Anda di halaman 1dari 42

Clinical Science Session (CSS)

*Program Studi Profesi Dokter/ G1A219116/ 2020

**Pembimbing/ dr. Damayanti Eka, Sp.OG

COVID 19 IN PREGNANCY

Oleh :
Nabilah Haptriani, S.Ked
Dosen Pembimbing : dr. Damayanti Eka, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
LEMBAR PENGESAHAN
Clinical Science Session (CSS)

OVID 19 IN PREGNANCY

Oleh:
Nabilah Haptriani
G1A219116

Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Obstetri dan Ginekologi


Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan Universitas Jambi
RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi
2021

Jambi, September 2021


Pembimbing,

dr. Damayanti Eka, Sp.OG

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan referat yang berjudul “Covid 19 In Pregancy”. Dalam kesempatan ini saya
juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Damayanti Eka, Sp.OG selaku dosen
pembimbing yang memberikan banyak ilmu selama di Kepaniteraan Klinik Senior
di Bagian Obstetri dan Ginekologi.
Penulis menyadari bahwa laporan referat ini jauh dari sempurna, penulis
juga dalam tahap pembelajaran, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
agar lebih baik kedepannya.
Akhir kata, saya berharap semoga laporan clinical science session (CSS) ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi dan pengetahuan
kita.

Jambi, September 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................2
2.1 COVID-19 ...................................................................................8
2.2.1 Definisi .............................................................................8
2.2.2 Epidemiologi .....................................................................9
2.2.3 Etiologi .............................................................................9
2.2.4 Patogenesis ...................................................................... 10
2.2.5 Adaptasi Fisiologis pada Kehamilan ............................... 12
2.2.6 Perjalanan penyakit COVID 19 dalam Kehamilan ........... 16
2.2.7 Perjalanan HLH dalam COVID19 selama Kehamilan ...... 22
2.2.8 Hubungan HLH dan Covid 19 selama Kehamilan ............ 24
2.2.9 Langkah Diagnostik......................................................... 26
2.2.10 Penatalaksanaan………………………………………….28
2.2.11 Pencegahan………………………………………………33
BAB III KESIMPULAN ......................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 35

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Pada Desember 2019, sekelompok empat kasus pneumonia dengan etiologi


yang tidak diketahui di Wuhan, Cina, dilaporkan ke Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO). Sejak itu, penyakit virus corona 2019 (COVID-19) yang disebabkan oleh
sindrom pernapasan akut parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2) telah menyebar
dengan cepat ke seluruh dunia. Pada 12 Maret 2020, WHO menetapkan wabah
tersebut sebagai pandemi. Banyak negara merespons dengan membatasi kebebasan
bergerak dan membatasi perawatan kesehatan non-darurat untuk memfokuskan
sumber daya pada penyediaan perawatan COVID-19. Karena wanita hamil berisiko
lebih besar mengalami komplikasi dan penyakit parah akibat infeksi virus corona
lain, termasuk Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) dan Sindrom Pernafasan
Timur Tengah (MERS), mereka diidentifikasi sebagai wanita yang rentan. dan
disarankan untuk mengambil tindakan pencegahan tambahan ketika pandemi
COVID-19 berlangsung. Untuk mengurangi risiko penularan bagi wanita hamil dan
petugas kesehatan, Federasi Internasional Ginekologi dan Obstetri (FIGO)
merekomendasikan penangguhan banyak perawatan antenatal rutin dan
penggantian dengan konsultasi video atau telepon bila memungkinkan.1,4,5
Sebagian besar kasus covid-19 awalnya dikaitkan dengan perjalanan ke
Provinsi Hubei, China; namun semakin banyak kasus disebabkan oleh penularan
dari orang ke orang telah dilaporkan di dalam maupun luar Tiongkok. Diatas 94%
kasus covid-19 dilaporkan berasal dari Provini Hubei pada Desember 2019. Pada
Mei 2020 jumlah terbesar kasus baru dilaporkan di Amerika Serikat, Brazil, Rusia,
Inggris, dan Spanyol yang diyakini dominan penyebarannya melalui transmisi
komunitas. Saat ini, (data 2 September 2021) berdasarkan data WHO, tercatat
4,147,360 kasus terkonfirmasi positif menderita covid-19 di Indonesia dan
diantaranya, terdapat 137,782 kematian terkait covid-19.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi COVID 19


Coronavirus disease-2019 (COVID-19) adalah penyakit yang sangat
menular yang disebabkan oleh sindrom pernapasan akut coronavirus-2 (SARS-
CoV-2). Coronavirus merupakan keluarga besar dari virus rantai tunggal positif
RNA yang dapat menginfeksi berbagai spesies binatang dan manusia. Virus
corona pada manusia dapat dibagi berdasarkan patogenitasnya. Jenis virus
dengan patogenitas yang tinggi antara lain SARS-CoV, MERS-CoV, dan yang
terbaru yaitu SARS-CoV2. Penularan lintas spesies yang paling mungkin terjadi
awalnya merupakan dari kelelawar ke manusia yang diyakini berasal dari
Wuhan, China.1,4,5
2.2 Etiologi
Coronavirus merupakan virus RNA rantai tunggal positif, berkapsul dan
tidak bersegmen. Coronavirus tergolong ordo nidovirales, keluarga
coronaviridae. Struktur coronavirus membentuk struktur seperti kubus dengan
protein S berlokasi di permukaan virus. Protein S atau spike protein merupakan
salah satu protein antigen utama virus dan merupakan struktur utama untuk
penulisan gen. Protein S ini berperan dalam penempelan masuknya virus
kedalam sel host (interaksi protein S dengan reseptornya dalam sel inang).
Coronavirus yang menjadi etiologi dari Covid-19 termasuk dalam genus
betacoronavirus. Coronavirus bersifat sensitive terhadap panas dan secara
efektif dapat di inaktifkan oleh desinfektan mengandung klorin, pelarut lipid
dengan suhu 56oC selama 30 menit, eter, alcohol, asam perioksiasetat, detergen
non-ionik, formalin, oxidizing agent, dan kloroform. Klorheksidin tidak efektif
dalam menonaktifkan virus ini Penyakit ini terutama menyebar dia antara
orang-orang melalui droplets dari bersin dan batuk. Virus ini dapat bertahan
hingga tiga hari dengan plastic dan stainless steel atau selama tiga jam dalam
aerosol.1,7

2
Gambar 2.1 Struktur virus SARS-CoV21

2.3 Epidemiologi
Sebagian besar kasus covid-19 awalnya dikaitkan dengan perjalanan ke
Provinsi Hubei, China; namun semakin banyak kasus disebabkan oleh
penularan dari orang ke orang telah dilaporkan di dalam maupun luar
Tiongkok. Diatas 94% kasus covid-19 dilaporkan berasal dari Provini Hubei
pada Desember 2019. Pada Mei 2020 jumlah terbesar kasus baru dilaporkan di
Amerika Serikat, Brazil, Rusia, Inggris, dan Spanyol yang diyakini dominan
penyebarannya melalui transmisi komunitas. Saat ini, (data 2 September 2021)
berdasarkan data WHO, tercatat 4,147,360 kasus terkonfirmasi positif
menderita covid-19 di Indonesia dan diantaranya, terdapat 137,782 kematian
terkait covid-19.2
2.4 Patofisiologi
Telah ditunjukkan bahwa SARS-CoV-2 mengganggu respons kekebalan
normal, yang menyebabkan gangguan sistem kekebalan dan respons
peradangan yang tidak terkendali pada pasien COVID-19 yang parah dan kritis.
Pasien-pasien ini menunjukkan limfopenia, aktivasi dan disfungsi limfosit,
kelainan granulosit dan monosit, tingkat sitokin yang tinggi, dan peningkatan
imunoglobulin G (IgG) dan antibodi total. Pola kekebalan COVID-19
diuraikan secara rinci di bagian berikut.3
Infeksi SARS-CoV2 disebabkan oleh ikatan protein S pada permukaan
virus dengan reseptor ACE2 (angiotensin-converting enzyme 2) pada sel

3
manusia setelah aktivasi protein spike virus oleh transmembrane protease
serine 2. ACE2 terdapat pada sel paru (terutama pada sel alveolar tipe II) dan
merupakan portal masuk dari virus tersebut ACE2 juga banyak terdapat pada
sel jantung, menghalangi efek angiotensin II pada area tersebut dengan
menimbulkan aktivasi berlebihan dari sistem renin-angiotensin, seperti pada
hipertensi, gagal jantung kongestif, dan aterosklerosis. Selain pada jantung dan
paru-paru, ACE2 terdapat pula pada sel epitel intestinal, sel endotel pembuluh
darah, dan ginjal, yang dapat memicu disfungsi organ multiple pada kasus
infeksi SARS-CoV2.3

Gambar 2.1 Masuknya SARS Cov2 ke dalam sel manusia


Covid-19 merupakan penyakit akut yang target utamanya adalah sistem
pernapasan. SARS-CoV2 menggunakan S-spike protein untuk berikatan
dengan reseptor ACE2 sebagai tempat masuk ke sel. Reseptor ACE2 terdapat
pada sel pneumosit tipe 1 dan tipe 2 tetapi juga ada pada sel lain, termasuk sel
endotel. ACE2 adalah “inverse regulator” dari sistem renin-angiotensin.
Transmisi primer dari covid-19 ini adalah melalui droplets. Virus ini (SARS-
CoV2) beredar dalam sekresi pernapasan. Seorang dapat terinfeksi melalui

