Anda di halaman 1dari 22

TRIGGER FINGER: PRINSIP, MANAJEMEN DAN KOMPLIKASI

Mark Ryzewicz, MD, Jennifer Moriatis Wolf, MD

Tenosinovitis stenosan, atau trigger finger, adalah suatu tampakan nyata yang umum
dijumpai dalam ranah bedah tangan. Gangguan ini seecara umum disebabkan oleh
ketidakserasian ukuran antara tendon fleKSor dan pulley A-1 ( first annular 1 pulley).
Manajemen konservatif meliputi splinting, injeksi kortikosteroid, dan modalitas ajuvan
lainnya. Terapi surgikal mencakup pembebasan pulley A-1 dengan teknik terbuka/
perkutaneus. Komplikasinya jarang namun dapat mengalami kontraktur seperti tali busur
(bowstringing), cedera saraf digital, dan trigger berkelanjutan. Beberapa pasien memerlukan
prosedur yang lebih ekstensif untuk mengurangi ukuran tendon fleksor. Kondisi komorbid
juga memengaruhi bagaimana kita melakukan tatalaksana terhadap pasien trigger finger.
Pasien dengan rheumatoid artritis lebih memerlukan tenosinovektomi dibandingkan prosedur
pembebasan pulley A-1. Pada anak-anak dengan trigger finger pada ibu jari, pembebasan
pulley A-1 dapat diandalkan, namun demikian untuk kasus trigger jari lainnya mungkin
memerlukan pembedahan yang lebih ekstensif. Pasien diabetik dengan trigger finger
umumnya kurang responsif dengan penilaian konservatif. Pemahaman akan patomekanisme,
faktor-faktor risiko, dan beragam tatalaksana untuk trigger finger sangat penting guna
memberikan perawatan yang tepat sasaran.

Kata kunci: trigger finger, kortikosteroid, pembebasan perkutan.

Tenosinovitis stenosans, atau trigger finger, didiagnosis bila dijumpai pasien dengan
keluhan locking (gerakan jari tertahan) atau clicking (bunyi/sensasi klik saat digerakkan) pada
salah satu jarinya. Hal ini disebakan ketidakmuatan antara volume sarung tendon fleksor
(flexor tendon sheath) dan konten di dalamnya. Ketika tendon fleksor berusaha meluncur
melalui sheath yang stenosis, dia akan tertahan, mengakibatkan ketidakmampuan untuk fleksi
dan ekstensi jari dengan halus. Pada kasus yang lebih berat jari pasien dapat terkunci pada
posisi fleksi, dan pada akhirnya membutuhkan manipulasi jari secara pasif untuk kembali
ekstensi. Pasien awalnya akan mengeluhkan painless clicking ketika jari digerakkan. Keluhan
ini seringkali berkembang menjadi timbulnya rasa nyeri, yang lokasinya bervariasi pada sendi
palmar atau metakarpofalangeal (MCP) atau interfalang proksimal (PIP). Hambatan terhadap
rentang gerakan akibat nyeri atau locking dapat menyebabkan kontraktur sekunder pada sendi
PIP. Wanita paruh baya adalah kelompok umur yang rentan dan sering mengalami kasus ini.
Dilaporkan bahwa jari yang paling banyak terkena adalah jari manis dan ibu jari- dimana jari
telunjuk dan kelingking dengan keluhan yang paling minimal. Merupakan kasus yang tidak
umum bila ditemui satu pasien yang mengalami trigger finger multipel. Trigger finger
pertama kali dideskripsikan oleh Notta [1] pada 1850. Diagnosis dan tatalaksana trigger
finger primer nonkomplikata umumnya sama di semua fasilitas layanan primer, bedah
ortopedi, dan bedah tangan. Populasi pasien terbaru, meliputi anak-anak, pasien diabetes,
pasien dengan rheumatoid artritis, distal triggering, kontraktur PIP, atau kondisi yang
menyebabkan deposit sistemik protein memerlukann pertimbangan tersendiri. Komplikasi
terapi seperti bowstringing pada tendon fleksor jarang terjadi, tapi kadang-kadang dapat
muncul. Sejumlah teknik bedah, selain teknik pembebasan pulley A-1, telah menjelaskan
terapi kasus-kasus kompleks di atas.

Trigger Finger Primer

Mayoritas trigger finger adalah trigger finger primer idiopatik dimana lokasi
obstruksinya pada pulley A-1. (gambar 1). Kekuatan menggenggam menyebabkan beban
angular yang tinggi pada tepi distal pulley A-1. Hueston dan wilson [2] mengusulkan bahwa
pergeseran (friction) antara tendon fleksor dan selubung penutup yang kronik repetitif
menyebabkan timbulnya nodul intratendinosus reaktif. Mereka mengumpamakan hal tersebut
dengan kekusutan yang terjadi pada ujung benang setelah berkali-kali dimasukkan ke dalam
lubang jarum.

Gambar 1. Sistem pulley digital jari


Analisis histologi terhadap penyakit pulley A-1 dan tendon superfisial dari pasien
dengan trigger finger menunjukkan adanya metaplasia fibrokartilaginous. [3] Pewarnaan stain
positif untuk S-100, suatu protein yang ditemukan pada kartilago. Pulley A-1 dapat tiga kali
lebih tebal sebagaimana pulley A-1 suatu lapisan yang dilihat secara histologis berubah dari
yang normalnya seperti fibroblas berbentuk spindel dan sel ovoid menjadi seperti kondrosit.

Tendovaginitis telah diusulkan sebagai terminologi yang lebih akurat dalam merujuk
kondisi ini dibandingkan tenosinovitis. Hal ini karena perubahan inflamatorik patologis lebih
ditemukan pada sarung retinakular dan jaringan peritendinosus daripada di tenosinovium.
Kedua istilah ini berlanjut digunakan secara bergantian pada literatur.

Terapi Konservatif

Modifikasi aktivitas, anti-inflamasi non-steroid, splinting, injeksi steroid, dan


pembebasan dengan pembedahan telah digunakan sebagai manajemen trigger finger. Jika
riwayat pasien menunjukkan aktivitas spesifik yang dikaitkan dengan onset trigger finger,
maka menghindari aktivitas yang dimaksud dapat menghasilkan resolusi spontan suatu
tendovaginitis. Pada pasien yang tidak memiliki kontraindikasi berupa penyakit ginjal atau
penyakit ulkus peptik, NSAID dapat digunakan sebagai regimen terapi inisial.

Splinting adalah pilihan terapi konservatif selanjutnya. Splint yang dibuat kebanyakan
posisinya melingkari sendi MCP jari yang terlibat pada posisi fleksi 10𝑜 − 15𝑜 dengan sendi
PIP dan sendi DIP dibiarkan bebas. Splint ini telah diaplikasikan dengan sukses. Splint
digunakan kontinu selama sekitar 6 minggu. Pada pasien dengan trigger yang jelas, keluhan
telah dirasakan lebih dari 6 bulan, dan keterlibatan jari multipel, splinting saja tidak dapat
mengeliminasi gejala trigger finger. Splinting menjadi suatu pilihan yang beralasan pada
pasien dengan trigger finger ringan yang menolak untuk injeksi steroid.

