Anda di halaman 1dari 8

2.3.

FISIOLOGI ERITROSIT
Setiap milliliter darah mengandung sekitar 5 milyar eritrosit, sehingga secara klinis kadar
eritrosit dilaporkan sebagai 5 juta sel/mm3. Eritrosit adalah sel berbentuk piringan bikonkaf
dengan diameter 8µm, ketebalan 2 µm di tepi luar, dan ketebalan 1 µm di bagian tengah. Bentuk
bikonkaf akan menghasilkan luas permukaan yang lebih besar untuk difusi oksigen menembus
membrane dibandingkan dengan bentuk sel bulat dengan volume yang sama. Tipisnya sel
memungkinkan oksigen cepat berdifusi antara bagian paling dalam sel dan eksterior sel. Ciri
anatomik terpenting yang memungkinkan eritrosit mengangkut oksigen adalah adanya
hemoglobin di dalamnya.5
Molekul hemoglobin memiliki dua bagian :
1. Globin, yaitu suatu protein yang terbentuk dari empat rantai polipeptida yang sangat
berlipat-lipat.
2. Gugus heme, yaitu empat gugus non protein yang mengandung besi yang masing-
masing berikatan dengan salah satu polipeptida. Masing-masing dari keempat atom
besi dapat berikatan secara reversible dengan satu molekul oksigen. Oleh karena itu,
satu molekul hemoglobin dapat mengambil empat molekul oksigen di paru. Sekitar
98,5% oksigen di dalam darah terikat ke hemoglobin.5

Berikut ini struktur molekul hemoglobin :


Gambar 2.2. Struktur molekul hemoglobin5

Selain mengangkut oksigen, hemoglobin juga dapat berikatan dengan :


a. Karbon dioksida (CO2).
Hemoglobin membantu mengangkut gas ini dari sel jaringan kembali ke paru.
b. Bagian hidrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi.
Zat ini dihasilkan di tingkat jaringan dari karbon dioksida. Hemoglobin menyangga
asam ini sehingga asam ini tidak banyak menyebabkan perubahan pH darah.
c. Karbon monoksida (CO).
Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat di dalam darah, tetapi jika terhirup maka
gas ini cenderung menempati bagian hemoglobin yang berikatan dengan oksigen
sehingga terjadi keracunan CO.

d. Nitrat oksida (NO)


Di paru, NO yang bersifat vasodilator berikatan dengan hemoglobin. NO ini
dibebaskan di jaringan, tempat zat ini melemaskan dan melebarkan arteriol local.
Vasodilatasi ini membantu menjamin bahwa darah kaya oksigen dapat mengalir
lancar dan juga membantu menstabilkan tekanan darah.5
Oleh sebab itu, hemoglobin berperan besar dalam transport oksigen, sekaligus memberi
kontribusi signifikan pada transport karbon dioksida dan kemampuan darah menyangga pH.
Selain itu, dengan mengangkut vasodilatornya sendiri, hemoglobin membantu menyalurkan
oksigen yang dibawanya.5
Untuk memaksimalkan kandungan hemoglobin, satu eritrosit dipenuhi oleh lebih dari 250
juta molekul hemoglobin, menyingkirkan hamper semua organel yang lain. Sel darah merah
tidak mengandung nucleus, organel, atau ribosom. Selama perkembangan sel, struktur-struktur
ini dikeluarkan untuk menyediakan ruang lebih banyak bagi hemoglobin.5
Selama perkembangan intra uterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk sac dan
kemudian oleh hati dan limpa, sampai sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih produksi
eritrosit secara eksklusif. Pada anak-anak, sebagian besar tulang terisi oleh sumsum tulang merah
yang mampu memproduksi sel darah. Namun, seiring pertambahan usia, sumsum tulang kuning
yang tidak mampu melakukan eritropoiesis perlahan-lahan menggantikan sumsum merah, yang
tersisa hanya di beberapa tempat, seperti sternum, iga, dan ujung-ujung proksimal tulang panjang
di ekstremitas.5
Berikut ini tahapan pembentukan eritrosit di dalam sumsum tulang :

