Tenosinovitis Stenosan
Tenosinovitis Stenosan
Tenosinovitis stenosan, atau trigger finger, adalah suatu tampakan nyata yang umum
dijumpai dalam ranah bedah tangan. Gangguan ini seecara umum disebabkan oleh
ketidakserasian ukuran antara tendon fleKSor dan pulley A-1 ( first annular 1 pulley).
Manajemen konservatif meliputi splinting, injeksi kortikosteroid, dan modalitas ajuvan
lainnya. Terapi surgikal mencakup pembebasan pulley A-1 dengan teknik terbuka/
perkutaneus. Komplikasinya jarang namun dapat mengalami kontraktur seperti tali busur
(bowstringing), cedera saraf digital, dan trigger berkelanjutan. Beberapa pasien memerlukan
prosedur yang lebih ekstensif untuk mengurangi ukuran tendon fleksor. Kondisi komorbid
juga memengaruhi bagaimana kita melakukan tatalaksana terhadap pasien trigger finger.
Pasien dengan rheumatoid artritis lebih memerlukan tenosinovektomi dibandingkan prosedur
pembebasan pulley A-1. Pada anak-anak dengan trigger finger pada ibu jari, pembebasan
pulley A-1 dapat diandalkan, namun demikian untuk kasus trigger jari lainnya mungkin
memerlukan pembedahan yang lebih ekstensif. Pasien diabetik dengan trigger finger
umumnya kurang responsif dengan penilaian konservatif. Pemahaman akan patomekanisme,
faktor-faktor risiko, dan beragam tatalaksana untuk trigger finger sangat penting guna
memberikan perawatan yang tepat sasaran.
Tenosinovitis stenosans, atau trigger finger, didiagnosis bila dijumpai pasien dengan
keluhan locking (gerakan jari tertahan) atau clicking (bunyi/sensasi klik saat digerakkan) pada
salah satu jarinya. Hal ini disebakan ketidakmuatan antara volume sarung tendon fleksor
(flexor tendon sheath) dan konten di dalamnya. Ketika tendon fleksor berusaha meluncur
melalui sheath yang stenosis, dia akan tertahan, mengakibatkan ketidakmampuan untuk fleksi
dan ekstensi jari dengan halus. Pada kasus yang lebih berat jari pasien dapat terkunci pada
posisi fleksi, dan pada akhirnya membutuhkan manipulasi jari secara pasif untuk kembali
ekstensi. Pasien awalnya akan mengeluhkan painless clicking ketika jari digerakkan. Keluhan
ini seringkali berkembang menjadi timbulnya rasa nyeri, yang lokasinya bervariasi pada sendi
palmar atau metakarpofalangeal (MCP) atau interfalang proksimal (PIP). Hambatan terhadap
rentang gerakan akibat nyeri atau locking dapat menyebabkan kontraktur sekunder pada sendi
PIP. Wanita paruh baya adalah kelompok umur yang rentan dan sering mengalami kasus ini.
Dilaporkan bahwa jari yang paling banyak terkena adalah jari manis dan ibu jari- dimana jari
telunjuk dan kelingking dengan keluhan yang paling minimal. Merupakan kasus yang tidak
umum bila ditemui satu pasien yang mengalami trigger finger multipel. Trigger finger
pertama kali dideskripsikan oleh Notta [1] pada 1850. Diagnosis dan tatalaksana trigger
finger primer nonkomplikata umumnya sama di semua fasilitas layanan primer, bedah
ortopedi, dan bedah tangan. Populasi pasien terbaru, meliputi anak-anak, pasien diabetes,
pasien dengan rheumatoid artritis, distal triggering, kontraktur PIP, atau kondisi yang
menyebabkan deposit sistemik protein memerlukann pertimbangan tersendiri. Komplikasi
terapi seperti bowstringing pada tendon fleksor jarang terjadi, tapi kadang-kadang dapat
muncul. Sejumlah teknik bedah, selain teknik pembebasan pulley A-1, telah menjelaskan
terapi kasus-kasus kompleks di atas.
