Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : An. S M
Tempat dan Tanggal Lahir : Serang, 05 Mei 2007
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kp. Pabuaran, Anyer
Pendidikan :-
Tanggal Masuk : 12 Juli 2018 Jam 14.00 WIB
No. CM : 896 xxx

Nama Ayah : Tn. M


Umur : 50 th
Pendidikan : 6 th
Pekerjaan : Tidak Bekerja

Nama Ibu : Ny. S


Umur : 47 th
Pendidikan : 6 th
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

II. ANAMNESIS
Anamnesis menggunakan teknik alloanamnesis kepada ibu kandung pasien
pada tanggal 13 Juli 2018 di Bangsal Melati B RSUD Cilegon.
A. Keluhan Utama
Lemas sejak tiga hari sebelum masuk Rumah Sakit
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Anak RSUD diantar dengan ibunya untuk
kontrol bulanan penyakit yang dideritanya yaitu thalassemia pada 12
Juli 2018. Anak mengeluh lemas sejak 3 hari yang lalu, dan lemas
dirasakan sepanjang hari sehingga anak sulit untuk beraktivitas.
Keluhan demam, batuk, pilek, mual dan muntah disangkal. BAB dan
BAK normal. Nafsu makan pasien menurun namun masih banyak
minum.

1
C. Riwayat penyakit dahulu

Orang tua pasien mengatakan anaknya pertama kali diketahui


terdapat kelainan saat pasien berumur 7 bulan karena sering terlihat
lemas, pucat, sangat kurus karena berat badannya tidak bertambah.
Anak ditimbang saat berusia 3 bulan yaitu 5 kg dan sampai usia 7 bulan
berat badannya tetap 5 kg. Orang tua membawa anaknya pada usia 10
bulan untuk berobat ke puskesmas, pada awalnya anak didiagnosis gizi
buruk dikarenakan berat badan tidak bertambah dan mendapatkan
pengobatan untuk gizi buruk, namun berat badan belum bertambah.

Pada saat pasien berusia 1 tahun ibu pasien membawa anaknya


untuk berobat ke RSUD, setelah dilakukan pemeriksaan dan tes
laboratorium darah dikonfirmasi oleh dokter anak bahwa pasien
menderita thalassemia. Pasien mendapatkan transfusi darah pertama
kali di usia 1 tahun dan menghabiskan 10 kantung untuk satu kali
transfusi karena hasil lab Hb = 2. Semenjak mendapatkan transfusi
darah, berat badan pasien mulai naik yaitu 15 kg pada usia 5 tahun dan
terus naik sampai sekarang 20 kg di usia 11 tahun. Hingga sekarang
pasien selalu rutin mendapat transfusi darah untuk menunjang kualitas
hidup pasien.

D. Riwayat penyakit keluarga


Riwayat penyakit serupa pada keluarga inti, kakek, nenek, dan saudara
satu nenek pun disangkal.

E. Riwayat Kehamilan, Persalinan, dan Pasca Persalinan


a. Riwayat kehamilan :
Selama kehamilan ibu pasien tidak pernah memeriksakan
kandungannya, alasannya karena bidan atau puskesmas jauh dan
membutuhkan ongkos yang mahal.

2
b. Riwayat persalinan :
Pasien lahir dari ibu G7P7A0, cukup bulan, lahir spontan ditolong oleh
paraji dirumah. Berat badan lahir tidak diketahui, panjang badan dan
lingkar kepala tidak diketahui, serta lahir langsung menangis dan tidak
adanya riwayat biru pada saat lahir.

c. Riwayat pasca lahir :


Tidak ada keluhan kelainan pasca lahir.

F. Riwayat Makanan
- Umur 0 - 6 bulan
Pasien mengonsumsi ASI tanpa tambahan makanan lain.
- Umur 6 bulan - 3 tahun
Pasien mengonsumsi ASI diselingi susu formula dan bubur bayi.
- Umur 3 tahun – sekarang
Pasien mengkonsumsi nasi dan lauk pauk

G. Perkembangan
1. Pasien mulai merangkak pada usia 1 tahun
2. Pasien hanya bisa merangkak dan menggeser-geser
badannya pada usia 2-5 tahun
3. Pasien dapat mengatakan “abah, emak, teteh” pada usia 2
tahun
4. Pasien menjadi jarang berbicara sejak usia 4 tahun
5. Pasien mulai dapat berdiri pada usia 5 tahun
6. Pasien dapat berjalan lancar pada usia 6 tahun

H. Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengatakan bahwa imunisasi pada anak tidak lengkap, dan
tidak melanjutkan imunisasi semenjak terdapat kelainan pada anak

3
berupa keluhan lemas, pucat, berat badan tidak bertambah dan sering
sakit.
Macam Dasar
I II III IV
BCG 1 bulan (+) - - -
Hepatitis B Lahir (-) 2 bulan (-) 3 bulan (+) 4 bulan (+)
Polio 2 bulan (+) 3 bulan (+) 4 bulan (+) 18 bulan (-)
DPT 2 bulan (+) 3 bulan (+) 4 bulan (+) 18 bulan (-)
Campak 9 bulan (-) - - 18 bulan (-)

I. Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Sosial Ekonomi
Pasien merupakan anak terakhir dari 7 bersaudara. Pasien
tinggal berenam dalam satu rumah yang terdiri dari ayah, ibu, pasien,
dan tiga orang kakaknya, sedangkan kakak pertama dan kedua sudah
menikah dan tinggal terpisah. Ayah pasien sudah tidak bekerja,
sehingga kakak pasien menjadi tulang punggung keluarga. Pasien
sudah tidak bersekolah sejak SD karena selalu merasa lemas dan cepat
lelah saat beraktifitas.

Lingkungan

Kondisi lingkungan rumah pasien cukup baik untuk sumber air


dan cahaya matahari dapat masuk kerumah, ventilasi dirumah baik.
Terdapat tiga kamar pada rumah pasien, pasien tidur satu kamar
dengan ayah ibunya, dua kamar ditempati oleh kakaknya. Namun
lokasi rumah pasien yang jauh membuat sulit menjangkau fasilitas
umum ataupun kesehatan.

4
PEMERIKSAAN FISIK:
A. Pemeriksaan Umum:
1. Kesan Umum : Terlihat sakit sedang

2. Kesadaran : Compos mentis

3. Tanda Utama :

Frekuensi nadi : 98x/menit, regular

Frekuensi napas : 48x/menit

Suhu : 36,0 0 C

Tekanan Darah : 100/70 mmHg

4. Status Gizi:

Klinis: edema -, tampak kurus +

Antropometris:

 Berat Badan (BB) : 20 kg


 Tinggi/Panjang Badan(TB/PB) : 117 cm
 Lingkar Kepala : 48 cm
 Lingkar Lengan Atas : 15,5 cm
 BB/U : 20/11
 TB/U : 117/11
 BB/TB : 20/117

5
BB/U : 20kg/11th berada pada percentil 25-50.
BB aktual x 100% / BB Baku untuk Umur : (20kg/37kg)x 100%= 54%
Gizi Buruk.

6
TB/U = 117/11 tahun berada pada percentil 50-75
Tinggi actual x 100%/ Tinggi baku untuk umur = 117cm/144cm x 100%= 81,2 %
Moderate Stunting.

B. Pemeriksaan Khusus
1. Kepala :
Rambut coklat dan tipis, wajah facies cooley
2. Kulit :
Terlihat pucat pada wajah dan hiperpigmentasi pada tubuh.

7
3. Mata :
Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+, pupil bulat dan isokor,
pergerakan bola mata baik.
4. Telinga :
Bentuk normal, liang telinga luas, tidak ada sekret atau serumen,
tidak ada darah, tidak ada tanda radang, membran timpani intak.
5. Hidung :
Tidak terdapat nafas cuping hidung, tidak deviasi septum, tidak ada
sekret, dan tidak hiperemis, tidak ada epistaksis
6. Tenggorokan :
Uvula tidak deviasi, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak
hiperemis
7. Mulut :
Bibir kering dan pucat, gigi geligi lengkap, gusi tidak hipertropi,
lidah tidak kotor, mukosa mulut basah.
8. Leher :
Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada submentalis,
subklavikula, pre-aurikula, oksipital, sternocleidomastoideus, dan
supraklavikula. trakea tidak deviasi

9. Dada :

a. Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV linea midklavikula


sinistra, dan tidak terdapat thrill

Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS IV linea para sternalis


dextra, batas jantung kiri pada lateral ICS IV linea
midklavikula sinistra.

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdapat


murmur dan gallop

8
b. Paru

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri


pada saat statis dan dinamis, perbandingan
trasversal : antero posterior = 2:1, tidak terdapat
retraksi dan pelebaran sela iga.

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas, tidak


terdengar adanya krepitasi, fremitus taktil dan
vokal kiri simetris kanan dan kiri.

Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru dan terdapat


peranjakan paru hati pada sela iga VI.

Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

9. Abdomen

Inspeksi : Tidak simetris, tegang, tidak terdapat kelainan


kulit, tidak ditemukan adanya spider nevy, tidak
pelebaran vena, tidak terdapat caput medusa.

Auskultasi : Bising usus (+), Bising aorta abdominalis tidak


terdengar

Palpasi : Pembesaran hepar 2/3 dan lien (Schuffner 4),


Ballotement (-)

Perkusi : Redup pada quadran kanan dan kiri atas. Timpani


pada kuadran kanan dan kiri bawah

10. Ekstremitas:

Superior : Akral hangat, sianosis -/-, oedema -/-

Inferior : Akral hangat, sianosis -/-, oedema -/-

9
11. Anogenital:

Jenis kelamin perempuan, anus (+)

IV. DATA LABORATORIUM

Pemeriksaan darah rutin :

Pemeriksaan darah rutin pre-transfusi


Hemoglobin: 4.3 g/dl n: 11,5 – 14,5

Hematokrit 12.8% n: 33,0 – 43,0

Eritrosit 1.67 x 106 /μL n: 3,90 – 5,30

MCV/VER 76.6 fl n: 76,0 – 90,0


MCH/HER 25.7 pg n: 25,0 – 31,0
MCHC/KHER 33.6 g/dL n: 32,0 -36,0
Jumlah Leukosit 2.63 x 103 / μL n: 4,0 – 12,0

Jumlah Trombosit 94 x 103 / μL n: 150 – 450


Ferritin 3916.7 ng/mL n : 7.0-140.0

10
Pemeriksaan darah rutin pos-transfusi
Hemoglobin: 11.6 g/dl n: 11,5 – 14,5

Hematokrit 34.3 % n: 33,0 – 43,0

Eritrosit 4,2 x 106 /μL n: 3,90 – 5,30

MCV/VER 80,0 fl n: 76,0 – 90,0


MCH/HER 26.7 pg n: 25,0 – 31,0
MCHC/KHER 34.5 g/dL n: 32,0 -36,0
Jumlah Leukosit 4.640 x 103 / μL n: 4,0 – 12,0
Jumlah Trombosit 135 x 103 / μL n: 150 – 450

RINGKASAN DATA DASAR

A . ANAMNESIS
Pasien datang ke Poli Anak RSUD C diantar dengan ibunya untuk kontrol
bulanan penyakit yang dideritanya yaitu thalassemia.

B. PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum : Terlihat sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Suhu : 36,0 OC
 Nadi : 100x/menit
 Pernapasan : 20x/menit
 Kepala : Rambut coklat dan tipis, wajah facies cooley
 Mata : Konjunctiva anemis (+/+), Sklera ikterik
(+/+)
 THT : Sekret (-), epistaksi (-), faring hiperemis (-
),tonsil T1-T1 tidak hiperemis

11
 COR : BJ I & II reguler, murmur (-) gallop (-)
 Paru : Suara nafas vesikuler rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
 Abdomen : Perut terlihat tidak simetris, Bising usus (+),
pembesaran hepar 2/3 dan lien (+) schuffner 4
 Ekstremitas:
Superior : Akral hangat, sianosis -/-, oedema -/-

Inferior : Akral hangat, sianosis -/-, oedema -/-

 Anogenital : Jenis perempuan, cacat (-), anus (+)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan kadar ferritin
Pemeriksaan darah lengkap post transfusi

VI. DIAGNOSIS KERJA


Thalassemia
Gizi Buruk

VII. DIAGNOSIS BANDING


Anemia defisiensi Fe

VIII. RENCANA PENGELOLAAN


A. Rencana Pemeriksaan
Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan hemoglobin usai transfusi PRC

B. Rencana Pengobatan
Transfusi Packed Red Cell (PRC) 616 cc
IVFD Kaen 1B + KCL 10 mEq 16 TPM
Inj. Furosemide 20mg
Oksigen 2 liter/menit

12
Exjade (Deferasiroks) 1 x 500 mg
Asam folat 2 x 1 mg

C. Rencana Pemantauan
Kriteria pemulangan pasien rawat jalan :

 Target Hb 11 g/dL

D. Rencana Edukasi
 Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai pentingnya
melakukan kontrol dan transfusi setiap bulan
 Memberi penjelasan tentang efek samping dari transfusi darah
jangka panjang

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Ad Malam
Quo ad functionam : Ad Malam
Quo ad sanationam : Ad Malam

13
X. FOLLOW UP
12 Juli 2018 11.00 WIB (Poli Anak RSUD C)

S O A P
Pasien datang untuk Pasien terlihat Thalasemia PRC 616 ml
kontrol rutin pucat dan lemas,
thalasemia, orang Hb: 4,3 gr/dL
tua pasien Bunyi Jantung I-II
mengatakan normal
anaknya lemas dan
pucat

12 Juli 2018

S O A P
Orang tua pasien Keadaan umum: Thalassemia IVFD Kaen 1B +
mengatakan Tampak sakit sedang KCL 10 mEq 16
anaknya masih Kesadaran: TPM
lemas, pucat, dan Composmentis Terpasang O2
kurang nafsu Furosemide 10mg
makan. Demam (- S = 36,5o C PRC I = 100ml
), keluhan mual, HR = 124x/menit (12/07/18 pukul
muntah, batuk, RR = 28x/menit 16.00 – 20.00 wib)
pilek dan diare TD = 90/60 mmHg
disangkal Kepala: Normocephal PRC II = 200ml
Kulit: Tampak pucat PRC III = 250ml
Mata: Conjungtiva
Anemis (+/+)
Sklera Ikterik (+/+)
Leher: Pembesaran
KGB (-)
Hidung: Sekret (-)
Telinga: Sekret (-)
Tenggorokan:
Hiperemis (-)
Thorax: Simetris,
Rh(-) Wh (-)
Jantung: BJ I & II n.
M (-) G (-)
Abdomen: Suepel,
Bising usus (+),
Hepatosplenomegali
(+) Schuffner 3
Extremitas: Akral
hangat.
Lain-lain: Golongan
darah AB

14
13 Juli 2018

S O A P
Orang tua pasien Keadaan umum: Thalassemia IVFD Kaen 1B +
mengatakan lemas Tampak sakit ringan KCL 10 mEq 16
pada anak sudah Kesadaran: TPM
berkurang, tidak Composmentis Terpasang O2
pucat, nafsu makan Furosemide 20mg
mulai membaik. S = 36o C PRC I = 100ml
Demam (-), HR = 98x/menit (12/07/18 pukul
keluhan mual, RR = 48x/menit 16.00-20.00 wib)
muntah, batuk, TD = 100/70 mmHg PRC II = 200ml
pilek dan diare (13/07/18 pukul
disangkal Kepala: 16.00-20.00 wib)
Normocephal PRC III = 250ml
Mata: Conjungtica
Anemis (+/+)
Sklera Ikterik (+/+)
Leher: Pembesaran
KGB (-)
Hidung: Sekret (-)
Telinga: Sekret (-)
Tenggorokan:
Hiperemis (-)
Thorax: Simetris,
Rh(-) Wh (-)
Jantung: BJ I & II n.
M (-) G (-)
Abdomen: Suepel,
Bising usus (+)
Hepatosplenomegali
(+) Schuffner 3
Extremitas: Akral
hangat
Lain-lain: Golongan
darah AB

14 Juli 2018

S O A P
Orang tua pasien Keadaan umum: Perubahan perfusi IVFD Kaen 1B +
mengatakan Baik jaringan KCL 10 mEq 16
anaknya sudah Kesadaran: TPM
tidak lemas. Composmentis Terpasang O2
Makan dan minum S = 36,1o C Inj. Furosemide
sudah banyak. HR = 90x/menit 20mg

15
Demam (-), RR = 28x/menit PRC I = 100ml
keluhan mual, TD = 90/60 mmHg (12/07/18 pukul
muntah, batuk, Kepala: 16.00-20.00 wib)
pilek dan diare Normocephal PRC II = 200ml
disangkal Kulit: Tampak pucat (13/07/18 pukul
dan hiperpigmentasi 16.00-20.00 wib)
Mata: Conjungtiva PRC III = 250ml
Anemis (-/-) (14/07/18 pukul
Sklera Ikterik (+/+) 13.10-16.30 wib)
Leher: Pembesaran Oral :
KGB (-) Exjade
Hidung: Sekret (-) (Deferasiroks)
Telinga: Sekret (-) 1x500 mg
Tenggorokan: Asam folat 2x1mg
Hiperemis (-)
Thorax: Simetris,
Rh(-) Wh (-)
Jantung: BJ I & II n.
M (-) G (-)
Abdomen: Suepel,
Bising usus (+),
Hepatosplenomegali
(+) Schuffner 3
Extremitas: Akral
hangat.
Lain-lain: Golongan
darah AB
Hb Post transfusi :
9,5 g/dl

