Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi Nervus Medianus


Nervus medianus adalah salah satu saraf lengan bawah yang merupakan

saraf utama kompartemen anterior. Nervus ini berasal dari dua radiks yaitu 11
radiks lateralis dan radiks medialis. Radiks lateralis adalah lanjutan dari fusciculus
lateralis yang menerima serabut dari C6 dan C7 sedangkan radiks medialis adalah
lanjutan dari fasciculus medialis yang menerima serabut dari C8 dan T1. Radiks
lateralis dan radiks medialis bergabung membentuk nervus medianus di sebelah
lateral arteri axillaris (Salter, 2009).
Nervus medianus mempersarafi otot-otot fleksor di lengan bawah, kecuali
M. Flexor Carpi Ulnaris, bagian ulnar M. Flexor Digitorum dan lima otot tangan.
Nervus medianus memasuki fossa cubitalis medial dari arteri brachialis, melintas
antara caput M. Pronator Tere, turun antara M. Flexor Digitorum Superficialis
dan M. Flexor Digitorum Profundus dan terletak di dekat retinaculum flexorum
sewaktu melalui canalis carpi untuk sampai di tangan (Salter, 2009).
Canalis carpi berukuran hampir sebesar ruas jari jempol dan terletak di
bagian distal lekukan dalam pergelangan tangan dan berlanjut ke lengan bawah di
regio cubiti sekitar 3cm. Sembilan ruas tendon fleksor dan nervus medianus
berjalan di dalam canalis carpi yang dikelilingi dan dibentuk oleh tiga sisi dari
tulang tulang carpal. Di bagian proksimal tulang karpal bersendi dengan bagian
distal tulang radius dan tulang ulna, sedangkan bagian distal bersendi dengan
metacarpal (Pecina, 2010).
Pada canalis carpi, nervus medianus mungkin bercabang menjadi
komponen radial dan ulnar. Komponen radial dari nervus medianus akan menjadi
cabang sensorik pada permukaan palmar jari-jari pertama dan kedua dan cabang
12 motorik M. Abductor Pollicis Brevis, M. Opponens Pollicis, dan bagian atas
dari M. Flexor Pollicis Brevis (Pecina, 2010).

Komponen ulnaris dari N. Medianus memberikan cabang sensorik ke


permukaan jari kedua, ketiga dan sisi radial jari keempat. Selain itu, saraf
medianus dapat mempersarafi permukaan dorsal jari kedua, ketiga, dan keempat
bagian distal sendi interphalangeal proksimal (Pecina, 2010).

Nervus medianus terdiri dari serat sensorik 94% dan hanya 6% serat
motorik pada canalis carpi. Namun, cabang motorik menyajikan banyak variasi
anatomi yang menciptakan variabilitas patologi yang besar dalam kasus Capal
Tunnel Syndrome (Katz, 2011).

Gambar 2.1Saraf Medianus


Diambil dari: Katz, Jeffrey N. et al., 2011.CTS. N Engl J Med. Vol. 346, No. 23.

Gambar 2.2 Tangan yang Dipersarafi oleh Saraf Medianus


Diambil dari: Katz, Jeffrey N. et al., 2011.CTS. N Engl J Med. Vol. 346, No. 23.

2.2

Definisi
Carpal Tunnel Syndrome(CTS) merupakan neuropati tekanan atau cerutan

terhadap nervus medianus di dalam terowongan karpal pada pergelangan tangan,


tepatnya di bawah fleksor retinakulum (Mumenthaler, 2006). Dahulu, sindroma
ini juga disebut dengan nama acroparesthesia, median thenar neuritis atau partial
thenar atrophy. Carpal Tunnel Syndrome pertama kali dikenali sebagai suatu
sindroma klinik oleh Sir James Paget pada kasus stadium lanjut fraktur radius
bagian distal. Carpal Tunnel Syndrome spontan pertama kali dilaporkan oleh
Pierre Marie dan C. Foix pada tahun 1913 (Rosenbaum, 1997).
Istilah CTS diperkenalkan oleh Moersch pada tahun 1938. Terowongan
karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan dimana tulang dan
ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa
tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang carpal membentuk dasar dan sisi-sisi
terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor
retinakulum (ligamentum carpal transversum dan ligamentum calpar palmar) yang
kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia tersebut. Setiap perubahan
yang mempersempit terowongan ini akan menyebabkan tekanan pada struktur
yang paling rentan di dalamnya yaitu nervus medianus (Rosenbaum, 1997).