Injeksi kortikosteroid

Injeksi kortikosteroid kerja lambat merupakan manajemen inisial utama terhadap


gejala trigger finger. Injeksi sarung tendon fleksor yang terlibat dapat mengurangi gejala
hingga 60-92% pada jari yang terlibat dengan frekuensi injeksi hingga mencapai 3 kali. [4]
Betametason sodium fosfat adalah steroid pilihan karena dapat larut air, tidak meninggalkan
residu pada sarung tendon, diketahui tidak menyebabkan tenosinovitis, dan sedikit
menyebabkan nekrosis lemak jika injeksi ditempatkan pada jaringan disekitar sarung tendon.
Kortikosteroid lain seperti triamsinolon dan metilprednisolon juga telah digunakan dengan
berhasil.

Berkurangnya respon injeksi telah dihubungkan secara konsisten dengan peningkatan


durasi gejala, biasanya lebih dari 4-6 bulan, dan dengan peningkatan frekuensi injeksi.[5] Hal
ini mungkin sebagai akibat dari ketidakmampuan kortikosteroid untuk mencegah metaplasia
fibrokartilaginous pada pulley A-1 yang stenosis. Benson dan Ptaszck [6] melaporkan angka
kesuksesan 60% pada injeksi tunggal. Dari mereka yang diterapi dengan injeksi kedua, 36%
mengalami asimtomatik selama 3 bulan. Enam pasien diinjeksi kali ketiga, tidak ada dari
mereka yang mengalami perbaikan jangka panjang.

Beragam teknik injeksi telah digunakan dengan efektif. Baik pendekatan palmar dan
lateral, kedua-duanya bisa digunakan untuk menginfiltrasi sarung tendon fleksor dengan
anetesi lokal dan kortikosteroid. Pasien sebaiknya diperingatkan akan kemungkinan nekrosis
lemak dan depigmentasi kulit sebagai komplikasi dari injeksi subkutan. Injeksi intrasheath
secara umum tidak menimbulkan komplikasi; namun bagaimanapun, ruptura tendon pernah
dilaporkan dan sepertinya akibat kekuranghati-hatian dalam melakukan injeksi intratendinous
sehingga mengakibatkan nekrosis kolagen.

Pertimbangan surgikal

Operasi open release pada pulley A-1 telah digunakan untuk mengobati trigger finger
pada lebih dari 100 tahun. Beberapa ahli bedah lebih memilih melakukan pembebasan pulley
A-1 dibawah anestesi lokal sehingga hilangnya jari yang trigger dapat dilihat intraoperatif
sebelum luka ditutup. Yang lainnya meyakini bahwa lokal anestesi mengubah anatomi
surgikal dan oleh karena lebih memilih prosedur Bier block. Insisi transversal, longitudinal,
atau oblik pada aspek volar tangan menutupi sendi MCP dan pulley A-1 sudah dijelaskan.
Diseksi Blunt dilanjutkan ke bawah ke level tendon fleksor dan pulley A-1 tervisualisasi
(gambar 2A,2B), dengan hati-hati untuk memproteksi berkas neurovaskular di sisi radial dan
ulnar sarung tendon. Berkas neurovaskular sisi radial ke ibu jarilah yang sangat berisiko
cedera karena dia berjalan secara oblik sisi ulnar menyilang pulley A-1 ke radial. Berkas ini
juga terletak subkutan, rata-rata 1.19 mm dalamnya ke dermis pada garis tangan fleksor MCP
ibu jari, dan mungkin saja terpotong dengan insisi kulit dalam. Pulley A-1 sebaiknya
dibebaskan total demi penyembuhan yang efektif.
Gambar 2.

Foto-foto intraoperatif pada


open release trigger finger.
(A)injeksi lokal anestesi.
(B)setelah penampakan pulley
A-1 insisi dengan pisau pulley
secara longitudinal. (C)
gambaran memperlihatkan
pemisahan total pulley A-1.
(D) traksi tenolisis pada
tendon FDP dan PDS dapat
dilakukan untuk mengecek
apakah trigger telah hilang.

Secara umum hanya diperlukan dressing suportif setelah pembedahan. Beberapa


pasien mengalami nyeri tekan palmar atau kekakuan pada jari-jari setelah pembedahan. Nyeri
tekan/ tenderness insisional umunya akan mengalami perbaikan seiring berjalannya waktu
dan pijatan, dan sebagian kecil pasien memerlukan terapi okupasi formal.

Hasil dari pembebasan pulley A-1 umumnya memuaskan. Turowski dkk [7] dalam
suatu kelompok dengan 59 pasien yang diterapi oleh berbagai ahli bedah, melaporkan 97%
mengalami resolusi komplet terhadap trigger finger-nya dengan tanpa komplikasi seperti
infeksi, bowstringing, atau cedera saraf digital. Sebanyak 2 pasien yang tidak mengalami
resolusi komplet juga telah mengalami perbaikan yang berarti.

Pulley Digital Anular

Pemisahan pulley A-1 biasanya menyebabkan morbiditas minimal. Fungsi tangan


mendekati normal dapat dipertahankan selama pulley anular A-2 dan A-4 intak. [8]
Peningkatan 10% usaha fleksi yang telah ditunjukkan secara biomekanikasl setelah eksisi
pulley A-1 tidak muncul nyata secara klinis pada sebagian besar pasien. Cedera pulley A-2
pada pendaki gunung dan cerita dari pasien yang pernah ditranseksi pulley A-2-nya secara
surgikal menunjukkan pentingnya menjaga pulley ini guna mencegah bowstringing dari
tendon fleksor. Studi biomekanik eksisi pulley oleh Peterson dkk [8] menunjukkan
peningkatan 44% pada usaha fleksi jari setelah eksisi pulley A-2 dan peningkatan 62% setelah
pembebasan pulley A-1 dan A-2.
Pemisahan yang jelas antara pulley anular pertama dan kedua dianggap sebagai
konfigurasi yang biasa. Studi anatomi telah menunjukkan hampir 50% insiden kontinuitas
antara pulley A-1 dan A-2. [9] Pemisahan antara 2 pulley umumnya berjarak 0,4-4,1mm.
Ketika pemisahan ini tidak ada, bagaimanapun, ditemukan beberapa milimeter penipisan
jaringan retinakuler pada area yang biasa menjadi tempat pemisahan. [10] Pengobatan
sebaiknya tidak dilakukan untuk memperluas pembebasan operatif hingga ke substansi pulley
A-2. Yang lebih jarang, pulley A-2 mungkin terlibat dalam menghasilkan trigger finger.
Strategi tatalaksana pada situasi khusus ini didiskusikan kemudian.