15 Juli 2018

S O A P
Orang tua pasien Keadaan umum: Perubahan perfusi IVFD Kaen 1B +
mengatakan Baik jaringan KCL 10 mEq 16
anaknya sudah Kesadaran: TPM
tidak lemas. Composmentis Terpasang O2
Makan dan minum S = 36,5o C Inj. Furosemide
sudah banyak. HR = 100x/menit 20mg
Demam (-), RR = 28x/menit PRC I = 100ml
keluhan mual, TD = 90/60 mmHg (12/07/18 pukul
muntah, batuk, Kepala: 16.00-20.00 wib)
pilek dan diare Normocephal PRC II = 200ml
disangkal Kulit: Tampak pucat (13/07/18 pukul
dan hiperpigmentasi 16.00-20.00 wib)
Mata: Conjungtiva PRC III = 250ml
Anemis (-/-) (14/07/18 pukul
Sklera Ikterik (+/+) 13.10-16.30 wib)

16
Leher: Pembesaran PRC IV = 175ml
KGB (-) (15/07/18 pukul
Hidung: Sekret (-) 09.00-13.00 wib)
Telinga: Sekret (-) Oral :
Tenggorokan: Exjade
Hiperemis (-) (Deferasiroks)
Thorax: Simetris, 1x500 mg
Rh(-) Wh (-) Asam folat 2x1mg
Jantung: BJ I & II n.
M (-) G (-)
Abdomen: Suepel,
Bising usus (+),
Hepatosplenomegali
(+) Schuffner 3
Extremitas: Akral
hangat.
Lain-lain: Golongan
darah AB
Hb Post transfusi :
9,5 g/dl (konsul
dokter dengan
persetujuan orang
tua transfusi
ditambah 175cc)

16 Juli 2018

S O A P
Orang tua pasien Keadaan umum: Perubahan perfusi IVFD Kaen 1B +
mengatakan Baik jaringan KCL 10 mEq 16
anaknya sudah Kesadaran: TPM
tidak lemas. Composmentis Terpasang O2
Makan dan minum S = 36o C Inj. Furosemide
sudah banyak. HR = 98x/menit 20mg
Demam (-), RR = 24x/menit PRC I = 100ml
keluhan mual, TD = 90/60 mmHg (12/07/18 pukul
muntah, batuk, Kepala: 16.00-20.00 wib)
pilek dan diare Normocephal PRC II = 200ml
disangkal Kulit: Tampak pucat (13/07/18 pukul
dan hiperpigmentasi 16.00-20.00 wib)
Mata: Conjungtiva PRC III = 250ml
Anemis (-/-) (14/07/18 pukul
Sklera Ikterik (+/+) 13.10-16.30 wib)
Leher: Pembesaran PRC IV = 175ml
KGB (-) (15/07/18 pukul
Hidung: Sekret (-) 09.00-13.00 wib)
Telinga: Sekret (-) Oral :
Tenggorokan:
Hiperemis (-)

17
Thorax: Simetris, Exjade
Rh(-) Wh (-) (Deferasiroks)
Jantung: BJ I & II n. 1x500 mg
M (-) G (-) Asam folat 2x1mg
Abdomen: Suepel, Pasien
Bising usus (+), diperbolehkan
Hepatosplenomegali pulang
(+) Schuffner 3
Extremitas: Akral
hangat.
Lain-lain: Golongan
darah AB
Hb Post transfusi :
11,6 g/dl

18
PEMBAHASAN KASUS

1.1 Definisi & Etiologi

Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan


pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat
membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak
atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia. Gangguan
oksigenasi karena kelainan hemoglobin ini menimbulkan hipoksia jaringan dan
tubuh akan mengkompensasi dengan membentuk eritrosit baru namun kondisi yang
terjadi adalah eritropoesis inefektif.1

Thalasemia dibedakan menjadi Thalasemia α jika menurunnya sintesis rantai


alfa globin dan Thalasemia β bila terjadi penurunan sintesis rantai beta globin.
Thalasemia dapat terjadi dari ringan sampai berat. Thalasemia beta diturunkan dari
kedua orang tua pembawa Thalasemia dan menunjukkan gejala klinis yang paling
berat, keadaan ini disebut juga Thalasemia mayor. Penderita Thalasemia mayor
akan mengalami anemia dikarenakan penghancuran hemoglobin dan membuat
penderita harus menjalani transfusi darah seumur hidup setiap bulan sekali.2

Thalasemia diwariskan oleh orang tua yang carrier kepada anaknya. Apabila
salah satu dari orang tua memiliki gen pembawa sifat Thalasemia maka
kemungkinan anaknya 50% sehat dan 50% carrier Thalasemia. Apabila kedua
orang tua memiliki gen pembawa sifat Thalasemia maka kemungkinan anaknya
25% sehat, 25% menderita Thalasemia mayor dan 50% carrier Thalasemia.3

Pasien pada kasus ini merupakan penderita thalasemia yang rutin mendapatkan
trasnfusi sejak usia 4 tahun. Pasien merupakan anak ke-7 dari tujuh bersaudara, dari
hasil alloanamnesis orang tua pasien mengatakan bahwa keluarga pasien tidak
memiliki riwayat penyakit thalasemia, sehingga kemungkinan orang tua pasien
merupakan pembawa gen karier thalasemi yang tidak menampakan gejala apapun.

19
1.2 Epidemiologi
Data menunjukan bahwa 7% dari populasi dunia merupakan pembawa sifat
thalassemia. Setiap tahun sekitar 300.000-500.000 bayi baru lahir disertai dengan
kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000 anak meninggal akibat
thalassemia β; 80% dari jumlah tersebut berasal dari negara berkembang. Indonesia
termasuk salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia, yaitu negara dengan
frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang tinggi. Hal ini terbukti dari
penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa frekuensi gen
thalassemia beta berkisar 3-10%.1
Berdasarkan data Pusat Thalassemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI
RSCM, sampai dengan bulan mei 2014 terdapat 1.723 pasien dengan rentang usia
terbanyak antara 11-14 tahun. Jumlah pasien baru terus meningkat hingga 75-100
orang/tahun.1

1.3 Klasifikasi
Secara molekuler, Thalasemia dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu
Thalasemia alfa dan Thalasemia beta sesuai dengan kelainan berkurangnya
produksi rantai-polipeptida.
1.3.1 Thalasemia Alfa
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai
alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari:
a. Silent Carrier State : Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak
timbul gejala samasekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang
tampak lebih pucat.
b. Thalasemia Alfa Trait : Gangguan pada 2 rantai globin alfa. Penderita
mengalami anemia ringan dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer,
dapat menjadi carrier.
c. Hemoglobin H Disease: Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita
dapat bervariasi mulai tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat
yang disertai dengan perbesaran limpa (splinomegali).

20
d. Thalasemia Alfa Mayor: Gangguan pada 4 rantai globin alfa. Thalasemia
tipe ini merupakan kondisi yang paling berbahaya pada Thalasemia tipe alfa.
Kondisi ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA
atau HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alfa Thalasemia mayor pada
awal kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena kelebihan
cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami keguguran
atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.

1.3.2 Thalasemia Beta


Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin
beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari:
a. Thalasemia Beta Trait (Minor)
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang
bermutasi. Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel
darah merah yang mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermedia
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi
sedikit rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya
tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi
c. Thalasemia Mayor (Cooley’s Anemia)
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat
memproduksi rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika
berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita Thalasemia mayor
tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak
ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan
akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun
kematian. Penderita Thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang
rutin dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya

21
1.4 Patofisiologi
A. Thalasemia Alfa
Alfa globin adalah sebuah komponen dari protein yang lebih besar yang
disebut hemoglobin. Hemoglobin merupakan protein dalam sel darah merah
yang membawa oksigen ke sel dan jaringan di seluruh tubuh. Hemoglobin
terdiri dari 4 komponen alfa globin dan 2 komponen beta globin. HBA1
(Hemoglobin, α-1) adalah gen yang memberikan instruksi untuk membuat
protein yang disebut alfa globin. Protein ini juga diproduksi dari gen yang
hampir identik yang disebut HBA2 (Hemoglobin, α-2). Kedua gen alfa globin
terletak dalam sebuah kromosom 16 yang dikenal sebagai lokus alfa globin.
Pada manusia normal terdapat 4 copy gen alfa globin. Sedangkan pada
penderita Thalasemia, terjadi mutasi pada gen alfa globin. Apabila terjadi
mutasi pada 1 gen α, maka tidak ada dampak pada kesehatan, tetapi orang
tersebut membawa sifat Thalasemia atau disebut carrier (trait) Thalasemia.
Apabila terjadi mutasi pada 2 gen α, maka akan menderita Thalasemia ringan
yang tidak menunjukkan gejala berat. Sedangkan mutasi yang terjadi pada 3
gen α akan menyebabkan penderita mengalami anemia berat, yang disebut juga
Hemoglobin H Disease. Mutasi yang terjadi pada 4 gen α akan berakibat fatal
pada bayi karena alfa globin tidak dihasilkan sama sekali.

