Oleh :
Hilman Ramadhan
1710221064
Pembimbing :
dr. Ernita, Sp. An
1
LAPORAN KASUS
Diajukan Oleh:
Hilman Ramadhan
1710221064
2
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Disusun Oleh:
Hilman Ramadhan
1710221064
Mengetahui,
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus “Teknik
Hipotensi Terkendali Pada Mastoidektomi”.
Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Departemen Anestesi dan Reanimasi. Penyusunan laporan ini
terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang turut membantu
terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Ernita Sp.An
selaku pembimbing dan seluruh teman-teman kepaniteraan klinik Bagian
Departemen Anestesi dan Reanimasi atas kerjasamanya selama penyusunan
laporan ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca
maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.
Penulis
4
BAB I
PENDAHULUAN
I.2. Tujuan
Presentasi kasus ini bertujuan untuk mengetahui teknik dan upaya
dalam mengkontrol tekanan darah saat operasi OMSK.
5
BAB II
DESKRIPSI KASUS
1. Anamnesis
a. Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan ataupun debu
b. Riwayat Penyakit
Pasien tidak memiliki riwayat asma, penyakit jantung, ginjal, hepar,
hipertensi, diabetes mellitus dan kecelakaan/trauma
c. Riwayat Operasi
Pasien tidak pernah dioperasi sebelumnya
d. Keadaan Saat Ini
Pasien tidak sedang demam, batuk maupun flu
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Berat Badan : 53 kg
d. Tanda Vital:
TD : 120/70 mmHg
6
RR : 20 x/menit
N : 80 x/ menit
S : 370C
e. Kepala dan Leher: normocephal, konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-)
f. Thorax
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi :
o Batas atas kiri : ICS II LPS sinistra
o Batas atas kanan : ICS II LPS Dekstra
o Batas bawah kiri : ICS V LMC Sinistra
o Batas bawah kanan : ICS IV LPS Dextra
Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Paru
Inspeksi :Pergerakan simetris saat statis dan dinamis, retraksi
(-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikular breath sound (+), rhonkhi (-), wheezing
(-)
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, distensi (-)
Auskultasi : BU (+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : jejas (-), bekas trauma (-), massa (-), sianosis (-),
turgor kulit cukup, akral hangat
Mallampati Skor : 1 (tampak pilar faring, palatum mole, dan
uvula)
Bukaan mulut : 3 jari pasien
7
Jarak mento-hyoid : 3 jari pasien
Jarak tiro-hyoid : 2 jari pasien
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
HITUNG JENIS
Basofil 0.2 0-1 %
Eosinofil 2,4 1-3 %
Neutrophil 52,7 52,0-76,0 %
Limfosit 28,8 20-40 %
Monosit 5,9 2-8 %
RDW-CV 12,6 11,5-14,5 %
8
Hasil Pemeriksaan Hemostasis
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
PT pasien
PT control 11 9,8-11,2 detik
INR 11,4
APTT 0,98
APTT pasien
APTT control 36,2 31,0-47,0 detik
34,4
b. Rontgen Thorax
Kesan : Cor dan pulmo dalam batas normal
c. Rontgen Mastoid
Kesan : Mastoiditis Dextra
9
2.2 Status Anestesi
Anestesi dilakukan pada posisi terlentang dengan posisi kepala
