Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Anatomi Otak
Bagian-bagian otak dapat secara bebas dikelompokkan ke dalam berbagai cara
berdasarkan perbedaananatomis, spesialisasi fungsional, dan perkembangan evolusi.
Otak terdiri dari batang otak terdiri atas otak tengah, pons, dan medulla, serebelum,
otak depan(forebrain) yang terdiri atas diensefalon dan serebrum. Diensefalon terdiri
dari hipotalamus dan talamus. Serebrum terdiri dari nukleus basal dan korteks
serebrum. Masing-masing bagian otak memiliki fungsi tersendiri. Batang otak
berfungsi sebagai berikut: asal dari sebagian besar saraf kranialis perifer pusat
pengaturan kardiovaskuler, respirasi dan pencernaan, pengaturan refleks otot
yangterlibat dalam keseimbangan dan postur, penerimaaan dan integrasi
semuamasukan sinaps dari korda spinalis; keadaan terjaga dan pengaktifan korteks
serebrum, pusat tidur.
Serebellum berfungsi untuk memelihara keseimbangan, peningkatan tonus
otot, koordinasi dan perencanaan aktivitas otot volunteer Yang terlatih.Hipotalamus
berfungsi sebagai berikut: mengatur banyak fungsi homeostatik, misalnya kontrol
suhu, rasa haus, pengeluaran urin, dan asupan makanan, penghubung penting antara
sistem saraf dan endokrin, sangat terlibat dalam emosi dan pola perilaku dasar.
Talamus berfungsi sebagai stasiun pemancar untuk semua masukan sinaps, kesadaran
kasar terhadap sensasi, beberapa tingkatkesadaran, berperan dalam kontrol motorik.
Nukleus basal berfungsi untuk inhibisi tonus otot, koordinasi gerakan yang lambat
dan menetap, penekanan pola ± pola gerakan yang tidak berguna.
Korteks serebrum berfungsi untuk persepsi sensorik, kontrol gerakan volunter,
bahasa, sifat pribadi, proses mental canggih misalnya berpikir, mengingat, membuat
keputusan,kreativitas dan kesadaran diri.Korteks serebrum dapat dibagi menjadi 4
lobus yaitu lobus frontalis, lobus, parietalis, lobus temporalis, dan lobus oksipitalis.
Masing-masing lobus ini memilikifungsi yang berbeda-beda. Nyeri kepala

1
dipengaruhi oleh nucleus trigeminoservikalis yang merupakan nosiseptif yang
penting untuk kepala, tenggorokan dan leher bagian atas. Semua aferen nosiseptif dari
saraf trigeminus, fasial, glosofaringeus, vagus, dan saraf dari C1 ± 3 beramifikasi
pada grey matter area ini. Nukleus trigeminoservikalis terdiri dari tiga bagian yaitu
pars oralis yang berhubungan dengan transmisi sensasi taktil diskriminatif dari regio
orofasial, pars interpolaris yang berhubungan dengantransmisi sensasi taktil
diskriminatif seperti sakit gigi, pars kaudalis yang berhubungan dengan transmisi
nosiseptif dan suhu.
Terdapat overlapping dari proses ramifikasi pada nukleus ini seperti aferen
dari C2 selain beramifikasi ke C2, juga beramifikasi ke C1 dan C3. Selain itu, aferen
C3 juga akan beramifikasi ke C1 dan C2. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
nyeri alih dari pada kepala dan leher bagian atas. Nyeri alih biasanya terdapat pada
oksipital dan regio fronto orbital darikepala dan yang jarang adalah daerah yang
dipersarafi oleh nervus maksiliaris Dan mandibularis. Ini disebabkan oleh aferen saraf
tersebut tidak atau hanya sedikit yangmeluas ke arah kaudal. Lain halnya dengan
saraf oftalmikus dari trigeminus. Aferen saraf ini meluas ke pars kaudal. Saraf
trigeminus terdiri dari 3 yaitu V1, V2 dan V3. V1, oftalmikus,menginervasi daerah
orbita dan mata, sinus frontalis, duramater dari fossa kranial danfalx cerebriserta
pembuluh darah yang berhubungan dengan bagian duramater ini.V2, maksilaris,
menginervasi daerah hidung, sinus paranasal, gigi bagian atas, danduramater bagian
fossa kranial medial. V3, mandibularis, menginervasi daerahduramater bagian fossa
cranial medial, rahang bawah dan gigi, telinga, senditemporomandibular dan otot
menguyah. Selain saraf trigeminus terdapat saraf kranial VII, IX, X yang innervasi
meatus auditorius eksterna dan membran timpani. Saraf kranial IX menginnervasi
rongga telinga tengah, selain itu saraf kranial IX dan X innervasi faring dan
laring.Servikalis yang terlibat dalam nyeri kepala adalah C1, C2, dan C3.
Ramusdorsalis dari C1 menginnervasi ototsuboccipital triangle - obliquus
superior,obliquus inferior dan rectus capitis posterior major dan minor.

