Anda di halaman 1dari 10

Current concept : Mallet Finger

Abstrak

Hilangnya fungsi ekstensor pada sendi Distal Interphalangeal (DIP) dapat menyebabkan mallet
finger atau yang sering disebut dengan baseball finger atau drop finger. Mallet finger ini
merupakan efek sekunder dari gangguan substansi tendon atau pada avulsi tulang. soft tissue
mallet finger diakibatkan robeknya tendon ekstensor pada zona 1, dan bony mallet finger
diakibatkan dari avulsi tendon ekstensor dari distal phalanx dengan fragmen tulang kecil yang
melekat pada tendon avulata.

Mallet finger menyebabkan ketidakseimbangan pada distribusi kekuatan ekstensor antara sendi
Proksimal interphalangeal (PIP) dan sendi Distal Interphalangeal (DIP). Jika dibiarkan, mallet
finger dapat berubah menjadi swan neck deformity dimana terjadinya hiperekstensi PIP
dan fleksi DIP. Pada kebanyakan mallet finger dapat dikelola tanpa pembedahan, tetapi
kadang-kadang operasi tetap dianjurkan untuk mallet finger pada keadaan akut dan kronis atau
untuk memperbaiki pengobatan yang gagal sebelumnya.

Kata Kunci: Mallet finger. Bony mallet finger. Soft tissue mallet finger

Hilangnya fungsi ekstensor pada sendi Distal Interphalangeal (DIP) dapat menyebabkan mallet
finger atau yang sering disebut dengan baseball finger atau drop finger. Mallet finger ini
merupakan efek sekunder dari gangguan substansi tendon atau pada avulsi tulang. soft tissue
mallet finger diakibatkan robeknya tendon ekstensor pada zona 1, dan bony mallet finger
diakibatkan dari avulsi tendon ekstensor dari distal phalanx dengan fragmen tulang kecil yang
melekat pada tendon avulata.

Mallet finger menyebabkan ketidakseimbangan pada distribusi kekuatan ekstensor antara sendi
Proksimal interphalangeal (PIP) dan sendi Distal Interphalangeal (DIP). Jika dibiarkan, mallet
finger dapat berubah menjadi swan neck deformity dimana terjadinya hiperekstensi PIP
dan fleksi DIP. Pada kebanyakan mallet finger dapat dikelola tanpa pembedahan, tetapi
kadang-kadang operasi tetap dianjurkan untuk mallet finger pada keadaan akut dan kronis atau
untuk memperbaiki pengobatan yang gagal sebelumnya. Jurnal ini akan menjelaskan panduan
terkini pengobatan bedan dan non bedah untuk mallet finger.

Insidensi

Angka kejadian untuk bony mallet finger banyak dilaporkan tetapi tidak ada data mengenai soft
tissue mallet finger. Mallet finger sering terjadi pada pasien laki-laki muda dan dewasa muda.
Usia rata-rata pada laki laki dan perempuan adalah 34 dan 41 tahun. Sekitar 74% bony mallet
finger hand melibatkan tangan dominan dan lebih dari 90% cedera ditemukan pada digiti 3.
Menurut Schweitzer dan Rayan dalam studi kinematik tentang mekanisme ekstensor terminal
dikatakan bahwa jari telunjuk memiliki resiko yang besar dalam terjadinya mallet finger,
didasarkan pada peningkatan deformitas fleksi dapat menyebabkan sendi DIP akan memanjang
1 mm pada tendon terminal. Pada pemanjangan 1 mm tendon terminal dapat menyebabkan
extension lag pada sendi DIP menjadi −25°. Penyesuaian ketegangan yang tepat selama
intervensi bedah sangat penting utnuk mencegah deformitas mallet. Jones dkk melakukan studi
epidemiologi dari 24 anggota keluarga selama 3 generasi

Mekanisme cedera

Mekanisme yang paling umum adalah fleksi mendadak dari sendi DIP dengan daya tahan yang
dibebankan sepanjang sumbu jari. Hal ini menyebabkan robekan dari tendon ekstensi terminal
atau avulsi tendon dengan fragmen tulang. Pada atlet, ini sering terlihat dari tekanan yang kuat
pada ujung jari menyebabkan terjadinya fleksi secara tiba-tiba. Pada pemain bisbol ini sering
terjadi dan di diagnosis sebagai jari macet. Cedera terbuka dapat disebabkan karena adanya
laserasi, himpitan atau abrasi yang dalam. Hiperekstensi dari sendi DIP dapat menyebabkan
mallet finger sekunder
Klasifikasi