dielevasikan 150. Lama anestesi 4 jam 30 menit (pukul 11.45 – 16.15) dan lama
operasi 4 jam (pukul 12.00 – 16.00)
1. Rencana Anestesi : General anestesi dengan intubasi
a. Premedikasi
o Midazolam (0,05-0,1mg/kgBB) = 2,65 mg – 5,3 mg → 5 mg
Sediaan 5cc: 1mg/cc → 5cc
o Fentanyl (1-3 µg/kgBB) = 53 mcg – 159 mcg → 100 mcg
Sediaan 2cc: 50 µg/cc → 2 cc
b. Induksi
Propofol (1,5-2,5 mg/kgBB) = 79,5 mg – 132,5 mg → 100 mg
Sediaan 20 cc: 10 mg/ml → 10 cc
c. Pelumpuh Otot
Atracurium (0,5-0,6 mg/kgBB) : 26,5 mg – 31,8 mg → 30 mg
Sediaan 5cc: 10 mg/ml → 3 cc
Rumatan (0,1 mg/kgBB) = 0,1 x 53 = 5,3 mg 5 mg = 0,5 cc
d. Pemasangan ETT
Dewasa perempuan digunakan ETT non kingking dengan cuff
ukuran 7,5
e. Maintenance
Air : O2 = 1,7 : 1,1
Gas Sevoflurane 2%
g. Monitoring :
o Pemantauan adekuatnya jalan nafas dan ventilasi selama anestesia :
pengamatan tanda klinis (kualitatif) seperti pergerakan dada,
10
observasi reservoir breathing bag, serta pastikan stabilitas ETT
tetap terjaga
o Pemantauan oksigenasi selama anestesia : pemantauan dilakukan
dengan pemasangan pulse oximetri untuk mengetahui saturasi O2
o Pemantauan adekuat atau tidaknya fungsi sirkulasi pasien :
o Pemantauan tekanan darah arterial dan denyut jantung
o Pemantauan EKG secara kontinu mulai sebelum induksi
anestesi
o Pemantauan kebutuhan cairan pasien selama anestesia
Input : Berupa Infus
Output : Perdarahan, urin
Perhitungan :
Maintenance: (4x10) + (2x10) + (1x33) = 93 ml
Operasi (6 ml/kg/jam): 53 x 6 = 318 ml
Puasa (6 jam): 93 x 6 = 558 ml
Pemberian
Jam I: ½ Puasa + Maintenance + Operasi = 279 + 93 + 318 = 690
ml
Jam II: ¼ Puasa + Maintenance + Operasi = 139,5 + 93 + 318 =
550,5 ml
Jam III: ¼ Puasa + Maintenance + Operasi = 139,5 + 93 + 318 =
550,5 ml
Jam IV: Maintenance + Operasi = 93 + 318 = 411 ml
11
Tabel 1. Pemantauan Tanda-Tanda Vital Selama Operasi
Tekanan darah Tekanan darah
waktu Nadi
sistolik diastolik MAP
11.45 118 80 82 88
12.00 94 59 78 72
12.15 81 54 72 67
12.30 68 52 66 57
12.45 87 51 67 61
13.00 76 55 66 60
13.15 86 53 63 64
13.30 60 40 72 46
13.45 90 56 64 67
14.00 90 60 70 70
14.15 95 56 70 69
14.30 82 65 72 70
14.45 82 56 64 64
15.00 92 54 60 66
15.15 90 60 60 70
15.30 90 54 76 66
15.45 98 66 77 74
16.00 98 64 74 73
16.15 101 77 78 78
12
o Lain-lain :
Inj. Ondancentron 4 mg
Inj. Asam Tranexamat 1 gr
Dexametasone 10 mg injeksi
Paracetamol 1 gr iv
Inj. Klonidin 45 mg
i. Tindak Lanjut
o Observasi tanda-tanda vital post operasi
o O2 nasal kanul 2 liter/menit
o Mobilisasi bertahap
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Teknik hipotensi adalah suatu teknik yang digunakan pada operasi yang
meminimalkan kehilangan darah pada pembedahan, dengan demikian
menurunkan kebutuhan transfusi darah. Prosedur ini dapat diterapkan dengan
aman pada kebanyakan pasien, termasuk anak-anak, dan untuk beberapa jenis
prosedur operasi. Teknik ini memerlukan kontrol pada tekanan darah yang rendah
sehingga tekanan darah sistolik diantara 80-90 mmHg. Definisi lainnya adalah
menurunkan Tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure) sampai 50-70 mmHg
pada pasien normotensi.
