Anda di halaman 1dari 44

REFERAT

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

PEMBIMBING:
Dr. Asep Syaiful Karim, SpPD

PENYUSUN:
TIARA HANA KEISHA
030.10.266

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD BUDHI ASIH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
DEFINISI

Sebelum tahun 2002, istilah insufisiensi renal kronis (chronic renal insufficiency) dipakai
untuk pasien dengan penurunan fungsi ginjal progresif, yang didefinisikan sebagai laju
filtrasi glomerular (glomerular filtration rate) kurang dari 75 ml/mnt/1,73 m2 luas
permukaan tubuh.

Istilah baru, yaitu CKD, diperkenalkan oleh NKF-K/DOQI untuk pasien yang memiliki
salah satu kriteria berikut:
1. kerusakan ginjal ≥3 bulan, dimana terdapat abnormalitas struktur atau fungsi
ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR yang dimanifestasikan oleh satu atau
beberapa gejala berikut:
- abnormalitas komposisi darah atau urin
- abnormalitas pemeriksaan pencitraan
- abnormalitas biopsy ginjal
2. GFR <60 ml/mnt/1,73 m2 luas permukaan tubuh selama ≥3 bulan dengan atau
tanpa tanda kerusakan ginjal lainnya

EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta diperkirakan terdapat 1800 kasus
baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun.

KLASIFIKASI

Sistem klasifikasi CKD yang sering dipakai diperkenalkan oleh NKF-K/QODI


berdasarkan tingkat GFR, bersama berbagai parameter klinis, laboratorium dan
pencitraan. Tujuan adanya system klasifikasi adalah untuk pencegahan, identifikasi awal
gangguan ginjal, dan penatalaksanaan yang dapat mengubah perjalanan penyakit
sehingga terhindar dari end stage renal disease (ESDR). Namun demikian system
klasifikasi ini hanya dapat diterapkan pada pasien dengan usia 2 tahun keatas, karena
adanya proses pematangan fungsi ginjal pada anak dengan usia di bawah 2 tahun.

KLASIFIKASI STADIUM CKD

Klasifikasi menurut NICE 2008


1. Memeriksa adanya proteinuria saat menentukan stadium dari GGK
2. Proteinuria
a. Urin ACR (albumin clearance ratio) 30 mg/mmol atau lebih
b. Urin PCR 50 mg/mmol atau lebih
3. Stadium 3 dari GGK harus dibagi menjadi 2 subkategori:
a. LFG 45-59 ml/min/1,73 m2 (stadium 3 A)
b. LFG 30-44 ml/min/1,73 m2 (stadium 3 B)
4. Penanganan pada GGK tidak boleh dipengaruhi usia

Stadium GFR (ml/mnt/1,73 m2) DESKRIPSI


1 ≥90 Kerusakan ginjal dengan
GFR normal/meningkat
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan
penuruna GFR ringan
3 30-59 Kerusakan ginjal dengan
penurunan GFR sedang
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan
penurunan GFR berat
5 <15 Gagal ginjal
LFG dihitung berdasarkan rumus Kockkroft-Gault:
(140−𝑢𝑚𝑢𝑟)𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛
LFG ml/min/1,73 m2: 𝑚𝑔
72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 ( )
𝑑𝑙

Ket: wanita x 0,742

(140−𝑢𝑚𝑢𝑟)𝑥 𝐵𝐵
Creatinine Clearance Test (ml/mnt) = 𝑚𝑔
72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 ( )
𝑑𝐿

(Ket: wanita x 0,85)

Kriteria Penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi


Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (penyakit autoimun,
infeksi sistemik, obat)
Penyakit vascular (penyakit pembuluh
darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointersisial (pielonefritis
kronik, batuk, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (Ginjal Polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (sikloporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

ETIOLOGI

Penyakit gagal ginjal kronik dapat dibagi dua, yaitu:


1. kelainan parenkim ginjal
- penyakit ginjal primer
 glomerulonephritis
 pielonefritis
 ginjal polikistik
 TBC ginjal
- penyakit ginjal sekunder
 nefritis lupus
 nefropati analgesic
 amyloidosis ginjal
2. penyakit ginjal obstruktif
- pembesaran prostat
- batu saluran kencing

Kondisi-kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD


 Riwayat penyakit ginjal polikistik atau penyakit ginjal genetik lainnya di keluarga
 Bayi dengan berat badan lahir rendah
 Anak-anak dengan riwayat gagal ginjal akut akibat hipoksia perinatal atau serangan
akut lainnya pada ginjal
 Hipoplasia atau displasia ginjal
 Gangguan urologis, terutama uropati obstruktif
 Refluks vesikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih berulang dan
parut di ginjal
 Riwayat menderita sindrom nefrotik dan nefritis akut
 Riwayat menderita sindrom uremik hemolitik
 Riwayat menderita purpura Henoch-Schőnlein
 Diabetes Melitus
 Lupus Eritermatosus Sistemik
 Riwayat menderita hipertensi
 Penggunaan jangka panjang obat anti inflamasi non steroid
PATOGENESIS CKD

Glomerulosklerosis
Progresifitas menjadi CKD berhubungan dengan sklerosis progresif glomeruli yang
dipengaruhi oleh sel intraglomerular dan sel ekstraglomerular. Kerusakan sel
intraglomerular dapat terjadi pada sel glomerulus intrinsik (endotel, sel mesangium, sel
epitel) dan ekstrinsik (trombosit, limfosit, monosit/makrofag). Sel endotel dapat
mengalami kerusakan akibat gangguan hemodinamik, metabolik dan imunologis.
Kerusakan ini berhubungan dengan reduksi fungsi antiinflamasi dan antikoagulasi
sehingga mengakibatkan aktivasi dan agregasi trombosit serta pembentukan
mikrotrombus pada kapiler glomerulus serta munculnya mikroinflamasi. Akibat
mikroinflamasi, monosit menstimulasi proliferasi sel mesangium sedangkan faktor
pertumbuhan dapat mempengaruhi sel mesangium yang berproliferasi menjadi sel
miofibroblas sehingga mengakibatkan sklerosis mesangium. Karena podosit tidak mampu
bereplikasi terhadap jejas sehingga terjadi peregangan di sepanjang membrana basalis
glomerulus dan menarik sel inflamasi yang berinteraksi dengan sel epitel parietal
menyebabkan formasi adesi kapsular dan glomerulosklerosis, akibatnya terjadi akumulasi
material amorf di celah paraglomerular dan kerusakan taut glomerulo-tubular sehingga
pada akhirnya terjadi atrofi tubular dan fibrosis interstisial

Parut tubulointersisial
Proses fibrosis tubulointerstisialis yang terjadi berupa inflamasi, proliferasi fibroblas
interstisial, dan deposisi matriks ekstra selular berlebihan. Gangguan keseimbangan
produksi dan pemecahan matriks ekstra selular mengakibatkan fibrosis ireversibel

Sklerosis vascular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular mengeksaserbasi iskemi
interstisial dan fibrosis. Tunika adventisia pembuluh darah merupakan sumber
miofibroblas yang berperan dalam berkembangnya fibrosis interstisial ginjal.
PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit awal
yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari
nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif sitokin
dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maldaptasi berupa sclerosis nefron yang masih
tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progrsif, walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi sclerosis dan progrsifisitas peyakit tersebut.

Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin aldosterone, sebagian diperantarai oleh


Growth Factor seperti Transforming Growth Factor ß (TGF-ß). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan erhadap progresivitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia dan dyslipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sclerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointersisial. Pada stadium
paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan
dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi
pasti, akan terjadi penurunan funsi nefron yang progesif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea an kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih
belum merasakan keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien
seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG di bawah 30%, tekanan darah, gangguan metabolism fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi
saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hypervolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit, antara lain Na+ dan K+. Pada LFG di bawah 15%, akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal
(Renal Replacement Therapy) antara lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Azotemia adalah retensi dari produk sisa nitrogen sebagai perkembangan insufisiensi
ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih berat dari progresifitas insufisiensi ginjal dimana
berbagai system organ telah terganggu. Meskipun urmia bukan penyebab utama, urea
dapat menimbulkan gejala klinis seperti anoreksia, malaise, muntah dan sakit kepala.
Produk nitrogen lainnya seperti komponen guanido, urat dan hipurat, hasil akhir
metabolism asam nukleat, poliamin, mioinositol, fenol, benzoate dan indol dapat tertahan
di dalam tubuh pada penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya dapat meningkatkan
angka kematian pada uremia. Uremia tidak hanya mempengaruhi kegagalan ekskrsi renal
saja tetapi dapat juga menyebabkan gangguan pada fungsi metabolic dan endokrin yang
dapat menyebabkan anemia malnutrisi, gangguan metabolism karbohidrat, lemak,
protein, gangguan penggunaan energy, dan penyakit tulang metabolic. Lebih jauh lagi
kadar plasma berbagai hormone polipeptida seperti hormone paratiroid (PTH), insulin,
glucagon, luteinizing hormone dan prolactin akan meningkat pada gagal ginjal, bukan
hanya karena gangguan katabolisme ginjal tetapi juga karena meningkatkan sekresi
endokrin yang menimbulkan konsekuensi sekunder dari ekskresi primer atau gangguan
sintetik renal. Di lain sisi, produksi eritropoetin (EPO) dan 1,25-dihidroksikolekalsiferol
ginjal terganggu. Jadi patofisiologi dari sindroma uremia dapat dibagi menjadi dua
bagian. Yang pertama merupakan akumulasi dari produk metabolism protein, yang kedua
merupakan akibat dari kehilangan dari fungsi ginjal seperti keseimbangan cairan dan
elektrolit, kelainan hormone.

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah,
kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokri) per 100 ml darah.
Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik
yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan
konfirmasi laboratorium.
Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada penyakit ginjal
kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/min/1,73 m2 luas permukaan
tubuh, dn hal ini menjadi lebih parah dengan semakin memburuknya fungsi ekskresi
ginjal. Terdapat variasi hematocrit pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Kadar
nilai hematocrit dan klirens kreatinin memiliki hubungan kuat. Kadar hematocrit
biasanya menurun saat kreatinin klirens menurun sampai kurang dari 30-35 ml/min.
Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada factor
lain yang memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini
bersifat hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang nilai hematokritnya dikoreksi menjadi
normal, tidak adekuat. Terdapat 3 mekanisme yang terlibat pada pathogenesis anemia
pada gagal ginjal, yaitu:
1. hemolysis.
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien
hemodialysis kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr
menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata
waktu hidup berkurang 25-30%. Penyebab hemolysis terjadi di ekstraseluler
karena sel darah merah normal yang ditransfusikan ke pasien uremia memiliki
waktu hidup yang memendek, ketika sel darah merah dari pasien dengan gagal
ginjal ditransfusikan kepada resipien yang yang sehat memiliki waktu hidup yang
normal.Efek factor yang terkandung pada uremic lasma pada Na-ATPase
membrane dan enzim dari Pentosa phosphate shunt pada eritrosit diperkirakan
merupakan mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolysis. Kelainan fungsi
dari pentosa phosphate shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase,
dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan
proses hemolysis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar
masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatan kadar hormone PTH
pada darah akibat sekunder hiperparatiroidisme juga menyebabkan penurunan sel
darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal
fragmen meningkatkan kerapuhan osmotic dari sel darah merah manusia secara in
vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler.
Hiperparatiroidisme dapat menekan produksi sel darah merah melalui 2
mekanisme yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat
peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan.
Yang kedua, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respons
sumsung tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang
menyatakan adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada
pasien dengan uremia. Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan
rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolysis pada gagal ginjal adalah
penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan
dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan intraseluler adenine nucleotides
dan 2,3-diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat timbul akibat komplikasi
dari prosedur dialysis atau dari intrinsic imunlogi dan kelainan eritrosit.
Kemurnian air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik
selama proses rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup,
bahkan terjadi hemolysis. Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat
saturasi filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan
denaturasi hemoglobin, penghambatan hexose monophosphate shunt dan
hemolysis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh
copper, nitrat, dan formaldehyde. Autoimun dan kelainan biokimia dapat
menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenisme merupakan
gejala sisa akibat transfuse, yang distimulasi oleh pembentukan antibody, fibrosis
sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati, kronis dapat mengurangi sel
darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal.
Perburukan hemolysis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses
patologik lainnya seperti splenomegaly atau mikroangiopati yang berhubungan
dengan periarteritis nodusa, SLE dan hipertensi maligna
2. defisiensi eritropoetin
hemolysis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa factor lain
yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respons
eritropoesis mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu.
Alasan yang paling utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi
eritropoesis pada pasien dengan gagal ginjal berat. Produksi eritropoetin yang tiak
adekuat ini merupakan akibat kerusakan progresif dari ginjal yang memproduksi
eritropoetin. Peran penting defisiensi eritropoetin pada pathogenesis anemia pada
gagal ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat anemia. Selanjutnya pada
penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam
perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan
penyakit ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang
tidak adekuat. Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan
efek tambahan terjadi defisiensi eritropoetin. Proses inflamasi seperti
glomerulonephritis, penyakit reumatologi, dan pielonefritis kronik yang biasanya
merupakan akibat dari gagal ginjal ginjal terminal terancam timbul inflamasi
akibat efek imunosupresif. Saat proses inflamasi, ekspresi dari EPO berkurang
atau terganggu, hal ini disebabkan oleh sitokin membentuk reactive oxygen
species (ROS), yang akan mengganggu proses transkripsi EPO serta merusak sel-
sel pembentuk EPO.
Selain itu, sitokin juga dapat merusak sel progenitor erytroid secara langsung
melalui pembentukan radikal bebas seperti nitric oxide atau superoxide anion.
3. penghambatan eritropoetin
penghambatan respons sel precursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap
sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada pasien uremia.
Terdapat toksin-toksin remia yang menekan proses eritropoesis yang dapat dilihat
pada proses hematologi pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi regular
dialysis. Hb biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur
dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit karena penurunan kadar
eritropoetin serum. Substansi yang menghambat eritropoesis ini antara lain
poliamin, spermin, spermidin, dan PTH hormone. Spermin dan spermidin yang
kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi
efek penghambatan pada eritopoesis tetapi juga menghambat granulopoesis dan
trombopoesis. Karena ketidakspesifikan, leukopenia dan trombositopenia bukan
merupakan karakteristik dari uremia dan disimpulkan bahwa spermin dan
spermidin tidak memiliki fungsi yang signifikan pada pathogenesis dari anemia
pada penyakit ginjal kronik. Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada
eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH
seperti fibrosis sumsum tulang dan penurunan massa hidup eritrosit ikut
bertanggung jawab dalam hubungan antara hiperparatiroidisme dan anemia pada
gagal ginjal.
4. mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan gagal ginjal
terminal dengan regular hemodialysis adalah intoksikasi aluminium akbat
terpapar oleh konsentrasi tinggi dialisat aluminium dan atau asupan pengikat
fosfat yang mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik
yang kadar ferritin serumnya meningkat atau normal pada pasien hemodialysis
menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh
intoksikasi aluminium. Patogenesisnya belum sepenuhnya dimengerti tetapi
terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada
eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobin.
Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritorpoesis melalui penghambatan
metabolism besi normal dengan mengikat transferrin, melalui terganggunya
sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara precursor sel darah
merah pada sumsum tulang.
MANIFESTASI KLINIS

1. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa


a. Hemostasis natrium dan air
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan
Natrium dan H20 pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan penyebabnya
adalah terganggunya keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan
retensi natrium atau natrium dari proses pencernaan menyebabkan
penambahan natrium yang menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra
seluler (CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang
menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal
kronik yang belum di dialysis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, pemberian
loop diuretic bersama dengan pengurangan intake garam dapat digunakan
sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronik juga memiliki gangguan
mekanisme ginjal untuk menyimpan Natrium dan H2O.
b. Hemostasis Kalium
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan
penurunan ekskresi kalium urin. Walaupun demikian hyperkalemia dapat
terjadi dengan gejala klinis berupa konstipasi, katabolisme protein, hemolysis,
perdarahan, transfusion of stored red blood cells, augmented dietary intake,
metabolic asidosis dan beberapa obat dapat menghambat kalium masuk ke
dalam sel atau menghambat sekresi kalium di distal nefron. Hypokalemia
jarang terdapat pada penyakit ginjal kronis. Biasanya merupakan tanda
kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi diureik atau kehilangan
dari garam intestinal
c. asidosis metabolic
dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam sehari-hari dan
produksi penyangga jauh dibawah kadar yang diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan eksternal ion-ion hydrogen. Asidosis
metabolic ialah akibat yang tidak dapat dihindarkan. Pada kebanyakan pasien
dengan insufisiensi ginjal yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium
bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Namun dalam respons
terhadap tantangan asam yang mendadak (apakah dari sumber endogen atau
eksogen) pasien gagal ginjal kronik rentan terhadap asidosis, yang dibutuhkan
jumlah alkali yang besar untuk koreksi. Pemberian natrium harus
dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.
2. penyakit tulang dan kelainan metabolism kalsium dan fosfat
Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik dapat
diklasifikasikan sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low
bone turnover dengan rendah atau normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit
tulang akibat sekunder hiperparatiroidisme berhubungan dengan metabolism
mineral yang abnormal, yaitu
- penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganic fosfat (PO43-) dan
menimbulkan retensi PO43-
- tertahannya PO43- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan masal sel
kelenjar paratiroid
- tertahannya PO43- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan
ekskresi PTH melalui turunnya ion Ca2-, dan dengan supresi produksi klsitriol
(1,25-dihidroksi oleh kalsiferol).
- Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat
pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang
rendah, pada akhirnya menimbulkan hiperpaatioridisme melalui mekanisme
langsung dan tidak langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi
langsung pada trnaskripsi PTH. Oleh karna itu penurunan kalsitriol pada
penyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan kadar PTH. Selain itu
pengurangan kalsitriol menimbulkan gangguan basorbsi Ca2+ dari traktus
gastrointestinal, yang kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutnya
meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol menyebabkan
produksi PTH dan proliferasi dari sel paratiroid yang menimbulkan
hiperparatiroid sekunder. Low turnover bone dapat diklasifikasikan dalam 2
kategori yaitu osteomalasia dan penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki
karakteristik berupa penurunan jumlah osteoklas dan osteoblast dan
dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas. Pada osteomalasia, terdapat
akumulasi matriks tulang yang tidak termineralisasi, atau peningkatan volume
osteoid yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkata deposit
aluminium, atau asidosis metabolic. Penyakit tulang adinamik dikenali
sebagai kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pasien dengan penyakit
ginjal kronik dan gagal ginjal kronik, dan ini biasanya terjadi pada pasien
dengan diabetes. Penyakit tulang adinamik memiliki kriteria berupa
pengurangan volume tulang dan mineralisasi dan merupakan hasil supresi
produksi PTH dengan terapi kalsitriol. Osteodistrofi renal merupakan
komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksanaan
osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian hormone kalsitriol (1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat
dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna. Dialysis yang
dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi
hiperfosfatemia.
3. Kelainan kardiovaskuler
a. Penyakit jantung iskemik
Peningkatan prevalensi penyakit jantung coroner merupakan akibat dari factor
resiko klasik, yaitu hipertensi, hypervolemi, dyslipidemia, overaktivitas
simpatis, dan hiperhomosisteinemia. Dan factor resiko non tradisional yaitu
anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme dan derajat mikroinflamasi yang
dapat ditemukan dalam setiap derajat penyakit ginjal kronik. Derajat inflamasi
meningkatkan reaktan fase akut, seperti interleukin 6 (IL-6) dan C-reaktif
protein (CRP), yang menyebabkan proses penyumbatan coroner, dan
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Nitride- oksida merupakan
mediator yang penting pada dilatasi vaskuler. Keberadaan nitrit oksida pada
penyakit ginjal kronik menurun sebab terjadi peningkatan konsentrasi
asimetris dimetil-1-arginin.
b. Gagal jantung kongestif
Kelainan jantung sepetti, myocardial ischemic disease dan atau left
ventricular hypertrophy bersamaan dengan retensi air dan garam pada uremia,
kadang menyebabkan gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.
c. Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang paling sering.
Hipertensi yang berkepnjangan menyebabkan terjadinya hipertofi ventrikel.
4. Kelainan hematologi
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik terutama
disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (missal perdarahan
saluran cerna), masa hidup eritrosit yang lebih pendek akibat terjadinya
hemolysis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi
uremik, proses inflamasi akut maupun kronik, hiperparatiroidisime yang berat,
keracunan aluminium, dan keadaan umum lain seperti hemoglobinopati.
Anemia yang tidak diterapi akan berhubungan dengan beberapa kelainan
fisiologis, seperti penurunan pengantaran dan penggunaan oksigen ke
jaringan, meningkatkan cardiac output, pembesaran jantung, hipertrofi
venrikel, angina, gagal jantung kongestif, penurunan fungsi mental dan
kognitif, gangguan siklus menstruasi, gangguan host untuk melawan infeksi.
Selain itu anemia dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak
dengan penyakit ginjal kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar
hemoglobin ≤10 g % atau hematocrit ≤30% meliputi evaluasi terhadap status
besi (kadar besi serum-serum iron, kapasitas ikat besi total (total iron binding
capacity), ferritin serum, mencari sumber perdarahan, morflogi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolysis dan sebagainya.
b. Gangguan pembekuan
Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time, penurunan aktivitas
factor pembekuan III, kelainan platelet agregasi, dan gangguan konsumsi
rotrombin. Gejala kliniknya berupa perdarahan yang abnormal, pendarahan
dari luka operasi, perdarahan spontan dari traktus gastrointestinal, dll.
5. Kelainan neuromuscular
Neuropati sentral, perifer, otonom dengan gangguan komposisi dan fungsi otot,
merupakan komplikasi yang sering pada penyakit ginjal kronik. Gejala awal pada
system saraf pusat, seperti gangguan ingatan sedang, gangguan konsentrasi, dan
gangguan tidur; iritabilitas neuromuscular, seperti hiccups, keram, fasikulasi atau
twitching otot. Pada uremia terminal didapatkan mioklonus, chorea, bahkan
sampai terjadi kejang dan koma. Neuropati perifer biasanya menyerang saraf
sensoris lebih dari saraf motoric, ekstremitas bawah lebih dari ekstremitas atas
bagian distal lebih dari bagian proksimal.
6. Kelainan gastrointestinal
Kelainan pada gastrointestinal antara lain sensasi pengecapan seperti metal,
gastritis, peptic disease, ulserasi mukosa pada saluran pencernaan yang dapat
menyebabkan nyeri perut, mual, muntah dan kehilangan darah, peningkatan
insiden diverticulosis. Pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik
meningkatkan terjadinya pankreatitis.
7. Gangguan metabolic endokrin
Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan metabolism glukosa dan pada wanita
terjadi penurunan hormone estrogen, sehingga terjadi menore, dan kemungkinan
untuk menjadi hamil menjadi sangat kecil. Pada laki-laki yang telah menjalani
dialysis dalam waktu yang lama akan terjadi impotensi, oligospermi, dysplasia sel
germinal, yang menurunkan kadar testosterone plasma.
8. Kelainan dermatologi
Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit akibat anemia, ekimosis dan
hematoma akibat gangguan pembekuan, gatal dan ekskoriasi akibat deposisi
kalsium, fosfat dan hiperparatiroid sekunder, diskolorasi berwarna kuning akiba
deposisi pigmen metabolic dan urokrom, serta uremic frost akibat kadar urea itu
sendiri.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
1. sesuai dengan penyakit yang mendasari (diabetes mellitus, hipertensi, dll)
2. penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus kockcroft-gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan asam urat, hiper atau hypokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic
4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosituria, isosisteinuria
B. Gambaran radiologi
Pemeriksaan radiologi penyakit ginjal kronik meliputi:
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
3. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
Indikasi USG (NICE 2008(:
- Progresif GGK (LFG ≥5 ml/min/1,73 m2 dalam 5 tahun)
- Adanya hematuria
- Ada gejala obstruksi saluran kencing
- Ada riwayat keluarga penyakit ginjal polikistik dan berusia lebih dari 20 tahun
- GGK stadium 4 dan 5
- Memerlukan bipsi ginjal
5. pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

