Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

TEKNIK ANESTESI HIPOTENSI TERKENDALI PADA


MASTOIDEKTOMI
Kepaniteraan Klinik Departemen Anestesi dan Reanimasi
RSUP Persahabatan

Oleh :
Hilman Ramadhan
1710221064

Pembimbing :
dr. Ernita, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI DAN


REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2018

1
LAPORAN KASUS

TEKNIK ANTESTESI HIPOTENSI TERKENDALI PADA


MASTOIDEKTOMI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesi dan Reanimasi
Di RSUP Persahabatan

Diajukan Kepada Yth :


dr. Ernita, Sp. An

Diajukan Oleh:
Hilman Ramadhan
1710221064

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI DAN


REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2018

2
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS

TEKNIK ANESTESI HIPOTENSI TERKENDALI PADA


MASTOIDEKTOMI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesi dan Reanimasi
Di RSUP Persahabatan

Disusun Oleh:
Hilman Ramadhan
1710221064

Mengetahui,

Pembimbing: dr.Ernita, Sp.An


Tanggal : 28 February 2018

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus “Teknik
Hipotensi Terkendali Pada Mastoidektomi”.
Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Departemen Anestesi dan Reanimasi. Penyusunan laporan ini
terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang turut membantu
terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Ernita Sp.An
selaku pembimbing dan seluruh teman-teman kepaniteraan klinik Bagian
Departemen Anestesi dan Reanimasi atas kerjasamanya selama penyusunan
laporan ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca
maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta, 28 Februari 2018

Penulis

4
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


OMSK adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi
peradangan kronis dari telinga tengah dan mastoid dan membran timpani
tidak intak (perforasi) dan ditemukan sekret (otorea), purulen yang hilang
timbul. Istilah kronik digunakan apabila penyakit ini hilang timbul atau
menetap selama 2 bulan atau lebih. Otitis media kronis merupakan penyakit
THT yang paling banyak di negara sedang berkembang.
Penyebab penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada
faktor-faktor penyebabnya dan pada stadium penyakitnya. Bila didiagnosis
kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -obatan dapat
digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.
Operasi pada daerah kepala termasuk pada telinga memerlukan
teknik khusus yakni teknik hipotensi terkendali. Teknik hipotensi terkendali
merupakan suatu teknik pada anestesi umum dengan menggunakan agen
hipotensi kerja cepat untuk menurunkan tekanan darah serta perdarahan saat
operasi. Prosedur ini memudahkan operasi sehingga membuat pembuluh
darah dan jaringan terlihat, serta mengurangi kehilangan darah.
Prosedur anestesi dengan teknik hipotensi memiliki tujuan untuk
mengurangi perdarahan di daerah operasi agar memudahkan operator dalam
visualisasi lapang operasi. Dengan menaikkan kepala 10-150 sehingga dapat
meningkatkan pengeluaran aliran balik vena, menjaga tekanan darah tetap
rendah, serta menurunkan perdarahan. Prosedur hipotensi merupakan suatu
prosedur yang mungkin saja dapat menyebabkan suatu komplikasi yaitu
gangguan perfusi organ utama (thrombosis cerebral, hemiplegia, nekrosis
hepar masif, kebutaan, retinal artery thrombosis, ischemic optic neuropathy)
dan komplikasi operasi (reactionary hemorrhage, hematoma formation).

I.2. Tujuan
Presentasi kasus ini bertujuan untuk mengetahui teknik dan upaya
dalam mengkontrol tekanan darah saat operasi OMSK.

5
BAB II
DESKRIPSI KASUS

II.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 11 Oktober 1987
Usia : 30 tahun
Alamat : Kp. Buni
No. Rekam Medis : 0222XXXX
Tanggal Masuk RS : 20 Februari 2018
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Status : Sudah menikah

1. Anamnesis
a. Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan ataupun debu
b. Riwayat Penyakit
Pasien tidak memiliki riwayat asma, penyakit jantung, ginjal, hepar,
hipertensi, diabetes mellitus dan kecelakaan/trauma
c. Riwayat Operasi
Pasien tidak pernah dioperasi sebelumnya
d. Keadaan Saat Ini
Pasien tidak sedang demam, batuk maupun flu

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Berat Badan : 53 kg
d. Tanda Vital:
 TD : 120/70 mmHg

6
 RR : 20 x/menit
 N : 80 x/ menit
 S : 370C
e. Kepala dan Leher: normocephal, konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-)
f. Thorax
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi :
o Batas atas kiri : ICS II LPS sinistra
o Batas atas kanan : ICS II LPS Dekstra
o Batas bawah kiri : ICS V LMC Sinistra
o Batas bawah kanan : ICS IV LPS Dextra
Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
 Paru
Inspeksi :Pergerakan simetris saat statis dan dinamis, retraksi
(-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikular breath sound (+), rhonkhi (-), wheezing
(-)
 Abdomen
Inspeksi : Perut datar, distensi (-)
Auskultasi : BU (+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-)
 Ekstremitas : jejas (-), bekas trauma (-), massa (-), sianosis (-),
turgor kulit cukup, akral hangat
 Mallampati Skor : 1 (tampak pilar faring, palatum mole, dan
uvula)
 Bukaan mulut : 3 jari pasien

7
 Jarak mento-hyoid : 3 jari pasien
 Jarak tiro-hyoid : 2 jari pasien
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Darah perifer lengkap
Hb 13,0 13,0-16,0 g/dL
Ht 47,8 40,0-48,0 %
Eritrosit 5,88 4,50-5,50 juta/uL
Leukosit 8770 5000-10000 /uL
Trombosit 305000 150.000-400.000 /uL
MCV 81,3 (L) 82-92 fL
MCH 28,9 27-31 g/dL
MCHC 35,6 32-36 g/dL

HITUNG JENIS
Basofil 0.2 0-1 %
Eosinofil 2,4 1-3 %
Neutrophil 52,7 52,0-76,0 %
Limfosit 28,8 20-40 %
Monosit 5,9 2-8 %
RDW-CV 12,6 11,5-14,5 %

8
Hasil Pemeriksaan Hemostasis
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
PT pasien
PT control 11 9,8-11,2 detik
INR 11,4
APTT 0,98
APTT pasien
APTT control 36,2 31,0-47,0 detik
34,4

Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
SGOT (AST) 28 5-34 U/L
SGPT (ALT) 48 0-55 U/L
GDS 144 70-200 mg/dL
Ureum darah 24 21-43 mg/dL
Kreatinin darah 0,7 0,6-1,2 mg/dL

Hasil Pemeriksaan Elektrolit


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Natrium (Na) darah 138 135-145 mEq/L
Kalium (K) darah 3,8 3,50-5,00 mEq/L
Klorida (Cl) darah 101 99,0-107,0 mEq/L

b. Rontgen Thorax
Kesan : Cor dan pulmo dalam batas normal
c. Rontgen Mastoid
Kesan : Mastoiditis Dextra

4. Kesan ASA (The American Society of Anesthesiologist)


ASA 1 (Pasien normal yang sehat)

9
2.2 Status Anestesi
Anestesi dilakukan pada posisi terlentang dengan posisi kepala
dielevasikan 150. Lama anestesi 4 jam 30 menit (pukul 11.45 – 16.15) dan lama
operasi 4 jam (pukul 12.00 – 16.00)
1. Rencana Anestesi : General anestesi dengan intubasi
a. Premedikasi
o Midazolam (0,05-0,1mg/kgBB) = 2,65 mg – 5,3 mg → 5 mg
Sediaan 5cc: 1mg/cc → 5cc
o Fentanyl (1-3 µg/kgBB) = 53 mcg – 159 mcg → 100 mcg
Sediaan 2cc: 50 µg/cc → 2 cc
b. Induksi
Propofol (1,5-2,5 mg/kgBB) = 79,5 mg – 132,5 mg → 100 mg
Sediaan 20 cc: 10 mg/ml → 10 cc
c. Pelumpuh Otot
Atracurium (0,5-0,6 mg/kgBB) : 26,5 mg – 31,8 mg → 30 mg
Sediaan 5cc: 10 mg/ml → 3 cc
Rumatan (0,1 mg/kgBB) = 0,1 x 53 = 5,3 mg  5 mg = 0,5 cc
d. Pemasangan ETT
Dewasa perempuan  digunakan ETT non kingking dengan cuff
ukuran 7,5
e. Maintenance
Air : O2 = 1,7 : 1,1
Gas Sevoflurane 2%

f. Medikasi Teknik Hipotensi


Pada kasus ini, medikasi teknik hipotensi menggunakan agen anestesi
(IV maupun gas), obat antihipertensi (IV), dan manuver mekanik
dengan menaikkan posisi kepala 15 derajat saat operasi.

g. Monitoring :
o Pemantauan adekuatnya jalan nafas dan ventilasi selama anestesia :
pengamatan tanda klinis (kualitatif) seperti pergerakan dada,

10
observasi reservoir breathing bag, serta pastikan stabilitas ETT
tetap terjaga
o Pemantauan oksigenasi selama anestesia : pemantauan dilakukan
dengan pemasangan pulse oximetri untuk mengetahui saturasi O2
o Pemantauan adekuat atau tidaknya fungsi sirkulasi pasien :
o Pemantauan tekanan darah arterial dan denyut jantung
o Pemantauan EKG secara kontinu mulai sebelum induksi
anestesi
o Pemantauan kebutuhan cairan pasien selama anestesia
Input : Berupa Infus
Output : Perdarahan, urin

Perhitungan :
Maintenance: (4x10) + (2x10) + (1x33) = 93 ml
Operasi (6 ml/kg/jam): 53 x 6 = 318 ml
Puasa (6 jam): 93 x 6 = 558 ml
Pemberian
Jam I: ½ Puasa + Maintenance + Operasi = 279 + 93 + 318 = 690
ml
Jam II: ¼ Puasa + Maintenance + Operasi = 139,5 + 93 + 318 =
550,5 ml
Jam III: ¼ Puasa + Maintenance + Operasi = 139,5 + 93 + 318 =
550,5 ml
Jam IV: Maintenance + Operasi = 93 + 318 = 411 ml

Kebutuhan cairan selama operasi 690 + 550,5 + 550,5 + 411 =


2202 ml
Cairan yang diberikan selama anestesi : RL jumlah ± 1000 cc
Cairan yang keluar selama operasi
o Urin  ± 500 ml
o Perdarahan  ± 50 cc
o Total jumlah cairan keluar ± 550 ml

11
Tabel 1. Pemantauan Tanda-Tanda Vital Selama Operasi
Tekanan darah Tekanan darah
waktu Nadi
sistolik diastolik MAP
11.45 118 80 82 88
12.00 94 59 78 72
12.15 81 54 72 67
12.30 68 52 66 57
12.45 87 51 67 61
13.00 76 55 66 60
13.15 86 53 63 64
13.30 60 40 72 46
13.45 90 56 64 67
14.00 90 60 70 70
14.15 95 56 70 69
14.30 82 65 72 70
14.45 82 56 64 64
15.00 92 54 60 66
15.15 90 60 60 70
15.30 90 54 76 66
15.45 98 66 77 74
16.00 98 64 74 73
16.15 101 77 78 78

grafik waktu terhadap MAP


100 88
90 78
80 72 74 73
67 67 70 69 70 70
64 64 66 66
70 61 60
57
60
46
50
40
30
20
10
0

MAP Column1 Column2

12
o Lain-lain :
 Inj. Ondancentron 4 mg
 Inj. Asam Tranexamat 1 gr
 Dexametasone 10 mg injeksi
 Paracetamol 1 gr iv
 Inj. Klonidin 45 mg

h. Recovery Room (Aldrette Score)


Kesadaran : 2 (sadar, orientasi baik)
Pernafasan : 2 (dapat nafas dalam, batuk)
Tekanan darah : 2 (TD berubah < 20%)
Aktivitas : 2 (4 ekstremitas bergerak)
Warna kulit/SpO2 : 2 (merah muda (pink), tanpa O2, SaO2 > 92%)
TOTAL : 10

i. Tindak Lanjut
o Observasi tanda-tanda vital post operasi
o O2 nasal kanul 2 liter/menit
o Mobilisasi bertahap

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Teknik hipotensi terkendali


Merupakan suatu teknik pada anestesi umum dengan menggunakan agen
hipotensi kerja cepat untuk menurunkan tekanan darah serta perdarahan saat
operasi. Prosedur ini memudahkan operasi sehingga membuat pembuluh darah
dan jaringan terlihat serta mengurangi kehilangan darah.