Pada operasi telinga, teknik anestesi yang dipilih seharusnya dapat
memberikan kondisi operasi yang baik pada operator. Dengan menaikkan kepala
10-150 sehingga dapat meningkatkan pengeluaran aliran balik vena, menjaga
tekanan darah tetap rendah, serta menurunkan perdarahan. Tujuannya haruslah
mengurangi perdarahan, terutama pada daerah yang dioperasi. Prosedur hipotensi
untuk telinga, hidung, atau tenggorokan termasuk di dalamnya, dan yang harus
14
diperhatikan bahwa teknik hipotensi merupakan suatu prosedur yang mungkin
saja dapat menyebabkan suatu komplikasi.
15
Cara mekanis untuk meningkatkan potensial kerja agen hipotensi
Metode utama dari teknik ini adalah posisi yang benar, tekanan udara
positif, dan penggunaaan obat hipotensi. Beberapa obat efektif menurunkan
tekanan darah: gas anestesi, simpatetik agonis, calcium channel bloker, ACE-I
karena onsetnya cepat dan durasinya pendek.
1. Memposisikan pasien adalah hal penting dalam teknik hipotensi. Elevasi
daerah lapang operasi memudahkan drainase vena dari daerah lapang
operasi. Hal ini sangat penting untuk mengurangi darah pada daerah
lapang operasi. Harus diingat bahwa hal tersebut timbul akibat gaya
gravitasi, tekanan darah berubah apabila jarak vertikal dengan jantung
berubah. Perubahan tekanan darah adalah 0,77 mmhg tiap cm ada
perubahan ketinggian dengan jantung. Teknik hipotensi mengurangi aliran
darah perifer.
16
membantu teknik hipotensi. Akan tetapi peningkatan volume tidal pada
pemberian ventilasi mekanik juga akan meningkatkan ruang rugi dan
meningkatkan tekanan intratoraks sehingga akan mengurangi aliran darah
balik otak yang akhirnya menyebabkan peninggian tekanan intrakranial.
17
3.5 Batas Aman untuk Teknik Hipotensi
Batas amannya tergantung dari pasien. Pasien yang muda dan sehat dapat
mentoleransi tekanan darah arteri sampai 80 - 90 mmHg serta MAP sampai 50 -
60 mmHg tanpa komplikasi. Sedangkan pada pasien yang menderita hipertensi
kronik tidak lebih rendah dari 20-30% nilai normalnya.
18
g. End Tidal CO2 : Untuk mencegah hipercarbia dan hipokapnia. Harus
di ingat bahwa hubungan antara End Tial CO2 dan PaCO2 berubah
akibat adanya hipotensi. Oleh karena itu analisa gas darah harus
diperiksa secara intermiten untuk memastikan PaCO2 dalam batas yang
diinginkan
h. Suhu : Suhu inti tubuh penting untuk di monitor karena suhu tubuh
cepat menurun jika terjadi vasodilatasi pembuluh darah. Hipotermia
dapat menurunkan tingkat efektivitas dari vasodilator sehingga
membutuhkan dosis yang lebih banyak akibat kompensasi timbulnya
vasokonstriksi
i. Kehilangan darah: Respon fisiologis terhadap kehilangan darah dapat
hilang pada kondisi anestesi dengan teknik hipotensi. Oleh karena itu
kehilangan darah harus secara teliti di perkirakan dengan menimbang
jumlah kasa dan jumlah darah di botol suction
j. Terapi cairan yang sesuai sangat penting pada anestesi dengan teknik
hipotensi. Tujuan hipotensi adalah menurunkan MAP sambil
memantau adekuatnya aliran darah ke organ-organ vital. Oleh karena
itu kebutuhan cairan preoperative harus dianalisa dan dikoreksi. Dalam
waktu yang sama kebutuhan cairan pemeliharaan harus diberikan.
