Anda di halaman 1dari 72

MAKALAH

PENGKAJIAN KEPERAWATAN
“Pemeriksaan Analisa Gas Darah”

Disusun Oleh:
Kelompok 1

Suhendra Agung Wibowo 131914153008


Nur Aini Lutfi R 131914153015
CH R Yeni Suryandari 131914153018
Wa Ode Nurlina 131914153019
Mohammad Anis Taslim 131914153029
Elok Faradisa 131914153033
Restiyana Agus 131914153034
Superzeki Zaidatul F 131914153039
Rifky Octavia Pradipta 131914153056

PRORAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahNya,

sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai Pengkajian Keperawatan”

Analisa Gas Darah” dengan tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata

kuliah Pengkajian Keperawatan. Penyusunan makalah ini tentu tidak lepas dari kontribusi dan

bantuan berbagai pihak. Kami menyadari dalam menyelesaikan tugas ini banyak kekurangan

dari teknik penulisan dan kelengkapan materi yang jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

kami menerima kritik dan saran yang membangun sebagai bentuk pembelajaran agar

meminimalisir kesalahan dalam tugas berikutnya. Semoga dengan terselesaikan tugas ini

dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Surabaya, 27 Oktober 2019

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ........................................................................................ i


Kata Pengantar .......................................................................................... ii
Daftar Isi ..................................................................................................... iii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 2
1.3 Tujuan ............................................................................................ 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komponen Darah ........................................................................... 3
2.2 Pemeriksaan Darah Lengkap ......................................................... 4
2.3 Pemeriksaan Lemak Profil ............................................................ 11
2.4 Pemeriksaan Liver Profil ............................................................... 13
2.5 Pemeriksaan Renal Profil .............................................................. 19
2.6 Pemeriksaan Gula Darah .............................................................. 28
2.7 Pemeriksaan lain-lain..................................................................... 30
2.8 Pemeriksaan Darah Untuk Virus ................................................... 41
2.9 Pemeriksaan Elektrolit ................................................................... 47
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Definisi Analisa Gas Darah ............................................................ 49
3.2 Indikasi Analisa Gas Darah ............................................................ 49
3.3 Lokasi Fungsi Arteri untuk Pemeriksaan Analisa Gas Darah ........ 50
3.4 Prosedur Tindakan Analisa Gas Darah ........................................... 50
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan ..................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Analisis gas darah merupakan pemeriksaan yang esensial dalam ilmu


kedokteran gawat darurat, yang mampu memberikan informasi berharga mengenai
status asam basa, ventilasi maupun oksigenasi dari pasien. Analisis gas darah arteri
merupakan prosedur yang sering dikerjakan dan merupakan standar baku untuk
menentukan status asam basa, ventilasi dan oksigenasi pasien (Dewi, K.J.U. 2014).

Paru-paru dan ginjal merupakan organ penting yang bertanggung jawab untuk
mengatur pH darah tetap normal. Gangguan keseimbangan asam-basa merupakan hal
yang sangat penting, karena setiap gangguannya dapat mempengaruhi fungsi organ
vital. Gangguan keseimbangan asam basa yang berat juga dapat mengancam kehidupan
(Hardjoeno dkk,2003). Komponen yang dapat diketahui dari pemeriksaan AGD adalah
pH, Tekanan Parsial Karbon Dioksida (PCO2), Bicarbonat (HCO3-), Base
Excess/kelebihan basa (BE), Tekanan Oksigen (PO2), Kandungan Oksigen (O2) dan
saturasi Oksigen (SO2)(Kee,2007).

Sampel yang paling baik dalam pemeriksaan gas darah adalah menggunakan
darah arteri (karena paling mencerminkan status pertukaran gas di paru-paru). Darah
arteri dan vena berbeda dalam pH, PCO2, dan PO2, pH arteri biasannya lebih tinggi
sedikit dibandingkan dengan pH vena, saturasi oksigen dan tekanan oksigen arteri juga
lebih tinggi dibandingkan darah vena, sedangkan tekanan karbondioksida arteri lebih
rendah dibandingkan darah vena.

Pemeriksaan analisa gas darah sebaiknya dilakukan segera setelah


pengambilan spesimen darah arteri ini dilakukan untuk menghindari adanya
kontaminasi terhadap udara dan temperatur, yang dapat mengakibatkan penurunan hasil
pada kadar pH dan HCO3-, sedangkan kadar PCO2 akan cenderung naik (NOVA
Biomedika, 2011).

Pada pasien-pasien IGD yang datang dengan keluhan sesak nafas dilakukan
screening pemeriksaan Analisa Gas Darah untuk mengetahui status asam basa pasien.
Kondisi pasien yang kritis kadang tidak memungkinkan pengambilan darah arteri untuk
pemeriksaan Analisa Gas Darah. Pertolongan pertama pada pasien lebih diutamakan,
karenanya pemeriksaan analisa gas darah terkadang dilakukan setelah pasien mendapat
perawatan di ruang ICU.Jauh nya jarak antara laboratorium dan ruang ICU membuat
peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada perbedan hasil antara hasil analisa gas darah
arteri yang diperiksa segera dan di tunda menggunakan es.

Penundaan pemeriksaan Analisa Gas darah terkadang diperlukan mengingat


jauh nya jarak laboratorium dan ruang ICU, sehingga diperlukan media transport
berupa es dalam pengiriman sampel analisa gas darah.

Pemeriksaan cepat sangat penting karena tidak hanya akan menekan


preanalitik error akibat efek metabolisme sel darah dalam sampel, penyimpanan
specimen dalam tempat berisi es akan menyebabkan suhu yang rendah dan dapat
menurunkan metabolisme sel darah yang dapat merubah nilai pH, PCO2, dan HCO3-.

B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang dapat di simpulkan dalam makalah ini adalah
bagaimanakan cara melakukan pemeriksan Analisa Gas darah (AGD) ?

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami cara melakukan pemeriksaan Analisa Gas
darah (AGD)
2. Tujuan Khusus
a. Dapat menjelaskan dan menyebutkan komponen darah
b. Dapat menjelaskan dan menyebutkan pemeriksaan darah lengkap
c. Dapat menjelaskan dan menyebutkan pemeriksaan lemak profil
d. Dapat menjelaskan dan menyebutkan pemeriksaan liver profil
e. Dapat menjelaskan dan menyebutkan pemeriksaan renal profil
f. Dapat menjelaskan dan menyebutkan pemeriksaan gula darah
g. Dapat menjelaskan dan menyebutkan pemeriksaan lain-lain
h. Dapat menjelaskan dan menyebutkan pemeriksaan darah untuk virus
(imunologi dan serologi)
i. Dapat menjelaskan dan menyebutkan pemeriksaan elektrolit
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KOMPONEN DARAH

Darah adalah cairan yang terdapat pada semua hewan tingkat tinggi yang
berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh,
mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme dan juga sebagai pertahanan tubuh
terhadap virus atau bakteri. Istilah medis yang berkaitan dengan darah diawali dengan
kata hemo- atau hemato- yang berasal dari bahasa Yunani haima yang berarti darah
(Wikipedia, 2008). Susatyo (2008) menjelaskan bahwa korpuskula darah terdiri dari:

1. Sel darah merah atau eritrosit (sekitar 99%). Eritrosit tidak mempunyai nukleus
sel ataupun organela, dan tidak dianggap sebagai sel dari segi biologi. Eritrosit
mengandung hemoglobin dan mengedarkan oksigen. Sel darah merah juga
berperan dalam penentuan golongan darah. Orang yang kekurangan eritrosit
menderita penyakit anemia.
2. Keping-keping darah atau trombosit (0,6 - 1,0%) Trombosit bertanggung jawab
dalam proses pembekuan darah.
3. Sel darah putih atau leukosit (0,2%) Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem
imun tubuh dan bertugas untuk memusnahkan benda-benda yang dianggap asing
dan berbahaya oleh tubuh, misal virus atau bakteri. Leukosit bersifat amuboid
atau tidak memiliki bentuk yang tetap. Orang yang kelebihan leukosit menderita
penyakit leukimia, sedangkan orang yang kekurangan leukosit menderita
penyakit leukopenia.

Susatyo (2008) menjelaskan bahwa plasma darah adalah cairan jernih dimana
selsel darah "terendam", sehingga akan selalu terbawa kemana plasma mengalir. Plasma
merupakan komponen terbesar dari darah (55%). Komponen plasma antara lain adalah:
air (92%), protein, faktor pembekuan darah, dan elektrolit. Beda plasma dengan serum:
plasma masih mengandung faktor pembekuan darah, sedangkan serum tidak. Termasuk
protein yang ada di dalam plasma adalah antibodi terhadap berbagai penyakit. Plasma
darah pada dasarnya adalah larutan air yang mengandung :
1. Albumin
2. Bahan pembeku darah
3. Immunoglobin (antibodi)
4. Hormone
5. Berbagai jenis protein
6. Berbagai jenis garam

B. PEMERIKSAAN DARAH LENGKAP


Pemeriksaan Darah Lengkap terdiri dari beberapa jenis parameter pemeriksaan yaitu:
1. Hemoglobin
Nilai normal: pria : 13-18 g/dL
Wanita: 12-16 g/dL
Hemoglobin adalah komponen yang berfungdi sebagai alat transportasi oksigen(O2)
dan karbon dioksida(CO2). Hb tersusun dari globin( empat rantai protein yang terdiri
dari dua unit alfa dan dua unit beta) dan heme (mengandung atom besi dan porphy:
suatu pigmen merah). Pigmen besi Hb bergabung dengan oksigen. Hb yang
mengangkut oksigen darah (dlm arteri) berwarna merah terah sedangkan yang
kehilangan oksigen (dlm vena) merwarna merah tua. Satu gram Hb mengangkut 1,34
mL oksigen. Kapasitas angkut ini berhubungan dengan kadar Hb bukan jumlah sel
darah merah.
Implikasi klinik;
 Penurunan Hb: dapat terjadi pada anemia khususnya kekurangan zat besi,
sirosis, hipertiroidisme, perdarahan, peningkatan asupan cairan dan kehamilan.
 Peningkatan nilai Hb terjadi pada hemokonsentrasi(polisitemia, luka bakar),
PPOK, gagal jantung kongestif dan orang yang tinggal didataran tinggi.
Factor pengganggu:
 Orang yang tinggal didataran tinggi mengalami peningkatan nilai Hb, Hct, dan
sel darah merah
 Asupan cairan yang berlebihan , Hb bisa turun
 Hb menurun pada kehamilan jkarena peningkatan volume plasma
 Olahraga extrim juga meningkatkan Hb
Hal-hal yang harus diwaspadai:
 Implikasi klinik akibat kombinasi penurunan Hb, Hct, dan sel darah merah.
Kondisi gangguan produksi eritrosit dapat menyebabkan penurunan nialai
ketiganya.
 Nilai Hb<5 g/dL memicu gagal jantung dan kematian. Nilai >20 g/dL memicu
kapiler clogging sebagai akibat hemokeonsentrasi.

2. Hematocrit
Nilai normal: pria : 40%-50%
Wanita: 35%-45%
Hematocrit menunjukkan presentase sel darah merah terhadap volume total
Implikasi klinik:
 Penurunan Hct merupakan indicator anemia(karena berbagai sebab) reaksi
hemolitik, sirosis, kehilangan banyak darah. Penurunan Hct sebesar 30%
menunjukkan pasien mengalami anemia sedang hingga parah
 Peningkatan nilai Hct dapat terjadi pada eritrositosis, dehidrasi, kerusakan
paru2 kronik, polisitemia dan syok.
 Nilai Hct sebanding dengan eritrosit normal, kecuali pada anemia makro dan
mikrositik.
 Nilai normal Hct 3 kali nilai hemoglobin
 Satu unit darah akan meningkatkan Hct2%-4%

Factor pengganggu
 Individu yang tinggal di dataran tinggi nilai Hct lebih tinggi demikian juga Hb
dan eritrositnilai Hct normal bervariasi sesuai umur dan gender. Pada bayi lebih
tinggi karena banyak sel makrositik, pada wanita sedikit lebih rendah
dibandingkan laki2, kelompok umur > 60 tahun cenderung nilai Hct lebih rendah
terkait sel darah merah yang juga rendah pada kelompok umur ini.
 Dehidrasi parah juga meningkatkan nilai Hct
Hal yang perlu diwaspadai
 Nilai Hct <20% dapat menyebabkan gagal jantung dan kematian; Hct >60%
terkait dengan pembekuan darah spontan
3. Leukosit(white blood cell/WBC)
Nilai normal : 3200-10.000/mm3 SI : 3.2-10.0 x109/L
Fungsi utama melawan infeksi, melindungi tubuh dengan memfagosit organism
easing dan memproduksi atau mengangkut/ mendistribusikan antibody.
Ada dua tipe utama sel darah putih
Granulosit: neutrophil, eosinophil dan basofil
Agranulosit: limfosit dan monosit
Leukosit terbentuk di sumsum tulang belakang (myelogenous). Disimpan di jaringan
limfatikus(limfa, timus, tonsil). Diangkut oleh darah ke organ dan jaringan. Umur
leukosit adalah 13-20 hari. Untuk pembentukannya dibutuhkan vitamin, asam folat
dan asam amino. System endokrin mengatur pembentukan, penyimpanan dan
pelepasan leukosit.

Implikasi klinik:
 Nilai krisis: 30.000/mm3. > 50.000mm3 mengindikasikan gangguan diluar
sumsum tulang. Nilai yang tinggi diatas 30.000/mm3 dapat karena leukemia, post
operasi pada penderita kanker.
 Leukopenia <4000mm3 disebabkan: infeksi virus, leukemia, obat (antibiotic,
antikonvulsan, kemoterapi), anemia aplastic, multiple myeloma.
 Perdarahan, trauma, obat(epineprin, merkuri, kortikosteroid), nekrosis, toksin,
leukemia, dan keganasan adalah penyebab leukositosis
 Umur, konsentrasi leukosit normal pada bayi (6-1 tahun) 10.000-20.000mm3 .
Sel darah putih diferensial
Nilai normal
Neutrofil Neutrofil eosinofil basofil limfosit monosit
segment Bands
Persentase 36-73 0-12 0-6 0-2 15-45 0-10
Jumlah 1260- 0-1440 0-500 0-150 800- 100-800
absolute(/mm3) 7300 40.00
Deskripsi:
 Neutrophil melawan infeksi bakteri dan gangguan radang
 Eosinophil melawan gangguan alergi dan infeksi parasite
 Basophil melawan diskrasia darah dan penyakit myeloproliferative
 Limfosit melawan infeksi virus dan infeksi bakteri
 Monosit melawan infeksi yang hebat
1) Neutrophil
Nilai normal: segment : 36%-73% SI Unit:0,36-073
Bands : 0%-12% SI Unit:0,00-0,12

Merupakan leukosit yang paling banyak, berfungsi sebagai pertahanan terhadap


invasi mikroba melalui fagositosis. Sel ini memegang peranan penting dalam
kerusakan jaringan yang berkaitan dengan penyakit non infekasi seperti artritis
rheumatoid, asma.
Implikasi klinik:
 Shift to left peningkatan bands (sel belum dewasa)netrofil muda
dilepaskan dalam sirkulasi artinya disebabkan infeksi, kemoterapi,
perdarahan
 Shift to right peningkatan segment ( sel dewasa) terjadi pada penyakit hati,
anemia megaloblastic karena kekurangan vitamin B12, asam folat dan
hemolysis.
 Neutrofilia, yaitu peningkatan neutrophil, karena infeksi bakteri dan
parasite, gangguan metabolit, perdarahan.
 Neutropenia yaitu penurunan netropil bias disebabkan karena penurunan
produksi, infeks ivirus, bakteri.

