Anda di halaman 1dari 17

DYNAMIC SPLINTING PADA TANGAN DENGAN

RUPTUR TENDON
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma tangan sering terjadi dan merupakan 5-10% kunjungan ke unit gawat darurat di
seluruh dunia. Kompleksitas tangan dan kesamaan gambaran klinis pada trauma yang
berbeda memberi pemahaman akan anatomi dan fungsi tangan, teknik pemeriksaan fisik yang
baik dan pengetahuan akan indikasi terapi yang dibutuhkan oleh dokter.
Studi epidemiologi dari 86 pasien dengan 125 cedera terbuka tendon ekstensor didapatkan
pasien didominasi laki-laki (83%) dengan usia rata-rata 34,2 tahun, dan tangan dominan lebih
umum terluka (60%). Cedera pada ibu jari paling sering, diikuti oleh jari telunjuk. Laserasi
dengan benda tajam adalah mekanisme umum cedera yang paling. Cedera tendon oleh benda
tajam cenderung terjadi proksimal pada sendi MCP.
Setiap jenis ruptur tendon memiliki tanda dan gejala tersendiri dan dalam penanganannya,
cedera tendon pada tangan dapat dilakukan secara pembedahan maupun non-pembedahan.
Salah satu teknik non pembedahan adalah dengan terapi rehabilitatif dengan splinting baik
statis maupun dinamis. Dynamic splinting merupakan modalitas yang dapat dipertimbangkan
untuk meningkatkan pergerakan sendi pada tangan yang cedera. Penggunaan dynamic
splinting untuk memfasilitasi rehabilitasi pada tangan yang cedera dan menjadi bagian dari
proses terapi terutama pada ruptur tendon.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TENDON
2.1.1 DEFINISI
Tendon adalah struktur dalam tubuh yang menghubungkan otot ke tulang. Otot rangka
dalam tubuh bertanggung jawab untuk menggerakkan tulang, sehingga memungkinkan
untuk berjalan, melompat, mengangkat, dan bergerak dalam banyak cara. Ketika otot
kontraksi, tendon menarik tulang dan menyebabkan terjadinya gerakan.
Tendon terdiri dari 70% air dan dry mass 30% yang tersusun menjadi kolagen tipe I
sebanyak 60%-80% dan 2% elastin. Tendon yang sehat berwarna putih mengkilat dan
mempunyai tekstur fibroelastik, bila dilihat secara makroskopis mempunyai bentuk yang
bervariasi, dapat berbentuk bulat seperti tali atau pipih seperti sabuk. Tendon terdiri dari
kelompok fesikel berupa kumpulan (bundle) berbahan utama kolagen, lapisan paling
dalam adalah endotendon dan dibungkus oleh epitenon sebagai lapisan terluarnya. Tendon
terdiri dari lapisan sel fibroblas (merupakan jenis sel terbanyak) dibungkus oleh fesikel
yang terdiri dari serat fibril (peritenon). Fibroblas sendiri terdiri dari serat kolagen.
Kolagen membentuk 75% berat kering tendon dan berfungsi untuk menahan dan
memindahkan gaya antara otot dan tulang.
Ada 2 jenis tendon, yang pertama adalah tendon yang terbungkus yaitu paratenon, dan
tendon yang tidak terbungkus. Paratenon adalah tendon yang masih mendapatkan suplai
vaskuler meskipun hanya sedikit, sedangkan tendon yang tidak terbungkus disebut
mesotenon / vinncula yang berada di area avaskuler, hanya mendapatkan nutrisi dari cara
difusi/ osmosis saja. Dengan demikian tipe yang kaya akan vaskuler yaitu paratenon yang
terbungkus tadi bila terdapat cedera berupa robekan akan mengalami proses perbaikan
yang lebih baik daripada yang sedikit vaskularisasinya