Mayoritas trigger finger adalah trigger finger primer idiopatik dimana lokasi
obstruksinya pada pulley A-1. (gambar 1). Kekuatan menggenggam menyebabkan beban
angular yang tinggi pada tepi distal pulley A-1. Hueston dan wilson [2] mengusulkan bahwa
pergeseran (friction) antara tendon fleksor dan selubung penutup yang kronik repetitif
menyebabkan timbulnya nodul intratendinosus reaktif. Mereka mengumpamakan hal tersebut
dengan kekusutan yang terjadi pada ujung benang setelah berkali-kali dimasukkan ke dalam
lubang jarum.
Tendovaginitis telah diusulkan sebagai terminologi yang lebih akurat dalam merujuk
kondisi ini dibandingkan tenosinovitis. Hal ini karena perubahan inflamatorik patologis lebih
ditemukan pada sarung retinakular dan jaringan peritendinosus daripada di tenosinovium.
Kedua istilah ini berlanjut digunakan secara bergantian pada literatur.
Terapi Konservatif
Splinting adalah pilihan terapi konservatif selanjutnya. Splint yang dibuat kebanyakan
posisinya melingkari sendi MCP jari yang terlibat pada posisi fleksi 10𝑜 − 15𝑜 dengan sendi
PIP dan sendi DIP dibiarkan bebas. Splint ini telah diaplikasikan dengan sukses. Splint
digunakan kontinu selama sekitar 6 minggu. Pada pasien dengan trigger yang jelas, keluhan
telah dirasakan lebih dari 6 bulan, dan keterlibatan jari multipel, splinting saja tidak dapat
mengeliminasi gejala trigger finger. Splinting menjadi suatu pilihan yang beralasan pada
pasien dengan trigger finger ringan yang menolak untuk injeksi steroid.
Injeksi kortikosteroid
Beragam teknik injeksi telah digunakan dengan efektif. Baik pendekatan palmar dan
lateral, kedua-duanya bisa digunakan untuk menginfiltrasi sarung tendon fleksor dengan
anetesi lokal dan kortikosteroid. Pasien sebaiknya diperingatkan akan kemungkinan nekrosis
lemak dan depigmentasi kulit sebagai komplikasi dari injeksi subkutan. Injeksi intrasheath
secara umum tidak menimbulkan komplikasi; namun bagaimanapun, ruptura tendon pernah
dilaporkan dan sepertinya akibat kekuranghati-hatian dalam melakukan injeksi intratendinous
sehingga mengakibatkan nekrosis kolagen.
Pertimbangan surgikal
Operasi open release pada pulley A-1 telah digunakan untuk mengobati trigger finger
pada lebih dari 100 tahun. Beberapa ahli bedah lebih memilih melakukan pembebasan pulley
A-1 dibawah anestesi lokal sehingga hilangnya jari yang trigger dapat dilihat intraoperatif
sebelum luka ditutup. Yang lainnya meyakini bahwa lokal anestesi mengubah anatomi
surgikal dan oleh karena lebih memilih prosedur Bier block. Insisi transversal, longitudinal,
atau oblik pada aspek volar tangan menutupi sendi MCP dan pulley A-1 sudah dijelaskan.
Diseksi Blunt dilanjutkan ke bawah ke level tendon fleksor dan pulley A-1 tervisualisasi
(gambar 2A,2B), dengan hati-hati untuk memproteksi berkas neurovaskular di sisi radial dan
ulnar sarung tendon. Berkas neurovaskular sisi radial ke ibu jarilah yang sangat berisiko
cedera karena dia berjalan secara oblik sisi ulnar menyilang pulley A-1 ke radial. Berkas ini
juga terletak subkutan, rata-rata 1.19 mm dalamnya ke dermis pada garis tangan fleksor MCP
ibu jari, dan mungkin saja terpotong dengan insisi kulit dalam. Pulley A-1 sebaiknya
dibebaskan total demi penyembuhan yang efektif.
Gambar 2.
Hasil dari pembebasan pulley A-1 umumnya memuaskan. Turowski dkk [7] dalam
suatu kelompok dengan 59 pasien yang diterapi oleh berbagai ahli bedah, melaporkan 97%
mengalami resolusi komplet terhadap trigger finger-nya dengan tanpa komplikasi seperti
infeksi, bowstringing, atau cedera saraf digital. Sebanyak 2 pasien yang tidak mengalami
resolusi komplet juga telah mengalami perbaikan yang berarti.