Hal yang perlu diwaspadai:


Agranulositosis (ditandai dengan neutropenia dan leukopenia) sangat
berbahaya dan sering berakibat fatal karena tubuh tidak terlindungi terhadap
mikroba
dan infeksi parasite.
2) Eosinophil
Nilai normal 0%-6 %
Mempunyai kemampuan memfagosit, aktif pada akhir inflamasi ketika terbentuk
antigen antibody komplek. Eosinophil juga aktif terhadap alergi dan infeksi
parasite.
Implikasi klinik:
 Eosinophilia adalah peningkatan jumlah eosinophil lebih dari 6% atau
jumlah absolut lebih dari 500. Penyebabnya antara lain neoplasma,
Addison disease, rekasi alergi
 Eosipenia penurunan eosinophil dalam sirkulasi, terjasi karena tubuh
merespon stress ( peningkatan glukokortikosteroid)

Hal yang harus diwaspadai:


Eosinophil dapat tertutup karena steroid.perhatian khusus pada pasien yang
mendapat terapi steroid, epineprin, tiroksin atau prostaglandin
3) Basophil
Nilai normal 0%-2 %
Fungsi masih belum diketahui . bertugas mensekresi heparin dan histamine . jika .
4) Monosit
Nilai normal 0%-11%
Merupakan sel darah yang terbesar, merupakan lapis kedua pertahanan tubuh
dapat memfagosit dengan baik dan termasuk kelompok makrofag. Juga
memproduksi interferon
Implikasi klinis:
 Monositosis berkaitan dengan infeksi virus, bakteri dan parasite, kerusakan
jantung dan hematologi
 Monositopenia tidak mengindikasiakn penyakit tetapi mengindikasikan
stress, pengugunaan obat glukokortikoid dan imunosupresan
5) Limfosit
Nilai normal 15%-45%
Merupakan sel darah putih yang paling banyak jumlahnya. merupakan sumber
immunoglobulin yang penting dalam respon imun seluler tubuh. kebanyakan
terdapat di limfa
4. Trombosit (platelet)
Nilai normal: 170-380. 103/mm3 SI : 170—380.109/L
Trombosit adalah elemen terkecil dalam pembuluh darah. Diaktivasi setelah kontak
dengan permukaan dinding endotelia. Trombosit terbentuk dalam sumsum tulang.
Masa hidup sekitar 7.5 hari. Sebesar 2/3 disirkulasi dan 1/3 nya terdapat di limfa
Implikasi klinik:
 Tombositosis berhubungan dengan kanker, splenektomi, polisitemia vera,
trauma, sirosis, myelogeneus, stress dan arthritis rheumatoid
 Trombositopenia berhubungan dengan ITP. Anemia hemolitik, aplastic, dan
pernisiosa. Leukemia, multiple myeloma.
 Obat seperti heparin, kinin, antineoplastic , penisilin, dapat menyebabkan
trombositopenia
 Aspirin dan AINS lebih mempengaruhi fungsi platelet daripada jumlah
platelet.
Faktor pengganggu:
 Jumlah platelet meningkat pada dataran tinggi, setelah olah raga, trauma dan
dalam musin dingin.
 Menurun sebelum menstruasi dan selama kehamilan
 Kontrasepsi oral menyebabkan sedikit peningkatan
Hal yang perlu diwaspadai:
 Pada 50% pasien yang mengalami peningkatan platelet ditemukan keganasan
 Pada peningkatan yang extrim(>1000x103/mm3) akibat gangguan
myeloproliferative, lakukan penilaian penyebab abnormalnya fungsi platelet.
 Nilai kritis: penurunan hingga <20x103/mm3 terkait dengan perdarahan
spontan, perpanjangan waktu perdarahan, peteki dan ekimosis

5. Eritrosit(Red Blood Cell/RBC)


Nilai normal: Pria 4,4-5,6x106 sel/mm3 SI : 4,4-5,6x 1012 sel/L
Wanita 3,8-5,0x106 sel/mm3 SI : 3,5-5,0x 1012 sel/L
Fungsi utama eritrosit untuk mengangkut oksigen dari paru ke jaringan tubuh dan
mengangkut CO2 dari jaringan tubuh ke paru paru oleh Hb.sel eritrosit berbentuk
bikonkaf. Jika kadar oksigen menurun hormone eritropoetin akan menstimulasi
produksi eritrosit. Umur eritrosit 120 hari.
Proses eritropoises pada sumsum tulang melelui beberapa tahap:
1) Hemocytoblast (perkusor dari seluruh sel darah)
2) Prorubisit (sintesis Hb)
3) Rubrisit (inti menyusut, sintesa Hb meningkat)
4) Metrubrisit (disintegrasi inti, sintesa Hb meningkat)
5) Retikulosit (inti diabsorbsi)
6) Eritrosit(sel dewasa tanpa inti)
Implikasi klinik:
 Jumlah sel darah merah meningkat pada polisetemia vera, sekunder, pada
diare/dehidrasi, luka bakar.
 Jumlah eritrosit menurun pada anemia, leukemia, penurunan fungsi ginjal,
hemolysis, lupus eritematosus
Susunan sel darah merah:
1) MCV (mean corpuscular volume)/ volume korpuskuler rata-rata
Indek untuk menentukan ukuran sel darah merah tunggal
2) MCH (mean corpuscular hemoglobin)/hemoglobin korpuskuler rata-rata
Mengindikasikan berat Hb rata-rata dalam sel darah merah, menentukan kualitas
warna (normo, hipo, hiperkromik)
3) MCHC(mean corpuscular hemoglobin concentration)/konsentrasi hemoglobin
korpuskuler rata-rata
Mengukur konsentrasi Hb rata-rata dalamsel darah merah. Semakin kecil sel
semakin tinggi konsentrasinya
4) Retikulosit
Retikulosit(%)= (jumlah retikulosit/jumlah eritrosit)x100
Nilai normal: 0,5-2%
Retikulosit adalah sel darah muda tidak berinti, merupakan rangkaian
pembentukan eritrosit di sumsum tulang. Peningkatan mengindikasikan produksi
sel darah merah dipercepat,, sedangkan penurunan mengindikasikan produksi sel
darah merah berkurang.

6. Laju Endap Darah Atau Erithrocyte Sedimentatiton Rate(ESR)


Nilai normal: Pria < 15mm/1 jam
Wanita < 20mm/1 jam
LED atau disebur Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) adalah ukuran kecepatan
endap eritrosit, menggambarkan komposisi plasma serta perbandingan eritrosit dan
plasma. LED dipengaruhi oleh berat sel darah dan luas permukaan sel serta gravitasi
bumi.
Implikasi klinik:
Nilai meningkat pada: kondisi infeksi akut dan kronis, mis TB, artritis rheumatoid,
infark myokard akut, kanker, sedangkan peningkatan > 100mm/jam selalu
dihubungkan dengan infeksi,malignansi, hiperfibrinogenaemia.

C. PEMERIKSAAN LEMAK PROFIL

Profil lipid adalah tes darah yang mengukur jumlah kolesterol dan lemak yang
disebut trigliserida dalam darah. Pengukuran ini memberikan gambaran singkat
mengenai kondisi dalam darah. Kolesterol dan trigliserida dalam darah dapat menyumbat
arteri, membuat seseorang lebih mudah terkena penyakit jantung. Kolesterol bergerak
melalui darah dan melekat pada protein. Kolesterol dan protein ini disebut dengan
lipoprotein. Analisis lipoprotein (profil lipoprotein atau profil lipid) mengukur kadar
darah dari jumlah kolesterol, LDL kolesterol, HDL kolesterol, dan trigliserida.

1. Kolesterol. Tubuh menggunakan kolesterol untuk membantu membangun sel-sel dan


memproduksi hormon. Terlalu banyak kolesterol dalam darah dapat menumpuk di
dalam arteri, membentuk plak. Plak dalam jumlah besar meningkatkan risiko
terserang serangan jantung atau stroke.
2. HDL (high-density lipoprotein) membantu membuang lemak dari tubuh dengan
mengikatnya pada aliran darah dan membawanya kembali ke hati untuk dikeluarkan.
Terkadang ini disebut sebagai kolesterol “baik”. Tingkat HDL yang tinggi erat
hubungannya dengan risiko rendah penyakit jantung.
3. LDL (low-density lipoprotein) membawa kebanyakan lemak dan hanya sejumlah
kecil protein dari hati ke bagian tubuh lainnya. Tingkat LDL tertentu dalam darah
adalah normal dan sehat karena LDL memindahkan kolesterol ke bagian tubuh lain
yang membutuhkan. Tetapi, terkadang disebut kolesterol “buruk” karena dalam
tingkat yang tinggi dapat berisiko terjadinya penyakit jantung.
4. VLDL (very low-density lipoprotein) mengandung sedikit protein. Tujuan utama
VLDL adalah untuk mendistribusikan trigliserida yang diproduksi oleh hati Anda.
Kolesterol VLDL dalam jumlah tinggi dapat mengakibatkan penumpukan kolesterol
dalam arteri dan meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke.
5. Trigleserida adalah jenis lemak tubuh yang digunakan untuk menyimpan dan
memberikan energi pada otot. Hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit pada darah.
Memiliki tingkat trigliserida yang tinggi dapat meningkatkan peluang risiko penyakit
jantung yang lebih tinggi dibandingkan dengan memiliki tingkat LDL tinggi
 Total Kolesterol

Perkiraan semua kolesterol dalam darah (HDL dan LDL).

High-density lipoprotein (HDL): Kolesterol baik yang membantu melindungi


seseorang terhadap penyakit jantung.
Low-density lipoprotein (LDL): Kolesterol jahat dan kontributor utama sumbatan
arteri.
 Trigliserida

Trigliserida adalah jenis lemak darah yang telah dikaitkan dengan penyakit jantung
dan diabetes. Jika memiliki jumlah trigliserida tinggi, kadar kolesterol total dan LDL
dapat juga tinggi.

Normal : kurang dari 150 mg / dL

Borderline-High: 150-199 mg / dL

Tinggi : 200-499 mg / dL

Sangat Tinggi : 500 mg / dL

Gaya hidup berperan besar dalam meningkatkan kadar trigliserida. Merokok, minum
alkohol, diabetes yang tidak terkontrol, dan obat-obatan seperti estrogen, steroid,
dapat berkontribusi pada kadar trigliserida yang tinggi.

 Rasio total kolesterol terhadap HDL

Jumlah total kolesterol dibagi dengan HDL. Jumlah ini digunakan untuk memprediksi
risiko perkembangan aterosklerosis (penumpukan plak di dalam arteri).

High-density lipoprotein (HDL) adalah kolesterol baik. HDL membantu membawa


kolesterol jahat keluar dari aliran darah dan arteri. HDL memainkan peran yang
sangat penting dalam mencegah penyumbatan arteri. Obat-obatan tertentu, termasuk
steroid, obat tekanan darah beta blocker dapat mengganggu kadar HDL.

Secara umum, kadar HDL 60 mg / dL atau lebih tinggi dianggap baik. Demikian pula, kadar
di bawah 40 mg / dL dianggap sebagai faktor risiko penyakit jantung.

 Very low-density lipoprotein (VLDL)

Jenis lain dari kolesterol jahat yang menumpuk di dalam arteri.

 Kolesterol Darah Total (Serum)

Secara umum, pada kondisi normal kadar kolesterol yang baik adalah di bawah 200 mg / dL.
Lebih dari 200 mg / dL, dapat berarti seseorang berisiko lebih tinggi untuk penyakit jantung.

Normal : Kurang dari 200 mg / dL

Batas Tinggi : 200-239 mg / dL

Tinggi : 240 mg / dL

Memiliki kadar kolesterol total lebih dari 240 mg / dL dapat meingkatkan risiko penyakit
jantung.

 Lipoprotein Densitas Rendah (LDL)

Lipoprotein densitas rendah adalah kolesterol jahat. Kadar LDL yang tinggi meningkatkan
risiko penyakit jantung. Secara umum, hasil LDL adalah sebagai berikut:

Baik : Kurang dari 100 mg / dL

Cukup : 100-129 mg / dL

Batas tinggi : 130-159 mg / dL

Tinggi : 160-189 mg / dL

D. PEMERIKSAAN LIVER PROFIL


1. Pemeriksaan fungsi hati
Tes fungsi hati adalah tes yang menggambarkan kemampuan hati untuk mensintesa
protein (albumin, globulin, faktor koagulasi) dan memetabolisme zat yang terdapat
di dalam darah. (Saudo, Rampengan and Mandei, 2016)
a. Albumin
Nilai Normal : 3,5 – 5,0 g% SI: 35-50g/L
Deskripsi: Albumin di sintesa oleh hati dan mempertahankan keseimbangan
distribusi air dalam tubuh (tekanan onkotik koloid). Albumin membantu
transport beberapa komponen darah, seperti: ion, bilirubin, hormon, enzim,
obat.
Implikasi Klinis:
a. Nilai meningkat pada keadaan dehidrasi
b. Nilai menurun pada keadaan: malnutrisi, sindroma absorpsi, hipertiroid,
kehamilan, gangguan fungsi hati, infeksi kronik, luka bakar, edema, asites,
sirosis, nefrotik sindrom, SIADH, dan perdarahan.
b. Prothrombin Time (Pt)
Deskripsi : untuk mengetahui kemampuan hati dalam mensintesa faktor-faktor
koagulasi (faktor I, II, V, VII, IX, X) kecuali faktor VIII.
c. Alanin Aminotransferase (ALT) atau SGPT
Nilai normal : 5-35 U/L
Deskripsi: Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada hati. ALT juga
terdapat pada jantung, otot dan ginjal. ALT lebih banyak terdapat dalam hati
dibandingkan jaringan otot jantung dan lebih spesifi k menunjukkan fungsi hati
daripada AST. ALT berguna untuk diagnosa penyakit hati dan memantau
lamanya pengobatan penyakit hepatik, sirosis postneurotik dan efek
hepatotoksik obat. (Rosida, 2016)
Implikasi klinik:
a. Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada penyakit hepatoseluler, sirosis
aktif, obstruksi bilier dan hepatitis.
b. Banyak obat dapat meningkatkan kadar ALT.
c. Nilai peningkatan yang signifi kan adalah dua kali lipat dari nilai normal.
d. Nilai juga meningkat pada keadaan: obesitas, preeklamsi berat, acute
lymphoblastic leukemia (ALL)
d. Aspartat Aminotransferase (AST) atau SGOT
Nilai normal : 5 – 35 U/L
Deskripsi: AST adalah enzim yang memiliki aktivitas metabolisme yang tinggi,
ditemukan di jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, limfa, pankreas dan paru-
paru. Penyakit yang menyebabkan perubahan, kerusakan atau kematian sel pada
jaringan tersebut akan mengakibatkan terlepasnya enzim ini ke sirkulasi.
Implikasi klinik:
a. Peningkatan kadar AST dapat terjadi pada MI, penyakit hati, pankreatitis
akut, trauma, anemia hemolitik akut, penyakit ginjal akut, luka bakar
parah dan penggunaan berbagai obat, misalnya: isoniazid, eritromisin,
kontrasepsi oral
b. Penurunan kadar AST dapat terjadi pada pasien asidosis dengan diabetes
mellitus.
c. Obat-obat yang meningkatkan serum transaminase yaitu Asetominofen ,
Co-amoksiklav, HMGCoA reductase inhibitors, INH, Antiinfl amasi
nonsteroid, Fenitoin, Valproa
e. Gamma Glutamil transferase (GGT)
Nilai normal : Laki-laki ≤94 U/L SI : ≤1,5 μkat/L Perempuan ≤70 U/L SI: 1,
Deskripsi: GGT terutama terdapat pada hati, ginjal; terdapat dalam jumlah yang
lebih rendah pada prostat, limfa, dan jantung. Hati dianggap sebagai sumber
enzim GGT meskipun kenyataannya kadar enzim tertinggi terdapat di ginjal.
Enzim ini merupakan marker (penanda) spesifi k untuk fungsi hati dan
kerusakan kolestatis dibandingkan ALP. GGT adalah enzim yang diproduksi di
saluran empedu sehingga meningkat nilainya pada gangguan empedu. Enzim ini
berfungsi dalam transfer asam amino dan peptida. Laki-laki memiliki kadar
yang lebih tinggi daripada perempuan karena juga ditemukan pada prostat.
Monitoring GGT berguna untuk mendeteksi pecandu alkohol akut atau kronik,
obstruksi jaundice, kolangitis dan kolesistitis.
Implikasi klinik:
a. Peningkatan kadar GGT dapat terjadi pada kolesistitis, koletiasis, sirosis,
pankreatitis, atresia billier, obstruksi bilier, penyakit ginjal kronis, diabetes
mellitus, pengggunaan barbiturat, obat-obat hepatotoksik (khususnya yang
menginduksi sistem P450). GGT sangat sensitif tetapi tidak spesifi k. Jika
terjadi peningkatan hanya kadar GGT (bukan AST, ALT) bukan menjadi
indikasi kerusakan hati.
b. Obat-obat yang menyebabkan peningkatan GGT antara lain karbamazepin,
barbiturat, fenitoin, serta obat yang menginduksi sistem sitokrom P450
f. Alkalin Fosfatase (ALP)
Nilai normal : 30 - 130 U/L
Deskripsi: Enzim ini berasal terutama dari tulang, hati dan plasenta.
Konsentrasi tinggi dapat ditemukan dalam kanakuli bilier, ginjal dan usus halus.
Pelepasan enzim ini seperti juga indeks penyakit tulang, terkait dengan produksi
sel tulang dan deposisi kalsium pada tulang. Pada penyakit hati kadar alkalin
fosfatase darah akan meningkat karena ekskresinya terganggu akibat obstruksi
saluran bilier.
Implikasi Klinik:
a. Peningkatan ALP terjadi karena faktor hati atau non-hati. Peningkatan
ALP karena faktor hati terjadi pada kondisi : obstruksi saluran empedu,
kolangitis, sirosis, hepatitis metastase, hepatitis, kolestasis, infi ltrating
hati disease
b. Peningkatan ALP karena faktor non-hati terjadi pada kondisi : penyakit
tulang, kehamilan, penyakit ginjal kronik, limfoma, beberapa malignancy,
penyakit infl amasi/infeksi, pertumbuhan tulang, penyakit jantung
kongestif
c. Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada obstruksi jaundice, lesi hati,
sirosis hepatik, penyakit paget, penyakit metastase tulang, osteomalasis,
hiperparatiroidisme, infus nutrisi parenteral dan hiperfosfatemia.
d. Penurunan kadar ALT dapat terjadi pada hipofosfatemia, malnutrisi dan
hipotiroidisme.
e. Setelah pemberian albumin IV, seringkali terjadi peningkatan dalam
jumlah sedang alkalin fosfatase yang dapat berlangsung selama beberapa
hari.
g. Bilirubin
Nilai normal : Total ≤ 1,4 mg/dL SI = <24 μmmol/L
Langsung ≤ 0,40 mg/dL SI= <7 μmmol/L
Deskripsi:
Bilirubin terjadi dari hasil peruraian hemoglobin dan merupakan produk antara
dalam proses hemolisis. Bilirubin dimetabolisme oleh hati dan diekskresi ke
dalam empedu sedangkan sejumlah kecil ditemukan dalam serum. Peningkatan
bilirubin terjadi jika terdapat pemecahan sel darah merah berlebihan atau jika
hati tidak dapat mensekresikan bilirubin yang dihasilkan. Terdapat dua bentuk
bilirubin:
a. tidak langsung atau tidak terkonjugasi (terikat dengan protein).
b. langsung atau terkonjugasi yang terdapat dalam serum. Peningkatan kadar
bilirubin terkonjugasi lebih sering terjadi akibat peningkatan pemecahan
eritrosit, sedangkan peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi lebih
cenderung akibat disfungsi atau gangguan fungsi hati.
Implikasi klinik:
a. Peningkatan bilirubin yang disertai penyakit hati dapat terjadi pada
gangguan hepatoseluler, penyakit sel parenkim, obstruksi saluran empedu
atau hemolisis sel darah merah.
b. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dapat terjadi pada anemia
hemolitik, trauma disertai dengan pembesaran hematoma dan infark
pulmonal.
c. Bilirubin terkonjugasi tidak akan meningkat sampai dengan penurunan
fungsi hati hingga 50%
d. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat terjadi pada kanker
pankreas dan kolelitiasis
e. Peningkatan kadar keduanya dapat terjadi pada metastase hepatik,
hepatitis, sirosis dan kolestasis akibat obat – obatan.
f. Pemecahan bilirubin dapat menyamarkan peningkatan bilirubin.
g. Obat-obat yang dapat meningkatkan bilirubin: obat yang bersifat
hepatotoksik dan efek kolestatik, antimalaria (primakuin, sulfa,
streptomisin, rifampisin, teofi lin, asam askorbat, epinefrin, dekstran,
metildopa)
h. Obat-obat yang meningkatkan serum bilirubin dan ALP : Allopurinol,
karbamazepin, kaptopril, klorpropamid, siproheptadin, diltiazem,
eritromisin, co-amoxiclav, estrogen, nevirapin, quinidin, TMPSMZ
h. Laktat dihidrogenase (dahulu LDH)
Nilai normal : 90-210 U/L SI : 1,5-3,5 μkat/L
Deskripsi: LD merupakan enzim intraseluler, LD terdistribusi secara luas dalam
jaringan, terutama hati, ginjal, jantung, paru-paru, otot rangka. Enzim glikolitik
ini mengkatalisasi perubahan laktat dan piruvat. LD bersifat non spesifi k, tetapi
membantu menegakkan diagnosis infark miokard atau infark pulmonal
bersamaan dengan data klinik lain. LD juga sangat bermanfaat dalam
mendiagnosa distropi otot atau anemia pernisiosa. Penentuan yang lebih spesifi
k dapat dilakukan jika LD telah terurai menjadi isoenzim. Oleh karena itu
isoenzim spesifi k diperlukan untuk mendeteksi infark miokard.
Implikasi klinik:
a. Pada MI akut, LD meningkat dengan perbandingan LD1 : LD2 > 1, kadar
meningkat dalam 12-24 jam infark dan puncaknya terjadi 3-4 hari setelah
infark miokard.
b. Pada infark pulmonal, LD meningkat dalam 24 jam setelah onset nyeri.
c. Peningkatan kadar LD dapat terjadi pada infark miokard akut, leukemia
akut, nekrosis otot rangka, infark pulmonal, kelainan kulit, syok, anemia
megalobastik dan limfoma. Penggunaan bermacam obat-obatan dan status
penyakit juga dapat meningkatkan kadar LD.
d. Penurunan kadar LD menggambarkan respon yang baik terhadap terapi
kanker.
i. Globulin
Nilai Normal : . 2,3 - 3,4 g/dL.
Deskripsi :
Globulin merupakan unsur dari protein tubuh yang terdiri dari globulin alpha,
beta, dan gama. Globulin berfungsi sebagai pengangkut beberapa hormon, lipid,
logam, dan antibodi
Implikasi Klinik :
a. Peningkatan globulin terutama gama dapat disebabkan peningkatan
sintesis antibodi
b. Penurunan kadar globulin dapat dijumpai pada penurunan imunitas tubuh,
malnutrisi, malababsorbsi, penyakit hati, atau penyakit ginjal
E. PEMERIKSAAN RENAL PROFIL
Tes profil ginjal adalah istilah kolektif untuk berbagai tes individu yang bisa
dilakukan untuk mengevaluasi seberapa baik ginjal berfungsi. Tes ini digunakan
untuk skrining penyakit ginjal, monitoring kondisi kesehatan ginjal, membedakan
penyebab penyakit ginjal, dan menentukan tingkat disfungsi ginjal. Tes ini berusaha
untuk menentukan keadaan klinis disfungsi ginjal. Dalam melakukan tes ini, fungsi
renal yaitu: filtrasi, reabsorpsi atau ekskresi akan diuji.
Banyak kondisi yang dapat mempengaruhi kemampuan ginjal untuk
melakukan-fungsi vital mereka. Beberapa mengarah pada penurunan fungsi ginjal,
yang cepat (akut) yang lainnya menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara bertahap
(kronis). Keduanya mengakibatkan penumpukan zat limbah beracun dalam darah.
Sejumlah tes laboratorium klinis yang mengukur tingkat zat diatur secara normal oleh
ginjal dapat membantu menentukan penyebab dan luasnya disfungsi ginjal. Tes ini
dilakukan pada sampel urin, serta pada sampel darah.
a. Tes Urin dan Darah
Ada berbagai tes urine dan darah yang dapat digunakan untuk menilai fungsi
ginjal, yaitu:
a) Urinalisis Rutin
Tes skrining yang sederhana dan murah disebut urine rutin, merupakan tes
yang seringkali pertama diberikan jika masalah ginjal dicurigai.
Pra Analitik:
Pada tahapan ini yang perlu diperhatikan adalah persiapan pasien
seperti makanan, minuman atau obat yang dikonsumsi sebelum
pengambilan sampel. Lalu, pada proses pengambilan sampel, pertama
pemilihan bahan specimen. Yang terbaik adalah urin pagi atau setelah
bangun tidur. Specimen ini pekat sehingga lebih mudah mendapatkan
kelainan yang ada. Kedua cara pengambilan specimen dianjurkan urin porsi
tengah secara bersih. Porsi tengah urin adalah bagian urin yang dikeluarkan
di tengah proses miksi. Secara bersih yaitu didahului dengan membersihkan
alat kelamin lalu urin ditampung tanpa mengenai bagian badan atau
penampung lain. Pada perempuan disarankan penampungan urin dengan
membuka labia alat kelamin. Ketiga adalah menggunakan penampungan
yang bersih, kering, bermulut lebar, ditutup dengan rapat, , disposable
dan memakai label.
Urin tersebut harus diperiksa/dianalisis dalam jangka waktu 1 jam dari
saat pengeluaran agar unsur-unsur yang ada tidak berubah terutama pH dan
unsur-unsur selular. Apabila perlu jangka waktu lebih lama sebelum dapat
diperiksa maka diusahakan dengan menempatkan penampung urin dalam
pendingin atau menggunakan pengawet seperti toluene, formalin 40%, dll.
Dilakukan pengolahan sampel urin untuk pemeriksaan sedimen dengan cara
diputar pada sentrifuge 1500-2000 rpm selama 5’. Supernatan dibuang ± 1
cc disisakan lalu dicampur dengan sedimen.

Analitik:
Pada tahapan ini dilakukan pemeriksaan makroskopis (warna, bau,
kejernihan/kekeruhan, dan berat jenis), mikroskopis atau sedimen urin
(eritrosit, leukosit, silinder, sel epitel, kristal, bakteri, dan parasit), seta
kimia urin (pH, berat jenis, protein, glukosa, keton, bilirubin, urobilinogen,
nitrit, esterase leukosit, darah/Hb). Pemeriksaan kimia urin saat ini
kebanyakan dikerjakan dengan cara kimia kering menggunakan carik celup
(test strip). Jika terdapat hasil yang meragukan, maka dilakukan uji
konformasi menggunakan metode gold standar.

Pasca Analitik:
Pada tahap ini dilakukan pencatatan dan pelaporan, PMI, PME,
pencantuman nilai rujukan, verifikasi dan validasi hasil pemeriksaan.
Nilai Normal:
Test : Reference Range
Color :Straw - Dark yellow
Appearance : Clear – Hazy
Specific Gravity : 1.003-1.029
pH : 4.5-7.8
Protein : Negative
Glucose : Negative
Ketones : Negative
Bilirubin : Negative
Occult blood : Negative
Leukocyte Esterase : Negative
Nitrite : Negative
Urobilinogen : 0.1-1.0 EU/dL
WBCs : 0-4/hpf
RBCs male : 0-3/hpf
female: 0-5/hpf
Casts : 0-4/lpf
Bacteria :Negative
EU = Ehrlich Units (ca. 1 mg) hpf = High Power Field (400x) lpf = Low
Power Field (100X)
Interference Factor:
Parameter – parameter pemeriksaan dalam urin depengaruhi oleh cara
pengambilan specimen yang tidak bersih/ steril, persiapan pasien seperti
makanan, minuman atau obat yang dikonsumsi sebelumnya, waktu
penyimpanan sampel, suhu, cahaya matahari, kontaminasi udara, temperatur
dan pH.
b) Creatinine Serum dan Creatinine Clearance Test
Uji klirens kreatinin mengevaluasi seberapa efisien ginjal
membersihkan zat yang disebut kreatinin dari darah. Kreatinin merupakan
produk limbah dari metabolisme energi otot, diproduksi pada tingkat yang
konstan yang sebanding dengan massa otot individu . Karena tubuh tidak
mendaur ulangnya, sehingga semua kreatinin disaring oleh ginjal, dalam
jumlah waktu tertentu diekskresikan ke dalam urin, hal ini membuat
pengukuran kreatinin sangat spesifik untuk fungsi ginjal.
Pra Analitik
pasien tidak boleh berkemih sebelum permulaan percobaan. 30 menit
sebelum percobaan dimulai, pasien disuruh minum air sebanyak 400-500 mL
sampai habis. Dilakukan pengumpulan spesimen urin kumulatif selama
periode 24 jam untuk penderita yang dirawat dan 12 jam untuk pasien
poliklinik dicatat waktunya tepat dengan menit serta volume urin yang
ditampung. Pada waktu porsi urin yang terakhir dikeluarkan, diambil darah
pasien untuk penetapan kreatinin darah. Jenis sampel untuk uji kreatinin darah
adalah serum atau plasma heparin. Kumpulkan 3-5 ml sampel darah vena
dalam tabung bertutup merah (plain tube) atau tabung bertutup hijau (heparin).
Lakukan sentrifugasi dan pisahkan serum/plasma-nya. Tinggi dan berat badan
juga diukur.
Analitik
Dilakukan perhitungan diuresis urin dengan satuan cc/ menit,
dilakukan pemeriksaan kreatinin serum dan kreatinin urine metode jaffe
reaction (fixed time). Lalu dilakukan perhitungan klirens kreatinin dengan
rumus:

Kreatinin klirens = x f bila diuresis > 2 mL/menit, x f bila diuresis

< 2 mL/menit
Dengan:
U = kadar kreatinin urin (mg/dL)
V = diuresis per menit (cc/menit)
B = kadar kreatinin serum (mg/dL)
f = faktor hubungan antara berat badan dan tinggi badan
hasil juga dikalikan faktor pengenceran jika kadar melebihi batas linearitas.
Pasca Analitik
Pada tahap ini dilakukan pencatatan dan pelaporan, pencantuman nilai
rujukan, PMI, PME, Audit, verifikasi dan validasi hasil pemeriksaan.

Nilai Normal:
Kreatinin serum;
DEWASA :
Laki-laki : 0,6-1,3 mg/dl. Perempuan : 0,5-1,0 mg/dl. (Wanita sedikit
lebih rendah karena massa otot yang lebih rendah daripada pria).
ANAK :
Bayi baru lahir : 0,8-1,4 mg/dl. Bayi : 0,7-1,4 mg/dl. Anak (2-6 tahun)
: 0,3-0,6 mg/dl. Anak yang lebih tua : 0,4-1,2 mg/dl. Kadar agak meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, akibat pertambahan massa otot.
LANSIA :
Kadarnya mungkin berkurang akibat penurunan massa otot dan penurunan
produksi kreatinin.
Kreatinin klirens untuk orang dewasa < 40 tahun adalah 120 ( 100-140
) mL/menit. Untuk orang dewasa usia lebih dari 40 tahun secara fisiologis
berkurang 1% per tahun.
Interference Factor:
Uji klirens kreatinin dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, kehamilan,
massa otot atau berat badan, diet atau asupan makanan, konsumsi obat dan
proses pengumpulan urin 12 jam atau 24 jam. Selain itu juga dipengaruhi oleh
persiapan atau riwayat pasien, pengolahan sampel dan kondisi sampel seperti:
hemolysis, bilirubin dan lipemik yang dapat menyebabkan false negative.
Asam askorbat, glukosa, dan beberapa antibiotik juga mempengaruhi hasil.
Jika kadar kreatinin melebihi batas linearitas, maka harus diencerkan.
c) Urea Clearance
Urea adalah produk limbah yang diciptakan oleh metabolisme protein
dan diekskresikan dalam urin. Urea Clearance mengukur fungsi glomeruli,
karena ureum difiltrasi melalui glomeruli itu. Tetapi urea clearance tidak boleh
dipandang sama dengan nilai glomerular filtration rate (GFR), karena sebagian
dari ureum itu di dalam tubuli mendifusi kembali ke dalam darah. Banyaknya
ureum yang mendifusi lagi itu ditentukan oleh diuresis. Tes urea ini
memerlukan sampel darah untuk mengukur jumlah urea dalam aliran darah
dan dua spesimen urine, dikumpulkan satu jam terpisah, untuk menentukan
jumlah urea yang disaring, atau dibersihkan, oleh ginjal ke dalam urin.

Pra Anallitik:
Kira-kira setengah jam sebelum percobaan dimulai, penderita disuruh
minum air 400-500 mL sampai habis. Penderita mengosongkan kandung
kencingnya habis-habisan, misal pukul P dicatat waktunya tepat dengan menit
ketika urin mulai ditampung. 1 jam kemudian diambil darah vena penderita. 1
jam lagi yaitu P jam + 120 menit, penderita mengosongkan kandung
kecingnya lagi untuk disimpan dan catat tepat dengan menit. Ukur tinggi dan
berat badan. Volume urin yang dikeluarkan selama 2 jam ditentukan
volumenya.
Analitik:
Dilakukan perhitungan diuresis urin dengan satuan cc/ menit, dilakukan
pemeriksaan kadar ureum pada serum dan urin dengan metode kolorimetrik
enzimatik (berthelot). Lalu dilakukan perhitungan urea clearance dengan

rumus: urea klirens = x f bila diuresis > 2 mL/menit, x f bila

diuresis < 2 mL/menit


Dengan:
U = kadar ureum urin (mg/dL)
V = diuresis per menit (cc/menit)
B = kadar ureum serum (mg/dL)
f = faktor hubungan antara berat badan dan tinggi badan
Hasil juga dikalikan faktor pengenceran jika kadar melebihi batas
linearitas. Satuan urea clearance yaitu ml/menit atau ada juga yang lebih lazim
dipakai yaitu dengan %. Apabila didapatkan diuresis 2 ml/menit atau lebih,
maka nilai urea clearance dibandingkan dengan 75 ml/menit yang dianggap
100%, bilamana diuresis kurang dari 2 ml/menit nilai clearance dibandingkan
dengan 54 ml/menit yang dianggap 100% pula.
Pasca Analitik
Pada tahap ini dilakukan pencatatan dan pelaporan, pencantuman nilai
rujukan, PMI, PME, Audit, verifikasi dan validasi hasil pemeriksaan.
Nilai Normal:
Kadar ureum normal umunya adalah 10- 40 mg/dL, dan dalam urin
kadar normalnya adalah 26-43 g/24 jam. Nilai normal urea clearance berkisar
antara 70-110 %, nilai normal itu sebenarnya diperhitungkan untuk seorang
yang mempunyai luasn badan 1,73 m2. Jika luas badan seseorang tidak
mendekati nilai itu, maka harus diadakan koreksi atas berat badan dan tinggi
badan.
Interference Factor:
Uji urea clearance dipengaruhi oleh usia, berat badan, tinggi badan,
katabolisme protein, kebakaran, infark miokard, asupan makanan, kehamilan,
gangguan hati, masa pertumbuhan Selain itu juga dipengaruhi oleh persiapan
atau riwayat pasien, dan pengolahan sampel. Jika kadar ureum melebihi batas
linearitas, maka harus diencerkan.
d) Tes Osmolalitas
Tes urine osmolalitas . Osmolalitas urin adalah pengukuran jumlah
partikel terlarut dalam urin. Ini adalah pengukuran yang lebih tepat daripada
berat jenis untuk mengevaluasi kemampuan ginjal untuk berkonsentrasi atau
encer urin. Ginjal yang berfungsi normal akan mengeluarkan lebih banyak air
ke dalam urin sebagai asupan cairan meningkat, menipiskan urin. Jika asupan
cairan menurun, ginjal mengekskresikan sedikit air dan urin menjadi lebih
pekat.
Pra Analitik:
Tes ini dapat dilakukan pada sampel urin yang dikumpulkan hal
pertama di pagi hari, pada beberapa sampel waktunya, atau pada sampel
kumulatif yang dikumpulkan selama dua puluh empat jam. Pasien biasanya
akan diresepkan diet tinggi protein selama beberapa hari sebelum tes dan
diminta untuk tidak minum cairan malam sebelum ujian.
Analitik:
dilakukan pengujian terhadap sampel urin yang telah dikumpulkan
dengan metode yang tepat.
Pasca Analitik:
Pada tahap ini dilakukan pencatatan dan pelaporan, pencantuman nilai
rujukan, PMI, PME, Audit, verifikasi dan validasi hasil pemeriksaan.
e) Uji Protein Urin
Ginjal yang sehat menyaring semua protein dari aliran darah dan
kemudian menyerap kembali mereka, sehingga tidak ada protein, atau hanya
sedikit jumlah protein, ke dalam urin. Kehadiran terus-menerus dari sejumlah
besar protein dalam urin, maka merupakan indikator penting dari penyakit
ginjal. Sebuah tes skrining positif untuk protein ( termasuk dalam urine rutin )
pada sampel urin acak biasanya ditindaklanjuti dengan tes pada sampel urin 24
- jam yang lebih tepat mengukur kuantitas protein.
Pra Analitik:
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan specimen urin 24 jam.
Supernatan urin yang telah disentrifuge 1500- 2000 rpm, 5’ digunakan untuk
pemeriksaan protein secara manual.