DIAGNOSIS
Diagnosis GGK ditegakkan apabila LFG < 60 ml/min/1,73 m2 selama lebih dari 3 bulan,
atau adanya bukti gagal ginjal (gambaran patologi yang abnormal atau adanya tanda
kerusakan, termasuk abnormalitas dari pemeriksaan darah dan urin atau gambaran
radiologic. Bila dari hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan belum dapat menegakkan
diagnosis, maka dapat dilakukan biopsy ginjal terutama pada pasien dengan ukuran ginjal
mendekati normal. Tetapi prosedur ini dikontraindikasikan pada ginjal yang kecil
bilateral penyakit ginjal polikistik, hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius,
kelainan perdarahan, gangguan pernapasan dan morbid obesity.
MANIFESTASI KLINIS
- Klien tampak lemah
- Sesak dan batuk
- Nafas klien terdapat bunyi ronchi basah basal
- Konjungtiva anemis
- Respirasi cepat
- Takikardi
- Edema
- Hipertensi
- Anoreksi, nausea, vomitus, dan ulserasi lambung
- Asidosis metabolic
- Stomatitis
- Proteinuria dan hyperkalemia
- Letargi, apatis, penurunan kesadaran
- Turgor kulit jelek, gatal
PENATALAKSANAAN
Farmakoterapi menurut NICE guidelines 2008:
A. Kontrol tekanan darah
- Pada orang dengan GGK, harus mengontrol tekanan sistolik <140 mmHg
(dengan kisaran target 120-139 mmHg) dan tekanan diastolic <90 mmHg.
- Pada orang dengan GGK dan diabetes dan juga orang dengan ACR 70
mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau
lebih, atau proteinuria 1 g/24 jam atau lebih), diharuskan untuk menjaga
tekanan sistolik <130 mmHg (dengan kisaran target 120-129 mmHg) dan
tekanan diastolic <80 mmHg
B. Pemilihan agen antihipertensi
First line: ACE inhibitor/ARB
ACE inhibitor / ARB diberikan pada:
- Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau lebih
dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau stadium GGK. Note:
Perbedaan kedua batas ACR berbeda diberikan disini untuk memulai
pengobatan ACE Inhibitor pada orang CKD dan proteinuria. Potensi manfaat
ACE Inhibitor dalam konteks ini sangat meninkat jika seseorang juga
memiliki diabetes dan hipertensi dan dalam keadaan ini, sebuah batas yang
lebih rendah diterapkan.
- GGK pada non diabetic dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau lebih
(kira-kira ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih, proteinuria 0,5 gr/24
jam atau lebih)
- GGK pada non diabetic dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen
dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24 jam atau lebih),
tanpa adanya hipertensi atau penyakit kardiovaskular
- GGK pada non diabetic dengan hipertensi dan ACR <30 mg/mmol (kira-kira
ekuivalent dengan PCR <50 mg/mmol), atau proteinuria <0,5 gram/24 jam.
- Saat menggunakan ACE Inhibitor / ARBs, upayakan agar mencapai dosis
terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi sebelum menambahkan terapi
second line (spironolakton).
- Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs
 Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum potassium
dan perkiraan LFG sebelun memulai terapi ACE Inhibitor/ARBs.
Pemeriksaa ini diulang antara 1 sampai 2 minggu setelah penggunaan
obat, dan setelah peningkatan dosis.
 Terapi ACE Inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila konsentrasi
serum potassium secara signifikan ≥5,0 mmol/L.
 Keadaan hyperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut, karena
menurut hasil penelitian tersebut dapat mencetuskan hyperkalemia
 Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE Inhibitor/ARBs yang
dapat juga mencetuskan hyperkalemia, bukan kontraindikasi
penggunaan terapi tersebut, tapi harus menjaga konsentrasi serum
potassium
 Stop terapi tesebut, bila konsentrasi serum potassium meningkat >6,0
mmol/L atau lebih dan obat lain yang diketahui dapat meningkatkan
hyperkalemia sudah tidak digunakan.
 Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila batas LFG saat sebelum
terapi kurang dari 25% atau kreatinin plasma meningkat dari batas
awal kurang dari 30%
 Apabil perubahan LFG 25% atau lebih atau perubahan kreatinin
plasma 30% atau lebih:
o Investigasi adanya deplesi volume ataupun penggunaan
NSAIDs.
o Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau dosis
harus diturunkan dan alternative antihipertensi lain bisa
digunakan
C. Pemilihan statin dan antiplatelet
- Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskuler.
Pada orang dengan GGK, penggunaannya pun tidak berbeda
- Penggunaan statin pada orang dengan GGK merupakan pencegahan sekunder
dari penyakit kardiovaskular, terlepas dari batas nilai lipidnya.
- Penggunaan antiplatelet pada orang dengan GGK merupakan pencegahan
sekunder dari penyakit kardiovaskular. GGK bukan merupakan kontraindikasi
dari penggunaan aspirin dosis rendah, tetapi dokter harus memperhatikan
adanya kemungkinan perdarahan minor pada orang dengan GGK yang
diberikan antiplatelet multiple.
D. Komplikasi lainnya
- Metabolisme tulang dan osteoporosis
 Melakukan pengukuran rutin untuk kalsium, fosfat, paratiroid
hormone (PTH) dan level vitamin D pada orang dengan GGK stadium
1,2,3A/3B, tidakdirekomendasikan
 Melakukan pengukuran kalsium, fosfat, konsentrasi PTH pada orang
dengan GGK stadium 4 dan 5 (LFG <30 ml/min/1,73 m2)
 Memberikan bisphosphonate, apabila ada indikasi untuk mencegah
dan mengobati osteoporosis pada orang dengan GGK stadium
1,2,3A,3B
 Monitor konsentrasi serum kalsium dan fosfat pada orang yang
mendapatkan terapi 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitriol) atau 1-
alpha-hydroxycholecalciferol (alacidol).
 Pemberian suplemen vitamin D:
o GGK stadium 1,2,3A/3B diberikan cholecalciferol atau
ergocalciferol
o GGK stadium 4 dan 5 diberikan 1-alpha-
hydroxycholecalciferol (alfacalcidol) atau 1,25-
dihydroxycholecalciferol (calcitriol)
E. Anemia
- Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb <11 g/dl (atau 10 g/dl
pada usia <2 tahun)
- Menentukan apakah anemia disebabkan oleh GGK atau bukan. Dengan
memperhatikan LFG <60 ml/min/1,73 m2
- Anemia defisiensi besi biasanya pada
 Orang dengan GGK stadium 5 dengan level ferritin <100 mikrogram/L
 Orang dengan GGK stadium 3 dan 4 dengan level ferritin <100
mikrogram/L
- Penganan anemia
 Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan setelah tersedia
menggunakan recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi
untuk aplikasi terapi. Human recombinant eritropoetin diberikan
intravena kepada pasien hemodialisa, telah dibuktikan menyebabkan
peningkatan eritropoetin yang drastic. Hal ini memungkinkan untuk
mempertahankan kadar Hb normal setelah transfuse darah berakhir
pada pasien bilateral nefrektomi yang membutuhkan transfuse regular.
Sejumlah eritropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialis,
pasien regular hemodialysis merespon dengan peningkatan Ht dengan
dosis tertentu dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa
AB yang melawan materi rekombinan dan menghambat terhadap
penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping utamanya adalah
meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis heparin yang
tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial
selama dialysis. Pada beberapa pasien, thrombosis pada pembuluh
darah dapat terlihat
Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas
darah tetapi juga peningkatan tonus vascular perifer. Komplikasi
thrombosis juga berkaitan dengan tingginya viskositas arah
bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator terlihat
peningkatan trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi
human recombinant eritropoetin pada diferensiasi megakariosit. Lalu
trombositosis mungkin mempengaruhi hiperkoagulabilitas.
Konsentrasi serum predialisis ureum kreatinin yang meningkat dan
hyperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi dialyzer
karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena peningkatan
keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh
eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien
dengan peningkatan blood loss.
Indikasi terapi EPO:
Bila Hb <10 g/dl, Ht <30% pada beberapa kali pemeriksaan dan
penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
ferritin serum >100 mcg/L, saturasi transferrin >20%, tidak ada infeksi
berat.
Kontraindikasi: hipersensitivitas EPO
Hati-hati pada keadaan hipertensi tidak terkontrol, hiperkoagulasi,
beban cairan berlebihan.
o Terapi eritropoetin Fase koreksi:
Tujuan untuk mengoreksi anemia renal sampai taget Hb/Ht
tercapai. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU
subkutan, 2-3x seminggu selama 4 minggu. Target respon yang
diharapkan adalah Hb naik 1-2 g/dl dalam 4 minggu atau Ht
naik 2-4% dalam 2-4 minggu, pantau Hb dan Ht tiap 4 minggu.
Bila target respon tercapai, pertahankan dosis EPO sampai
target Hb tercapai (>10g/dl). Bila target belum tercapai naikkan
dosis 50%. Bila Hb naik >2,5 g/dl, atau Ht naik >8% dalam 4
minggu, turunkan dosis 25%.
o Terapi EPO fase pemeliharaan:
Dilakukan bila target Hb >12 g/dL. Dosis 2 atau 1 kali 2000
