I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : An. S M
Tempat dan Tanggal Lahir : Serang, 05 Mei 2007
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kp. Pabuaran, Anyer
Pendidikan :-
Tanggal Masuk : 12 Juli 2018 Jam 14.00 WIB
No. CM : 896 xxx
II. ANAMNESIS
Anamnesis menggunakan teknik alloanamnesis kepada ibu kandung pasien
pada tanggal 13 Juli 2018 di Bangsal Melati B RSUD Cilegon.
A. Keluhan Utama
Lemas sejak tiga hari sebelum masuk Rumah Sakit
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Anak RSUD diantar dengan ibunya untuk
kontrol bulanan penyakit yang dideritanya yaitu thalassemia pada 12
Juli 2018. Anak mengeluh lemas sejak 3 hari yang lalu, dan lemas
dirasakan sepanjang hari sehingga anak sulit untuk beraktivitas.
Keluhan demam, batuk, pilek, mual dan muntah disangkal. BAB dan
BAK normal. Nafsu makan pasien menurun namun masih banyak
minum.
1
C. Riwayat penyakit dahulu
2
b. Riwayat persalinan :
Pasien lahir dari ibu G7P7A0, cukup bulan, lahir spontan ditolong oleh
paraji dirumah. Berat badan lahir tidak diketahui, panjang badan dan
lingkar kepala tidak diketahui, serta lahir langsung menangis dan tidak
adanya riwayat biru pada saat lahir.
F. Riwayat Makanan
- Umur 0 - 6 bulan
Pasien mengonsumsi ASI tanpa tambahan makanan lain.
- Umur 6 bulan - 3 tahun
Pasien mengonsumsi ASI diselingi susu formula dan bubur bayi.
- Umur 3 tahun – sekarang
Pasien mengkonsumsi nasi dan lauk pauk
G. Perkembangan
1. Pasien mulai merangkak pada usia 1 tahun
2. Pasien hanya bisa merangkak dan menggeser-geser
badannya pada usia 2-5 tahun
3. Pasien dapat mengatakan “abah, emak, teteh” pada usia 2
tahun
4. Pasien menjadi jarang berbicara sejak usia 4 tahun
5. Pasien mulai dapat berdiri pada usia 5 tahun
6. Pasien dapat berjalan lancar pada usia 6 tahun
H. Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengatakan bahwa imunisasi pada anak tidak lengkap, dan
tidak melanjutkan imunisasi semenjak terdapat kelainan pada anak
3
berupa keluhan lemas, pucat, berat badan tidak bertambah dan sering
sakit.
Macam Dasar
I II III IV
BCG 1 bulan (+) - - -
Hepatitis B Lahir (-) 2 bulan (-) 3 bulan (+) 4 bulan (+)
Polio 2 bulan (+) 3 bulan (+) 4 bulan (+) 18 bulan (-)
DPT 2 bulan (+) 3 bulan (+) 4 bulan (+) 18 bulan (-)
Campak 9 bulan (-) - - 18 bulan (-)
Lingkungan
4
PEMERIKSAAN FISIK:
A. Pemeriksaan Umum:
1. Kesan Umum : Terlihat sakit sedang
3. Tanda Utama :
Suhu : 36,0 0 C
4. Status Gizi:
Antropometris:
5
BB/U : 20kg/11th berada pada percentil 25-50.
BB aktual x 100% / BB Baku untuk Umur : (20kg/37kg)x 100%= 54%
Gizi Buruk.
6
TB/U = 117/11 tahun berada pada percentil 50-75
Tinggi actual x 100%/ Tinggi baku untuk umur = 117cm/144cm x 100%= 81,2 %
Moderate Stunting.
B. Pemeriksaan Khusus
1. Kepala :
Rambut coklat dan tipis, wajah facies cooley
2. Kulit :
Terlihat pucat pada wajah dan hiperpigmentasi pada tubuh.
7
3. Mata :
Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+, pupil bulat dan isokor,
pergerakan bola mata baik.
4. Telinga :
Bentuk normal, liang telinga luas, tidak ada sekret atau serumen,
tidak ada darah, tidak ada tanda radang, membran timpani intak.
5. Hidung :
Tidak terdapat nafas cuping hidung, tidak deviasi septum, tidak ada
sekret, dan tidak hiperemis, tidak ada epistaksis
6. Tenggorokan :
Uvula tidak deviasi, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak
hiperemis
7. Mulut :
Bibir kering dan pucat, gigi geligi lengkap, gusi tidak hipertropi,
lidah tidak kotor, mukosa mulut basah.
