RUPTUR TENDON
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma tangan sering terjadi dan merupakan 5-10% kunjungan ke unit gawat darurat di
seluruh dunia. Kompleksitas tangan dan kesamaan gambaran klinis pada trauma yang
berbeda memberi pemahaman akan anatomi dan fungsi tangan, teknik pemeriksaan fisik yang
baik dan pengetahuan akan indikasi terapi yang dibutuhkan oleh dokter.
Studi epidemiologi dari 86 pasien dengan 125 cedera terbuka tendon ekstensor didapatkan
pasien didominasi laki-laki (83%) dengan usia rata-rata 34,2 tahun, dan tangan dominan lebih
umum terluka (60%). Cedera pada ibu jari paling sering, diikuti oleh jari telunjuk. Laserasi
dengan benda tajam adalah mekanisme umum cedera yang paling. Cedera tendon oleh benda
tajam cenderung terjadi proksimal pada sendi MCP.
Setiap jenis ruptur tendon memiliki tanda dan gejala tersendiri dan dalam penanganannya,
cedera tendon pada tangan dapat dilakukan secara pembedahan maupun non-pembedahan.
Salah satu teknik non pembedahan adalah dengan terapi rehabilitatif dengan splinting baik
statis maupun dinamis. Dynamic splinting merupakan modalitas yang dapat dipertimbangkan
untuk meningkatkan pergerakan sendi pada tangan yang cedera. Penggunaan dynamic
splinting untuk memfasilitasi rehabilitasi pada tangan yang cedera dan menjadi bagian dari
proses terapi terutama pada ruptur tendon.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TENDON
2.1.1 DEFINISI
Tendon adalah struktur dalam tubuh yang menghubungkan otot ke tulang. Otot rangka
dalam tubuh bertanggung jawab untuk menggerakkan tulang, sehingga memungkinkan
untuk berjalan, melompat, mengangkat, dan bergerak dalam banyak cara. Ketika otot
kontraksi, tendon menarik tulang dan menyebabkan terjadinya gerakan.
Tendon terdiri dari 70% air dan dry mass 30% yang tersusun menjadi kolagen tipe I
sebanyak 60%-80% dan 2% elastin. Tendon yang sehat berwarna putih mengkilat dan
mempunyai tekstur fibroelastik, bila dilihat secara makroskopis mempunyai bentuk yang
bervariasi, dapat berbentuk bulat seperti tali atau pipih seperti sabuk. Tendon terdiri dari
kelompok fesikel berupa kumpulan (bundle) berbahan utama kolagen, lapisan paling
dalam adalah endotendon dan dibungkus oleh epitenon sebagai lapisan terluarnya. Tendon
terdiri dari lapisan sel fibroblas (merupakan jenis sel terbanyak) dibungkus oleh fesikel
yang terdiri dari serat fibril (peritenon). Fibroblas sendiri terdiri dari serat kolagen.
Kolagen membentuk 75% berat kering tendon dan berfungsi untuk menahan dan
memindahkan gaya antara otot dan tulang.
Ada 2 jenis tendon, yang pertama adalah tendon yang terbungkus yaitu paratenon, dan
tendon yang tidak terbungkus. Paratenon adalah tendon yang masih mendapatkan suplai
vaskuler meskipun hanya sedikit, sedangkan tendon yang tidak terbungkus disebut
mesotenon / vinncula yang berada di area avaskuler, hanya mendapatkan nutrisi dari cara
difusi/ osmosis saja. Dengan demikian tipe yang kaya akan vaskuler yaitu paratenon yang
terbungkus tadi bila terdapat cedera berupa robekan akan mengalami proses perbaikan
yang lebih baik daripada yang sedikit vaskularisasinya
H. Zona 8 Merupakan perbatasan otot dan tendon ekstensor. Pada bagian proksimal otot
EDC terdapat raphe tendon yang penting digunakan untuk repair cedera pada zona ini.
I. Zona 9 Seluruhnya terdapat di dalam separuh proksimal otot. Berat ringan cedera
tidak memiliki korelasi langsung dengan besar luka yang terlihat.