IU/minggu. Pantau Hb dan Ht setiap bulan. Periksa status besi
setiap 3 bulan. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb >12g/dL
maka dosis EPO diturunkan 25%. Pemberian eritropoetin
ternyata dapat menimbulkan efek samping:
1. Hipertensi: pasien mungkin membutuhkan terapi
antihipertensi atau peningkatan dosis obat antihipertensi.
Peningkatan tekanan darah pada pasien dengan terapi
eritropoetin tidak berhubungan dengan kadar Hb
2. Kejang: berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepa
dan tekanan darah yang tidak terkontrol. Terkadang
pemberian EPO menghasilkan respons yang tidak adekuat.
Respons EPO tidak adekuat bila pasien gagal mencapai
kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki setelah pemberian EPO
selama 4-8 minggu
o Terdapat beberapa penyebab respons EPO yang tidak adekuat
yaitu:
1. defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan
penyebab tersering)
2. infeksi/inflamasi
3. kehilangan darah kronik
4. malnutrisi
5. dialysis tidak adekuat
6. obat-obatan (dosis tinggi ACEI)
7. Lain-lain (hiperparatiroidisme fibrosa, intoksikasi
aluminium, hemoglobinopati seperti talasemia beta dan
sickle cell anemia, defisiensi asam folat dan vitamin B12,
multiple mioloma dan mielofibrosis, hemolysis dan
keganasan)
o Agar pemberian terapi eritropoetin optimal, perlu diberikan
terapi penunjang yang berupa pemberian:
1. asam folat: 5 mg/hari
2. vitamin B6: 100-150 mg
3. vitamin B12: 0,25 mg/bulan
4. vitamin C: 300 mg IV pasca HD pada anemia defisiensi
besi fungsional yang mendapat terapi EPO
5. Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap precursor
eritrosit
6. Vitamin E: 1200 IU untuk mencegah efek induksi stress
oksidatif yang diakibatkan terapi besi intravena
7. Preparat androgen (2-3x/minggu) untuk mengurangi
kebutuhan EPO tapi tidak dianjurkan pada wanita
 Terapi transplantas ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialysis
Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialysis
pada dasarnya mempengaruhi pathogenesis anemia pada gagal ginjal,
sejak prosedur ini dapat membuang toksin yang menyebabkan
hemolysis dan menghambat eritropoesis. Selain itu, pengalaman klinis
membuktikan bahwa perkembangannya lebih cepat daripada
menggunakan terapi eritropoetin. Ketidakefektivan pada terapi
pengganti ginjal merupakan akibat keterbatasan pengetahuan tentang
toksin dan cara terbaik untuk menghilangkannya. Pendekatan
sederhana untuk meningkatkan terapi detoksifikasi pada uremia
dengan meningkatkan batas atas ukuran molecular yang dibuang
dengan difusi dan atau transportasi konvektif tidak menghasilkan hasil
yang memuaskan. Selain itu continuous ambulatory peritoneal dialysis
(CAPD) juga merupakan terapi dengan pembuangan jangkauan
molecular yang besar, ini lebih baik dibandingkan dengan
hemodialysis standar dengan membrane selulosa yang kecil. Beberapa
penelitian mengindikasikan CAPD meningkatkan produksi
eritropoetin, mungkin juga di luar ginjal dan oleh karena itu
meningkatkan eriropoesis, walaupun mekanismenya belum diketahui.
 Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine
Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi
aluminium terapi dapat selektif dan efektif. Efek aluminium yang
memperberat anemia pada gagal ginjal harus selalu diasumsikan ketika
terjadi anemia mikrositik dengan normal atau peningkatan feritn serum
pada pasien regular hemodialysis. Diagnosis ditegakkan dengan
peningkatan nilai aluminium serum, riwayat terpapar aluminium baik
oral maupun dialisat, Gejala intoksikasi aluminium seperti
ensefalopati, penyakit tulang aluminium dan keberhasilan percobaan
terapi. Terapi utama adalah pemberian chelator deferoxamin IV
selama satu sampai dua jam terakhir saat hemodialisa atau hemofiltrasi
atau CAPD. Dosis yang digunakan 0,5-2,0 gr 3 kali seminggu. DFO
memobilisasi aluminium sebagai larutan yang kompleks, dimana
kemudian dibuang dengan terapi filtrasi atau prosedur filtrasi. Efek
samping utama adalah hipotensi, toksisitas ocular, komplikasi
neurologi seperti kejang dan mudah terkena infeksi jamur. Efek
samping ini berespons terhadap pemberhentian terapi sementara
waktu, pengurangan dosis atau pemberhentian terapi. Efek DFO pada
anemia dapat berakibat drastic yang menggambarkan perubahan nilai
hemoglobin, ferritin serum dan konsentrasi aluminium, MCV, MCH.
Setelah beberapa bulan terapi dengan DFO, MCV dan MCH berada
diatas nilai normal, hemoglobin meningkat secara signifikan dan
ferritin serum dan aluminium menurun.
 Mengkoreksi hiperparatiroidisme
Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal
ginjal,paratiroidektomi bukan merupakan indikasi untuk terapi anemia.
Pengobatan supresi aktivitas kelenjar paratiroid dengan 1,25-
dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan dengan pengobatan
anemia.
 Terapi androgen
Efek yang positif pada terapi ini yaitu meningkatkan produksi
eritropoetin, meningkatkan sensitiitas proliferasi eritropoetin yang
sensitive terhadap populasi stem cell. Testosteren ester (testosterone
propionate, enanthane, cypionate), derivate 17-metil androstanes
(floxymesterone, oxymetholone, methyl testosterone), dan komponen
19 nortestosteron 9nandrolone dekanoat, nandrolone phenpropionate)
telah sukses digunakan pada terapi anemia dengan gagal ginjal.
Responnya lambat dan efek dari obat ini dapat terbukti dalam 4
minggu terapi. Nandrolone dekanoat cukup diberikan dengan dosis
100-200 mg, 1 kali seminngu. Testosterone ester harus dibatasi karena
efek sterilitas yang besar. Komponen 19-nortestosteron memiliki rasio
anabolic:androgenic yang paling tinggi dan yang paling sedikit
menyebabkan hirsutisme dan paling aman untuk [asien wanita.
Fluoksimesterone dapat menyebabkan priapismus pada pasien pria.
Penyakit hepatoseluler kolestatisk dapat menyebabkan komplikasi
pada penggunaan zat ni dan lebih sering pada 17 methylated steroid.
Pada keadaan meningkatnya transamin darah yang progresif dan
bilirubin serum yang meningkat, terapi harus dihentikan. Namun
komponen 17-methylated steroid ini memiliki rasio anabolic:androgen
yang baik dan dapat diberikan secara oral. Terapi dengan androgen
dapat menimbulkan gejala prostatisme atau pertumbuhan yang cepat
dari Ca prostat. Rash kulit, perubahan suara seperti laki-laki dan
perubahan fisik adalah efek samping lainnya pada terapi ini
 Suplementasi besi
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi absorpsi besi pada
usus. Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin
serum satu atau dua kali pertahun merupakan indikasi. Absorpsi besi
usus tidak dipengaruhi oleh urema, suplementsi besi oral lebih dipilih
ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk memperbaiki
defisiensi besi, penggantian besi secara parenteral harus dilakukan. Hal
ini dilakukan dengan iron dextran atau interferon. Terapi IV lebih
aman dan nyaman dibanding injeksi intramuscular. Syok anafilaktik
dapat terjadi pada 1% pasien yang menerima terapi besi parenteral.
Untuk mengurangi kejadian komplikasi yang berbahaya ini pasien
harus di tes dengan 5 menit pertama dengan dosis kecil dari total dosis.
Jumlah yang diperlukan untuk replenish penyimpanan besi dapat
diberikan dengan dosis terbagi yaitu 500 mg dalam 5-10 menit setiap
harinya atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan
5% iron dextran dan diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.
Terapi besi fase pemeliharaan:
o Target terapi: Ferritin serum >100 mcg/L- <500 mcg/L.
Saturasi transferrin >20% - <40%
o Dosis:
i. IV: iron sucrose: max 100 mg/minggu
Iron dextran: 50 mg/minggu
Iron gluconate: 31,25-125 mg/minggu
ii. IM: Iron dextran: 80 mg/2 minggu
iii. Oral: 200 mg besi elemental 2-3x/hari
iv. Status besi diperiksa setiap 3 bulan
v. Bila ferritin serum >500 mcg/L atau saturasi transferrin
>40%, suplementasi besi distop selama 3 bulan
vi. Bila pemeriksaan ulang setelah 3 bulan ferritin serum
<500 mcg/L dan saturasi transferrin <40%,
suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan dosis 1/3-
1/2 sebelumnya.
 Transfusi darah
Indikasi transfuse darah adalah:
o Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
o Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb <7 g/dL
o Hb <8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
o Pasien dengan defisiensi besi yang akan deprogram terapi EPO
ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respons belum
adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat
diberikan transfuse darah dengan hati-hati
o Target pencapaian Hb dengan transfuse darah adalah 7-9 g/dL.
Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya
overhidrasi, hiperkatabolik 9asidosis) dan hyperkalemia. Bukti
klinis menunjukkan bahwa pemberian transfuse darah sampai
kadar Hb 10-12 g/dL, berhubungan dengan peningkatan
mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat. Pada kelompok
pasien yang idrencanakan untuk transplantasi ginjal, pemberian
transfuse darah sedapat mungkin dihindar