2.1.2 ANATOMI EKSTENSOR TENDON


Dalam keadaan cedera, tendon ekstensor dibagi dalam 9 zona, dengan lima zona
khusus terkait dengan ibu jari. Zona 9 ditambahkan pada zona tradisional yang
diperkenalkan oleh Kleinert dan Verdan yang hanya terdiri atas 8 zona. Zona genap
umumnya menutupi tulang dan zona bernomor ganjil meliputi sendi. Berikut ini gambar
pembagian zona tendon ekstensor :
A. Zona 1 Terletak pada sendi DIP. Tendon di zona ini tipis dan sulit untuk dilakukan
repair yang adekuat. Tendon ini juga lemah dan rentan terhadap ruptur pada trauma
tertutup.
B. Zona 2 Terletak di phalang medial
C. Zona 3 Terletak di sendi PIP.
D. Zona 4 Terletak pada falang proksimal.
E. Zona 5 Terletak di atas sendi MCP. Tendon ekstensor ekstrinsik ditahan pada posisi
tengah di atas sendi oleh sagital bands. Kapsul sendi di bawahnya sangat rentan
terhadap cedera.
F. Zona 6 Terletak di atas metakarpal.
G. Zona 7 Terletak pada sendi pergelangan tangan. Merupakan bagian intrasynovial dari
tendon ekstensor. Retinakulum ekstensor terbagi dalam 6 compartments yaitu :
- Compartement I : abductor pollicis longus, extensor pollicis brevis
- Compartement II : extensor carpi radialis longus dan extensor carpi radialis brevis
- Compartement III : extensor pollicis longus
- Compartement IV : extensor indicis proprius, extensor digitorum communis
- Compartement V : extensor digiti quinti
- Compartement VI : extensor carpi ulnaris

Gambar 2.1 Anatomi dan Zona cedera tendon ekstensor tangan

H. Zona 8 Merupakan perbatasan otot dan tendon ekstensor. Pada bagian proksimal otot
EDC terdapat raphe tendon yang penting digunakan untuk repair cedera pada zona ini.
I. Zona 9 Seluruhnya terdapat di dalam separuh proksimal otot. Berat ringan cedera
tidak memiliki korelasi langsung dengan besar luka yang terlihat.
J. Ibu jari diklasifikasikan secara berbeda, dengan TI melibatkan sendi interphalangeal,
TII proksimal phalanx, TII MCP joint, TIV the metacarpal, dan TV carpus

2.1.3 PERBAIKAN CEDERA EKSTENSOR TENDON


Teknik perbaikan tendon ekstensor tidak rumit dalam desain dan memiliki kekuatan tarik
yang jauh lebih kecil dibandingkan perbaikan tendon fleksor (Gbr. 2.2). Hal ini disebabkan
tendon ekstensor lebih kecil dengan penampang yang relatif datar. Kolagennya berorientasi
memanjang dengan sedikit atau tanpa ikatan silang. Karena perbedaan ukuran dan paratendon
di sekitarnya (kecuali di zona VII), tendon ekstensor tidak mampu menahan pendekatan
perbaikan yang kuat dan beruntai ganda, terutama di zona distal.