B. Thalasemia Beta
Beta Globin adalah sebuah komponen dari protein yang lebih besar yang
disebut hemoglobin, yang terletak di dalam sel darah merah. Gen HBB
(Hemoglobin Beta) yang memberikan instruksi untuk membuat protein yang
disebut beta globin. Lebih dari 250 mutasi pada gen HBB telah ditemukan
menyebabkan Thalasemia beta. Tanpa beta globin, hemoglobin tidak dapat
terbentuk dan akan mengganggu perkembangan sel-sel darah merah.
Kekurangan sel darah merah akan menghambat oksigen yang akan dibawa dan
membuat tubuh kekurangan oksigen.
Pada manusia normal terdapat 2 copy gen beta globin yang terdapat pada
kromosom 11. Dan mutasi yang terjadi pada gen beta globin akan

22
menyebabkan Thalasemia. Jika seseorang hanya memiliki 1 gen beta globin
yang normal dan 1 gen beta globin sudah termutasi, maka orang tersebut carrier
Thalasemia (trait).

Gambar 2. Perjalanan sintesis rantai globin

Eritropoiesis pada masa awal janin terjadi dalam yolk sac, pada
bulan kedua kehamilan eritropoiesis berpindah ke liver dan saat bayi lahir
eritropoiesis di liver berhenti dan pusat pembentukan eritrosit berpindah
ke sumsum tulang. Pada masa anak-anak dan remaja semua sumsum tulang
terlibat dalam hematopoiesis, namun pada usia dewasa hanya tulang-tulang
tertentu seperti tulang panggul, sternum, vertebra, costa, ujung proksimal
femur dan beberapa tulang lain yang terlibat eritropoiesis. Bahkan pada tulang-
tulang seperti disebut diatas beberapa bagiannya terdiri dari jaringan
adiposit.

Sejak masa embrio, janin, anak hingga dewasa, sel darah merah
memiliki 6 hemoglobin, antara lain :

 Hemoglobin embrional (Hb Gower1, Hb Gower2, Hb Portland)

 Hemoglobin fetal (Hb-F)

 Hemoglobin dewasa (Hb-A1, Hb-A2)

23
Hemoglobin embrional

Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritoblas primitif dalam yolc sack
membentuk rantai globin epsilon (ε) dan zeta (Z) yang membentuk Hb primitif yaitu
Hb Gower1 (Z2ε2). Selanjutnya mulailah sintesis rantai α menggantikan rantai Z
dan rantai γ menggantikan rantai ε sehingga membentuk Hb Gower2, Hb Portland.
Pada masa gestasi 4-8 minggu yang ditemukan adalah Hb Gower 1 dan Hb Gower
2 dan menghilang pada masa gestasi 3 bulan.

Hemoglobin Fetal

Migrasi sel pruripoten stem sel dari yolc sack ke hati diikuti sintesi Hb fetal
yang merupakan awal sintesis rantai Hb β. Setelah masa gestasi 8 minggu, muncul
Hb-F yang paling dominan dan setelah janin berusia 6 bulan merupakan 90% Hb
terdiri dari Hb-F dan kemudian menurun menjelang kelahiran, setelah bayi lahir
dan setelah usia 6-12 bulan, HbF tetap ada tapi hanya ditemukan sedikit.

Hemoglobin Dewasa

Pada masa embrio, telah dideteksi HbA karena telah terjadi proses perubahan
sintesis rantai γ menjadi rantai β dan selanjutnya globin β meningkat dan pada masa
gestasi 6 bulan ditemukan HbA 5-10% dan waktu lahir 30%. Menginjak usia 6-12
bulan Hb sudah memperlihatkan gambaran Hb dewasa yaitu HbA1 dan HbA2 dan
sedikit HbF

24
1.5 Manifestasi Klinis
 Thalasemia Beta
Pada hampir semua anak dengan thalasemia B homozigot dan heterozigot
memperlihakan klinis sejak lahir, gagal tumbuh, kesulitan makan, infeksi
berulang, dan kelemahan umum. Bayi nampak pucat dan didapatkan
splenomegali. Bila menerima transfusi berulang, pertumbuhannya biasanya
normal sampai pubertas. Tanda klinis thalassemia mayor dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Cukup mendapat transfusi, pada anak yang mendapat cukup transfusi,
pertumbuhan dan perkembangannya normal dan tidak ada splenomegali.
Bila terapi kelasi tidak adekuat, secara bertahap akan terjadi penumpukan
zat besi. Komplikasi yang dapat terjadi berupa tidak tercapainya adolescent
growth spurt, komplikasi hati, endokrin, dan jantung. Penimbunan zat besi
dapat menyebabkan gagal jantung.
2. Dengan anemia kronis sejak anak-anak, pertumbuhan dan perkembangan
sangat terlambat, pembesaran lien yang progresif, memperburuk keadaan
anemianya dan terkadang disertai trombositopenia. Terjadi perluasan
sumsum tulang yang mengakibatkan demormitas tulang kepala, dengan

25
zigoma yang menonjol memberikan gambaran khas mongoloid. Anak
mudah terinfeksi dengan penurunan kadar hemoglobin yang mendadak.
Kebutuhan folatnya meningkat, penimbunan zat besi yang menyebabkan
kegagalan hati, dan gangguan perdarahan akibat trombositopenia.

Pada alloanamnesis kepada ibu kandung pasien didapatkan bahwa anak


mengeluh lemas dan pucat sejak tiga hari sebelum masuk RS dan tidak nafsu
makan. Pasien merupakan penderita thalasemia yang mendapatkan transfusi
sejak usia 4 tahun, dan terakhir mendapatkan transfusi satu bulan yang lalu
(bulan juni 2018). Keluhan demam, batuk, pilek disangakal. BAB dan BAK
normal. Keluhan lemas dan pucat merupakan akibat dari anemia yang terjadi.
Pada awal kunjungan biasanya kadar hemoglobin berkisar 2-8 g/dl, eritrosit
terlihat mikrositik hipokromik, hitung retikulosit sedikit meningkat.

Pada pasien ini ditemukan bentuk wajah yang khas pada penderita
thalassemia yaitu facies cooley / “chipmunk face” (dahi menonjol, mata
menyipit, jarak kedua mata melebar, maksila hipertrofi, maloklusi gigi) hal
ini disebabkan eritropoiesis inefektif yang terjadi akibat kompensasi tubuh
terhadap anemia hemolitik mengharuskan tubuh memproduksi sel darah
merah lebih banyak, akibatnya ekspansi sumsum tulang yang berlebihan.

Sklera ikterik pada pasien ini dapat terjadi karena adanya destruksi sel
darah merah yang berlebihan. Gejala kekuningan / Jaundice dapat terjadi jika
terdapat ketidak seimbangan sintesis bilirubin dan clearance bilirubin.
Bilirubin mempunyai afinitas yang tinggi terhadap jaringan yang elastis.
Sklera pada mata terbuat dari serat-serat yang elastis. Sedangkan pada pasien
ditemukan pembesaran limpa (schuffner 4) dan pembesaran hepar. Hal ini
dapat terjadi dikarenakan eritropoiesis yang tidak efektif memicu
pembentukan sel darah merah yang tidak sempurna sehingga hasil
laboratorium darah tepi menunjukan gambaran mikrositik hipokrom,
poikilositosis, sel target, dan eliptosit. Termasuk kemungkinan ditemukanya
peningkatan eritrosit stippled. Hal ini memicu kerja hepar dan lien sebagai

26
tempat untuk destruksi hasil eritropoiesis yang tidak efektif sehingga organ
hepar dan lien dapat membesar.

Gambar 4. Facies Cooley pada Thalasemia

1.6 Diagnosis & Diagnosis Banding


Diagnosis thalassemia ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Manifestasi klinis thalassemia mayor
umumnya sudah dapat dijumpai sejak usia 6 bulan.

a. Anamnesis
Pada anamnesis pasien thalasemia akan memiliki gejala wajah terlihat pucat
kronik, memiliki riwayat transfusi berulang, riwayat keluarga dengan
thalasemia, perut membuncit karena hepatosplenomegali, dan riwayat tumbuh
kembang serta pubertas yang terlambat. Pada pasien ini mengeluh lemas dan
pucat tiga hari sebelum masuk RS dan nafsu makan menurun. Hal ini dapat
terjadi dikarenakan pada penyakit thalasemia terdapat kegagalan produksi
salah satu rantai hemoglobin α atau hemoglobin β. Akibatnya salah satu rantai
globin yang gagal di produksi mengakibatkan lawan rantai tersebut gagal
berikatan dengan rantai globin lainya menyebabkan presipitasi pada precursor
sel darah merah dalam sumsum tulang dan dalam sel progenitor dalam darah
tepi. Presipitasi ini menimbulkan gangguan pematangan precursor eritroid dan
eritopoiesis yang tidak efektif (inefektif), sehingga umur eritrosit menjadi lebih
pendek dari normal yaitu 120 hari. Akibat dari kejadian ini menimbulkan
pasien anemia. Kondisi anemia ini mengakibatkan distribusi oksigen ke
seluruh tubuh berkurang dan berujung pada manifestasi klinis lemas dan pucat.