Bowstringing
Bowstringing setelah cedera pulley A-2 bermanifestasi sebagai suatu protrusi tendon
fleksor hingga ke telapak tangan ketika fleksi tendon. Hal ini kerapkali menimbulkan sensasi
nyer saat penarikan di telapak tangan yang dikaitkan dengan kegagalan untuk ekstensi atau
fleksi jari maksimal secara aktif.
Untuk memahami secara penuh efek samping bowstringing, hal yang harus diingat
bahwa pengaruh tendon terhadap sendi tergantung baik dari tegangan tendon dan moment
arm. Karena bowstringing meningkatkan jarak perpendikular tendon dari sumbu rotasi sendi
MCP, moment arm-nya naik. [11] Dengan peningkatan moment arm, bowstringing tendo
fleksor memeroleh keuntungan mekanis tanpa koreksi manual tendon fleksor.
Lebih lanjut ekskursi dari tendon fleksor tidak meningkat dengan peningkatan radius
dari pusat sendi MCP ke tendon. Suatu hukum geometri mengatakan bahwa ketika radius
suatu lingkaran bergerak sebesar 57,29o (1 radian), titik apapun pada lingkaran itu yang
bergerak pada suatu jarak setara dengan radius. Jarak tersebut dan ekskursi tendon yang
diperlukan penting untuk menggerakkan sendi MCP sepanjang 57,29o kenaikan dengan
peningkatan radius (gambar 3). Ketika fleksor tendon mengalami bowstringing dan radius
(jari-jari) moment arm yang menyilang sendi MCP meningkat, jarak tertentu dari ekskursi
tendon akan menggerakkan sendi melalui pergerakan arkus yang lebih kecil. Hal ini
meningkatkan usaha fleksi jari. Karena sejumlah ekskursi yang ada umumnya sama dengan
ekskursi yang diperlukan untuk rentang pergerakan penuh (full range of motion), ekskuris
penuh terhadap tendon fleksor yang bowstringing menggerakkan jari dengan pergerakan
arkus yang tidak penuh dan lebih kecil.
Gambar 3. (A) mekanika tendon normal dengan sistem pulley yang intak. (B) Bowstringing. Tendon
fleksor yang bowstring menyilang ke sendi MCP setelah pulley A-1 dan A-2 diangkat. Hal ini
meningkatkan radius dari tengah rotasi sendi MCP ke tendon.sejumlah ekskursi tendon diperlukan
untuk memindahkan sendi sepanjang 1 radian (57,29o )yang setara dengan jarak radiusnya, lebih
lanjut ekskursi tendo tambahan diperlukan untuk memindahkan sendi dengan tendon bowstring ker
sudur pergerakan tertentu.
Bunnel [12] menjelaskan rekonstruksi pulley dengan cara encircling suatu loop
tunggal tendon bebas sekitar falangs proksimal ke dalam hingga ekstensor, yang mana
kemudian ditumpang tindih dan di jahit. Baik palmaris longus atau selipan fleksor digitorum
superfisialis digunakan sebagai cangkok tendon. Modifikasi teknik ini meliputi pemakaian
ekstensor retinaculum atau penjangkaran cangkok tendon sepanjang volar plate. Teknik
Weilby menjahit material graft/cangkok ke sisa fibrokartilaginous sabuk dari pulley yang
sobek, yang hampir selalu ada. [13]
Cedera saraf digital merupakan komplikasi pembebasan trigger finger yang jarang
namun serius. Perawatan khusus dalam memproteksi saraf digital radial pada ibu jari dan
telunjuk harus dilatih karena fungsi anatomis khususnya. Peringatan dalam penggunaan
elektrokauter diperlukan untuk mencegah cedera thermal pada saraf. Suatu diagnosis akurat
adalah penting untuk mengimplematasikan terapi yang tepat. Saraf digital yangtelah dipotong
atau dikauter sebaiknya dieksplorasi dan dilakukan perbaikan mikrosurgikal. Jika ahli bedah
sudah puas dengan observasi langsung sebelum ditutup bahwa saraf tidak terpotong atau
terkauter pada waktu operasi, maka cederanya hanya sebatas neuropraksia yang secara alami
akan teresolusi seiring observasi. Jika sensasi tidak kembali pada daerah tersebut dalam 3
bulan, bagaimanapun eksplorasi saraf menjadi indikasi.