Gambar 2.3. Tahapan pembentukan eritrosit5

Di dalam sumsum merah terdapat pluripotent stem cell yang belum berdiferensiasi, yang
kemudian secara terus-menerus membelah diri dan berdiferensiasi untuk menghasilkan semua
jenis sel darah. Myeloid stem cell adalah stem cell yang telah berdiferensiasi sebagian yang akan
berkembang menjadi eritrosit dan beberapa jenis sel darah lainnya. Eritroblas merupakan sel
yang masih memiliki nucleus dan organel-organel sel. Retikulosit merupakan eritrosit imatur
yang masih mengandung organel remnants. Eritrosit matur sudah tidak memiliki nucleus maupun
organel, dan kemudian akan dilepaskan ke dalam kapiler yang menembus sumsum tulang.5
Gambar berikut ini menunjukkan regulasi eritropoiesis yang diperankan oleh eritropoietin
:

Gambar 2.4. Regulasi pembentukan eritrosit6

Pada keadaan penurunan perfusi oksigen ke ginjal, misalnya pada hipoksia atau proses
hemolisis, maka ginjal akan terangsang untuk mengeluarkan eritropoietin ke dalam darah,
sehingga terjadi eritropoiesis di sumsum tulang. Eritropoietin akan merangsang maturasi dan
proliferasi eritrosit. Peningkatan aktivitas eritropoietik ini meningkatkan jumlah eritrosit di
dalam darah, sehingga kapasitas darah mengangkut oksigen meningkat dan penyaluran oksigen
ke jaringan kembali normal. Jika penyaluran oksigen ke ginjal telah kembali normal, maka
sekresi eritropoietin akan dihentikan sampai dibutuhkan kembali. Dengan mekanisme ini,
produksi eritrosit dalam keadaan normal disesuaikan dengan kerusakan atau kehilangan sel-sel
tersebut, sehingga kemampuan darah mengangkut oksigen relatif konstan. Pada kehilangan
eritrosit yang berlebihan, misalnya pada perdarahan atau kerusakan abnormal eritrosit muda
dalam darah, laju eritropoiesis dapat meningkat menjadi lebih dari enam kali lipat nilai normal.6

Siklus hidup sel darah merah dijelaskan pada gambar berikut :


Gambar 2.5. Siklus hidup eritrosit6

Setelah dibentuk dan di sumsum tulang, sel darah merah akan dikeluarkan menuju aliran
darah. Tanpa DNA dan RNA, eritrosit tidak dapat membentuk protein untuk memperbaiki sel,
tumbuh, dan membelah atau memperbarui enzim-enzimnya. Eritrosit hanya bertahan hidup
selama sekitar 120 hari, dengan kecepatan penghancuran rata-rata dua hingga tiga juta sel per
detik.5
Seiring dengan proses penuaan, membrane plasma eritrosit yang tidak dapat diperbaiki
akan menjadi rapuh dan mudah pecah sewaktu sel terjepit melewati titik-titik penyempitan di
dalam system vaskular. Sebagian besar eritrosit tua dihancurkan di limpa, karena jaringan kapiler
organ ini yang sempit dan berkelok-kelok merusak sel-sel rapuh ini. Sel darah merah dari
sirkulasi akan keluar melalui arteriol di pulpa limpa, kemudian melalui pori-pori kecil akan
memasuki sinus limpa. Di dalam sinus limpa inilah eritrosit dihancurkan, kemudian fragmen
selnya difagosit oleh makrofag yang ada di sumsum tulang, nodus limfoid, limpa, dan hati. Heme
yang dihasilkan pada proses hemolisis akan diubah menjadi bilirubin, sedangkan zat besi akan
digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin.6
Sekitar dua pertiga zat besi yang ada di dalam tubuh terkandung di dalam hemoglobin.
Seperempatnya ada dalam bentuk zat besi simpanan (ferritin, hemosiderin), dan sisanya sebagai
zat besi fungsional (mioglobin dan enzim-enzim yang mengandung besi). Tubuh akan
kehilangan zat besi sebesar 1-2 mg/hari. Penyerapan zat besi di usus terutama terjadi di
duodenum dan bervariasi jumlahnya tergantung kebutuhan tubuh. Tubuh akan menyerap 3-15
persen zat besi dari makanan, dan dapat meningkat hingga 25 persen pada defisiensi zat besi.
Konsumsi zat besi minimum yang direkomendasikan paling sedikit adalah 10-20 mg/hari.6
Berikut ini proses absorpsi, penyimpanan, dan daur ulang zat besi di dalam tubuh :