8. Leher :
Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada submentalis,
subklavikula, pre-aurikula, oksipital, sternocleidomastoideus, dan
supraklavikula. trakea tidak deviasi
9. Dada :
a. Jantung
8
b. Paru
9. Abdomen
10. Ekstremitas:
9
11. Anogenital:
10
Pemeriksaan darah rutin pos-transfusi
Hemoglobin: 11.6 g/dl n: 11,5 – 14,5
A . ANAMNESIS
Pasien datang ke Poli Anak RSUD C diantar dengan ibunya untuk kontrol
bulanan penyakit yang dideritanya yaitu thalassemia.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Terlihat sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Suhu : 36,0 OC
Nadi : 100x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Kepala : Rambut coklat dan tipis, wajah facies cooley
Mata : Konjunctiva anemis (+/+), Sklera ikterik
(+/+)
THT : Sekret (-), epistaksi (-), faring hiperemis (-
),tonsil T1-T1 tidak hiperemis
11
COR : BJ I & II reguler, murmur (-) gallop (-)
Paru : Suara nafas vesikuler rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
Abdomen : Perut terlihat tidak simetris, Bising usus (+),
pembesaran hepar 2/3 dan lien (+) schuffner 4
Ekstremitas:
Superior : Akral hangat, sianosis -/-, oedema -/-
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan kadar ferritin
Pemeriksaan darah lengkap post transfusi
B. Rencana Pengobatan
Transfusi Packed Red Cell (PRC) 616 cc
IVFD Kaen 1B + KCL 10 mEq 16 TPM
Inj. Furosemide 20mg
Oksigen 2 liter/menit
12
Exjade (Deferasiroks) 1 x 500 mg
Asam folat 2 x 1 mg
C. Rencana Pemantauan
Kriteria pemulangan pasien rawat jalan :
Target Hb 11 g/dL
D. Rencana Edukasi
Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai pentingnya
melakukan kontrol dan transfusi setiap bulan
Memberi penjelasan tentang efek samping dari transfusi darah
jangka panjang
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Ad Malam
Quo ad functionam : Ad Malam
Quo ad sanationam : Ad Malam
13
X. FOLLOW UP
12 Juli 2018 11.00 WIB (Poli Anak RSUD C)
S O A P
Pasien datang untuk Pasien terlihat Thalasemia PRC 616 ml
kontrol rutin pucat dan lemas,
thalasemia, orang Hb: 4,3 gr/dL
tua pasien Bunyi Jantung I-II
mengatakan normal
anaknya lemas dan
pucat
12 Juli 2018
S O A P
Orang tua pasien Keadaan umum: Thalassemia IVFD Kaen 1B +
mengatakan Tampak sakit sedang KCL 10 mEq 16
anaknya masih Kesadaran: TPM
lemas, pucat, dan Composmentis Terpasang O2
kurang nafsu Furosemide 10mg
makan. Demam (- S = 36,5o C PRC I = 100ml
), keluhan mual, HR = 124x/menit (12/07/18 pukul
muntah, batuk, RR = 28x/menit 16.00 – 20.00 wib)
pilek dan diare TD = 90/60 mmHg
disangkal Kepala: Normocephal PRC II = 200ml
Kulit: Tampak pucat PRC III = 250ml
Mata: Conjungtiva
Anemis (+/+)
Sklera Ikterik (+/+)
Leher: Pembesaran
KGB (-)
Hidung: Sekret (-)
Telinga: Sekret (-)
Tenggorokan:
Hiperemis (-)
Thorax: Simetris,
Rh(-) Wh (-)
Jantung: BJ I & II n.
M (-) G (-)
Abdomen: Suepel,
Bising usus (+),
Hepatosplenomegali
(+) Schuffner 3
Extremitas: Akral
hangat.
Lain-lain: Golongan
darah AB
14
13 Juli 2018
S O A P
Orang tua pasien Keadaan umum: Thalassemia IVFD Kaen 1B +
mengatakan lemas Tampak sakit ringan KCL 10 mEq 16
pada anak sudah Kesadaran: TPM
berkurang, tidak Composmentis Terpasang O2
pucat, nafsu makan Furosemide 20mg
mulai membaik. S = 36o C PRC I = 100ml
Demam (-), HR = 98x/menit (12/07/18 pukul
keluhan mual, RR = 48x/menit 16.00-20.00 wib)
muntah, batuk, TD = 100/70 mmHg PRC II = 200ml
pilek dan diare (13/07/18 pukul
disangkal Kepala: 16.00-20.00 wib)
Normocephal PRC III = 250ml
Mata: Conjungtica
Anemis (+/+)
Sklera Ikterik (+/+)
Leher: Pembesaran
KGB (-)
Hidung: Sekret (-)
Telinga: Sekret (-)
Tenggorokan:
Hiperemis (-)
Thorax: Simetris,
Rh(-) Wh (-)
Jantung: BJ I & II n.
M (-) G (-)
Abdomen: Suepel,
Bising usus (+)
Hepatosplenomegali
(+) Schuffner 3
Extremitas: Akral
hangat
Lain-lain: Golongan
darah AB
14 Juli 2018
S O A P
Orang tua pasien Keadaan umum: Perubahan perfusi IVFD Kaen 1B +
mengatakan Baik jaringan KCL 10 mEq 16
anaknya sudah Kesadaran: TPM
tidak lemas. Composmentis Terpasang O2
Makan dan minum S = 36,1o C Inj. Furosemide
sudah banyak. HR = 90x/menit 20mg
15
Demam (-), RR = 28x/menit PRC I = 100ml
keluhan mual, TD = 90/60 mmHg (12/07/18 pukul
muntah, batuk, Kepala: 16.00-20.00 wib)
pilek dan diare Normocephal PRC II = 200ml
disangkal Kulit: Tampak pucat (13/07/18 pukul
dan hiperpigmentasi 16.00-20.00 wib)
Mata: Conjungtiva PRC III = 250ml
Anemis (-/-) (14/07/18 pukul
Sklera Ikterik (+/+) 13.10-16.30 wib)
Leher: Pembesaran Oral :
KGB (-) Exjade
Hidung: Sekret (-) (Deferasiroks)
Telinga: Sekret (-) 1x500 mg
Tenggorokan: Asam folat 2x1mg
Hiperemis (-)
Thorax: Simetris,
Rh(-) Wh (-)
Jantung: BJ I & II n.
M (-) G (-)
Abdomen: Suepel,
Bising usus (+),
Hepatosplenomegali
(+) Schuffner 3
Extremitas: Akral
hangat.
Lain-lain: Golongan
darah AB
Hb Post transfusi :
9,5 g/dl
15 Juli 2018
S O A P
Orang tua pasien Keadaan umum: Perubahan perfusi IVFD Kaen 1B +
mengatakan Baik jaringan KCL 10 mEq 16
anaknya sudah Kesadaran: TPM
tidak lemas. Composmentis Terpasang O2
Makan dan minum S = 36,5o C Inj. Furosemide
sudah banyak. HR = 100x/menit 20mg
Demam (-), RR = 28x/menit PRC I = 100ml
keluhan mual, TD = 90/60 mmHg (12/07/18 pukul
muntah, batuk, Kepala: 16.00-20.00 wib)
pilek dan diare Normocephal PRC II = 200ml
disangkal Kulit: Tampak pucat (13/07/18 pukul
dan hiperpigmentasi 16.00-20.00 wib)
Mata: Conjungtiva PRC III = 250ml
Anemis (-/-) (14/07/18 pukul
Sklera Ikterik (+/+) 13.10-16.30 wib)
16
Leher: Pembesaran PRC IV = 175ml
KGB (-) (15/07/18 pukul
Hidung: Sekret (-) 09.00-13.00 wib)
Telinga: Sekret (-) Oral :
Tenggorokan: Exjade
Hiperemis (-) (Deferasiroks)
Thorax: Simetris, 1x500 mg
Rh(-) Wh (-) Asam folat 2x1mg
Jantung: BJ I & II n.
