 16% of of oropharyngeal cancer but not laryngeal cancer. social problems associated with it. The authors
patients required permanent feeding through a In conclusion, from the Fox Chase experience it and their fellow surgeons wish to make the treat-
gastrostomy tube. appears as if the survival with oropharyngeal and ment of this disease less destructive and allow
Professor Zeitels was the first to initially em- hypopharyngeal cancers has improved over the the patients to remain more functional and re-
ploy TOLS in the resection of laryngeal cancer, but last 15 years. This was not observed with laryngeal join their normal place in society, and are to be
its use was later extended to hypopharyngeal can- cancers but it may in other institutions such as the congratulated.
cer. He reported on 45 cases in which 22, mostly one in which Dr. Zeitels works. J.E.F.

29 Surgical Treatment of Pharyngeal Cancer

Bruce H. Haughey and Parul Sinha

The complexity of anatomical and physio-
logical structure makes pharyngeal can-
cer surgery one of the most challenging
tasks for head and neck surgeons. Cancer
originating in each of the pharyngeal
subsites—nasopharynx, oropharynx, and
hypopharynx—is unique in its biology,
epidemiology, and response to treatment
and merits a site-specific discussion of
the appropriate surgical approach.
NASOPHARYNX
INTRODUCTION
Nasopharyngeal carcinomas (NPC) are rare
head and neck neoplasms characterized by
marked geographical, environmental, and
ethnic variations. The most recent report of
the International Agency of Research on
Cancer estimated the age-standardized rate
(ASR) for NPC, worldwide, to be 1.7 per
100,000 males per year. Higher rates have
been observed in South East Asia, particu-
larly Southern China, and in certain other
ethnic populations like Alaskans and Green-
land Eskimos. A genetic susceptibility con-
ferred by alterations in human leukocyte
antigen typing or chromosomal patterns
and environmental risk factors including
382 Part III: The Head and Neck
consumption of nitrosamine-rich salted
fish have been postulated to play an impor-
tant role in the etiology of NPC. Epstein–Barr
virus (EBV) infection has also been docu-
mented as a strong oncogenic precursor.
ANATOMY
The nasopharynx (Fig. 1) is approximately a 4
× 4 × 2 cm space behind the posterior aper-
tures of the nasal cavities (opposite C1 to C2)
bound superiorly by the body of sphenoid,
petrous apices, and basiocciput and inferiorly
by the upper surface of the soft palate. The
mucoperiosteum of the roof merges with the
posterior soft tissue wall. The posterior wall
consists of four layers that run across the en-
tire length of the pharynx—from inside out,
Basiocciput
Fig. 1. Posterior view depicting subdivisions of pharynx.
the mucosa, pharyngobasilar fascia, pharyn-
geal muscles, and bucco-pharyngeal fascia.
The lateral walls of the nasopharynx contain
the opening of the eustachian tubes (ET).
Posterior and medial to the mucosal eleva-
tion formed by the ET opening (torus tubar-
ius) is a deep recess, “fossa of Rosenmüller,”
considered to be the commonest site for har-
boring NPC. The tumor may spread anteriorly
from the fossa to block the ET opening. The
proximity of this fossa to skull base structures
and parapharyngeal space accounts for di-
rect spread of disease across and through the
skull base via invasion of the pharyngobasilar
fascia. The nasopharyngeal mucosa is rich in
lymphatics, with the lateral retropharyngeal
group being the first echelon of nodes (upper-
most known as node of Rouvière). The lym-
Nasopharyngeal wall
Nasal turbinate Nasopharynx
Opening of
eustachian tube
Soft palate
Uvula
Palatine tonsil Oropharynx
Base of tongue
Epiglottis
Aryepiglottic fold
Piriform sinus
Post cricoid region
Hypopharynx
Hypopharyngeal wall
Cervical esophagus
phatic disease spreads to the upper deep
jugular nodes (level II) or the spinal acces-
sory chain of nodes (level V). Lymphatics can
also cross the midline to drain in the contral-
ateral neck nodes.
CLINICAL PRESENTATION
Patients with NPC commonly present with
painless metastatic neck mass(es), otologic
symptoms such as conductive deafness, au-
ral fullness, otalgia or tinnitus, and nasal
symptoms including epistaxis or obstruc-
tion. Cranial nerve involvement can result
in diplopia (VI, III, IV), facial pain or dyses-
thesias (V), palatal and vocal cord paralysis
(IX, X), or Horner’s syndrome (sympathetic
trunk). The characteristic symptoms of lo-
cal tumor spread in NPC—conductive deaf-
ness, facial pain and palatal paralysis—are
collectively referred to as Trotter’s triad.
STAGING AND
PREOPERATIVE PLANNING
A complete head and neck evaluation in-
cluding rigid or flexible endoscopy with
careful assessment of the posterior nasal
space along with the examination of the
cranial nerves should be performed. Radio-
logical investigations including computed
tomography (CT) and magnetic resonance
imaging (MRI) are important to determine
the extent and stage (Table 1) of tumor and
also the appropriate surgical approach.
TREATMENT
The radiosensitivity of NPC and restricted
surgical access owing to the proximity of vital
structures has made nonsurgical therapy the
primary modality of treatment. The role of
surgery is limited to salvage of recurrent or
persistent cancer at the primary site without
any intracranial spread or neck dissection.
The size, location, and extent of tumor as well
as involvement of the adjacent soft tissue de-
termine the appropriate surgical approach.
SURGICAL APPROACH
Endoscopic
Small lesions without any lateral extension
may be amenable to transnasal endoscopic
excision but often, the exposure is not suf-
ficient for oncological resection.
Transpalatal
Retraction or division of the soft palate can
provide access to the nasopharynx. Wider
exposure is achieved by detaching the soft
 Chapter 29: Surgical Treatment of Pharyngeal Cancer 383

pa late from the hard palate or by incising

Table 1 American Joint Committee on Cancer TNM Staging of Pharyngeal th e palate in midline, which allows retrac-
Cancer (2010)
t
tion after elevating the mucoperiosteum
Primary Tumor (T)
over the hard palate. These approaches need
TX Primary tumor cannot be assessed
T0 No evidence of primary tumor minimal reconstruction but provide limited
Tis Carcinoma in situ exp osure. For lateral wall tumors, surgical
ro bot has been combined with transpalatal
Nasopharynx appro ach to enhance visualization and ma-
T1 Tumor confined to the nasopharynx, or extends to oropharynx and/or nasal cavity
without parapharyngeal extensiona
neuverability of the instruments.
T2 Tumor with parapharyngeal extensiona
T3 Tumor involves bony structures of skull base and/or paranasal sinuses Transcervical
T4 Tumor with intracranial extension and/or involvement of involvement of cranial An incision is made parallel to the lower
nerves, hypopharynx, orbit, or with extension to the infratemporal fossa/ border of mandible. Skin flaps are elevated
masticator space
and the mandible is retracted to expose
Oropharynx p arapharyngeal and nasopharyngeal space.
T1 Tumor 2 cm or less in greatest dimension A wider exposure is acquired through divi-
T2 Tumor more than 2 cm but not more than 4 cm in greatest dimension sion of lip and mandibular symphysis.
T3 Tumor more than 4 cm in greatest dimension or extension to lingual surface of
epiglottis
T4a Tumor invades the larynx, extrinsic muscle of tongue, medial pterygoid, hard palate,
Maxillary Swing
or mandibleb First described by Hernandez Altemir (1986),
T4b Tumor invades lateral pterygoid muscle, pterygoid plates, lateral nasopharynx, or this approach provides a wide exposure for
skull base or encases carotid artery resection of nasopharyngeal tumor. A cheek
Hypopharynx flap is elevated to expose the anterior wall of
T1 Tumor limited to one subsite of hypopharynx and/or 2 cm or less in greatest dimension maxilla. The osteotomy cuts are made below
T2 Tumor invades more than one subsite of hypopharynx or an adjacent site, or measures tht e roof of orbit, across the zygomatic arch,
more than 2 cm but not more than 4 cm in greatest dimension without fixation of m edial wall of maxilla below the middle tur-
hemilarynx
binat e, and hard palate in the midline. The
T3 Tumor more than 4 cm in greatest dimension or with fixation of hemilarynx or
extension to esophagus
pt erygoid plates are removed from the max-
T4a Tumor invades thyroid/cricoid cartilage, hyoid bone, thyroid gland, or central iillary tuberosity and after detaching all bony
compartment soft tissuec c onnections the whole maxilla is dropped
T4b Tumor invades prevertebral fascia, encases carotid artery, or involves mediastinal iinferior
ly with the attached cheek flap for
structures preserving vascular supply. The entire osteo-
Regional Lymph Nodes (N) cutaneous complex is swung laterally to ex-
NX Regional lymph nodes cannot be assessed pose the nasopharynx for complete extirpa-
N0 No regional lymph node metastasis ttion
of tumor (Fig. 2).

The Head and Neck

Nasopharynx
N1 Unilateral metastasis in lymph node(s), 6 cm or less in greatest dimension, above the La teral
supraclavicular fossa, and/or unilateral or bilateral, retropharyngeal lymph nodes,
6 cm or less, in greatest dimensiond
F isch’s lateral infratemporal fossa approach
N2 Bilateral metastasis in lymph node(s), 6 cm or less in greatest dimension, above the can be used to remove tumors in the lateral
supraclavicular fossad nas opharyngeal region. The procedure in-
N3 Metastasis in a lymph node(s)d >6 cm and/or extension to supraclavicular fossa c ludes a radical mastoidectomy, delinea-
N3a Greater than 6 cm in dimension tion and mobilization of the facial nerve
N3b Extension to the supraclavicular fossa and internal carotid artery, and division
Oropharynx and Hypopharynx and displacement of zygomatic arch and
N1 Metastasis in a single ipsilateral lymph node, 3 cm or less in greatest dimension th e mandibular condyle with the muscular
N2a Metastasis in a single ipsilateral lymph node more than 3 cm but not more than 6 cm in at tachments to expose the infratemporal
greatest dimension ffossa. The mandibular branch of trigeminal
N2b Metastasis in multiple ipsilateral lymph nodes, none more than 6 cm in greatest nerve is divided and the bone at the middle
dimension cranial skull base is removed to access the
N2c Metastasis in bilateral or contralateral lymph nodes, none more than 6 cm in greatest nas opharyngeal space.
dimension
N3 Metastasis in a lymph node more than 6 cm in greatest dimension
Distant Metastasis (M)
COMPLICATIONS
M0 No distant metastasis Palatal fistula may occur in transpalatal ap-
M1 Distant metastasis aches, especially in irradiated patients.
pro
a
Parapharyngeal extension denotes posterolateral infiltration of tumor.
Maxillary swing approach can lead to ectro-
b
Mucosal extension to lingual surface of epiglottis from primary tumors of the base of the tongue and vallecula pion , trismus, and/or malocclusion. The lat-
does not constitute invasion of larynx. eral approach is associated with significant
c
Central compartment soft tissue includes prelaryngeal strap muscles and subcutaneous fat. ffunctional morbidity including hearing loss
d
Midline nodes are considered ipsilateral nodes. and damage to cranial nerves V and VII.
384 Part III: The Head and Neck

A B

Fig. 2. Maxillary swing approach: (A) elevation of left cheek flap, (B) lateral swing of left maxilla with attached skin flap to
expose nasopharynx.

OROPHARYNX
INTRODUCTION
Cancer of the oropharynx constitutes about
10% to 12% of all head and neck cancers and
annually accounts for about 10,000 cases in
the United States. The growing recognition
of a disparate shift in its epidemiology, par-
ticularly in the Western world, has made
oropharyngeal malignancy an intriguing
clinical entity amongst all head and neck
sites. The numbers of newly diagnosed
oropharyngeal squamous cell carcinomas
(OPSCC), mainly tonsillar and tongue base,
are reported to be increasing in certain pop-
ulations at an approximate rate of 4% and
2% each year, respectively. The rise is attrib-
uted to a strong etiological association with
oncogenic human papillomavirus (HPV)
exposures. HPV-related OPSCC classically
presents at younger ages and in persons
with none or minimal tobacco exposure.
The mode of HPV transmission is yet to be
fully elucidated but high-risk sexual behav-
iors like orogenital contact and multiple
lifetime partners are likely contributors.
ANATOMY AND SURGICAL
PATHOLOGY
The oropharynx is anatomically subdivided
into (a) base of tongue, (b) tonsils and faucial
pillars, (c) soft palate, and (d) pharyngeal
wall (Fig. 1). Anteriorly, the oropharynx is
demarcated by circumvallate papillae, junc-
tion of hard and soft palate, and the anterior
faucial pillars. The bucco-pharyngeal fascia
in the posterior pharyngeal wall (PPW) acts
as a natural barrier to prevent the posterior
extension of carcinoma. Lateral pharyngeal
wall, palatine tonsils, and the faucial pillars
delineate the lateral limits of the orophar-
ynx. Inferiorly the oropharynx extends to the
vallecula and includes the glossopharyngeal
and pharyngoepiglottic folds. Absence of
anatomic barriers between the subsites al-
lows oropharyngeal tumors to spread locally
in contiguity without restriction. Tumor ex-
tending through the lateral wall can involve
the parapharyngeal space, including the
pterygoid muscles and the carotid sheath
structures. Waldeyer’s ring, a circumferen-
tial, mucosa-associated lymphoid tissue
ring in oropharynx comprising the lingual
tonsils, palatine tonsils, and inferior part of
adenoids, may give rise to primary tumors
that metastasize at an early stage and often
present as unknown primaries. A rich lym-
phatic network is responsible for the high
probability of cervical metastasis from the
oropharyngeal tumors. The primary echelon
of drainage is the jugulodigastric nodes in
the upper jugular chain (level II) and the ret-
ropharyngeal and parapharyngeal nodes.
Lymphatic spread may advance from level II
to middle jugular (level III) and lower jugu-
lar nodes (level IV). The medial base of
tongue and other midline structures often
drain bilaterally.
CLINICAL PRESENTATION
Oropharyngeal cancer tends to present at
an advanced stage. Patients often present
with a mass in the neck detected by direct
observation or with symptoms of fullness in
the primary site such as sore throat, otalgia,
dysphagia, or trismus by which time the tu-
mor has usually progressed to a significant
size (Fig. 3). A frequent presentation of
OPSCC, particularly submucosal tongue

A B

Fig. 3. (A) Exophytic tumor of left tongue base, (B) endophytic tumor of right tonsil.

base tumors, is in the form of an unknown
primary, in which patients present with en-
larged metastatic neck nodes but no clini-
cally detectable or symptomatic primary
tumor. OPSCC is also associated with a high
incidence of distant metastases and syn-
chronous primaries at the time of presenta-
tion.
STAGING AND
PREOPERATIVE PLANNING
A complete workup to assess the site and
stage of primary tumor and presence of cer-
vical lymphadenopathy is indicated. This
includes history, physical examination, and
a thorough head and neck evaluation in-
cluding mirror examination, palpation, and
office flexible fiberoptic laryngoscopy for
direct visualization. Radiological evaluation
with a CT/MRI is performed to determine
the extent of primary with greater accuracy
as well as to assess the retropharyngeal me-
tastasis. The cervical lymphadenopathy can
be reliably assessed by Gray scale ultra-
sonography, supplemented by ultrasound-
guided fine needle aspiration, if indicated.
The latter is particularly useful in decision
making for or against treating the contral-
ateral neck. Chest radiography, CT, or posi-
tron emission tomography (PET) is used
to evaluate distant metastasis or second
primary tumors.
A systematic rigid pharyngolaryngos-
copy examination under anesthesia (EUA)
of the upper aerodigestive tract (UADT)
along with photo documentation should be
performed to assess the primary tumor, de-
tect synchronous primaries, obtain biopsies,
and decide the ideal surgical approach—
transoral or open. This procedure forms a
significant component of tumor staging,
treatment, and reconstruction planning.
For patients with unknown primaries, a
common mode of presentation for OPSCC,
we employ transoral laser microsurgery
(TLM) with traditional EUA, wherein the
Fig. 4. Minimally invasive TLM approach for oropharynx.
Chapter 29: Surgical Treatment of Pharyngeal Cancer
potential sites of occult primaries or other
suspicious mucosal lesions are biopsied, fol-
lowed by frozen section and finally by pala-
tine and lingual tonsillectomies if no pri-
mary site is identified. The tumor is staged
according to the American Joint Commis-
sion Cancer staging system based on all in-
formation gleaned from clinical, radiologi-
cal, and endoscopic evaluations (Table 1).
An evaluation of the patient’s dentition and
necessary restorative dental procedures are
also recommended prior to initiation of
treatment.
TREATMENT
Definitive surgery with adjuvant radiother-
apy has been the cornerstone of curative
treatment for OPSCC. Issues of organ pres-
ervation and functional morbidity subse-
quent to conventional open en bloc surgery
have instigated advocation of nonsurgical
management of OPSCC with chemoradio-
therapy (CRT), a modality associated with
modest survival outcomes and a higher
acute and long-term toxicity profile. Rapid
advances in technology have shifted the
paradigm of surgical management of
OPSCC toward minimally invasive endo-
scopic transoral approaches (Fig. 4). These
approaches allow primary tumor-targeted
treatment, minimal blood loss, rapid wound
healing, avoidance of tracheostomy except
for extensive oropharyngeal resections with
flap reconstruction, better functional pres-
ervation, shorter hospital stay, faster reha-
bilitation, and also facilitation of a less
morbid, pathologically stratified, risk-based
adjuvant therapy. Biofactors like presence
of HPV or its surrogate marker, p16, are re-
ported to confer a favorable prognosis in
surgically managed OPSCC. Other indepen-
dently prognostic variables in such reports
of advanced OPSCC were T stage, margins,
and use of adjuvant radiotherapy. These
findings bear strong implications for ther-
apy of OPSCC in future. The decision for the
385
optimal therapeutic modality is often taken
by a multidisciplinary team based on tu-
mor site and stage, patient preference, co-
morbidity, performance status, and avail-
able technical expertise.
SURGICAL APPROACH
Transoral Laser Microsurgery
Transoral carbon dioxide (CO2) laser mi-
crosurgery can be used for resection of
both early and advanced stage tumor at all
oropharyngeal subsites depending on the
individual’s surgical skills and training.
The basic requirements for TLM include a
competent surgical training, knowledge
of pharyngeal and neck anatomy “from
the inside out,” good anatomic access,
and strict enforcement of laser-specific
precautions in the operating room. The
core principles of TLM for oropharynx
cancer, as first enunciated by Steiner, are
summarized below:
1. Utilization of microscope for adequate
illumination, magnification of the oper-
ative field, and clear distinction between
healthy and tumor tissue.
2. Expeditious coring of large bulky tumors
(with cautery or laser) to leave a thin rim
of tumor.
3. Multiple transtumoral cuts to assess the
deepest extent.
4. Mutibloc resection with meticulous
inking and labeling for orientation.
The Head and Neck
5. Securing clear margins with frozen sec-
tion analyses; a 1- to 1.5-cm margin of
normal tissue beyond the invading front
of the tumor is recommended.
An optimum visualization of the operative
site is paramount for TLM and is achieved
with various modified mouth gags, for ex-
ample, Dingman or Feyh–Kastenbauer, and
laryngoscopes, such as Steiner or Klein-
sasser, which may need repositioning dur-
ing the procedure to obtain a satisfactory
exposure; as exposure diminishes, the sur-
geon progresses from the expanding scopes
to the smaller fixed-bore laryngoscopes.
Transoral resection of OPSCC is performed
with laser via either microendoscopy or a
hand-held device, following the above-
mentioned principles. Surgical techniques
specific to an oropharynx subsite are de-
scribed below. The contraindications to
TLM include inadequate endoscopic ac-
cess and tumor extent that may result in
incomplete resection, for example, lateral
extension through the infratemporal fossa
with invasion of the great vessels. An in-
adequate access is rare for oropharynx
cancers but if encountered transoral ap-
proach can be combined with transhyoid or
386 Part III: The Head and Neck

rior and inferior extent of the tumor should

be adequately exposed to secure clear mar-
gins. The tumors in this subsite and in the
tonsil or soft palate may extend superiorly
into the nasopharynx and their resection
may result in varying degrees of velopha-
ryngeal incompetence or nasopharyngeal
stenosis, which can be prevented by ade-
quate reconstruction.

Hemostasis
It is important to achieve meticulous he-
mostasis at the completion of all proce-
dures for oropharyngeal tumors, particu-
larly tonsillar and tongue base lesions,
Fig. 5. Limited partial pharyngectomy for tonsil primary—TLM approach. because of proximity or transection of large

named branches of the external carotid

artery. If the lingual, facial arteries or their
lateral pharyngotomy, using the same inci- Base of Tongue major branches are involved in the resec-
sion as neck dissection. The requirement of tion, the named vessel of origin is clipped in
free flap reconstruction is not a contraindi- The significant intramuscular, submucosal the neck during the neck dissection, obviat-
cation to the TLM approach and we have extension of tongue base tumors requires a ing secondary hemorrhage, which can be
developed techniques to accomplish sutur- careful histological analysis for margin nega- catastrophic.
ing in free flaps through the mouth, with tivity in all dimensions of the resected tumor
segment. Achieving negative margins may re-
the vascular pedicle exiting to the neck
quire complete internal skeletonization of
Transoral Robotic Surgery
through a small pharyngotomy.
hyoid bone and exposure/excision of pre- Transoral surgery with robotic assistance
epiglottic fat. Thelingual artery or its branches (da Vinci S surgical system) is an emerging
Tonsil need to be clipped if they are exposed, heat- approach that has been found to be feasible
Small (<10 mm), well-circumscribed, and injured, or transected during the dissection. for adequate small oropharyngeal tumor
truly superficial tonsillar lesions can be Just lateral to this, from the inside out, is the removal, with minimal disruption of func-
resected en bloc by performing a tonsillec- hypoglossal nerve, which may be exposed or tion and structure (Fig. 6). Unlike TLM, tu-
tomy. Larger tonsillar tumors require occasionally removed. When the tumor ex- mor is usually removed en bloc in transoral
partial lateral pharyngectomy (Fig. 5). They tends in an anterior direction, the lateral pos- robotic surgery (TORS) with a cuff of nor-
are transected at multiple levels and a dis- terior floor of mouth needs to be accessed, mal tissue. The setup time, expense, access
section plane is developed deep to the pha- which is usually accomplished with fixed- difficulty for rigid robotic arms, and com-
ryngeal constrictors into the parapharyn- bore laryngoscopes. Here the lingual nerve patibility issues of TORS with the routine
geal space and out to the medial pterygoid and submandibular gland may be exposed. operating requirements such as neck dis-
and/or styloglossus muscle more inferiorly. section currently confine its niche to select
treatment centers and smaller, less deeply
The tonsillar bed is excised thoroughly by Posterior Oropharyngeal Wall invasive primaries. However, if there are
continuing the dissection in the parapha-
ryngeal space from superior to inferior. The Tumors of the PPW can be completely re- technology improvements, robot use may
superior loop of the facial artery is fre- sected with the TLM approach. The supe- become more widespread.
quently transected here and requires clip-
ping, also often exposing the lingual nerve
and the posterior submandibular gland.
The resection is extended to the base of the
tongue as required and connected with a
cut down the posterolateral pharyngeal
wall, thus excising the posterior tonsillar
pillar and completing the partial pharyn-
gectomy. The lingual branch of the
glossopharyngeal nerve may need to be
sacrificed while working around the infe-
rior pole of the tonsil. In very deep tumors
of the tonsillar fossa or lateral oropharyn-
geal wall, it is helpful to perform neck dis-
section prior to transoral resection since
the internal carotid artery can be delin-
eated and cottonoids inserted in the space
between the artery and the pharyngeal wall
for protection. Fig. 6. TORS approach for oropharynx.

OPEN PROCEDURES
Transhyoid Pharyngotomy
Small base of tongue tumors can be ac-
cessed through a transverse incision made
at the level of hyoid. The suprahyoid mus-
cles are divided from the hyoid bone and
the oropharynx can be entered through in-
cision of the vallecular mucosa. Care should
be taken to avoid injury to the superior la-
ryngeal nerve, the hypoglossal nerve, and
the lingual artery.
Lateral Pharyngotomy
A temporary tracheostomy is usually rec-
ommended in patients undergoing lateral
pharyngotomy to prevent the potential air-
way obstruction secondary to postoperative
pharyngeal edema. The skin incision is
made at the level of the superior border of
the thyroid cartilage extending from the
midline to the posterior border of sterno-
cleidomastoid. The suprahyoid muscles are
detached from the hyoid above its lateral
end, the mucosa is divided, and the pharynx
is entered through the vallecula. A pharyn-
gocutaneous fistula may develop as a com-
plication in cases with significant mucosal
resection, warranting a careful pharyngeal
closure with inverting mucosal sutures.
Mandibular Swing
Advanced oropharyngeal tumors in pa-
tients with factors limiting transoral sur-
gery may require an en bloc resection
through the transmandibular approach
(Fig. 7). A tracheostomy is performed prior
to these procedures. A stepped skin incision
is usually performed through the midline of
the lip (full thickness) down to the mentum,
and is continued into the neck dissection
incision below the mandible. Inside the oral
Fig. 7. Mandibular swing access following en bloc resection of advanced oropharynx cancer.
Chapter 29: Surgical Treatment of Pharyngeal Cancer
cavity, it is extended laterally in the gingi-
vobuccal sulcus, leaving a cuff of approxi-
mately 5-mm mucosa for closure at the
completion of procedure. As an alternative
to the lip-splitting incision, a visor flap can
be raised with a horizontal incision in the
submandibular skin crease carried across
to the angle of the mandible on either side.
The soft tissues and periosteum are incised
and elevated from the bone in the region of
the mandibular split. At the site of intended
osteotomy, fixation plates are placed and
screw holes are drilled and sized to facili-
tate accurate alignment of bone during re-
construction. A stepped midline or para-
median mandibulotomy is performed using
an electric saw, anterior to the mental fora-
men and through the middle of a tooth
socket or between teeth. The floor of mouth
mucosa, mylohyoid muscle, and other soft
tissues are divided, preserving the lingual
nerve medially, and the mandible is re-
tracted laterally to expose the oropharyn-
geal tumor. Proper stabilization of the man-
dibular segments and a close approximation
of mucosa and soft tissue at the end of pro-
cedure are imperative to minimize compli-
cations with healing.
Oropharyngeal Reconstruction
The oropharynx subserves the fundamental
functions of swallowing, speech, and respi-
ration and any reconstruction technique
for oropharyngeal defects should be in ut-
most consonance with the physiological
mechanisms underlying these functions.
The size and site of defect as well as various
patient-, surgeon-, and hospital-related fac-
tors are considered to determine the appro-
priate form of reconstruction.
Tongue Base
Tongue base reconstruction is particularly
challenging as it is critical to deglutition
387
and prevention of aspiration. Free fasciocu-
taneous have become the standard tech-
nique of reconstruction for tongue base
defects, with radial free forearm flap (RFFF)
being the most commonly used followed by
anterolateral thigh (ALT) flap. For RFFF, ad-
equacy of radioulnar collaterals should be
ascertained preoperatively with Allen’s test.
Free musculocutaneous flaps like inner-
vated latissimus dorsi can provide adequate
reconstruction for total glossectomy defect.
Regional myocutaneous flaps are used for
patients who are poor candidates for free
tissue transfer.
Soft Palate
Large, full-thickness soft palate defects (50%
or more) result in velopharyngeal incompe-
tence, in turn resulting in nasal regurgita-
tion and unintelligible speech. The aim of
palatal reconstruction is to fabricate a func-
tional velum and minimize unwanted com-
munication between the nasopharynx and
the oropharynx. Local flaps like uvulopala-
tal rotation flap, superior or inferior pharyn-
geal flap, and palatal island flap can provide
adequate reconstruction for limited lateral
palatal defects but for through and through
defects, RFFF is the technique of choice.
Tonsil and Pharyngeal Wall
Tonsillar and pharyngeal wall defects of
less than 4 cm can be left to heal by second-
ary intention. Split skin grafting may be
The Head and Neck
used for superficial pharyngeal defects. For
larger defects with significant palatal in-
volvement, we prefer use of a folded RFFF.
Management of the Neck
A selective or modified radical neck dissec-
tion is performed in patients with clinically
positive necks. The ipsilateral clinically N0
neck should be addressed electively due to
a high incidence of occult nodal metastases
in oropharynx. Tumors of tongue base and
tonsil approaching or extending across the
midline present a rationale for contralat-
eral elective neck dissection due to a greater
risk of occult contralateral metastases.
Postoperative Care
A vigilant monitoring of vital signs, flap via-
bility, nutritional status, and wound care is
performed. A nasogastric tube is inserted for
feeding in the immediate postoperative pe-
riod. Swallowing recovers faster in patients
undergoing TLM; however, a gastrostomy
tube may be required in patients with exten-
sive resection, slower recovery of swallowing
or in those planned for adjuvant therapy.
Prophylactic antibiotics and mouthwashes
388 Part III: The Head and Neck
are administered to maintain oral hygiene
and prevent infections subsequent to sali-
vary pooling or food retention in tongue
base or vallecular wound defects.
Complications
Injury to blood vessels and cranial nerves V,
VII, IX to XII; trismus; wound breakdown;
dysphagia; and dysarthria may occur with
the open approach. Mandibular nonunion
can result due to incomplete stabilization
of the mandibulotomy site. The complica-
tions rates are significantly reduced with
TLM and skilled reconstruction techniques.
Pain, bleeding, aspiration, dysphagia, or
velopharyngeal insufficiency may occur fol-
lowing TLM resection, with a varying inci-
dence for different oropharyngeal subsites.
HYPOPHARYNX
INTRODUCTION
Hypopharyngeal squamous cell carcinoma
accounts for about 4% of all tumors in head
and neck, with about 2,850 cases diagnosed
each year in the United States, according to
the most recent estimates of the American
Cancer Society. It has been considered to
portend a poor prognosis mostly due to the
advanced stage of disease at presentation.
The incidence varies depending on the geo-
graphical location, with an ASR of more than
10 per 100,000 males in certain regions of
France, India, the Slovak Republic, and Croa-
tia. The variation in incidence is less pro-
nounced in females, and has been observed
mainly for postcricoid tumors. Heavy alco-
hol and tobacco consumption are the two
well-established risk factors. A dietary factor
in the form of iron deficiency has been impli-
cated in causation of postcricoid carcinoma
in females with Plummer–Vinson syndrome,
mainly in Scandinavian regions like Sweden.
ANATOMY AND SURGICAL
PATHOLOGY
The hypopharynx extends from the level of
hyoid to the lower border of the cricoid carti-
lage (opposite C3 to C6 vertebrae) and is sub-
divided into three regions—the pyriform si-
nus (PFS), the postcricoid area, and the PPW
(Fig. 1). The PFS lies on either side of the lar-
ynx and extends from the pharyngoepiglot-
tic fold superiorly down to the upper end of
esophagus. It is bound by the thyroid carti-
lage laterally and the aryepiglottic fold and
arytenoids medially. The postcricoid area ex-
tends from the level of arytenoids to the infe-
rior border of cricoid. The PPW extends from
the plane of floor of vallecula to the inferior
border of cricoid. The lateral and medial wall
of the PFS is continuous with the PPW and
postcricoid area, respectively. The PFS is
richly supplied by lymphatics that drain into
the lower deep jugular chain (level IV); the
inferior part along with the postcricoid area
can also drain into paratracheal chain (level
VI) nodes. The lymphatics from the PPW
drain into the deep cervical lymph nodes bi-
laterally through the lateral pharyngeal or
retropharyngeal nodes.
Extension of hypopharyngeal tumors
beyond their subsite of origin is critical for
surgical planning. PFS tumors tend to
spread medially around on to the postcri-
coid area and invade the posterior cri-
coarytenoid muscle. Laterally they extend
around or invade the posterior border of
the thyroid cartilage, to reach the neck and
carotid sheath area. Postcricoid tumors
tend to spread inferiorly and submucosally
toward the esophagus, and likewise poste-
rior wall tumors. The latter may also invade
posteriorly outside the bucco-pharyngeal
fascia into the prevertebral space.
CLINICAL PRESENTATION
The chief presenting symptoms of patients
with hypopharyngeal cancer include dys-
phagia, referred otalgia, neck mass, and sen-
sation of lump in throat. Approximately two-
thirds of patients have nodal metastases at
presentation and most patients complain of
weight loss consequent to impairment of
swallowing. Other symptoms of hoarseness,
aspiration, and hemoptysis may occur de-
pending on the extension of the tumor.
STAGING AND
PREOPERATIVE PLANNING
A complete head and neck examination with
office fiberoptic laryngoscopy should be per-
formed to evaluate the primary tumor and
mobility of vocal cords and arytenoids. CT/
MRI is required for assessment of tumor
stage (Table 1) and extent in hypopharyngeal
cancers, particularly inferior, extralaryngeal,
and cartilage involvement. Ultrasound ex-
amination of neck is the preferred method
for evaluating nodal metastases. Hypopha-
ryngeal tumors are associated with high
rates of distant metastasis ranging from 10%
to 27% and need adequate investigation with
chest X-ray, PET, and relevant laboratory
tests. A direct endoscopic examination of the
pharynx, larynx, and upper esophagus under
general anesthesia is important for accurate
evaluation of the tumor spread, for detection
of synchronous primaries, and for obtaining
both diagnostic and mapping biopsies. A
careful endoscopic evaluation also serves to
determine access for transoral approaches,
criteria for partial operations versus total
laryngopharyngectomies, and type of recon-
struction of the pharyngeal defect following
tumor resection. In patients possibly requir-
ing a flap reconstruction, the adequacy of
potential donor sites should be ascertained.
Routine blood tests along with a preopera-
tive baseline level for calcium and thyroid
function is performed. The pulmonary func-
tion status should be assessed during preop-
erative planning of a conservation surgery
since patients with inadequate pulmonary
reserve are at a greater risk of aspiration.
TREATMENT
A combined therapy comprising surgical re-
section followed by adjuvant radiotherapy is
the standard treatment for all stages of hy-
popharyngeal cancers as recommended by
the United States National Cancer Institute.
Conventionally, open neck procedures have
been used to resect hypopharyngeal cancers
but in recent years, as an organ preserving
minimally invasive strategy, the application
of transoral approaches is increasing for
specific subsites. TLM is an established
technique for early and selected advanced
tumors whereas transoral robotic hypopha-
ryngectomy is at this stage an evolving ap-
proach, currently being evaluated for T1/T2
PFS and PPW tumors.
SURGICAL APPROACH
Transoral Laser Microsurgery
Early stage hypopharyngeal tumors with
minimal or no extension to the apex of the
PFS or cricoid cartilage invasion can be ad-
equately resected through transoral ap-
proach using CO2 laser microsurgery as first
described by Steiner (Fig. 8). The indica-
tions have expanded to include advanced
PFS tumors in the hands of experienced
surgeons depending on the extension of tu-
mor, with some resections being possible
down to the esophageal inlet. In compari-
son with open surgery, the TLM approach
leads to avoidance of extensive reconstruc-
tion due to minimal resection of healthy tis-
sues and also a diminished need of trache-
otomy or dependency on feeding tubes.
The surgical principles for TLM of hypo-
pharyngeal tumors are similar to those for
resection of oropharyngeal cancer. The PFS
tumors are transected to estimate the depth
of tumor and resections are “multibloc,” un-
til healthy tissue is identified and a negative
margin achieved. For PFS tumors, resection
is commenced laterally, from proximal to
distal, and followed around the anterior

Fig. 8. Tumor in left PFS.
extent toward the medial side. A margin of
at least 5 mm for superficial small tumors
and 5 to 10 mm for larger infiltrating tumors
is recommended. If there is no frank inva-
sion of the aryepiglottic fold, a relatively
narrower margin can be kept for medial wall
PFS tumors to avoid resection of arytenoids
by carefully removing the mucosa alone in
order to prevent impairment of swallowing.
This precautionary technique also preserves
the lateral cricoarytenoid muscle and the
terminal recurrent laryngeal nerve.
Tumors confined to the postcricoid area
and the posterior hypopharyngeal wall can
also be excised by TLM, the former lesions
being most suitable if they are superficial.
Posterior wall lesions usually afford excel-
lent access and are often ideal candidates for
transoral approaches. Extension beyond the
prevertebral fascia into the muscles and an-
terior spinal ligament are not limitations for
TLM but may lead to complications like ver-
tebral osteomyelitis or abscess formation.
OPEN PROCEDURES
Partial Pharyngectomy
Tumors of PPW that do not extend below
the arytenoids inferiorly or into the PFS lat-
erally can be excised through a lateral phar-
yngotomy. Smaller tumors in the lower part
of PPW without any extension to postcricoid
area can be adequately resected through a
transhyoid partial pharyngectomy. The pha-
ryngeal defects can be left to heal by second-
ary intention or a split-thickness skin graft
can be used.
Partial Laryngopharyngectomy
Partial laryngopharyngectomy is appropri-
ate for PFS or PPW tumors, which can be
Chapter 29: Surgical Treatment of Pharyngeal Cancer
excised adequately without compromising
laryngeal or pharyngeal function. The tu-
mor should not have any involvement of
apex of PFS, base of tongue, postcricoid mu-
cosa, or thyroid cartilage. The ipsilateral vo-
cal cord and arytenoid should be fully mo-
bile and there should not be any transglottic
laryngeal involvement. Inadequate pulmo-
nary function is a contraindication to this
procedure.
A transverse incision is made at the level
of the thyrohyoid membrane. Skin flaps are
elevated and strap muscles are divided for ex-
posure of hyoid and thyroid cartilage. The su-
prahyoid muscles are separated from hyoid,
and the pharynx is entered through the con-
tralateral vallecula. The upper part of the thy-
roid cartilage is cut inferiorly and laterally
with an oblique cut from the midline. Under
direct view, tumor in the hypopharynx is re-
sected, ensuring an adequate mucosal mar-
gin along with resection of the ipsilateral half
of the supraglottic larynx by incising through
the ventricle. A cricopharyngeal myotomy is
performed and the larynx is resurfaced by su-
turing the cut edges of hypopharyngeal mu-
cosa to the edges of false cords. The base of
tongue is impacted into the larynx by placing
sutures between the muscles and the thyroid
perichondrium to close the pharyngeal di-
rectly without tension. The cut ends of strap
muscles are sutured to provide an additional
layer of closure. For larger defects a small free
fasciocutaneous flap provides faster healing
and better functional recovery.
Total Laryngectomy with
Partial Pharyngectomy
This procedure is indicated for PFS tumors
that extend to involve the apex of PFS infe-
riorly, larynx medially, thyroid or cricoid
389
cartilage laterally, or postcricoid mucosa
posteriorly. A preliminary tracheostomy
under local anesthesia is preferred at the
onset. A long curvilinear incision is made
from mastoid to mastoid and skin flaps are
elevated superiorly and inferiorly in the
subplatysmal plane, exposing the sterno-
cleidomastoid and strap muscles. The in-
vesting layer of deep fascia is incised
longitudinally along the medial border of
sternocleidomastoid on either sides and
the muscle is retracted laterally to identify
the carotid sheath. The omohyoid tendon
is divided, and the carotid artery is re-
tracted laterally along with the internal
jugular vein. The middle and inferior thy-
roid vein are divided and the paracarotid
tunnel is dissected down to the clavicle to
allow adequate laryngeal mobilization on
both sides. The strap muscles are divided
inferiorly above the sternum and are ele-
vated to skeletonize the larynx and expose
the thyroid gland. The superior and infe-
rior thyroid pedicles are divided on the
side on which ipsilateral thyroid lobectomy
is to be performed. The contralateral thy-
roid lobe is dissected away from the larynx
and caution is exercised to preserve the in-
ferior thyroid artery on the side. The supe-
rior laryngeal pedicle is divided on each
side carefully, preserving the hypoglossal
nerve and the lingual artery. The su-
prahyoid muscles are separated from the
hyoid and the inferior constrictors are di-
vided from the posterolateral aspect of the
thyroid lamina. The PFS mucosa is sepa-
The Head and Neck
rated from the undersurface of the thyroid
lamina. The tracheal wall is skeletonized
and neck dissection is completed, ensur-
ing removal of paratracheal, level IV, and
VI nodes. The trachea is divided with an
upward bevel about two rings inferior to
the previously placed tracheostoma, fol-
lowing which the larynx is separated from
below upward with a sharp dissection of
the tracheoesophageal party wall. Intuba-
tion is continued through the newly cre-
ated stoma.
The pharynx is entered through the
contralateral vallecula by placing a Deaver
retractor in the vallecula and making an
incision at the site of its protrusion in the
neck. The epiglottis is grasped through the
pharyngotomy and pulled anteriorly. Lat-
eral to the epiglottis, the pharyngeal mu-
cosa is first resected on the less involved
side, preserving maximal normal mucosa
and progressing inferiorly toward the pos-
terior part of the arytenoid. The pharyngeal
wall on the side of the tumor is resected,
ensuring adequate margins. The pharyn-
geal cuts are joined posteriorly inferior to
the cricoarytenoid joint and the specimen
390 Part III: The Head and Neck
is removed, followed by frozen section
analysis of the pharyngeal margins.
For primary voice restoration, a trache-
oesophageal puncture (TEP) is made be-
tween the upper esophagus and the tra-
cheostome and a soft Silastic feeding tube is
advanced through the tracheoesophageal
party wall into the esophageal lumen. A pri-
mary closure in a T-shaped configuration is
performed for a pharyngeal defect of less
than one-third of the circumference (suffi-
cient mucosa to wrap around a 36 French
dilator). Interrupted sutures between the
tongue base and the pharyngeal wall form
the horizontal segment of T and the vertical
segment comprises interrupted/running
extra mucosal inverting sutures between
the edges of pharyngeal mucosae. Approxi-
mation of the strap muscles reinforces the
pharyngeal repair. A tight pharyngeal clo-
sure may result in dysphagia and fistula for-
mation and should always be avoided. For
resections with greater pharyngeal defect,
“patch” flap augmentation should be con-
sidered with either a pedicled myocutane-
ous or a microvascular-free fasciocutaneous
flap, for example, the anterolateral thigh.
Total Laryngopharyngectomy/Total
Laryngopharyngoesophagectomy
A total laryngopharyngectomy is indicated
for circumferential postcricoid tumors, PFS
tumors with posterior extension across
midline, and advanced PPW cancer extend-
ing inferiorly below the arytenoids. The cer-
Fig. 9. Specimen depicting total laryngopharyngectomy.
vical esophagus may require resection in
continuity. The initial steps are similar to
total laryngectomy with partial pharyngec-
tomy except that the PFS mucosa is not
separated free from the thyroid lamina and
the larynx and pharynx are mobilized to-
gether. Caution should be exercised to
check for posterior extension into the pre-
vertebral fascia. These patients may require
microvascular reconstruction; thus suit-
able arteries and veins should be preserved
during the neck dissection. The pharynx is
entered through the contralateral vallecula
or a lateral pharyngotomy if the tumor has
significant superior extension into orophar-
ynx. Ensuring adequate margins, the pha-
ryngeal cuts are made horizontally around
the posterior wall to release the laryngo-
pharyngeal unit followed by division of the
trachea (Fig. 9).
Resection of cervical esophagus is indi-
cated if hypopharyngeal tumors extend into
the esophagus and complete oncological
clearance cannot be achieved with resec-
tion of hypopharynx alone (Fig. 10). This re- Fig. 10. Specimen depicting total laryngopharyn-
quires careful blunt dissection of esophagus goesophagectomy.
to prevent injury of the posterior tracheal
wall and absolute hemostasis of esophageal
blood supply. Extensive esophagectomy will swallowing. Any treatment-related anatomi-
necessitate a gastric pull-up repair unless cal and physiological disruption leads to
the upper esophageal stump is accessible varying severity of swallowing dysfunction
for anastomosis to a tubed free flap. and aspiration, emphasizing the importance
of a competent reconstruction within any
Hypopharyngeal Reconstruction surgical procedure for pharyngeal cancers.
The hypopharynx represents a major func- A variety of techniques have been described
tional conduit related to respiration and for reconstruction of circumferential pha-
ryngeal defects resulting from total larynge-
ctomy with pharyngectomy. Free jejunal
graft had been a popular option historically
but the association with donor site morbid-
ity and poorer functional outcomes in terms
of dysphagia due to persistent muscular
contractility and an unsatisfactory tracheoje-
junal voice shifted the focus over use of mi-
crovascular fasciocutaneous flaps (Fig. 11).
The preferred option in our practice is a
tubed radial forearm free flap. As compared
with a pedicled pectoralis major myocuta-
neous flap, which is difficult to tube due to
the muscle bulk, and enteric grafts with
greater morbidity, use of a thinner, pliable
tubed RFFF provides better functional re-
construction with minimal donor site prob-
lems. In patients unfit for RFFF, an ALT flap
may be used if permitted by the patient’s
body habitus (Fig. 12). Free jejunal autografts
are an option if none of the above techniques
are feasible. Patients with total esophagec-
tomy require a gastric pull-up procedure,
which entails mobilization and thoracic
transposition of stomach into the neck to re-
store continuity of the alimentary tract. The
key surgical issues, herein, are a tensionless
 Chapter 29: Surgical Treatment of Pharyngeal Cancer 391

anastomosis at the junction between the

oropharynx and stomach and an adequate
pyloromyotomy for efficient gastric drain-
age in order to prevent postoperative regur-
gitation of food.

Management of Neck
A high incidence of occult metastases (30%
to 40%) in hypopharyngeal cancer warrants
addressing the N0 necks with selective neck
dissection (level II, III, and IV). In clinically
positive necks, a functional neck dissection
clearing levels II, III, IV, and VI should be part
of the neck management for PFS and postcri-
coid tumors, with inclusion of retropharyn-
geal nodes in the PPW. A contralateral selective
neck dissection is recommended for circum-
ferential tumors and tumors extending to or
across the midline.

Postoperative Care
Patients are kept on negative pressure
Fig. 11. Hypopharyngeal reconstruction with a fasciocutaneous flap. Inset shows a tubed flap with an drains with perioperative antibiotics. Naso-
attached skin paddle that may be used for resurfacing any deficient neck skin along with pharyngeal gastric alimentation is continued for 7 to
reconstruction.

The Head and Neck

A

Fig. 12. Hypopharyngeal reconstruction with an ALT flap: (A) surgical defect
after total laryngopharyngectomy, (B) fabrication of a tubed ALT flap with
C vascular pedicle, (C) reconstructed hypopharynx after microvascular anas-
tomosis.
392 Part III: The Head and Neck
10 days in primary and 12 to 14 days in ir-
radiated patients. Adequate fluid balance,
nutritional intake, and wound and tracheo-
stomy tube care are taken care of. Patients
with flap reconstruction should undergo a
vigilant monitoring of the flap viability
along with care of the donor site. Calcium
and thyroid levels should be assessed.
Complications
The early complications include hemor-
rhage, postoperative wound infection/de-
hiscence, pharyngocutaneous fistula, and
complications related to neck dissection
and flap necrosis if performed. Gastric
pull-up procedures are associated with sig-
nificant pulmonary complications. Late
complications include stomal stenosis and
dysphagia, structural due to stricture for-
mation at the inferior end of pharyngeal
reconstruction or functional due to recon-
struction-related dysmotility.
Rehabilitation
Swallowing and voice rehabilitation are
major components of management in pa-
tients undergoing surgery for hypopharyn-
geal cancer. A primary TEP is the most
commonly used technique for voice resto-
ration. In patients undergoing total laryn-
gopharyngectomy, we create the TEP in the
inlet of the esophageal stump through to
EDITOR’S COMMENT
The surgical treatment of pharyngeal cancer has
in the past been a very disfiguring exercise and
the functional results have been not too great, to
put it mildly. Over the past decade, global leader-
ship of individuals such as Professor Haughey and
Professor Zeitels, among others, the field has be-
come much more conservative as far as function
and appearance and wishes to restore reasonable
function as well as cosmesis. To be sure, the iden-
tification of the role of Epstein barr virus was an
exciting chapter in nasopharyngeal cancer, and
has probably resulted in the decrease in neces-
sity for large procedures. But large procedures are
required, and over the past five or ten years there
have been efforts on the part of otolaryngologists
and head and neck surgeons to reduce the amount
of cosmetic disfigurement and to improve func-
tion. We will deal with that in this commentary.
To begin with, not long into the chapter, in the
beginning of the section on the oropharynx, there
is a procedure known as the maxillary swing in
which one reproduces—as best as one can—the
function of the oropharynx. It is a traditional tour
de force when radiotherapy, which is the stan-
dard of oropharyngeal treatment of cancer, is too
disfiguring and the cosmesis needs to be restored
after recurrence of radiotherapy.
the infrastomal trachea, prior to anastomo-
sing the lower end of the flap to the esopha-
gus. This eliminates any leakage around the
prosthesis and leads to better voice out-
comes. Other methods of voice rehabilita-
tion include electromechanical devices and
esophageal speech.
SUGGESTED READINGS
Denis F, Garaud P, Bardet E, et al. Final results of
the 94-01 French Head and Neck Oncology and
Radiotherapy Group randomized trial compar-
ing radiotherapy alone with concomitant ra-
diochemotherapy in advanced stage orophar-
ynx carcinoma. J Clin Oncol 2004;22:69–76.
Fischer CA, Zlobec I, Green E, et al. Is the im-
proved prognosis of p16 positive oropharyngeal
squamous cell carcinoma dependent of the treat-
ment modality? Int J Cancer 2010;126:1256–62.
Flint PW, Haughey BH, Lund VJ, et al., eds. Cum-
mings otolaryngology head and neck surgery, Vol.
2. 5th ed. Philadelphia, PA: Mosby Elsevier; 2010.
Haughey BH. Tongue reconstruction: concepts
and practice. Laryngoscope 1993;103:1132–41.
Haughey BH, Colin WB. Pharyngoesophageal re-
construction. In: Gates GA, ed. Current therapy
in otolaryngology—head and neck surgery, 6th
ed. St. Louis, PA: Mosby Publishing; 1998:285–8.
Haughey BH, Forsen JW. Free jejunal graft: effects
of longitudinal myotomy. Ann Otol Rhinol Lar-
yngol 1992;101:333–8.
Haughey BH, Fredrickson JM, Sessions DG, et al.
Vibratory segment function after free flap re-
construction of the pharyngoesophagus. Lar-
yngoscope 1995;105:487–90.
Another major issue is the unknown primary
with level II upper jugular chain of nodes. This
may be in the medial base of the tongue, it also
may be in the submucosal tongue base, which
takes the form of an unknown primary.
Also commented on in the chapter is the in-
ternal carotid artery. I remember when I was a
young surgeon on the staff at the Mass General,
I was called into the operating room by the head
of oral and maxillofacial surgery because there
was a massive bleed from the back of the pharynx
where there was a cut into what I believe to be
the external or the internal carotid artery. With
a torrential hemorrhage, I could get control, but
I could not repair it at that time with the instru-
mentation that we had, so what I did was ligate it
without seemingly any central nervous system or
other deficiency.
The literature of this field has not been very
significant as far as its scientific basis, but has
in the past 15 years undergone tremendous im-
provement with a very robust attempt in various
journals to give the reader an excellent opportu-
nity to review the management of hypopharyn-
geal and other forms of cancer. In particular, the
clinical reviews with various editors in Head and
Neck, published online, in this case in 2010, Takes,
RP, et al., “Current Trends in Initial Management
of Hypopharyngeal Cancer: the Declining Use of
Open Surgery”. This, in addition to the text book
Haughey BH, Taylor SM, Fuller D. Fasciocutane-
ous flap reconstruction of the tongue and floor
of mouth: outcomes and techniques. Arch Oto-
laryngol Head Neck Surg 2002;128:1388–95.
Haughey BH, Hinni LM, Salassa JR, et al. Transoral
laser microsurgery as primary treatment of
advanced stage oropharynx cancer: a United
States Multicenter Study. Head Neck 2011; doi:
10.1002/hed.21669. [Epub ahead of print].
Licitra L, Perrone F, Bossi P, et al. High-risk human
papillomavirus affects prognosis in patients
with surgically treated oropharyngeal squamous
cell carcinoma. J Clin Oncol 2006;24:5630–6.
Martin A, Jäckel MC, Christiansen H, et al. Or-
gan preserving transoral laser microsurgery
for cancer of the hypopharynx. Laryngoscope
2008;118:398–402.
Moore EJ, Olsen KD, Kasperbauer JL. Transoral
robotic surgery for oropharyngeal squamous
cell carcinoma: a prospective study of feasi-
bility and functional outcomes. Laryngoscope
2009;119:2156–64.
Rich JT, Milov S, Lewis JS Jr, et al. Transoral laser
microsurgery (TLM) ± adjuvant therapy for
advanced stage oropharyngeal cancer: out-
comes and prognostic factors. Laryngoscope
2009;119:1709–19.
Steiner W, Ambrosch P. Endoscopic laser surgery
of the upper aerodigestive tract: with special
emphasis on cancer surgery. New York: Thieme
Medical Publishers; 2001.
Sturgis EM, Cinciripini PM. Trends in head and neck
cancer incidence in relation to smoking preva-
lence: an emerging epidemic of human papil-
lomavirus-associated cancers? Cancer 2007;
110:1429–35.
Wei WI. Cancer of the nasopharynx: functional
surgical salvage. World J Surg 2003;27:844–8.
chapter written by Professor Haughey and Dr.
Sinha, gave an excellent review of the current
status of squamous cell carcinoma of the hypo-
pharynx, which is less prevalent, than most other
major sites such as the oral cavity. Tumors arising
in the hypopharynx have their own characteris-
tics and considerations. As the authors say in this
very nice review, a high proportion of patients are
heavy drinkers of alcohol, and have additional
significant comorbidities, in which I might add
tobacco use, snuff use, etc. Approximately 70 to
85 percent of these patients report and present
themselves in stage III or IV of the disease, and
the overall five year survival compared with other
areas is only 15 to 45 percent. The traditional
treatment is impaired by approximately 60 to 80
percent at the time of presentation, the patients
have apparent tumor involvement of the regional
lymph nodes and even contralateral occult nodal
metastases are present in nearly 40 percent of
cases. Distant metastases occur in, to a greater
extent, between 10 and 30 percent. The treatment
choices have traditionally been laryngopharynge-
ctomy with reconstruction of the pharynx, which
has been the preferred initial treatment modality
for hypopharyngeal cancers. But because of the
morbidity of surgical therapy, radiation therapy
alone was reported to decrease the morbidity
of surgery and it is gaining in popularity. How-
ever, as this review points out, treatment with

radiotherapy alone is reported to have a worse
prognosis compared with surgery and chemo-
therapy, particularly in stage IV disease, as re-
ferred to by Pingree, TF, et al., Laryngoscope, 1987,
97:901–904, Sewnaik, A, et al., Clinical Otorhino-
laryngology, 2005, 30:52–57, and Buckley, JG and
MacLennan, K, Head and Neck, 2000, 22:380–385.
The authors of this review state that “unlike ad-
vanced laryngeal cancers, the question of organ
preservation in hypopharyngeal cancer has not
been thoroughly evaluated, precluding firm con-
clusions as to which is the optimal treatment.”
They then go on to say that primary surgery with
postoperative radiation therapy seems to give the
best oncologic outcome for hypopharyngeal can-
cer. However, the role of initial surgery seems to
have fallen a little bit in favor of nonsurgical treat-
ment regimens of radiotherapy combined with
platinum-based chemotherapy. Surgery is still an
option in early stage disease and later on, the au-
thors of this very nice paper make a point of say-
ing that the side effects of radical radiotherapy as
primary therapy is much worse functionally than
well carried out surgery and reconstruction.
Total laryngopharyngectomy has been re-
served for lesions that involve more than two
thirds of the circumference of the hypopharynx,
and these have been treated with total laryn-
gectomy and circumferential pharyngectomy
including varying amounts of the cervical or
even thoracic esophagus, followed by radia-
tion therapy. Remarkably, the five year disease
specific survival has been 40 to 50 percent, and
postoperative chemo radiation therapy rather
than radiation alone is said to result in further
tumor control. The resulting surgical pharyngeal
defects require a very talented team, such as in
the authors’ chapter, and the deltopectoral flap,
not heretofore pictured, was the only reconstruc-
tive approach until the myocutaneous flap, which
gives a better cosmetic outcome. Endoscopic la-
ser microsurgery, endoscopic robotic surgery,
lateral pharyngectomy, and hemilaryngopharyn-
gectomy are additional advances, which are less
destructive. However, they cannot be utilized in
the 75 or 80 percent of the people that present
with stage III or stage IV. The open procedures, T1
may be utilized into T1 or T2, with either induc-
tion chemotherapy followed by surgery or surgery
followed by chemotherapy.
Additional conservative and restoration pro-
cedures were introduced by Zeitels, the author
of another chapter on the larynx in this volume,
who introduced transoral minimally invasive pro-
cedures for supraglottic and hypopharyngeal can-
cer with a report of 45 cases, of which 22, mostly
classified T1, had TOLS (transoral laser surgery)
and 23 with more extensive tumors. All were N0,
and they received additional radiotherapy locally
and to the neck. Seven of the 23 cases had positive
margins, and five of these failed locoregionally.
The hypopharynx unfortunately is not opti-
mally accessible with even the minimally invasive
technique or a more recently transoral robotic
surgery. Other series contain, according to the
authors, “very small numbers of hypopharyngeal
cancer cases and mention the ary-epiglottic fold
or posterior wall as primary tumor sites suitable
for this approach.” There is a wealth of informa-
tion concerning the appropriate chemotherapeu-
tic agent in this paper.
Chapter 29: Surgical Treatment of Pharyngeal Cancer
They do take some time to talk about the tox-
icity of chemo radiation protocols and the quality
of life, which leaves something to be desired. The
toxic effects, both early and late (xerostomia, skin
toxicity, cervical fibrosis and lymphedema, oto-
toxicity, significant swallowing dysfunction) is a
common finding after intensive chemo radiother-
apy. In patients with head and neck squamous
cell carcinoma, the rate of symptomatic stric-
tures is estimated to be about 20 percent, and a
hypopharyngeal primary site as a significant pre-
dictive factor.
Another situation, which comes to mind and
which is emphasized throughout the literature is
salvage surgery. As the authors say, although the
focus in this article is on initial treatment, salvage
surgery is part of the planned treatment by non
surgical approaches. “High rates of patient sur-
vival in larynx preservation trials are achieved
because of effective salvage surgery for locore-
gional recurrences.” This type of approach is in its
early period, and in the era where planned neck
dissections were the rule. Later it was realized
that not all patients needed neck dissection, but
a number did. Five year local and regional control
rates for salvage pharyngectomy have been re-
ported in 71 and 70 percent of cases, respectively,
although there are many other less favorable re-
sults. In addition, the rate of complications from
surgery after chemo radiation has increased up to
75 percent rate of fistulas. Clearly, this is an area,
while important, needs to be carefully evaluated.
The authors conclude that total laryngopharyn-
gectomy is declining and that other approaches,
such as partial laryngopharyngectomy as an
open procedure or even performed endoscopi-
cally have offered the opportunity of preserving
function of the larynx in selected cases. However,
the authors assume that only selective cases will
be reasonable.
In another paper, a different approach to
larynx-preserving function is the partial pha-
ryngectomy via lateral pharyngotomy, again, in
the treatment of small (T1, T2) hypopharyngeal
squamous cell carcinoma. This report from the
Yonsei University College of Medicine in Seoul by
Lim, YC, et al., Clinical and Experimental Otorhi-
nolaryngology, 2011, 4:44–48, emphasizes a group
of 23 patients who underwent laryngeal partial
pharyngectomy as a primary treatment for T1 and
T2 hypopharyngeal squamous cell carcinoma.
Fourteen patients had adjuvant postoperative ra-
diotherapy, making 61 percent. The results were
pretty reasonable with a two year and five year
disease specific survival rate of 77 percent and
61 percent, respectively. Unfortunately, nine pa-
tients (39 percent) had tumor recurrence, and the
most common pattern of recurrence was isolated
distal failure, which occurred in four patients, fol-
lowed by local loco-regional recurrence. However,
the ultimate cure rate of the primary tumor with
aggressive follow-up is 87 percent, with 22 of the
23 patients could be decannulated, tolerated an
oral diet, and “had acceptable postoperative pho-
natory function”, whatever that means. They em-
phasize that this is only possible in patients that
are selected for small hypopharyngeal squamous
cell tumors.
What if the laryngeal lesion is large enough
to require for laryngectomy, what then? Maclean,
J, et al., Head and Neck Surgery, 2011, 144:21–28,
393
report on the impact of laryngectomy and surgi-
cal closure technique on swallowing biomechan-
ics and dysphagia. The incidence of self-reported
dysphagia following laryngectomy is high, and
the surgical closure technique is not known on
biomechanics and dysphagia severity. By a so-
phisticated mechanism of measuring mid-pha-
ryngeal pressures, the authors found that mid-
pharyngeal pressures were significantly reduced
in pharyngectomy patients and hypopharyngeal
intrabolus pressures were significantly higher
in patients when compared to controls. The pa-
tients who had undergone mucosa-and-muscle
pharyngeal reconstruction had higher peak and
mid-pharyngeal pressures compared to those
who had mucosa-alone closure. The authors con-
cluded that following laryngectomy surgery, the
propulsive contractile forces are impaired, and
there is increased resistance, especially to bolus
flow across the distal pharyngoesophageal seg-
ment. They intend to continue this work and try
and discern what kind of technique is required
for bolus propulsion.
Of course the transoral utilization of the ro-
botics has made its importance in this field. The
impact of patient reported quality-of-life and
function has been measured by Leonhardt, FD,
et al., Head and Neck, published online, 2011. In
this study, another quality-of-life study, this time
in response to transoral robotic surgery (TROS).
Patients were followed up with a short-form
(SF-8) and Performance Status Scale (PSS), six
and twelve months of follow-up as compared
with pre-surgical testing. For PSS Eating and Diet
domains, significant decreases occurred at six
months, which was statistically significant, but
not at twelve months. Speech was impaired at six
and twelve months, but there were no significant
declines in the SF-8 domains, except for bodily
pain and global health. The authors concluded
that combination TROS and adjuvant therapy
caused a temporary decrease in several domains
The Head and Neck
at six months, perhaps at twelve months, and
returned to baseline, including swallowing func-
tion in all patients at longer intervals.
Finally, transoral laser microsurgery is ap-
plied to one of the mysteries of head and neck
surgery, and that is the unknown primary of head
and neck (Karni, RJ, et al., Laryngoscope, 2011,
121:1194–1201). In this study, the 30 patients
presenting with occult primary met the study
criteria. They collected data and the treatment
approach, the detection rate, and the primary
site. The occult primary was identified in 20 of 30
patients, and the majority of these (95 percent)
had a primary in the oropharynx (19 out of 20).
Transoral laser microsurgery was used to resect
16 of the 20 occult primaries. There was a 42 per-
cent recurrence rate in the traditional exam un-
der anesthesia (EUA) group. Disease free interval
was 100 percent for the TLM—or transoral laser
microsurgery—under examination under anes-
thesia, and there was no recurrence in this group.
The recurrence rate in the traditional EUA was 44
percent. The authors conclude that transoral la-
ser microsurgery of occult primaries allowed high
detection rates of the primary tumor and was as-
sociated with a high level of DFS. The combina-
tion of EUA and TLM is an effective way of dealing
with this difficult group of patients.
J.E.F.
394 Part III: The Head and Neck
30 Malignant Melanoma and Squamous Cell
Carcinoma of the Skin
Hiram C. Polk Jr. and Motaz Qadan
An often overlooked part of mastery is ele-
gant and specific simplification, which ap-
plies directly to most forms of skin cancer.
Dramatic improvements in the early diagno-
sis of malignant melanoma have clearly oc-
curred in the last 30 years. Within that, over-
all improvement has been a remarkable
increase in genuinely early diagnosis, yield-
ing more in situ and other very favorable
forms of early invasive melanoma. The ac-
tual data regarding these changes are some-
what complex, since the majority of melano-
mas are diagnosed in the offices of
dermatology specialists and family practi-
tioners. Much treatment is accomplished
either in the dermatologists’ office or in am-
bulatory surgery centers and not reported
through traditional hospital-based tumor
registries. The remarkable change for the
better by improving early diagnosis, how-
ever, has been offset, to some degree, by a
rising incidence of the disease related to in-
creased exposure to the sun, especially as a
larger portion of the North American popu-
lation have moved to the Sunbelt. The
broader use of tanning beds, which is largely
unregulated, is another factor which un-
doubtedly contributes to this rise.
Information about squamous cell cancer
is much less specific. Again, basic lesions
are usually diagnosed in doctors’ offices. In
recent decades, the traditional victim, a
family farmer who has suffered sun expo-
sure, has been altered politically and demo-
graphically to include nearly anyone. The
same sun exposure that predisposes toward
melanoma appears to promote the likeli-
hood of development of squamous cell
cancer, especially in the head and neck
regions.
PATHOGENESIS
Some melanomas arise as changes in existing
ordinary moles, while others appear to arise
de novo. Risk factors for development of ma-
lignant melanoma are fairly well described.
Particularly at risk are fair-complected peo-
ple, often with blond or red hair, and who
typically reside between the Tropic of Cap-
ricorn and the Tropic of Cancer, which pre-
disposes them to heightened sun exposure
and ultraviolet irradiation. A good example
of the prototype high-risk population would
be individuals of Celtic heritage who emi-
grated to Australia over 100 years ago.
Another factor is the number of moles that
exist in an individual patient, which may or
may not be complicated by a history of sun-
burns. The tendency to have multiple small
dark moles is frequently inherited. As such,
parents of melanoma patients should be
readily inspected, not only to determine
what the pattern of their moles may be but
also to look for new primary melanomas in
an often-unsuspecting population.
Sun exposure, particularly of the blistering
type, during the period of teenage hormone
bursts is especially important. Although the
method by which data were collected is ques-
tionable, the reference to two or more blister-
ing sunburns during teenage years as a caus-
ative factor has found its way into the literature
and is probably accurate.
In the same sense, it is commonly said
that large birthmarks are innocent, includ-
ing bathing trunk nevi. This assertion is
clearly untrue. A high proportion of these in-
dividuals acquire invasive melanoma at mul-
tiple sites within the large nevus at a later
stage. When they begin to develop in such
long-standing large pigmented lesions, mel-
anomas are virtually impossible to detect
even in the most attentive patients, family
members, and specialist–physicians.
Again, periods of maximum risk coincide
with hormonal aberration, particularly the
teenage years and pregnancy. Pregnancy, in
and of itself, has been debated as predispos-
ing to the development, or the overt clinical
spread, of existing melanoma. The authors’
opinion is that pregnancy is an adverse risk
factor for melanoma, and the senior author
has cared for at least five women who subse-
quently produced soon-to-be orphans, ow-
ing to progression of their melanoma during
their pregnancies. The elaboration of mel-
anocyte-stimulating hormone (MSH) re-
sponsible for darkening of the nipple areolar
complex in pregnant women is believed to
be a factor, although this remains largely un-
proven. This risk factor requires some very
careful thought by the treating physician,
particularly related to the tendency of
women at present to have their first preg-
nancies at a later age, which naturally dimin-
ishes the opportunity to have subsequent
children. Our own recommendation is that a
woman who has, or had, a melanoma thicker
than 1.5 mm, and/or is ulcerated or nodular,
should not become pregnant during the first
5 years after such diagnosis. These alterna-
tive factors of thickness, ulceration, and con-
formation supervene to indicate that preg-
nancy avoidance or termination becomes
clinically more significant. Here lies a major
test of a patient’s trust in her melanoma sur-
geon. Few obstetricians are aware of this un-
usual risk. Whether or not pregnancy itself
predisposes to melanoma is less clear. How-
ever, oral contraception is well known not to
predispose to melanoma.
Overt immunosuppression, either as the
result of cancer chemotherapy or as agents
used to suppress host responses to solid or-
gan or bone marrow transplants, also pre-
disposes to new or recurrent melanoma.
Obviously, physicians and patients do not
undertake transplant immunosuppression
lightly. However, in patients with previously
diagnosed and treated melanoma, in-
creased surveillance is warranted. Also, it
appears that de novo melanomas can de-
velop more readily in this scenario. The im-
munosuppressed patient warrants special
attention, with at least annual examina-
tions for a variety of skin cancers that in-
clude either new or recurrent melanoma
and squamous cell cancer.
The dysplastic nevus syndrome is a rela-
tively rare phenomenon that generally con-
sists of >100 moles, and, frequently, as
many as a 1,000 on a fair-complected per-
son. Here, the dominant pattern is a relent-
less conversion of these moles to invasive
melanoma, again apparently accentuated
by the waxing and waning of hormones
during teenage years or early adulthood.
The optimum surgical management of these
patients is unclear, although the senior au-
thor has never been able to clear the num-
ber of lesions as rapidly as multiple primary
melanoma appear to progress during the
course of this illness once the first mela-
noma is detected.
CLINICAL
PRESENTATION
AND DIAGNOSIS
Diagnosis of melanoma has been simplified
through the brilliant and imaginative work
of the Queensland Melanoma Project, led by
the late Professor Neville Davis. “A-B-C-D” is
a simple mnemonic that can be applied by