Prosedur Alternatif
Perhatian utama percutaneous release ini adalah cedera saraf digital. Lorthioir
menggunakan tenotom tanpa melaporkan adanya komplikasi pada 52 pasiennya. Eastwood
dkk [15] memakai jarum hipodermik ukuran 21G pada 35 pasien dan mampu mengurangi
gejala sebanyak 94% tanpa komplikasi. Walaupun Eastwood dkk [15] membebaskan 3
ibujari pada studi mereka, mereka mencatat bahwa persilangan (oblikuitas) dan posisi volar
berkas neurovaskular pada ibu jari memerlukan perhatian khusus. Studi kadaver telah
menunjukkan bahwa saraf digital pada jari telunjuk dan ibu jari terletak dalam 2-3mm dari
area penusukan jarum. [16]
Pemisahan inkomplet pada pulley adalah perhatian lain berkaitan dengan teknik
perkutan. Pope dan Wolfe [16] melakukan percutaneous release pada 13 pasien trigger
finger menggunakan jarum ukuran 19G dan kemudian dilanjutkan dengan membukan luka
segera dan menginspeksi hasilnya. Walaupun pasien semua pasien menunjukkan perbaikan
klinis, pembebasan total hanya ditemukan pada 8 pasien; dengan 10-15% bagian distal pulley
masih intak pada pasien lainnya. Mereka beranggapan bahwa trigerring membaik bahkan jika
tepi distal pulley A-1 tidak dibebaskan.
Tenosinovitis yang sangat nyeri namun tanpa triggering seringkali muncul pada
pasien setelah percutaneous release. Hal ini mungkin terjadi akibat hasil skoring tendon
fleksor yang tinggi. Tingkat laserasi longitudinal pada tendon superfisial pada studi kadaver
telah mendekati 100%. [16] Penggunaan kortikosteroid dengan anestesi lokal dapat
mencegah reaksi inflamasi post-prosedur, dan skoring superfisial tidak muncul sebagai suatu
konsekuensi nyata secara klinis.
Literatur telah menunjukkan baik metode terbuka dan perkutaneus pada releasing
pulley A-1 cukup efektif dan aman sebagai terapi trigger finger. Pada suatu studi acak
prospektif terhadap 100 pasien membandingkan dua teknik tersebut, Gilbert dkk [17] berhasil
mengurangi gejala pada 100% pasien secara perkutaneus, dan 98% pada pasien yang diterapi
dengan prosedur bedah terbuka, dengan tanpa komplikasi. Satu terapi yang gagal adalah
akibat dari pembentukan skar yang berlebihan, menyebabkan triggering rekuren yang
membutuhkan prosedur lain. Para investigator ini memilih teknik perkutan dengan alasan
waktu prosedur yang singkat (7 vs 11 menit), nyeri pasca operasi yang relatif lebih singkat
(3,1 vs 5,7 hari), pemulihan keseluruhan fungsi tangan lebih cepat (7 vs 18 hari setelah
prosedur), dan lebih cepat kembali bekerja (3,9 vs 7,5 hari). [17]
Jarun 18 G atau perangkat lain diinsersikan pada aspek proksimal pulley A-1.
Perawatan sebaiknya memjaga sarung tendon fleksor tetap ditengah untuk menghindari
struktur neurovaskular dan untuk masuk ke kulit tegak lurus dengan kemiringan jarum paralel
dengan tendon. Sebagai alternatif, beberapa investigator menganjurkan menginsersi jarum
sedikit lebih distal pada pertengahan pulley dan kemudian dilanjutkan dengan pembebasan
secara proksimal dan distal (gambar 4)’
Tepi proksimal pulley A-1 terletak dekat dengan garis palmar horizontal bagian distal
pada jari kelingking, jari manis, dan jari tengah. Untuk jari telunjuk terletak di garis palmar
horizontal bagian proksimal. Pembebasan jari manis dan tengah diyakini relatif lebih aman.