M (-) G (-)
Abdomen: Suepel,
Bising usus (+),
Hepatosplenomegali
(+) Schuffner 3
Extremitas: Akral
hangat.
Lain-lain: Golongan
darah AB
Hb Post transfusi :
9,5 g/dl (konsul
dokter dengan
persetujuan orang
tua transfusi
ditambah 175cc)
16 Juli 2018
S O A P
Orang tua pasien Keadaan umum: Perubahan perfusi IVFD Kaen 1B +
mengatakan Baik jaringan KCL 10 mEq 16
anaknya sudah Kesadaran: TPM
tidak lemas. Composmentis Terpasang O2
Makan dan minum S = 36o C Inj. Furosemide
sudah banyak. HR = 98x/menit 20mg
Demam (-), RR = 24x/menit PRC I = 100ml
keluhan mual, TD = 90/60 mmHg (12/07/18 pukul
muntah, batuk, Kepala: 16.00-20.00 wib)
pilek dan diare Normocephal PRC II = 200ml
disangkal Kulit: Tampak pucat (13/07/18 pukul
dan hiperpigmentasi 16.00-20.00 wib)
Mata: Conjungtiva PRC III = 250ml
Anemis (-/-) (14/07/18 pukul
Sklera Ikterik (+/+) 13.10-16.30 wib)
Leher: Pembesaran PRC IV = 175ml
KGB (-) (15/07/18 pukul
Hidung: Sekret (-) 09.00-13.00 wib)
Telinga: Sekret (-) Oral :
Tenggorokan:
Hiperemis (-)
17
Thorax: Simetris, Exjade
Rh(-) Wh (-) (Deferasiroks)
Jantung: BJ I & II n. 1x500 mg
M (-) G (-) Asam folat 2x1mg
Abdomen: Suepel, Pasien
Bising usus (+), diperbolehkan
Hepatosplenomegali pulang
(+) Schuffner 3
Extremitas: Akral
hangat.
Lain-lain: Golongan
darah AB
Hb Post transfusi :
11,6 g/dl
18
PEMBAHASAN KASUS
Thalasemia diwariskan oleh orang tua yang carrier kepada anaknya. Apabila
salah satu dari orang tua memiliki gen pembawa sifat Thalasemia maka
kemungkinan anaknya 50% sehat dan 50% carrier Thalasemia. Apabila kedua
orang tua memiliki gen pembawa sifat Thalasemia maka kemungkinan anaknya
25% sehat, 25% menderita Thalasemia mayor dan 50% carrier Thalasemia.3
Pasien pada kasus ini merupakan penderita thalasemia yang rutin mendapatkan
trasnfusi sejak usia 4 tahun. Pasien merupakan anak ke-7 dari tujuh bersaudara, dari
hasil alloanamnesis orang tua pasien mengatakan bahwa keluarga pasien tidak
memiliki riwayat penyakit thalasemia, sehingga kemungkinan orang tua pasien
merupakan pembawa gen karier thalasemi yang tidak menampakan gejala apapun.
19
1.2 Epidemiologi
Data menunjukan bahwa 7% dari populasi dunia merupakan pembawa sifat
thalassemia. Setiap tahun sekitar 300.000-500.000 bayi baru lahir disertai dengan
kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000 anak meninggal akibat
thalassemia β; 80% dari jumlah tersebut berasal dari negara berkembang. Indonesia
termasuk salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia, yaitu negara dengan
frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang tinggi. Hal ini terbukti dari
penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa frekuensi gen
thalassemia beta berkisar 3-10%.1
Berdasarkan data Pusat Thalassemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI
RSCM, sampai dengan bulan mei 2014 terdapat 1.723 pasien dengan rentang usia
terbanyak antara 11-14 tahun. Jumlah pasien baru terus meningkat hingga 75-100
orang/tahun.1
1.3 Klasifikasi
Secara molekuler, Thalasemia dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu
Thalasemia alfa dan Thalasemia beta sesuai dengan kelainan berkurangnya
produksi rantai-polipeptida.
1.3.1 Thalasemia Alfa
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai
alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari:
a. Silent Carrier State : Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak
timbul gejala samasekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang
tampak lebih pucat.
b. Thalasemia Alfa Trait : Gangguan pada 2 rantai globin alfa. Penderita
mengalami anemia ringan dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer,
dapat menjadi carrier.
c. Hemoglobin H Disease: Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita
dapat bervariasi mulai tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat
yang disertai dengan perbesaran limpa (splinomegali).
20
d. Thalasemia Alfa Mayor: Gangguan pada 4 rantai globin alfa. Thalasemia
tipe ini merupakan kondisi yang paling berbahaya pada Thalasemia tipe alfa.
Kondisi ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA
atau HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alfa Thalasemia mayor pada
awal kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena kelebihan
cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami keguguran
atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.
21
1.4 Patofisiologi
A. Thalasemia Alfa
Alfa globin adalah sebuah komponen dari protein yang lebih besar yang
disebut hemoglobin. Hemoglobin merupakan protein dalam sel darah merah
yang membawa oksigen ke sel dan jaringan di seluruh tubuh. Hemoglobin
terdiri dari 4 komponen alfa globin dan 2 komponen beta globin. HBA1
(Hemoglobin, α-1) adalah gen yang memberikan instruksi untuk membuat
protein yang disebut alfa globin. Protein ini juga diproduksi dari gen yang
hampir identik yang disebut HBA2 (Hemoglobin, α-2). Kedua gen alfa globin
terletak dalam sebuah kromosom 16 yang dikenal sebagai lokus alfa globin.