2
Ramus dorsalis dari C2 memiliki cabang lateral yang masuk ke otot leher
superfisial posterior, Longissimus capitis dan splenius sedangkan cabang besarnya
bagian medial menjadi greater occipital nerve. Saraf ini mengelilingi pinggiran
bagian bawah dariobliquus inferior dan balik ke bagian atas serta ke bagian belakang
melalui semispinalis capitis yang mana saraf ini di suplai dan masuk ke kulit kepala
melalui lengkungan yang dikelilingi oleh superior nuchal linedan the aponeurosis of
trapezius. Melalui oksiput, saraf ini akan bergabung dengan saraf lesser occipital
yang mana merupakancabang dari pleksus servikalis dan mencapai kulit kepala
melalui pinggiran posterior dari sternokleidomastoid. Ramus dorsalis dari C3
memberi cabang lateral kelongissimus capitisdansplenius. Ramus ini membentuk 2
cabang medial.
Cabangsuperfisial medial adalah nervus oksipitalis ketiga yang mengelilingi
sendi C2-3 zygapophysial bagian lateral dan posterior. Daerah sensitif terhadap nyeri
kepala dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu intrakranial dan ekstrakranial. Intrakranial
yaitu sinus venosus, vena korteks serebrum, arteri basal, duramater bagian anterior,
dan fossa tengah serta fossa posterior. Ektrakranial yaitu pembuluh darah dan otot
dari kulit kepala, bagian dariorbita, membran mukosa dari rongga nasal dan
paranasal, telinga tengah dan luar,gigi, dan gusi. Sedangkan daerah yang tidak sensitif
terhadap nyeri adalah parenkim otak, ventrikular ependima, dan pleksus koroideus.

B. Definisi Nyeri Kepala


Nyeri kepala dapat dikatakan sebagai rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan
pada daerah atas kepala memanjang dari orbital sampai ke daerah belakang kepala
(area oksipital dan sebagian daerah tengkuk). Nyeri kepala adalah nyeri yang
berlokasi di atas garis orbitomeatal. Pendapat lain mengatakan nyeri atau perasaan
tidak enak diantara daerah orbital dan oksipital yang muncul dari struktur nyeri yang
sensitif.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PRIMARY HEADACHE

1. Migrain
a. DEFINISI

Nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4-72 jam.


Karekteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat,
bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan mual dan/atau
fotofobia dan fonofobia.

b. EPIDEMIOLOGI

Migraine dapat terjadi pada 18% dari wanita dan 6% dari pria sepanjang
hidupnya. Prevalensi tertinggi berada diantara umur 25-55 tahun. Migraine timbul
pada 11% masyarakat Amerika Serikat yaitu kira-kira 28 juta orang.2 Prevalensi
migraine ini beranekaragam bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin. Migraine
dapat tejadi dari mulai kanak-kanak sampai dewasa. Migraine lebih sering terjadi
pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan sebelum usia 12 tahun,
tetapi lebih sering ditemukan pada wanita setelah pubertas, yaitu paling sering pada
kelompok umur 25-44 tahun. Onset migraine muncul pada usia di bawah 30 tahun
pada 80% kasus. Migraine jarang terjadi setelah usia 40 tahun. Wanita hamil pun
tidak luput dari serangan migraine yang biasanya menyerang pada trimester I
kehamilan. Risiko mengalami migraine semakin besar pada orang yang mempunyai
riwayat keluarga penderita migraine.