Petel dan Geberman mendefinisikan mallet finger akut dengan gejala selama 4 minggu dan
mallet finger kronis dengan gejala lebih dari 4 minggu. Beberapa klasifikasi telah dijelaskan
untuk mallet finger. Klasifikasi yang paling banyak dikenal adalah kasifikasi untuk bony mallet
finger menurut Wehbe dan Schneider. Mereka membagi fraktur mallet menjadi 3 tipe dan
masing-masing dibagi menjadi 3 subtipe tergantung dari tulang rawan yang terlibat.

Wehbe dan Schneider merekomendasikan terapi operatif untuk tipe II subtype B dan C
berdasarkan keterlibatan dari tulang rawannya. Namun, kecuali pada cedera yang tidak dapat
direduksi, hasil dari Wehbe dan Schneider menunjukan bahwa terapi bedah dan non bedah
tidak mempengaruhi hasil akhir.

Doyle mengusulkan klasifikasi untuk soft tissue dan bony mallet finger berdasarkan mekasime
cedera. Tipe I adalah trauma tertutup yang menghasilkan avulsi tendon dengan atau tanpa
fragmen fraktur kecil, Tipe II adalah laserasi terbuka dengan diskontinuitas tendon, Tipe III
adalah abrasi dalam dengan diskontinuitas tendon, dan mallet finger tipe IV mencakup tiga
subtipe: A — trans epiphyseal fracture, B — cedera hiperfleksi dengan keterlibatan artikular 20-
50%, dan C- cedera hiperekstensi dengan keterlibatan artikular lebih dari 50%.

Terapi

Ada beberapa terapi untuk mallet finger. Banyak splint konfigurasi dan teknik bedah telah
dijelaskan selama beberapa decade terakhir. Namun, terapi optimal dari setiap jenis cedera
mallet finger masih kontroversial. Splinting adalah metode perawatan awal yang paling umum
digunakan untuk soft tissue atau bony mallet finger. Terlepas dari pilihan terapi, gejala umum
seperti slight extensor lag dan benjolan pada dorsum jari.

Sebuah klasifikasi penilaian hasil perawatan mallet finger dikemukakan oleh Crawford, yang
paling sering digunakan. Hasil yang sangat baik adalah tidak ada rasa sakit dengan berbagai
gerak pada sendi DIP, defisit ekstensi kurang dari 10-derajat adalah hasil yang baik, defisit
ekstensi 10-25 derajat tanpa rasa sakit adalah hasil yang biasa, dan ekstensi defisit lebih dari 25
derajat atau nyeri persisten dianggap sebagai hasil yang buruk.

Sebagian besar ahli bedah percaya bahwa terapi tertutup / non-operatif menggunakan splint
menghasilkan hasil yang memuaskan untuk avulsi tendon tanpa fraktur dan fraktur kecil yang
bergeser atau kecil. Makhlouf dan Deek telah mempertimbangkan operasi ketika splinting tidak
dapat memperbaiki deformitas akut; Namun, kami akan meninjau literatur ini mengenai
deformitas akut terbuka dan kronis.

Tabel 1. Klasifikasi menurut Wehbe dan Schneider

Tipe

1 tidak ada subluksasi sendi DIP


2 subluksasi sendi DIP
3 cedera epifisis dan fisis

subtipe

1 < 1/3 keterlibatan permukaan articular


2 1/3-2/3 keterlibatan permukaan articular
3 >2/3 keterlibatan permukaan articular

Mallet finger akut

Penulis merasa terapi non operatif mallet finger diindikasi pada semua kasus soft tissue mallet
and bony mallet yang akan berkurang dengan splint tanpa adanya subluksasi sendi DIP.
Imobilisasi sendi PIP dan DIP dianggap perlu sebagai relaksasi ekstensor dan otot intrinsik
selama penyembuhan tendon terminal ekstensor. Katzman dkk melakukan penelitian pada
cadaver, untuk melihat apakah gerakan sendi PIP akan menyebabkan celah antar tendon sendi
DIP yang terimobilisasi. Hasil menunjukan bahwa celah dari ekstensor tendon terminal
terganggu terjadi akibat pergerakan tendon distal selama fleksi sendi DIP, bukan karena retraksi
tendon bagian proksimal yang distimulasi oleh ekstensi sendi PIP. Dapat disimpulkan hanya
sendi DIP yang perlu di imobilisasi dalam posisi ekstensi untuk mempermudah proses
penyembuhan cedera mallet.