Gambar 2.2 Zona otot tendon ekstensor\


● Cedera Zona I : Cedera yang sering disebut mallet finger adalah ketika terjadi
gangguan pada tendon ekstensor di atas sendi interphalangeal distal sehingga
menyebabkan deformitas fleksi pada sendi interphalangeal distal (lihat Gambar 2.2).
Seringkali terbuka tetapi lebih mungkin ditutup . Fleksi yang kuat pada sendi
interphalangeal distal pada jari yang memanjang adalah penyebab yang paling
mungkin, yang mengakibatkan pecahnya tendon ekstensor atau avulsi dari
penyisipannya pada phalanx distal. Jika tidak diobati, hiperekstensi sendi
interphalangeal proksimal dapat terjadi karena retraksi pita sentral yang menyebabkan
deformitas leher angsa. Jari palu diklasifikasikan menjadi 4 jenis:
Tipe 1: Tertutup dengan atau tanpa fraktur avulsi
Tipe 2: Laserasi pada atau proksimal sendi interphalangeal distal dengan hilangnya
kontinuitas tendon
Tipe 3: Abrasi dalam dengan hilangnya kulit, lapisan subkutan, dan substansi tendon
Tipe 4: Fraktur lempeng transepifisis pada anak-anak; (B) cedera hiperfleksi dengan
fraktur permukaan artikular 20 sampai 50 persen; dan (C) cedera hiperekstensi dengan
fraktur permukaan artikular biasanya lebih dari 50 persen dan dengan subluksasi
palmar awal atau akhir pada phalanx distal.
Jari palu tertutup, yang merupakan fraktur tipe I, harus ditangani dengan belat
imobilisasi dalam posisi ekstensi atau sedikit hiperekstensi selama 8 minggu,
termasuk belat malam selama 2 minggu. Pasien harus memahami pentingnya menjaga
jari tetap terentang selama 8 minggu penuh. Latihan dimulai dengan latihan blok
profundus yang hanya melibatkan gerakan aktif sendi interphalangeal proksimal
● Cedera Zona II : Cedera zona II atau cedera phalanx tengah biasanya disebabkan
oleh laserasi atau cedera hantaman, bukan karena avulsi seperti zona I. Jika terdapat
jeda ekstensor pada pemeriksaan maka diperlukan eksplorasi dan perbaikan,
sedangkan jika terdapat ekstensi aktif dengan tingkat kelemahan yang hanya sedikit
maka diperlukan belat. dapat digunakan selama 3-4 minggu. Cedera lebih dari 50%
tendon harus diperbaiki tendon harus diperbaiki dengan jahitan delapan atau cara
serupa.
● Cedera Zona III : Cedera Zona III atau dikenal dengan deformitas boutonniere
disebabkan oleh terganggunya pergeseran sentral pada sendi interphalangeal
proksimal. Tidak adanya atau lemahnya ekstensi aktif sendi interphalangeal proksimal
merupakan temuan positif Ekstensi aktif pada mulanya dipertahankan oleh pita
lateral, namun kepala phalanx proksimal akhirnya melewati slip sentral yang
mengakibatkan migrasi pita lateral. Hal ini kemudian mengakibatkan hilangnya
deformitas dengan hilangnya ekstensi pada sendi interphalangeal proksimal dan
hiperekstensi pada sendi interphalangeal distal. Cederanya bisa tertutup atau terbuka
dan bagian tengahnya bisa avulsi dengan atau tanpa fragmen tulang. Deformitas
boutonniere biasanya terjadi 10-14 hari setelah cedera pertama. Deformitas tertutup
memerlukan belat selama 4-6 minggu pada PIPJ dalam ekstensi dengan DIPJ dan
sendi pergelangan tangan dibiarkan bebas. Pembedahan harus dilakukan pada fraktur
tertutup jika (1) terjadi pergeseran fraktur avulsi pada dasar phalanx tengah (2)
ketidakstabilan aksial dan lateral PIPJ yang berhubungan dengan hilangnya ekstensi
aktif atau pasif sendi dan (3) kegagalan non-operatif. perlakuan.
● Cedera Zona IV: Cedera zona IV atau dikenal sebagai cedera phalanx proksimal
biasanya melibatkan mekanisme ekstensor luas, biasanya parsial dan tidak terdapat
pada pita lateral, biasanya didiagnosis melalui inspeksi. Membebat PIPJ dalam
ekstensi selama 3-4 minggu tanpa perbaikan terbukti memiliki hasil yang sama
dengan memperbaikinya dengan 50 jahitan nonabsorbale. Namun, jika laserasi sudah
selesai, perbaikan primer secara bedah harus dilakukan diikuti dengan pemasangan
belat selama 6 minggu. Dalam 3 minggu pertama posisi volar harus digunakan dengan
ekstensi pasif diperbolehkan. Pada minggu ke 4 ekstensi aktif yang lembut dilakukan
tetapi tidak ada fleksi pasif saat ini. Dalam dua minggu terakhir, fleksi aktif
diperkenalkan dan latihan resistensi bertahap diterapkan.
● Cedera Zona V : Cedera di zona V hampir selalu terbuka dan dianggap sebagai
gigitan manusia sampai pemeriksaan membuktikan sebaliknya. Perbaikan tendon
primer diperlukan setelah irigasi. Pita saggital harus diperbaiki untuk mencegah
migrasi lateral tendon ekstensor digtorum communis dan hilangnya ekstensi
metacarpophalangeal.Belat pada pergelangan tangan pada ekstensi 30-45 derajat dan
sendi metacarpophalangeal pada 20-30 derajat fleksi dilakukan dengan sendi
interphalangeal proksimal bebas. Jika ada gigitan manusia maka harus dilakukan
pemeriksaan dan dilakukan debridemen, diairi dan dibiarkan terbuka. Kultur harus
diambil sebelum irigasi dan pasien mulai diberi antibiotik spektrum luas. Luka gigitan
biasanya sembuh dalam waktu 5 sampai 10 hari dan perbaikan sekunder jarang
diperlukan.
● Cedera Zona VI : Tendon di area ini dekat dengan paratendon tipis dan jaringan
subkutan tipis. Cedera pada zona yang terletak di punggung tangan ini tidak selalu
mengakibatkan hilangnya ekstensi pada sendi metacarpophalangeal. Perbaikan bedah
diperlukan dengan jahitan tipe inti yang lebih kuat dan kemudian belat harus dipasang
dalam posisi ekstensi selama 4-6 minggu. Jika ekstensor digitorum communis terkena,
semua jari harus dibidai tetapi jika hanya tendon proprius yang terkena, hanya jari
yang terkena yang perlu dibidai dengan pergelangan tangan. Cedera degloving sering
terjadi dan memerlukan pencangkokan atau flap. Karena tendon di area ini lebih
besar, jahitan inti yang lebih kuat harus digunakan.
● Cedera Zona VII : Masih ada perdebatan apakah pelepasan retinakulum untuk
visualisasi dan perbaikan diperlukan ketika cedera terjadi di area ini karena dapat
menyebabkan perlengketan pasca operasi . Beberapa bagian retinakulum ekstensor
perlu dipertahankan untuk memastikan menghindari tendon bowstringing . Rutinitas
yang sama untuk cedera zona IV dapat digunakan. Jika belat dinamis dini digunakan,
kecil kemungkinan terjadinya perlengketan. Jahitan empat untai terbukti sesuai untuk
cedera zona VII.
● Cedera Zona VIII : Pada bagian dorsal lengan bawah, banyak tendon yang mungkin
mengalami laserasi, termasuk sambungan otot tendon dan perut tendon, namun
ekstensi ibu jari dan pergelangan tangan harus diperbaiki terlebih dahulu. Jahitan
ganda angka delapan harus digunakan untuk memperbaiki otot perut. Imobilisasi
statis pada pergelangan tangan pada ekstensi 45 derajat dan sendi
metacarpophalangeal pada 15-20 derajat harus dipertahankan selama 4-5 minggu