Analitik:
Dilakukan pemeriksaan urin metode Bang.
Pra Analitik:
Pada tahap ini dilakukan pencatatan dan pelaporan, pencantuman nilai
rujukan, PMI, PME, Audit, verifikasi dan validasi hasil pemeriksaan.
Nilai normal:
Urin acak : negatif (≤15 mg/dl) dan Urin 24 jam : 25 – 150 mg/24
jam.
Interference Factor:
Reaksi positif palsu mungkin disebabkan oleh albumin dan globulin.
Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh hematuria, tingginya substansi
molekular, infus polivinilpirolidon (pengganti darah), obat (lihat pengaruh
obat), pencemaran urine oleh senyawa ammonium kuaterner (pembersih kulit,
klorheksidin), urine yang sangat basa (pH > 8). Hasil negatif palsu dapat
disebabkan oleh urine yang sangat encer, urine sangat asam (pH di bawah 3)
f) Blood Urea Nitrogen
Tes darah urea nitrogen ( BUN ) . Urea adalah produk sampingan dari
metabolisme protein . Produk limbah ini terbentuk dalam hati , kemudian
disaring dari darah dan diekskresikan dalam urin oleh ginjal . The BUN tes
mengukur jumlah nitrogen yang terkandung dalam urea . Tingkat BUN yang
tinggi dapat mengindikasikan disfungsi ginjal , tetapi karena nitrogen urea
darah juga dipengaruhi oleh asupan protein dan fungsi hati , tes ini biasanya
dilakukan bersamaan dengan kreatinin darah , indikator yang lebih spesifik
fungsi ginjal.
Pra Analitik:
Dilakukan pengambilan specimen darah pada pasien. Lalu dilakukan
pengolahan sampel untuk mendapatkan sampel serum. Untuk mengukur kadar
ureum diperlukan sampel serum atau plasma heparin. Kumpulkan 3-5 ml
darah vena pada tabung bertutup merah atau bertutup hijau (heparin), hindari
hemolisis. Centrifus darah kemudian pisahkan serum/plasma-nya untuk
diperiksa. Penderita dianjurkan untuk puasa terlebih dulu selama 8 jam
sebelum pengambilan sampel darah untuk mengurangi pengaruh diet terhadap
hasil laboratorium. Urea stabil 24 jam pada suhu kamar, beberapa hari pada
suhu 2-8◦C, 2-3 bulan jika dibekukan.
Analitik:
Kadar ureum (BUN) diukur dengan metode kolorimetri menggunakan
fotometer atau analyzer kimiawi. Pengukuran berdasarkan atas reaksi
enzimatik dengan diasetil monoksim yang memanfaatkan enzim urease yang
sangat spesifik terhadap urea. Konsentrasi urea umumnya dinyatakan sebagai
kandungan nitrogen molekul, yaitu nitrogen urea darah (blood urea nitrogen,
BUN). Namun di beberapa negara, konsentrasi ureum dinyatakan sebagai
berat urea total. Nitrogen menyumbang 28/60 dari berat total urea, sehingga
konsentrasi urea dapat dihitung dengan mengalikan konsentrasi BUN dengan
60/28 atau 2,14
Pasca Analitik:
Pada tahap ini dilakukan pencatatan dan pelaporan, pencantuman nilai
rujukan, PMI, PME, Audit, verifikasi dan validasi hasil pemeriksaan.

Nilai Normal:
Dewasa : 5 – 25 mg/dl
Anak : 5 – 20 mg/dl
Bayi : 5 – 15 mg/dl
Lansia : kadar sedikit lebih tinggi daripada dewasa.
Interference Factor:
Uji urea clearance dipengaruhi oleh asupan protein, fungsi hati,
katabolisme protein, kebakaran, infark miokard, asupan makanan, kehamilan,
gangguan hati, masa pertumbuhan, dehidrasi, konsumsi obat-obatan dan
asupan nutrisi. Selain itu juga dipengaruhi oleh persiapan atau riwayat pasien,
dan pengolahan sampel.
g) Inulin dan Cystatin C
Inulin merupakan marker yang ideal karena memenuhi semua
persyaratan tersebut, sehingga klirens inulin dipakai sebagai baku emas dalam
penghitungan LFG baik pada dewasa maupun pada anak-anak. Pengukuran
LFG dengan klirens inulin hanya dipakai dalam riset, karena klirens inulin
sulit dilakukan dalam praktek sehari-hari. Prosedur pemeriksaan adalah
dengan cara infus inulin selama 3 jam agar diperoleh kadar yang stabil dalam
cairan ekstraseluler. Dibutuhkan intake cairan yang banyak.
Akhir-akhir ini telah dikembangkan sebuah marker baru dalam
mengevaluasi laju fitrasi glomerulus yaitu dengan mengukur kadar cystatin C
dalam serum. Cystatin C adalah protein berbasis nonglycosylate yang
diproduksi secara konstan oleh semua sel berinti. Cystatin C bebas filtrasi
dalam glomerulus dan dikatabolik dalam tubulus renal sehingga tidak
disekresi maupun direabsorbsi sebagai suatu molekul utuh. Oleh karena kadar
cystatin C serum tidak bergantung umur, jenis kelamin dan masa otot maka
cystatin C dapat dipakai sebagai marker yang lebih baik dibandingkan dengan
kadar kreatinin serum dalam mengukur laju fitrasi glomerulus.

Hasil tes GFR menunjukkan kerusakan pada ginjal, sebagaimana


berikut:

F. PEMERIKSAAN GULA DARAH PROFIL

Sumber energi utama tubuh adalah glukosa. Karbohidrat ini adalah subsrate utama untuk
jalur glikolitik Embden-Meyerhof yang memberi makan siklus Krebs dalam proses respirasi,
menghasilkan adenosin trifosfat (ATP). Organ yang paling penting dalam tubuh adalah
jantung, dan kardiomiosit konstituen membutuhkan sumber energi yang konstan, seperti yang
disediakan oleh glukosa, untuk terus berdetak. Hampir setiap sel dalam tubuh menghasilkan
energi dengan cara ini, sehingga kekurangan glukosa dapat menyebabkan kekurangan energi
yang meluas yang mempengaruhi semua organ.

Analisa Rentang referensi


Glukosa 3.5-5.5 mmol/L

1. Metabolisme Glukosa

Glukosa dapat dikonsumsi dalam makanan, tetapi lebih mungkin merupakan produk
dari pemecahan karbohidrat kompleks oleh enzim pencernaan. Glukosa juga dapat
dibebaskan dari bentuk penyimpanannya, glikogen, dan konsentrasi dalam darah umumnya
dipertahankan dalam margin yang relatif ketat yaitu 3,5-5,5 mmol / L. Pengatur utama dari
proses ini, hormon insulin, bekerja pada sel untuk meningkatkan pergerakan glukosa dari
darah dan masuk ke dalam sel. Hormon kedua, glukagon, secara efektif melawan efek
insulin, baik hormon yang bekerja pada hati, otot dan jaringan adiposa, meskipun ada hormon
lain yang terlibat dalam metabolisme glukosa.

2. Laboratorium dan Glikemia

Laboratorium menawarkan dua tes standar yaitu glukosa dan hemoglobin terglikasi
(HbA1c). OGTT mengukur glukosa dalam dua sampel darah, satu diambil hanya digunakan
untuk mendiagnosis dan memantau pengelolaan penyakit terkait glukosa.

a. Glukosa

Meskipun pengukuran glukosa relatif mudah, ada sejumlah faktor yang harus kita
atasi sebelum kita mempertimbangkan kimianya. Darah untuk estimasi glukosa harus
diambil menjadi antikoagulan seperti fluoride oksalat. Yang terakhir diperlukan karena
sel-sel darah putih, sementara hidup, bernafas dan karenanya mengkonsumsi glukosa,
sehingga konsentrasi glukosa turun seiring waktu. Fluoride secara efektif menghentikan
rantai transpor elektron dalam mitokondria, dan juga konsumsi glukosa. Konsentrasi
Glukosa berbeda secara keseluruhan (darah vena dibandingkan dengan plasma (di mana
konsentrasinya 10-15% lebih tinggi), karena akan ada beberapa glukosa di dalam sel
darah merah. Oleh karena itu berkaitan dengan penggunaan mesin pengujian yang
mendekati pasien yang umumnya mengukur seluruh darah kapiler. Penting untuk diingat
bahwa meter glukosa perawatan mungkin tidak akurat pada konsentrasi glukosa darah
yang sangat rendah atau sangat tinggi, dan tes "gold standard" masih untuk mengukur
glukosa darah menggunakan laboratorium penganalisa.

Glukosa memiliki waktu paruh yang relatif singkat, dan konsentrasi paling rendah
di pagi hari setelah puasa di malam hari. Karena itu, kadar pertengahan pagi akan lebih
tinggi karena penyerapan glukosa dari sarapan. Gula darah acak (diambil kapan saja), jika
tinggi, mungkin merupakan hiperglikemia patologis asli atau konsekuensi dari minuman
manis yang besar dan beberapa batang coklat. Akibatnya, banyak layanan hanya
menerima sampel puasa.

b. Hemoglobin terglikasi

Glukosa bersifat lengket. Ini menempel pada protein, karbohidrat dan lemak, baik
dalam plasma atau membran sel. Memang, selaput sel darah merah harus relatif tipis.
Super adaptabilitas ini membawa aspek-aspek lain, seperti glukosa yang masuk ke dalam
sel lebih mudah daripada sel berinti. Begitu berada di dalam sel, glukosa mengikat secara
ireversibel ke semua bentuk hemoglobin (HbA, HBA2, HbC dan HbS, jika ada), maka
hemoglobin terglikasi. HbA1c mengukur sejauh mana HbA terglikasi. Kehadiran sejumlah
besar glukosa pada molekul hemoglobin berarti bahwa hemoglobin terglikasi memiliki
mobilitas kromatografi yang berbeda dari yang hanya memiliki jejak glukosa. Posisi
dimana hemoglobin terglikasi bermigrasi dengan mudah terlihat pada elektroforesis
standar dan dalam kromatografi cair berkinerja tinggi. Itu sepenuhnya normal untuk
memiliki beberapa hemoglobin seseorang terglikasi. Namun, tingkat glikasi sebanding
dengan konsentrasi rata-rata glukosa dalam darah. Karena itu, HbA1c adalah pengganti
hemoglobin yang tidak dapat diubah. Oleh karena itu, hasil HbA1c secara efektif adalah
catatan jumlah glukosa dalam darah dalam 10-12 minggu sebelumnya, karena ini adalah
masa hidup sel darah merah. ini penting karena beberapa alasan:

1) Pasien bisa dengan mudah glukosa darah akan rendah. Namun, puasa seperti itu tidak
akan mengurangi konsentrasi HbA1c mereka.
2) Konsentrasi glukosa darah paling dapat diandalkan saat puasa. Namun, karena HbA1c
memberikan pandangan jangka panjang tentang hiperglikemia, HbA1c dapat
digunakan sebagai alat skrining umum, dan berguna bahkan jika pasien mengakui
makan kaya karbohidrat baru-baru ini.
3) Karena HbA1c memiliki paruh yang panjang, mengukurnya pada dua minggu berturut-
turut akan melihat sedikit perubahan, bahkan jika subjek telah kekurangan glukosa,
dan / atau telah mengubah obat penurun glukosa secara nyata. Memang, banyak
layanan laboratorium akan menolak permintaan HbA1c dalam satu bulan atau 6
minggu dari pengukuran sebelumnya.
G. PEMERIKSAAN LAIN-LAIN PROFIL

Pemeriksaan lain-lain:

1. Urinalisis
1.1. Deskripsi
Urinalisis dapat digunakan untuk evaluasi gangguan fungsi
ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan hematologi, infeksi saluran
kemih dan diabetes mellitus. Urinalisis dapat dilakukan sewaktu atau
pada pagi hari. Pemeriksaan berat jenis urin dapat digunakan untuk
mengevalusai penyakit ginjal pasien. Berat jenis normal adalah 1,001-
1,030 dan menunjukkan kemampuan pemekatan yang baik, hal ini
dipengaruhi oleh status hidrasi pasien dan konsentrasi urin. Berat jenis
meningkat pada diabetes (glukosuria), proteinuria > 2g/24 jam, radio
kontras, manitol, dekstran, diuretik.
Nilai berat jenis menurun dengan meningkatnya umur (seiring
dengan menurunnya kemampuan ginjal memekatkan urin) dan
preginjal azotemia.

Nilai Normal:

Parameter Nilai Normal


Berat jenis spesifik 1,0001-1,035
Deskripsi Kekuning-kuningan, kuning
pH 4,5-8,5
Protein 0-terlacak (Tr); <50 mg/dL atau <0,5 mg/dL
Glukosa Negatif
Keton Negatif
Darah Negatif
Sedimen urin* *RBC, WBC, sel epitel, bakteri, kristal
Pewarnaan Gram’s Negatif

1.2. Warna urin


Warna urin dipengaruhi oleh konsentrasi, adanya obat, senyawa eksogen dan
endogen, dan pH
a. Warna merah coklat menunjukkan urin mengandung hemoglobin, myoglobin,
pigmen empedu, darah atau pewarna. Dapat juga karena pemakaian klorpromazin,
haloperidol, rifampisin, doksorubisin, fenitoin, ibuprofen. Warna merah coklat
dapat berarti urin bersifat asam (karena metronidazol) atau alkali (karena laksatif,
metildopa).
b. Warna kuning merah (pink) menunjukkan adanya sayuran, bit, fenazopiridin atau
katartik fenolftalein, ibuprofen, fenitoin, klorokuin
c. Warna biru-hijau menunjukkan pasien mengkonsumsi bit, bakteri Pseudomonas,
pigmen empedu, amitripilin.
d. Warna hitam menunjukkan adanya, alkaptonuria
e. Warna gelap menunjukkan porfiria, malignant melanoma (sangat jarang)
f. Urin yang keruh merupakan tanda adanya urat, fosfat atau sel darah putih (pyuria),
polymorphonuclear (PMNs), bakteriuria, obat kontras radiografi.
g. Urin yang berbusa mengandung protein atau asam empedu
h. Kuning kecoklatan menunjukkan primakuin, sulfametoksazol, bilirubin, urobilin.
1.3. pH urin (normal 5,0-7,5)
Dipengaruhi oleh diet dan vegetarian dimana asupan asam sangat rendah
sehingga membuat urin menjadi alkali. pH urin mempengaruhi terbentuknya Kristal.
Misalnya pada pH urin asam dan peningkatan specific gravity akan mempermudah
terbentuknya kristal asam urat.
pH alkalin disebabkan:
a. adanya organisme pengurai yang memproduksi protease seperti proteus, Klebsiella
atau E. coli
b. Ginjal tubular asidosis akibat terapi amfoterisin
c. Penyakit ginjal kronik
d. Intoksikasi salisilat

pH asam disebabkan karena:


a. Emfisema pulmonal
b. Diare, dehidrasi
c. Kelaparan (starvation)
d. Asidosis diabetik
1.4. Protein
Jumlah protein dapat dilacak pada pasien yang berdiri dalam periode waktu
yang panjang. Protein urin dihitung dari urin yang dikumpulkan selama 24 jam.
Proteinuria (dengan metode dipstick) : +1 = 100 mg/dL, +4 = 1000 mg/dL. Dikatakan
proteinuria bila lebih dari 300 mg/hari. Hasil positif palsu dapat terjadi pada
pemakaian obat berikut:
a. Penisilin dosis tinggi
b. Klorpromazin
c. Tolbutamid
d. Golongan sulfa
Dapat memberikan hasil positif palsu bagi pasien dengan urin alkali. Protein dalam
urisn dapat: (i) normal, menunjukkan peningkatan permeabilitas glomerular atau
gangguan tubular finjal, atau (ii) abnormal, disebabkan multiple mieloma dan protein
Bence-Jones.
1.5. Glukosa
Korelasi antara urin glukosa dengan glukosa serum berguna dalam memonitor
dan penyesuaian terapi antidiabetik.
1.6. Keton
Dapat ditemukan pada urin malnutrisi, pasien DM yang tidak terkontrol, dan
pecandu alkohol. Terjadi pada:
a. Gangguan kondisi metabolik seperti: diabetes mellitus, ginjal
b. Glikosuria,
c. Peningkatan kondisi metabolik seperti: hipertiroidism, demam, kehamilan
dan menyusui
d. Malnutrisi, diet kaya lemak
1.7. Sedimen
Tes ini memberikan gambaran adanya infeksi saluran kemih, batu ginjal atau
saluran kemih, nefritis, keganasan atau penyakit hati. Tidak ada tipe urin cast tertentu
yang patognomonik bagi gangguan penyakit ginjal yang khusus, walaupun terdapat
cast sel darah cast sel darah putih. Sedimen urin dapat normal pada kondisi preginjal
atau postginjal dengan minimal atau tanpa proteinuria.
Sedimen urin Nilai normal
Cell cast Negatif
White cell cast 0-5/hpf
RBC 0-3/hpf
Epitel 0-2/hpf 0-2/hpf
Bakteri < 2/hpf atau 1000/mL
Kristal Negatif Negatif