2.3

Etiologi dan Predisposisi

2.3.1. Etiologi
Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus juga
dilalui oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang mengakibatkan semakin
padatnya terowongan ini dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada nervus
medianus sehingga timbullah CTS. Pada sebagian kasus etiologinya tidak
diketahui, terutama pada penderita lanjut usia. Beberapa penulis menghubungkan
gerakan yang berulang-ulang pada pergelangan tangan dengan bertambahnya
resiko menderita gangguan pada pergelangan tangan termasuk CTS (Rosenbaum,
1997).
Pada kasus yang lain etiologinya adalah (Rosenbaum, 1997):
a. Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure
palsy, misalnya Hereditary Motor and Sensory Neuropathies
(HMSN) tipe III.
b. Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah,
pergelangan tangan dan tangan. Sprain pergelangan tangan.
Trauma langsung terhadap pergelangan tangan.
c. Pekerjaan: gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan
tangan yang berulang-ulang.
d. Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
e. Metabolik: amiloidosis, gout.
f. Endokrin: akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes
melitus, hipotiroidi, kehamilan.
g. Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma.
h. Penyakit

kolagen

vaskular:

artritis

reumatoid,

polimialgia

reumatika, skleroderma, lupus eritematosus sistemik.


i. Degeneratif: osteoartritis.
j. Iatrogenik: punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk
dialisis, hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.

2.3.2. Predisposisi
Di Indonesia, urutan prevalensi CTS dalam masalah kerja belum diketahui,
karena sampai tahun 2001 masih sangat sedikit diagnosis penyakit akibat kerja
yang dilaporkan karena berbagai hal, antara lain sulitnya diagnosis. Penelitian
pada pekerjaan dengan risiko tinggi pada pergelangan tangan dan tangan
melaporkan prevalensi CTS antara 5,6% sampai dengan 15%. Penelitian Harsono
pada pekerja suatu perusahaan ban di Indonesia melaporkan prevalensi CTS pada
pekerja sebesar 12,7%. Silverstein dan peneliti lain melaporkan adanya hubungan
positif antara keluhan dan gejala CTS dengan faktor kecepatan menggunakan alat
dan faktor kekuatan melakukan gerakan pada tangan (Rosenbaum, 1997). Carpal
Tunnel Syndrome lebih sering mengenai wanita daripada pria dengan usia berkisar
25 - 64 tahun, prevalensi tertinggi pada wanita usia > 55 tahun, biasanya antara 40
- 60 tahun. Prevalensi CTS dalam populasi umum telah diperkirakan 5% untuk
wanita dan 0,6% untuk laki-laki. Carpal Tunnel Syndrome adalah jenis neuropati
kompresi yang paling sering ditemui. Sindroma tersebut unilateral pada 42%
kasus ( 29% kanan,13% kiri ) dan 58% bilateral (Gorsche, 2003).
Diabetes Melitus sebagai salah satu faktor resiko terjadinya CTS tercatat
memiliki prevalensi antara 4,5% sampai dengan 12% pada tahun 2000 (Hudaya,
2002). Hubungan CTS dengan DM diperkirakan dikarenakan oleh penekanan
nervus medianus yang disebabkan oleh perubahan jaringan ikat karena DM.
Perubahan-perubahan tersebut termasuk edema tenosinovial dan akselerasi
glikosilasi dengan aktivitas lisil oksidase yang berujung pada pembentukan
kolagen sehingga terbentuk fibrosis dan pengurangan keregangan jaringan ikat.
Hal ini berlanjut pada kompresi dengan pengurangan volume carpal tunnel
(Thomsen, 2009).

2.4.

Patofisiologi
Patogenesis CTS masih belum jelas.Beberapa teori telah diajukan untuk

