Anda di halaman 1dari 18

Salah satu komplikasi terbanyak pada kehamilan ialah terjadinya perdarahan.

Perdarahan
dapat terjadi pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan muda sering dikaitkan dengan
kejadian abortus, misscariage, early pregnancy loss. Perdarahan yang terjadi pada umur
kehamilan yang lebih tua terutama setelah melewati trimester III disebut perdarahan
antepartum.

1. ABORTUS
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau
berat janin kurang dari 500 grarn. Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut
abortus spontan, sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan tindakan
disebut abortus provokatus. Abortus provokatus ini dibagi 2 kelompok yaitu abortus
provokatus medisinalis dan abortus provokatus kriminalis. Disebut medisinalis bila
didasarkan pada pertimbangan dokter untuk menyelamatkan ibu.
Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus banyak
yang tidak dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. Sementara itu, dari
kejadian yang diketahui, 15 20% merupakan abortus spontan atau kehamilan
ektopik. Sekitar 5% dari pasangan yang mencoba hamil akan mengalami 2 keguguran
yang berurutan, dan sekitar 1% dari pasangan mengalami 3 atau lebih keguguran yang
berurutan. Abortus habitualis adalah - abortus yang terjadi berulang tiga kali secara
berturut- turut. Kejadiannya sekitar 3 - 5 %. Data dari beberapa studi menunjukkan
bahwa setelah 1 kali abortus spontan, pasangan punya risiko 5 % untuk mengalami
keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya akan meningkat 25 %.
Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus setelah 3 abortus ber-urutan adalah
30 - 45 %.

Etiologi
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering diperdebatkan.
Umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak di anraranya adalah :

Faktor genetik. Translokasi Autoimun


parental keseimbangan genetik o Aloimun
o Mendelian o Mediasi imunitas humoral
o Multifaktor o Mediasi imunitas seiuler
o Robertsonian
o Resiprokal Defek fase luteal
o Faktor endokrin eksternal
Kelainan kongenital uterus o Antibodi antitiroid hormon
o Anomali duktus Mulleri o Sintesis LH yang tinggi
o Septum uterus Infeksi
o Uterus bikornis Hematologik
o Inkompetensi serviks Lingkungan
uterus
o Mioma uteri
o Sindroma Asherman

Usia kehamilan saat terjadinya abortus bisa memberi gambaran tentang


penyebabnya. Sebagai contoh, antiphospbolipid syndrome (APS) dan inkompetensi
serviks sering terjadi setelah trimester pertama
- Faktor Genetik
Sebagian besar abortus sponran disebabkan oleh kelainan kariotip embrio.
Paling sedikit 50 % kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan
sitogenetik. Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang
disebabkan oleh gangguan gen tunggal (misalnya kelainan Mendelian) atau mutasi
pada beberapa lokus (misalnya gangguan poligenik atau multifaktor) yang tidak
terdeteksi dengan pemeriksaan kariotip. Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik
konsepsi terjadi pada awal kehamilan. Kelainan sitogenetik embrio biasanya
berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadis, misalnya
nondisjunction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal. Separuh dari
abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi
autosom. Triploidi ditemukan pada 16 % kejadian abortus, di mana terjadi
fertilisasi orum normal haploid oleh 2 sperma (dispermi) sebagai mekanisme
patologi primer. Trisomi timbul akibat dari nondisjunction meiosis selama
gametogenesis pada pasien dengan kariotip normal.
Kelainan lain umumnya berhubungan dengan fertilisasi abnormal (terapioidi,
triploidi). Kelainan ini tidak bisa dihubungkan dengan kelangsungan kehamilan.
Tetraploidi terjadi pada 8 % kejadian abortus akibat kelainan kromosom, di mana
terjadinya kelainan pada fase sangat awal sebelum proses pembelahan. Struktur
kromosom merupakan kelainan kategori ketiga. Kelainan struktural terjadi pada
sekitar 3 % kelainan sitogenetik pada abortus. Ini menun;'ukkan bahwa kelainan
struktur kromosom sering diturunkan dari ibunya. Kelainan struktur kromosom
pada pria bisa berdampak pada rendahnya konsentrasi sperma, infertilitas, dan
bisa mengurangi peluang kehamilan dan terjadinya keguguran.
Kelainan sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin karena adanya
mutasi gen yang bisa mengganggu proses implantasi bahkan menyebabkan
abortus. Contoh untuk kelainan gen tunggal yang sering menyebabkan abortus
berulang adalah myotonic dystroplry, yang berupa autosom dominar-r dengan
penetrasi yang tinggi, kelainan ini progresif, dan penyebab abortusnya mungkin
karena kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi uterus.
Kemungkinan juga karena adanya mosaik gonad pada ovarium atau testis.
Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan, Sindroma Ehlers-
Danlos, homosisteinwri dan psewdoaxantboma eksticum. Juga pada perempuan
dengan sickle cell, anemia berisiko tinggi mengalami abortus. Hal ini karena
adanya mikroinfark pada plasenta. Kelainan hematologik lain yang menyebabkan
abortus misalnya disfibrinogenemi, defisiensi faktor XIII, dan hipofibrinogenemi
afibrinogenemi kongenital. Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari
2 kromosom yang abnormal, di mana bila kelainannya hanya pada salah satu
orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan. Studi yang pernah dilakukan
menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan kariotip pada kejadian abortus,
maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus.

- Penyebab anatomik
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik,
sepeni abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan
bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan
riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27% pasien. Penyebab terbanyak
abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40 - 80 %),
kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10 - 30 %). Mioma
uteri juga bisa menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang.