Komplikasi Tatalaksana Operatif

Bowstringing

Bowstringing setelah cedera pulley A-2 bermanifestasi sebagai suatu protrusi tendon
fleksor hingga ke telapak tangan ketika fleksi tendon. Hal ini kerapkali menimbulkan sensasi
nyer saat penarikan di telapak tangan yang dikaitkan dengan kegagalan untuk ekstensi atau
fleksi jari maksimal secara aktif.

Untuk memahami secara penuh efek samping bowstringing, hal yang harus diingat
bahwa pengaruh tendon terhadap sendi tergantung baik dari tegangan tendon dan moment
arm. Karena bowstringing meningkatkan jarak perpendikular tendon dari sumbu rotasi sendi
MCP, moment arm-nya naik. [11] Dengan peningkatan moment arm, bowstringing tendo
fleksor memeroleh keuntungan mekanis tanpa koreksi manual tendon fleksor.

Lebih lanjut ekskursi dari tendon fleksor tidak meningkat dengan peningkatan radius
dari pusat sendi MCP ke tendon. Suatu hukum geometri mengatakan bahwa ketika radius
suatu lingkaran bergerak sebesar 57,29o (1 radian), titik apapun pada lingkaran itu yang
bergerak pada suatu jarak setara dengan radius. Jarak tersebut dan ekskursi tendon yang
diperlukan penting untuk menggerakkan sendi MCP sepanjang 57,29o kenaikan dengan
peningkatan radius (gambar 3). Ketika fleksor tendon mengalami bowstringing dan radius
(jari-jari) moment arm yang menyilang sendi MCP meningkat, jarak tertentu dari ekskursi
tendon akan menggerakkan sendi melalui pergerakan arkus yang lebih kecil. Hal ini
meningkatkan usaha fleksi jari. Karena sejumlah ekskursi yang ada umumnya sama dengan
ekskursi yang diperlukan untuk rentang pergerakan penuh (full range of motion), ekskuris
penuh terhadap tendon fleksor yang bowstringing menggerakkan jari dengan pergerakan
arkus yang tidak penuh dan lebih kecil.
Gambar 3. (A) mekanika tendon normal dengan sistem pulley yang intak. (B) Bowstringing. Tendon
fleksor yang bowstring menyilang ke sendi MCP setelah pulley A-1 dan A-2 diangkat. Hal ini
meningkatkan radius dari tengah rotasi sendi MCP ke tendon.sejumlah ekskursi tendon diperlukan
untuk memindahkan sendi sepanjang 1 radian (57,29o )yang setara dengan jarak radiusnya, lebih
lanjut ekskursi tendo tambahan diperlukan untuk memindahkan sendi dengan tendon bowstring ker
sudur pergerakan tertentu.

Cedera Pulley A-2

Ketidakhati-hatian pembukaan pulley A-2 yang secara klinik mengakibatkan


bowstringing yang signifikan di tangani dengan rekonstruksi pulley A-2. Suatu tahanan yang
dihasilkan melawan fleksi pulley dipertimbangkan. Lebih lanjut, pulley yang direkonstruksi
pasti kuat, dengan panjang ideal sekitar 10mm, dan sebaiknya dites dengan teliti dengan
visualisasi langsung di atas meja operasi.

Bunnel [12] menjelaskan rekonstruksi pulley dengan cara encircling suatu loop
tunggal tendon bebas sekitar falangs proksimal ke dalam hingga ekstensor, yang mana
kemudian ditumpang tindih dan di jahit. Baik palmaris longus atau selipan fleksor digitorum
superfisialis digunakan sebagai cangkok tendon. Modifikasi teknik ini meliputi pemakaian
ekstensor retinaculum atau penjangkaran cangkok tendon sepanjang volar plate. Teknik
Weilby menjahit material graft/cangkok ke sisa fibrokartilaginous sabuk dari pulley yang
sobek, yang hampir selalu ada. [13]

Cedera Saraf Digital

Cedera saraf digital merupakan komplikasi pembebasan trigger finger yang jarang
namun serius. Perawatan khusus dalam memproteksi saraf digital radial pada ibu jari dan
telunjuk harus dilatih karena fungsi anatomis khususnya. Peringatan dalam penggunaan
elektrokauter diperlukan untuk mencegah cedera thermal pada saraf. Suatu diagnosis akurat
adalah penting untuk mengimplematasikan terapi yang tepat. Saraf digital yangtelah dipotong
atau dikauter sebaiknya dieksplorasi dan dilakukan perbaikan mikrosurgikal. Jika ahli bedah
sudah puas dengan observasi langsung sebelum ditutup bahwa saraf tidak terpotong atau
terkauter pada waktu operasi, maka cederanya hanya sebatas neuropraksia yang secara alami
akan teresolusi seiring observasi. Jika sensasi tidak kembali pada daerah tersebut dalam 3
bulan, bagaimanapun eksplorasi saraf menjadi indikasi.

Prosedur Alternatif

Pembebasan perkutan (percutaneous release) terhadap pulley A-1 pertama kali


dijelaskan oleh Lorthioir pada tahun 1958. [14] Teknik ini kemudian menjadi populer baru-
baru ini dan sejumlah studi telah mengevaluasi keamanan dan efikasi prosedur pembebasan
perkutan ini. Beberapa instrumen telah diadvokasikan untuk prosedur ini meliputi jarum
hipodermik, tenotom, dan pisau yang didesain khusus.

Perhatian utama percutaneous release ini adalah cedera saraf digital. Lorthioir
menggunakan tenotom tanpa melaporkan adanya komplikasi pada 52 pasiennya. Eastwood
dkk [15] memakai jarum hipodermik ukuran 21G pada 35 pasien dan mampu mengurangi
gejala sebanyak 94% tanpa komplikasi. Walaupun Eastwood dkk [15] membebaskan 3
ibujari pada studi mereka, mereka mencatat bahwa persilangan (oblikuitas) dan posisi volar
berkas neurovaskular pada ibu jari memerlukan perhatian khusus. Studi kadaver telah
menunjukkan bahwa saraf digital pada jari telunjuk dan ibu jari terletak dalam 2-3mm dari
area penusukan jarum. [16]

Pemisahan inkomplet pada pulley adalah perhatian lain berkaitan dengan teknik
perkutan. Pope dan Wolfe [16] melakukan percutaneous release pada 13 pasien trigger
finger menggunakan jarum ukuran 19G dan kemudian dilanjutkan dengan membukan luka
segera dan menginspeksi hasilnya. Walaupun pasien semua pasien menunjukkan perbaikan
klinis, pembebasan total hanya ditemukan pada 8 pasien; dengan 10-15% bagian distal pulley
masih intak pada pasien lainnya. Mereka beranggapan bahwa trigerring membaik bahkan jika
tepi distal pulley A-1 tidak dibebaskan.

Tenosinovitis yang sangat nyeri namun tanpa triggering seringkali muncul pada
pasien setelah percutaneous release. Hal ini mungkin terjadi akibat hasil skoring tendon
fleksor yang tinggi. Tingkat laserasi longitudinal pada tendon superfisial pada studi kadaver
telah mendekati 100%. [16] Penggunaan kortikosteroid dengan anestesi lokal dapat
mencegah reaksi inflamasi post-prosedur, dan skoring superfisial tidak muncul sebagai suatu
konsekuensi nyata secara klinis.