c. ETIOLOGI

Penyebab pasti belum diketahui, namun 70-80% penderita migraine memiliki


anggota keluarga dekat dengan riwayat migraine juga. Risiko terkena migraine

4
meningkat 4 kali lipat pada anggota keluarga para penderita migraine dengan aura.
Namun, dalam migraine tanpa aura tidak ada keterkaitan genetik yang mendasarinya,
walaupun secara umum menunjukkan hubungan antara riwayat migraine dari pihak
ibu. Migraine juga meningkat frekuensinya pada orang-orang dengan kelainan
mitokondria seperti MELAS (mitochondrial myopathy, encephalopathy, lactic
acidosis, and strokelike episodes). Pada pasien dengan kelainan genetik CADASIL
(cerebral autosomal dominant arteriopathy with subcortical infarcts and
leukoencephalopathy) cenderung timbul migrane dengan aura.
Mudah tidaknya seseorang terkena penyakit migrain ditentukan oleh adanya
defek biologis herediter pada sistem saraf pusat. Berbagai faktor dapat memicu
serangan migrain pada orang yang berbakat tersebut antara lain:

1. Hormonal
Fluktuasi hormon merupakan faktor pemicu pada 60% wanita, 14% hanya
mendapat serangan selama haid. Nyeri kepala migrain dipicu oleh turunnya kadar 17-
 estradiol plasma saat akan haid. Serangan migrain berkurang selama kehamilan
karena kadar estrogen yang relatif tinggi dan konstan, sebaliknya minggu pertama
post partum, 40% pasien mengalami serangan yang hebat, karena turunnya kadar
estradiol. Pemakaian pil kontraseptif juga meningkatkan serangan migrain.

2. Makanan
Berbagai makanan/zat dapat memicu timbulnya serangan migrain. Pemicu
migrain tersering adalah alkohol berdasarkan efek vasodilatasinya di mana anggur
merah dan bir merupakan pemicu terkuat. Makanan yang mengandung tiramin, yang
berasal dari asam amino tirosin, seperti keju, makanan yang diawetkan atau diragi,
hati, anggur merah, yogurt, dll. Makanan lain yang pernah dilaporkan dapat
mencetuskan migrain adalah coklat (feniletilamin), telur, kacang, bawang, pizza,
alpokat, pemanis buatan, buah jeruk, pisang, daging babi, teh, kopi, dan coca cola
yang berlebihan.

5
3. Obat-obatan
Seperti nitrogliserin, nifedipin sublingual, isosorbid-dinitrat, tetrasiklin, vitamin A
dosis tinggi, fluoksetin,dll.

4. Aspartam
Yang merupakan komponen utama pemanis buatan dapat menimbulkan nyeri
kepala pada orang tertentu.

5. Kafein yang berlebihan (350 mg/hari) atau penghentian mendadak minum


kafein.
6. Lingkungan
Perubahan lingkungan dalam tubuh yang meliputi fluktuasi hormon pada siklus
haid dan perubahan irama bangun tidur dapat menimbulkan serangan akut migrain.
Perubahan lingkungan eksternal meliputi cuaca, musim, tekanan udara, ketinggian
dari permukaan laut, dan terlambat makan.

7. Rangsang sensorik
Cahaya yang berkedap-kedip, cahaya silau, cahaya matahari yang terang atau bau
parfum, zat kimia pembersih.

8. Stres fisik dan mental dapat memperberat serangan migraine. Faktor pemicu
lain aktivitas seksual, trauma kepala, kurang atau kelebihan tidur

d. KLASIFIKASI

Secara umum migrain dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Migraine dengan Aura


Migraine dengan aura disebut juga sebagai migraine klasik. Diawali dengan
adanya gangguan pada fungsi saraf, terutama visual, diikuti oleh nyeri kepala
unilateral, mual, dan kadang muntah, kejadian ini terjadi berurutan dan

6
manifestasi nyeri kepala biasanya tidak lebih dari 60 menit yaitu sekitar 5-20
menit.
2. Migraine tanpa Aura
Migraine tanpa aura disebut juga sebagai migraine umum. Sakit kepalanya
hampir sama dengan migraine dengan aura. Nyerinya pada salah satu bagian
sisi kepala dan bersifat pulsatil dengan disertai mual, fotofobia dan fonofobia.
Nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam.

e. PATOFISIOLOGI
I. Teori vaskular
Vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam terjadinya
migren dengan aura. Pendapat ini diperkuat dengan adanya nyeri kepala disertai
denyut yang sama dengan jantung. Pembuluh darah yang mengalami konstriksi
terutama terletak di perifer otak akibat aktivasi saraf nosiseptif setempat. Teori ini
dicetuskan atas observasi bahwa pembuluh darah ekstrakranial mengalami
vasodilatasi sehingga akan teraba denyut jantung. Vasodilatasi ini akan menstimulasi
orang untuk merasakan sakit kepala. Dalam keadaan yang demikian, vasokonstriktor
seperti ergotamin akan mengurangi sakit kepala, sedangkan vasodilator seperti
nitrogliserin akan memperburuk sakit kepala.