Kehilangan darah harus diganti dengan jumlah yang sama dengan
koloid atau tiga sampai empat kali lipat dengan kristaloid. Jika
perdarahan melebihi batas toleransi (20-25% dari estimasi volume
darah pasien), maka transfusi darah harus diberikan
k. Teknik hipotensi harus dimulai saat dibutuhkan. Setelah hipotensi
dimulai dibutuhkan level pemantauan tekanan darah untuk
meminimalisir perdarahan dengan cara menentukan dosis obat
hipotensi, baik itu secara manual atau menggunakan infuse. Hipotensi
hharus digunakan untuk mengurangi perdarahan dan hanya untuk
operasi yang dimana teknik hipotensi ini bermanfaat untuk membatasi
kehilangan darah.
19
3. Setelah Operasi
Penanganan post operasi yang adekuat dengan fasilitas resusitasi sangat
dibutuhkan. Perhatian setelah operasi diberikan pada airway, oksigenasi,
analgesi, monitoring, posisi, perdarahan, dan keseimbangan cairan.
3.7 Komplikasi
1. Gangguan perfusi organ utama :
• Trombosis Cerebral
• Hemiplegia
• Nekrosis hepar masif
• Kebutaan
• Retinal artery thrombosis
• Ischemic optic neuropathy
2. Komplikasi operasi
• Reactionary hemorrhage
• Hematoma formation
20
b. Halotan
Halotan menyebabkan vasodilatasi moderat, dimana terjadi penurunan
tahanan perifer sistemik sebesar 15-18%. Vasodilatasi pada daerah
kulit dan vascular bed splanchnic diimbangi dengan vasokonstriksi
pada otot skelet. Hipotensi pada penggunaan halotan disebabkan
karena efek langsung depresi otot jantung. Halotan sering digunakan
pada konsentrasi rendah untuk memulai anestesi hipotensi. Studi pada
tikus yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi didapatkan
bahwa halotan 1,0 MAC akan menurunkan MAP sebesar 38% dan
SVR berkurang 47%. Index stroke volume meningkat hingga 40% dan
perubahan ini menghasilkan peningkatan indeks jantung 35%. Pada
sirkulasi splanchnic, aliran darah portal dan hepatic arterial meningkat
90% dan 37% menghasilkan peningkatan total liver blood flow 76%.
c. Enflurane
Mekanisme dan efek hipotensi pada penggunaan enfluran hampir sama
seperti halotan. Enfluran mempunyai efek venodilatasi, sehingga pada
anestesi hipotensi hanya diperbolehkan menggunakan konsentrasi
0,25-0,5%.
d. Isoflurane
Isoflurane digunakan secara luas untuk menginduksi hipotensi karena
onset kerja cepat, mudah dikontrol dan efek kardiovaskuler cepat pulih
setelah obat dihentikan. Isoflurane memiliki efek minimal terhadap
kontraktilitas otot jantung pada konsentrasi inspirasi yang rendah.
Keuntungannya adalah meningkatkan dosis isofluran tidak hanya
menghasilkan efek vasodilatasi dan hipotensi, tetapi juga menekan
sistim saraf pusat sehingga meminimalkan reflek vasokonstriksi atau
takikardi akibat stimulasi baroreseptor. Isoflurane 2% atau MAC 1,54
menghambat peningkatan aliran darah medula adrenal, norepinephrine
dan epinephrine serta penurunan aliran darah organ abdomen sebesar
70% yang diamati pada MAP 60 mmHg. Penelitian Seagard et.al.
menemukan isoflurane 2,2% menumpulkan respon baroreceptor
terhadap hipotensi dan respon simpatis terhadap stimulus pembedahan
21
dengan menghambat transmisi ganglion dan neuron eferen simpatis.