J. Ibu jari diklasifikasikan secara berbeda, dengan TI melibatkan sendi interphalangeal,
TII proksimal phalanx, TII MCP joint, TIV the metacarpal, dan TV carpus
A. Penilaian klinis
Evaluasi cedera tendon membutuhkan pengetahuan rinci tentang anatomi aparatus
ekstensor, serta karakteristik fungsional dari setiap segmen. Anamnesis yang akurat sangat
penting dan harus mencakup mekanisme traumatik, posisi tangan pada saat cedera, dan
komorbiditas akhirnya. Biasanya ketika trauma terjadi dengan jari fleksi, kerusakan tendon
sesuai dengan tingkat cedera, sedangkan retraksi tendinous dapat diamati dalam kasus trauma
tinju. Secara umum, cedera dibagi menjadi dua kategori utama: cedera terbuka dan cedera
tertutup. Cedera terbuka dapat muncul sebagai avulsi, lesi tajam, atau laserasi.
Dalam kondisi terakhir ini, kerusakan yang signifikan terhadap sekitarnya jaringan
sering terjadi dan wajib dilakukan pemeriksaan neurovaskular. Ruptur tertutup dapat terjadi
akibat kondisi morbid yang melemahkan struktur tendon, seperti RA, penyakit pengendapan
kristal, dan erosi oleh perangkat keras internal yang digunakan untuk fiksasi tulang. Inspeksi
harus mempertimbangkan lokasi cedera, ukuran luka, kehadiran hilangnya substansi tendon
atau retraksi, dan kerusakan terkait. Selanjutnya, pengamatan yang teliti terhadap tangan
mungkin menunjukkan cedera tendon yang mendasari ketika kaskade fleksi jari tidak normal
saat istirahat atau ketika pergelangan tangan tertekuk dan melebar. dengan efek tenodesis.
Kemudian, pemeriksaan setiap jari tunggal dengan dan tanpa perlawanan harus dilakukan,
untuk mengecualikan tindakan tendina juncturae yang bisa menutupi entitas nyata dari
kerusakan. Di hadapan kelemahan ekstensi terhadap resistensi, cedera tendon parsial dapat
dicurigai. Kadang-kadang rasa sakit tidak memungkinkan pemeriksaan dan diagnosis yang
tepat, sehingga pada kasus tertentu anestesi lokal dapat membantu diagnostik.
C. Komplikasi
Hilangnya gerak adalah komplikasi paling umum dari cedera tendon ekstensor dan
mungkin termasuk lag ekstensor residual dan / atau hilangnya fleksi. Pasien dengan beberapa
cedera tendon ekstensor, kehilangan segmental, atau cedera jaringan lunak yang terjadi
bersamaan harus dikonseling bahwa hilangnya gerak mungkin terjadi. Ekstensor tenolysis,
bersama dengan kemungkinan pelepasan kontraktur sendi dan tenor lentur, dapat
dipertimbangkan jika pasien tidak memiliki gerakan yang memuaskan setelah 6 bulan
meskipun kepatuhan dengan terapi tangan. Pecahnya setelah perbaikan tendon ekstensor
kurang umum dibandingkan setelah perbaikan tendon fleksor. Infeksi juga dapat terjadi tetapi
dapat dicegah dengan debridemen awal secara menyeluruh, terutama pada kasus dengan
kontaminasi kasar
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mowlavi dkk yang membandingkan antara
dynamic splint dan static splint menunjukkan bahwa dynamic splint pada laserasi tendon
ekstensor yang sederhana dan lengkap di zona V dan VI memberikan hasil fungsional yang
lebih baik pada minggu ke-4, 6, dan 8 tetapi tidak ada perbaikan yang signifikan pada bulan
ke-6 jika dibandingkan dengan static splint. Hasil ini bertentangan dengan laporan observasi
retrospektif dan prospektif yang diterbitkan sebelumnya yang menggambarkan hasil yang
lebih baik dengan belat dinamis pada tindak lanjut jangka panjang. Namun, penelitian
sebelumnya ini mencakup pasien dengan cedera pada spektrum penuh zona ekstensor (II
hingga IV dan VII) dan beberapa penelitian mencakup pasien dengan laserasi kompleks yang
melibatkan kelainan tulang.Dengan demikian, kegagalan untuk menunjukkan perbedaan pada
tindak lanjut jangka panjang dalam penelitian kami antara kedua kelompok mungkin
disebabkan oleh fakta tersebut cedera tendon ekstensor sederhana pada zona V dan VI tendon
ekstensor dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan cedera pada zona
II hingga IV dan zona VII.