II. Teori Neurovaskular dan Neurokimia

Teori vaskular berkembang menjadi teori neurovaskular yang dianut oleh para
neurologist di dunia. Pada saat serangan migraine terjadi, nervus trigeminus
mengeluarkan CGRP (Calcitonin Gene-related Peptide) dalam jumlah besar. Hal
inilah yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah multipel, sehingga
menimbulkan nyeri kepala. CGRP adalah peptida yang tergolong dalam anggota
keluarga calcitonin yang terdiri dari calcitonin, adrenomedulin, dan amilin. Seperti
calcitonin, CGRP ada dalam jumlah besar di sel C dari kelenjar tiroid. Namun CGRP

7
juga terdistribusi luas di dalam sistem saraf sentral dan perifer, sistem kardiovaskular,
sistem gastrointestinal, dan sistem urologenital. Ketika CGRP diinjeksikan ke sistem
saraf, CGRP dapat menimbulkan berbagai efek seperti hipertensi dan penekanan
pemberian nutrisi. Namun jika diinjeksikan ke sirkulasi sistemik maka yang akan
terjadi adalah hipotensi dan takikardia. CGRP adalah peptida yang memiliki aksi
kerja sebagai vasodilator poten. Aksi keja CGRP dimediasi oleh 2 reseptor yaitu
CGRP 1 dan CGRP 2. Pada prinsipnya, penderita migraine yang sedang tidak
mengalami serangan mengalami hipereksitabilitas neuron pada korteks serebral,
terutama di korteks oksipital, yang diketahui dari studi rekaman MRI dan stimulasi
magnetik transkranial. Hipereksitabilitas ini menyebabkan penderita migraine
menjadi rentan mendapat serangan, sebuah keadaan yang sama dengan para pengidap
epilepsi. Pendapat ini diperkuat fakta bahwa pada saat serangan migraine, sering
terjadi alodinia (hipersensitif nyeri) kulit karena jalur trigeminotalamus ikut
tersensitisasi saat episode migraine. Mekanisme migraine berwujud sebagai refleks
trigeminal vaskular yang tidak stabil dengan cacat segmental pada jalur nyeri. Cacat
segmental ini yang memasukkan aferen secara berlebihan yang kemudian akan terjadi
dorongan pada kortibular yang berlebihan. Dengan adanya rangsangan aferen pada
pembuluh darah, maka menimbulkan nyeri berdenyut.

III. Teori cortical spreading depression (CSD)

Patofisiologi migraine dengan aura dikenal dengan teori cortical spreading


depression (CSD). Aura terjadi karena terdapat eksitasi neuron di substansia nigra
yang menyebar dengan kecepatan 2-6 mm/menit. Penyebaran ini diikuti dengan
gelombang supresi neuron dengan pola yang sama sehingga membentuk irama
vasodilatasi yang diikuti dengan vasokonstriksi. Prinsip neurokimia CSD ialah
pelepasan Kalium atau asam amino eksitatorik seperti glutamat dari jaringan neural
sehingga terjadi depolarisasi dan pelepasan neurotransmiter lagi.

8
CSD pada episode aura akan menstimulasi nervus trigeminalis nukleus
kaudatus, memulai terjadinya migraine. Pada migraine tanpa aura, kejadian kecil di
neuron juga mungkin merangsang nukleus kaudalis kemudian menginisiasi migren.
Nervus trigeminalis yang teraktivasi akan menstimulasi pembuluh kranial untuk
dilatasi. Hasilnya, senyawa-senyawa neurokimia seperti calcitonin gene-related
peptide (CGRP) dan substansi P akan dikeluarkan, terjadilah ekstravasasi plasma.
Kejadian ini akhirnya menyebabkan vasodilatasi yang lebih hebat, terjadilah
inflamasi steril neurogenik pada kompleks trigeminovaskular. Selain CSD, migren
juga terjadi akibat beberapa mekanisme lain, di antaranya aktivasi batang otak bagian
rostral, stimulasi dopaminergik, dan defisiensi magnesium di otak. Mekanisme ini
bermanifestasi pelepasan 5-hidroksitriptamin (5-HT) yang bersifat vasokonstriktor.
Pemberian antagonis dopamin, misalnya Proklorperazin, dan antagonis 5-HT,
misalnya Sumatriptan dapat menghilangkan migraine dengan efektif.