4
kontak dengan selaput lendir (hidung, mata, ataupun mulut) dimana sekresi
organ pernapasan dari seorang yang terinfeksi tersebut aktif mengeluarkan
partikel virus. Sebuah bukti juga menunjukkan bahwa penyebaran covid-19
dapat pula melalui udara (airborne), sehingga di berbagai negara
direkomendsikan melakukan tindakan pencegahan yang sesuai.3
Badai sitokin yang diinduksi COVID-19, yaitu, respons inflamasi sistemik
yang tidak terkontrol yang berhubungan dengan pelepasan sejumlah besar
sitokin proinflamasi bersama dengan komponen pelengkap, disfungsi
koagulasi, gagasan imunoterapi tambahan yang menghambat jalur pro-
inflamasi seperti pensinyalan IL-6 adalah pendekatan yang masuk akal. Lebih
khusus lagi, penelitian pada model hewan dan uji berbasis sel setelah infeksi
SARS-CoV-2, serta profil serum dan transkripsi pasien COVID-19,
mengungkapkan respons inflamasi abnormal berlebihan yang ditandai dengan
penurunan kadar tipe I dan III IFNs, bersama dengan peningkatan kemokin dan
ekspresi IL-6. Juga, atlas respons imun sel tunggal pada pasien dengan
COVID-19 parah mengungkapkan konfigurasi ulang fenotipe sel imun perifer
selama COVID-19 yang mengancam jiwa, termasuk downregulasi HLA kelas
II, gen terstimulasi IFN yang heterogen, dan neutrofil. populasi yang
berhubungan dengan plasmablas yang muncul pada pasien yang
mengembangkan ARDS dan membutuhkan ventilasi mekanis. Menariknya,
pasien dengan pneumonia COVID-19 yang mengancam jiwa (tetapi tidak
dengan infeksi SARS-CoV-2 yang asimtomatik atau ringan) telah menetralkan
IgG auto-Abs terhadap IFNs atau kesalahan imunitas IFN tipe I yang
bergantung pada TLR3 dan IRF7 . menunjukkan bahwa kesalahan bawaan dari
kekebalan IFN tipe I mendasari COVID-19 yang parah. Di seluruh lini
penelitian ini ditemukan bahwa sel T CD4+, CD8+ yang terkoordinasi dan
respons antibodi bersifat protektif, sedangkan respons yang tidak terkoordinasi
sering gagal mengendalikan penyakit, dengan hubungan antara penuaan dan
respons imun adaptif yang terganggu terhadap SARS-CoV-2.3

5
2.4.2 Keseimbang Reseptor ACE / AT1R dan ACE2/ANG (1-7)/MASRS
ACE2 merupakan komponen utama dari sistem Renin-Angiotensin (RAS)
yang menjaga keseimbangan cairan dan garam, serta homeostasis tekanan
darah . Renin, angiotensinogen (AGT), angiotensin-converting enzyme (ACE),
angiotensin II (ANGII) dan reseptor ANGII tipe 1 dan tipe 2 (AT2R1 dan
ATR2) (Gbr. 1; AT2R tidak ditampilkan) adalah komponen utama dari RAS.
ACE menghasilkan ANGII yang merupakan peptida efektor kunci yang
menyebabkan vasokonstriksi. Overaktivasi RAS telah terlibat dalam
patofisiologi aterosklerosis, gagal jantung, hipertensi, diabetes, gangguan
renovaskular, hipertensi paru, pneumonia, fibrosis, dan sepsis.3,7,8,9
Di sisi lain, ACE2 yang memiliki homologi yang cukup besar (40%
identitas dan 61% kesamaan) dengan ACE metalloprotease, berfungsi sebagai
regulator negatif dari sistem RAS. Secara khusus, ACE2 mengurangi tingkat
ANGII dengan membelahnya menjadi peptida ANG(1-7) penyortir, yang
kemudian dapat mengaktifkan reseptor MAS yang mempromosikan
vasodilatasi dan anti-inflamasi (MASR) (Gambar 2.1). Lebih lanjut, telah
dilaporkan bahwa ACE2 menghubungkan malnutrisi asam amino dengan
peradangan usus, karena merupakan pengatur utama imunitas bawaan,
homeostasis asam amino diet, dan ekologi mikroba usus. Secara keseluruhan,
keseimbangan antara sumbu ACE/ANGII/AT1R dan ACE2/ANG(1–7)/ MASR
yang berlawanan merupakan pusat (antara lain) regulasi fisiologis fungsi
kardiovaskular, tekanan darah, saraf, dan ginjal.3,7,8,9

Gambar 2.2 Reseptro ACE – 211

6
Gambar 2.3 Perbandingan Angiotensin II dan Angiotensin 1-711

Gambar 2.4 Sistem Renin Angiotensin11


Dapat diasumsikan bahwa peningkatan ekspresi ACE2 atau koekspresi pada
tingkat tinggi protein ACE2, TMPRSS2 dan CTSB/L dalam sel/jaringan target
SARS-CoV-2 akan berkorelasi dengan risiko infeksi virus yang lebih tinggi.
Dilaporkan, gen/protein ACE2, TMPRSS2 dan CTSB/L diekspresikan secara
luas dalam jaringan manusia; menjadi sangat diperkaya di ginjal, jantung, serta
di jaringan saluran pernapasan dan pencernaan. Gen ACE2 dan TMPRSS2
diekspresikan secara minimal dalam sel darah dan cenderung diatur bersama;
juga ditemukan bahwa faktor masuk SARS-CoV-2 diekspresikan pada tingkat
tinggi dalam sel epitel di pernapasan. Pengamatan ini menunjukkan bahwa
bahkan tanpa adanya penyakit penyerta yang mendasari, sebagian besar organ

7
vital manusia berpotensi rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2. Ditemukan juga
bahwa gen ACE2/TMPRSS2 (antara lain) diregulasi oleh tumor necrosis factor
(TNF) dan diinduksi oleh beberapa kondisi pro-inflamasi termasuk esofagus
Barrett, infeksi lambung oleh Helicobacter pylori, obesitas, diabetes, penyakit
autoimun, serta oleh infeksi virus, merokok, faktor pertumbuhan, interferon
(IFNs) dan androgen. Untuk mendukung, ekspresi ACE2 dirangsang oleh gen
tipe I Interferon (IFN-a) dalam sel epitel saluran napas manusia dan dengan
demikian, SARS-CoV-2 dapat (secara tidak langsung) mengeksploitasi
upregulasi ACE2 yang didorong oleh IFN untuk meningkatkan tingkat infeksi
pada jaringan target.3,7,8,9
Pada kehamilan, Jumlah reseptor ACE2 meningkat selama awal dan
pertengahan kehamilan. ACE2 adalah reseptor untuk masuknya SARS-CoV-2
ke dalam sel plasenta. Bukti menunjukkan bahwa down-regulation ACE2 yang
didorong oleh SARS-CoV-2 mengarah ke serangkaian interaksi molekuler yang
kompleks dan saling terkait yang mengakibatkan badai sitokin (CS) yang
diamati dalam kondisi parah. Respon imun ini telah dikaitkan dengan kompleks
kompleks yang lebih tinggi penerimaan dan kematian di unit perawatan (ICU)
di antara pasien COVID-19.4,10

Gambar 2.5 Jumlah Reseptor ACE 2 meningkat selama kehamilan4

8
2.4.3 Badai Sitokin pada infeksi COVID 19 sedang berat
Istilah 'badai sitokin' berlaku untuk reaksi autoimun patologis ketika
interaksi yang mengarah pada produksi sitokin menjadi tidak stabil. Sel-se lain
dari sistem kekebalan dipengaruhi oleh umpan balik positif yang didorong oleh
sitokin yang diproduksi secara berlebihan, sehingga menghasilkan peradangan
yang tidak terkendali di dalam jaringan dan organ utama dan menginduksi
serangan sistem autoimun. Kerusakan biasanya dihilangkan karena regenerasi;
namun, dalam badai sitokin, efek inflamasi yang lebih serius terlibat, termasuk
kerusakan alveolar difus atau fibrosi. Badai sitokin berhubungan dengan sepsis
dan syok septik, influenza, gangguan pernapasan akut, dan respons toksik
terhadap pengobatan. Badai sitokin dianggap sebagai penyebab penting
kematian pada pasien dengan infeksi SARS-CoV-2 yang parah4,6
Sitokin adalah protein kecil yang terlibat dalam jalur pensinyalan sel.
Mereka termasuk dalam sistem kekebalan dan diproduksi oleh monosit,
makrofag, neutrofil, sel B, dan sel T. Molekul-molekul ini mengatur reaksi
imun dan respons inflamasi tubuh terhadap infeksi.4,6
Pasien COVID-19 memiliki hasil laboratorium yang tidak normal, yaitu
kadar sitokin inflamasi-interleukin 6 (IL-6), interleukin 1β (IL-1β), TNF-α,
prokalsitonin, C-reactive protein (CRP) dan angiotensin. II meningkat,
menyoroti peran respon inflamasi pada penyakit. Peningkatan kadar beberapa
sitokin, terutama interleukin IL-1β, interleukin 2 (IL-2), IL-6, interleukin 7 (IL-
7), IL-10, TNFα dan granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) diamati
pada pasien dengan SARS-CoV-2. Jumlah total sel T, B dan NK berkurang
secara signifikan pada pasien COVID-19. Selanjutnya, sel T CD8+ condong
ke arah fenotipe tua. Akibatnya, sel CD4+ T, CD8+ T dan NK menunjukkan
penurunan produktivitas sitokin antivirus. Sitokin, seperti interleukin 12 IL12,
IL15 dan IL21, yang penting untuk aktivitas sel NK, tidak ditemukan secara
konsisten. Penurunan potensi sitotoksik ditemukan, terutama pada pasien
COVID-19 yang membutuhkan perawatan intensif.4,6