Gambar : skala untuk mengukur kualitas lapang pandang operasi

Teknik hipotensi adalah suatu teknik yang digunakan pada operasi yang
meminimalkan kehilangan darah pada pembedahan, dengan demikian
menurunkan kebutuhan transfusi darah. Prosedur ini dapat diterapkan dengan
aman pada kebanyakan pasien, termasuk anak-anak, dan untuk beberapa jenis
prosedur operasi. Teknik ini memerlukan kontrol pada tekanan darah yang rendah
sehingga tekanan darah sistolik diantara 80-90 mmHg. Definisi lainnya adalah
menurunkan Tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure) sampai 50-70 mmHg
pada pasien normotensi.
Pada operasi telinga, teknik anestesi yang dipilih seharusnya dapat
memberikan kondisi operasi yang baik pada operator. Dengan menaikkan kepala
10-150 sehingga dapat meningkatkan pengeluaran aliran balik vena, menjaga
tekanan darah tetap rendah, serta menurunkan perdarahan. Tujuannya haruslah
mengurangi perdarahan, terutama pada daerah yang dioperasi. Prosedur hipotensi
untuk telinga, hidung, atau tenggorokan termasuk di dalamnya, dan yang harus

14
diperhatikan bahwa teknik hipotensi merupakan suatu prosedur yang mungkin
saja dapat menyebabkan suatu komplikasi.

3.2 Cara Menjaga Hipotensi yang Ingin Dicapai


Kata kunci pada teknik anestesi hipotensi adalah MAP (Mean Arterial
Pressure) yaitu perkalian cardiac output dengan resistensi vaskular sistemik. MAP
dapat dimanipulasi dengan mengurangi resistensi vaskular sistemik atau cardiac
output, ataupun keduanya. Teknik hipotensi dengan hanya mengurangi cardiac
output tidak ideal dilakukan, karena memelihara aliran darah ke organ sangat
penting. Resistensi vaskular sistemik dapat dikurangi dengan vasodilatasi
pembuluh darah perifer, sedangkan cardiac output dapat dapat dikurangi dengan
menurunkan venous return, heart rate, kontraktilitas miokard atau kombinasi dari
ketiganya.
Cara untuk Menurunkan Cardiac Output
1. Mengurangi pembuluh darah dengan arteriotomi. Teknik ini pertama kali
dikemukakan oleh Gardner pada tahun 1946 dengan cara mengurangi 500
ml darah melalui cateter dari arteri radialis hingga tekanan darah menjadi
80 mmHg. Masalah dari cara ini sangat jelas bahwa kehilangan darah akut
akan menyebabkan menyebabkan berkurangnya oksigen ke jaringan,
akibat kompensasi yang terjadi berupa vasokonstriksi dan berkurangnya
kadar hemoglobin. Vasodilatasi pembuluh darah dengan menggunakan
nitrogliserin.
2. Menurunkan kontraktilitas dengan menggunakan agen inhalasi dan beta
blocker.
3. Menurunkan denyut jantung dengan menggunakan inhalasi dan beta
blocker.

Metode untuk menurunkan Resistensi Vaskular sistemik


1. Blokade reseptor α adrenergic seperti labetalol dan phentanolamine.
2. Relaksasi otot polos pembuluh darah dengan vasodilator langsung seperti
nitroprusside, calcium channel blocker, agen inhalasi, purin, dan PGE1.

15
Cara mekanis untuk meningkatkan potensial kerja agen hipotensi
Metode utama dari teknik ini adalah posisi yang benar, tekanan udara
positif, dan penggunaaan obat hipotensi. Beberapa obat efektif menurunkan
tekanan darah: gas anestesi, simpatetik agonis, calcium channel bloker, ACE-I
karena onsetnya cepat dan durasinya pendek.
1. Memposisikan pasien adalah hal penting dalam teknik hipotensi. Elevasi
daerah lapang operasi memudahkan drainase vena dari daerah lapang
operasi. Hal ini sangat penting untuk mengurangi darah pada daerah
lapang operasi. Harus diingat bahwa hal tersebut timbul akibat gaya
gravitasi, tekanan darah berubah apabila jarak vertikal dengan jantung
berubah. Perubahan tekanan darah adalah 0,77 mmhg tiap cm ada
perubahan ketinggian dengan jantung. Teknik hipotensi mengurangi aliran
darah perifer.

Hal ini perlu diperhatikan pada daerah yang menanggung beban


berat, dan pada penonjolan tulang-tulang. Oleh karena itu bantalan khusus
perlu disediakan dengan lebih fokus pada daerah seperti oksiput, skapula,
sakrum, siku dan tumit. Juga harus diperhatikan kontrol tekanan pada
daerah orbita terutama pada posisi telungkup.
2. Airway Bertekanan Positif
Penggunaan ventilasi tekanan positif dengan volume tidal yang tinggi,
waktu inspirasi yang lebih panjang, dan peningkatan Positive End
Expiratory Pressure akan mengurangi aliran balik vena, yang akan

16
membantu teknik hipotensi. Akan tetapi peningkatan volume tidal pada
pemberian ventilasi mekanik juga akan meningkatkan ruang rugi dan
meningkatkan tekanan intratoraks sehingga akan mengurangi aliran darah
balik otak yang akhirnya menyebabkan peninggian tekanan intrakranial.

Anestetik volatile dan agonis adrenergik bekerja baik untuk menekan


MAP pada 60-70 mmHg. Elevasi kepala setinggi 15O dapat mengurangi kongesti
vena dan penggunaan epinefrin sebagai vasokonstriktor umumnya dapat
mempengaruhi kondisi operasi.