f. Manifestasi Klinis
1. Migrain tanpa Aura
 Nyeri kepala berlangsung 4-72 jam (bila tidak diobati atau pengobatan
gagal).
 Nyeri kepala sekurang-kurangnya memenuhi 2 kriteria:
- Lokasi unilateral
- Sifat berdenyut
- Intensitas nyerinya sedang atau berat
- Agravasi (bertambah berat) atau mengganggu aktivitas
- Sewaktu berlangsung nyeri kepala terdapat sekurang-
kurangnya satu gejala: mual dan atau muntah, fotofobia dan
fonofobia.
- Nyeri dapat bertambah berat dengan aktivitas fisik
2. Migrain dengan Aura

9
Sekitar 10-30 menit sebelum sakit kepala dimulai (suatu periode yang disebut
aura), gejala-gejala depresi, mudah tersinggung, gelisah, mual atau hilangnya nafsu
makan muncul pada sekitar 20% penderita. Penderita yang lainnya mengalami
hilangnya penglihatan pada daerah tertentu (bintik buta atau skotoma) atau melihat
cahaya yang berkelap-kelip. Ada juga penderita yang mengalami perubahan
gambaran, seperti sebuah benda tampak lebih kecil atau lebih besar dari
sesungguhnya. Beberapa penderita merasakan kesemutan atau kelemahan pada
lengan dan tungkainya. Biasanya gejala-gejala tersebut menghilang sesaat sebelum
sakit kepala dimulai, tetapi kadang timbul bersamaan dengan munculnya sakit kepala.
Nyeri karena migraine bisa dirasakan pada salah satu sisi kepala atau di seluruh
kepala. Kadang tangan dan kaki teraba dingin dan menjadi kebiru-biruan. Pada
penderita yang memiliki aura, pola dan lokasi sakit kepalanya pada setiap serangan
migran adalah sama. Migraine bisa sering terjadi selama waktu yang panjang tetapi
kemudian menghilang selama beberapa minggu, bulan bahkan tahun.

Migraine dengan aura dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu:

 Fase I Prodromal

Sebanyak 50% pasien mengalami fase prodromal ini yang berkembang


pelan-pelan selama 24 jam sebelum serangan. Gejala: kepala terasa ringan,
tidak nyaman, bahkan memburuk bila makan makanan tertentu seperti
makanan manis, mengunyah terlalu kuat, sulit/malas berbicara.

 Fase II Aura.

Berlangsung lebih kurang 30 menit, dan dapat memberikan kesempatan bagi


pasien untuk menentukan obat yang digunakan untuk mencegah serangan yang
dalam. Gejala dari periode ini adalah gangguan penglihatan (silau/fotofobia),
kesemutan, perasaan gatal pada wajah dan tangan, sedikit lemah pada ekstremitas dan
pusing.

10
Periode aura ini berhubungan dengan vasokonstriksi tanpa nyeri yang
diawali dengan perubahan fisiologi awal. Aliran darah serebral berkurang, dengan
kehilangan autoregulasi lanjut dan kerusakan responsivitas CO2.

 Fase III sakit kepala

Fase sakit kepala berdenyut yang berat dan menjadikan tidak mampu yang
dihubungkan dengan fotofobia, mual dan muntah. Durasi keadaan ini bervariasi,
beberapa jam dalam satu hari atau beberapa hari.

 Fase IV pemulihan

Periode kontraksi otot leher dan kulit kepala yang dihubungkan dengan
sakit otot dan ketegangan lokal. Kelelahan biasanya terjadi, dan pasien dapat tidur
untuk waktu yang panjang.

g. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan untuk menyingkirkan sakit kepala yang diakibatkan oleh
penyakit struktural, metabolik, dan kausa lainnya yang memiliki gejala hampir sama
dengan migraine. Selain itu, pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan apakah
ada penyakit komorbid yang dapat memperparah sakit kepala dan mempersulit
pengobatannya.
2. Pencitraan
CT scan dan MRI dapa dilakukan dengan indikasi tertentu, seperti: pasien
baru pertama kali mengalami sakit kepala, ada perubahan dalam frekuensi serta
derajat keparahan sakit kepala, pasien mengeluh sakit kepala hebat, sakit kepala
persisten, adanya pemeriksaan neurologis abnormal, pasien tidak merespon terhadap
pengobatan, sakit kepala unilateral selalu pada sisi yang sama disertai gejala
neurologis kontralateral.