9
Selain itu, sel T CD4+ teraktivasi menjadi sel Th1 patogen dan
menghasilkan G-CSF, sehingga meningkatkan ekspresi IL-6 pada monosit
CD14+, CD16+ [14]. IL-1 dan IL-6 adalah sitokin pro-inflamasi utama yang
dilepaskan oleh pejamu sebagai respons terhadap infeksi virus. Tampaknya
tingkat IL-6 adalah yang paling penting di sini karena tingkat interleukin yang
lebih tinggi ini dimanifestasikan pada pasien dengan perjalanan COVID-19
yang parah. Selain itu, pasien dengan COVID-19 parah yang menerima
ventilasi mekanis menunjukkan peningkatan kadar IL-6.4,6
Menurut penelitian terbaru, IL-6 mungkin bertanggung jawab atas
peradangan paru-paru yang parah dan kecacatan fungsi paru-paru pada pasien
dengan COVID-19 yang parah. Selain itu, telah dilaporkan bahwa pasien
dengan peningkatan kadar IL-6 pada awal membutuhkan perawatan intensif
dan perawatan khusus dalam waktu lama.4
Diamati bahwa pasien COVID-19 tidak menunjukkan tingkat faktor
anti-inflamasi yang rendah dibandingkan dengan jumlah agen inflamasi, yang
mengakibatkan ketidakseimbangan kekebalan dan memicu badai sitokin.
Pelepasan mediator pro-inflamasi yang masif ini merupakan karakteristik
dalam sekelompok kondisi yang memiliki mekanisme patogenik yang sama,
meskipun dengan etiologi yang berbeda. Disarankan bahwa alasan ARDS
adalah respons hiperinflamasi terganggu yang disebabkan oleh CS. Pada
COVID-19, CS juga bertanggung jawab atas penyebab kematian lainnya, yaitu
secondary haemophagocytic lymphohistiocytosis (sHLH).4
HLH diklasifikasikan sebagai salah satu sindrom badai sitokin (CSS).
HLH adalah kelainan langka yang mengancam jiwa. Ini dapat dipicu baik oleh
cacat genetik primer atau terkait dengan beberapa penyakit seperti infeksi,
keganasan hematologi, penyakit rematik, sindrom imunodefisiensi, penyakit
autoimun dan obat-obatan. Sebagian besar kasus yang dilaporkan terkait
dengan infeksi virus, termasuk virus Epstein-Barr (EBV), human
immunodeficiency virus, cytomegalovirus, virus herpes simpleks, virus
influenza, virus hepatitis-B dan parvovirus B19. Metode bagaimana virus
menyebabkan HLH belum sepenuhnya dijelaskan. Berbagai faktor mungkin

10
berperan. Virus, terutama virus DNA, memiliki kemampuan untuk
memodulasi respon imun. Virus herpes, khususnya, mengeksploitasi teknik ini.
Mereka dapat meningkatkan kerentanan host terhadap HLH dengan sengaja
menghindari respon imun efektor dan menyebabkan ketidakseimbangan
sitokin. Mikroba patogen menyebabkan proliferasi dan aktivasi sel T dan
makrofag yang berlebihan, mengakibatkan disregulasi imunitas seluler dan
rasio Th1/Th2, aktivasi sel Th1 yang berlebihan, sekresi sejumlah besar sitokin
yang mengaktifkan sel T sitotoksik (CTL) dan makrofag, proliferasi sejumlah
besar CTL, dan peningkatan fagositosis pada makrofag. Mikroba patogen ini
juga merangsang makrofag, DC, sel NK, dan CTL, menghasilkan badai sitokin
yang menghancurkan sel target. CTL akan terus diaktifkan oleh sinyal
proliferatif dan melepaskan sejumlah besar IFN, menyebabkan makrofag
mensekresi berbagai sitokin dan kemokin, yang berpuncak pada kaskade reaksi
inflamasi yang tidak terkontrol jika aktivasi sel imun tidak dihentikan.4
Dalam kasus CSS yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen, tidak
hanya kriteria diagnostik HLH-2004 yang harus dipenuhi, tetapi juga harus ada
bukti diagnosis etiologis (tes positif untuk keberadaan virus atau isolasi
mikroorganisme). Meskipun diagnostik ekstensif, pada 23-26% kasus, faktor
etiologi tetap tidak diketahui. HLH adalah kondisi hiperinflamasi,
hiperferitinemia yang digerakkan oleh sel T yang ditandai dengan stimulasi
persisten IFN-γ yang bergantung pada Tool like Receptor (TLR), sel penyaji
antigen dan aktivasi sel T yang tidak terkontrol, yang pada akhirnya mengarah
ke CSS.4
Mekanisme imun badai sitokin COVID-19 mungkin terkait dengan
imunosupresi yang diinduksi virus dan disfungsi sel NK. Respon sel NK sangat
penting untuk respon imun antivirus. Sebuah studi yang baru-baru ini
diterbitkan terhadap pasien COVID-19 mengungkapkan bahwa penyakit parah
dikaitkan dengan prevalensi sel NKG2C+ NK. Setelah interaksi antara
CD94/NKG2C dan ligan selulernya HLA-E, respons sel NK sitotoksik
diaktifkan. Sebagai hasil interaksi tersebut, molekul efektor proinflamasi sel
NKG2C+ dilepaskan untuk melawan sel yang terinfeksi virus.4

11
Peningkatan kadar interferon gamma-induced protein 10, monosit
chemotactic protein 3 dan antagonis reseptor IL-1 yang terkait dengan
keparahan penyakit dan kematian telah diamati pada pasien pneumonia ARDS
parah.4
Liu dkk. mengamati bahwa pada pasien yang menderita SARS-CoV-2,
kadar dasar IL-2, IL-4, TNF-α, dan IFN-γ berada dalam kisaran normal,
sedangkan IL-10 sedikit meningkat, sedangkan IL- 6 meningkat secara
signifikan. Ying Sun dkk. mengungkapkan bahwa kadar feritin serum dan IL-
6 meningkat secara signifikan pada kelompok pasien yang sakit parah dan
kritis. Peningkatan kadar IL-6 merupakan indikasi adanya keadaan inflamasi
hiperimun, dan mereka meramalkan morbiditas dan mortalitas yang lebih
tinggi.4
Selanjutnya, kadar feritin serum dapat dipengaruhi oleh status zat besi
dan dapat mengindikasikan keadaan hiperimun. Selain itu, limfosit T total,
limfosit T CD4+, CD8+ dan jumlah limfosit B ditemukan menurun secara
signifikan pada pasien yang sakit parah dan kritis saat masuk. Hasil ini
menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 memiliki efek negatif pada imunitas yang
dimediasi sel-T.4

2.5 Adaptasi Fisiologis pada Kehamilan dan Implikasi Covid-19


2.5.1 Respon Imunologis
COVID-19 adalah virus RNA untai tunggal berkapsul. Respon
imunologis terhadap COVID-19, seperti virus lainnya, bergantung pada sistem
kekebalan yang berfungsi. Infeksi COVID-19 dapat mengakibatkan penyakit
ringan, di mana virus dibersihkan secara efektif oleh sistem kekebalan tubuh
atau penyakit berat dengan tingkat kematian yang tinggi. Posisi wanita hamil
pada spektrum ini tidak jelas. Sistem kekebalan beradaptasi selama kehamilan
untuk memungkinkan pertumbuhan janin semi-alogenik, menghasilkan respon
imun yang berubah terhadap infeksi selama kehamilan. Untuk memahami
fenotipe COVID-19 selama kehamilan, penting untuk memahami patofisiologi

12
dan mekanisme molekuler COVID-19 dan memeriksanya dalam konteks
respons imun ibu yang termodulasi.1,4,12
SARS-CoV-2, yang ditularkan melalui (droplet) pernapasan, kontak
langsung dengan fomites, kontak orang-ke-orang yang dekat dan mungkin
melalui aerosol yang dihasilkan, memasuki tubuh melalui hidung melewati dan
menginfeksi sel paru melalui reseptor angiotensin-converting enzyme 2
(ACE2) reseptor SARS-CoV dan menggunakan transmembran serin protease
2 (TMPRSS2) untuk priming protein S. Sel di mana ACE-2 dan TMPRSS2
terkolokalisasi cenderung paling rentan untuk masuk oleh SARS-CoV-2.
Infeksi SARS-CoV-2 diikuti oleh replikasi virus dan pelepasan virus,
menyebabkan piroptosis [kematian sel terprogram yang diperantarai inflamasi
yang terjadi sebagai respons terhadap stimulus patologis dari sel inang,
menstimulasi pelepasan Damage Associated Molecul Pathogen (DAMPs),
termasuk ATP dan asam nukleat, yang memicu respon inflamasi dari sel
disekitarnya. Respon proinflamasi ini meliputi produksi IL-6, kemokin motif
C-X-C 10 (CXCL10), dan interferon tipe 1, yang bertindak sebagai
kemoatraktan untuk monosit, makrofag, dan sel T ke tempat infeksi. Umpan
balik positif ini dapat menyebabkan peradangan yang berlebihan dan merusak
integritas paru, mengakibatkan infeksi dengan mikroba lain (inang).
Peradangan yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 juga dapat mengakibatkan
“badai sitokin” yang dapat menyebabkan kegagalan organ multisistem.
Peradangan yang berlebihan ini dianggap sebagai penyebab COVID-19 yang
parah dan dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Di antara
pasien dengan gejala ringan, kemungkinan sistem kekebalan bereaksi dengan
tepat terhadap infeksi virus. Peradangan yang disebabkan oleh masuknya virus
menarik sel T-helper 1 cluster diferensiasi 4 (Th1 CD4+) yang dapat
membersihkan sel yang terinfeksi sebelum penyebaran lebih lanjut dan
replikasi virus terjadi. Virus diblokir lebih lanjut oleh antibodi penetralisir, dan
makrofag membersihkan virus yang dinetralkan dan sel apoptosis dengan
fagositosis.1,4

13
2.5.2 Perubahan Fisiologis pada Imunitas ibu hamil
Kehamilan adalah suatu keadaan dimana terjadi perubahan sementara pada
kekebalan tubuh ibu. Adaptasi ini dibuat untuk melindungi ibu dan janin dari
Pathogen sambil menghindari respon imun yang merusak terhadap janin.
Makrofag, sambil menghindari respon imun yang merusak terhadap janin.
Makrofag, dendritic sel dendritik, neutrofil, dan sel pembunuh alami (NK)
berpartisipasi dalam mengendalikan respon imun pada awal kehamilan, yang
diperlukan untuk implantasi dan kehamilan respon imun pada awal kehamilan,
yang diperlukan untuk implantasi dan kehamilan.4

Gambar 2.6 Perubahan Fisiologis pada sistem imun pada awal kehamilan4

Modulasi sistem kekebalan ibu pada kehamilan dapat mempengaruhi respon


terhadap infeksi, dan khususnya terhadap virus. Respon inflamasi yang berubah
terhadap virus selama kehamilan diperkirakan dimediasi, setidaknya sebagian,
oleh1,12
• Pergeseran populasi sel T CD4+ menuju fenotipe Th2 di atas Th1 selama
kehamilan (suatu respons yang mendorong respons humoral daripada
respons imun seluler). Untuk respon imun terhadap infeksi virus, penurunan
reaktivitas Th1 dapat mengakibatkan perubahan pembersihan sel yang
terinfeksi. Namun, respons Th1 dan Th2 yang nyata terhadap SARS-CoV-
2 telah terlibat dalam patogenesis COVID-19 yang parah.