 Nutrisi
Pemberian nutrisi yang seimbang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan energy dan nutrient sekaligus mengurangi gejala-gejala
uremia dan menunda percepatan penurunan fungsi ginjal atau
memperlambatnya. Status nutrisi memiliki kaitan erat dengan angka
mortalitas pada pasien dengan GGK. Dianjurkan kecukupan energy
>35 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia >60 tahun diberikan 30
kkal/kgBB/hari. Asupan kalori harus cukup untuk mencegah terjadinya
proses katabolic. Bila asupan peroral tidak memadai untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi sehai-hari sesuai dengan status gizi seseorang, dapat
ditambahkan nutrisi parenteral. Perbandingan kalori yang bersumber
dari lemak dan karbohidrat sebesar 25% : 75%. Selain itu diberikan
kombinasi dari asam amino esensial dan non esensial. Jumlah
maksimal pemberian karbohidrat adalah 5g/kgBB. Sedangkan lipid
diberikan maksimal 1 g/kgBB dalam bentuk fat emulsion 10-20%
sebanyak 500 mL. Pasien dengan gagal ginjal kronis harus mengurangi
asupan protein karena protein berlebih akan menyebabkan terjadinya
penumpukan nitrogen dan ion anorganik yang akan mengakibatkan
gangguan metabolic yang disebut uremia.
LFG (ml/min) Protein (g/kgBB/hari) Fosfor (g/kgBB/hari
>60 Tidak perlu restriksi Tidak perlu restriksi
protein
25-60 0,6 g/kgBB/hari ≤10
termasuk ≥0,35
g/kgBB/hari protein
dengan nilai biologic
tinggi
5-25 0,6 g/kgBB/hari ≤10
termasuk ≥0,35
g/kgBB/hari protein
dengan nilai biologic
tinggi
0,3 g/kgBB/hari ≤9
dengan suplementasi
asam amino esensial
ketoanalog
<60 (sindrom 0,8 g/kgBB/hari ≤12
nefrotik)
0,3 g/kgBB/hari ≤9
dengan suplemetasi
asam amino esensial
atau ketoanalog
Berbagai formula cairan parenteral untuk pasien GGK
Formula koepple
- Air: 1000-2000 ml/hari
- Glukosa 500-600 g/hari
- Asam amino 35-45 g/hari
- Kalori: 35-50 kkal/kgBB/hari
- NPC/N: 300 (GGK) 500 (GGA)
- Elektrolit: Na, K, Ca, Mg, Zn, Cu
- Vitamin dan lipid