Prognosis yang lebih baik secara umum disebabkan oleh banyaknya jaringan lunak
yang dapat bergerak di punggung tangan, yang menyebabkan permukaan meluncur halus
sehingga menghambat adhesi tendon dan mengakibatkan penurunan luas permukaan kontak
tendon tulang. Selain itu, kurangnya perbedaan fungsi yang diamati pada 6 bulan mungkin
disebabkan oleh program rehabilitasi agresif yang kami lakukan di pusat terapi tangan kami.
Walaupun tidak secara kuantitatif, terapis kami berpendapat bahwa pasien yang diobati
dengan belat statis memerlukan terapi yang lebih agresif setelah pelepasan belat pada 4
minggu pasca operasi.
Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan agar menghasilkan bebatan yang efisien dan
optimal, antara lain:
A. Memberikan tegangang tegak lurus dengan aksis tulang panjang
Tujuan dari pembebatan adalah untuk meberikan tegangan tegak lurus dengan aksis
tulang panjang pada lengan bawah untuk membuat gerakan pada sendi. Hal ini akan
lebih sulit jika pembebatan dilakukan pada bagian sendi jari fleksor, dimana ruang
yang dapat digunakan untuk penempatan cadik terbatas pada telapak tangan saja.
Maka dari itu, pemilihan desain low-profile lebih diutamakan dalam keadaan tersebut.
Gerakan terkontrol awal dengan extensor dynamic splints terbukti mengurangi adhesi
dan kontraktur berikutnya. Hanya dua studi uji coba terkontrol secara acak yang
membandingkan mobilisasi dini dengan mobilisasi aktif dini. Chester et al., mengamati
cedera ekstensor dari zona IV hingga VIII dan menemukan ROM yang jauh lebih baik pada
kelompok pasien yang diobati dengan mobilisasi terkontrol dini dibandingkan dengan
mobilisasi aktif dini pada 4 minggu.
BAB III
KESIMPULAN
Ruptur tendon dalah robek, pecah atau terputusnya tendon yang diakibatkan karena
tarikan yang melebihi kekuatan tendon atau adanya trauma yang mengenai tendon tersebut.
Ruptur tendon pada tangan dapat dibagi menjadi tendon fleksor dan ekstensor serta dilakukan
lagi pembagian berdasarkan zona masing-masing. Penyebab terjadinya ruptur tendon tangan
dapat bervariasi sehingga penatalsanaanya pun disesuaikan dengfan tingkat keparahan cedera.
Dalam penatalaksanaan ruptur tendon tangan, dapat dilakukan dengan pembedahan maupun
non-pembedahan. Salah satu tatalaksana non-pembedahan yang dapat dilakukan adalah
dengan Dynamic splinting.
Dynamic splinting merupakan modalitas yang dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan
pergerakan sendi pada tangan yang cedera. Tujuan dynamic splinting adalah untuk
menyediakan daya tahan lemah dalam periode waktu yang lama untuk mempengaruhi sintesis
jaringan baru. daripada memberikan efek strecth untuk jaringan lunak yang menyebabkan
kembalinya jaringan ke bentuk dan panjang semula, tujuannya adalah untuk menjaga jaringan
lunak pada posisi konstan dengan tekanan ringan sehingga sel dapat berproliferasi merespon
terhadap tekanan yang diberikan oleh splint. Dynamic splinting masih menjadi perawatan
rehabilitasi yang dipilih untuk ruptur tendon pada tangan.
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidajat, R. dan de Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. 2004. Jakarta : EGC
Saladin: Anatomy & Physiology: The Unity of Form and Function, Ed.3. 2003. The McGraw
Hill Companies.
Holm CL, Embrick RP. Anatomical consideration in the primary treatment of tendon injuries
of the hand. JBJ. 2016
Glasgow C, Tooth LR, Fleming J, Peters S. Dynamic splinting for the stiff hand after trauma:
predictors of contracture resolution. J Hand Ther. 2011 Jul-Sep;24(3):195-205; quiz 206. doi:
10.1016/j.jht.2011.03.001. Epub 2011 May 19. PMID: 21600732.
Colditz, J. Low Profile Dynamic Splinting of the Injured Hand. 1983. The American JOurnal
of Occupational Therapy. Vol 37, No.3
Griffin M, Hindicha S, and others. Management of Extensor Tendon Injuries.2012. The Open
orthopedics journal. Suppl 1.doi: 10.2174/1874325001206010036
Mowlavi A, Burns M, and others. Dynamic versus Static Splinting of Simple Zone V and
Zone VI Extensor Tendon Repairs: A Prospective, Randomized, Controlled Study.2005.
Plastic & Reconstructive Surgery 115(2):482-7