Anda di halaman 1dari 5

MODUL 4: PEMERIKSAAN KREATININ

KELOMPOK 2
Dani Syaiful Akbar (K1A017010) Diantama Hiraswari Ramadhani (K1A017012) Hafifah
(K1A017020) Helen Nabila (K1A017022) Husnul Ma’rifah (K1A017024)
Tanggal Percobaan: 30/04/2020
FA 3326 – Kimia Klinik
PS Farmasi Universitas Mataram

1. PENDAHULUAN
Kreatinin merupakan metabolit nitrogen nonprotein hasil metabolisme kreatin di otot
polos (Cheersbrough, 2009). Kreatinin umumnya disintesis dihati, dan hampir secara
keseluruhan terdapat dalam otot rangka yang terikat secara reversible dengan fosfat dalam
bentuk fosfokreatin atau keratinfosfa (senyawa penyimpan energi) (Alfonso,2016).
Pemeriksaan kreatinin berguna untuk mengevaluasi secara spesifik fungsi dari glomerulus.
Peningkatan kadar kreatinin mengindikasikan adanya penyakit ginjal atau lebih dari 50%
kerusakan nefron (Soewoto dkk, 2001). Tinggi rendahnya kadar kreatinin dalam darah
menjadi indikator penting dalam menentukan apakah perlu dilakukan tindakan hemodialisis
bagi seorang dengan gangguan fungsi ginjal (Alfonso dkk, 2016).
Metode yang umum digunakan dalam pemeriksaan kadar kreatinin darah adalah
dengan metode Jaffe Reaction yang merupakan salah satu metode pengujian kadar kreatinin
yang menggunakan asam pikrat yang berperan dalam pengikatan kreatinin (Hadijah, 2018).
Metode Jaffe Reaction dibagi menjadi 2 yaitu dengan deproteinisasi dan tanpa deproteinisasi.
Metode yang biasa digunakan di laboratorium adalah metode Jaffe tanpa deproteinisasi.
Prinsip dari metode ini adalah kreatinin akan membentuk kompleks berwarna merah-orange
dalam larutan pikrat basa (Diasys, 2008). Kelemahan pemeriksaan kreatinin dengan cara
nondeproteinisasi adalah pencampuran reagen kerja apabila tidak dengan perbandingan 1:1
maka akan mengakibatkan hasil tinggi palsu serta adanya gangguan terhadap hasil
pemeriksaan kreatinin darah oleh bilirubin, ureum, protein yang tidak diendapkan dengan
TCA. Adapun Kelebihan pemeriksaan kreatinin cara nondeproteinisasi adalah waktu yang
diperlukan cukup singkat (2menit) dan sampel yang diperlukan hanya sedikit (100 µl)
(Hadijah, 2018). Tujuan dari praktukum ini yaitu: (1) Menentukan kadar kreatinin pada
sampel menggunakan metode kinetic test without deproteinization Jaffe (2)
Menginterpretasikan hasil pemeriksaan kadar kreatinin pada sampel dengan kondisi klinis
pasien.
2. METODOLOGI

diabsorbansi
Disiapkan 2 dicampurkan dan larutan lalu dibaca kembali Dicatat,
buah tabung Dipipet dihomogenkan, lalu dibaca dengan absorbansi absorbansi
reaksi yang masing-masing diinkubasi selama 20 spektrofotomet setelah 2 menit lalu dihitung
telah diberi ke dalam menit pada suhu er pada panjang (A2). A2-A1= kadar
label standar tabung 20°C-25°C atau 10 gelombang Δstandar atau kreatinin
dan sampel. menit pada 37°C. 490-510 nm Δsampel pada sampel
(A1

Diinterpretasi
kan hasil dan
dibandingkan
dengan teori

3. HASIL DAN ANALISIS


3.1.Data Hasil Pemeriksaan Serum Kreatinin Pada Seorang Pria berumur 45 tahun dengan
berat badan 70 kg.