menjelaskan gejala dan gangguan studi konduksi saraf.Yang paling populer


adalah kompresi mekanik, insufisiensi mikrovaskular, dan teori getaran.Menurut
teori kompresi mekanik, gejala CTS adalah karena kompresi nervus medianus di
terowongan karpal.Kelemahan utama dari teori ini adalah bahwa teori ini
menjelaskan konsekuensi dari kompresi saraf tetapi tidak menjelaskan etiologi
yang mendasari kompresi mekanik.Kompresi diyakini dimediasi oleh beberapa
faktor seperti ketegangan, tenaga berlebihan, hiperfungsi, ekstensi pergelangan
tangan berkepanjangan atau berulang (Bahrudin, 2011).
Teori insufisiensi mikrovaskular mennyatakan bahwa kurangnya pasokan
darah menyebabkan penipisan nutrisi dan oksigen ke saraf yang menyebabkan
saraf secara perlahan kehilangan kemampuan untuk mengirimkan impuls
saraf.Scar atau luka parut dan jaringan fibrotik akhirnya berkembang dalam saraf.
Tergantung pada keparahan cedera, perubahan saraf dan otot mungkin
permanen.Karakteristik gejala CTS terutama kesemutan, mati rasa, dan nyeri
akut, bersama dengan kehilangan konduksi saraf akut dan reversibel dianggap
gejala untuk iskemia.Sebuah studi oleh Seiler (dengan Doppler laser flow metry)
menunjukkan bahwa normalnya aliran darah berdenyut di dalam saraf median
dipulihkan

dalam

menit

dari

saat

ligamentum

karpal

transversal

dilepaskan.Sejumlah penelitian eksperimental mendukung teori iskemia akibat


kompresi diterapkan secara eksternal dan karena peningkatan tekanan di carpal
tunnel. Gejala akanbervariasi sesuai dengan integritas suplai darah dari saraf dan
tekanan darah sistolik. Hasil studi Kiernan menemukan bahwa konduksi
melambat pada median saraf dapat dijelaskan oleh kompresi iskemik saja dan
mungkin tidak selalu disebabkan myelinisasi yang terganggu (Bahrudin, 2011).
Menurut teori getaran, gejala CTS bisa disebabkan oleh efek
daripenggunaan jangka panjang alat yang bergetar pada saraf median di karpal
tunnel.Lundborg mencatat edema epineural pada saraf median dalam beberapa
hariberikut

paparan

alat

getar

genggam.Selanjutnya,

terjadi

perubahan

serupamengikuti mekanik, iskemik, dan trauma kimia (Bahrudin, 2011).

Hipotesis lain dari CTS adalah bahwa faktor mekanik dan vaskular
memegang peranan penting dalam terjadinya CTS. Umumnya CTS terjadi secara
kronis dimana terjadi penebalan fleksor retinakulum yang menyebabkan tekanan
terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulang-ulang dan lama akan
mengakibatkan peninggian tekanan intravesikuler. Akibatnya aliran darah vena
intravesikuler melambat. Kongesti yang terjadi ini akan mengganggu nutrisi
intrvesikuler lalu diikuti oleh anoksia yang akan merusak endotel. Kerusakan
endotel ini akan mengakibatkan kebocoran protein sehingga terjadi edema
epineural. Hipotesa ini menerangkan bagaimana keluhan nyeri dan sembab yang
timbul terutama pada malam atau pagi hari akan berkurang setelah tangan yang
terlibat digerakkan atau diurut, mungkin akibat terjadinya perbaikan sementara
pada aliran darah. Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis
epineural yang merusak serabut saraf. Semakin lama hal itu terjadi, saraf dapat
mengalami atrofi dan digantikan oleh jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi
nervus medianus terganggu secara menyeluruh (Tana, 2004).
Selain akibat adanya penekanan yang melebihi tekanan perfusi kapiler
akan menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik saraf. Keadaan
iskemik ini diperberat lagi oleh peninggian tekanan intravesikuler yang
menyebabkan berlanjutnya gangguan aliran darah.Selanjutnya terjadi vasodilatasi
yang menyebabkan edema sehingga sawar darah-saraf terganggu yang berkibat
terjadi kerusakan pada saraf tersebut (Tana, 2004).
Penelitian yang telah dilakukan Kouyoumdjian menerangkan bahwa CTS
terjadi karena kompresi saraf median di bawah ligamentum karpal transversal
berhubungan dengan naiknya berat badan dan Indeks Masa Tubuh (IMT).Indeks
Masa Tubuh yang rendah merupakan kondisi kesehatan yang baik untuk proteksi
fungsi nervus medianus. Pekerja dengan IMT minimal25 lebih mungkin untuk
terkena CTS dibandingkan dengan pekerjaan yang mempunyai berat badan
ramping. American Obesity Association menemukan bahwa 70% dari penderita
CTS memiliki kelebihan berat badan.ResikoCTS meningkat setiap peningkatan
IMT sebanyak 8% (Tana, 2004).
Pergelangan tangan mempunyai struktur anatomi yang rumit dan