11
3. Pungsi Lumbal
Indikasinya adalah jika pasien baru pertama kali mengalami sakit kepala,
sakit kepala yang dirasakan adalah yang terburuk sepanjang hidupnya, sakit kepala
rekuren, onset cepat, progresif, kronik, dan sulit disembuhkan. Sebelum dilakukan LP
seharusnya dilakukan CT scan atau MRI terlebih dulu untuk menyingkirkan adanya
massa lesi yang dapat meningkatkan tekanan intracranial.
h. DIAGNOSIS

Migraine tanpa Aura

 Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D.


 Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati atau tidak
berhasil diobati).
 Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara karakteristik berikut:
1) Lokasi unilateral
2) Kualitas berdenyut
3) Intensitas nyeri sedang atau berat
4) Keadaan bertambah berat oleh aktifitas fisik atau penderita menghindari
aktivitas fisik rutin (seperti berjalan atau naik tangga).
 Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini:
1) mual dan/atau muntah
2) fotofobia dan fonofobia
 Tidak berkaitan dengan kelainan yang lain.
i. Migraine dengan Aura

Aura tipikal terdiri dari gejala visual dan/atau sensoris dan/atau berbahasa.
Yang berkembang secara bertahap, durasi tidak lebih dari 1 jam, bercampur
gambaran positif dan negatif, kemudian menghilang sempurna yang memenuhi
kriteria migraine tanpa aura.
Kriteria diagnostik:

12
 Sekurang-kurangnya terjadi 2 serangan yang memenuhi criteria B-D.
 Adanya aura yang terdiri paling sedikit satu dari dibawah ini tetapi tidak
dijumpai kelemahan motorik:
1) Gangguan visual yang reversibel seperti : positif (cahaya yang berkedip-
kedip, bintik-bintik atau garis-garis) dan negatif (hilangnya penglihatan).
2) Gangguan sensoris yang reversible termasuk positif (pins and needles),
dan/atau negatif (hilang rasa/baal).
3) Gangguan bicara disfasia yang reversibel
 Paling sedikit dua dari dibawah ini:
1) Gejala visual homonim dan/atau gejala sensoris unilateral 17
2) paling tidak timbul satu macam aura secara gradual > 5 menit dan /atau
jenis aura yang lainnya > 5 menit.
3) masing-masing gejala berlangsung > 5 menit dan < 60 menit.
 Nyeri kepala memenuhi kriteria B-D
 Tidak berkaitan dengan kelainan lain.

j. PENATALAKSANAAN
A. Medikamentosa

Terapi Abortif
1. Sumatriptan

Sumatriptan merupakan triptan yang termasuk dalam grup sulfonamide yang


bekerja membantu menstabilkan kadar serotonin di otak. Sumatriptan dan serotonin
memiliki kesamaan struktur. Subtipe reseptor spesifik yang diaktifkannya ada dalam
arteri kranial dan basilar. Sumatriptan diberikan beberapa bentuk, tablet, injeksi
subkutan, dan nasal spray. Ketika diinjeksikan, sumatriptan bekerja lebih cepat, tapi
efek berakhir juga lebih pendek. Sumatriptan dimetabolisme oleh monoamine oxidase
A dan metabolitnya dieksresi melalui urin dan empedu.

13
Indikasi: serangan migren akut dengan atau tanpa aura

Dosis & Cara Pemberian: dapat diberikan secara subkutan dengan dosis 4-6
mg. Dapat diulang sekali setelah 2 jam kemudian jika dibutuhkan. Dosis maksimum
12 mg per 24 jam.

Cara kerja:

Triptan memiliki tiga mekanisme kerja yang potensial:

- vasokonstriksi kranial

- inhibisi neuronal perifer

- inhibisi terhadap transmisi yang melewati second-order neurons dari


kompleks trigeminoservikal.

Ketiga mekanisme kerja tersebut menghambat efek yang ditimbulkan oleh


teraktivasinya serabut aferen nosiseptif trigeminal (activated nociceptive trigeminal
afferents); melalui mekanisme inilah triptan menghentikan serangan akut migraine.