Splinting

Ada banyak macam dalam desain splint tetapi mereka semua memiliki prinsip yang sama.
Semua splint mallet finger didesain untuk mempertahankan ekstensi penuh atau sedikit hiper
ekstensi pada sendi DIP. Splint yang paling sering digunakan adalah tumpukan splint plastic,
termoplastik, dan bentuk aluminium splint. Penulis merekomendas penggunaan splint dalam
waktu penuh selama 6 minggu diikuti oleh 2-6 minggu pada malam hari. Splint harus digunakan
terus menerus dan pada sendi DIP perlu dipertahankan dalam keadaan ekstensi penuh maupun
dalam keaadan pembersihan diri. Pasien harus diberi edukasi mengenai bagaimana mengganti
splint untuk periodic, membersihkan tanpa memungkinkan sendi DIP untuk fleksi. Membiarkan
mallet finger atau pengobatan yang tidak benar dapat menyebabkan disfungsi sendi DIP. 1 mm
memanjang dari tendon ekstensor terminal menghasilkan 25 derajat ekstensi lag, dan
pemendekan 1 mm akan secara serius membatasi DIP fleksi sendi.

Okafor et al melaporkan pada 31 pasien yang diobati secara konservatif menggunakan splints
selama 5-tahun dan di follow-up dan menemukan kepuasan pasien yang tinggi meskipun rata-
rata 8 derajat perpanjangan lag. Gerberman et al menunjukkan bahwa bahkan penundaan
splinting mallet finger rata-rata 53 hari dari cedera mengakibatkan hasil yang sukses dengan
atau tanpa kehadiran fraktur kecil didefinisikan sebagai <30% dari permukaan artikular.
O’Farrell et al. menggambarkan sistem splint intra-operatif steril untuk ahli bedah untuk
mempertahankan dan melakukan operasi.

Ada beberapa penelitian yang membandingkan splint mallet finger. Splints berlubang lebih baik
ditoleransi daripada splints tumpukan padat. Splint lunak alumina-alloy dapat menybabkan
lebih banyak komplikasi kulit dibandingkan dengan tumpukan splint tetapi hasil akhir serupa.
Warren membandingkan penggunaannya dari splint Abouna (karet dilapisi belat kawat) versus
stack splint dalam penelitian acak yang melibatkan 116 pasien. Pada splint abouna memiliki
komplikasi kulit dan pasien lebih miskin, tetapi utnuk kepuasan hasil akhir serupa dengan
tumpukan belat. Pike dkk. membandingkan klinis dan radiografi pengukuran extensor lag untuk
mallet finger dirawat dengan belat termoplastik volar, dorsal, dan custom. Tidak ada perbedaan
extensor lag antara splints pada 12 minggu tindak lanjut dan peningkatan lag ekstensor dicatat
dengan ketiganya splints setelah penghentian pada 6 minggu waktu.

Stern dan Kastrup melaporkan tingkat komplikasi 45% dengan perawatan splint non-operatif.
Komplikasi ini biasanya terjadi sementara dan dalam bentuk ulserasi kulit [44]. Beberapa lag
ekstensor kemungkinan dengan pengobatan splint, tetapi ini tidak tampaknya mengakibatkan
ketidakpuasan atau defisit fungsional pasien.

Terapi operatif

Pembedahan sering dilakukan pada trauma tertutup mallet finger akut tetapi terapi
pembedahan dapat diindikasikan untuk semua trauma terbuka dan trauma dengan bony mallet
fragment yang besar dengan subluksasi pada sendi DIP. Fraktur dengan 30-50% bagian sendi
tidak stabil dan membutuhkan operasi. Operasi juga di indikasikan pada pasien yang terapi
splint tidak berhasil.