Jalur oblik dari tendon fleksor dan struktur neurovaskuler pada telunjuk dan kelingking,
bagaimanapun menimbulkan tantangan yang besar. Wilhelmi dkk [18] menjelaskan
landmark/ tanda untuk sarung tendon fleksor jari kelingking pada area pulley A-1 terletak di
sebelah bawah suatu garis yang menghubungkan tepi ulnar tuber scaphoid bagian proksimal
ke tengah garis digital proksimal bagian distal. Untuk jari telunjuk, landmark-nya adalah tepi
radial pisiform bagian proksimal dan garis tengah garis digital proksimal bagian distal.
Dengan menggunakan semua landmark ini pada studi kadaver, pulley A-1 dapat ditranseksi
dengan lebih tepat. Jarak dari skoring tendon fleksor ke berkas neurovaskular adalah 5,4 mm
sebelah radial dan 6,7 mm sebelah ulnar pada jari kelingking. Pada jari telunjuk sekitar
8,5mm sebelah radial dan 6,2 mm sebelah ulnar. Tidak ada saraf digital atau arteri yang
tertranseksi.
Pada ibu jari, interseksi garis digital ibujari proksimal dan garis tegak lurus pada
sumbu tengah aspek palmar ibu jari adalah lokasi insersi yan g dipilih.
Jarum tersebut dapat diinsersikan ke dalam tendon. Hal ini dikonfirmasi dengan
pergerakan jarum ketika pasein menfleksi dan mengekstensikan falang distal. Jarum
kemudian ditarik perlahan sampai pergerakan jarum tersebut hilang. Ujung jarum sekarang
berada dalam pulley A-1. Pulley A-1 dipotong dengan menggerakan jarum ke depan dan
belakang sambil melakukannya sesuai garis sumbu longitudinal sarung tendon fleksor.
Sensasi “grating” mengindikasikan pulley A-1 telah terpotong. Ketika ahli bedah meyakini
pulley telah cukup di-release, lalu jarum ditarik keluar dan pasien diminta untuk memfleksi
dan ekstensikan jari untuk melihat apakah telah terbebas dari triggering.
Pasien dengan trigger finger berkepanjangan walau jarang dapat berkembang menjadi
kontraktur fleksi pada sendi PIP yang tetap bertahan setelah pemisahan pulley A-1. Pada
beberapa pasien hal ini disebabkan oleh patologi intraartikuler. Yang lainnya memiliki
kontraktur fleksi preoperatif yang dapat teresolusi baik dengan pembebasan surgikal
sederhana pada pulley A-1 atau dengan terapi postoperatif tambahan.
Pada kasus lainnya peran dari tendon flexor digitorum superficialis (FDS) mengalami
penurunan yang bermakna. Proses degeneratif dapat menyebabkan menghilangnya
permukaan normal tendon yang halus, merusak serat tendon, menyebabkan terbentuknya
nodul yang besar, dan menyebabkan tendon kehilangan kemampuannya untuk bergerak bebas
di bawah pulley A-2. Penatalaksaan pada pasien seperti ini merupakan suatu tantangan karena
fungsi sendi tidak kembali secara penuh setelah pembelahan pulley A-1 kemudian dilanjutkan
dengan pembebasan pulley A-2 yang bukan merupakan suatu pilihan yang dapat dilakukan
seperti halnya pada bowstringing. Pasien seperti ini pada umumnya memiliki penyakit yang
sudah berlangsung sangat lama dan sepertinya telah mengalami proses metaplasia
fibrokartilaginosa pada pulley dan tendon flexor digitorum superficialis (FDS) mereka
sehingga kemungkinan dapat berlanjut menjadi triggering distal, yang didefinisikan sebagai
kekakuan terus menerus dari tendon yang disebabkan adanya hambatan pergerakan ke arah
distal dari tendon tersebut.
Permukaan
ulnar dari
tendon FDS
dipotong pada
Permukaan ulnar tepi distal dari
dari tendon FDS pulley A-3
dieksisi dan
dibuang sepanjang
jarak A2-A3
Insisi Bruner
palmar-digital
Pembebasan
pulley A-1
Permukaan
Ulnar dari
FDS
Gambar 5. Reseksi permukaan ulnar luar. Bagian proksimal dari permukaan ulnar
dibebaskan setinggi terowongan carpal. Pada bagian distal permukaan ulnar dipotong
melintang ke arah distal hingga mencapai pulley A-3. Permukaan tendon kemudian
dipindahkan pada jarak antara pulley A-2 dan A-3.