2.1.4 ANATOMI FLEKSOR TENDON


Terdapat 8 tendon otot fleksor digitorum superfisial (FDS) dan profunda (FDP).
tendon, tendon fleksor pollicis longus dan fleksor carpi radialis yang melewati carpal
tunnel sampai tulang-tulang carpal atau jari-jari dan terinsersi ke dalam tulang terkait.
Sinovial dan selaput fibrosa membungkus permukaan dalam dan luar masing-masing
tendon, secara berturut-turut.
Dalam upaya menggambarkan trauma tendon secara akurat, Kleinert dan Verdan
mengklasifikasikan trauma tendon besdasarkan zona anatomi:
Zona I: Zona trauma avulsi FDP (jersey finger). Diantara insersio m. fleksor digitorum
superfisialis di medial phalanx media menuju insersio m. fleksor digitorum profundus di
distal phalanx
Zona II: No man’s land. Di antara caput metacarpal hingga insersio dari m. fleksor
digitalis superficialis di pertengahan phalanx media.
Zona III: Lipatan palmar distal. Letaknya antara ligamentum carpal transversum dengan
sisi distal dari canalis carpii proximal.
Zona IV: Ligamentum carpal transversum (carpal tunnel). Merupakan zona yang terletak
di dalam canalis carpalis
Zona V: Proksimal. Zona ini terdapat pada bagian dorsal dari canalis carpalis pada bagian
distal antebrachium. Terdiri dari zona T1 (distal IP digiti I), T2 (Digiti 1 bagian A1 hingga
IP), dan T3 (eminensia thenar).

Gambar 2.3 Anatomi dan zona cedera tendon fleksor tangan

2.2 RUPTUR TENDON


Ruptur adalah robek atau koyaknya jaringan secara paksa. Ruptur tendon dalah robek,
pecah atau terputusnya tendon yang diakibatkan karena tarikan yang melebihi kekuatan
tendon atau adanya trauma yang mengenai tendon tersebut.
Cedera tendon ekstensor lebih sering terjadi dibandingkan cedera tendon fleksor. dan
sangat umum (61%) karena tidak terlindungi sebaik tendon fleksor karena lokasinya yang
dangkal dan kurangnya jaringan subkutan di atasnya. Cedera tendon ekstensor dapat
menyebabkan gangguan fungsional yang serius namun belum mendapat perhatian dalam
literatur sebagai cedera tendon fleksor. Untuk memperbaiki tendon ekstensor, ahli bedah
memerlukan keterampilan yang sama seperti perbaikan tendon fleksor dan ini bukan
tantangan sederhana, yang merupakan kesalahpahaman umum. Laserasi sistem tendon
ekstensor dapat terjadi di lokasi mana pun. Ekstensor sangat sulit bagi ahli bedah karena
ukurannya yang lebih kecil dibandingkan dengan fleksor dan kurangnya ikatan ikatan
kolagen, sehingga mengurangi kekuatan cengkeraman yang tersedia untuk bahan jahitan.
Profil tendon datar di zona I hingga IV juga meningkatkan luas permukaan antara tendon
yang diperbaiki dan jaringan di sekitarnya, terutama tulang, sehingga rentan terhadap
pembentukan adhesi. Selain itu, penampang ekstensor berubah dari cakram setengah
lingkaran menjadi biokonkaf di zona I hingga IV sehingga menyulitkan perbaikan yang tahan
lama karena karakteristik tendon yang tipis namun luas