Literatur telah menunjukkan baik metode terbuka dan perkutaneus pada releasing
pulley A-1 cukup efektif dan aman sebagai terapi trigger finger. Pada suatu studi acak
prospektif terhadap 100 pasien membandingkan dua teknik tersebut, Gilbert dkk [17] berhasil
mengurangi gejala pada 100% pasien secara perkutaneus, dan 98% pada pasien yang diterapi
dengan prosedur bedah terbuka, dengan tanpa komplikasi. Satu terapi yang gagal adalah
akibat dari pembentukan skar yang berlebihan, menyebabkan triggering rekuren yang
membutuhkan prosedur lain. Para investigator ini memilih teknik perkutan dengan alasan
waktu prosedur yang singkat (7 vs 11 menit), nyeri pasca operasi yang relatif lebih singkat
(3,1 vs 5,7 hari), pemulihan keseluruhan fungsi tangan lebih cepat (7 vs 18 hari setelah
prosedur), dan lebih cepat kembali bekerja (3,9 vs 7,5 hari). [17]

Teknik Percutaneous Release

Percutaneous release-pun dapat dilakukan pada klinik. Anestesi lokal dikombinasi


dengan kortikosteroid diinjeksikan dan dasar palmar area jari yang mengalami gangguan
dipersiapkan dengan steril. Pasien diminta untuk memfleksikan jari yang sakit secara aktif.
Ahli bedah kemudian melakukan hiperkekstensi jari tersebut. Hal ini mengantarkan sarung
tendon fleksor secara langsung di bawah kulit dan membuat berkas neurovaskular untuk
menempati salah satu sisi.

Jarun 18 G atau perangkat lain diinsersikan pada aspek proksimal pulley A-1.
Perawatan sebaiknya memjaga sarung tendon fleksor tetap ditengah untuk menghindari
struktur neurovaskular dan untuk masuk ke kulit tegak lurus dengan kemiringan jarum paralel
dengan tendon. Sebagai alternatif, beberapa investigator menganjurkan menginsersi jarum
sedikit lebih distal pada pertengahan pulley dan kemudian dilanjutkan dengan pembebasan
secara proksimal dan distal (gambar 4)’

Tepi proksimal pulley A-1 terletak dekat dengan garis palmar horizontal bagian distal
pada jari kelingking, jari manis, dan jari tengah. Untuk jari telunjuk terletak di garis palmar
horizontal bagian proksimal. Pembebasan jari manis dan tengah diyakini relatif lebih aman.
Jalur oblik dari tendon fleksor dan struktur neurovaskuler pada telunjuk dan kelingking,
bagaimanapun menimbulkan tantangan yang besar. Wilhelmi dkk [18] menjelaskan
landmark/ tanda untuk sarung tendon fleksor jari kelingking pada area pulley A-1 terletak di
sebelah bawah suatu garis yang menghubungkan tepi ulnar tuber scaphoid bagian proksimal
ke tengah garis digital proksimal bagian distal. Untuk jari telunjuk, landmark-nya adalah tepi
radial pisiform bagian proksimal dan garis tengah garis digital proksimal bagian distal.
Dengan menggunakan semua landmark ini pada studi kadaver, pulley A-1 dapat ditranseksi
dengan lebih tepat. Jarak dari skoring tendon fleksor ke berkas neurovaskular adalah 5,4 mm
sebelah radial dan 6,7 mm sebelah ulnar pada jari kelingking. Pada jari telunjuk sekitar
8,5mm sebelah radial dan 6,2 mm sebelah ulnar. Tidak ada saraf digital atau arteri yang
tertranseksi.

Pada ibu jari, interseksi garis digital ibujari proksimal dan garis tegak lurus pada
sumbu tengah aspek palmar ibu jari adalah lokasi insersi yan g dipilih.

Gambar 4. Pemakaian landmark permukaan untuk


melakukan pembebasan pulley A-1 perkutan. Jari
telunjuk: pada garis palmar proksimal suatu garis
menghubungkan tepi radial pisiform dan
pertengahan garis digital proksimal jari telunjuk.
Jari tengah: pada garis palmar distal di midaxis
jari. Jari manis: pada garis palmar distal di midaxis
jari. Jari kelingking: pada garis palmar distal suatu
garis menghubungkan tepi ulnar tuberkulum
scaphoid dengan pertengahan garis digital
proksimal jari kelingking. Ibu jari: pada garis digital
proksimal digital di midaxis ibu jari

Jarum tersebut dapat diinsersikan ke dalam tendon. Hal ini dikonfirmasi dengan
pergerakan jarum ketika pasein menfleksi dan mengekstensikan falang distal. Jarum
kemudian ditarik perlahan sampai pergerakan jarum tersebut hilang. Ujung jarum sekarang
berada dalam pulley A-1. Pulley A-1 dipotong dengan menggerakan jarum ke depan dan
belakang sambil melakukannya sesuai garis sumbu longitudinal sarung tendon fleksor.
Sensasi “grating” mengindikasikan pulley A-1 telah terpotong. Ketika ahli bedah meyakini
pulley telah cukup di-release, lalu jarum ditarik keluar dan pasien diminta untuk memfleksi
dan ekstensikan jari untuk melihat apakah telah terbebas dari triggering.

Kontraktur Fleksi Sendi PIP Dan Triggering Distal

Pasien dengan trigger finger berkepanjangan walau jarang dapat berkembang menjadi
kontraktur fleksi pada sendi PIP yang tetap bertahan setelah pemisahan pulley A-1. Pada
beberapa pasien hal ini disebabkan oleh patologi intraartikuler. Yang lainnya memiliki
kontraktur fleksi preoperatif yang dapat teresolusi baik dengan pembebasan surgikal
sederhana pada pulley A-1 atau dengan terapi postoperatif tambahan.

Pada kasus lainnya peran dari tendon flexor digitorum superficialis (FDS) mengalami
penurunan yang bermakna. Proses degeneratif dapat menyebabkan menghilangnya
permukaan normal tendon yang halus, merusak serat tendon, menyebabkan terbentuknya
nodul yang besar, dan menyebabkan tendon kehilangan kemampuannya untuk bergerak bebas
di bawah pulley A-2. Penatalaksaan pada pasien seperti ini merupakan suatu tantangan karena
fungsi sendi tidak kembali secara penuh setelah pembelahan pulley A-1 kemudian dilanjutkan
dengan pembebasan pulley A-2 yang bukan merupakan suatu pilihan yang dapat dilakukan
seperti halnya pada bowstringing. Pasien seperti ini pada umumnya memiliki penyakit yang
sudah berlangsung sangat lama dan sepertinya telah mengalami proses metaplasia
fibrokartilaginosa pada pulley dan tendon flexor digitorum superficialis (FDS) mereka
sehingga kemungkinan dapat berlanjut menjadi triggering distal, yang didefinisikan sebagai
kekakuan terus menerus dari tendon yang disebabkan adanya hambatan pergerakan ke arah
distal dari tendon tersebut.