3.3 Indikasi Teknik Hipotensi Terkendali


Teknik hipotensi terkendali telah terbukti berguna untuk operasi perbaikan
aneurisma cerebral, pengangkatan tumor otak, total hip artroplasty, dan operasi
lainnya yang berhubungan dengan resiko kehilanggan darah yang banyak.
Penurunan ekstrafasasi darah di perkirakan akan meningkatkan hasil operasi
plastik menjadi lebih baik. Indikasi lainnya adalah :
1. Operasi Telinga, hidung, tenggorokan serta operasi daerah mulut
2. Gynecology : operasi pelvis radikal
3. Urology : prostatektomy

3.4 Kontra indikasi tehknik hipotensi terkendali


Teknik hipotensi terkendali tidak dianjurkan pada pasien-pasien yang
mempunyai penyakit yang dapat menurunkan perfusi organ seperti :
1. Anemia
2. Hipovolemia
3. Penyakit jantung coroner
4. Insufisiensi hepar dan ginjal
5. Penyakit serebrovaskular
6. Penyakit jantung bawaan
7. Gagal jantung kongestif
8. Hipertensi tidak terkontrol
9. Peningkatan TIK.

17
3.5 Batas Aman untuk Teknik Hipotensi
Batas amannya tergantung dari pasien. Pasien yang muda dan sehat dapat
mentoleransi tekanan darah arteri sampai 80 - 90 mmHg serta MAP sampai 50 -
60 mmHg tanpa komplikasi. Sedangkan pada pasien yang menderita hipertensi
kronik tidak lebih rendah dari 20-30% nilai normalnya.

3.6 Manajemen Anestesi dan Monitoring


1. Sebelum Operasi
a. Seorang ahli anestesi harus menguasai teknik hipotensi secara
keseluruhan
b. Evaluasi pasien
c. Studi menunjukkan bahwa pasien dengan Hb minimal 10 gr/dl aman
untuk dilakukan teknik hipotensi
d. Analisa gas darah sebelum dan sesudah operasi dibutuhkan sebagai
acuan selama operasi dan sesudah operasi berlangsung.
e. Premedikasi meliputi anxiolitik, analgesik, alpha blocker, beta blocker
dan obat anti hipertensi dapat membantu selama melakukan anestesi
dengan teknik hipotensi
2. Selama Operasi
a. Mengurangi stress selama fase induksi
b. Jika menggunakan obat hipotensi intravena, line kedua harus
terpasang.
c. Monitoring sangat berperan untuk keselamatan pasien selama anestesi
dengan teknik hipotensi
d. Monitoring tekanan darah dengan prosedur invasive sering di
rekomendasikan karena dapat memonitor tekanan darah denyut demi
denyut, dan juga dapat mempermudah akses untuk pemeriksaan analisa
gas darah dan hemoglobin
e. EKG : terutama lead V5 dan segmen ST untuk mendeteksi adanya
anemia
f. Saturasi Oksigen harus di monitor karena adanya risiko hipoksemia
akibat ketidak sesuaian antara ventilasi dan perfusi

18
g. End Tidal CO2 : Untuk mencegah hipercarbia dan hipokapnia. Harus
di ingat bahwa hubungan antara End Tial CO2 dan PaCO2 berubah
akibat adanya hipotensi. Oleh karena itu analisa gas darah harus
diperiksa secara intermiten untuk memastikan PaCO2 dalam batas yang
diinginkan
h. Suhu : Suhu inti tubuh penting untuk di monitor karena suhu tubuh
cepat menurun jika terjadi vasodilatasi pembuluh darah. Hipotermia
dapat menurunkan tingkat efektivitas dari vasodilator sehingga
membutuhkan dosis yang lebih banyak akibat kompensasi timbulnya
vasokonstriksi
i. Kehilangan darah: Respon fisiologis terhadap kehilangan darah dapat
hilang pada kondisi anestesi dengan teknik hipotensi. Oleh karena itu
kehilangan darah harus secara teliti di perkirakan dengan menimbang
jumlah kasa dan jumlah darah di botol suction
j. Terapi cairan yang sesuai sangat penting pada anestesi dengan teknik
hipotensi. Tujuan hipotensi adalah menurunkan MAP sambil
memantau adekuatnya aliran darah ke organ-organ vital. Oleh karena
itu kebutuhan cairan preoperative harus dianalisa dan dikoreksi. Dalam
waktu yang sama kebutuhan cairan pemeliharaan harus diberikan.
Kehilangan darah harus diganti dengan jumlah yang sama dengan
koloid atau tiga sampai empat kali lipat dengan kristaloid. Jika
perdarahan melebihi batas toleransi (20-25% dari estimasi volume
darah pasien), maka transfusi darah harus diberikan
k. Teknik hipotensi harus dimulai saat dibutuhkan. Setelah hipotensi
dimulai dibutuhkan level pemantauan tekanan darah untuk
meminimalisir perdarahan dengan cara menentukan dosis obat
hipotensi, baik itu secara manual atau menggunakan infuse. Hipotensi
hharus digunakan untuk mengurangi perdarahan dan hanya untuk
operasi yang dimana teknik hipotensi ini bermanfaat untuk membatasi
kehilangan darah.

19
3. Setelah Operasi
Penanganan post operasi yang adekuat dengan fasilitas resusitasi sangat
dibutuhkan. Perhatian setelah operasi diberikan pada airway, oksigenasi,
analgesi, monitoring, posisi, perdarahan, dan keseimbangan cairan.

3.7 Komplikasi
1. Gangguan perfusi organ utama :
• Trombosis Cerebral
• Hemiplegia
• Nekrosis hepar masif
• Kebutaan
• Retinal artery thrombosis
• Ischemic optic neuropathy
2. Komplikasi operasi
• Reactionary hemorrhage
• Hematoma formation

3.8 Obat Hipotensi


1. Agen anestesi volatil
a. Sevofluran
Pada umumnya digunakan pada anak-anak karena induksinya cepat,
nyaman dan toleransi terhadap jalan nafas lebih baik dibandingkan
inhalasi yang lain. Kombinasi sevofluran dan remifentanil atau
sufentanil digunakan untuk mengontrol hipotensi pada anak-anak.
Konsentrasi 4% diperlukan untuk mencapai MAP 55-65 mmHg. Studi
pada tikus yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi
didapatkan bahwa sevoflurane 1,0 MAC menurunkan MAP sebesar
36% dan berkurangnya SVR 34% Pada sirkulasi splanchnic, aliran
darah portal meningkat 48% menghasilkan peningkatan total liver
blood flow hingga 38%.