- Penyebab autoimun
Terdapat hubungan yang nyata. antara abortus berulang dan penyakit
autoimun. Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan
Antiphospholipid Antibodies (aPA). aPA merupakan antibodi spesifik yang
didapati pada perempuan dengan SLE yang akan berikatan dengan sisi negatif dari
fosfolipid. Paling sedikit ada 3 bentuk aPA yang diketahui mempunyai arti klinis
yang penting, yaitu Lupus Anticoagulant (LAC), anticardiolipin antibodies
(aCLs), dan biologically fake-positive untuk syphilis (FP-STS). APS
(antipbospholipid syndrome) sering juga ditemukan pada beberapa keadaan
obstetrik, misalnya pada preeklampsia, IUGR dan prematuritas. Beberapa keadaan
lain yang berhubungan dengan APS yaitu trombosis arteri-vena, trombositopeni
autoimun, anemia hemolitik, dan hipertensi pulmonum.
The Intemational Consensus Workshop pada 1998 mengajukan klasifikasi
kriteria untuk APS, yaitu meliputi:
Trombosis vaskular
o Satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau kapilar yang
dibuktikan dengan gambaran Doppler, pencitraan, atau
histopatologi
o Pada histopatologi, trombosisnya tanpa disertai gambaran inflamasi
Komplikasi kehamilan
o Tiga atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas,
tanpa kelainan anatomik, genetik, atau hormonal
o Satu atau lebih kematian janin di mana gambaran morfologi secara
sonografi normal
o Satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal
dan berhubungan dengan preeklampsia berat atau insufisiensi
plasenta yang berat
Kriteria laboratorium
o aCL : IgG dan atau IgM dengan kadar yang sedang atau tinggi pada
2 kali atau lebih pemeriksaan dengan jarak lebih dari atau sama
dengan 6 minggu
o aCL diukur dengan metode ELISA standar
Antibodi fosfolipid/antikoagulan
o Pemanjangan tes skrining koagulasi fosfolipid (misalnya aPTT, PT
dan CT)
o Kegagalan untuk memperbaiki tes skrining yang memanjang
dengan penambahan plasma piatelet normal
o Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan
fosfolipid
o Singkirkan dulu kelainan pembekuan darah yang lain dan
pemakaian heparin

- Penyebab Infeksi
Beberapa jenis organisme tertentu diduga berdampak pada kejadian abortus
antara lain:
Bakteria - Human
- Listeria monositogenes immwnodeficienqt virus
- Klamidia trakomatis (HTY)
- Ureaplasma urealitikum - Parvovirus
- Mikoplasma hominis
- Bakterial vaginosis Parasit
- Toksoplasmosis gondii
Virus - Plasmodium falsiparum
- Sitomegalovirus
- Rubela Spirokaeta
- Herpes simpieks virus - Treponema pallidum
(FISV)

Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan abortus / EPL, di


antaranya sebagai berikut :
Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau peran infeksi terhadap
risiko sitokin yang berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta.
Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin
sulit bertahan hidup.
Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut
kematian janin.
Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah (misal
Mikoplasma bominis, Klamidia, Ureaplasma urealitileum, HSV) yang bisa
mengganggu proses implantasi.
Amnionitis (oleh kuman gram-positif dan gram-negatif, Listeria
monositogenes).
Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh karena virus
selama kehamilan awal (misalnya rubela, parvovirus B19, sitomegalovirus,
koksakie virus B, varisela-zoster, kronik sitomegalovirus CMV, HSV).

- Faktor lingkungan
Diperkirakan 1 10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia,
atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap
buangan gas anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan
unsur toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif
sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga
menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin. Dengan
adanya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan
pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.

- Faktor hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang
baik sistem pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian
langsung terhadap sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran
hormon setelah konsepsi terurama kadar progesteron.
Diabetes mellitus
Perempuan dengan diabetes yang dikelola dengan baik risiko
abortusnya tidak lebih jelek jika dibanding perempuan yang tanpa diabetes.
Akan tetapi perempuan diabetes dengan kadar HbAlc tinggi pada trimester
pertama, risiko abortus dan malformasi janin meningkat signifikan. Diabetes
jenis insulin-dependen dengan kontrol glukosa tidak adekuat punya peluang 2
- 3 kali lipat mengalami abortus.

Kadar progesteron yang rendah


Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi reseptivitas
endometrium terhadap implantasi embrio. Swpport fase luteal punya peran
kritis pada kehamilan sekitar 7 minggu, yaitu saat di mana trofoblas harus
menghasilkan cukup steroid untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan
korpus luteum sebelum usia 7 minggu akan menyebabkan abortus. Dan bila
progesteron diberikan pada pasien ini, kehamilan bisa diselamatkan.

Defek fase luteal


Pengaruh hormonal terhadap imunitas desidua

- Faktor hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan
adanya mikrotrombi pada pernbuluh darah plasenta. Berbagai komponen-
koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio,
invasi trofoblas, dan plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan
hiperkoagulasi dikarenakan :
o Peningkatan kadar faktor prokoagulan
o Penurunan faktor antikoagulan
o Penurunan aktivitas fibrinolitik

Jenis Jenis Abortus :


1. Abortus Iminens
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus,
ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi
masih baik dalam kandungan.
Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan
pervaginam pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh
mulas sedikit atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam.
Ostium uteri masih tertutup besarnya uterus masih sesuai dengan umur kehamilan
dan tes kehamilan urin masih positif. Untuk menentukan prognosis abortus
iminens dapat dilakukan dengan melihat kadar hormon hCG pada urin dengan
cara melakukan tes urin kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan
pengenceran 1/l0.Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka prognosisnya
adaiah baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya negatif maka prognosisnya dubia ad
malam. Pengelolaan penderita ini sangat bergantung pada informed, consent yang
diberikan. Bila ibu ini masih menghendaki kehamilan rersebut, maka pengelolaan
harus maksimal untuk mempertahankan kehamilan ini. Pemeriksaan USG
diperlukan untuk mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui
keadaan plasenta apakah sudah terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran
biometri janin kantong gestasi apakah sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan
HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin diperhatikan di sarnping ada
tidaknya hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis servikalis. Pemeriksaan
USG dapat dilakukan baik secara transabdominal maupun transvaginal.
Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahan berhenti.
Bisa diberi spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan
hormon progesteron atau derivatnya untuk mencegah rcrjadinya abortus. Obat-
obatan ini walaupun secara statistik kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek
psikologis kepada penderita sangat menguntungkan. Penderita boleh dipulangkan
setelah tidak terjadi perdarahan dengan pesan khusus tidak boleh berhubungan
seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu.

2. Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah mendatar
dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam karum
uteri dan dalam proses pengeluaran.
Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering,dan kuat,
perdarahannya bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan umur
kehamilan. Besar uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dengan tes urin
kehamilan masih positif. Pada pemeriksaan USG akan didapati pembesaran uterus
yang masih sesuai dengan umur kehamilan, gerak janin dan gerak jantung janin
masih jelas walau mungkin sudah mulai tidak normal, biasanya terlihat penipisan
serviks uterus atau pembukaannya. Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan
plasenta dari dinding uterus.
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan perubahan
keadaan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan
evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan
banyak. Pada umur kehamilan di atas 12 minggu, uterus biasanya sudah melebihi
telur angsa tindakan evakuasi dan kuretase harus hati-hati, kalau perlu dilakukan
evakuasi dengan cara digital yang kemudian disusul dengan tindakan kuretase
sambil diberikan uterotonika. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya
perforasi pada dinding uterus. Pasca tindakan perlu perbaikan keadaan umum,
pemberian uterotonika, dan antibiotika profilaksis

3. Abortus Kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari karum uteri pada kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Semua hasil konsepsi telah
dikeluarkan, osteum uteri telah menutup, uterus sudah mengecil sehingga
perdarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan.
Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksaan secara klinis sudah
memadai. Pada pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7 - 10 hari
setelah abortus. Pengelolaan penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun
pengobatan. Biasanya hanya diberi roboransia atau hematenik bila keadaan pasien
memerlukan. Uterotonika tidak perlu diberikan.

4. Abortus Inkompletus
Sebagian hasii konsepsi telah keluar dari karum uteri dan masih ada yang
tertinggal. Batasan ini juga masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Sebagian jaringan hasil konsepsi
masih tertinggal di dalam uterus di mana pada pemeriksaan vagina, kanalis
servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol
pada ostium uteri eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi jumlahnya pun
bisa banyak atau sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa, yang
menyebabkan sebagian placental site masih terbuka sehingga perdarahan berjalan
terus.
Pasien dapat jatuh dalam keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa
jaringan konsepsi dikeluarkan. Pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian
terhadap keadaan umum dan mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi
untuk kemudian disiapkan tindakan kuretase. Pemeriksaan USG hanya dilakukan
bila kita ragu dengan diagnosis secara klinis. Besar uterus sudah lebih kecil dari
umur kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit dikenali, di karum uteri tampak
massa hiperekoik yang bentuknya tidak beraturan.
Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan pengeluaran
sisa hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal terjadinya
kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi uterus dapat berlangsung baik dan
perdarahan bisa berhenti. Selanjutnya dilakukan tindakan kuretase. Tindakan
kuretase harus dilakukan secara hati-hari sesuai dengan keadaan umum ibu dan
besarnya utems. Tindakan yang dianjurkan ialah dengan karet vakum
menggunakan kanula dari plastik. Pascatindakan perlu diberikan uterotonika
parenteral ataupun per oral dan antibiotika

5. Missed Abortus
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam
kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih
tertahan dalam kandungan.
Penderita rnissed abortion biasanya tidak merasakan keluhan apa pun kecuali
merasakan pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang diharapkan. Bila
kehamilan di atas 14 minggu sampai 20 minggu penderita justru merasakan
rahimnya semakin mengecil dengan tanda-tanda kehamilan sekunder pada
payudara mulai menghilang.
Kadangkala missed abortion juga diawali dengan abortus iminens yang
kemudian merasa sembuh, tetapi pertumbuhan janin terhenti. Pada pemeriksaan
tes urin kehamiian biasanya negatif setelah satu minggu dari terhentinya
pertumbuhan kehamilan. Pada pemeriksaan USG akan didapatkan uterus yang
mengecil, kantong gestasi yang mengecil, dan bentuknya idak beraturan disertai
gambaran fetus yang tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bila missed abortion
berlangsung lebih dari 4 minggu harus diperhatikan kemungkinan terjadinya
gangguan penjendalan darah oleh karena hipofibrinogenemia sehingga perlu
diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase.
Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat
dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila serviks
urerus memungkinkan. Bila umur kehamilan di atas 12 minggu atau kurang dari
20 minggu dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan untuk
melakukan induksi terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau mematangkan
kanalis servikalis. Beberapa cara dapat dilakukan antara lain dengan pemberian
infus intravena cairan oksitosin dimulai dari dosis 10 unit dalam 500 cc dekstrose
5% tetesan 20 tetes per menit dan dapat diulangi sampai total oksitosin 50 unit
dengan retesan dipertahankan untuk mencegah terjadinya retensi cairan tubuh.
Jika tidak berhasil, penderita diistirahatkan satu hari dan kemudian induksi
diulangi biasanya maksimal 3 kali. Setelah janin atau jaringan konsepsi berhasil
keluar dengan induksi ini dilanjutkan dengan tindakan kuretase sebersih mungkin.
Pada dekade belakangan ini banyak tulisan yang telah menggunakan
prostaglandin atau sintetisnya untuk melakukan induksi pada missed abonion.
Salah satu cara yang banyak disebutkan adalah dengan pemberian mesoprostol
secara sublingual sebanyak 400 mg yang dapat diulangi 2 kali dengan jarak enam
jam. Dengan obat ini akan terjadi pengeluaran hasil konsepsi atau terjadi
pembukaan ostium serviks sehingga tindakan evakuasi dan kuretase dapat
dikerjakan untuk mengosongkan kavum uteri

6. Abortus Habitualis
Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturur-
rurur. Penderita abortus habitualis pada umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil
kembali, tetapi kehamilannya berakhir dengan keguguran/abortus secara berturut-
turut.
Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis banyak yang
mengaitkannya dengan reaksi imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen
lymphocyte trophoblast cross reactive (TLX). Bila reaksi terhadap antigen ini
rendah atau tidak ada, maka akan terjadi abortus. Kelainan ini dapat diobati
dengan transfusi leukosit atau heparinisasi.
Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkompetensia serviks yaitu
keadaan di mana serviks uterus tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan
menurup setelah kehamilan melewati trimester pertama, di mana ostium serviks
akan membuka (inkompeten) tanpa disertai rasa mules/kontraksi rahim dan
akhirnya terjadi pengeluaran janin. Kelainan ini sering disebabkan oleh trauma
serviks pada kehamilan sebelumnya, misalnya pada tindakan usaha pembukaan
serviks yang berlebihan, robekan serviks yang luas sehingga diameter kanalis
servikalis sudah melebar.
Diagnosis inkompetensia serviks tidak sulit dengan anamnesis yang cermat.
Dengan pemeriksaan dalam/inspekulo kita bisa menilai diameter kanalis servikalis
dan didapati selaput ketuban yang mulai menonjol pada saat mulai memasuki
trimester kedua. Diameter ini melebihi 8 mm. Untuk itu, pengelolaan penderita
inkompetensia serviks dianjurkan untuk periksa hamil seawal mungkin dan bila
dicurigai adanya inkompetensia serviks harus dilakukan tindakan untuk
memberikan fiksasi pada serviks agar dapat menerima beban dengan
berkembangnya umur kehamilan. Operasi dilakukan pada umur kehamilan 12 - 14
minggu dengan cara SHIRODKAR atau McDONALD dengan melingkari kanalis
servikalis dengan benang sutera/MERSILENE yang tebal dan simpul baru dibuka
setelah umur kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan.

