Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

Tatalaksana Pioderma
Fadhillah Ainurrohmah H.
201910401011099

Pembimbing:
dr. Ratna Ika Susanti, Sp.KK

KSM ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SOEDOMO KABUPATEN TRENGGALEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
Table of Contents

01 02 03

Pendahuluan Tinjauan Pustaka Kesimpulan


Latar belakang dan Definisi, Epidemiologi, Etiologi,
Patofisiologi, Manifestasi Klinis,
tujuan Diagnosis dan Tatalaksana
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN

Pioderma  infeksi kulit oleh bakteri S.aureus >> dan S.B


hemoliticus

Mengetahui definisi, epidemiologi,


Urutan ke-4 penyakit kunjungan terbanyak rawat jalan di etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
Indonesia  faktor risiko  kurangnya higiene, imunitas
menurun / penyakit kulit sebelumnya diagnosis dan penatalaksanaan pioderma

Terapi antibiotik  beberapa kali terjadi kasus resisten 


resisten penisilin  tahun 1960 resisten metisilin (MRSA) 
sangat penting diketahui terapi secara menyeluruh untuk
mengurangi angka kejadian dan kekambuhan infeksi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada musim
hujan di negara beriklim tropis seperti Indonesia.

Infeksi dapat terjadi pada epidermis, tepat di bawah


stratum korneum atau pada folikel rambut,

Penyebab utama pioderma adalah bakteri Staphylococcus


aureus dan Streptococcus B hemoliticus.

Budiani, Laksmi Dewi dan Made Swastika Adiguna.2014. Penatalaksanaan Pioderma Terkini. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Udayana,Bali.
Djuanda A. 2010.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.hal 57-62.Vol 6. Jakarta.
2.2 Epidemiologi

Indonesia
• Data dari 8 rumah sakit di 6 kota besar di
Indonesia  tahun 2001  1237 (13,86%)
pasien pioderma dari 8919 kunjungan baru pasien
kulit
• Prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok usia
1-4 tahun.

Dunia
Banyak dijumpai
khususnya di
negara
berkembang
Budiani, Laksmi Dewi dan Made Swastika Adiguna.2014. Penatalaksanaan Pioderma Terkini. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Udayana,Bali
2.3 Etiologi
Pioderma disebabkan oleh Staphylococcus aureus
dan Streptococcus B hemolyticus
Pembeda Staphylococcus aureus dengan spesies
lain adalah sifatnya yang bersifat koagulase positif.
Pada kasus pioderma Staphylococcus aureus
adalah etiologi paling sering
Budiani, Laksmi Dewi dan Made Swastika Adiguna.2014. Penatalaksanaan Pioderma Terkini. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Udayana,Bali.
Djuanda A. 2010.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.hal 57-62.Vol 6. Jakarta.
2.4 Patogenesis
Faktor risiko (gigitan serangga, trauma lokal, kelainan kulit
(dermatitis atopik), higiene buruk, usia, pemukiman padat) 
berperan dalam kerusakan stratum korneum kulit

Gambaran klinis Immunodefisiensi Toksin Eksfoliatif


Protein
Neutrofil tidak dapat • ETA dan ETB
immunomodulator 
menghancurkan S.aureus • ETA  impetigo bulosa
toksin, eksotoksin dan
 peningkatan • ETB  Staphylococcal scalded
adesin
kolonisasi bakteri skin syndrome (SSSS)
Budiani, Laksmi Dewi dan Made Swastika Adiguna.2014. Penatalaksanaan Pioderma Terkini. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Udayana,Bali.
Djuanda A. 2010.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.hal 57-62.Vol 6. Jakarta.
Enterotoksin S.aureus  Toxic shock syndrome
toksin-1 (TSST-1)  superantigen toksin pirogenik

Superantigen  aktivasi 5-30% sel T  pelepasan


sitokin dari makrofag secara sistemik  IL-2, INF dan
tumor nekrosis faktor-a

Aktivasi sel T  aktivasi dan ekspansi limfosit  sel


B  IgE meningkat

Budiani, Laksmi Dewi dan Made Swastika Adiguna.2014. Penatalaksanaan Pioderma Terkini. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Udayana,Bali.
Djuanda A. 2010.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.hal 57-62.Vol 6. Jakarta.
2.5 Manifestasi Klinis

01 02
Infeksi pada PIODERMA
Infeksi jaringan
kulit lunak
Impetigo bulosa dan Selulitis
non-bulosa

03
Infeksi folikel
rambut
Folikulitis, furunkel dan
karbunkel

Budiani, Laksmi Dewi dan Made Swastika Adiguna.2014. Penatalaksanaan Pioderma Terkini. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Udayana,Bali.
Djuanda A. 2010.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.hal 57-62.Vol 6. Jakarta.
2.5 Manifestasi Klinis