14
• Penurunan sel Natural Killer (NK) yang bersirkulasi selama kehamilan. Sel
NK memainkan peran penting dalam pembersihan virus sistem kekebalan
bawaan, dan penurunan populasi sel ini dapat mengubah kemampuan untuk
membersihkan virus. Namun, tidak jelas apakah penurunan sel NK yang
bersirkulasi ini memiliki implikasi klinis untuk COVID-19
• Penurunan sirkulasi sel plasmacytoid dendritic (pDCs). Sel-sel ini adalah
kunci untuk produksi interferon tipe 1 melawan virus . Selain itu, pDC dari
wanita hamil juga telah terbukti memiliki respons inflamasi yang
dilemahkan terhadap virus H1N1. Hal ini diduga menjadi salah satu alasan
mengapa ibu hamil terkena dampak lebih parah dari pandemi H1N1 pada
tahun 2009
• Peningkatan kadar progesteron yang bersirkulasi. Progesteron adalah
hormon steroid yang memiliki sifat imunomodulator. Progesteron juga
memiliki kemampuan untuk meningkatkan perbaikan paru-paru dari
kerusakan yang disebabkan oleh virus influenza, membuat jumlahnya yang
tinggi selama kehamilan berpotensi bermanfaat untuk pemulihan setelah
infeksi paru-paru virus.
• Perubahan pada sistem imun bawaan, termasuk reseptor pengenalan pola
Toll-like receptor (TLR) selama kehamilan). Infeksi COVID-19
menyebabkan piroptosis sel inang dan pelepasan DAMP, yang dapat
menjadi ligan TLR dan semakin meningkatkan peradangan. Peran yang
dimainkan sistem kekebalan bawaan dan TLR dalam respons imun COVID-
19 masih perlu diselidiki untuk memahami bagaimana kehamilan
memengaruhi aspek khusus dari respons virus ini.
Pada jurnal oleh Elizabet et al menyimpulkan bahwa modulasi dalam sistem
kekebalan ibu ini memiliki konsekuensi untuk lintasan klinis COVID-19 dan
untuk pengobatan dan pencegahan COVID-19 pada kehamilan. Namun, masih
harus ditentukan apakah adaptasi ini menghasilkan kerentanan dan/atau
morbiditas yang lebih tinggi atau justru protektif terhadap COVID-19. Tidak
jelas apakah tingkat keparahan penyakit memiliki konsekuensi untuk kekebalan
COVID-19 pada populasi yang tidak hamil. Dalam penelitian selanjutnya,

15
penting untuk menyelidiki respon inflamasi, viral load, produksi antibodi, dan
tingkat kekebalan yang diperoleh pada wanita hamil di berbagai usia kehamilan.
Hal ini penting ketika mempertimbangkan kemanjuran dan respons imunologis
terhadap potensi vaksinasi COVID-19, untuk memastikan bahwa vaksinasi
diberikan pada waktu yang tepat (yaitu, pada titik waktu tertentu selama
kehamilan atau pascapersalinan) dan aman serta efektif untuk wanita sepanjang
masa reproduksi.1
Peningkatan kadar progesteron dan estrogen selama kehamilan juga
bertanggung jawab mempengaruhi respon imun dengan mempromosikan Th2 dan
sel T regulator (T-reg) dengan penekanan bersamaan dari respon Th1 dan T helper
17 sel (Th17).4
Ada manfaat perlindungan dari peningkatan kadar Th2 yang diamati pada
kehamilan. Perubahan dalam sistem kekebalan didorong oleh jumlah sitokin dan
faktor endokrin. Sitokin seperti interferon gamma (IFN-γ) dan tumor necrosis factor
(TNF-α) diekspresikan oleh subkelompok Th1 sel T CD4, dan mereka penting
dalam respon imun sitotoksik. Di sisi lain, sitokin seperti interleukin 4 (IL-4),
interleukin 5 (IL-5) dan interleukin 13 (IL-13), yang terlibat dalam respon humoral,
diekspresikan oleh subkelompok Th2. Sel T-reg, yang merupakan bagian dari sel T
CD4, merupakan pengatur penting dari respon imun ibu dan janin. Untuk menekan
Pada imunitas lokal, sel T-reg memproduksi interleukin 10 (IL-10) dan mengubah
Transforming Growth Factor (TGF-β). Penurunan kadar sel T-reg yang bersirkulasi
diamati pada Transforming Growth Factor (TGF-β). Penurunan kadar sel T-reg
yang bersirkulasi diamati pada wanita dengan keguguran berulang atau PE
dibandingkan dengan wanita hamil yang sehat.4
Pada trimester ketiga, ada aliran masuk sel imun ke dalam miometrium dan 3
dari 13 produksi sitokin meningkat. Hal ini menyebabkan kontraksi rahim dan
membantu saat persalinan.4
Mekanisme yang telah di jelaskan di atas mencegah terjadinya peningkatan
reaksi inflamasi sistemik dan perkembangan komplikasi yang mengancam nyawa
pada pasien COVID 19.4

16
Dalam Chen at al menganalisis klinis serta Cytokine, Chemokine, Growth
Factor (CCGF) dan analisis subset limfosit pasien hamil dan pasien tidak hamil.
Penelitian kami menunjukkan tingkat kematian sitokin inflamasi dan kemokin
pasien hamil yang dapat berkontribusi pada gejala ringan yang dialami oleh pasien
ini. Dalam penelitian ini, pasien hamil dengan COVID-19 menunjukkan neutrofilia,
limfopenia, dan tingkat CRP serta D-dimer yang tinggi dibandingkan dengan pasien
COVID-19 yang tidak hamil, yang konsisten dengan bukti sebelumnya yang
menunjukkan CRP dan D-Dimer yang tinggi. , leukositosis, dan peningkatan rasio
neutrofil lebih sering terjadi pada wanita hamil yang terinfeksi COVID-19 (23).
Namun, hasil kami juga mengungkapkan bahwa temuan fisiologis ini khas
kehamilan normal karena adaptasi terhadap kehamilan , yang dapat mempengaruhi
hasil klinis wanita hamil yang menderita infeksi SARS-CoV-2. Tidak seperti
peningkatan kadar TNFa, IL-6, IL-8, IL-10, CXCL8, dan IP-10 yang diamati pada
pasien hamil yang terinfeksi H1N1 (25), pasien hamil COVID-19 menunjukkan
ekspresi proinflamasi dan antiinflamasi yang relatif lebih rendah. sitokin inflamasi.
Secara khusus, kemokin makrofag, yang selalu disebut sebagai komponen utama
"badai sitokin" selama infeksi virus corona (26, 27), termasuk MIP-1a, CTACK,
RANTES, Eotaxin, GRO-a, dan TNF, menunjukkan tingkat rendah yang signifikan
dalam pasien hamil. Sementara itu, faktor pertumbuhan, seperti FGF dasar, LIF,
granulocyte colony stimulating factor (G-CSF), dan PDGF-BB juga menunjukkan
ekspresi rendah yang signifikan pada kelompok hamil.6
Dengan membandingkan dengan wanita hamil yang sehat, kami mendalilkan
bahwa adaptasi kekebalan selama kehamilan dapat berfungsi sebagai respons imun
yang unik terhadap SARS-CoV-2. Dilaporkan bahwa respon imunologis selama
kehamilan mengalami pergeseran dari keadaan pro-inflamasi pada tahap awal ke
keadaan anti-inflamasi sepanjang sisa kehamilan.6
Tingkat tinggi IL-5 dan IL-10 (anti-inflamasi) dan rendahnya tingkat sitokin
pro-inflamasi, kemokin, dan faktor pertumbuhan yang diamati dalam penelitian
kami telah memvalidasi kesimpulan ini sampai batas tertentu. Secara keseluruhan,
respons sitokin diatur secara supresif pada wanita hamil setelah infeksi SARS-CoV-
2, yang dapat membedakan wanita hamil dengan COVID 19 dari pasien yang

17
menderita badai sitokin dan berkembang menjadi sindrom gangguan pernapasan
akut.6
Infeksi SARS-CoV-2 diketahui menyebabkan penurunan kadar sel T CD4+ dan
CD8+ dan sel NK, lebih jelas pada pasien yang sakit kritis (31, 32). Oleh karena
itu, kami membuat perbandingan jumlah subset limfosit pada pasien COVID-19
hamil dan tidak hamil. Dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil, pasien hamil
tidak menunjukkan perubahan subset limfosit yang signifikan sebagai respons
terhadap infeksi SARS-CoV-2. Namun, mereka mengamati sedikit peningkatan
jumlah sel T CD8+ dan sel NK pada pasien hamil dengan COVID-19. Diketahui
bahwa baik sel NK (kekebalan bawaan) dan sel T sitolitik CD8+ (kekebalan
adaptif) dapat menghancurkan sel yang terinfeksi virus. Dan banyak laporan klinis
menunjukkan bahwa penurunan frekuensi limfosit dalam darah tepi, termasuk sel
T CD4+ dan CD8+ dan sel NK, terkait erat dengan tingkat keparahan penyakit
COVID-19 (34, 35). Selain itu, ada hubungan negatif antara tingkat sitokin yang
tinggi dan sel T yang lebih rendah pada pasien COVID-19 yang parah (4).
Peningkatan respons sel T NK dan CD8+ dan kadar CCGF yang rendah dapat
melindungi pasien hamil agar tidak berkembang menjadi kasus yang parah.6
2.5.3 Perubahan Fisiologis pada Sistem dan implikasi Klinis terhadap COVID 19
A. Respon Respirasi
Selain perubahan imunologi sistemik kehamilan yang berpotensi
berdampak pada fungsi paru, perubahan anatomi juga terdapat pada
sistem pernapasan. Perubahan fisiologis pada bentuk dada dan elevasi
diafragma akibat splinting diafragma oleh uterus gravid menyebabkan
perubahan pada fungsi pernapasan. Meskipun ada peningkatan 30-40%
dalam volume tidal, pengurangan volume dada menyebabkan penurunan
kapasitas residu fungsional, volume akhir ekspirasi, dan volume residu
sejak awal kehamilan. Penurunan kapasitas paru total dan
ketidakmampuan untuk membersihkan sekret dapat membuat ibu hamil
lebih rentan terhadap infeksi saluran pernapasan berat.1,13