7. Abortus Infeksiosus, Abortus Septik


Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada zlat genitalia.
Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran
darah tubuh atau peritoneum (septikemia atau peritonitis).
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya tindakan
abortus yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat gejala dan
tanda panas tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan pervaginam
yang berbau, uterus yang membesar dan lembut, serta nyeri tekan. Pada
laboratorium didapatkan tanda infeksi dengan leukositosis. Bila sampai terjadi
sepsis dan syok, penderita akan tampak lelah, panas tinggi, menggigil, dan
tekanan darah turun.
Pengelolaan pasien ini harus mempenimbangkan keseimbangan cairan tubuh
dan perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai dengan hasil kultur dan
sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan cairan fluksus/fluor yang keluar
pervaginam. Untuk tahap pertama dapat diberikan Penisiiin 4 x 1.2 juta unit atau
Ampisilin 4 x 1 gram ditambah Gentamisin 2 x 80 mg dan Metronidazol 2 x I
gram. Selanjutnya antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur.
Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik minimal 5
jam setelah antibiotika adekuat diberikan. Jangan lupa pada saat tindakan uterus
dilindungi dengan uterotonika. Antibiotik dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam
dan bila dalam waktu 2 hari pemberian tidak memberikan respons harus diganti
dengan antibiotik yang lebih sesuai. Apabila ditakutkan terjadi tetanus, perlu
ditambah dengan injeksi ATS dan irigasi kanalis vaginaluterus dengan larutan
peroksida (H2O2) kalau perlu histerektomi total secepatnya.

8. Kehamilan Anembrionik (Blighted Ovum)


Kehamilan anembrionik merupakan kehamilan patologi di mana mudigah
tidak terbentuk sejak awal walaupun kantong gestasi tetap terbentuk. Di samping
mudigah kantong kuning telur juga tidak ikut terbentuk.
Bila tidak dilakukan tindakan, kehamilan ini akan berkembang terus walaupun
tanpa ada janin di dalamnya. Biasanya sampai sekitar 14 - 16 minggu akan terjadi
abortus spontan. Sebelum alat USG ditemukan, kelainan kehamilan ini mungkin
banyak dianggap sebagai abortus biasa. Diagnosis kehamilan anembrionik
ditegakkan pada usia kehamilan 7 8 minggu bila pada pemeriksaan USG
didapatkan kantong gestasi tidak berkembang atau pada diameter 2,5 cm yang
tidak disertai adanya gambaran mudigah. Untuk itu, bila pada saat USG penama
kita mendapatkan gambaran seperti ini perlu dilakukan evaluasi USG 2 minggu
kemudian. Bila tetap tidak dijumpai struktur mudigah atau kantong kuning telur
dan diameter kantong gestasi sudah mencapai 25 mm maka dapat dinyatakan
sebagai kehamilan anembrionik. Pengelolaan kehamilan anembrionik dilakukan
terminasi kehamilan dengan dilatasi dan kuretase secara elektif.

2. KEHAMILAN EKTOPIK
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamiian yang pertumbuhan sel telur yang
telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Lebih dari 95
% kehamilan ektopik berada di saluran telur (tuba Falopii).
Patofisiologi terjadinya kehamilan ektopik tersering karena sel telur yang
sudah dibuahi dalam perjalanannya menuju endometrium tersendat sehingga embrio
sudah berkembang sebelum mencapai kavum uteri dan akibatnya akan tumbuh di luar
rongga rahim. Bila kemudian tempat nidasi tersebur tidak dapat menyesuaikan diri
dengan besarnya buah kehamilan, akan terjadi ruptura dan menjadi kehamilan ektopik
yang terganggu
Berdasarkan lokasi terjadinya, kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi 5
berikut ini.
- Kehamilan tuba, meliputi > 95 % yang terdiri atas: Pars ampularis (55 %), pars
ismika (25%),pars fimbriae (17 %), dan pars interstisialis(2 %).
- Kehamilan ektopik lain (< 5%) antara lain terjadi di serviks uterus, ovarium, atau
abdominal. Untuk kehamilan abdominal lebih sering merupakan kehamilan
abdominal sekunder di mana semula merupakan kehamilan tuba yang kemudian
abortus dan meluncur ke abdomen dari ostium tuba pars abdominalis (abortus
tubaria) yang kemudian embrio/buah kehamilannya mengalami reimplantasi di
kavum abdomen, misalnya di mesenterium/mesovarium atau di omentum.
- Kehamilan intraligamenter, jumlahnya sangat sedikit.
- Kehamilan heterotopik, merupakan kehamilan ganda di mana satu janin berada di
kavum uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik. Kejadian sekitar
satu per 15.000 - 40.000 kehamilan.
- Kehamilan ektopik bilateral. Kehamilan ini pernah dilaporkan walaupun sangat
jarang terjadi.

Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam nidasi embrio ke
endometrium menjadi penyebab kehamilan ektopik ini. Faktor-faktor yang disebutkan
adalah sebagai berikut :
- Faktor tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba
menyempit atau buntu. Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran
tuba yang berkelok-kelok panjang dapat menyebabkan fungsi silia tuba tidak
berfungsi dengan baik. Juga pada keadaan pascaoperasi rekanalisasi tuba dapat
merupakan predisposisi terjadinya kehamilan ektopik.
Faktor tuba yang lain ialah adanya kelainan endometriosis tuba atau divertikel
saluran tuba yang bersifat kongenital. Adanya tumor di sekitar saluran tuba,
misalnya mioma uteri atau tumor ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk
dan patensi tuba, juga dapar menjadi etiologi kehamilan ektopik.

- Faktor abnormalitas dari zigot


Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot
akan tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan
tumbuh di saluran tuba.

- Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral,
dapat membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga
kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.

- Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesreron dapat
mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.