A
B
C
D one at the same time promotes an earlier bi-
Fig. 1. On the left are abnormal malignant melanomas with benign moles for comparison on the right
side. Moving from top to bottom shows asymmetry (A) within the malignant mole, irregular borders
(B), different colors (C) within the melanoma (black, brown, and tan), and a diameter (D) >6 mm,
which is indeed suspicious. (From the National Cancer Institute.)
virtually any physician or nurse practitioner
to distinguish moles that possess malignant
characteristics. Figure 1 demonstrates the
different stages.
■ Asymmetry, where one half looks dis-
similar to the other half.
■ Irregular borders are notched margins
seen to occur in some relatively large
moles.
■ Uneven coloration is characteristic of
melanoma, with parts of the lesion often
being light tan to brown to black.
■ Finally, diameters >6 mm are more
prone to be associated with melanoma
and are therefore suspicious.
As simple as this concept is, it is the back-
bone of early diagnosis by doctors, nurses,
and other healthcare professionals in highly
developed countries. It can readily be applied
to self-diagnosis through the distribution of
simple patient education material. It should
be part of the diagnosis for every melanoma,
both in patients and their blood relatives.
Chapter 30: Malignant Melanoma and Squamous Cell Carcinoma of the Skin
There are two other variants of mela-
noma that remain difficult to diagnose. The
first is the amelanotic melanoma, which is
difficult to differentiate among a variety of
exotic dermatologic lesions, squamous cell
cancer, and local fungal infections. A high
degree of suspicion may be a trite phrase,
but it is virtually the only guide for any non-
pigmented ulcerated skin lesion. The other
variant with this special difficulty in diagno-
sis is the subungual melanoma that occurs
commonly on the feet. Inevitably, all patients
have a history of having struck their toenails;
many thoughtful physicians will have made
a diagnosis of subungual hematoma. The na-
ture of the subungual melanoma, however, is
indicated by its tendency to push the nail, to
elevate the nail, to bleed, and to be painful.
Any question about the presence of a subun-
gual melanoma needs to be followed by
deroofing of the lesion and an adequate inci-
sional biopsy or curettage of the specimen.
The patient’s signs or symptoms in these
circumstances are enormously helpful to a
395
physician who suspects melanoma. Lesions
tend to itch, bleed, and change in size or
color. Any of these is significant, particu-
larly when combined with the observational
“A-B-C-D” algorithm.
Squamous cell cancers continue to be
enigmas for most nondermatologists. In
fact, any elevated lesion or nonhealing ulcer
on the skin of a patient, particularly in a pa-
tient older than 50 years, and with sunburn,
either presently or by history, warrants an
excisional biopsy. In most cases, the biopsy
can be a local excision with 1 to 2 mm mar-
gins, with simple repair of the wound.
BIOPSY CONFIRMATION
This important step has been described ex-
haustively, particularly for melanoma. In fact,
as we have encouraged practitioners at all
levels to do at the slightest provocation, “bi-
opsy any symptomatic skin lesion!” Any form
of tissue diagnosis is acceptable. Actually, we
have often said that the only form of biopsy
that is absolutely contraindicated is cauter-
ization; smoke under the microscope seldom
looks like melanoma. As a result, this must
be avoided at all costs. In fact, any piece of a
melanoma that helps make the diagnosis is
helpful. By accepting imperfect diagnoses,
opsy on the part of practitioners, who, either
by training or geographic location, do not
have access to broader surgical skills. A shave
biopsy, in our opinion, is absolutely accept-
able. The preferred biopsy, however, unless
The Head and Neck
the lesion is very large, is a local excision with
1 to 2 mm margins, which will effectively deal
with the occasional benign pigmented seb-
orrheic keratosis, and, at the same time, pro-
vide an accurate depth of melanoma and cell
type, if it is present. In other words, this
should extend just into the full thickness end
of the subcutaneous fat (Fig. 2). In part, be-
cause of the progressively earlier diagnosis of
melanocytic lesions, errors of omission have
begun to occur. It is sobering to recognize
that nearly 2% of melanomas are not called
such. To some degree, the clinician can over-
ride such a potential effect by simply re-
excising (1 to 2 mm margins) any suspicious
or ambiguous lesions locally, and subse-
quently asking for a second, or even third,
pathologic opinion. The minimal increase in
scar or scarring is more than offset by im-
proved accuracy of pathologic diagnosis.
If the lesion is large, or located on the
face, one may opt to excise a simple 1 to
2 mm pie-shaped wedge from the edge of
the lesion, choosing whichever edge by pal-
pation is the more highly elevated. In fact,
any ulcerated and/or elevated nonhealing
skin lesion is at risk of being a malignant
396 Part III: The Head and Neck
Fig. 2. The preferred biopsy is a local excision with 1 to 2 mm margins, which will effectively deal with the
occasional benign pigmented seborrheic keratosis, and, at the same time, provide an accurate depth of mela-
noma and cell type, if it is present. This should extend just into the full thickness end of the subcutaneous fat.
melanoma, squamous cell carcinoma, or
basal cell carcinoma, and it is properly
treated with a 1 to 2 mm margin of excision.
Depending on the location, once again, it is
closed using simple suture with reconstruc-
tive methods used only where necessary.
MELANOMA THICKNESS
The initial observations by Clark and associ-
ates suggested that the depth of invasion of
melanoma down to the skin and even into
the subcutaneous tissues was important
prognostically. This observation was given
much sharper focus by the work of Breslow,
who simply quantified the depth of inva-
sion, not by the various layers of the skin but
by the depth of maximum melanoma inva-
sion in millimeters. This latter figure is regu-
larly interpreted accurately and has nearly a
one-to-one relationship with prognosis.
Prognostically, it is well known that mela-
nomas <0.75 mm thick approach 99% cure
rates with long-term survival. The senior au-
thor has only seen 2 of >1,000 such cases
metastasize without explanation, even upon
reexamination of the original specimen.
As the extent of tumor invasion progres-
sively deepens, sentinel lymph node assess-
ment becomes necessary. The margin of ex-
cision increases as do both the depth of
excision and the need for continuous close
observation. One of the hallmark character-
istics of malignant melanoma, as a disease
with which to deal, is its readily documented
propensity for invasion with justification
for additional adjunctive therapy.
TREATMENT OF THE
PRIMARY LESION AND
SURGICAL TECHNIQUE
The treatment of malignant melanoma fo-
cuses upon adequate local excision. In fact,
this is true for most forms of cancer, but is
especially important here. To some degree,
this has been fairly well defined as needing
1 cm of peripheral margin around the pig-
mented lesion for every invasion of 1 mm
depth , unless the lesion is large, located on
the face, or very thick, when common sense
permits modification of that dictum. Pro-
ceeding via an elliptical incision in the line
of skin creases allows for a generous wide
local excision of the primary tumor and
simple expansion of the resected margins
as required. The elliptical wound permits
simple wound closure, with or without
flaps, and cosmetic defects are kept to a
minimum when the wound is closed in line
with skin creases. Skin grafts are seldom re-
quired now, unless lesions are in function-
ally important areas such as the hand, the
ankle, and around the elbow.
In general, a melanoma as great as 1 mm
thick or greater that occurs in the subun-
gual position needs to be treated by digit
amputation.
LYMPH NODE CONSIDERATIONS
Our own first work in the assessment of
regional lymph nodes was simplistic in the
extreme, but it turned out to be remarkably
accurate. Clinical palpation of lymph nodes
in the hands of surgeons who care for can-
cer patients is a process that is accurate to
approximately 80%. However, that is not
sufficient. The practice of sentinel lymph
node biopsy (SLNB) has arisen for melano-
mas >1 mm thick, and has been shown by
our unit and others to be of increasing value
toward the overall care of the patient. The
importance of detection and careful assess-
ment of lymph node involvement is high-
lighted in Fig. 3. The number of lymph nodes
involved correlates with overall survival,
which decreases as the number of involved
nodes increases.
Any patient who has a palpable lymph
node in the immediate regional distribu-
tion in which the melanoma has developed
needs to be considered for a lymph node
biopsy and/or often a formal node dissec-
tion (based on palpation of the nodes) at
the time when the primary lesion would be
excised. There is no excuse for any more
limited operation on lymph nodes, which
represent metastases in malignant mela-
noma, less than a full standard radical
lymphadenectomy in the relevant body
part. This applies particularly to the neck,
in which a sternocleidomastoid muscle can
be preserved, to the groin in which the
deeper iliac nodes should generally not be
excised, and to the axilla. Surgeons must
recall that lymph node dissection should
be completed to fascial plane margins as
described by Spratt et al. More than one-
fourth of such patients are salvaged by a
delayed complete regional lymph node
dissection only.
Initially, SLNB was applied to melano-
mas with ambiguous drainage with respect
to the dorsal and ventral surfaces of the
body and/or the waistline. These sites have
ambiguous lymph node drainage. Occa-
sionally, more than one lymph node basin
will contain sentinel nodes in the same pa-
tient. This technique and many of its ramifi-
cations were developed by Morton in Cali-
fornia and subsequently perfected in our
region by Edwards and McMasters. Its im-
portance is evident in Table 1. Technical is-
sues have been discussed repeatedly. It is
important to realize how valuable the SLNB
can be in the overall care of the melanoma
patient. Obviously, melanomas <1 mm
thick very rarely have node involvement,
and patients should not be subjected to this
extraordinarily expensive procedure. In pa-
tients with melanomas thicker than 1 mm
(including those between 1 and 2 mm), pa-
tients should probably have SLNB, unless
there is a compelling reason to the contrary.
In fact, the break point for indicated SLNB,
based on our clinical studies, is approxi-
mately 1.2 mm thick. At that point, the
 Chapter 30: Malignant Melanoma and Squamous Cell Carcinoma of the Skin 397

Although seldom emphasized, the great-

est benefit of SLNB is the one that does not
yield microscopic positive melanoma but
permits the psychological benefit gained
in a patient who can avoid a high degree
of anxiety, unnecessary testing, unhelpful
medical oncologic consultation, and the
considerable side effects and expense of
biochemotherapy. An individual with a
3-mm-thick melanoma that has been ade-
quately excised and treated and then has
negative lymph nodes simply needs to see
her or his surgeon on a regular basis and be
examined for local recurrence, not only at
the site but also in the regional draining
lymph nodes. Palpation of the groin, axilla,
and supraclavicular spaces in the head and
neck is easily done and affords a high de-
gree of accuracy. Depending on the thick-
ness of the melanoma, this examination
needs to be done relatively frequently in the
Fig. 3. Overall survival curves of 1,528 patients with >1, 2, 3, or 4 positive lymph nodes. As number of
early years following excision, and progres-
lymph nodes involved in the disease process increases, overall survival progressively and significantly
decreases. Note that the horizontal axis is 15 years. (From Balch CM, Soong SJ, Gershenwald JE, et al. sively less frequently across a follow-up pe-
Prognostic factors analysis of 17,600 melanoma patients: validation of the American Joint Committee on riod that should last for at least 5 years and
Cancer melanoma staging system. J Clin Oncol 2001;19(16):3622–34, with permission.) in many cases, 10 years. Such examination

(annually thereafter) must include an ex-

procedure yields sufficient lymph node pos-
itivity to be posited worth its substantial
cost.
It is interesting that literature on the ex-
pense of the procedure and imaging is rela-
tively sparse, despite the substantial costs.
Therefore, it is very important that it be ap-
plied primarily to melanoma patients who
sulfur radioisotopes, exceeds 95%, with a
capacity to detect micrometastases when
combined with microscopic pathologic ex-
amination (Fig. 4). It is never perfect; how-
ever, the alert clinician should always be
aware that the procedure is not infallible.
For example, it is infinitely less helpful with
head and neck melanomas, in which the
amination of all skin aspects. Have the pa-
tient, wearing minimal underclothes, stand
and be inspected from head to toes, paying
close attention to the soles of the feet and
the backs of the thighs, which are spots fre-
quently missed by most patients. A second
primary melanoma occurs in about 8% of
patients who have been successfully treated
for a first primary lesion. This is especially
important because these people with an

The Head and Neck

have lesions with unfavorable histological primary lesion, which must be injected with early diagnosis favorable to disease have a
characteristics sufficient to justify the SLNB radioisotope, and the pertinent nodes are high likelihood that other areas will also de-
procedure. in very close proximity. This is in contrast to velop disease, as these areas will also have
In general, the accuracy of the SLNB, us- a melanoma on the foot, which drains to been similarly sunburned, similarly blis-
ing isosulfan blue dye and technetium-99m the groin in virtual uniformity. tered, and at similar times. Nearly one-third
of patients who develop a second invasive
melanoma will have a third melanoma, and
the rate of metachronous primaries contin-
Table 1 Prognostic Factors Relative to Disease-Specific Survival ues to rise from there.
In the current surgical literature, guid-
Disease-speciftc survival ance on how to proceed with patients who
Prognostic factor Hazard ratio 95% CI P ha ve positive SLNB is not always immedi-
at ely apparent. In the first instance, under-
Age 1.01 0.98–1.01 0.57
s tanding that these patients will require a
Sex 1.11 0.45–1.82 0.78 s tandard lymphadenectomy in the involved
Tumor thickness 1.23 1.10–1.38 <0.0004 b ody part is critical. Once the procedure
has been completed, one can, with confi-
Clark level >III 2.32 1.03–5.23 0.04
de nce, provide pathologic data from the
Axial location 1.72 0.85–3.45 0.13 original lesion and regional draining nodes
Ulceration 1.62 0.85–3.08 0.14 t medical and surgical oncologists for as-
to
ses sment of the need for additional sys-
SLN statusa 6.53 3.39–12.58 <0.00001 temic
t therapy. If there is only a single node
a
Sentinel lymph node (SLN) status can be seen to be significantly more important than any other prognostic factor. i volved and the patient’s ability to tolerate
in
However, tumor thickness and Clark level >III are also statistically significant prognostic indicators for disease- t e morbidity of therapy is impaired, then
th
specific survival. on e could occasionally choose to withhold
(Adapted from McMasters KM, Reintgen DS, Ross MI, et al. Sentinal lymph node biopsy for melanoma: controversy
despite widespread agreement. J Clin Oncol 2001;19(11):2851–2855, with permission.)
ad ditional therapy. In general, positive
sentin el lymph nodes warrant systemic
398 Part III: The Head and Neck

A B

C D

Fig. 4. A: Lymphoscintigraphy with dermal injection of technetium-99m sulfur colloid around a melanoma reveals a sentinel
node. B: Injection of isosulfan blue dye performed immediately before skin incision. C: Blue lymphatic channels lead to a blue
sentinel node. D: Sentinel lymph node histology. Arrows depicting metastatic melanoma. (From Wargo JA, Tanabe K. Surgical
management of melanoma. Hematol Oncol Clin North Am 2009;23(3):565–81, with permission.)

therapy of some sort. We continue to feel
that the advantages are slightly in favor
of treatment. However, the side effects of
interferon alpha-2b are substantial. Many
highly motivated patients do not complete
their course of therapy because of signifi-
cant side effects. Conversely, the value of
systemic therapy in these patients contin-
ues to be debated. Systemic treatment may
slightly enhance 5- to 10-year survival.
However, a substantial number of thought-
ful patients may choose to decline such
treatment and simply depend upon their
surgeons for further regular follow-up,
treating recurrent melanoma when and
where found.
The outrageously expensive use of posi-
tron emission topography (PET) scanning
for patients must be carefully considered
before requesting such tests. PET scanning
for melanoma, unless carefully applied to
select, genuinely, high-risk patients, yields
as many false positives as true positives.
Having said that, it may be enormously
helpful in patients who have had previous
positive lymph nodes, where it should be
done annually or possibly even more fre-
quently. A major issue, aside from its ex-
pense, is that the positive PET scan often
needs to be confirmed by tissue diagnosis,
and that needs to be done in both a mini-
mally morbid and, yet, definitive way. It
should be assumed that the PET scan fol-
lowed by biopsy confirmation would cre-
ate a treatment environment that can be
tolerated by the patient to proceed ac-
cordingly.
The majority of melanomas that recur
either do so locally or in the body region
initially involved, and are detected on phys-
ical examination by the treating surgeon.
Systemic disease occurs in less than one-
third of patients treated surgically. As the
tumor becomes progressively more favor-
able, the likelihood of systemic metastases
decreases precipitously. Local recurrence,
or in-transits, an inner circle name for in-
tradermal lymphatic metastases, can be
readily identified by physical examination.
In-transit lesions are more readily palpable
than they are visible. Any nodular lesion
that occurs on the body part from which
the melanoma arose should be biopsied
within a few weeks of its detection. When
these lesions are confined to an extremity,
hyperthermic isolated chemotherapeutic
perfusion is a standard therapy that will
stop progression permanently for about
one-third of patients, significantly arrest
progression for another third, and will have
relatively little impact on the final third. We
have experienced a large number of iso-
lated extremity perfusions undertaken ei-
ther for prophylaxis, or for extremely unfa-
vorable primary tumors (i.e., >5 mm thick,
positive regional lymph nodes, or in-transit

recurrence). More than 400 patients yielded
2 deaths and 2 amputations. Fourteen pa-
tients developed significant leaks of the
chemotherapeutic material, which resulted
in leukopenia that required additional
treatment. These patients all recovered,
however. In-transit disease that is not ame-
nable to perfusion can often be treated by
simple local excision. The process through
which the disease progresses is highly vari-
able; simple local excision can allow the
patient to remain lesion free for long peri-
ods of time. There is clear evidence that the
dermatotrophic variant of melanoma (i.e.,
those that are prone to recur in the skin or
metastasize in the subdermal lymphatics)
runs a very leisurely and rarely aggressive
course, which adds an element of confi-
dence to the conservative management of
the patient.
DISEASE RECURRENCE
There are at least two unusual characteris-
tics of melanoma. The first is the late recur-
rence of disease. While unlikely, there is a
variant of very late (some >25 years) recur-
rence of melanoma; in all those whom the
senior author has seen, progression of dis-
ease was rapid. This is easy to recognize and
understand in patients who have been af-
fected by systemic immunosuppression,
such as that associated with organ trans-
plantation. However, late recurrence does
occur in otherwise unaltered patients and
justifies some form of longer-term follow-up,
either through the conscientious referring
physician, or by the surgeon. Follow-up for
such recurrence is, once again, easily con-
ducted by thoroughly examining the un-
dressed patient in good light. The other issue
worthy of attention, of course, is manage-
ment of a second primary. Interestingly
enough, these tumors are prognostically
only slightly, but not significantly, better
than the first primary. One might assume
that patients who have had one melanoma
would demonstrate a heightened awareness
to themselves using the “A-B-C-D” algo-
rithms and looking for simple symptoms.
One might also assume that they would have
the wisdom to stay out of the sun on Memo-
rial and Labor Day holidays, with a complete
avoidance of tanning beds. However, those
assumptions are only infrequently true, and
the informed physician’s attention to these
patients is especially valuable.
What complicates this issue is the fact
that 1% to 2% of all melanomas now identi-
fied in many states will have had the diag-
nosis missed by board-certified patholo-
gists. There is an ongoing argument between
dermato-pathologists (that is a specialty of
Chapter 30: Malignant Melanoma and Squamous Cell Carcinoma of the Skin
dermatology) and pathologists skilled in
skin lesions as to who identifies melanomas
most accurately. In fact, as we have now ad-
vanced toward more in situ disease and the
development of dysplasia, atypia, and oth-
erwise normal moles, the landscape has
become increasingly confusing. The fact
that these lesions may be missed by even a
good pathologist paradoxically simplifies
their surgical management! If in doubt, any
new lesion in a patient who had been
treated for melanoma should be presumed
to be a new primary, and a full thickness
local excision should be carried out by the
treating surgeon, again, as guided by the
body part involved and size of the lesion in
question.
The second unusual characteristic re-
lates to occasional reports which still ap-
pear about the extirpation of melanoma
metastases to other viscera. In general,
these are associated with a grave prognosis.
Survival is approximately 100 days and sur-
gical approaches in treating such metasta-
ses are seldom successful. Aggressive sys-
temic therapy will arrest disease in only a
few patients. Among them are submucosal
alimentary tract metastases that bleed or
obstruct. However, one must also remem-
ber that malignant melanomas are on that
curious list of tumors that undergo sponta-
neous regression for reasons that we do not
understand.
THE UNKNOWN PRIMARY
From time to time, a surgeon caring for mel-
anoma patients will see an individual who
often has an isolated lymph node that, upon
biopsy, shows metastatic malignant mela-
noma but without a visible primary lesion.
Careful and detailed study of the vaginal,
anal, nasopharyngeal, and oral mucosa is
warranted. However, the most common un-
identified primary lesions arise from the
scalp, which incidentally may disappear sub-
sequently. This is a good time to remember
that melanoma may undergo spontaneous
regression; it may be that there was, indeed,
an invasive melanoma that has regressed. A
careful history about previous suspicious
lesions that have either been treated or cau-
terized is critical in this setting.
In patients who present with single
nodes associated with metastatic mela-
noma but without an obvious primary
lesion, there is a substantial likelihood of
being cured by an isolated node dissection
confined to that particular body part. By
doing so, at least a quarter of these patients
are cured. In a self-selected way, they offer
substantial salvage to the patient and to the
surgeon. Systemic chemotherapy appears
399
not to be of value in patients with unknown
primary melanoma because one simply
cannot determine what is being treated.
CONCLUSION
After a diagnosis of melanoma has been
made by an informed primary care physi-
cian or dermatologist, the first, second, and
third consideration in the patient’s care is
adequate local excision and appropriate me-
ticulous personal follow-up, with an empha-
sis on the potential for disease recurrence.
In contrast to melanoma, the manage-
ment of squamous cell cancer is extraordi-
narily simple in that margins should gener-
ally be adequate and consistent with the
function of the body part. An adequate mar-
gin can often be as little as 1 microscopic
millimeter with garden variety squamous
cell cancers. In general, if the lesion is not in a
functionally or cosmetically important area,
somewhat wider margins are warranted, but,
again, whatever is consistent with simple
closure of the wound.
THE FUTURE
Whether or not one is a devotee of the
Green Movement, it is clear that the ozone
layer has been impacted by some events,
and it is less protective than it has been. If
we continue a scenario where leisure time
is enhanced, then the likelihood that more
people will be exposed to the sun for longer
periods of time without the protection of
The Head and Neck
the natural ozone layer that benefited our
generation will increase. When com-
pounded by the liberal use of tanning beds,
which today exist in an increasing variety
of stores including launderettes and gym-
nasiums, that leads to the inevitable con-
clusion that there will be more skin can-
cers, including both melanoma and
squamous cell cancer. We can only hope
that the progress made in early diagnosis
by dermatologists and other physicians is
maintained by surgeons who respect the
potential gravity of these diseases and, yet,
at the same time, possess a healthy aware-
ness of its biologic variation. The most im-
portant biologic variable in malignant
melanoma is adequate excision of the pri-
mary lesion.
SUGGESTED READINGS
American Cancer Society. Why you should know
about melanoma. 2005. No. 261900-Rev.07/08.
Available at: http://www.cancer.org/acs/groups/
content/documents/document/acspc-024621.
pdf
Davis NC. Cutaneous melanoma. The Queensland
experience. Curr Probl Surg 1976;13:1–63.
400 Part III: The Head and Neck

Edwards MJ, Martin KD, McMasters KM. Lymphatic
mapping and sentinel lymph node biopsy in the
staging of melanoma. Surg Oncol 1998;7:51–57.
Emmett AJJ, O’Rourke MGE. Malignant skin tu-
mours. 2nd ed. Churchill Livingstone, 1991.
Kirkwood JM, Strawderman MH, Ernsto MS et al.
Interferon alfa-2b adjuvant therapy of high-risk
resected cutaneous melanoma: the Eastern
Cooperative Oncology Group Trial EST 1684.
J Clin Oncol 1996;14:7.
Knutson CO, Hori JM, Spratt JS Jr. Melanoma. Curr
Probl Surg 1971; 3:55.
Morton DL, Stern S, Elashoff I. Surgical resection
for malignant metastatic to distant sites. Pre-
sented at the 64th Annual Meeting of the Soci-
ety of Surgical Oncology, March 2–5, 2011, San
Antonio, TX.
Penn I. Malignancies associated with renal trans-
plantation. Urology 1977;10:57–63.
Polk HC Jr. Surgical progress and understanding
in the treatment of the melanoma epidemic.
Am J Surg 1999;178:443–448.
Reintgen DS, McCarty KS Jr, Vollmer R, et al.
Malignant melanoma and pregnancy. Cancer
1985;55:1340–1344.
Roberts DJ, Hornung CA, Polk HC Jr. Another duel
in the sun: weighing the balances between sun
protection, tanning beds, and malignant mela-
noma. Clin Pediatr (Phila) 2009;48:614.

EDITOR’S COMMENT with the prevalence of other specialties dealing Augustine, et al. (Mol Cancer Ther 2010;9:
with what are clearly melanomas, it does ap- 779–790) investigated a series of gene sampling
pear as if a 1-cm margin has become accept- and responses to various chemotherapeutic
This is a new chapter in the sixth edition which able. These data provide evidence that it may agents in the treatment of in-transit metastases.
for some reason was not present in the fifth edi- not be. The problem is that a 3- to 5-cm margin They would agree that the current state of the
tion. An appropriate question is how we could makes this “a real operation.” A 1-cm margin is art is not sufficient to allow widespread clinical
have missed it, since this is a real public health not “a real operation” and can be done in the application of this gene selection.
problem in this country. Dr. Robert Stern, writ- office. Whether or not we are accepting results While immunosuppression is a necessary ing
in the Archives of Dermatology (2010;146:279– that are not in the best interest of the patient evil in patients who receive transplants, one of
282) attempted to estimate 2007 prevalence of population for political reasons has been raised the cutaneous complications of immunosup-
common types of nonmelanoma skin cancer by these papers. pression with cyclosporine is squamous cell
(NMSC) and basal cell carcinoma, squamous An additional series of papers for wide carcinoma which manifests a 65 to 100 times
cell carcinoma, or both. The model used was an excision deals with desmoplastic mela- increased risk from the normal population. The
evidence-based mathematical model to compare noma, a relatively rare but perhaps more incidence of basal cell is less. Writing in Nature,
the prevalence of NMSC with other common virulent melanoma. Wasif et al. ( J Surg Oncol Wu et al. (Nature 2010;465:368–372) point out
cancers which appeared to have much more at- 2011;103:158–162) from the Mayo Clinic in that the incidence of basal cell carcinoma, the
tention. Scottsdale recalled their results with 505 pa- other major keratinocyte-derived tumor of the
Approximately 13 million white, non-Hispan- tients of which mean thickness was 2.97 mm. skin, and melanoma and internal malignan-
ics living in the United States at the beginning of Patients undergoing a wide excision (>1 cm) cies increase to a significantly lesser extent. The
2007 have had at least one NMSC. Of 70-year-olds had an improved 5-year overall survival com- pharmacological suppression of calcineurin/ and
older, at least one in five have had multiple pared with simple excision (<1 cm) or bi- nuclear factor of activated T cells (NFAT) pro-
nonmelanoma skin cancers, most of which were opsy alone (67% vs. 60% vs. 45%, respectively, motes tumor formation in experimental ani-
basal cell carcinomas. This model proposes that P < 0.01). Twenty nine percent of patients un- mals and xenografts. Calcineurin/NFAT inhibi- the
prevalence of a skin cancer history is five derwent sentinel node biopsy but only 2.8% tion counteracts p53-dependent cancer. Thus, times
higher than that of breast or prostate can- were positive. Breslow thickness, nodal positiv- intact calcineurin/NFAT signaling is critically cer and
greater than the 31-year prevalence of all ity, and ulceration did not predict survival, but required for p53 and senescence-associated other
cancers combined. Despite the fact that on multivariate analysis only adjuvant radia- mechanisms that protect against skin cancer this
represents a major public health problem, tion therapy and wide local excision correlated development.
much less attention is being paid to it and these with survival. The results indicate that in this Finally, an interesting initiative to elucidate
are widely regarded as not important and not of- somewhat aggressive melanoma, only wide (3 the incidence of melanoma and how it begins
ten related to mortality. This is probably because to 5 cm margin) excision may be acceptable as was reported by Rezze et al. (Hum Pathol 2010;
with the exception of squamous cell carcinoma the appropriate treatment. Epub ahead of print), proposing that the loss of
and of course melanoma, they are not viewed as Another variant of squamous cell carcinoma connectivity in early melanomas is an expression
lethal lesions. which may be associated with increased risk of of kallikrein 6 and 7 as well as desmocollin 3 and
A basic question for all of the treatment for local recurrence and metastasis is desmoplastic connexin 43 was higher in melanomas. They pro-
melanoma is the extent of resection and whether cutaneous squamous cell carcinoma. Velasquez pose that the kallikrein expression in melanomas
wide margins (i.e., 1 to 3 cm, largely 3) are the et al. (Am J Dermatopathol 2010;32:333–339) ar- may play a particular role in melanocyte develop-
only adequate resections. Until 30 years ago, it gue for a more aggressive approach to this tumor ment and the expression of kallikrein 6 and 7 may
was commonly accepted that a wide, 3-cm mar- with elongated cords of atypical epithelial cells very well be responsible for the loss of cell–cell
gin on biopsy-proven melanomas or melanomas associated with a “prominent (usually reactive) adhesion, which they propose is essential for the
that are clinically diagnosed is related to survival. desmoplastic stroma.” development of melanoma.
Mocellin et al. (Ann Surg 2011;253:238–243) per- A rather interesting historical and epide- This commentary would not be complete
formed a meta-analysis of five randomized clini- miological vignette is recounted by Autier et al. without recalling the controversy between
cal trials (RCT) in which narrow margins (namely (Curr Opin Oncol 2011;23:189–96) bringing in the Dr. Polk, a good friend for whom I have im- 1
to 2 cm) were compared with wide margins (3 evidence that sunbeds are carcinogenic; even mense respect, and myself as to the meaning of to
5 cm). The meta-analysis suggests that narrow in Australia where the incidence of melanoma increased long-term survival in patients with
margins might be associated with an increased is endemic, sunbeds increase the incidence. An negative nodes on node dissection in the era
risk of both locoregional disease recurrence and epidemic of melanoma began in 1985 in Ice- before sentinel node biopsy and before more so-
death by disease ( for both, P = 0.01). Disease- land where truncal exposure by women in this phisticated techniques of assaying for positive
specific survival (DSS) and overall survival (OS) northern country began when sunbeds were in- adenopathy by molecular means. This phenome-
were available for three and five RCT, respectively. troduced and truncal melanoma surpassed the non of node-negative lymph nodes in lymph node
The borderline disadvantage of narrow margins incidence in lower legs. Icelandic women had a dissection resulting in up to 20% improvement in (P
= 0.06) becomes statistically significant when lower incidence of melanoma; after the intro- survival probably reflects the fact that these neg-
enrolled patients with thicker melanomas were duction of sunbeds surpassed Norway and Den- ative nodes would likely be positive at this point
compared. In these data, locoregional disease- mark. In 2001, the incidence started decreasing in time were they tested by the currently avail- free
survival (LDFS) and disease-free survival as regulation decreased the ability to use sun- able biologic means. I suspect that is the reason (DFS)
were statistically significant. When death beds. A similar experience was recorded by Dif- for these seemingly paradoxical results. I doubt by any
cause was analyzed, no risk difference was fey in an article entitled “Sunbeds, Beauty, and whether these experiments will be repeated, but found.
Melanoma” in the British Journal of Dermatology it is nonetheless important to remember what
These results are disturbing. Although previ- (2007;157:350–356) and elsewhere (Autier et al., these results showed.
ously a 3-cm margin was seen to be adequate, Am J Epidemiol 2010;172:762–767). J.E.F.

31 Evaluation and Repair of Common Facial Injuries
Eduardo D. Rodriguez with the assistance of Gerhard S. Mundinger
Craniofacial trauma occurs in broad demo-
graphic and severity spectra, and is fre-
quently associated with multisystem
trauma. Multidisciplinary cooperation be-
tween trauma surgeons, orthopedists,
neurosurgeons, oral surgeons, ophthalmol-
ogists, otolaryngologists, and plastic sur-
geons is central to facilitating timely and
effective reconstruction. Every facial injury
results in damage to soft tissue, with many
involving injury to both soft tissue and
bone. While well-trained general surgeons
can easily manage most soft-tissue injuries
with fundamental wound care, common
bony injuries and injuries to complex struc-
tures are best managed by surgeons with
craniofacial expertise. Although there are
few true facial emergencies, the advantages
and superior aesthetic results of prompt,
definitive anatomical reconstruction of fa-
cial bone and soft-tissue injuries has been
historically underemphasized. As the face
is vital for communication, perception, nu-
trition, and interpersonal relationships,
appropriate management of craniofacial
trauma is thus essential for maintenance of
patient livelihood and identity.
This chapter provides an overview of the
evaluation, management, and treatment of
the most common manifestations of cran-
iofacial trauma that a trauma surgeon is
likely to encounter. Aspects of the history
and physical examination that dictate spe-
cial management are emphasized, along
with indications for radiologic examina-
tion. Injuries to complex structures, includ-
ing the lacrimal system, facial nerve, and
Stensen’s duct, are reviewed. Preferred tech-
niques for the treatment of soft-tissue
injuries, including wound management,
antibiotics, local anesthetics, and closure
methods, are comprehensively discussed.
The chapter concludes with an overview of
common facial fracture patterns and their
operative management. The information in
this chapter will facilitate appropriate,
timely multidisciplinary care that reduces
the need for late operations, avoids pro-
longed rehabilitation, and minimizes
psychological scarring of the craniofacial
trauma patient.
INITIAL EVALUATION
Facial trauma, though deserving of prompt
attention, is rarely life-threatening. Be-
Chapter 31: Evaluation and Repair of Common Facial Injuries
cause they are often dramatic in appear-
ance and instinctually interesting, cranio-
facial injuries have the potential to deter
the clinician from appropriate evaluation
of other more serious occult injuries. The
presence of a facial injury implies that a
simultaneous injury to adjacent areas such
as the neck, brain, and skull may have oc-
curred. Therefore, brain injury, skull frac-
ture, and cervical spine injury must be ex-
cluded, as such injuries often have more
serious immediate consequences. In all
circumstances, the American College of
Surgeons principles of advanced trauma
life support (ATLS) remain paramount.
Assessment of airway, breathing, and cir-
culation are performed in the primary sur-
vey. The level of consciousness according
to the Glasgow Coma Scale (Table 1)
should be succinctly recorded and serially
reassessed.
Evaluation of craniofacial injuries takes
place in the secondary survey. The observa-
tion of other organ systems must be contin-
ued throughout the entire period of facial
injury treatment and continuous monitor-
ing provided where appropriate. That said,
there are three mechanisms by which cran-
iofacial trauma alone can be inherently
Table 1 The Glasgow Coma Scale
Eyes open
Never
To pain
To verbal stimuli
Spontaneously
Best verbal response
No response
Incomprehensible sounds
Inappropriate words
Disoriented and converses
Oriented and converses
Best motor response
No response
Extension (decerebrate rigidity)
Flexion abnormal (decorticate
rigidity)
Flexion withdrawal
Localized pain
Obeys
Total
From Teasdale G, Jennett B. Assessment of coma and
impaired consciousness. A practical scale. Lancet 1974
Jul 13;2(7872):81–4.
401
life-threatening. These are (a) airway ob-
struction, (b) aspiration, and (c) hemor-
rhage.
1. Airway obstruction: The craniofacial
trauma patient frequently has an im-
paired level of consciousness, and there-
fore cannot adequately protect his or
her airway. Additionally, massive facial
swelling, displaced fractures, extensive
soft-tissue injuries, and cervical spine
injury are common. Each of these sin-
gular factors, let alone in combination,
greatly increases the risk of aspiration
and the inability to maintain oxygen
saturation. The maintenance of a safe
airway is crucial in craniofacial trau-
ma, and, as in all trauma cases, must
be the first management priority. Intu-
bating the craniofacial trauma patient
can be very challenging, and the airway
team must be prepared to perform
emergency cricothyroidotomy or trache-
otomy when standard orotracheal intuba-
tion is not possible. Cricothyroidotomy
should be converted to tracheotomy
as soon as feasible, especially in pa-
tients who are comatose or not expect-
ed to control their own airway within
1 week.
One special scenario is noteworthy:
The Head and Neck
bilateral mandible fractures that lead
to airway compromise due to prolapse
of the central segment. Airway compro-
1 mise can be temporized in this scenario
2 by bridle wiring around two teeth on
3 either side of the fracture segment, or,
4 in the case of a prolapsed medial seg-
ment due to bilateral parasymphyseal
1 fractures, with anterior traction on the
2 tongue using a towel clamp or suture.
3 This pulls the prolapsed medial segment
4 anteriorly as an airway-preserving mea-
5 sure.
2. Aspiration: The confused or obtunded
1 trauma patient may aspirate oral secre-
2 tions, blood, or gastric contents. The risk
3 of aspiration and subsequent aspiration
pneumonia is exacerbated by simultane-
4 ous midface and mandibular fractures,
5 and is more common in patients with
6 cerebral injuries. Rapid, noisy respira-
15 tions, a low arterial oxygen content, de-
crease in oxygenation, and a decrease in
pulmonary compliance are seen early on.
Simple intubation prevents aspiration
and should be performed early when
402 Part III: The Head and Neck

there is evidence that the airway is not Once the initial trauma evaluation is should be taken in the emergency depart-
being protected. complete, and life-threatening trauma (sys- ment, or sketches of wounds should
3. Hemorrhage: Life-threatening hemor- temic or isolated craniofacial) has been ad- be included as part of the craniofacial
rhage from craniofacial trauma has equately addressed, management can focus evaluation.
two mechanisms: (a) bleeding from fa- on craniomaxillofacial injury. Details sur- Two types of physical examination
cial lacerations, and (b) bleeding from rounding the traumatic episode including should be performed: sequential and di-
the sinuses and cranial base. Bleeding mechanism of injury and elapsed time until rected. In the sequential examination, an
from facial lacerations is the result of presentation are crucial determinants of orderly examination of all facial structures
transected arteries and veins. The par- next steps in diagnostic and therapeutic is methodically performed. Examination
tially transected major artery can result measures. Historians, including witnesses, proceeds from cephalad to caudal (or cau-
in near exsanguination. Arterial hem- family members, and emergency medical dal to cephalad), and lateral to medial in
orrhage is best controlled by direct su- staff, can provide valuable information. each of the following facial regions: fore-
ture, carefully avoiding the locations of Many craniofacial trauma patients are un- head, orbits, nose, maxilla, and mandible.
branches of the facial nerve. Similarly, der the influence of intoxicating substances, Extensive palpation of all bony surfaces
major veins may require suture ligation. and this potentiality should be investigated should note tenderness and deformity. In
While blunt contusion causes bleeding through appropriate toxicology screens particular, the superior and inferior orbital
within facial soft tissue, this bleeding is when indicated. The patient’s current medi- rims, zygomatic arches, and malar promi-
usually tamponaded by facial soft-tissue cations and past medical history, including nences should be palpated. The mandible
pressure. The result is a hematoma that tetanus immunization status, should be should be thoroughly evaluated with an in-
is either diffuse or localized. Localized documented. traoral examination including direct palpa-
hematomas should be drained, as the The diagnosis of most facial injuries is tion of the maxillary and mandibular dental
pressure generated from the expanding accurately suggested by thorough clinical arches, mandibular teeth, and the horizon-
hematoma may produce tissue necro- examination. Discoloration, pain, localized tal and vertical portions of the mandible.
sis. Additionally, pressure produced by tenderness, numbness or paralysis, maloc- The occlusal relationship of the maxillary
osmotic imbibition as the hematoma clusion, crepitus step-off or level discrepan- and mandibular dental arches should be
dissolves may impair circulation, caus- cies over the margins of facial bones, double noted. If lucid and cooperative, the patient
ing tissue atrophy and even infarction. vision, decreased visual acuity, facial asym- should be asked if his or her teeth feel like
The treatment of localized hematomas metry, gross facial deformity, changes in fa- they are meeting together normally. The ex-
is discussed later in this chapter. Obser- cial contour, and changes in eye position cursion of the mandible while palpating the
vation is the only treatment for diffuse (exophthalmos or enophthalmos, vertical temporomandibular joint and the relation-
hematomas. dystopia, etc.) are all symptoms suggestive of ship of the mandible to the maxilla should
deeper structural trauma. Soft-tissue inju- also be evaluated. Midface instability sug-
Cranial base, orbital, and midface frac- ries are inevitable and one should suspect an gestive of maxillary fractures can be deter-
tures may produce hemorrhage from lac- existing fracture of the underlying facial mined by bimanual palpation (Fig. 1). In
erations of arteries and veins within the bones beneath any contusion, bruise, or lac- this technique, the upper alveolar ridge is
sinus cavities. Cranial base bleeding can eration. Ideally, photographs of trauma sites manipulated with one hand while the other
involve major arteries and veins, cannot
be controlled by tamponade, and must al-
ways be considered in cases of massive
facial hemorrhage. It must be quickly rec-
ognized when present as it can cause
rapid exsanguination. Generally, bleeding
from midface fractures can be controlled
by four mechanisms: (a) the maxilla can
be repositioned and secured in the best
“rest” position by applying maxilloman-
dibular fixation (MMF); (b) a posterior
pack can be placed as an obturator in the
nasopharynx, and anterior packing can be
placed against the posterior pack; this
provides tamponade pressure for lacer-
ated vessels in sinus walls; (c) selective
arterial embolization may be utilized for
those cases that do not respond to manual
maxillary repositioning and anterior–
posterior nasal packing; (d) rarely, and
when the above measures fail, bilateral
external carotid and superficial temporal
artery ligation or coil embolization, per-
formed simultaneously, reduces the pres-
sure in the external carotid system and
may assist in control of massive orbital

and midface hemorrhage. Fig. 1. Bimanual palpation of the facial skeleton for the diagnosis of midface fractures.

hand stabilizes the head while palpating
the nasal root.
The presence of “step-off ” or “level” de-
formities in the dentition, bleeding, loose
teeth, and intraoral lacerations all suggest
areas of deeper bony involvement. Irregu-
larities in the dental arch and abnormal ar-
eas of occlusion are all suggestive of local-
ized fractures. Avulsed or missing teeth and
intraoral or gingival lacerations indicate
the possibility of an underlying fracture of the
alveolus, or more extensive fracture of the
mandible or maxilla. Lacerations of the lips,
chin, palate, and floor of the mouth often
accompany fractures of the jaws. The search
for occult lacerations must include the eye-
lids, ear canal, mouth, floor of the mouth
under the tongue, pharynx, and nasal cav-
ity. Nasal examination is greatly facilitated
by using a nasal speculum. Pain and pres-
sure sensation, including complete anes-
thesia orhypoesthesia, should be documented
in the supraorbital, corneal, infraorbital,
and mental nerve distributions. Crucially,
the neurologic facial examination, includ-
ing evaluation of all cranial nerves, must be
completed and documented before the ad-
ministration of any local infiltrative anes-
thesia or nerve blocks. Any history of
posttraumatic neck pain or alteration in pe-
ripheral motor or sensory function pre-
cludes operative treatment of facial inju-
ries, as this raises suspicion for concomi-
tant cervical spine injury.
The eye and function of vision must be
specifically evaluated in the sequential ex-
amination with ophthalmologic consulta-
tions called when appropriate. The symme-
try of the pupil, speed of pupillary reaction,
presence of hyphema, and range of extraoc-
ular motion should be evaluated. The pres-
ence of periorbital or subconjunctival ec-
chymosis implies the possibility of an
orbital fracture or globe injury. Visual acu-
ity, field deficits, diplopia, afferent pupillary
defect, or decreased light perception must
be promptly evaluated.
Following the sequential physical exam-
ination, a directed physical examination
should then thoroughly reevaluate specific
areas where fractures or injury to specific
structures are suspected as suggested by
the sequential examination. The following
key injuries are common, and warrant ex-
tensive directed examination.
Any lacerations of the eyelid suggest the
possibility of globe rupture, and the globe
must be examined for integrity if an eyelid
laceration is discovered. Lacerations occur-
ring in the medial third of the lower or up-
per eyelids suggest the possibility of lacri-
mal system injury, and the punctae and
lacrimal duct should be thoroughly exam-
Chapter 31: Evaluation and Repair of Common Facial Injuries
ined. The repair of injuries to the lacrimal
system is discussed later in the chapter.
Fractures that involve the frontal or
basilar skull may lacerate the dura, leading
to pneumocephalus (passage of air inside
the skull) or cerebrospinal fluid (CSF) leak.
CSF may exit from the nose (CSF rhinor-
rhea) or ear (CSF otorrhea). This implies a
communication between the subdural
space and the external environment, rais-
ing the possibility of meningitis. CSF rhin-
orrhea or otorrhea is often obscured by the
presence of blood mixed with draining CSF,
making the detection and confirmation of a
CSF leak difficult. A “double ring” or “halo”
sign may be visible when draining blood
and CSF is absorbed to a paper towel. This
may be subsequently confirmed via serum
electrophoresis. In the presence of dis-
placed fractures, intracranial repair of the
dura is indicated. Definitive operative treat-
ment is accompanied by the administration
of prophylactic antibiotics for several days.
Therefore, rhinorrhea and/or otorrhea in
the setting of craniofacial trauma should be
evaluated thoroughly for the presence of
CSF, warranting detailed computed tomog-
raphy (CT) evaluation of the cranial base.
Conversely, the presence of pneumocepha-
lus on CT imaging raises high clinical suspi-
cion for a CSF leak that should be thor-
oughly investigated and ruled out.
RADIOLOGIC EVALUATION
Computed tomographic scans of the face,
cervical spine, and head are warranted in
nearly all cases of facial trauma. A thin-cut
(<3 mm/slice) axial face CT with coronal
and sagittal reconstructions is the current
“gold standard” for radiographic evaluation
of the craniofacial trauma patient. Histori-
cally, plain radiographs were ordered to
evaluate facial and cervical fractures. This
modality has been outdated due to the su-
perior image quality and three-dimensional
anatomic relationships afforded by CT. CT
scans provide reliable, accurate informa-
tion that aids in surgical planning, and have
been shown to be more cost-effective than
radiographic series.
CT images should include the frontal
bone, frontal sinus, orbital and nasal re-
gions, midface, and mandible, including the
temporomandibular joints. If there is tooth
involvement in any identified fracture on
CT, a Panorex image should be obtained to
assess tooth and tooth root injury. This is
the only situation in craniofacial trauma
where thin-cut, multiplanar CT imaging is
not the gold standard for bony injury. Pa-
tients with multiple injuries cannot be sent
unmonitored for radiographic evaluation.
403
Three-dimensional CT scans can greatly aid
in operative planning of complex craniofa-
cial trauma, and will likely play an increas-
ing role in the imaging of craniofacial
trauma as this technology becomes more
widely available.
In most cases, CT evaluation of the cran-
iofacial trauma patient supplements and
confirms, but never replaces, the findings of
a thorough clinical examination. A review
of both bone and soft-tissue CT windows
should be promptly completed, and the
specific areas with radiographically identi-
fied fractures reexamined. This is particu-
larly useful in cases of suspected intraocu-
lar muscle entrapment as discussed later.
TREATMENT OF FACIAL
SOFT-TISSUE INJURIES
General Considerations
After completion of the primary survey, sec-
ondary survey, and radiographic imaging,
soft-tissue injuries of the face may be de-
finitively treated. Lacerations are thor-
oughly inspected and accessed for depth
and direction. Any foreign bodies are iden-
tified, the level of wound contamination is
assessed, and damage to deeper structures,
such as muscles, nerves, or bone, is identi-
fied. Tetanus prophylaxis is essential, and is
administered according to the guidelines of
the American College of Surgeons (Table 2).
The goals of initial treatment are the cleans-
ing of wounds, debridement of devitalized
The Head and Neck
tissue, evacuation of hematomas, and ten-
sion-free reapproximation of wound edges.
Puncture wounds are managed by thorough
irrigation and debridement without formal
closure. Many soft-tissue injuries can be
treated in the emergency department, pro-
vided the patient is hemodynamically sta-
ble, wounds are not severely contaminated,
and there is no threat of airway compro-
mise. If any of these criteria are not met, if
fractures are present, or if the patient is un-
cooperative (i.e., pediatric patients), opera-
tive repair in a formal surgical theater is
warranted.
Anesthesia
For most soft-tissue injuries, local anesthe-
sia is adequate to achieve debridement and
closure. Before injecting a local anesthetic,
a complete motor and sensory neurological
examination of the face must be docu-
mented. This not only serves medico-legal
purposes, but also conveys important infor-
mation to other specialists that may par-
ticipate in subsequent patient care outside
of the emergency department.
404 Part III: The Head and Neck

Local anesthesia can be administered

Table 2 Recommendations for Tetanus Prophylaxis of the Committee via direct field injection, or through ana-
on Trauma, American College of Surgeons
tomicalnerve blocks. Topical application of
Previously Immunized Individuals llocal anesthesia to the laceration may pro-
When the attending physician has determined that the patient has been previously fully vide a level of analgesia that allows subse-
immunized and the last dose of toxoid was given within 10 years:
qu ent injection with minimal discomfort.
For non–tetanus-prone wounds, no booster of toxoid is indicated. Direct field injections, while requiring less
For tetanus-prone wounds and when more than 5 years have elapsed since the last dose, give technical skill, distort anatomy, making
0.5 mL adsorbed toxoid. If excessive prior toxoid injections have been given, this may be omitted. pr ecise closure difficult, and often result in
When the patient has had two or more prior injections of toxoid and received the last dose
i omplete or fleeting anesthesia due to
inc
more than 10 years previously, give 0.5 mL absorbed toxoid to patients with both tetanus-prone
and non–tetanus-prone wounds. Passive immunization is not considered necessary. i
impr ecise infiltration. Therefore, important
anatomical landmarks, including the ver-
Individuals Not Adequately Immunized mi llion border and brow line, should be
When the patient has received only one or no prior injections of toxoid or the immunization
mar ked before local anesthetic infiltration
history is unknown:
so that these crucial areas can be accurately
For non–tetanus-prone wounds, give 0.5 mL absorbed toxoid. repaired (Fig. 2). These regions benefit
For tetanus-prone wounds: greatly from trigeminal nerve blocks and
Give 0.5 mL absorbed toxoid.
therefore avoid local soft-tissue distortion.
Give 250 U (or more) of human tetanus antitoxin. Anatomical nerve blocks require less an-
Consider providing antibiotics. esthetic volume (typically 2 mL) and allow
fforaccurate tissue reapproximation because
From Oreskovich MR, Carrico CJ. Trauma: management of the acutely injured patient. In: Sabiston DC, ed. Text they do not distort anatomic landmarks.
book of surgery, 13th ed. Philadelphia: WB Saunders, 1986:328; and Bull Am Coll Surg 1979;69:19. Nerve blocks of the supraorbital, supratro-
chlear, infraorbital, and mental areas are ef-
fective and easily performed (Fig. 3). When
performing nerve blocks, injection must be
immediately stopped and the needle with-
drawn if the patient experiences sharp pain
in the distribution of the nerve being anes-
thetized. This indicates direct intraneural in-
jection, which can lead to permanent dener-
vation. The ear is a notoriously difficult area
to anesthetize due to multiorigin and redun-
dant innervation. A great auricular block is
effective for the inferior ear and superior
mandible areas. Complete ear anesthesia re-
Fig. 2. Marking the vermilion border before local infiltration of anesthetic aids precise repair of lacera- quires local injection in a diamond/ring pat-
tions of the lip. tern circumferentially around the ear.
It is best to choose one local anesthetic
and become comfortable and versatile with
its use. 1% lidocaine with 1:100,000 epineph-
rine mixed with 8.4% sodium bicarbonate at a
ratio of 9:1 (i.e., 9 mL lidocaine:1 mL sodium
bicarbonate) or 4:1 provides excellent anes-
thesia and aids in hemostasis. The addition
of sodium bicarbonate neutralizes the an-
esthetic, making the injection less painful.
Bupivacaine is a long-acting local anes-
thetic, providing pain relief for up to 8
hours. When compared with the roughly
1-hour period of pain relief provided by li-
docaine, bupivicaine may spare the patient
repeated anesthetic injections when repair-
ing multiple, large, or complex lacerations
in the emergency department. Especially in
the pediatric population, LET (lidocaine
2%, epinephrine 1:100,000, and tetracaine
2%) can be used as a topical preinjection
anesthetic. Cotton or gauze dipped in 4%
cocaine can be packed into the nares to
anesthetize the nasal mucosa.
Conscious sedation is also an anesthetic
Fig. 3. Sites for injection and affected areas for supraorbital, infraorbital, and mental nerve blocks. option that may be safely used in the

emergency department in certain situations.
This technique is quite helpful in children,
especially for perioral lacerations. Patients
must be closely monitored throughout treat-
ment and recovery by an anesthesiologist.
Wound Preparation
Following injection of local anesthesia and
time for it to take effect, the site is prepped
and draped in a sterile fashion. Depilation
is generally not necessary, though 0.5-cm
borders can be shaved around scalp lacera-
tions. The eyebrows should never be shaved
as they are major anatomic landmarks that
may not regrow satisfactorily. The field is
cleansed with surgical prep solution (Beta-
dine, or a similar prep solution), taking care
to protect the eyes. Hibiclens solution
should be avoided in the head and neck
region, as it can cause conjunctivitis. The
site is then draped in a sterile fashion. Bilat-
eral exposure is preferred, as it allows for
visualization of normal landmarks on the
unaffected side. If the patient is particularly
anxious, the entire face can be prepped and
included in the surgical field.
Cleansing of soft-tissue lacerations is ac-
companied by scrubbing or pressure irriga-
tion of the involved tissue, and sharp
debridement of the immediate contused tis-
sue edge if possible. Thorough tissue irriga-
tion helps to decrease contamination and
remove foreign material. Care should be
taken to remove all foreign material at the
time of the initial treatment. Ground-in dirt
or particles of debris cannot be satisfacto-
rily removed after healing of the skin. Mag-
nifying loupes greatly aid in thorough re-
moval of debris and closure. Resection of 1
or 2 mL of a contused soft-tissue edge re-
sults in a fresh skin edge for layered repair.
Areas where debridement should be conser-
vative or avoided altogether include the ver-
million border, lips, eyelids, eyebrow, nostril
rims, ciliary margin, and distal nose. Scar
formation is minimized by irrigation and
sharp debridement that achieves a minimally
contaminated, flat wound surface. This al-
lows for precise closure of wound margins.
Direct primary closure of facial wounds
is generally preferred, although open man-
agement is considered in special circum-
stances, such as animal bites. Wounds are
typically closed in two layers: one deep layer
of buried absorbable sutures and a superfi-
cial layer of nonabsorbable suture, gener-
ally monofilament nylon. In children or
adult patients where there is concern that
the patient will not return for suture re-
moval, absorbable suture can be used for
superficial closure. Staples are suitable for
closure of scalp lacerations, but should not
Chapter 31: Evaluation and Repair of Common Facial Injuries
be placed on the face. Superficial sutures
should be removed in 4 to 7 days. Penrose
drains can facilitate the elimination of dead
space in wounds, and are removed in 24 to
48 hours. Wounds requiring drain place-
ment or local soft-tissue rearrangement for
closure are generally the result of significant
soft-tissue loss, in which case a plastic sur-
gery consult is warranted. Additionally, a
consult should be called for any amputa-
tions of large portions of the lip, scalp, or
ear, as microvascular replantation may be
possible. In these instances, if the ampu-
tated tissue is still present, it should be
cleansed with saline irrigation, cleansed of
gross debris, wrapped in saline-moistened
gauze, and placed in a plastic bag on ice. Dry
ice should not be used. Referral to a micro-
surgical replantation center is warranted.
Dermabond (2-octyl cyanoacrylate),
though approved for skin closure, should be
avoided on the face. It does not adhere to
mucosal surfaces or the scalp, and generates
a foreign body reaction if placed into an open
wound. Furthermore, wounds closed super-
ficially under tension risk suture breakdown
in the short term, and hypertrophic scarring
in the long term. The placement of deep su-
tures allows for tension-free repair. Lacera-
tions in the face are also often complex in
geometry, making precise closure with
Dermabond difficult to achieve. For these
reasons, Dermabond has very little utility in
the management of craniofacial lacerations.
Antibiotics are not routinely necessary
for simple lacerations of the face because its
rich vasculature is protective against infec-
tion. However, antibiotic use is required
when the wound cannot be made “clean” by
surgical debridement, or in the presence of
high-level contamination, such as from ani-
mal or human bites. Although animal and
human bite wounds are generally not rou-
tinely repaired, bite wounds of the face may
safely be closed primarily following a thor-
ough debridement and the administration of
antibiotics. A first-generation cephalosporin
administered at the time of closure and pre-
scribed for 5 days after repair is sufficient.
Special Considerations
Several important major anatomic struc-
tures may be injured with lacerations that
occur in specific areas. These injuries require
specialized management. Lacerations of ma-
jor sensory or motor nerves such as the
trigeminal and facial nerve branches and
lacerations of the parotid duct should be
managed in the operating room by direct re-
pair with fine suture material under loupe or
microscopic magnification. Facial nerve in-
jury should be suspected with penetrating
405
Fig. 4. Location of the facial nerve and Stensen’s
duct.
injuries that occur on a line between the
mastoid process and the lateral brow (Fig. 4).
In most cases, weakness of the muscles of fa-
cial expression will be evident. Microsurgical
repair in the operating room is warranted.
The parotid or Stensen’s duct is a short
structure that travels from the anterior
margin of the parotid gland approximately
1 inch anterior to the tragus to the area of
the upper maxillary bicuspid tooth where it
enters the intraoral mucosa at the parotid
papilla. It roughly follows a line drawn from
the floor of the nostril to the tragus. Any in-
jury along this line should be considered to
involve the parotid duct. When injury to the
parotid duct is suspected, a number 22 an-
giocath sleeve may be introduced intraorally
into the parotid duct via the parotid duct
The Head and Neck
papilla in the buccal mucosa. Saline in-
jected through the angiocath will then be
visible in the wound in the presence of a pa-
rotid duct laceration. Lacerations of the
parotid duct are almost invariably accom-
panied by buccal facial nerve branch lacer-
ation because the two structures travel next
to one another. Duct repair should be per-
formed in the operating room over a sili-
cone stent to prevent cutaneous salivary
fistulae and cheek swelling.
Localized hematomas commonly occur
in five places: (a) the ear (where cartilage
necrosis or a “cauliflower ear” may result
following perichondral hematoma) (Fig. 5),
(b) the cheek (where the buccal space cre-
ates an area for accumulation), (c) the eyelid
(where fibrosis and ectropion may result),
(d) the forehead (where pressure injury to
the overlying skin frequently results in skin
necrosis), and (e) the nasal septum (which
can lead to avascular septal necrosis and
subsequent nasal collapse if not promptly
drained). Any localized facial hematoma
should be drained by making an incision
over the fullest point with a #11 blade. A
small suction tip can then be inserted to
406 Part III: The Head and Neck

and tissue loss. Following stabilization of

the patient with ATLS protocol as described
previously, the soft tissues are cleansed, de-
brided, and closed over any associated frac-
tures without fracture fixation. The patient
is then returned to the operating room every
48 hours for opening of the wound, inspec-
tion, and further debridement if needed.
These serial wound inspections prevent
further tissue damage, and allow for early
detection and treatment of infection. Miss-
ing bone and soft tissue can be recon-
structed once tissue necrosis is no longer
present and any infection controlled.
A B
SOFT-TISSUE INJURIES
TO THE EYE, ORBIT, AND
LACRIMAL APPARATUS
Globe injuries require special attention and
management. Superficial lacerations of the
eyelid lateral to the punctum are approxi-
mated with skin sutures. Full-thickness lid
lacerations can be accompanied by globe
injury. If a globe injury is suspected, an oph-
thalmologic consult is mandatory. Once an
injury to the globe has been excluded, the
lid margin is closed using a layered ap-
proach (Fig. 6). The eyelash line, gray line,
and conjunctiva are reapproximated with
C fine sutures. Monofilament absorbable su-
tures are used to repair the tarsus, and the
external skin is closed with a 6-0 nylon
aspirate the hematoma. Alternatively, the suture. Care should be taken to pull the
hematoma cavity can be evacuated with se-
quential manual pressure. The cavity should
be thoroughly irrigated after evacuation to
remove any remaining clot and assess for
recurrent bleeding. A soft lubricated com-
pression dressing should then be applied to
minimize the likelihood of recurrence. Sec-
ondary drainage procedures within 24 to
48 hours are commonly necessary.
Black powder injuries and traumatic
tattooing represent a special case of facial
injury demanding unique treatment. If
untreated, myriad foreign bodies present
at the injury site can result in deformity.
To minimize deformity, debridement with
aggressive scrubbing of the wound in the
operating room is recommended with the
aid of magnification. Multiple rounds of
subsequent dermabrasion and/or laser
treatment can aid in optimizing cosmesis.
Wound care for facial gunshot wounds is
determined by the type of weapon, range of
injury, and path of the projectile. Low-
velocity gunshot wounds may be managed
as closed injuries (i.e., the involved soft tis-
sues are cleansed, excised as needed, and A B
closed primarily with immediate fixation of Fig. 6. Repair of a laceration across the margin of the lower eyelid. A: The tarsal plate is reapproximated
associated fractures). High-velocity gunshot with fine absorbable sutures that do not penetrate the conjunctiva. B: The lid margin is reapproximated
wounds or avulsive high-energy facial inju- with fine nonabsorbable sutures anatomically. The ends of the lid margin sutures are tied under the first
ries can produce extensive tissue damage external suture to prevent corneal abrasion.
 Chapter 31: Evaluation and Repair of Common Facial Injuries 407

Fig. 7. The nasolacrimal system.

A B
marginal suture tails under the first exter-
nal skin suture to prevent corneal irritation,
and possible corneal abrasion. External skin
sutures are removed in 4 to 7 days, and mar-
ginal sutures are removed in 7 to 10 days.
Lacrimal duct injury should be sus-
pected with laceration to the upper or lower
lid margin medial to the lacrimal punctum,
or following injury to the medial canthus.
The lacrimal duct in these areas is superfi-
cial, and thus easily injured by vertical lac-
erations (Fig. 7). Specialty consultation is
indicated if duct injury is suspected. In a
similar fashion to the repair of parotid duct
injuries, repair of lacrimal duct injury C
involves intraoperative cannulation of the Fig. 9. Repair of complex nasal laceration. A: The nasal mucosa is reapproximated with absorbable sutures.
nasal lacrimal duct with silastic tubing, fol- B: The cartilage is repaired with absorbable sutures on a noncutting needle. C: The skin is reapproximated.
lowed by microsurgical repair of the duct
over the stent and repair of the lid lacera-

tion. The stent is usually left in place for
6 months to avoid duct stenosis.
INJURIES TO THE EXTERNAL
able monofilament sutures as previously MANAGEMENT OF FACIAL
described. Similarly, in full-thickness lacer-
ations to the nose, the nasal lining is re-
FRACTURES
paired with chromic sutures, the cartilage The advent of rigid plate and screw fixation

The Head and Neck

EAR AND NOSE
Lacerations involving the external ear car-
tilage are reapproximated with monofila-
ment absorbable suture using a tapered
needle (Fig. 8). The auricular skin surfaces
are then approximated using nonabsorb-
A B
Fig. 8. Repair of a laceration of the external ear. A: The cartilage is reapproximated with absorbable
suture on a noncutting needle. B, C: The skin of the posterior and anterior surfaces is reapproximated
with nonabsorbable sutures.
is repaired with monofilament absorbable
suture using tapered needles, and the over-
lying skin is then approximated with a
monofilament 6-0 nylon suture (Fig. 9). He-
matomas can occur in both the nose and
ear, and should be managed as previously
described.
C sired, MMF can be applied to the jaws to
and the development of the facial buttress
concept of facial structural support in the
1980s revolutionized the treatment of facial
injuries. Additionally, absorbable plates
and screws became available for use in pe-
diatric patients in 1998. Adequate exposure
is crucial for precise anatomic reduction of
fracture segments. Access incisions, includ-
ing coronal, lateral eyebrow, subciliary,
transconjunctival, intraoral buccal sulcus,
and submandibular, can provide adequate
access to the facial skeleton with aestheti-
cally acceptable scars. Prompt, definitive
anatomical reconstruction of facial bone
injury affords superior aesthetic results and
can minimize the need for revision proce-
dures. Goals of fracture management are
early anatomic reduction of the fracture
fragments, rigid internal fixation, and res-
toration of preinjury dental occlusion.
Following complete directed physical ex-
amination and evaluation of CT/Panorex
imaging, grossly displaced tissues and frac-
tures can be manually repositioned. If de-
temporarily stabilize fractures involving the
occlusal segments. Bony injuries to the facial
skeleton are organized by anatomical region
408 Part III: The Head and Neck

and complexity. Fractures may be simple

(nondisplaced or slightly displaced), moder-
ate (requiring standard anterior incisonal
approaches), or extensive, requiring the
combination of anterior and posterior inci-
sions. The management of facial fractures
therefore first requires identification of frac-
tures in each anatomic region of the cranio-
facial skeleton as visualized on CT imaging.
The fracture pattern in each anatomic region
of the face is then classified, and manage-
ment options for the regional fracture pat-
tern weighed. Regions are then considered
in combination to generate a logical, graded
operative treatment sequence. In some in-
stances, immediate bone grafting is war-
ranted if significant bone loss is present.
Common donor sites include split calvarium,
iliac crest, and rib. Prophylactic antibiotics
are not generally required for open reduction
and internal fixation procedures, though this
remains controversial. We are attempting to
address this issue through an ongoing ran-
domized controlled trial at our institution.
The most common craniofacial fracture pat-
terns and their management are discussed
in the remaining sections of this chapter.
Due to its prominence and anatomy, frac-
tures of the nose are the most common fa-
cial bone injury in adults. Fractures of the
nose are diagnosed by history and physical
examination. In most cases, nasal fractures Fig. 10. Maxillary fractures.
are treated by closed reduction. While re-
duction can be achieved with external nasal
field blocks, general anesthesia facilitates
accurate closed reduction. Following reduc-
tion, the nasal pyramid should be supported
by an external nasal splint. In cases involving
the septum, the septum should be supported
by intranasal Doyle splints. Severe cases may
require cartilage or bone grafting with late
revisions. Revisions should be delayed for at
least 3 months following reduction.
Isolated zygoma fractures and zygomati-
comaxillary complex (ZMC) fractures com-
monly occur after midface trauma (Fig. 10).
The malar eminence and inferior orbital rim
are commonly depressed posteriorly and/or
inferiorly. When the zygoma is completely
dislocated at the zygomaticofrontal suture,
the lateral canthus may be inferiorly displaced
as its attachment to Whitnall’s tubercle is just
inside the inferior surface of the lateral
orbital rim. Surgical indications include the
presence of displaced bony segments that in-
terfere with the coronoid process of the man-
dible, flattened or displaced malar eminence,
enophthalmos, diplopia, vertical globe or lat-
eral canthus malposition, or anesthesia of the
infraorbital nerve from impingement. Occa-
sionally, orbital floor reconstruction with an Fig. 11. Favorable versus unfavorable mandible fractures. Favorable mandibular fractures, pictured
alloplastic implant or bone graft is necessary to the left, do not necessarily need to be plated as muscle pull impacts the fracture. In unfavorable
because of severe comminution. fractures, pictured to the right, muscle pull distracts the fracture. Rigid fixation is thus required.
 Chapter 31: Evaluation and Repair of Common Facial Injuries 409

Classically, “blowout” orbital fractures in-

volve the inferomedial and inferior portion of
the orbit, and result from direct blunt trauma
to the orbit. Medial or lateral gaze diplopia
may be present. This is rarely due to incarcera-
tion of the medial or inferior rectus, although
incarceration must be excluded. Rather, mus-
cle entrapment is usually mimicked by trau-
matic changes in the tensile strength of the
medial rectus muscle that result in alterations
in muscle moment arm. Nonetheless, true
muscle entrapment must be excluded with a
forced-duction examination and careful CT
imaging evaluation if diplopia is present. Or-
bital floor defects greater than 2 cm2 have tra- A B
ditionally been reconstructed, although this is
controversial. Absolute indications for surgery
to prevent late enopthalmos are significant
globe displacement, enophthalmos, or muscle
entrapment as diagnosed by forced duction
and confirmed with CT scan imaging. Recon-
struction is usually performed with open
techniques, although some centers are explor-
ing endoscopic repair. Minimally displaced or
nondisplaced fractures without visual distur-
bance may be managed by observation.
Mandibular fractures, though common
and appearing in predictable patterns, are
often missed on initial examination. Surgi-
cal fixation and MMF can be avoided if there
is no malocclusion, the patient is able to
function, and occlusal relationships are ac-
ceptable (i.e., “favorable” fracture) (Fig. 11).
In these cases, a soft diet is all that is re-
quired. In most cases, MMF is required to
restore and maintain normal occlusal rela-

The Head and Neck

tionships. Unfavorable fractures involving
the dentition generally benefit from MMF
with open reduction. Upper and lower man-
dibular border fixation is common as it en-
sures stability of the reconstruction. Upper
border fixation is usually unicortical. With
bilateral subcondylar fractures, one side
should usually be opened and rigidly fixated
to restore posterior facial height. MMF is
generally maintained for 4 to 6 weeks post-
operatively. Every effort should be made to
minimize time in MMF, as patients in fixa-
tion will frequently loose 15 to 20 pounds
over this period of treatment despite a blen-
derized diet. Patients kept in elastics can
maintain a soft diet. Fractures of the eden-
tulous mandible should be managed with
C
open reduction procedures. However, bone
height and quality often do not permit plate Fig. 12. Approach to panfacial fracture management using reconstruction of the horizontal and verti-
and screw fixation. These fractures may be cal buttresses as guiding principle. The (A) horizontal and (B) vertical facial buttresses are the support
effectively fixated with circumferential pillars of the face and overlying soft tissues. Disrupted buttresses must be reduced and reconstructed to
optimize results. Nondisrupted buttresses adjacent to fracture sites serve as anchor points for fixation
wires, splints, or acrylic saddles.
hardware. (C) In panfacial fractures, buttresses are sequentially reconstructed by dividing the face into
Maxillary fractures are classified accord- upper and lower units. Once reconstruction is complete in each unit, the two units are combined to
ing to the general patterns originally de- complete reconstruction.
scribed by Rene Le Fort in 1901 (Fig. 12).
Before fracture reduction is attempted,
patients are placed in MMF to maintain
410 Part III: The Head and Neck
normal occlusal relationships. Fractures
are typically exposed through gingivobuc-
cal sulcus incisions and then reduced and
fixated. If highly accurate rigid fixation is
obtained, intermaxillary fixation may be
released postoperatively or light elastic
traction in occlusion can be utilized. If the
bone segments are highly comminuted and
fixation is not as stable or accurate as de-
sired, MMF is maintained for 3 to 4 weeks.
While in MMF, chlorhexidine gluconate
oral rinse and tooth brushing with a small
toothbrush ensure adequate oral hygiene.
Displaced fractures of the frontal sinus
are treated to prevent deformity, telecan-
thus, and late infections, including pyomu-
cocele and intracranial infection. While de-
pressed fractures of the anterior wall may be
treated by simple elevation, posterior wall
fractures imply the possibility of a dural
laceration, especially when the depth of
displacement exceeds the thickness of the
posterior table. Fractures blocking the naso-
frontal duct are treated by obliteration or
cranialization of the sinus cavity. These tech-
niques minimize the possibility of intracra-
nial infection and mucocele development.
Following exposure through a coronal inci-
sion, the mucous lining of the frontal sinus
is stripped in its entirety, and a burr is used
to lightly abrade the sinus walls. Burring
eliminates invaginations of mucosa into the
bone ( foramina of Breschet), preventing
mucosal regrowth. In sinus obliteration, the
nasal frontal ducts are then plugged with
bone grafts. The remainder of the sinus is
then obliterated with bone shavings. This
procedure attempts to convert the sinus
into a portion of the bony skull through bone
transplantation. An acceptable alternative
is sinus cranialization. In this procedure, the
posterior wall of the frontal sinus is removed
following mucosal stripping and abrasion.
The brain and dura are then allowed to rest
on the remaining sinus floor and anterior
wall. The sinus is thus incorporated into the
intracranial space. Nose blowing is restricted
for a few weeks postoperatively.
The term “pan facial fractures” refers to
midface fractures in combination with man-
dibular and/or frontal bone fractures. These
injuries are frequently the result of high-
velocity gunshot wounds or massive blunt
trauma. Once no more soft-tissue necrosis
is seen following soft-tissue debridement as
previously described, the missing bone and
soft tissue can be reconstructed either seri-
ally or simultaneously. In reconstructing
complex craniofacial trauma, fractures are
sequentially fixated to reconstruct disrupted
facial buttresses. Dividing the face into two
conceptual units relative to the Le Fort I
level is a useful framework for reconstruc-
tion. In this schematic division, the “lower
face” refers to the mandible and the maxilla
up to the Le Fort I level. The “upper face” re-
fers to the zygoma, nose, nasoethmoidal re-
gion, and frontal bone. Distant soft tissue is
frequently required to replace missing bone
and soft tissue. While microsurgical free tis-
sue transfer for the reconstruction of cran-
iofacial trauma is well beyond the scope of
this chapter, bone and soft tissues from dis-
tant regions can be transferred to the area of
injury using free microsurgical techniques
to achieve multiple reconstructive aims in a
single-stage procedure.
POSTOPERATIVE
MANAGEMENT
Postoperative wound hygiene is accom-
plished daily with cleansing of sutures and
application of an antibiotic ointment. In-
traoral lacerations are cleansed by irrigation
and oral mouth washes. Strenuous physical
activity should be avoided 48 hours after in-
jury. Cold compresses can minimize swelling
and discomfort. Incisions can be washed 24
hours after closure. Application of a 50/50
mix of hydrogen peroxide and normal saline
can help remove crusts that have formed
along the suture line. Frequent postrepair
wound inspection should be performed to
detect hematoma or infection. Sutures are
generally removed in 4 to 7 days. Contact
sports can be resumed after craniofacial
trauma requiring plate and screw fixation,
but there is no consensus as to the duration
of time patients should refrain from contact
sports postinjury. In our practice, contact
sports can be resumed after radiographic
evidence of bone healing, which varies de-
pending on the location and extent of injury.
Patients are generally concerned about
scarring and the negative cosmetic seque-
lae of their injury. They should be informed
that all wounds and surgical incisions cre-
ate scars, but simple measures can reduce
scars. Gentle wound massage with moistur-
izing lotion can minimize scarring and pig-
mentation changes. Massage can begin
2 days after suture removal. Surgical scar
revision should only be considered after
wound maturation at 6 months to 1 year
postinjury. Mature scars are characterized
by return of skin pliability and resolution of
induration. Scar revision is highly benefi-
cial for cases where primary healing of the
wound was compromised by local infec-
tion, hematoma, or suboptimal wound care
due to associated life-threatening trauma.
As scars are generally made larger by exci-
sion, scar revision should be undertaken
conservatively. Debilitating scar contrac-
tures can occur at the eye, nose, and mouth.
Scars in these areas are therefore more
likely to require revision. Laser treatments
and dermabrasion have been suggested as
ancillary methods to manage hypertrophic
scars, but supporting evidence is lacking,
especially for use of these treatments early
in the wound-healing process.
CONCLUSIONS
Many common facial injuries can be appro-
priately managed by the trauma surgeon
through adherence to basic surgical princi-
ples. More complex injuries require spe-
cialty consultation. Effective treatment of
these injuries is maximized by early recog-
nition, referral, and treatment as outlined
in this chapter. Knowledge regarding treat-
ment of these complex injuries can facili-
tate interspecialty communication, allevi-
ate patient concerns early in the posttrauma
period, and optimize long-term reconstruc-
tive outcomes.
SUGGESTED READINGS
Clark N, Birely B, Manson PN, et al. High-energy
ballistic and avulsive facial injuries: clas-
sification, patterns, and an algorithm for
primary reconstruction. Plast Reconstr Surg
1996;98(4):583.
Glassman N, Iliff N, Vander Kolk C, et al. Rigid
fixation of orbital fractures. Plast Reconstr Surg
1990;86:1103–9.
Luyk NH, Ferguson JW. The diagnosis and initial
management of the fractured mandible. Am
J Emerg Med 1991;9(4):352–9.
Manson P. Facial injuries. In: Mathes SJ, ed. Plastic
surgery, 2nd ed. Philadelphia, PA: Elsevier, Inc;
2006.
Manson PN. Fractures of the zygoma. In: Booth
PW, Schendel SA, Hausamen JE, eds. Maxillo-
facial surgery, 2nd ed. St. Louis, PA: Churchill
Livingstone Elsevier; 2007:120–54.
Manson P, Clark N, Robertson B, et al. Subunit
principles in midface fractures: the importance
of sagittal buttresses, soft tissue reductions and
sequencing treatment of segmental fractures.
Plast Reconstr Surg 1999;103:1287–306.
Markovitz BL, Mandon PN, Sargent L, et al. Man-
agement of the medial canthal tendon in na-
soethmoid orbital fractures: the importance of
the central fragment in classification and treat-
ment. Plast Reconstr Surg 1991;87:43.
Rodriguez ED, Stanwix MG, Nam AJ, et al. Twenty-
six-year experience treating frontal sinus frac-
tures: a novel algorithm based on anatomical
fracture pattern and failure of conventional
techniques. Plast Reconstr Surg 2008;122:1850.
Taub D, Jacobs JS, Bessette RW. Treatment of
disorders of the temporomandibular joint. In:
Guyuron B, Erikkson E, Persing JA, eds. Plastic
surgery: indications and practice. Philadelphia,
PA: Saunders Elsevier; 2009:591–603.
Zide B, Swift R. How to block and tackle the face.
Plast Reconstr Surg 1998;101(3):840–51.