20
b. Halotan
Halotan menyebabkan vasodilatasi moderat, dimana terjadi penurunan
tahanan perifer sistemik sebesar 15-18%. Vasodilatasi pada daerah
kulit dan vascular bed splanchnic diimbangi dengan vasokonstriksi
pada otot skelet. Hipotensi pada penggunaan halotan disebabkan
karena efek langsung depresi otot jantung. Halotan sering digunakan
pada konsentrasi rendah untuk memulai anestesi hipotensi. Studi pada
tikus yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi didapatkan
bahwa halotan 1,0 MAC akan menurunkan MAP sebesar 38% dan
SVR berkurang 47%. Index stroke volume meningkat hingga 40% dan
perubahan ini menghasilkan peningkatan indeks jantung 35%. Pada
sirkulasi splanchnic, aliran darah portal dan hepatic arterial meningkat
90% dan 37% menghasilkan peningkatan total liver blood flow 76%.
c. Enflurane
Mekanisme dan efek hipotensi pada penggunaan enfluran hampir sama
seperti halotan. Enfluran mempunyai efek venodilatasi, sehingga pada
anestesi hipotensi hanya diperbolehkan menggunakan konsentrasi
0,25-0,5%.
d. Isoflurane
Isoflurane digunakan secara luas untuk menginduksi hipotensi karena
onset kerja cepat, mudah dikontrol dan efek kardiovaskuler cepat pulih
setelah obat dihentikan. Isoflurane memiliki efek minimal terhadap
kontraktilitas otot jantung pada konsentrasi inspirasi yang rendah.
Keuntungannya adalah meningkatkan dosis isofluran tidak hanya
menghasilkan efek vasodilatasi dan hipotensi, tetapi juga menekan
sistim saraf pusat sehingga meminimalkan reflek vasokonstriksi atau
takikardi akibat stimulasi baroreseptor. Isoflurane 2% atau MAC 1,54
menghambat peningkatan aliran darah medula adrenal, norepinephrine
dan epinephrine serta penurunan aliran darah organ abdomen sebesar
70% yang diamati pada MAP 60 mmHg. Penelitian Seagard et.al.
menemukan isoflurane 2,2% menumpulkan respon baroreceptor
terhadap hipotensi dan respon simpatis terhadap stimulus pembedahan

21
dengan menghambat transmisi ganglion dan neuron eferen simpatis.
Haraldsted mempelajari perbedaan cerebral arteriovenous O2
difference pada 20 pasien yang menjalani pembedahan aneurisma
serebral menyimpulkan bahwa cerebral blood flow dan oxygen
demand/supply ratios dipelihara dengan baik selama induksi hipotensi
dengan isofluran <2,5 MAC. Stone et.al., menemukan bahwa
isoflurane menyebabkan vasokonstriksi melalui inhibisi produksi basal
EDRF atau stimulasi pelepasan faktor vasokonstriksi yang berasal dari
endotelium pada konsentrasi rendah dan pada konsentrasi tinggi
mempunyai efek vasodilatasi langsung. Mazze et.al. menemukan
bahwa isofluran mengurangi aliran darah ke ginjal sebesar 49%.
Mekanisme ini disebabkan menurunnya redistribusi aliran darah dari
ginjal karena berkurangnya SVR dan tahanan vaskuler renal. Tahanan
vaskuler renal sebagian besar dipengaruhi tonus arteriole eferen
glomerulus, yang ditandai peningkatan fraksi filtrasi sebesar 50%.
Blok ganglion simpatik Trimetaphan dan pentolinium menyebabkan
hambatan ganglion otonom melalui mekanisme inhibisi kompetitif
asetilkolin. Efek obat ini tidak hanya terbatas pada sistim simpatis
karena transmisi kolinergik juga terjadi pada ganglion parasimpatis.
Hambatan aliran simpatis yang menyebabkan vasodilatasi relatif
lambat dalam onset maupun pemulihan. Durasi hipotensi yang
disebabkan trimetaphan relative pendek antara 10–15 menit sehingga
obat ini lebih sering diberikan secara infus iv 3–4 mg/mnt. Hal ini
sangat berbeda dengan injeksi tunggal pentolinium 5–15 mg yang
mampu menghasilkan hipotensi selama 45 menit dan proses yang
lambat untuk kembali ke nilai normal. Gangguan aliran darah serebral
dan medulla spinalis yang disebabkan redistribusi CBF menjauhi area
korteks; berkurangnya aliran darah koroner, hati dan ginjal, takikardi;
pelepasan histamine; inhibisi enzim pseudokolinesterase; potensiasi
terhadap pelumpuh otot non depolarisasi dan takifilaksis mengganggu
efektivitas penggunaan obat ini dalam mengurangi perdarahan.
Takifilaksis yaitu kebutuhan untuk menaikkan dosis obat untuk

22
menghasilkan efek yang sama lebih nyata dengan trimetaphan dan
membuat tekanan arteri yang stabil sulit dicapai sehingga pemberian
secara infuse kontinyu lebih baik dibandingkan bolus intermiten. Infus
kontinyu dimulai pada dosis 25 ug/kg/menit dan dititrasi sesuai efek.

2. Obat pelumpuh otot non depolarisasi


Penggunaan obat pelumpuh otot non depolarisasi untuk memfasilitasi
IPPV sebagai tambahan hipotensi elektif dianjurkan pada beberapa
keadaan dengan pertimbangan obat-obat tersebut menginduksi hambatan
ganglion simpatis dan pelepasan histamin yang menyebabkan vasodilatasi.
Penelitian Yoneda et.al., 1994 mengemukakan atracurium menekan
aktivitas saraf simpatis eferen menyebabkan penurunan tekanan arterial.
Di antara obat pelumpuh otot jangka menengah vecuronium dan
atracurium memiliki efek samping kardiovaskuler yang minimal. Menurut
Kimura et.al., 1999, vecuronium tidak mempengaruhi denyut jantung dan
tekanan darah dibandingkan pelumpuh otot yang lain. Penelitian Hughes
dan Chapple menemukan respon vagal dan simpatis terhadap beberapa
obat pelumpuh otot non depolarisasi dimana blok vagal dengan atracurium
hanya terjadi pada dosis 8–16 kali lebih besar dibandingkan dosis paralisis
penuh dan minimal terhadap mekanisme simpatis. Berbeda dengan
Yoneda et.al., 1994 dimana kira-kira dosis atracurium 3 kali lebih besar
menurunkan aktivitas saraf simpatis ginjal, tekanan arterial dan denyut
jantung. Atracurium melepaskan histamine pada dosis 3 kali ED95 .
Pelepasan histamine setelah pemberian atracurium menimbulkan hipotensi
arterial tidak saja karena efek vasodilatasi langsung tapi juga akibat
penurunan aktivitas saraf simpatis.