27
Pasien telah melakukan transfusi sejak usia 4 tahun dan terakhir melakukan
transfusi bulan juni 2018. Pasien tidak memiliki keluarga dengan riwayat
thalasemia.

b. Pemeriksaan Fisik

Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik pada


anak dengan thalassemia yang bergantung transfusi adalah pucat, sklera ikterik,
facies Cooley (dahi menonjol, mata menyipit, jarak kedua mata melebar,
maksila hipertrofi, maloklusi gigi), hepatosplenomegali, gagal tumbuh, gizi
kurang, perawakan pendek, pubertas terlambat, dan hiperpigmentasi kulit.

Pada pemerikaan fisik pasien didapatkan keadaan sebagai berikut:


1. Keadaan Umum: Tampak sakit sedang dan pucat
2. Kulit : Hiperpigmentasi
3. Kepala : Mikrocephal
4. Wajah : facies cooley
5. Mata : Konjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik +/+, Sekret -/-
6. Mulut : Bibir kering dan pucat
7. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
8. Abdomen : Tidak simetris, pembesaran hepar dan lien schuffner 4,
perkusi redup pada hampir seluruh lapang abdomen.
9. Ekstremitas : Kaki dan lengan terlihat kecil
10. Status gizi : Gizi buruk

c. Laboratorium
Darah perifer lengkap (DPL)
 Anemia yang dijumpai pada thalassemia mayor cukup berat dengan
kadar hemoglobin mencapai <7 g/dL.
 Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat memiliki MCV dan
MCH yang normal, sehingga nilai normal belum dapat menyingkirkan
kemungkinan thalassemia trait dan hemoglobinopati.

28
 Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk skrining
pembawa sifat thalassemia (trait), thalassemia δβ, dan high Persisten
fetal hemoglobine (HPFH).
 Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan mean
corpuscular haemoglobin (MCH) < 27 pg (hipokromik). Thalassemia
mayor biasanya memiliki MCV 50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg.
 Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada thalassemia, dan juga
pada anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih sedikit
dipengaruhi oleh perubahan cadangan besi (less suscpetible to storage
changes).

Pemeriksaan laboratorium pada pasien yaitu darah rutin untuk


melihat kadar Hb, Hematokrit, MCV, dan MCH pada pasien. Ada pula hasil
laboratorim darah rutin menunjukan hasil:

Pemeriksaan darah rutin pre-transfusi


Hemoglobin: 4.3 g/dl n: 11,5 – 14,5

Hematokrit 12.8% n: 33,0 – 43,0

Eritrosit 1.67 x 106 /μL n: 3,90 – 5,30

MCV/VER 76.6 fl n: 76,0 – 90,0


MCH/HER 25.7 pg n: 25,0 – 31,0
MCHC/KHER 33.6 g/dL n: 32,0 -36,0
Jumlah Leukosit 2.63 x 103 / μL n: 4,0 – 12,0

Jumlah Trombosit 94 x 103 / μL n: 150 – 450


Ferritin 3916.7 ng/mL n : 7.0-140.0

29
1.7 Tatalaksana
1.7.1 Transfusi darah
A. Indikasi transfusi darah
Tujuan transfusi darah pada pasien thalassemia adalah untuk menekan
hematopoiesis ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Keputusan untuk memulai transfusi darah sangat individual pada setiap
pasien. Transfusi dilakukan apabila dari pemeriksaan laboratorium terbukti
pasien menderita thalassemia mayor, atau apabila Hb <7g/dL setelah 2x
pemeriksaan dengan selang waktu >2 minggu, tanpa adanya tanda infeksi
atau didapatkan nilai Hb >7gr/dL dan dijumpai, gagal tumbuh, dan/atau
deformitas tulang akibat thalassemia.

B. Evaluasi sebelum transfusi


Pasien perlu menjalani pemeriksaan laboratorium berikut sebelum
memulai transfusi pertama:
 Profil besi: feritin serum, serum iron (SI), total iron binding
capacity (TIBC)
 Kimia darah berupa uji fungsi hati: SGOT, SGPT, PT, APTT,
albumin, bilirubin indirek, dan bilirubin direk.
 Fungsi ginjal : ureum, kreatinin
 Golongan darah: ABO, Rhesus
 Marker virus yang dapat ditransmisikan melalui transfusi darah:
antigen permukaan Hepatitis B (HbsAg), antibodi Hepatitis C
(anti-HCV), dan antibodi HIV (anti-HIV).
 Bone age
Keluarga atau pasien diinformasikan mengenai kegunaan dan risiko
transfusi, kemudian menandatangani persetujuan (informed consent)
sebelum transfusi dimulai. Identifikasi pasien dan kantong darah perlu
dilakukan pada setiap prosedur pemberian transfusi darah sebagai bagian
dari upaya patient safety.

30
C. Cara pemberian transfusi darah
1. Volume darah yang ditransfusikan bergantung dari nilai Hb. Bila
kadar Hb pratransfusi >6 gr/dL, volume darah yang ditransfusikan
berkisar 10-15 mL/kg/kali dengan kecepatan 5 mL/kg/jam.
2. Target pra kadar Hb post-transfusi tidak melebihi dari 14-15 g/dL22,
sedangkan kadar Hb pratransfusi berikutnya diharapkan tidak kurang
dari 9,5 mg/dL. Nilai Hb pretransfusi antara 9-10 g/dL dapat
mencegah terjadinya hemopoesis ekstramedular, menekan konsumsi
darah berlebih, dan mengurangi absorpsi besi dari saluran cerna.
3. Jika nilai Hb <6 gr/dL, dan atau kadar Hb berapapun tetapi dijumpai
klinis gagal jantung maka volume darah yang ditransfusikan dikurangi
menjadi 2-5 ml/kg/kali dan kecepatan transfusi dikurangi hingga 2
mL/kg per jam untuk menghindari kelebihan cairan/overload.
4. Darah yang diberikan adalah golongan darah donor yang sama (ABO,
Rh) untuk meminimalkan alloimunisasi dan jika memungkinkan
menggunakan darah leucodepleted yang telah menjalani uji skrining
nucleic acid testing (NAT) untuk menghindari/meminimalkan
tertularnya penyakit infeksi lewat transfusi.
5. Darah yang sudah keluar dari bank darah sudah harus ditransfusikan
dalam waktu 30 menit sejak keluar dari bank darah. Lama waktu sejak
darah dikeluarkan dari bank darah hingga selesai ditransfusikan ke
tubuh pasien maksimal dalam 4 jam. Transfusi darah dapat dilakukan
lebih cepat (durasi 2-3 jam) pada pasien dengan kadar Hb > 6 gr/dL.
6. Nilai Hb dinaikan secara berlahan hingga target Hb 9 gr/dL. Diuretik
furosemid dipertimbangkan dengan dosis 1 hingga 2 mg/kg pada
pasien dengan masalah gangguan fungsi jantung atau bila terdapat
klinis gagal jantung. Pasien dengan masalah jantung, kadar Hb
pratransfusi dipertahankan 10-12 g/dL. Pemberian transfusi diberikan
dalam jumlah kecil tiap satu hingga dua minggu.

31
7. Interval antar serial transfusi adalah 12 jam, namun pada kondisi
anemia berat interval transfusi berikutnya dapat diperpendek menjadi
8-12 jam.
8. Setiap kali kunjungan berat badan pasien dan kadar Hb dicatat, begitu
pula dengan volume darah yang sudah ditransfusikan. Data ini
dievaluasi berkala untuk menentukan kebutuhan transfusi pasien.
Pasien tanpa hipersplenisme kebutuhan transfusi berada di bawah 200
mL PRC/kg per tahun. Prosedur transfusi mengikuti/sesuai dengan
panduan klinis dan laboratoris masing-masing senter. Pada saat
transfusi diperhatikan reaksi transfusi yang timbul dan kemungkinan
terjadi reaksi hemolitik. Pemberian asetaminofen dan difenhidramin
tidak terbukti mengurangi kemungkinan reaksi transfusi.