A. Penilaian klinis
Evaluasi cedera tendon membutuhkan pengetahuan rinci tentang anatomi aparatus
ekstensor, serta karakteristik fungsional dari setiap segmen. Anamnesis yang akurat sangat
penting dan harus mencakup mekanisme traumatik, posisi tangan pada saat cedera, dan
komorbiditas akhirnya. Biasanya ketika trauma terjadi dengan jari fleksi, kerusakan tendon
sesuai dengan tingkat cedera, sedangkan retraksi tendinous dapat diamati dalam kasus trauma
tinju. Secara umum, cedera dibagi menjadi dua kategori utama: cedera terbuka dan cedera
tertutup. Cedera terbuka dapat muncul sebagai avulsi, lesi tajam, atau laserasi.
Dalam kondisi terakhir ini, kerusakan yang signifikan terhadap sekitarnya jaringan
sering terjadi dan wajib dilakukan pemeriksaan neurovaskular. Ruptur tertutup dapat terjadi
akibat kondisi morbid yang melemahkan struktur tendon, seperti RA, penyakit pengendapan
kristal, dan erosi oleh perangkat keras internal yang digunakan untuk fiksasi tulang. Inspeksi
harus mempertimbangkan lokasi cedera, ukuran luka, kehadiran hilangnya substansi tendon
atau retraksi, dan kerusakan terkait. Selanjutnya, pengamatan yang teliti terhadap tangan
mungkin menunjukkan cedera tendon yang mendasari ketika kaskade fleksi jari tidak normal
saat istirahat atau ketika pergelangan tangan tertekuk dan melebar. dengan efek tenodesis.
Kemudian, pemeriksaan setiap jari tunggal dengan dan tanpa perlawanan harus dilakukan,
untuk mengecualikan tindakan tendina juncturae yang bisa menutupi entitas nyata dari
kerusakan. Di hadapan kelemahan ekstensi terhadap resistensi, cedera tendon parsial dapat
dicurigai. Kadang-kadang rasa sakit tidak memungkinkan pemeriksaan dan diagnosis yang
tepat, sehingga pada kasus tertentu anestesi lokal dapat membantu diagnostik.

B. Mekanisme penyembuhan Tendon


Penyembuhan tendon terjadi secara intrinsik maupun ekstrinsik. Penyembuhan
intrinsik didukung oleh suplai intrinsik yang memasok kira-kira seperempat dari volume
tendon.Penyembuhan ekstrinsik adalah hasil dari stimulasi jaringan peritendinous untuk
berproliferasi dan memasok kebutuhan sel dan kapiler yang dibutuhkan untuk proses
penyembuhan. Proses ini bertanggung jawab untuk pembentukan adhesi tendon untuk semua
struktur yang berdekatan dari luka menjadi satu dan terbentuk scar. Telah terbukti secara
eksperimental bahwasuplai darah intrinsik tidak cukup untuk mendukung penyembuhan
utamatendon dalam banyak kasus. Penyembuhan tendon di dalam selubung lebihlama
dibandingkan dengan penyembuhan bagian tendon diluar selubung. Urutan penyembuhan
tendon adalah sebagai berikut:
1) Fase inflamasi (0-10 hari)
Urutan biologis ini sama dengan penyembuhan luka pada umumnya,kecuali dalam
kasus ini, penyembuhan berlangsung lebih lambat. Bahkan, pada lima sampai tujuh hari
setelah terluka, tendon menjadi lebih lemah.
2) Fase proliferasi (4-21 hari)
Sebuah kalus fibrovascular terbentuk di sekitar tendon dan menyatukansemua struktur
luka menjadi satu bagian.
3) Fase Maturasi/Pematangan (28-120 hari)
Orientasi longitudinal dari fibroblas dan fiber dimulai. Pada 45 hari,kolagen lisis dan
pembentukan kolagen mencapai kesetimbangan. Pada 90hari, pembentukan awal bundel
kolagen mulai terlihat dan pada 120 hari bundel ini tampak seperti yang terlihat pada tendon
normal
Penanganan ruptur tendon, contohnya tondon otot flexor terus berkembang dari waktu
ke waktu. Perbaikan dan modifikasi serta penyempurnaan atas teknik teknik lama yang sudah
baku terus dilakukan dalam upaya mendapatkan hasil yang masimal dalam penyembuhan.