3. Penghambat alfa adrenergik


Penghambat alfa adrenergik menghasilkan vasodilatasi melalui mekanisme
hambatan kompetitif reseptor adrenergik post sinap dalam sistem simpatis.
Efek phentolamine relative pendek antara 20–40 dan reversibel, sedangkan
phenoxybenzamine bertahan beberapa hari karena obat ini merupakan
nitrogen mustard derivative, membentuk kompleks reseptor yang

23
irreversibel. Phentolamine juga mempunyai efek stimulant miokard (beta
adrenergik), meningkatkan konsumsi oksigen dan denyut jantung,
sebaliknya phenoxybenzamine memiliki efek sedasi. Phentolamine 5–10
mg digunakan untuk induksi vasodilatasi sedangkan phenoxybenzamine
0,5–2,0 mg/kg yang bertahan dalam 10 hari berguna dalam meminimalkan
efek katekolamin pada pengangkatan phaeochromocytoma. Sedangkan
chlorpromazine dan droperidol yang mempunyai efek mild alpha
adrenergik block sering digunakan untuk preparasi pasien sebelum
anestesi hipotensi.

4. Penghambat beta adrenergik


Keuntungan menggunakan antagonis beta adrenergik pada anestesi
hipotensi yaitu menurunnya denyut jantung dan curah jantung. Propranolol
sering digunakan untuk menghasilkan “rheostatic” hypotension. Terapi
oral 3x40 mg/hr bisa digunakan sebagai medikasi pra anestesi, sedangkan
dosis 1-2 mg iv dapat digunakan selama anestesi. Penghambat BETA
adrenergik ini dapat dipakai sebelum atau selama anestesi untuk
menetralkan efek takikardi yang dihasilkan sebagai efek samping anestesi
hipotensi oleh obat penghambat ganglion atau vasodilator langsung.
Pemberian preparat ini secara oral dinilai lebih baik dibandingkan
intravena karena akan menghasilkan konsentrasi plasma tetap selama
operasi. Labetalol (kombinasi anatagonis alfa dan beta adrenergik) juga
ideal untuk menginduksi hipotensi, tetapi durasi obat ini hanya bertahan
selama 30 menit dibandingkan penghambat beta yang berdurasi 90 menit.
Di samping itu, efek penghambat beta 5-7 kali lebih poten dibandingkan
penghambat alfa.

5. Vasodilator
a. Klonidin
Klonidin adalah obat antihipertensi golongan parsial selektif alfa-2
adrenergik agonis. Selain efek antihipertensi, klonidin juga dapat
memberikan efek sedasi, analgesi, dan anti cemas. Klonidin bekerja
dengan menurunkan respon simpatis dari sistem saraf pusat. Klonidin

24
pada tingkat perifer bekerja pada adrenoreseptor alfa-2 pre sinaps
mengurangi pelepasan norepinefrin pada terminal saraf simpatis
sehingga menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan mengurangi efek
kronotropik pada jantung. Pemberian premedikasi klonidin dengan
dosis 1,5 mcg/kgbb intravena akan memberikan efek sedasi yang
adekuat. Aliran darah ke ginjal juga akan tetap dipertahankan selama
terapi klonidin. Efek bradikardi pada pemberian klonidin dapat diterapi
dengan pemberian atropin. Selain itu, klonidin juga mempunyai efek
depresi napas yang minimal pada sistem respirasi. Klonidin tersedia
dalam bentuk ampul, tablet, dan patch. Sediaan ampul (catapres)
mengandung 150 mcg klonidin hydrochloride dalam larutan 1 ml.
b. Sodium nitroprusside (SNP)
Keuntungan utama menggunakan obat ini adalah penurunan tekanan
darah yang cepat seimbang dengan pengembalian tekanan darah yang
cepat ke nilai normal, sehingga obat ini mampu menghasilkan “dial-a-
pressure” hypotension dalam periode yang sangat singkat misalnya
saat pengangkatan meningioma atau pemotongan aneurisma serebral.
Penggunaan SNP dianggap kurang memberikan visualisasi yang ideal
pada pembedahan kecuali terjadi penurunan MAP hingga 20%
(Boezaart et.al., 1995). SNP memberikan distribusi aliran darah
serebral yang lebih homogen akibat efek vasodilatasi langsung ke
serebral dan mempertahankan aliran darah yang adekuat ke organ vital
pada MAP di atas 50 mmHg. Efek vasodilator SNP pasti akan
menggeser kurva autoregulasi ke kiri secara dose dependent dan
meningkatkan tekanan intrakranial, sehingga tidak digunakan pada
neurosurgery sebelum tulang tengkorak dibuka.
SNP bekerja langsung pada otot polos pembuluh darah menyebabkan
dilatasi arteriolar, venodilatasi dan menurunnya curah jantung. Respon
ini disebabkan gugus NO yang berdifusi ke dalam otot polos pembuluh
darah dan meningkatkan cGMP sehingga menghasilkan relaksasi. SNP
memiliki sifat depresi terhadap kontraktilitas miokard yang minimal
dengan tetap memelihara aliran darah koroner dan menurunkan