A1 A2 Absorbansi standar Konsentrasi Standar


0.029 0.035 0.015 2 mg/dL
Perhitungan :
Kadar kreatinin pada sampel
∆ A sampel
Serum/ plasma ( c )=2.0 × [ mg/dl]
∆ A STD
0.035−0.029
= 2.0 × [mg/dl ]
0.015
= 0.8 mg/dl
3.2.Analisis Hasil Pemeriksaan Serum Kreatinin
Pada praktikum kali ini dilakukan pemeriksaan kadar kreatinin menggunakan
metode kinetic test without deproteinization Jaffe. Kreatinin merupakan limbah molekul
kimia yang dihasilkan dari metabolisme otot. Kreatinin dihasilkan dari keratin, yang
merupakan molekul yang sangat penting dalam produksi energi di otot. Kreatinin
sebagian besar dijumpai di otot rangka, tempat zat ini terlibat dalam penyimpanan energi
sebagai kreatinin fosfat, dalam sintesis ATP dari ADP, kreatinin fosfat diubah menjadi
kreatinin dengan katalisasi enzim kreatinin kinase. Reaksi ini berlanjut seiring dengan
pemakaian energi sehingga dihasilkan kreatinin fosfat. Kreatinin serum kadarnya akan
meningkat seiring dengan penurunan kemampuan penyaringan glomerulus (Suryawan et
al, 2016). Peningkatan kadar kreatinin menunjukkan indikasi penyakit ginjal atau
kerusakan nefron lebih dari 50% (Hadijah, 2018).
Penentuan kadar kreatinin menggunakan metode kinetic test without
deproteinization Jaffe. Metode Jaffe merupakan metode standar yang banyak digunakan
untuk analisis kreatinin secara spektrofotometri. Dimana prinsip dari metode ini yaitu
kreatinin dalam suasana alkali, membentuk suatu kompleks warna merah jingga dengan
asam pikrat absorben dari kompleks warna ini proporsional dengan konsentrasi kreatinin
dalam sampel (Haribi et al, 2009). Pada kinetic test without deproteinization Jaffe ini
inkubasi selama 20 menit pada suhu 20°C-25°C atau 10 menit pada 37°C bertujuan untuk
mempercepat reaksi enzimatik yang terdapat di dalam reagensia. Aktivitas enzim
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah faktor suhu (Panil, 2008).
Pengukuran konsentrasi kreatinin digunakan untuk menentukan sufisiensi fungsi
ginjal, keparahan kerusakan dan memonitor perkembangan penyakit serta efek obat
nefrotoksik (Cheersbrough, 2009 dan Bishop, 2010). Menurut Amir et al (2016) faktor-
faktor yang dapat memengaruhi kadar kreatinin adalah jenis kelamin, kondisi kelaparan,
dan ukuran jaringan otot. Kenaikan kadar kreatinin dalam darah juga dapat diakibatkan
oleh beberapa keadaaan, diantaranya hipoksia jaringan, penurunan laju filtrasi
glomerulus, pada penyakit metabolik tertentu serta zat kimia toksik. Selain itu tingginya
kadar kreatinin serum dalam darah dapat juga disebabkan oleh tingginya asupan protein
pada seseorang.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, didapat nilai absorbansi sampel
yaitu A1 (0.029), A2 (0.035) dan absorbansi standar yaitu 0.015. Berdasarkan hukum
lambert-beer, nilai absorbansi yang memiliki presisi maksimum yaitu pada rentang 0,2-
0,8 sehingga dalam percobaan ini nilai absorbansi yang diperoleh masih tergolong presisi
(akurat) yang baik. Untuk penentuan kadar kreatinin dilakukan perhitungan pada sampel
menggunakan rumus seperti yang tertera di atas. Dari hasil perhitungan, didapat kadar
kreatinin sebesar 0.8 mg/dl. Menurut David (2013) Kadar kreatinin berbeda setiap orang,
umumnya pada orang yang berotot kekar memiliki kadar kreatinin yang lebih tinggi
daripada yang tidak berotot. Hal ini juga yang memungkinkan perbedaan nilai normal
kreatinin pada wanita dan laki-laki. Nilai normal kadar kreatinin serum pada pria adalah
0,7-1,3 mg/dL sedangkan pada wanita 0,6-1,1 mg/dL serta Menurut Suryawan et al
(2016) Kadar kreatinin serum dalam darah mempunyai nilai rujukan normal 0,5- 1,0
mg/dl. Oleh karena itu dari data praktikum yang diperoleh kadar kreatinin pada pria
berumur 45 tahun dengan berat badan 70 kg tergolong normal.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
a. Dari hasil perhitungan didapatkan kadar kreatinin sebesar 0,8 mg/dL.
b. Kadar kreatinin tersebut tergolong normal dengan nilai rentang kadar kreatinin normal
pada orang dewasa sebesar 0,5 – 1,0 mg/dL.
DAFTAR PUSTAKA

Alfonso, A.A., Mongan, A.E., dan Memah, M.F., 2016 Gambaran Kadar Kreatinin Serum pada
Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium 5 Non Dialisis. Jurnal e-Biomedik (eBm),
Vol.4 No.1, p.178-83.
Amir, N., Suprayitno, E., Hardoko, H., & Nursyam, H., 2016. Pengaruh Sipermetrin Pada Jambal
Rotiterhadap Kadaru Reum dan Kreatinin Tikus Wistar (Rattus norvegicus). Jurnal
IPTEKS Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, 2(3), p. 283-293.
Bishop, M. L., Fody, E. P., and Schoeff, L. E., 2010. Clinical Chemistry: Techniques, Principles
and Correlation. Sixth Edition. Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia.
Cheersbrough, M., 2009. District Laboratory Practice in Tropical Countries Part 1. Second
Edition. Cambridge University Press: Cambridge.
David C. Dugdale., 2013. Creatinine blood test. https://www.nlm.nih.gov/ medlineplus/
ency/article/003475.html.
Diasys., 2008. Diagnostic System International. German: DyaSis Diagnostic System GmbH.
Hadijah, S., 2018. Analisis Perbandingan Hasil Pemeriksaan Kreatinin Darah dengan
Deproteinisasi dan Nondreproteinisasi Metode Jaffe Reaction. Jurnal Media Analis
Kesehatan, 1(1), p. 26-31.
Haribi, R., Darmawati, S., & Hartiti, T., 2009. Kelainan fungsi hati dan ginjal tikus putih (Rattus
norvegicus, L.) akibat suplementasi tawas dalam pakan. Jurnal kesehatan, 2(2), p.
11-19.
Panil, Z., 2008. Memahami Teori dan Praktik Teori Kimia Dasar Medis untuk Mahasiswa
Kedokteran, Keperawatan, Gizi dan Analis Kesehatan. Jakarta: EGC.
Suryawan, D. G. A., Arjani, I. A. M. S., & Sudarmanto, I. G., 2016. Gambaran kadar ureum dan
kreatinin serum pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis
di RSUD Sanjiwani Gianyar. Meditory, 4(2), p. 145-153.
Soewoto, H., Sadikin, M., Kurniati, V., Inawati, S.W., Retno, D.G., Abadi, P., Prijayanti, A.R.,
Harahap, I.P., dan Widia, S.A., 2001., Biokimia Eksperimen Laboratorium.
Jakarta: Widya Medika

Anda mungkin juga menyukai