C. Komplikasi
Hilangnya gerak adalah komplikasi paling umum dari cedera tendon ekstensor dan
mungkin termasuk lag ekstensor residual dan / atau hilangnya fleksi. Pasien dengan beberapa
cedera tendon ekstensor, kehilangan segmental, atau cedera jaringan lunak yang terjadi
bersamaan harus dikonseling bahwa hilangnya gerak mungkin terjadi. Ekstensor tenolysis,
bersama dengan kemungkinan pelepasan kontraktur sendi dan tenor lentur, dapat
dipertimbangkan jika pasien tidak memiliki gerakan yang memuaskan setelah 6 bulan
meskipun kepatuhan dengan terapi tangan. Pecahnya setelah perbaikan tendon ekstensor
kurang umum dibandingkan setelah perbaikan tendon fleksor. Infeksi juga dapat terjadi tetapi
dapat dicegah dengan debridemen awal secara menyeluruh, terutama pada kasus dengan
kontaminasi kasar

2.3 DYNAMIC SPLINTING

Dynamic splinting merupakan modalitas yang dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan


pergerakan sendi pada tangan yang cedera. Penggunaan dynamic splinting untuk
memfasilitasi rehabilitasi pada tangan yang cedera dan menjadi bagian dari proses terapi
terutama pada ruptur tendon. untuk membedakan antara penggunaan statis, istirahat, maupun
durasi splint pada fase awal penyembuhan dan dynamic splint selama fase rehabilitasi
menunjukkan ketertarikan pada design dan konstruksi pada sistem dinamis ini. Tujuan
dynamic splinting adalah untuk menyediakan daya tahan lemah dalam periode waktu yang
lama untuk mempengaruhi sintesis jaringan baru. daripada memberikan efek strecth untuk
jaringan lunak yang menyebabkan kembalinya jaringan ke bentuk dan panjang semula,
tujuannya adalah untuk menjaga jaringan lunak pada posisi konstan dengan tekanan ringan
sehingga sel dapat berproliferasi merespon terhadap tekanan yang diberikan oleh splint.
Penanganan ruptur tendon, contohnya tendon otot flexor terus berkembang dari waktu ke
waktu. Perbaikan dan modifikasi serta penyempurnaan atas teknikteknik lama yang sudah
baku terus dilakukan dalam upaya mendapatkan hasil yang masimal dalam penyembuhan,
salah satu terapi rutptur tendon dapat dilakukan dengan dynamic splinting.
Penggunaan splint pertama-tama ditujukan untuk mengistirahatkan dan mengurangi rasa
nyeri. splint dinamis dapat bergerak sehingga mencegah dan mengurangi timbulnya
kekakuan, hanya harus diingat bahwa gerakan yang ditimbulkan adalah sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkaan atau menambah nyeri.
Dynamic splinting terdiri dari dasar statis yang stabil dan komponen mobilisasi elastis.
Komponen mobilisasi terbuat dari berbagai bahan dinamis yang mungkin mencakup elastic
bands, springs, coils, atau lycra. Dynamic splint menahan sendi/sendi yang kaku di ujung
ROM yang tersedia, dengan tegangan ringan, untuk jangka waktu yang lama. Pertumbuhan
selanjutnya dan reorganisasi serat kolagen pada jaringan lunak yang terlibat dalam kontraktur
memungkinkan peningkatan PROM ( Passive Range of Motion).
Banyak faktor yang diyakini mempengaruhi keberhasilan dynamic splinting dalam
resolusi kontraktur, termasuk tingkat kekakuan sendi sebelum perawatan, diagnosis, waktu
sejak cedera, usia, jenis kelamin, asuransi.status, dan tipe joint .Misalnya, kemajuan yang
lebih buruk dalam perawatan dynamic splint terjadi jika pasien berusia lanjut dan cedera
awal sudah cukup lama. Sendi proksimal phalangeal (PIP) seringkali dirasakan lebih
bermasalah dibandingkan sendi metacarpophalangeal (MCP) dan kurang responsif terhadap
terapi. Pasien yang diasuransikan mungkin kurang termotivasi dibandingkan pasien yang
tidak diasuransikan dan kurang patuh terhadap terapi. Sendi dengan tingkat kekakuan
sebelum perawatan yang lebih tinggi dirasakan cenderung tidak memberikan respons
terhadap terapi dan lebih cenderung memerlukan intervensi bedah.
Meskipun dokter saat ini menggunakan variabel-variabel ini untuk memandu
pertimbangan klinis dan pilihan intervensi untuk setiap pasien, data penelitian terbatas untuk
membenarkan pentingnya faktor-faktor ini dalam mempengaruhi resolusi kontraktur.
Michlovitz dkk. melakukan tinjauan sistematis terhadap intervensi terapeutik yang digunakan
untuk meningkatkan ROM sendi, termasuk splint. Mereka menemukan bukti yang
mendukung efek positif splint dalam penatalaksanaan kontraktur sendi, namun menyatakan
bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
hasil, seperti dosis optimal, jadwal pemakaian, faktor pasien, dan waktu sejak cedera. Kami
bertujuan untuk mulai mengatasi kesenjangan dalam literatur dengan mengidentifikasi
prediktor klinis resolusi kontraktur pada sendi tangan, setelah periode dynamic splint selama
delapan minggu.
Dynamic splints selama delapan minggu dalam penelitian adalah kekakuan sendi
sebelum perawatan, yang diukur menggunakan Weeks Test yang dimodifikasi, waktu sejak
cedera, diagnosis, dan defisit (fleksi atau ekstensi). Intervensi dini dengan belat dinamis
penting karena hasil terbaik akan terlihat jika belat dimulai dalam dua hingga tiga bulan
pertama pasca cedera. Seiring dengan berjalannya waktu sejak cedera, penilaian Weeks Test
yang dimodifikasi mengenai kekakuan sendi berpotensi digunakan oleh dokter untuk
mengukur secara tentatif hasil yang diharapkan dari perawatan belat. Diperlukan penelitian
lebih lanjut.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mowlavi dkk yang membandingkan antara
dynamic splint dan static splint menunjukkan bahwa dynamic splint pada laserasi tendon
ekstensor yang sederhana dan lengkap di zona V dan VI memberikan hasil fungsional yang
lebih baik pada minggu ke-4, 6, dan 8 tetapi tidak ada perbaikan yang signifikan pada bulan
ke-6 jika dibandingkan dengan static splint. Hasil ini bertentangan dengan laporan observasi
retrospektif dan prospektif yang diterbitkan sebelumnya yang menggambarkan hasil yang
lebih baik dengan belat dinamis pada tindak lanjut jangka panjang. Namun, penelitian
sebelumnya ini mencakup pasien dengan cedera pada spektrum penuh zona ekstensor (II
hingga IV dan VII) dan beberapa penelitian mencakup pasien dengan laserasi kompleks yang
melibatkan kelainan tulang.Dengan demikian, kegagalan untuk menunjukkan perbedaan pada
tindak lanjut jangka panjang dalam penelitian kami antara kedua kelompok mungkin
disebabkan oleh fakta tersebut cedera tendon ekstensor sederhana pada zona V dan VI tendon
ekstensor dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan cedera pada zona
II hingga IV dan zona VII.