18
B. Respon Koagulasi
Pada populasi umum, COVID-19 dikaitkan dengan tingkat komplikasi
tromboemboli yang tinggi, dengan sebuah penelitian yang melibatkan 184
pasien yang tidak sehat secara kritis (24% perempuan) melaporkan bahwa
31% mengalami kejadian trombotik (64). Hal ini disebabkan oleh aktivasi
jalur koagulasi dan perkembangan potensial menjadi koagulopati vaskular
diseminata (DIC) dan fibrinolisis dengan hiperkoagulasi dinamis yang
dihasilkan bersamaan dengan trombositopenia.1
Kehamilan adalah keadaan hiperkoagulasi dengan peningkatan
produksi trombin dan peningkatan inflamasi intravaskular. Selama
kehamilan, ada tingkat yang lebih tinggi dari koagulasi sirkulasi dan faktor
fibrinolitik, seperti plasmin, dan ini mungkin terlibat dalam patogenesis
infeksi SARS-CoV-2. Wanita hamil berada pada peningkatan risiko
kejadian tromboemboli dengan kematian terkait. Oleh karena itu, ibu hamil
dengan COVID-19 mungkin memiliki faktor risiko aditif atau sinergis untuk
trombosis. Hipotesis ini didukung oleh laporan kasus yang menggambarkan
kematian pada wanita pada usia kehamilan 29 minggu dengan COVID-19
karena emboli paru yang besar dan emboli arteri basilar. Pedoman saat ini
merekomendasikan bahwa semua wanita hamil dengan COVID-19 yang
dikonfirmasi harus memiliki tromboprofilaksis sampai 10 hari setelah
melahirkan dan bahwa dokter mereka memiliki ambang batas yang rendah
untuk penyelidikan kemungkinan tromboemboli.1
C. Fungsi Sel Endotel
Kematian pada COVID-19 sebagian besar disebabkan oleh sindrom
gangguan pernapasan akut (ARDS). Bukti yang muncul menunjukkan
bahwa disfungsi sel endotel paru memiliki peran penting dalam onset dan
progresi ARDS. Dalam kesehatan, sel endotel dikelilingi oleh sel mural
(perisit) dan membatasi inflamasi dengan membatasi masuknya sel imun
dan mencegah koagulasi melalui ekspresi faktor antikoagulan. Pada ARDS,
penghalang endotel ini rusak, menyebabkan edema jaringan, peradangan
yang berlebihan, dan hiperkoagulabilitas. Faktor risiko COVID-19

19
(peningkatan usia, obesitas, diabetes mellitus, dan penyakit kardiovaskular)
semuanya terkait dengan disfungsi sel endotel.1
Adaptasi vaskular ibu terhadap kehamilan sangat penting untuk hasil
kehamilan yang optimal. Pada saat implantasi, arteriol spiralis uteri yang
terspesialisasi dirombak untuk membentuk sinus yang menjadi vili plasenta.
Fisiologi vaskular sistemik juga mengalami adaptasi yang signifikan
terhadap kehamilan. Volume darah ibu meningkat, denyut jantung dan
volume sekuncup meningkatkan curah jantung sebesar 30-50%, dan
resistensi vaskular menurun. Dampak dari peningkatan vasodilatasi ini pada
fungsi sel endotel paru (adhesi sel imun dan aktivasi koagulasi) belum
ditentukan.1
Kehamilan dengan preeklamsia ditandai dengan hipertensi dan
proteinuria. Preeklamsia berhubungan dengan komplikasi ibu (stroke, henti
jantung, gagal ginjal, gagal hati) dan janin Intra Uterine Growth Restriction
(IUGR), kelahiran prematur, lahir mati) yang signifikan. Wanita dengan
preeklamsia mengalami penurunan resistensi vaskular yang tidak cukup
pada pertengahan hingga akhir kehamilan dan terkait disfungsi sel endotel.
Mengingat pentingnya potensi fungsi sel endotel dalam perkembangan dan
progresi COVID-19, para wanita ini mungkin berisiko tinggi, jika terinfeksi,
dan tinjauan sistematis awal menemukan tingkat preeklamsia yang lebih
tinggi pada wanita hamil yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19.1

20
Gambar 2.7 Signifikansi Klinis terhadap Perubahan Fisiologis pada Ibu Hamil
dan Implikasi terhadap infeksi SARS Cov-21
2.6 Perjalanan penyakit COVID 19 selama kehamilan
Karena kenyataan bahwa wanita hamil berada dalam keadaan
imunosupresif, infeksi virus paru lebih berbahaya bagi mereka daripada infeksi
yang berasal dari bakteri, dan mereka sangat rentan terhadap patogen
pernapasan dan pneumonia berat. Perubahan adaptif fisiologis selama
kehamilan, termasuk elevasi diafragma, peningkatan konsumsi oksigen dan
perubahan pada selaput lendir saluran pernapasan, membuat mereka tidak
toleran terhadap hipoksia. Pneumonia adalah jenis penyakit paru-paru yang bisa
sangat berbahaya bagi wanita hamil kemungkinan risikonya termasuk
keguguran, hambatan pertumbuhan intrauterin, atau kelahiran sebelum
waktunya; terkadang dukungan ventilasi diperlukan.4
Berbagai temuan tentang hubungan antara COVID-19 dan tingkat
keparahan infeksi pada wanita hamil telah dilaporkan. Tinjauan literatur
spesialis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam gejala
klinis pada kelompok ibu hamil yang terinfeksi SARS-CoV-2 dibandingkan
dengan populasi pasien secara keseluruhan sejauh ini.4

21
Tingkat keparahan penyakit pada populasi umum dan pada wanita hamil
tampaknya sebanding (ringan—86%; parah—9,3%, kritis—4,7%).4
Menurut laporan literatur, pada trimester ketiga kehamilan, fitur utama
gejala COVID-19 adalah demam (40-68%) dan batuk (34-41%), dyspnoea
(12%) dan limfopenia (33%). Leukositosis dan leukopenia umum terjadi pada
pasien COVID-19 yang hamil. Gejala yang kurang sering termasuk sakit
kepala, produksi dahak yang berlebihan dan perubahan indera penciuman dan
rasa. Gejala tampaknya tidak tergantung pada usia kehamilan. Umumnya,
sebagian besar pasien COVID-19 memiliki perjalanan penyakit yang cukup
ringan atau tanpa gejala; hanya sekitar 15% kasus yang parah (dukungan
oksigen diperlukan), dan 5% kasus, di mana ventilasi mekanis diperlukan,
sangat penting. Dalam studi Turan et al., 76,5% pasien menunjukkan
perjalanan penyakit ringan, 15% perjalanan penyakit parah, dan 7,7%
menunjukkan stadium kritis penyakit pada saat masuk. Telah dilaporkan bahwa
wanita dengan keadaan kritis COVID-19 pada saat masuk bertanggung jawab
atas sebagian besar kematian sekunder akibat COVID-19. Di antara wanita
hamil dengan gejala COVID-19, 4,99% dirawat di ICU. Kematian ibu adalah
1-1,3%, dan tingkat pneumonia berat berkisar antara 0 sampai 14%. Telah
ditemukan bahwa COVID-19 meningkatkan risiko beberapa kondisi
kehamilan yang sering terjadi, termasuk PE dan emboli paru. Indeks massa
tubuh yang tinggi, PE, dan diabetes yang sudah ada sebelumnya telah dikaitkan
dengan perjalanan COVID-19 yang parah. Selain itu, komorbiditas yang ada
pada wanita hamil merupakan faktor risiko utama untuk masuk ICU dan
ventilasi mekanis. Selanjutnya, penyakit penyerta yang parah ditemukan
menjadi penyebab utama kematian pada ibu hamil yang terinfeksi COVID-19.4
Telah dicatat bahwa penurunan kadar eritrosit dan limfosit serta
peningkatan kadar alanine aminotransferase dan CRP adalah prediktor utama
perjalanan COVID-19 yang parah pada wanita hamil.4
Dalam tinjauan sistematis mereka, Alloney et al. membuat pengamatan
bahwa risiko keseluruhan kelahiran prematur adalah 17% dan, menurut
mereka, wanita hamil dengan COVID-19 memiliki risiko lebih tinggi untuk

22
setiap kelahiran prematur dibandingkan dengan wanita tanpa COVID-19.
Ketuban pecah dini terjadi pada 2,5% kehamilan. Kelahiran prematur terjadi
pada wanita dengan perjalanan penyakit yang parah, sebagian besar sebagai
akibat dari persalinan dini atas indikasi ibu, meskipun ada laporan sporadis
tentang kelahiran prematur spontan.4
Dalam literatur yang dianalisis, infeksi ibu hamil dengan SARS-CoV-2
dikaitkan dengan peningkatan persentase penyelesaian kehamilan melalui
operasi caesar di kaitannya dengan populasi umum. Operasi caesar
menyumbang 92% dari semua persalinan COVID-19-kehamilan. Dalam studi
Ferazzi et al., 57,3% ibu hamil menjalani operasi caesar elektif dan 34,9%
melahirkan pervaginam.4
Dalam kebanyakan kasus, operasi caesar diputuskan selama persalinan.
Pilihan metode ini diperdebatkan oleh gawat janin. Namun demikian, kelahiran
pervaginam tidak terkait dengan hasil yang lebih buruk.4
Tingkat komplikasi ibu tampaknya sebanding dengan orang dewasa yang
tidak hamil. Dalam studi Matar et al., wanita hamil yang terinfeksi COVID-19
memiliki karakteristik dan hasil klinis yang serupa dengan populasi yang tidak
hamil, dan hanya ada sedikit bukti yang mengkonfirmasi penularan vertikal.
Menurut satu teori, adaptasi imunologis dalam kehamilan mencegah ibu
menolak janin, benda asing yang mengandung antigen ayah, juga dapat
membantu dalam meningkatkan respon imun yang kurang kuat terhadap virus,
akibatnya menyebabkan efek yang kurang merusak pada tubuh. Teori lain
adalah bahwa perubahan adaptif organ terkait kehamilan dapat melindungi
terhadap virus.4
Literatur spesialis saat ini memberikan informasi bahwa sebagian besar
manifestasi klinis terdeteksi pada akhir trimester ketiga. Jadi, mungkin bukan
hanya virus yang menyebabkan kondisi parah tetapi juga penyakit penyerta.
Mengingat hal ini, tampaknya dokter harus waspada terhadap kemungkinan
perjalanan COVID-19 yang parah pada wanita hamil yang menghadirkan
faktor risiko terkait dengan morbiditas ibu. Oleh karena itu, tindak lanjut yang
tepat dari pasien tersebut diperlukan.4