Gambar 4. Alur Transfusi Darah

32
D. Jenis produk darah yang digunakan
Idealnya darah yang ditransfusikan tidak menyebabkan risiko atau
efek samping bagi pasien. Beberapa usaha mulai dari seleksi donor,
pemeriksaan golongan darah, skrining darah terhadap infeksi menular
lewat transfusi darah (IMLTD), uji silang serasi (crossmatch), dan
pengolahan komponen telah dilakukan untuk menyiapkan darah yang
aman. Beberapa teknik pengolahan komponen darah sudah dapat
dilakukan untuk meningkatkan keamanan darah. Tersedianya
komponen darah yang aman akan menunjang pemberian transfusi darah
secara rasional dan berdasarkan indikasi yang tepat.
Thalassemia mayor membutuhkan transfusi secara teratur sehingga
perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
a. Produk darah yang digunakan hendaknya PRC rendah leukosit
(leukodepleted) yang telah menjalani uji skrining NAT dan
menggunakan produk darah yang telah dicocokkan dengan darah
pasien.
b. Penggunaan pre-storage filtration terbukti lebih baik
dibandingkan dengan bed side filtration. Pada pre-storage filtration,
leukosit akan difilter sebelum sempat mengeluarkan sitokin,
sehingga reaksi transfusi berupa febrile non hemolytic transfusion
reaction (FNHTR) dapat lebih dihindari, yang penyebabnya selain
alloimunisasi oleh human leukocyte antigen (HLA) juga karena
keberadaan sitokin dalam komponen darah.
c. Penggunaan whole bood pada pasien dengan transfusi rutin dapat
menyebabkan reaksi transfusi non-hemolitik.
d. Apabila darah leukodepleted dengan skrining NAT tidak tersedia
dapat dipertimbangkan darah yang berasal dari donor tetap untuk
mengurangi risiko penyakit yang ditransmisikan melalui darah,
alloimunisasi, dan reaksi transfusi lainnya.
e. Komplikasi dari transfusi dapat dikurangi dengan pemilihan
produk darah tertentu seperti PRC cuci, sel darah merah beku/ frozen

33
(cryopreserved red cells), dan donor tetap, walaupun pada
thalassemia yang membutuhkan transfusi darah berulang idealnya
mendapatkan PRC leukodepleted.

E. Reaksi transfusi dan tata laksananya


Bila terjadi reaksi transfusi, tata laksana disesuaikan berdasarkan
berat ringannya reaksi transfusi.
 Demam sebagai reaksi transfusi non-hemolitik (febrile
nonhemolytic transfusion reactions/ FNHTR) Reaksi transfusi
ini sering terjadi beberapa dekade lalu, namun dengan
penggunaan PRC leukodepleted kejadiannya semakin jarang.
 Reaksi alergi dimediasi oleh IgE, biasanya dipicu oleh protein
plasma, dan dapat bermanifestasi ringan hingga berat. Reaksi
ringan seperti urtikaria, gatal, dan ruam kemerahan, sedangkan
gejala yang berat meliputi stridor, bronkospasme, hipotensi,
hingga reaksi anafilaksis.
 Reaksi hemolitik akut Reaksi ini dapat terjadi dalam hitungan
menit sampai beberapa jam setelah transfusi. Gejala yang
ditimbulkan adalah demam mendadak, menggigil, nyeri tulang
belakang, sesak, hemoglobinuria, dan syok. Reaksi ini dapat
timbul karena produk darah yang diberikan tidak sesuai dengan
darah pasien.
 Reaksi lambat transfusi
Reaksi lambat terjadi dalam 5 hingga 14 hari setelah
transfusi, ditandai dengan anemia yang terjadi tiba-tiba, ikterik,
dan malaise. Reaksi ini terjadi apabila alloantibodi tidak
terdeteksi pada saat transfusi dilakukan atau terdapat
pembentukan antibodi baru.
 Anemia hemolitik autoimun
Anemia hemolitik autoimun adalah komplikasi serius akibat
transfusi darah. Darah yang diberikan mungkin kompatibel pada

34
pemeriksaan awal, namun umur eritrosit sangat pendek dan kadar
Hb turun di bawah kadar Hb pratransfusi biasanya. Destruksi
darah terjadi pada darah pasien dan donor serta evaluasi serologi
menunjukkan reaksi antigen-antibodi luas. Kondisi ini dapat
diatasi dengan pemberian steroid, agen imunosupresan, dan
imunoglobulin intravena. Kejadian ini umumnya terjadi pada
transfusi pada usia dewasa.
 Transfusion-related acute lung injury
Transfusion-related acute lung injury (TRALI) adalah
komplikasi berat yang mungkin terjadi akibat anti-neutrofil atau
antibodi anti-HLA.35 Komplikasi ini ditandai oleh dispnu,
takikardia, demam, dan hipotensi dalam jangka waktu 6 jam
setelah transfusi. Pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan
infiltrat di seluruh lapang paru atau gambaran edema paru. Tata
laksana TRALI bersifat suportif meliputi pemberian oksigen,
steroid, diuretik, dan pada kondisi yang berat dapat diperlukan
ventilasi mekanik.

 Transfusion-induced graft-versus-host disease

Transfusion-induced graft-versus-host disease (TI-GVHD)


disebabkan oleh limfosit hidup yang berada dalam darah donor.
Kondisi ini jarang terjadi dan bersifat fatal. Risiko mengalami TI-
GVHD lebih tinggi pada pasien imunokompromais, atau pasien
imunokompeten yang mendapatkan darah dari anggota keluarga
yang memiliki TIGVHD. Reaksi terjadi dalam 1 hingga 4 minggu
setelah transfusi, ditandai dengan demam, ruam, disfungsi hati,
diare, dan pansitopenia akibat kegagalan sumsum tulang. Untuk
mengurangi risiko TI-GVHD hindari transfusi dari anggota
keluarga/ donor haploidentikal. Transfusi menggunakan
leucodepleted saja tidak mengurangi risiko ini.

35
 Transfusion-associated circulatory overload
Transfusion-associated circulatory overload (TACO) terjadi
pada kondisi disfungsi jantung atau pada pemberian transfusi
yang terlalu cepat. Reaksi ditandai dengan sesak dan takikardia,
sedangkan foto toraks menunjukan edema pulmonal. Tata laksana
ditujukan untuk mengurangi volume darah dan meningkatkan
fungsi jantung. Pertimbangkan penggunaan oksigen, diuretik, dan
obat gagal jantung bila diperlukan.
 Transmisi agen infeksius
Transfusi darah dapat mentransmisikan agen infeksius seperti
bakteri, virus, dan parasit. Hal ini masih dapat terjadi karena
beberapa kemungkinan berikut: a. Jenis dan jumlah pemeriksaan
untuk mendeteksi patogen masih terbatas. Masih banyak skrining
patogen yang belum dapat dilakukan. b. Transmisi virus masih
dapat terjadi karena masih dalam window period dan beberapa
alat tes yang ada tidak spesifik. c. Munculnya agen infeksius baru.

F. Monitoring pada saat transfusi


Sesaat sebelum transfusi diberikan, pastikan kembali beberapa data
penting pasien yaitu identitas diri, kadar Hb pratransfusi, dan jumlah
darah yang akan diberikan. Transfusi dilakukan di tempat yang
memadai dengan petugas kesehatan terlatih. Tanda vital dipantau
berkala sebelum, selama, dan setelah transfusi. Bila terjadi reaksi
transfusi, segera hentikan transfusi dan evaluasi kegawatan pada pasien
sehingga tindakan antisipasi dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.

Apabila dicurigai terjadi reaksi transfusi, hentikan transfusi segera,


dan berikan cairan intravena untuk mempertahankan volume
intravaskular. Pemberian diuretik dipertimbangkan dalam kondisi
terjadi penurunan fungsi ginjal. Apabila terjadi koagulasi intravaskular
diseminata (KID) dapat diberikan heparin. Identitas donor dan

36
penerima darah diperiksa ulang dan bank darah harus mencari
kemungkinan adanya alloantibodi yang tidak terdeteksi.