Reseksi Permukaan Ulnar luar


Le Viet, dkk. menjelaskan 228 jari yang mengalami trigger finger pada 172 pasien
diterapi dengan reseksi pembebasan pada permukaan ulnar luar. Pasiennya memiliki waktu
rata-rata timbulnya gejala sebelum menjalani operasi selama 48 bulan dan 11 di antaranya
telah menjalani pembebasan pulley A-1 sebelumnya dan mengalami kegagalan.
Teknik ini dimulai dengan membuka dan melakukan pembebasan pulley A-1
sederhana. Pada pasien yang mengalami kontraktur fleksi pada sendi interfalang proksimal
yang menetap sebelum dilakukannya operasi maka ahli bedah harus merentangkan sendi
interfalang proksimal secara pasif. Jika usaha yang dilakukan untuk merentangkan sendi ini
berhasil maka prosedur pembedahan dapat diakhiri dan kulit dapat segera ditutup. Jika sendi
interfalang proksimal tidak dapat direntangkan secara penuh, maka pergerakan fleksi dari
tendon melalui pulley A-2 harus diperhatikan secara jeli. Jika dari penglihatan secara
langsung dapat dipastikan bahwa daerah tersebut merupakan tempat terjadinya hambatan
maka permukaan ulnar luar harus direseksi.
Le Viet, dkk. menggunakan insisi Bruner palmar-digital untuk membuka sarung
tendon sampai ke pertengahan falang. Permukaan ulnar dari tendon flexor digitorum
superficialis (FDS) dibebaskan pada sisi distal dari terowongan carpal kemudian pada sudut
distal dari pulley A-3 dilakukan dengan hati-hati untuk mempertahankan pulley tersebut.
Permukaan tendon tersebut kemudian dipindahkan dari sarung tendon melalui insisi lainnya
kemudian diletakkan di antara pulley A-2 dan A-3 (Gambar 5).
Pada rangkaian kasus yang ditangani oleh Le Viet, dkk. semua pasien dengan
deformitas fleksi yang menetap sebelum dilakukannya operasi dengan deformitas kurang dari
30o maka dapat diperoleh ekstensi penuh kembali setelah reseksi permukaan ulnar tendon
superficialis. Pasien dengan deformitas lebih dari 30o akan mengalami perbaikan ekstensi
pada sendi interfalang proksimal mereka dengan rata-rata sebesar 30o, disertai dengan
deformitas fleksi menetap yang masih tersisa dengan rata-rata sebesar 12o. Dua pasien
mengalami ruptur pulley A-2 ketika sedang menjalani pembedahan yang terjadi ketika
memindahkan permukaan tendon ke arah distal. Rekonstruksi segera dilakukan dan kedua
pasien tersebut memiliki hasil operasi yang bagus meskipun memerlukan waktu pemulihan
yang lebih lama. Tiga pasien mengalami hambatan pergerakan jari secara permanen sebagai
akibat dari distrofi refleks simpatis. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Le Viet,
dkk. masih terbatas disebabkan oleh kurangnya kelompok kontrol dengan kontraktur sendi
interfalang proksimal yang diobati secara tradisional. Hasil pembedahan pada pasien yang
sebelumnya menjalani pembebasan pulley A-1 dan tidak berhasil tidak dianalisa secara
terpisah.

Tenoplasti untuk Fleksor Reduksi


Tenoplasti untuk fleksor reduksi merupakan proses membuang isi dari tendon yang
mengalami pembesaran. Seradge dan Kleinert menggunakan teknik ini untuk mengobati
pasien dengan trigger finger bagian distal yang bernodul hingga ke pulley A-1. Satu dari
pasien mereka sebelumnya menjalani operasi pembebasan pulley A-1 namun tidak berhasil
sehingga menyebabkan terjadinya deformitas berupa fleksi dari sendi interfalang proksimal
setelah pembedahan tersebut. Pasien lainnya memiliki tampilan pulley A-1 yang normal dan
tendon flexor diobservasi melalui operasi pembebasan pulley A-1 dari beberapa jari. Hal ini
membutuhkan eksplorasi lebih lanjut, untuk memperlihatkan pembesaran tendon flexor
digitorum profundus (FDP) yang menyatu setinggi pulley A-2. Tenoplasti untuk fleksor
reduksi memperbaiki kekakuan pada pasien-pasien ini dan juga telah berhasil diterapkan pada
berbagai pasien dengan kekakuan bagian distal.
Pada prinsipnya tenoplasti untuk fleksor reduksi dapat digunakan pada berbagai lokasi
dimana hipertrofi yang berbentuk gelembung dari tendon flexor menjadi hambatan dari
pergerakan bebas dari tendon tersebut dalam sarung tendon. Secara umum, akan tetapi, teknik
ini hanya digunakan ketika terjadi trigger finger yang disebabkan oleh pembengkakan
berbentuk nodul pada tepi proksimal atau distal dari pulley A-2.
Mula-mula nodul pada tendon dibuka. Pada tepi proksimal dari pulley A-2 juga dapat
dilakukan melalui pembebasan pulley A-1. Pada bagian distal pulley cruciform kedua dapat
direseksi setinggi kepala dari falang proksimal. Insisi lateral yang sedikit lebih panjang dari
pembengkakan yang berbentuk gelembung dibuat melalui epitenon dan serat tendon
superfisial. Isi dari tendon kemudian dibuang (Gambar 6) sampai tendon yang tersisa menjadi
halus dan tidak tampak lagi adanya nodul yang mengganjal. Tenotomi ditutup dengan
menggunakan jahitan jelujur 7-0.

Triggering pada Pulley A-3


Triggering pada pulley A-3 digambarkan secara sederhana oleh bowlers sebagai
sebuah hasil dari trauma yang terus menerus pada bagian-bagian jari yang melakukan fleksi
pada tempat ini maupun pada ganglia dalam sendi, atau sebagai hasil dari laserasi sebagian
dari tendon fleksor. Temuan klinis pada pasien dengan triggering pada pulley A-3 memiliki
perbedaan yang cukup mencolok dibandingkan dengan nyeri tekan pada daerah palmar yang
biasanya ditemukan. Nyeri yang dirasakan dan nyeri tekan pada daerah palmar hingga sendi
interfalang proksimal disertai dengan pembengkakan pada bagian fleksor dari tendon yang
berbatasan dengan sendi interfalang proksimal merupakan tanda khas pada keadaan yang
tidak biasa ditemukan ini. Karakteristik dari pasien ini adalah memiliki kekakuan yang terjadi
ketika sendi interfalang proksimal berada pada posisi fleksi sebesar atau lebih dari 90o.
Perbedaannya dengan triggering yang biasa terjadi adalah terdapat keterlibatan dari tendon
flexor digitorum superficialis (FDS). Kondisi patologi dari sendi flexor digitorum
superficialis (FDS) merupakan penyebab dari triggering pada bagian distal; oleh sebab itu,
maka gejalanya akan ditemukan pada lokasi sendi interfalang distal. Ketika deformitas
berupa kondisi fleksi pada sendi interfalang proksimal diperbaiki secara pasif pada pasien ini
maka akan menyebabkan fleksi pada sendi interfalang distal. Nyeri akan kembali muncul
akibat regangan dari posisi fleksi sendi interfalang distal.
Eksisi pulley A-3 telah terbukti berhasil jika dilakukan pada pasien ini. Pada kasus
dimana terbentuknya ganglia dalam sendi atau nodul yang telah menyatu, yang juga menimpa
pulley A-2, upaya memperkecil tendon yang membesar melalui tenoplasti untuk fleksor
reduksi terbukti efektif.