aktif.Carpal Tunnel yang mirip terowongan berada di pergelangan tangan,


dibentuk 8 tulang carpal dan fleksor retinaculum atau ligamentum carpal
transversalis.Di dalam tunnel (terowongan) ini lewat atau tersusun secara rapat
fleksor digitorum profunda dan superficialis, fleksor ligitorum, dan nervus
medianus (Kurniawan, 2008).
Terjadinya sindrom ini bertumpu pada perubahan patologis yang
diakibatkan oleh adanya iritasi secara terus menerus pada nervus medianus di
daerah pergelangan tangan.Banyak faktor yang dapat mengawali timbulnya
sindrom ini, baik sistemik maupun lokal, namun khusus bagi para pemakai
komputer, faktor iritasi lokal terhadap nervus medianus inilah yang tampaknya
perlu mendapat perhatian lebih banyak (Darno, 2011).
Bila kedudukan antara telapak tangan terhadap lengan bawah bertahan
secara tidak fisiologis untuk waktu yang cukup lama, maka gerakan-gerakan
tangan akan mengakibatkan tepi ligamentum karpi transversum bersentuhan
dengan saraf medianussecara berlebihan. Hal lain yang dapat terjadi yaitu adanya
bagian persendian tangan yang mengalami tekanan atau regangan yang berlebih
dan sebagai mekanisme kompensasi, tubuh berusaha memperkuat bagian yang
mendapat beban tidak fisiologis ini antara lain dengan mempertebal ligamentum
karpi transversum. Penebalan ini akan mempersempit terowongan tempat lalunya
saraf dan urat, dan lebih berat lagi akan menjepit saraf (Darno, 2011).
Pada operasi, tak jarang dijumpai perubahan struktur pada nervus
medianus di daerah proximal dari tepi atas ligamentum karpi ransversum, tanpa
diikuti oleh penebalan ligamentumnya.Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa kedua penyebab di atas dapat berjalan secara terpisah ataupun bersamaan.
Nervus medianus sendiri mulai dari daerah pergelangan tangan, 94%
merupakanserabut perasa / sensoris, sedangkan 6% merupakan serabut motoris
yang ke arah ibu jari. Dengan demikian, pada awalnya gejala lebih banyak
ditandai dengan kejadian parestesia (seperti kesemutan, rasa terbakar), sampai ke
hipoanestesia (baal-baal sampai hilangnya rasa raba).Bila sudah ada gejala
motorik (otot pangkal ibu jari tangan mulai mengecil, kekuatan berkurang), maka
iritasi kemungkinan sudah berlangsung sejak lama (Verina, 2006).

2.5.

Penegakkan Diagnosa

2.5.1. Anamnesis
Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja.
Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal biasanya
berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa seperti terkena aliran
listrik (tingling) pada jari 1-3 dan setengah sisi radial jari 4 sesuai dengan
distribusi sensorik nervus medianus walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai
seluruh jari-jari (Salter, 2009).
Komar dan Ford membahas dua bentuk CTS yaitu akut dan kronis. Bentuk
akut mempunyai gejala dengan nyeri parah, bengkak pergelangan tangan atau
tangan, tangan dingin, atau gerak jari menurun. Kehilangan gerak jari disebabkan
oleh kombinasi dari rasa sakit dan paresis. Bentuk kronis mempunyai gejala baik
disfungsi sensorik yang mendominasi atau kehilangan motorik dengan perubahan
trofik. Nyeri proksimal mungkin ada dalam CTS (Pecina, 2010).

Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala lainnya


adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari sehingga
sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini umumnya agak
berkurang bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan tangannya atau
dengan meletakkan tangannya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan
berkurang bila penderita lebih banyak mengistirahatkan tangannya (Rambe,
2004).
Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari-jari menjadi kurang
terampil misalnya saat memungut benda-benda kecil. Kelemahan pada tangan
juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan yang penderita sewaktu
menggenggam. Pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot thenar (Oppones
Pollicisdan Abductor Pollicis Brevis) dan otot-otot lainnya yang diinervasi oleh
nervus medianus (Rambe, 2004).

2.5.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita
dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan.
Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu menegakkan
diagnosa CTS adalah (Katz, 2011):
2.5.2.1. Tes Phalen
Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal.Bila dalam
waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.Beberapa
penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa
CTS.