23
2.7 Perjalanan HLH (Haemophagocytic Lymphohistiocytosis ) dalam
kehamilan

Kehamilan adalah proses fisiologis, dan sindrom HLH jarang didiagnosis


pada wanita hamil. Sel T sitotoksik, makrofag dan sel NK memainkan peran
penting dalam HLH. Aktivasi dan proliferasi sel T dan makrofag yang
berlebihan, dan sekresi sitokin dalam jumlah besar, mungkin bertanggung
jawab atas kegagalan organ multipel, termasuk hati, otak, dan sumsum tulang,
yang dapat berpotensi fatal . Kadar sitokin seperti TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-10,
dan IFN-γ meningkatkan HLH.
Gejala HLH yang khas termasuk demam (yang tidak responsif terhadap
terapi antibiotik dan kadang-kadang sibuk), splenomegali (69%), hepatomegali
(67%), keterlibatan paru (42%), lesi kulit (25%), keterlibatan neurologis (25%)
dan limfadenopati. Demam terjadi pada sebagian besar kasus HLH yang
terdiagnosis (95,7%). Menariknya, banyak wanita hamil telah didiagnosis
dengan penyakit hati berlemak dan penyakit kuning. Namun, setelah remisi
HLH, fungsi hati biasanya kembali normal [21]. Karena gejala yang ambigu
dan jarang terjadi, diagnosis HLH agak rumit. Saat membuat diagnosis,
penyakit lain, seperti infeksi, sepsis, perlemakan hati akut pada kehamilan,
kolesistitis akut, penyakit Stills, sindrom HELLP, dan anemia aplastik, harus
disingkirkan.4
Untuk mendiagnosis HLH, baik diagnostik molekuler yang sesuai dengan
HLH harus dilakukan atau lima dari delapan kriteria diagnostik untuk HLH
harus dipenuhi, yaitu, splenomegali, demam, sitopenia (mempengaruhi dua atau
lebih dari tiga garis keturunan dalam darah tepi) , hipofibrinogenemia dan/atau
hipertrigliseridemia, peningkatan kadar feritin, hemofagositosis di sumsum
tulang/limfa/kelenjar getah bening, aktivitas sel NK rendah atau tidak ada dan
peningkatan kadar CD25 terlarut (reseptor interleukin [IL]-2), atau keduanya.4
Dalam studi Ramos Casals et al., anemia dan trombositopenia terjadi pada 80-
90% pasien HLH dewasa, dan leukopenia terjadi pada hampir 70% dari mereka.
Hampir 60% pasien mengalami gangguan koagulasi; hipofibrinogenemia dan

24
peningkatan kadar D-dimer dilaporkan pada 50% kasus. Dalam penelitian yang
disebutkan, 80% pasien mengalami peningkatan kadar enzim hati.
Fardet dkk. mengembangkan sistem penilaian (HScore) yang berguna
dalam mengenali HLH. Namun, kriteria ini berlaku terutama untuk HLH primer
dan pada tingkat yang lebih rendah untuk sHLH. Hiperferitinemia adalah
karakteristik yang paling dari HLH, dan kadar feritin serum yang rendah
menghalangi pengenalannya. Sindrom aktivasi makrofag merupakan jenis HLH
yang paling sering menyertai penyakit rematik, seperti penyakit Still, lupus
eritematosus sistemik, dermatomiositis, juvenile idiopathic arthritis (JIA) atau
sklerosis sistemik. Terlepas dari kenyataan bahwa jalur lengkap tidak diketahui,
penurunan aktivitas sel pembunuh alami (NK), peningkatan reseptor
interleukin-2 terlarut (sIL-2R), dan produksi sitokin yang berlebihan tampaknya
menjadi elemen patogenesis MAS. Penyakit rematik dapat memiliki perjalanan
yang berbeda selama kehamilan. Diketahui bahwa penyakit autoimun dapat
memburuk selama kehamilan (mendekati akhir trimester ketiga). Penyakit aktif
atau kambuh selama kehamilan dapat berdampak parah pada kesehatan janin
dan hasil kehamilan. Di antara gangguan rematik, HLH paling sering terjadi
pada arthritis idiopatik remaja sistemik. Pada wanita hamil dengan penyakit JIA
aktif, 57-94% mengalami pengurangan gejala, dan sekitar 50% melaporkan
peningkatan aktivitas penyakit antara 3 dan 12 bulan pascapersalinan. Menurut
penelitian, 35-70% wanita dengan SLE dapat mengalami kekambuhan selama
kehamilan (terutama pada trimester ketiga kehamilan) atau dari 3 hingga 12
bulan pascapersalinan. Aktivitas penyakit yang tinggi sebelum pembuahan
meningkatkan kemungkinan eksaserbasi penyakit pada kehamilan.
2.8 Hubungan HLH dan COVID 19
Perawatan pasien dengan perjalanan COVID-19 yang parah sulit dilakukan
karena satu-satunya pilihan pengobatan yang tersedia untuk ARDS adalah
pengobatan simtomatik. Protokol HLH-2004 telah berhasil digunakan pada
HLH yang dipicu oleh subtipe virus EBV, HBV dan influenza A subtype H1N1.
Pengamatan ini menunjukkan bahwa terapi ini bisa efektif dalam pengobatan
pasien COVID-19 dengan perjalanan penyakit yang parah.4

25
Patut dicatat bahwa banyak kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis
HLH digambarkan sebagai prediktor kematian COVID-19. Hubungan telah
diamati antara waktu rata-rata dari timbulnya gejala COVID-19 hingga ARDS
(yaitu 8,0–14,0 hari) dan perkembangan HLH selama infeksi A/H1N1. Hamizi
dkk. menunjukkan bahwa COVID-19 yang cukup parah hingga parah mungkin
merupakan bentuk sHLH. Badai sitokin telah dilaporkan pada pasien ICU yang
menderita infeksi SARS-CoV-2 [57]. Dimopoulos dkk. mengidentifikasi HLH
sekunder yang terkait dengan COVID-19 berkat penggunaan HScore. Atas
dasar ini, Anakinra, yang ternyata efektif, dimasukkan dalam pengobatan [20].
Pasien dirawat dengan 200 mg Anakinra intravena selama delapan jam setiap
hari selama seminggu atau 300 mg intravena sekali sehari selama 4 hari
(anakinra intravena dosis tinggi digunakan tanpa label untuk pengobatan
kondisi hiperinflamasi). Anakinra menetralkan aktivitas biologis interleukin-1α
dan interleukin-1β, yang merupakan bagian penting dari respons hiperinflamasi,
dan bekerja dengan penghambatan kompetitif pengikatan reseptor interleukin
tipe I (IL-1RI). Anakinra seharusnya mencegah perkembangan gagal napas, dan
mengurangi kebutuhan akan ventilasi mekanis. Obat ini telah diamati
menyebabkan perbaikan klinis yang cepat dalam waktu 24 jam dan setelah
pemberiannya, kebutuhan oksigen menurun, kadar feritin serum, aspartat
aminotransferase (AST) dan CRP juga menurun. Cavalli dkk. menemukan
bahwa penggunaan blokade IL-1 dengan Anakinra dosis tinggi membawa
pengurangan kematian sebesar 10% dalam waktu 21 hari. Namun, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan HScore untuk mengidentifikasi
badai sitokin COVID-19 memiliki nilai yang terbatas.4
Pengobatan dengan etoposida dan deksametason ditujukan untuk menekan
badai sitokin, dan oleh karena itu, mungkin berpotensi efektif dalam pengobatan
pasien dengan COVID-19 yang parah. Telah ditunjukkan bahwa etoposide
menghilangkan limfosit T yang diaktifkan dan secara efektif menekan badai
sitokin. Namun, tidak ada efek anti-inflamasi langsung pada makrofag atau sel
dendritik dan tidak ada penghapusan sel T naif atau memori yang diam telah
dilaporkan. Terlepas dari risiko yang terkait dengan pemberian etoposida, itu

26
dapat mengurangi kematian dan komplikasi sistem saraf pada pasien dengan
perjalanan COVID-19 yang parah . Patut dicatat bahwa dalam kasus sHLH dan
sepsis, mortalitas sangat tinggi (66,7%) [61]. SHLH terjadi pada 3,7-4,3% kasus
sepsis. Dengan demikian, penggunaannya pada wanita hamil dalam tim
interdisipliner harus dipertimbangkan dengan hati-hati.4
Faktor klinis dan laboratorium yang menunjukkan keparahan penyakit
adalah: usia lanjut, produksi sputum, sesak, peningkatan jumlah neutrofil, AST,
laktat dehidrogenase dan tingkat gamma-glutamil transferase, peningkatan CRP
dan kadar feritin serum yang tinggi, peningkatan IL-6 dan D-dimer.4
Kasus COVID-19 yang parah dapat mengambil manfaat dari penghambatan
jalur IL-6, mengingat sindrom pelepasan sitokin terkait (CRS) dan peningkatan
sitokin serum seperti sHLH. Tingkat sitokin inflamasi dan kemokin seperti IL-
1a/β, IP-10, MCP-1 juga meningkat. Kasus yang parah menunjukkan
peningkatan TNFα, IL-1, IL-6, IL-18, IL-8, IL-10, MCP-1 dan MIP-1A, yang
dapat menyebabkan kerusakan jaringan paru yang serius. Selain itu, IL-1 juga
telah dikaitkan dengan ekspresi tromboksan-A2 pada pasien COVID-19, dan
akibatnya, aktivasi dan agregasi trombosit meningkat, yang meningkatkan
risiko perkembangan trombus. Terapi berdasarkan penekan CRS, seperti
tocilizumab, memasuki uji klinis sebelum siap melawan COVID-19. Tujuan
langsung antagonisme IL-6 adalah untuk memperbaiki kasus COVID-19 yang
parah sehingga persyaratan untuk perawatan lanjutan diminimalkan.4
Demikian pula, sebagian besar pasien dengan COVID-19 datang dengan
demam tinggi (diamati pada 44% pasien saat datang, dan kemudian, pada 64,5-
99% pasien), batuk (45-82%), dispnea (6,5-63,5%) , dan mialgia atau kelelahan
(11-70%). Beberapa pasien juga menunjukkan kerusakan hati (aktivitas
transaminase), limfositopenia, dan kegagalan multi-organ yang berkembang
pesat.4