Trigger Finger dalam Hubungannya dengan Penyakit Lainnya
Sindrom Terowongan Carpal
Sindrom terowongan carpal biasanya dijumpai bersamaan dengan trigger finger. Pasien
dengan penyakit endokrin dan metabolik diketahui memiliki faktor predisposisi untuk
mengalami kedua kondisi tersebut. Akan tetapi, peningkatan ukuran nervus medianus pada
terowongan carpal juga ditemukan pada pasien yang hanya memiliki kelainan trigger finger.
Sehingga hipotesis yang muncul adalah terdapat hubungan antara 2 kondisi tersebut yang
mungkin disebabkan oleh proses inflamasi pada tendon setinggi pulley A-1 dan terowongan
carpal. Selanjutnya, ketika pasien menghindari gerakan pada jari karena rasa nyeri yang
dirasakan akibat adanya kekakuan menyebabkan edema pada tangan yang dapat
meningkatkan kompresi pada nervus medianus di bawah ligamentum carpi transversum.
Secara klinis, 2 kondisi ini sering terjadi bersamaan. Pasien dengan trigger finger harus
dievaluasi lebih lanjut untuk mencari adanya gejala-gejala klinis dari sindrom terowongan
carpal begitu pun sebaliknya.
Penyakit Sistemik
Amiloidosis. Amiloidosis sebagian besar terjadi dari ketidakmampuan selaput dialisis untuk
membuang protein β-2 mikroglobulin dari plasma yang difiltrasi. Protein ini terakumulasi di
tulang dan jaringan lunak, sehingga menyebabkan berbagai komplikasi muskuloskeletal.
Tingkat keparahan dari penyakit tersebut berbanding lurus dengan durasi seorang pasien
menjalani hemodialisis. Manifestasi yang paling sering ditemukan pada tangan adalah lesi
kistik pada tulang-tulang carpal dan arthropati destruktif; sindrom terowongan carpal adalah
kondisi paling umum yang membutuhkan terapi pembedahan.
Tatalaksana bedah yang digunakan harus terdiri dari operasi pembebasan pulley A-1
dan tenosinovektomi total dengan tetap mempertahankan sarung tendon pulley lainnya.
Sebagian kecil dari pasien usia lanjut yang mengalami trigger finger idiopatik diketahui
memiliki deposit amiloid pada sarung tendon mereka ketika dilakukan eksisi. Akan tetapi, hal
ini menunjukkan tipe dan kuantitas amiloid yang berbeda dibandingkan dengan protein β-2
mikroglobulin yang ditemukan dalam berjumlah besar pada pasien yang menjalani dialisis.
Apakah hal ini merupakan bagian dari mekanisme perkembangan tenosinovitis stenosis
idiopatik atau merupakan sebuah bagian penting dari proses penuaan sampai saat ini masih
belum diketahui.
FDS ditarik
Gambar 6. Tenotomi untuk fleksor reduksi. (A) Isi dari pembengkakan yang berbentuk
gelembung pada bagian fleksi dari tendon dibuang. (A) Pembesaran berbentuk gelembung
dengan bagian proksimal dari tendon terhadap pulley A-2. (B) Eksisi pada isi dari tendon
FDP. (C) Pergerakan bebas dari permukaan tendon setelah eksisi dari bagian yang membesar.
(D) Tenotomi ditutup dengan jahitan jelujur 7-0.
Diabetes melitus. Pasien dengan diabetes diketahui memiliki faktor risiko untuk
terjadinya disfungsi pada berbagai sistem organ. Meskipun organ yang mendapatkan fokus
yang lebih besar adalah mata, ginjal, kaki, dan sistem kardiovaskuler, tangan juga seringkali
juga ikut terkena, yang berujung pada terjadinya disabilitas dan deformitas. Dilaporkan
terjadi peningkatan angka kejadian Sindrom terowongan carpal, neuropati, penyakit
Dupuytren, dan trigger finger pada pasien diabetes. Pasien diabetes melitus tidak hanya
memiliki risiko yang lebih tinggi terkena tenosinovitis stenosis, akan tetapi juga kurang
responsif terhadap pengobatan yang diberikan. Lamanya seseorang terkena diabetes memiliki
hubungan yang erat dengan terjadinya komplikasi pada tangan.