1.7.2 Kelasi Besi


Kelebihan besi dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang di berbagai
sistem organ. Pemberian terapi kelasi besi dapat mencegah komplikasi kelebihan
besi dan menurunkan angka kematian pada pasien thalasemia.
 Indikasi kelasi besi
Terapi kelasi besi bertujuan untuk detoksifikasi kelebihan besi yaitu
mengikat besi yang tidak terikat transferin di plasma dan mengeluarkan besi dari
tubuh. Kelasi dimulai setelah timbunan besi dalam tubuh pasien signifikan, yang
dapat dinilai dari beberapa parameter seperti jumlah darah yang telah
ditransfusikan, kadar feritin serum, saturasi transferin, dan kadar besi hati/ liver
iron concentration – LIC (biopsi, MRI, atau feritometer).
LIC minimal 3000 ug/g berat kering hati merupakan batasan untuk memulai
kelasi besi namun biopsi adalah tindakan yang invasif sehingga beberapa
parameter lain menjadi pilihan. Pemberian kelasi besi dimulai bila kadar feritin
serum darah sudah mencapai 1000 ng/mL, atau saturasi transferin >70%, atau
apabila transfusi sudah diberikan sebanyak 10-20 kali atau sekitar 3-5 liter.
Kelasi besi kombinasi diberikan jika kadar feritin serum >2500 ng/mL yang
menetap minimal 3 bulan, apabila sudah terjadi kardiomiopati, atau telah terjadi
hemosiderosis jantung pada pemeriksaan MRI T2* (<20 ms). Terapi kelasi besi
memerlukan komitmen yang tinggi dan kepatuhan dari pasien dan keluarga.
Jenis kelasi besi yang terbaik adalah yang dapat digunakan pasien secara
kontinu, dengan mempertimbangkan efektifitas, efek samping, ketersediaan
obat, harga, dan kualitas hidup pasien. Tiga jenis kelasi besi yang saat ini
digunakan adalah desferoksamin, deferipron, dan deferasiroks.
Desferoksamin merupakan terapi lini pertama pada anak. Bila tingkat
kepatuhan buruk atau pasien menolak, deferipron atau deferaksiroks dapat
menjadi alternatif. Terapi kombinasi kelasi besi saat ini terbatas pada kondisi

37
kelebihan besi yang tidak dapat diatasi dengan monoterapi atau telah terdapat
komplikasi ke jantung. Klinisi perlu memperhatikan cost and benefit dalam
memutuskan kelasi mana yang akan digunakan dan berbagai kelebihan serta
kekurangan kelasi besi harus diinformasikan secara jelas kepada pasien dan
orangtua. Keputusan yang diambil pada akhirnya dibuat berdasarkan
kesepakatan dan kenyamanan pasien.

Gambar 5. Alur pemberian kelasi besi

38
Desferoksamin (Desferal, DFO)

Desferoksamin adalah kelator besi yang telah banyak diteliti dan terbukti
menunjukkan efek yang dramatis dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas
pasien thalassemia. Bioavailabilitas oralnya buruk sehingga harus diberikan secara
subkutan, intravena, atau terkadang intramuskular. DFO juga memiliki waktu paruh
yang pendek (30 menit) sehingga diberikan dalam durasi 8-12 jam per hari, 5-7
kali per minggu.

Desferoksamin diberikan dengan dosis 30–60 mg/kg per kali, dengan


kecepatan maksimal 15 mg/kg/jam dan total dosis per hari tidak melebihi 4-6 gram.
Jarum dipasang di paha atau perut hingga mencapai dermis dan dihubungkan
dengan syringe pump. Jika pump tidak tersedia maka DFO dapat diberikan secara
drip intravena, dalam NaCl 0,9% 500 mL. Asam askorbat (vitamin C) dapat
meningkatkan ekskresi besi jika diberikan bersamaan dengan desferoksamin,
sehingga vitamin C dikonsumsi per oral dengan dosis 2-4 mg/kg/hari (100-250 mg)

segera setelah infus desferoksamin dimulai.25,37

Desferoksamin tidak disarankan pada pasien anak di bawah usia 2 tahun


karena risiko toksisitas yang lebih tinggi pada usia lebih muda dan pada pasien
dengan timbunan besi minimal. Desferoksamin dengan dosis lebih tinggi yaitu 60-
100 mg/kg berat badan per hari, 24 jam per hari, 7 hari per minggu, secara intravena,
diindikasikan pada pasien dengan hemosiderosis berat dan disfungsi organ vital
misalnya kardiomiopati atau gagal jantung.

Deferipron (Ferriprox, DFP, L1)

Deferipron merupakan kelator oral yang telah banyak digunakan di dunia.


Deferipron mampu menurunkan timbunan besi dalam tubuh, bahkan lebih efektif
menurunkan besi di jantung dibandingkan desferoksamin. Dosis yang diberikan
adalah 75-100 mg/kg per hari, dibagi dalam 3 dosis, diberikan per oral sesudah
makan.

39
Deferasiroks (Exjade/DFX)

Deferasirox adalah kelator oral berupa tablet dispersible. Bioavailabilitas


oralnya baik dan waktu paruhnya panjang sehingga sesuai untuk pemberian 1 kali
per hari. Dosis dimulai dari 20 hingga 40 mg/kg/hari. Tablet dicampurkan ke dalam
air, jus apel, atau jus jeruk, dan sebaiknya dikonsumsi dalam keadaan perut kosong
30 menit sebelum atau setelah makan.

Suplemen Asam Folat Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu
pembangunan sel-sel darah merah yang sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di
samping melakukan transfusi darah ataupun terapi khelasi besi.. Asam Folat  2x1
mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.

Splenektomi

Indikasi :

 Limpa yang terlalu besar sehingga


membatasi gerak pasien,
menimbulkan peningkatan tekanan
intra-abdominal dan bahaya
terjadinya ruptur
 Meningkatnya kebutuhan tranfusi
yang melebihi 250ml/kgBB dalam
1 tahun terakhir

40
D. Transplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang untuk talasemia pertama kali dilakukan tahun


1982. Transplantasi sumsum tulang merupakan satu-satunya terapi definitive untuk
talasemia. Jarang dilakukan karena mahal dan sulit.

1.8 Komplikasi
Komplikasi pada thalassemia dapat terjadi akibat penyakit dasarnya, akibat
pengobatan, dan akibat terapi kelasi besi, sehingga pemantauan komplikasi
yang terjadi perlu dilakukan terus-menerus. Komplikasi akibat penyakit dasar
meliputi anemia berat, komplikasi jantung yang berkaitan dengan anemia,
fraktur patologis, komplikasi endokrin, gagal tumbuh, gizi kurang, perawakan
pendek, dan pembesaran organ-organ abdomen yang menekan organ
sekitarnya.
Komplikasi pengobatan (akibat transfusi) yaitu penumpukan besi pada
organ jantung (kardiomiopati), hemosiderosis hati, paru, dan organ endokrin.
Transmisi berbagai virus melalui transfusi juga dapat terjadi, khususnya
hepatitis B, hepatitis C, malaria, dan HIV. Risiko saat transfusi seperti kelebihan
darah atau transfusi yang terlalu cepat dapat menimbulkan gagal jantung, dan
dapat terjadi reaksi hemolitik akibat ketidakcocokan darah yang diberikan.
Kelebihan besi yang telah terjadi dalam jaringan tubuh sangat sulit diatasi
karena hanya sedikit kelator besi yang dapat mengikat kelebihan besi dalam
jaringan dan memerlukan waktu yang lama untuk dapat mengembalikan kadar
besi tubuh ke tingkat yang aman.
Komplikasi akibat terapi kelasi besi bergantung dari kelator yang diberikan.
Desferoksamin dapat menyebabkan komplikasi pada pendengaran, gangguan
penglihatan, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta menyebabkan gangguan
pertumbuhan. Deferipron terutama menyebabkan neutropenia, gangguan fungsi
hati, dan ginjal. Deferasiroks menyebabkan gangguan fungsi hati dan ginjal.
Komplikasi pada jantung akibat kelebihan besi umumnya terjadi pada awal
dekade kedua dan merupakan penyebab kematian (71%) dan penyebab
morbiditas utama pada thalassemia. Kematian akibat penyakit jantung terjadi

41
pada usia 15-30 tahun. Komplikasi ini dilaporkan pernah terjadi pula pada
pasien berusia 10 tahun, sehingga skrining awal komplikasi jantung sudah dapat
dimulai pada usia 8 tahun untuk mengidentifikasi kelainan dini sebelum terjadi
gangguan jantung simtomatik.
Data yang diperoleh dari pusat thalassemia RSCM Jakarta berdasarkan
penelitian pemeriksaan MRI T2* dari 122 subyek dengan usia rerata 15 tahun
didapatkan komplikasi jantung adalah derajat berat sebanyak 5,7%, sedang 9%,
ringan hingga normal sebanyak 85,3%.
Diagnosis komplikasi jantung dapat ditemukan gejala yang berupa nyeri
dada dan palpitasi, aritmia, dan tanda-tanda gagal jantung secara umum. Perlu
disingkirkan kemungkian etiologi penyakit jantung yang berasal akibat
penyakit lain terkait thalassemia seperti hipotiroid, hipokalsemia, diabetes yang
tidak terkontrol, infeksi akut, trombosis, dan hipertensi pulmoner.
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan untuk membantu mendeteksi
komplikasi pada jantung meliputi pemeriksaan profil besi, EKG,
ekokardiografi, dan MRI T2*. Penanganan jantung dilakukan bersama dengan
divisi kardiologi anak. Komplikasi ini timbul terutama pada pasien dengan
kadar feritin serum di bawah 2500 µg/L, namun pemeriksaan feritin serum
sesungguhnya tidak sensitif untuk menilai kelebihan besi dan kardiomiopati.
Gagal jantung, aritmia, dan kematian mendadak masih dapat timbul pada pasien
asimptomatik dengan kadar feritin dibawah 2500 µg/L. Komplikasi pada
jantung masih reversibel dengan pemberian kelasi besi yang intensif.
Pemeriksaan ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang relatif mudah,
murah, dan dapat dilakukan untuk memonitor fungsi jantung secara rutin.
Pemeriksaan ini dapat menilai fungsi sistolik jantung dengan mengukur fraksi
ejeksi dengan mengukur tinggi gelombang E, A dan rasio E/A serta mengukur
volume ventrikel. Pemeriksaan EKG dapat mendeteksi aritmia. Pemeriksaan
paling baik untuk deteksi awal dan menilai kelebihan besi pada jantung adalah
dengan pemeriksaan MRI T2*. Hasil MRI T2* harus dipertahankan >20 ms.
Di negara maju pemeriksaan ini dilakukan pada semua pasien thalasemia sejak
usia 8 tahun. Pemeriksaan ulang bergantung dari nilai T2*, bila >20 ms maka