EDITOR’S COMMENT
Injuries to the face are like injuries to the lips, as
mentioned in Chapter 23, one of the things that
one sees first, and so an injury to the face, which
is not well repaired, or in which the bones are not
aligned, or the eyes with an orbital fracture in
which there is some difference between one eye
and the other, is easily recognizable.
Facial fractures, particularly in high-speed au-
tomobile accidents and other such injuries, can
be destructive. Patients can lose their lives from
bleeding, which can occur within the cranium or
from lacerations of arteries and veins within the
sinus cavities. Bleeding from a mid-face fracture
can be controlled by four mechanisms, as the au-
thors state:
1. The maxilla can be repositioned and secured
in the best “rest” position by maxillomandib-
ular fixation.
2. A posterior pack can be placed as an obtura-
tor in the nasopharynx, and an anterior pack
against the posterior pack. This is the best
tamponade pressure for lacerated vessels in
the sinus walls.
3. Selective arterial embolization may be uti-
lized in those cases that do not respond to
manual maxillary repositioning and anterior-
posterior nasal packing.
4. And on occasion, external carotid and su-
perficial temporal artery ligation is utilized.
In my own experience, when I found my way
into a large vessel in the back of the throat,
I had no alternative but to ligate the vessel,
and in fact it could have been a vessel with a
major vascular supply to the brain, although I
did not think so.
There are some nice tidbits here, which I think
the readers should be aware of. I entirely agree
that Dermabond (2-octyl cyanoacrylate) should
not be used in facial injuries. First, it does not
adhere to mucosal surfaces or the scalp, as the
author states, and generates a foreign body reac-
tion if placed in an open wound. “If the wounds
are closed superficially under tension risk suture
breakdown in the short-term, and hypertrophic
scarring in the long-term.” The best sutures to
close such injuries are either long-acting absorb-
able sutures, which can be placed deep, or very
fine proline in the skin and the appropriate re-
moval at a time that the surgeon thinks will not
leave hatch marks across the skin.
Since such injuries are likely to be in con-
taminated areas, it is interesting to note that
as the authors state that it is rare that antibiot-
ics are needed. It is true that the face has a rich
blood supply and as a result great resistance to
infection, although I would think that under
traumatic circumstances, the antibiotics might
be useful and should be used. A recent study uti-
lizing mandibular trauma, as the authors state
(Lauder A, et al. (Laryngoscope 2010;120:1940–
1945), there is no standard for the use of pre-
and postoperative antibiotics in other facial
trauma. To determine whether there should be
any recommendation, they reviewed 223 pa-
tients with traumatic facial injuries between
January 1, 2003, and January 1, 2009, which were
included in the retrospective cohort analysis.
Although all patients received perioperative
Chapter 31: Evaluation and Repair of Common Facial Injuries
antibiotic coverage, the antibiotic coverage was
in different areas in different ways. Some were
only perioperative antibiotics, whatever that
means, and I could not find in this paper the
definition of what was considered satisfactory
as far as perioperative antibiotic use was con-
cerned. Then, there were patients who received
perioperative antibiotics and postoperative an-
tibiotics presumably after the repair was closed.
The most antibiotic use was in those patients
who received pre-, peri-, and postoperative
antibiotics, and these apparently had a bias in
that these facial injuries were more severe than
those in the cohort that received only periopera-
tive antibiotics. Trauma and assault constituted
39% of these patients, motor vehicle accidents
28%, and 11% suffered falls. Interestingly, there
is no difference between infection rates for the
patients in each antibiotic group. The authors
concluded that the use of additional antibiotics
outside of the perioperative time frame did not
reduce the rate of postoperative infection. They
hedged their bets and said that perhaps antibi-
otic use might be warranted in the case of se-
vere contamination, trauma, and multiple open
fracture wounds. That may well be, but what is
disturbing here is that they actually could not
vouch for the time frame in which the periop-
erative antibiotics were given; in other words,
although the rate of infection was fairly low, it is
not clear that patients who were to receive anti-
biotics received the antibiotics in a timely fash-
ion prior to the repair of the injury so that there
was a reasonable level of antibiotics while the
wound was being repaired. To really solve this
question once and for all, one would probably
have to conduct a randomized prospective trial
in which one looked carefully at the time frame
in which antibiotics were given.
Orbital trauma is one of the most frequent
traumatic episodes and is important to restore
the orbit so that patients could have a reason-
able appearance. A comparative study of various
approaches to the repair of orbital trauma was
reviewed by Salgarelli AC, et al. (Oral Maxillofac
Surg 2010;14:23–27, published online). In this
study, 274 patients, 169 men and 105 women with
a broad spectrum of ages, 16 to 78 years, who had
orbital trauma without soft tissue lacerations in
the orbital region. Long-term follow-up, which
was defined as 6 to 48 months, and the patients
were reviewed as these trauma occurred, 2000 to
2007. Their return to the clinic was evaluated in
terms of aesthetics and function for the presence
of a visible scar and lower eyelid malposition
(scleral show or ectropion). Fifty of the 274 pa-
tients (28.2%) experienced complications. Since
there was no laceration, the approach to the or-
bit had to be through one of three approaches:
The largest group was in the subciliary approach,
of which 41 experienced complications; of the 32
patients with the transconjunctival approach,
there was only one complication; and among
the 23 patients treated with the transconjuncti-
val approach with canthotomy, there were eight
complications, or 35%. The purpose of these
various approaches was to make certain that
there was not a scar that was visible. However,
the results clearly revealed that once one did a
canthotomy with a transconjunctival approach,
there was a higher rate in lower eyelid malpo-
sition. The most successful repair, a transcon-
411
junctival incision without canthotomy, was the
most successful surgical outcome. The authors
stated that when a major surgical procedure is
necessary, a subciliary incision is recommended.
There are some nice photographs in this article;
Figure 3 shows a subciliary approach in the left
eye and the scar appearance 11 months postre-
pair; a transconjunctival incision with follow-up
10 months postoperatively; and a transconjunc-
tival approach with canthotomy, in which unfor-
tunately at 3 months there is an ectropion. The
authors conclude that any lateral canthotomy
very often will have poor healing, scleral appear-
ance, and unfortunately an ectropion. They ad-
vise against this repair.
As the authors state, the subtarsal incision,
which is also known as the mid-lower eyelid or
mid-lid approach, was popularized in the 1940s
by the great plastic surgeon at New York Hospital
John Converse. It is made at a level more inferior
to the lower lid margin in one of the subtarsal
creases and extends laterally into one of the rest-
ing skin tension lines located along the lateral
aspect of the orbit.
As the authors conclude, whatever approach
is used to access the orbital floor, lower eyelid
malposition is the most common long-term com-
plication following the surgical repair of orbital
fractures. A canthotomy should be avoided in the
hope that there will not be an ectropion.
Orbital fractures that go through the naso-
ethmoid area are among the most complex of
reductions. Sargent LA, in a single-author paper
from Chattanooga, Tennessee, and the University
of Tennessee at Chattanooga (Plast Reconstruct
Surg 2007;120(Suppl 2):16S), provided a review of
his experience with 450 nasoethmoid fractures.
He used a computed tomographic scan with a
simple classification: Fractures that are displaced
or moved upon examination require open reduc-
tion and stabilization. Wide exposure with me-
ticulous reduction and hemostasis is necessary.
The Head and Neck
The author proposes a plate-and-screw fixation
of the superior and inferior rims, performed with
bone graft reconstruction of the nose, as needed.
Attention to redraping of soft tissue in the naso-
orbital valley with the use of nasal compression
bolsters is a critical step in the repair. The author
states, “Early diagnosis combined with the ag-
gressive new surgical techniques will optimize
results and minimize the late post-traumatic
deformity.” Along these lines, Figure 5 in this
nice paper shows how one deals with the com-
minuted bilateral nasoethmoid orbital fracture.
The central bone segments are stabilized to each
other with transnasal wires, and the superior and
inferior orbital rim fractures are stabilized with
miniplates or microplates. The author claims that
nasal projection contour is essential with a can-
tilever calvarial bone graft to restore the frontal
view as well as the nasal fullness.
Another approach of frontal sinus repair and
injury is put forth by Noury M, et al. (Ann Plast
Surg 2011;66:451–459), along with the empha-
sis on a frontalis rhytid approach. The authors
state that frontal sinus fractures have tradition-
ally been repaired through a bicoronal approach,
which provides wide exposure but has its com-
plications particularly in a patient with a risk for
hairline recession—something that this editor is
quite prone to. These authors present a series of
15 patients who underwent open reduction and
(continued)
412 Part III: The Head and Neck
32 Resection and Reconstruction of Trachea
Joel D. Cooper and Stacey Su
INTRODUCTION
The management of tracheal stenosis is a
logistic as well as technical exercise requir-
ing the multidisciplinary input of thoracic
surgeons, pulmonologists, otolaryngologists,
experienced anesthesiologists, and inten-
sivists at different stages of the patient’s
care. Patients with acquired tracheal steno-
sis often present with comorbidities, which
require medical optimization prior to surgi-
cal resection. In carefully selected patients,
however, surgical resection of tracheal
stenosis offers a definitive treatment with
excellent outcomes and low perioperative
risk. The management of tracheal stenosis
encompasses diagnosis, initial assessment
and management of a critical airway, tem-
porizing maneuvers, and definitive surgical
treatment.
There are broadly three different types of
tracheal resections, each of which requires
a specific operative approach and tech-
nique depending on the location and extent
of tracheal involvement. The most straight-
forward of these is a segmental resection
with end-to-end anastomosis of a stenosis
located in the proximal to mid-trachea. Re-
sections at either end of the trachea, namely
a laryngotracheal resection at the proximal
end or a carinal resection at the distal end,
may require unique release maneuvers, dif-
ferent approaches, and more complicated
anatomic procedures.
ETIOLOGY
Characterization of tracheal stenosis is
based on the etiology of the stenosis, its
location and length, whether the stenosis is
evolving or mature in nature, and whether
the stenosis is limited to a single segment
or separate segments in series. Each of
these factors is considered in planning the
most appropriate intervention.
Benign conditions for which tracheal re-
section is considered include traumatic in-
jury, inhalational injury, postintubation and
posttracheostomy stricture, postintubation
tracheoesophageal fistula, and a variety of
inflammatory conditions. The most com-
mon cause of tracheal stricture is postintu-
bation stenosis, either attributable to pro-
longed endotracheal intubation or as a
complication from a previous tracheostomy
(Fig. 1). Idiopathic subglottic stenosis is a
disease in young women and typically
affects the cricoid and proximal trachea,
thus requiring a laryngotracheal resection.
Airway obstruction from malignant tu-
mors may result from extrinsic compression,
Fig. 1. Bronchoscopic view shows a nearly oblit-
erated upper airway, which may result from
postintubation stenosis and high tracheostomies
incorrectly placed near the cricoid.
local transmural invasion, or endoluminal
obstruction. Indications for tracheal resec-
tion for malignant tumors include adenoid
cystic carcinoma, locally invasive thyroid
cancer, and primary squamous carcinoma of
the trachea. Adenoid cystic carcinoma is
characterized by extensive microscopic in-
volvement of the tracheal wall well beyond
the visible borders of involvement. Resection
in these cases may be of value even if the final
margins show microscopic involvement as
subsequent postoperative radiation may be
associated with survival of 10 years or more.
Resection for primary squamous carcinoma
of the trachea is rare due to the advanced
stage at the time of diagnosis and likelihood
of mediastinal nodal involvement.
PREOPERATIVE WORKUP
AND EARLY AIRWAY
MANAGEMENT
Routine preoperative assessment includes a
history, physical examination, radiographic
imaging, and bronchoscopic evaluation.
Whenever possible, patients undergo pul-
monary function tests, including a flow-
volume loop, which shows a decrease in
both maximal inspiratory and expiratory
flows. Standard radiographs include antero-
posterior and lateral cervical views. A 3D CT
reconstruction of the airway yields mea-
surements of the length of the stenosis and its
relationship to the rest of the airway (Fig. 2).
These measurements serve as a guide before
proceeding to more precise confirmation by
bronchoscopy. The use of bronchoscopy is
essential to show the anatomy of the larynx
and glottis, the function of the vocal cords,
as well as the configuration of the stenosis
and remaining trachea. It is important to
note the distance from the stenosis to

Fig. 2. Three-dimensional CT reconstructions of the airway are useful to assess the configuration
of tracheal stenosis before precise measurements are obtained by bronchoscopy.
anatomic landmarks (vocal cords, carina,
and tracheal stoma) in addition to the length
of the stenotic segment and the health of the
surrounding mucosa.
The immediate management of the air-
way once the diagnosis of tracheal stenosis
has been made requires as much skill, ex-
pertise, and collaboration as the surgical
resection itself. There are few indications
for emergent tracheal resection, and nearly
all cases of tracheal stenosis may be man-
aged initially by establishing a patent air-
way. After initial evaluation of the anatomy
by flexible bronchoscopy (usually through
a laryngeal mask airway), dilation across
the stenosis may be accomplished by rigid
bronchoscopy or by balloon dilation. Bal-
loon dilation may be performed over a Bent-
son guidewire placed through the working
channel of a bronchoscope, with or without
the use of fluoroscopy. Especially in the case
of critical stenosis, it is important to main-
tain the patient’s spontaneous breathing
and to avoid muscle relaxants until a safe
airway has been established. One should be
ready with available equipment for an emer-
gent tracheostomy if needed. Rigid bron-
choscopy can be performed with broncho-
scopes of increasing caliber in order to
dilate in a safe, controlled way while main-
taining the ability to ventilate, visualize,
and suction at the same time.
Most cases of critical stenosis can be ini-
tially treated with a single dilation session,
the benefits of which lasts 7 to 10 days while
an overall plan for long-term management
Chapter 32: Resection and Reconstruction of Trachea
of the airway is formulated. Taking into
consideration the patient’s overall medical
condition and surgical candidacy, the op-
tions include repeated dilation, elective re-
ferral for surgical resection, or placement of
an airway prosthesis (stent, tracheostomy,
or T-tube). If tracheal resection is planned
in the ensuing few weeks, dilation alone
may be adequate to carry the patient until
this time. If internal tracheal stents are to
be used, only silicone stents or T-tubes
should be utilized since expandable metal
stents potentially lead to further mucosal
damage and complicate a subsequent sur-
gical resection. In some cases, a T-tube or
tracheostomy affords a long-term solution
to airway stenosis, either in patients with
multiple segments of affected trachea or in
poor surgical candidates for resection.
TRACHEAL RESECTION
In the last few decades, refinements in the
surgical and anesthetic techniques for tra-
cheal resection have yielded excellent out-
comes with tolerable morbidity and mortal-
ity. Tracheal resection carries multiple
benefits. The question of which patient char-
acteristics portend a good outcome requires
a consideration of the risk factors for poor
outcomes in tracheal resection. As there is
seldom a situation which requires emergent
tracheal resection and reconstruction, care-
ful patient selection and appropriate timing
of surgery are central to successful outcomes
of resection. The routine use of steroids and
413
any ongoing requirement for ventilatory
support set the stage for a higher rate of
anastomotic dehiscence and other compli-
cations of tracheal resection. Any patient
with reversible medical conditions should
have resection deferred until the time at
which they are deemed best equipped from
a cardiopulmonary standpoint and optimal
physical conditioning. Reoperation after a
failed tracheal resection is associated with
increased risk, complexity, and may produce
an inferior result compared to an initial, suc-
cessful reconstruction.
Principles of Tracheal Resection
The principles of tracheal resection are de-
rived from elementary surgical tenets: a
healthy anastomosis will result from metic-
ulous mucosal apposition between well-
vascularized tissues opposed without un-
due tension. To that end, the following
corollaries hold: (a) the limits of tracheal
resection must extend to healthy, normal
tissues, and (b) circumferential dissection
beyond the resected ends should be mini-
mized so as to not jeopardize the segmental
nature of tracheal blood supply. Up to half of
the trachea (about 12 cm) may be resected
with primary end-to-end anastomosis.
However, if more than three to four carti-
laginous rings are resected, then tension-
releasing maneuvers beyond flexion of the
head and mediastinal mobilization within
the avascular pretracheal plane must be
considered. Such maneuvers include the su-
The Head and Neck
prahyoid release, as described by Montgom-
ery, and the hilar release, with each of these
permitting an additional 1 to 2 cm of resec-
tion. In general, dissection immediately ad-
jacent to the tracheal wall will prevent in-
jury to the recurrent laryngeal nerves and
esophagus. An exception is the posterior
cricoid plate, behind which the recurrent
laryngeal nerves ascend to enter the cri-
coarytenoid joint on either side. When the
condition to resect back to healthy tissue
cannot be met, for example, in many inflam-
matory conditions where there are multiple
affected segments in series or globally in-
flamed mucosa, then surgical candidacy for
tracheal resection must be questioned.
Important Landmarks
The cartilaginous skeleton of the larynx,
which houses the vocal cords, is comprised
of the thyroid, cricoid, and arytenoid carti-
lages. The narrowest fixed part of the airway
is marked by the cricoid ring. The recurrent
laryngeal nerves lie in the tracheoesopha-
geal groove and enter the larynx at the level
of the inferior cornu of the thyroid cartilage.
414 Part III: The Head and Neck
When attempting to excise unhealthy mu-
cosa overlying the posterior cricoid plate,
the excision should not be carried >2 cm
proximal to the inferior edge of the plate to
avoid injury to the cricoarytenoid joint.
Incisions
The surgical approach is dictated by the lo-
cation and extent of diseased trachea. Ma-
lignant lesions involving the upper and
mid-thirds of the trachea and benign condi-
tions extending down to within four rings of
the carina may be managed through a cervi-
cal incision. This may require a partial ster-
notomy for adequate visualization. Malig-
nant lesions involving the distal third and
benign conditions extending to within four
rings of the carina may be accessed via a
right thoracotomy, although a transsternal
approach can also be considered. The latter
approach allows an exposure of the carina
by incising the posterior pericardium while
retracting the superior vena cava to the
right and the ascending aorta to the left.
Operative Steps
The management of the airway requires
synchronized communication between the
surgeon and anesthesiologist. At the start
of the procedure, assessment by bronchos-
copy guides whether initial dilatation with
a ventilating scope is required to permit
the passage of an orotracheal endotracheal
tube beyond the stenosis. In the setting of
nearly obstructive lesions, induction via in-
haled agents should be employed to pre-
serve spontaneous ventilation. If possible,
intubation across the lesion is performed
following dilatation. Sterile anesthesia tub-
ing and connectors are passed to the anes-
thesiologist for use across the operative
field. Upon tracheal division, the orotra-
cheal tube is retracted out of the field, and
a sterile cuffed 6-0 flexible armored endo-
tracheal tube is intermittently inserted into
the cut end of the distal trachea to provide
cross-table ventilation. Alternatively, a jet
ventilation catheter can be directly placed
into the cut distal airway from the field or a
separate jet catheter can be advanced from
within the lumen of the partially with-
drawn oropharyngeal endotracheal tube.
Once the posterior half of the anastomotic
sutures is complete, the original orotra-
cheal tube is advanced into the distal air-
way during completion of the procedure.
The steps of tracheal resection and re-
construction can be reduced to the follow-
ing: (1) localize the diseased segment, (2)
mobilize the trachea, (3) transect the tra-
chea, (4) resect the affected area, (5) employ
release maneuvers if necessary, and (6)
reconstruct.
The patient is placed supine with an in-
flatable roll beneath the upper back to ex-
tend the neck. An esophageal bougie (size 30
Maloney) or nasogastric tube can be placed
to facilitate later dissection of the trachea
from the esophagus. A transverse cervical in-
cision centered at the cricoid cartilage is
made. Skin flaps are elevated in the subplat-
ysmal plane, extending from the superior ex-
tent of the larynx to the sternal notch inferi-
orly. The strap muscles and thyroid isthmus
are divided along the midline. Blunt dissec-
tion to separate the superficial and deep
strap muscles facilitates exposure and subse-
quent tracheal mobilization. The pretracheal
plane is bluntly developed with a finger in the
anterior mediastinum toward the carina.
The level of the tracheal stenosis is usu-
ally evident through the outward appearance
of narrowing, dense scar, and surrounding
inflammation. If in doubt, the tracheal steno-
sis can be localized with the use of a flexible
bronchoscope inserted through the endotra-
cheal tube from above. Under bronchoscopic
control, the stenosis is then identified by
transillumination or by direct localization
using a transtracheal 25-gauge needle. The
tracheal wall at this point is then marked
with a fine stitch. After mobilization is com-
plete, circumferential tracheal dissection at
the level of the affected segment is performed
sharply, taking care to remain close to the
tracheal wall in order to minimize risk of in-
jury to the recurrent laryngeal nerves and to
avoid airway devascularization.
Before the trachea is incised, proximal
and distal full-thickness 2-0 silk traction su-
tures are placed 1 to 2 cm away from the pro-
posed line of resection on either side in the
mid-lateral position. The trachea is partially
transected anteriorly through the stenotic
segment (Fig. 3). Subsequent parallel incisions
can be made distally until the airway lumen is
sufficient to allow direct tracheal intubation
and cross-table ventilation. Transection of the
posterior wall of the trachea is performed
under direct vision from the luminal as well
as external aspects, using the esophageal
bougie as a guide to help avoid esophageal
injury when separating the membranous
wall of the airway from the esophagus. The
caliber and thickness of the airway wall at
the distal extent of the resection is evalu-
ated. If the distal end is not free of disease,
then further resection is done, incising 1 to
2 mm at a time in a “breadloaf ” fashion to
avoid removing normal airway.
Attention is then turned to the proximal
end of the stenosis, which is gradually incised
in stepwise fashion until normal airway is
encountered. With the head in flexion and
Fig. 3. Once the thyroid isthmus is divided, the
tracheal stenosis is evident through the outward
appearance of narrowing, dense scar, and sur-
rounding inflammation. A circumferential trache-
al dissection is carefully performed, and the tra-
chea is transected through the stenotic segment.
the shoulder roll deflated, the proximal and
distal traction sutures are now temporarily
approximated to determine whether ade-
quate mobilization has been performed to
allow a tension-free anastomosis or whether
a release maneuver is required. If no release
maneuvers are needed, a single layer of in-
terrupted 4-0 vicryl sutures (lubricated with
mineral oil) is placed along the posterior
membranous wall in an end-to-end fashion
with the knots inside the lumen. Sutures are
placed 3 to 4 mm apart and 3 to 4 mm away
from the edge. The armored tube is removed
and replaced as needed to allow the meticu-
lous placement of sutures. Alternatively, a jet
catheter into the distal airway can be used,
either through the partially withdrawn en-
dotracheal tube or across the field directly
into the distal end of the trachea. Folded
blankets are placed under the head to main-
tain the head in a flexed position while the
posterior wall sutures are tied.
Once the posterior wall is complete, the
anesthesiologist advances the jet catheter
within the oropharyngeal endotracheal
tube and continues ventilation in this man-
ner, while the sutures for the lateral and an-
terior anastomosis are placed with knots
on the outside of the lumen (Fig. 4). Before
the anterior wall sutures are tied, the oropha-
ryngeal endotracheal tube is advanced un-
der direct vision past the anastomosis. After
the anastomosis is complete, the anesthesi-
ologist then tests for a leak by insufflating
to 30 cm H2O airway pressures, with the en-
dotracheal tube cuff deflated.
If the airway damage involves the cri-
coid as in the case of idiopathic subglottic

Fig. 4. While the trachea remains transected, the airway may be managed with a jet ventilation catheter
placed into the distal airway either across the field or through the lumen of a partially withdrawn oral
endotracheal tube. The posterior wall of the anastomosis is performed with the jet catheter in position.
Before the anterior wall sutures are secured, the endotracheal tube is carefully advanced over the jet
catheter and past the anastomosis.
stenosis or postintubation injury due to a
high tracheostomy, the anterior cricoid ring
can be removed to the midpoint of its lat-
eral aspect on either side. The posterior cri-
coid plate can be partially reamed out with
a pituitary rongeur or a diamond burr, but
its posterior perichondrium must be pre-
served to protect the recurrent laryngeal
nerves. For a high intralaryngeal anastomo-
sis, we sometimes use fine stainless steel
wire (#34 gauge) for the posterior portion of
the anastomosis. This provides a strong, in-
ert suture line and decreases the formation
of granulation tissue, which can result from
the use of absorbable sutures.
To protect the anterior tracheal suture
line from erosion into surrounding struc-
tures such as the innominate artery, the
anastomosis may be buttressed by reap-
proximating the thyroid isthmus or strap
muscles over it. If necessary, a pedicled
strap muscle may be used. A penrose drain
is placed in the subplatysmal plane prior to
reapproximating the platysma and skin. At
the end of the procedure, a “guardian” chin-
stitch is placed full-thickness through the
submental skin and the skin of the anterior
chest wall near the sternomanubrial junc-
tion. The stitch serves as a reminder to the
patient to keep the neck flexed and thus
avoid excessive tension on the anastomosis.
As the patient resumes spontaneous venti-
lation and slowly awakens from general
Chapter 32: Resection and Reconstruction of Trachea
anesthesia, a final bronchoscopy is per-
formed via laryngeal mask in order to ob-
serve vocal cord function, glottic edema,
and anastomotic patency.
Special Considerations for
Laryngotracheal Resection
When tracheal length is deemed inadequate
for the creation of an end-to-end anastomo-
sis without tension, it is advisable to perform
a release maneuver to release the larynx
from its superior attachments. As a guide-
line, a release is usually anticipated if 4 cm or
more of tracheal length is resected. The su-
prahyoid release, described by Montgomery,
is preferred to the infrahyoid release, de-
scribed by Dedo, Fishman, and Ogura, as it
is associated with a lesser risk of aspiration
in the early postoperative period. The su-
prahyoid release may be carried out through
a separate short transverse incision over
the hyoid bone and is ideally performed
prior to tracheal transection (Fig. 5). The
subplatysmal plane between the two inci-
sions is fully developed so as to maximize
the descent of the larynx. Once the hyoid
bone is exposed, the muscle attachments to
its superior surface are sharply divided and
the lesser cornua of the hyoid bone are
transected. The hyoid bone is vertically
divided anterior to the attachment of the
tendinous portion of the digastric muscle,
415
Fig. 5. Through the cervical incision, skin flaps are
elevated, extending from the larynx superiorly to
the sternal notch inferiorly. In laryngotracheal re-
sections, a suprahyoid release may be performed
through a separate transverse incision over the
hyoid bone.
allowing the central portion of the released
bone to descend along with the larynx. The
pre-epiglottic tissue is then incised with a
scalpel down to the mucosa.
The Head and Neck
In the case of a laryngotracheal resection,
a vertical laryngofissure may improve access
to the posterior mucosa along the subglottic
region. With the thyroid alae partially or
completely separated, careful coring out or
reaming of the cricoid plate can be per-
formed, leaving the posterior perichondrium
intact and preserving the cricoarytenoid
joints. If posterior scar tissue extends be-
tween the arytenoids, collaboration with an
otolaryngologist will allow the advancement
of a supraglottic mucosal flap to cover the
posterior portion of the anastomosis. The
posterior and lateral aspects of the anasto-
mosis are completed before the laryngofis-
sure is closed. After closure, the anterior
portion of the anastomosis between the an-
terior wall of the trachea and to the inferior
rim of the thyroid cartilage anteriorly can be
completed. When possible, preserving a por-
tion of the cricothyroid membrane along the
lower edge of the thyroid cartilage facilitates
the anterior portion of the anastomosis.
If there is any concern about the safety
of the airway, a mini-tracheostomy (Por-
tex #4) or small cuffed tracheostomy
may be placed a couple of rings below the
416 Part III: The Head and Neck
airway anastomosis for airway protection.
On occasion, a silicone T-tube may be
placed following a laryngotracheal resec-
tion. The judgment to place a tracheos-
tomy postoperatively is determined by ex-
pected vocal cord edema more than by
anticipation of an ongoing need for posi-
tive pressure ventilation. The tracheos-
tomy assures airway patency until resolu-
tion of perioperative edema and also
facilitates pulmonary toilet. Mini-tracheo-
stomies require nursing education for safe,
informed handling.
Special Consideration for Distal
Tracheal Resection
Based on the nature of the operative indi-
cation, distal tracheal and carinal resec-
tions may be approached via either median
sternotomy or right posterolateral thorac-
otomy. For benign disease or a tumor that
appears confined to the airway without sig-
nificant extension beyond the trachea, the
median sternotomy approach is suitable.
For bulky tumors or tumors with subcari-
nal or posterior extension, a right thoraco-
tomy is preferred. To promote maximal
mobilization of the trachea, a right hilar
release is performed, which is possible
from either a sternotomy or thoracotomy
approach. The hilar release refers to the re-
lease of the right hilum from pericardial at-
tachments to the inferior vena cava, afford-
ing a couple of centimeters in cephalad
mobility of the trachea and is the same ma-
neuver often used to reduce anastomotic
tension following a right upper lobe sleeve
resection. Of note, there is no release ma-
neuver associated with the left hilum. A
curved pericardial incision is made ante-
rior and posterior to the lower border of
the right inferior pulmonary vein in a “U”-
shaped fashion. The cut edge of the pericar-
dium inferior to the pulmonary vein is
grasped with a Kocher clamp. This exposes
the fibrous septum extending between the
pericardium and the inferior vena cava to-
ward the diaphragm. The septum is subse-
quently incised within the pericardium.
The airway proximal and distal to the le-
sion to be resected should be encircled,
taking care to avoid injury to the left recur-
rent laryngeal nerve, which lies in the tra-
cheoesophageal groove at this level. Tra-
cheal rings are successively removed, with
attention to not exceed the safe limits of
tension upon the anastomosis. In the case
of adenoid cystic carcinoma, incomplete
resection and postoperative radiation
treatment may be preferable to a complete
resection with a tenuous anastomosis un-
der tension.
POSTOPERATIVE
MANAGEMENT
There is no role for routine use of pro-
longed postoperative systemic steroids. A
dose of solumedrol may be administered
at the completion of the procedure, fol-
lowed by one or two doses for the first 24 to
36 hours. To further decrease glottic and
supraglottic edema, an algorithm of con-
current maneuvers can be employed. These
include voice rest, racemic epinephrine
nebulizers, humidified air, upright posi-
tion, gentle diuresis, and heliox adminis-
tration. To decrease the movement of the
larynx and avoid aspiration, patients are
maintained NPO for the first few days, with
a longer interval prescribed the closer the
anastomosis lies relative to the glottis.
Bedside swallow evaluations are initially
performed by the staff starting with jello,
followed by oral intake monitored for
cough or other signs that accompany aspi-
ration. Patients are slowly advanced in
their diet accordingly.
Laryngotracheal resections are associ-
ated with a higher rate of transient pharyn-
geal dyscoordination with the potential risk
of aspiration, attributable to postoperative
pain and edema, regardless of the status of
glottic sensory feedback. Physical restric-
tions against hyperextension are initially
reinforced through the maintenance of the
chin stitch for the first 5 to 7 days after re-
section.
One week postoperatively, a surveillance
bronchoscopy, often at the bedside, is per-
formed to evaluate the health and patency
of the anastomosis. Subsequently, patients
are scheduled for outpatient visits at estab-
lished intervals and monitored for symp-
toms, which may herald the development of
anastomotic strictures.
OPERATIVE RESULTS
The rationale behind rigorous planning of
the timing and selection of surgical candi-
dates before tracheal resection is to avoid
complications, which can be life-threatening
if an adequate airway is not maintained.
Airway complications can be divided into
those that involve the anastomosis and
those that do not. Airway-related compli-
cations that do not involve the anastomo-
sis include glottic edema, aspiration,
vocal cord paralysis, and the need for
temporary tracheostomy. These are more
common after a laryngotracheal resection
than with simple segmental tracheal re-
section.
Grillo et al. were among the first to pub-
lish their experience with complications af-
ter tracheal resection. They documented a
progressive rise in anastomotic tension with
increasing length of resection and suggested a
safe limit of 4.5 cm (corresponding to 1,000 g
of tension) to avoid anastomotic failure.
Anastomotic complications are uncom-
mon but can lead to severe morbidity when
they occur. They result from excessive ten-
sion across the suture line, as well as failure
to resect back to healthy mucosa, and to
postoperative infection. The incidence of
complications varies according to the un-
derlying pathology of tracheal stenosis and
whether or not the anastomosis involves
the larynx. In the largest series of tracheal
resections examining 901 cases over 28
years, Wright et al. reported that the high-
est rate of anastomotic complications oc-
curred in diagnoses such as tracheoesopha-
geal fistula and postintubation stenosis,
rather than idiopathic subglottic stenosis
and tracheal tumors.
Successful results following resection
were identified in 95% of patients, anasto-
motic complications occurred at a rate of
9%, and overall perioperative mortality was
1.2%. A multivariate analysis identified the
following risk factors to be associated with
anastomotic complications: diabetes, reop-
eration, longer resections (>4 cm), young
age (pediatric patients <17 years of age),
need for tracheostomy before the opera-
tion, and laryngotracheal resection. Some
of these factors, such as preoperative tra-
cheostomy, longer resections, and laryngot-
racheal resection, are surrogate markers of
advanced disease with greater severity of
tracheal involvement. In patients who had
anastomotic complications, the mortality
was 7.4%; in those without them, it was
0.01%.
This series established the excellent
outcomes of surgical resections and the
associated low mortality rate that are
possible in the hands of experienced sur-
geons. It also emphasized the use of rou-
tine bronchoscopy before hospital dis-
charge in the early detection of anastomotic
complications. Depending on the severity,
anastomotic complications are managed
by bronchoscopic interventions such as
debridement and dilation, placement of
an airway appliance, or reoperation. The
complications vary along a spectrum of
differing severity: granulation tissue,
stenosis, and disruption. Granulation tis-
sue may be handled with bronchoscopic
cautery, progressive debridement, and
gentle dilation. Airway stenosis following
tracheal resection will usually respond
to serial dilation using balloon dilation
or rigid bronchoscopy. In rare cases, the
treatment of recurrent airway stenosis

may require the use of tracheal stent or T-
tube. Local therapies such as mucosal in-
jections of steroids may be employed in
cases of refractory stenosis but usually
have limited long-term benefit. Initial
management of disruption at the suture
line requires airway control through a tra-
cheostomy or T-tube. Limited separation
may heal over temporary silicone stents or
T-tubes without further intervention. If
deemed necessary, reoperation is usually
deferred for at least 6 months to a year
until peritracheal inflammation resolves
maximally.
SUMMARY
Tracheal resection is performed for benign
causes of stenosis, fistula to surrounding
structures (esophagus or innominate ar-
tery), and for malignancy. The process of
evaluating a patient for tracheal resection
and reconstruction begins with a careful
evaluation of the anatomy and the estab-
lishment of a patent airway. Selective refer-
ral of operable candidates for tracheal re-
section leads to excellent outcomes and a
low associated mortality rate in experi-
enced hands.
EDITOR’S COMMENT
One cannot talk about surgery of the trachea
without mentioning Dr. Hermes Grillo, a great
thoracic surgeon, who may have invented it,
but certainly popularized and made possible to
do extensive resections of the trachea including
the carina. Dr. Grillo was a meticulous surgeon.
I do not remember how much time he spent in
the dog lab. I suspect it was significant because
it would be unlike of him and out of character for
him to carry out operations on humans, which
he did not carry out on experimental animals.
While in doing and working out the technique of
resection of trachea and reanastomosis it became
clear that 5 cm was the limit even with the Mont-
gomery release, which he used to bring down the
laryngeal structures and chin stitch, which I re-
member as a resident, that kept elevation of the
chin from stretching the anastomosis.
Dr. Grillo and I became very good friends
and we had talked about doing a biography of his
mentor, Dr. Edward Churchill, long-time chief at
the MGH and my first surgical mentor, in keeping
with our belief that it was the Churchill program,
which is the surviving program in the United
States, intended to populate the United States
with well-trained surgeons. This is not an attempt
to take away credit from Professor William Stew-
art Halstead of Hopkins whose tremendous con-
tribution to residency programs in general were
what brought the European-type residency pro-
gram to the United States. It was not Halstead’s
intention to produce large numbers of surgeons,
Chapter 32: Resection and Reconstruction of Trachea
SUGGESTED READINGS
Ashiku SK, Kuzucu A, Grillo HC, et al. Idiopathic
laryngotracheal stenosis: effective definitive
treatment with laryngotracheal resection. J
Thorac Cardiovasc Surg 2004;127(1):99–107.
Cooper JD, Grillo HC. The evolution of tracheal
injury due to ventilatory assistance through
cuffed tubes: a pathologic study. Ann Surg 1969;
169(3):334–48.
Cooper JD, Grillo HC. Analysis of problems re-
lated to cuffs on intratracheal tubes. Chest
1972;62(2):21S–27S.
Cooper JD, Todd TR, Ilves R, et al. Use of the sili-
cone tracheal T-tube for the management of
complex tracheal injuries. J Thorac Cardiovasc
Surg 1981;82(4):559–68.
Cooper JD, Pearson FG, Patterson GA, et al. Use
of silicone stents in the management of airway
problems. Ann Thorac Surg 1989;47(3):371–8.
Gaissert HA, Grillo HC, Shadmehr BM, et al. Laryn-
gotracheoplastic resection for primary tumors
of the proximal airway. J Thorac Cardiovasc Surg
2005;129(5):1006–9.
Geffin B, Grillo HC, Cooper JD, et al. Stenosis
following tracheostomy for respiratory care.
JAMA 1971;216(12):1984–8.
Grillo H. Surgery of the Trachea and Bronchi, 1st ed.
Hamilton, Ontario: BC Decker; 2004.
Grillo HC, Cooper JD, Geffin B, et al. A low-pressure
cuff for tracheostomy tubes to minimize
tracheal injury. A comparative clinical trial. J
Thorac Cardiovasc Surg 1971;62(6):898–907.
but rather to have a program that was pyramidal
in nature by which the surviving excellent sur-
geons who stayed around at Johns Hopkins as a
sort of junior faculty after or before they finished
the program but when they finished the program
they left Hopkins to become full professors and
chairs at various institutions. Their excellence
need not be debated and most of them were
highly successful in establishing renowned pro-
grams. Indeed, even the trainees, once removed
from Halstead, such as my predecessor in Cin-
cinnati, Dr. William Altemeir, founded or kept in
excellence the program in Cincinnati, which was
founded by George Heuer and Mont Reid, both of
whom were Halstead products.
It is not a question of credit, but in the illumi-
nation of history of Dr. Churchill’s great contribu-
tion to the American residency, which basically
stated that one could recognize at the beginning
of the application process an individual who
could be trained over 5 years and graduated, per-
haps not as a chairman, but as a competent sur-
geon. Dr. Churchill produced many chairs. I count
myself among them, and certainly Dr. Grillo could
have gone on to be a chair in practically any place
he wished to be, but he did not want to. That and
the fact that Dr. Churchill’s great contribution
among others including some of the very early
work doing the first lobectomy, as it turned out
the patient had a metastasis of an hyperneph-
roma and lived for 20 years after its resection
and Dr. Churchill’s seminal work on constrictive
pericarditis as well as pulmonary resection. Most
of all, it was Dr. Churchill’s contribution in World
War II to recognizing that the shock that he ob-
417
Grillo HC, Mathisen DJ, Wain JC. Laryngotra-
cheal resection and reconstruction for sub-
glottic stenosis. Ann Thorac Surg 1992;53(1):
54–63.
Grillo HC, Donahue DM, Mathisen DJ, et al. Postin-
tubation tracheal stenosis. Treatment and results.
J Thorac Cardiovasc Surg 1995;109(3):486–92;
discussion 92–3.
Mathisen DJ. Surgery of the trachea. Curr Probl
Surg 1998;35(6):453–542.
Montgomery WW. The surgical management of
supraglottic and subglottic stenosis. Ann Otol
Rhinol Laryngol 1968;77(3):534–46.
Pearson FG, Cooper JD, Nelems JM, et al. Primary
tracheal anastomosis after resection of the cri-
coid cartilage with preservation of recurrent
laryngeal nerves. J Thorac Cardiovasc Surg 1975;
70(5):806–16.
Pearson FG, Todd TR, Cooper JD. Experience
with primary neoplasms of the trachea and cari-
na. J Thorac Cardiovasc Surg 1984;88(4):511–8.
Pearson FG, Brito-Filomeno L, Cooper JD.
Experience with partial cricoid resection and
thyrotracheal anastomosis. Ann Otol Rhinol
Laryngol 1986;95(6 Pt 1):582–5.
Perelman M. Surgery of the Trachea. Moscow: Mir;
1976.
Urschel HaC, JD. Atlas of Thoracic Surgery, 1st ed.
New York: Churchill Livingstone; 1995.
Wright CD, Grillo HC, Wain JC, et al. Anastomotic
complications after tracheal resection: prog-
nostic factors and management. J Thorac Car-
diovasc Surg 2004;128(5):731–9.
served on the front of North Africa as the special
consultant to the Mediterranean theater, which
resulted in the transfusion of blood products
during war-time conditions, saving numerous in-
jured soldiers. This has been remembered by the
The Head and Neck
Excelsior Society. The Excelsior Society consisted
of 51 or so of Dr. Churchill’s medical officers and
the lecture that has been taken over by the Ameri-
can College of Surgeons as a memorial to both the
Society and to Dr. Churchill.
Dr. Grillo was killed while driving on a moun-
tain road in Italy, a place he loved, and his wife
had said, “He died happy.”
Having successfully introduced and popular-
ized tracheal resection and spawned a number of
offspring, as it were, of which the author is one,
it would be only natural that attention would go
from being able to do the operation to not being
dependent on native trachea. In the past 5 years
there have been substantial improvements or at
least initial attempts, some successful, and im-
provement in substitutes for trachea.
One of the problems with trachea is that it
has little in the way of specific vascular supply
that one can identify and perform a microsurgi-
cal anastomosis. Thus, the reconstruction of a
long segmental tracheal defect requires a vas-
cularized allograft. The vascularity needs to be
induced. In order to do so, Delaere et al., from
the Leuven Tracheal Transplant Group (NEJM,
2010;362:138–45), detail a profusely illustrated
tracheal allograft, which was wrapped in the re-
cipient’s forearm fascia. At 4 months the tracheal
chimera, which was now fully lined with mucosa
that consisted of respiratory epithelium from the
(continued)
418 Part III: The Head and Neck
donor and buccal mucosa from the recipient, had
begun to be placed once “revascularization was
achieved.” The recipient had been placed on im-
munosuppressive therapy, which was then with-
drawn and then the tracheal allograft was moved
to its correct anatomical position with an intact
blood supply. This is a surgical tour de force. The
patient reported was a 55-year-old woman who
had been involved in a car accident and had un-
dergone a tracheotomy with a long history of long
tracheal stenosis. The fact that she is a woman
and the cadaver donor was male made it rela-
tively easy to tell which cells in the allograft were
which and indeed the 8-cm tracheal allograft
from the recipient’s forearm could be traced to
having male donor respiratory cells as well as the
tracheal allograft.
This is not a new idea. In 1979, Rose et al.
(Lancet 1979;1:433) reported the first allogenic
tracheal transplant in a human. The donor tra-
chea was originally implanted heterotopically,
very much as here, in the sternocleidomastoidal
recipient and transferred to the orthotopic po-
sition 3 weeks later. The recipient was not given
immunosuppressive therapy, however. The report
did not document the viability of the allograft,
and no information has been made available
about the long-term outcome.
Klepetko et al. (Journal of Thoracic Cardiovas-
cular Surgery 2004;127: 862–7) reported a pre-
served viability of a heterotopically revascular-
ized allograft, which was revascularized in the
omentum of a patient who ultimately received a
lung transplant from the same donor. However,
33 Penetrating Neck Injury
Andrew B. Peitzman and Alain Corcos
But one spot lay exposed, where collarbones
lift the neckbone off the shoulders, the open
throat, where the end of life comes quickest
Book 22: The Death of Hector, The Iliad
ANATOMY
Few areas of the body concentrate vital
anatomy as the neck. Notable structures
include the pharynx, larynx, trachea,
esophagus, common carotid artery, inter-
nal carotid artery, external carotid artery
and its branches, the vertebral and subcla-
vian arteries, the internal and external
jugular veins and their tributaries, cranial
nerves IX to XII (glossopharyngeal, vagus,
spinal accessory, and hypoglossal), thyroid,
parathyroid, and submandibular glands,
and the bony spine and spinal cord. Knowl-
edge of the anatomy of this region is essen-
tial. To begin, one must appreciate the im-
the tracheal transplant was not utilized but its vi-
ability was documented for at least 60 days.
Another way of approaching the same prob-
lem is to use a scaffold of inert material. Jansen
et al. (Archives of Otolaryngology, Head and Neck
Surgery 2009;135:472–8) used a porous titanium
scaffold, which was then created in rabbits, po-
rous titanium and mucosa on a pedicled fascia
flap utilizing a two-stage procedure. They noted
normal mucosa in a submucosal layer and vital
cells on top of the titanium. The also noted mul-
tiple blood vessels from the muscle layer through
the titanium strut. Cytokeratin expression was
present in the suprabasal and basal layers of the
mucosal epithelium. All animals survived the
reconstruction. As far as I am aware, this type of
experiment has not been tried in humans.
Another approach was tried by Hodjati et
al. (Annals of Thoracic Medicine, January–March
2011;17–21) in which 10 adult mongrel dogs
had a segment of seven tracheal rings resected
circumferentially and a submuscular tunnel
was induced between the muscular layers of the
adjacent esophagus right next to the trachea.
Implated Gore-Tex passed through reinforcing
the trachea and the anastomosis was made be-
tween distal ends of Gore-Tex and the trachea.
Their criteria and end points were air tightness,
good re-epithelialization, and no limitation on
esophageal length, which were all important. The
Gore-Tex grafts were implanted and harvested 12
weeks after the implantation and the ephithelial-
ization that resulted was with mixed squamous/
mucociliary metaplasia. It does seem as if this is
portance of the platysma muscles.
Spreading subcutaneously as a sheet across
the entire length of the lower border of the
mandible down to and across the length of
the clavicle below, this muscle serves to
distinguish superficial from deep. Deeper
fasciae envelope the infrahyoid “strap”
muscles (sternohyoid, omohyoid, and ster-
nothyroid) laterally, and encircle the esoph-
agus and trachea centrally. Palpable land-
marks along the midline of the neck, which
is not covered by platysma muscle, include
the thyroid cartilage superiorly, the cricoid
cartilage caudally, and the suprasternal
notch at the base of the neck between the
clavicles.
Traditionally, anatomists divide the
neck into triangular areas (Fig. 1), bor-
dered by musculature and bony land-
marks, while surgeons refer to Monson’s
three “zones” of the neck. The dominant
muscular landmark of the lateral neck is
another model that can be used for this impor-
tant work.
Finally, a chronic problem in patients with
tracheostomies, other than stenosis, is trache-
oinnominate arterial fistula. I do not know how
many of the readers were exposed to the rupture
of a tracheoinnominate artery fistula, but it is
impressive indeed and I would not recommend a
person other than one with a stomach that was
really cast iron to be around to watch this par-
ticular situation.
Sung et al. ( Journal of Korean Neurosurgery
Society 2011;49:107–11) focused on different
measurements by CT angiography on 22 patients
who had tracheostomies. They wish to evaluate
the relationship between the tracheal anastomy
tube and the innominate artery utilizing the
proximal tube position on the cervical vertebra,
the distal tube position, and the course of innom-
inate artery and the gap between the tube and
the innominate artery. After some complicated
measurements they came to the conclusion that
a low tracheostomy tube departure level (TTDL)
was an indicator that some mischief would occur.
Only 6 of the 22 patients were free of difficulties in
these observations. These writings suggest that if
one is concerned about this disastrous complica-
tion, there may be a way to avoid it.
Tracheal resection, reanastomosis, and the
elimination of tracheostomy and tracheal steno-
sis are excellent advances in thoracic surgery. I
am pleased to have been able to call Dr. Hermes
Grillo my friend.
J.E.F.
the sternocleidomastoid muscle. Cours-
ing obliquely from the skull base to the
sternum and medial clavicle, the sterno-
cleidomastoid separates anterior and pos-
terior triangles. The anterior triangle is
further bounded by the midline and lower
border of the mandible and contains the
“carotid bundle” (carotid artery and bifur-
cation, internal jugular vein, and vagus
nerve) (Fig. 2). Zone I of the neck extends
from the clavicle to the cricoid cartilage,
zone II from the cricoid to the angle of the
mandible, and zone III from the angle of
the mandible to the skull base. Surgeons
have historically favored the classification
by zones because it is useful in prediction
of operative access to structures of surgi-
cal importance. While injuries within
zone II are easily exposed and repaired,
operative approaches to zones I (the tho-
racic outlet) and III (the skull base) are
challenging.
 Chapter 33: Penetrating Neck Injury 419

Fig. 1. Anatomic zones of the neck.

Fascia investing
External carotid artery submandibular gland
Common trunk of facial
and lingual arteries
Stylohyoid

Occipital artery

Hypoglossal nerve (CN XII)

Spinal accessory nerve (CN XI) Facial artery

Submental artery
Superior root of ansa cervicalis

Sternocleidomastoid artery Nerve to mylohyoid

Internal carotid artery Anterior belly of digastric

The Head and Neck

External carotid artery Fascial sling of digastric
Mylohyoid
Inferior root of ansa cervicalis
Hyoid bone
Common carotid artery Nerve to thyrohyoid
Internal jugular vein Internal branch of superior laryngeal nerve

Sternocleidomastoid Inferior pharyngeal constrictor

Sternocleidomastoid branch Thyrohyoid

Superior belly of omohyoid
External branch of superior laryngeal nerve
Prevertebral layer of
deep cervical fascia
Superior thyroid artery
Intermediate tendon of omohyoid
Sternohyoid

Transverse cervical vein Sternothyroid

Inferior belly of omohyoid

Anterior jugular vein

Omohyoid fascia

Clavicle

Clavicular head
Lateral View Sternocleidomastoid
Sternal head

Fig. 2. Deep dissection of the carotid triangle. (From Agur AMR, Dalley AF. Grant’s atlas of anatomy, 12th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2009.)
420 Part III: The Head and Neck
CLINICAL
PRESENTATION
AND DIAGNOSIS
As with any injured patient, the principles
set forth by Advanced Trauma Life Support
guide our initial assessment. Important in-
formation from the history includes mecha-
nism of injury and blood loss at the scene.
Gunshot wounds are associated with a sig-
nificantly higher likelihood of vital structure
injury than stab wounds. The primary sur-
vey will identify patients in shock or with
hard signs of vital structure injury such as
airway compromise, massive subcutaneous
emphysema, a sucking wound, active hem-
orrhage, expanding or pulsatile hematoma,
carotid bruit or thrill, neurologic defect, or
absent/decreased radial pulse in the ipsilat-
eral upper extremity. Immediate surgical
intervention is indicated when any of these
“hard” signs are appreciated.
Impending airway occlusion can occur
with tracheal or laryngeal injury, with com-
pression from a large or expanding hema-
toma, or from intraoral hemorrhage. Con-
trol of the airway is a priority in these
patients and may be accomplished by oral
endotracheal intubation, cricothyroido-
tomy, or formal tracheotomy. While blind
nasotracheal intubation is contraindicated
in this setting, fiberoptic bronchoscopy-
assisted nasotracheal intubation may be
helpful when tracheal deviation from large
hematoma is present. It is important to rec-
ognize the patient with penetrating neck
injury who has a large hematoma or blood
in the hypopharynx, who needs to be intu-
bated early but not urgently in the emer-
gency department, and who is spontane-
ously breathing. The initial inclination in
such a patient is often rapid sequence in-
duction with pharmacologic paralysis. This
may convert a patient who was marginally
protecting his airway but breathing to the
patient who now cannot be intubated or
ventilated with a bag valve mask. Recogni-
tion of such patients and control of the
airway with the patient awake, sometimes
including a surgical airway under local
anesthesia, is critical to prevent an avoid-
able disaster.
When oral intubation fails or is not fea-
sible, cricothyroidotomy is the quickest
and most efficient way to access and secure
the airway. It is critical to understand that
this is a procedure performed basically by
palpation, not by visualization, of struc-
tures. If right-handed, the operator should
be on the patient’s right side and should be-
gin by palpating the superior and inferior
aspects of the thyroid cartilage and by
securing this structure with his left hand
between the thumb and middle fingers,
leaving the index finger free to palpate the
membranous space between the thyroid
and cricoid cartilages. A transverse inci-
sion or vertical incision (if landmarks are
not absolutely clear) is made at this level
and the subcutaneous tissues are separated
bluntly with a straight or curved clamp to
the cricothyroid membrane, which is then
incised with a No. 11 or 15 knife blade for
direct access to the subglottic space. This
will allow entry of the left index finger for
control and dilatation or one can use the
knife handle or curved clamp to dilate the
space. A No. 6 endotracheal tube can then
be positioned and secured (or No. 5 in a
small female). Do not incise too deeply with
the blade, as this can injure posterior tra-
chea wall and esophagus. In addition, avoid
cutting or spreading in a vertical axis, as
this may injure the cricoid cartilage. Re-
member that the cricoid cartilage is the
only circumferential support for the air-
way; injury will require repair. When a cri-
cothyroidotomy is required it should be
converted to a tracheotomy at the earliest
safe opportunity.
Large-bore peripheral venous catheters
are adequate for circulatory support. How-
ever, avoid the ipsilateral upper extremity
as an access site in patients with zone I
(thoracic outlet) entry or trajectory. Pa-
tients should have plain radiographs of the
chest to assess for hemopneumothorax or
missiles and as thorough a neurologic ex-
amination as possible prior to sedation and
intubation. Active hemorrhage from a
wound in the neck in any zone is best man-
aged by digital compression until the air-
way is controlled and surgical access can
be obtained. This digital tamponade may
be required until proximal and distal vas-
cular control can be obtained in the oper-
ating room. On occasion, gauze packing or
insertion of a balloon catheter in the oral
cavity to control hemorrhage may be nec-
essary.
Physical examination is unreliable in ex-
cluding aerodigestive tract injuries in the
asymptomatic patient with penetrating
neck wounds deep to the platysma muscle.
Although some authors have described suc-
cessful observation protocols in patients
without hard signs of vascular injury, such
protocols are not appropriate to exclude
pharynx, esophagus, larynx, or trachea in-
jury in the asymptomatic patient. The diag-
nostic approach to this group of patients
has evolved significantly over the past two
decades. Mandatory surgical exploration of
injuries in zone II trades ease and reliability
for a high rate of negative and nonthera-
peutic operation. A more selective opera-
tive approach, based on findings from vari-
ous radiologic and endoscopic studies, has
replaced this standard. With the advance-
ments in technology associated with the
multislice helical computed tomography
(CT) scanner, CT angiography (CTA) has
emerged as the screening modality of choice
for penetrating neck wounds in asymptom-
atic or stable patients. CTA is easily acces-
sible, well tolerated with minimal risk, sen-
sitive for defining trajectory, and reliable to
exclude significant arterial injury. Abnor-
malities identified on CTA or trajectory sus-
picious for aerodigestive tract injury should
be further evaluated with surgical explora-
tion, laryngoscopy, tracheobronchoscopy,
catheter-based arteriography, esophagos-
copy, or esophagography as needed. A com-
prehensive literature review by the Practice
Management Guidelines Committee of the
Eastern Association for the Surgery of
Trauma in 2008 concluded that “either con-
trast esophagography or esophagoscopy
can be used to rule out an esophageal per-
foration that requires operative repair.”
PREOPERATIVE PLANNING
In the symptomatic patient who requires
operation without prior diagnostic testing,
zone of entry and likely trajectory are criti-
cal for planning exposure. The patient
should be positioned supine, with arms
tucked, neck extended, and head deviated
slightly away from the side of injury. A towel
roll placed transversely beneath the shoul-
der will extend the neck. The sterile prepa-
ration should include both sides of the neck
from the temporomandibular joint to the
lower lip down to and including the entire
anterior chest to the table laterally and
torso distally to the midthighs. Thoraco-
tomy or median sternotomy may be re-
quired for proximal control; this may be the
initial incision with zone I injury (Fig. 3).
Access to the groins and saphenous veins
must be available. Zone II injuries are best
approached via an oblique incision along
the anterior border of the sternocleidomas-
toid muscle from the angle of the jaw to the
clavicular head (Fig. 4). With zone I entry,
the surgeon should be prepared to perform
a median sternotomy for access to and re-
pair of structures in the thoracic outlet or
base of the neck. In this circumstance the
ipsilateral arm should be free and prepped
to the elbow. A horizontal incision along
the superior aspect of the clavicle will sup-
ply access to the proximal subclavian ves-
sels and innominate vessels on the right.
This incision may be independent or
can extend an anterior sternocleidomas-
toid or median sternotomy incision when

Fig. 3. Incisions for exposure of penetrating neck injuries.
necessary. Clavicle resection is usually only
necessary if access to the axillary artery is
required. Exposure to the left subclavian ar-
tery at its origin is difficult through a me-
dian sternotomy due to its posterior posi-
tion on the aortic arch. When exposure of
the proximal left subclavian artery is re-
quired, it is best obtained via a left anterior
thoracotomy. Wounds in zone III may re-
quire a curvilinear posterior extension over
the mastoid process to allow exposure of
the distal internal carotid artery to the skull
base (see “Surgical Technique”). A horizon-
tal “collar” incision can offer excellent ex-
posure to multiple zones when subplatys-
mal flaps are developed. This incision is
most useful for isolated laryngotracheal in-
juries that require a surgical airway or axial
traverse gunshot wounds that require bilat-
eral exploration.
Mastoid
process
Sternocleidomastoid
muscle
Clavicle
Fig. 4. Incision for neck exploration is along the anterior border of the sternocleidomastoid muscle.
Chapter 33: Penetrating Neck Injury
TREATMENT
Carotid Artery
Carotid artery injury should generally be re-
paired. Primary repair, patch angioplasty, or
interposition grafting are options depending
on the nature of the injury. Small, clean
wounds (stab wounds <2 cm) that can be ap-
proximated without significant narrowing
should be repaired with a nonabsorbable,
monofilament suture (4-0, 5-0, or 6-0 polypro-
pylene). Saphenous vein or polytetrafluoro-
ethylene (PTFE) can be used for patch repair
in cases where primary closure would narrow
the vessel or as an interposition conduit when
segmental resection is required and end-to-
end repair is restricted by tension. PTFE as a
conduit has not been shown to increase the
Preferred
incision
421
incidence of thrombosis or infection when
compared with the saphenous vein.
Common carotid artery injury is gener-
ally easy to access and repair even when
complex. However, the common carotid ar-
tery may be ligated or shunted in the ex-
treme case in which associated injuries or
severe hemodynamic instability prevent re-
pair. Antegrade flow to the internal carotid
via the external carotid is possible and pa-
tients with adequate collateral cerebral
blood flow (intact circle of Willis) will toler-
ate unilateral common carotid artery oc-
clusion (in 85% to 90% of patients). External
carotid artery injury and injury at the ca-
rotid bifurcation can be repaired when sim-
ple. Complicated injury to the external ca-
rotid artery should be ligated as the
collateral supply from the face and scalp is
reliably ample. Injury involving the internal
carotid artery should be repaired when
simple and the patient’s condition permits,
especially when patency is preserved. Con-
troversy persists with regard to the treat-
ment of the injured and occluded internal
carotid artery in the face of focal neurologic
deficit or coma. The theoretical risk of rein-
stituting antegrade flow to the brain in the
setting of cerebral ischemia is that of hem-
orrhage into the ischemic or infracted area,
aggravating brain injury. A reasonable ap-
proach to this dilemma is to base the deci-
sion to repair on the presence or absence of
back bleeding from the distal internal ca-
rotid. Brisk blood flow from the distal end
suggests adequate collateral cerebral flow
The Head and Neck
and repair should be safe. Aside from coma,
which carries a dismal prognosis, neuro-
logic deficits identified in patients with
penetrating neck injury preoperatively are
more likely to improve or remain unchanged
with repair than with ligation.
A heparin bolus, either systemic (5,000
or 10,000 units) or regional (10 to 15 mL or
50 units/mL concentration injected proxi-
mally and distally), should be given when
repair will require vascular occlusion. A
completion angiogram should be obtained
following any interposition grafting. Inter-
nal shunting will decrease arterial occlu-
sion time and should be considered as an
adjunct during interposition grafting that
includes the internal carotid artery.
Injury to the carotid artery that demon-
strates contrast extravasation (pseudoan-
eurysm or arteriovenous fistula) on imag-
ing study should undergo surgical repair
when accessible (zone II). When the injury
is at the skull base or thoracic outlet, endo-
vascular interventions, such as stent place-
ment or embolization, should be consid-
ered. A tear or dissection of the intima that
does not limit flow (as with blunt force
422 Part III: The Head and Neck
injury) can be observed with repeat imag-
ing after a 2-week interval on anticoagula-
tion.
Internal Jugular Vein
Any venous structure in the neck can be
safely ligated. Small, simple lacerations to
the internal jugular vein should be repaired
with a 4-0 nonabsorbable, monofilament
suture. Larger lacerations can be repaired
as well provided the patient’s clinical condi-
tion permits. When both internal jugular
veins are injured, an attempt at repair of
one should be made. Any vein in the neck
that is ligated should be done so with a su-
ture ligature to avoid postoperative bleed-
ing from pressure-induced slippage of a
simple tie.
Vertebral Artery
Vertebral artery injury is much less com-
mon than carotid artery injury and the ma-
jority are diagnosed by angiography (CT or
catheter-based) in hemodynamically stable
patients. Optimal treatment is coil or gel–
foam occlusion via catheter-based angioem-
bolization with repeat angiography at
2 weeks to exclude pseudoaneurysm or ar-
teriovenous fistula formation. In the rare
instance where active hemorrhage and as-
sociated shock prevent angiography, hem-
orrhage control must take place in the oper-
ating room. The vertebral artery travels
within the bony transverse foramen of the
cervical spine and this portion of the poste-
rior triangle is difficult to expose. If packing
the wound can decrease bleeding enough to
achieve hemodynamic stability, the patient
may be taken to angiography for emboliza-
tion. Alternatively, control must be obtained
by proximal ligation of the vessel at the tho-
racic outlet (see “Surgical Technique”). How-
ever, this should be avoided without distal
control of the injury, as angiography and
embolization will no longer be possible.
Larynx
When significant enough to compromise
the airway, laryngeal injury is typically dis-
covered at surgical exploration during the
creation of a tracheotomy or during the con-
version of a cricothyroidotomy to a formal
tracheotomy. Patients with less complex in-
juries found on CT scan or laryngoscopy
should undergo tracheotomy to protect the
airway. Laryngeal injuries often need recon-
struction, internal fixation, or stent place-
ment and are best treated semielectively
by otolaryngologists. The surgeon should
resist the temptation to widely debride these
wounds when encountered at initial explo-
ration. Although definitive treatment is usu-
ally deferred, consultation to otolaryngology
at the time of exploration is important.
Trachea
Tracheal injury requires repair. Anterior in-
jury of appropriate size and location may be
converted to tracheotomy. Unless small and
simply repaired, tracheal injuries should be
protected with a tracheotomy. Use an absorb-
able 3-0 or 4-0 suture, placed transversely,
in an interrupted fashion and incorporate
the tracheal ring above and below the injury.
Pharynx and Esophagus
When considering injury to the pharynx or
cervical esophagus, the importance of early
diagnosis and repair cannot be overstated.
A delay of several hours can significantly in-
crease the incidence of mediastinitis and
empyema. Injuries should undergo repair
as soon as diagnosed. All repairs should be
drained with a closed-suction drain that is
left in place until a contrast esophagram at
1 week shows no extravasation and the pa-
tient is tolerating a diet. A leak from a repair
can heal without additional surgery, as long
as adequate drainage is maintained. En-
teral nutrition can be administered via a
soft feeding tube placed during surgery. An-
tibiotics appropriate for oral flora should
be given perioperatively.
SURGICAL TECHNIQUE
An incision along the anterior border of the
sternocleidomastoid muscle offers the best
exposure for a unilateral penetrating injury
to the neck (see Fig. 4). Separate right and
left incisions may be made when bilateral
exploration is required. The skin incision
should begin near the angle of the jaw and
extend down to the sternum. After incising
the platysma muscle, a layer of investing
fascia is encountered and taken (in line
with the skin and platysma incisions) along
with two cutaneous nerves (the greater au-
ricular and anterior cervical) and the trans-
verse portion of the anterior jugular vein.
The plane along the anterior border of the
sternocleidomastoid is further developed,
allowing posterolateral retraction and ac-
cess to the carotid bundle. The internal
jugular vein lies most prominently in this
space and obscures the carotid artery,
which at this point in the dissection should
be easily palpable. Lateral retraction of the
internal jugular will expose the carotid ar-
tery and vagus nerve and is facilitated by
ligation of the facial vein, which courses to
the internal jugular directly over the carotid
bifurcation from the midline (see Fig. 1). Li-
gation of this vein should be by suture liga-
ture. The vagus nerve travels between the
carotid and jugular and care must be taken
when retracting the vein to protect this cra-
nial nerve from injury.
As with any vascular injury, proximal
and distal control should be obtained prior
to entering the hematoma. This is often dif-
ficult in the tight confines of the lateral
neck and proximal access alone will fre-
quently suffice along with digital compres-
sion. Exposure of the proximal common
carotid artery requires release of the inter-
mediate tendon of the omohyoid muscle
(separating the superior and inferior bel-
lies) along with the enveloping fascial
sheath that tethers this muscle like a mes-
entery to the clavicle below. At a negligible
cost to patient function, this release allows
a more complete eversion of the sterno-
cleidomastoid muscle, which can be further
enhanced by liberating the sternal head of
this muscle (also useful as an interposition
muscle flap should one be required). This
approach also serves to expose the proxi-
mal vertebral artery for ligation when re-
quired. To this end, dissection is along the
lateral border of the jugular vein with re-
traction of the bundle medially to encoun-
ter the supraclavicular fat pad. Careful
blunt dissection here will yield the first
stage of the vertebral artery deep in the tho-
racic outlet. Protect the phrenic nerve dur-
ing this dissection. As described earlier,
median sternotomy or left anterior thorac-
otomy may be necessary to control proxi-
mal vasculature for zone I injuries.
To expose the internal carotid artery at
the skull base, a “hockey stick” extension
curves the superior aspect of the skin inci-
sion toward the back of the ear along the
mastoid process. Anatomy in this region is
dense with cranial nerves, which should be
preserved. Protect the marginal mandibu-
lar branch of the facial nerve (Fig. 5). The
glossopharyngeal (coursing anteriorly) and
spinal accessory (coursing posteriorly) nerves
depart high, while the hypoglossal nerve, as
it swings down beneath the occipital branch
of the external carotid artery en route to
the tongue, is most vulnerable. The dissec-
tion should begin with division of the poste-
rior belly of the digastric muscle. The oc-
cipital branch of the external carotid artery
and the less important ansa cervicalis (in-
nervation to the strap muscles) can be sac-
rificed to preserve the hypoglossal nerve,
which can now be retracted anteriorly. Fur-
ther exposure at the skull base can be best
accomplished via a vertical ramus osteot-
omy. Advantages to this procedure over a
 Chapter 33: Penetrating Neck Injury 423

External carotid artery

Glossopharyngeal nerve (CN IX)

Posterior belly Anterior belly of digastric Glossopharyngeal—CN IX Vagus—CN X

Facial artery
of digastric Motor: stylopharyngeus, Motor: palate, pharynx,
Occipital artery parotid gland larynx, trachea, bronchial
Mylohyoid Sensory: taste: posterior tree, heart, GI tract to left
Spinal accessory
third of tongue; general colic flexure
nerve (CN XI) Lingual artery
sensation: pharynx, tonsillar Sensory: pharynx, larynx;
Vagus nerve (CN X) Hypoglossal nerve sinus, pharyngotympanic reflex sensory from tracheo-
(CN XII) tube, middle ear cavity bronchial tree, lungs, heart,
Internal carotid artery
GI tract to left colic flexure
Hyoglossus
C2 nerve
Hyoid
Spinal accessory—CN XI Hypoglossal—CN XII
C3 nerve Thyrohyoid
Motor: sternocleidomastoid Motor: all intrinsic and
and trapezius extrinsic muscles of tongue
Omohyoid (excluding palatoglossus—
Inferior root
Ansa a palatine muscle)
cervicalis Sternohyoid
Superior root
Superior thyroid artery

