Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS

MORBUS HANSEN REAKSI ENL

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Kepaniteraan Klinik Madya

SMF Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Jayapura

Oleh :
Eka Putri Cahyati, S.Ked
001 084 0166

Pembimbing :
Dr. Chairil, Sp.KK
NIP:

SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSU JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2017

Eka Putri Cahyati | Morbus Hansen Reaksi ENL 1


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 DEFINISI

Morbus hansen adalah penyakit infeksi yang kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen. Bersifat intraselular obligat.
Kuman Mycrobacterium Leprae yang berbentuk hasil dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm,
bersifat tahan asam dan alkohol serta gram positif. Sampai saat ini belum ditemukan
medium artifisial untuk pembiakan kuman Mycobacterium leprae. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, diikuti kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

1.2 SINONIM
Kusta, Lepra

1.3 EPIDEMIOLOGI
Cara penularan belum diketahui secara pasti. Diduga melalui kontak langsung
antar kulit yang lama dan erat, juga dapat melalui inhalasi, sebab Mycobacterium Leprae
masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas sangat bervariasi, antara 40
hari sampai 40 tahun. umumnya beberapa tahun, rata-rata 3 sampai 5 tahun.

Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum banyak
mengandung Mycobacterium Leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas.

Kusta terdapat hampir diseluruh dunia terutama Asia, Afrika, Amerika Latin
daerah tropis dan subtropis, dapat menyerang semua umur, namun jarang pada anak umur
kurang dari satu tahun. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 25 sampai 35
tahun. Kusta terutama terdapat pada masyarakat dengan sosial ekonomi rendah.

Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi
kusta. Pada tahun 2000 prevalensi kusta ditargetkan turun menjadi 1 kasus per 10.000
penduduk. Di Indonesia dikenal dengan Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000).

Eka Putri Cahyati | Morbus Hansen Reaksi ENL 2


1.4 PATOGENESIS
Kuman Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan bisa sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menyebabkan
timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif. Karena itu kusta disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinis yang
muncul sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intesitas infeksinya.

1.5 GEJALA KLINIS


Diagnosis dapat berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, dan histopatologis.
Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15 sampai 30 menit, sedangkan
histopatologik 10 sampai 14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin
(Mitsuda). Bentuk tipe klinis tergantung pada sistem imunitas selular (SIS). Jika SIS baik
gambaran yang muncul lebih kearah tuberkuloid, sebaliknya jika rendah akan
memberikan gambaran lebih kearah lepromatosa.

Spektrum penyakit menurut Ridley dan Jopling terdiri atas berbagai tipe atau
bentuk, yaitu:
1. TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
2. Ti : Tuberkuloid indefinite
3. BT : Borderline Tuberkuloid
4. BB : Mid Borderline
5. Li : Lepromatosa indefinite
6. LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

Kalsifikasi kusta menurut WHO :


1. Pausbasilar (PB) : mengandung sedikit kuman yaitu tipe TT, BT, dan I dengan
indeks bakteri kurang dari 2+.
2. Multibasilar (MB) : mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL, dan BB dengan
indeks bakteri lebih dari 2+.

Eka Putri Cahyati | Morbus Hansen Reaksi ENL 3


Gambaran klinis dapat berupa makula, infiltrat difus, papul, nodus. Bentuk
tuberkuloid (TT) gambaran klinis berupa makula atau makula yang dibatasi infiltrat
jumlah lesi biasanya satu atau beberapa saja, dengan distribusi asimetris, permukaan
kering bersisik dan batas yang jelas serta anestesia yang jelas. BTA pada lesi hampir
selalu negatif sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat 3+ Sedangkan
bentuk LL dapat berupa makula, infiltrat yang difus, papul atau nodus dalam jumlah
banyak, tidak ada kulit sehat, distribusi simetris, batas tidak jelas, permukaan halus
berkilat, anestesia biasanya tidak jelas, hasil BTA pada lesi kulit tinggi atau banyak,
sekret hidung juga banyak sedangkan tes lepromin negatif.

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien kusta adalah:


1. Anestesia :
Dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan
rasa suhu yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.
2. Dehidrasi :
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada tidaknya
dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak yang dipertegas
menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi
ke arah kulit normal akan lebih tebal.
3. Alopesia :
Untuk mengetahui adanya alopesia di daerah lesi, tetapi bagi penderita yang
berambut sedikit, sangat sukar menentukannya.
4. Gangguan fungsi motoris :
Diperiksa dengan Voluntary Muscle Test (VMT).
5. Saraf Perifer :
Yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, ada atau tidaknya nyeri
spontan dan nyeri tekan. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu di
periksa, yaitu nervus fasialis, nervus aurikularis magnus, nervus radialis, nervus
ulnaris, nervus medianus, nervus politea lateralis, dan nervus tibialis posterior. Bila
tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang
bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
6. Deformitas atau cacat kusta :
Dapat dibagi dalam deformitas primer atau sekunder. Deformitas primer sebagai
akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap

Eka Putri Cahyati | Morbus Hansen Reaksi ENL 4


Mycobacterium Leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu
kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas
sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf
(sensorik, motorik, otonom), antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.