Pada manusia normal terdapat 4 copy gen alfa globin. Sedangkan pada
penderita Thalasemia, terjadi mutasi pada gen alfa globin. Apabila terjadi
mutasi pada 1 gen α, maka tidak ada dampak pada kesehatan, tetapi orang
tersebut membawa sifat Thalasemia atau disebut carrier (trait) Thalasemia.
Apabila terjadi mutasi pada 2 gen α, maka akan menderita Thalasemia ringan
yang tidak menunjukkan gejala berat. Sedangkan mutasi yang terjadi pada 3
gen α akan menyebabkan penderita mengalami anemia berat, yang disebut juga
Hemoglobin H Disease. Mutasi yang terjadi pada 4 gen α akan berakibat fatal
pada bayi karena alfa globin tidak dihasilkan sama sekali.
B. Thalasemia Beta
Beta Globin adalah sebuah komponen dari protein yang lebih besar yang
disebut hemoglobin, yang terletak di dalam sel darah merah. Gen HBB
(Hemoglobin Beta) yang memberikan instruksi untuk membuat protein yang
disebut beta globin. Lebih dari 250 mutasi pada gen HBB telah ditemukan
menyebabkan Thalasemia beta. Tanpa beta globin, hemoglobin tidak dapat
terbentuk dan akan mengganggu perkembangan sel-sel darah merah.
Kekurangan sel darah merah akan menghambat oksigen yang akan dibawa dan
membuat tubuh kekurangan oksigen.
Pada manusia normal terdapat 2 copy gen beta globin yang terdapat pada
kromosom 11. Dan mutasi yang terjadi pada gen beta globin akan
22
menyebabkan Thalasemia. Jika seseorang hanya memiliki 1 gen beta globin
yang normal dan 1 gen beta globin sudah termutasi, maka orang tersebut carrier
Thalasemia (trait).
Eritropoiesis pada masa awal janin terjadi dalam yolk sac, pada
bulan kedua kehamilan eritropoiesis berpindah ke liver dan saat bayi lahir
eritropoiesis di liver berhenti dan pusat pembentukan eritrosit berpindah
ke sumsum tulang. Pada masa anak-anak dan remaja semua sumsum tulang
terlibat dalam hematopoiesis, namun pada usia dewasa hanya tulang-tulang
tertentu seperti tulang panggul, sternum, vertebra, costa, ujung proksimal
femur dan beberapa tulang lain yang terlibat eritropoiesis. Bahkan pada tulang-
tulang seperti disebut diatas beberapa bagiannya terdiri dari jaringan
adiposit.
Sejak masa embrio, janin, anak hingga dewasa, sel darah merah
memiliki 6 hemoglobin, antara lain :
23
Hemoglobin embrional
Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritoblas primitif dalam yolc sack
membentuk rantai globin epsilon (ε) dan zeta (Z) yang membentuk Hb primitif yaitu
Hb Gower1 (Z2ε2). Selanjutnya mulailah sintesis rantai α menggantikan rantai Z
dan rantai γ menggantikan rantai ε sehingga membentuk Hb Gower2, Hb Portland.
Pada masa gestasi 4-8 minggu yang ditemukan adalah Hb Gower 1 dan Hb Gower
2 dan menghilang pada masa gestasi 3 bulan.
Hemoglobin Fetal
Migrasi sel pruripoten stem sel dari yolc sack ke hati diikuti sintesi Hb fetal
yang merupakan awal sintesis rantai Hb β. Setelah masa gestasi 8 minggu, muncul
Hb-F yang paling dominan dan setelah janin berusia 6 bulan merupakan 90% Hb
terdiri dari Hb-F dan kemudian menurun menjelang kelahiran, setelah bayi lahir
dan setelah usia 6-12 bulan, HbF tetap ada tapi hanya ditemukan sedikit.
Hemoglobin Dewasa
Pada masa embrio, telah dideteksi HbA karena telah terjadi proses perubahan
sintesis rantai γ menjadi rantai β dan selanjutnya globin β meningkat dan pada masa
gestasi 6 bulan ditemukan HbA 5-10% dan waktu lahir 30%. Menginjak usia 6-12
bulan Hb sudah memperlihatkan gambaran Hb dewasa yaitu HbA1 dan HbA2 dan
sedikit HbF
24
1.5 Manifestasi Klinis
Thalasemia Beta
Pada hampir semua anak dengan thalasemia B homozigot dan heterozigot
memperlihakan klinis sejak lahir, gagal tumbuh, kesulitan makan, infeksi
berulang, dan kelemahan umum. Bayi nampak pucat dan didapatkan
splenomegali. Bila menerima transfusi berulang, pertumbuhannya biasanya
normal sampai pubertas. Tanda klinis thalassemia mayor dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Cukup mendapat transfusi, pada anak yang mendapat cukup transfusi,
pertumbuhan dan perkembangannya normal dan tidak ada splenomegali.
Bila terapi kelasi tidak adekuat, secara bertahap akan terjadi penumpukan
zat besi. Komplikasi yang dapat terjadi berupa tidak tercapainya adolescent
growth spurt, komplikasi hati, endokrin, dan jantung. Penimbunan zat besi
dapat menyebabkan gagal jantung.
2. Dengan anemia kronis sejak anak-anak, pertumbuhan dan perkembangan
sangat terlambat, pembesaran lien yang progresif, memperburuk keadaan
anemianya dan terkadang disertai trombositopenia. Terjadi perluasan
sumsum tulang yang mengakibatkan demormitas tulang kepala, dengan
25
zigoma yang menonjol memberikan gambaran khas mongoloid. Anak
mudah terinfeksi dengan penurunan kadar hemoglobin yang mendadak.
Kebutuhan folatnya meningkat, penimbunan zat besi yang menyebabkan
kegagalan hati, dan gangguan perdarahan akibat trombositopenia.