Gambar 2.3Tes Phalen


Diambil dari: Katz, Jeffrey N. et al., 2011.CTS. N Engl J Med. Vol. 346, No. 23.
2.5.2.2. Tes Torniquet
Pada

pemeriksaan

ini

dilakukan

pemasangan

torniquet

dengan

menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan


sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong
diagnose (Katz, 2011).

2.5.2.3. Tinel's Sign


Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri pada
daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada terowongan karpal
dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi (Katz, 2011).

Gambar 2.4 Tes Tinel


Diambil dari: Katz, Jeffrey N. et al., 2011.CTS. N Engl J Med. Vol. 346, No. 23.
2.5.2.4. Flick's Sign
Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-gerakkan
jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong
diagnosa CTS (Katz, 2011).
2.5.2.5. Thenar Wasting
Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot thenar
(Katz, 2011).
2.5.2.6. Menilai Kekuatan dan Ketrampilan Otot
Kekuatan dan keterampilan otot dapat dinilai secara manual maupun
dengan alat dinamometer (Katz, 2011).

2.5.2.7. Wrist Extension Test


Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya
dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan.Bila dalam 60
detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini menyokong diagnosa CTS
(Katz, 2011).
2.5.2.8. Tes Tekanan
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan ibu
jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini
menyokong diagnose (Katz, 2011).
2.5.2.9. Luthy's Sign (Bottle's sign)
Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol
atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan
rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung diagnose (Katz, 2011).
2.5.2.10. Pemeriksaan Sensibilitas
Bila

penderita

tidak

dapat

membedakan

dua

titik

(two-point

discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes


dianggap positif dan menyokong diagnose (Katz, 2011).
2.5.2.11. Pemeriksaan Fungsi Otonom
Pada penderita diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit yang
kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada
akan mendukung diagnosa CTS (Katz, 2011).
2.6

Pemeriksaan Penunjang

2.6.1. Pemeriksaan Neurofisiologi (Elektrodiagnostik)


Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik,
gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar.
Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal.EMG bisa
normal pada 31% kasus CTS.Pada 15-25% kasus, Kecepatan Hantar Saraf (KHS)
bisa normal. Pada yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal (distal

latency) memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi saraf di


pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik
(Latov,2007).
Derajat CTS berdasarkan pemeriksaan EMG dibagi berdasarkan ringan,
sedang, dan berat. Carpal Tunnel Syndrome ringan merupakan prolongasi relatif
atau absolut dari nervus sensorik atau palmar median. Sebagai tambahan,
amplitudo potensial terlihat sedikit berkurang. Pada CTS sedang, latensi sensorik
dan motorik menjadi lebih panjang secara relatif atau absolut. Carpal Tunnel
Syndrome berat ditandai dengan adanya latensi sensorik dan motorik yang
diperpanjang dengan ketiadaan potensial sensorik atau palmar atau amplitudo
rendah atau ketiadaan potensial motorik. Pada pemeriksaan EMG jarum biasanya
menunjukkan peningkatan aktivitas insersi dengan perubahan kronis motor unit
(Stevens, 2014).
2.6.2.

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat membantu

melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto polos leher
berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT-scan
dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi. USG
dilakukan untuk mengukur luas penampang dari saraf median di carpal tunnel
proksimal yang sensitif dan spesifik untuk CTS (Rambe,2004).
2.6.3. Pemeriksaan Laboratorium
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa
adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan
seperti kadar gula darah, kadar hormon tiroid ataupun darah lengkap
(Rambe,2004).

2.7.

Penatalaksanaan
PenatalaksanaanCTStergantung

danintensitaskompresisaraf.

padaetiologi,

Jika sindromadalah

suatu

untukpenyakitendokrin,hematologi,atau

durasigejala,
penyakit

sekunder

penyakitsistemiklain,

penyakitprimerharus diobati (Bahrudin, 2011).


2.7.1. Medikamentosa
Terdapat beberapa terapi terhadap CTS yang masih dipergunakan hingga
saat ini, antara lain (George, 2009):
a.