1.6 KOMPLIKASI
Gejala-gejala kerusakan saraf :
1. Nervus ulnaris
a. Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
b. Clawing kelingking dan jari manis
c. Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial
2. Nervus medianus
a. Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
b. Tidak mampu aduksi ibu jari
c. Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
d. Ibu jari kontraktur
e. Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. Nervus radialis
a. Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
b. Tangan gantung (wrist drop)
c. Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan
4. Nervus poplitea lateralis
a. Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
b. Kaki gantung (foot drop)
c. Kelemahan otot peroneus
5. Nervus tibialis posterior
a. Anestesia telapak tangan
b. Claw toes
c. Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
6. Nervus fasialis
a. Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
b. Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengatupkan bibir.
7. Nervus trigeminus

Eka Putri Cahyati | Morbus Hansen Reaksi ENL 5


a. Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
b. Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya nervus fasialis yang dapat membuat paralisis nervus
orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lain akhirnya dapat
menyebabkan kebutaan.
Infiltasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.

Kusta histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatosa berbentuk nodus yang
berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya
timbul sebagai kasus relaps sensitif atau relaps resisten.

Kusta tipe neural


Kusta tipe neural murni mempunyai tanda sebagai berikut :
a. Tidak ada dan tidak pernah ada lesi kulit
b. Ada satu atau lebih pembesaran saraf
c. Ada anestesia dan paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang disarafinya
d. Bakterioskopik negatif
e. Tes Mitsuda umumnya positif
f. Untuk menentukan tipe, biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau nonspesifik, harus
dilakukan pemeriksaan histopatologik saraf.

1.7 PEMERIKSAAN LABORATORIUM


1.7.1 Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan
kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN.
Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung kuman Mycobacterium Leprae.

Eka Putri Cahyati | Morbus Hansen Reaksi ENL 6


Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya,
yaitu untuk riset atau rutin. Untuk riset dapat diperiksa oleh 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 sampai 6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2
sampai 4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltrat.
Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat
tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung
kuman paling banyak. Perlu diingat bahwa tempat yang sama pada pengamatan
pengobatan untuk dibandingkan hasilnya.

Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pagi
hari yang ditampung pada sehelai plastik. Perhatikan sifat duh tubuh, apakah cair, serosa,
bening, mukoid, mukopurulen, purulen, ada darah atau tidak. Sediaan dapat dibuat
langsung atau plastik tersebut dilipat dan kirim ke laboratorium.
Indeks bakteri dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam
100 lapang pandang.
1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

1.7.2 Pemeriksaan histopatologik


Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang
lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa
terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow
dengan banyak kuman.

1.7.3 Pemeriksaan serologik


Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh Mycobacterium Leprae, antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap Mycobacterium Leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-

Eka Putri Cahyati | Morbus Hansen Reaksi ENL 7


1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh
kuman Mycobacterium Tuberculosis.

Kegunaan pemeriksaan ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan,
karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. disamping itu dapat membantu
menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak
serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah:
a. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
b. Uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
c. ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
d. ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)

REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologi belum jelas betul, terminologi dan
klasifikasi masih bermacam-macam. Mengenai patofisiologinya belum jelas tersebut akan
dijelaskan secara imunologik. Reaksi imun dapat menguntungkan tetapi dapat pula
merugikan yang disebut reaksi imun patologik dan reaksi kusta ini tergolong didalamnya.
Dalam klasifikasi yang bermacam-macam itu, yang tampaknya paling banyak adalah
Eritema Nodusum Leprosum (ENL) dan Reaksi reversal atau reaksi upgrading.

Eritema Nodusum Leprosum terutama pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula
pada borderline tuberculoid, berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar
kemungkinan timbul eritema nodusum leprosum. Secara imunopatologis, eritema
nodusum leprosum (ENL) termasuk respon imun humoral, berupa fenomena kompleks
imun reaksi antara antigen Mycobacterium leprae + antibodi (IgM, IgG) + komplemen
kompleks imun.

Tampak dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka eritema nodusum leprosum
termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah satu protein
Mycobacterium leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk. Ternyata bahwa
kadar imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid.
Hal ini dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak kuman kusta yang mati dan hancur,
berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan
Eka Putri Cahyati | Morbus Hansen Reaksi ENL 8
sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang
akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.

Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan
tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan
gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut
dengan adanya proteinuria. Eritema nodusum leprosum dapat disertai gejala konstitusi
dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik.

Pada eritema nodusum leprosum tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan
reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti),
sehingga dapat disebut reaksi borderline.yang memegang peranan utama dalam hal ini
adalah sistem imunitas selular, yaitu terjadi peningkatan mendadak sistem imunitas
selular. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui dengan pasti, diperkirakan ada
hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada
tempat kuman Mycobacterium leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi
pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf
secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Bahwa
yang menentukan tipe penyakit adalah sistem imunitas selular. Tipe kusta yang termasuk
borderline ini dapat bergerak bebas ke arah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya
sistem imunitas selular, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah
ada bertambah aktif dan timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat, artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makkin eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah luas.