Common carotid artery

Inferior pharyngeal constrictor

Sternothyroid Carotid
Ansa cervicalis
arteries:
Internal jugular vein
Internal Facial

A. Lateral View Lingual

External
Superior thyroid

Hyoglossus
Posterior belly of digastric Glossopharyngeal nerve (CN IX)

Superior laryngeal nerve Mylohyoid Common

carotid
Hypoglossal nerve (CN XII)
Intermediate tendon
of digastric
C
Lingual artery Common trunk
Anterior belly
of digastric
Greater horn of hyoid Facial
Nerve to

The Head and Neck

External carotid artery thyrohyoid
Facial Lingual
Superior root of Hyoid

ansa cervicalis Lingual

Thyrohyoid
membrane Superior Superior
Superior thyroid artery
thyroid thyroid
Common carotid artery Thyrohyoid

External branch of Internal branch of

superior laryngeal nerve superior laryngeal nerve D E
Superior laryngeal artery Lateral Views
B. Lateral View

Fig. 5. Anatomy pertinent to internal carotid artery exposure. (From Agur AMR, Dalley AF. Grant’s atlas of anatomy, 12th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2009.)

temporomandibular subluxation have been controlled. This technique can unrelenting bleeding from the vertebral ar- tery when
suggested. also control proximal ligation is insufficient. Dissection can then
Clearly, dissection at the skull base is a proceed or, in the case of hemodynamic instability,
challenge even when structures are not ob- the catheter can be left in place, sutured to the
scured by active bleeding or hematoma. A vessel and secured at the skin, for 48 to 72 hours.
more practical approach to exsanguinating This approach is essentially equivalent to ligation
hemorrhage from injury at this level of the of the internal carotid and should be reserved for
internal carotid is to place a small throm- patients in extremis.
bectomy catheter into the vessel through Displacement of the entire carotid bun- dle
an arteriotomy in the common or proximal laterally will expose the pharynx and esophagus
internal carotid artery and inflate the bal- as well as the larynx, thyroid gland, and trachea
loon at various levels until the bleeding is inferiorly. The recurrent
 424 Part III: The Head and Neck
laryngeal branch of the vagus nerve travels
in the groove between the esophagus and
trachea and is vulnerable to injury
during dissection (Fig. 6).
Esophageal injury is the most common
injury missed at neck exploration. Often
flat and with a lie off center to the left,
the esophagus must be evaluated
circumferen- tially. Necrotic tissue
should be debrided and healthy tissue
approximated with a 3-0 or 4-0 suture in
one or two layers as needed to establish a
watertight closure. The repair should then
be reinforced with a buttress of
 Chapter 33: Penetrating Neck Injury 425

Inferior pharyngeal constrictor

External branch of superior laryngeal nerve

Superior thyroid vein

Superior thyroid artery

Thyroid cartilage
Prevertebral fascia

Sympathetic trunk

Cricothyroid Internal jugular vein

Common carotid artery

Cricoid cartilage

Ascending cervical artery

Left lobe
Middle cervical ganglion
Thyroid gland
Isthmus Inferior thyroid artery

Vertebral ganglion
Parathyroid glands
Vagus nerve (CN X)

Inferior thyroid vein

Thoracic duct
Esophagus
Trachea

Left recurrent laryngeal nerve

Clavicle

Sternothyroid
Anterior sternoclavicular ligament

Articular disc

A. Anterolateral View

External carotid
artery
Superior thyroid
artery
Thyroid isthmus
Thyroid ima artery
Inferior thyroid Left common
artery carotid artery

Thyrocervical
trunk
Left subclavian
Right subclavian
artery
artery
Brachiocephalic Arch of aorta
trunk
Fig. 6. Alimentary layer of the visceral compartment. (From Agur AMR, Dalley AF.
B. Anterior View Grant's atlas of anatomy, 12th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2009.)
426 Part III: The Head and Neck
muscle, usually the detached sternal head of
the sternocleidomastoid muscle. Care must
be taken to direct drains away from associ-
ated vital structure repairs as salivary en-
zymes are quite corrosive. Occasionally, it is
not possible (extensive tissue injury) or pru-
dent (operative delay) to primarily repair
the esophagus at the initial operation. In
this case, the proximal esophagus should be
exteriorized as an esophagostomy or widely
drained and the distal portion ligated.
POSTOPERATIVE
MANAGEMENT AND
COMPLICATIONS
Patients who have undergone vascular re-
pair should be monitored closely for hem-
orrhage and neurologic deficit in the imme-
diate postoperative period. Any sign of
bleeding or arterial thrombosis should
prompt rapid return to the operating room
EDITOR’S COMMENT
With the war zone that many of our cities have be-
come and with the ready availability of knives and
guns, and it seems, injuries for the most trivial of
altercations, the injuries to the neck, whether by
bullets or certainly by stab wounds, are an impor-
tant part of the contemporary care of trauma. As
the authors of every paper quoted here state, the
most exposed area is Zone II, which is between
the cricoid and the bottom of Zone III, which is
from the angle of the mandible to the skull base.
As the chapter states, surgeons favor the Zone
classification because it is useful in consideration
of operative access. Zone II is the most “easily”
exposed and repaired, while surgery within Zone
I, the thoracic inlet, and Zone III, the skull base,
are far more challenging. Most of the controversy
that still exists, although it is being resolved, is
the approach to Zone II and whether it is man-
datory exploration of all injuries that penetrate
the platysma either by stab wounds or certainly
bullet wounds or other injuries. With respect to
the approach to hemorrhagic injuries, Kesser and
colleagues (Am Surg 2009;75:1–10) support the
insertion of a 30-cc Foley catheter into the en-
trance wound that is hemorrhaging and blowing
up the balloon. I wonder whether this is a wise
approach. It certainly is less dangerous when the
airway is secure with either endotracheal tubes
or when necessary a tracheostomy but if one
tamponades a massive bullet wound injury, for
example, or stab wound to the carotid artery, the
blood may collect in the interstitial tissues of the
neck and thus provide interference of an airway.
Thus, from my way of thinking, the hemorrhage
must be contained either by local pressure or first
by securing the airway and then, if necessary, to
put in a Foley balloon. I would probably start first
with a 5 or 10 cc in blowing up the Foley balloon.
Initially, there was a system that favored the
open exploration of most or all penetrating neck
for wound exploration. Blood pressure and
heart rate should be monitored particularly
if there has been dissection or injury near
the carotid bifurcation. A chest radiograph
should be obtained to assess for pneu-
mothorax. Antibiotics in the postoperative
period should be reserved for esophageal
injuries and drains left routinely can be re-
moved after 48 hours if the output is low
(<20 mL). (The exception is with associ-
ated esophageal injury, as discussed ear-
lier.) Injuries to the various cranial nerves
can result in the following predictable defi-
cits: facial droop ( facial), aspiration
(glossopharyngeal), dysphagia/dysarthria
(hypoglossal), and vocal cord paralysis (re-
current laryngeal branch of vagus).
SUGGESTED READINGS
Asensio JA, Chahwan S, Forno W, et al. Penetrat-
ing esophageal injuries: multicenter study of
injuries in Zone II. This is because there were
times when in examination of the area of Zone II
following penetrating trauma did not reveal any
severe injury or what seemed a severe injury only
to find that the injury had been missed. While this
was adequate in World War I, in which penetrat-
ing neck trauma had a mortality rate of 11%, this
dropped in World War II to 7% and in modern ci-
vilian series, which increasingly resemble various
war zones, to 3% to 6%. The first recorded repair
of a vascular injury was in 1552 when the French
surgeon Ambroise Paré ligated both common ca-
rotid arteries and a jugular vein of a soldier who
had lost a duel. The soldier survived but subse-
quently developed aphasia and hemiparesis. A
more beneficial outcome was reported in 1803
when the Scottish surgeon John Gibson Flem-
ing successfully ligated a common carotid artery
with a good outcome over a 5-month follow-up
period. It should be pointed out that the subjects
of these ligations were presumed to be young.
As stated earlier, the surgical exploration of
Zones I and III are dealt with when necessary with
a median sternotomy and whatever branching
thoracotomy either a trap door incision or third
interspace incision to arrest the bleeding. Zone
III injuries are more complicated and require a
Fogarty balloon at times to gain control. Base of
the skull injuries can be most problematic. The
complexity of these two zones has resulted in a
more selective approach in dealing with injuries.
There is a temptation to explore Zone III injuries
with studies because of the ease of vascular con-
trol. There are two camps, the first being manda-
tory surgical exploration and the second being
selective approach to evaluation of the patient
with penetrating neck trauma. The selective
work-up involves imaging the vessels from the
aortic arch to the base of the skull, which tradi-
tionally is done with angiography, yet ultrasonog-
raphy is now more often proposed. More recently,
high-quality computed tomography angiograms
(CTAs) have been suggested as a less invasive
the American Association for the Surgery of
Trauma. J Trauma 2001;50:289–96.
Feliciano DV. Management of penetrating injuries
to carotid artery. World J Surg 2001;25:1028–35.
Henry AK. Extensile exposure, 2nd ed. Edinburgh:
Churchill Livingstone; 1973.
Inaba K, Munera F, McKenney M, et al. Prospec-
tive evaluation of screening multislice helical
computed tomographic angiography in the
initial evaluation of penetrating neck injuries.
J Trauma 2006;61:144–9.
Kumins NH, Tober JC, Larsen PE, et al. Vertical
ramus osteotomy allows exposure of the distal
internal carotid artery to the base of the skull.
Ann Vasc Surg 2001;15:25–31.
Osborn TM, Bell RB, Qaisi W, et al. Computed
tomographic angiography as an aid to clinical
decision making in the selective management
of penetrating injuries to the neck: a reduction
in the need for operative exploration. J Trauma
2008;64:1466–71.
Tisherman SA, Bokhari F, Collier B, et al. Clinical
practice guideline: penetrating zone II neck
trauma. J Trauma 2008;64:1392–1405.
imaging modality with similar accuracy. LeBlang
and Nunez (Am J Roentgenol 2000;174:1269–78)
demonstrated that CTA gives 100% sensitivity
in identifying penetrating injury to the cervical
vessels. Obviously, the use of CTA also results in
fewer neck explorations in the study by Woo K
et al. (Am Surg 2005;71:754–8).
Mandatory neck exploration has been
strongly recommended by the authors of a
large series from South Africa. Over a 20-month
period, Apffelstaedt and Muller (World J Surg
1994;18:917–9) explored all 393 patients present-
ing with penetrating injuries in Zones I, II, and III.
The Head and Neck
They stated that clinical signs were highly unreli-
able because 30% of patients with a vascular in-
jury had no clinical signs of vascular injury. Thus,
the negative exploration rate was 57% overall; in
this group, morbidity was 2.2% and mortality 0%.
These expert surgeons were able to report a very
low morbidity and mortality rate. It is not known
whether many of these injuries were clinically
relevant. On the other hand, Demetriades et al.
(Br J Surg 1993;80:1534–6) have been advocating
a more selective approach. Routine angiography
was performed in 176 stable patients; a vascular
injury was present in 19%, and of these, only 8%
had an injury requiring operation. Thus, both
CTA or angiography and Doppler ultrasound have
excellent sensitivity and specificity; the yield with
patients with soft signs is equivocal.
Bell et al. ( J Oral Maxillofac Surg 2007;65:691–
705) reviewed 134 consecutive patients retrospec-
tively in a Trauma Registry as having sustained
penetrating neck injuries from 2000 to 2005. The
usual variables including age, gender, mechanism
of injury, number of associated injuries, Glasgow
Coma Scale, length of hospital stay, disposition,
and outcome were recorded. Of these, 120 pa-
tients met the inclusion criteria, and of these,
55 had only superficial injuries that did not pen-
etrate the platysma. The remaining study group
consisted of 65 patients with more significant
injuries that entered the platysma. The overall
(continued)
 Chapter 33: Penetrating Neck Injury 427

ing, say the authors, led to a significant decrease ion.” In 1956, Fogelman and Stewart (Am J Surg acceptance.

tive series. There is only one Class I reference quoted and the same groups of 120 patients with are produced.

34 Neurosurgical and Neurological

Emergencies for Surgeons
Ekkehard Kasper, Clark Chen, and Burkhard Kasper

TRAUMATIC AND
NONTRAUMATIC HEAD
AND BRAIN INJURY
Traumatic Brain Injury: Blunt
Versus Penetrating Trauma
Epidemiology of Traumatic Brain Injury
Before we commit ourselves to reviewing
the management of traumatic brain injury
(TBI), we need to understand that this
problem remains a major public health is-
sue in our times. To illustrate this point, I
want to reiterate some facts about TBI in
the United States as an introduction to the
topic as reported by the Brain Trauma
Foundation (www.BTF.org):
Brain injuries are most often caused by
motor vehicle crashes, assaults, sports inju-
ries, or even simple falls on the playground,
at work, or in the home. An estimated 1.5
million moderate to severe head injuries
occur every year in the United States and an
additional estimated 1.6 million to 3.8 mil-
lion sports-related TBIs occur each year.
Every year, ~52,000 deaths occur from TBI
and it is the leading cause of death and dis-
ability in children and adults from ages 1 to
44 years. At least 5.3 million Americans,
that is, 2% of the U.S. population currently
live with disabilities resulting from TBI. In
addition, moderate and severe head inju-
ries are associated with an increased risk of
developing Alzheimer’s disease.
Males are about twice as likely as fe-
males to experience this and hospitaliza-
tion rates have increased from 79 per
100,000 in 2002 to 87.9 per 100,000 in 2003.
Blasts are a leading cause of TBI among
active-duty military personnel in war zones
and veterans’ advocates believe that be-
tween 10% and 20% of Iraq veterans, or
150,000 and 300,000 service members, have
some level of TBI. Of note, 30% of soldiers
admitted to Walter Reed Army Medical
Center have suffered TBIs.
Traumatic Head Injury Basics
What are the unique features of brain anat-
omy and physiology, and how do they affect
patterns of brain injury?
■ The head is a rigid compartment filled
with brain, cerebrospinal fluid (CSF),
and blood.
■ Cerebral blood flow (CBF) in the healthy
individual is autoregulated for systolic
blood pressure (SBP) 80 to 160 mm Hg to
generate an adequate cerebral perfusion
pressure (CPP).
■ If autoregulation is intact, CBF is main-
tained constantly via a mean BP adjust-
ment to generate a CPP of 50 to 60 mm
Hg.
■ In moderate or severe brain injury cases,
autoregulation is disrupted in a way that
CBF varies greatly with mean BP.
■ The injured brain is more vulnerable to
episodes of hypotension and metabolic
imbalance which may cause secondary
brain injury.
Intracranial Pressure
Besides hemodynamic parameters and con-
fining metabolic conditions, intracranial
pressure (ICP) is the single most important
determinant of neurological function of the
brain (Table 1).
 Chapter 34: Neurosurgical and Neurological Emergencies 427
for Surgeons
Normal state - ICP normal

Venus Arterial Brain CSF

volume volume

Compensated state - ICP normal

Venus Arterial Mass Brain CSF

volume volume

Decompensated state - ICP elevated

Venus Arterial Mass Brain CSF

75 mL volume volume 75 mL

Fig. 1. Monro–Kellie
doctrine.

Normal ICP is defined as the pressure (in ration, and a correlation with body weight other components, otherwise it will cause an

The Head and

cm H2O) that is measured within the skull, (obese patient showing higher values). increase in ICP at the expense of the brain.
either in subarachnoid fluid, ventricles, or It must be noted that ICP cannot be pre-
parenchyma. It corresponds to the hydro- dicted on the basis of imaging (head CT or ICP Impact

Neck
static pressure that must be applied to pre- MRI).
vent the emergence of fluid through a punc- The Monro–Kellie doctrine (Figs. 1 and 2) ■ In TBI, resulting increased ICP leads to de-
creased brain function and poor outcome.
ture needle from the CSF in the horizontal states that the sum of all intracranial volumes
■ Systemic hypotension and low O2-satu-
body position. Normal ICP should reside will remain constant and that any increase in ration adversely affect outcome via poor
below 15 cm H2O. An increase in ICP occurs one of them or adding an intracranial mass CPP and hypoxia (Table 2).
when one of the intracranial compartments will be offset by an equal decrease in one of its
within the rigid skull is increased (1,500 to
1,700 mL total volume, which is made of
around 80% brain parenchyma, 10% CSF,
and 10% blood). An acute increase in ICP
above tolerance is fatal.
Physiological variations occur and show
age dependence, with children having lower
values than adults, fluctuation with each
pulse-pressure wave, fluctuation with respi-
 Table 1 Intracranial Pressure 20 Decompensation

Infants 0.5–2 mm H2O 15

10
428Children 2–10
Partmm
III: H 2O Head and Neck
The Compensation
6–200 mm H2O = normal 5
Volume of Mass
Adults >200 mm H2O = abnormal
>400 mm H2O = severe increase
Fig. 2. Volume–Pressure curve.

Table 2 Cerebral Perfusion
Pressure (CPP)
CPP (MAP −
MAP ICP ICP = CPP)
Normal 10 80
90
Cushing’s 100 20 80
Response
Hypotension 50 20 30
Primary and Secondary
Brain Injuries
Primary and secondary brain injuries are
the terms to classify brain injury processes.
In TBI, primary injury occurs during the
initial insult and results from the physical
impact and energy transfer causing struc-
tural damage to the brain. Secondary injury
is a consequence thereof. Its time course is
more gradual, reflecting the involvement of
distinct cellular processes to which both
primary and secondary injuries, respec-
tively, will contribute. Primary and second-
ary injuries occur in other brain insults
such as spontaneous hemorrhage, stroke,
or mass lesions too.
In TBI, primary injury (Table 3) happens
from energy transfer at the moment of
trauma and it manifests as concussion (in-
jury without visible correlate on CT), con-
tusion (with damage to tissue and vessels),
or diffuse axonal shear injury. Normal phys-
iological barriers such as the blood–brain
barrier and connective tissue such as the
meninges can be damaged, and cells may
die in a nonspecific manner. Certain areas
of the brain are more susceptible to injury
either by location ( fronto-basis and tempo-
ral tip in head-on collision deceleration in-
juries) or by structural features (myelinated
fiber tracts vs. nonmyelinated fibers), and
this type of structural injury is thought to
be irreversible.
Since primary injury occurs at the mo-
ment of trauma, there is little that can be
done for it; efforts to reduce disability and
death from TBI are thought to be best aimed
at secondary injury.
Table 3 Examples of Primary
Brain Injury in TBI
Subarachnoidal hemorrhage
Epidural hemorrhage
Subdural hemorrhage
Parenchymal Hemorrhage
Concussion
Contusion
Diffuse axonal injury/or
Axonal stretch injury
Chapter 34: Neurosurgical and Neurological Emergencies
for Surgeons
Table 4 Causes of Secondary
Brain Injury
Edema
Change in cerebral blood flow
Hypercapnia
Acidosis
Altered metabolism ( free radical formation)
Change in neurotransmitters
Change in receptor activity
Excitotoxicity
Infection/abscess formation
Secondary injury (Table 4) is delayed
and results indirectly from the impact and
comes via cellular processes as a conse-
quence of the trauma. It is a well-known
observation that many TBI victims do not
die right away at the scene, but almost half
of the TBI patients deteriorate during their
hospitalization as a result of secondary in-
jury, which ultimately may cause raised ICP
and brain herniation.
Since secondary injury occurs over time,
it can be prevented in part by taking mea-
sures to prevent complications, and re-
searchers are working actively to find drug
therapies to limit or prevent the damage.
INITIAL DATA EVALUATION
It is crucial to obtain as much of the history
upon arrival of the Emergency Medical Ser-
vices and particular attention must be paid
to the mechanism of injury, initial on-scene
examination, and time course of develop-
ing symptoms of concern.
Whenever there is significant impact,
the index of suspicion of a life-threatening
injury should be very high, even if the pa-
tient was doing rather well at the scene and
looks good on arrival! Whenever there is
significant injury to the head (e.g., enough
to cause a fracture or bleeding), the con-
cern for associated cervical spine injury
should be high. So, actively search for neck
pain and signs of radiculopathy or myelopa-
thy! If the patient has sustained multisys-
tem injury, the extent of injury and its
initial management matters greatly for
prognostic purposes.
Specific scenarios: In cases of motor ve-
hicl e accidents (MVA), questions about
m echanism of injury should include a de-
ttailed account of vehicle speed (high/low),
d irection of impact (head on, rear ended,
s ide/oblique impact), extend of external
d amage, possible passenger ejection, and
d eath of or injuries to other participants. In
cases of penetrating or blunt injury, ask
ab out the type of assault weapon (e.g., fire-
arm vs. golf club). Get as much information
429
as possible from bystander accounts. It is
iimp ortant not to miss the body tempera-
ture in this assessment since hypothermia
t
may depress neurological functions.
Examination
IIt may be of vital importance to obtain a de-
scription of the scenario and vital signs in
ad dition to the first examination at the
scen e. When a patient is “found down,” ask
ab out circumstantial evidence (alcohol,
dr ugs, observed blood loss). How long was
the patient unaccounted for? Was there loss
of consciousness (LOC), evidence of seizure
activity, or progressive obtundation? Did
the patient act abnormally? Did the pa-
tient develop headache, nausea, vomiting,
blurred vision, hearing loss, altered speech,
or any other progressive symptom en route?
If the patient became unconscious and ar-
rived with a “blown pupil,” ask when it hap-
pened. If bilaterally, ask which side went up
first and when.
As in all other trauma cases, assessment
of the primary trauma team’s complete sur-
vey must be conducted first!
■ Observe the primary survey by the
trauma team as they gather vital signs
and make sure that all initial measures
to limit secondary brain injury are be-
ing implemented (oxygen administered,
adequate ventilation secured, and SBP
>90 mm Hg maintained at all times).
■ Check for bradycardia, changes in
breathing frequency, and hypertension
(signs for increased ICP and Cushing’s
response).
■ Make sure that the patient is being treat-
ed with full spine precautions—a hard
board is used and the cervical spine is
correctly immobilized with a hard col-
lar or taped to the trauma board. Only
in the setting of hypovolemic systemic
shock (scalp blood loss can be massive!)
and in cases of spinal cord injuries with
florid neurogenic shock, you will see hy-
potensive responses despite increased
ICP.
During the assessment of the trauma
team’s survey, get information about medica-
tions given during transport (paralytics, nar-
cotics, sedatives).
Have a quick look at the pupils and
check for size and reactivity. A side-
difference of >1 mm is considered nonphys-
iological, unless caused by a preexisting
condition. Classify the status of the pupils
since any newly dilated pupil >6 mm defines
a neurosurgical emergency. Rapid acquisi-
tion of head CT-imaging in this setting (e.g.,
penetrating gunshot wound [GSW] to the
430 Part III: The Head and Neck
1 2
Fig. 3. Decorticate posturing.
head) takes precedence over a detailed sec-
ondary trauma survey !
Traumatic Brain Injury: The
Glasgow Coma Scale
Once the trauma survey has been con-
ducted, evaluate the patient rapidly yourself
before other diagnostic studies are done.
Check the patient’s initial Glasgow Coma
Scale (GCS) score to evaluate the patient’s
level of consciousness via motor response,
eye opening, and verbal response. This
score has predictive and prognostic value
(Table 5).
If the patient is stable and in reasonable
neurological condition, obtain a focused
examination:
1. Head: Observe the patient for external
signs of trauma (raccoon’s eyes = perior-
bital edema and hematoma, retroauricu-
lar hematoma, and ecchymosis = Battle’s
sign indicating a skull base injury).
Check head and neck for wounds such
as lacerations, abrasions, and contu-
sions, and palpate for possible fractures.
Do not probe lacerations concerning for
1 2
Fig. 4. Decerebrate Posturing.
open fractures until in the OR and after
adequate imaging has been obtained.
Inspect and palpate the globes to assess
possible rupture. Corneal reflexes can be
used to assess CN 5/7 function in the co-
matose patient. A fundoscopic/ophthal-
moscopic examination is less valuable
in the adult since ICP increase does not
cause immediate optic nerve pallor and
it is unlikely that one picks up a decrease
in retinal venous pulsations in this ER
setting. However, in pediatric patients
and unclear mechanism of injury, evi-
dence of retinal hemorrhage may point
to abuse. Pharmacological dilatation
must be avoided until ICP elevation has
been ruled out. Check the external audi-
tory canal (EAC) for hematotympanum
and otorrhea/liquorrhea. Also inspect
the nares for blood or CSF leakage/
rhinorrhea. Lower cranial nerve injury
is rare in the acute trauma patients, and
if noticed later during hospitalizations,
needs attention to assess the risk of
aspiration.
2. Body: Check for motor response in all
four extremities; if the patient has de-
creased level of consciousness, painful
Table 5 TBI and GCS Scoring Table
Severity level GCS score
Mild TBI (Concus- GCS 14–15 with LOC
sion) <5 min; Impaired
alertness or
memory
Moderate TBI GCS >9; focal
neurological deficit;
possibly reversible;
some residual
possible
Severe TBI GCS 5–8
Critical TBI GCS 3–4; poor
prognosis
stimuli are applied to elicit an adequate
response. Learn to recognize the postur-
ing responses to be able to distinguish
decerebrate, decorticate, triple-flexion
withdrawal (Figs. 3 and 4)
In conversant patients also check the
sensation from the head toward the toes
and mark any possible level that correlates
with a spinal cord injury. Check tactile
stimulation as well as pain. You must per-
form a rectal examination to assess sphinc-
ter tone; in the comatose patient, this may
be the only evidence for spinal cord injury.
If the bulbocavernosus reflex is missing (re-
flecting acute myelopathy), the patient may
show signs of spinal shock.
Check biceps and patellar reflexes as
well as plantar responses (Babinski’s reflex).
The Head and
In acute spinal cord injury, the patient will
present with dropped reflexes and mute
toes. Only in rare cases of brain stem shear
Neck
injury, one can find hyperreflexia in the
acute setting.
Serial neurological examinations and se-
rial imaging are necessary to diagnose de-
layed neurological status change and deterio-
ration from secondary brain injury (Table 6).
Table 6 Classification of
Injury Patterns
■ Concussion or mild TBI
Altered MS with closed head injury
Fully reversible
■ Contusion (e.g., deceleration injury)
Structural changes; mass effect (ME)/
mid line shift (MLS)/swelling
Possibly reversible; some residual
■ Contre-coup injury/second impact
syndrome
■ Diffuse axonal injury (DAI or shear injury)
microscopic/multiple structural lesions
and LOC severe; poor prognosis

INITIAL TREATMENT
PLAN IN THE ER
Since TBI is a rather heterogeneous group
of incidents, it has been extremely difficult
to gather prospective randomized trial data
and treatment recommendations from cli-
nical studies in this scenario. However, a
few fundamental and basic recommenda-
tions were derived from detailed analysis of
retrospective data and prospective collec-
tion of data from cohorts that were followed
long term.
Some priorities in guidelines are intui-
tive, for example, the systemically unstable
patient needs to be treated first since sys-
temic hypotension from hypovolemic shock
in the multitrauma patient carries a poor
prognosis in neurotrauma. Also, if there are
any concerns for raised ICP or the GCS
score is <9, the patient should have the
treatment initiated imaging is obtained be-
fore, and then the time-consuming diagnos-
tic studies are undertaken (see later).
ICP Treatment
After systemic stabilization (make sure
only isotonic solutions are used), adminis-
ter mannitol (around 1 g/kg BW) and
furosemide (Lasix) (10 to 20 mg IV) and hy-
perventilate the patient (increase fre-
quency and volume for goal pCO2 = 30)
before you run off to radiology/CT for fur-
ther studies.
The current existing guidelines for man-
agement of acute head trauma are con-
tained by a publication of the Brain Trauma
Foundation and the American Association
of Neurological Surgeons (AANS) and can
be obtained from the AANS or found via
Weblink under: http://www.guideline.gov/
content.aspx?id=10995.
Some points of interest need to be de-
scribed when accepting or signing out a
patient: single versus multiple wounds,
LOC at the scene, GCS score at the scene,
downtime until patient was found and
treatment was initiated, seizures at the
scene, and any accompanying systemic in-
jury. Then focus on the actual neurological
injury:
Document the mechanism of injury as
nonpenetrating blunt trauma in which the
bony confinements remain intact (e.g.,
strike with a baseball bat) versus penetrat-
ing trauma in which the bony integrity has
been violated (GSW and stabs). It is helpful
to realize that the energy transfer accounts
for the devastation, so one should specify
“high energy” versus “low energy” injury. On
the basis of the initial GCS score, you can
Chapter 34: Neurosurgical and Neurological Emergencies for Surgeons 431
Table 7 First Set of Conservative TBI Treatment Measures (Before Imaging)
■ Optimize positioning: Elevate the head of bed above the level of the heart to improve venous
return and choose a level of approximately 30 degrees; if the spine is not cleared, tilt the entire
bed into reverse Trendelenburg position; make sure the neck is not compressed by tapes from
intubation or tight collars resulting in compromise to jugular venous return. Keep even the
mild TBI patient initially at bedrest until the assessment has been completed
■ Administer warm isotonic fluids (ns + 20 mM KCl) for volume resuscitation and give
maintenance fluid to avoid secondary injury
■ Avoid hypotension (SBP >90 at all times for sufficient CPP)
■ Avoid hypothermia; cover the patient with warm blankets
■ Intubation in all patients with GCS score of <8 who cannot protect their airway at all times;
since facial and skull base fractures may be present, orotracheal intubation is the method of
choice
■ Keep the patient NPO and insert nasogastric tube (NGT) for intubated patients
■ Prior to imaging, provide assisted ventilation/hyperventilation
If the patient arrives in poor neurological condition and with a high suspicion for increased ICP,
initiate osmotherapy (100 g mannitol + 20 mg Lasix) as you go to the CT-scanner as it buys
you time
stratify the injury into mild, moderate, and
Strategy in the Trauma Bay:
severe (see Table 6).
Document the morphology: Surface and ■ Early intervention is the goal for all treat-
vault injuries: open versus closed, depressed able conditions
versus nondepressed, with and without trans- ■ Each patient with a significant impact
located fragments. Basilar injuries: with or or unclear story must be studied with
without CSF leak, with or without cranial imaging.
■ Comatose TBI patients (GCS score of Š8)
nerve palsy.
Once a CT of the head as been obtained, with normal CT scans may be watched
during further workup.
classify the injury pattern into bony and ■ All comatose TBI patients (GCS score of
parenchymal: epidural/subdural/subarach- Š8) with abnormal CT scans should re-
noid/intracerebral/focal or diffuse (see later). ceive invasive ICP monitoring.
Upon arrival, the patient will undergo ■ This algorithm helps with earlier
some ER management in the hospital. Here detection of intracranial lesions to prog-
are some conservative measures that can nosticate recovery and it improves out-
come.
be initiated quickly and efficiently (Tables 7
and 8).
■ Invasive ICP monitoring is indicated in all patients with a GCS score of <8 and/or signs of
raised ICP on imaging (the only exception being the intoxicated patient with a normal head CT
who has an obvious reason for depressed mental status and may recover in a short period of
time in the ICU under constant observation); each patient should have an immediate repeat
CT after placement of a EVD or ICPB to assess success and/or complications. If the GCS score
is <8 but the patient shows two out of the following three signs: posturing, hypotension, or
age >45, monitoring is also recommended
■ Anticonvulsants: Once intracranial imaging has revealed a superficial focus of injury or blood
products, load the patient with prophylactic medication such as phosphophenytoin (dilatin
10 to 15 mg/kg BW) which equals about 1 g per adult load followed by 100 mg TID maintenance
dose for a blood serum level of 10 to 20 for a minimum of 10 days. Overall risk of seizures is low,
even in severe TBI (around 1%), and less in mild TBI (around 0.1%), but their consequences can
be dramatic, especially because they can exacerbate secondary damage. Newer data support
the use of Leviracetam (Keppra) 1,000 mg p.o. BID, but the drug is still being evaluated.
■ Steroids: Currently there is no indication for routine application of steroid therapy in trauma
■ Antibiotics: In patients with an obvious open scalp injury, provide skin flora coverage (e.g.,
Cephalosporin: Ancef 1 g Q8 h × 3). If there is an obvious CSF leak or exposed brain tissue,
provide triple coverage (gram-positive and gram-negative anaerobes; e.g., Vanco/Gent/Flagyl)
■ Analgesics, sedatives, and antiemetics should be prescribed p.r.n.; mind you not to cloud your
neuroexamination by oversedation. See Table 9 for a guide on dosing
430 Part III: The Head and Neck

Plain XRT films are still acquired in some

Table 9 Dosing Table for Medications
Medication Mechanism Dosage
Mannitol Osmotic 1 g/kg IV
Dilantin Antiepileptic Around 1 g IV Seizure prophylaxis; ~100 mg
Kefzol Antibiotic 1 g Q8 h IV
DIAGNOSTIC STUDIES
CT of the head is the study of choice in head
trauma patients. All patients with a GCS
score of <15 should obtain a CT scan for
proper assessment. Patients who look per-
fect but have a significant mechanism of
injury as well as patients on systemic anti-
coagulation and with syncopal events
should also be imaged. In all patients with a
lateralizing or localizing sign, the radio-
graphic workup must be obtained emergently
Indication Evidence-level
GCS score of <9 in patients III
with a lateralizing motor
deficit or unequal pupils
I s pine fracture, a full spine assessment with
TID for serum level
Prophylaxis for G+ infections; III
scalp lacerations and open
fractures
since it is highly specific and sensitive for
bony injuries as well as blood and gives a
chance to assess intracranial injuries in a
timely fashion. (Timely means a significant
head injury should be imaged within 15
minutes after arrival in the ER.) Most indi-
cations for surgical intervention can be
made on the basis of CT results alone and
do not require MRI, which is superior only for
prognostic purposes in patients with shear
injuries and diffuse axonal injury (Fig. 5;
Tables 10 and 11).
tr auma patients for the initial series and in
p atients with possible cervical spine injury,
p atients presenting with myelopathy or fo-
cal spine symptoms, and in all comatose
p atients if a CT is unavailable. For any pa-
ti ent who is diagnosed with a traumatic
C T is mandatory since 15% of patients have
on e or multiple associated fractures. In any
case of myelopathy with or without ob-
ser ved bony abnormality, an immediate MRI
mus t be arranged to rule out canal compro-
mi se from, for example, traumatic disc her-
niation, hematoma, tumor, or any other
source.
A CT/CTA of the head is recommended
in settings in which the distribution of the
blood does not match the mechanism of
injury or if the patient has experienced a
thunderclap headache leading up to the
trauma since subarachnoid hemorrhage
(SAH) may well be caused by an underly-
ing vascular lesion leading to a syncopal
event that then presents secondarily as a
trauma.

The Head and Neck

A B C

D E F

Fig. 5. Slices of an emergent CT. A: Foramen-Magnum. B: Fourth ventricle. C: Temporal lobe. D: Sylvian fissure. E: Midline/
Ventricles. F: Superficial sulci.
432 Part III: The Head and Neck
Table 10 Checklist for Interpreting
a Trauma Head CT
1. Soft tissue windows
■ Start at the level of the foramen
magnum and work your way up to the
vault
■ Is the foramen magnum open or
crowded?
■ Are the cisterns around the brainstem
visible?
■ Is the fourth ventricle visible, open,
blood filled, and in the midline?
■ Is there a mass in the posterior fossa or
cerebellum? Is there a bleed or a stroke?
■ Is the temporal lobe displaced
medially? (pressing on the third nerve?)
■ Is the Sylvian fissure visible and open?
■ Are the ventricles visible and symmetric
to the midline (measure shift at the
level of the Foramen Monroi)?
■ Is there blood in the ventricles (check
occipital horns in the supine position)?
■ Is there visible blood around the brain?
■ Are there changes in the brain
parenchyma ( frontobasal/temporal tip
contusions)?
■ Does the surface show visible sulci
(indicating SAH or assessing ICP)?
2. Bone windows
■ Check for fractures. If at the surface, are
they depressed? How much in mm? Is
there a petrous apex/skull base fracture
through the carotid canal (requires
CTA)?
■ Check the sinus and whether they are
air-filled or opacified ( fluid-filled)
■ Check for intracranial air indicating a
CSF leak
■ Check the orbit for fractures rule out
compression of the optic nerve
Other diagnostic studies such as MRI,
conventional angiograms, EMG, EEG, and
nuclear medicine studies are warranted in
special circumstances only and go beyond
the scope of this chapter. The interested
reader should study publications related to
the definition of brain death and high cervi-
Table 11 Radiological Facts
Approximately 10% of initial head CT scans in
patients with severe TBI do NOT show any
abnormality
Significant new lesions and increased ICP
may develop in 40% of patients with an
initially normal head CT
Approximately 15% of patients with
significant head injury may develop
delayed deterioration ( from hemorrhage
or edema)
cal spinal injuries such as atlantooccipital
dislocations.
INDICATIONS FOR
SURGICAL INTERVENTION
Any patient who has a chance of recovery
ffrom TBI, who presents on imaging with a
ffocal lesion that exerts mass effect, an ex-
anding
p lesion that will predictably cause
f ther damage, or a global injury that raises
fur
I P or puts the patient at risk quo ad vitam
IC
should undergo emergent intervention.
Surgical Goals for Craniotomy
or Craniectomy
The surgical goals for craniotomy or craniec-
ttom y are as follows:
■ Debridement and closure for open
wounds
■ Evacuation of hematoma and relief of
pressure/midline shift (MLS)
■ Decompression for edema, that is,
craniectomy and duroplasty
■ Decrease in ICP
■ Bullet/bone fragment retrieval
■ Wound closure for CSF leak
■ Sinus repair
Possible Sources for CSF Leak
T raumatic CSF leaks occur in around 3% of
p atients with significant head injury and in
up to 50% of patients with penetrating inju-
r es. Two-thirds appear within days of the
ri
i ult; 95% manifest within 3 months.
ins
A round two-thirds of leaks stop spontane-
ousl y within 72 hours, and most leaks cease
w ithin 6 months. The incidence of associ-
ated meningitis is 5% to 10% in closed head
injuries and its incidence increases with the
length of a persisting leak.
The treatment recommendation re-
mains controversial; we recommend cover-
age of 72 hours posttrauma to minimize the
risk of meningitis until most leaks close
spontaneously.
If a CSF leak persists for >2 weeks, sur-
gical intervention is indicated.
IIl lustration of Specific Cases
Increased
I ICP from Global Injury:
Emergent ICP Bolt or EVD Placement
(Fig. 6A–C)
■ Indicated in all comatose TBI patients
with a GCS score of Š8 and an abnor-
mal CT scan. The intracranial pressure
bolt (ICPB) or external ventricular drain
(EVD) is placed in the ER/ICU/OR at
Kocher’s point (10 cm posterior and 3 cm
lateral from the nasion).
■ It subsequently requires a management
protocol written for ICP >20 cm >5 min.
■ F/u CT is needed immediately after place-
ment.
Epidural Hematoma (Fig. 7)
■ It is characterized by convex, extra-axial,
hyperdense mass, confined by sutures.
■ Incidence among all TBI is about 3%.
■ One-third to one-half of the patients are
in coma on admission.
■ 50% patients present with classic lucid
interval.
■ Peak incidence is among patients aged
20 to 30 years.
■ Most frequently from meningeal arteries
or veins, fracture ( fx), or from sinus.
■ 10% require open surgery.
■ Imaging shows incipient mass effect.
■ Outcome correlates with clot location,
clot thickness, clot volume, and MLS.
■ It may be managed conservatively if
the patient is noncomatose, has no fo-
cal deficits, clot thickness is<15 mm,
clot volume is <30 cc, and MLS is
<5 mm or in a nontemporal location.
■ Indication for surgery is if GCS score
is <9 and/or volume is >30 cc.
■ Be aware: time from deterioration to
decompression correlates with out-
come!
Clinical Vignette
■ A 26-year-old female patient s/p MVA with
HA and dizziness and intermittent confu-
sion transferred from OSH with initial CT:
negative! Repeat imaging for increased
HA about 2 hours later showed a temporal
fracture and a new left 12-mm temporal
epidural hematoma (EDH) with incipient
mass effect and uncal herniation (Fig. 7).
■ Emergent L craniotomy for evacuation
performed.
Subdural Hematoma
■ It is characterized as a crescentic, extra-
axial, hyperdense mass on native head
CT (Fig. 9), not confined by suture lines.
■ Incidence among severe TBI patient is
about 12% to 30%.
■ One-third to half of those patients are in
coma on admission.
■ Rarely patients present with a lucid in-
terval.
■ Peak incidence lies with patients aged
31 to 47 years, mainly men.
■ Frequently from MVA, falls, fractures,
assaults.
■ 35% to 80% of patients will present with
GCS score of <9.
■ Poor outcome if age >60.
■ Imaging shows incipient mass effect.
 Chapter 34: Neurosurgical and Neurological Emergencies for Surgeons 433

A B C

Fig. 6. A: ICP bolt insertion position on lateral XRT. B: Right frontal EVD placement. C: Postplacement CT scan: the soft tissue
window shows the tip of the catheter at the level of the Foramen Monro.

■ Outcome correlates with clot location,
clot thickness, clot volume, and MLS.
■ May be managed conservatively if pa-
tient is noncomatose, without focal
deficits, clot thickness <10 mm, clot
volume <30 cc, and MLS <5 mm,
nontemporal location; manage with
ICP-bolt.
■ Indication for surgery: GCS score of
<9, clot thickness > 10 mm, MLS >
5 mm, and/or volume > 30 cc.
■ Remember: Time from deterioration
to decompression correlates with out-
come!
Subarachnoidal Hemorrhage
It is characterized as diffuse bleeding in
the CSF space (looks like “sugar spilling” of
extra-axial, hyperdense material on native
head CT) not confined by suture lines. It is
best visible in the sulci and fissures and
in the occipital horns of the ventricles
(Fig. 11).
■ Incidence among severe TBI patient is
very high.
■ Patients may be in coma on admission
(depends on mechanism of injury and
impact), but it is very important to get a
precise PMH.
Look carefully at the distribution of the
blood and especially the basilar cisterns
and the Sylvian fissure. If there is any suspi-
cion that it could be aneurysmal in nature
and the story does not make sense, it is
mandatory to rule out that the SAH did not
precede the TBI.
Intraparenchymal Hematoma
■ Traumatic parenchymal lesions occur in
10% of all TBI patients and in up to 30%
of severe TBI patients.
■ Smaller lesion may not require aggres-
sive operative treatment, but additive
mass effect may result in secondary

The Head and Neck

Clinical Case Vignette
■ A 42-year-old man s/p fall from standing
prior to admit and had progressive hemi-
paresis; h/o HTN and significant EtOH in-
toxication; imaging revealed a right acute
SDH (Fig. 10).
■ Rarely patients present with a lucid in-
terval.
■ Frequently from motor vehicle accident
(MVA), falls, fractures, assaults.
■ Imaging shows very little mass effect if it
occurs as an isolated injury.
brain injury and puts the patient at risk
for deficit or death (Fig. 12).
■ All comatose patients with temporal or
frontal lesions >20 cc or MLS >5 mm
or any larger lesions >50 cc should be
treated surgically.

Fig. 7. Epidural hematoma. Fig. 8. EDH fracture site.

434 Part III: The Head and Neck

A B
Fig. 9. Subdural hematoma (SDH).
Fig. 11. A: R traumatic subarrachnoidal hemorrhage filling the sulci over the convexity (green arrows).
B: L frontal traumatic subarrachnoidal hemorrhage from head on collision.

■ Early intervention is advocated with
progressive neurological deterioration.
■ The threshold for decompression is a
medically refractory ICP increase > 25
for >5 minutes.
Clinical Case Vignette
■ A 22-year-old man presented s/p snow-
board crash against brick wall; upon ar-
rival he had a GCS score of 8 and an R
third palsy; emergent CT revealed a small
R acute SDH with a nondisplaced skull
fracture, significant midline shift, and
multiple bilateral hemorrhagic contu-
sions adding up to significant mass ef-
fect.
■ Emergent R craniectomy, evacuation of
SDH, and temporal lobectomy were per-
formed (Fig. 13).
Skull Fracture
■ It is characterized by bone destruction
to the skull and possible displacement,
forming an extra-axial mass, not con-
fined by sutures (Fig. 14).
■ Incidence among all TBIs is about 6%.
■ Because of the high impact, it is associ-
ated with high risk for intracranial hem-
orrhage and a significant neurological
deficit thus causing a poor outcome.
■ Closed fractures can be fixed intraopera-
tively in one setting with craniotomy for
exploration and bone fragment eleva-
tion and repair.
■ All open fractures require a craniectomy
with discarding of the bone, followed by
delayed allograft cranioplasty. Most pa-
tients have to receive long-term antibi-
otics.
Indications for surgery: if the depressed
bone segment is thicker than the thickness
of the overlying skull, they are unstable and
require surgery.
Gunshot Wounds (GSWs)
■ GSWs are the most frequent penetrat-
ing injuries (other are stabs/nailguns/
falls into sharps) and account for one-
third of TBI trauma deaths in patients
aged <45 years. The overall “proximal
mortality” remains >90% (Fig. 15 and
Table 12).
Hospital course: CPR is likely to be per-
formed in the field as necessary. Most pa-
tients will arrive per EMS in the hospital
intubated and sedated. An expeditious
trauma survey must be performed and ad-
ditional injuries need to be identified and

A B

Fig. 10. Right osteoplastic craniotomy for evacu- Fig. 12. A: Small R SDH with global swelling. B: Right temporal hemorrhagic contusion adding mass
ation of hematoma. effect.
 Chapter 34: Neurosurgical and Neurological Emergencies for Surgeons 435

A B C

Fig. 13. A: Right hemicraniectomy and evacuation of an SDH. B: R temporal lobectomy performed to create space. C: Second-
stage R cranioplasty performed 8 weeks posttrauma.

treated accordingly. Control bleeding from
the scalp and other sites. DO NOT PROBE
WOUNDS. Remember to keep mean arte-
rial pressure (MAP) high during resuscita-
tion and avoid excessive hydration to avoid
cerebral edema; standard spine precautions
apply. It is important to describe entrance
and exit wounds and unilateral injuries ver-
sus bullets crossing midline (very poor
prognosis). Get 3D reformats from the CT
done right away. If you have any chance to
save the patient, act proactively and apply
mannitol, Lasix, and hyperventilation as
outlined, and get the patient to the OR
swiftly for decompression above.
Outcome: GCS score and LOC (or the main-
tained level of consciousness) at the scene
and upon arrival in the hospital are the
most relevant predictors of outcome. Most
victims die at the scene. If the patient shows
positive LOC at the scene and upon arrival,
94% die and 3% survive with severest dis-
abilities. Suicide attempts are more likely to
be fatal. As in most TBIs, young age and
physical status are advantageous for im-
proved recovery during rehabilitation,
which should happen at an experienced TBI
center.
NONTRAUMATIC EMERGENCIES
bral centers. Among the most dangerous
conditions is brain herniation and its most
critical final route of brainstem compres-
sion with consecutive death.
Brain herniation (Fig. 16) occurs when
brain tissue inside the rigid skull is dis-
placed or shifted by local pressure from its
normal position toward another location
with less pressure. It frequently happens as
a direct consequence of hemorrhage (sec-
ondary to blood volume) or perifocal brain
edema following ischemic stroke, CNS
trauma, infection, or inflammation, but it is
also commonly seen as vasogenic edema in
the context of both primary and metastatic

The Head and Neck

Late complications: If the patient survives
the initial insult and finally goes to rehab, a
scheduled follow-up with full imaging is
necessary to rule out delayed issues such as
traumatic aneurysms, hydrocephalus, infec-
tions, and abscess. Keep the patient on anti-
convulsants until reevaluation to protect
him from secondary damage from seizures.
Mass Effect and Herniation
Background: Irrespective of detailed etiol-
ogy and pathology, many CNS diseases di-
rectly or indirectly threat the patient’s neu-
rological status and life by exerting force to
functionally important and/or vital cere-
CNS tumors. It can also be caused by
“global” problems such as hydrocephalus or
generalized edema such as in malignant hy-
pertension.
Symptomatology: Any surgeon should
know about the risks of herniation and an-
ticipate and recognize the signs of impending
or incipient herniation that comes with

A B C

Fig. 14. A: L frontal depressed skull fracture from a golf club assault. B: Bone window demonstrating internally displaced frag-
ment. C: Postoperative CT of elevated calvarial fracture, which was repaired and augmented with titanium mesh.
436 Part III: The Head and Neck

Fig. 15. A: 1–8: R GSW to the head; extensive bone damage

is visible with translocated fragments and extensive soft tis-
sue injury. B: Surgical decompression via wide hemicraniec-
B tomy and delayed repair.

Table 12 TBI from GSW Falls into
Two Categories: Primary
and Secondary Injuries
Primary injury: Injury to soft tissue (scalp/
face; bacteria translocation; pressure wave
or gas); comminuted fracture to the bone;
cerebral injury from missiles (distinguish:
direct path/ricochet/fragments/coup and
contrecoup)
Secondary injury: Early: edema (ICP);
cardiac output (MAP); DIC; hemorrhage.
Late: abscess/infection; traumatic
aneurysms; seizures; migrating fragments
CNS disease potentially causing acute or
delayed mass effect.
While the attribution of certain clinical
signs to types and stages of herniation is
puzzling, key symptoms of brainstem func-
tional impairment in a patient at risk are as
follows:
■ Dynamic decrease of the level ofconscious-
ness: somnolence S sopor S coma.
■ Pupillary changes: especially bilateral
small pupils, anisocoria, bilateral wide
pupils.
■ Pyramidal signs (especially Babinski).
■ Abnormal breathing patterns: pausing,
hyperventilation.
■ Abnormal body posturing such as decor-
tication and decerebration (see earlier).
■ Abnormal motor reaction to painful
stimuli.
■ Development of hemiparesis.
Fig. 17. Hemorrhage into a left subtotal MCA infarction: Note radiographic signs (points b to d from the above text list) of
transtentorial herniation as mentioned in the text. Note apparent shift of pons and associated changes in perimesencephalic
cisterns.
Chapter 34: Neurosurgical and Neurological Emergencies for Surgeons
3
2
4
1 progressive parenchymal shift indicating
5 tion.
6 Noteworthy are the following: (a) princi-
Fig. 16. Brain herniation can occur from one
compartment to another inside the skull. Subfal-
cine (3), uncal (1), and transtentorial herniation
(2), upward herniation from posterior fossa
(5) through a natural opening (tonsillar hernia-
tion at the foramen magnum; (6) or through bony
defects such as the ones created during brain
surgery (craniectomy sites; 4) or natural defects
(encephaloceles).
While often a developing hemiparesis is
contralateral to the causative lesion (due to
axial downward stress to ipsilateral pedun-
cular long tracts before their decussation),
an ipsilateral hemiparesis can develop by
displacement of the upper brainstem lead-
ing to tentorial force on the contralateral
cerebral peduncle (Kernohan’s notch). Thus,
in case of a patient with primary left su-
437
pratentorial mass lesion developing a left
hemiparesis, Kernohan’s notch pressure
during incipient herniation is the likely
mechanism. Another traumatic mechanism
leading to secondary damage is hemor-
rhage at the site of shearing force (Durette’s
hemorrhage).
Imaging features: CT and MRI need to be
checked for signs related to early stages of
the risk of developing transtentorial hernia-
pal basal cistern narrowing, (b) ipsilateral
ambient cistern widening, (c) contralateral
ambient cistern narrowing, and (d) contral-
ateral temporal horn widening. Typical com-
plications from herniation syndromes are
usually detected on routine follow-up scans
and include anterior cerebral artery (ACA)
infarction due to transfalcine herniation in
case of frontal lobe midline shift or posterior
cerebral artery (PCA) infarction due to tran-
stentorial herniation (which may also occur
from posterior masses). See Figure 17.
Therapy: Intervention for increased ICP is
either medical or surgical. Goal is to pro-
vide treatment that shrinks the brain and
reduces associated tissue pressures. This
includes such measures as improving ve-
nous outflow via elevation of the head, hy-
perventilation for vasoconstriction, osmot-
ica for volume contraction, and steroids to
decrease vasogenic edema in nontraumatic
cases.
Surgical options depend on the scenario
The Head and Neck
and patient eligibility and are aimed at
438 Part III: The Head and Neck
(a) eliminating the offending mass that cre-
ates such pressure and (b) forming a space
by creating a skull defect to allow brain ex-
pansion to occur and thus significantly low-
ering the resulting net tissue pressure and
reducing midline shift and herniation.
Neurosurgical strategy, approach, and
technique for decompression hence depend
on the nature of the underlying lesion, the
actual patient systemic status, and relevant
imaging findings. One classic example is
decompressing craniectomy for ischemic
stroke, which is discussed in detail later.
Ischemic Stroke (Malignant
Media Infarction)
Acute occlusion of any major cerebral ar-
tery will result in significant ischemia to
the brain secondary to the lack of adequate
perfusion given that there is no functional
collateral circulation. Resulting tissue death
leads to the breakdown of the blood–brain
barrier causing significant edema and
raised ICP, which may result in herniation.
Among strokes, large middle cerebral artery
(MCA) territory or hemispheric infarction
is often characterized by early and rapid
clinical deterioration (“malignant MCA in-
farction”) and resulting death unless a life-
saving intervention is performed.
The clinical picture of total MCA infarc-
tion is characterized by severe sensorimo-
tor hemisymptoms, head and eye deviation
to the side of the lesion, hemi-inattention,
and global aphasia (dominant hemisphere),
accompanied by an early deterioration of
consciousness and need of mechanical ven-
tilation. Main causes are thromboembolic
and atherothrombotic occlusions of proxi-
mal MCA or ICA. Such complete MCA in-
farction represents about 1% to 10% of all
supratentorial ischemic strokes and occurs
at an incidence of 10 to 20/1,000,000/year;
compared to other stroke types, it tends to
affect women more likely and occurs at
younger ages. It is associated with a signifi-
cant mortality and morbidity rate of up to
80%.
Early diagnosis and initiation of aggres-
sive therapy are determinants of outcome.
In most cases, developing brain edema can-
not be adequately treated by conservative
means alone. Parenchymal edema is mainly
due to ischemia resulting in cytotoxic cellu-
lar reaction. Its effect peaks ~1 to 5 days af-
ter the insult. The term “malignant” is used
for such cases when brain swelling is start-
ing early (within 24 to 48 h) and results in
significant mass effect. Extensive edema and
marked elevation of ICP may cause second-
ary brain damage via ischemia of neighbor-
ing brain areas and can lead to “bystander
infarction,” for example, ACA occlusion due
to transfalcine herniation or PCA occlusion
due to transtentorial herniation.
The primary goal of surgical interven-
tion is to save the patient’s life and also to
limit the functional deficit. Several studies
indicate that decompressive craniectomy
limits the progressive evolution of effects
on adjacent areas (e.g., secondary cerebral
ischemia in the penumbra). For supratento-
rial strokes it has been shown that early de-
compressive hemicraniectomy with duro-
tomy/duroplasty is the most effective
intervention in such circumstances, ulti-
mately resulting in interruption of this vi-
cious cycle. It not only reduces mortality
but also improves outcome and reduces in-
farction size. It generates space, decreases
ICP, alleviates mass effect, and increases ce-
rebral perfusion to the penumbra, allowing
for retrograde perfusion via leptomeningeal
collaterals. Metabolically compromised but
viable parenchyma may thus survive. Opti-
mal patient selection remains to be deter-
mined, but preoperative clinical signs and
timing of surgery seem to influence the
prognosis.
Many retrospective clinical reports have
indicated the significant effect of hemi-
craniectomy on survival of MCA infarction
patients, several of them also pointing to
positive results concerning functional out-
come.
Data of three randomized controlled tri-
als are currently available, that is, DECI-
MAL, DESTINY, and HAMLET. All of them
show significant rates of survival with re-
Cranium (skull)
1. Pressure from
Dura mater brain swelling is
relieved by
creating more
room.
Skin
Fat deposits
Fig. 18. Hemicraniectomy.
spect to surgical versus nonsurgical treat-
ment. According to a pooled analysis of
these trials, the case fatality rate was sig-
nificantly reduced comparing decompres-
sion (29%) versus conservative treatment
(78%), the absolute risk reduction was 50%,
and the functional outcome was signifi-
cantly better. Age appears as most impor-
tant predictor of mortality, disability, and
long-term functional dependence.
Currently there are only limited data re-
ported as to the optimal time point for sur-
gical intervention. More recently available
imaging techniques, such as perfusion and
diffusion MRI, may help determine the time
course of cerebral ischemia early after
symptom onset, thereby allowing the clini-
cian to decide on indication for surgical in-
tervention.
Technical Considerations Concerning
Hemicraniectomy
In order to give the brain parenchyma max-
imum space for swelling and allowing for
maximum decompression, the primary goal
in a standard hemicraniectomy for MCA in-
farction is to remove a large bone fragment
over one hemisphere (see Fig. 18).
■ Trauma flap: fronto-parieto-temporal.
■ Margins:
■ Anteriorly: superior border of orbital
rim, avoiding frontal sinus
■ Posteriorly: 2 cm posterior to external
meatus
■ Medially: 2 cm lateral to midline, avoid-
ing superior sagittal sinus
Brain

■ Inferiorly: just above the ear cartilage,
that is, floor of middle fossa
Mentioned below are the steps involved in
hemicraniectomy:
■ Reflect temporal muscle anteriorly
■ Place several burr holes
■ Store bone fragment in abdominal pouch
or cryo-conservated
■ Remove sphenoid wing
■ Tack up dural edges to bony margins
■ Open dura via stellate or c-shaped inci-
sion
■ Perform duraplasty (periosteum, tem-
poral fascia)
This emergent intervention generates an
~10 cm × 15 cm calvarial defect with a
lower margin that should be extending <1
cm to the floor of the middle cranial fossa. If
the bony opening is too small (<8 cm × 8
cm), it can lead to parenchymal injury from
persistent pressure at the craniectomy mar-
gins with subsequent infarction. It must be
emphasized that this type of emergent sur-
gery is a dramatic event and justified only
as a life-saving measure. It is to be noted
that secondary to the significant compro-
mise, from among most of these patients
sustained from their TBI, only 55% of the
survivors answered “yes” to the question:
“whether they would have liked the surgery
being performed on them in this setting.”
Once the craniectomy has been successfully
performed, one should plan on elective re-
pair 8 to 12 weeks thereafter to reconstruct
the calvarial defect.
Seizures: Status Epilepticus
Background
“Status epilepticus (SE)” is a term describ-
ing any type of prolonged, sustained, or fast
repetitive seizure activity and can occur in
the setting of TBI or not. It does represent a
life-threatening emergency. Most relevant
status types are as follows:
■ Generalized convulsive status epilepticus
(GCSE; “Grand Mal”-Status).
■ Nonconvulsive status epilepticus (NCSE)
and subtle status—SE without major
motor activity; important cause of pro-
longed impairment of consciousness
or unexplained coma; often developing
out of a GCSE when epileptic activity on
EEG outlasts the end of clinical motor
activity.
■ Simple partial SE—most frequently as-
sociated with certain conditions, for ex-
ample, chronic focal encephalitis.
The International League against Epi-
lepsy (ILAE) classification of SE does not
Chapter 34: Neurosurgical and Neurological Emergencies for Surgeons
include a definite duration criterion for SE.
GCSE has often been defined as >30 min-
utes’ seizure activity or a series of seizures
without return to full consciousness be-
tween the individual seizures. Notably, even
a short period of seizure activity may cause
neuronal injury and self-limitation is really
rare after 5 minutes.
Epidemiology and Etiology
SE incidence is estimated to occur in 10 to 20
cases per 100,000 per year and is increasing
with age. Approximately 50,000 to 200,000
cases occur per year in the United States.
Males and females are affected nearly
equally. SE affects all age groups but more
frequently at the extremes of age (i.e., in
neonates it is related to hypoxic injury or
metabolic disease and in elderly people it is
related to stroke).
Overall mortality rate is as high as 20%
but may exceed 50% in prolonged SE cases,
and death often relates to underlying cause,
unsuccessful treatment, or SE complica-
tions.
Systemic SE complications are (a) ex-
cessive catecholamine release leading to
hypertension, tachycardia, cardiac arrhyth-
mia, hyperglycemia, and lactic acidosis; (b)
hyperpyrexia promoted by excessive mus-
cular activity; (c) hypoxia from impaired
ventilation, pulmonary edema; and (d)
myoglobinemia due to muscular destruc-
tion with danger of renal failure.
Causes of SE may be roughly divided into
three groups (Table 13):
■ Exacerbation of a known seizure disorder
(irrespective of known or unknown eti-
ology) occurs in up to 50% of the cases.
Triggering factors include noncompli-
439
ance; antiepileptic drug (AED) serum
level drop caused by intercurrent dis-
ease (e.g., gastrointestinal) or pharma-
cological interaction (after prescription
of an interacting drug); intercurrent
infection/febrile disease; and complica-
tion acquired during a preceding seizure
(intracranial hemorrhage, CNS trauma).
So, do not miss a new acute/subacute
cause unrelated to preexisting epilepsy!
■ First manifestation of a idiopathic/cryp-
togenic seizure disorder.
■ Acute and subacute symptomatic CNS
disease.
Notably, any CNS disease may be associated
with the development of acute seizures in-
cluding SE, which can be the first symptom
also.
Given that such causes might also occur
as secondary change (e.g., infarction due to
vasospasms because of SAH, or intracranial
infection after any open surgery, or general-
ized edema due to metabolic derangement
due to sodium loss because of diuretic treat-
ment), any of these scenarios must be con-
sidered regardless of primary cause of hos-
pitalization.
Important Notes
■ Classic GCSE is easily recognizable at the
bedside by the typical rhythmic tonic–
clonic activity. Rarely, SE presents as
persistent tonic seizure (postural, ver-
sive fits).
■ Rapid repeated and prolonged extensor
The Head and Neck
and/or flexor movements or posturing
may be confused with clonic activity but
rather characterizes nonepileptic at-
tacks (“psychogenic status”). Typical is
the “waxing and waning”—character of
motor symptoms. EEG is normal during
the attack (monitoring!).
■ Suspect persisting SE in any patient not
regaining consciousness within the reg-
ular timescale after a witnessed grand
mal seizure (subtle status or NCSE); here
EEG is mandatory within 30 minutes
(Fig. 19).
■ Suspect NCSE in all otherwise unex-
plained coma or significant disturbance
of consciousness regardless of under-
lying primary cause, especially in the
ICU. NCSE is not rarely the cause of
unexplained coma, especially in TBI pa-
tients.
■ Repetitive generalized myoclonus in a
comatose patient following diffuse hy-
poxic brain injury may mimic general-
ized seizures; it poorly responds to AED
treatment because its pathophysiology
is likely not epileptic; it usually carries a
poor prognosis.
440 Part III: The Head and Neck
Fig. 19. Characteristic rhythmic epileptic EEG activity from a case of NCSE.
■ Important seizure and SE-related in-
juries may include severe tongue bites
with the need of surgical therapy, joint
dislocations and fractures, head and/or
facial trauma, rhabdomyolysis with dan-
ger of renal failure, and aspiration.
Since prolonged GCSE will cause severe
CNS damage, it is paramount to diagnose
and aggressively treat this condition from
the very beginning in the general surgical
population until a root cause has been iden-
tified or excluded.
Treatment
General Notes
Determine and correct glucose level if nec-
essary; substitute thiamine and folate (es-
pecially in alcohol withdrawal); optimize
supportive care (blood pressure, oxygen);
establish cardiovascular monitoring; mea-
sure AED levels in cases of preexisting
epilepsy prior to acute treatment, perform
extensive laboratory testing early and con-
sider CSF analysis.
Medical Treatment
It is recommended to establish a specific in-
house standard algorithm. The general
principles of SE drug treatment can be sum-
marized as follows:
First line Benzodiazepines, especially
lorazepam > diazepam >
midazolam
Second line Phenytoin/fos-phenytoin
Third line Possibly: phenobarbital,
propofol, valproate,
levetiracetame
Ultima ratio General anesthesia
Guidelines differ among countries and
the United States and Europe.
Surgical Treatment
Besides surgical treatment of the primary
cause of SE, if necessary, and AED pharma-
cotherapy, a surgical intervention can be
discussed in selected cases of refractory SE,
for example, in Rasmussen’s encephalitis or
malformation of cortical development. Re-
peatedly, successful surgical SE treatment
has been reported, usually from partial epi-
lepsy with strong semiological imaging and
electroclinical signs indicating the active
area.
SUGGESTED READINGS
Andrews BT. Head injury management. In:
Andrews BT, ed. Intensive care in neurosurgery.
New York: Thieme Medical Publishers; 2003:12.
Armin SS, Colohan AR, Zhang JH. Traumatic suba-
rachnoid hemorrhage: our current understand-
ing and its evolution over the past half century.
Neurol Res 2006;28(4):445–52.
Benzel E, Day W, Kesterson L. Civilian cranioce-
rebral gun shot wounds. Neurosurgery 1991;
29:67–72.
Berrouschot J, Sterker M, Bettin S, et al. Mortality
of space-occupying (‘malignant’) middle cere-
bral artery infarction under conservative inten-
sive care. Intensive Care Med 1998;24(6):620–3.
Chen CC, Cho DY, Tsai SC. Outcome and prognos-
tic factors of decompressive hemicraniectomy
in malignant middle cerebral artery infarction.
J Chin Med Assoc 2007;70(2):56–60.
Chen C, Smith ER, Ogilvy CS, et al. Decompres-
sive craniectomy: physiologic rationale, clini-
cal indications, and surgical considerations.
In: Schmidek HH, Roberts DW, eds. Schmidek
and Sweet’s operative neurosurgical techniques;
indications, methods, and results, 5th ed., Vol.
1. Philadelphia, PA: Saunders/Elsevier; 2006:
70–80.
Curry WT Jr., Sethi MK, Ogilvy CS, et al. Factors as-
sociated with outcome after hemicraniectomy
for large middle cerebral artery territory infarc-
tion. Neurosurgery 2005;56(4):681–92.
DeLorenzo RJ, Pellock JM, Towne AR, et al. Epide-
miology of status epilepticus. J Clin Neurophy-
siol 1995;12(4):316–25.
Department of Health and Human Services Cen-
ters for Disease Control and Prevention. Iraq &
Afghanistan veterans of America. Morb Mortal
Wkly Rep 2007;56:167–70.
Doerfler A, Engelhorn T, Heiland S, et al. Perfusion-
MRI for monitoring of decompress craniecto-
my in experimental hemispheric stroke. Stroke
1999;30:275.
Doerfler A, Forsting M, Reith W, et al. Decompres-
sive craniectomy in a rat model of “malignant”
cerebral hemispheric stroke: experimental sup-
port for an aggressive approach. J Neurosurg
1996;85:853–9.
Emery, E. Hidden wounds plague GIs. Denver Post.
April 16, 2007.
Erban P,Woertgen C, Luerding R, et al. Long-term
outcome after hemicraniectomy for space oc-
cupying right hemispheric MCA infarction. Clin
Neurol Neurosurg 2006;108(4):384–7.
Fandino J, Keller E, Barth A, et al. Decompressive
craniotomy after middle cerebral artery infarc-
tion. Retrospective analysis of patients treated
in three centres in Switzerland. Swiss Med Wkly
2004;134(29–30):423–9.
Foerch C, Lang JM, Krause J, et al. Functional im-
pairment, disability, and quality of life outcome
after decompressive hemicraniectomy in ma-
lignant middle cerebral artery infarction. J Neu-
rosurg 2004;101(2):248–54.
Gennarelli GA, Graham DI. Neuropathology In: Sil-
ver JM, McAllister TW, Yudofsky SC, eds. Text-
book of traumatic brain injury. Washington DC:
American Psychiatric Association; 2005:27–33.
Granacher RP. Traumatic brain injury: methods
for clinical and forensic neuropsychiatric assess-
ment, 2nd ed. Boca Raton, FL: CRC Press; 2007.
Gupta R, Connolly ES, Mayer S, et al. Hemicraniec-
tomy for massive middle cerebral artery terri-
tory infarction: a systematic review. Stroke
2004;35(2):539–43.
Hammeke TA, Gennarelli TA. Traumatic brain
injury. In: Schiffer RB, Rao SM, Fogel BS, eds.
 Chapter 34: Neurosurgical and Neurological Emergencies for Surgeons 441

Neuropsychiatry. Hagerstown, MD: Lippincott
Williams & Wilkins; 2003:1150.
Harscher S, Reichart R, Terborg C, et al. Outcome
after decompressive craniectomy in patients
with severe ischemic stroke. Acta Neurochir
2006;148(1):31–7.
Holtkamp M, Othman J, Buchheim K, et al. Pre-
dictors and prognosis of refractory status epi-
lepticus treated in a neurological intensive care
unit. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2005;76(4):
534–9.
Huttner HB, Schwab S. Malignant middle cerebral
artery infarction: clinical characteristics, treat-
ment strategies and future perspectives. Lanc
Neurol 2009;8:949–58.
Jaramillo A, Góngora-Rivera F, Labreuche J, et al.
Predictors for malignant middle cerebral artery
infarctions: a postmortem analysis. Neurology
2006 28;66(6):815–20.
Jüttler E, Schwab S, Schmiedek P, et al. Decom-
pressive surgery for the treatment of malignant
infarction of the middle cerebral artery (DES-
TINY): a randomized, controlled trial. Stroke
2007;38(9):2518–25.
Kasper EM, Luedi M, Kasper BS. Gunshot injuries
to the head. In: Velmahos G, Degiannis E, Doll
D, eds. Penetrating trauma: a practical guide to
operative technique and perioperative manage-
ment. Springer; Heidelberg 2011.
Kaufman HH. Civilian gunshot wounds to the
head. Neurosurgery 1993;32: 962–4.
Keenan T, Anthony J, Benson D. Non-contiguous
spinal fractures. J Trauma 1990;30:489–91.
Kellie, G. An account of the appearances observed
in the dissection of two of the three individuals
presumed to have perished in the storm of the
3rd, and whose bodies were discovered in the
vicinity of Leith on the morning of the 4th No-
vember 1821 with some reflections on the pa-
thology of the brain. Transactions of the Medico-
Chirurgical Society of Edinburg, 1824;1:84–169.
Kleweno CP, Zampini J, White A, et al. Survival
Krieger DW, Demchuk AM, Kasner SE, et al.
Early clinical and radiological predictors of
fatal brain swelling in ischemic stroke. Stroke
1999;30(2):287–92.
Kuchta J, Klug N, Ernestus RI. Nonconvulsive sta-
tus epilepticus as a possible cause of coma in
neurosurgical intensive care. Current Eur Neu-
rosurg 2009;70:176–9.
Langlois J ScD MPH, Rutland-Brown W MPH;
Wald M. The epidemiology and impact of trau-
matic brain injury: a brief overview. Journal of
Head Trauma Rehabilitation 2006;21(5):375–8.
LaPlaca MC, Simon CM, Prado GR, et al. CNS trau-
ma. In: Weber JT, Mass AIR, eds. Neurotrauma:
new insights into pathology and treatment. El-
sevier Science; 2007:13–19.
Lhatoo SH, Alexopoulos AV. The surgical treatment
of status epilepticus. Epilepsia 2007;48(8):61–5.
Lowenstein DH. Status epilepticus: an overview of
the clinical problem. Epilepsia 1999;40(1):S3–8.
Lowenstein DH, Bleck T, Macdonald RL. It’s time
to revise the definition of status epilepticus.
Epilepsia 1999;40(1):120–2.
Marion DW. Pathophysiology and treatment of in-
tracranial hypertension. In: Andrews BT, ed. In-
tensive care in neurosurgery. New York: Thieme
Medical Publishers; 2003:52–3.
Mayer SA, Claassen J, Lokin J, et al. Refractory status
epilepticus: frequency, risk factors, and impact
on outcome. Arch Neurol 2002;59(2):205–10.
Meierkord H, Holtkamp M. Non-convulsive status
epilepticus in adults: clinical forms and treat-
ment. Lancet Neurol 2007;6(4):329–39.
Merenda A, DeGeorgia M. Craniectomy for acute
ischemic stroke: how to apply the data to the
bedside. Curr Opin Neurol 2010;23(1):53–8.
Monro A. Observations on the structure and func-
tions of the nervous system. Edinburgh, Creech
& Johnson 1823:5.
Narayan RK, Michel ME, Ansell B, et al. Clinical trials
in head injury. J Neurotrauma 2002;19(5):503–57.
Nkwuo N, Schamban N, Borenstein M. Selected
Park J, Kim E, Kim GJ, et al. External decompres-
sive craniectomy including resection of tem-
poral muscle and fascia in malignant hemi-
spheric infarction. J Neurosurg 2009;110(1):
101–5.
Porth, C. Essentials of pathophysiology: concepts of
altered health states, 3rd ed. Hagerstown, MD:
Lippincott Williams & Wilkins; 2010.
Sauaia A, Moore FA, Moore EE, et al. Epidemiol-
ogy of trauma deaths: a reassessment. J Trauma
1995;38(2):185–93.
Scalea TM. Does it matter how head injured pa-
tients are resuscitated? In: Valadka AB, An-
drews BT, eds. Neurotrauma: evidence-based
answers to common questions. Stuttgart/New
York Thieme; 2005:3–4.
Schwab S, Steiner T, Aschoff A, et al. Early hemi-
craniectomy in patients with complete middle
cerebral artery infarction. Stroke 1998;29(9):
1888–93.
Spendel M, Lanner G. Operative decompression in
malignant brain infarction. Neurologia Croatica
2007;56(5):21–7.
Sullivan PG, Rabchevsky AG, Hicks RR, et al. Dose
response curve and optimal dosing regimen of
cyclosporin A after traumatic brain injury in
rats. Neuroscience 2000;101(2):289–95.
Uhl E. Decompressive hemicraniectomy for space-
occupying cerebral infarction. Cen Eur Neuro-
surg 2009;70(4):195–206.
Vahedi K, Vicaut E, Mateo J, et al. Sequential-de-
sign, multicenter, randomized, controlled trial
of early decompressive craniectomy in malig-
nant middle cerebral artery infarction (DECI-
MAL Trial). Stroke 2007;38(9):2506–17.
Vahedi K, Hofmeijer J, Juettler E, et al. Early de-
compressive surgery in malignant infarction of
the middle cerebral artery: a pooled analysis of
three randomised controlled trials. Lancet Neu-
rol 2007;6(3):215–22.
Waterhouse EJ, DeLorenzo RJ. Status epilepticus
in older patients: epidemiology and treatment

The Head and Neck

after concurrent traumatic dislocation of the oncologic emergencies. In: Marx JA, ed. Rosen’s options. Drugs Aging 2001;18(2):133–42.
atlanto-occipital and atlanto-axial joints: a emergency medicine: concepts and clinical prac- tice, Teasdale G, Jennet B. Assessment of coma and im-
case report and review of the literature. Spine 6th ed. Philadelphia, PA: Mosby Elsevier; paired consciousness: a practical scale. Lancet
2008;33(18):659–62. 2006. 1974;2:81–4.