Implikasi klinik:
a. Cell cast: Menunjukkan acute tubular necrosis.
b. White cell cast biasanya terjadi pada acute pyelonephritis atau interstitial nephritis
c. Red cell cast timbul pada glomerulonefritis akut
d. RBC: Peningkatan nilai menunjukkan glomerulonefritis, vaskulitis, obstruksi ginjal
atau penyakit mikroemboli, atau proteinuria
e. WBC: peningkatan nilai menunjukkan penyakit ginjal dengan inflamasi
f. Bakteri: jumlah bakteri > 105/mL menunjukkan adanya infeksi saluran kemih.
g. Kristal: meliputi kristal kalsium oksalat, asam urat, amorf, triple fosfat. Adanya
kristal menunjukkan peningkatan asam urat dan asam amino.
2. Analisa gas darah (AGD)
2.1 Deskripsi
Analisis dilakukan untuk evaluasi pertukaran oksigen dan karbon dioksida dan untuk
mengetahui status asam basa. Pemeriksaan dapat dilakukan pada pembuluh arteri
untuk melihat keadaan pH, pCO2, pO2, dan SaO2
2.2 Indikasi Umum
Abnormalitas pertukaran gas:
a. Penyakit paru akut dan kronis
b. Gagal nafas akut
c. Penyakit jantung
d. Pemeriksaan keadaan pulmoner (rest dan exercise)
e. Gangguan tidur

Gangguan asam basa:


a. Asidosis metabolik
b. Alkalosis metabolik
2.3 Saturasi Oksigen (Sao2)
Jumlah oksigen yang diangkut oleh hemoglobin, ditulis sebagai presentasi total
oksigen yang terikat pada hemoglobin. Nilai normal: 95-99% O2
Implikasi Klinik:
a. Saturasi oksigen digunakan untuk mengevaluasi kadar oksigenasi hemoglobin dan
kecukupan oksigen pada jaringan
b. Tekanan parsial oksigen yang terlarut di plasma menggambarkan jumlah oksigen
yang terikat pada hemoglobin.
2.4 Tekanan Parsial Oksigen (PaO2)
PaO2 adalah ukuran tekanan parsial yang dihasilkan oleh sejumlah O2 yang
terlarut dalam plasma. Nilai ini menunjukkan kemampuan paru-paru dalam
menyediakan oksigen bagi darah. Nilai normal (suhu kamar, tergantung umur): 75-
100 mmHg SI : 10-13,3 kPa
Implikasi Klinik:
a. Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada penyakit paru obstruksi kronik (PPOK),
penyakit obstruksi paru, anemia, hipoventilasi akibat gangguan fisik atau
neuromuskular dan gangguan fungsi jantung. Nilai PaO2 kurang dari 40 mmHg
perlu mendapat perhatian khusus.
b. Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada peningkatan penghantaran O2 oleh alat
bantu (contoh: nasal prongs, alat ventilasi mekanik), hiperventilasi, dan polisitemia
(peningkatan sel darah merah dan daya angkut oksigen).
2.5 Tekanan Parsial Karbon Dioksida (PaCO2)
PaCO2 menggambarkan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 yang terlarut dalam
plasma. Dapat digunakan untuk menentukan efektifitas ventilasi alveolar dan keadaan
asam-basa dalam darah. Nilai normal: 35-45 mmHg, SI: 4,7-6,0 kPa
Implikasi Klinik:
a. Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, anxiety/nervousness
dan emboli paru. Nilai kurang dari 20 mmHg perlu mendapat perhatian
khusus.
b. Peningkatan nilai PaCO2 dapat terjadi pada gangguan paru atau
penurunan fungsi pusat pernafasan. Nilai PaCO2 > 60 mgHg perlu
mendapat perhatian.
c. Umumnya, peningkatan PaCO2 dapat terjadi pada hipoventilasi sedangkan
penurunan nilai menunjukkan hiperventilasi.
d. Biasanya penurunan 1 mEq HCO3 akan menurunkan tekanan PaCO2
sebesar 1,3 mmHg
2.6 pH
Serum pH menggambarkan keseimbangan asam basa dalam tubuh. Sumber
ion hidrogen dalam tubuh meliputi asam volatil dan campuran asam (seperti
asam laktat dan asam keto). Nilai normal: 7,35-7,45. Nilai kritis: < 7,25 atau >7,55
Implikasi Klinik:
a. Umumnya nilai pH akan menurun dalam keadaan asidemia (peningkatan
pembentukan asam)
b. Umumnya nilai pH meningkat dalam keadaan alkalemia (kehilangan
asam)
c. Bila melakukan evaluai nilai pH, sebaiknya PaCO2 dan HCO3 diketahui
juga untuk memperkirakan komponen pernafasan atau metabolik yang
mempengaruhi status asam basa.
2.7 Karbon Dioksida (CO2)
Dalam plasma normal, 95% dari total CO2 terdapat sebagai ion bikarbonat
(HCO3-1), 5% sebagai larutan gas CO2 terlarut dan asam karbonat (H2CO3).
Kandungan CO2 plasma terutama adalah bikarbonat, suatu larutan yang bersifat basa
dan diatur oleh ginjal. Gas CO2 yang larut ini terutama bersifat asam dan diatur oleh
paru-paru. Oleh karena itu nilai CO2 plasma menunjukkan konsentrasi bikarbonat.
Nilai normal: 22 - 32 mEq/L SI unit: 22 - 32 mmol/L
Implikasi klinik:
a. Peningkatan kadar CO2 dapat terjadi pada muntah yang parah, emfisema,
dan aldosteronisme
b. Penurunan kadar CO2 dapat terjadi pada gagal ginjal akut, diabetik
asidosis dan hiperventilasi
c. Peningkatan dan penurunan dapat terjadi pada penggunaan nitrofurantoin
2.8 Anion Gap (AG)
Anion gap digunakan untuk mendiagnosa asidosis metabolik. Perhitungan
menggunakan elektrolit yang tersedia dapat membantu perhitungan kation dan anion
yang tidak terukur. Kation dan anion yang tidak terukur termasuk Ca+ dan Mg2+,
anion yang tidak terukur meliputi protein, fosfat sulfat dan asam organik. Anion gap
dapat dihitung menggunakan dua pendekatan yang berbeda: Na+ - (Cl- + HCO3) atau
Na + K – (Cl + HCO3) = AG. Nilai normal: 13-17 mEq/L
Implikasi Klinik:
a. Nilai anion gap yang tinggi (dengan pH tinggi) menunjukkan penciutan
volume ekstraseluler atau pada pemberian penisilin dosis besar.
b. Anion gap yang tinggi dengan pH rendah merupakan manifestasi dari
keadaan yang sering dinyatakan dengan singkatan "MULEPAK", yaitu:
akibat asupan metanol, uremia, asidosis laktat, etilen glikol, paraldehid,
intoksikasi aspirin dan ketoasidosis
c. Anion gap yang rendah dapat terjadi pada hipoalbuminemia, dilution,
hipernatremia, hiperkalsemia yang terlihat atau toksisitas litium
d. Anion gap yang normal dapat terjadi pada metabolik asidosis akibat diare,
asidosis tubular ginjal atau hiperkalsemia.
2.9 Sistem Buffer Bikarbonat
Sistem buffer bikarbonat terdiri atas asam karbonat (H2CO3) dan bikarbonat (HCO3).
Secara kuantitatif, sistem buffer ini merupakan sistem buffer utama dalam cairan
ektraseluler. Digambarkan dalam hubungan sebagai berikut: Total CO2 mengandung:
asam karbonat + bikarbonat. Nilai normal: 21-28 mEq/L.
3. Pemeriksaan Mikrobiologi
3.1. Pewarnaan Gram
a. Hasil:
Mikroba gram positif menghasilkan warna ungu gelap; mikroba gram negatif
memberikan warna merah muda.
b. Deskripsi:
Pewarnaan gram merupakan prosedur sampel dengan larutan gram. Pewarnaan
gram ini merupakan metode penapisan yang relatif cepat untuk mengidentifikasi
bakteri penginfeksi.
c. Tujuan:
Mengklasifikasikan bakteri menjadi batang atau kokus bakteri gram positif atau
negatif
d. Implikasi Klinik
Kemampuan untuk membedakan bakteri gram positif dan negatif dan pengetahuan
pola sensitifitas antibiotika membantu pemilihan terapi antibiotika empirik yang
sesuai sampai indentifikasi mikroba selesai.
3.2. Uji Sensitivitas
a. Deskripsi
Uji sensitifitas mendeteksi jenis dan jumlah antibiotika atau kemoterapetik yang
dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Seringkali, tes kultur dan tes
sensitifitas dikerjakan bersamaan. Uji sensitifitas juga diperlukan bila akan
mengubah terapi.
b. Implikasi Klinik
 Istilah sensitif menunjukkan bahwa bakteri yang diuji memberikan respon
terhadap antimikroba.
 Intermediate adalah resisten sebagian; sensitif sedang berarti bahwa
bakteri yang diuji tidak dihambat secara keseluruhan oleh obat pada
konsentrasi terapi.
 Resisten menunjukkan mikroba tidak dihambat oleh antibiotika.
 Beberapa mikroba bekerja sebagai bakterisid (membunuh mikroba); sebagian
lain bekerja sebagai bakteriostatika yang berarti menghambat pertumbuhan
mikroba tetapi tidak membunuh.
c. Contoh anti mikroba:

Bersifat bakterisid Bersifat bakteriostatik


a. Aminoglikosida
b. Sefalosporin’
a. Kloramfenikol
c. Metronidazol
b. Sulfonamid
d. Penisilin
c. Eritromisin
e. Kuinolon
d. Tetrasiklin
f. Rifampisin
g. Vankomisin
Munculnya strain penisilin resisten Neisseria gonorrhoeae, metisillin resisten
Staphilococcus aureus (MRSA), amikasin resisten Pseudomonas sp atau vankomisin
resisten Enterococcus sp (VRE). Pasien yang hasil penapisan menunjukkan positif
MRSA atau VRE sebaiknya diisolasi.
3.3. Malaria
a. Deskripsi
Malaria merupakan penyebab anemia hemolitik yang berhubungan dengan
infeksi sel darah merah oleh protozoa spesies Plasmodium yang ditularkan ke
manusia melalui air liur nyamuk. Ada 4 jenis Plasmodium penyebab malaria, yaitu:
P. vivax, P. falciparum, P. ovale, P. tertiana. Malaria bersifat endemik di daerah
tropis dan sub tropis (papua, NTB). Penyakit ini bersifat akut yang dapat menjadi
kronis disertai serangan berulang yang menyebabkan kelemahan (malaise).
Mikroorganisme Plasmodium pertama kali menginfeksi sel hati, dan kemudian
berpindah ke eritrosit. Infeksi menyebabkan hemolisis masif sel darah merah. Pada
titik ini, semakin banyak parasit yang dilepaskan ke dalam sirkulasi dan terjadi
siklus infeksi berikutnya. Siklus infeksi biasanya berlangsung setiap 72 jam.
Respon hospes terhadap infeksi antara lain pengaktifan sistem imun, termasuk
produksi berbagai sitokinin yang didesain untuk meningkatkan respon imun.
Sitokinin ini, termasuk faktor nekrosis tumor dan interleukin 1 dan 6, merupakan
faktor kunci melawan parasit, tetapi bertanggung jawab juga untuk kebanyakan
manifestasi klinis penyakit, terutama demam dan mialgia (nyeri otot). Individu
biasanya pulih tetapi dapat mengalami kekambuhan.
b. Implikasi Klinik
Analisis darah akan memperlihatkan anemia dan adanya parasit (Plasmodium).
Bentuk sel masing-masing parasit berbeda sehingga pemeriksaan hapusan darah
dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis Plasmodium penyebab infeksi.
3.4. Ig G dan Ig M
IgG meliputi 75% - 80% total imunoglobulin. Peningkatan IgG terjadi pada
kondisi:
a. Infeksi granulomatosus kronik
b. Hiperimunisasi
c. Penyakit hati
d. Malnutrisi (parah)
e. Disproteinemia
f. Penyakit yang berhubungan dengan hipersentitifitas granuloma, gangguan
dermatologi, dan mieloma IgG
g. Reumatiod artritis
IgG menurun pada kondisi:
a. Agamaglobulinemia
b. Limfoid aplasia
c. Defisiensi IgG, IgA
d. Mieloma IgA
e. Proteinemia Bence-Jones
f. Leukemia limfoblastik kronik

IgM meliputi 5% - 10% dari total antibodi. Peningkatan nilai IgM pada dewasa terjadi
pada kondisi:
a. makroglobulinemia Waldenstrom
b. tripanosomiasis
c. malaria
d. infeksius mononukleosis
e. lupus erimatosus
f. reumatoid artritis
g. disgamaglobulinemia (kasus tertentu)
h. pada bayi baru lahir, kadar IgM > 20 mg/dL mengindikasikan utero stimulasi
sistem imun (misalnya virus rubela, sitomegalovirus, sifilis toksoplasmosis).
Ig M menurun pada kondisi:
a. Agammaglobulinemia
b. Gangguan Limfoproliferatif
c. Mieloma IgA dan IgM
d. Disgammaglobulinemia
e. Leukemia limfoblastik kronik
3.5. Tes Widal (Felix Widal)
Diagnosis demam tifoid tergantung pada isolasi Salmonella typhi dari darah,
sumsum tulang, daerah terinfeksi lainnya, atau lesi. Deteksi antibodi dari kultur
darah masih menjadi pilihan utama dari diagnosis.
a. Deskripsi
Tes ini mengukur tingkat antibodi aglutinasi terhadap antigen O dan H.
Tingkat antibodi diukur menggunakan pengenceran serum ganda. Biasanya
antibodi O akan muncul pada hari ke 6-10 dan antibodi H pada hari ke 10-12
setelah onset penyakit. Tes ini dilakukan pada serum akut (kontak pertama dengan
pasien).
Sensitivitas dan spesifisitas tes ini tidak tinggi (sedang). Tes ini memberikan
hasil negatif pada 30% kasus yang mungkin disebabkan oleh penggunaan
antibiotik sebelumnya. Hasil positif palsu dapat terjadi akibat reaksi silang epitop
dengan enterobakteriase. Hasil positif palsu juga dapat terjadi pada penyakit seperti
malaria, tifus, bakteremia yang disebabkan oleh mikroba lain dan sirosis.
Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan tingkat antibodi pada populasi
normal untuk menentukan ambang titer antibodi yang dianggap bermakna.
Demam tifoid terdiagnosa bila hasil titer antibodi antara serum kovalesen
empat kali lipat dibandingkan serum akut, misalnya: titer antibodi 1/80 pada fase
akut menjadi 1/320 pada fase kovalesen (recovery).
Walaupun ada keterbatasan tes ini berguna, karena murah dibandingkan
dengan tes diagnosis baru. Tes ini tidak perlu dilakukan bila telah dilakukan
pemeriksaan kultur bakteri S. typhi.
b. Tes Diagnostik terbaru
Tes diagnostik terbaru adalah IDL Tubex dari Swedia, Typidot dari Malaysia,
dan dipstik tes yang dikembangkan di Belanda. Prinsip: IDL tubex mendeteksi IgM
O9 dan hasil didapat setelah beberapa menit. Tes Tubex berdasarkan studi awal
menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan tes Widal.
Typidot mendeteksi antibodi Ig M dan Ig G terhadap antigen S. typhi 50 kD
dan hasilnya didapatkan sekitar 3 jam. Sedangkan Typidot M mendeteksi IgM saja.
Typidot merupakan gold standar yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas
mendekati 100%. Studi evaluasi menunjukkan Typidot M lebih baik dibandingkan
metode kultur.
Dipstik tes mendeteksi ikatan antara IgM S. typhi terhadap lipopolisakarida
(LPS) S. typhi. Dipstik tes adalah tes alternatif yang cepat dan mudah untuk
mendiagnosis demam tifoid terutama di daerah yang tidak mempunyai fasilitas
untuk kultur. Hasil tes dapat diperoleh dalam 1 hari.
4. Pemeriksaan Infeski Bakteri
Keberadaan bakteri penyebab penyakit yang dapat dideteksi dari darah adalah tifus dan
paratifus, menggunakan tes widal.
5. Pemeriksaan beberapa penyakit berikut juga bisa dideteksi dengan pemeriksaan
darah:
a) Kadar asam urat: penyebab bengkak di persendian, terutama jari-jari kaki.
b) Hormon tiroid (T3 dan T4): penyebab denyut jantung terlalu cepat, badan kurus
meskipun banyak makan, dan mata melotot.
c) Penanda tumor: secara normal tidak ada di dalam darah, dihasilkan oleh tumor jenis
tertentu.
d) Hormon estrogen: penyebab mens tidak teratur atau sulit hamil.
e) Kalium dan natrium: penyebab denyut jantung tidak teratur.
f) Agregasi trombosit: penyebab darah mengental dan terbentuk gumpalan darah, yang
meningkatkan terjadinya serangan jantung atau stroke.
H. PEMERIKSAAN DARAH UNTUK VIRUS ( IMUNOLOGI DAN SEROLOGI )
1. Tes Human Immunodefi ciency Virus (HIV)

HIV adalah retrovirus (virus RNA), yang menyerang sel sistem imun terutama CD4+
limfosit T, yang melemahkan pertahanan host, menyebabkan infeksi oportunistik dan
Acquired Immune Defi ciency Syndrome (AIDS) pada hampir semua kasus. Beberapa tes
digunakan untuk menentukan pasien yang kemungkinan terinfeksi HIV, yaitu: antibodi HIV,
tes Western Blot, tes antigen HIV, HIV RNA, CD4+, beban virus. Sebagian besar pasien
dengan AIDS anergik, dengan anemia sedang (Hb 7-12 g/dL), trombositopenia sedang,
leukopenia sedang (1000-3000 /mm3) dan limfosit< 1200 / mm3.