Permukaan
ulnar dari
tendon FDS
dipotong pada
Permukaan ulnar tepi distal dari
dari tendon FDS pulley A-3
dieksisi dan
dibuang sepanjang
jarak A2-A3

Insisi Bruner
palmar-digital
Pembebasan
pulley A-1

Permukaan
Ulnar dari
FDS

Gambar 5. Reseksi permukaan ulnar luar. Bagian proksimal dari permukaan ulnar
dibebaskan setinggi terowongan carpal. Pada bagian distal permukaan ulnar dipotong
melintang ke arah distal hingga mencapai pulley A-3. Permukaan tendon kemudian
dipindahkan pada jarak antara pulley A-2 dan A-3.
Trigger Finger dalam Hubungannya dengan Penyakit Lainnya
Sindrom Terowongan Carpal
Sindrom terowongan carpal biasanya dijumpai bersamaan dengan trigger finger. Pasien
dengan penyakit endokrin dan metabolik diketahui memiliki faktor predisposisi untuk
mengalami kedua kondisi tersebut. Akan tetapi, peningkatan ukuran nervus medianus pada
terowongan carpal juga ditemukan pada pasien yang hanya memiliki kelainan trigger finger.
Sehingga hipotesis yang muncul adalah terdapat hubungan antara 2 kondisi tersebut yang
mungkin disebabkan oleh proses inflamasi pada tendon setinggi pulley A-1 dan terowongan
carpal. Selanjutnya, ketika pasien menghindari gerakan pada jari karena rasa nyeri yang
dirasakan akibat adanya kekakuan menyebabkan edema pada tangan yang dapat
meningkatkan kompresi pada nervus medianus di bawah ligamentum carpi transversum.
Secara klinis, 2 kondisi ini sering terjadi bersamaan. Pasien dengan trigger finger harus
dievaluasi lebih lanjut untuk mencari adanya gejala-gejala klinis dari sindrom terowongan
carpal begitu pun sebaliknya.

Penyakit Sistemik
Amiloidosis. Amiloidosis sebagian besar terjadi dari ketidakmampuan selaput dialisis untuk
membuang protein β-2 mikroglobulin dari plasma yang difiltrasi. Protein ini terakumulasi di
tulang dan jaringan lunak, sehingga menyebabkan berbagai komplikasi muskuloskeletal.
Tingkat keparahan dari penyakit tersebut berbanding lurus dengan durasi seorang pasien
menjalani hemodialisis. Manifestasi yang paling sering ditemukan pada tangan adalah lesi
kistik pada tulang-tulang carpal dan arthropati destruktif; sindrom terowongan carpal adalah
kondisi paling umum yang membutuhkan terapi pembedahan.

Tenosinovitis amiloid infiltratif sering menjalar ke arah distas hingga mencapai


telapak tangan dan jari-jari, yang dapat memicu terjadinya trigger fingers, kontraktur fleksi,
atau bahkan ruptur tendon. Banyak pasien yang mengalami gangguan tersebut akan berujung
pada penurunan fungsi dari tangan yang akan mempengaruhi aktifitas dalam kehidupan
sehari-hari dan kemampuan untuk merawat diri sendiri.

Tatalaksana bedah yang digunakan harus terdiri dari operasi pembebasan pulley A-1
dan tenosinovektomi total dengan tetap mempertahankan sarung tendon pulley lainnya.
Sebagian kecil dari pasien usia lanjut yang mengalami trigger finger idiopatik diketahui
memiliki deposit amiloid pada sarung tendon mereka ketika dilakukan eksisi. Akan tetapi, hal
ini menunjukkan tipe dan kuantitas amiloid yang berbeda dibandingkan dengan protein β-2
mikroglobulin yang ditemukan dalam berjumlah besar pada pasien yang menjalani dialisis.
Apakah hal ini merupakan bagian dari mekanisme perkembangan tenosinovitis stenosis
idiopatik atau merupakan sebuah bagian penting dari proses penuaan sampai saat ini masih
belum diketahui.

Nodul di dalam FDP

FDS ditarik

Ditutup dengan jahitan jelujur 7-0

Gambar 6. Tenotomi untuk fleksor reduksi. (A) Isi dari pembengkakan yang berbentuk
gelembung pada bagian fleksi dari tendon dibuang. (A) Pembesaran berbentuk gelembung
dengan bagian proksimal dari tendon terhadap pulley A-2. (B) Eksisi pada isi dari tendon
FDP. (C) Pergerakan bebas dari permukaan tendon setelah eksisi dari bagian yang membesar.
(D) Tenotomi ditutup dengan jahitan jelujur 7-0.

Mukopolisakaridosis. Mukopolisakaridosis merupakan gangguan penyimpanan


lisosomal yang terjadi akibat adanya defisiensi enzim yang berasal dari kelainan genetik.
Terdapat beberapa variasi klinis dari mukopolisakaridosis, masing-masing berasal dari
defisiensi 1 enzim spesifik. Manifestasi muskuloskeletal berasal dari akumulasi
glikosaminoglikan berupa dermatan, heparan, keratan, atau kondroitin sulfat di kartilago,
tendon, dan kapsul sendi. Tatalaksana untuk kondisi seperti ini telah mendapatkan perhatian
yang lebih sejak tahuan 1980-an ketika transplantasi sumsum tulang belakang menunjukkan
peningkatan angka harapan hidup pada pasien.
Van Heest, dkk. melaporkan pengalaman mereka dalam melakukan terapi untuk
gangguan tangan pada 22 anak dengan berbagai kelainan mukopolisakaridosis. Pada rangkain
kasus mereka 17 pasien mendapatkan terapi untuk menyembuhkan sindrom terowongan
carpal disertai dengan 45 jari yang mengalami trigger finger pada 8 anak. Mereka
menggunakan teknik kombinasi n pulley A-1 dan A-3 disertai dengan penggunaan reseksi
permukaan ulnar superfisial dari tendon. Semua pasien yang mereka tangani mengalami
peningkatan pada gerakan fleksi aktif dari jari-jari yang diterapi dan secara umum mengalami
peningkatan fungsi setelah dilakukannya operasi pembebasan tersebut.