EDITOR’S COMMENT As Dr. Kasper writes in the introduction, actual injury to the brain, which results in the
there are ~1.5 million moderate to severe head death of a number of areas of brain cells.
injuries in the United States each year, and there
This chapter is not necessarily intended to be are in addition, we are beginning to note, ~1.6 to 1. Cerebral blood flow, which is normally auto-
concerned with the isolated brain injury as much 3.8 million sports-related traumatic brain inju- regulated for systemic blood pressure between as
it was to deal with brain injury which com- ries each year as well. Traumatic brain injury is 80 and 160, will give adequate cerebral perfu-
pounded other types of injury. Nonetheless, an the cause of at least 52,000 deaths, and traumatic sion. When hypotension occurs as a result of
essential knowledge, although minimal for the injury is the leading cause of disability in children trauma, autoregulation, which is a major pro-
trauma surgeon with respect to head injury, which and adults from 1 to 44. At least 5.3 million Amer- tective mechanism for the brain, is disrupted, may
either be individual or may complicate other icans currently live with disabilities resulting so that cerebral blood flow, which is autoregu- more
major forms of trauma, seems to be essen- from traumatic brain injuries. It is possible that lated to generate an adequate cerebral perfu- tial in
this society in which we find ourselves with a number of these could have been prevented sion pressure, assumes for the most part the a
significant amount of high-speed trauma in to or the causal after-effects could have been pre- perfusion pressure of a mean blood pressure, which
our injured are placed. It does us little good vented from better-informed treatment of these which may be hypotensive. If the brain is in- to have
a superb resuscitation, arresting of liver traumatic brain injuries. jured, the episodes of hypotension and meta-
bleeding, doing splenectomies, having the ortho- We have learned a great deal from the combat bolic imbalance cause secondary brain injury. pedic
service, repair fractured femurs, etc., only experience of our soldiers in Iraq and Afghani- 2. On the other hand, other than perfusion, the to lose
the patient because of a traumatic head stan, and one-third of the soldiers who are admit- intracranial pressure is perhaps the most injury
that was poorly taken care of. Thus, on Dr. ted to Walter Reed do so because of traumatic damaging. Normal intracranial pressure is Kasper’s
suggestion, I included a chapter on brain brain injury. very low; it is 15 cm of water and below. Since
injuries the brain resides in the cranium, and thismuch
is a to
what theyincan
an and
effort to make
cannot do. surgeons aware of There are twobrain
of traumatic main sources
injury, andofallthe residual
of them are the rigid compartment, it does not take
(continued)
442 Part III: The Head and Neck

disrupt this rather low intracranial pressure. Initially, a patient may look pretty reason- of nine or less is serious and usually involves a
Most of the volume of the skull is made up able when he comes in, and since it is rare that focal neurological deficit, thought of as possibly of
brain parenchyma (80%); 10% is cerebro- either the trauma surgeon or the person taking reversible and some residual possible. A severe spinal
fluid, and remaining 10% is blood. An care of the neurological status is at the scene, a traumatic brain injury results in a Glasgow Coma acute
increase in intracranial pressure is fatal. careful history, if it can be obtained, is critical. A Score of five to eight and a critical traumatic brain Most of
the time, when we are concerned as record of vital signs and first examination should injury results in a Glasgow Coma Score of three trauma
surgeons with traumatic brain injury, be mandatory. Was there any evidence of seizure or four, with few survivors. This is a very detailed we are
concerned with intracranial pressure, activity or progressive obtundation? Was the pa- chapter, and I do not want to burden the reader monitoring
it, and attempting to keep it below tient involved in alcohol or drugs? If the patient with the kind of repetition of what the person tak- certain levels.
was accompanied on the way to the hospital, ing care of the patient needs to know. However,
what was the cause of the evolution of the situ- it is quite important that the trauma surgeons be
We know we cannot alter the events of the trau-
ation? If the patient became unconscious and a knowledgeable and know the prognosis and the
matic brain injury. Thus, what is necessary to hap-
pupil dilated up, we need to know when that outcomes of the various scores and which type of
pen is that we must keep the patient from deterio-
happened. All of these things should be a part of progression neurologically or lack of progression
rating as 50% to 60% do during a hospitalization as a
trauma Level-I protocol, which hopefully most of will be fatal. Not to do so will jeopardize the pa-
result of secondary injury. The latter, which may
our patients will come in at. As far as the most tient, and one gets into types of priorities, which
ultimately cause increase in intracerebral pressure and
life-threatening aspect of the patient’s survival, leads to the death of the patient.
brain herniation, are things which perhaps that is a blown pupil, if it did occur en route, or if
can partially be obviated. The causes for second- it were present at the time when the patient was A Final Mention of Special Cases: The special case
ary brain injury are the following: is of the elderly with what seems to be a trivial
first found, we must know about it; the cause of fall and is on warfarin for chronic atrial fibrilla-
1. Edema; the blown pupil may indicate which side is filling tion. I have spoken out against this for several
with a space-occupying lesion, and we need to years, as continued atrial fibrillation need not
2. Change in cerebral blood flow (CBF), usually
decreased; know which side this is happening with. be anticoagulation for >2 years with warfarin as
3. Hypercapnia, which can be controlled by a The Glasgow Coma Scale the presumed clot in the atrial appendage is epi-
ventilator; This is absolutely essential for the people involved thialized. However, the mortality of the elderly on
4. Acidosis, likely to occur with injury, but pos- with trauma or for that matter for anyone else to warfarin with a seemingly trivial injury is 40%. As
sible to forestall; know what type of Glasgow Coma Score is present described in a fine section of Chapter 6, there are
5. Alterations in metabolism, some of which are initially and then upon admission. Each trauma numerous new oral anticoagulants and at least
subtle and cannot be avoided; surgeon should be able to have by heart the way one, apixaban (Pfizer and Bristol-Myers Squibb),
6. Changes in neurotransmitters and receptor in which Glasgow Coma Scores are assigned. It has bested warfarin in a head-to-head clinical
activity, which are likely the result of other probably is easier to have a general range for what trial—perhaps more rapid reversal. Others seem
changes and are really beyond our capacity to the Glasgow Coma Score is. The normal Glasgow to fill the same criteria.
deal with; Coma Score, as we know, is 15, and impaired alert- The high mortality under these circumstances
7. Excitotoxicity; ness or memory leads to a somewhat decrease in seems to have escaped notice.
8. Infection and abscess formation. the Glasgow Coma Score. A Glasgow Coma Score J.E.F.

35 Tracheotomy
Paul F. Castellanos

INTRODUCTION
The surgical access to the airway has three
spheres, each with different distinct anatom-
ical considerations and clinical indications.
These are the open surgical tracheotomy, the
emergency tracheotomy or cricothyrotomy,
and the percutaneous dilatational tracheot-
omy (PDT). The first two have a wide range of
described techniques each with advocates
and detractors. The indications for a surgical
open tracheotomy include: the securing of
the airway for its prolonged intubation and
mechanical ventilation; the bypass of the up-
per airway for ventilatory protection, per-
haps in preparation for major head and neck
surgery; and the establishment of the airway
below a narrowing to enable safe respiration
after the structures above this point have be-
come scarred, most often after prolonged
orotracheal intubation.
Emergency airway access techniques in-
clude cricothyrotomy and “slash” tracheot-
omy, each done as quickly as possible in the
context of an arrest with the single-minded
indication being the preserving of the pa-
tient’s life. While the surgical anatomy is
relevant in the general sense, it is far less of
an issue than getting a tube into the airway
by whatever means as quickly as humanly
possible. This, therefore, involves relegating
the process of airway protection and reduc-
ing the risk of complications to the surgical
aftermath of the successful emergency pro-
cedure.
PDT is a relatively new sphere of airway
surgery generally performed at the bedside
within the intensive care unit (ICU) with
minimal surgical instrumentation and sim-
ple surface anatomy guidance. The process
includes, in most circumstances, some
means to see into the airway such as a flex-
ible or rigid video endoscope to establish
where you are entering the airway from
within. It is indicated for the critically ill
ventilated patient who would otherwise
have to be taken, ventilator and all, to the
operating room (OR). Concerns about the
potential for great and dire complications
have made this sphere slow to evolve and
fraught with controversy.
OPEN SURGICAL
TRACHEOTOMY
General Issues and Indications
The primary indication for tracheotomy is
the bypassing of the larynx when prolonged
intubation is necessary to reduce the risk
of airway stenosis and secure airway ac-
cess. Apart from these, other indications
include the treatment of airway obstruc-
tion and the protection of the airway in an-
ticipation of head and neck surgery. The
timing of when to consider this operation
in the context of prolonged intubation is
both critical and controversial. There are
data that support a 10- to 12-day window

of intubation as the target for converting
from orotracheal intubation to tracheot-
omy access. Having performed many bed-
side laryngoscopy procedures in the con-
text of tracheotomy, I have found a huge
variability in the degree of laryngotracheal
injury associated with prolonged intuba-
tion. I have developed a strategy for antici-
pating the need for conversion to trache-
otomy.
Younger patients are commonly able to
tolerate longer intubations. This does not
apply to children whose airway care is out
of the scope of this work. The closed head
injury patients, who tend to be younger, are
an exception to this generalization because
they tend to be constantly fighting to get
the ETT out of their throats, bucking and
coughing. The pure physical erosion of this
process is very damaging to the larynx and
the constant “combat” is intrinsically dan-
gerous. They either need to be converted to
a tracheotomy or extubated in a controlled
way as soon as prudent. This may be within
the first 2 to 3 days of their care. Conversely,
the comatose patient who needs no seda-
tion and who has some chance of spontane-
ous recovery will often have a pristine lar-
ynx even after 2 or 3 weeks of OT intubation.
They do not cough. They do not swallow.
They just lay there. The other consideration
is to get them out of a unit by converting
them over to a tracheotomy. This is a care
and logistics issue not related to avoiding
injury to the larynx.
On the other end of the spectrum is the
patient with known or suspected extra-
esophageal reflux. Even a couple of days of
intubation in these patients can result in
profound ulcerative laryngitis and edema.
These patients commonly fail extubation
for unclear reasons after having been
weaned off the ventilator, but still get a tra-
cheotomy because additional efforts at ex-
tubation also fail. They are a group of pa-
tients I refer to as having an “at risk” airway.
Apart from their reflux-related throat dis-
ease, other factors that can alone or in
concert produce this increased risk of
airway edema and vulnerability are: immu-
nosuppression; microvascular disease; dia-
betes mellitus; and history of recent airway
instrumentation. In the context of these
additional risks, my recommendation is to
proceed with an early tracheotomy to pro-
tect the larynx. The trachea is also at risk
from all of these factors. See below in the
complications section to address this is-
sue.
The surgically matured tracheostomy is
indicated in a couple of clinical scenarios.
The first is in a patient whose neurologic
condition is so poor or so inexorable that
there is essentially no chance they will ever
be decannulated. Examples of such condi-
tions include huge strokes, extensive brain
injury, or high quadriplegia. The second
scenario is in the care of patients with in-
tractable aspiration who are being treated
by one of a variety of laryngeal closure or
diversion techniques and need a permanent
stoma to avoid airway obstruction if the
cannula ever fell out or became plugged
and had to be removed. In both cases, this
technique allows a low maintenance stoma
and the safety of a channel that will remain
open for hours to days with no cannula at
all in many cases. The down side is that if
the clinical assessment is incorrect and the
person’s condition does improve, the stoma
will have to be closed by a somewhat exten-
sive operation.
Open Tracheostomy Techniques
There are innumerable techniques for per-
forming a tracheotomy and a tracheostomy
(Fig. 1). The distinction between the two is
of a surgically mature stoma in the latter,
though both involve an opening or “otomy”
into the trachea as an intrinsic feature of the
operation. Vertical or transverse skin inci-
sions are often debated. The vertical is more
easily made with little risk of needing to li-
gate large anterior jugular veins but heals
less well than a transverse incision that can
be put into a skin crease. The deep dissec-
tion often includes the need to either divide
or reposition the thyroid isthmus. Dividing
it gives a broad access to the trachea but
makes a much bigger wound with a larger
amount of devitalized tissue within it in the
form of cauterized or suture-ligated thyroid.
Therefore, this wound is more apt to drain
and become fetid. Conversely, the potential
for inadvertent decannulation is lower and
the ease of replacing the cannula is far
greater in the wound with the additional
dissection. I personally favor leaving the
thyroid isthmus intact to reduce the wound
problems and to support the cartilage in the
vicinity of the tracheotomy by the extensive
blood supply that the thyroid provides to
the trachea. I suture the cannula base to the
neck to secure it against inadvertent re-
moval until the track has “formed.”
The type of tracheal incision is also an
area of great controversy. My recommenda-
tion is to avoid disrupting the circular integ-
rity of the trachea as much as you can. Keep-
ing the axial blood supply is very beneficial to
eventual safe decannulation without signifi-
cant stenosis (see section on complications).
A generous transverse incision is preferable
to an inferiorly based (and therefore random)
cartilage flap known as a “Bjork flap” to
Chapter 35: Tracheotomy 443
protect the trachea and reduce the stenosis
risk (Fig. 2). Leaving one or two undisturbed
rings below the cricoid is also beneficial to
increase the protection to the cricoid.
Erosion up toward the larynx is com-
mon, particularly in obese patients or those
with very short necks. These body types
promote the development of stenosis by the
upward displacement of the cannula and
the consequent disrupting of the anterior
tracheal wall. The classic surface appear-
ance is of a tracheostomy wound with a
dense vertical scar beneath it indicating
that the initial entry point into the airway
was far lower than it ended up (Fig. 3). A
higher cannula placement point can there-
fore be justified in these patients to help
avoid this. Moving quickly to decannulation
is more important in this population. They
can be considered to be at a very high risk of
post tracheotomy complications.
The technique I advocate for a “mature
stoma” tracheostomy involves the genera-
tion of laterally based cartilage flaps sewn
to the skin by multiple buried absorbable
sutures (I use 4-0 PDS on a taper needle like
an RB-1) (Fig. 4). I use a vertical incision
through two rings in the midline connected
above and below by a generous transverse
incision. This is termed an “I” flap by virtue
of the shape of the capital letter “I.” The car-
tilage of each flap is supported by lateral
axial blood and mucosa, so there is no “ran-
dom” feature to the support of this tissue
that may promote iatrogenic stenosis. All
the suture materials I use in this technique
The Head and Neck
are absorbable so as to avoid the need for
suture removal from a difficult to access
area. I also place all of my sutures while the
patient is still intubated from above through
the larynx so that there is no encumbrance
from the respiratory circuit coming through
the skin while trying to sew the cartilage
flaps down (Fig. 5; see also Figs. 2 and 4).
Complications of Tracheotomy
I have found no technique that enables one
to avoid all of the common complication of
this procedure. These are: inadvertent decan-
nulation, or the loss of the airway from the
separation of the trachea from the airway ap-
pliance; local infection; stenosis or cicatricial
scarring above, within, or below the airway
entry point; cartilaginous or membranous
tracheomalacia; and the potential of injury
to the critical neighboring structures such as
the esophagus posteriorly and the innomi-
nate artery anteriorly. Internal disruption of
tissue is the cause of most of these complica-
tions and is sometimes contributed to by the
gradual increase in cuff volume used to main-
tain minute ventilation. This de facto airway
444 Part III: The Head and Neck

Fig. 1. Steps of a typical open tracheotomy. The incision of the thyroid isthmus is a common part of the procedure, though
one I typically avoid if possible. It leaves a lot of tissues to necrose within the tracheotomy wound making the site fetid and
causing malodorous drainage. My preference is to mobilize the isthmus and draw it up or down, whichever is more anatomi-
cally convenient. The hazard is that you will not enter the airway where you want to and that the stoma position may make
for a greater tendency for stenosis of the subglottis by injuring the cricoid cartilage. If necessary, the isthmus can be taken
down sharply and hemostasis can be achieved by focal bipolar cautery and suture ligature. En mass ligation and monopolar
cautery is a much more gross, if not less effective, means for achieving the same end. (Modified from Weissler MC, Couch ME.
Tracheotomy and Intubation. In, Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head and Neck Surgery—Otolaryngology, 4th ed.
Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.)

dilator of the infrastomal airway will eventu-
ally erode the mucosa and scar the distal tra-
chea. This is a very difficult clinical problem
to repair. Erosion into the anterior or poste-
rior wall may also occur, thus entering the
adjacent structures. Although, in my experi-
ence, erosion of this type is more likely the
result of the contour and direction of the air-
way relative to the cannula design, the angle
of the tip of the cannula, the cannula’s flexi-
bility, and the surface of the patient’s neck
and chest. Depending on these factors, the
tip of the tube may be pointing into the “party
wall” with the esophagus or the anterior tra-
chea toward the largest artery of the body
apart from the aorta (Fig. 6). The dilation that
occurs, even in the absence of erosion, can be
its own disease in the form of tracheomala-
cia. This can make the process of decannula-
tion laborious, long, and potentially unsuc-
cessful. Other factors such as the patient’s
overall state of nutrition, the ventilatory
pressures being used, and patient move-
ments like repeated swallowing and cough-
ing play a role in this erosive and dilatational
process. Because of these host factors, poten-
tially dire complications can occur even un-
der the most meticulous attention. As a care-
taker of these complications, I have a list of
recommendation to help avoid them: (a) cuff
pressure monitoring multiple times per day
and (b) keeping track of the total volume in a
cuff. Changes in cuff pressure and volume
will indicate a gradual dilation of the trachea
and may herald the damage that leads to
complications. (c) Endoscopic evaluation of
the airway through the tracheotomy tube
can guide appliance choice and its adjust-
ment to avoid the piercing of the walls in any
direction. If done with a “side port” attach-
ment, the circuit for ventilation is maintained
and the distention of the airway as it is dur-
ing normal mechanical ventilation can make
this assessment more accurate.
Inadvertent decannulation warrants spe-
cial mention. It is possibly the most com-
mon complication of tracheotomy and tends
to occur early after the procedure has been
performed and before scar has formed to
maintain the trachea in registration with the
skin incision. This enables the tip of the can-
nula to fall out entirely or to sit within a false
passage anterior to the tracheal lumen. The
patient may be able to breath, in the latter
situation, through the cannula for a short
time but usually the loss of tidal volumes
and decreased gas exchange begin to indi-
cate a problem. If the driving pressures are
increased or “bag ventilation” is employed
enabling far higher air pressure and volume
delivery, a pneumothorax soon follows and a
dire downward spiral can result. The can-
nula can sometimes be replaced by “feel,” if
the problem is caught early and the tracheal
wall is still widely open. If not, manipulating
the cannula can fully close off the communi-
cation between the skin and the trachea. In-
tubation from above should be considered
under such circumstances. If intubation
 Chapter 35: Tracheotomy 445

Fig. 2. A: Generation of the “Björk Flap.” It should be clear to anyone operating on the trachea, that there is no way to main-
tain a vital blood supply to such a long and “random” strip of tissue. The two sides of cartilage at the top of the tracheotomy
are much more prone to lose their curvature if not altogether lose their strength allowing for the generation of the so-called
A-Frame stenosis. I recommend against the use of this technique and present it with the hope of describing why it should be
avoided, even as we continue to advocate it. B: The skin from the neck can be advanced to the trachea instead of the other way
around, if additional security against the dislodgement of the cannula is needed. It takes only a small amount of additional ef-
fort to enable this. In fact, the same maneuver can be extended in the circumference of the tracheotomy to generate an appro-
priately named “tracheostomy” by advancing flaps of skin on the three sides of the opening suturing each to the corresponding
part of the trachea with slowly absorbing buried monofilament sutures. (Modified from Weissler MC, Couch ME. Tracheotomy
and intubation. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head and Neck Surgery—Otolaryngology, 4th ed. Philadelphia, PA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006.)

The Head and Neck

A B
Fig. 4. Incisions and dissection that are needed
Fig. 3. A: This stoma began at the level of the transverse scar and eroded upward. The jagged edges are for a surgically matured tracheostomy, in the tru-
made up of granulation tissue and cartilage that has lost it circular shape. B: This very old tracheostomy est meaning of the term. The four divided skin seg-
lacks obvious granulation tissue but clearly has eroded up from its original starting point near the tho- ments are sewn down to the airway on each of four
racic inlet up to its ending spot below the larynx. Both patients experienced severe airway complications sides bring them to the mucosa circumferentially.
from the tracheotomies. “A” required a segmental tracheal resection prior to being able to be decan- This promotes the generation of an “ostomy” that
nulated. “B” was able to be decannulated after a series of minimally invasive procedures to widen his will be secure, require little local care, and will have
airway from the inside. to be surgically closed if it is ever no longer needed.
446 Part III: The Head and Neck

A B

Fig. 5. A: Video image of a stoma surgically “matured,” in that skin flaps were sewn to the trachea to accomplish what can
happen to a tracheotomy after it has had a cannula in place for several years depicted in “B.” B: This image, taken during an
endoscopy, provides internal illumination allowing the detection of the granulation tissue evident within the stoma that per-
sists despite the fact that this stoma has been in place for several years. See Figure 4.

from above is not successful or the patient
has arrested, removal of the existing cannula
and digital exploration of the wound should
be attempted. The anterior tracheal wall
may be palpated and the opening into the
trachea found. If so, an ETT can be used to
reintubate the airway and provide for some
degree of ventilation while chest tubes are
being placed. The tracheotomy cannula can
be passed by Seldinger technique once the
situation is stabilized. Depending on why
the cannula became dislodged in the first
place, it may be reasonable to introduce an
extra long cannula such as the Shiley XLT
that comes with a proximal or distal extra
long segment (Mallinckrodt, St. Louis, MO).
Dealing with complications such as tra-
cheoesophageal fistula (TEF) formation
and innominate artery fistula (IAF) should
be mentioned but cannot be addressed de-
finitively in a work of this scope. The critical
issue is to avoid a tracheostomy in the con-
text of a known TEF unless the fistula is
very high and unlikely to be at or below the
level of the entry point of the tracheotomy
itself. Otherwise, the risk is that the can-
nula will be placed into the fistula and the
esophagus will be intubated. Repositioning
can be hazardous and ineffective. Dire sce-
narios are common in this setting.
The “fetid” tracheotomy wound also
bears mention here. Local infection is pos-
sible in any wound. The head and neck is
famous for tolerating a high degree of con-
tamination without infection because of
the excellent blood supply and the vigor of
the immune system built into our design.
Nonetheless, tracheotomy sites are often
oozing with foul mucopurulent secretions
and blood. This indicates a local process
that promotes stenosis and can potentially
erode the mucosa within the airway. The
most common source of these secretions is
the oral cavity pool of saliva and oral flora;
but the worst of all bodily fluids able to in-
jure the airway are those from the gastroin-
testinal tract. The acid, enzyme, and bile
flow from within the central GI tract pro-
vide a perfect mix for injuring the airway to
a spectacular degree. The solution surely in-
cludes avoiding reflux of GI fluids by pos-
tural means, the use of gastrojejunostomy
technology for post pyloric feeding (the de-
tails of which are beyond this work), and
vigorous irrigation and suctioning of the
aerodigestive tract including the mouth
and trachea if at all possible. The “High Low
Evac” (Mallinckrodt, St. Louis, MO) endo-
tracheal tube technology, for example, will
enable the cleansing of the airway above
the cuff of the tube and has been shown to
decrease infection. In my opinion, this scale
of cleansing would also help keep the tra-
cheotomy sight healthier, too. Unfortu-
nately, this technology does not exist in tra-
cheotomy cannulas to my awareness. There
is a form of tracheotomy cannula that al-
lows for the delivery of air into the supras-
tomal passage that could be adapted to
cleanse the mucosa or to suction, but it is
not specifically designed for this purpose
(Portex Vocalaid Cuffed Blue Line, Smith
Medical, OH).
Another factor in the generation of a
particular kind of post-tracheotomy tra-
cheal stenosis is the “Bjork Flap” (see Fig. 2).
This is a random (in vascular terms) carti-
lage flap using one or two rings of anterior
tracheal wall to anchor the trachea to the
skin and theoretically reduce the risk of in-
advertent decannulation. The problem is
that it can also destabilize the tracheal ring
structure and that in conjunction with the
chondritis of the wound in the trachea it-
self, it promotes a straightening of the two
sides of the tracheal wall that then fall into
one another. I call this the “A-Frame” steno-
sis after this type of house construction (Fig.
7). Part of the problem with this complica-
tion is that the trachea is not actually
stenotic. No amount of dilation will enlarge
this airway pathology more than for a short
interval. The posterior wall in the segment
of the airway may be fully pliable and will
simply stretch open and back to its original
shape and size afterward. There are some
transoral techniques that may help but for
the symptomatic A-frame stenosis patient,
a segmental tracheal resection is often all
that can be done to repair this complication
of tracheotomy. In my opinion, the Bjork
Flap is a common and controllable predis-
posing factor to the development of this
complication, although it can form in any
type of tracheotomy. How commonly a Bjork

Fig. 6. Diagrammatic rendering of the anatomical
basis of tracheal erosion through the wall into the
innominate artery. The curved shape of common
tracheotomy cannulas is a common fit for most
patients but not all. Common bleeding may indi-
cate a poor shape match for a given patient. A
brisk arterial bleed that stops spontaneously may
be the so-called sentinel bleed of an innominate
artery fistula. This is commonly a fatal complica-
tion of tracheotomy. (Modified from Weissler MC,
Couch ME. Tracheotomy and intubation. In:
Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head and
Neck Surgery—Otolaryngology, 4th ed. Philadel-
phia, PA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.)
flap causes stenosis is impossible to deter-
mine with any accuracy. My impression is
that it is still not so common, having sev-
eral colleagues who use this technique
and don’t appear to be having these complica-
tions to a significant degree.
The last complication of tracheotomy or
tracheostomy worthy of mention is one that
follows decannulation. It is known as a per-
sistent tracheocutaneous fistula (PTF).
When a stoma has been surgically matured
as described in the technique section above,
or when the cannula has been left in place
for a prolonged period of time, a cutaneous
tract forms between the surface skin and
the trachea that will not spontaneously
close. Other reasons for a PTF include laryn-
gotracheal stenosis such that a large amount
of air continues to flow through the connec-
tion and of necessity maintains its patency.
This should be evaluated endoscopically by
an airway clinician through the larynx
and through the PTF, if it is wide enough.
The surgery needed to repair airway steno-
sis of the trachea is out of the scope of this
work. Suffice it to say, there are many such
options including minimally invasive tech-
niques that could enable a safe and effective
widening of the airway to restore such a pa-
tient to normalcy. Following such care, the
fistula could be closed as described below.
Until such surgery is performed, it may be
safest to replace a small cannula through
the fistula tract to secure the patients air-
way. Even a tiny PTF can be dilated under
local anesthesia to accommodate a small
metal or cuffless plastic cannula.
A final cause of a PTF is the lack of coop-
eration on the part of the patient to occlude
the channel post decannulation with their
finger over the wound gauze when speaking
or coughing. This is a presumed cause in
children and head injury/CVA adults who
are more apt to have this problem. Given
their limited ability to concentrate or even
understand the need to block the outflow of
air through the stoma after removal of the
cannula, it seems reasonable that a persis-
tent tract may follow. This may be an unre-
lated coincidence, of course, since these pa-
tients also tend to have their cannulas in
place for a long period compared to other
groups treated as such.
If the airway is not narrowed on endo-
scopic evaluation, the PTF can be closed in
a variety of ways. My personal preference is
to generate a tube of skin at the base of the
fistula near the tracheal lumen that can be
turned into the airway by a Connell stitch
(a far, near, near, far inverting bowel suture
technique invented in the late nineteenth
century). I then bring the strap muscles to
the midline with multiple figure-of-eight
absorbable sutures such as Monocryl or
Vicryl. I raise the skin above and below the
PTF with a transversely oriented wound
that when closed makes the cosmetic out-
come very favorable.
Emergency Airway Surgery—
Tracheotomy and Cricothyrotomy
The choice of one technique over the other
is fraught with controversy. I personally will
do a tracheotomy under emergency circum-
stances if I can. That is to say, if there is
room to approach the trachea for the fenes-
tration without any delay in the process,
that is where I will enter. If not, the crico-
thyroid membrane (CTM) is an acceptable
alternative. While some advocate the crico-
Chapter 35: Tracheotomy 447
thyrotomy as the only way to go, this is
sometimes a very challenging access port,
not wide enough to put a tube through
without the use of the “digital dilator” or the
index finger to enlarge it. The anatomy of
the posterior cricoid ring is also unfavor-
able in that it is sloped upward and can
sometimes guide your endotracheal tube
cephalad rather than down into the tra-
chea. The hallmark of this inadvertent pas-
sage is the brisk flow of air out of the mouth.
This often baffles the clinicians at the scene
and can be confused for a posterior wall in-
jury. The lost time in getting the airway se-
cured can cause dire complications and
death. My approach in such circumstances
is to turn my blade vertically and bivalve
the cricoid (Fig. 8). When I teach emergency
airway management I include this adage:
“anything you bivalve in the service of
saving someone’s life can be repaired if the
patient is still alive.” The finest operation in
the world to gain access to the airway that
is clean and well dissected but too slow to
maintain a life is of no value. There is one
goal and one goal only: to sustain life. That
which gets the clinician to that goal fast
enough is the right choice.
The contribution I offer to this sphere is
of a technique I developed at the University
of Maryland and the Maryland Shock Trauma
Center to enable emergency surgical access
despite the chaos of a typical resuscitation.
Getting access to the neck is very challeng-
ing in someone who is at points being mask
ventilated, going through repeated efforts at
The Head and Neck
intubation, and getting chest compressions.
The technique begins with the airway sur-
geon placing their nondominant hand on
the neck with the palm under the patient’s
chin to extend the head and draw the tra-
chea out of the chest (Fig. 9). The same hand
is used to stabilize the airway by putting the
index and third fingers on either side of the
trachea/larynx so as to put pressure on the
paralaryngeal soft tissues and establish the
midline of the neck. This also reduces the
disruptive effect of the compressions on es-
tablishing as quickly as possible surface
landmarks of the airway beneath it. Once the
airway is identified, I make a vertical cut to
open the skin. This splays the edges of the
incision because of the pressure of the fin-
gers applied to trap the airway. Setting the
scalpel down, the dominant hand is used to
palpate the deeper tissues to verify what was
felt through the skin. The next knife cut is
into the airway either through the trachea or
the CTM. The channel is palpated and when
performing a tracheotomy, the nondomi-
nant index finger is placed into the airway
guiding the tube caudad. If passing the tube
through the CTM is difficult, a stylet can be
448 Part III: The Head and Neck

A B

Fig. 7. A: Endoscopic view of a patient whose airway was nearly untenable at the time of an intraoperative consult. This initial
view demonstrated no airway at all. On passage of the endotracheal tube, the channel was splayed and the patient resusci-
tated. On dilation, no change in the caliber of the airway was noted, diagnosing the classic “A-Frame” stenosis. B: View after
the first session of laser treatment of this condition by the technique of Dr. Guri Sandu. The patient avoided the need for a
tracheal resection or tracheotomy. The patient was treated with an additional laser procedure and has had a durable benefit.

used to accomplish this. A few additional
pearls: (a) Do not try to place a standard tra-
cheotomy cannula through an emergency
surgical access. These cannulas are not de-
signed to enter a small wound or one that
may be undissected and may become dis-
rupted. In addition, there is no room to keep
your finger in the wound or to control bleed-
ing with pressure, pending going to the OR to
explore and/or revise the wound. (b) An en-
dotracheal tube is the perfect implement
and a #6.0 tube fits wherever a typical adult
index finger can fit. (c) If the wound in the
CTM or the trachea is not big enough, en-
large it. The CTM cannot be enlarged in some
patients. In these cases, the cricoid
itself should be bivalved to enable the pas-
sage of the ETT. (d) If the patient has any
means of resisting your efforts to save their
life, wait a little while. (e) Bleeding is a good
sign that you are not too late. ( f) In my expe-
rience, no one has ever made too large a tra-
cheotomy. (g) Anything divided to secure the
airway can be repaired if the patient survives.
(h) Never load your own scalpel blade. (i)
And lastly, imagine your first emergency tra-
cheotomy as often as you think you may have
encountered it to gain a kind of virtual expe-
rience. This comes in very handy when you
first lay knife to skin for the real deal.

Percutaneous Dilatational
Tracheotomy (PDT)
Possible PDT is a technique sphere that is minimally
misdirection invasive and kit based (Fig. 10). It is indi-
of tube
cated for nonemergency situations and de-
signed for bedside care in an ICU setting. It
is commonly performed with bronchoscopic
If incision too small, airway lumen visualization through the ex-
Subglottis
turn knife 90 degrees
and cut down
isting endotracheal tube. This approach has
dramatically altered bedside airway care in
Endotracheal tube
many parts of the world and is rapidly gain-
ing popularity in the USA and Asia. Regard-
less of the technique, taking a critically ill
patient to the OR for a tracheotomy not only
removes them from the location where he/
she is best cared for, but also adds additional
Fig. 8. The basics of an emergency cricothyrotomy. The first incision is commonly vertical and deep enough
risks related to the need to transport them
to allow for the palpation of the cricothyroid membrane. The second incision is of the membrane itself,
entering the airway. The vertical rotation illustrated is intended to widen the incision enough to allow for some distance away, rolling their IV pole(s)
the intubation by an endotracheal tube and not a tracheostomy cannula. The latter will not fit through this and their ventilator with them. The costs as-
small aperture and is not intended as an emergency appliance, though such devices do exist. (Modified sociated with OR tracheotomy are very high
from Weissler MC, Couch ME. Tracheotomy and intubation. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. when OR time is taken into account along
Head and Neck Surgery—Otolaryngology, 4th ed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.) with the personnel costs of the transport
 Chapter 35: Tracheotomy 449

A B

C D

Fig. 9. Emergency airway surgery handhold technique. A: Side view of the neck anatomy with markings indicating the rele-
vant anatomy such as the thyroid notch, the cricoid, and the thoracic inlet. The vertical mark above the thoracic inlet is the
planned skin incision. B: Lateral view of the handhold placed on the airway to stabilize it and isolate the trachea in the context
of a resuscitation procedure. C: Oblique view identical to “B.” D: En face view of the procedure as it could be performed with

The Head and Neck

the scalpel ready to incise the trachea. The left hand could sit over a bag mask being used to ventilate the patient.

team and those in the OR for the surgery
itself. Bedside tracheotomy has the advan-
tage of being performed in the ICU obviat-
ing all of the costs unrelated to the proce-
dure itself. If done in the ICU by the open
technique, there is the disadvantage of
needing to essentially bring the OR to the
bedside. With head lights and OR trays, a
cautery device and drapes; tracheotomy
can be performed in a manner similar to
that which is performed in the OR itself. Ac-
cording to the advocates of this approach,
this is done in the event that a deep explo-
ration of the neck is needed to control a
bleeder that might retract into the sur-
rounding tissues.
Kit-based PDT techniques, by contrast,
are based on the surface incision of skin
with the blunt dissection of the superficial
tissues to gain access to the tracheal wall.
The operating clinician navigates through
the procedure by seeing on a video monitor
the effect of the manipulation of the soft tis-
sues overlying the airway. When performed
by the typical PDT technique or T-PDT, a
bronchoscope is used to get the existing en-
dotracheal tube repositioned so that the tip
of the tube is at or just above the likely entry
point of the trachea as viewed from within
the lumen of the airway. This is in reality, a
controlled partial extubation and will limit
the minute ventilation of some patients sig-
nificantly. Most patients with high positive
end expiratory pressure (PEEP) needs or
high minute ventilation needs will not tol-
erate this. Inadvertent complete extubation
can occur and may be followed by difficulty
in finding the airway and the potential for
dire consequences, even death. While com-
plications on this scale are rare, the poten-
tial for this scale of adverse outcome has
made the adoption of this otherwise safe
and effective technique slow. This has been
particularly the case by the one specialty
most commonly involved in tracheotomy,
the Otolaryngologists.
Recently, a new approach to PDT known
as suspension laryngoscopy-assisted PDT
(SL-PDT) has been introduced to the Oto-
laryngology community (Fig. 11). This tech-
nique differs from T-PDT in that a suspen-
sion laryngoscopy system is used to secure
the airway such that there is no way for the
airway to be lost or the patient inadver-
tently extubated because of the very nature
of suspension laryngoscopy. The airway is
trapped by the orifice of a rigid laryngo-
scope and elevated with a device designed
to fulcrum the scope against the maxilla
and a second surface, commonly the pa-
tient’s tray table. A new foreshortened (cut
off at 20 cm) ETT is then passed into the
airway through the rigid laryngoscope and
the balloon is inflated within the scope and
the upper larynx so as to seal the airway
within the ventilatory circuit. This enables
the delivery of the requisite tidal flow with
the entire PEEP the patient needs. The in-
ternal view of the airway is accomplished
by a 30 cm × 5 mm rigid telescope. I prefer
the 30 degree angled view to allow for
something of an oblique perspective to the
450 Part III: The Head and Neck

pharynx and so enables the easy placement

of a gastroscope to perform a PEG by the
same or a second care team; (i) the airway is
thoroughly evaluated in the placement of
Bronchoscope the rigid endoscopic access. This last point
warrants further elaboration: the state of
the larynx at the time of tracheotomy can
predict the potential the patient will be able
to undergo decannulation if they recover
Endotracheal
tube (pulled
from their critical illness. The presence of
back to glottis) signs of impending TEF or IAF can also be
established and may serve as the basis of
aborting the operation. If necessary, the
airway can also be instrumented to remove
Epiglottis mucous plugs or tissue debris. (j) And
lastly, the basis of a “failed extubation,”
Thyroid cartilage
which is a common indication for trache-
Vocal cords otomy, can be determined such that it may
be possible to avoid a tracheotomy com-
Cricoid cartilage pletely if, for example, a large granuloma is
found to be the basis of this problem. If it
Guidewire is treated at the time of the start of the
Dilator
bedside procedure, a new effort at extuba-
tion can be justified.

Fig. 10. Anatomy and instrumentation of the typical or “traditional” percutaneous dilatational trache-
Both the T-PDT and the SL-PDT tech-
otomy technique with the flexible bronchoscopic image of the inside of the airway, the guide wire enter- niques have a role to play in a comprehen-
ing the airway ahead of the dilator in the area that is transilluminated. (Modified from Weissler MC, sive multispecialty ICU airway program;
Couch ME. Tracheotomy and intubation. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head and Neck T-PDT applying to roughly half of ICU pa-
Surgery—Otolaryngology, 4th ed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.) tients who need an tracheotomy but have

no special ventilatory needs such as high

anterior wall in case I am having any trou-
ble determining where to enter the airway.
Thus, the whole operation can be per-
formed with the patient adequately venti-
lated. There is, therefore, no rush to locate
the ideal position through which to enter
the airway since there is no significant po-
tential for desaturation. In addition, should
the patient become unstable for any rea-
son, the procedure can be safely aborted
without any undue risk to the patient. A
fresh full-length ETT can simply be placed
into the laryngoscope beyond the airway
entry point even if the airway has already
been opened through the skin. The poten-
tial for being able to precisely choose the
point of entry warrants emphasis and elab-
oration. With the clear and controlled view
that SL-PDT technique gives, the needle
placement to begin the dilatational process
can be precisely chosen. The piercing (and
cracking) of a tracheal ring is all but impos-
sible. It is this feature that leads me to be-
lieve that SL-PDT is the most atraumatic of
all approaches to tracheotomy. This is in
part because no significant dissection is
needed to gain access to the trachea. This
spares the microvascular support of the
perichondrium on the tracheal cartilage,
thus reducing the risk of chondritis, loss
of elastic support, and cicatricial scar for-
mation.
Additional advantages of SL-PDT com-
pared to T-PDT include: (a) bleeding can be
suctioned away with far larger suction ports
than are typical in a flexible bronchoscope;
(b) obscure landmarks are not a contraindi-
cation since the airway can be found by the
needle probing; (c) the airway itself is lifted
in the neck bringing it closer to the surface
and making it more rigid, facilitating the
dilatational process; (d) prior tracheal sur-
gery is not a contraindication either, since
the additional force of dilation needed to
open the airway can be performed more
safely with a clear view of the scarred tis-
sues seen from within the trachea itself; (e)
the posterior and anterior walls can be seen
with ease, often at the same time, decreas-
ing the risk of posterior wall penetration
and TEF; ( f) obese patients with short
necks and low laryngeal structures can be
treated, in my opinion, more easily and
safely than by open techniques with the
SL-PDT procedure since the airway is
commonly obliquely oriented and must be
approached at the thoracic inlet with an
up–angled approach so as to enter the tra-
chea at the desired location (a long needle
is often needed to accomplish this); (g) a
rigid scope is impervious to needle punc-
ture, a mishap that in T-PDT can cost US
$7,000 or more to repair; (h) the suspension
laryngoscopy elevates the larynx in the
PEEPs, have easy to feel landmarks, have an
easily accessible segment of trachea, and
no history of challenging airway anatomy.
The remainder of patients, including those
with high BMIs, poor landmarks, low
larynges, prior neck surgery, and even neck
tumors, anasarca, or other types of gener-
alized edema and high/challenging venti-
lator needs can virtually all be offered
SL-PDT. The contraindications to SL-PDT
include patients with trismus, uncertain
C-spine disease or kyphoscoliosis, and/or
the inability to tolerate a general anes-
thetic. Some of these patients can have the
T-PDT approach. This would leave a tiny
number who would have to leave the unit
for an OR-based tracheotomy.
In conclusion, tracheotomy is a very im-
portant intervention to protect or establish
the airway and there are many approaches,
each of which has its advantages and risks.
Open surgery in the OR is the best way to
fashion a surgically matured tracheal
“stoma.” Emergency airway surgery has to
be performed as quickly as it is performed
effectively. The technique presented here is
one that will enable this result. Tracheotomy
in an ICU patient is best done at the bedside
with a kit-based system and without leaving
the unit. ICU patients with contraindica-
tions to T-PDT can safely have an SL-PDT
operation and get a thorough airway evalu-
ation in the process.
 Chapter 35: Tracheotomy 451

A B

C D

The Head and Neck

Fig. 11. These images are of a morbidly obese patient, the type of whom who can be treated safely with this technique given
sufficient expertise with the rigid laryngoscopy part of the procedure. This particular male was mechanically ventilated for
several weeks but considered too unstable to be transported to the OR for his tracheotomy. It was performed uneventfully at
bedside using the SL-PDT technique. A: The general view of his body habitus at bedside. B: The Storz Dedo laryngoscope in
place and extending his neck backward and his airway closer to the surface. C: A close up view of the laryngoscope, telescope,
and ventilating endotracheal tube assembly. D: The #8 Shiley XLT Proximal extra length cannula in place ventilating the pa-
tient while the Dedo laryngoscope is still in place to make sure that there is no internal airway bleeding or other problems that
need to be dealt with prior to the conclusion of the procedure.

SUGGESTED READINGS Myers EN, Johnson JT, eds. Tracheotomy: Airway

Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head and
Neck Surgery—Otolaryngology, 4th ed. Philadel-
phia, PA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
Jackson C. The Life of Chevalier Jackson: An Autobi-
ography. Kessinger Publishing Company; 2008.
Management, Communication, and Swallow-
ing, 2nd ed. San Diego, CA: Plural Publishing;
2008.
Sharp DB, Castellanos PF. Clinical outcomes of
bedside percutaneous dilatational tracheos-
tomy with suspension laryngoscopy for airway
control. Ann Otol Rhinol Laryngol 2009;118(2):
91–8.
White HN, Sharp DB, Castellanos PF. Suspen-
sion laryngoscopy assisted percutaneous di-
latational tracheostomy in high risk patients.
Laryngoscope 2010;120(12):2423–9.

(continued)
452 Part III: The Head and Neck
we needed for an open tracheostomy. Happily, I
do not remember very many disasters, but they
easily could have happened. It was in fact a rite
of passage.
The author recognizes the challenging nature
of this procedure and the fact that one can lose
the patient very quickly. There are a number of
pearls offered, by which one can tell he is an ex-
perienced tracheostomist, such as bleeding being
a good sign that you are not too late, and [num-
ber 6] in my experience no one has ever made too
large a tracheotomy. I’m not sure whether I agree
with the latter one, but I think he’s got the idea.
But the point is to get the patient stabilized and
to get an airway that cannot be dislodged.
The standard tracheostomy should be carried
out whenever possible in the operating room.
This is a difficult operation, and there is no point
in letting the junior person do it except under
excellent assistance and supervision. It is best to
have an anesthesiologist or an anesthetist at the
head of the table. There needs to be a adequate
monitoring equipment such as a Pco2 monitor in
order to tell whether you’re in the right place, as
well as the ability to make certain that all sizes of
endotracheal tubes are available. Unfortunately,
in some situations, such as the patient who has
swallowed a foreign body, and of course with the
patient with no neck or thyroid hyperplasia, it
gets kind of sticky.
However, it does appear as if the percutane-
ous tracheostomy is the order of the day, and so
much of the reading material that one comes
across in this area is to try and make percuta-
neous tracheostomy, which is challenging in its
own right, more accurate. Rajajee et al. (Critical
Care 2011;15:R67, published online) employed
real-time ultrasound-guided percutaneous dila-
tational tracheostomy as a feasibility study and
found in 13 patients [on the neurosurgical ser-
vice] that ultrasound actually helped guide the
percutaneous tracheostomy. These were selected
patients including three who were morbidly
obese, two in cervical spine precautions, one
with a previous tracheostomy. In all 13 patients,
bronchoscopy confirming the guidewire entry
was through the anterior wall and between the
first and fifth rings, avoiding pneumothorax, tube
misplacement, posterior-wall injury, significant
bleeding or other complication occurred during
the procedure. The authors state that percuta-
neous tracheostomy performed under real-time
ultrasound guidance is not only feasible but also
appears accurate and safe, and they are contem-
plating a randomized prospective trial. To me
this sounds like a reasonable plan, as one can
generally use all the help one can get.
An additional aid that might come in handy
was described in Laryngoscope (2011;121:1490–
1494, published online). Nowack A and Klemm E
described this in the section on how to do it, by
introducing a percutaneous dilatational tracheo-
stomy using a tracheotomy endoscope. This is a
discussion of 24 intensive care patients who un-
derwent what they call PDT, using a TED made by
Karl Storz (Tuttlingen, Germany) and Carl Reiner
(Vienna, Austria). These were patients on long-
term ventilation with orotracheal intubation to
within an average of 10 days. There was a kit with
a single dilator, and continuous gas monitoring
was used. Patients were sedated. Heart rate and
rhythm were monitored, as was blood pressure
and arterial catheterization, and oximetry was
monitored using a finger probe. The introduction
of the TED seems rather complicated and is done
at right angles. However, the outcome showing
that when one does the percutaneous dilatational
tracheostomy, the incision in the trachea and not
out through the back wall seems like a good idea.
I have no idea how much this instrument costs,
and it looks like it is very finely machined, as one
would expect. It is not clear exactly how these pa-
tients were selected, but the complications with
TEDs were tracheal ring fractures. It remains to
be seen, when this kit is introduced into general
usage, whether individuals find it helpful or not.
Kilic D (Ann Thoracic Cardiovasc Surg
2011;17:29–32) carried out a nonrandomized
study with 121 patients, performing surgical
tracheostomy, in other words a standard tra-
cheostomy, with a U-shaped flap and carried out
in the operating room between March 2003 and
December 2006. In this technique, instead of re-
moving the tracheal ring, it was used to create a
flap, and the tracheal flap was hung with a suture
from the middle of the second or third cartilage
rings. At the same time, 85 patients underwent
the Griggs dilatation technique, which was per-
formed in the intensive care unit. Complication
rates were similar such that the tracheostomy at
4.1% had bleeding in two patients, late stenosis
in two patients, and stomal infection in 1 patient
and percutaneous tracheostomy at 3.6% includ-
ing bleeding in two patients and pneumothorax
in one patient. The mean operating time was 12
minutes for surgical tracheostomy and 8 minutes
for percutaneous tracheostomy. It is difficult to
understand how the “staff utilization cost” seems
like the major advantage of percutaneous tra-
cheostomy. Regardless of whether or not there are
similar complication rates, surgical tracheostomy
is necessary and, the authors say, most favorable
for select patients with thyroid hyperplasia, short
neck, tracheaomalacia, and obesity neck opera-
tion history and for pediatric patients. I agree. I
am not certain that this can be a randomized pro-
spective trial, because, if you had somebody with
a body mass index of 40, it is highly unlikely that
you’re going to do a percutaneous tracheostomy.
It is difficult to know how one can actually
process urgent tracheostomies. Bobek S, et al.
(J Oral Maxillofac Surg 2011;69:2198–2203, pub-
lished online) reviewed 327 separate procedures
in 325 patients and attempted to distinguish ur-
gent tracheostomies from elective and emergent
tracheostomies by reading operative reports. I
agree that one can differentiate urgent tracheo-
stomies, in which there is an intact unprotected
airway, whereas emergent procedures were per-
formed on patients with complete airway ob-
struction and elective procedures were defined
as those performed on patients with a secure
airway “with an endotracheal tube or a laryn-
geal mask airway.” I differ with the writer. In any
event, after analyzing 325 patients, 20 examples
of urgent wide-awake tracheostomies were found
in 19 patients. The operation seems to be done in
the same fashion as I perform it, including the
cricoid hook being placed into the cricoid or the
first tracheal ring. Since the patient was preoxy-
genated, oxygen was delivered during the proce-
dure through a bag mask or nasal cannula or a
face mask, it would seem that this is a reasonable
definition of an urgent tracheostomy, since the
patient’s airway is not intubated. Quite honestly,
I am not entirely certain what the purpose of
that review, other than that urgent tracheostomy
could be done safely, but I think we already know
that.
Finally, Fikkers BG, et al., from the Depart-
ment of Intensive Care Medicine in Radboud
University Nijmegen Medical Center in Holland,
reviewed early and late outcomes of single-step
dilatational tracheostomy (SSDT) versus the
guidewire dilating forceps (GWDF) technique,
which was a randomized prospective trial in a
true fashion, such that that 120 patients with 60
patients in each group were properly randomized
to two techniques of percutaneous tracheos-
tomy, one the GWDF technique and the second
the SSDT technique. Patients were followed up
3 months after decannulation. The complica-
tions in both groups were monitored, yet they
were high (58.3% in the GWDF group and 61.7%
in the SSDT group). Nonetheless, they found a
trend toward major perioperative complications
in GWDF (10% vs. 1.7%). A significant tracheal
stenosis appeared in the SSDT group, but the
study could not blame the technique since pro-
longed translaryngeal intubation had been car-
ried out. Apparently, on follow-up, only 37.5% of
the patients in the GWDF group and 31.8% in the
SSDT group had no complaints after their percu-
taneous tracheostomies. The authors concluded
that the SSDT technique appears to have fewer
complaints in the way of major complications
and a comparable long-term outcome.
I am not sure how exactly I view all of these
different techniques. Clearly, these are patients
who are in difficulty and require tracheostomy
assistance. There are a variety of techniques for
carrying this out, which is not surprising, but 5 to
10 years after the introduction of this technique,
I suspect, that it would be somewhat uncomfort-
able to have these many techniques up in the air.
One can only hope that, by the time of the appear-
ance of the next edition, the intensive care com-
munity thoracic surgeons and general surgeons
as well as intensivists may have come to some
conclusions concerning what the proper tech-
nique for percutaneous tracheostomy is.
J.E.F.
Endocrine Surgery IV
Introduction to the Parathyroid
000 Chapter Title Section
Josef E. Fischer, MD Author Name
The world of surgery for hyperparathyroid-
ism is in transition, and it is not difficult to
understand why this is the case. Hyperpara-
thyroidism is a protean disease with symp-
toms that are sometimes difficult to deci-
pher. It is not a rare disease—incidence
ranges between 1 to 1,000 of the population
to 1 to 2,500 of population—and it is also a
disease of the elderly that disturbs homeo-
stasis to the extent that it interferes with
quality of life. Furthermore, because the
number of elderly is increasing, and any op-
eration that requires general anesthesia in
the elderly is fraught with hazard, not only
for the operation itself but in their ultimate
recovery of their mental faculties, one can
easily understand the great interest in oper-
ations that can be carried out quickly, effi-
ciently, and without full-dress exploration of
all four parathyroid glands, which remains
the gold standard, with the highest cure rate
of 99% to 100%, provided it is carried out in
the hands of an experienced parathyroid
surgeon. Two of the large-series experienced
parathyroid surgeons quoted in this section
are Dr. Jonathan van Heerden, and his group
at the Mayo Clinic in Rochester, and Dr. Orlo
Clark of the University of California in San
Francisco. Both agree that in the hands of
an experienced parathyroid surgeon with
adequate workup and a diagnostic array,
which is not terribly complicated and agreed
on by most, that the positive outcome of re-
lief of hypercalcemia and hyperparathyroid-
ism should be in the range of 99% to 100%.
Much of this is made possible by newer im-
aging techniques, including the Sestamibi
scan and real-time ultrasound.
36 Surgical Anatomy of the Thyroid, Parathyroid,
and Adrenal Glands
Clive S. Grant
Success in the surgical management of a
patient can be conveniently divided into
three phases: preoperative, intraoperative,
and postoperative. Vitally important is the
preoperative decision making and plan-
ning; an expertly performed operation for a
wrong reason is still a bad operation. How-
454
There are some complicating issues here.
First, there are the 20% to 22% of patients
present with disease that is not the result of
a single, large hyperfunctioning adenoma,
whereas 10% to 12% of patients present
with the disease are the result of hyperpla-
sia, usually of all four parathyroid glands,
and the rest are mixed between multiple ad-
enomas and an occasional carcinoma. This
does not include those that have multiple
endocrine neoplasia syndromes, which
complicates matters even more. In addition,
as a number of authors reviewed in the fol-
lowing chapters agree, the size of the gland
does not always equal hyperfunction, and
microadenoma has been clearly identified.
With the number of increasing elderly,
including those that are hypercalcemic, I
have had enough experience and have heard
other stories about the elderly with hyper-
calcemia to know that I disagree with the
NIH Consensus Conference of 2002. The
symptoms of hyperparathyroidism are so
protean and so nonspecific that it is not un-
til the hypercalcemia is relieved that one
knows that it was really interfering with
their mentation, making them feel poorly,
and resulting in some deleterious cardiac
symptomatology and hypertension. Thus,
at least, I believe that unless a good argu-
ment as to why the patient should not be
operated on can be provided, these patients
deserve operation. That takes us to the ap-
parent revolution in parathyroid surgery. If
one can do a focused exploration under cer-
vical block, local anesthesia, or local anes-
thesia with mild sedation, one can convert
the standard operation from a bilateral
ever, if the preoperative process is correctly
conceived, at least in an elective procedure,
a perfectly executed operation guarantees a
smooth postoperative course in a high per-
centage of patients. The foundation for this
operative success is a thorough knowledge
of surgical anatomy. Anatomy to anatomists
neck exploration in which all four parathy-
roids are identified under general endotra-
cheal anesthesia to something less, either
unilateral and/or unilateral or even ambu-
latory operation. However, even with the
accuracy of Sestamibi scan and ultrasound,
the outcome from local directed, unilateral
exploration is between 80% and 90%, as
compared with the 99% to 100% that bilat-
eral exploration yields.
We are very pleased to have Dr. George
Irvin, who is essentially the creator and
popularizer of intraoperative measurement
of parathyroid hormone, to put forth his
point of view. Dr. Irvin’s argument is very
simple: that even with Sestamibi and ultra-
sound in the presence of a single adenoma,
the outcomes do not come close to the out-
comes of bilateral exploration. He proposes
that a >50% drop from one of the baseline
values of the quick parathyroid hormone
assay, while increasing the range of success
to the range of 93% to 94%, does not ap-
proach the gold standard of bilateral neck
exploration, despite the fact that for a par-
ticular elderly patient this may be the way
to go. Thus, one has a choice, and the choice
is that of whether to do, for example, a local
anesthetic or cervical block exploration on
an elderly patient with Sestamibi and ultra-
sound pointing to the same area, thereby
achieving some degree of success in a pa-
tient who might not tolerate a general anes-
thetic as well. It is a good argument, and I
am certain the argument will continue. We
are very pleased to have the number of ex-
perts in this field writing these chapters as
the debate is very cogent and very timely.
or pathologists is different from surgical
anatomy. Because surgeons operate through
limited incisions and must preserve func-
tion wherever possible, as well as control or
prevent bleeding, the “anatomist’s anat-
omy” must be applied from the surgeon’s
perspective. An attempt has been made to
 Chapter 36: Surgical Anatomy of the Thyroid, Parathyroid, and Adrenal Glands 455

amalgamate the two forms of anatomy in

the following sections to give a broad per-
spective (the anatomist’s view as well as the
perspective of the surgeon).
The surgical anatomy of the thyroid and
parathyroid glands is so closely interrelated
that much of what is important to one proves
equally important to the other. Because of
this overlap, the overall anatomic relation-
ships of the region are covered in the Thyroid
section, and the differences or additions as
they relate specifically to parathyroid dis-
ease are noted in the Parathyroid section.

THYROID
EMBRYOLOGY
Fig. 1. A: A thyroglossal duct cyst is excised from its usual location just above the thyroid cartilage, in
From a median entodermal diverticulum the midline, overlying or just inferior to the hyoid bone. The central portion of the hyoid bone is excised
on the ventral wall of the pharyngeal gut, in with the specimen, as is a core of muscle tissue encompassing duct tracts that lead to the former fora-
approximately the fourth week of embryo- men cecum at the base of the posterior tongue. B: Lateral view showing the surgeon’s finger through the
logic development, the thyroid descends patient’s mouth positioned to assist excision of the tract at its origin.
from the posterior tongue ( foramen cecum)
in front of the pharynx as a bilobed diver-
ticulum. It initially remains attached to the

pharynx by a hollow tube, the thyroglossal
duct, which attaches to the foramen cecum.
At the end of the second month, the thyroid
reaches its final position in front of the tra-
chea; and the thyroglossal duct tissue,
which has become solid, usually breaks up
and disappears. Distal persistence of the
solid duct is represented by the pyramidal
lobe of the thyroid. If parts of the ductal
epithelium persist, the secretion of the epi-
thelium expands the remnant tube, which
is closed at both ends, into a cystic mass
filled with colloid-like material—a thyro-
glossal duct cyst. It rarely has a connection
either to the skin or the tongue unless it has
been infected and drained or previously
operated on. Cysts can develop anywhere
along the course of the thyroglossal duct
but are most typically found overlying the
hyoid bone in the midline just above the
thyroid cartilage. Adjacent to the primary
persistent thyroglossal duct remnants,
other smaller duct and mucus-secreting
gland remnants are often found.
To prevent cyst recurrence, the duct and
Ectopic normal thyroid tissue or papillary
thyroid carcinoma can develop in a thyroglos-
sal duct cyst or anywhere along the tract of
the thyroglossal duct. Lingual thyroid repre-
sents a total failure of thyroid descent, in
which the entire thyroid is located at the fora-
men cecum of the tongue, under the mucosa.
Contributing perhaps less than 1% of the
eventual thyroid mass, yet critically impor-
tant in considering thyroid malignancy, are
the lateral thyroid anlagen. Originating
from the fourth pharyngeal pouches, corre-
sponding to the ultimobranchial bodies,
they are responsible for production of calci-
tonin from the parafollicular or C cells. They
fuse with the posterior and medial aspect of
each thyroid lobe. Medullary thyroid carci-
nomas evolve from these small parts of the
thyroid.
ANATOMY
An overall view of the anatomy relevant to
thyroid and parathyroid operations is
relatively avascular plane. In this plane, the
superior and inferior flaps can be raised
with minimal blood loss. Once the flaps have
been developed, the strap muscles—the
sternohyoid and sternothyroid muscles—are
exposed. The more anterior sternohyoid
muscles lie close together, but the midline
between them can be identified as a thin
line of fat and avascular fascia. Dissection
along this line to separate these muscles is
facilitated by lifting the muscles anteriorly
so as to avoid the inferior thyroid veins,
which course just below, running longitudi-
nally over the trachea. Often bordering the
midline along these muscles are the ante-
rior jugular veins. These veins can be avoided
but can be ligated as the need arises.
As the sternohyoid muscle is elevated,
the underlying sternothyroid muscles are
exposed. The fascia between these two
muscles can be dissected for improved
exposure. With the sternohyoid muscles
retracted, as the sternothyroid muscle is
dissected from the underlying thyroid lobes,
care is taken to avoid the widely intercon-
Endocrine Surgery

shown in Figure 2. For optimal surgical

remnants can be encompassed in a core of
tissues that should be excised from the cyst
through the mylohyoid muscle to the base of
the tongue, the site of the foramen cecum
(Fig. 1). In addition, because the hyoid bone
fuses in the midline in close proximity to the
thyroglossal duct, the duct can pass either
anterior or posterior, or even course through
the bone. The central portion of the hyoid
bone should, therefore, be excised as part of
the operation for a thyroglossal duct cyst.
exposure, the patient is positioned with a
small pillow placed between the scapulae,
and the neck is hyperextended, bringing
the thyroid gland as far anterior as possible.
The skin incision follows Langer lines trans-
versely, optimally in a skin crease.
Dissection of Muscles
Beneath the skin and subcutaneous tissue is
the thin platysma muscle, under which is a
necting venous network in the thyroid cap-
sule. This caution is of particular impor-
tance in a larger goiter because the strap
muscles can be thinned and splayed out
across the bulging thyroid lobes and the
large veins are in jeopardy. The insertion of
the sternothyroid muscle into the thyroid
cartilage can obscure the superior pole of
the thyroid gland and can be partially
transected for better exposure. Both the
sternohyoid and sternothyroid muscles (as
456 Part IV: Endocrine Surgery

well as the omohyoid muscle) are inner-

vated by the ansa cervicalis, derived from
the hypoglossal nerve and C1 through C3.
These muscles can be partially or com-
pletely removed as necessary for cancer op-
erations without any significant disability.
The cricothyroid muscles run obliquely
from the cricoid cartilage to the thyroid
cartilage and are innervated by the external
branch of the superior laryngeal nerve. This
muscle and nerve should be carefully pre-
served because they serve the important
function of fine-tuning the voice.

VASCULAR ANATOMY
The principal arterial blood supply of the
thyroid gland comes from the paired supe-
rior and inferior thyroid arteries, and, to a
much lesser degree, the thyroidea ima
(Fig. 2). Even when all these arteries are
ligated, remnants of thyroid often survive
from other small branches derived from Fig. 2. Overall anatomic relationships of the thyroid and surrounding structures. Note the course of the
laryngeal and tracheoesophageal arteries. inferior thyroid artery, behind and perpendicular to the carotid artery. The superior thyroid artery and
The superior thyroid artery is the first external branch of the superior laryngeal nerve run in close approximation.

branch of the external carotid artery and

courses inferiorly to reach the superior
pole of the thyroid gland. It often branches
at this point, with the main branch run-
ning over the anterior surface of the supe-
rior pole of the thyroid and the other
smaller branches entering more posteri-
orly. The inferior thyroid artery usually
arises from the thyrocervical trunk, runs
superiorly behind the carotid artery, and
then arches medially to the thyroid gland,
coursing either perpendicular to or in a
recurrent path to the thyroid gland. The
thyroidea ima artery is encountered in
less than 10% of patients and is almost
never a relevant vessel except to ligate.
and lateral to the ligamentum arteriosum,
and ascends in the tracheoesophageal
groove. Adjacent and mostly anterior to
the recurrent laryngeal nerve are the tra-
cheoesophageal lymph nodes, which are a
common site of metastasis in papillary
and medullary thyroid carcinoma. Re-
moval of these nodes requires care to pro-
tect the recurrent laryngeal nerve; it
should preserve not only the inferior para-
thyroid gland but also its blood supply,
which usually crosses anterior to the re-
current laryngeal nerve. Damage to the
recurrent laryngeal nerve on one side
causes vocal cord paralysis and hoarseness
and prevents complete closure of the vocal
cords to protect the trachea. This incom-
plete closure results in choking, especially
when the patient consumes fluids. Bilat-
eral nerve injury jeopardizes the airway
and usually requires at least a temporary
tracheostomy. When the right subclavian
artery anomalously originates directly
from the aortic arch as its fourth branch, it

Dissection of Thyroid Lobe

Once the strap muscles have been dis-
sected laterally, the thyroid gland is ele-
vated anteriorly and medially, opening an
areolar plane overlying the carotid artery
and traversed by one or more small middle
thyroid veins (Fig. 3). These veins are li-
gated and transected, and the space ante-
rior to the carotid from the thyroid carti-
lage inferiorly to the base of the neck can
be dissected safely. This step exposes the
transversely directed inferior thyroid ar-
tery and the obliquely coursing recurrent
laryngeal nerve, a branch of the vagus
nerve, which, on the right, wraps around

the subclavian artery and passes behind
the carotid artery to ascend in the trache-
oesophageal groove (Fig. 4). On the left,
the recurrent laryngeal nerve crosses the
arch of the aorta, loops under it, adjacent
Fig. 3. With traction laterally on the strap muscles that have been separated in the midline, but not
transected, and countertraction on the thyroid medially, the middle thyroid vein is exposed. It runs an-
terior to the carotid artery and should be transected. (From Grant CS, van Heerden JA. Technical aspects
of thyroidectomy. In: Donohue JH, van Heerden JA, Monson JRT, eds. Atlas of surgical oncology (pp. 81–6).
Cambridge: Blackwell Science, 1995, with permission.)
 Chapter 36: Surgical Anatomy of the Thyroid, Parathyroid, and Adrenal Glands 457

passes behind the trachea and esophagus.

The right recurrent nerve, therefore, does
not recur around this artery and takes a
direct course from the vagus nerve to the
larynx (Fig. 5). In this instance, although it
emerges posterior to the carotid artery, its
perpendicular course mimics the usual
course of the inferior thyroid artery and
must be distinguished from it.
The inferior thyroid artery is usually the
principal blood supply to both the superior
and inferior parathyroid glands. These feed-
ing vessels are small and fragile, often travel-
ing in a course parallel, if not slightly anterior,
to the parathyroid glands before reaching the
Fig. 4. A non-recurrent, recurrent laryngeal nerve (on the patient’s right side) courses directly from the vascular hila (Fig. 6). As the inferior thyroid
vagus to its insertion at the cricothyroid membrane.
artery intersects with the recurrent laryngeal
nerve, it usually branches into superior and

Fig. 5. The right thyroid lobe is retracted anteriorly and medially, and the recurrent
laryngeal nerve is exposed, coursing obliquely in the tracheoesophageal groove and
surrounded by lymph nodes. The thymus lies anterior to the nerve and nodes and can
contain or point to the inferior parathyroid gland. The superior parathyroid gland is not
yet adequately exposed. The intersection of the inferior thyroid artery and the recur-
rent (rec.) laryngeal nerve is marked by branches of the artery, one crossing the nerve
that serves the inferior parathyroid gland. (From Grant CS, van Heerden JA. Technical
aspects of thyroidectomy. In: Donohue JH, van Heerden JA, Monson JRT, eds. Atlas of
surgical oncology. Cambridge: Blackwell Science, 1995, with permission.)