Eritema nodusum leprosum dengan lesi eritema nodusum sedangkan reversal tanpa
nodular, sedangkan reaksi reversal tanpa nodus, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi
non-noduar. Hal ini membantu menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau
tidak adanya nodus. Kalau ada berarti reaksi nodular atau eritema nodusum leprosum,
jika tidak ada berarti reaksi non-nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline.

Eka Putri Cahyati | Morbus Hansen Reaksi ENL 9


1.8 DIAGNOSIS BANDING
Kusta dikenal dengan the greatest imitator karena gambaran klinisnya banyak
menyerupai penyakit lain yaitu : dermatofitosis, tinea versikolor, pitiriasis rosea alba,
dermatitis seboroik, psoriasis, neurofibromatosis, granuloma anulae, xantomatosis,
skleroderma, leukimia kutis, tuberkulosis kutis verukosa, birth mark.

1.9 PENGOBATAN
Obat kusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah :
1. Diaminodifenil sulfon (DDS)
2. Klofazimin
3. Rifampisin

Obat lain yang dapat dijadikan alternatif :


1. Ofloksasin
2. Minosiklin
3. Klaritromisin

Untuk mencegah kemungkinan resistensi obat, maka pengobatan kusta dengan cara
multidrugs treatment (MDT). MDT menurut WHO :
a. Kusta MB : Rifampisin, DDS dan klofazimin
b. Kusta PB : Rifampisin, DDS.

1.10PENCEGAHAN
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai
risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan
cacat atau prevention of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini
kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali
gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan
dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita
diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah
terkena, memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka,
atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat, dan diminyaki agar tidak kering
dan pecah.

Eka Putri Cahyati | Morbus Hansen Reaksi ENL 10


WHO Expert Committee on Leprosy (1977) membuat klasifikasi cacat bagi
penderita kusta.

Cacat pada tangan dan kaki.


tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas
Tingkat 0
yang terlihat
ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang
Tingkat 1
terlihat.
terdapat kerusakan atau deformitas
Tingkat 2

Cacat pada mata


Tingkat 0 tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus)
ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus
Tingkat 1
sedikit berkurang
ada kelainan mata yang terlihat dan visus
Tingkat 2

1.11PROGNOSIS
Untuk vitam umumnya bonam, namun dubia ad malam pada fungsi ekstremitas.

Eka Putri Cahyati | Morbus Hansen Reaksi ENL 11


BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
Nama : Ny. HR
Tempat & tanggal lahir : 2 Juni 1988
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Pasir II
Agama : Kristen Protestan
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Pemeriksaan : 3 Februari 2017
No. RM : 18 22 25

2.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama:
Pasien datang ke poli Kulit dan Kelamin RSUD Dok 2 Jayapura dengan keluhan
benjolan-benjolan di tangan, bahu, kaki dan bokong. Pasien mengeluhkan bahwa
benjolan di bokong pecah dan mengeluarkan cairan.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluhkan bahwa benjolan tersebut mucul kembali setelah minum obat
program kusta selama 4 bulan. Kemudian muncul benjolan-benjolan dibagin tangan
dan lutut. Pasien juga sering merasa demam, keringat dingin, pusing, menggigil dan
keram-keram pada seluruh tubuh.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien didiagnosa mempunyai riwayat penyakit morbus hansen reaksi eritematosa
nodusum leprosum dan anemia.
d. Riwayat penyakit keluarga
Pasien menyanggah di dalam keluarga pasien, tidak ada yang menderita penyakit yang
sama.
e. Riwayat alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan, maupun obat-obatan.

Eka Putri Cahyati | Morbus Hansen Reaksi ENL 12


2.3 PEMERIKSAAN FISIK

a. Status generalisata
 Kesadaran umum : Tampak baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda vital :
o Tekanan darah : 110/70 mmHg
o Denyut Nadi : 155 x/menit
o Suhu : 39,8 0 C
o RR : 60 x/menit
o Sp02 : 86 %
 Kepala
o Mata : Conjungtiva Anemis (+/+) sklera ikterik (-/-)
o Hidung : Deformitas (-), Sekret (-/-)
o Telinga : deformitas (-)
o Mulut : Oral Candidiasis (-) ; Caries dentis (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-/-)
 Thorax
o Paru
 Inspeksi : simetris, ikut gerak napas
 Palpasi : nyeri tekan (-)
 Perkusi : sonor di kedua lapang paru
 Auskultasi : suara napas bronkovesikuler (+), Rhonki (-/-); Wheezing (-/-)
 Jantung
 Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba
 Perkusi : sonor di kedua lapang paru
 Auskultasi : suara

Eka Putri Cahyati | Morbus Hansen Reaksi ENL 13


Eka Putri Cahyati | Morbus Hansen Reaksi ENL 14

Anda mungkin juga menyukai