2. Tes Antibodi HIV (penapisan HIV), dengan metoda: Enzyme Linked Immunosorbent
Assay (Elisa) atau Enzyme Immunoassay (EIA)

Tes penapisan antibodi terhadap virus penyebab AIDS, HIV1. Sebagian besar tes
penapisan juga meliputi HIV2. Antibodi (Ab) muncul setelah seseorang terinfeksi selama 4-8
minggu. Jika seseorang mempunyai antibodi dalam darahnya maka akan bereaksi dan
mengikat antigen (Ag) HIV pada permukaan. Ikatan Ag-Ab menimbulkan reaksi warna yang
dapat dievaluasi sebagai negatif, positif, atau tidak dapat ditetapkan. Hasil tes positif dan
tidak dapat ditetapkan harus diulang dan kemudian dikonfi rmasi dengan tes Western Blot.
Hasil ELISA positif palsu dapat terjadi apabila pasien menerima imunoglobulin hepatitis B
dalam 6 minggu, wanita multigravida, dan adanya faktor-faktor reumatoid. Hasil ELISA
negatif palsu terjadi pada stadium lanjut HIV atau awal infeksi (sebelum terbentuk antibodi).

Implikasi klinis :

Tes positif menunjukan orang tersebut terinfeksi atau berpotensi terinfeksi dan
memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi menderita penyakit simptomatik dalam
beberapa tahun. Apabila tes dilakukan segera setelah terinfeksi dapat terjadi hasil negatif
palsu karena belum terbentuk antibodi. Jika dilakukan pengujian ulang setelah 6-12 minggu
akan menunjukkan hasil positif. ELISA juga dapat menunjukkan hasil positif palsu, sehingga
orang yang tidak terinfeksi dapat dinyatakan terinfeksi. Oleh karena itu hasil tes positif
dengan ELISA atau EIA harus dikonfirmasi dengan Western Blot.

3. Tes Western Blot

Rangkaian protein virus HIV dipisahkan berdasarkan berat molekul dengan


menggunakan elektroforesis dan terikat pada strip tes. Strip diinkubasi dalam serum pasien.
Bila serum pasien mengandung antibodi terhadap antigen HIV, maka antibodi akan terikat
dengan antigen HIV yang terdapat dalam strip dan menimbulkan reaksi yang positif.

Implikasi klinik: Western blot positif memastikan bahwa seseorang terinfeksi HIV.
4. Tes Antigen HIV

Seseorang yang terinfeksi mungkin tidak memiliki antibodi di dalam darahnya


(misalnya di awal infeksi) tetapi orang tersebut pasti memiliki antigen HIV (protein) di darah.
Tes antigen HIV ini tidak biasa digunakan dalam penapisan pasien HIV, tetapi digunakan
untuk menapis darah yang akan didonorkan.

5. HIV RNA Dengan Polimerase Chain Reaction (PCR)

Tes ini mengukur beban virus (jumlah partikel virus) di dalam darah. Pada awalnya,
RNA virus dikonversi ke DNA. Kemudian pengukuran dilakukan dengan cara
memperbanyak sekuens urutan DNA. Pada alat yang canggih, dapat juga digunakan untuk
mengukur RNA HIV.

Implikasi klinik:

Bila sampel pasien diuji dengan PCR dan tidak mengandung virus maka tidak akan
terbentuk kopi DNA dan tes dinyatakan negatif. Bila seseorang dinyatakan terinfeksi, kopi
DNA akan terbentuk dan dapat dideteksi. Adanya DNA virus HIV menunjukkan seseorang
terinfeksi, dan beban virus menunjukkan perkembangan penyakit. Kegunaan utama PCR
pada HIV adalah untuk memonitor terapi pada awal penggunaan ART dalam 2-4 minggu.
Jika hasilnya ≥1 log beban virus atau HIV RNA >10.000 kopi maka terapi dapat dilanjutkan.
Jika hasilnya <0,5 log beban virus atau HIV RNA > 100.000 kopi, maka perlu dilakukan
penyesuaian dosis atau penambahan/penggantian ARV. Kegunaan PCR pada monitoring HIV
selanjutnya dilakukan setiap 4-6 bulan. Jika beban virus 0,3-0,5 log maka terapi ARV tidak
efektif dan harus diganti dengan tipe ARV yang lain.

6. Panel Hepatitis

Nilai normal : Negatif

Terdapat minimal empat jenis virus hepatitis. Bentuknya secara klinis sama, tetapi
berbeda dalam imunologi, epidemiologi, prognosis dan profi laksis. Jenis virus hepatitis: (1)
hepatitis A; infeksius hepatitis, (2) hepatitis B; hepatitis serum /transfusi, (3) hepatitis D;
selalu berhubungan dengan hepatitis B, (4) Hepatitis C; dahulu non A atau non B. Orang
yang berisiko hepatitis: pasien dialisis, pasien onkologi/hematologi, pasien hemofili,
penyalahguna obat suntik, homoseksual.
a. Hepatitis A
1) HAV-ab/IgM; dideteksi 4 – 6 minggu setelah terinfeksi dan menunjukkan tahap
hepatitis A akut.
2) HAV-ab/IgG; dideteksi setelah 8 -12 minggu setelah terinfeksi dan menunjukkan
pasien sebelumnya pernah terpapar hepatitis A.
b. Hepatitis B
1) HBs-Ag merupakan antigen permukaan hepatitis B yang ditemukan pada 4-12
minggu setelah infeksi. Hasil positif menunjukkan hepatitis B akut (infeksi akut dan
kronik)
2) Hbe-Ag ditemukan setelah 4-12 minggu setelah terinfeksi. Hasil yang positif
menunjukkan tahapan aktif akut (sangat infeksius)
3) Hbc-Ag (antibodi inti hepatitis B) ditemukan setelah 6 – 14 minggu terinfeksi. Hasil
yang positif menujukkan infeksi yang sudah lampau. Merupakan penanda jangka
panjang.
4) HbeAb antibodi ditemukan 8-16 minggu sesudah terinfeksi, menunjukkan perbaikan
infeksi akut. Hasil positif antibodi HBs-Ab terhadap antigen permukaan hepatitis B,
terjadi setelah 2-10 bulan infeksi. Menunjukkan pasien sebelumnya telah terinfeksi
/terpapar hepatitis B tetapi tidak ditemukan pada tipe hepatitis yang lain. Merupakan
indikator perbaikan klinik, juga dapat ditemui pada individu yang telah berhasil
diimunisasi dengan vaksin hepatitis B.
5) Pengukuran DNA virus dengan PCR dapat digunakan untuk memonitor terapi HBV
dengan obat anti virus.
c. Hepatitis C
Hepatitis C disebabkan oleh HCV. HCV adalah virus RNA yang merupakan
anggota dari genus Hepacivirus, keluarga Flaviviridae. Genom virus ini merupakan
untaian rantai tunggal yang panjangnya 10.000 nukleotida. HCV mengandung selubung
lipid dengan diameter 50-60 nm dan sensitif terhadap pelarut organik misalnya kloroform.
Pemeriksaan laboratorium hepatitis C telah dikembangkan, dari mulai pemeriksaan
serologi, yakni deteksi keberadaan antibodi atau antigen HCV dengan metoda ELISA
atau Immunoblot dan pemeriksaan molekular, yakni deteksi keberadaan RNA HCV
dengan metoda Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Nucleic Acid Test (NAT).
Pada seseorang yang terinfeksi HCV, antibodi HCV dapat terdeteksi kurang lebih 5-
6 minggu sesudah terinfeksi. Antibodi HCV akan bertahan dalam tubuh cukup lama, oleh
karenanya keberadaan antibodi HCV menunjukkan adanya infeksi yang sudah lama atau
baru. Sebelum antibodi terbentuk, untuk mengetahui adanya infeksi HCV bisa dilakukan
dengan jalan mendeteksi keberadaan antigen HCV dalam darah. Oleh karena itu untuk
dapat mendeteksi infeksi HCV sesegera mungkin secara serologi, telah dikembangkan
metoda deteksi antigen dan antibodi HCV, yang dikenal dengan metoda ELISA HCV
Combo.
7. Venereal Disease Research Laboratory (VDRL)

Nilai normal: Negatif

VDRL adalah uji pengendapan yang digunakan untuk mendiagnosa dan memantau
tahapan penyakit Sifi lis. Implikasi klinik. Hasil tes positif ditemukan bila infeksi terjadi
setelah 4-6 minggu (1-3 minggu setelah terbentuk chancres). Hasil positif harus dikonfi rmasi
dengan tes fluorescent treponemal antibody absorbed (FTA-ABS).Hasil false positif dapat
ditemukan pada ibu hamil, pecandu obat, infeksi mononucleus, lepra, malaria dan penyakit
kolagen seperti reumatoid artritis dan syndrome Lupus Erythematosus (SLE). Sekitar 25%
pasien mungkin tidak reaktif di awal, periode laten akhir dan periode akhir sifi lis. Tes ini
memberikan hasil negatif pada lebih dari 25% pasien dengan sifilis aortitis.

Titer berguna untuk melihat perjalanan penyakit. Penurunan titer menunjukkan respon
terhadap terapi. Titer menurun dalam 6-12 bulan setelah terapi sifilis primer. Titer menurun
setelah 12-18 setelah terapi sifi lis sekunder. Titer dapat tetap positif selama beberapa tahun.
Pasien sifilis tersier atau laten akhir memiliki titer yang dapat menurun secara perlahan
selama beberapa tahun. Peningkatan titer menunjukkan relaps atau reinfeksi. Titer lebih dari
1:16 termasuk titer yang tinggi dan biasanya menunjukkan penyakit aktif, titer yang lebih
kecil dari 1:8 mungkin merupakan hasil positif palsu atau kadang-kadang penyakit aktif.
Beberapa pasien yang menderita sifilis primer atau sekunder dapat saja mempunyai titer yang
tinggi; serum yang tidak diencerkan tidak reaktif, tetapi serum yang diencerkan menunjukkan
hasil positif. Serial VDRL kuantitatif berguna untuk diagnosis dan penetapan respon sifilis
congenital. Sampel cairan serebrospinal yang dilakukan tes VDRL biasanya digunakan untuk
penetapan adanya neurosifilis.

8. Tes Kulit Tuberculin (PPD)

Hasil Normal: tidak adanya warna merah pada kulit atau endurasi (penebalan/ pengerasan),
hal ini menunjukkan tes kulit negatif.
Abnormal: indurasi pada kulit, kemerahan, edema dan nekrosis sentral. Semakin besar
diameter bengkak maka semakin positif hasil ;

a) Hasil negatif jika diameter < 5 mm,


b) Tidak pasti atau mungkin 5-9 mm,
c) Positif ≥ 10 mm. Tes kulit positif menujukkan pernah terpapar basil tuberculosa (TB)
atau pernah divaksin BCG (Baccile Calmette Guerin).

Tuberkulin adalah fraksi protein (Purified Protein Derivative) dari hasil pertumbuhan
Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium Boris yang larut. Antigen diberikan secara
intradermal (0,1 ml), menghasilkan bleb pada tempat injeksi intradermal (biasanya aspek
volar atau dorsal pada lengan). Antigen tersedia dalam 3 konsentrasi unit: 1 TU, 5 TU, 250
TU (Tuberculin Unit). Tes dievaluasi dalam waktu 48-72 jam.

Tujuan: Antigen tuberkulin diberikan untuk menentukan apakah pasien mengalami


tuberkulosis aktif atau dorman. Akan tetapi tes ini tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi aktif atau dorman.

9. Uji kultur Tuberkulosis

Untuk menentukan kepastian seseorang menderita tuberkulosis dapat dilakukan baik


dengan kultur, menggunakan metode terbaru seperti molecular line probe, maupun biakan
sputum bakteri tahan asam (pewarnaan Ziehl Neelsen).

Implikasi klinik :

a) Penentuan TB dapat dilakukan dengan tes pewarnaan kultur dan tes kultur mikobakteri,
jika dibandingkan keduanya, yang pertama simpel, cepat dan tidak mahal tetapi sensitifi
tasnya lebih rendah. Sensitifitas bakteri tahan asam lebih rendah pada TB
ekstrapulmonal, pasien yang menderita HIV dan pasien yang menderita mikobakteria non
tuberkulosis. Bakteri tahan asam tidak dapat membedakan mikobakteria tuberkulosis dan
mikobakteria non tuberkulosis.
b) Kultur mikobakteri: berguna untuk mengidentifi kasi kebenaran diagnosis TB secara defi
nitif, tetapi biayanya lebih mahal, keuntungan lainnya dapat digunakan untuk menetapkan
kepekaan bakteri terhadap obat anti TB.
c) Apusan sputum; diagnosis dinyatakan negatif bila paling ketiga apusan sputum negatif
(termasuk paling tidak satu spesimen sputum pagi). Pasien yang dicurigai dianjurkan
dilakukan pengambilan 3 kali sputum, yaitu sewaktu pagi.
d) Semua pasien harus dimonitor respon terapinya terutama pasien dengan tuberkulosis
pulmoner, melalui pemeriksaan spesimen sputum paling tidak pada dua bulan pertama,
lima bulan dan pada akhir terapi. Pasien dengan sputum positif pada bulan kelima terapi
dianggap gagal terapi dan terapi harus dimodifi kasi. Respon terapi pasien dengan
tuberkulosis ektrapulmoner dan pasien anak paling baik dinilai secara klinis.