Fig. 6. A: The small vessels feeding the parathy-

roid glands often run at least parallel if not slightly
anterior to the glands. B: The surgeon can usually
Endocrine Surgery

preserve these vessels by gently dissecting them

and the parathyroid glands from the surface of the
thyroid gland. C: Two significant branches of the
inferior thyroid artery (ITA) are routinely present,
one traveling anterior and the other posterior to
the recurrent (rec.) laryngeal nerve. The coales-
cence of the dense posterior thyroid capsule con-
stitutes Berry ligament (lig.), through which the
posterior arterial branch courses. (From Grant CS,
van Heerden JA. Technical aspects of thyroidecto-
my. In: Donohue JH, van Heerden JA, Monson JRT,
eds. Atlas of surgical oncology. Cambridge: Black-
well Science, 1995, with permission.)
458 Part IV: Endocrine Surgery
Fig. 7. With traction inferiorly and laterally on the thyroid lobe, the superior thyroid artery (STA) can be
displaced from its closely associated external branch of the superior laryngeal nerve. The artery is there-
by transected individually, and the nerve is preserved (inset). (From Grant CS, van Heerden JA. Technical
aspects of thyroidectomy. In: Donohue JH, van Heerden JA, Monson JRT, eds. Atlas of surgical oncology.
Cambridge: Blackwell Science, 1995, with permission.)
inferior trunks. The superior trunk typically
divides again with one branch anterior and
another posterior to the recurrent laryngeal
nerve. The inferior thyroid veins run verti-
cally, anterior to the trachea, and are easily
identified and controlled during the course
of thyroidectomy. Accompanying these veins
are the pretracheal lymph nodes, both infra-
and supraisthmic (Delphian), which often
contain metastatic thyroid cancer.
The superior thyroid artery and vein,
which are sacrificed during thyroidectomy,
must be separated from the external branch
of the superior laryngeal nerve. Placing in-
ferior and lateral traction on the superior
pole of the thyroid gland usually distracts
the artery away from the nerve, and the ar-
tery can be cleanly isolated and individually
ligated (Fig. 7).
Once the vascular branches to the thy-
roid lobe have been transected and the
nodes cleared, the posterior capsule of the
thyroid is all that remains before the lobe is
completely removed. To re-emphasize, a
small vessel regularly courses in this dense
posterior capsule (Berry ligament), and the
recurrent laryngeal nerve is also commonly
tethered anteriorly. Gentle dissection will
expose the vessel for ligation and push the
recurrent laryngeal nerve down and out of
danger before the ligament is transected.
In addition to the pretracheal and tra-
cheoesophageal lymph nodes already men-
Modifted Radical Neck Dissection
Important in the surgical management of
papillary, medullary, and in some Hürthle
cell carcinomas, lymph node metastases to
the lateral internal jugular lymph nodes
will necessitate a lymphadenectomy. De-
pending upon the extent of the dissection,
various descriptive terms have been ap-
plied including regional, functional, selec-
tive, and modified radical neck dissection.
Perhaps more important is the thorough,
en bloc approach, and the neck compart-
ments dissected. The anatomic boundaries
of Compartments I to VI are summarized in
Table 1, and graphically illustrated in Fig-
ure 8. Rarely used in thyroid cancer surgery
is the classic radical neck dissection that
implies sacrifice of the sternocleidomas-
toid muscle (SCM), internal jugular vein
(IJ), and the spinal accessory nerve. Addi-
tionally, the submandibular triangle is vir-
tually never dissected for thyroid cancer.
Whereas in medullary thyroid carcinoma
and node-positive Hürthle cell carcinoma,
thorough dissection of Compartment VI is
advised, controversy exists as to the extent
and indications for this compartment dis-
section in papillary cancer.
Whether a standard collar incision is ex-
tended vertically along the anterior border
tioned, thyroid cancer often metastasizes to of the SCM, or a separate transverse incision
lateral nodes. The routes of spread roughly is made higher in the neck, extensive sub-
follow the venous drainage. Cancers of the platysmal flaps are developed.
upper lobe, in addition to the primary drain-
age to the supraisthmic nodes, can involve Compartments III, IV, and the Anterior
the midjugular nodes, both anterior and lat- Aspect of Compartment V
eral to the internal jugular vein, and occa- The dissection proceeds with dissecting
sionally extend superiorly along the vein to the plane between the SCM and the strap
the base of the skull. Cancers of the mid- muscles exposing the omohyoid muscle
and lower thyroid lobes drain initially into that is conveniently sacrificed (Figs. 9 and
the pretracheal and tracheoesophageal 10). This uncovers the lower aspect of the
nodes, then to the mid- and lower jugular IJ and adjacent carotid sheath structures
nodes and anterior mediastinal nodes. (carotid artery medially, IJ laterally, and
Table 1 Compartments of Neck and Levels of Cervical Lymph Nodes
Level (compartment) Location
I (Submandibular triangle) Bounded by anterior and posterior bellies of digastric muscle
and inferior ramus of mandible.
II (Upper jugular) Extending from base of skull to bifurcation of carotid artery or
hyoid bone. The posterior border of IA is the spinal accessory
nerve (C. XI), and of IB is the sternocleidomastoid muscle.
Anterior border of compartment is sternohyoid muscle.
III (Middle jugular) Inferior border of Level II to omohyoid muscle or cricoid
cartilage; anterior borders same as II.
IV (Lower jugular) Inferior border of Level III to clavicle; anterior and posterior
borders same as II and III.
V (Posterior triangle) Bounded by clavicle inferiorly, trapezius muscle posteriorly,
sternocleidomastoid anteriorly and medially.

Fig. 8. Anatomic compartments of the neck.
vagus nerve posteriorly between the other
two). The lymph nodes to be removed ex-
tend from the base of the neck inferiorly,
behind the clavicle and slightly behind the
Fig. 9. Modified radical neck dissection incision and dissection between sternocleidomastoid muscle
(SCM) and strap muscles.
Chapter 36: Surgical Anatomy of the Thyroid, Parathyroid, and Adrenal Glands 459
down to the floor of the neck onto the pre-
vertebral fascia extending laterally as the
fascia overlying the anterior scalene mus-
cle (Figs. 11 and 12). Running vertically on
the anterior scalene muscle is the phrenic
nerve that is crossed low in the neck by the
transverse cervical artery (Fig. 13A,B), a
branch of the thyrocervical trunk. This ar-
tery may be sacrificed, but care must be
taken to preserve the phrenic nerve. The
lateral border of the IJ may be used as a
guide to dissect inferiorly, but it will join
the subclavian vein, and on the left side,
the thoracic duct. This duct runs adjacent
to the esophagus in the chest, coursing up
behind the carotid sheath structures, and
loops up a short distance from medial to
lateral behind the IJ, and then enters the
subclavian vein near its junction with the
IJ. Nodes near the clear-fluid-containing
duct are commonly involved in thyroid
cancer, and the duct is very vulnerable to
injury. In adults, if injured, the thoracic
duct may be ligated without harm. The dis-
section across the base of Compartment IV
at the level of the clavicle is usually safe
with only relatively small veins requiring
control. After releasing the inferior attach-
ments, and with dissection superiorly
along the lateral border of the IJ, and safely
IJ anteriorly, and laterally behind the SCM.
elevating the packet of lymph nodes from
Retracting the IJ anteriorly and medially
the anterior scalene muscle, the packet of
(protecting the adjacent vagus nerve), are-
nodes and soft tissue can be retracted an-
olar tissue is easily dissected laterally
teriorly, putting tension on the posterior
attachments behind the SCM. Dissecting
from inferior to superior, the cutaneous
cervical plexus nerves (C 2 to 4) will be en-
countered as substantial nerves coursing
obliquely down behind the SCM (Fig.
14A,B). With care, these nerves can be pre-
served without jeopardizing a good nodal
dissection. Deeply situated at the inferior
and lateral aspect of the dissection, cours-
ing from behind the anterior scalene and
in front of the middle scalene muscles are
the brachial plexus trunks. The superior
border of Compartment III is defined as
the level of the hyoid bone or carotid bifur-
cation. Not infrequently, lymph nodes, lo-
cated anterior to the carotid artery at the
level of the bifurcation, are metastatically
Endocrine Surgery
involved and may be overlooked if not in-
tentionally sought.
Compartment II
Superior to the cervical plexus nerves,
coursing obliquely inferiorly and laterally
from under the posterior belly of the digas-
tric muscle is the spinal accessory nerve
(Nerve XI). If dissection is carefully con-
ducted with low-power cautery, stimula-
tion of the nerve will cause contraction
of the SCM and trapezius muscles with
460 Part IV: Endocrine Surgery
Fig. 10. Isolation and resection of omohyoid muscle.
sudden movement of the shoulder. Further
dissection with standard instruments will
uncover the nerve where it can be traced
cephalad and the associated lymph nodes
Fig. 11. Initial dissection along lateral border of internal jugular vein (IJV) above level of clavicle. CCA,
common carotid artery; SCM, sternocleidomastoid muscle.
cleared from Compartments IIA (anterior
to the nerve) and IIB (posterior to the
nerve), if necessary. At this level, several
important structures emerge deep to the
posterior belly of the digastric muscle.
These include the carotid sheath struc-
tures, Nerve XI, the sympathetic chain be-
hind the carotid artery, and the hypoglos-
sal nerve (C XII) turning anteriorly, hooking
under the arterial branch to the SCM off of
the occipital artery. If dissection is kept
along the lateral border of the IJ, C XII
should not be encountered. Its descending
branch, the ansa cervicalis (innervating
strap muscles), descends anterior to the
carotid artery and may be identified and
sacrificed lower in the neck (level of the
omohyoid muscle).
PARATHYROID
EMBRYOLOGY
The parathyroid glands develop from Bran-
chial Pouches III and IV. The superior para-
thyroid glands develop from Pouch IV, travel
a shorter distance than the inferior glands,
and are typically located along the posterior
border of the thyroid gland at approxi-
mately 1 cm superior to the entrance of the
inferior thyroid artery (Fig. 6A). Because of
this location, when the superior glands de-
scend further, they almost always remain
posterior, in the tracheoesophageal groove
or retroesophageal space (Fig. 15). Even
when located quite low in the posterior su-
perior mediastinum, they can still be re-
trieved through a collar incision.
In conjunction with the thymus, the in-
ferior parathyroid glands develop from
Pouch III and descend to the posterior as-
pects of the lower pole of the thyroid gland.
This long descent gives rise to a much more
variable position for the inferior parathy-
roid than for the superior gland. The loca-
tion of the inferior gland can range from
being high, anterior to the carotid artery
(the so-called undescended parathymus),
to being in the anterior mediastinum within
the thymus, necessitating sternotomy for
retrieval (Fig. 15). Inferior glands associ-
ated with the thyroid gland usually remain
ventral to the recurrent laryngeal nerve,
whereas the superior glands are found dor-
sal to the nerve. The usual home for the in-
ferior glands is on the posterolateral sur-
face of the thyroid gland, just above, at, or
within the attached remnant of the cervical
thymus, the so-called thyrothymic ligament
(Fig. 4). Rarely, this combined descent of
parathyroid and thymus can be trapped
within the carotid sheath, which might
become relevant and evident only when the
parathyroid gland is enlarged and hyper-
functioning. Moreover, because of the
relationship between the thymus and the

Fig. 12. Exposure of anterior scalene muscle and phrenic nerve. CCA, common carotid artery; IJV, inter-
nal jugular vein.
developing heart, these aberrant parathy-
roid glands can be located adjacent to the
origin of the great vessels from the aorta.
In very rare instances, the parathyroid
glands can be found to be completely in-
trathyroidal. More commonly, they can be
Fig. 13. En bloc dissection of internal jugular vein (IJV) lymph nodes and exposure of floor of neck. CCA,
common carotid artery.
Chapter 36: Surgical Anatomy of the Thyroid, Parathyroid, and Adrenal Glands
located on the surface of the thyroid gland,
under the capsule but in clefts of the thy-
roid parenchyma. This location can seem
intrathyroidal, particularly during reopera-
tive parathyroid surgery, when the thyroid
capsule is thickened with scar.
461
SURGICAL ANATOMY
Virtually everyone has at least four parathy-
roid glands, but at least 13% of the popula-
tion has supernumerary glands. However,
only one-half of these supernumerary glands
are proper glands; the others are tiny, rudi-
mentary bits of parathyroid tissue, usually
located near another normal gland. Supernu-
merary glands become important surgically
in four situations: (a) hyperparathyroidism
caused by multiple endocrine neoplasia, es-
pecially Type 1, and familial hyperparathy-
roidism, when all glands are abnormal;
(b) secondary hyperparathyroidism, most
typically that results from chronic renal fail-
ure, in which all glands are stimulated to
enlarge and hyperfunction; (c) sporadic
cases in which the four usual glands are nor-
mal and only the supernumerary gland is
abnormally enlarged and responsible for hy-
perfunction; and (d) cases in which the su-
pernumerary gland is enlarged in addition
to another normal gland, which represents
a double-adenoma situation.
Dissection of Parathyroid Glands
There are three important goals in parathy-
roid surgery: (a) recognition of normal para-
thyroid glands as well as removal of the ab-
normal glands; (b) safe searches in predictable
locations for missing parathyroid glands; and
(c) the preservation of parathyroid glands
during thyroidectomy or the removal of other
abnormal parathyroid glands.
The dissection of parathyroid glands
proceeds similarly to the mobilization of a
thyroid lobe, as described previously. In
contrast, when hyperparathyroidism is the
indication for operation, the arterial supply
of the thyroid is usually preserved. Once the
thyroid gland has been elevated (Fig. 4), the
inferior parathyroid gland is usually sought
first. It usually resides either on the poster-
olateral surface of the lower pole of the thy-
roid gland or at the tip of the cervical
thymus or thyrothymic ligament. In fact,
this ligament can be used to point to the
gland or conceal it within its variably atro-
phic and fat-replaced thymic substance.
Endocrine Surgery
Similar to the superior gland, the inferior
gland is often located in a lobule of fat, from
which it can be distinguished by its reddish-
yellow or yellowish-brown color. Normal
glands are soft, pliable, and virtually non-
palpable, and can be present in differing
shapes depending on whether the fascial
layer that flattens it against the thyroid has
been teased away to yield a more globular
shape. When a tiny biopsy has been taken
from the nonhilar portion of the gland, the
462 Part IV: Endocrine Surgery

Fig. 14. Cervical plexus (CP) and spinal accessory nerve dissection (extending to Level II). IJV, internal jugular vein.

entire parenchymal surface bleeds from firmer, not soft and pliable like normal found in the usual locations, it has almost
pinpoint capillaries (in contrast to fat with parathyroid glands. The thymus can usually universally migrated along an anterior path,
its single bleeding vessel). Thyroid nodules be distinguished by its pale, off-white color. following the course of or located within
and normal or diseased lymph nodes are If an inferior parathyroid adenoma is not the cervical or mediastinal thymus. The se-
quence of searching for inferior glands not
in the usual locations proceeds as follows:
(a) the cervical and mediastinal thymus are
drawn into the wound and searched or ex-
cised for pathologic review; (b) dissection is
carried anterior to the carotid artery at
least to its bifurcation to search for an un-
descended parathymus, as described previ-
ously; (c) the carotid sheath is opened, par-
ticularly if the cervical thymus is seen to
deviate toward it; and (d) the lower pole of
the thyroid is excised to exclude an in-
trathyroidal location.
The superior parathyroid glands are in a
more constant location but are somewhat
more difficult to expose than the inferior
glands. They are usually found within a
globule of fat located along the posterior
border of the thyroid gland, 1 to 2 cm supe-
rior to where the inferior thyroid artery en-
ters the thyroid gland (Fig. 6). Gentle dis-
section to strip thin fascial layers overlying
the gland causes it to pop out directly, or
the surrounding fat can be manipulated to
expose the parathyroid gland. Initially, to
Fig. 15. Owing to their embryologic origins, the parathyroid glands, particularly when enlarged, fol- identify probable locations for this gland,
low different, but often predictable, courses. The superior glands descend posteriorly in the contiguous gentle prodding with an instrument causes
tracheoesophageal groove or retroesophageal space, or into the posterior superior mediastinum. The the fat and contained parathyroid gland to
inferior glands are less predictable but are usually found anteriorly in association with the thymus gland, float within the fascial envelope. They often
either in the neck or in the anterior superior mediastinum. directly overlie the recurrent laryngeal
 Chapter 36: Surgical Anatomy of the Thyroid, Parathyroid, and Adrenal Glands 463

nerve, although they are separated by a

delicate fascial space. When a superior
gland is not in the usual position, it tends to
migrate posteriorly, behind the inferior thy-
roid artery, drawing its blood supply with
it and descending in the potential space
called the tracheoesophageal groove, which
is almost the same as the retroesophageal
or prevertebral space. Because the recur-
rent laryngeal nerve is closely applied to the
trachea and is located anterior to this dis-
section plane, the retroesophageal space
can be entered and widely dissected from
the level of the larynx superiorly almost to
as low as the tracheal bifurcation inferiorly.
The only critical structure that crosses this
plane is the inferior thyroid artery, which
can be protected as it enters the thyroid
gland or transected. Occasionally, exposure
of the superior gland can be facilitated by
mobilizing the superior pole of the thyroid
gland by transecting the superior thyroid
artery. Very rarely is a superior gland lo-
cated within the thyroid gland. Superior
and inferior glands are remarkably sym-
A
metric in their locations. Even in ectopic
locations, with the exception of an inferior
gland located low in the cervicomediastinal
thymus, symmetry is often preserved.
Although the principal arterial blood
supply to the superior and inferior parathy-
roid glands originates from the inferior thy-
roid arteries, other anastomotic vessels cer-
tainly provide a supplementary supply in
most patients. However, when a total thy-
roidectomy has been performed, these sup-
plementary sources are often interrupted.
As a general rule during a thyroidectomy,
the inferior thyroid artery should be
transected distal to the branches that sup-
ply the parathyroid glands. When an infe-
rior gland is located within the substance of
the thymus, it usually derives a satisfactory
blood supply from thymic vessels.

Minimal-Access Parathyroidectomy
Application of minimal-access techniques
that have swept across all disciplines of sur-
gery have been applied to parathyroidec-
tomy and, to a lesser degree, thyroidectomy.
Two distinct methodologies have emerged:
Endocrine Surgery

B
Fig. 16. A: The single “hot spot” is located at the inferior pole of the right lobe of the thyroid and moves
First, an open technique, which uses local
with it in oblique views, indicating a right inferior parathyroid adenoma. B: The “hot spot” is located at anesthesia and a small incision and is di-
the inferior pole of the right lobe of the thyroid, but moves into the midline in the left oblique view, indi- rected by preoperative imaging and some-
cating a right superior parathyroid adenoma (RS, left oblique view). times by intraoperative rapid parathyroid
hormone determination, and second, mi-
croendoscopic techniques. The feasibility of
both techniques has been solidly established
in the hands of experts, and the ultimate use
of either or both awaits the assessment of
the safety, cost-effectiveness, and, perhaps
most important, the demands of patients.
464 Part IV: Endocrine Surgery

Although perhaps only two-thirds of pa-
tients with hyperparathyroidism are actu-
ally suitable for a limited exploration using
present localization modalities, the surgeon
must understand not only the anatomy of
the parathyroid glands, but also the critical
importance of his or her ability to interpret
localization studies accurately.
location of a tumor (or paraganglioma) is at
the origin of the inferior mesenteric artery
on either side of the aorta, near the Zucker-
kandl organ. Accessory adrenal tissue can be
found occasionally in the connective tissue
adjacent to the main gland but can also oc-
cur near a gonad, either ovary or testis.
The left adrenal gland lies on the dia-
phragm and is covered on its anterior surface
by peritoneum superiorly and on its lower
portion by the nonperitoneally covered pan-
creas. The adrenal vein exists near the lower
border of the gland, often to join with the
inferior phrenic vein to empty into the renal
vein.

Sestamibi Parathyroid Scan ANATOMY ANATOMY IMPORTANT

Up to 80% of patients with sporadic hyper-
parathyroidism are demonstrated by sesta-
mibi scan to have a single “hot spot” that
represents a single enlarged parathyroid
adenoma. This is probably the single most
effective preoperative localization method
currently available. Even if the hot spot is
located as far inferior as the lower pole of
the thyroid gland, it can still be a superior
parathyroid gland, located posteriorly in
the tracheoesophageal groove. Conversely,
a hot spot superior to the superior pole of
the thyroid gland is almost certainly an in-
ferior gland—the undescended parathy-
mus. Oblique views should be included in
the scan technique to distinguish an ante-
rior hot spot, which is most likely an inferior
gland and rotates with the inferior pole of
the thyroid gland (Fig. 16A). A posterior hot
spot—a superior gland—moves to the mid-
line in the opposite oblique view (Fig. 16B).
Also, the level of the sternal notch should be
noted, as the gland may reside within the
mediastinal thymus in the anterior-superior
mediastinum yet to be easily retrievable
from a cervical incision. These ectopic but
not unusual locations have been recognized
for decades but need to be carefully consid-
ered to place a limited incision properly or
to opt for a standard open exploration.
Because the adrenal glands are situated
deeply in the retroperitoneum, and because
primary diseases that require adrenalec-
tomy are rare, surgeons tend to be less fa-
miliar with the anatomic relationships of
these glands (Fig. 17). Additionally, adrenal
tumors can distort these relationships. On
both sides, they cap the kidneys and derive
arterial blood supply from the aorta and the
inferior phrenic and renal arteries.
On the right, the upper part of the gland
lies partially behind the inferior vena cava,
against the bare area of the liver (to which it
can seem somewhat adherent), and on the
diaphragm. The principal venous drainage
is through the adrenal vein, which is short
and wide and which exits the gland just
below its apex to enter the inferior vena
cava on its posterior surface and is the only
vein to enter the inferior vena cava posteri-
orly along its retrohepatic course.
TO VARIOUS SURGICAL
APPROACHES
Anterior (Transabdominal)
Right
After the abdominal incision is made, the
posterior edge of the liver should be dis-
sected from the posterior peritoneum,
which allows the liver to be lifted anteriorly
and superiorly. This maneuver is also facili-
tated by transecting one or two small
branches from the anterior surface of the
inferior vena cava coursing to the caudate
lobe of the liver. Neither the hepatic flexure
of the colon nor the duodenum usually
needs to be mobilized unless the tumor is
quite large. The arterial branch from the in-
ferior phrenic artery is often located at the
extreme superomedial aspect of the gland,
higher than the adrenal vein, and requires

ADRENAL GLANDS
EMBRYOLOGY
The adrenal glands can be separated into
two distinct areas, both histologically and
physiologically: the cortex and the medulla.
The cortex develops from mesodermic celo-
mic epithelium of the posterior abdominal
wall, at the cranial end of the mesonephros.
The medulla develops from the neural crest
in conjunction with the sympathetic ganglia.
This group of neural cells migrates along the
adrenal vein to invade the cortex and be-
comes the completed adrenal gland. Other
small masses of these cells, which stain

brown with chromic acid (thus the name Fig. 17. Overall anatomic relationships of the adrenal glands. Note the origins of the three main arteries:
chromaffin or pheochrome cells), can persist the inferior phrenic, aortic, and renal branches. Note also the single draining veins (except a small acces-
throughout the life along the sympathetic sory right adrenal vein): the right, located superior and medial; and the left, found inferior and medial.
chain as paraganglia. The most common Ao, aorta; Ce, celiac; IVC, inferior vena cava; LAd, left adrenal gland; RAd, right adrenal gland.
 Chapter 36: Surgical Anatomy of the Thyroid, Parathyroid, and Adrenal Glands 465

careful control. Once this artery and the ad-

renal vein have been transected and the
posterior peritoneal layer that covers the
superior aspect of the adrenal gland has
been incised, the gland can be retracted lat-
erally as the inferior vena cava is retracted
medially, which separates the plane be-
tween the two (Fig. 18). Control of the ves-
sels from the aorta and renal vessels com-
pletes the dissection. With reasonable
frequency, at least one small but significant
accessory adrenal vein drains from the in-
ferior aspect of the gland (especially impor-
tant when large tumors are present that
enlarge these veins) into the right renal
vein. This situation is easily controlled
when recognized. Care must be taken on
this side as well as on the left to avoid ligat-
ing or injuring a small polar branch of the
renal artery.
Fig. 18. A: Cross section of the anatomic relationships of the adrenal tumor, the inferior vena cava
(IVC), and the right adrenal vein. B: With the liver elevated and the IVC retracted medially, the short, Left
fat, right adrenal vein is exposed, coursing from the adrenal tumor to the posterior surface of the IVC. Access to the left adrenal gland can be
C: The vein has been clipped or ligated and transected, and the minimally vascular areolar tissues be- gained by dissecting the omentum from
tween the tumor and the IVC below the level of the vein are dissected. D: Along the medial inferior
aspect of the tumor, the aortic and renal arterial branches that need to be controlled are found. (From
the colon, elevating the stomach, and dis-
Grant CS, van Heerden JA. Technical aspects of thyroidectomy. In: Donohue JH, van Heerden JA, Monson secting the avascular plane under the pan-
JRT, eds. Atlas of surgical oncology. Cambridge: Blackwell Science, 1995, with permission.) creas to elevate it off the adrenal gland.
The spleen does not need to be mobilized
in this approach, but this exposure is ade-
quate only for small to moderate tumors.
For larger tumors, including adrenal can-
cers, the splenic flexure of the colon can be
dissected and the spleen and pancreas
mobilized from their bed (including liga-
tion of short gastric vessels) to the pa-
tient’s right side (Fig. 19). This step exposes
the adrenal gland or tumor inferomedially
and eventually the most critical area of
dissection on the left side. The adrenal
vein and the arterial branches from the
aorta and renal artery course in this space
(Fig. 20).

Laparoscopic (Transperitoneal)
The laparoscopic approach has rapidly
been adopted as the procedure of choice
for removing all benign tumors, both func-
tioning and nonfunctioning, with the up-
per size limit varying from 6 to 10 cm. Obvi-
Endocrine Surgery

ously, larger tumors require enlarging one

of the trocar sites to accommodate re-
moval, but most tumors “mold” somewhat
into an oblong shape, allowing a much
smaller transabdominal hole than might
be expected. However, at present, most au-
Fig. 19. A: Retracting the spleen medially and inferiorly, the lateral peritoneal attachments are incised.
thors reporting a series of laparoscopic
B: The short gastric vessels are individually transected. C: With omentum dissected from the left trans- adrenalectomies prefer to remove adrenal
verse colon, the spleen and pancreas mobilized from their bed, and the short gastric vessels transected, malignancies using an anterior, open ap-
these organs can be retracted into the patient’s right upper quadrant, exposing a large adrenal tumor. proach.
(From Grant CS, van Heerden JA. Technical aspects of thyroidectomy. In: Donohue JH, van Heerden JA, At least three different laparoscopic ap-
Monson JRT, eds. Atlas of surgical oncology. Cambridge: Blackwell Science, 1995, with permission.) proaches have been described, including
466 Part IV: Endocrine Surgery
Fig. 20. A: Along the inferomedial aspect of the adrenal tumor, the adrenal vein is identified, somewhat
shorter than usual in the situation depicted. Care must be taken not to injure renal arterial branches
coursing close by the vein as it is transected. B: The adrenal branches from the inferior phrenic and
aorta can be seen in their typical locations. (From Grant CS, van Heerden JA. Technical aspects of thyroi-
dectomy. In: Donohue JH, van Heerden JA, Monson JRT, eds. Atlas of surgical oncology. Cambridge: Black-
well Science, 1995, with permission.)
directly anterior with the patient positioned
supine; retroperitoneal with the patient
prone; and, most commonly, transperito-
neal with the patient positioned laterally,
with the side to be operated on elevated.
“Breaking” the operating room table to
distract and enlarge the distance from the
costal margin to the iliac crest allows maxi-
mal space for placement of the trocars.
Moreover, the most lateral trocar should be
placed so as to avoid restriction of its infe-
rior rotation by the iliac crest. The anatomic
considerations for a laparoscopic approach
are not substantially different from the
open operations, but some deserve special
emphasis.
Right Adrenalectomy
Although the right side is potentially more
dangerous of the two sides due to the short
adrenal vein, the exposure is more direct
and often easier than the left side. Four tro-
car sites are used, starting a few centime-
ters inferior to the right costal margin,
somewhat medial to the midclavicular line,
and coursing laterally. As much space as
possible should be allowed between trocar
sites to prevent the camera and instru-
ments inserted through the cannulae from
interfering with each other. The most me-
dial cannula is used for retracting the liver,
and the right triangular ligament should be
divided to allow retraction of the liver, both
medially and anteriorly, off the retroperito-
neum. The retroperitoneal attachments to
the liver should be lysed, exposing the infe-
rior vena cava (IVC). The camera is usually
best placed in the second cannula, and the
two lateral cannulae are used for dissection
and retraction by the surgeon. As the
retroperitoneal covering is incised adjacent
to the IVC, lateral retraction is placed on
the adrenal gland to distract it from the
IVC. Although the space between the gland
and the IVC is limited, the camera magnifi-
cation allows precise cautery dissection of
the small vessels proceeding from the infe-
rior border of the gland superiorly. We have
not required direct retraction of the IVC.
The incision in the retroperitoneal covering
is curved laterally above the superior bor-
der of the adrenal gland, which allows fur-
ther mobilization. Care must be taken to
avoid unintentional trauma to the adrenal
vein or the moderate-sized inferior phrenic
artery, which can be transected at this
stage. Gentle dissection of the adrenal vein,
ensuring circumferential clearance, per-
mits safe and precise control with endo-
scopic clips.
As the dissection is carried around
the inferior border of the gland, a thicker
layer of fat is commonly encountered, and
special attention must be taken, as in the
open operation, to clip and transect the
arterial branches to the adrenal gland but
to protect the arteries coursing to the
underlying kidney. Particularly true of lap-
aroscopic procedures, visualization is
enhanced considerably by traction, and
elevating the adrenal gland to facilitate dis-
section of the posterior attachments is most
helpful. Placement of the adrenal gland into
an endoscopic bag and withdrawal through
one of the trocar sites completes the
operation.
Left Adrenalectomy
Often, only three trocars are necessary for
left adrenalectomy, because once the
spleen is mobilized, it usually does not re-
quire ongoing retraction. Trocar place-
ment is planned in mirror image to the
right side described previously. Before the
third trocar is placed, the splenic flexure
may need mobilization, sometimes exten-
sively, to facilitate not only the placement
of the trocar, but also the “dropping” of
the transverse colon to gain exposure to
the left adrenal vein later. The camera is
usually placed in the lateral cannula (or
3rd cannula if 4 are used—the most lat-
eral to aid in retracting the kidney to ex-
pose the medial aspect where the adrenal
vein drains into the left renal vein), but
placement can be switched to another
trocar as needed for optimal visualiza-
tion. A blunt instrument is used to tip the
spleen away from its retroperitoneal
attachments; these then are incised rela-
tively close to the spleen coursing superi-
orly, curving around the superior margin,
and looking for and protecting the stom-
ach as the dissection proceeds medially.
The characteristic “fuzzy” areolar tissue
posterolateral to the spleen that extends
to the pancreas can be opened widely, ex-
posing a variable thickness of fat and the
adrenal gland. Locating the adrenal gland
may be the most difficult portion of the
procedure. During an operation for Cush-
ing adrenal hyperplasia, with consider-
able overall obesity but particularly
generous amounts of fat in the retro-
peritoneum, the marginally enlarged ad-
renal gland sometimes is engulfed by the
fat. Along the medial border of the gland,
as noted in the open procedure, the infe-
rior phrenic vein may prove to be a valu-
able landmark. We often initially dissect
the medial, superior, and lateral borders
before visualizing and transecting the left
adrenal vein, which is longer and gener-
ally more slender than its right-sided
counterpart, and, when dissected, is
easily clipped.
 Chapter 36: Surgical Anatomy of the Thyroid, Parathyroid, and Adrenal Glands 467

SUGGESTED READINGS Grant CS, van Heerden JA. Technical aspects of

Åkerström G. Anatomy and strategy of parathyroid
operation. In: Åkerström G, Rastad J, Juhlin C,
eds. Current controversy in parathyroid operation
and reoperation. Austin, TX: R.G. Landes; 1995.
Åkerström G, Malmaeus J, Bergström R. Surgical
anatomy of human parathyroid glands. Surgery
1984;95:14.
Grant CS. Pheochromocytoma. In: Clark OH,
Duh Q-Y, eds. Textbook of endocrine surgery.
Philadelphia: WB Saunders; 1997.
adrenalectomy. In: Donohue JH, van Heerden
JA, Monson JRT, eds. Atlas of surgical oncology.
Cambridge: Blackwell Science; 1995.
Grant CS, van Heerden JA. Technical aspects of
thyroidectomy. In: Donohue JS, van Heerden
JA, Monson JRT, eds. Atlas of surgical oncology.
Cambridge: Blackwell Science; 1995:81–86.
Gray SW, Skandalakis JE. Embryology for surgeons.
Philadelphia: WB Saunders; 1972.
Miccoli P, Pinchera A, Cecchini G, et al. Minimally
invasive video-assisted parathyroid surgery for
primary hyperparathyroidism. J Endocrinol In-
vest 1997;20:429.
Porterfield J, Factor D, Grant C. Operative technique for
modified radical neck dissection in papillary thy-
roid carcinoma. ArchSurgery2009;144(6):567–74.
Thompson GB, Grant CS, van Heerden JA, et al.
Laparoscopic versus open posterior adrena-
lectomy: a case-control study of 100 patients.
Surgery 1997;122(6):1132–36.
Young WF, Stanson AW, Grant CS, et al. Primary
aldosteronism: adrenal venous sampling. Sur-
gery 1996;120(6):913–20.

EDITOR’S COMMENT patients 39/58 (68%) served as a control. The one patient underwent only parathyroidectomy
preoperative PAS score in the hyperparathyroid with limited resection of the thyroid gland. The
group was originally 318 and decreased to 177 at en bloc resection with the parathyroid tumor
This is a wonderful chapter written by a very one year and 189 at 10 years (P < 0.05). Thyroi- was limited to ipsilateral thyroid lobectomy in
experienced surgeon and with a number of very dectomy patients’ preoperative scores were 170, the selected 10 patients. Prophylactic neck dis-
excellent “pearls.” The most important message 190 after one year, and 174 at 10 years. Despite section was performed in eight patients without
concerning thyroid cancer is that this is a real the highly elevated PAS scores in the previously recovering a single metastatic gland. Despite
cancer and that many of the practices that have hyperparathyroid group, there was no difference this, the patients had recurrent disease in the
unfortunately become ingrained in our treat- between the groups (previously hyperparathyroid neck not only in the lymph nodes but also in
ment of this disease are just plain wrong. For vs. thyroidectomy group at one and 10 years). One lung—for one patient in lung and for the other
example, in cancers of the upper lobes—the presumes that the lower PAS scores were reflec- in brain. Of the other three who did not undergo
author states that cancers of the upper lobe, in tive of the patients’ quality of life. This is an im- a lymph node dissection, one had local recur-
addition to the primary drainage into the su- portant paper as there is still slight controversy rence in a regional lymph node. After analyzing
praisthmic neck nodes, can also involve both as to whether the elderly who are hyperparathy- the genetic mutations, the authors suggest that the
anterior and lateral nodes in respect of the roid should be operated on. the HRPT2 mutation may be associated with tu-
jugular vein and extend superiorly along the Another controversy in differentiated or pap- mor recurrence.
veins to the base of the skull. Also despite what illary thyroid cancer is whether a central neck Open adrenalectomy has been the mainstay
various compartments are resected in respect to dissection should be carried out. Shen et al. (Sur- of resection of the adrenals for adrenal cortical
the node dissections are en bloc, and the “berry gery 2010, published online) separated patient carcinoma pheochromocytomas and adrenal
picking” is totally inappropriate. Again this is a undergoing thyroidectomy as to the surgeon metastases. As experience has increased with
real cancer. thought both as a result of preoperative ultra- laparoscopic adrenalectomy, there is of course a
The lower parathyroids as the author states sound and intraoperative inspection and palpa- desire on the part of both patients and surgeons
may very well be in the horns of the upper thy- tion that a central lymph node dissection should to minimize trauma to the patient and have a
mus which can be retrieved through the neck be carried out (Group 1) or that the evidence did quicker postoperative course. Mazzaglia and
with persistence. Another salient point is that not suggest concomitant central lymph node dis- Vezeridis ( J Surg Oncol 2010;101:739–44) have ex-
there may be supernumerary glands in as many section. There were 191 patients in each group. In amined the role of laparoscopy in adrenal resec-
as 13% of patients and these may be troublesome Group I 49 patients had recurrence in the local tion, particularly in incidentalomas which may
and may be the source of the adenoma when all or regional area (12% central neck and 21% lat- be malignant. In the absence of any other clues,
four glands are normal. eral neck) as opposed to only 11 out of 191 (6%) management is directly related to size of lesion,
One very excellent differential and a “pearl” is in group II (3% central neck and 3% lateral neck, with 25% of the tumors greater than 6 cm being
that when one does the biopsy of a parathyroid, P < 0.05). Finally, 84% of the patients in Group 1 adrenocortical carcinomas. They recommend ob-
“the entire surface bleeds” and not a single vessel, were free of disease at last survey compared with servation for the patients with lesions less than
as fat does. The discussion of the sestamibi scan 94% of the patients in group 2 (P < 0.05). Tran- 4 cm. For the patients with lesions between 4 and
and where the various hot spots may be should sient hypocalcemia significantly followed central 6 cm, observation between 6 and 12 months is be
especially noted as helpful, especially as a hot lymph node dissection. There was no difference in recommended, and at that time CT scan should
spot which is superior to the superior pole of the disease-specific mortality. The authors concluded be repeated.
thyroid gland is almost certainly an inferior gland that surgeon assessment of the central neck com- Laparoscopy is inappropriate for the lesions
in the “undescended parathymus.” partment with ultrasound and palpation is an in which adrenocortical carcinoma is suspected,
While many of us speak of the symptoma- accurate predictor of which patients with papil- as the cortex may be fragile and split, and in that
tology of undiagnosed hyperparathyroidism lary thyroid cancer will benefit from central neck case, cancer cells may be implanted in the area.
especially in the elderly as being a reason why node dissection and the rest do not need central Open adrenalectomy has been shown to increase
these patients should be operated on, the symp- node dissection. survival in patients with metastatic melanoma
toms of hyperparathyroidism are often vague, so Parathyroid cancer is rare and yet there is and lung cancer from three- to fourfold from an
vague that they had been grouped under “para- some controversy here as to whether en bloc average of 6 to 8 months and not operated pa-
Endocrine Surgery

thyroid assessment of symptoms” or PAS scores resection of thyroid gland with the parathyroid tient’s to 20 to 30 months. Port site recurrence
for hyperparathyroidism. Supposedly, parathy- cancer is appropriate. In addition, somatic and is rare, at least according to some authors (Kim
roidectomy decreases these PAS scores. Pasieka germ line mutations of HRPT2 and MEN 1 were et al. Cancer 1998;82:389–94; Haigh et al., Ann
et al. (Surgery 2009;146:1006–13) studied 122 hy- examined by polymerase chain reaction and au- Surg Oncol 1999;6:633–9; Luketich and Burt Ann
perparathyroid patients, of which 78 (64%) were tomated DNA sequencing. En bloc resections of Thorac Surg 1996;62:1614–6).
available for review 10 years later. Thyroidectomy thyroid tissue were performed in 10 patients and J.E.F.
468 Part IV: Endocrine Surgery

37 Fine Needle Aspiration Biopsy of the Thyroid:

Thyroid Lobectomy and Subtotal and Total
Thyroidectomy
Herbert Chen

ANATOMY cause significant swallowing dysfunction with hypothyroidism. In patients with a

that is relieved with thyroidectomy. suppressed TSH and symptoms/signs of hy-
The thyroid gland lies in the central com- perthyroidism, a thyroid scan is the next
partment of the neck and is made up of a step to determine the etiology. Patients
left and right lobe as well as an isthmus. The Physical Examination with Graves’ disease, which comprise 70%
isthmus is located just below the cricoid Signs of hyperthyroidism include elevated of hyperthyroidism, will have diffuse up-
cartilage (Fig. 1). The thyroid normally pulse, tremor, warm skin, and prominent take, while patients with a toxic thyroid
weighs 14 to 20 g. The arterial supply is from eyes. Signs of hypothyroidism include dry nodule will have a single focus of uptake,
the superior thyroid artery (the first branch skin, nonpitting edema, and coarse hair. and those with Plummer’s disease (multiple
of the external carotid) and the inferior thy- The thyroid gland can be palpated easily by hot thyroid nodules) will have multiple-foci
roid artery from the thyrocervical trunk. standing behind the patient and locating uptake. In the absence of hyperthyroidism,
The venous drainage of the thyroid com- the cricoid cartilage. The isthmus lies just thyroid scans have limited utility in the
prises the superior thyroid vein, which below the cricoid. Asking the patient to workup of thyroid nodules.
drains into the internal jugular vein, the drink water while palpating the neck with The best imaging study for the thyroid is
middle thyroid vein (only present in 50% of both hands will facilitate localization of cervical ultrasound. Findings on ultrasound
individuals), and the inferior thyroid vein, thyroid mass since the thyroid moves up suspicious for thyroid malignancy include
which drains into the innominate/brachio- and down with swallowing. Thyroid nod- microcalcifications, hypoechogenicity, gross
cephalic veins. The thyroid contains 90% of ules are usually quite firm. It is important local invasion, irregular margins, and re-
the body’s iodine. Iodine is oxidized and to also examine the central and lateral neck gional lymphadenopathy. Ultrasound is crit-
binds to tyrosine residues in thyroglobulin lymph nodes for lymphadenopathy. ical for guiding fine needle aspiration (FNA),
(colloid). About 1% of thyroid hormone is which is the procedure of choice for the eval-
released every day. The half-lives of the ac- uation and management of thyroid nodules.
tive forms of thyroid hormone are 7 days for DIAGNOSIS
T4 and 1 to 3 days for T3. The most useful laboratory test for screen-
ing patients with thyroid disease is mea-
FNA Biopsy
CLINICAL PRESENTATION surement of thyroid stimulating hormone FNA is a relatively simple and safe proce-
(TSH), which is suppressed in patients with dure, and it is usually performed in the out-
History hyperthyroidism and elevated in patients patient clinic. The patient is placed in a
When evaluating a patient presenting with
thyroid disease, one should inquire about
symptoms of hyperthyroidism or hypothy-
roidism, risk factors for thyroid cancer, and
symptoms due to enlargement of the gland.
Symptoms of hyperthyroidism include heat
intolerance, weight loss, palpitations, hair
loss, and diarrhea. Symptoms of hypothy-
roid include cold intolerance, fatigue,
weight gain, constipation, and hoarseness.
Thyroid nodules occur in 4% to 7% of the
general population. The vast majority of
these nodules (95%) are benign. Risk fac-
tors for thyroid cancer include hypothy-
roidism, a family history of thyroid cancer
(especially papillary or medullary thyroid
cancer), and a history of head/neck irradia-
tion. Large thyroid nodules or diffusely en-
larged glands can cause compressive symp-
toms involving the esophagus, trachea, and
recurrent laryngeal nerve such as dyspnea,
stridor, orthopnea, dysphagia, or hoarse- F‘

ness. Recent data suggest that even moder- Fig. 1. FNA biopsy diagram with neck extended, nondominant hand on nodule, and needle in dominant
ately enlarged thyroid gland/nodules can hand.
 Chapter 37: Fine Needle Aspiration Biopsy of the Thyroid: Thyroid Lobectomy and Subtotal and Total Thyroidectomy
supine position with a pillow or towel roll
placed behind the shoulder to extend the
neck and to bring the thyroid closer to the
surface of the skin (Fig. 1). At our institu-
tion, the patient often has EMLA cream ap-
plied to the skin 20 to 30 minutes prior to
the procedure. The skin is then prepped
with alcohol, and 1% lidocaine without epi-
nephrine can be injected into the skin for
additional local anesthesia. The thyroid
mass is localized with ultrasound and im-
mobilized between the fingertips of the
nondominant hand. Using the dominant
hand, a 23- or 25-gauge 1.5-in. needle with
an attached 10-mL syringe is advanced into
the lesion, with the clinician noting the
consistency of the nodule upon entering.
We prefer the nonsuction technique be-
cause it results in less trauma and bleeding.
If utilizing the suction technique, the sy-
ringe is pulled back with the thumb once
the lesion has been entered. A syringe-
holder aspiration device can facilitate this
technique. Once the needle enters the le-
sion, it is rapidly moved back and forth
along a single track for each aspiration until
material is seen with the hub of the needle.
Suction (if utilized) is released before re-
moval of the needle from the nodule. Firm
pressure is applied to the puncture site.
Three to six passes are often required to
obtain an adequate sample. If a cyst is en-
countered, the fluid is completely aspirated
and sent for cytologic examination. The re-
gion of the cyst is then evaluated by ultra-
sound and any residual solid component
reaspirated.
The needle is then detached from the sy-
ringe, and the syringe filled with air, reat-
tached, and the contents expelled onto a
glass slide. A second slide is placed on top of
the first slide and the material is smeared by
pulling the slides in opposing horizontal di-
rections. Slides can be either immediately
placed into alcohol or sprayed with fixative
for Papanicolaou’s stain or air-dried for Diff-
Quik (May-Grunwald-Giemsa) staining. The
definition of specimen adequacy varies
from institution to institution. Usually at
least 6 to 10 clusters of cells on two separate
slides are required to make a diagnosis. On-
site evaluation by a cytopathologist can sig-
nificantly reduce the inadequacy rate. Com-
plications from FNA are extremely rare but
include bleeding/hematoma (<0.5%), tra-
cheal puncture (rare), nodule infarction
(<5%), and tumor seeding (<0.005%).
FNAs are usually classified into four cat-
egories:
1. benign: nodular goiter, Hashimoto’s thy-
roiditis, subacute thyroiditis, cyst, and
colloid nodule;
2. suspicious/indeterminate:follicularneo-
plasm, Hurthle cell neoplasm, suspicious
but not diagnostic of papillary thyroid
cancer;
3. malignant: papillary thyroid cancer, med-
ullary thyroid cancer, anaplastic thyroid
cancer, lymphoma, metastases; and
4. inadequate/nondiagnostic.
FNAs in the latter category should be
repeated as up to 80% may be diagnostic on
the repeat attempt.
TREATMENT AND
INDICATIONS
Malignant FNA
Papillary thyroid cancer. For lesions <1 cm,
either thyroid lobectomy or total thyro-
idectomy is acceptable. For lesions 1 cm
or greater, total thyroidectomy is recom-
mended. If abnormal lymph nodes are seen
intraoperatively or by ultrasound, level 6 cen-
tral lymph node dissection is indicated. In
patients with enlarged lateral lymph nodes,
FNA should be performed on the lymph node
and if positive a compartmentalized lymph
node dissection often involving levels 2, 3,
and 4 lymph nodes should be done.
Medullary thyroid cancer. Total thyroi-
dectomy with bilateral central (level 6)
lymph node dissection is the minimal oper-
ation. For patients with abnormal lateral
lymph nodes by ultrasound or computed to-
mography (CT), or in patients with calci-
tonin levels >1000 pg/mL, modified radical
neck dissection should be performed. Be-
cause of the association of medullary thyroid
cancer with multiple endocrine neoplasia
type 2 A (MEN 2 A), preoperative evaluation
should include plasma and/or 24 urinary
metanephrines for pheochromocytoma, CT
scans of the neck, chest, and abdomen for
staging, calcium and parathyroid hormone
testing for hyperparathyroidism, and RET
proto-oncogene testing to assess for familial
disease.
Thyroid lymphoma and anaplastic thyroid
cancer. These types of thyroid malignancies
are primarily treated with chemotherapy
and/or radiation therapy. Occasionally, thy-
roidectomy is performed for early anaplastic
cancers, and for palliation of airway com-
promise from thyroid lymphoma.
Suspicious/Indeterminate FNA
Follicular neoplasm. Approximately 80% of
follicular neoplasms or lesions are adenoma
while 20% are cancer. The presence of cap-
sular and/or vascular invasion on perma-
nent histology distinguishes adenomas from
469
follicular cancers. We generally perform a
diagnostic thyroid lobectomy in patients
without frozen section. We and others have
demonstrated that intraoperative frozen
section is misleading and does not provide
any additional information >90% of the
time. Thus, we wait for permanent histology
and if positive for cancer perform a comple-
tion thyroidectomy usually within 5 days or
after 2 to 3 months from the original thy-
roid lobectomy. For patients with a follicular
neoplasm, we would consider an initial total
thyroidectomy for the following: contralat-
eral nodular disease or Hashimoto’s thy-
roiditis, the patient is already taking thyroid
hormone, or patient preference.
Hurthle cell neoplasm. Approximately
70% of Hurthle cell neoplasms or lesions are
adenoma while 30% are cancer. Similar to
follicular neoplasms, the presence of capsu-
lar and/or vascular invasion on permanent
histology distinguishes Hurthle cell ade-
nomas from cancers. Likewise, we generally
perform a diagnostic thyroid lobectomy in
patients without frozen section. If the per-
manent histology is positive for cancer, we
perform a completion thyroidectomy. Many
studies have shown that the rate of malig-
nancy for Hurthle cell neoplasms is directly
related to the size of the lesion. While can-
cer is very uncommon with Hurthle cell
neoplasms less than 2 cm in size, the rate of
cancer exceeds 50% in lesions of a greater
size than 4 cm. Thus, we typically recom-
mend a total thyroidectomy for Hurthle cell
neoplasms larger than 4 cm. We would also
consider a total thyroidectomy in patients
with contralateral nodular disease and
Hashimoto’s thyroiditis, if the patient was
already taking thyroid hormone, or patient
preference.
Suspicious, but not diagnostic, of papillary
thyroid cancer. An aspirate “suspicious for
papillary thyroid cancer” is not the same as
an aspirate “diagnostic for papillary thyroid
cancer” in regard to likelihood of malignancy
and surgical management. The cytologic cri-
teria for papillary thyroid cancer include
large monolayer sheets of follicular epithe-
lial cells, enlarged nuclei with powdery chro-
matin, intranuclear cytoplasmic inclusions
Endocrine Surgery
and grooves, and papillary structures with
or without tall columnar cells. While FNAs
diagnostic of papillary thyroid cancer have
all of these features, those FNAs that have
some but not all of the features of papillary
thyroid cancer are read as “suspicious for
papillary thyroid cancer.” Multiple reports
have shown that FNAs suspicious for papil-
lary thyroid cancer are malignant 50% to 60%
of the time. Thus, for a thyroid nodule that
is suspicious for papillary thyroid cancer, we
would recommend a thyroid lobectomy to
470 Part IV: Endocrine Surgery
resect the nodule, with intraoperative fro-
zen section analysis. We and others have
demonstrated that frozen section is ex-
tremely useful with an FNA suspicious for
papillary thyroid cancer, as it is accurate
90% of the time. If the frozen section is pos-
itive for papillary thyroid cancer, we would
perform a total thyroidectomy at that time.
If the frozen section is negative, we would
terminate the operation having performed
only a lobectomy and wait for final histo-
logic evaluation.
Benign FNA
The management of a thyroid nodule that
is “benign” on FNA is dependent upon the
size of the nodule and if the patient has
symptoms due to the nodule. Benign nod-
ules generally do not require surgery un-
less they are causing compressive symp-
toms (airway compromise, dysphagia,
etc.). Data from multiple investigators
have shown that thyroidectomy in symp-
tomatic patients can greatly improve qual-
ity of life. Thyroidectomy should also be
considered in patients with thyroid nod-
ules and a history of head and neck irradi-
ation because of the increased risk of
developing thyroid cancer. We generally
advocate a total thyroidectomy in patients
with thyroid nodules and a history of head
and neck irradiation, irrespective of biopsy
findings.
Nodule greater or equal to 4 cm in size.
While FNA is extremely accurate in delin-
eating most benign from malignant thyroid
nodules, several studies have shown that
FNA is less reliable with thyroid nodules Š4
cm. McCoy and colleagues noted that pre-
operative FNA results in patients with thy-
roid nodules ≥4 cm were read incorrectly
as benign in 13% of patients with cancer;
when multifocal micropapillary carcinoma
was included, this false-negative rate for
preoperative FNA reached 16%. In a study
from our group, FNA results reported as be-
nign turned out to be either neoplastic
(22/52) or malignant (4/52) on final pathol-
ogy. Among patients with nondiagnostic
FNAs, the risk of malignancy was 27%.
We concluded that in patients with thyroid
nodules Š4 cm, FNA results are highly in-
accurate, misclassifying half of all patients
with reportedly benign lesions on FNA. Fur-
thermore, those patients with a nondiag-
nostic FNA display a very high risk of dif-
ferentiated thyroid carcinoma. Therefore, we
recommend that diagnostic lobectomy, at a
minimum, be performed in patients with
thyroid nodules Š4 cm regardless of FNA
cytology. In patients who are asymptomatic
and have nodules <4 cm, management
usually consists of clinical follow-up with a
repeat thyroid ultrasound in 6 months. If
the nodule increases in size or becomes
worrisome in ultrasound appearance dur-
ing follow-up, repeat FNA is warranted. Our
practice has been to follow small, asymp-
tomatic thyroid nodules at 6, 18, and 42
months.
Hyperthyroidism. Kocher developed sub-
total thyroidectomy as the treatment for
hyperthyroidism from Graves’ disease,
which then became the routine form of
therapy for the disease. After the advent of
radioactive iodine therapy in the 1930s, sur-
gery became less commonly performed as
the primary treatment. There are still a
number of important indications for surgi-
cal treatment of hyperthyroidism such as
age, sex, pregnancy, and lactation, the pres-
ence of a thyroid nodule or large goiter
(Plummer’s), and patient preference. These
factors may guide clinicians to offer surgery
as a first-line treatment. For patients with
Graves’ disease or Plummer’s disease, total
thyroidectomy is the operation of choice
and has largely replaced subtotal thyroidec-
tomy, which is associated with a much high
recurrence rate and similar morbidity. For
patients with hyperthyroidism due to a sin-
gle hot nodule, unilateral thyroid lobectomy
is the best operation.
PRE- AND PERIOPERATIVE
PLANNING
Informed consent. As with any operation, the
surgeon should have a thorough discussion
with the patient about the indications, al-
ternate treatment options, and potential
complications of thyroidectomy. Complica-
tions for thyroid lobectomy include injury to
the recurrent laryngeal nerve, resulting in a
hoarse voice, and external branch of the su-
perior laryngeal nerve, leading to an inabil-
ity to reach the high octaves when singing. I
typically quote a 5% to 10% rate of tempo-
rary/transient hoarseness and a 1% to 2%
rate of long-term voice complications.
The parathyroid glands could also be in-
advertently injured. This does not pose a
problem with a thyroid lobectomy (since
the contralateral two parathyroids would
be sufficient), but increases the risk of hy-
poparathyroidism should future thyroid or
parathyroid surgery be required since the
remaining parathyroid glands would be at
risk. In patients undergoing a total thyroi-
dectomy, a 10% to 20% rate of transient
hypocalcemia and a 1% to 2% rate of per-
manent hypocalcemia required calcitriol
supplementation. We and others have
shown that hypoparathyroidism for most
patients usually resolves within 1 week.
Postoperative bleeding and subsequent
hematoma formation is a potential life-
threatening complication that must be care-
fully monitored during the postoperative
period. This occurs in <1% of cases. Wound
infections are uncommon. The most com-
mon wound complication is seroma forma-
tion that usually resolves spontaneously.
Patients should be aware that after to-
tal or near-total thyroidectomy they will
be required to take lifelong thyroid hor-
mone replacement. In patients undergoing
thyroid lobectomy, the vast majority
(>85%) will not require thyroid hormone.
However, we and others have described
risk factors that increase the chance of hy-
pothyroidism after thyroid lobectomy,
which include a high-normal TSH, Hashim-
oto’s thyroiditis, and a low T4 level. When
patients are stratified into three groups
based on their preoperative TSH measure-
ment (Š1.5, 1.51 to 2.5, and Š2.51 μIU/
mL), the rate of hypothyroidism after thy-
roid lobectomy increases significantly at
each level (13.5%, 20.5%, and 41.3%,
respectively). Thus, preoperative TSH levels
can be used to predict the likelihood of
postoperative hypothyroidism.
Preoperative testing. In all patients un-
dergoing thyroid surgery, it is our practice
to check the preoperative calcium and
parathyroid hormone level to rule out hy-
perparathyroidism, and to obtain a base-
line value for comparison. In patients who
are diagnosed with hyperparathyroidism,
we perform parathyroidectomy at the time
of thyroidectomy. If the patient has a hoarse
voice preoperatively or if has had a previ-
ous operation that placed the vagus or re-
current laryngeal nerve at risk, he or she
should have direct or indirect laryngoscopy
preoperatively to assess the status of the
recurrent laryngeal nerves. A paralyzed
nerve may alter operative plans and should
definitely be discussed when obtaining
informed consent. A procedure planned
on the side contralateral to a nerve injury
risks bilateral nerve injury and the need for
tracheostomy.
Hyperthyroidism. It is important to re-
store a patient with hyperthyroidism to a
euthyroid state prior to surgery to avoid the
potential of precipitating a thyroid storm
during surgery. This can be accomplished
within 6 weeks using an antithyroid drug
such as PTU 100 to 300 mg three times daily
or methimazole 10 to 30 mg three times a
day. Methimazole is usually changed to a
single daily dose once a patient is euthyroid
since it has a longer duration of action com-
pared with PTU. Propranolol in doses of 40
to 120 mg four times a day is often added to
control symptoms of tachycardia, tremor,
 Chapter 37: Fine Needle Aspiration Biopsy of the Thyroid: Thyroid Lobectomy and Subtotal and Total Thyroidectomy 471

heat intolerance, and anxiety. Propranolol

is usually initiated simultaneously with the
antithyroid drug, but is continued about
1 week after surgery since the half-life of T4
is 7 days. We administer a saturated solu-
tion of potassium iodide (SSKI) in a dose
of 1 drop two to three times daily or Lugol’s
solution in a dose of 5 to 10 drops two to
three times daily about 10 to 14 days prior
to surgery to decrease the vascularity of the
thyroid gland and facilitate surgical resec-
tion. These agents are discontinued imme-
diately after surgery. When a patient requires
urgent surgery, rapid preparation can be
accomplished within 7 days using a combi-
nation of a corticosteroid (dexamethasone
2 mg every 6 hours), propranolol 40 mg every
8 hours, and sodium iopanoate (500 mg ev-
ery 6 hours). Since both propranolol and
sodium iopanoate have a rapid onset of ac-
tion, it is worth starting these two agents
even in truly emergent cases.
Perioperative considerations. Patients
should urinate immediately preoperatively
so that there is no need for a Foley catheter.
As thyroidectomy is classified as a “clean”
operative procedure, prophylactic antibiot-
ics are not required unless the patient has a
special medical condition warranting their
administration. Compression stockings and
sequential compression devices are used
selectively for deep vein thrombosis (DVT) Fig. 2. Thyroid anatomy illustrating the gland’s relationship to the hyoid bone, thyroid cartilage, cricoid
prophylaxis. Heparin should be used very cartilage, and the trachea.
selectively since recent data suggest that
the risk of postoperative neck hematoma

overweighs the incidence of DVT in pa-
tients undergoing thyroidectomy.
SURGICAL TECHNIQUE
Thyroid lobectomy. Following the induction
of general anesthesia, the patient remains
in the supine position, arms straight and
tucked at their sides, and generous padding
is placed at the elbows to prevent nerve in-
jury. The patient’s neck is midline and ex-
tended. This neck extension is performed
with extreme caution and with the assis-
tance of the anesthesia team to ensure that
the endotracheal tube is secured and that
the cervical spine is not overextended or
rings just caudal to the cricoid cartilage
(Fig. 2). A deflated IV bag is placed under
the patient’s shoulders to extend the neck
and support the shoulders and lower cervi-
cal spine. The bag is then inflated to pro-
duce the appropriate amount of neck ex-
tension. The head should be well supported
using a head ring. A headlight facilitates
lighting and exposure through the limited
incisions. During the operation, the table is
placed in a beach-chair position to decrease
the cervical venous pressure.
The cricoid cartilage is then palpated
and its location noted. The skin incision is
placed in a skin crease approximately 1 cm
below the cricoid cartilage (Fig. 3). The ori-
astinum if indicated and can be cosmeti-
cally unappealing.
In smaller masses, we traditionally begin
with a 2- to 4-cm centrally placed incision,
though lateral extension of this incision
may be warranted based on the size of the
gland. Factors that affect the size of the in-
cision include gland size, patient body mass
index, extent of planned exploration, and
availability of assistants to retract. The skin
incision should be made with a deliberate
sweep of the scalpel, dividing the skin and
subcutaneous tissue simultaneously. He-
mostasis is achieved with electrocautery.
The incision is deepened to the areolar tis-
sue plane just deep to the platysma muscle
Endocrine Surgery

suspended. Preoperative assessment should
include asking the patient to fully extend
his or her neck, so that the person position-
ing the patient knows the level of natural
neck extension. Hyperextension of the neck
may lead to increased postoperative pain
and a slight risk of spinal cord damage. Per-
fect alignment of the head and body must
be ensured to prevent erroneous placement
of the cervical incision. Appropriate posi-
tioning ensures that the isthmus of the thy-
roid overlies the second and third tracheal
entation of the incision should be along the
lines of Langer, since crossing the normal
skin lines may lead to more prominent scar-
ring. It is of paramount importance to place
the incision in a neck crease whenever pos-
sible, as neck creases have the least amount
of tension. An incision made too low will
result in pronounced scar formation, diffi-
culty in dissecting the superior pole, or per-
haps missing the thyroid entirely. Incisions
made too high will make it difficult to re-
move lymph nodes in the superior medi-
where an avascular plane is reached. Once
the incision is made and deepened through
the platysma, the superior and inferior sub-
platysmal planes are developed. Using two
Allis clamps, the superior edge of the plat-
ysma muscle or dermis is grasped and
placed under tension (Fig. 4). This permits
vertical retraction of the flap while counter-
traction with the surgeon’s finger or Kitner
exposes a natural bloodless plane. Ideally,
dissection should proceed within the rela-
tively avascular plane between the platysma
472 Part IV: Endocrine Surgery

Fig. 3. Site of incision in a skin fold about 1 cm below the cricoid. Surface anatomy with
underlying anatomy shown to demonstrate why this location is optimal for thyroid surgery.

muscle fibers and the anterior jugular veins.
Utilizing a combination of blunt and sharp
dissection within this plane—alternatively,
electrocautery is acceptable to raise the
skin flap—the upper skin flap is freed to the
level of the thyroid notch. The inferior edge
of the platysma is then grasped and an infe-
rior flap is created in a similar fashion. Dis-
section should be carried down to the level
of the suprasternal notch. Care should be
taken to not buttonhole the retracted skin
and to avoid the anterior jugular veins,
which should remain on the anterior sur-
face of the sternothyroid muscle. The ante-
rior jugular veins symmetrically flank the
midline raphe of the neck. Special care must
be taken to avoid injury to these veins, as
active bleeding and danger of air embolus
have been reported with openings made
into the anterior jugular vein. The skin flaps
are held apart with a self-retaining Sippel or
spring retractor (Fig. 5).
The sternohyoid muscles are separated
in the midline using electrocautery. With

Fig. 4. Creating superior flap—Allis clamps on platysma, counter-

traction with the surgeon’s finger, and electrocautery, also demon-
strating anterior jugular veins.
 Chapter 37: Fine Needle Aspiration Biopsy of the Thyroid: Thyroid Lobectomy and Subtotal and Total Thyroidectomy
Fig. 5. Dividing the strap muscles with electrocautery.
electrocautery, the cervical fascia investing
the paired sternohyoid muscles is then in-
cised, separating the strap muscles (ster-
nohyoid and sternothyroid). As the length
of this incision will ultimately determine
access to the thyroid gland, the incision
should be placed exactly in the midline of
the neck between the sternohyoid muscles,
extending from the thyroid notch to the
level of the sternal notch. There are fre-
quently crossing veins at both the superior
and inferior aspects of the midline and care
must be taken to avoid bleeding. The ipsi-
lateral strap muscles are then grasped with
a Babcock clamp and gently dissected off
the thyroid capsule with electrocautery and
blunt dissection with a Kitner or a teardrop
suction device. This avascular plane be-
tween the strap muscles and the thyroid
gland can be bluntly dissected until the
internal jugular vein is identified. Develop-
ment of the proper cleavage plane will al-
low lateral mobilization of the sternohyoid
and sternothyroid muscles. This is only per-
formed on the side ipsilateral to the lobe to
be excised. An Army–Navy retractor is then
Fig. 6. Exposure of the superior pole of thyroid and upper pole vessels with retraction.
used to retract both strap muscles laterally
(Fig. 6).
Once the thyroid lobe is exposed, our
initial step is to divide the superior pole ves-
sels to mobilize the upper lobe. We utilize
thermal sealing instruments such as the Li-
gasure or Focus harmonic scalpel to divide
all the thyroid vessels. We have shown that
these energy devices reduce operative time
with no increase in morbidity. I rarely uti-
lize any sutures to ligate thyroid vessels. The
superior pole vessels are then dissected free
laterally. An Army–Navy retractor is utilized
for exposure and similar blunt dissection
with a Kitner is employed to sweep the are-
olar tissue and remaining strap muscle fi-
bers from the lateral superior thyroid pole.
This pole is then separated from the crico-
thyroid muscle medially using a Dietrich
(curved right angle) clamp (Fig. 6). Extreme
care is taken to keep all medial dissection
close to the thyroid lobe so as to not place
the external branch of the superior laryn-
geal nerve at risk. This nerve can lie on the
lateral surface of the cricothyroid muscle, in
close proximity to the superior pole blood
473
vessels. At the anterior aspect of this medial
dissection, there are often small crossing
blood vessels, which should be divided with
the Ligasure or Focus.
After this anterior dissection is complete
and space permits, a Dietrich clamp is
placed behind the superior thyroid vessels
to allow sealing of the vessels with the Liga-
sure or Focus (Fig. 7). This is repeated with
other vessels or tissue at the superior thy-
roid pole until the entire superior pole is
free. As the superior thyroid lobe is mobi-
lized, care must be taken to avoid injuring
the underlying superior parathyroid gland.
After mobilization and rotation of the up-
per lobe medially, the remaining thyroid
lobe is then mobilized from lateral to me-
dial. To achieve exposure, the gland is re-
tracted anteriorly and medially with the
surgeon’s index finger and the strap muscles
are held laterally with an Army–Navy re-
tractor. Blunt dissection with a Kitner clears
areolar tissue from the lateral aspect of the
thyroid lobe. The middle thyroid vein is di-
vided with the Ligasure, or between clamps
and tied with 2-0 silk sutures (Fig. 8). This
dissection permits full medial rotation of
the thyroid lobe. With the lateral and supe-
rior aspect of the thyroid dissected free, the
thyroid can now be mobilized medially and
anteriorly, out of the operative wound. The
thyroid lobe is then retracted in this antero-
medial position for the remainder of the
procedure, and is best held under slight ten-
sion with the surgeon’s index finger covered
with a sponge. With this maneuver, the re-
current laryngeal nerve can now be identi-
fied, as can the parathyroid glands (Fig. 9).
About 85% of the parathyroid glands are
found within 1 cm of where the recurrent
laryngeal nerve crosses the inferior thyroid
artery, with the superior parathyroid gland
located posterior to the nerve and the inferior
gland located anterior to the nerve (Fig. 9).
The superior parathyroid gland is more likely
to be in direct contact with the thyroid cap-
sule posteriorly (near the tubercle of Zucker-
kandl at the level of the cricoid cartilage),
and can be identified once the thyroid is re-
tracted medially. After careful dissection to
create a plane between the thyroid capsule
Endocrine Surgery
and superior parathyroid gland, blunt dissec-
tion with a Kitner can push the parathyroid
back on a broad pedicle, safely away from the
operative field. Surgical clips can mark the
parathyroid glands for future identification
and provide hemostasis with minimal ma-
nipulation of the gland’s blood supply.
The recurrent laryngeal nerve should be
always identified during the lobectomy. It
should run directly medial to the superior
parathyroid, and can be visualized after
pushing the superior parathyroid gland
474 Part IV: Endocrine Surgery

laterally as described above. I find it easiest

to identify the recurrent nerve medial to
the superior parathyroid, knowing that the
nerve is most consistent in the position
where it enters the larynx on the postero-
lateral aspect of the cricothyroid muscle.
The right recurrent nerve travels laterally
in the lower neck and then travels obliquely
toward the midline at an angle approxi-
mately 30 degrees to the tracheoesopha-
geal groove. During this course, it can pass
behind, between, or anterior to the main
branches of the inferior thyroid artery. The
left nerve, on the other hand, travels in the
Fig. 7. Division of the superior pole vessels with Ligasure. tracheoesophageal groove for its entire
cervical course. The recurrent nerves can
be identified in the inferior aspect of the
operative field if there is associated inflam-
mation or scarring closer to the thyroid.
In order to protect the nerves, only tis-
sue that is transparent and/or definitively
identified to be vascular or lymphatic
should be divided. Even after identification
of the recurrent nerve, it is still important
Middle thyroid
vein (divided)
to be cautious when dividing tissue as most
recurrent nerves can branch prior to enter-
ing the cricothyroid muscle. An anterior
branch of the nerve can be mistaken for a
vessel easily. Electrocautery should be care-
fully used adjacent to the nerve because it
can arc and thermally injure the nerve
nearby. After identification of the recurrent
nerve along its entire course, the lower
parathyroid is located. The inferior pole
blood vessels are usually under tension at
this point and are divided with the Ligasure
or Focus as close to the thyroid gland as
possible (Fig. 9). Once the vessels are di-
Fig. 8. Medial retraction of thyroid with fingers covered with surgical sponge after division of the middle
thyroid vein. vided, further blunt Kitner dissection can
push the proximal ends of these vessels and
the associated nearby inferior parathyroid
gland away from the thyroid, protecting it
for the remainder of the case.
Note that the inferior pole vessels are the
blood supply to the inferior parathyroid
glands and most superior parathyroid glands,
which is why only the terminal branches di-
rectly entering the thyroid should be divided
(Fig. 9). Branches of the inferior thyroid artery
are divided with the Ligasure or Focus as close
to the thyroid gland as possible to avoid
devascularizing the parathyroids (Fig. 9). The
final dissection off the anterolateral aspect of
the tra-chea, through the remainder of the
ligament of Berry, should be performed care-
fully since this is the area where the nerve is at
greatest risk of injury (Fig. 10). Once on the
anterior aspect of the trachea, this is an avas-
cular plane. The thyroid isthmus is mobilized
off the anterior trachea with electrocautery to
the intersection with the contralateral lobe.
Fig. 9. Anterior/medial retraction of thyroid, showing recurrent laryngeal nerve and parathyroid gland The thyroid isthmus is then divided with the
anatomy. Division of the distal branches of the inferior thyroid artery with Ligasure. Focus or Ligasure at this location (Fig. 11).
 Chapter 37: Fine Needle Aspiration Biopsy of the Thyroid: Thyroid Lobectomy and Subtotal and Total Thyroidectomy
Small artery
and vein
Ligament
of Berry
Recurrent
laryngeal
nerve
Fig. 10. Dissection of the ligament of Berry depicting the course of the recurrent laryngeal nerve.
With the specimen excised, it is reexam-
ined to ensure that no parathyroid tissue
has been inadvertently removed. If a normal
parathyroid gland is identified on the ex-
cised thyroid specimen, it should be auto-
transplanted immediately (see “Parathyroid
Implantation”). The operative field is irri-
gated and hemostasis ensured. Surgicel is
useful when there is minimal bleeding im-
mediately adjacent to the recurrent laryn-
geal nerve, which is often just as the nerve
enters the larynx posterior to the cricothy-
Fig. 11. Dividing the thyroid isthmus with Ligasure during thyroid lobectomy.
roid muscle. The strap muscles are then
reapproximated in the midline with a run-
ning 2-0 vicryl suture. We then inject 30 cc of
0.25% bupivicaine (Marcaine) for postoper-
ative local anesthesia. The platysma is reap-
proximated with a running 3-0 vicryl suture.
Surgical drains are almost never used. A
potential exception is after excision of large
substernal goiters, as the resulting cavity
may benefit from a closed suction drain
brought out through the lateral aspect of
the wound and removed on the first postop-
475
erative day. Skin closure is with a 5-0 Prolene
suture with horizontal ½-in. sterile strips.
Subtotal thyroidectomy. In a traditional
subtotal thyroidectomy, 2 to 3 g of thyroid
tissue is left bilaterally. This is no longer
recommended by us and others, because
recurrent disease can occur bilaterally and
reoperation would place both recurrent
laryngeal nerves and all functioning para-
thyroid glands at risk. Instead, a Hartley–
Dunhill subtotal thyroidectomy is now rec-
ommended if residual thyroid tissue is left
in situ. This involves a total lobectomy and
isthmusectomy on the most diseased side
and a subtotal resection (leaving approxi-
mately 4 g) on the contralateral side. Subto-
tal thyroidectomy should not be performed
for patients with malignant disease as thy-
roid tissue left in situ on the side of the pri-
mary tumor is at risk for recurrent disease,
higher doses of radioactive iodine (RAI) are
required after subtotal thyroidectomy, and
thyroglobulin assays are less sensitive for
predicting tumor recurrence.
When a subtotal thyroidectomy is
planned, a thyroid lobectomy should be
performed on the most diseased lobe, as de-
scribed in the “Thyroid Lobectomy” section.
On the side of the subtotal resection, the up-
per pole vessels and the inferior pole vessels
are mobilized and divided with Ligasure or
Focus, as described above. The middle thy-
roid vein is then divided and the thyroid
lobe is mobilized out of the wound as previ-
ously described. The recurrent nerve is
identified. However, branches of the inferior
thyroid artery are not ligated. The postero-
lateral resection margin through the thyroid
is selected so that an appropriate volume of
thyroid tissue is left in situ, while keeping
the dissection plane safely anterior to the
recurrent laryngeal nerve and the parathy-
roid glands (Fig. 12). Focus or Ligasure is
utilized to transect the thyroid tissue along
this dissection line (Fig. 13). Additional he-
mostasis can be achieved with pressure and
electrocautery, when safe to do so. Keeping
the posterior thyroid capsule intact helps to
protect the nearby recurrent laryngeal nerve
and parathyroid glands, but recall that the
nerve can traverse onto the lateral aspect of
Endocrine Surgery
the thyroid at the level of the cricoid carti-
lage and tubercle of Zuckerkandl, in close
proximity to where the gland will be divided.
I typically put a piece of Surgicel on the cut
edge of the thyroid gland. The incision is
then closed in the same manner as during
a thyroid lobectomy, including 30 mL of
0.25% bupivicaine.
Total thyroidectomy. A total thyroidec-
tomy is the treatment of choice for the ma-
jority of thyroid cancers. A near-total thyroi-
dectomy leaves less than 1 g (1 cm) of thyroid
476 Part IV: Endocrine Surgery

tissue on one side of the neck. It is performed

when a total thyroidectomy is planned, but a
minute portion of thyroid is purposely left in
situ, in close proximity to the recurrent laryn-
geal nerve or parathyroid gland, when it is
deemed unsafe to do otherwise. A total thy-
roidectomy is essential performing a thyroid
lobectomy on each side, without transecting
the isthmus. One should perform the opera-
tion on the most abnormal side of the thyroid
first, so that if the nerve is inadvertently in-
jured or invaded by thyroid cancer, a less ex-
tensive procedure can be performed on the
Selected plane of
dissection through thyroid
opposite side to ensure that the contralateral
nerve is preserved. Bilateral recurrent laryn-
geal nerve palsy should be avoided at all
costs, as this often requires a tracheostomy
to protect the patient’s airway.
My preference is to resect the thyroid as
a single specimen. However, if the underly-
ing thyroid condition is benign, the isthmus
can be transected. Some surgeons feel that
this creates more room in the operative
field and dissection of the posterior surface
of the thyroid off the trachea enables better
Fig. 12. Diagram of planned dissection across thyroid parenchyma for subtotal thyroidectomy with re- mobilization of the gland anteriorly. If the
current laryngeal nerve and parathyroid glands in diagram. thyroidectomy is being performed for a
proven or potential underlying malignancy,
isthmus division should be avoided and the
entire thyroid excised en bloc. I generally
place a piece of Surgicel in each side of the
neck after a total thyroidectomy. The wound
is closed in a manner similar to a thyroid
lobectomy. If a near-total or total thyroi-
dectomy is being performed as a “comple-
tion” thyroidectomy, it should usually be
performed within 5 days of the original thy-
roid lobectomy or at least 2 to 3 months af-
terward. Operating within this intervening
time period is associated with reactive scar
tissue and more bleeding. This is generally
not a problem when a unilateral procedure
was done at the initial operation.
Parathyroid implantation. To autotrans-
plant a parathyroid gland, confirmation that
it is normal parathyroid tissue should first be
established histologically with a frozen sec-
tion of a small portion of the gland, especially
if the patient has thyroid cancer. While being
evaluated, the remaining parathyroid tissue
should be minced into pieces and placed in
saline solution. Once confirmed to be nor-
mal parathyroid, the minced parathyroid tis-
sue is placed in a pocket created in the ipsi-
lateral sternocleidomastoid muscle and
secured with a 3-0 silk figure-eight suture
that closes the muscle fascia. The site is then
marked with two surgical clips. Any parathy-
roid gland considered to be at risk should be
autotransplanted, regardless of the status of
Fig. 13. Transection of the thyroid with Ligasure for subtotal thyroidectomy. the other glands. Each parathyroid gland
should be treated as if it were the only re-
maining functioning parathyroid tissue.
 Chapter 37: Fine Needle Aspiration Biopsy of the Thyroid: Thyroid Lobectomy and Subtotal and Total Thyroidectomy 477

POSTOPERATIVE nerve dysfunction for over 6 months) occurs SUGGESTED READINGS

MANAGEMENT
Thyroid lobectomy. The vast majority of pa-
tients in my practice have a thyroid lobec-
tomy as an outpatient; i.e., they are dis-
charged home after 2 hours of postoperative
observation in the outpatient unit. There is
no diet restriction for postoperative pa-
tients. Most patients progress from clear
liquids to solid food within hours after the
operation. Narcotic analgesia is rarely re-
quired after the first 24 hours and patients
often require no more than acetaminophen
with codeine for pain control. The liberal
use of Marcaine in the incision prior to clo-
sure reduces postoperative incisional pain
significantly. Nonnarcotic medications such
as acetaminophen or ibuprofen should be
the initial analgesic if the patient’s pain is
only minimal to moderate. This is probably
more common than after other general sur-
gery cases and may be caused by the pro-
longed neck extension during the operation.
Again, preventative measures with proper
positioning must be stressed. The patient is
discharged home with Steri-Strips in place.
The patient can shower 24 hours postopera-
tively, after which the Steri-Strips should be
blotted dry. Patients should not drive until
they are comfortable doing a complete
“shoulder check” for parking or changing
lanes. They can resume activities of daily liv-
ing upon discharge, but should refrain from
strenuous exercise for about 4 to 5 days. I
see patients back in clinic 1 week after sur-
gery to remove their sutures and review the
pathology. No labs are obtained at this visit
but after 6 weeks a TSH level is checked to
rule out postoperative hypothyroidism.
If the patient has a hoarse voice postopera-
tively, it may be due to irritation by the endo-
tracheal tube or it could be temporary or per-
manent injury to the recurrent laryngeal
nerve. Permanent nerve injury (persistent
in 1% or less of cases when an experienced en-
docrine surgeon does the operation. The pa-
tient should be reassessed for ongoing clinical
evidence of nerve injury. If it persists for more
than 6 months, a direct laryngoscopy should
be arranged to formally assess nerve function.
Subtotal or total thyroidectomy. After sub-
total or total thyroidectomy, few patients are
observed as short-stay 23-hour hospital
admission. We have moved to same-day
discharge in most of these patients. Diet,
pain management, activity, and wound care
are similar to thyroid lobectomy. One con-
cern that has limited same-day discharge af-
ter total thyroidectomy has been postopera-
tive hypocalcemia or hypoparathyroidism.
We have developed a protocol to predict and
treat patients at risk for this. All patients are
placed on 2000 mg of calcium daily for the
first week after surgery. We obtain a serum
PTH: less than 10 pg/mL is concerning for
hypoparathyroidism, and these patients are
placed on 0.25 μg calcitriol twice daily in ad-
dition to calcium. Patients with PTH levels
10 pg/mL or greater are given calcium only.
Calcium and PTH levels are obtained at the
1-week postoperative visit. If both calcium
and PTH are normal, calcium as well as cal-
citriol is stopped. Patients are also discharged
on thyroid hormone (1.5 μg/kg) starting on
postoperative day 1. A TSH level is obtained
6 weeks after surgery. Thyroid hormone re-
placement should aim for a TSH level within
normal range for patients with benign dis-
ease, within the low-normal range for pa-
tients requiring a suppressive dose for benign
disease, less than 0.1 mU/L for low-risk pa-
tients with thyroid cancer, and 0.05 mU/L or
slightly lower for all other patients with dif-
ferentiated thyroid cancer. If the patient is
found to have well-differentiated thyroid
cancer, and radioactive iodine is planned, we
routinely do not withdraw thyroid hormone
but utilize recombinant TSH (Thyrogen).
Callcut RA, Selvaggi SM, Mack E, et al. The utility
of frozen section evaluation for follicular thy-
roid lesions. Ann Surg Oncol 2004;11:94–8.
Chen H, Nicol TL, Udelsman R. Follicular lesions
of the thyroid. Does frozen section evaluation
alter operative management? Ann Surg 1995;
222:101–6.
Chen H, Zeiger MA, Clark DP, et al. Papillary car-
cinoma of the thyroid: can operative manage-
ment be based solely on fine-needle aspiration?
J Am Coll Surg 1997;184:605–10.
Chen H, Nicol TL, Zeiger MA, et al. Hurthle cell
neoplasms of the thyroid: are there factors
predictive of malignancy? Ann Surg 1998;227:
542–6.
Greenblatt DY, Sippel R, Leverson G, et al. Thyroid
resection improves perception of swallowing
function in patients with thyroid disease. World
J Surg 2009;33:255–60.
Haymart MR, Greenblatt DY, Elson DF, et al. The
role of intraoperative frozen section if suspi-
cious for papillary thyroid cancer. Thyroid 2008;
18:419–23.
Haymart MR, Repplinger DJ, Leverson GE, et al.
Higher serum thyroid stimulating hormone
level in thyroid nodule patients is associated
with greater risks of differentiated thyroid can-
cer and advanced tumor stage. J Clin Endocrinol
Metab 2008;93:809–14.
Musunuru S, Schaefer S, Chen H. The use of the
Ligasure for hemostasis during thyroid lobec-
tomy.Am J Surg 2008;195:382–4.
Pinchot SN, Al Wagih H, Schaefer S, et al. Accuracy
of fine-needle aspiration biopsy for predicting
neoplasm or carcinoma in thyroid nodules
4 cm or larger. Arch Surg 2009;144:649–54.
Roy M, Chen H, Sippel RS. Is DVT prophylaxis
necessary for thyroidectomy and parathyroi-
dectomy. Surgery 2010;148(6):1163–8.
Stoll SJ, Pitt SC, Liu J, et al. Thyroid hormone
replacement after thyroid lobectomy. Surgery
2009;146:554–60.
Youngwirth L, Benavidez J, Sippel R, et al. Parathy-
roid hormone deficiency after total thyroidec-
tomy: incidence and time to resolution. J Surg
Res 2010;163(1):69–71.
Zarebczan B, Chen H. A comparison of the liga-
sure and harmonic scalpel in thyroid surgery: a
single institution review. Ann Surg Oncol 2011;
18(1):214–18.