Pada pasien ini ditemukan bentuk wajah yang khas pada penderita
thalassemia yaitu facies cooley / “chipmunk face” (dahi menonjol, mata
menyipit, jarak kedua mata melebar, maksila hipertrofi, maloklusi gigi) hal
ini disebabkan eritropoiesis inefektif yang terjadi akibat kompensasi tubuh
terhadap anemia hemolitik mengharuskan tubuh memproduksi sel darah
merah lebih banyak, akibatnya ekspansi sumsum tulang yang berlebihan.
Sklera ikterik pada pasien ini dapat terjadi karena adanya destruksi sel
darah merah yang berlebihan. Gejala kekuningan / Jaundice dapat terjadi jika
terdapat ketidak seimbangan sintesis bilirubin dan clearance bilirubin.
Bilirubin mempunyai afinitas yang tinggi terhadap jaringan yang elastis.
Sklera pada mata terbuat dari serat-serat yang elastis. Sedangkan pada pasien
ditemukan pembesaran limpa (schuffner 4) dan pembesaran hepar. Hal ini
dapat terjadi dikarenakan eritropoiesis yang tidak efektif memicu
pembentukan sel darah merah yang tidak sempurna sehingga hasil
laboratorium darah tepi menunjukan gambaran mikrositik hipokrom,
poikilositosis, sel target, dan eliptosit. Termasuk kemungkinan ditemukanya
peningkatan eritrosit stippled. Hal ini memicu kerja hepar dan lien sebagai
26
tempat untuk destruksi hasil eritropoiesis yang tidak efektif sehingga organ
hepar dan lien dapat membesar.
a. Anamnesis
Pada anamnesis pasien thalasemia akan memiliki gejala wajah terlihat pucat
kronik, memiliki riwayat transfusi berulang, riwayat keluarga dengan
thalasemia, perut membuncit karena hepatosplenomegali, dan riwayat tumbuh
kembang serta pubertas yang terlambat. Pada pasien ini mengeluh lemas dan
pucat tiga hari sebelum masuk RS dan nafsu makan menurun. Hal ini dapat
terjadi dikarenakan pada penyakit thalasemia terdapat kegagalan produksi
salah satu rantai hemoglobin α atau hemoglobin β. Akibatnya salah satu rantai
globin yang gagal di produksi mengakibatkan lawan rantai tersebut gagal
berikatan dengan rantai globin lainya menyebabkan presipitasi pada precursor
sel darah merah dalam sumsum tulang dan dalam sel progenitor dalam darah
tepi. Presipitasi ini menimbulkan gangguan pematangan precursor eritroid dan
eritopoiesis yang tidak efektif (inefektif), sehingga umur eritrosit menjadi lebih
pendek dari normal yaitu 120 hari. Akibat dari kejadian ini menimbulkan
pasien anemia. Kondisi anemia ini mengakibatkan distribusi oksigen ke
seluruh tubuh berkurang dan berujung pada manifestasi klinis lemas dan pucat.
27
Pasien telah melakukan transfusi sejak usia 4 tahun dan terakhir melakukan
transfusi bulan juni 2018. Pasien tidak memiliki keluarga dengan riwayat
thalasemia.
b. Pemeriksaan Fisik
c. Laboratorium
Darah perifer lengkap (DPL)
Anemia yang dijumpai pada thalassemia mayor cukup berat dengan
kadar hemoglobin mencapai <7 g/dL.
Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat memiliki MCV dan
MCH yang normal, sehingga nilai normal belum dapat menyingkirkan
kemungkinan thalassemia trait dan hemoglobinopati.
28
Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk skrining
pembawa sifat thalassemia (trait), thalassemia δβ, dan high Persisten
fetal hemoglobine (HPFH).
Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan mean
corpuscular haemoglobin (MCH) < 27 pg (hipokromik). Thalassemia
mayor biasanya memiliki MCV 50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg.
Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada thalassemia, dan juga
pada anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih sedikit
dipengaruhi oleh perubahan cadangan besi (less suscpetible to storage
changes).
29
1.7 Tatalaksana
1.7.1 Transfusi darah
A. Indikasi transfusi darah
Tujuan transfusi darah pada pasien thalassemia adalah untuk menekan
hematopoiesis ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Keputusan untuk memulai transfusi darah sangat individual pada setiap
pasien. Transfusi dilakukan apabila dari pemeriksaan laboratorium terbukti
pasien menderita thalassemia mayor, atau apabila Hb <7g/dL setelah 2x
pemeriksaan dengan selang waktu >2 minggu, tanpa adanya tanda infeksi
atau didapatkan nilai Hb >7gr/dL dan dijumpai, gagal tumbuh, dan/atau
deformitas tulang akibat thalassemia.
30
C. Cara pemberian transfusi darah
1. Volume darah yang ditransfusikan bergantung dari nilai Hb. Bila
kadar Hb pratransfusi >6 gr/dL, volume darah yang ditransfusikan
berkisar 10-15 mL/kg/kali dengan kecepatan 5 mL/kg/jam.
2. Target pra kadar Hb post-transfusi tidak melebihi dari 14-15 g/dL22,
sedangkan kadar Hb pratransfusi berikutnya diharapkan tidak kurang
dari 9,5 mg/dL. Nilai Hb pretransfusi antara 9-10 g/dL dapat
mencegah terjadinya hemopoesis ekstramedular, menekan konsumsi
darah berlebih, dan mengurangi absorpsi besi dari saluran cerna.
3. Jika nilai Hb <6 gr/dL, dan atau kadar Hb berapapun tetapi dijumpai
klinis gagal jantung maka volume darah yang ditransfusikan dikurangi
menjadi 2-5 ml/kg/kali dan kecepatan transfusi dikurangi hingga 2
mL/kg per jam untuk menghindari kelebihan cairan/overload.
4. Darah yang diberikan adalah golongan darah donor yang sama (ABO,
Rh) untuk meminimalkan alloimunisasi dan jika memungkinkan
menggunakan darah leucodepleted yang telah menjalani uji skrining
nucleic acid testing (NAT) untuk menghindari/meminimalkan
tertularnya penyakit infeksi lewat transfusi.