Injeksi Kortikosteroid Lokal


Injeksi kortikosteroid cukup efektif sebagai penghilang gejala CTS
secara temporer dalam waktu yang singkat. Metilprednisolon atau
hidrokortison bisa disuntikkan langsung ke carpal tunnel untuk
menghilangkan nyeri. Injeksi kortikosteroid dapat mengurangi
peradangan, sehingga mengurangi tekanan pada nervus medianus.
Pengobatan ini tidak bersifat untuk dilakukan dalam jangka waktu
yang panjang (George, 2009).
Deksametason1-4mgatauhidrokortison10-25mgatau
metilprednisolon20mgatau40mg

diinjeksikankedalamterowongan

karpaldenganmenggunakanjarumno.23atau25padalokasi1cmke
proksimal

lipatpergelangan

tangan

musculuspalmarislongus.Sementarasuntikan

arah

disebelahmedialtendon
dapatdiulangdalam7

sampai10hariuntuktotaltiga atauempatsuntikan.Tindakanoperasi dapat


dipertimbangkan bila hasilterapi belum memuaskan setelah diberi3
kalisuntikan.Suntikanharus

digunakandenganhati-hatiuntukpasiendi

bawah usia 30 tahun (George, 2009)


b.

Vitamin B6 (Piridoksin)
Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu penyebab CTS
adalah

defisiensi

piridoksin

sehingga

mereka

menganjurkan

pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan. Tetapi


beberapa penulis lainnya berpendapat bahwa pemberian piridoksin
tidak bermanfaat bahkan dapat menimbulkan neuropati bila diberikan

dalam dosis besar. Namun pemberian dapat berfungsi untuk


mengurangi rasa nyeri (George, 2009).
c.

Obat Antiinflamasi Non-Steroid (NSAID)


Obat-obatan jenis NSAID dapat mengurangi inflamasi dan membantu
menghilangkan

nyeri.

Pada

umumnya

digunakan

untuk

menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Obat pilihan untuk terapi


awal biasanya adalah ibuprofen. Pilihan lainnya yaitu ketoprofen dan
naproxen (George, 2009).
2.7.2. Non-medikamentosa
Kasusringan selain bisa diobati dengan obat anti inflamasinonsteroid(OAINS)

juga

bisamenggunakan

penjepitpergelangantangan

yangmempertahankantangandalamposisinetralselama
terutamapada

malamhariatauselamaada

minimal2bulan,

gerakberulang.

efektif,dangejalayangcukupmengganggu,operasisering

Jika

tidak

dianjurkanuntuk

meringankan kompresi. Oleh karenaitu sebaiknyaterapi CTSdibagi atas2


kelompok,yaitu (Bahrudin, 2011):

2.7.2.1. Terapi langsungterhadapCTS


2.7.2.1.1. Terapi konservatif
i. Istirahatkan pergelangantangan.
ii. Pemasanganbidaipadaposisinetralpergelangantangan.Bidaidapat
dipasangterus-menerus atau hanyapadamalam hari selama2-3
minggu.
iii. NerveGliding,yaitulatihanterdiridariberbagaigerakan(ROM)latihan
dariekstremitas atasdanleher yang menghasilkan ketegangan dan
gerakanmembujursepanjang sarafmediandanlaindariekstremitasatas.
Latihan-latihaninididasarkan padaprinsipbahwa jaringandarisistem
sarafperiferdirancanguntukgerakan,danbahwa
mungkinmemilikiefekpadaneurofisiologimelalui

ketegangan

saraf

perubahan

dalamaliran

pembuluh

darah

danaksoplasma.

Latihan

dilakukansederhanadan dapat dilakukanolehpasien setelahinstruksi


singkat.
iv. Fisioterapi yang ditujukan padaperbaikan vaskularisasi pergelangan
tangan.

Gambar 2.5Nerve Gliding


Diambil dari: Katz, Jeffrey N. et al., 2011.CTS. N Engl J Med. Vol. 346, No. 23.

2.7.2.1.2. Terapi operatif


Operasihanyadilakukanpadakasusyang

tidakmengalamiperbaikan

denganterapikonservatifataubilaterjadigangguansensorik
adanyaatrofiotot-otot

thenar.

dilakukanpadatanganyangpaling
operasibilateral.Penulislainmenyatakan

yangberatatau

PadaCTSbilateralbiasanyaoperasipertama
nyeriwalaupundapatsekaligusdilakukan
bahwa

tindakanoperasimutlak

dilakukanbila terapikonservatif gagalatau bila ada atrofiotot-otot thenar,


sedangkan indikasi relatiftindakan operasi adalah hilangnyasensibilitasyang
persisten. BiasanyatindakanoperasiCTSdilakukansecaraterbuka dengananestesi
lokal,tetapisekarang

telahdikembangkanteknikoperasisecaraendoskopik.