Gambar 2.6. Absorpsi, penyimpanan, dan daur ulang zat besi 6

Zat besi diabsorpsi dari duodenum dari makanan, terutama dari hemoglobin dan
mioglobin pada daging dan ikan. Zat besi tersebut sebagian besar dalam bentuk Fe2+, yang akan
langsung diabsorpsi dalam bentuk heme- Fe2+. Setelah memasuki sel mukosa, enzim heme
oksigenase akan melepaskan heme dan Fe2+, kemudian Fe2+ akan dioksidasi menjadi Fe3+.
Bentuk tersebut dapat tetap berada di dalam sel mukosa dalam bentuk ferritin-Fe3+ untuk
kemudian dikembalikan lagi ke lumen usus pada saat regenerasi sel, atau dapat pula masuk ke
sirkulasi darah.6
Zat besi yang tidak terikat dengan heme hanya dapat diabsorpsi oleh sel mukosa usus
dalam bentuk Fe2+, sehingga Fe3+ yang tidak terikat heme harus terlebih dahulu direduksi
menjadi Fe2+ oleh enzim ferri reduktase dan askorbat yang berada di permukaan sel mukosa
usus. Kemudian Fe2+ diabsorpsi melalui proses transport aktif sekunder, yaitu melalui protein
simport Fe2+-H+. Dalam proses ini, pH kimus yang rendah berperan penting untuk meningkatkan
kadar H+ sehingga transport Fe2+ ke dalam sel mukosa meningkat, serta untuk memisahkan zat
besi dari kompleks makanan di usus.6
Penyerapan zat besi ke dalam aliran darah diregulasi oleh mukosa usus. Ketika terjadi
defisiensi zat besi, aconitase (protein regulasi zat besi) yang berada di sitosol akan berikatan
dengan ferritin-mRNA, sehingga terjadi inhibisi translasi ferritin. Maka, jumlah Fe2+ yang dapat
memasuki aliran darah akan meningkat.6
Fe2+ di dalam darah dioksidasi oleh ceruroplasmin menjadi Fe3+ yang kemudian
berikatan dengan apotransferin, yaitu suatu protein yang berperan dalam transport zat besi di
dalam plasma, dan membentuk transferin. Transferin akan mengalami endositosis oleh eritroblas
dan sel-sel hepar melalui reseptor transferin. Setelah zat besi diabsorpsi oleh sel, maka
apotransferin akan terlepas dari zat besi sehingga memiliki kemampuan kembali untuk mengikat
zat besi dari usus dan makrofag.6
Feritin merupakan salah satu bentuk terbanyak dari zat besi simpanan di dalam tubuh,
dan mengandung hingga 4500 ion Fe3+, sehingga dapat menyediakan zat besi secara cepat bagi
tubuh (sekitar 600 mg zat besi), dimana kemampuan hemosiderin dalam menyediakan zat besi
jauh lebih lambat (sekitar 250 mg zat besi di dalam makrofag di hepar dan sumsum tulang). Hb-
Fe dan heme-Fe dikeluarkan dari eritroblas yang rusak dan sel darah merah yang mengalami
hemolisis, kemudian berikatan dengan haptoglobin dan hemopexin, lalu difagosit oleh makrofag
di sumsum tulang, hepar, dan limpa, kemudian 97 persen zat besi akan digunakan kembali.6

Vitamin B12 (kobalamin) dan asam folat juga dibutuhkan dalam proses eritropoiesis,
terutama berperan dalam sintesis DNA. Berikut ini peran zat-zat tersebut dalam proses
eritropoiesis :
Gambar 2.7. Peran asam folat dan vitamin B12 dalam eritropoiesis 6

Anda mungkin juga menyukai