Prognosis yang lebih baik secara umum disebabkan oleh banyaknya jaringan lunak
yang dapat bergerak di punggung tangan, yang menyebabkan permukaan meluncur halus
sehingga menghambat adhesi tendon dan mengakibatkan penurunan luas permukaan kontak
tendon tulang. Selain itu, kurangnya perbedaan fungsi yang diamati pada 6 bulan mungkin
disebabkan oleh program rehabilitasi agresif yang kami lakukan di pusat terapi tangan kami.
Walaupun tidak secara kuantitatif, terapis kami berpendapat bahwa pasien yang diobati
dengan belat statis memerlukan terapi yang lebih agresif setelah pelepasan belat pada 4
minggu pasca operasi.
Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan agar menghasilkan bebatan yang efisien dan
optimal, antara lain:
A. Memberikan tegangang tegak lurus dengan aksis tulang panjang
Tujuan dari pembebatan adalah untuk meberikan tegangan tegak lurus dengan aksis
tulang panjang pada lengan bawah untuk membuat gerakan pada sendi. Hal ini akan
lebih sulit jika pembebatan dilakukan pada bagian sendi jari fleksor, dimana ruang
yang dapat digunakan untuk penempatan cadik terbatas pada telapak tangan saja.
Maka dari itu, pemilihan desain low-profile lebih diutamakan dalam keadaan tersebut.