EDITOR’S COMMENT The risks of increased malignancy in thyroid nod- reason was that Dr. Cope was very, in a sense,
ules include head and neck radiation therapy and ahead of his time and in particular somewhat un-
a familiar association of thyroid cancer. usual as far as surgery was concerned. Dr. Cope
Endocrine Surgery

The thyroid is a metabolically active gland, in Thyroid cancer is now considered a real can- was very pro-psychiatry. To a certain extent this
which 1% of the stored thyroid hormone is re- cer. This has come a long way from the 1960s, might have been because of his wife, who was a
leased per day. The half-lives of the two thyroid when Dr. Oliver Cope, one of the famous thyroid social worker, a very nice lady, with whom my
hormones that are released are 1 to 3 days for T3 and parathyroid surgeons, did not believe that wife, Karen, a social worker, had an excellent
and 7 days for T4. With an aging population and this was a real cancer and in fact thought that the relationship. Dr. Cope believed, and here he was
ready availability of thyroid ultrasonography, the major therapy for thyroid cancer was psychiatry. ahead of his time, that doing a radical mastec-
number of thyroid nodules in the general popula- To a certain extent one can believe this, for the tomy for breast cancer was mutilating to women, tion
is beginning to be a public health consider- very simple reason that papillary carcinoma of to which everybody agreed, and that it was not ation,
as 4% to 7% of the population has thyroid the thyroid was by far the most common form of necessary to do a complete axillary dissection for nodules.
It is estimated that 95% of these nodules thyroid cancer, and it was rare to see a patient die all breast carcinomas, and he also believed that are benign
and therefore do not require surgery. of papillary carcinoma of the thyroid. The other infiltration of the lymph nodes with lymphocytes

(continued)
478 Part IV: Endocrine Surgery

was a good prognostic sign, for which he might the number of FNAs performed in the later time therefore, of FNA is 95% with a sensitivity of 83%,
have been correct, and a complete axillary dissec- period increased significantly by 250%. Patients a specificity of 92%, and the positive predictive
tion was unnecessary. undergoing FNA were more likely to be female value of 75%. Most authorities agree on this.
Because Dr. Cope felt strongly that carcinoma and were significantly older. With regard to the The critical issue here is the FNA’s suspicious of
the thyroid (and by this he meant papillary car- FNA diagnoses, not surprisingly, benign FNAs (indeterminate) results. Malignant disease means
cinoma of the thyroid) was not a real cancer, no increased whereas the diagnosis of malignancy that FNAs cannot be accurately excluded, and, if one
did a node dissection. The evolution of thyroid decreased in proportion regardless of whether these had been documented as follicular neo- cancer
from that particular time until now has one was dealing with papillary carcinoma of the plasms or suspicious, a diagnostic lobectomy is been a real
sea change. First of all, I think every- thyroid or follicular neoplasms. There also was a probably appropriate despite the fact that many body believes
that thyroid cancer is a real cancer. remarkable increase in the incidence of thyroidi- of them will reveal the nondisease.
Second, total thyroidectomy has become a prin- tis, whatever that is. Looking at Table 2 in this Finally, when can FNA be omitted? In the pres-
cipal operation for this disease, which in fact was article, which comes from Dr. Chen’s unit, group ence of thyroid nodules in patients with the RET not
very often carried out at the time when I was 1 had 905 patients with 1.33 FNA per patient gene mutation, strong family history of thyroid a
resident in the 1960s. Finally, lymph node dissec- whereas group 2 of 1,875 patients had 1.48 FNA cancer, endocrine neoplasia type II, or increased
tion, particularly of the central lymph nodes and per patient. Whether or not this indicates greater basal or stimulated calcitonin levels, or history
perhaps some additional nodes, is now a frequent suspicion is not clear, but in Table 3, ìDistribution of neck radiation, FNA should be omitted and at
part of operations for thyroid cancer, and patients of Diagnoses,î benign FNA diagnoses (certain) least a diagnostic lobectomy undertaken.
with thyroid cancer not only merit something increased from 68% to 76%, which was statisti- With his extensive experience of a type of thy-
close to a total thyroidectomy or at least a unilat- cally significant, whereas the follicular/Hurthle roidectomy does Professor Sakorafas suggest. The
eral lobectomy with an isthmusectomy but could cell neoplasms decreased from 9.1% to 4.1%. The lobectomy plus isthmusectomy at least guards
also undergo a resection of the central nodes. only other significant change between the two against the possibility of injuring both laryngeal
Fine-needle aspiration (FNA) is the staple as groups was papillary thyroid carcinoma, which nerves. However, the significant disadvantage is
far as the further steps taken in the patient who decreased from 6.3% to 3.4%. There are some that there may be a highly significant recurrence has
a thyroid nodule between 1 and 4 cm in size. other differences as well. rate with a normal follow-up. Thus, the diagno-
As I will detail later, FNA is unequivocally benign A very nice and thorough review is offered sis in recurrent disease is something that needs in
70% of patients. For those patients who have by Dr. George H. Sakorafas from the 4th Depart- to be borne in mind. Nodule recurrence could be clearly
malignant thyroid nodule, for lesions with ment of Surgery at Athens University (Surg Oncol prevented by levothyroxine-suppressive therapy. papillary
carcinoma, with lesions that are smaller 2010;19:e130–e139), who wrote a scholarly and Other alternatives include subtotal thyroidectomy than 1 cm,
either thyroid lobectomy or total thy- erudite article on FNA and its practical consid- and total/near-total thyroidectomy, in the case of roidectomy is
acceptable as far as Dr. Chen is erations, which can be read with great profit. Dr. less than 3 g of residual thyroid. As far as lymph concerned, and
I agree. However, if abnormal Sakorafas points out that FNA is central to the di- node resection is concerned, if one believes that lymph nodes are
seen intraoperatively by ultra- agnosis of thyroid nodules. We know that. He esti- one has a malignancy in station 6 central node, this sonography, a level
6 central lymph node dissec- mates that 5% of the patients have thyroid nodules should be carried out, and as previously stated, the tion is indicated. In
patients who have enlarged found by palpation and by ultrasonography or station of unilateral node resection is appropriate. lateral lymph nodes,
FNA should be performed autopsy in 50%. The clinical significance of these Frozen section of the nodules and lymph nodes do on the lymph node, and,
if positive, level 2, 3, and nodules remains unknown, since most of them do not yield an appropriate resection. The situation 4 lymph nodes should be
dissected on that side. not progress, especially those found at autopsy. He continues in individuals wanting to get a prospec- Dr. Chen then details the
various types of cancer points out that malignant thyroid nodules should tive study with increased accuracy.
and what should be done, especially in associa- be managed aggressively by thyroidectomy and Along these lines, Mathur A, et al. (Surgery
tion with medullary thyroid cancer and multiple that more common benign thyroid nodules should 2010;148:1170–1177), from Clark’s unit in San
endocrine adenoma. I will go into more detail in be managed conservatively. He also points out Francisco, suggest that FNA may be nondiagnos-
discussing some of the articles. that there are very infrequent local compressive tic or indeterminate or suspicious in 20% to 30%
Among follicular neoplasms, 80% are ad- syndrome symptoms or thyroid dysfunction and of cases; in other words, FNA is appropriate and
enomas whereas 20% are cancer. Capsular and therefore the thyroid nodule is significant when it diagnostic in 70% of cases. This group agrees with
vascular invasion differentiates obviously ad- reveals thyroid cancer. Ninety-five percent of these the previous two individuals as to the percentage
enomas from follicular cancers, and a thyroid will be benign or be adenomas. The other inci- of definitive FNAs. They applied a series of mark-
lobectomy is indicated without a frozen section. dence that has increased is when there is a thyroid ers and found that three variables, including BRAF
This is especially true, since the frozen-section nodule that is cancerous, where it is much more V600E, NRAS, and KRAS, were among the six can-
analysis does not provide additional information likely, as Dr. Chen points out in his chapter, to be didate diagnostic markers used for univariate and
and is inaccurate. Among Hurthle cell neoplasms, accompanied by some sort of node dissection. multivariate analyses in 341 patients, but by using
70% are adenomas and 30% are cancers. Since the practice in Dr. Sakorafas’ clinic is NRAS mutation and three variables including the
As far as size is concerned, a lesion smaller frequently accompanied by ultrasonography, he tissue inhibitor of metalloproteinase 1 expression,
than 1 cm with papillary carcinoma does not merit emphasizes that varying the size of needles de- benign from malignant thyroid tumors could be
a total thyroid lobectomy. Hurthle cell neoplasms pending on the vascularity and the blood supply, accurately distinguished in 91% including 67% for
are very uncommon, unless with a lesion smaller and that three to six aspirations per nodule, is the indeterminate and 77% FNA groups.
than 2 cm, but for lesions larger than 2 cm, approx- probably good practice. He also says that it is best Ferraz C, et al., in a special review in J Clin En-
imately half are malignant neoplasms. As for the le- if there is a highly qualified pathologist present to docrinol Metab (2011;96:2016–2026), attempted
sions that are 4 cm or larger, FNA is inaccurate for immediately read the specimen, which is not likely once again to arrive at somatic mutations to re-
the most part and therefore special considerations the practice in most of the United States. The ultra- duce the number of indeterminate fine-needle
exist, and, if one is suspicious enough, a diagnostic sound-guided FNA is recommended for nodules biopsies. Not different from most of the other
lobectomy is undertaken. It is better to undertake larger than 10 mm and only if suspicious clinical or publications, this review of 20 publications gave a
somewhat lesser procedure, where cancer is not ultrasound features are present in nodules that are a mean sensitivity of 63%, which is a little low but
clear, and protect the laryngeal nerve. smaller than 10 mm. The cystic nodules are differ- nothing terribly different.
With the central status FNA of the thyroid oc- ent. They have not been discussed elsewhere, but We are left with FNA biopsy in thyroid nod-
cupies, many of the articles to which I will refer they could represent simple cysts, colloid nodules, ules that generally need to be larger than 1 cm, are
critical to understanding what we undertake hemorrhagic adenomas, or even necrotic papillary but we are warned that for thyroid nodules larger and
what we do not undertake. Coorough N, carcinomas. The malignancy rate within cystic than 4 cm, FNA tends to be unreliable. On the et al. (
J Surg Res 2011:1–4, published online) ana- thyroid nodules is approximately 10%. other hand, it has been honed to a fine skill and
lyzed FNA data from 981 consecutive patients, In his experience, the results of FNA are cat- therefore should be repeated, although with a who
underwent thyroid FNA between 2002 and egorically benign in 70%, categorically malignant number of relative differences and the outcomes, 2009.
The early time period of 2002 to 2005 and in 5%, as identified by an experienced cytopathol- perhaps, we are biopsying too much, especially in the later
time period of 2006 to 2009 were di- ogist, suspicious or indeterminate in 10%, and the elderly and in the female.
vided. The data were compared. Not surprisingly, insufficient for diagnosis in 15%. The accuracy, J.E.F.

38 Total Thyroidectomy, Lymph Node
Dissection for Cancer
Thomas W.J. Lennard
ANATOMY
The normal thyroid gland is composed of
two symmetrical lobes lying on either side
of the trachea and joined by an isthmus at
the level of the second, third, and fourth tra-
cheal rings. The gland lies underneath the
strap muscles of the neck (the sternothyroid
and the sternohyoid muscles), each lobe on
either side of the larynx and trachea. The
gland is invested by pretracheal fascia,
which is responsible for its movement dur-
ing swallowing. In some patients, there is an
upward extension of the gland from the
isthmus called the pyramidal lobe and this
represents a developmental island of tissue
in the position of the thyroglossal duct. Ac-
cessory and separate islands of thyroid tis-
sue can be found in the superior mediasti-
num near the hyoid bone and beneath the
sternomastoid muscle. The thyroid gland
descends into the neck embryologically, fol-
lowing a proliferation of the cells at the
junction of the anterior third and posterior
two thirds of the tongue. The importance of
understanding this developmental pathway
is essential if a surgeon is trying to remove
the whole of the thyroid tissue and on occa-
sion division of the hyoid bone and tracing
the thyroglossal duct all the way toward
the base of the tongue may be required. In
addition, embryologically, the calcitonin-
producing cells join the thyroid gland hav-
ing migrated from the neural crest. Other
neural crest tissue forms part of the adrenal
glands and the parathyroid glands, and this
explains the combination of multiglandular
disease in the syndromes known as multi-
ple endocrine neoplasia type II.
The thyroid gland obtains its blood sup-
ply through the superior and the inferior
thyroid arteries. The superior thyroid artery
is the first branch from the anterior aspect
of the external carotid artery and it reaches
the gland as a single vessel, usually at the
upper pole of the thyroid. The inferior thy-
roid artery, by contrast, divides outside the
thyroid gland into four or five branches that
pierce the gland supplying the lower pole of
it. The recurrent laryngeal nerve lies usually
behind the inferior thyroid artery, but it can
on occasions lie in front of it or weave its
way between the branches of the artery.
There is a variable relationship between the
external branch of the superior laryngeal
Chapter 38: Total Thyroidectomy, Lymph Node Dissection for Cancer
nerve and the superior thyroid artery, the
most common variable being that the nerve
is some distance from the artery, but on oc-
casions it can again weave its way between
the branches of the artery and be very close
to the upper pole of the thyroid. Because
of the close relationship of these two nerves
to the blood supply of the thyroid, the tech-
nique of capsular dissection of the thyroid,
whereby the surgeon stays close to the cap-
sule of the thyroid, will ensure the greatest
protection for these important nerves. Very
rarely, there can be an inferior artery of the
thyroid (the thyroid ima artery), which en-
ters the lower part of the isthmus directly
from the brachiocephalic trunk or occa-
sionally from the arch of the aorta.
The venous return from the thyroid in
the upper pole follows the superior thyroid
artery, but for the middle part of the thyroid,
a separate, short and wide vein, usually sin-
gle but sometimes with several branches,
drains directly into the internal jugular vein.
During mobilization of the thyroid, this vein
or series of veins needs to be secured early
before traction is put on the lobe because
tearing can cause substantial hemorrhage
and make identification of other vital struc-
tures nearby extremely difficult. The third
group of veins, the inferior thyroid veins,
drains the lower poles of the thyroid form-
ing a plexus that runs down into the bra-
chiocephalic veins. Lymphatic drainage of
the thyroid follows the arteries, but there is
considerable crossover of lymphatic flow
between the neck compartments in the
presence of malignant disease.
The nerve supply to the thyroid gland is
predominantly from the sympathetic cervi-
cal ganglion, these fibres being vasocon-
strictor.
Close to the thyroid gland and intimately
associated with it and sharing its blood sup-
ply are the parathyroid glands. There are
typically four parathyroid glands—two on
each side—and in health both glands lie
within 1 cm radius of the inferior thyroid ar-
tery as they begin to break into its branches
to supply the thyroid. The gland situated su-
periorly is called parathyroid four because it
develops from the fourth pharyngeal pouch,
and that below the lower pole of the thyroid
is called parathyroid three, developing from
the third pharyngeal pouch. The anatomical
position of the parathyroid glands is some-
479
what variable and on occasions the glands
can be within the thyroid, attached to it or
lying along the thyrothymic tract. Preserva-
tion of these glands and their blood supply
during thyroidectomy is important and
parathyroid dysfunction following thyroi-
dectomy is the commonest complication of
thyroidectomy. Structures close to the thy-
roid gland, which become relevant during
nodal dissection include the trachea, the
esophagus, and the carotid sheath. The lat-
ter contains the common carotid artery, the
internal jugular vein, and the vagus nerve. A
surgeon operating on the thyroid gland for
malignancy will need a good understanding
of the lymph node territories of the neck (see
Fig. 1).
CLINICAL PRESENTATION
Thyroid cancer presents most commonly as
a painless lump within the thyroid gland.
Such swellings usually will be >1 cm in
size, if clinically palpable. As the tumor
growth progresses, compressive symptoms
may occur causing dysphagia or dyspnea,
and the patient may become aware of supr-
aclavicular swellings in the neck or swell-
ings in the posterior triangle of the neck
representing involved lymph nodes. Rarely,
thyroid cancer can present as disseminated
disease most typically with bone, lung, or
mediastinal tumor deposits. Differentiated
thyroid cancers (papillary and follicular)
are nonsecretory tumors, so there are few, if
any, systemic symptoms during tumor de-
velopment. On the other hand, medullary
thyroid cancer arising within the C cells se-
cretes calcitonin, and this can cause sys-
temic symptoms including blushing and
diarrhoea. Undifferentiated or anaplastic
thyroid cancer may present as a diffuse rap-
idly growing goiter, with early compressive
symptoms due to the infiltrative nature of
Endocrine Surgery
the disease. If the great vessels of the neck
are involved in this process, venous conges-
tion may be clinically evident in the region
of the face and the neck.
Increasingly, thyroid cancer is being di-
agnosed as a result of an incidental finding
as a consequence of a radiological investiga-
tion unrelated to the thyroid (the so-called
thyroid incidentaloma). This is further dis-
cussed elsewhere in this chapter. These tu-
mors are commonly <1 cm in size, although
480 Part IV: Endocrine Surgery
II
III
V then a radionuclide thyroid scan should be
IV
Fig. 1. Nodal levels and their numbered compartments in the neck (I–V).
on occasions patients may be harboring
large tumors, which they were unaware of
and which are picked up on cross-sectional
imaging for other reasons. With the advent
of genetic testing for multiple endocrine
neoplasia type II, patients are now present-
ing through a family member having been
diagnosed with the disease leading to pre-
disposition testing. Depending on the age
and specific mutation involved, some of
these patients may be diagnosed before
their medullary thyroid cancer is developed
and is at the stage of C cell hyperplasia.
However, when an index case is discovered,
inevitably some family members are found
who have the established disease and the
presentation is through the family history
rather than a presenting complaint for the
individual concerned.
I the voice, and the differentiation of a true
VI
VII
DIAGNOSIS
The patient presenting with a nodule,
thought to be arising within the thyroid, will
clearly need a careful history and examina-
tion before embarking upon diagnostic
tests. In the history, care should be taken to
evaluate whether the patient is hyperthy-
roid, hypothyroid, or euthyroid. In thyroid
cancer, the patient most commonly will
have neither over nor underactivity of the
thyroid. A careful family history should be
sought for diseases associated with the thy-
roid and the development of tumors in can-
didate organs namely adrenal disease and
parathyroid disease in family members. In
addition, a personal history of irradiation or
exposure to radiation, particularly under
the age of 16 should be checked. Familial
polyposis and Cowden’s syndrome should
be enquired about, the latter being an asso-
ciation between thyroid cancer, macroceph-
aly, and breast cancer. If the patient gives a
history of rapid growth of the thyroid swell-
ing and hoarseness of the voice or symptoms
suggestive of disseminated disease such as
bone pain, then suspicion of thyroid malig-
nancy is raised. Thyroid nodules occurring
in children are more likely to be malignant
than in adults and it should be remembered
that thyroid cancer presents most com-
monly in females around the age of 40.
Physical findings will include the swell-
ing in the neck, a careful search for associ-
ated lymphadenopathy, an assessment of
thyroid nodule, which moves on swallow-
ing from other nonthyroid swellings in the
neck. Baseline blood tests will include tests
of hemoglobin, renal function, and liver
function, and specifically for the thyroid,
thyroid function tests (including TSH, T4,
and T3 level) should be performed. A cal-
cium level should also be taken. If the TSH
level is low and below the normal range,
performed to see if the thyroid nodule is hy-
perfunctioning. If so, further pathological
evaluation is not required since hyperfunc-
tioning nodules are very rarely malignant.
However, if the patient has a hyperthyroid
state that is not concordant with a hyper-
functioning nodule on radionuclide scan-
ning then the nodule does require separate
evaluation by way of biopsy (see below).
A diagnostic thyroid ultrasound should
be performed in all patients with a thyroid
nodule with the aim of confirming that the
nodule is arising within the thyroid and as-
sessing its size. There are some ultrasound
features of thyroid nodules, which are more
suspicious of malignancy and in addition
the lymph nodes in the neck can be assessed
for evidence of metastatic involvement. The
ultrasound scan can also be used to take a
guided biopsy, and nodules that were not
palpable and known about may be seen on
the scan and can also be biopsied and as-
sessed. There is no clear evidence that sug-
gests that calcitonin should be measured in
every patient with a thyroid nodule and al-
though this is a very specific test for medul-
lary thyroid cancer, the measurement of
calcitonin as a screening tool is unproven
and currently not recommended.
Once a nodule is identified, then a fine-
needle aspiration (FNA) biopsy is required. In
large solitary nodules, this can be performed
in the clinic freehand without the use of ul-
trasound guidance; however, increasingly,
ultrasound guidance of biopsy is employed to

ensure the accurate assessment of the pal-
pable nodule. Difficulties can arise when
multiple nodules are detected by ultrasound,
and deciding which nodule to sample in this
setting can be challenging for the radiologist
and/or clinician. Ultrasound features, which
are suggestive of malignancy, include a hy-
poechoic nodule, increased vascularity, ir-
regular margins, the presence of microcalci-
fications, and hardness of the nodule
(elastography). Whilst no one feature is diag-
nostic, an experienced radiologist will often
be able to combine the above features into a
sensitive diagnostic probability. When thy-
roid abnormalities picked up by cross-sec-
tional imaging or ultrasound for other rea-
sons (the incidentaloma) are <1 cm in size,
routine FNA biopsy is not recommended un-
less there are features that are suggestive of
malignancy including the presence of lymph
nodes nearby, which are concerning. If pa-
tients are in a higher risk category (family
history, previous radiation) or if the thyroid
nodule was picked up through a positron
emission tomography (PET) scan, then there
will be a greater tendency to perform biopsy
on subcentimeter nodules than if this was
not the case. In experienced hands, either
guided or freehand FNA biopsy of thyroid
nodules has a good specificity and sensitivity.
However, if the cytopathologist does not have
enough cellular material to make a diagno-
sis, the FNA should be repeated and it should
be remembered that a small number of thy-
roid nodules (<10%), despite repeatedly re-
ported as benign or serial biopsies, will turn
out to be malignant when resected. Classifi-
cation of thyroid FNA biopsy specimens is
usually based on a scale of 1 to 5. Thy1 sug-
gests insufficient cells for a diagnosis, Thy 2 is
benign, Thy3 indeterminate, Thy4 suspicious
of malignancy with around a 95% specificity,
and Thy5 a clear case of a malignant diagno-
sis. Whilst FNA biopsy can accurately diag-
nose papillary thyroid cancer, medullary thy-
roid cancer and sometimes anaplastic
cancer, it will not differentiate nodules that
are due to follicular thyroid cancer or lym-
phoma. For the latter (lymphoma), a guided
core biopsy will often be sufficient and open
surgery is seldom required. For the former,
follicular neoplasms, diagnostic thyroid
lobectomy is the only way currently available
to confirm or refute the difference between a
benign follicular adenoma and a follicular
carcinoma of the thyroid.
The use of molecular markers and PET
scanning, whilst seeming promising, to help
in this conundrum is not accurate enough
at the present time to substitute for diag-
nostic thyroid lobectomy. Because of the
previously stated small number of thyroid
nodules, which appear benign on ultra-
Chapter 38: Total Thyroidectomy, Lymph Node Dissection for Cancer
sound and FNA biopsy but subsequently
turn out to be malignant, follow-up of pa-
tients with benign thyroid nodules is ad-
vised and repeat biopsy should be consid-
ered if the nodule grows in size, either
clinically or on ultrasound. There are no
clear guidelines for thresholds of nodule
growth or timescales for repeat assess-
ments but the American Thyroid Associa-
tion guidelines in 2009 suggest that a 20%
increase in nodule diameter should prompt
further biopsies. These biopsies should be
performed at between 6 and 18 months af-
ter the initial FNA biopsy. If a firm diagnosis
of thyroid cancer is made or there is a strong
suspicion of this (Thy4 and Thy5), then care-
ful ultrasound evaluation of the loco re-
gional lymph nodes should be performed.
Biopsy should be undertaken of any con-
cerning lymph nodes, which may clarify the
situation in a patient with Thy4 cytology
and will allow appropriate nodal surgery to
be planned at the first operation.
TREATMENT
The treatment of thyroid cancer and associ-
ated involved lymph nodes needs to be care-
fully thought through and discussed as part
of a multidisciplinary approach. It is a po-
tentially lethal disease and must be re-
spected as such. The treatment will often be
multimodal including surgery, radio iodine,
and TSH suppression with Thyroxine. Care-
ful plans for the postoperative management
and monitoring of the patient, including the
measurement of thyroglobulin levels, inter-
mittent scans, and clinical follow-up, will
all be needed. There are several published
guidelines regarding the treatment of thy-
roid cancer, including those published by
the American thyroid Association (2009),
the British Thyroid Association, and the
British Association of Endocrine and Thy-
roid Surgeons (2007), together with a re-
cently published evidence-based review of
surgery for thyroid cancer published in the
World Journal of Surgery (May 2007).
The obvious central strategy for the
treatment of the disease is the complete re-
moval of the primary tumor and, wherever
possible, any extensions out with the thy-
roid gland, together with the removal of the
relevant involved lymph nodes. Neverthe-
less, the execution of this relatively simple
sounding strategy becomes somewhat more
complicated as the individual variables for
each patient are considered. Comorbidities
in the patient, precise type of thyroid can-
cer, size of the primary involvement or oth-
erwise of the lymph nodes, particular sub-
type of tumor together with personal and
family history will all influence the final
481
choices and options available to the patient.
There is clear evidence that completeness of
surgical resection is an important factor in
securing a successful outcome, and recur-
rence within the neck remains the most
common site of recurrence. Nevertheless,
our understanding of the biology of thyroid
cancer, particularly in relation to small pri-
mary tumors and small deposits within the
lymph nodes, is incomplete. Overtreatment
can result in considerable morbidity with
no gain to the patient and undertreatment
clearly may compromise the final outcome.
As already mentioned in the section on
“Diagnosis,” accurate preoperative staging
of the disease by neck imaging is important.
However, preoperative ultrasound does not
identify all involved lymph nodes and is
somewhat operator dependent. Lymph
nodes in the neck are divided into anatomi-
cal compartments (see Fig. 1). The level 1
lymph node compartment is the submental
and submandibular node compartments
above the hyoid bone. Levels 2, 3, and 4
lymph nodes are aligned along the jugular
veins on each side between the posterior
border of the sterno cleido mastoid muscle
and the anterior level 6 compartment. The
level 5 nodes are in the posterior triangle
lateral to the sterno mastoid muscle and
the level 6 nodes are central, running from
the hyoid bone down to the suprasternal
notch. Superior mediastinal lymph nodes
above the level of the innominate artery
and in the upper mediastinum are referred
to as level 7 nodes. Removal of the thyroid
tumor in the neck and associated lymph
nodes may well be an appropriate treat-
ment even in the context of disseminated
disease, since once the primary and loco re-
gional nodes have been removed, metasta-
ses are more easily treated with radioactive
iodine in the absence of other tissue avid for
iodine. For goiters limited to the neck, ultra-
sound alone is the imaging modality of
choice in planning treatment, but in retros-
ternal goiters or those where medullary thy-
roid cancer is thought to be present, CT or
cross-sectional imaging of the mediastinum
is advised. If the preoperative investigations
have fallen short of a firm diagnosis of
Endocrine Surgery
established thyroid cancer, then a diagnos-
tic hemithyroidectomy is required on the
affected side. Wherever possible, surgeons
should try to remove all the thyroid tissues
on the affected side at the time of a diagnos-
tic lobectomy, so that further surgery is not
required in that compartment. Revisional
surgery to remove a remnant of thyroid tis-
sue following an incomplete lobectomy is
dangerous for the patient in terms of risks to
the recurrent laryngeal nerve and parathy-
roid gland, as well as challenging and
482 Part IV: Endocrine Surgery
difficult for the surgeon. If a patient has a
suspicious FNA biopsy and other features,
which make it likely that they have a thyroid
cancer in their history, or comorbidities
which would make a second operation dan-
gerous if the diagnostic lobectomy prove to
be malignant, then a discussion can take
place with the patient about the validity of
proceeding immediately to a total thyroi-
dectomy, even when the diagnosis falls
short of confirmed thyroid cancer. This may
be particularly relevant when the patient
has a multinodular goiter, which in its own
right, even if it is benign, might require total
thyroidectomy. Because of multifocality in
thyroid cancer of all types, if the primary
tumor is >1 cm in size, then total thyroi-
dectomy is the operation of choice. For
a small subcentimeter low-risk thyroid
cancer with no predisposing risks for fur-
ther disease (e.g., radiation or family history)
or evidence of disseminated disease (en-
larged lymph nodes on ultrasound), a uni-
lateral lobectomy may be sufficient. Never-
theless, the patient should be counselled
that although metastasis and multifocality
are unlikely with subcentimeter differenti-
ated thyroid cancers, follow-up by using
thyroglobulin measurements in patients
with residual thyroid tissue and imaging
the thyroid gland with radionuclide scans is
more difficult when a normal lobe or part of
a normal lobe has been left in situ.
Whilst the evidence base for dealing
with the primary thyroid tumors is rela-
tively robust, there is less certainty and
agreement about the optimal treatment for
the lymph node basin. Lymph node metas-
tases are present in a significant number of
patients who present with differentiated
papillary thyroid cancer; yet, the clinical
significance and effect of this on overall
survival is less clear. Accepting that, as
stated above, ultrasound does not detect all
involved lymph nodes and nor will palpa-
tion at surgery, a strategy is required to
achieve accurate staging of the patient’s
disease without unnecessary complications
or morbidity. If the lymph nodes are known
to be involved by preoperative ultrasound
and FNA, then a therapeutic central com-
partment dissection should be carried out
at the time of total thyroidectomy. In antici-
pation of the nodes being involved in the
absence of a preoperative staging confirma-
tory test, in large primary tumors (T3 or T4)
the same dissection should be performed.
In follicular thyroid cancer or small primary
thyroid cancers (T1 or T2), prophylactic
central neck dissection may be omitted. If
the lateral lymph node compartments (lev-
els 2 to 5) are proven to be involved preop-
eratively, then compartmental excision of
those nodes should be performed at the
same time as total thyroidectomy.
In any event, the surgeon should aim to
complete the operation without leaving any
macroscopic disease present in the neck. It
should never be assumed that radio iodine
treatment will compensate for inadequate
surgery and whilst accepting that it may
well have a significant role in destroying
microscopic foci of thyroid cancer, the sur-
geon’s duty is without question to remove
all bulky disease, preferably at the first op-
eration. Lymph node mapping techniques
(e.g., sentinel lymph node biopsy), success-
ful in the management of other primary tu-
mors such as the breast and melanoma,
have not proved accurate ways of directing
the surgeon to the relevant lymph node ba-
sin for resection in the neck, almost cer-
tainly due to the considerable crossover of
lymphatic channels between the anatomi-
cal compartments of the neck.
It can be seen, therefore, that the preop-
erative planning of the thyroidectomy and
lymph node dissection is vital so that the
surgeon can advise the patient about the
reasonable options available and a com-
bined agreement can be made regarding
the extent of primary surgical treatment to-
gether with lymph node resection. This may
include the need for preoperative vocal cord
checks. A combination of personal factors
relevant only to a particular patient, biopsy
results, blood tests, and scan information is
likely to be unique for each person with op-
erable thyroid cancer; hence the impor-
tance of a multidisciplinary approach to
this disease. Thyroid cancer by and large is
a slow-growing cancer. The exception is
anaplastic carcinoma of the thyroid, a con-
dition best treated by external beam radio-
therapy, surgery being reserved only for get-
ting control of the airway. There is, therefore,
enough time to make appropriate decisions
and carry out investigations without the
need to rush into an ill-judged and ill-
prepared operation.
SURGICAL TECHNIQUE
Differentiated thyroid carcinoma is an un-
common condition but its incidence is in-
creasing. Approximately 30,000 patients
will be diagnosed with this in the United
States each year, the vast majority will be
papillary thyroid cancers (60%) and 20%
will be follicular thyroid cancers. The re-
mainder will be medullary and anaplastic
carcinomas. As mentioned earlier, there is
variability in the progression rate of these
cancers, the differentiated tumors being
slow growing, but the anaplastic carcinoma
being a rapidly progressive disease with a
poor life expectancy. A risk-based strategy
to the operation has been outlined but it is
not based upon prospective randomized
controlled trials, rather on observational
studies and consensus meetings. Total thy-
roidectomy, whether with or without lymph
node dissection, is generally well tolerated
and in experienced hands can be performed
with minimal morbidity. Surgeons will need
to consider whether they want to have a
preoperative vocal cord check to establish
the integrity of the recurrent laryngeal
nerves before embarking upon the opera-
tion. Whilst a preoperative cord check will
not influence the care a surgeon takes dur-
ing the operation to protect the recurrent
laryngeal nerve, it can establish accurately
whether or not the nerves are compromised
before surgery and prevent any debates
about the role of the operative procedure
itself in causing cord palsy. In a patient with
a history of voice change and/or in cases or
revisional surgery, preoperative cord checks
are advised. Nerve-monitoring devices are
available for use but a large meta-analysis
of this technique has not demonstrated a
significantly reduced nerve palsy rate in pa-
tients, in whom nerve monitoring was car-
ried out versus those that were not (NICE
Guidelines 2008). It is an option, therefore,
for the surgeon to consider nerve monitor-
ing, but it should not be stated that nerve-
monitoring devices and their use imply a
more careful surgeon or will lead to a re-
duced risk of nerve palsy. The patient
should be placed in the supine position
with their arms alongside the trunk. Some
form of soft object should be placed be-
tween the scapulae behind the vertebral
column so that the shoulders can fall away
from the operative field thus exposing the
neck optimally. In addition, the neck should
be extended and the table tilted to 30 de-
grees from the horizontal. Before any
drapes or cleaning of the patient are under-
taken, the routine preoperative checks will
be made to confirm the site of the lesion to
be removed and the personal details of the
patient. Care must also be taken to ensure
that all anesthetic tubes and lines are se-
cured and cannot be loosened or leaned on
during the operation by the surgical team.
The skin of the neck and upper chest will be
prepared with cleansing solutions and ster-
ile towels draped around the operative
field. Meticulous attention to hemostasis
must be given from the very beginning. A
transverse skin incision placed midway be-
tween the thyroid cartilage and the sternal
notch and extending no further than the
medial border of the sternomastoid on ei-
ther side will give adequate exposure to
most goiters. The skin incision should be

placed in a skin crease if possible and is
deepened through the subcutaneous tis-
sues and the platysma muscle. Superior
and inferior flaps can then be raised by a
variety of surgical techniques, either with
the knife or electrocautery. Once the flaps
have been developed, a self-retaining re-
tractor is placed in the wound and the strap
muscles are separated in the midline from
the thyroid cartilage down to the sternal
notch. Occasionally, it will be necessary to
divide the strap muscles to gain access to
the thyroid gland, but more commonly they
can be easily retracted to allow adequate
exposure of the whole gland and lymph
node basin. The side of the neck, which in-
volves the thyroid primary tumor, should
be operated on first. If the thyroid tumor is
invading a strap muscle or adherent to
muscle, then a portion of that muscle can
be excised to ensure adequate margins
around the tumor. Retraction of the thyroid
lobe upwards into the wound and medially
is the first step of the operation and this
will allow the middle thyroid vein to be
seen. This vessel should be secured and di-
vided. Techniques to do this include the
placement of ties in continuity or small
metal clips. In addition, the use of hemo-
static devices such as the harmonic scalpel
(Johnson & Johnson) can be employed.
Once the lobe has been lifted upwards us-
ing pledget dissection, the hilum of the
gland can be identified and by sweeping
away the tissue in the region of the hilum of
the gland, the inferior thyroid artery can
usually be readily identified. This is an im-
portant landmark early in the operation as
it has a reasonably constant relationship
with the recurrent laryngeal nerve and the
parathyroid glands all of which need to be
preserved and protected. Within a 1- to
2-cm radius of the inferior thyroid artery
both parathyroid glands will normally be
found. In addition, the recurrent laryngeal
nerve will be running typically behind the
inferior thyroid artery from the root of the
neck laterally, up towards the insertion into
the cricothyroid membrane. The recurrent
laryngeal nerve is readily identified by the
presence of the vasa nervorum, which run
on the front of the nerve seen as a fine red
line. Early identification of the nerve should
be undertaken before any further major
structures are divided. Occasionally, the
nerve can divide low in the neck into one or
more branches and these branches can be
fine and difficult to identify close to the lar-
ynx, and therefore full tracing of the nerve
from the neck upwards is helpful. Very
rarely, there can be anomalous recurrent
laryngeal nerves, the so-called direct laryn-
geal nerve, which does not loop around the
Chapter 38: Total Thyroidectomy, Lymph Node Dissection for Cancer
subclavian artery on the right and comes
off as a direct branch from the vagus nerve.
The vascular pedicles to the thyroid gland
(the superior thyroid artery and vein and
the inferior thyroid artery and vein) can be
identified and cleaned up using a combina-
tion of pledget dissection and a mosquito
clip. Where the vessels branch to enter the
capsule of the gland they can be divided
either with a combination of liga clips and
ties or using the harmonic scalpel. The
order in which the vessels are taken will
depend somewhat on the anatomy of the
individual patient, but it is the author’s
practice to take the superior pole vessels
first allowing greater mobilization of the
lobe before securing the inferior thyroid ar-
tery and vein at a capsular level, and then,
last of all, the inferior thyroid veins. Care
must be taken not to injure the external
branch of the superior laryngeal nerve as
the upper pole vessels are taken. The thy-
roid gland can readily be grasped with a
Babcock type of tissue forceps, which does
not traumatize the gland or tear it. The last
bit of dissection of the lobe before it can be
freed off the front of the trachea involves
the division of the Berry ligament. Small
vessels run in this ligament and there is a
very close relationship between it and the
recurrent laryngeal nerve as the nerve ap-
proaches the cricothyroid membrane.
Failure to deal with this ligament ade-
quately leads to bleeding from those vessels
in it, which then retract onto the surface
of the nerve and can be troublesome to con-
trol. Great care is therefore required as
Berry’s ligament is dissected, not to tear or
damage the vessels within it. Its proximity
to the nerve will often preclude the use of
cautery or the placement of even mosquito
clips around it, so the use of fine liga clips
may be the only method of securing this
structure before it is divided. The gland can
then be freed from the surface of the tra-
chea using cautery and if a single lobectomy
is to be performed, the isthmus can be di-
vided and sutured or if the harmonic scal-
pel is used, no suturing will be needed. Fro-
zen section examination of Thy4 lesions is
carried out in some centers and in certain
circumstances can be helpful. It may be
possible for the pathologist to give a firm
diagnosis of papillary thyroid cancer dur-
ing the operation in an indeterminate le-
sion, but it is unlikely that a diagnosis of
follicular cancer will ever be achieved by
frozen section since careful examination of
the entire nodule capsule and blood vessels
is necessary to reach this diagnosis. The
time available perioperatively for this will
not permit this to be carried out adequately.
If a total thyroidectomy is performed the
483
surgeon will proceed to carry out a comple-
tion thyroidectomy on the remaining lobe.
If there is no tumor in this lobe, this may be
a more straightforward procedure, but if
the disease is multifocal then care must be
taken to remove entire thyroid and associ-
ated tumor deposits as with the first side. If
the integrity of the parathyroid glands is
questionable at the end of the total thyroi-
dectomy, then autografting of one or more
of these can be considered. To achieve this,
the normal parathyroid can either be sliced
into 1-mm slices and inserted into small
pockets in the sternomastoid muscle, or al-
ternatively it can be morselated, suspended
in lactate ringers or plasma, and injected
into the muscle.
LYMPH NODE DISSECTION
This will be appropriate in patients with
papillary thyroid cancer and medullary thy-
roid cancer. In follicular carcinoma, the tu-
mor rarely metastasizes to the regional
lymph nodes, spread being more commonly
hematogenous. As previously stated, if a de-
cision has been taken preoperatively to
carry out a level 6 lymph node dissection,
this will require removing all the lymph
node basin from the hyoid bone down to
the sternal notch in the craniocaudal plane
and medially to laterally all the lymphoid
tissue between the two carotid arteries.
Care will need to be taken to preserve the
recurrent laryngeal nerves during this dis-
section and also, wherever possible, the
parathyroid glands. An almost inevitable
consequence of increased numbers of level
6 dissections is going to be the uninten-
tioned loss of the inferior parathyroid
glands in a greater number of patients. If
any of the lateral compartments need re-
secting, then this should be planned preop-
eratively as a result of risk stratification on
the basis of tumor size, lymph node, and
FNA assessment. There is no need to resect
radically, so structures such as the sterno-
mastoid muscle and the jugular vein can be
left in situ. It may be necessary to extend
the collar incision in the neck if an exten-
sive lymph node dissection is planned, for
Endocrine Surgery
example, to level 5. In medullary thyroid
cancer, it may be necessary to do a thymec-
tomy and remove level 7 nodes, particularly
if the preoperative cross-sectional imaging
suggests that disease is there. In the course
of removing tissues low in the neck, how-
ever, care must be taken not to damage the
thoracic duct on the left and the right lym-
phatic duct. The thoracic duct on the left
arises from the thorax and extends above
the left clavicle before inserting into the
internal jugular vein at its junction with the
484 Part IV: Endocrine Surgery
subclavian vein. The duct is thin walled,
flat, and not easily seen and injury to this
structure is usually suspected because of
the presence of significant amounts of
white lymph in the operating field. If injury
does occur, the duct should be identified
and ligated since lymphatic fluid will other-
wise continue to drain in the postoperative
period. Before closing the neck, a careful
check must be made of all the primary vas-
cular pedicles that have been secured, to-
gether with a check on the viability of the
parathyroid glands and the integrity of the
recurrent laryngeal nerves. If nerve damage
has occurred, then primary repair should
be considered, as the results of this are opti-
mal if carried out at the time of injury. If the
operating surgeon does not have the neces-
sary skills to do this, then he should con-
sider calling in an experienced colleague.
Typically, 7 or 8-O interrupted nylon sutures
are used to approximate the ends of the cut
nerve or if a segment of the nerve has been
resected and the ends cannot be approxi-
mated, then some form of nerve graft may
be needed. If autotransplantation of the
parathyroids has been undertaken and
there is parathyroid malfunction, it will
take 6 to 8 weeks for the grafts to get their
blood supply and during this time the pa-
tient’s calcium will need to be supported
with oral supplements of calcium and/or
vitamin D. If there is a significant dead
space, then drainage may be needed, but it
is the practice of the author not to drain ap-
proximately 90% of total thyroidectomies.
Reapproximation of the strap muscles us-
ing continuous 3-O Vicryl and subcuticular
closure of the neck skin using 4-O absorb-
able sutures produces a good cosmetic re-
sult. It is the author’s practice to spray the
wound after final suturing with a clear
transparent wound dressing such as Opsite
Spray. No bandaging is placed over the neck
and this allows staff in the recovery unit
and in the ward in the early postoperative
period to see promptly if there is any neck
swelling. Before leaving the theater, pa-
tients who have undergone a total thyroi-
dectomy should have their thyroid replace-
ment therapy prescribed. If it is anticipated
that the patient will need postoperative ra-
dio iodine or imaging using radio iodine
isotopes, then T3 should be prescribed. This
of course will not be applicable to medul-
lary thyroid cancer in which radio iodine
has no role to play. These patients can there-
fore be started directly on the normal re-
placement dose of T4.
Patients make a rapid recovery follow-
ing total thyroidectomy and are typically
able to eat and drink on the day of surgery
and are self-caring. They can usually be dis-
charged to home on the first postoperative
day. Postoperative bleeding is uncommon,
but must be watched for and if it occurs, the
neck must be reopened immediately to per-
mit relief of laryngeal edema and tracheal
compression by blood clot. Cord palsy is
uncommon (<1% in most registries and
audits). If it is unilateral, the patient will
have a hoarse and less powerful voice; if it is
bilateral, there may be a need for an urgent
tracheostomy to secure the airway. Checks
must be made to detect hypoparathyroid-
ism. Early symptoms of this include tingling
around the mouth and in the toes and the
fingers. Muscle cramps can ensue if this is
not promptly treated and it is therefore a
routine practice to measure the calcium
level postoperatively for some period of
time within 12 hours of completion of the
operation. Predicting hypoparathyroidism
and preemptively treating it has occupied
many endocrine surgical units over the
years. A combination of an early drop in
parathyroid hormone level and an early
drop in calcium levels within 6 hours of sur-
gery predicts the need for calcium supple-
ments. Practice for monitoring hypopara-
thyroidism postoperatively varies around
the world; some units starting all patients
on supplements preemptively with the in-
tention of weaning them off in the early
postoperative period, other units monitor-
ing the levels of calcium and prescribing as
needed. In any event, it would appear that
approximately 30% of patients after total
thyroidectomy will develop transient hy-
pocalcemia and require at least calcium sup-
plements. In extreme cases where hypocalce-
mia is resistant, intravenous solutions may
be required to correct it and a check should
be made of the patient’s magnesium level,
since low magnesium levels can exacerbate
the effects of hypocalcemia, as can preopera-
tive vitamin D deficiency.
POSTOPERATIVE
MANAGEMENT
Once the surgical pathology specimen is
available, accurate staging of the patient by
TNM staging or a variety of other classifica-
tions can be achieved. The importance of
staging is to enable an accurate prognosis
for a given patient with differentiated thy-
roid cancer and to inform decisions regard-
ing postoperative adjuvant treatment in-
cluding radio iodine therapy. Whichever of
the staging systems is used, the vast majority
of patients will be found to have a low risk
of mortality with a need for less intensive
follow-up and treatment. Focusing adjuvant
treatments and closer scrutiny on those
patients at the highest risk of recurrence is
advised. Low-risk patients, by definition, will
have no local or distant metastasis, complete
resection of the tumor, and a more bland his-
tology. Intermediate risk patients will have
evidence of microscopic invasion of tumor
outside the thyroid, cervical lymph node me-
tastasis, aggressive histology, or evidence of
vascular invasion. High-risk patients are de-
fined as those having macroscopic tumor
invasion of local structures, incomplete tu-
mor resection, distant metastasis, and evi-
dence of high markers of persistent thyroid
tissue (thyroglobulin or calcitonin).
The use of radioactive iodine treatment
after total thyroidectomy for papillary or
follicular cancer is to eliminate any small
amount of thyroid tissue that has been left
in the neck, though this should be uncom-
mon if a total thyroidectomy has been per-
formed. Alternatively, small deposits of mi-
croscopic metastasis in lymph nodes will
also take up radio iodine and, especially in
the lateral compartment of the neck, can
facilitate destruction of all the thyroid tu-
mor. Radio iodine ablation, therefore, is
recommended for all patients with known
metastasis, gross extrathyroidal extension
of the tumor or a primary tumor size of >4
cm. In smaller thyroid cancers, if there are
proven lymph node metastases or other
high-risk features when the staging criteria
are assessed, then the selective use of radio
iodine ablation should be considered. Small
primary thyroid cancers <1 cm with no
risk features do not need radio iodine abla-
tion and in addition, when there are multi-
focal changes within the gland but all foci
<1 cm, radio iodine is also not needed. In
preparation for radio iodine ablation, pa-
tients should have adequate TSH stimula-
tion to ensure that any thyroid cells present
are iodine avid. This can be achieved either
by withdrawing thyroid hormone supple-
ments to induce a rise in endogenous TSH
or by giving recombinant human TSH. Thy-
roglobulin is a useful marker of persistent
or recurrent thyroid disease. However, the
presence of antithyroglobulin antibodies in
some patients makes this assay difficult to
interpret. Early after surgery, the thyroglob-
ulin level remains elevated for some weeks.
So it should not be relied upon in the initial
assessment of recurrent disease.
Follow up of patients following treatment
for differentiated thyroid cancer should be
lifelong. Patients with a high risk of recur-
rence should be monitored more closely be-
cause the early detection of recurrent dis-
ease may offer the opportunity to eradicate
that disease. In addition, it is recognized
that TSH suppression by the use of exoge-
nous thyroxine is important in minimizing
the risks of recurrence and regular checking
 Chapter 38: Total Thyroidectomy, Lymph Node Dissection for Cancer 485

of thyroid function tests in the postoperative
period to ensure a TSH of <1 ng/mL is im-
portant.
The investigation and management of
recurrent disease is beyond the scope of
this chapter, but it will include imaging in
the form of cervical ultrasound, PET scan-
ning, and biopsy of any suspicious nodules.
Wherever possible, further surgery to resect
recurrent disease is advisable, even in the
presence of metastasis, in order to optimize
the subsequent use of radioactive iodine to
treat those metastases.
SUGGESTED READINGS
American Thyroid Association Guidelines 2009.
British Thyroid Association & British Associa-
tion of Endocrine Surgeons Guidelines 2007.
Barbaro D, Boni G. Radio iodine ablation of post
surgical thyroid remnants after preparation
with recombinant human TSH, why, how and
when. Eur J Surg Oncol 2007;33:535–40.
Evidence based endocrine surgery: Thyroid can-
cer. World J Surg 2007;31(5).
Foreman E, Aspinall S, Bliss RD, Lennard TWJ. The
use of the harmonic scalpel in thyroidectomy
beyond the learning curve. Ann R Coll Surg Engl
2009;91(3):214–16.
Lim YC, Choi EC, Yoon YH, et al. Central lymph
node metastasis in unilateral papillary micro-
carcinoma. Br J Surg 2009;96:253–7.
Lundgren CI, Hall P,Dickman PW, Zedenius J. The
influence of surgical and post-operative treat-
ment on survival in differentiated thyroid can-
cer. Br J Surg 2007;94:571–7.
Machens A, Hauptmann S, Dralle H. Prediction
of lateral lymph node metastasis in medullary
thyroid cancer. Br J Surg 2008;95:586–91.
Maclen SA. Niccoli-Sire P. Hoegel J, et al. Early
malignant progression of hereditary medullary
thyroid cancer. N Engl J Med 2003;349:1517–25.
National Institute for Clinical Excellence (UK) report
on the use of nerve monitoring in thyroid surgery.

EDITOR’S COMMENT There is some interest in trying to be more (World J Surg 2007;31[suppl]:877–8). Forty-two selective
as to the role of central compartment papillary and three medullary cancers were
lymphadenectomy and whether one could select found in Group I and 75 papillary, two follicular,
It is interesting to remember that during my such patients who would benefit (Anand SM et al. and 17 medullary cancers were found in Group
resident days at the Massachusetts General Hos- Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2009;135:1199– II. Transient hypocalcemia was a more frequent
pital, Dr. Oliver Cope, the resident expert and 204). Sentinel lymph node biopsies in 98 patients problem with 16 patients with bilateral thymec-
well-known thyroid surgeon, talked about and who underwent total thyroidectomy and also un- tomy (Group I, 35.5%) versus 10 (Group II, 10.7%).
believed that differentiated thyroid cancer or derwent sentinel lymph node biopsy by means of They concluded that bilateral thymectomy was
papillary carcinoma of the thyroid was a different methylene blue dye, 1% was injected into the peri- more dangerous than worthwhile.
disease and really did not have to be treated ag- tumor. They then underwent central lymph node With the frequency of metastases now be-
gressively. At one point in his career, he espoused dissection. Fifteen out of 70 patients had metas- coming more widespread, or at least being recog-
psychotherapy for patients with thyroid carci- tasis-positive sentinel lymph node biopsies while nized to a greater extent, radioactive iodine ther-
noma. Lymph node dissection was forbidden— the remaining 55 did not. The take-home message apy is becoming more aggressive. An exhaustive
after all, some of these patients lived for 30 years is that if the sentinel lymph node was negative, approach is given in Best Practices and Research
and were treated with radioactive iodine. 100% of the central compartment nodes were ( J Clin Endocrinol Metab 2008;22:989–1007). Rein-
How the situation has changed! Lymph node negative when they were resected. The authors ers C et al followed up with an exhaustive review
dissection and total thyroidectomy are now be- state that when the sentinel lymph nodes are of the appropriate approach to radiation therapy.
ing routinely carried out for a disease, which was negative, no central lymph node dissection should At the same time, Barbaro D and Boni G (Eur J
thought not to be real cancer. There is a great deal be carried out. Patients can undergo radioactive Surg Oncol 2007;33:535–40) advocate the use of
of activity in the literature, which is complemen- iodine treatment, but dissection is not necessary. recombinative TSH in association with radiation
tary to this very fine chapter. Much of it is an on- A less optimistic viewpoint is expressed by ablation.
going discussion concerning the extent of lymph Koo BS et al. ( J Am Coll Surg 2010;210:895–900), The use of the harmonic scalpel is presented node
dissection, how aggressive it should be, and who analyzed records of 70 papillary thyroid by Prof. Lennard and his group in its use dur- what
we should do with the central lymph nodes carcinoma with total thyroidectomy and com- ing thyroidectomy (Ann R Coll Surg Engl 2009; under
different circumstances: when ipsilateral prehensive neck dissection (central lymph node 91:214–16). They find that after a learning curve, lymph
nodes are positive, when bilateral nodes metastases were present in 82.9%; 34.3% had bi- the use of the harmonic scalpel during thyroidec- are
positive, and deciding whether central lymph lateral and central neck involvement; and 48.6% tomy reduces operative time and postoperative node
dissections should be carried out. These had unilateral, ipsilateral central neck involve- hypocalcemia.
are questions that would not have been asked ment). Isolated contralateral central LN metas- Finally, there is considerable interest in
10 years ago and as time goes on, it appears that tases were not found without ipsilateral central medullary thyroid cancer. One group led by
differentiated thyroid cancer is not looked upon neck involvement. This group, I suspect, would Andreas Machens has tried to use abnormal
any longer as a nice, well-behaved cancer, but is a perform central neck dissection in many cases in carcinoembryonic antigen levels in 150 patients
cancer, which needs to be treated like any other. which others might not. with a diagnosis of medullary thyroid cancer.
Yet, there are variations in the treatment of Another somewhat gloomy prognosis was pre- Although the breakdown of the various levels is
cancer of the thyroid, and these were evaluated by sented by Lim YC et al. (Br J Surg 2009 96;253–7) in detailed, suffice it to say that CEA levels higher
Famakinwa OM et al. (Am J Surg 2010;199:189–98), which 27 of 86 patients with ipsilateral papillary than 30 ng/mL indicate central and ipsilateral
who compared the practices in a total of 52,964 thyroid microcarcinoma had metastatic central lymph node metastases, while CEA levels higher
patients with differentiated thyroid cancer and lymph nodes. Eighteen of these were ipsilateral than 100 ng/mL signify contralateral lymph
whether they were treated in accordance with and nine bilateral. I would suspect that this group node and distant metastases (Arch Surg 2007;
the American Thyroid Association guidelines for would also be much more aggressive in pursuing 142:289–93).
Endocrine Surgery

this disease. They found that 71% was treated central compartment node dissection. Khatib ZL Machens A et al. try to clarify the need for in
accordance with the recommendations for et al. (World J Surg 2010;34:1181–6) would extend lymph node dissection in patients with medul-
surgery: 15% underwent central lymphadenec- the dissection to partial thymectomy in associa- lary thyroid cancers (Ann Surg 2009;250:305–10).
tomy, 31% had radioactive iodine without lymph- tion with central lymph node dissection. Lymph They conclude that in the absence of clinical evi-
adenectomy, and 25% had radioactive iodine and node metastasis on the ipsilateral side of the pri- dence to the contrary, such patients with normal
lymphadenectomy. Patients older than 65, and mary tumor was present in 45 patients in whom bi- basal calcitonin levels may avoid lymph node dis-
especially African-Americans, were at the widest lateral thymectomy was carried out (Group I) and section.
deviation from the guidelines. unilateral thymectomy in 93 patients (Group II) J.E.F.
486 Part IV: Endocrine Surgery
39 Comprehensive Parathyroidectomy for the
Treatment of PHPT
Allan E. Siperstein and Mira Milas
INTRODUCTION
The modern era of parathyroid disease
management is characterized by three fun-
damentally new and important features.
First is the evolution of primary hyperpara-
thyroidism (PHPT) from a rare endocrine
disorder to the most common cause of hy-
percalcemia in the outpatient population,
with estimated prevalence of 1 in 500
women and 1 in 2,000 men. A second and
related feature is higher prevalence of as-
ymptomatic PHPT, where the clear bio-
chemical diagnosis of parathyroid disease
exists without noticeable symptoms or clin-
ically detectable consequences, such as
bone density loss or kidney stones. More
patients are being diagnosed in such an as-
ymptomatic phase of the disease because
calcium has become a routine component
of automated chemistry panels, thus lead-
ing to incidental detection of hypercalce-
mia. Conversely, more practitioners are also
recognizing the need to screen patients
with osteoporosis, osteopenia, and kidney
stones for underlying PHPT utilizing not
just calcium, but a panel that includes cal-
cium, intact parathyroid hormone (PTH),
and 25-hydroxyvitamin D levels.
In response to these evolving presenta-
tions of parathyroid disease, several multi-
disciplinary publications have offered
guidelines for the indications and timing of
parathyroid surgery. Despite these guide-
lines, patients with PHPT remain, as a
group, underreferred and undertreated sur-
gically. Surgical therapy remains the only
definite and durable treatment for PHPT.
What was once designated “conventional,”
“traditional,” or “bilateral” parathyroidec-
tomy, however, may not be the most suit-
able terminology for present-day and future
surgeons. The third important feature of
current surgical management of parathy-
roid disease is, therefore, that there has
been a clear paradigm shift toward focused
parathyroid surgery: the exploration of a
single site of suspected parathyroid gland
abnormality. Most parathyroid surgeons
have adapted this as the favored initial
approach to parathyroid surgery, guided by
radiologic studies and intraoperative PTH
measurement.
This chapter, however, is devoted to the
approach of a comprehensive parathyroi-
dectomy, a term we have designated to mean
examination of all parathyroid glands bilat-
erally with appropriate resection of diseased
glands. It is imperative to recognize that
“conventional” or “bilateral” parathyroid
procedures are not obsolete but in fact re-
main essential. Comprehensive parathyroi-
dectomy will remain integral to the surgical
treatment of PHPT and, for appropriate pa-
tients, is the ideal initial operation. Compre-
hensive parathyroid examination can be
performed in a minimally invasive way. This
approach requires a thorough understand-
ing of parathyroid gland anatomy and em-
bryology and of specific indications based
on clinical presentation, parathyroid imag-
ing, and intraoperative findings. In this chap-
ter, we review the key roles of comprehensive
parathyroidectomy as part of the spectrum
of available parathyroid operations.
ANATOMY AND
EMBRYOLOGY
There are typically four parathyroid glands
in most individuals. A large autopsy study
identified four parathyroid glands in 84% of
human cadavers, five or more glands in 13%,
and only three parathyroids in 3%. Supranu-
merary parathyroids are most often located
in the thymus. The possibility of having an
unusual number or location of parathyroid
glands has direct impact on the success of
parathyroid surgery and the potential need
for comprehensive parathyroidectomy.
A brief survey of the history of parathy-
roid surgery illustrates the importance of
applying the knowledge of parathyroid
anatomy and embryology during parathy-
roidectomy. Normal parathyroid glands are
approximately 5 to 6 mm in greatest dimen-
sion, weigh 15 to 35 mg, and can be incon-
spicuous with their orange-tan color em-
bedded or flattened within a surrounding
yellow fatty tissue envelope. Thus, they were
only first identified in a large mammal, the
Indian Rhinoceros. Following this discov-
ery by Sir Richard Owen during an autopsy
of the rhinoceros in the London Zoo in 1852
and publication as a minor comment about
parathyroids in 1862, it was Swedish medi-
cal student Ivar Viktor Sandstrom who first
identified parathyroids in man in 1875. In
the early 1900s, biochemical measurement
of calcium became possible and the associ-
ation between parathyroids and severe
bone disease was noted, although the origi-
nal misconception was that osteitis fibrosa
cystica caused parathyroid problems, rather
than the reverse. Felix Mandl performed
the first successful parathyroidectomy in
1925 in Vienna. Oliver Cope and his col-
leagues at the Massachusetts General Hos-
pital then contributed significantly to the
knowledge of parathyroid anatomical dis-
tribution and challenges of ectopic and me-
diastinal parathyroids. Exemplifying this is
the well-known case history of their pa-
tient, Captain Charles Martell, who under-
went his seventh parathyroid exploration
in 1932. From that time period until about
2003, bilateral, comprehensive parathyroid
exploration was the dominant surgical ap-
proach for the treatment of parathyroid
disease.
The key aspects of parathyroid anatomy
and embryology to adapt to comprehensive
parathyroidectomy are illustrated in Figs. 1
to 3. The appearance of parathyroids can be
variable even when they are biochemically
functioning normally. When diseased, para-
thyroid glands may display variable mor-
phological changes in size, shape, texture,
and firmness. Abnormal parathyroids are
generally fuller in all dimensions, have a
darker brown or reddish-brown color, and
do not compress easily or are significantly
firm when gently probed. They may have an
irregular and knobby shape, more promi-
nent vascular pedicles, or a plexus of vascu-
lature. Glands of patients with secondary
and tertiary hyperparathyroidism may be
sclerotic and light in color from this fibro-
sis. In cases of borderline abnormal appear-
ance, it is helpful to determine in vivo para-
thyroid weight prior to excision of the
parathyroid. This can be readily done by
measuring parathyroid length (L), width
(W), and height (H) using a small ruler or
micrometer device without removing the
gland. Since most glands are oval, calculat-
ing the volume of an ellipsoid using sizes in
millimeters estimates parathyroid gland
weight in milligrams (weight [mg] = L ×
W × H × ½) [mm3]). There is ongoing in-
terest and some controversy in defining
what truly constitutes an abnormal para-
thyroid, and whether this is a matter of
purely morphological form, biochemical
function, or a combination of both.
 Chapter 39: Comprehensive Parathyroidectomy for the Treatment of PHPT 487

Fig. 1. Parathyroid anatomy can be variable. Even normal parathyroid glands can assume irregular shapes
(A) that should not be mistaken for adenomas or hyperplasia. Asymmetry or variable degrees of parathyroid
enlargement furthermore exists even in multigland hyperplasia (B). The intraoperative photo illustrates
three variably abnormal parathyroids in morphology; all were histologically hypercellular. Despite the find-
ing of one significantly large parathyroid at first, there can be additional abnormalities in the remaining
parathyroid glands. Average parathyroid gland sizes vary by underlying pathology (C): 700 mg single for
adenomas, 150 mg for each hyperplastic gland in PHPT, and 1,000 mg for each gland in secondary HPT.