I. PEMERIKSAAN ELEKTROLIT
1. Elektrolit Serum
Pemeriksaan kadar elektrolit serum sering dilakukan untuk mengkaji adanya
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pemeriksaan yang paling sering
dilakukan adalah natrium, klorida, kalium, dan ion bikarbonat.
2. Hitung Darah
Hematokrit (Ht) menggambanrkan presentase total darah dengan sel darah merah.
Karena hematocrit adalah pengukuran volume sel dalam plasma, nilainya akan
dipengaruihi oleh jumlah cairan plasma. Dengan demikian, nilai Ht pada klien yang
mengalami dehidrasi atau hipovolemia cendering meningkat, sedangkan nilai Ht pada
pasien yang mengalami overdehidrasi dapat menurun. Normalnya, nilai Ht pada laki-
laki adalah 40-54% dan perempuan 37-47%. Biasanya, peningkatan kadar
hemoglobin diikuti dengan peningkatan kadar hematocrit.
3. Osmolalitas
Osmolalitas merupakan indicator konsentrasi sejumlah partikel yang terlarut dalam
serum dan urine. Biasanya dinyatakan dalam mOsm/kg.
4. pH Urine
pH urine menunjukkan tingkat kesamaan urine, yang dapat digunakan untuk
menggambarkan ketidakseimbangan asam-basa. pH urine normal adalah 4,6-8 pada
kondisi asidosis metabolic.
5. Berat jenis Urine
Berat jenis urine dapat digunakan sebagai indicator gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit, walaupun hasilnya kurang reliable. Akan tetapi, pengukuran BJ urine
merupakan cara paling mudah dan cepat untuk menentukan konsentrasi urine. Berat
jenis urine dapat meningkat saat terjadi pemekatan akibat kekurangan cairan dan
menurun saat tubuh kelebihan cairan. Nilai BJ urine normal adalah 1,005-1,030
(biasanya 1,010-1,025). Selain itu, BJ urine juga meningkat saat terdapat glukosa
dalam urine, juga pada pemberian dekstran, obat kontras radiografi, dan beberapa
jenis obat lainnya.
BAB III
PEMBAHASAN
Analisa Gas Darah (AGD)
3.1 Definisi
Analisis yang dilakukan untuk evaluasi pertukaran oksigen dan karbon
dioksida dalam darah dan untuk mengetahui status asam basa. Sel-sel darah merah
mengangkut oksigen dan karbon dioksida yang juga dikenal sebagai gas darah ke seluruh
tubuh. Saat darah melewati paru-paru, oksigen masuk ke dalam darah sementara karbon
dioksida terlepas dari sel darah dan keluar ke paru-paru. Dengan demikian pemeriksaan
analisa gas darah dapat menentukan seberapa baik paru-paru dalam bekerja memindahkan
oksigen ke dalam darah dan mengeluarkan karbon dioksida dari darah.
Ketidakseimbangan antara oksigen, karbon dioksida, dan tingkat pH darah dapat
mengindikasikan adanya suatu penyakit atau kondisi medis tertentu. Pemeriksaan dapat
dilakukan pada pembuluh arteri untuk melihat keadaan pH, pCO2, pO2, dan SaO2.
(Severinghaus, 2006)
3.2 Indikasi umum
Pemeriksaan AGD akan memberikan hasil pengukuran yang tepat dari kadar
oksigen dan karbon dioksida dalam tubuh. Hal ini dapat membantu dokter menentukan
seberapa baik paru-paru dan ginjal bekerja. Biasanya dokter memerlukan tes analisa gas
darah apabila menemukan gejala-gejala yang menunjukkan bahwa seorang pasien
mengalamai ketidakseimbangan oksigen, karbon dioksida, atau pH darah
a) Abnormalitas pertukaran gas
1. Penyakit paru akut dan kronis
2. Gagal nafas akut
3. Penyakit jantung
4. Pemeriksaan keadaan pulmoner (rest dan exercise)
5. Gangguan tidur
6. Kondisi syok
b) Gangguan asam basa
1. Asidosis metabolik
2. Alkalosis
3.3 Lokasi Pungsi Arteri Untuk Tindakan Analisa Gas Darah
a. Arteri radialis dan arteri ulnaris (sebelumnya dilakukan allen’s test)
b. Arteri brakialis.
c. Arteri femoralis
d. Arteri tibialis posterior
e. Arteri dorsalis pedis
f. Arteri femoralis atau brakialis sebaiknya tidak digunakan jika masih ada alternatif
lain, karena tidak mempunyai sirkulasi kolateral yang cukup untuk mengatasi bila
terjadi spasme atau trombosis.
g. Sedangkan arteri temporalis atau axillaris sebaiknya tidak digunakan karena
adanya risiko emboli otak

3.4 Prosedur Pemeriksaan Analisa Gas Darah


1. Cara allen’s test:
Sebelum melalakukan pengambilan sampel darah areteri, perawat harus melakukan
allen”s test terlebih dahulu. Minta klien untuk mengepalkan tangan dengan kuat,
berikan tekanan langsung pada arteri radialis dan ulnaris, minta klien untuk membuka
tangannya, lepaskan tekanan pada arteri, observasi warna jari-jari, ibu jari dan tangan.
Jari-jari dan tangan harus memerah dalam 15 detik, warna merah menunjukkan test
allen’s positif. Apabila tekanan dilepas, tangan tetap pucat, menunjukkan test allen’s
negatif. Jika pemeriksaan negatif, hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan yang
lain.
2. SOP Pengambilan Darah Arteri

1. PENGERTIAN Pengambilan darah arteri untuk pemeriksaan analisa gas darah.


2. TUJUAN 1. Untuk menilai status oksigenasi klien.
2. Untuk menilai keseimbangan asam-basa.
3. Untuk menilai efektivitas penggunaan ventilator.
3. INDIKASI 1. Abnormalitas pertukaran gas
a. Penyakit paru akut dan kronis
b. Gagal nafas akut
c. Penyakit jantung
d. Pemeriksaan keadaan pulmoner (rest dan exercise)
e. Gangguan tidur
f. Kondisi syok
2. Gangguan asam basa
a. Asidosis metabolik
b. Alkalosis
4. KONTRAINDIKASI 1. Denyut arteri tidak terasa pada pasien yang mengalami koma
2. Modifikasi Allen tes negatif , apabila test Allen negative
tetapi tetap dipaksa untuk dilakukan pengambilan darah arteri
lewat arteri radialis, maka akan terjadi thrombosis dan
beresiko mengganggu viabilitas tangan.
3. Selulitis atau adanya infeksi terbuka atau penyakit pembuluh
darah perifer pada tempat yang akan diperiksa
4. Adanya koagulopati (gangguan pembekuan) atau pengobatan
denganantikoagulan dosis sedang dan tinggi merupakan
kontraindikasi relatif.
5.
5. PROSEDUR A. Tahapan Pra Interaksi
1. Memastikan program terapi pasien
2. Mencuci tangan
3. Menyiapkan alat :
a. Bak injeksi
b. Sarung tangan disposable
c. Spuit 2cc dan penutup jarum khusus/gabus
a. Heparin
b. Kassa steril
c. Kapas alkohol dalam tempatnya
d. Plester dan gunting
e. Wadah yang berisi es
f. Bengkok
g. Pulpen
h. Lembar dokumentasi / buku catatan

B. Tahap Orientasi
1. Memberikan salam dan menyapa nama pasien
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan.
3. Menanyakan persetujuan/ kesiapan pasien.
4. Memperkenalkan diri

C. Tahap Kerja
1. Menjaga privasi pasien
2. Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman
3. Memakai handscoon steril
4. Mengaspirasi heparin ke dalam spuit sampai membasahi
seluruh spuit
5. Meraba arteri radialis, brachialis atau femoralis yang
akan menjadi area penyuntikan
6. Lakukan test allen
7. Meraba kembali arteri dan palpasi pulsasi yang paling
keras dengan jari tangan dan telunjuk
8. Disinfeksi daerah yang akan dilakukan suntikan dengan
kapas alkohol dengan gerakan sirkular dari
9. arah dalam ke luar dengan diameter 5cm. Tunggu sampai
kering.
10. Menyuntikkan jarum ke arteri dengan sudut 45o-60o. Bila
jarum masuk ke dalam arteri, darah akan keluar tanpa
spuit dihisap dan darah berwarna merah terang
11. Setelah darah terhisap (kira-kira 2 ml) tarik spuit dan
tekan bekas tusukan arteri 5 – 10 menit. Bila klien
mendapat heparin, tekan selama 15 menit lalu tekan
dengan balutan tekan.
12. Menusukkan jarum spuit pada gabus atau karet
13. Meletakkan spuit pada wadah berisi es atau segera
kirimkan ke laboratorium bersama formulir pemeriksaan.

D. Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan
2. Berpamitan dengan pasien.
3. Membereskan alat-alat.
4. Buka sarung tangan dan cuci tangan
5. Mencatat kegiatan pada lembar catatan keperawatan ( jenis
obat yang dimasukkan, jumlahnya, dan waktu pemberian)
6. UNIT TERKAIT 1. IGD
2. Laboratorium
3. ICU
7. Hal-hal yang perlu 1. Tindakan pungsi arteri harus dilakukan oleh perawat yang
diperhatikan sudah terlatih
2. Spuit yang digunakan untuk mengambil darah sebelumnya
diberikan heparin untuk mencegah darah membeku
3. Kaji ambang nyeri klien, apabila klien tidak mampu
menoleransi nyeri, berikan anestesi lokal
4. Bila menggunakan arteri radialis, lakukan test allent untuk
mengetahui kepatenan arteri
5. Untuk memastikan apakah yang keluar darah vena atau darah
arteri, lihat darah yang keluar sendiri tanpa kita tarik berarti
darah arteri
6. Apabila darah sudah berhasil diambil, goyangkan spuit
sehingga darah tercampur rata dan tidak membeku
7. Lakukan penekanan yang lama pada bekas area insersi (aliran
arteri lebih deras dari pada vena)
8. Keluarkan udara dari spuit jika sudah berhasil mengambil
darah dan tutup ujung jarum dengan karet atau gabus
9. Ukur tanda vital (terutama suhu) sebelum darah diambil
10. Segera kirim ke laboratorium ( sito )
8. KOMPLIKASI 1. Apabila jarum sampai menebus periosteum tulang akan
menimbulkan nyeri
2. Perdarahan
3. Cidera syaraf
4. Spasme arteri

3.5 Langkah Interpretasi Hasil Analisa Gas Darah (AGD) Menggunakan Metode SOS
Terdapat 8 langkah mudah dan sederhana untuk membaca hasil analisa gas
darah dengan menggunakan metode SOS, yaitu sebagai berikut :
Hafalkan nilai normal AGD
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui dan menghafalkan nilai
normal hasil AGD (Analisa Gas Darah).
a. pH normal berkisar antara 7.35 – 7.45
b. PaCO2 normal berkisar antara 35 – 45
c. HCO3 normal berkisar anatara 22 – 26

Tips Menghafalkan Nilai AGD:


a. Hafalkan nilai pH
b. Nilai PaCO2 adalah angka dibelakang koma pH, dibalik

Lihat gambar Nilai Normal Analisa Gas Darah berikut ini:


1. Buatlah Grid S.O.S

Ketika anda berhasil menghafalkan nilai normal AGD, langkah selanjutnya adalah
membuat kolom permainan SOS seperti gambar diatas. Gambar diatas nantinya akan
digunakan untuk membantu anda dalam menginterpretasikan hasil AGD.
2. Tentukan apakah pH dalam keadaan Normal, Asidosis atau Alkalosis
Langkah ketiga adalah menentukan keadaan asam atau basa darah berdasarkan nilai pH
hasil AGD. Ingat langkah ke-1 bahwa pH normal berkisar anatara 7.35 – 7.45.
Ketentuannya :
1. Jika pH darah berkisar antara 7.35 – 7.39, interpretasinya adalah NORMAL (meskipun
cenderung mengarah ke ASIDOSIS). Lalu tempatkan nilai tersebut dalam kolom
NORMAL pada grid SOS.
2. Jika pH berkisar anatara 7.41 – 7.45, interpretasinya NORMAL (meskipun cenderung
mengarah ke ALKALOSIS). Tempatkan nilai tersebut dalam kolom NORMAL grid
SOS.
3. Jika pH dibawah 7.35 (7.34, 7.33, 7.32 dst…) maka ASIDOSIS. Tempatkan dalam
kolom ASIDOSIS grid SOS.
4. Jika pH diatas 7.45 (7.46, 7.47, 7.48 dst…) maka ALKALOSIS. Tempatkan dalam
kolom ALKALOSIS grid SOS.
Lihat gambar penempatan nilai pH dalam grid SOS berikut ini:
4. Tentukan apakah PaCO2 dalam keadaan NORMAL, ASIDOSIS atau ALKALOSIS

Lakukan hal yang sama seperti langkah no. 3 diatas untuk menentukan posisi nilai PaCO2
dalam grid SOS. (Nilai PaCO2 adalah angka dibelakang koma pH, dibalik).
Ingat bahwa :
a. Jika PaCO2 dibawah 35, tempatkan nilai tersebut dalam kolom ALKALOSIS.
b. Jika PaCO2 diatas 45, tempatkan dalam kolom ASIDOSIS.
c. Jika PaCO2 dalam rentang normal, tempatkan dalam kolom NORMAL.

5. Tentukan apakah HCO3 dalam keadaan NORMAL, ASIDOSIS atau ALKALOSIS

Selanjutnya menentukan posisi nilai HCO3. Lakukan hal yang sama seperti langkah no.3
dan no.4 diatas.
Ingat bahwa nilai normal HCO3 berkisar anatara 22 – 26, sehingga :
a. Jika HCO3 dibawah 22, maka ASIDOSIS dan tempatkan pada kolom ASIDOSIS.
b. Jika HCO3 diatas 26, maka tempatkan pada kolom ALKALOSIS.
c. Jika HCO3 dalam keadaan normal, tempatkan dalam kolom NORMAL.
6. Interpretasikan : ASIDOSIS atau ALKALOSIS

Mulai langkah ini, anda akan mulai membaca dan menginterpretasikan hasil analisa gas
darah (AGD). Hal pertama dalam membaca hasil analisa gas darah adalah menentukan
apakah hasil tersebut merujuk pada keadaan ASIDOSIS atau ALKALOSIS. Untuk
mengetahuinya, lihatlah grid SOS yang tadi anda buat. Lihat, dimanakah posisi pH,
apakah dalam kolom ASIDOSIS, NORMAL ataukah ALKALOSIS. Masing-masing
kolom mewakili interpretasinya sendiri. Sehingga jika pH terdapat dalam kolom
ASIDOSIS, maka interpretasinya ASIDOSIS. Jika pH dalam kolom ALKALOSIS, maka
interpretasinya ALKALOSIS.

7. Interpretasikan : METABOLIK atau RESPIRATORIK

Setelah mendapatkan interpretasi pH, selanjutnya anda harus menentukan apakah keadaan
pH tersebut merujuk pada keadaan METABOLIK atau RESPIRATORIK?
Caranya, lihat kembali grid SOS, aturannya sebagai berikut:
 Jika pH terdapat dalam kolom yang sama dengan PaCO2, maka RESPIRATORIK
 Jika pH terdapat dalam kolom yang sama dengan HCO3, maka METABOLIK
 Jika pH dalam kolom NORMAL, dan tidak ada nilai PaCO2 atau HCO3 dibawahnya,
maka tentukan apakah nilai pH tersebut CENDERUNG mengarah ke keadaan
ASIDOSIS atau ALKALOSIS.
Ingat aturan no. 3 bahwa :
 Jika pH darah berkisar antara 7.35 – 7.39, interpretasinya adalah NORMAL (cenderung
mengarah ke ASIDOSIS).
 Jika pH berkisar anatara 7.41 – 7.45, interpretasinya NORMAL (cenderung mengarah
ke ALKALOSIS).
8. Interpretasikan : Tingkat Kompensasi

Terakhir, anda harus menentukan tingkat kompensasi dari hasil analisa gas darah.
Aturannya:
 Jika pH NORMAL, maka interpretasinya TERKOMPENSASI PENUH.
 Jika 3 nilai AGD (pH, PaCO2 dan HCO3) ABNORMAL, maka TERKOMPENSASI
SEBAGIAN.
 Jika PaCO2 ATAU HCO3 normal dan pH ABNORMAL, maka TIDAK
TERKOMPENSASI.

2.7 Interpretasi Hasil Analisa Gas Darah (Nemec, 2019) dan (Kementerian Kesehatan RI,
2011)
1. Saturasi Oksigen (SaO2)
Nilai Normal: 95-99% O2
Deskripsi:
Jumlah oksigen yang diangkut oleh hemoglobin, ditulis sebagai persentasi total
oksigen yang terikat pada hemoglobin.
Implikasi Klinik:
a. Saturasi oksigen digunakan untuk mengevaluasi kadar oksigenasi hemoglobin
dan kecukupan oksigen pada jaringan
b. Tekanan parsial oksigen yang terlarut di plasma menggambarkan jumlah oksigen
yang terikat pada hemoglobin.

2. Tekanan Parsial Oksigen (PaO2)


Nilai normal (suhu kamar, tergantung umur) : 75-100 mmHg SI : 10-13,3 kPa
Deskripsi:
PaO2 adalah ukuran tekanan parsial yang dihasilkan oleh sejumlah O2 yang terlarut
dalam plasma. Nilai ini menunjukkan kemampuan paru-paru dalam menyediakan
oksigen bagi darah.
Implikasi Klinik:
a. Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada penyakit paru obstruksi kronik (PPOK),
penyakit obstruksi paru, anemia, hipoventilasi akibat gangguan fi sik atau
neuromuskular dan gangguan fungsi jantung. Nilai PaO2 kurang dari 40 mmHg
perlu mendapat perhatian khusus.
b. Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada peningkatan penghantaran O2 oleh alat
bantu (contoh: nasal prongs, alat ventilasi mekanik), hiperventilasi, dan
polisitemia (peningkatan sel darah merah dan daya angkut oksigen).