B. Stabilisasi dari cadik (outrigger) dan dasar bebatal (splint base)


Efisiensi dan hasil yang diinginkan akan berkurang jika cadik dan dasar bebatan dalak
keadaan yang tidak stabil. Cadik akan lebih dahulu mengalami deformitas dibanding
dengan jaringan yng diinginkan sehingga penggunaan bebatan akan sia-sia.
C. Menambahkan tarikan yang sesuai
Oleh karena tarikan harus diletakkan di distal dari tulang panjang agar
memaksimalkan efisiensi bebatan, penempatan fingerloop harus diukur dalam sudut
90 derajat ke arah tarikan. Tujuan dari pemakaian bebatan serta cara penggunaannya
juga harus dijelaksan secara baik kepada pasien sehingga menghasilkan luaran yang
diinginkan.
D. Mendistribusikan tekanan dan tarikan secara merata
Dalam menghasilkan keadaan cadak dan dasar bebatan yang stabil untuk
memaksimalkan fungsi, desain low-profile dapat digunakan karena menghasilkan
tekanan yang lebih stabil. Namun jika dibuat dengan tekanan mekanik yang benar,
baik desain low-profile maupun high-profile memiliki distribusi tarikan yang sama
baiknya.
E. Mudah dalam pengaturannya
Kemudahan dan kecepatan dalam pengaturan cadik dalam membuat garis tarikan
yang sesuai merupakan faktor utama dari keberhasilan dan keefektivan waktu terapi.
penggunaan welding rod dapat mempermudah pengaturannya hanya dengan
membengkokan besinya.
F. Memberikan tegangan yang konstan
Tegangan didapatkan dengan menggunakan karet yang elastis. Tujuan penggunaan
pembebatan low-profile adalah untuk menciptakan panjang semaksimal mungkin
dalam elastisitas karet yang digunakan. Dimana, penggunaan rubber-band panjang
lebih menghasilkan regangan yang konstan dibandingkan penggunaan rubber-band
pendek. Menempatkan cedak sedekat mungkin dengan titik tumpu tekanan dapat
memaksimalkan regangang dari karet yang digunakan.
G. Menggunakan bahan/materal yang kuat dan kokoh
Splint sebaiknya memiliki tampilan yang baik dan sederhana dan membuat
penggunanya dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan mudah. Kemudahan
dalam melakukan aktivitas fisik dengan lancar saat pasien menggunakan splint
merupakan salah satu tujuan dilakukannya splinting. Oleh karena penggunaanya yang
jangka panjang, splint harus di desain dengan baik sehingga nyaman digunakan.

Gerakan terkontrol awal dengan extensor dynamic splints terbukti mengurangi adhesi
dan kontraktur berikutnya. Hanya dua studi uji coba terkontrol secara acak yang
membandingkan mobilisasi dini dengan mobilisasi aktif dini. Chester et al., mengamati
cedera ekstensor dari zona IV hingga VIII dan menemukan ROM yang jauh lebih baik pada
kelompok pasien yang diobati dengan mobilisasi terkontrol dini dibandingkan dengan
mobilisasi aktif dini pada 4 minggu.
BAB III
KESIMPULAN

Ruptur tendon dalah robek, pecah atau terputusnya tendon yang diakibatkan karena
tarikan yang melebihi kekuatan tendon atau adanya trauma yang mengenai tendon tersebut.
Ruptur tendon pada tangan dapat dibagi menjadi tendon fleksor dan ekstensor serta dilakukan
lagi pembagian berdasarkan zona masing-masing. Penyebab terjadinya ruptur tendon tangan
dapat bervariasi sehingga penatalsanaanya pun disesuaikan dengfan tingkat keparahan cedera.
Dalam penatalaksanaan ruptur tendon tangan, dapat dilakukan dengan pembedahan maupun
non-pembedahan. Salah satu tatalaksana non-pembedahan yang dapat dilakukan adalah
dengan Dynamic splinting.
Dynamic splinting merupakan modalitas yang dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan
pergerakan sendi pada tangan yang cedera. Tujuan dynamic splinting adalah untuk
menyediakan daya tahan lemah dalam periode waktu yang lama untuk mempengaruhi sintesis
jaringan baru. daripada memberikan efek strecth untuk jaringan lunak yang menyebabkan
kembalinya jaringan ke bentuk dan panjang semula, tujuannya adalah untuk menjaga jaringan
lunak pada posisi konstan dengan tekanan ringan sehingga sel dapat berproliferasi merespon
terhadap tekanan yang diberikan oleh splint. Dynamic splinting masih menjadi perawatan
rehabilitasi yang dipilih untuk ruptur tendon pada tangan.
DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat, R. dan de Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. 2004. Jakarta : EGC

Saladin: Anatomy & Physiology: The Unity of Form and Function, Ed.3. 2003. The McGraw
Hill Companies.

Holm CL, Embrick RP. Anatomical consideration in the primary treatment of tendon injuries
of the hand. JBJ. 2016

Glasgow C, Tooth LR, Fleming J, Peters S. Dynamic splinting for the stiff hand after trauma:
predictors of contracture resolution. J Hand Ther. 2011 Jul-Sep;24(3):195-205; quiz 206. doi:
10.1016/j.jht.2011.03.001. Epub 2011 May 19. PMID: 21600732.

Colditz, J. Low Profile Dynamic Splinting of the Injured Hand. 1983. The American JOurnal
of Occupational Therapy. Vol 37, No.3

Griffin M, Hindicha S, and others. Management of Extensor Tendon Injuries.2012. The Open
orthopedics journal. Suppl 1.doi: 10.2174/1874325001206010036

Mowlavi A, Burns M, and others. Dynamic versus Static Splinting of Simple Zone V and
Zone VI Extensor Tendon Repairs: A Prospective, Randomized, Controlled Study.2005.
Plastic & Reconstructive Surgery 115(2):482-7

Anda mungkin juga menyukai