5. Darah yang sudah keluar dari bank darah sudah harus ditransfusikan
dalam waktu 30 menit sejak keluar dari bank darah. Lama waktu sejak
darah dikeluarkan dari bank darah hingga selesai ditransfusikan ke
tubuh pasien maksimal dalam 4 jam. Transfusi darah dapat dilakukan
lebih cepat (durasi 2-3 jam) pada pasien dengan kadar Hb > 6 gr/dL.
6. Nilai Hb dinaikan secara berlahan hingga target Hb 9 gr/dL. Diuretik
furosemid dipertimbangkan dengan dosis 1 hingga 2 mg/kg pada
pasien dengan masalah gangguan fungsi jantung atau bila terdapat
klinis gagal jantung. Pasien dengan masalah jantung, kadar Hb
pratransfusi dipertahankan 10-12 g/dL. Pemberian transfusi diberikan
dalam jumlah kecil tiap satu hingga dua minggu.
31
7. Interval antar serial transfusi adalah 12 jam, namun pada kondisi
anemia berat interval transfusi berikutnya dapat diperpendek menjadi
8-12 jam.
8. Setiap kali kunjungan berat badan pasien dan kadar Hb dicatat, begitu
pula dengan volume darah yang sudah ditransfusikan. Data ini
dievaluasi berkala untuk menentukan kebutuhan transfusi pasien.
Pasien tanpa hipersplenisme kebutuhan transfusi berada di bawah 200
mL PRC/kg per tahun. Prosedur transfusi mengikuti/sesuai dengan
panduan klinis dan laboratoris masing-masing senter. Pada saat
transfusi diperhatikan reaksi transfusi yang timbul dan kemungkinan
terjadi reaksi hemolitik. Pemberian asetaminofen dan difenhidramin
tidak terbukti mengurangi kemungkinan reaksi transfusi.
32
D. Jenis produk darah yang digunakan
Idealnya darah yang ditransfusikan tidak menyebabkan risiko atau
efek samping bagi pasien. Beberapa usaha mulai dari seleksi donor,
pemeriksaan golongan darah, skrining darah terhadap infeksi menular
lewat transfusi darah (IMLTD), uji silang serasi (crossmatch), dan
pengolahan komponen telah dilakukan untuk menyiapkan darah yang
aman. Beberapa teknik pengolahan komponen darah sudah dapat
dilakukan untuk meningkatkan keamanan darah. Tersedianya
komponen darah yang aman akan menunjang pemberian transfusi darah
secara rasional dan berdasarkan indikasi yang tepat.
Thalassemia mayor membutuhkan transfusi secara teratur sehingga
perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
a. Produk darah yang digunakan hendaknya PRC rendah leukosit
(leukodepleted) yang telah menjalani uji skrining NAT dan
menggunakan produk darah yang telah dicocokkan dengan darah
pasien.
b. Penggunaan pre-storage filtration terbukti lebih baik
dibandingkan dengan bed side filtration. Pada pre-storage filtration,
leukosit akan difilter sebelum sempat mengeluarkan sitokin,
sehingga reaksi transfusi berupa febrile non hemolytic transfusion
reaction (FNHTR) dapat lebih dihindari, yang penyebabnya selain
alloimunisasi oleh human leukocyte antigen (HLA) juga karena
keberadaan sitokin dalam komponen darah.
c. Penggunaan whole bood pada pasien dengan transfusi rutin dapat
menyebabkan reaksi transfusi non-hemolitik.
d. Apabila darah leukodepleted dengan skrining NAT tidak tersedia
dapat dipertimbangkan darah yang berasal dari donor tetap untuk
mengurangi risiko penyakit yang ditransmisikan melalui darah,
alloimunisasi, dan reaksi transfusi lainnya.
e. Komplikasi dari transfusi dapat dikurangi dengan pemilihan
produk darah tertentu seperti PRC cuci, sel darah merah beku/ frozen
33
(cryopreserved red cells), dan donor tetap, walaupun pada
thalassemia yang membutuhkan transfusi darah berulang idealnya
mendapatkan PRC leukodepleted.
34
pemeriksaan awal, namun umur eritrosit sangat pendek dan kadar
Hb turun di bawah kadar Hb pratransfusi biasanya. Destruksi
darah terjadi pada darah pasien dan donor serta evaluasi serologi
menunjukkan reaksi antigen-antibodi luas. Kondisi ini dapat
diatasi dengan pemberian steroid, agen imunosupresan, dan
imunoglobulin intravena. Kejadian ini umumnya terjadi pada
transfusi pada usia dewasa.
Transfusion-related acute lung injury
Transfusion-related acute lung injury (TRALI) adalah
komplikasi berat yang mungkin terjadi akibat anti-neutrofil atau
antibodi anti-HLA.35 Komplikasi ini ditandai oleh dispnu,
takikardia, demam, dan hipotensi dalam jangka waktu 6 jam
setelah transfusi. Pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan
infiltrat di seluruh lapang paru atau gambaran edema paru. Tata
laksana TRALI bersifat suportif meliputi pemberian oksigen,
steroid, diuretik, dan pada kondisi yang berat dapat diperlukan
ventilasi mekanik.
35
Transfusion-associated circulatory overload
Transfusion-associated circulatory overload (TACO) terjadi
pada kondisi disfungsi jantung atau pada pemberian transfusi
yang terlalu cepat. Reaksi ditandai dengan sesak dan takikardia,
sedangkan foto toraks menunjukan edema pulmonal. Tata laksana
ditujukan untuk mengurangi volume darah dan meningkatkan
fungsi jantung. Pertimbangkan penggunaan oksigen, diuretik, dan
obat gagal jantung bila diperlukan.
Transmisi agen infeksius
Transfusi darah dapat mentransmisikan agen infeksius seperti
bakteri, virus, dan parasit. Hal ini masih dapat terjadi karena
beberapa kemungkinan berikut: a. Jenis dan jumlah pemeriksaan
untuk mendeteksi patogen masih terbatas. Masih banyak skrining
patogen yang belum dapat dilakukan. b. Transmisi virus masih
dapat terjadi karena masih dalam window period dan beberapa
alat tes yang ada tidak spesifik. c. Munculnya agen infeksius baru.