01 02
Pioderma Pioderma
PIODERMA profunda
superfisialis
gejala konstitusi (-) gejala konstitusi (+)

Impetigo non-bulosa, Erisipelas, selulitis,


impetigo bulosa, flegmon, abses
ektima, folikulitis, multipek kelenjar
furunkel dan karbunkel keringat dan
hidradenitis

Habif, P. Thomas.2016.Clinical Dermatology A Color Guide to Diagnosis and Therapy Sixth Edition.Elsevier.hal 289-300. Geisel School of Medicine at Dartmouth Hanover, NH, USA.
2.6 Diagnosis

Pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaan DL, Kultur swab
luka, PCR
fisik
Anamnesis Gambaran
Faktor risiko, gejala
sistemik/konstitusi, riwayat
klinis
munculnya, perubahan dan
penyebaran lesi., RPD, RPK
dan RSos
2.6 Diagnosis
Pioderma Superfisialis Efloresensi Gambaran klinis

Impetigo nonbulosa Predileksi : wajah (nares dan mulut)


Lesi awal  makula / papul eritematosa 
vesikel/pustul  pecah  krusta (warna
kuning-keemasan) dikelilingi eritema , lesi
satelit + di sekitarnya
Gatal +

Impetigo bulosa Predileksi : intertriginosa, dada, punggung


Vesikel-bula, bula hipopion

Ektima  pioderma Predileksi : ekstremitas bawah/daerah


ulseratif terbuka
Ulkus dangkal tertutup krusta tebal dan
lekat, warna kuning keabuan
2.6 Diagnosis
Pioderma Superfisialis Efloresensi Gambaran klinis
Folikulitis  superfisial dan F. Superfisial : di scalp (anak), dagu,
profunda aksila, ekstremitas bawah dan bokong.
Gatal, panas, pustul kecil dome-shaped,
multipel, mudah pecah pada folikel rambut.
F. Profunda : di dagu dan atas bibir.
Tampak nodus eritematosa dengan
perabaan hangat dan nyeri.
Furunkel  Infeksi pada Predileksi : leher, wajah, aksila dan
folikel rambut dan jaringan bokong
sekitarnya. Lesi nodus eritematosa, awalnya keras,
nyeri tekan, dapat membesar 1 -3 cm,
setelah beberapa hari terdapat fluktuasi,
bila pecah keluar pus
Karbunkel  kumpulan Diameter mencapai 3-10 cm dasar lebih
furunkel dalam. Pecah lebih lambat , bila sembuh
dapat meninggalkan jaringan parut
2.6 Diagnosis
Pioderma Profunda Efloresensi Gambaran klinis

Erisipelas Lesi eritematosa merah cerah, infiltrat


bagian pinggir, dapat disertai edema,
vesikel dan bula di atas lesi

Selulitis Infiltrat eritematosa difus

Flegmon Selulitis dengan supurasi


2.6 Diagnosis
Pioderma Profunda Efloresensi Gambaran klinis

Abses kelenjar keringat Tidak nyeri, bersama miliaria, nodus


eritematosa bentuk kubah

Hidradenitis Nodus abses, fistel di daerah aksila atau


perineum

Ulkus piogenik Ulkus dengan pus


2.6 Diagnosis
Pioderma Gejala klinis Gambaran klinis

Pionikia  radang di Didahului trauma.


sekitar kuku oleh piokokus Awal infeksi  tanda-tanda radang dilipat
kuku  menjalar ke matriks dan lempeng
kuku (nail plate)
Dapat terbentuk abses subungual
2.7 Tatalaksana

Non-medikamentosa
• Higiene (mandi 2x/hari)
• Mengatasi dan identifikasi faktor predisposisi
dan komorbid
Medikamentosa
• Prinsip  pasien berobat jalan kecuali pada
erisipelas, selulitis dan flegmon derajat berat
dianjurkan MRS (perdoski)
2.7 Tatalaksana