Haraldsted mempelajari perbedaan cerebral arteriovenous O2
difference pada 20 pasien yang menjalani pembedahan aneurisma
serebral menyimpulkan bahwa cerebral blood flow dan oxygen
demand/supply ratios dipelihara dengan baik selama induksi hipotensi
dengan isofluran <2,5 MAC. Stone et.al., menemukan bahwa
isoflurane menyebabkan vasokonstriksi melalui inhibisi produksi basal
EDRF atau stimulasi pelepasan faktor vasokonstriksi yang berasal dari
endotelium pada konsentrasi rendah dan pada konsentrasi tinggi
mempunyai efek vasodilatasi langsung. Mazze et.al. menemukan
bahwa isofluran mengurangi aliran darah ke ginjal sebesar 49%.
Mekanisme ini disebabkan menurunnya redistribusi aliran darah dari
ginjal karena berkurangnya SVR dan tahanan vaskuler renal. Tahanan
vaskuler renal sebagian besar dipengaruhi tonus arteriole eferen
glomerulus, yang ditandai peningkatan fraksi filtrasi sebesar 50%.
Blok ganglion simpatik Trimetaphan dan pentolinium menyebabkan
hambatan ganglion otonom melalui mekanisme inhibisi kompetitif
asetilkolin. Efek obat ini tidak hanya terbatas pada sistim simpatis
karena transmisi kolinergik juga terjadi pada ganglion parasimpatis.
Hambatan aliran simpatis yang menyebabkan vasodilatasi relatif
lambat dalam onset maupun pemulihan. Durasi hipotensi yang
disebabkan trimetaphan relative pendek antara 10–15 menit sehingga
obat ini lebih sering diberikan secara infus iv 3–4 mg/mnt. Hal ini
sangat berbeda dengan injeksi tunggal pentolinium 5–15 mg yang
mampu menghasilkan hipotensi selama 45 menit dan proses yang
lambat untuk kembali ke nilai normal. Gangguan aliran darah serebral
dan medulla spinalis yang disebabkan redistribusi CBF menjauhi area
korteks; berkurangnya aliran darah koroner, hati dan ginjal, takikardi;
pelepasan histamine; inhibisi enzim pseudokolinesterase; potensiasi
terhadap pelumpuh otot non depolarisasi dan takifilaksis mengganggu
efektivitas penggunaan obat ini dalam mengurangi perdarahan.
Takifilaksis yaitu kebutuhan untuk menaikkan dosis obat untuk
22
menghasilkan efek yang sama lebih nyata dengan trimetaphan dan
membuat tekanan arteri yang stabil sulit dicapai sehingga pemberian
secara infuse kontinyu lebih baik dibandingkan bolus intermiten. Infus
kontinyu dimulai pada dosis 25 ug/kg/menit dan dititrasi sesuai efek.
23
irreversibel. Phentolamine juga mempunyai efek stimulant miokard (beta
adrenergik), meningkatkan konsumsi oksigen dan denyut jantung,
sebaliknya phenoxybenzamine memiliki efek sedasi. Phentolamine 5–10
mg digunakan untuk induksi vasodilatasi sedangkan phenoxybenzamine
0,5–2,0 mg/kg yang bertahan dalam 10 hari berguna dalam meminimalkan
efek katekolamin pada pengangkatan phaeochromocytoma. Sedangkan
chlorpromazine dan droperidol yang mempunyai efek mild alpha
adrenergik block sering digunakan untuk preparasi pasien sebelum
anestesi hipotensi.