- Faktor lain
Termasuk di sini antara lain adalah pemakai IUD di mana proses peradangan
yang dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan
terjadinya kehamilan ektopik. Faktor umur penderita yang sudah menua dan
faktor perokok juga sering dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik.

Patologi
Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium
untuk proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudian akan
mengalami beberapa proses seperti pada kehamilan pada umumnya. Karena tuba
bukan merupakan suatu media yang baik untuk pertumbuhan embrio atau mudigah,
maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa perubahan dalam bentuk berikut ini :

- Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi.


Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini
penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat untuk beberapa hari.
- Abortus ke dalam lumen tuba. (Abortus tubaria)
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh
vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah
dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan
ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, bergantung pada derajat perdarahan
yang timbul.
Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam
lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba pars
abdominalis. Frekuensi abortus dalam tuba bergantung pada implantasi telur yang
dibuahi. Abortus ke lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars
ampularis, sedangkan penembusan dinding tuba oleh vili korialis ke arah
peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars ismika. Perbedaan ini
disebabkan oleh lumen pars ampularis yang lebih luas sehingga dapat mengikuti
lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi jika dibandingkan dengan bagian ismus
dengan lumen sempit.
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan
akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sehingga berubah menjadi
mola kruenta. Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan tuba membesar
dan kebiruan (hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke rongga perut
melalui ostium tuba. Darah ini akan berkumpul di kavum Douglasi dan akan
rnembentuk hematokel retrouterina.

- Ruptur dinding tuba


Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya
pada kehamilan muda. Sebaliknya, ruptur pada pars interstisialis terjadi pada
kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah
penembusan vili korialis ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum.
Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena trauma ringan seperti koitus
dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga
perut, kadang-kadang sedikit, kadang-kadang banyak, sampai menimbulkan syok
dan kematian. Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan
dalam lumen tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium
tuba abdominal.
Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder dapat
terjadi. Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah
karena rekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi di arah
ligamentum itu. Jika janin hidup terus, terdapat kehamilan intraligamenter. Pada
ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan
tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeiuarkan dari tuba.
Perdarahan dapat berlangsung terus sehingga penderita akan cepat jatuh dalam
keadaan anemia atau syok oleh karena hemoragik. Darah tertampung pada rongga
perut akan mengalir ke kavum Douglasi yang makin lama makin banyak dan
akhirnya dapat memenuhi rongga abdomen. Bila penderita tidak dioperasi dan
tidak meninggal karena perdarahan, nasib janin bergantung pada kerusakan yang
diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorbsi
seluruhnya bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion. Janin yang
dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan
plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga
akan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan
makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan impiantasinya ke jaringan
sekitarnya, misalnya ke sebagian uterus, ligamentum latum, dasar panggui, dan
usus.

Gambaran Klinik
Pada umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala kehamilan muda, dan
mungkin merasa nyeri sedikit di perut bagian bawah yang tidak seberapa dihiraukan.
Pada pemeriksaan vaginal uterus membesar dan lembek walaupun mungkin tidak
sebesar tuanya kehamilan. Tuba yang mengandung hasil konsepsi karena iembeknya
sukar diraba pada pemeriksaan bimanual.
Apabila kehamilan ektopik mengalami penyulit atau terjadi ruptur pada tuba
tempat lokasi nidasi kehamilan ini akan memberikan gejala dan tanda yang khas yaitu
timbulnya sakit perut mendadak yang kemudian disusul dengan syok atau pingsan. Ini
adalah pertanda khas teriadinya kehamilan ektopik yang terganggu
Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu. Pada
ruptur tuba nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai
dengan perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan dan masuk ke dalam syok.
Biasanya pada abortus tuba nyeri tidak seberapa hebat dan tidak terus-menerus. Rasa
nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi; tetapi, setelah darah masuk ke dalam rongga
perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam
rongga perut dapat merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri bahu dan
bila membentuk hematokel retrouterina, menyebabkan defekasi nyeri.
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan
ektopik yang terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan berasal dari kavum
uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan yang berasal dari uterus biasanya tidak
banyak dan berwarna cokelat tua
Amenorea merupakan juga tanda yang penting pada kehamilan ektopik
walaupun penderita sering menyebutkan tidak jelasnya ada amenorea, karena gejala
dan tanda kehamilan ektopik terganggu bisa langsung terjadi beberapa saat setelah
terjadinya nidasi pada saluran tuba yang kemudian disusul dengan ruptur tuba karena
tidak bisa menampung pertumbuhan mudigah selanjutnya. Lamanya amenorea
bergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi.
Pada kehamilan ektopik terganggu ditemukan - pada pemeriksaan vaginal
bahwa usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri, yang disebut
dengan nyeri goyang (+) atau slinger pijn. Demikian pula kavum Douglasi menonjol
dan nyeri pada perabaan oleh karena terisi oleh darah. Pada abortus tuba biasanya
teraba dengan jelas suatu tumor di samping uterus dalam berbagai ukuran dengan
konsistensi agak lunak. Hematokel retrouterina dapat diraba sebagai tumor di kavum
Douglasi. Pada ruptur tuba dengan perdarahan banyak tekanan darah dapat menurun
dan nadi meningkat, perdarahan lebih banyak lagi menimbulkan syok
Pemeriksaan USG dapat dilakukan secara perabdominal atau pervaginam.
Umumnya kita akan mendapatkan gambaran uterus yang tidak ada kantong gestasinya
dan mendapatkan gambaran kantong gestasi yang berisi mudigah di iuar uterus.
Apabila sudah terganggu (ruptur) maka bangunan kantong gestasi sudah tidak jelas,
tetapi akan mendapatkan bangunan massa hiperekoik yang tidak beraturan, tidak
berbatas tegas, dan di sekitarnya didapati cairan bebas (gambaran darah
intraabdominal). Gambar USG kehamilan ektopik sangat bevariasi bergantung pada
usia kehamilan, ada tidaknya gangguan kehamilan (ruptur, abortus) serta banyak dan
lamanya perdarahan intraabdomen. Diagnosis pasti kehamilan ektopik secara USG
hanya bisa diregakkan bila terlihat kantong gestasi berisi mudigah/janin hidup yang
letaknya di luar kavum uteri.
Diagnosis
Bila diduga ada kehamilan ektopik yang belum terganggu, penderita segera
dirawat di rumah sakit. Alat bantu diagnostik yang dapat digunakan ialah
ultrasonografi, laparoskopi, atau kuldoskopi. Pada umumnya dengan anamnesis yang
teliti dan pemeriksaan yang cermat diagnosis dapat ditegakkan, walaupun biasanya
alat bantu diagnostik sepeni kuldosentesis, ultrasonografi, dan laparoskopi masih
diperlukan
Pada anamnesis, haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu dan kadang-
kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda. Nyeri perut bagian bawah, nyeri
bahu, tenesmus, dapar dinyatakan. Perdarahan pervaginam terjadi setelah nyeri perurt
bagian bawah.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan
jumlah sel darah merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik
terganggu, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut.
Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit dapat dilakukan secara serial dengan jarak
satu jam selama 3 kali berturut-turut. Bila ada penurunan hemoglobin dan hematokrit
dapat mendukung diagnosis kehamilan ektopik terganggu.
Penghitungan leukosit secara berturut menunjukkan adanya perdarahan bila
leukositosis meningkat. Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi pelvik,
dapat diperhatikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang melebihi 20.000 biasanya
menunjuk pada keadaan yang terakhir. Tes kehamilan berguna apabila positif. Akan
tetapi, tes negatif tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu
karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas menyebabkan produksi
human chorionic gonadotropin menurun dan menyebabkan tes negatif.
Pada umumnya dilatasi dan kerokan untuk menunjang diagnosis kehamilan
ektopik tidak dianjurkan. Berbagai aiasan dapat dikemukakan:
- Kemungkinan adanya kehamilan dalam uterus bersama kehamilan ektopik;
- hanya 12 sampai 19% kerokan pada kehamilan ektopik menunjukkan reaksi
desidua
- Perubahan endometrium yang berupa reaksi Arias-Stella tidak khas untuk
kehamilan ektopik. Namun, jika jaringan yang dikeluarkan bersama dengan
perdarahan terdiri atas desidua tanpa vili korialis, hal itu dapat memperkuat
diagnosis kehamilan ektopik terganggu.

Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam


kavum douglasi ada darah. Cara ini sangat berguna dalam membantu membuat
diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Teknik kuldosentesis dapat dilaksanakan
dengan urutan berikut :
- Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.
- Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik.
- Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan cunam serviks;
dengan traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak.
- Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam kavum Douglasi dan dengan semprit 10
ml dilakukan pengisapan.
- Bila pada pengisapan ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain kasa
dan diperhatikan apakah darah yang dikeluarkan merupakan:
o darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku;
darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk;
o darah tua berwarna cokelat sampai hitam yang tidak membeku, atau yang
berupa bekuan kecil-kecil; darah ini menunjukkan adanya hematokel
retrouterina.

Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk


kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain meragukan.
Melalui prosedur laparoskopik, aiat kandungan bagian dalam dapat dinilai. Secara
sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kawm Douglasi, dan ligamentum
latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mungkin mempersulit visualisasi alat
kandungan, tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi.

Penatalaksanaan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Pada kasus
kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah pemah dicoba ditangani
dengan menggunakan kemoterapi untuk menghindari tindakan pembedahan.
Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini ialah :
o Kehamilan di pars ampularis tuba belum pecah
o Diameter kantong gestasi < 4 cm
o Perdarahan dalam rongga perut < 100 ml
o Tanda vital baik dan stabil. Obat yang digunakan ialah metotreksat 1mg/kg
I.V. dan faktor sitrovorum 0,1 g/kg I.M. berselang-seling setiap hari
selama 8 hari.
Dari seluruh 6 kasus yang diobati, satu kasus dilakukan salpingektomi pada
hari ke-12 karena gejala abdomen akut, sedangkan 5 kasus berhasil diobati dengan
baik.

Kehamilan Pars Interstisialis Tuba


Kehamilan ektopik ini terjadi bila ovum bernidasi pada pars interstisialis tuba.
Ruptur pada keadaan ini terjadi pada kehamilan lebih tua, dapat mencapai akhir bulan
keempat. Perdarahan yang terjadi sangat banyak dan bila tidak segera dioperasi, akan
menyebabkan kematian. Tindakan operasi yang dilakukan adalah laparotomi untuk
membersihkan isi kavum abdomen dari darah dan sisa jaringan konsepsi serta
menutup sumber perdarahan dengan melakukan irisan baji (wedge resection) pada
kornu uteri di mana tuba pars interstisialis berada. Perlu diperhatikan pascatindakan
ini untuk kehamilan berikutnya.

Kehamilan Ektopik Ganda


Kehamilan ektopik berlangsung bersamaan dengan kehamilan intrauterin.
Pada umumnya diagnosis kehamilan dibuat pada waktu operasi kehamilan ektopik
yang terganggu. Pada laparotomi ditemukan - selain kehamilan ektopik - utems yang
membesar sesuai dengan tuanya kehamilan, dan 2 kolpora lutea. Pengamatan lebih
lanjut adanya kehamilan intrauterin menjadi lebih jelas. Setelah laparotomi untuk
mengelola kehamilan ektopiknya kehamilan intrauterin dapat berlanjut seperti
kehamilan lainnya.

Kehamilan Ovarial
Diagnosis kehamilan tersebut ditegakkan atas dasar 4 kriterium dari
Spiegelberg, yakni :
o Tuba pada sisi kehamilan harus normal
o Kantong janin harus berlokasi pada ovarium
o Kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovari
proprium
o Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong
janin.
Pada kehamilan ovarial biasanya terjadi ruptur pada kehamilan muda dengan
akibat perdarahan dalam perut. Hasil konsepsi dapat pula mengalami kematian
sebelumnya, sehingga tidak terjadi ruptur, ditemukan benjolan dengan berbagai
ukuran, yang terdiri atas jaringan ovarium yang mengandung darah, vili korialis, dan
mungkin juga selaput mudigah.

Kehamilan Servikal
Kehamilan servikal pun sangat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi dalam
kanalis servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan muda.
Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri eksternum
terbuka sebagian. Kehamilan servikal jarang melampaui 12 minggu dan biasanya
diakhiri secara operatif oleh karena perdarahan. Pengeluaran hasil konsepsi
pervaginam dapat menyebabkan banyak perdarahan, sehingga untuk menghentikan
perdarahan diperlukan histerektomia totalis.

Rubin (1911) mengajukan kriteria kehamilan servikal sebagai berikut.