42
MRI T2* diulang tiap 2 tahun, 10-20ms tiap tahun, <10 ms tiap 6 bulan, atau
tiap 3 bulan bila <10 ms dengan tanda gagal jantung jelas.
Tata laksana komplikasi jantung adalah dengan pemberian kelasi besi secara
intensif dengan menaikan dosis, pemakaian obat antigagal jantung, dan
antiaritmia. Transfusi dilakukan dengan kecepatan yang lebih lambat, target Hb
pratransfusi sekitar 10 g/dL, dan selama transfusi perlu memperhatikan tanda-
tanda overload cairan.
Kelasi besi paling efektif untuk timbunan besi di jantung Sampai saat ini
penelitian yang dilakukan belum sepakat menyimpulkan kelasi mana yang
terbaik untuk timbunan besi di jantung. Metaanalisis oleh Mamtani dan
Kulkarni pada tahun 2007 mengikutsertakan 7 studi terdahulu (2002-2007)
yang membandingkan DFO dan DFP atau kombinasinya untuk memperbaiki
parameter besi jantung, dengan pengukuran MRI T2*. Effect size DFP dan DFO
tidak berbeda bermakna sedangkan jumlah subyek untuk terapi kombinasi
masih terlalu sedikit untuk diambil kesimpulan.
Penanganan siderosis jantung asimtomatik dapat mengggunakan
monoterapi kelasi besi; desferoksamin 40-60 mg/kg/hari dengan menaikkan
frekuensi dari 5 menjadi 7 hari selama 8 hingga 24 jam atau dosis deferipron
dinaikkan 90-100 mg/kg/hari. Alternatif lain adalah terapi kombinasi dengan
menggunakan deferoksamin subkutan 40-50 mg/kg/hari sekurangnya 5 kali
seminggu ditambah dengan deferipron oral 75 mg/kg/hari.
Siderosis jantung simtomatik memerlukan desferoksamin intravena kontinu
dengan dosis 50-60 mg/kg/hari. Terapi kombinasi menggunakan deferipron 75
mg/kg/hari ditambah dengan desferoksamin 40-50 mg/kg/hari sekurangnya 5
kali perminggu dapat pula menjadi pilihan, sedangkan belum ada data yang
mendukung penggunaan deferipron monoterapi pada gagal jantung.
Penggunaan obat gagal jantung seperti diuretik, ACE inhibitor, penghambat
beta, dan antiaritmia disesuaikan dengan kondisi jantung dan disupervisi oleh
kardiolog anak. Kolaborasi antara hematolog dan kardiolog anak diperlukan
untuk menatalaksana komplikasi jantung yang terkait thalassemia. Untuk
menghindari penyakit jantung simtomatik dan mencegah kematian di usia muda

43
maka perlu dilakukan optimalisasi kelasi besi, aktivitas fisis, nutrisi yang baik,
serta menghindari konsumsi alkohol dan rokok. Deteksi dini hemosiderosis
pada jantung merupakan kunci untuk menghindari ireversibilitas gangguan
jantung.

1.9 Prognosis
Prognosis thalassemia minor sangat baik. Sebuah peningkatan risiko
cholelithiasis, terutama dalam kaitannya dengan mutasi. Penderita thalassemia
intermedia yang tidak biasanya hemosiderosis berat kurang rentan terhadap
masalah jantung lemas. Namun, pulmonary hypertension, throm-komplikasi
boembolik, luar biasa sepsis postplenektomi, dan perkembangan hepatobil
karsinoma dapat mengurangi kelangsungan hidup pada kelompok pasien ini.
Prognosis utama betathalassemia sangat suram sebelum ada perawatan yang
tersedia. Tanpa pengobatan- Namun, sejarah alam adalah untuk mati pada usia
lima tahun infeksi dan cachexia. Kemajuan pertama dalam pengobatan adalah
inisiasi transfusi darah episodik ketika pasien mengalami waktu yang sangat
buruk.
Dengan Munculnya terapi jenis ini, kelangsungan hidup berkepanjangan
dekade kedua, tetapi segera menjadi jelas bahwa pengobatan yang
menyelamatkan nyawa pada anak-anak menyebabkan kematian penyakit
jantung pada masa remaja atau anak usia dini. Prognosis untuk individu dengan
betathalassemia mayor telah dra-matically ditingkatkan dengan munculnya
DFO. Namun, banyak pasien yang bergantung pada transfusi terus berlanjut
mengembangkan akumulasi besi progresif. Ini bisa memimpin kerusakan
jaringan dan akhirnya kematian, terutama dari penyakit jantung. Kemajuan
dalam transfusi sel darah merah, dan pengenalan chelators dan chelation regules
baru telah memperpanjang kelangsungan hidup lebih lanjut dalam beberapa
tahun terakhir.
Penilaian siderosis miokardial dan pemantauan fungsi jantung
dikombinasikan dengan intensifikasi zat besi chelation telah mengubah satu
penyakit yang mematikan secara universal untuk penyakit kronis dan prognosis

44
jangka panjang yang sangat baik diharapkan untuk anak-anak yang telah
chelated sejak usia sangat muda. Transplantasi sumsum tulang saat ini adalah
satu-satunya obat definitif yang tersedia untuk pasien dengan thalassemia
utama.

1.10 Pencegahan & Skrining

Bila populasi tersebut hendak memiliki pasangan, dilakukan skrining


premarital. Penting sekali menyediakan program konselin verbal dan tertulis
mengenai hasil skring.

Alternatif lain, memeriksakan setiap wanita hamil muda berdasarkan ras.


Skrining yang efektif adalah melalui eritrosit. Bila MCV dan MCH sesuai
gambaran thalasemia, perkiraan kadar HbA harus diukur. Bila kadarnya normal,
pasien dikirim ke pusat yang menganalisis gen. Penting untuk memeriksa Hb
elektroforesa pada kasus-kasus ini untuk mencari kemungkinan variasi struktural
Hb. Terdapat dua pendekatan untuk pencegahan thalasemia:

1. Karena karier B thalasemia bisa diketahui dengan mudah, skrining populasi dan
konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1 dari 4
anak mereka bisa menjadi homozigot atau gabungan heterozigot.
2. Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa diperiksa
dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan
terminasi kehamilan pada fetus dengan talasemia B berat.

45
KESIMPULAN

Pasien Anak S M adalah seorang yang terkena penyakit thalassemia dengan


riwayat transfusi berulang. Penyakit thalassemia merupakan penyakit keturunan
yang masih sering kita temui sehari-hari dan masih menjadi masalah yang serius
karena angka mortalitasnya yang masih terbilang tinggi. Thalassemia merupakan
penyakit kronik yang memerlukan tata laksana komprehensif. Upaya diagnosis, tata
laksana transfusi, kelasi besi, pemantauan dan manajemen komplikasi, pemantauan
tumbuh kembang, dan upaya konseling serta skrining karier merupakan satu
kesatuan dalam penatalaksanaan pasien dengan thalassemia.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. KEMENKES. (2018). 11. KEMENKES. Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor HK.01.07 / MENKES / 1 / 2018 Tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Thalasemia, 1 ed. Jakarta: Menteri
Kesehatan Republik Indonesia; 2018. . Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia. 1 - 90.
2. Permono, Bambang. (2012). Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak. Jakarta:
Badan Penerbit. IDAI
3. PPM IDAI (Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia). 2010.
Thalasemia. IDAI jilid 1. Hal 299-302.
4. Panepinto, J A et al. 2011. Hematologi, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial.
Edisi ke-6. Hal 601-612.

47

Anda mungkin juga menyukai