Komplikasi diabetes pada tangan yang paling sering terjadi adalah proses fibrosis
yang berkaitan dengan mekanisme patogenik yang sama dengan komplikasi lainnya yang
terjadi akibat diabetes. Hiperglikemi meningkatkan pembentukan kolagen dan menghambat
degradasinya, sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi kolagen. Hal ini dapat
menjelaskan kecenderungan pasien diabetes mengalami trigger finger.
Arhritis Reumatoid. Berbeda dengan trigger finger idiopatik, terjadinya trigger finger
pada pasien Arthritis reumatoid disebabkan oleh terjadinya tenosinovitis. Arthritis reumatoid
merupakan gangguan sistemik yang mempengaruhi jaringan sinovial. Inflamasi pada
tenosinovium menyebabkan ketidakcocokan antara ukuran isi dari sarung tendon dan rongga
yang dibentuk oleh jaringan fibro-osseus di sekitarnya yang menyebabkan timbulnya gejala
yang hampir mirip dengan terjadi pada pasien dengan trigger finger idiopatik. Akan tetapi,
gejala-gejala yang terjadi pada pasien arthritis reumatoid memerlukan pendekatan diagnostik
dan tatalaksana yang seluruhnya berbeda dibandingkan pada pasien dengan tendovaginitis
idiopatik.
Gambar 7. Kecenderungan permukaan fleksor dari tendon ke arah ulnar setelah pulley A-1
dari jari tengah dan jari manis dibebaskan.
Teknik Operasi
Insisi Bruner standar digunakan untuk mencapai permukaan fleksor sarung tendon
pada jari. Untuk mencapai sisi proksimal dari sarung tendon pada telapak tangan dilakukan
insisi melintang pada lipatan telapak tangan pada bagian distal. Pendekatan melalui
terowongan carpal digunakan untuk mencapai permukaan fleksor tendon jika diperlukan.
Sarung tendon dibuka pada sisi proksimal setinggi pulley A-1 dan antara pulley A-2 dan A-4.
Pulley A-1, A-2, dan A-4 tetap dipertahankan.
Sembilan puluh persen trigger finger yang terjadi pada anak-anak adalah
kekakuan pada ibu jari. Hal ini merupakan suatu kondisi langka yang terjadi pada sedikitnya
0,05% anak-anak. Kekakuan ibu jari pada anak-anak tidak seperti trigger finger pada
umumnya tetapi berupa posisi fleksi yang menetap. Adanya nodul Notta pada tendon flexor
pollicis longus pada daerah di sekitar pulley A-1 pada ibu jari merupakan anda klinis penting
yang membedakan kekakuan ibu jari dari berbagai kelainan bentuk ibu jari lainnya. Masih
terjadi perdebatan mengenai apakah kekakuan ibu jari pada anak merupakan suatu kelainan
yang bersifat kongenital atau didapat, dan tingkat resolusi spontan dari gejala yang timbul.
Sebagian besar pasien yang mengalami kekakuan pada ibu jari berusia lebih dari 6 bulan.
Tingkat resolusi spontan dari kekakuan ibu jari anak-anak yang dilaporkan bervariasi
antara 0% dan 49%. Terdapat berbagai laporan yang saling bertentangan dimana beberapa
peneliti melaporkan tingkat resolusi spontan yang cukup bermakna, dengan peneliti lain yang
melaporkan bahwa sebagian besar kekakuan ibu jari yang diamati tidak tampak dengan jelas.
Tingkat keberhasilan tatalaksana konservatif meningkat dengan memasang bebat pada sendi
metacarpophalangeal (MCP) pada beberapa penelitian.