- Keleniar serviks harus ditemukan di seberang tempat implantasi plasenta
- Tempat implantasi plasenta harus di bawah arteria uterina atau di bawah
peritoneum viserale uterus
- Janin/mudigah tidak boleh terdapat di daerah korpus uterus;
- Implantasi plasenta di serviks harus kuat.

Kesulitan dalam penilaian kriteria Rubin ialah bahwa harus dilakukan


histerektomi atau biopsi jaringan yang adekuat. Oleh sebab iru, Paalman dan
McElin (1959) membuat kriteria klinik sebagai berikut.
- ostium uteri internum tertutup
- ostium uteri eksternum terbuka sebagian;
- seluruh hasil konsepsi terletak dalam endoserviks;
- perdarahan uterus setelah fase amenorea ranpa disertai rasa nyeri;
- serviks lunak, membesar, dapat lebih besar dari fundus uteri, sehingga terbentuk
bour glass uterus.

Kehamilan Ektopik Kronik (Hematokel)


Istilah kehamilan ektopik kronik di sini dipakai karena pada keadaan ini
anatomi sudah kabur, sehingga biasanya tidak dapat ditentukan apakah kehamilan ini
kehamilan abdominal, kehamilan tubo-ovarial, atau kehamilan intraligamenter yang
janinnya telah mati disertai adanya gumpalan darah yang semula berasal dari
perdarahan ruptur kantong gestasi yang kemudian perdarahan tersebut berhenti dan
menggumpal dalam bentuk kantong jendalan darah. Penderita tidak merasakan sakit
lagi, tetapi pada pemeriksaan fisik dan USG didapatkan massa yang berisi jendalan-
jendalan darah seperti tersebut di atas.
Gambaran klinik pada kehamilan ektopik lanjut bergantung pada keadaan
janin yang biasanya terietak dalam kantong janin, umumnya tidak baik dan sebagian
besar meninggal. Selain itu, sering ditemukan kelainan kongenital karena sempitnya
ruangan untuk tumbuh. Bila janin meninggal setelah mencapai umur tertentu, sukar
untuk diresorbsi, sehingga akan mengalami supurasi, mumifikasi, kalsifikasi, atau
adipocere. Pada supurasi bila kantong janin pecah infeksi bisa menyebar; jika
penderita tidak meninggal, maka ada kemungkinan bahwa bagian-bagian janin
dikeluarkan melewati rektum, kandung kencing, atau dinding perut, bergantung pada
lokus minoris resistensi yang terbentuk. Pada keadaan lain janin menjadi mummi atau
litopedion, dan tinggal bertahun-tahun di perut.
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis yang tidak jarang
memberi petunjuk adanya kehamilan muda yang disertai dengan perdarahan dan nyeri
perut bagian bawah. Penderita merasakan bahwa kehamilan ini tidak berjalan seperti
biasa, gejala gastrointestinal nyata, dan gerakan anak dirasakan lebih nyeri.
Pada kehamilan lebih lanjut pada pemeriksaan abdomen sering ditemukan
kelainan letak janin. Bagian-bagian janin teraba lebih jelas di bawah kulit, walaupun
pada multipara dan perempuan dengan dinding perut yang tipis kesan tersebut
kadang-kadang juga diperoleh. Kontraksi Braxton-Hicks pada tumor berisi janin tidak
dapat ditimbulkan seperti pada kehamilan dalam uterus.
Pada pemeriksaan vaginal seringkali didapatkan serviks terletak tinggi di
vagina dan biasanya tidak seberapa besar dan lembek seperti pada kehamilan
intrauterin. Benda sebesar tinju kecil berhubungan dengan serviks tidak jarang
ditemukan di samping atau di depan tumor berisi janin, Benda itu ialah uterus. Bahwa
tumor itu benar uterus, dapat dibuktikan dengan timbulnya kontraksi bila penderita
diberi suntikan 1 satuan oksitosin intramuskulus.
Pemeriksaan dengan foto rontgen sering menunjukkan janin dalam letak
melintang, miring, atau dalam sikap dan lokasi yang abnormal. Pada pemeriksaan
ulangan lokasi janin tetap sama.
Maka dari itu, setelah diagnosis dibuat, perlu segera dilakukan operasi tanpa
memandang tuanya kehamilan. Persediaan darah paling sedikit 1 liter karena
perdarahan yang sangat banyak dapat terjadi bila plasenta tanpa disengaja untuk
sebagian dilepas. Hemostatis rempat implantasi plasenta pada kehamiian ektopik
lanjut tidak ada karena alat-alat sekitar uterus tidak mengandung otot yang dapat
menutup pembuluh darah pada bekas implantasi plasenta, seperti pada kehamilan
intrauterin.
Plasenta di sini - tidak seperti pada kehamilan intrauterin - berimplantasi pada
dasar yang setelah plasenta diangkat, tidak berkontraksi dan menutup pembuluh-
pembuluh darah yang terbuka. Maka, jika plasenta diangkat, timbul perdarahan terus-
menerus. Oleh sebab itu, umumnya plasenta ditinggalkan. Plasenta hanya dikeluarkan
bila berimplantasi pada alat yang bersama-sama dapat dikeluarkan dengan pengikatan
pembuluh-pembuluh darah.
Dengan meninggalkan plasenta dalam rongga perut ada kemungkinan terjadi
infeksi, supurasi, perlekatan, luka perut terbuka, atau kadang-kadang ileus. Luka
dinding perut ditutup tanpa meninggalkan drain, kecuali bila ada supurasi atau
perdarahan yang tidak banyak tetapi difus. Plasenta yang ditinggalkan dalam rongga
perut lambat-laun mengecil karena resorbsi, tetapi hal ini memerlukan waktu
beberapa tahun.