Efek Samping: flushing, lemah, mengantuk, mual, muntah, peningkatan


tekanan darah sementara.

Kontraindikasi:

o penyakit jantung iskemik


o riwayat infark miokard
o prinzmetal’s angina
o hipertensi yang tidak terkontrol.

2. Zolmitriptan

Zolmitriptan efektif untuk pengobatan akut. Dosis awal oral 5 mg. Gejala-
gejala akan berkurang dalam 1 jam. Obat ini dapat diulang sekali lagi setelah 2 jam

14
jika diperlukan. Dosis maksimal adalah 10 mg untuk 24 jam. Zolmitriptan juga dapat
digunakan melalui nasal spray.

Indikasi: Untuk mengatasi serangan migraine akut dengan atau tanpa aura
pada dewasa. Tidak ditujukan untuk terapi profilaksis migren atau untuk tatalaksana
migren hemiplegi atau basilar.

Dosis & Cara Pemberian: Pada uji klinis, dosis tunggal 1; 2,5 dan 5 mg efektif
mengatasi serangan akut. Pada perbandingan dosis 2,5 dan 5 mg, hanya terjadi sedikit
penambahan manfaat dari dosis lebih besar, namun efek samping meningkat. Oleh
karena itu, pasien sebaiknya mulai dengan doss 2,5 atau lebih rendah. Jika sakit terasa
lagi, dosis bisa diulang setelah 2 jam, dan tidak lebih dari 10 mg dalam periode 24
jam.

Efek Samping: hiperestesia, parestesia, sensasi hangat dan dingin, nyeri dada,
mulut kering, dispepsia, disfagia, nausea, mengantuk, vertigo, astenia, mialgia,
miastenia, berkeringat.

Kontraindikasi: Pasien dengan penyakit jantung iskemik (angina pectoris,


riwayat infark miokard, coronary artery vasospasm, Prinzmetal's angina), dan pasien
hipersensitif.

3. Eletriptan

Indikasi: Penanganan migraine akut dengan atau tanpa aura.

Dosis & Cara Pemberian: 20–40 mg po saat onset berlangsung, dapat diulang
2 jam kemudian sebanyak 1 kali. Dosis maksimum tidak melebihi 80 mg/24 jam.

Efek Samping: parestesia, flushing, hangat, nyeri dada, rasa tidak enak pada
perut, mulut kering, dispepsia, disfagia, nausea, pusing, sakit kepala, mengantuk.

15
4. Rizatriptan dengan dosis 5-10 mg po saat onset berlangsung, dapat diulang setiap
2 jam sebanyak 2 kali. Dosis maksimum 30 mg/24 jam.
5. Naratriptan dengan dosis 1-2,5 mg po saat serangan migraine akut, boleh diulang
setelah 4 jam. Dosis maksimum 5 mg/24 jam.
6. Almotriptan dengan dosis 6,25-12,5 mg po saat onset berlangsung, dapat diulang
setelah 2 jam sebanyak sekali. Dosis maksimum 25 mg/24 jam.
7. Frovatriptan dengan dosis 2,5 mg po saat onset berlangsung, dapat diulang setelah
2 jam. Waktu paruhnya lebih panjang dari eletriptan sehingga sangat membantu
bagi pasien dengan serangan migraine yang panjang. Dosis maksimum 7,5 mg/24
jam.
8. Analgesik seperti aspirin
9. Analgesik opioid seperti meperidin 100 mg IM atau butorphanol tartat dengan
nasal spray 1 mg untuk setiap lubang hidung. Bisa diulang setelah 3 atau 4 jam
berikutnya.
10. Dihidroergotamin mesilat 0.5–1 mg IV atau 1–2 mg SK atau IM.
11. Proklorperazin 25 mg rektal atau 10 mg IV
12. Cafergot yaitu kombinasi antara ergotamin tartat 1 mg dan kafein 100 mg.
Cafergot dapat diberikan sebanyak 1-2 tablet yang diminum pada saat onset
serangan atau ketika gejala-gejala prodromal berlangsung diikuti dengan 1 tablet
setiap 30 menit. Cafergot dapat diminum maksimal 6 tablet untuk setiap serangan
namun tidak boleh dikonsumsi lebih dari 10 hari per bulan. Ergotamin harus
dihindari untuk orang hamil dan bagi orang yang berisiko stroke.