Operasiendoskopikmemungkinkan

mobilisasipenderita

secaradinidengan

jaringanparutyang

minimal,tetapikarenaterbatasnyalapanganoperasi

tindakan

inilebihsering menimbulkankomplikasioperasiseperticederapadasaraf. Beberapa


penyebab CTS

sepertiadanyamassa atau anomali maupun tenosinovitis

padaterowongan karpal lebih baik dioperasi secaraterbuka (Bahrudin, 2011).


2.7.2.2. Terapi Terhadap Keadaan atau Penyakit yang Mendasari CTS
Keadaanataupenyakityang

mendasariterjadinyaCTS

harus

ditanggulangi,sebabbila tidakdapatmenimbulkankekambuhan CTS kembali. Pada


keadaandimanaCTSterjadiakibatgerakantanganyangrepetitifharus

dilakukan

penyesuaian ataupun pencegahan.


Beberapa

upaya

yang

dapat

dilakukanuntukmencegahterjadinya

CTSatau mencegahkekambuhannyaantara lain (Bahrudin, 2011):


i. Mengurangi posisi kaku padapergelangantangan, gerakan repetitif,
getaran peralatan tanganpadasaat bekerja.
ii. Desain peralatan kerja supaya tangan dalam posisinormalsaat kerja.
iii. Modifikasi tata ruangkerja untuk memudahkan variasi gerakan.
iv. Mengubah

metode

kerja

untuk

sesekaliistirahatpendek

serta

mengupayakanrotasi kerja.
v. Meningkatkan pengetahuan pekerja tentang gejala-gejala dini CTS
sehingga pekerja dapat mengenali gejala-gejala CTS lebih dini.

Di samping itu perlu pula diperhatikan beberapa penyakit yang sering


mendasari terjadinya CTS seperti: trauma akut maupun kronik pada pergelangan
tangan dan daerah sekitarnya, gagal ginjal, penderita yang sering dihemodialisa,
myxedema akibat hipotiroidi, akromegali akibat tumor hipofisis, kehamilan atau
penggunaan pil kontrasepsi, penyakit kolagen vaskular, artritis, tenosinovitis,
infeksi pergelangan tangan, obesitas dan penyakit lain yang dapat menyebabkan
retensi cairan atau menyebabkan bertambahnya isi terowongan karpal (Bahrudin,
2011).

2.8.

Prognosis

PadakasusCTSringan,denganterapikonservatifumumnyaprognosabaik.Bi
lakeadaantidakmembaikdenganterapikonservatifmakatindakanoperasiharusdilaku
kan.Secaraumumprognosaoperasijugabaik,tetapikarenaoperasihanyadilakukanpad
apenderitayangsudahlamamenderitaCTSpenyembuhan

post

operatifnya

bertahap(Bahrudin, 2011).
Bilasetelahdilakukantindakanoperasi,tidakjugadiperolehperbaikanmakadi
pertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini(Bahrudin, 2011):
1.

Kesalahanmenegakkandiagnosa,mungkin
tekananterhadapnervusmedianusterletakdi

tempatyanglebih

proksimal.
2.

Telahterjadi kerusakan total padanervus medianus.

3.

TerjadiCTSyangbarusebagaiakibatkomplikasioperasisepertiakibatede
ma,perlengketan,infeksi,hematomaataujaringanparuthipertrofik.Sekal
ipunprognosa
CTSdenganterapikonservatifmaupunoperatifcukupbaik,tetapiresikoun
tukkambuhkembalimasihtetapada.Bilaterjadikekambuhan,prosedurter
apibaikkonservatifatauoperatifdapatdiulangikembali.

2.9.

Komplikasi
Komplikasi yang dapat dijumpai adalahkelemahandan hilangnya

sensibilitas yang persisten di daerahdistribusi nervus medianus. Komplikasi yang


paling berat adalah reflek sympathetic dystrophy yang ditandai dengan nyeri
hebat, hiperalgesia, disestesia, dan gangguan trofik.Sekalipun prognosa CTS
dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik, tetapi resiko untuk
kambuh kembali masih tetap ada.Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik
konservatif atau operatif dapat diulangi kembali (Salter, 2009).

Anda mungkin juga menyukai