25
kebutuhan oksigen otot jantung. Penggunaan preparat ini berhubungan
dengan intoksikasi sianida. Setiap molekul SNP mengandung 5 radikal
sianida yang dilepaskan akibat pemecahan obat dalam plasma dan sel
darah merah. Jalur metabolik normal pemecahan SNP bersifat non
enzimatik yaitu dalam sel darah merah dan plasma. Reaksi intraseluler
di katalisasi oleh perubahan haemoglobin menjadi methaemoglobin.
Pada akhirnya, lebih dari 98% sianida yang dihasilkan akibat
pemecahan SNP terdapat di dalam sel darah merah, sedangkan
proporsi yang lebih kecil bergabung dengan methaemoglobin atau
vitamin B12. Sebagian besar sianida dimetabolisme di hati oleh enzim
rhodanase menjadi thiocyanate yang dikeluarkan melalui urine. Faktor
yang membatasi kecepatan metabolisme sianida dipengaruhi gugus
sulphydryl dimana pada pemberian sodium thiosulphate akan
meningkatkan produksi thiocyanate sehingga mengurangi konsentrasi
sianida dalam darah. Penggunaan thiosulphate tidak mempengaruhi
efek hipotensi yang dihasilkan SNP. Dosis SNP yang
direkomendasikan 0,2-0,5 ug/kg/menit dan ditingkatkan secara
bertahap sampai level hipotensi yang diharapakan tercapai, sedangkan
dosis maksimum yang dianggap masih aman adalah 1,5 ug/kg/menit,
dimana terjadi sedikit peningkatan konsentrasi laktat dalam plasma
yang dicerminkan dengan meningkatnya deficit basa arterial -6 sampai
-7 mmol/liter yang reversibel setelah penghentian SNP. Pengukuran
rutin asam basa selama SNP akan memberikan informasi klinis yang
adekuat terjadinya toksisitas sianida. Jika dosis SNP yang diberikan
tidak melebihi dosis maksimum maka gejala toksisitas tidak akan
terjadi pada pasien dengan fungsi hati dan ginjal yang normal.
Kerugian SNP untuk hipotensi kendali anak-anak adalah munculnya
reflek takikardi dan potensi terjadinya toksisitas sianida (Degoute
et.al., 2003).
c. Nicardipine
Nicardipine termasuk golongan antagonis calcium channel
dihydropyridine yang mempunyai potensi vasodilatasi arteri dengan

26
efek kronotropik dan inotropik negatif yang minimal (Kimura et.al.,
1999). Bernard et.al.. membandingkan penggunaannya dengan
nitroprusside untuk pasien dewasa yang menjalanani pembedahan
spinal fusion. Pada penelitian ini kedua obat mencapai hipotensi
dengan cepat akibat vasodilatasi sistemik. MAP yang stabil mudah
dicapai sesuai dengan protokol yang digambarkan. Waktu yang
dibutuhkan untuk kembali ke tekanan darah baseline pada kelompok
nicardipine 20 menit lebih lama dibandingkan nitroprusside. Hal ini
disebabkan mekanisme seluler nitroprusside yang menyebabkan
relaksasi pembuluh darah melalui produksi nitric oxide yang memiliki
waktu paruh 0,1 detik. Pelepasan donor nitric oxide menyebabkan
restorasi tekanan darah yang cepat.
Nicardipine akan mempengaruhi tonus otot pembuluh darah yang
tergantung kalsium. Pelepasan nicardipine tidak menghasilkan
pengembalian ke tekanan darah baseline sampai obat berdifusi keluar
dari reseptor dan terjadi keseimbangan kalsium intra dan ekstraseluler.
Tetapi pengembalian MAP yang lambat justru memberikan
keuntungan karena proses yang bertahap tanpa disertai rebound
hypertension yang biasa terlihat pada nitroprusside memberikan lebih
banyak waktu untuk pembentukan bekuan darah yang stabil dan
mencegah hilangnya darah yang berlebihan paska operasi. Nicardipine
menghasilkan reflek takikardi yang minimal dibandingkan
nitroprusside. Meningkatnya reflek takikardi akan membutuhkan infus
vasoaktif tambahan yang pada akhirnya meningkatkan biaya per
pasien. Dari segi biaya, nitroprusside lebih ekonomis dibandingkan
nicardipine, tetapi reflek takikardi yang ditimbulkan menyebabkan
pasien membutuhkan infuse vasoaktif tambahan berupa esmolol,
sehingga nicardipine dinilai lebih cost-effective. Di samping itu,
penggunaan rutin nicardipine pada hipotensi kendali mengurangi
jumlah unit darah yang dibutuhkan sebesar 4-5 unit autologous blood
atau biaya sekitar $206.00/unit (Hersey et.al., 1997). Penelitian lain
yang mendukung yaitu Bernard et.al. menyimpulkan bahwa hipotensi

27
kendali pada pasien dewasa sehat lebih aman dan mudah dicapai
dengan infus nicardipine dibandingkan nitroprusside untuk spinal
fusion karena MAP baseline tercapai kembali secara bertahap dan lebih
hemat. Penurunan tekanan darah dan meningkatnya denyut jantung
pada anestesi isofluran lebih lama, tetapi klirens nicardipine lebih
besar. Perbedaan ini menunjukkan bahwa nicardipine meningkatkan
ikatan reseptor target dengan isofluran sehingga aktifitas simpatis
medulla adrenal meningkat secara intensif. Waktu paruh nicardipine
dengan anestesi sevofluran dan enfluran berkisar 22-45 menit, tetapi
meningkat 2 kali lipat dengan isofluran. Hal ini disebabkan
meningkatnya aliran darah hepar dengan isofluran (Nishiyama et.al.,
1997).
d. Trinitroglycerin (TNG)
Metabolisme nitroglycerin melibatkan pemecahan trinitrate yang
terjadi di hepar menjadi dimono-nitrate dan terakhir glycerol. Proses
ini menyebabkan aktivitas vasodilator molekul nitrat berkurang karena
ukuran molekul juga berkurang. TNG menghasilkan penurunan
tekanan arteri yang stabil dengan efek yang lebih besar pada tekanan
sistolik dibandingkan tekanan diastolik untuk mempertahankan aliran
darah. Pemulihan dari nitroglycerin membutuhkan waktu 10-20 menit,
berbeda dengan SNP yang membutuhkan waktu 2–4 menit, sehingga
kurang ideal digunakan pada pembedahan yang membutuhkan
hipotensi yang ekstrim. Efek vasodilatasi TNG lebih dominan pada
sistim kapasitansi vena sehingga tekanan diastolik dipertahankan lebih
besar dan perfusi arteri koroner lebih baik dibandingkan SNP. Efek ini
menguntungkan pada pasien yang memiliki gangguan sirkulasi
serebral atau miokard (Simpson, 1992). Dosis TNG biasanya dimulai
0,2-0,5 ug/kg/menit dan ditingkatkan bertahap hingga level hipotensi
yang diharapkan tercapai. TNG tidak menimbulkan takifilaksis,
toksisitas dan rebound hypertension seperti SNP.