5. Vasodilator
a. Klonidin
Klonidin adalah obat antihipertensi golongan parsial selektif alfa-2
adrenergik agonis. Selain efek antihipertensi, klonidin juga dapat
memberikan efek sedasi, analgesi, dan anti cemas. Klonidin bekerja
dengan menurunkan respon simpatis dari sistem saraf pusat. Klonidin
24
pada tingkat perifer bekerja pada adrenoreseptor alfa-2 pre sinaps
mengurangi pelepasan norepinefrin pada terminal saraf simpatis
sehingga menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan mengurangi efek
kronotropik pada jantung. Pemberian premedikasi klonidin dengan
dosis 1,5 mcg/kgbb intravena akan memberikan efek sedasi yang
adekuat. Aliran darah ke ginjal juga akan tetap dipertahankan selama
terapi klonidin. Efek bradikardi pada pemberian klonidin dapat diterapi
dengan pemberian atropin. Selain itu, klonidin juga mempunyai efek
depresi napas yang minimal pada sistem respirasi. Klonidin tersedia
dalam bentuk ampul, tablet, dan patch. Sediaan ampul (catapres)
mengandung 150 mcg klonidin hydrochloride dalam larutan 1 ml.
b. Sodium nitroprusside (SNP)
Keuntungan utama menggunakan obat ini adalah penurunan tekanan
darah yang cepat seimbang dengan pengembalian tekanan darah yang
cepat ke nilai normal, sehingga obat ini mampu menghasilkan “dial-a-
pressure” hypotension dalam periode yang sangat singkat misalnya
saat pengangkatan meningioma atau pemotongan aneurisma serebral.
Penggunaan SNP dianggap kurang memberikan visualisasi yang ideal
pada pembedahan kecuali terjadi penurunan MAP hingga 20%
(Boezaart et.al., 1995). SNP memberikan distribusi aliran darah
serebral yang lebih homogen akibat efek vasodilatasi langsung ke
serebral dan mempertahankan aliran darah yang adekuat ke organ vital
pada MAP di atas 50 mmHg. Efek vasodilator SNP pasti akan
menggeser kurva autoregulasi ke kiri secara dose dependent dan
meningkatkan tekanan intrakranial, sehingga tidak digunakan pada
neurosurgery sebelum tulang tengkorak dibuka.
SNP bekerja langsung pada otot polos pembuluh darah menyebabkan
dilatasi arteriolar, venodilatasi dan menurunnya curah jantung. Respon
ini disebabkan gugus NO yang berdifusi ke dalam otot polos pembuluh
darah dan meningkatkan cGMP sehingga menghasilkan relaksasi. SNP
memiliki sifat depresi terhadap kontraktilitas miokard yang minimal
dengan tetap memelihara aliran darah koroner dan menurunkan
25
kebutuhan oksigen otot jantung. Penggunaan preparat ini berhubungan
dengan intoksikasi sianida. Setiap molekul SNP mengandung 5 radikal
sianida yang dilepaskan akibat pemecahan obat dalam plasma dan sel
darah merah. Jalur metabolik normal pemecahan SNP bersifat non
enzimatik yaitu dalam sel darah merah dan plasma. Reaksi intraseluler
di katalisasi oleh perubahan haemoglobin menjadi methaemoglobin.
Pada akhirnya, lebih dari 98% sianida yang dihasilkan akibat
pemecahan SNP terdapat di dalam sel darah merah, sedangkan
proporsi yang lebih kecil bergabung dengan methaemoglobin atau
vitamin B12. Sebagian besar sianida dimetabolisme di hati oleh enzim
rhodanase menjadi thiocyanate yang dikeluarkan melalui urine. Faktor
yang membatasi kecepatan metabolisme sianida dipengaruhi gugus
sulphydryl dimana pada pemberian sodium thiosulphate akan
meningkatkan produksi thiocyanate sehingga mengurangi konsentrasi
sianida dalam darah. Penggunaan thiosulphate tidak mempengaruhi
efek hipotensi yang dihasilkan SNP. Dosis SNP yang
direkomendasikan 0,2-0,5 ug/kg/menit dan ditingkatkan secara
bertahap sampai level hipotensi yang diharapakan tercapai, sedangkan
dosis maksimum yang dianggap masih aman adalah 1,5 ug/kg/menit,
dimana terjadi sedikit peningkatan konsentrasi laktat dalam plasma
yang dicerminkan dengan meningkatnya deficit basa arterial -6 sampai
-7 mmol/liter yang reversibel setelah penghentian SNP. Pengukuran
rutin asam basa selama SNP akan memberikan informasi klinis yang
adekuat terjadinya toksisitas sianida. Jika dosis SNP yang diberikan
tidak melebihi dosis maksimum maka gejala toksisitas tidak akan
terjadi pada pasien dengan fungsi hati dan ginjal yang normal.