Diabetes melitus. Pasien dengan diabetes diketahui memiliki faktor risiko untuk
terjadinya disfungsi pada berbagai sistem organ. Meskipun organ yang mendapatkan fokus
yang lebih besar adalah mata, ginjal, kaki, dan sistem kardiovaskuler, tangan juga seringkali
juga ikut terkena, yang berujung pada terjadinya disabilitas dan deformitas. Dilaporkan
terjadi peningkatan angka kejadian Sindrom terowongan carpal, neuropati, penyakit
Dupuytren, dan trigger finger pada pasien diabetes. Pasien diabetes melitus tidak hanya
memiliki risiko yang lebih tinggi terkena tenosinovitis stenosis, akan tetapi juga kurang
responsif terhadap pengobatan yang diberikan. Lamanya seseorang terkena diabetes memiliki
hubungan yang erat dengan terjadinya komplikasi pada tangan.

Griggs, dkk. memberikan pengobatan pada 54 pasien diabetes dimana di antaranya


terdapat 121 jari yang mengalami trigger finger dengan memberikan injeksi kortikosteroid,
kemudian mereka melakukan operasi pembebasan pulley A-1 pada pasien-pasein tersebut
dimana pengobatan konservatif tidak berhasil. Tingkat keberhasilan terapi injeksi
kortikosteroid secara keseluruhan sebesar 50% jumlahnya lebih kecil dibandingkan hasil
yang dilaporkan pada sebagian besar penelitian yang dilakukan pada pasien yang tidak
menderita diabetes. Lebih lanjut, pasien diabetes yang menggunakan terapi insulin dan
mengalami perbaikan gejala hanya sebesar 44% dari kasus yang mendapatkan terapi injeksi
tersebut. Pasien yang diterapi dengan pembedahan juga mendapatkan hasil yang tidak terlalu
memuaskan, dimana masih terjadi kontraktur fleksi pada sendi interfalang proksimal dan
nyeri tekan pada daerah pulley A-1 yang menetap. Faktor yang menyebabkan hasil
pengobatan yang kurang memuaskan pada pasien diabetes dengan jari yang mengalami
trigger finger diduga disebabkan oleh angka kejadian yang tinggi pada terjadinya inflamasi
dan stenosis pada sarung tendon dibandingkan dengan terjadinya proses pembentukan nodul.
Beberapa penelitian melaporkan kadar gula darah yang tidak terkontrol dengan baik
pada pasien beberapa hari setelah injeksi steroid untuk pengobatan trigger finger tidak
tercatat dengan baik, mendapatkan perhatian yang lebih, atau tatalaksana untuk kondisi
seperti itu. Pasien sebaiknya diberikan peringatan terhadap kemungkinan terjadinya
peningkatan kadar gula darah setelah pemberian terapi steroid, namun diabetes bukan
merupakan suatu kontraindikasi untuk memberikan injeksi pada sarung tendon.

Komplikasi diabetes pada tangan yang paling sering terjadi adalah proses fibrosis
yang berkaitan dengan mekanisme patogenik yang sama dengan komplikasi lainnya yang
terjadi akibat diabetes. Hiperglikemi meningkatkan pembentukan kolagen dan menghambat
degradasinya, sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi kolagen. Hal ini dapat
menjelaskan kecenderungan pasien diabetes mengalami trigger finger.

Arhritis Reumatoid. Berbeda dengan trigger finger idiopatik, terjadinya trigger finger
pada pasien Arthritis reumatoid disebabkan oleh terjadinya tenosinovitis. Arthritis reumatoid
merupakan gangguan sistemik yang mempengaruhi jaringan sinovial. Inflamasi pada
tenosinovium menyebabkan ketidakcocokan antara ukuran isi dari sarung tendon dan rongga
yang dibentuk oleh jaringan fibro-osseus di sekitarnya yang menyebabkan timbulnya gejala
yang hampir mirip dengan terjadi pada pasien dengan trigger finger idiopatik. Akan tetapi,
gejala-gejala yang terjadi pada pasien arthritis reumatoid memerlukan pendekatan diagnostik
dan tatalaksana yang seluruhnya berbeda dibandingkan pada pasien dengan tendovaginitis
idiopatik.

Tenosinovitis permukaan fleksor pada pasien reumatoid dapat menyebabkan


terjadinya nyeri pada jari, pembengkakan, trigger finger, gerakan yang terhambat, atau ruptur
dari permukaan fleksor pada tendon. Diagnosis ditegakkan jika terdapat adanya trigger finger
atau kekakuan pada jari disertai pembengkakan yang terapi pada permukaan volar dari jari.
Adanya pingkatan gerakan aktif pada jari yang lebih besar dibandingkan gerakan pasif sangat
membantu untuk membedakan adanya keadaan patologi sendi pada pasien dengan
tenosinovitis pada permukaan fleksor tendon. Akan tetapi, kekakuan sendi yang menetap
dapat berkembang menjadi kasus yang kronik, sehingga untuk menegakkan diagnosis adanya
hambatan pergerakan permukaan fleksor tendon sebagai akibat dari terjadinya tenosinovitis
yang luas semakin sulit dilakukan. Tatalaksana bedah untuk tenosinovitis permukaan fleksor
akibat kondisi reumatoid adalah tenosinovektomi dengan mempertahankan cincin sarung
tendon pulley, dimana pada beberapa kasusu juga memerlukan reseksi permukaan ulnar
superfisial dari tendon atau eksisi nodul reumatoid dari tendon. Walaupun kondisi seperti ini
dapat memberikan respon terhadap pemberian injeksi kortikosteroid untuk sementara waktu,
intervensi bedah sedini mungkin dalam bentuk tenosinovektomi permukaan fleksor tendon
dengan dekompresi terowongan carpal direkomendasikan oleh banyak praktisi untuk
mencegah terjadinya ruptur pada permukaan fleksor tendon dan kerusakan yang menetap
pada nervus medianus.

Tindakan pembebasan pulley A-1 pada tenosinovitis permukaan fleksor akibat


reumatoid tidak disarankan untuk dilakukan. Meskipun pulley telah dibebaskan, gerakan
kemungkinan tetap akan terbatas karena adanya nodul reumatoid atau tenosinovium
permukaan fleksor yang luas pada satu atau lebih bagian distal dari pulley yang telah
dibebaskan. Pembebasan pulley A-1 akan meningkatkan kecenderungan permukaan ulnar
dari jari mengalami reumatoid (Gambar 7), yang berujung pada peningkatan putaran
permukaan ulnar sepanjang sendi metacarpophalangeal.

Gambar 7. Kecenderungan permukaan fleksor dari tendon ke arah ulnar setelah pulley A-1
dari jari tengah dan jari manis dibebaskan.
Teknik Operasi

Insisi Bruner standar digunakan untuk mencapai permukaan fleksor sarung tendon
pada jari. Untuk mencapai sisi proksimal dari sarung tendon pada telapak tangan dilakukan
insisi melintang pada lipatan telapak tangan pada bagian distal. Pendekatan melalui
terowongan carpal digunakan untuk mencapai permukaan fleksor tendon jika diperlukan.
Sarung tendon dibuka pada sisi proksimal setinggi pulley A-1 dan antara pulley A-2 dan A-4.
Pulley A-1, A-2, dan A-4 tetap dipertahankan.