Beberapa teknik bedah telah dijelaskan pada literatur seperti, Kirschner wiring, extension block
wiring, small screws, hook plate, pull-through wires, figure of eight wiring, tension band wiring,
umbrella handle k-wire fixation, and external fixation. Reduksi dan fiksasi dari bagian fragmen
yang mengalami avulsi dapat dilakukan secara terbuka atau tertutup. Extension blok k-wire
pinning biasanya dilakukan dengan metode tertutup. Dimana Screws, hook plate, tension band
dan pull through sutures biasanya dilakukan dengan metode terbuka. Pasien dengan terapi k-
wire fixation rata-rata dapat melakukan gerakan flexi hingga 55 derajat dan perpanjangan lag
dari 0 sampai 20 derajat. Damron melakukan studi biomekanik yang membandingkan 4 teknik
fiksasi yaitu, k-wires, figure of eight wiring, pull through wire, and pull through suture. Pull
through suture secara biomekanik lebih stabil tanpa pengurangan reduksi jika dibandingkan
dengan teknik lain.
Splint vs operatif

Stren dan kastrup melakukan penelitian secara retrospektif 123 kasus mallet finger; 45 fraktur
intra articular; 37 fraktur avulsi, dan 39 cedera tendon. Splinting adalah pengobatan yang lebih
disukai dalam penelitian ini karena ada tingkat komplikasi yang tinggi pada terapi operatif
(53%), termasuk infeksi, kelainan bentuk kuku, ketidaksesuaian sendi, dan kegagalan fiksasi.
Pada kasus mallet finger akut yang uncomplicated, splint dan terapi bedah sama efektifnya.
Dalam uji coba prospektif dengan 41 pasien tidak ada perbedaan dalam hasil terapi dengan
splinting eksternal dan fiksasi internal. Lubahn melaporkan penelitian kohort prospektif dari 30
faktur mallet dapat diterapi dengan splinting atau operasi. Dia menyarankan bahwa reduksi
terbuka dan penggunaan kabel kirscher lebih kecil memberikan hasil yang lebih baik secara
kosmetik maupun fungsional dalam kasus-kasus tertentu. Dalam meta analisis yang dilakukan
Handoll dan Voghela ada beberapa indikasi yang tepat untuk dilakukannya operasi. Dia
menyarankan bahwa splint harus cukup kuat untuk digunakan setiap hari tetapi kepatuhan
pasien juga penting untuk perawatan non operatif.

Komplikasi

Terapi non operatif dan operatif bukan tanpa komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah
pada daerah dorsal kulit seperti ulserasi, maserasi, kerusakan pada kuku, dan juga kelainan
fleksi yang berulang. Ekstensor lag juga timbul akibat terapi operatif dan splint tetapi bukan
masalah bagi pasien. Menurut stern angka komplikasi untuk terapi splint mencapai 45%.
Komplikasinya paling sering adalah masalah kulit. Komplikasi penggunaan fiksasi k-wire
mencapai 52% seperti infeksi, deformitas kuku, ketidaksesuaian fungsi sendi, kegagalan
implant, dan nyeri residual). Pada reduksi terbuka dan pull-out wire fixaxtion angka
komplikasinya mencapai 38% seperti deformitas kuku dan kegagalan implant. Dalam sebuah
studi oleh Bischoff, 51 pasien dengan bony mallet finger injuries yang diperbaiki dengan fixed
with tension band wiring, difollow up selama 14 bulan dan 24 pasien memiliki komplikasi
seperti rusaknya kulit bagian dorsal, infeksi, faktur yang berpindah, necrosis avascular dan
rupture tendon ekstensor.

Akut mallet finger terbuka

Manajemen dari cedera mallet finger terbuka dijelaskan dibeberapa publikasi. Nakamura dan
nanjyo berhipotesis deficit ekstensi pada sendi DIP pada beberapa cedera mallet finger terbuka
dikarekan gangguan dari kedua terminal tendon ekstensor dan berdekatan dengan ligament
retinakular oblik. Pada cedera ini didapatkan deficit ekstensi 25 derajat sampai 70 derajat.
Membiarkan tendon ekstensor untuk sembuh dengan terbentuknya jembatan luka dengan
splinting dianggap mempengaruhi digit untuk menjadi ekstensor lag dan cedera sekunder yaitu
kelaianan bentuk swan neck. Terapi bedan terbuka disarankan, dengan menggunakan eight
stainless steel wiring dan k-wire immobilization pada sendi DIP selama 3 minggu. Doyle
menyarankan kombinasi perbaikan bedah dan splinting untuk laserasi tendon akut yang
melapisi sendi DIP. Tekniknya melibatkan jahitan berjalan untuk memperkirakan kembali baik
kulit dan tendon, diikuti oleh penerapan ekstensi belat. Jahitannya dilepas setelah 10-12 hari
dan dilanjutkan menggunakan splint selama 6 minggu. Cedera terbuka mallet finger
membutuhkan irigasi dan debridement secara menyeluruh sebelum perbaikan tendon. Tendon
yang rusak dapat diperbaiki secara terpisah atau dapat digabungkan dengan kulit
(tenodermodesis). Rekontruksi tendon dapat tertunda jika ada kontaminasi. Dalam keadaan ini
sendi DIP harus di imobilisasi hingga dilakukannya operasi definitive. Trauma tendon terbuka
dengan beberapa kerusakan tendon mungkin memerlukan rekontruksi primer atau tertunda
tergantung dari ada atau tidaknya kontaminasi.