Kerugian SNP untuk hipotensi kendali anak-anak adalah munculnya
reflek takikardi dan potensi terjadinya toksisitas sianida (Degoute
et.al., 2003).
c. Nicardipine
Nicardipine termasuk golongan antagonis calcium channel
dihydropyridine yang mempunyai potensi vasodilatasi arteri dengan
26
efek kronotropik dan inotropik negatif yang minimal (Kimura et.al.,
1999). Bernard et.al.. membandingkan penggunaannya dengan
nitroprusside untuk pasien dewasa yang menjalanani pembedahan
spinal fusion. Pada penelitian ini kedua obat mencapai hipotensi
dengan cepat akibat vasodilatasi sistemik. MAP yang stabil mudah
dicapai sesuai dengan protokol yang digambarkan. Waktu yang
dibutuhkan untuk kembali ke tekanan darah baseline pada kelompok
nicardipine 20 menit lebih lama dibandingkan nitroprusside. Hal ini
disebabkan mekanisme seluler nitroprusside yang menyebabkan
relaksasi pembuluh darah melalui produksi nitric oxide yang memiliki
waktu paruh 0,1 detik. Pelepasan donor nitric oxide menyebabkan
restorasi tekanan darah yang cepat.
Nicardipine akan mempengaruhi tonus otot pembuluh darah yang
tergantung kalsium. Pelepasan nicardipine tidak menghasilkan
pengembalian ke tekanan darah baseline sampai obat berdifusi keluar
dari reseptor dan terjadi keseimbangan kalsium intra dan ekstraseluler.
Tetapi pengembalian MAP yang lambat justru memberikan
keuntungan karena proses yang bertahap tanpa disertai rebound
hypertension yang biasa terlihat pada nitroprusside memberikan lebih
banyak waktu untuk pembentukan bekuan darah yang stabil dan
mencegah hilangnya darah yang berlebihan paska operasi. Nicardipine
menghasilkan reflek takikardi yang minimal dibandingkan
nitroprusside. Meningkatnya reflek takikardi akan membutuhkan infus
vasoaktif tambahan yang pada akhirnya meningkatkan biaya per
pasien. Dari segi biaya, nitroprusside lebih ekonomis dibandingkan
nicardipine, tetapi reflek takikardi yang ditimbulkan menyebabkan
pasien membutuhkan infuse vasoaktif tambahan berupa esmolol,
sehingga nicardipine dinilai lebih cost-effective. Di samping itu,
penggunaan rutin nicardipine pada hipotensi kendali mengurangi
jumlah unit darah yang dibutuhkan sebesar 4-5 unit autologous blood
atau biaya sekitar $206.00/unit (Hersey et.al., 1997). Penelitian lain
yang mendukung yaitu Bernard et.al. menyimpulkan bahwa hipotensi
27
kendali pada pasien dewasa sehat lebih aman dan mudah dicapai
dengan infus nicardipine dibandingkan nitroprusside untuk spinal
fusion karena MAP baseline tercapai kembali secara bertahap dan lebih
hemat. Penurunan tekanan darah dan meningkatnya denyut jantung
pada anestesi isofluran lebih lama, tetapi klirens nicardipine lebih
besar. Perbedaan ini menunjukkan bahwa nicardipine meningkatkan
ikatan reseptor target dengan isofluran sehingga aktifitas simpatis
medulla adrenal meningkat secara intensif. Waktu paruh nicardipine
dengan anestesi sevofluran dan enfluran berkisar 22-45 menit, tetapi
meningkat 2 kali lipat dengan isofluran. Hal ini disebabkan
meningkatnya aliran darah hepar dengan isofluran (Nishiyama et.al.,
1997).