2.9 Langkah Diagnostik

27
Diagnosis COVID-19 didasarkan pada gejala, riwayat epidemiologi, Chest
x- Ray dan tes asam nukleat virus. Identifikasi faktor prediktif dapat membantu
dalam melakukan pengobatan COVID-19 berbasis bukti. Namun demikian,
pengetahuan terkini tentang parameter patofisiologi, khususnya indikator
imunologi, belum cukup untuk dapat memahami dan menjelaskan mekanisme
COVID-19 secara utuh. Badai sitokin mungkin bertanggung jawab atas perjalanan
parah COVID-19 yang ditandai dengan kerusakan alveolar dan kegagalan
pernapasan. Telah dilaporkan bahwa otopsi dari beberapa pasien dengan kerusakan
alveolar difus di dalam paru-paru mengungkapkan hemofagositosis pada kelenjar
getah bening paru. Infeksi COVID-19 dapat menyebabkan perkembangan disfungsi
organ multipel dengan tanda-tanda gangguan endotel. Telah dikemukakan bahwa
kerusakan vaskular mungkin merupakan mekanisme yang relevan, yang dapat
mempertahankan aktivasi sistem komplemen, dan sebagai hasilnya, stimulus
inflamasi mungkin diintensifkan. Sebagai konsekuensi dari kerusakan vaskular,
tingkat sel endotel yang bersirkulasi (CEC) meningkat dengan cepat, sehingga
disreguleasi endotel dapat dideteksi dengan penanda yang dapat diandalkan seperti
CEC. CEC adalah progenitor dan prekursor eritroid dengan sifat imunosupresif
dan/atau imunomodulator. Ini termasuk interaksi sel, transformasi faktor
pertumbuhan , spesies oksigen reaktif (ROS) dan arginase II dan penekanan fungsi
sel T dan sel B juga. CEC dari pasien COVID-19 mengekspresikan arginase I/II
dan ROS, yang mengakibatkan imunosupresi global sel T dan gangguan produksi
sitokin, proliferasi, dan kapasitas degranulasi sel T spesifik antigen. CEC dari
pasien COVID-19 juga menunjukkan struktur membran yang berbeda. Dapat
diasumsikan bahwa infeksi SARS-CoV-2 dapat memiliki konsekuensi, seperti
modifikasi komponen struktural CEC.4

28
Gambar 2.8 Diagnostik pada COVID 19

Gambar 2.9 Gambaran Chest X Ray pada COVID 19


2.10 Penatalakasanaan
RS tersier lebih baik untuk isolasi dengan penanganan awal ibu hamil
terinfeksi COVID-19. Pelayanan kesehatan harus memperhatikan ruang isolasi
bertekanan negatif untuk kasus konfirmasi, dan kasus suspek hanya
membutuhkan isolasi. Rumah sakit harus ada ruang tekanan negatif di ICU dan
NICU. Semua dokter dan staf medis harus melindungi diri dengan APD (seperti
gaun, masker N95, kacamata, dan sarung tangan) selama menangani pasien.5
Prinsip pengobatan untuk infeksi COVID-19 yang parah adalah terapi
simtomatik dan oksigen. Selain ventilasi mekanik jika gagal napas refrakter
terhadap terapi oksigen, selain itu, pengelolaan syok septik dengan dukungan
hemodinamik. Meskipun, tidak ada antivirus yang disetujui untuk COVID-19,

29
tetapi dapat mengusulkan beberapa pendekatan seperti lopinavir atau ritonavir
(400/100 mg setiap 12 jam), klorokuin (500 mg setiap 12 jam), dan
hydroxychloroquine (200 mg setiap 12 jam). Selain itu, Alpha-interferon
(misalnya, 5 juta unit dengan inhalasi aerosol dua kali sehari) telah digunakan.
Namun, COVID-19 dengan pneumonia diobati dengan antibiotik. Penting juga
untuk menerapkan terapi suportif seperti infus cairan, istirahat yang cukup dan
diet nutrisi yang tepat. Protokol manajemen mewakili diagram dalam Gambar
2.9.5

Gambar 2.9 Diagram Proses Perencanaan untuk Ibu hamil dengan COVID
195
2.10.1 Monitoring Fetal
Perlu pemantauan denyut jantung janin secara teratur dengan stereoskop atau
Doppler dengan minggu kehamilan yang kompatibel dan dapat diandalkan,
sedangkan USG dianggap sebagai metode stander untuk menentukan kelainan
bentuk janin, komplikasi intrauterin, dan kematian janin. Pengawasan yang ketat
dapat membantu untuk membuat keputusan, untuk melanjutkan kehamilan atau
terminasi dan persalinan darurat.

30
2.10.2 Selama Kehamilan
Obat antivirus dengan resimen Lopinavir atau Ritonavir relatif aman selama
kehamilan. WHO ( World Health Organisation) mengusulkan, sebelum pemilihan
obat ini untuk infeksi COVID-19 harus diketahui kelebihan dan kekurangannya.
Sementara obat remdesivir dan klorokuin memiliki kemampuan yang baik, dapat
diprediksi untuk menghambat virus SARS-COV-2 secara in vitro, berdasarkan
informasi ini obat-obatan ini berpotensi berpengaruh pada COVID-19 [51]. Di atas
obat ini memulai uji klinis di Cina (ClinicalTrials.gov nomor NCT04252664 dan
NCT04257656) dan Amerika Serikat (Clinical Trials. gov number NCT04280705).
Baru-baru ini dilaporkan obat Chloroquine dapat menghentikan infeksi coronavirus
dengan pH endosomal yang berlebihan yang diperlukan untuk fusi sel dan
mengganggu glikosilasi reseptor seluler SARS-CoV. Klorokuin dapat dengan aman
meresepkan seluruh trimester kehamilan dan tidak mengganggu hasil perinatal.
Oleh karena itu, dosis yang dianjurkan harus ditingkatkan maksimal 500 mg dua
kali sehari pada kasus infeksi COVID-19. Sementara peningkatan dosis klorokuin
dilaporkan dapat menyebabkan hipotensi sistolik yang memperburuk perubahan
hemodinamik dari kompresi aortocaval terlentang oleh uterus gravid [53]. WHO
menyatakan, tidak ada manfaat penggunaan kortikosteroid sistemik secara rutin
karena keterlambatan pembersihan virus [16,54,55]. Saat ini, Institut Kesehatan
Nasional AS (NIH) akan menguji coba vaksin mRNA-1273 (ClinicalTrials.gov
nomor NCT 04283461) pada wanita yang tidak hamil tetapi tidak pasti untuk wanita
hamil.5
2.10. 3 Pendekatan Persalinan
Tidak ada bukti penghentian kehamilan karena infeksi COVID-19. Perawatan
yang memadai, perawatan yang tepat, dan tindak lanjut dapat berlanjut hingga
kehamilan aterm. Kondisi kritis pasien akan menghentikan kehamilan karena
membahayakan ibu dan janin dengan persalinan darurat atas persetujuan keluarga
pasien. Para klinisi harus melindungi diri dan mengetahui tingkat keparahan risiko
selama menangani pasien persalinan. Waktu dan cara persalinan tergantung pada
status ibu dan janin. Saat ini, tidak ada laporan yang dapat diandalkan untuk
transmisi vertikal dan kontraindikasi persalinan pervaginam pasien COVID-19.

31
Persalinan pervaginam lebih disukai ketika persalinan akan berkembang secara
aktif dengan awitan spontan dan pelahiran operatif berkaitan dengan pemendekan
kala dua persalinan. Penelitian ini meninjau tiga puluh tiga persalinan pervaginam
tanpa kesulitan, oleh karena itu menunjukkan bahwa persalinan pervaginam
dimungkinkan untuk ibu COVID-19. Sebaliknya, untuk persalinan sesar, ruang
operasi harus dipastikan dengan tekanan negatif dan ventilasi yang baik. Dokter
bedah harus melindungi diri dengan (PPE) selama prosedur operasi pasien COVID-
19. Selain itu, operasi Caesar lebih disukai pada dua kasus ibu hamil COVID-19
karena kegagalan induksi dan penangkapan bagian keturunan. Saat ini dilaporkan
pada sebelas pasien COVID-19 (minggu kehamilan 12-38), di antara sepuluh pasien
yang dilahirkan melalui operasi caesar dan satu pasien melalui persalinan
pervaginam tanpa komplikasi atau kematian bayi baru lahir. Hal serupa dilaporkan
pada tujuh pasien menjalani Sectio Caesaria dengan luaran neonatal yang baik
kecuali satu yang positif SARS-CoV-2. Beberapa kasus COVID-19 dengan
pneumonia lebih disukai baik CS darurat atau terjadwal.4,5
Dalam literatur yang dianalisis, infeksi ibu hamil dengan SARS-CoV-2
dikaitkan dengan peningkatan persentase terminasi kehamilan melalui operasi
caesar dan kaitannya dengan populasi umum. Operasi caesar menyumbang 92%
dari semua persalinan COVID-19-kehamilan. Dalam studi Ferazzi et al., 57,3%
wanita hamil menjalani operasi caesar elektif dan 34,9% melahirkan pervaginam.4
Dalam kebanyakan kasus, operasi caesar diputuskan selama persalinan.
Pilihan metode ini diperdebatkan oleh gawat janin. Namun demikian, kelahiran
alami tidak terkait dengan hasil yang lebih buruk.4
Berdasarkan bukti dari tinjauan studi mengungkapkan bahwa rekomendasi
ahli untuk manajemen ibu hamil COVID-19. Sebanyak 149 ibu hamil dengan
COVID-19 telah dilaporkan pendekatan persalinan, di antara 77 dan 33 ibu hamil
dengan persalinan sesar dan pervaginam. Selain itu, obat yang diresepkan sebagai
satu-satunya antibiotik memiliki 15, antibiotik dengan antivirus oral oseltamivir
telah diresepkan 75 mg, gansiklovir intravena 0,25 g setiap 12 jam memiliki 16,
antibiotik dengan lopinavir 400 mg, ritonavir 100 mg setiap 8 jam memiliki 1, dan
arbidol 200 mg memiliki 8 ibu hamil COVID-19. Sebaliknya 109 ibu hamil yang