Mallet finger kronik

Deformitas mallet dianggap kronis saat splint tidak dapat memperbaiki cedera lebih dari 4
minggu setelah terjadinya cedera. Cedera mallet timbul setelah 4—8 minggu setelah kejadian
tanpa cacat tetapi tetap harus diobati dengan splint. Pembedahan biasanya dilakukan pada
kasus yang tidak cukup terapi dengan splint, jika ada tahanan ekstensor pada 40 derajat atau
ada deficit fungsional. Pembedahan merupakan kontraindikasi jika ada deformitas tetap pada
sendi DIP. Dua teknik yang sering digunakan untuk mallet finger kronis adalah tenodermosesis
dan slip tenotomi sentral yang dijelaskan oleh fowler. Tenodermodesis terdiri dari bagian
eksitasi tendon dan kulit di atas sendi DIP, kemudian memperbaiki defek dengan jahitan non-
absorbable. Sambungan DIP ditempatkan dalam posisi ekstensi dan diimobilisasi oleh fiksasi
internal atau splinting. Sorene dan Goodwin melaporkan penurunan rata-rata perpanjangan lag
dari 50 derajat menjadi 9 derajat, dengan rata-rata follow up selama 36 bulan.

Tujuan dari tenotomi slip sentral adalah untuk menyeimbangkan mekanisme ekstensor dengan
mentransmisikan slip sentral sehingga dapat meningkatkan kekuatan ekstensor dan ekskursi ke
tendon terminal. Bowers dan hurst menggunakan tenotomy pada plip sentral dan menunjukan
hasil yang sangat baik engan ekstensi penuh pada 4 dari 5 pasien. Tak satu pun dari pasien ini
memiliki kemungkinan untuk ada nya komponen tulang pada cedera ini. Dalam sebuah studi
oleh Houpt et al., 26 dari 35 pasien mendapatkan kembali ekstensi penuh setelah tenotomi
sedangkan 8 pasien memiliki deformitas sisa 10-20 derajat dan satu pasien dengan 30 derajat.

Pada artikel makhlouf, membatasi pembedahan pada sendi DIP adalah pilihan yang baik untuk
mengubah trauma tertutup mallet finger kronis menjadi trauma terbuka mallet finger akut dan
menjahit kembali tendon. Menciptakan cedera merupakan cara yang cukup signifikan untuk
menimbulkan proses penyembuhan pada teknik ini. Ini ditunjukkan dalam sebuah studi oleh
Ulker et al. di mana 22 pasien dengan mallet finger kronis menjalani fiksasi terbuka dengan
suture anchor. Pasca operasi, 15 dari 22 pasien memiliki hasil yang sangat baik tidak termasuk
rasa sakit, penampilan kosmetik yang memuaskan, dan ekstensi / fleksi aktif pada sendi DIP
yang sama dengan sendi kontralateral yang tidak terlibat.

Kesimpulan

Pada semua kasus bony atau soft tissue mallet finger paling baik di terapi dengan splint. Bony
mallet finger dengan keterlibatan articular lebih dari 30% dengan subluksasi sendi lebih baik di
terapi dengan pembedahan. Mallet finger terbuka akut dan deformitas mallet kronis setelah
gagal diterapi menggunakan splint sebaiknya di terapi dengan cara pembedahan. Ada sejumlah
besar studi yang membandingan penggunaan splint dan pembedahan tetapi yang lebih studi
yang komparatif adalah menentukan kasus mana yang paling baik responnya untuk terapi
pembedahan. Beberapa ekstensor lag diharapkan setelah perawatan menggunakan splint
ataupun pembedahan tapi tidak berhubungan dengan kepuasan pasien. Komplikasi harus
dipertumbangkan dengan hati-hati ketika pembedahan.

Anda mungkin juga menyukai