28
BAB IV
PEMBAHASAN

Perempuan usia 30 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalankan


operasi Mastoidektomi pada tanggal 14 Februari 2018 dengan diagnosis pre-
operatif yaitu OMSK AD.
 Pre-operatif
- pada tahap perioperatif dilakukan anamnesa untuk melihat apakah pasien
memiliki riwayat penyakit yang dapat menjadi penyulit operasi. Pada
pasien termasuk ASA I tanpa adanya penyakit sistemik maupun penyulit
airway.
- dengan pemberian maintenance cairan sesuai berat badan serta dipuasakan
selama 6 jam sebelum operasi yang bertujuan untuk memperkecil
kemungkinan adanya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah
saat dilakukan intubasi.
 Intraoperatif
- metode anestesi yang dipilih adalah anestesi umum dengan intubasi dan
teknik hipotensi. Indikasi dilakukannya teknik hipotensi pada kasus ini
adalah lokasi operasi berada di telinga yang memiliki lapang pandang kecil,
tujuan teknik hipotensi dilakukan pada operasi ini untuk meningkatkan
lapang pandang / visualisasi dari operator serta mengurangi perdarahan
pada pasien.
- Obat hipotensi yang digunakan pada operasi ini adalah agen anestesi gas
dan obat antihipertensi. Gas anestesi yang digunakan adalah sevoflurane.
Sevoflurane merupakan halogenasi eter dengan bau yang tidak menyengat
dan tidak merangsang jalan nafas, efek samping pada kadrivaskular cukup
stabil. Sevofluran bekerja dengan cara memodulasi reseptor GABA. Studi
pada tikus yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi didapatkan
bahwa sevoflurane 1,0 MAC menurunkan MAP sebesar 36% dan
berkurangnya SVR 34% Pada sirkulasi splanchnic, aliran darah portal
meningkat 48% menghasilkan peningkatan total liver blood flow hingga
38%. Pada awal operasi tekanan darah 118/80 mmHg dengan MAP 88

29
sebelum dilakukan premedikasi pada pasien, setelah diberikan premedikasi,
induksi, pelumpuh otot dan catapres terjadi sedikit penurunan tekanan
darah pada pasien. Sevoflurane yang digunakan sebesar 2%, pukul 12.00
tekanan darah pasien menurun 94/59 dengan MAP 72, yakni sesuai target
hipotensi.
- Pukul 12.30 MAP pasien menurun menjadi 57, sevoflurane diturunkan
menjadi 1,5% dan dipertahankan sampai tekanan darah sistolik pasien
menjadi 90.
- Pukul 13.30 MAP pasien turun menjadi 46, diberikan injeksi efedrin
sebanyak 1 cc untuk meningkatkan tekanan darah pasien, tepat pukul 14.00
tekanan darah kembali naik menjadi 90/60 dengan MAP sesuai target yakni
70.
- Pukul 16.00 operasi dinyatakan selesai dan pasien diberikan reverse yakni
neostigmin dan atropin dengan perbandingan 2:2, pukul 16.15 tensi pasien
menjadi 101/77 dengan MAP 78. Gas anestesi sevofluran diturunkan
perlahan agar pasien mudah dibangunkan. Setelah itu lakukan begging
untuk memancing pasien agar dapat bernafas spontan. Jika pasien sudah
dapat bernapas spontan dan normal dilakukan ekstubasi lalu disungkup
hingga pasien sadar dan dapat membuka mata.
 Postoperatif
- Diberikan paracetamol 100 mg I.V sebagai analgesia post operasi dan
ondancentron 4 mg serta dexametasone 10 mg untuk mengurangi efek
samping mual.
- Post operasi pasien diobservasi tanda vital, diberikan O2 nasal kanul dan
mobilisasi bertahap.
- Post operatif pasien dipantau dengan memperhatikan aldrette skor pada
pasien yakni kesadaran, pernafasan, tekanan darah, dan aktivitas, serta
warna kulit. Skor pada pasien adalah diatas 10 sehingga diperbolehkan
untuk keruang rawat inap.

30
BAB IV
KESIMPULAN

Pada operasi telinga, teknik anestesi yang dipilih seharusnya dapat


memberikan kondisi operasi yang baik pada operator. Tujuannya haruslah
mengurangi perdarahan, terutama pada daerah yang dioperasi. Teknik anestesi
hipotensi merupakan suatu teknik pada anestesi umum dengan menggunakan agen
hipotensi kerja cepat untuk menurunkan tekanan darah serta perdarahan saat
operasi. Prosedur ini memudahkan operasi sehingga membuat pembuluh darah
dan jaringan terlihat serta mengurangi kehilangan darah. Teknik ini memerlukan
kontrol pada tekanan darah yang rendah sehingga tekanan darah sistolik berada
diantara 80-90 mmHg. Definisi lainnya adalah menurunkan tekanan arteri rata-
rata (mean arterial pressure) sampai berkisar antara 60-70 mmHg pada pasien
normotensi.
Kata kunci pada teknik anestesi hipotensi adalah MAP (Mean Arterial
Pressure) yaitu perkalian cardiac output dengan resistensi vaskular sistemik. MAP
dapat dimanipulasi dengan mengurangi resistensi vaskular sistemik atau cardiac
output, atau keduanya. Resistensi vaskular sistemik dapat dikurangi dengan
vasodilatasi pembuluh darah perifer, sedangkan cardiac output dapat dapat
dikurangi dengan menurunkan venous return, heart rate, kontraktilitas miokard
atau kombinasi dari ketiganya.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi

Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/RSUP Dr. Kariadi. Semarang: Ikatan

Dokter Spesialis Anestesi dan Reanimasi (IDSAI) Cabang Jawa Tengah;

2010.p.259-64

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan

Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. 2009;

133-9

3. Morgan GE. Mikhail MS. Clinical Anesthesiologi. 4ed. Appleton & Lange

Stamford. 2006

4. Miller RD. Anesthesia 7th ed. Churchill Livingstone Philadelphia. 2009

5. Sunatrio. Resusitasi Cairan. Media Aesculapius. Jakarta; 2000

6. Leksana E. Terapi Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi

Intensif. Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro. Semarang

7. Sunatrio S. Terapi Cairan Kristaloid dan Koloid untuk Resusitasi Pasien

kritis. Second Fundamental Course on Fluid Therapy. PT. Widatra Bhakti.

Jakarta; 2003.

32

Anda mungkin juga menyukai