Embryologically, the upper parathyroids
develop from the fourth branchial pouch
and migrate caudally with the thyroid,
while the lower parathyroid glands derive
from the third branchial pouch and migrate
with the thymus. The upper parathyroid
glands have a narrow area of distribution
and are fairly reliably positioned in the per-
ithyroidal fat posterior to the superior pole
of the thyroid gland and near the path of the
recurrent laryngeal nerve as it enters the
cricothyroid muscle. In contrast, the lower
parathyroids are more widespread around
the lower pole of the thyroid gland, thyro-
thymic ligament, and pretracheal fat. Sym-
metry is usually present between parathy-
roid locations in the left and right sides of
the neck. Additional clues for parathyroid
location can come from observing the pat-
terns of vasculature in and around the ex-
pected parathyroid region. Both parathy-
roids typically derive some blood supply
from the inferior thyroid artery. In relation
to the path of the main trunk of this artery as
it nears the thyroid, upper parathyroids are
cranial and deeper, and lower parathyroids
are caudal, anterior, and medial. Unusually
curved or extra branching patterns of the ar-
tery may alert to abnormal parathyroids
found hanging at the ends of those branches,
sometimes several centimeters away from
the thyroid capsule. Within their fatty enve-
lope, a normal parathyroid will have a leaf-
like branching pattern of their vascular pedi-
cle. This is a helpful contrast to lymph nodes,
fat or thymic tissues that have no visible vas-
cular pattern, and abnormal parathyroids
whose vascular pedicle may be exaggerated.
Migratory distribution of the parathy-
roids can lead to ectopic locations within
the thymus, within the sheath encompass-
Endocrine Surgery

ing the carotid artery, jugular vein, and va-

gus nerve even in high cervical locations,
retroesophageally and even intrathyroi-
dally. Some, but not all of these, areas can
be accessed via the usual cervical incision
during comprehensive parathyroid explora-
tion. Recently, novel nomenclature was pro-
posed to further classify cervical parathyroid
adenomas into regions relevant for parathy-
roid exploration (see Suggested Readings).
Fig. 2. Normally expected distribution of upper and lower parathyroid glands (see Ritter and Milas in Ectopic parathyroid locations in the ante-
Suggested Readings for additional references). rior mediastinum, other deeper regions of
488 Part IV: Endocrine Surgery
Fig. 3. Distribution of ectopic parathyroid glands (see Ritter and Milas in Suggested Readings for addi-
tional references).
the mediastinum, and even pericardium re-
quire alternate surgical approaches often in
collaboration with thoracic surgeons.
CLINICAL PRESENTATION
PHPT is a disorder of excessive PTH secre-
tion, derived from single (70% to 90%) or
multiple (10% to 30%) benign parathyroid
tumors in the vast majority of patients and
only rarely (<1%) from parathyroid carci-
noma. Only 3% of patients with PHPT have
this in the context of multiple endocrine
neoplasia (MEN) syndromes.
The excess PTH secretion disbalances
multiple aspects of calcium homeostasis,
ultimately leading to hypercalcemia. A prin-
cipal action of PTH targets the kidney to re-
tain calcium and excrete phosphorus and
bicarbonate, thereby elevating serum cal-
cium and reducing serum phosphate levels
and pH, and causing hypercalciurea and
nephrocalcinosis. Chronically high PTH in-
creases osteoclast activity, particularly in
cancellous bones, thereby contributing to
bone density loss. The effects of PHPT are
especially apparent in the distal radius, thus
DXA scans measuring osteopenia and os-
teoporosis should include this region in ad-
dition to the usual lumbar spine, hip, and
femur sites. PTH also increases gastrointes-
tinal calcium absorption. It upregulates re-
nal hydroxylation of 25-hydroxyvitamin D,
and can thus lead to a serum profile of low
25-hydroxyvitamin D and elevated 1,25-di-
hydroxyvitamin D in some patients. It is in-
tuitive from these physiologic derangements
how the clinical presentation of PHPT can
include any or all of the following: kidney
stones; osteopenia, osteoporosis, and bone
fractures; diagnosis of vitamin D deficiency;
increased urination and thirst; and vague
abdominal aches and constipation. Less
clear is the underlying mechanism for the
spectrum of additional clinical findings in
patients with PHPT: neurocognitive changes
such as depression, poor mentation, inabil-
ity to focus, and insomnia; musculoskeletal
aches and weakness; profound fatigue; and
rare presentation of pancreatitis. Osteitis fi-
brosa cystica and Brown tumors are almost
historical clinical findings, rarely encoun-
tered in such severity at the present time. In
contrast, incidental diagnosis at an asymp-
tomatic stage of PHPT is becoming increas-
ingly prevalent, although many reveal subtle
symptoms on closer interrogation. The vast
majority of patients with PHPT are indeed
asymptomatic, most often with kidney
stones and bone density loss.
DIAGNOSIS
Traditionally, the diagnosis of PHPT has
rested on the demonstration of simultane-
ously elevated serum total and/or ionized
calcium with elevated intact PTH, in the
setting of normal or high calcium excre-
tion in the urine. With this combination of
findings, the diagnosis of PHPT is practi-
cally definitive. In part, this is because
modern measurements of PTH detect the
intact molecule, reflecting the entire pro-
tein derived from the parathyroid glands,
and essentially eliminating confounding
diagnoses from ectopic sources of PTH,
such as tumors producing PTH-related
peptide (PTHrp). The rare hereditary con-
dition of benign familial hypercalcemic
hypocalciurea (BFHH) is excluded by the
finding of normal or high levels of calcium
in a 24-hour urine collection.
Approximately 10% of patients will have
unusual biochemical presentations that do
not fit these classical diagnostic criteria,
but are nonetheless found to have PHPT.
There are at least two atypical versions of
the disease. Normocalcemic PHPT mani-
fests with normal total serum calcium but
high PTH and has been relatively well ap-
preciated; despite borderline laboratory
values, these patients suffer from kidney
stones, osteoporosis, and bone fractures.
The other form of PHPT has high calcium
levels but normal PTH. Diagnosis is some-
what easier if PTH values are “inappropri-
ately” high-normal for the degree of hyper-
calcemia (40 to 60 pg/mL on a scale where
60 pg/mL is maximal reference range), but
can be challenging when values are as low
as 15 pg/mL. This atypical version has not
been well characterized.
Table 1 provides a recommended diag-
nostic work-up for PHPT and strategies to
clarify the diagnosis in challenging scenar-
ios. It is advisable to obtain a baseline bone
density assessment with DXA scan, espe-
cially if this did not precede referral of the
patient to the surgeon. Urinary calcium ex-
cretion lower than 50 mg/dL should
prompt consideration of explanations that
include BFHH, renal disease, and use of
thiazide diuretics, among others.
Although there can be other non-endo-
crine causes of hypercalcemia coexisting
with PHPT, these are exceedingly rare. Sep-
arate investigation for these is not war-
ranted at the outset in a patient with
elevated calcium and intact PTH whose
medical history does not have pertinent
findings, such as hypercalcemia-associated
malignancies. Such investigation may be
helpful in atypical presentations. Obtain-
ing a thorough family history is important
 Chapter 39: Comprehensive Parathyroidectomy for the Treatment of PHPT 489

Table 1 Diagnostic Work-Up for Primary Hyperparathyroidism INDICATIONS FOR

SURGERY
In a patient found to have hypercalcemia or diagnosed with conditions that can be related to PHPT
(osteopenia, osteoporosis, kidney stones) A joint statement in 2005 by national pro-
fes sional associations of endocrine sur-
■ Careful history and physical examination, including symptoms, prior head and neck radiation
treatments, prior neck surgery, medications, prior endocrine disorders in the patient, and ge ons and endocrinologists stated that op-
patient’s family er ative management is clearly indicated for
■ Initial serum biochemical profile: serum total calcium, serum ionized calcium, intact PTH, al l patients with classic symptoms or com-
serum phosphate, 25-hydroxyvitamin D, 1,25-dihydroxyvitamin D. pl ications of PHPT. More challenging has
■ If this initial profile is compatible with PHPT, complete the diagnostic work-up with 24-h urine b een the perspective of decision making for
collection for measurements of urinary volume, creatinine, and calcium. tho se with apparently asymptomatic PHPT.
■ Diagnosis is confirmed when there is elevated serum total or ionized calcium, or both, in E xperts organized by the National Insti-
conjunction with elevated or high normal PTH, and elevated or normal 24-h urinary calcium. t utes of Health in 2002 proposed parathy-
■ Note that imaging studies (ultrasound, 99-Tc sestamibi scan, and 4D-computed tomography) r oidectomy for the following patients: (a)
are not intended for diagnostic purposes, but as localizing studies obtained following tho se <50 years of age, (b) who cannot par-
diagnosis and the decision to proceed with surgery
ticip ate in appropriate follow-up, (c) with a
In a patient with normocalcemic hyperparathyroidism ser um calcium level >1.0 mg/dL above the
■ Repeat several serum biochemical profiles. Look for elevation in ionized calcium. normal range, (d) with urinary calcium
■ Consider underlying vitamin D deficiency or other causes of secondary hyperparathyroidism >400 mg/24 h, (e) with a 30% decrease in
and treat appropriately. r enal function, or ( f) with systemic compli-
■ Consider calculating the patient’s personal upper limit of normal PTH by the formula PTH cations of PHPT including nephrocalcinosis,
[ULN pg/mL] = 120 — (6 × serum calcium mg/dL) — (½× 25-hydorxyvitamin D ng/mL) + o steoporosis (T-score lower than —2.5 SD at
(¼× patient’s age in years). The measurements of calcium, PTH, and vitamin D should be th e lumbar spine, hip, or wrist), or a severe
from the same blood draw. If the patient’s measured serum value of PTH is higher than this psychoneurologic disorder.
calculated ULN PTH, the diagnosis of PHPT would be more likely.
It is difficult to predict reliably the devel-
In a patient suspected to have other potential causes of hypercalcemia or an initial biochemical opm ent, timing, and progression of disease
profile that shows hypercalcemia with low normal intact PTH, consider screening for i patients with asymptomatic hyperpara-
in
■ Bony metastases, sarcoidosis, pulmonary tumors (chest radiograph). th yroidism. Long-term nonoperative man-
■ Multiple myeloma (serum protein electrophoresis). a gement can be costly. For these reasons,
■ PTH-related peptide-producing tumors (serum PTHrp). oth er experts have advised a more liberal
■ Check recent staging for cancer status if history of prior malignancy. appro ach to recommendations of parathy-
In a patient with possible multiple endocrine neoplasia (MEN) type 1 or 2 r oidectomy beyond the NIH criteria, pro-
■ Screen for serum or urinary metanephrines prior to parathyroid surgery. v ided that surgery can be performed safely
■ Complete investigation of endocrinopathies as appropriate for patient’s history. and with minimal risks for a disease that, in
■ Genetic testing to confirm that MEN1 or 2 is not required prior to parathyroidectomy. s ome patients, may be minimally problem-
ati c at the time of presentation. Thus, for
ex ample, parathyroidectomy may be appro-
priate to consider for patients with Os-
to discern possible MEN and, if suspected, ticularly related to osteoporosis and bone teopenia (T-scores —1 to —2.5 SD) and mild
appropriate additional evaluation can be fractures, and neurocognitive issues. A neurocognitive symptoms.
tailored. Routine genetic testing for MEN1 number of surgical techniques have evolved The indications for comprehensive para-
(where 90% manifest parathyroid disease) over the last decade. These include focal thyroidectomy as the initial surgery for
and MEN2 (where parathyroid disease and unilateral exploration guided by intra- PHPT, once a patient has met the criteria
affects, 5% patients) is unwarranted as operative PTH measurement, radioguided indicated above, are listed in Table 2. The
part of initial diagnostic work-up for parathyroid surgery, and videoscopic and guiding principle of comprehensive para-
PHPT. robotically assisted parathyroidectomy. thyroid exploration is that some patients
They all aim to achieve the above goals. have significantly higher risk for multigland
Some patients with PHPT may not be parathyroid disease, such that successfully
TREATMENT suitable candidates for surgery or have achieving the operative goal of normocalce-
other reasons to forego parathyroidectomy. mia is contingent on the evaluation of all
The operative goals for the treatment of Percutaneous ethanol ablation, bisphos- parathyroid glands in their usual anatomi-
Endocrine Surgery

proven PHPT are the following:
1. Achieve a normocalcemic state and nor-
mal long-term PTH.
2. Avoid injury to the laryngeal nerves.
3. Engender minimal postoperative mor-
bidity and negligible mortality.
4. Achieve cosmetic scar appearance ac-
ceptable to the patient.
Surgery remains the most clearly dem-
onstrated mechanism for durable cure of
PHPT and symptomatic improvement, par-
phonates, and calcimimetic agents have
been described as nonoperative treatment
options. These medications reduce calcium
and PTH levels while administered, but
their long-term impact on improving sys-
temic consequences of hyperparathyroid-
ism is unclear. Frequent monitoring of
changes in laboratory values, recommenda-
tions to avoid dehydration and excess cal-
cium intake, and periodic reassessment for
surgery are important components of non-
operative management.
cal locations, and the appropriate resection
of those that appear abnormal.
PREOPERATIVE
PLANNING: PARATHYROID
LOCALIZATION STUDIES
The thoughtful, step-wise assessment of the
patient to reach a diagnosis of PHPT and
identify the need for surgery is the most im-
portant part of preoperative planning. The
490 Part IV: Endocrine Surgery

Table 2 Indications for Compre-
hensive Parathyroidec-
tomy as the Initial Surgery
for PHPT: the Systematic
Examination of all Para-
thyroid Glands in their
Usual Anatomic Location
and Appropriate Resection
of Diseased Parathyroids
Absolute indications
Known or suspected multiple endocrine
neoplasia syndromes
Intraoperative PTH fails to drop after
resection of suspected single adenoma
Failure to find diseased gland at location
indicated by imaging studies
Finding more than one abnormal parathyroid
during intended focal or unilateral neck
exploration
Negative imaging studies
Imaging studies suggesting multiple sites of
disease
Coexisting thyroid cancer or bilateral goiter
requiring total thyroidectomy
Advisable indications
Discordant parathyroid imaging studies
Unavailability of intraoperative PTH
measurement
Inability to obtain preoperative imaging
Lithium-induced PHPT
Non-MEN familial hyperparathyroidism
Coexisting thyroid pathology that may
require operative intervention
Surgeon preference or experience
ar e localization techniques used for reopera-
tit ve rather than initial preoperative evalua-
t . Neck ultrasound, and particularly sur-
tion
ge on-performed ultrasound, provides the
a dded advantage of identifying concomitant
tht yroid disease that may need to be ad-
dr essed during parathyroid surgery. Thyroid
no dular disease is seen in as many as 30% of
p atients, while 4% will have previously undi-
a gnosed thyroid cancer detected during
evaluation for PHPT.
It is valid to consider whether patients
se ected for comprehensive parathyroid ex-
lploration require any preoperative imaging.
IIn principle, this imaging is not essential be-
cause the risk of mediastinal or cervical ecto-
pic parathyroid disease is rare. It is justifiable
t to conduct comprehensive parathyroidec-
t y without imaging studies, and this strat-
tom
eg y has a decades-long successful track re-
cor d. Conversely, if no preoperative imaging
s tudies are available or if they are entirely
n egative, comprehensive rather than focal
p arathyroid exploration is advisable. Preop-
er ative imaging is valuable, nevertheless,
wi th comprehensive parathyroidectomy as it
can facilitate the conduct and speed of the
op eration by focusing early dissection on the
r
region of greatest suspected abnormality.
SURGICAL TECHNIQUE
Co mprehensive parathyroidectomy can be
ac complished with minimal invasiveness
and morbidity, gentle dissection, and the
use of few delicate instruments (Fig. 4).
Most surgeons currently perform parathy-
roid surgery with general anesthesia, and
some use local anesthetics supplemented
by deep cervical nerve block and sedation.
No antibiotics are needed except in reoper-
ative cases. Prophylaxis for deep vein
thrombosis is left to the judgment of the
surgeon and tailored to patient need, but in
general, sequential compression stockings
have the least of risk of neck hematoma
while providing DVT prophylaxis.
Comprehensive parathyroid exploration
can also be performed without the use of
intraoperative adjuncts, although these
may be helpful depending on the complex-
ity of surgical findings, assessment of use-
fulness by the individual surgeon, or experi-
ence of the surgeon. Numerous intraop
erative adjuncts have been described. Most
notably, intraoperative PTH measurement
has become a fundamental part of modern
parathyroid surgical practice. It is used to
confirm complete excision of hyperfunc-
tioning glands and is discussed in detail in
the subsequent chapter. Intraoperative
PTH, however, is least accurate in predict-
ing multigland parathyroid hyperplasia.
Other adjuncts include frozen section his-
tology and needle aspiration of excised tis-
sue for measurement of PTH as means of
distinguishing parathyroid from non-para-
thyroid tissue. It is useful to recall that nei-
ther frozen section examination nor per-
manent histology can distinguish between
single adenomas, hyperplasia, or various
underlying parathyroid disease states

remaining efforts are directed to determin-

ing that a patient is medically fit to undergo
parathyroidectomy safely and to localizing
the site of parathyroid disease.
There is a spectrum of radiologic imaging
studies available for localization of abnormal
parathyroid glands. The most frequently
used modalities are neck ultrasound, 99-Tc
sestamibi scans and computed tomography
(CT) scans, or combinations of these. Normal
parathyroids are not expected to be imaged,
except perhaps with 4D CT scans. 99-Tc ses-
tamibi scans are conducted variably among
radiology departments, and techniques in-
clude two-dimensional planar scans with
initial and delayed imaging, 3D SPECT imag-
ing, use of concomitant CT scanning with or
without intravenous contrast dye, and use of
123-I to subtract the contribution of thyroid
uptake of 99-Tc sestamibi. Surgeons may find
it valuable to be familiar with the technique
used by their radiologists and review images
collaboratively, as reported accuracies of the
various modalities range from 50% to 96%.
Magnetic resonance imaging, selective ve-

nous sampling, and occasionally PET scans Fig. 4. Instrumentation useful for comprehensive parathyroidectomy.

(primary, secondary, or familial hyperpara-
thyroidism). Intraoperative gamma probe
has been applied to in vivo localization of
abnormal parathyroids and ex vivo mea-
surement of radiotracer counts as markers
of normal versus abnormal parathyroids.
Intraoperative ultrasound has been sug-
gested to facilitate incision placement.
There is extensive literature on the clinical
efficacy of these adjuncts. Their ultimate
application remains surgeon dependent
and some are more essential for focal rather
than comprehensive parathyroidectomy.
Once anesthetized, the patient is posi-
tioned with arms tucked at the side and
head gently hyperextended, facilitated by
placement of a roll or bean bag between the
scapulae. Care to have vertical alignment of
the patient’s chin, suprasternal notch, and
center of the thyroid cartilage aids a sym-
metric incision. Likewise, to optimize cos-
metic results, it is helpful to mark potential
incision sites while the patient is awake and
sitting upright, as this best reveals natural
skin creases, which can move or become
less visible in supine position. The authors
prefer chlorhexidine for sterile prep be-
cause it is nonflammable and avoids poten-
tial irritation and staining of the face and
neck.
A transversely oriented incision is made
according to the optimal site marked. In
most patients, this is 1.5 to 2 fingerbreadths
above the suprasternal notch. The length of
the incision varies with surgeon preference,
and usually does not need to be longer than
4 to 6 cm. Comprehensive parathyroid ex-
ploration can be performed via incisions as
small as 2.5 cm positioned in the midline at
the thyroid isthmus. The incision is carried
down by electrocautery through the plat-
ysma muscle that is about 2 to 3 mm thick
(more visible in men) and relatively free of
blood vessels. Deep to the platysma is an
avascular plane just above the anterior jug-
ular veins that can be developed to aid ex-
posure, using a combination of electrocau-
tery and blunt dissection. This subplatysmal
plane is developed until the thyroid carti-
lage is palpable superiorly and the sternal
notch inferiorly, but can be dissected less in
thin patients. Mobilizing these flaps offers
optimal exposure through small incisions by
increasing the ease of retraction. Anterior
jugular veins are preserved as a potential
source of blood sampling for intraoperative
PTH.
Once the subplatysmal flaps are created,
a self-retaining retractor is placed. The
avascular midline raphe of the strap mus-
cles is opened vertically along the midline
to separate the muscles and expose the thy-
roid. Occasionally, small vessels can cross
Chapter 39: Comprehensive Parathyroidectomy for the Treatment of PHPT
this midline and require ligation, although
electrocautery is sufficient for dividing
most of these tiny branches. The sternothy-
roid muscle is bluntly separated from the
undersurface of the sternohyoid muscle for
a short distance, again to aid mobility in
lateral retraction. The loose areolar tissue
between the sternothyroid muscle and thy-
roid is taken down with cautery at low set-
tings or blunt dissection. It is important to
separate these tissues or any pretracheal fat
at the very edge of the sternothyroid mus-
cle, to avoid unintentionally displacing
parathyroid tissue laterally. Traction is ex-
erted on the thyroid lobe by using a peanut
or manually with 4 × 4 sponges, in order to
elevate and medially rotate the lobe. This
exposes the lateral and posterior thyroid
surface, and brings the middle thyroid vein
into view. This vein is always above the
plane of the carotid artery, which should
now be visible or palpable. The vein courses
in a medial to lateral direction, similar and
often parallel to the inferior thyroid artery,
which in contrast, is always situated deep
to the carotid artery. The middle thyroid
vein can be isolated, ligated, and divided to
facilitate exposure.
Comprehensive parathyroid exploration
begins by identifying the abnormal para-
thyroid gland in the area suggested by pre-
operative imaging. Very fine instruments
are used for these maneuvers and the im-
portance of maintaining a bloodless field
cannot be overemphasized. Blood staining
discolors the adjacent tissue and can make
parathyroids less noticeable. If parathyroid
imaging is negative, the area of the lower
parathyroid is exposed first because it is
more accessible. Exposure of the upper
parathyroid area requires an even greater
degree of medial rotation of the thyroid
lobe. The strategy is to identify fatty-appear-
ing tissue along the edges of the thyroid or
adjacent to the space where branches of the
inferior and superior thyroid artery enter
the thyroid gland. Purposeful observation
of the operative field is more effective than
blind dissection. Care should be taken to
stay close to the thyroid to avoid injury to
the recurrent laryngeal nerve. The nerve
does not have to be exposed or skeletonized
as part of comprehensive parathyroidec-
tomy. Its presence in the vicinity and orien-
tation relative to enlarged parathyroids
should always be considered, and its path
revealed just enough, if necessary, to ensure
its safety during subsequent dissection.
When an area of likely parathyroid ab-
normality is seen, careful blunt dissection is
done using a fine curved hemostat to sepa-
rate the overlying fatty tissue looking for
subtle color changes (darker orange to
491
brown) of the parathyroid. A normal para-
thyroid will appear flattened and have a
leaf-like vascular pattern absent in simple
fat or thymus. It can be gently coaxed out of
the areolar or fatty covering to determine its
entire size and that it does not hide an en-
larged segment (a “cap of normal” disguis-
ing an underlying parathyroid tumor). An
abnormal or enlarged parathyroid will often
appear as a mass bulging below thicker tis-
sue, or have a sliding motion back and forth
beneath a film of thin areolar cover. The ab-
normal parathyroid should also be sepa-
rated from the encasing thin areolar tissue
so that its only attachment is the vascular
pedicle. This can sometimes be facilitated
by using a #3 Penfield instrument, whose
curvature can gently scoop out a parathy-
roid. Ideally, the dissection should free the
enlarged parathyroid along its lateral and
posterior aspects first, leaving the medially
located pedicle along the thyroid last.
We have designated the search for para-
thyroid glands along the usual anatomical
distribution of upper and lower parathy-
roids as the “primary parathyroid survey.”
It takes into consideration exploring all
the regions shown in Fig. 2, until the remain-
ing three parathyroids have been identified.
It is useful to develop a systematic order of
exploration and practice it routinely. A con-
venient strategy is to target exposure of the
most abnormal parathyroid first, then the
ipsilateral parathyroid, and finally explore
the contralateral side. When all parathyroids
have been indentified, assessment about the
disease process (single adenoma, double ad-
enoma, or hyperplasia) can be made and a
decision about which parathyroids to re-
move and in what order can be determined.
Treatment of single adenomas is simple
excision of the abnormal gland. Multigland
hyperplasia is ideally treated with subtotal
parathyroidectomy and parathyroid cryo-
preservation. If only two or three of the four
glands are abnormal, the abnormal para-
thyroids are excised while the normal para-
thyroids can be left in situ without resec-
tion, marking their location with a clip. If all
four glands are abnormal, the remnant
should be fashioned first, resecting all but a
Endocrine Surgery
segment measuring approximately 6 × 4
mm or the size of a normal parathyroid
(around 25 mg). This segment remains at-
tached to the vascular pedicle and is marked
with a clip across the transected surface.
Parathyroids with discrete or long vascular
pedicles and those with oval rather than
globular or knobby shape are easier to fash-
ion into remnants. Inferior parathyroids are
more suitable to use as remnants because
they are easier to approach in event of fu-
ture reoperation.
492 Part IV: Endocrine Surgery
Fig. 5. Secondary parathyroid survey examines areas of atypical or ectopic parathyroid location when
initial exploration fails to reveal all pathologic glands.
A “secondary parathyroid survey” refers
to exploration of cervical regions when
parathyroid position is more unusual or ec-
topic, and when the above primary survey
has not led to conclusive findings. Impor-
tant areas to examine are summarized in
Fig. 5. The most commonly missed location
is a retroesophageal parathyroid that has
sunken into the deep posterior space be-
hind the tracheoesophageal groove, often
lying on the anterior surface of the spine
and below the main trunk of the inferior
thyroid artery. This parathyroid is embryo-
logically derived from the upper gland, al-
though it often appears to have a position
more inferior than the actual lower gland,
both intraoperatively and on imaging stud-
ies (Fig. 6). The secondary survey should
not be performed just to locate a normal
parathyroid, but a missing pathologic
gland. The thymus should be retracted out
of the mediastinum as far as possible with-
out avulsion, carefully examined, palpated,
and removed. The middle thyroid vein
should be ligated and divided, if not already
done, as this provides greater exposure of
the trachea and esophagus. Mobilizing the
upper thyroid pole as during thyroidectomy
can occasionally disclose ectopic parathy-
roids without devascularizing the thyroid
gland. Thyroid lobectomy on the side of the
missing abnormal parathyroid may be jus-
tifiable even when no palpable abnormali-
ties exist, but this circumstance can poten-
tially be avoided if preoperative ultrasound
describes a normal thyroid without nod-
ules. Examination of the path along the ca-
rotid artery and jugular vein can be per-
formed as widely as the incision allows. The
skin incision can be enlarged to permit ad-
equate exposure of any of these regions.
Parathyroid gland location is generally
symmetrical and can aid in contralateral
neck exploration. A parathyroid located at
the posterior midpoint of the thyroid lobe
could represent either a lower gland that
sits higher than usual, or an upper gland
that is more inferior than usual. Finding the
other ipsilateral gland should take into ac-
count both possibilities. Double parathy-
roid adenomas, reported in 3% to 15% of
patients, have a nonuniform distribution
that favors enlargement of both upper para-
thyroids (Fig. 7).
After exploration and resection are com-
pleted, the neck is irrigated with sterile wa-
ter, which provides a clearer view of the
surgical field than saline. Hemostasis is
achieved. Each gland or remnant should be
reevaluated for viability. Some mild bruis-
ing and discoloration of the parathyroids is
acceptable. If parathyroid tissue has be-
come completely black from ischemia or
has questionable viability, it can be reim-
planted into the ipsilateral sternocleido-
mastoid muscle. The strap muscles and
platysma are reapproximated with absorb-
able suture, and the skin incision is closed.
Drains are seldom, if ever, necessary. Our
preferred technique uses a 3-0 prolene sub-
cuticular stitch with long tails left in place
until surgical glue is applied and dried.
Once the patient is extubated, the prolene
is easily pulled out, leaving a cosmetic clo-
sure.
POSTOPERATIVE
MANAGEMENT
Short-term postoperative management
varies according to surgeon preference. Fol-
lowing parathyroidectomy, most surgeons
elect to observe their patients for 23 hours,
but many use outpatient care. Long-term
management relies on diligent monitoring
of calcium and PTH levels to observe dura-
ble cure of hyperparathyroidism. Ideally, a
full biochemical panel that includes cal-
cium, PTH, and vitamin D should be
checked at 2 weeks after surgery during the
first postoperative visit, then at 6 months,
and then annually for the remainder of the
patient’s lifetime. The impact of vitamin D
deficiency in causing transient secondary
hyperparathyroidism postoperatively in an
otherwise cured patient is well recognized.
This can be seen in up to 20% to 30% of
 Chapter 39: Comprehensive Parathyroidectomy for the Treatment of PHPT 493

Endocrine Surgery

Fig. 6. Preoperative imaging (A) shows a large inferior midline sig-

nal abnormality on the gray-scale 99-Tc sestamibi image. It is more
precisely seen on the color SPECT views to be very posterior in the
tracheoesophageal groove, thus actually representing a right upper
parathyroid. A normal right lower parathyroid is at the tip of the
instrument in panel B. The vascular pedicle of the right upper para-
D
thyroid adenoma is looped in panel C, and the excised specimen
oriented in vivo in panel D.
494 Part IV: Endocrine Surgery

total excision of multigland hyperplasia. A

parathyroid remnant crafted on its native
vascular pedicle is usually less prone to
cause hypocalcemia than total parathyroi-
dectomy with remnant implantation into
muscles of the neck or nondominant
forearm. An additional safeguard against
permanent hypocalcemia can come from
cryopreservation of small parathyroid frag-
ments (each 2 to 3 mm in size), which can
later be autotransplanted into the patient’s
forearm (Fig. 8). In the absence of this capa-
bility, the surgeon should use judgment
about the extent of resection in multigland
A B hyperplasia and can consider leaving a
Fig. 7. A: Double parathyroid adenomas have nonuniform distribution that favors enlargement of both remnant larger than 25 mg. The need to re-
upper glands. B: Only a minority (18%) will have ipsilateral location. implant cryopreserved parathyroid tissue

patients in the first year after surgery and

requires reassurance (of both patient and
referring physicians), treatment, and moni-
toring. It is important to ensure that the
patient receives adequate calcium and vita-
min D supplementation after surgery. Mini-
mal daily calcium carbonate or citrate sup-
plementation is 500 to 600 mg taken two to
three times daily. Depending on the degree
of vitamin D deficiency, some patients may
require over-the-counter supplements of
800 to 2,000 IU daily of vitamin D3 cholecal-
ciferol, while others need a prescription-
level strength such as 50,000 IU ergocalciferol
weekly ( for 25-hydroxyvitamin D<20 ng/
mL) and very rarely 0.25 or 0.5 mcg daily of
A
calcitriol ( for 1,25-dihydroxyvitamin D defi-
ciency or significant hypocalcemic symp-
toms). These patients should be reevaluated
with blood tests at 3 months after surgery
to determine need for ongoing vitamin D
supplementation. Durable cure after com-
prehensive parathyroidectomy means 95%
to 98% success rate, with 2% to 5% of pa-
tients at risk to develop recurrent hyper-
parathyroidism.

COMPLICATIONS
Infections occur exceptionally rarely. Neck
hematomas requiring operative evacuation
and permanent hoarseness from recurrent
laryngeal nerve injury should likewise be
minimal (0.5% to 1%). There must be deli-
cate tissue handling to avoid damage to
normal parathyroids or disruption of ab-
normal glands. The actual tissue of these
structures should never be grasped itself;
rather, forceps and instruments should
handle the surrounding fatty tissue, filmy Fig. 8. A: Subtotal or near-total parathyroidectomy with parathyroid cryopreservation. B: The small
adventitia, or vessels. Hypocalcemia be- parathyroid fragments are drawn up into the syringe as a convenient way of transportation in sterile
comes a greater risk with subtotal or near- fashion to the cryopreservation facility.
 Chapter 39: Comprehensive Parathyroidectomy for the Treatment of PHPT 495

usually becomes evident within 6 months
of surgery if the cervical remnants become
nonfunctional.
The potential for missed ectopic or su-
pranumerary parathyroids and persistent
or recurrent hyperparathyroidism should
be discussed with patients prior to sur-
gery to properly inform expectations of
surgery.
SUGGESTED READINGS
1. AACE/AAES Task Force on PHPT. Position
statement on the diagnosis and management
of PHPT. Endocr Pract 2005;11:49–54.
2. Greene A, Mitchell J, Davis R, et al. National
trends in parathyroid surgery from 1997–2007:
a decade of change. J Am Coll Surg 2009;209:
332–43.
3. Mazzaglia PJ, Berber E, Kovach A, et al.
The changing presentation of hyperpara-
thyroidism over three decades. Arch Surg
2008;143:260–6.
4. Moalem J, Guerrero M, Kebebew E. Bilat-
eral neck exploration in PHPT – when is it se-
lected and how is it performed? World J Surg
2009;33:2282–91.
5. Pasieka JL, Parsons LL, Demeure MJ, et al.
Patient-based surgical outcome tool demon-
strating alleviation of symptoms following
parathyroidectomy in patients with PHPT.
World J Surg 2002;26(8):942–9.
6. Perrier ND, Edeiken B, Nunez R, et al. A novel
nomenclature to classify parathyroid ade-
nomas. World J Surg 2009;33(3):412–6.
7. Phitayakorn R, McHenry CR. Parathyroidec-
tomy: overview of the anatomic basis and
surgical strategies for parathyroid operations.
Clin Rev Bone Miner Metab 2007;5:89–102.
8. Ritter H, Milas M. Parathyroidectomy: bilater-
al neck exploration. In: Terris D, ed. Operative
Techniques in Otolaryngology. St. Louis, MO:
Elsevier; 2009.
9. Siperstein A, Berber E, Barbosa G, et al. Pre-
dicting success of limited exploration for 1°
hyperparathyroidism using ultrasound, ses-
tamibi scan, and intraoperative PTH: analysis
of 1,055 cases. Ann Surg 2008;248(3):420–8.
10. Yip L, Ogilvie JB, Challinor SM, et al. Identifi-
cation of multiple endocrine neoplasia type 1
in patients with apparent sporadic PHPT. Sur-
gery 2008;144(6):1002–6; discussion 1006–7.

EDITOR’S COMMENT and 100%. This is not a merely hypothetical fig- tional parathyroid exploration has become some- ure;
there are real decreases in cognitive function, what rare and only occurs when there is failure as we
shall see in this commentary, especially in of a minimally invasive approach to parathyroi-
As Professor Siperstein states, parathyroidectomy patients who are older than 75 and patients with dectomy, whatever minimally invasive approach
has become one of the most common operations, higher calcium, the more rapid the decline in cog- is, since many individuals do not define what they
particularly as or near an outpatient in the sur- nition, so success is important. A redo explora- do, and then a conventional bilateral neck explo-
geon’s armentarium. While it is tempting to say tion of the neck, in an attempt to find the missing ration parathyroidectomy becomes necessary.
that all groups have the same approach, that is gland, is sometimes a difficult procedure, so it is The field of parathyroid surgery has changed
clearly not so. I believe that Dr. Siperstein uses a best avoided. considerably in the past 5 years, and the contro-
bilateral approach in all cases, and believes that in The minimally invasive parathyroidectomy versy of intraoperative PTH has been somewhat
all cases all four glands, or all normal glands and following the improvement in Tc99m-sestamibi ameliorated since, as one will see in the chapter
all abnormal glands should be identified. I do not scan and ultrasonography has made, as the au- devoted to this by Dr. Solerzano (Chapter 38) is
think that this is the case with Professor Moley, who thors point out, minimally invasive parathyroi- not absolute, but is helpful. It is widely used, but
indicates that the “conventional parathyroidec- dectomy the standard in some, but not all units. not accepted as the absolute sine qua non of suc-
tomy” should only occur in the minority of cases. Unfortunately, however, there is no good defini- cess. Perhaps it should be and perhaps surgeons
A big difference between the two chapters may be tion, at least in the papers I have reviewed, as to should persist until there is a 50% decrease in
the fact that intraoperative parathyroid hormone what a minimally invasive parathyroidectomy is, intraoperative parathyroid assay. The difference
(PTH) measurement is not mentioned by Dr. Siper- unless what it means, as seems likely, that when is that different individuals use a different sam-
stein and therefore it is necessary to have a visual focus is on an enlarged parathyroid gland, which ple technique. When originally described by Dr.
verification of which glands are what. Not that the seems to show increased uptake of the sestamibi George “Bucky” Irvin, the standard was to have a
intraoperative PTH measurement is the sine qua scan or an enlarged single gland on ultrasound preincision figure and then, a sample drawn after
non. In the 5 years between the editions, it would and does not bother to do either a unilateral or the parathyroid gland had been dissected free,
appear as if most parathyroid surgeons believe that a bilateral neck exploration. In addition, it does thereby elevating the level of PTH, and then two
the PTH is helpful in about 60% of the cases, but is appear that the accepted success rate, unfortu- postexcision samples: one variable between 5 and
not the sine qua non. I believe the reason for this nately, in minimally invasive parathyroidectomy 10 minutes and the other at 15 minutes to half an
is that the confusion between the initial samples in the absence of a bilateral neck exploration hour. In this case, the evolution of parathyroidec-
that is preincision and whether or not one also has has yielded an acceptance of 89% to 95% success tomy has been a moving target. Many surgeons
preexcision sample after the offending parathyroid rate in the “cure” of hyperparathyroidism. There ask me whether it is worthwhile doing a new edi-
gland has been identified and dissected out so that does appear to be, and I hope this is not correct; tion approximately every 5 years. The answer is
the PTH measurement immediately before exci- a difference in acceptance of what success is in yes, and as one can see in this volume, not only
sion is perhaps artificially elevated. operation on primary hypercalcemic hyperpara- parathyroid and hernia, but also gastrectomy
There also seems to be a difference in the ap- thyroidism between specialties. In the endocrine and Roux-en-Y, and a number of other areas that
proach to diagnosis. I am not trying to pigeon- surgical groups descended from general surgeons, have been real changes in what various surgeons
hole everybody but it seems to me that in Prof. it does appear that the higher figure of success of around the world think.
Siperstein’s chapter he argues that the surgeon at least 99% to 100% is not only the standard, but In trying to define what the standard is for
should be very much involved in the diagno- is achievable, especially if one pursues finally, parathyroidectomy, there are at least four areas
sis. I do not know what Prof. Moley thinks as to bilateral neck exploration in the failure of, for which we need to be cognizant of. They are the
whether or not someone else does the diagnosis example, intraoperative PTH decreases of 50% following:
and the surgeon passes on it, or whether the sur- or more. However, in the otolaryngological lit-
Endocrine Surgery

geon is actively involved in the diagnosis. erature, several papers of which will be quoted in 1. The appropriate diagnostic procedures.
These may be subtle differences in the two this commentary, it does appear that 95% to 96%, 2. The role of minimally invasive parathyroi-
chapters in a disease that has become very com- is thought of as a good result. I cannot accept this. dectomy, and wherever possible, to define it mon
and in which patients undergo different The cognitive decreases in function, especially in and what it means. It clearly means different
procedures by different individuals all of whom the elderly, as well as the difficulty in redo neck things to different surgeons.
have significant experience in practice and re- exploration, make it imperative that individuals 3. The role of intraoperative PTH measurements:
section. who are performing parathyroid surgery will ac- How and when performed and the interpreta-
In the introduction to the section on parathy- cept no less than a 99% to 100% success rate in tion thereof.
roid surgery in the fifth edition, I made the point the first try in single gland hyperparathyroidism. 4. How strongly does one feel about hyperpara- that
in good units the standard of care, perhaps, is As Professor Moley points out in the first thyroidism in the elderly (over 75 years old), to
“cure” primary hyperthyroidism between 99% paragraph of this very nice chapter, the conven- and should they be operated on.

(continued)
496 Part IV: Endocrine Surgery

Those are at least the minimum expectations tween 2004 and 2008. Unfortunately, the mean plained that the additional benefit of intraopera-
that we should have concerning this disease. Yet, age of the patients was 60, not the group that, I tive parathyroid therapy is marginal, especially
apparently, not all believe that these should be believe, we would be much more interested in, given the longer duration of surgery. I violently
our standards. Ruda JM et al., Otolaryngol Head since that is a group that is still controversial, to disagree with this conclusion. The purpose of the Neck
Surg (2005) 132:359–72 reviewed 20,225 some extent. Their success rate was 99% using a operation is not to set speed records, but to have a cases of
primary hyperparathyroidism (PHPT) re- minimally invasive approach, which they did not successful parathyroidectomy, which ameliorates ported.
Of these, the distribution of the etiology describe, on an ambulatory basis. The difference or cures hypercalcemia and hyperparathyroid- of the
disease was somewhat different than what between the previously, seemingly accepted 95% ism. A success rate of 96% is no longer acceptable. we had
previously been led to believe. There were and 99%, while perhaps, not significantly statis- This, unfortunately, is from another otolaryngol- single
adenomas in 88.9%, multiple gland hyper- tically, is significant, biologically, since 99%, at ogy unit. I hope that they do not believe that a plasic
disease in 5.7% was somewhat lower than least to me, is the standard to which various success rate of 96% is appropriate.
previously, 4.1% in double adenomas, and 0.74% surgeons should aspire. There was a significant From the UK and the Hull Royal Hospital, of
parathyroid carcinomas. The two standard pre- reduction in mood and anxiety symptoms and Charlotte SD et al., in Journal of Laryngology and
operative tests, which were the Tc99m-sestamibi improvement in spatial working memory in Otology, published online, July, quite frankly gave and
ultrasound were 88.4% and 78.79% sensi- patients with PHPT who underwent successful me a pause. Their failure rate in PHPT, they de- tive,
respectively, for single adenoma, and 44.7% parathyroidectomy. However, the elderly were fined in 220 primary procedures over 4.5 years, and
35% for multiple gland hyperplasic disease not selected out in this group, but Tram MR was 6.4%, thus a success rate of 93.5%. I have not in 29%,
30%, and 16.2% for double adenomas, et al. (J Am Geriatr Soc 2007;55:1786–92) found read such a low figure for success in a literature respectively.
The results of operation, initially that high serum calcium levels were associated over the past 10 years. Also, one wonders how offered minimally
invasive radioguided parathy- with a rapid decline in cognitive function, espe- careful the recordkeeping was. Of the 220 pa- roidectomy and the
initial operation of unilateral cially for people older than 75 years. This find- tients, apparently, 16 did not have postoperative exploration, and then
finally, bilateral neck explo- ing of improvement in a cognitive function was calcium, and they would not exclude them. The ration were 96.66%,
95.25%, and 97.69%, respec- present, even if patients with an abnormally high authors do not state what else was not excluded tively. Intraoperative
parathyroid assays were calcium level were excluded from this study. or what was not available. Table 1 is quite reveal- not considered sine qua
non, but “were helpful” Another chapter, which apparently did not ing, in which, of the 13 patients that they group, in ~60% of bilateral neck
exploration conver- seem to accept the necessity for a 99% remission the solitary adenoma was missed in four of six of sion surgeries. They also stated
that intraopera- rate in hypercalcemia and hyperparathyroidism Group I, the other two were familial hypercalce- tive PTH was helpful, but not
foolproof adjunct (Bach G et al., published online, 2011 in Head and mic hypocalcuria. In Group 2, undertreated mul- in parathyroid exploration
surgery. However, in Neck), in which a relatively small number of pa- tiglandular hyperplasia was present in four; the Table 3, the results are given as
stated previously tients, 240, were divided in three groups between second adenoma was missed in a fifth; a prob- with bilateral neck exploration as
97.69%, but bi- January 2002 and January 2006. The first group, able missed adenoma, again, in the sixth; and lateral neck exploration conversion,
when what- 109 patients, underwent Tc99m-sestamibi scan- three adenomas in the seventh patient. Intraoper- ever the previous minimally invasive
parathyroid ning and ultrasonography, and intraoperative ative parathyroid tact only utilized three samples; technique was unsuccessful, was
99.08%. The parathyroid measurement. The second group of the first, before incision; the second, after removal; author’s conclusion that these
results support a 102 underwent only ultrasonography and sesta- and the third, after 15 minutes. There was no greater role for the treatment of
primary hyper- mibi scanning, and the third group, ultrasonog- preexcision sample, which, it seems to me, is es- thyroidism using less invasive
approaches is not raphy and intraoperative PTH monitoring. The sential, if one is going to use intraoperative PTH correct in my view, for the above-
mentioned rea- technique was not described before the surgery, measurement after a gland has been isolated sons. One should not accept 96.66%
or 95.25%, but intraoperative parathyroid samples were and just before removal. I realize that the gland or even 97.69%; the only thing that is
acceptable four; I assume that one was preincision, one was has been stimulated, and the PTH may be in- is a 99% success rate for the reasons
mentioned preexcision, and then there were two postexci- creased, but that is what most individuals have above, and if it takes a conversion to
a bilateral sion samples, although this is not described. Of practiced.
neck exploration, so be it, unless, of course, the the group that had Tc99m-sestamibi scanning and Taking together, I have to agree with the au-
surgeon is unfamiliar and hesitant about using ultrasound, preoperatively, followed by intraop- thors of some of the papers, particularly Clive
this approach. erative parathyroid determination, the success Grant, John Van Heerdon, and also Robert Udels-
What is the goal of hypercalcemia in the rate increased from 97% to 99%. The ultrasonog- man’s unit at Yale, that the acceptable standard is
cognitive impairment that supposedly occurs in raphy and sestamibi scanning were successful in the 99% to 100% cure rate of PHPT. Anything less
patients with hyperparathyroidism? Roman SA 96% of the cases, and in Group 3, a small group, in may border on practice below the standard. The
et al. (Ann Surg 2011;253:131–7) carried out psy- which there was only ultrasound, the use of intra- acceptance of 96% as a routine is not acceptable
chological evaluations in 212 patients who were operative PTH in these 29 patients increased the in 2011.
referred to a large tertiary referral center be- success rate from 89% to 96%. The authors com- J.E.F.

40 Intraoperative Parathyroid Hormone

Assay–Guided Parathyroidectomy
Carmen C. Solorzano, Denise M. Carneiro-Pla, and John I. Lew

INTRODUCTION
The ability to quickly measure parathyroid
hormone (PTH) in plasma and tissue has
changed the understanding and surgical
management of sporadic primary hyper-
parathyroidism (SPHPT). This disease entity
is the result of autonomous hypersecretion
of PTH by one or more parathyroid glands.
Surgical treatment of SPHPT continues to
be based on the identification and removal
of all hypersecreting parathyroid tissue
while preserving normally functioning
glands that maintain calcium homeostasis.
There are currently two major operative ap-
proaches: traditional parathyroidectomy
and focused parathyroidectomy. The major-
ity of high-volume parathyroid surgeons
perform focused parathyroidectomy guided
by preoperative localization studies and in-
traoperative parathyroid monitoring (IPM).

In this chapter, the use of IPM as an adjunct
during parathyroidectomy in patients with
SPHPT is discussed.
Traditional parathyroidectomy requires
bilateral neck exploration (BNE) that in-
volves the identification of usually four
parathyroid glands, and based on the sur-
geon’s judgment, the excision of all grossly
enlarged glands. All normal-sized parathy-
roid glands are left in situ. A problem with
this approach is that the size of a parathy-
roid gland does not always directly correlate
to its secretory function. If any hypersecret-
ing gland(s) is left behind, hypercalcemia
will persist, resulting in a failed parathyroi-
dectomy. Conversely, if too many normally
functioning parathyroid glands are excised
or their blood supply compromised during
extensive dissection, postoperative hy-
poparathyroidism with resultant hypocalce-
mia and tetany may occur. Large series have
shown that this operative approach yields
success rates of 95% to 99% when performed
by experienced parathyroid surgeons. How-
ever, these curative rates may fall to 70%
when traditional parathyroidectomy is per-
formed by inexperienced surgeons.
In the early 1990s, imaging studies were
increasingly being used by surgeons to
localize and guide parathyroidectomy.
Unfortunately, these localization studies
frequently missed multiple gland disease
(MGD) making them unreliable as the sole
adjunct to focused parathyroidectomy.
Around this time, IPM was introduced pre-
cisely to avoid missed MGD and to assure
complete excision of all hypersecreting
glands before leaving the operating room.
Since its introduction more than a decade
ago, IPM has transformed the surgical
management of SPHPT from traditional
BNE to a more focused, less invasive para-
thyroidectomy requiring minimal neck
dissection.
CANDIDATES FOR IPM-GUIDED
PARATHYROIDECTOMY
Parathyroidectomy should be considered
in a patient with a secure diagnosis of Table 1 Definitions Used to Calculate the Accuracy of the “>50% PTH Drop”
SPHPT shown by (a) persistent hypercalce-
mia, (b) elevated PTH level, (c) normal re-
nal function, (d) normal or elevated urinary
calcium, and (e) no history of multiple en-
docrine neoplasia. Excellent operative suc-
cess can be achieved in most patients with
symptoms associated with hypercalcemia
or in those patients with no apparent symp- True negative
toms and surgical indications as detailed
by the Summary Statement from the Third
International Workshop on the Manage-
ment of Asymptomatic Primary Hyperpara-
thyroidism in 2008.
Chapter 39: Comprehensive Parathyroidectomy for the Treatment of PHPT
HISTORY OF IPM
Reiss and Canterbury first described an anti-
body with good affinity for PTH in humans
using an immunoradiometric assay. The util-
ity of this assay, however, was limited as it
recognized only part of the PTH molecule. In
1987, Nussbaum and colleagues described a
new method for measuring the intact (1–84)
PTH molecule by using a two-site antibody
technique that proved more sensitive and
specific than previous PTH assays. Since
PTH has a rapid rate of decay (half-life, 3 to 5
minutes), these authors suggested that in-
traoperative measurement of PTH might
prove useful to the surgeon performing para-
thyroidectomy. The impetus for developing a
quick quantitative method to determine the
removal of all abnormal parathyroid tissue
was a hypersecreting parathyroid gland that
was missed after excision of a single enlarged
gland during BNE. In 1990, Irvin and col-
leagues refined and applied this assay to
routine clinical practice in the surgical man-
agement of SPHPT at the University of Mi-
ami. By heating and shaking the antibodies
with the patient’s blood sample to speed re-
action times using this assay, intraoperative
PTH monitoring (IPM) was shown to predict
postoperative normocalcemia in patients
after parathyroidectomy. With the later
transition from radionuclear to immuno-
chemiluminescent technology, this PTH as-
say became a practical test for intraopera-
tive, point-of-care use. Since 1996, rapid PTH
assays have become commercially available
for intraoperative use, and such surgical ad-
juncts are now used worldwide.
HOW IPM WORKS
IPM is used by surgeons to confirm the com-
plete excision of all hyperfunctioning para-
thyroid tissue. The surgical adjunct also
alerts the surgeon of an incomplete removal
of abnormal parathyroid tissue, thereby in-
dicating the need for further exploration.
Criterion in Predicting Postoperative Calcium Levels for at Least
6 Months After Parathyroidectomy
>50% PTH drop at 10 Operative success Operative failure
min after parathyroid (normal or low
gland excision calcium for Š6 mo) PTH <6 mo)
True positive Yes Yes
No No
False positive Yes No
False negative No Yes
PTH, parathyroid hormone.
497
Currently, hypersecretion of PTH by abnor-
mal gland(s) is measured by a nonradioac-
tive two-site immunochemiluminescent
antibody that captures and quantifies the
unknown amount of hormone in a sample
of plasma. Rapid results are essential if the
surgeon is to use hormone dynamics to
guide parathyroidectomy. Most intraopera-
tive assays provide results on an average of
8 to 20 minutes, and the PTH dynamic
changes shown by these rapid assays corre-
late well with standard diagnostic assays
with respective normal ranges. Since sur-
geons need a short turnaround time, point-
of-care capability with the assay equipment
placed in, or in close vicinity to, the operat-
ing room is of utmost importance.
HOW IPM IS USED
IPM only measures the circulating amount of
hormone at the time and from the location
where the sample is obtained. The surgeon
must be attentive, understand, and direct the
sampling times related to the stages of the
operative procedure. There are several intra-
operative criteria published that predict
postoperative calcium levels using changes
in hormone dynamics following excision of
hyperfunctioning glands. The initially de-
scribed criterion used to predict postopera-
tive eucalcemia in patients with SPHPT is a
“>50% PTH drop” 10 minutes after complete
resection of all hyperfunctioning tissues
(Table 1). This protocol developed at the Uni-
versity of Miami by George L. Irvin III requires
peripheral venous or arterial access for blood
collection at specific times during parathy-
roidectomy. This intravenous access is kept
open with a slow infusion of saline, which
must be discarded from the line before any
blood sample is measured to prevent dilu-
tion. During the procedure, the anesthesiolo-
gist collects 4 mL of whole blood in an EDTA
tube at specific times: (a) a “preincision” level
before skin incision, (b) a “preexcision” level
collected after dissection and just before
y
er
g
eS
(high calcium + high
ndo n ur
cri
No
E
Yes
Yes
No
498 Part IV: Endocrine Surgery

190 rately calculate the PTH drop and avoid

% drop from the highest unnecessary neck exploration (Fig. 3).
100
2. A PTH level that has already dropped
significantly from the preincision level
PTH level

79% usually signifies that the abnormal para-

50
95 thyroid gland’s main blood supply was
50 40 already disrupted at the beginning of the
dissection (Fig. 4).
0 3. In some patients, the surgeon may want
Preincision Preexcision 5 min 10 min to wait for a 20-minute level if the crite-

Timed operative blood samples rion was not met 10 minutes after gland
Fig. 1. Demonstration of intraoperative parathyroid hormone (PTH) dynamics after successful excision excision or if the decline dynamics are
of a single hyperfunctioning gland. With a drop at the 10-minute postexcision interval of 79% from the not as expected. In the majority of these
highest PTH level, this hormone dynamic predicts a postoperative return to eucalcemia and successful patients, the IPM criterion is met with
parathyroidectomy. Without further exploration of the remaining glands, the operation is completed. this additional 20-minute level and ac-
Dotted line shows time of gland excision. curately predicts postoperative success.
Ultimately, the surgeon should rely on
his/her best judgment to continue ex-
ploration.
clamping the abnormal gland’s blood supply, random time or in the operating room 4. The site of blood sampling can have po-
(c) a 5-minute level, and (d) 10-minute level when either preincision or preexcision tentially important implications. Jugu-
after excision of the suspected abnormal level is obtained. If only a preincision lar venous sampling during parathy-
gland. When peripheral PTH values drop baseline PTH sample is collected before roidectomy usually results in higher
more than 50% from the highest either prein- neck incision, the surgeon may miss the overall absolute PTH values when
cision or preexcision level 10 minutes after peak of the hormone elevation due to compared to peripheral samples and
the excision of all abnormal parathyroid parathyroid gland manipulation. A “pre- may take longer to fall into the normal
gland(s), this criterion predicts normal or excision” sample collected just before the range leading to potential unnecessary
low calcium levels postoperatively with an gland’s blood supply is ligated will avoid neck explorations for surgeons who
overall accuracy of 98%. After this sufficient missing this peak of PTH level. In other require normal range PTH levels at 10
decrease occurs, the observed hormone dy- words, the PTH level will appear not to minutes to meet curative criteria. Fur-
namic guides the surgeon to terminate the drop sufficiently at 10 minutes (<50%) thermore, centrally obtained samples
procedure without further exploration or because it was in fact much higher after are more likely to be spuriously elevat-
identification of the remaining normally se- the preincision blood was drawn. Preinci- ed making interpretation of the results
creting parathyroid glands. An example of sion and preexcision samples should both occasionally difficult and prolonging
IPM used in a patient after excision of a single be obtained in every procedure to accu- the operation.
hypersecreting gland is shown in Figure 1.
With an adequate PTH drop at the 10-minute

postexcision interval from the highest prein- 180

100
cision or preexcision PTH level, this hormone
% drop from the highest PTH level

dynamic predicts a postoperative return to

eucalcemia without further exploration of
the remaining glands. IPM does not predict 115
late recurrence of hyperparathyroidism ( fol- 98 96 99
102 110
lowing at least 6 months of eucalcemia), but 100
only that all currently hypersecreting glands 50
have been excised.
Conversely, if the hormone level fails to
drop at the 10-minute interval following ex- 40
cision of a suspected hyperfunctioning 22
parathyroid gland, the PTH assay signals
that more hypersecreting tissue is likely to 0
be present. Thus, the surgeon is directed to Pre- Pre- 5 min 10 min Pre- 5 min 10 min Pre- 5 min 10 min

continue the exploration with the above de- incision excision

1
excision
2
excision
3
scribed protocol applied to each removed Timed operative blood samples
gland. Another example of IPM shows the
hormone dynamics in a patient with multi- either outside the operating room at a
ple gland disease (MGD) in Figure 2.

INTRAOPERATIVE PEARLS
1. The accuracy of the IPM criterion de-
creases when only one “baseline” sample,
 Chapter 39: Comprehensive Parathyroidectomy for the Treatment of PHPT 499
Fig. 2. Intraoperative parathyroid hormone (PTH)
dynamics during successful parathyroidectomy in a
pa-
tient presenting with multiglandular disease
(MGD). An intraoperative preincision level of
102 pg/mL, care- ful dissection of an
abnormal right inferior parathyroid gland
led to a rise of PTH level to 180 pg/mL. After
excision of this hypersecreting gland, the
PTH assay showed no decrease at 5 minutes
(110 pg/mL) and 10 minutes (100 pg/mL).
Reexploration of the neck revealed two
additional abnormal hypersecreting glands.
The fourth gland appeared grossly normal.
This graph shows that the expected hormone
level did not decrease significantly until
excision of the third hyperfunctioning
parathyroid gland. With a 77% de- crease in
the 10-minute sample (22 pg/mL) compared
with the third preexcision plasma sample (99
pg/mL), no remaining hypersecreting
parathyroid tissue was present.
500 Part IV: Endocrine Surgery

300 RESULTS OF IPM-GUIDED

% drop from the highest PTH level
100
PARATHYROIDECTOMY
46% from preincision
Although surgeon judgment and experi-
ence is still essential in determining the
78% from preexcision excision of abnormal parathyroid glands
50 initially, IPM has nevertheless largely sup-
planted subjective evaluation of parathy-
120 140
roid hypersecretion based on observed
gland size and/or histopathology, and has
improved the operative success rate of
0 parathyroidectomy. Preoperative imaging
Preincision Preexcision 5 min 10 min
studies also play an important role in these
Timed operative blood samples focused operations by identifying the ana-

Fig. 3. This graph demonstrates the need for a preexcision measurement to achieve an adequate para-
thyroid hormone (PTH) drop to correctly predict operative success. Lack of a preexcision sample in this
case would lead to unnecessary bilateral neck exploration. Insufficient PTH drop in 10 minutes from the
preincision level (46%). Dotted line shows time of gland excision.
ADDITIONAL USES FOR IPM
Differential Internal Jugular
Venous Sampling
Many surgeons perform standard BNE for
patients with negative preoperative localiza-
tion studies. Differential jugular venous
sampling has been used in these patients to
lateralize the side of the neck harboring
the hyperfunctioning parathyroid gland(s).
When performed intraoperatively, samples
from the most inferior portion of each
internal jugular vein, preferably guided by
ultrasound, are taken before skin incision
for rapid PTH measurement. This technique,
which can be positive in 70% to 80% of cases,
guides the surgeon to the side of the neck
containing the highest PTH level (10% higher
than the opposite side), leading to successful
unilateral neck exploration in most patients
when used in conjunction with IPM. Re-
cently, ultrasound guided differential jugular
% drop from the highest PTH level
venous sampling has been successfully per-
formed in the office setting for preoperative
localization of parathyroid glands in pa-
tients with equivocal localization studies.
Biochemical Fine Needle Aspiration
Fine needle aspiration of tissue for PTH
measurement differentiates parathyroid
glands from other neck structures with
100% specificity. A 25-gauge needle at-
tached to a syringe is used to collect the tis-
sue sample. The content aspirated in the
needle is diluted with 1 cc of saline solu-
tion, centrifuged, and the supernatant is
used for PTH measurement with the rapid
PTH assay. This technique provides quick
tissue identification without frozen section,
and it can be helpful when gland localiza-
tion is challenging, especially when an in-
trathyroidal parathyroid, indeterminate
exophytic thyroid nodule or enlarged lymph
nodes are also present.
tomical location of a hypersecreting and/or
enlarged gland. The most reliable and fre-
quently used modalities are the sestamibi
(MIBI) scan and cervical ultrasonography.
When a suspected abnormal gland is local-
ized preoperatively, it allows the surgeon to
perform minimal dissection of the targeted
area for excision of an abnormal gland. IPM
is then used to determine whether all hy-
persecreting tissue has been removed and
the need to continue exploration for more
abnormal tissue. When small incisions are
used, and other parathyroid glands are not
routinely visualized, the operating surgeon
depends on IPM for the assurance of com-
plete excision of all hypersecreting para-
thyroid tissue.
When localization studies are incorrect
or do not recognize the presence of MGD
that can occur in up to 20% of patients, IPM
is essential for operative success. If the sur-
geon concentrates on excising only the
identified abnormality on a nuclear scan or
ultrasound, failure is unavoidable. MIBI
scans can be completely negative, have a
single wrong focus, show multiple foci both
correct and incorrect, and miss multiple
gland involvement. IPM used as an adjunct
to parathyroidectomy can prevent failure
when localization studies are incorrect,
which is not always evident until in the op-
erating room or at completion of the proce-

100 dure. Combined MIBI and ultrasound (US)

110
7% from preexcision
74% from preincision
rarely miss MGD leading to operative suc-
cess in nearly 99% of cases, obviating the
need for IPM. While excellent outcomes in
this subgroup of highly selected patients
Endocrine Surgery

50 with concordant localizing studies can be

30 achieved, this selective approach signifi-
cantly limits the number of eligible patients
for focused parathyroidectomy. Preopera-
28
25 tive MIBI and US have been shown to be
0 concordant only 50% to 60% of the time,
Preincision Preexcision 5 min 10 min thereby leaving a great number of patients
Timed operative blood samples with no definitive or discordant localiza-
Fig. 4. This graph demonstrates the importance of collecting both preincision and preexcision samples tion. Discordance between MIBI and US has
to correctly predict operative success. Lack of a preincision sample would lead to false negative results been reported to be as high as 38% in con-
leading to unnecessary bilateral neck exploration. PTH, parathyroid hormone. Insufficient PTH drop in secutive patients treated by parathyroidec-
10 minutes from preexcision level (7%). Dotted line shows time of gland excision. tomy with an 11% rate of MGD. In such

instances where there are discordant stud-
ies, IPM has been shown to minimize missed
abnormal parathyroid glands.
Excellent outcomes for focused parathy-
roidectomy with IPM have been confirmed
by several studies showing operative suc-
cess and complication rates comparable to
traditional BNE. In one study of 656 consec-
utive patients over 11 years where 255 un-
derwent focused parathyroidectomy and
401 conventional BNE, the cure rates were
99% and 97% with complication rates of
1.2% and 3% respectively. Focused parathy-
roidectomy also had a reduced operating
time (1.3 hours vs. 2.4 hours), and a reduc-
tion in length of hospitalization (0.24 days
vs. 1.64 days) when compared to BNE. In an-
other subsequent study of 718 patients over
34 years, the cure rates for focused parathy-
roidectomy and BNE were 97% and 94% re-
spectively. Finally, in a 5-year follow-up of a
randomized controlled trial, focused para-
thyroidectomy provided the same long-term
results as traditional BNE in patients with
primary hyperparathyroidism. The afore-
mentioned studies all concluded that focused
parathyroidectomy was an attractive alter-
native to BNE for most patients with pri-
mary hyperparathyroidism.
Parathyroidectomy guided by IPM com-
pared to traditional BNE results in less neck
dissection, shorter operative times, smaller
incisions, use of local anesthesia, and out-
patient procedures. IPM has been shown to
be cost effective in the United States mainly
because it allows for ambulatory or outpa-
tient parathyroidectomy. IPM allows for ap-
proximately a 50% decrease in hospital
costs and patient charges when compared
to BNE. Other investigators, however, sug-
gest that focused parathyroidectomy guided
by IPM is not cost-effective because of the
cost associated with the need of additional
laboratory personnel and expensive local-
ization studies.
CURRENT ISSUES WITH IPM
Over the last few years, surgeons have mod-
ified the “>50% PTH drop” criterion with
the ultimate goal of minimizing operative
failure and improve its cost-effectiveness.
Stricter criteria that have been proposed
include a larger PTH level percent drop
(>65% to 70%) and/or return of the final
PTH to within normal range, or a PTH de-
crease at 5 minutes after gland excision.
There is evidence to suggest that modifica-
tion of the original and least strict “>50%
PTH drop” criterion to stricter require-
ments may slightly decrease the number of
operative failures, but will significantly in-
crease the incidence of false negative results
Chapter 39: Comprehensive Parathyroidectomy for the Treatment of PHPT
leading to unnecessary further neck explo-
rations and lowering its overall accuracy.
Complicating the interpretation of IPM
results reported in the literature is the ever-
changing definition of MGD. Surgeons us-
ing the least strict intraoperative criterion
report MGD rates as low as 3% to 5%, which
are much lower than the rates reported
when surgeons use stricter criteria or bilat-
eral neck exploration (14% to 30%). This has
led to the belief that the “>50% PTH drop”
criterion misses MGD leading to unaccept-
able operative failure rates as high as 16%.
Multiple series of parathyroidectomy guided
by this “>50% PTH drop” criterion report
operative success rates of 97% to 99%, and
fail to show these hypothetical high failure
rates. At the authors’ institution, operative
success was 98% in treated patients with a
2% failure and 3% recurrence rate 10 years
after undergoing focused parathyroidec-
tomy guided by IPM. This long-term study
indicates that there may be an overestima-
tion of the predicted incidence for MGD; if
such higher rates of missed MGD were cor-
rect, a 16% or greater operative failure rate
would have been appreciated.
When stricter criteria are used or bilat-
eral neck exploration is performed after the
“>50% PTH drop” has occurred, additional
enlarged glands may be found as previously
described. Proponents of BNE continue to
base the success of their operations on the
ability to differentiate between normal and
abnormal glands based on size alone and/
or histopathology. Nevertheless, since op-
erative success without the excision of these
additionally found “enlarged” glands is the
same, the answer to this dilemma may rest
in that grossly enlarged glands may not al-
ways be hyperfunctioning. Prior reports
have indicated that parathyroid gland size
and histology does not always correlate
with parathyroid function.
In a prospective randomized study of pa-
tients that underwent parathyroidectomy
determined by gland size during BNE, there
was a higher 10% incidence of MGD com-
pared to patients who underwent parathy-
roidectomy determined by gland function
with IPM (0%). Despite fewer glands excised
in the IPM group, the operative success for
both groups was similar. The same findings
were reported in another study where there
was a higher incidence of MGD in patients
who underwent BNE (16.5%) compared to
those patients who underwent parathyroi-
dectomy guided by IPM (11.1%) despite
similar surgical success rates. These find-
ings and other mounting evidence suggest
that surgeons who routinely excise parathy-
roid glands based on size and/or histopa-
thology in an effort to minimize missed
501
MGD, and thus operative failure, may actu-
ally be removing various sized, but normally
functioning, parathyroid glands not con-
tributing to SPHPT.
SUGGESTED READINGS
Berger AC, Libutti SK, Bartlett DL, et al. Het-
erogeneous gland size in sporadic multiple
gland parathyroid hyperplasia. J Am Coll Surg
1999;188:382.
Beyer TD, Chen E, Ata A, et al. A prospective evalu-
ation of the effect of sample collection site on in-
traoperative parathormone monitoring during
parathyroidectomy. Surgery 2008;144(4):504.
Bilezikian JP, Khan AA, Potts JT, et al. Guidelines
for the management of asymptomatic primary
hyperparathyroidism: summary statement
from the third international workshop. J Clin
Endocrinol Metab 2009;94:335.
Carneiro DM, Solorzano CC, Nader MC, et al. Com-
parison of intraoperative iPTH assay (QPTH) cri-
teria in guiding parathyroidectomy: which crite-
rion is the most accurate? Surgery 2003;134:973.
Carneiro-Pla D. Effectiveness of “office”-based, ultra-
sound-guided differential jugular venous sampling
(DJVS) of parathormone in patients with primary
hyperparathyroidism. Surgery 2009;146(6):1014.
Carneiro-Pla DM, Solorzano CC, Lew JI, et al.
Long-term outcome of patients with intraop-
erative parathyroid level remaining above the
normal range during parathyroidectomy. Sur-
gery 2008;144(6):989.
Fahy BN, Bold RJ, Beckett L, et al. Modern para-
thyroid surgery: a cost-benefit analysis of local-
izing strategies. Arch Surg 2002;137:917.
Irvin GL, Carneiro DM. Management changes in pri-
mary hyperparathyroidism. JAMA 2000;284:934.
Irvin GL, Carneiro DM, Solorzano CC. Progress in
the operative management of sporadic primary
hyperparathyroidism over 34 years. Ann Surg
2004;239:704.
Irvin GL, Dembrow VD, Prudhomme DL. Opera-
tive monitoring of parathyroid gland hyper-
function. Am J Surg 1991;162:299.
Lew JI, Irvin GL. Focused parathyroidectomy guid-
ed by intraoperative parathormone monitoring
does not miss multiglandular disease in patients
with sporadic primary hyperparathyroidism: a
ten year outcome. Surgery 2009;146:1021.
Lew JI, Solorzano CC, Montano RE, et al. Role of
intraoperative parathormone monitoring dur- ing
parathyroidectomy in patients with discor- dant
localization studies. Surgery 2008;144:299.
Malmeus J, Granberg PG, Halvorsen J, et al. Para-
thyroid surgery in Scandinavia. Acta Chir Scand
1988:154:405.
Nussbaum SR, Zahradnik RJ, Lavigne JR, et al.
Highly sensitive two-site immunoradiometric
assay of parathyrin, and its clinical utility in
evaluating patients with hypercalcemia. Clin
Chem 1987;33:1364.
Perrier ND, Ituarte P, Kikuchi S, et al. Intraoperative
parathyroid aspiration and parathyroid hormone
assay as an alternative to frozen section for tis-
sue identification. World J Surg 2000;24:1319.
Reiss E, Canterbury JM. A radioimmunoassay for
parathyroid hormone in man. Proc Soc Exp Biol
Med 1968;128:501.
Udelsman R. 656 consecutive explorations for
primary hyperparathyroidism. Ann Surg 2002;
235:665.