Gangguan tenosinovium di sekitar tendon dibuang. Nodul di dalam tendon dieksisi


dengan hati-hati. Nodul yang tidak dieksisi secara menyeluruh dibutuhkan untuk mencegah
terjadinya ruptur permukaan fleksor dari tendon di kemudian hari. Gerakan tendon secara
pasif kemudian diperiksa. Jika gerakan fleksi secara pasif dari jari lebih besar dibandingkan
dengan hasil yang akan diperoleh ketika traksi diterapkan pada sisi proksimal dari tendon
maka proses debulking nantinya mungkin diperlukan. Ferlic dan Clayton merekomendasikan
dilakukannya eksisi dari permukaan ulnar tendon pada pasien seperti ini.

Trigger Finger pada Anak-Anak

Sembilan puluh persen trigger finger yang terjadi pada anak-anak adalah
kekakuan pada ibu jari. Hal ini merupakan suatu kondisi langka yang terjadi pada sedikitnya
0,05% anak-anak. Kekakuan ibu jari pada anak-anak tidak seperti trigger finger pada
umumnya tetapi berupa posisi fleksi yang menetap. Adanya nodul Notta pada tendon flexor
pollicis longus pada daerah di sekitar pulley A-1 pada ibu jari merupakan anda klinis penting
yang membedakan kekakuan ibu jari dari berbagai kelainan bentuk ibu jari lainnya. Masih
terjadi perdebatan mengenai apakah kekakuan ibu jari pada anak merupakan suatu kelainan
yang bersifat kongenital atau didapat, dan tingkat resolusi spontan dari gejala yang timbul.
Sebagian besar pasien yang mengalami kekakuan pada ibu jari berusia lebih dari 6 bulan.

Tingkat resolusi spontan dari kekakuan ibu jari anak-anak yang dilaporkan bervariasi
antara 0% dan 49%. Terdapat berbagai laporan yang saling bertentangan dimana beberapa
peneliti melaporkan tingkat resolusi spontan yang cukup bermakna, dengan peneliti lain yang
melaporkan bahwa sebagian besar kekakuan ibu jari yang diamati tidak tampak dengan jelas.
Tingkat keberhasilan tatalaksana konservatif meningkat dengan memasang bebat pada sendi
metacarpophalangeal (MCP) pada beberapa penelitian.
Kekakuan ibu jari pada anak-anak memberikan respon yang berbeda-beda pada
tindakan pembebasan pulley A-1. Ibu jari dengan gerakan yang normal dapat segera
memberikan respon yang diharapkan setelah dilakukannya tindakan tersebut. McAdams, dkk.
meneliti hasil jangka panjang dari tindakan pembebasan pulley A-1 pada anak-anak dengan
rata-rata durasi selama 15 tahun setelah tindakan pembedahan dilakukan. Tidak terjadi
rekurensi pada terjadinya kekakuan. Lima dari 21 pasien mengalami gerakan sendi
interfalang yang menurun dengan rata-rata sebesar 15o dan 4 dari 21 pasien menunjukkan
hiperekstensi sendi metacarpophalangeal (MCP); akan tetapi, tidak ada pasien yang
mengeluhkan adanya keterbatasan fungsi tersebut. Keluhan yang paling umum adalah adanya
bekas luka, yang disebabkan oleh penggunaan insisi secara longitudinal dibandingkan insisi
secara transversal pada lipatan kulit.

Tindakan bedah yang tidak segera dilakukan tidak memberikan hasil yang merugikan.
Beberapa penelitian mencatat hasil yang memuaskan bahkan pada pasien yang menunda
untuk dilakukan tindakan pembebasan selama lebih dari 4 tahun setelah gejala muncul.
Walaupun literatur terkini masih belum memberikan kesimpulan, percobaan untuk
memberikan terapi pemasangan bebat dapat dilakukan sebelum tindakan pembebasan pulley
A-1 pada anak dengan kekakuan ibu jari dilakukan.

Trigger finger pada anak-anak terjadi sekitar 1/10 dari angka kejadian kekakuan pada
ibu jari. Beberapa pasien datang dengan adanya deformitas berupa gerakan fleksi yang
menetap. Akan tetapi, sama halnya dengan trigger finger yang terjadi pada orang dewasa,
kekakuan sering menjadi keluhan utama. Cardon, dkk. melaporkan angka kejadian kelainan
pada permukaan fleksor tendon yang tinggi pada anak-anak dengan keluhan ini. Pada
rangkaian kasus yang mereka tangani terdapat 33 jari yang mengalami trigger finger yang
berasal dari 18 pasien, 8 pasien masih mengalami kekakuan yang berlanjut setelah tindakan
pembebasan pulley A-1. Kelainan yang tercatat berupa adanya persilangan yang lebih
proksimal dari FDS dari letak yang normal, permukaan FDS yang masuk ke dalam tendon
FDP, adanya nodul dalam tendon, dan hambatan pada pulley A-3. Pasien ini kemudian
diterapi dengan menggunakan reseksi permukaan ulnar superfisial dari tendon, dimana 2
pasien juga menjalani tindakan pembebasan pulley A-3. Tidak terdapat pasien yang
mengalami rekurensi setelah tindakan pembedahan.
Kesimpulan

Kekakuan jari yang bergejala merupakan suatu masalah dalam segi mekanik yang disebabkan
oleh ketidaksesuaian antara ukuran permukaan fleksor tendon terhadap sarung tendon yang
membungkusnya. Terapi yang sesuai didasarkan pada pemahaman mengenai lokasi dan
penyebab terjadinya ketidaksesuaian tersebut. Pertimbangan untuk membebaskan sarung
tendon atau menurunkan volume permukaan fleksor dari tendon dapat menghilangkan gejala
yang dirasakan. Perubahan aktifitas, pemberian obat-obatan anti-inflamasi, pemasangan
bebat, injeksi kortikosteroid, dan pembebasan pulley A-1 secara langsung atau melalui kulit
semuanya memiliki peran masing-masing dalam tatalaksana penyakit ini. Pada beberapa
kasus tindakan pembebasan pulley A-3, reseksi permukaan ulnar superfisial dari tendon,
tenoplasti fleksor reduksi, dan tenosinovektomi permukaan fleksor merupakan teknik yang
dapat memperbaiki beberapa bentuk trigger finger yang tidak lazim dengan baik. Pemahaman
yang lebih dalam mengenai kondisi yang dapat memperberat serta biomekanik dari berbagai
elemen dari permukaan fleksor dari jari dapat memberikan penanganan yang lebih efektif
pada pasien yang mengalami kondisi seperti ini disertai dengan pencegahan terhadap
komplikasi yang mungkin terjadi.

Anda mungkin juga menyukai