Formula Teraoka
- 50% glukosa: 1000 ml
- 10% NaCl: 40 ml
- K asparta: 1mEq
- 8,5% Ca glukonas: 6 mEq
- Mg Sulfat: 6 mEq
- K2PO4: 1mEq
- Kidmin: 400-600 ml
- Lipid: 400 ml/w
- Vitamin

Pemakaian kidmin
- Partial parenteral nutrisi: 200 ml, sekali sehari selama 2 jam atau pada waktu
dalisis
- Total parenteral nutrisi: 400 ml dengan 300 kkal/100 ml melalui vena sentral
HEMODIALISIS

A. Indikasi untuk inisiasi terapi dialysis


Indikasi terapi dialysis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksikazotemia dan malnutrisi, tetapi terapi dialysis terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi absolut: pericarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru
dan kelebihan cairan yang tidak responsive dengan diuretic, hipertensi refrakter,
muntah persisten, BUN >120 mg% dan kreatinin >10 mg %
Indikasi elektif: LFG antara 5-8 ml/min/1,73 m2, mual, anoreksia, muntah dan
asthenia berat
B. Persiapan untuk program dialysis regular
Setiap pasien yang akan menjalani program dialysis regular harus mendapat
informasi yang harus dipahami sendiri dan keluarganya. Beberapa persiapan
dialysis regular:
1. Sesi dialysis 3-4 kali per minggu (12-15 jam per minggu)
2. Psikologis yang stabil
3. Finansial cukup untuk program terapi dialysis regular selama waktu tidak
terbatas sebelum transplantasi ginjal
4. Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menjamin kualitas
hidup optimal
5. Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan:
a) Diet, pembatasan asupan cairan dan buah-buahan
b) Obat-oabtan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialysis
6. Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg% terutama
pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus
DIALISIS PERITONEAL

Sejak diperkenalkan kateter peritoneal yang permanen oleh PALMER (1964), mesin
dialysis peritoneal oleh BOEN (1962) maka Dialisis Peritoneal (DP) mulai
dikembangkan untuk pasien-pasien gagal ginjal kronik. Mesin DP yang dirancang oleh
TENCKHOFF (1969) mulai digunakan untuk dialysis di rumah (home peritoneal
dialysis). Pada saat ini mesin DP yang otomatis sudah popular di pusat-pusat ginjal (renal
centre) di luar negeri seperti Lasker peritoneal automatic cycler (LASKER, 1971) dan
reverse osmosis (RO) peritoneal dialysis (PD) machine (TENCKHOFF, 1972).
Akhir-akhir ini sudah popular Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di
pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Frekuensi dialysis peritoneal intermiten
makin meningkat. Di Amerika 2-3% dan Kanada 10% dari semua pasien yang
memerlukan dialysis peritoneal intermiten.

Indikasi medic CAPD:


- Pasien anak-anak dan orang tua, umur lebih dari 65 tahun
- Pasien-pasien yang telah menderita penyakit system kardiovaskular, missal
infark miokard atau iskemi coroner
- Pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialysis
- Kesulitan pembuatan AV shunting
- Pasien dengan stroke
- Pasien GGT dengan residual urin masih cukup
- Pasien neuropati diabetic disertai co-morbiditas dan co-mortalitas

Indikasi non-medik:
- keinginan pasien sendiri
- tingkat intelektual tinggi untuk melaksanakan sendiri
- di daerah yang jauh dari pusat ginjal
Efek hemodialysis pada sindrom azotemia