Pemeriksaan USG Pada Kehamilan Ektopik


Gambar USG kehamilan ektopik sangat bervariasi bergantung pada usia
kehamilan, ada tidaknya gangguan kehamilan (ruptur, abortus), serta banyak dan
lamanya perdarahan intraabdomen.
Sebagian besar kehamilan ektopik tidak memberikan gambaran yang spesifik.
Uterus mungkin besarnya normal, atau mengalami sedikit pembesaran yang tidak
sesuai dengan usia kehamilan. Endometrium menebal ekogenik sebagai akibat reaksi
desidua. Kavum uteri sering berisi cairan eksudat yang diproduksi oleh sel-sel
desidua, yang pada pemeriksaan terlihat sebagai struktur cincin anekoik yang disebut
kantong gestasi palsu (Pseudogestational sac). Berbeda dengan kantong gestasi yang
sebenarnya, kantong gestasi palsu letaknya simetris di karum uteri dan tidak
menunjukkan struktur cincin ganda.
Seringkali dijumpai massa tumor di daerah adneksa, yang gambarannya sangat
bervariasi. Mungkin terlihat kantong gestasi yang masih utuh dan berisi mudigah,
mungkin hanya berupa massa ekogenik dengan batas ireguler, ataupun massa
kompleks yang terdiri atas sebagian ekogenik dan anekoik. Pada 15 - 20 % kasus
kehamilan ektopik tidak dijumpai adanya massa di adneksa.
Perdarahan intraabdomen yang terjadi akibat kehamilan ektopik terganggu
juga tidak memberikan gambaran spesifik, bergantung pada banyak dan lamanya
proses perdarahan. Gambarannya dapat berupa massa anekoik di kavum Douglasi
yang mungkin meluas sampai ke bagian atas rongga abdomen. Bila sudah terjadi
bekuan darah, gambaran berupa massa ekogenik yang tidak homogen. Gambaran
perdarahan akibat kehamilan ektopik sulit dibedakan dari perdarahan atau cairan
bebas yang terjadi oleh sebab lain, seperti endometriosis pelvik, peradangan pelvik,
asites, pus, kista pecah, dan perdarahan ovulasi.

3. MOLA HIDATIDOSA
Mola hidatidosa adaiah suatu kehamilan yang berkembang tidak waiar di
mana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan
berupa degenerasi hidropik. Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal
yaitu berupa geiembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih,
dengan ukuran bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1. atau 2 cm. Gambaran
histopatologik yang khas dari mola hidatidosa ialah edema stroma vili, tidak ada
pembuluh darah pada vili/degenerasi hidropik dan proliferasi sel-sel trofoblas.

Gejala dan Tanda


Pada permulaanoya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan
kehamilan biasa, yaitu mual, muntah, pusing dan lainlain, hanya saja derajat
keluhannya sering lebih hebat. selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga pada
umumnya besar uterus lebih besar dari umur kehamilan.
Perdarahan merupakan gejaia utama mola. Gejala perdarahan ini biasanya
terjadi antara bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12 - 14 minggu. Sifat
perdarahan bisa intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga
menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan ini umumnya pasien mola
hidatidosa masuk dalam keadaan anemia.
Mola hidatidosa bisa disertai dengan preeklampsia (eklampsia), hanya
perbedaannya ialah bahwa preeklampsia pada mola terjadinya lebih muda dari pada
kehamilan biasa. Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein, baik unilateral
maupun bilateral. Umumnya kista ini menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan.

Diagnosis
Adanya mola hidatidosa harus dicurigai bila ada perempuan dengan amenorea,
perdarahan pervaginam, uterus yang lebih besar dari tuanya kehamilan dan tidak
ditemukan tanda kehamilan pasti seperti balotemen dan detak jantung anak. Untuk
memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan kadar Human Chorionic
Gonadotropin (hCG) dalam darah atau urin, baik secara bioasay, immunoasay,
maupun radioimmunoasay. Peninggian hCG, terutama dari hari ke-100, sangat
sugestif. Bila belum jelas dapat dilakukan pemeriksaan USG, di mana kasus mola
menunjukkan gambaran yang khas, yaitu berupa badai salju (snow flake pattern) atau
gambaran seperti sarang lebah (honey comb).
Pada kehamilan trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik, sehingga
seringkali sulit dibedakan dari kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus
inkompletus, atau mioma uteri. Pada kehamilan trimester II gambaran mola hidatidosa
umumnya lebih spesifik. Kavum uteri berisi massa ekogenik bercampur bagian-
bagian anekoik vesikular berdiameter antara 5 - 10 mm. Gambaran tersebut dapat
dibayangkan seperti gambaran sarang lebah (honey comb) aau badai salju (snow
storrn). Pada 20 - 50 % kasus dijumpai adanya massa kistik multilokuler di daerah
adneksa. Massa tersebut berasal dari kista teka-lutein.
Apabila jaringan mola memenuhi sebagian kavum uteri dan sebagian berisi
janin yang ukurannya relatif kecil dari umur kehamilannya disebut mola parsialis.
Umumnya janin mati pada bulan pertama, tapi ada juga yang hidup sampai cukup
besar atau bahkan aterm. Pada pemeriksaan histopatologik tampak di beberapa tempat
vili yang edema dengan sel trofoblas yang tidak begitu berproliferasi, sedangkan di
tempat lain masih tampak vili yang normal. Umumnya mola parsialis mempunyai
kariotipe triploid. Pada perkembangan selanjutnya jenis mola ini .jarang menjadi
ganas.

Penatalakasanaan
Pengelolaan mola hidatidosa dapat terdiri atas 4 tahap berikut ini :
- Perbaikan Keadaan Umum
Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfusi darah untuk
memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit
seperti preeklampsia atau tirotoksikosis.
- Pengeluaran laringan Mola
Ada 2 cara yaitu:
o Vakum kuretase
Setelah keadaan umum diperbaiki dilakukan vakum kuretase tanpa
pembiusan. Untuk memperbaiki kontraksi diberikan pula uterotonika.
Vakum kuretase dilanjutkan dengan kuretase dengan menggunakan sendok
kuret biasa yang tumpul. Tindakan kuret cukup dilakukan 1 kali saja, asal
bersih. Kuret kedua hanya dilakukan bila ada indikasi. Sebelum tindakan
kuret sebaiknya disediakan darah untuk menjaga bila terjadi perdarahan
yang banyak.
o Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada perempuan yang telah cukup umur dan cukup
mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur
tua dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya
keganasan. Batasan yang dipakai adalah umur 35 tahun dengan anak hidup
tiga. Tidak jarang bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan
pemeriksaan histopatologik sudah tampak adanya tanda-tanda keganasan
berupa mola invasif/koriokarsinoma.
- Pemeriksaan Tindak Lanjut
Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah
mola hidatidosa. Tes hCG harus mencapai nilai normal 8 minggu setelah
evakuasi. lama pengawasan berkisar satu tahun. Untuk tidak mengacaukan
pemeriksaan selama periode ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu dengan
menggunakan kondom, diafragma, atau pantang berkala.

Anda mungkin juga menyukai