Insisi
Antibiotik
drainage

Insisi drainage
Jika ada abses

Antibiotik
Topikal dan sistemik
2.7 Tatalaksana

Pemiliha
n
antibiotik

Infeksi Infeksi
MSSA MRSA
2.7 Tatalaksana

● ● Sistemik
Topikal
 Bila banyak pus atau krusta: kompres  Lini pertama.
terbuka dengan pemasangan kalikus - Kloksasiklin/diklolsasiklin: dewasa 4x250-500
1/5000, asam salisilat 0,1%, rivanol 1%, mg/hari per oral; anak-anak 25-50 mg/kgBB/hari
larutan povidon iodine 1%; dilakukan 3 terbagi dalam 4 dosis.
kali sehari masing-masing ½ - 1 jam - Amoksisilin dan asam klavulanat: dewasa 3x250-
selama keadaan akut. 500 mg/hari; anak-anak 25 mg/kgBB/hari terbagi
 Bila tidak tertutup pus atau krusta; dalam 3 dosis.
salep/krim asam fusidat 2%, mupirosin - Sefaleksin: 25-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4
2%. Dioleskan 2-3 kali sehari, selama 7-10 dosis.
hari.  Lini kedua.
- Azitromisin 1x500 mg/hari (hari 1) dilanjutkan
1x250 mg (hari 2-5).
- Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis.
- Eritromisin: dewasa 4x250-500 mg/hari; anak-
anak 20-50 mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis.
2.7 Tatalaksana
Infeksi MRSA

 Trimethoprim-sulfametoksazol 160/800
mg, 2 kali sehari.
 Doksisiklin, minosiklin 2x100 mg, tidak
direkomendasikan untuk anak, usia 8
tahun.
 Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3
dosis.
2.7 Tatalaksana
Kasus yang berat  infeksi sistemik atau infeksi di daerah berbahaya (misalnya maksila) 
antibiotik parenteral.

● Nafcillin 1-2 mg IV tiap 4 jam, anak 100-150 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis.
● Penisilin G 2-4 juta unit IV tiap 4-6 jam. Anak: 60-100.000 Unit/kgBB tiap 6 jam.
● Ceftriaxone IV 1-2 gram, 1 kali/hari.
Apabila terdapat/dicurigai ada MRSA pada infeksi berat: vankomisin 1-2 gram/hari dalam
dosis terbagi atau 15-20 mg/kgBB tiap 8-12 jam IV, selama 7-14 hari. Anak: vankomisin 15
mg/kgBB IV tiap 6 jam.
● Linezoid 600 mg IV atau oral 2 kali sehari selama 7-14 hari, anak: 10 mg/kgBB oral atau
IV tiap 8 jam.
● Klindamisin IV 600 mg tiap 8 jam atau 10-13 mg/kgBB tiap 6-8 jam.
● Kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan kultur dan resistensi.
2.7 Tatalaksana

Insisi dan drainage  lesi abses besar, nyeri disertai


fluktuasi

Antibiotik diberikan  abses berat dan luas, cepat


berkembang menjadi selulitis, tanda dan gejala
sistemik +, keaadaan imunosupresi, usia tua
BAB 3
Kesimpulan
Kesimpulan
Pioderma merupakan infeksi kulit dan jaringan lunakyang disertai pembentukan pus,
paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus B hemoliticus.

Penegakan diagnosis pioderma berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan pada


pemeriksaan fisik

Tatalaksana pioderma terdiri dari medikamentosa dan nonmedikamentosa.

Pemberian antibiotik bisa secara topikal atau sistemik tergantung pada luas lesi dan
gejala konstitusi. Pemilihan antibiotik berdasarkan infeksi MSSA / MRSA

Tindakan insisi dan drainage dilakukan pada abses dan pemberian antibiotik
dipertimbangkan pada abses dengan kondisi tertentu.
References
● Budiani, Laksmi Dewi dan Made Swastika Adiguna.2014. Penatalaksanaan Pioderma Terkini.
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Udayana,Bali.
● Setyowati AD.2011.Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Pepaya 100% terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dari Pioderma. Universitas Diponegoro.
● Ma XX, Ito T, Kondo Y, Cho M, Yoshizawa Y, Kaneko J, dkk. 2008. Two different panton-
valentine leukosidin phage lineage predominate in Japan. J Clin Microbiol; 46: 3246-58
● Djuanda A. 2010.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.hal 57-62.Vol 6. Jakarta.
● Dewantoro, Zaki, Y.L Aryoko Widodo, V.Rizke Ciptaningtyas.2017.Pengaruh Pemberian
Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L. terhadap Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcus aureus secara In Vitro.Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Vol. 6 No. 2.Semarang: Universitas Diponegoro
● Habif, P. Thomas.2016.Clinical Dermatology A Color Guide to Diagnosis and Therapy Sixth
Edition.Elsevier.hal 289-300. Geisel School of Medicine at Dartmouth Hanover, NH, USA.
● Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).2017.Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia.PP PERDOSKI Jakarta Barat
● Hammond SP, Baden LR. 2011.Management of skin and soft-tissueinfection: polling result.
NEJM.hal 105: 20-2

Anda mungkin juga menyukai