3. Tekanan Parsial Karbon Dioksida (PaCO2)


Nilai normal : 35-45 mmHg SI : 4,7-6,0 kPa
Deskripsi:
PaCO2 menggambarkan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 yang terlarut dalam
plasma. Dapat digunakan untuk menentukan efektifi tas ventilasi alveolar dan
keadaan asam-basa dalam darah.
Implikasi Klinik:
a. Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, anxiety/nervousness dan
emboli paru. Nilai kurang dari 20 mmHg perlu mendapat perhatian khusus.
b. Peningkatan nilai PaCO2 dapat terjadi pada gangguan paru atau penurunan fungsi
pusat pernafasan. Nilai PaCO2 > 60 mgHg perlu mendapat perhatian. •
c. Umumnya, peningkatan PaCO2 dapat terjadi pada hipoventilasi sedangkan
penurunan nilai menunjukkan hiperventilasi.
d. Biasanya penurunan 1 mEq HCO3 akan menurunkan tekanan PaCO2 sebesar 1,3
mmHg.
4. pH
Nilai normal : 7,35-7,45
Nilai kritis: < 7,25 atau >7,55
Deskripsi :
serum pH menggambarkan keseimbangan asam basa dalam tubuh. Sumber ion
hidrogen dalam tubuh meliputi asam volatil dan campuran asam (seperti asam laktat
dan asam keto)
Implikasi Klinik:
a. Umumnya nilai pH akan menurun dalam keadaan asidemia (peningkatan
pembentukan asam)
b. Umumnya nilai pH meningkat dalam keadaan alkalemia (kehilangan asam)
c. Bila melakukan evaluai nilai pH, sebaiknya PaCO2 dan HCO3 diketahui juga
untuk memperkirakan komponen pernafasan atau metabolik yang mempengaruhi
status asam basa.
5. Karbon Dioksida (CO2)
Nilai normal : 22 - 32 mEq/L SI unit : 22 - 32 mmol/L
Deskripsi: Dalam plasma normal, 95% dari total CO2 terdapat sebagai ion
bikarbonat (HCO3 -1), 5% sebagai larutan gas CO2 terlarut dan asam karbonat
(H2CO3). Kandungan CO2 plasma terutama adalah bikarbonat, suatu larutan yang
bersifat basa dan diatur oleh ginjal. Gas CO2 yang larut ini terutama bersifat asam
dan diatur oleh paru-paru. Oleh karena itu nilai CO2 plasma menunjukkan
konsentrasi bikarbonat.
Implikasi klinik:
a. Peningkatan kadar CO2 dapat terjadi pada muntah yang parah, emfi sema, dan
aldosteronisme
b. Penurunan kadar CO2 dapat terjadi pada gagal ginjal akut, diabetik asidosis dan
hiperventilasi
c. Peningkatan dan penurunan dapat terjadi pada penggunaan nitrofurantoin
6. Anion Gap (AG)
Nilai normal : 13-17 mEq/L
Deskripsi:
Anion gap digunakan untuk mendiagnosa asidosis metabolik. Perhitungan
menggunakan elektrolit yang tersedia dapat membantu perhitungan kation dan anion
yang tidak terukur. Kation dan anion yang tidak terukur termasuk Ca+ dan Mg2+,
anion yang tidak terukur meliputi protein, fosfat sulfat dan asam organik. Anion gap
dapat dihitung menggunakan dua pendekatan yang berbeda :
Na+ - (Cl- + HCO3) atau Na + K – (Cl + HCO3) = AG
Implikasi Klinik:
a. Nilai anion gap yang tinggi (dengan pH tinggi) menunjukkan penciutan volume
ekstraseluler atau pada pemberian penisilin dosis besar.
b. Anion gap yang tinggi dengan pH rendah merupakan manifestasi dari keadaan
yang sering dinyatakan dengan singkatan "MULEPAK", yaitu: akibat asupan
metanol, uremia, asidosis laktat, etilen glikol, paraldehid, intoksikasi aspirin dan
ketoasidosis
c. Anion gap yang rendah dapat terjadi pada hipoalbuminemia, dilution,
hipernatremia, hiperkalsemia yang terlihat atau toksisitas litium
d. Anion gap yang normal dapat terjadi pada metabolik asidosis akibat diare,
asidosis tubular ginjal atau hiperkalsemia
7. Sistem Buffer Bikarbonat
Nilai normal : 21-28 mEq/L
Deskripsi:
Sistem buffer bikarbonat terdiri atas asam karbonat (H2CO3) dan bikarbonat
(HCO3). Secara kuantitatif, sistem buffer ini merupakan sistem buffer utama dalam
cairan ektraseluler. Digambarkan dalam hubungan sebagai berikut : Total CO2
mengandung : asam karbonat + bikarbonat
Implikasi Klinik:
a. Peningkatan bikarbonat menunjukan asidosis respiratori akibat penurunan
ventilasi
b. Penurunan bikarbonat menunjukan adanya alkalosis respiratori (akibat
peningkatan ventilasi alveolar dan pelepasan CO2 dan air) atau adanya asidosis
metabolik (akibat akumulasi asam tubuh atau hilangnya bikarbonat dari cairan
ekstraseluler).
Contoh Kasus Dan Pembahasan
An. C usia 7 tahun, agama Islam, alamat tinggal jln. Kartonyono, kelas 2 SD, masuk rumah
sakit tanggal 23/10/2019. Klien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas, demam, sakit
kepala, lemah, nyeri tulang dan sendi. Saat pemeriksaan fisik didapatkan: menggunakan otot
bantu nafas, CRT > 3 detik, , konjungtiva anemis, akral dingin, BB klien turun, mual (+) dan
muntah (+). Selain itu terdapat pembesaran limfa (splenomegali) dan hati (hepatomegali).
Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital diperoleh : TD : 80/50 mmHg, N : 80x/I, RR : 37x/I,
S : 38,60C. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil lab : Hb: 6,7 gr/dl, leukosit:
70.500 ml3, trombosit: 44.000 ml3.
Diagnosa Medis : Akut Leukimia Limpositik
1. Identifikasi Masalah yang terjadi dalam kasus.
a. Klien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas, demam, sakit kepala, dan nyeri
tulang dan sendi.
b. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan: CRT > 3 detik, , konjungtiva anemis, akral dingin,
BB klien turun, mual (+) dan muntah (+).
c. Terdapat pembesaran limfa (splenomegali) dan hati (hepatomegali).
d. Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil lab : Hb: 6,7 gr/dl, leukosit: 70.500 ml3,
trombosit: 44.000 ml3.
2. Analisa Masalah yang terjadi dalam kasus.
a. Sesak Nafas
Sesak nafas terjadi karena jumlah sel darah merah (eritrosit) didalam tubuh
sedikit, yang disebabkan karena abnormalnya produksi sel darah putih (leukosit) yang
terus meningkat, membuat produksi sel darah merah terganggu, akibatnya sel darah
merah di dadalam tubuh sedikit, hemoglobin dalam tubuhpun akan berkurang, daya ikat
oksigen dan hemoglobin akan menurun, terjadilah gangguan difusi, oksigen yang sudah
masuk ke alveoli tidak bisa ditangkap/masuk keseluruh tubuh semuanya karena
komponen yang mengikat oksigennya sedikit (hemoglobin), kebutuhan tubuh akan
oksigenpun akan tidak adekuat, sebagai konpensasinya untuk memenuhi kebutuhan
tubuh akan oksigen yanga dekuat tubuh akan meningkatkan/mempercepat
pernafasannya, lalu terjadilah sesak (dypsnoe).
b. Demam
Demam terjadi karena adanya proses inflamasi yang menyebabkan terangsangnya
produksi pirogen endogen dan pirogen eksogen, yang emenyebabkan aktifnya
angiotensi I sehingga mengatifasi prostaglandin di hipotalamus dan mengaktifasi
angiotensi II yang meningkatkan setpoin di hipotalamus, hipotalamus akan
menganggap suhu sekarang lebih rendah dari patokan yang baru, maka akan memicu
mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antaralain menggigil, fasokontriksi
kulit, dan mekanisme volunter seperti pigin memakai selimut, sehingga akan terjadi
peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas, lalu terjadilah demam.
c. Sakit Kepala
Sakit kepala terjadi karena jumlah sel darah merah (eritrosit) didalam tubuh
sedikit, yang disebabkan karena abnormalnya produksi sel darah putih (leukosit) yang
terus meningkat, membuat produksi sel darah merah terganggu, akibatnya sel darah
merah di dadalam tubuh sedikit, hemoglobin dalam tubuhpun akan berkurang darah
yang disuplai ke otak tidak adekuat, kebutuhan otak akan oksigen dan nutrien tidak
terpenuhi, maka sel-sel otak akan mengadakan metabolism anaerob yang menghasilkan
2 ATP dan molekul asam laktat yang merangsang aktifitas nyeri.
d. Mual, muntah dan tidak nafsu makan
Ini terjadi karena produksi leukosit yang abnormal, sel leukosit masuk ke GIT,
menyebabkan teraktifasinya asam lambung yang berlebihan sehingga terjadilah mual
dan munta itu yang menyebabkan klien tidak nafsu makan.
e. Nyeri tulang dan sendi
Nyeri tulang dan sendi terjdi karena sel leukosit yang abnormal masuk ke
pembuluh darah lalu masuk ke tulang dan sendi melalui pembuluh feriper, terjadilah
respon inflamasi. Akibat adanya inflamasi dalam tubuh, tubuh merespon dengan cara
mengeluarkan mediator kimia (histamine, bradikinin, dan prostaglandin), reseptor nyeri
di tingkat feriper akan teraktipasi yang disampaikan oleh delta A dan delta C ke dorsal
born di medulla spinalis, dari spinal disampaikan lago oleh traktus spinotalamikus ke
thalamus, lalu masuk ke cortex serebri dan nyeri diperspsikan.
f. CRT > 3 detik, sianosis, dan Akral dingin
Ini terjadi karena jumlah sel darah merah (eritrosit) didalam tubuh sedikit, yang
membuat produksi sel darah merah terganggu, akibatnya sel darah merah di dadalam
tubuh sedikit, darah yang disuplai ke jaringan perifer tidak adekuat terjadilah CRT > 3
detik, Akibat suplai darah ke tingkat perifer tidak adekuat sehingga menyebabkan
kebutuhan oksigen di tingkat perifer tidak adekuat maka terjadilah sianosi (kebiruan)
dan metabolism tingkat perifer terganggu sehingga menyebabkan akral dingin.
g. Splenomegali (pembesaran limpa)
Pembesaran limpa disebabkan oleh produksi sel-sel darah putih (leukosit) yang
abnormal/berlebihan yang menyebabkan limpa (tempat produksi leukosit) kecapean
dan sebagai proses kompensasi tubuh limpa menebalkan jaringannya, sehingga
menyebabkan splenomegali.
h. Hepatomegali (pembesaran hati)
Pembesaran hati disebabkan oleh produksi sel-sel darah putih (leukosit) yang
abnormal/berlebihan yang menyebabkan hati (tempat produksi leukosit) kecapean dan
sebagai respon kompensasi tubuh hati menebalkan jaringannya, terjadilah
splenomegali.
i. Berat badan menurun
Disebabkan karena hilangnya napsu makan akibat mual dan muntah yang
menyebabkan tubuh kekurang nutrien, sebagai kompensasinya supaya kebutuhan
nutrien tubuh tetap terpenuhi, tubuh melakukan katabolisme ( karbohidrat, protein dan
lemak) sehingga cadangan lemak dan protein yang ada dalam jaringan adiposa dan otot
berkurang, sehingga menyebabkan penurunan berat badan.
j. Konjungtiva anemis
Ini terjadi karena jumlah sel darah merah (eritrosit) didalam tubuh sedikit, yang
disebabkan karena abnormalnya produksi sel darah putih (leukosit) yang terus
meningkat, membuat produksi sel darah merah terganggu, akibatnya sel darah merah
di dadalam tubuh sedikit, darah yang disuplai ke jaringan mata tidak salasatunya
konjungtiva anemis.
k. Hemoglobin 6,7 gr/dl
Ini terjadi karena adanya sebuah keganasan yang menyerang pusat produksi sel
darah (eritrosit/hemoglobin) yaitu sumsum tulang belakang yang menyebabkan
terganggunya produksi sel darah. berlebihan produksi sel darah putih (leukimia) yang
diakibatkan oleh keganasan tadi dan efeknya menyebabkan terganggunya peroduksi
sel darah merah.
l. Leukosit 70.500 ml3
Ini terjadi karena adanya infeksi atau kegenasan yang menyerang pusat produksi
sel darah (sumsum tulang belakang) sehinga menyebabkan proliferasi sel leukosit yang
abnormal dengan jumlah yang berlebihan.
m. Trombosit 44.000 ml3
Ini terjadi karena adanya sebuah keganasan yang menyerang pusat produksi sel
darah (eritrosit/hemoglobin) yaitu sumsum tulang belakang yang menyebabkan
terganggunya produksi sel darah. Salasatu akibat dari keganasan terganggunya produksi
trombosit sehingga jumlah trombosit kurang dari batas normal.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Analisa gas darah (AGD) adalah prosedur pemeriksaan medis yang bertujuan
untuk mengukur jumlah oksigen dan karbon dioksida dalam darah. AGD juga dapat di
gunakan untuk menentukan tingkat keasaman atau pH darah.
Darah adalah cairan yang terdapat pada semua hewan tingkat tinggi yang
berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh,
mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme dan juga sebagai pertahanan tubuh
terhadap virus atau bakteri. Istilah medis yang berkaitan dengan darah diawali
dengan kata hemo- atau hemato- yang berasal dari bahasa Yunani haima yang berarti
darah (Wikipedia, 2008).
Hasil analisa gas darah dapat membantu dokter mendiagnosa berbagai
penyakit atau menentukan seberapa baik perawatan yang telah diterapkan, hasil akan
akan didapat meliputi:
pH darah arteri, menunjukkan jumlah ion hidrogen dalam darah. pH kurang
dari 7,0 disebut asam, dan lebih besar pH dari 7,0 disebut basa, atau alkali. Ketika pH
darah menunjukkan bahwa darah lebih asam, maka hal ini terjadi akibat kadar karbon
dioksida yang lebih tinggi. Sebaliknya ketika pH darah tinggi menunjukkan bahwa
darah lebih basa, maka hal ini terjadi akibat kadar bikarbonat yang lebih tinggi.
Bikarbonat adalah bahan kimia yang membantu mencegah pH darah menjadi
terlalu asam atau terlalu basa.
Tekanan parsial oksigen adalah ukuran tekanan oksigen terlarut dalam darah.
Hal ini menentukan seberapa baik oksigen bisa mengalir dari paru-paru ke dalam
darah.
Tekanan parsial karbon dioksida adalah ukuran tekanan karbon dioksida
terlarut dalam darah. Hal ini menentukan seberapa baik karbon dioksida dapat
mengalir keluar dari tubuh.
Saturasi oksigen adalah ukuran dari jumlah oksigen yang dibawa oleh
hemoglobin dalam sel darah merah
Secara umum, nilai normal analisa gas darah adalah sebagai berikut: pH darah normal

(arteri): 7,38-7,42

 Bikarbonat (HCO3): 22-28 miliekuivalen per liter

 Tekanan parsial oksigen: 75 sampai 100 mm Hg

 Tekanan parsial karbon dioksida (pCO2): 38-42 mm Hg

 Saturasi oksigen: 94 sampai 100 persen.

Adapun hasil abnormal dapat menjadi tanda dari kondisi medis tertentu, sebagai

berikut:

 pH darah: < 7,4, Bikarbonat: Rendah, pCO2: Rendah => Asidosis Metabolik,
contohnya pada gagal ginjal, syok, dan ketoasidosis diabetik (KAD).

 pH darah: < 7,4, Bikarbonat: Tinggi, pCO2: Tinggi => Asidosis Respiratorik,
contohnya pada penyakit paru-paru, termasuk pneumonia atau PPOK.

 pH darah: > 7,4, Bikarbonat: Tinggi, pCO2: Tinggi => Alkalosis Metabolik,
contohnya pada muntah kronis, kalium darah rendah (hipokalemia).

 pH darah: > 7,4, Bikarbonat: Rendah, pCO2: Rendah => Alkalosis Respiratorik,
contohnya pada Bernapas terlalu cepat, rasa sakit, atau kecemasan
DAFTAR PUSTAKA

Anas Tamsuri. Klien Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit: Seri Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC

Andrew Blann and Nessar Ahmed (2014). Blood Science: Principles and Pathology.
Singapore: Markono Print Media Pte LtD.

Dewi, K.J. (2014). Korelasi Positif Nilai Analisa Gas Darah Vena Sentral Dengan Analisa
Gas Darah Arteri Pada Pasien Kritis di Ruang Terapi Intensif. Denpasar: Universitas
Udayana.

Nigam, P. K. (2011) ‘Serum Lipid Profile: Fasting or Non-fasting?’, Indian journal of


clinical biochemistry : IJCB. 2010/12/29. Springer-Verlag, 26(1), pp. 96–97. doi:
10.1007/s12291-010-0095-x.

Gounden V, Jialal I. Renal Function Tests. [Updated 2019 Apr 3]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507821/

Kee, Joyce LeFever. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik Edisi 6.
Jakarta: EGC. Pp: 232.

Kemenkesh RI, (2011). Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta

Kementerian Kesehatan RI (2011) ‘Pedoman interpretasi data klinis’, (May 2016), pp. 1–83.

Nemec, M. (2019) ‘Interpretation of arterial blood gas analysis’, Praxis, 108(4), pp. 269–
277. doi: 10.1024/1661-8157/a003188.

Rosida, A. (2016) Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati Berkala Kedokteran, 12(1), p.


123. doi: 10.20527/jbk.v12i1.364.

Saudo, R. M., Rampengan, N. H. and Mandei, J. M. (2016) ‘Gambaran hasil pemeriksaan


fungsi hati pada anak dengan infeksi dengue periode Januari 2011-Oktober 2016 di RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado’, e-CliniC, 4(2), pp. 1–6. doi: 10.35790/ecl.4.2.2016.14476.
Severinghaus, J. W. (2006) ‘Arterial Blood Gases’, Encyclopedia of Respiratory Medicine,
Four-Volume Set, (September 2011), pp. 144–150. doi: 10.1016/B0-12-370879-6/00032-6.

Anda mungkin juga menyukai