d. Trinitroglycerin (TNG)
Metabolisme nitroglycerin melibatkan pemecahan trinitrate yang
terjadi di hepar menjadi dimono-nitrate dan terakhir glycerol. Proses
ini menyebabkan aktivitas vasodilator molekul nitrat berkurang karena
ukuran molekul juga berkurang. TNG menghasilkan penurunan
tekanan arteri yang stabil dengan efek yang lebih besar pada tekanan
sistolik dibandingkan tekanan diastolik untuk mempertahankan aliran
darah. Pemulihan dari nitroglycerin membutuhkan waktu 10-20 menit,
berbeda dengan SNP yang membutuhkan waktu 2–4 menit, sehingga
kurang ideal digunakan pada pembedahan yang membutuhkan
hipotensi yang ekstrim. Efek vasodilatasi TNG lebih dominan pada
sistim kapasitansi vena sehingga tekanan diastolik dipertahankan lebih
besar dan perfusi arteri koroner lebih baik dibandingkan SNP. Efek ini
menguntungkan pada pasien yang memiliki gangguan sirkulasi
serebral atau miokard (Simpson, 1992). Dosis TNG biasanya dimulai
0,2-0,5 ug/kg/menit dan ditingkatkan bertahap hingga level hipotensi
yang diharapkan tercapai. TNG tidak menimbulkan takifilaksis,
toksisitas dan rebound hypertension seperti SNP.
28
BAB IV
PEMBAHASAN
29
sebelum dilakukan premedikasi pada pasien, setelah diberikan premedikasi,
induksi, pelumpuh otot dan catapres terjadi sedikit penurunan tekanan
darah pada pasien. Sevoflurane yang digunakan sebesar 2%, pukul 12.00
tekanan darah pasien menurun 94/59 dengan MAP 72, yakni sesuai target
hipotensi.
- Pukul 12.30 MAP pasien menurun menjadi 57, sevoflurane diturunkan
menjadi 1,5% dan dipertahankan sampai tekanan darah sistolik pasien
menjadi 90.
- Pukul 13.30 MAP pasien turun menjadi 46, diberikan injeksi efedrin
sebanyak 1 cc untuk meningkatkan tekanan darah pasien, tepat pukul 14.00
tekanan darah kembali naik menjadi 90/60 dengan MAP sesuai target yakni
70.
- Pukul 16.00 operasi dinyatakan selesai dan pasien diberikan reverse yakni
neostigmin dan atropin dengan perbandingan 2:2, pukul 16.15 tensi pasien
menjadi 101/77 dengan MAP 78. Gas anestesi sevofluran diturunkan
perlahan agar pasien mudah dibangunkan. Setelah itu lakukan begging
untuk memancing pasien agar dapat bernafas spontan. Jika pasien sudah
dapat bernapas spontan dan normal dilakukan ekstubasi lalu disungkup
hingga pasien sadar dan dapat membuka mata.
Postoperatif
- Diberikan paracetamol 100 mg I.V sebagai analgesia post operasi dan
ondancentron 4 mg serta dexametasone 10 mg untuk mengurangi efek
samping mual.
- Post operasi pasien diobservasi tanda vital, diberikan O2 nasal kanul dan
mobilisasi bertahap.
- Post operatif pasien dipantau dengan memperhatikan aldrette skor pada
pasien yakni kesadaran, pernafasan, tekanan darah, dan aktivitas, serta
warna kulit. Skor pada pasien adalah diatas 10 sehingga diperbolehkan
untuk keruang rawat inap.
30
BAB IV
KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
2010.p.259-64
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan
133-9
3. Morgan GE. Mikhail MS. Clinical Anesthesiologi. 4ed. Appleton & Lange
Stamford. 2006
Jakarta; 2003.
32