Kekakuan ibu jari pada anak-anak memberikan respon yang berbeda-beda pada
tindakan pembebasan pulley A-1. Ibu jari dengan gerakan yang normal dapat segera
memberikan respon yang diharapkan setelah dilakukannya tindakan tersebut. McAdams, dkk.
meneliti hasil jangka panjang dari tindakan pembebasan pulley A-1 pada anak-anak dengan
rata-rata durasi selama 15 tahun setelah tindakan pembedahan dilakukan. Tidak terjadi
rekurensi pada terjadinya kekakuan. Lima dari 21 pasien mengalami gerakan sendi
interfalang yang menurun dengan rata-rata sebesar 15o dan 4 dari 21 pasien menunjukkan
hiperekstensi sendi metacarpophalangeal (MCP); akan tetapi, tidak ada pasien yang
mengeluhkan adanya keterbatasan fungsi tersebut. Keluhan yang paling umum adalah adanya
bekas luka, yang disebabkan oleh penggunaan insisi secara longitudinal dibandingkan insisi
secara transversal pada lipatan kulit.
Tindakan bedah yang tidak segera dilakukan tidak memberikan hasil yang merugikan.
Beberapa penelitian mencatat hasil yang memuaskan bahkan pada pasien yang menunda
untuk dilakukan tindakan pembebasan selama lebih dari 4 tahun setelah gejala muncul.
Walaupun literatur terkini masih belum memberikan kesimpulan, percobaan untuk
memberikan terapi pemasangan bebat dapat dilakukan sebelum tindakan pembebasan pulley
A-1 pada anak dengan kekakuan ibu jari dilakukan.
Trigger finger pada anak-anak terjadi sekitar 1/10 dari angka kejadian kekakuan pada
ibu jari. Beberapa pasien datang dengan adanya deformitas berupa gerakan fleksi yang
menetap. Akan tetapi, sama halnya dengan trigger finger yang terjadi pada orang dewasa,
kekakuan sering menjadi keluhan utama. Cardon, dkk. melaporkan angka kejadian kelainan
pada permukaan fleksor tendon yang tinggi pada anak-anak dengan keluhan ini. Pada
rangkaian kasus yang mereka tangani terdapat 33 jari yang mengalami trigger finger yang
berasal dari 18 pasien, 8 pasien masih mengalami kekakuan yang berlanjut setelah tindakan
pembebasan pulley A-1. Kelainan yang tercatat berupa adanya persilangan yang lebih
proksimal dari FDS dari letak yang normal, permukaan FDS yang masuk ke dalam tendon
FDP, adanya nodul dalam tendon, dan hambatan pada pulley A-3. Pasien ini kemudian
diterapi dengan menggunakan reseksi permukaan ulnar superfisial dari tendon, dimana 2
pasien juga menjalani tindakan pembebasan pulley A-3. Tidak terdapat pasien yang
mengalami rekurensi setelah tindakan pembedahan.
Kesimpulan
Kekakuan jari yang bergejala merupakan suatu masalah dalam segi mekanik yang disebabkan
oleh ketidaksesuaian antara ukuran permukaan fleksor tendon terhadap sarung tendon yang
membungkusnya. Terapi yang sesuai didasarkan pada pemahaman mengenai lokasi dan
penyebab terjadinya ketidaksesuaian tersebut. Pertimbangan untuk membebaskan sarung
tendon atau menurunkan volume permukaan fleksor dari tendon dapat menghilangkan gejala
yang dirasakan. Perubahan aktifitas, pemberian obat-obatan anti-inflamasi, pemasangan
bebat, injeksi kortikosteroid, dan pembebasan pulley A-1 secara langsung atau melalui kulit
semuanya memiliki peran masing-masing dalam tatalaksana penyakit ini. Pada beberapa
kasus tindakan pembebasan pulley A-3, reseksi permukaan ulnar superfisial dari tendon,
tenoplasti fleksor reduksi, dan tenosinovektomi permukaan fleksor merupakan teknik yang
dapat memperbaiki beberapa bentuk trigger finger yang tidak lazim dengan baik. Pemahaman
yang lebih dalam mengenai kondisi yang dapat memperberat serta biomekanik dari berbagai
elemen dari permukaan fleksor dari jari dapat memberikan penanganan yang lebih efektif
pada pasien yang mengalami kondisi seperti ini disertai dengan pencegahan terhadap
komplikasi yang mungkin terjadi.