36
penerima darah diperiksa ulang dan bank darah harus mencari
kemungkinan adanya alloantibodi yang tidak terdeteksi.
37
kelebihan besi yang tidak dapat diatasi dengan monoterapi atau telah terdapat
komplikasi ke jantung. Klinisi perlu memperhatikan cost and benefit dalam
memutuskan kelasi mana yang akan digunakan dan berbagai kelebihan serta
kekurangan kelasi besi harus diinformasikan secara jelas kepada pasien dan
orangtua. Keputusan yang diambil pada akhirnya dibuat berdasarkan
kesepakatan dan kenyamanan pasien.
38
Desferoksamin (Desferal, DFO)
Desferoksamin adalah kelator besi yang telah banyak diteliti dan terbukti
menunjukkan efek yang dramatis dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas
pasien thalassemia. Bioavailabilitas oralnya buruk sehingga harus diberikan secara
subkutan, intravena, atau terkadang intramuskular. DFO juga memiliki waktu paruh
yang pendek (30 menit) sehingga diberikan dalam durasi 8-12 jam per hari, 5-7
kali per minggu.
39
Deferasiroks (Exjade/DFX)
Suplemen Asam Folat Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu
pembangunan sel-sel darah merah yang sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di
samping melakukan transfusi darah ataupun terapi khelasi besi.. Asam Folat 2x1
mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
Splenektomi
Indikasi :
40
D. Transplantasi sumsum tulang
1.8 Komplikasi
Komplikasi pada thalassemia dapat terjadi akibat penyakit dasarnya, akibat
pengobatan, dan akibat terapi kelasi besi, sehingga pemantauan komplikasi
yang terjadi perlu dilakukan terus-menerus. Komplikasi akibat penyakit dasar
meliputi anemia berat, komplikasi jantung yang berkaitan dengan anemia,
fraktur patologis, komplikasi endokrin, gagal tumbuh, gizi kurang, perawakan
pendek, dan pembesaran organ-organ abdomen yang menekan organ
sekitarnya.
Komplikasi pengobatan (akibat transfusi) yaitu penumpukan besi pada
organ jantung (kardiomiopati), hemosiderosis hati, paru, dan organ endokrin.
Transmisi berbagai virus melalui transfusi juga dapat terjadi, khususnya
hepatitis B, hepatitis C, malaria, dan HIV. Risiko saat transfusi seperti kelebihan
darah atau transfusi yang terlalu cepat dapat menimbulkan gagal jantung, dan
dapat terjadi reaksi hemolitik akibat ketidakcocokan darah yang diberikan.
Kelebihan besi yang telah terjadi dalam jaringan tubuh sangat sulit diatasi
karena hanya sedikit kelator besi yang dapat mengikat kelebihan besi dalam
jaringan dan memerlukan waktu yang lama untuk dapat mengembalikan kadar
besi tubuh ke tingkat yang aman.
Komplikasi akibat terapi kelasi besi bergantung dari kelator yang diberikan.
Desferoksamin dapat menyebabkan komplikasi pada pendengaran, gangguan
penglihatan, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta menyebabkan gangguan
pertumbuhan. Deferipron terutama menyebabkan neutropenia, gangguan fungsi
hati, dan ginjal. Deferasiroks menyebabkan gangguan fungsi hati dan ginjal.
Komplikasi pada jantung akibat kelebihan besi umumnya terjadi pada awal
dekade kedua dan merupakan penyebab kematian (71%) dan penyebab
morbiditas utama pada thalassemia. Kematian akibat penyakit jantung terjadi
41
pada usia 15-30 tahun. Komplikasi ini dilaporkan pernah terjadi pula pada
pasien berusia 10 tahun, sehingga skrining awal komplikasi jantung sudah dapat
dimulai pada usia 8 tahun untuk mengidentifikasi kelainan dini sebelum terjadi
gangguan jantung simtomatik.
Data yang diperoleh dari pusat thalassemia RSCM Jakarta berdasarkan
penelitian pemeriksaan MRI T2* dari 122 subyek dengan usia rerata 15 tahun
didapatkan komplikasi jantung adalah derajat berat sebanyak 5,7%, sedang 9%,
ringan hingga normal sebanyak 85,3%.
Diagnosis komplikasi jantung dapat ditemukan gejala yang berupa nyeri
dada dan palpitasi, aritmia, dan tanda-tanda gagal jantung secara umum. Perlu
disingkirkan kemungkian etiologi penyakit jantung yang berasal akibat
penyakit lain terkait thalassemia seperti hipotiroid, hipokalsemia, diabetes yang
tidak terkontrol, infeksi akut, trombosis, dan hipertensi pulmoner.
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan untuk membantu mendeteksi
komplikasi pada jantung meliputi pemeriksaan profil besi, EKG,
ekokardiografi, dan MRI T2*. Penanganan jantung dilakukan bersama dengan
divisi kardiologi anak. Komplikasi ini timbul terutama pada pasien dengan
kadar feritin serum di bawah 2500 µg/L, namun pemeriksaan feritin serum
sesungguhnya tidak sensitif untuk menilai kelebihan besi dan kardiomiopati.
Gagal jantung, aritmia, dan kematian mendadak masih dapat timbul pada pasien
asimptomatik dengan kadar feritin dibawah 2500 µg/L. Komplikasi pada
jantung masih reversibel dengan pemberian kelasi besi yang intensif.
Pemeriksaan ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang relatif mudah,
murah, dan dapat dilakukan untuk memonitor fungsi jantung secara rutin.
Pemeriksaan ini dapat menilai fungsi sistolik jantung dengan mengukur fraksi
ejeksi dengan mengukur tinggi gelombang E, A dan rasio E/A serta mengukur
volume ventrikel. Pemeriksaan EKG dapat mendeteksi aritmia. Pemeriksaan
paling baik untuk deteksi awal dan menilai kelebihan besi pada jantung adalah
dengan pemeriksaan MRI T2*. Hasil MRI T2* harus dipertahankan >20 ms.