32
tersisa meresepkan antibiotik dengan atau tanpa obat antivirus tetapi nama obat
antivirus tidak dilaporkan. Sebagian besar kasus ini ahli menyarankan antibiotik
dan obat antivirus karena efek menguntungkan ditemukan penggunaan antibiotik
sebagai profilaksis seperti azitromisin, sefoksasol, dan sefalosporin sebelum
melahirkan dan beberapa kasus dilanjutkan setelah melahirkan. Obat antivirus
favipiravir juga digunakan tetapi dosisnya tidak disebutkan. Diskusi di atas, jelas
dipahami bahwa antibiotik bersama dengan oseltamivir dan gansiklovir yang
banyak digunakan dapat memberikan hasil yang lebih baik. Selain itu, tim
multidisiplin merekomendasikan untuk memulai kombinasi obat antibiotik dan
antivirus setelah diagnosis kasus dan pilihan sesar yang dapat memperbaiki kondisi
dan menghindari komplikasi ibu dan janin. Meskipun tidak ada kontraindikasi
persalinan pervaginam tetapi data yang tersedia terbatas. Mungkin manajemen yang
banyak digunakan ini memiliki prognosis hasil ibu dan janin.5
2.10.4 Luaran Neonatus
Studi saat ini meninjau total seratus empat puluh sembilan wanita hamil dengan
positif COVID-19 yang melahirkan, sembilan puluh enam bayi baru lahir di antara
1 telah meninggal karena DIC dan kegagalan organ ganda. Skor Apgar dari semua
95 bayi masing-masing memiliki !7 pada 1 menit dan !9 pada 5 menit. Pengambilan
swab nasofaring dari 95 bayi COVID-19 telah diuji dengan PCR SARS-Cov2-19.
Empat bayi telah menunjukkan COVID-19 positif di antara 1 memiliki informasi
yang hilang, sementara 91 telah menunjukkan negatif COVID-19. Untuk
meminimalkan risiko penularan kontak, neonatus diisolasi sedangkan anggota
keluarga lain dan perawat dirawat. Selain itu, 10 neonatus menyusui dengan ibu
menggunakan masker bedah. Satu neonatus positif COVID-19 telah dirawat di
desain khusus rumah sakit anak-anak dan dua neonatus dirawat di NICU, setelah
dua minggu satu bayi dipulangkan ke rumah dengan dua tes asam nukleat negatif
berturut-turut, sementara dua neonatus membaik setelah ventilasi tetapi tidak cukup
informasisi tentang kriteria pemulangan.5
2.10.4. Komplikasi Neonatus
Total enam neonatus ditangani dari beberapa komplikasi setelah melahirkan,
seperti tiga neonatus demam, batuk, 1 mengalami kelelahan, 1 memiliki gejala

33
gastrointestinal dan pernapasan dan 1 mengalami sedikit penurunan respon dan
tonus otot masing-masing.5
2.10.5 Perawatan Bayi baru lahir
Tidak ada bukti yang dapat diandalkan untuk virus SARS-CoV-2 yang
terdeteksi pada produk konsepsi, janin, cairan ketuban, plasenta, dan menyusui ibu
hamil COVID-19. Studi terbaru melaporkan pada dua neonatus telah
mengidentifikasi infeksi COVID-19 setelah 36 jam dan 17 hari melahirkan karena
kontaminasi pascapersalinan. Disarankan untuk melakukan lamping tali pusat sejak
dini dan mengisolasi bayi baru lahir minimal 14 hari untuk mengurangi penularan
virus. Dua ibu terinfeksi COVID-19 telah menyusui tanpa menggunakan masker
bedah, satu bayi baru lahir terinfeksi, dan satu orang dicurigai pada hari pertama
dan ketiga. Bayi baru lahir dengan suspek SARSCoV2 perlu segera diisolasi dengan
CT scan dada, spesimen swab, dan tes asam nukleat (NAT). Ibu yang terinfeksi
COVID-19 mengalami hipoksemia yang berdampak buruk pada janin seperti
asfiksia saat lahir dan kelahiran prematur. Dokter kandungan harus memperhatikan
neonatologis selama mempersiapkan resusitasi neonatus di ruang bersalin untuk
memudahkan prognosis neonatus. Untuk memastikan dukungan kesehatan untuk
memerlukan semua fasilitas untuk bayi baru lahir yang dicurigai COVID 19.5

34
2.11 Pencegahan
Ibu hamil adalah salah satu target sasaran prioritas program vaksinasi
COVID-19 untuk menekan angka risiko penularan, bahkan kematian akibat
COVID-19 pada ibu hamil. Hal ini ditetapkan Kementerian Kesehatan melalui
Surat Edaran No. HK.02.01/I/ 2007/2021.14

Syarat yang harus dipenuhi adalah usia kandungan > 13 minggu atau antara
13-33 minggu, memiliki tekanan darah normal, tidak punya gejala atau keluhan pre
eklampsia, dan tidak sedang menjalani pengobatan dan jika memiliki komorbid
harus dalam kondisi terkontrol.14

Ibu hamil bisa melakukan registrasi vaksinasi di tempat layanan vaksin atau
faskes yang ditunjuk oleh pemerintah. Vaksin yang diperbolehkan untuk ibu hamil
adalah Sinovac, Moderna, Pfizer sesuai ketersediaan.14

Gambar 2.10 Vaksin pada ibu hamil14

35
BAB III
KESIMPULAN

Perlu diperhatikan bahwa wanita hamil biasanya menderita bentuk ringan


COVID-19, dan banyak dari mereka mungkin pembawa SARS-CoV-2 tanpa gejala.
Namun, beberapa wanita telah dilaporkan memiliki perjalanan penyakit yang parah
yang memerlukan perawatan ICU. Prognosis pada pasien ini buruk, yang
membuatnya penting untuk menggabungkan perawatan spesialis yang lebih maju.
Badai sitokin telah diamati pada kasus COVID-19 sedang hingga parah. Kasus yang
parah dikaitkan dengan peningkatan kadar feritin dan IL-6 secara signifikan, yang
menunjukkan bahwa pada beberapa wanita hamil dengan COVID-19 yang parah,
sHLH dapat didiagnosis. Penggunaan HScore dan analisis hasil tes laboratorium
yang cermat yang menunjukkan kemungkinan badai sitokin pada pasien dengan
COVID-19 yang parah, yaitu, peningkatan feritin serum, perburukan bisitopenia
atau pansitopenia, dan peningkatan tingkat kerusakan organ, tampaknya sangat
penting.4,1,5
Hal ini akan memungkinkan deteksi tepat waktu dari HLH sekunder dan
implementasi yang cepat dari pengobatan yang tepat cukup efektif untuk
mengurangi kematian ibu serta kematian anak-anak mereka. HLH harus
dipertimbangkan pada wanita hamil dan nifas yang menderita COVID-19 sedang
hingga berat dan menunjukkan: demam yang tidak responsif terhadap terapi
antibiotik, sitopenia, hepatitis, dan hiperferitinemia. Menentukan tingkat feritin
secara signifikan dapat mempercepat pembuatan diagnosis yang akurat, terutama di
unit perawatan intensif.4

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Elizabeth A, N Westnage, Rebecca M, et al. Physiological Review


Pregnancy in COVID 19. American Physiology Soecity. 2020 September
24;101: 303-318
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peta Sebaran COVID 19 di
Indonesia.2021 ( Cited 2 September 2021). Available from
https://covid19.go.id/peta-sebaran
3. Trougokas I, Stamatelopoulus K, Terpos E, et al. Insight to SARS CoV-2
Life cycle, Pathophysiology, and Rationalized Treatment that target COVID
19 Clinical Implication. Journal of Biomedical Science. 2021 Januari 12:28
: 2-7
4. Obuchowoska A, Standylo A, Obuchowoska K, et al. Cytokine Storms in
the Course of COVID-19 and Haemophagocytic Lymphohistiocytosis in
Pregnant and Postpartum Women.Biomolecules. 2021 Agustus 13.1202: 2-
8
5. Department of Obstetric and Gynecology.Review Article Relationship of
COVID-19 with pregnancy. Taiwanase Journal of Obstetric and
Gynecology.2020 Januari;60:405-411
6. Chen G, Liao Q, Ai J, et al. Immune Response to COVID 19 during
Preganancy.Frontiers in Immnunology;12: 5-10
7. Kuba K, Imai Y, Penninger JM. Angiotensin-converting enzyme 2 in lung
diseases. Curr Opin Pharmacol. 2006;6:271–6.
8. Indom SM, Lazartigues E. The sweeter side of ACE2: physiological
evidence for a role in diabetes. Mol Cell Endocrinol. 2009;302:193–202
9. Imai Y, Kuba K, Ohto-Nakanishi T, Penninger JM. Angiotensin-convert-
ing enzyme 2 (ACE2) in disease pathogenesis. Circ J. 2010;74:405–10.
10. Moore, J.B.; June, C.H. Cytokine release syndrome in severe COVID-19.
Science 2020, 368, 473–474. [CrossRef] [PubMed]
11. ICU Advantage. The COVID 19 Cytokine Storm Explained. Youtube,
uploaded by ICU Advantage, 11 Mei 2020

37
www.youtube.com/watch?v=AXP9qQ_a0fw&list=PL2oVjKTYocdOTeU
WWWMJcLeOUzR3DF88W&index=2. Accessed 2 September 2021.
12. Silasi M, Cardenas I, Kwon JY, Racicot K, Aldo P, Mor G. Viral infections
during preg- nancy. Am J Reprod Immunol 73: 199–213, 2015.
doi:10.1111/aji.12355.
13. Goodnight WH, Soper DE. Pneumonia in pregnancy. Crit Care Med 33,
Suppl: S390– S397, 2005. doi:10.1097/01.CCM.0000182483.24836.66.
14. Kementerian Kesehatan. Vaksin Covid 19 Aman untuk Ibu Hamil. 21
Agustus 2021 https://covid19.go.id/edukasi/masyarakat-umum/vaksin-
covid-19-aman-untuk-ibu-hamil. Accesed 2 September 2021.

38

Anda mungkin juga menyukai