Gambaran klinis Efek hemodialisis


Mual dan muntah Cepat menghilang
Anoreksia dan penurunan berat badan Umumnya akan kembali normal
Pruritus Kadang-kadang hilang/menetap
Pigmentasi Cepat menghilang
Anemia normokrom normositer Pada permulaan HD terdapat penurunan
Hb, kemudian naik kembali
Kecenderungan perdarahan Biasanya dapat dikenalikan
Peka terhadap infeksi Sebagian hilang
Amenorrhe Periode laten cepat kembali, tetapi ovulasi
jarang kembali normal
Penurunan libido atau impotensi Mungkin terdapat perbaikan
Kejang Umumnya dapat dihindarkan
Kelainan psikis Perbaikan sembuh/memburuk
Kelainan EEG Kembali normal
Insomnia Seringkali menetap
Muscle twitching, restless syndrome Perbaikan
Neuropati perifer Perbaikan lambat
Kejang otot Menetap
Kalsifikasi metastatic Deposit-deposit kalsium pada jaringan
hilang tetapi kalsifikasi metastatic
mengenai pembuluh darah menjadi lebih
buruk
Osteodistrofi renal Perbaikan/menetap/memburuk
Miopati Diikuti oleh kenaikan tulang
Peikarditis Tidak selalu dapat dihindarkan
Hipertensi Mungkin dapat dikontrol
Keuntungan program CAPD:
- Eliminasi toksin azotemia kontinu setiap hari, tidak fluktuasi seperti
hemodialysis
- Jarang mendapat transfuse darah sehingga terhindar infeksi hepatitis B atau
non-A non-B
- Menghadapi kedaruratan medic dapat mengatasi sendiri berdasarkan panduan
yang telah ditetapkan:
1. Oerhydration dengan bendungan paru akut
2. Hiperkalemia
3. Gejala dini peritonitis
- Pembatasan konsumsi air dan makanan tidak ketat
- Terhindar dari komplikasi toksin middle molekules dan angiotensin-H
- Pasien lebih bebas dalam tugas sehari-hari, tidak terikat jadwal hemodialysis
di rumah sakit

Kendala program CAPD di Indonesia:


- Biaya CAPD per bulan masih lebih mahal dari HD
- Sanitasi lingkungan dan tingkat pendidikan untuk sebagian besar pasien
merupakan factor yang tidak menunjang program CAPD
TRANSPLANTASI GINJAL

Petimbangan program transplantasi ginjal:


- Ginjal cangkok dapat mengambil alih seluruh fungsi ginjal sedangkan
hemodialisa hanya mengambil alih 70-80% fungsi ginjal alamiah
- Kualitas hidup normal kembali
- Masa hidup (survival rate) lebih lama
- Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
- Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

Persiapan program transplantasi ginjal:


- Pemeriksaan imunologi:
 Golongan darah ABO
 Tipe jaringan HLA (human leukocyte antigen)
- seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga

Pemeriksaan imunologi merupakan kunci keberhasilan program transplantas ginjal


- Golongan darah ABO
 Ketidak serasian golongan darah ABO antara resipien dan donor
menyebabkan reaksi penolakan hiperakut (hyperacute immediate
rejection)
 Antigen rhesus tidak berperan untuk reaksi penolakan
- Tissue typing HLA (human leukocyte antigen)
Klasifikasi HLA berdasarkan (major histocompatibility gene complex):
 Kelas (I) antigen: HLA-A, HLA-B, HLA-C
 Kelas (II) antigen: HLA-D (DR)
Kontra indikasi mutlak:
- Golongan darah ABO tidak serasi
- Reaksi silang positif kecuali untuk B-cell atau D-locus
- Sitotoksik antibody resipien terhadap HLA antigen donor
- Infeksi aktif: disseminated histoplasmosis, Tuberkulosis paru, ISK akut atau
kronik, Hepatitis B
- Ulkus peptikum masih aktif

Kontra indikasi relative:


- Untuk transplantasi ulang masih mengandung HLA donor sebagai penyebab
reaksi penolakan
- Antiglomerular basement membrane antibody
- Keganasan pada resipien dalam 2 tahun terakhir
- Keadaan umum resipien buruk: malnutri, debilitas
- Antibodi sitotoksik >50%
- Kelainan yang sulit dikoreksi dari kandung kencing dan atau uretra
- Divertikulosis
- Penyakit ulkus peptikum
- Donor mengandung antibody CMV (cytomegalovirus)

PROGNOSIS
Penyakit GGK tidak dapat disembuuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk,
kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang
bertujuan hanya untuk mencegah progresivitas dari GGK itu sendir. Selain itu, biasanya
GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan
gejala, sehingga penangaannya seringkali terlambat.

Prognosis untuk pasien GGK dengan program HD kronik tergantung dari banyak factor
terutama seleksi pasien dan saat rujukan:
- Umur
Umur<40 tahun mulai program HD kronik mempunyai masa hidup lebih
panjang mencapai 20 tahun. Sebaliknya umu lanjut >55 tahun kemunkinan
terdapat komplikasi system kardiovaskuler lebih besar
- Saat rujukan
Rujukan terlambat memberi kesempatan, timbul gambaran klinik berat seperti
koma, pericarditis, yang sulit dikendalikan denga tindakan HD
- Etiologi GGT
Beberapa penyakit dasar seperti lupus, amyloid, diabetes dapat mempengaruhi
masa hidup
- Hipertensi
Hipertensi berat dan sulit dikendalikan sering merupakan factor risiko
vaskuler (kardiovaskular dan serebral)
- Penyakit system kardiovaskuler
Penyakit system kardiovaskuler (infark, iskemia, aritmia) merupakan factor
resiko tindakan HD. Program CAPD merupakan factor alternative yang paling
aman.
- Kepribadian dan personalitas
Faktor ini penting untuk menunjang ketergantungan hidup pasien GGT
dengan program HD kronik
- Kepatuhan
Banyak factor yang mempengaruhi ketidakpatuhan program HD kronik
BAB III DAFTAR PUSTAKA

1. AS Levey, et al. Ann Int Med 130: 461, 1999


2. NKF KDOQI clinical practice guidelines for CKD. Am J Kidney Dis 39(Suppl
1): S76, 2002
3. K Iseki, et al. Kidney Int 64: 1468, 2003
4. K Klausen, et al. Circulation 110: 32, 2004
5. J Lea, et al. Arch Int Med 165: 947, 2005
6. AS Levey, et al. Ann Int Med 145: 247, 2006
7. AS Go, et al. N Engl J Med 351: 1296, 2004
8. E Selvin, et al. Am J Kidney Dis 50: 918, 2007
9. J Yee. Geriatrics 63(3):30, 2008
10. SI Hallan, et al. J Am Soc Nephrol 20: 1069, 2009
11. BR Hemmelgarn, et al. JAMA 303: 423, 2010
12. M Tonelli, et al. Annals Int Med 154(1): 12, 2011
13. S Herget-Rosenthal et al. Int J Clin Pract 64(13):1784, 2010
14. E Ritz, et al. N Engl J Med 341:1127, 1999
15. IDNT: Lewis EJ, et al. New Engl J Med 345:851, 2001
16. IRMA 2: Parving H-H, et al. New Engl J Med 345:870, 2001
17. RENAAL: Brenner BM, et al. New Engl J Med 345:860, 2001
18. P Ruggenenti, et al. N Engl J Med 351:1941, 2004
19. S Wild, et al. Diabetes Care 27:1047, 2004
20. C Abaterusso, et al. Clin J Am Soc Nephrol 3:1185, 2008
21. J Yee. Diabetes Spectrum 21(1):8, 2008
22. UF Mehdi, et al. J Am Soc Nephrol 20(12)2641, 2009
23. CC Cowie, et al. Diabetes Care 32:287, 2009
24. J Schold, et al. Clin J Am Soc Nephrol 4:1239, 2009
25. F Hoffman, et al. Nephrol Dial Transplant, 2010. doi: 10.1093/ndt/gfq609

Anda mungkin juga menyukai