Di negara maju pemeriksaan ini dilakukan pada semua pasien thalasemia sejak
usia 8 tahun. Pemeriksaan ulang bergantung dari nilai T2*, bila >20 ms maka
42
MRI T2* diulang tiap 2 tahun, 10-20ms tiap tahun, <10 ms tiap 6 bulan, atau
tiap 3 bulan bila <10 ms dengan tanda gagal jantung jelas.
Tata laksana komplikasi jantung adalah dengan pemberian kelasi besi secara
intensif dengan menaikan dosis, pemakaian obat antigagal jantung, dan
antiaritmia. Transfusi dilakukan dengan kecepatan yang lebih lambat, target Hb
pratransfusi sekitar 10 g/dL, dan selama transfusi perlu memperhatikan tanda-
tanda overload cairan.
Kelasi besi paling efektif untuk timbunan besi di jantung Sampai saat ini
penelitian yang dilakukan belum sepakat menyimpulkan kelasi mana yang
terbaik untuk timbunan besi di jantung. Metaanalisis oleh Mamtani dan
Kulkarni pada tahun 2007 mengikutsertakan 7 studi terdahulu (2002-2007)
yang membandingkan DFO dan DFP atau kombinasinya untuk memperbaiki
parameter besi jantung, dengan pengukuran MRI T2*. Effect size DFP dan DFO
tidak berbeda bermakna sedangkan jumlah subyek untuk terapi kombinasi
masih terlalu sedikit untuk diambil kesimpulan.
Penanganan siderosis jantung asimtomatik dapat mengggunakan
monoterapi kelasi besi; desferoksamin 40-60 mg/kg/hari dengan menaikkan
frekuensi dari 5 menjadi 7 hari selama 8 hingga 24 jam atau dosis deferipron
dinaikkan 90-100 mg/kg/hari. Alternatif lain adalah terapi kombinasi dengan
menggunakan deferoksamin subkutan 40-50 mg/kg/hari sekurangnya 5 kali
seminggu ditambah dengan deferipron oral 75 mg/kg/hari.
Siderosis jantung simtomatik memerlukan desferoksamin intravena kontinu
dengan dosis 50-60 mg/kg/hari. Terapi kombinasi menggunakan deferipron 75
mg/kg/hari ditambah dengan desferoksamin 40-50 mg/kg/hari sekurangnya 5
kali perminggu dapat pula menjadi pilihan, sedangkan belum ada data yang
mendukung penggunaan deferipron monoterapi pada gagal jantung.
Penggunaan obat gagal jantung seperti diuretik, ACE inhibitor, penghambat
beta, dan antiaritmia disesuaikan dengan kondisi jantung dan disupervisi oleh
kardiolog anak. Kolaborasi antara hematolog dan kardiolog anak diperlukan
untuk menatalaksana komplikasi jantung yang terkait thalassemia. Untuk
menghindari penyakit jantung simtomatik dan mencegah kematian di usia muda
43
maka perlu dilakukan optimalisasi kelasi besi, aktivitas fisis, nutrisi yang baik,
serta menghindari konsumsi alkohol dan rokok. Deteksi dini hemosiderosis
pada jantung merupakan kunci untuk menghindari ireversibilitas gangguan
jantung.
1.9 Prognosis
Prognosis thalassemia minor sangat baik. Sebuah peningkatan risiko
cholelithiasis, terutama dalam kaitannya dengan mutasi. Penderita thalassemia
intermedia yang tidak biasanya hemosiderosis berat kurang rentan terhadap
masalah jantung lemas. Namun, pulmonary hypertension, throm-komplikasi
boembolik, luar biasa sepsis postplenektomi, dan perkembangan hepatobil
karsinoma dapat mengurangi kelangsungan hidup pada kelompok pasien ini.
Prognosis utama betathalassemia sangat suram sebelum ada perawatan yang
tersedia. Tanpa pengobatan- Namun, sejarah alam adalah untuk mati pada usia
lima tahun infeksi dan cachexia. Kemajuan pertama dalam pengobatan adalah
inisiasi transfusi darah episodik ketika pasien mengalami waktu yang sangat
buruk.
Dengan Munculnya terapi jenis ini, kelangsungan hidup berkepanjangan
dekade kedua, tetapi segera menjadi jelas bahwa pengobatan yang
menyelamatkan nyawa pada anak-anak menyebabkan kematian penyakit
jantung pada masa remaja atau anak usia dini. Prognosis untuk individu dengan
betathalassemia mayor telah dra-matically ditingkatkan dengan munculnya
DFO. Namun, banyak pasien yang bergantung pada transfusi terus berlanjut
mengembangkan akumulasi besi progresif. Ini bisa memimpin kerusakan
jaringan dan akhirnya kematian, terutama dari penyakit jantung. Kemajuan
dalam transfusi sel darah merah, dan pengenalan chelators dan chelation regules
baru telah memperpanjang kelangsungan hidup lebih lanjut dalam beberapa
tahun terakhir.
Penilaian siderosis miokardial dan pemantauan fungsi jantung
dikombinasikan dengan intensifikasi zat besi chelation telah mengubah satu
penyakit yang mematikan secara universal untuk penyakit kronis dan prognosis
44
jangka panjang yang sangat baik diharapkan untuk anak-anak yang telah
chelated sejak usia sangat muda. Transplantasi sumsum tulang saat ini adalah
satu-satunya obat definitif yang tersedia untuk pasien dengan thalassemia
utama.
1. Karena karier B thalasemia bisa diketahui dengan mudah, skrining populasi dan
konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1 dari 4
anak mereka bisa menjadi homozigot atau gabungan heterozigot.
2. Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa diperiksa
dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan
terminasi kehamilan pada fetus dengan talasemia B berat.
45
KESIMPULAN
46
DAFTAR PUSTAKA
47