Terapi Profilaktif
Tujuan dari terapi profilaktif adalah untuk mengurangi frekuensi berat dan
lamanya serangan, meningkatkan respon pasien terhadap pengobatan, serta
pengurangan disabilitas. Terapi preventif yang dilaksanakan mencakup pemakaian
obat dimulai dengan dosis rendah yang efektif dinaikkan pelan-pelan sampai dosis
efektif. Efek klinik tercapai setelah 2-3 bulan pengobatan, pemberian edukasi supaya

16
pasien teratur memakai obat, diskusi rasional tentang pengobatan, efek samping obat.
Pasien juga dianjurkan untuk menulis headache diary yang berguna untuk
mengevaluasi serangan, frekuensi, lama, beratnya serangan, disabilitas dan respon
terhadap pengobatan yang diberikan. Obat-obatan yang sering diberikan:

a. Beta-blocker:
- propanolol yang dimulai dengan dosis 10-20 mg 2-3x1 dan dapat ditingkatkan
secara gradual menjadi 240 mg/hari.
- atenolol 40-160 mg/hari
- timolol 20-40 mg/hari
- metoprolol 100-200 mg/hari
b. Calcium Channel Blocker:
- verapamil 320-480 mg/hari
- nifedipin 90-360 mg/hari
c. Antidepresan, misalnya amitriptilin 25-125 mg, antidepresan trisiklik, yang
terbukti efektif untuk mencegah timbulnya migraine.
d. Antikonvulsan:
- asam valproat 250 mg 3-4x1
- topiramat
e. Methysergid, derivatif ergot 2-6 mg/hari untuk beberapa minggu sampai bulan
efektif untuk mencegah serangan migraine.

Terapi non-medikamentosa

Terapi abortif
Para penderita migraine pada umumnya mencari tempat yang tenang dan
gelap pada saat serangan migraine terjadi karena fotofobia dan fonofobia yang
dialaminya. Serangan juga akan sangat berkurang jika pada saat serangan penderita
istirahat atau tidur.

17
Terapi profilaktif
Pasien harus memperhatikan pencetus dari serangan migraine yang dialami,
seperti kurang tidur, setelah memakan makanan tertentu misalnya kopi, keju, coklat,
MSG, akibat stress, perubahan suhu ruangan dan cuaca, kepekaan terhadap cahaya
terang, kelap kelip, perubahan cuaca, dan lain-lain. Selanjutnya, pasien diharapkan
dapat menghindari faktor-faktor pencetus timbulnya serangan migraine. Disamping
itu, pasien dianjurkan untuk berolahraga secara teratur untuk memperlancar aliran
darah. Olahraga yang dipilih adalah yang membawa ketenangan dan relaksasi seperti
yoga dan senam. Olahraga yang berat seperti lari, tenis, basket, dan sepak bola justru
dapat menyebabkan migraine.

k. Prognosis
Untuk banyak orang, migraine dapat remisi dan menghilang secara utuh pada
akhirnya, terutama karena faktor penuaan/usia. Penurunan kadar estrogen setelah
menopause bertanggungjawab atas remisi ini bagi beberapa wanita. Walaupun
demikian, migraine juga dapat meningkatkan faktor risiko seseorang terkena stroke,
baik bagi pria maupun wanita terutama sebelum usia 50 tahun. Sekitar 19% dari
seluruh kasus stroke terjadi pada orang-orang dengan riwayat migraine. Migrain
dengan aura lebih berisiko untuk terjadinya stroke khususnya pada wanita. Selain itu,
migraine juga meningkatkan risiko terkena penyakit jantung. Para peneliti
menemukan bahwa 50% pasien dengan Patent Foramen Ovale menderita migraine
dengan aura dan operasi perbaikan pada pasien Patent Foramen Ovale dapat
mengontrol serangan migraine.

18
2. TENSION TYPE HEADACHE

Nyeri kepala berulang yang berlangsung dalam hitungan menit sampai hari,
dengan sifat nyeri yang biasanya berupa rasa tertekan atau diikat, dari ringan sampai
berat, dirasakan di seluruh kepala, tidak dipicu oleh aktifitas fisik dan gejala penyerta
nya tidak menonjol. Merupakan sensasi nyeri pada daerah kepala akibat kontraksi
terus menerus otot- otot kepala dan tengkuk ( M.splenius kapitis, M.temporalis,
M.maseter, M.sternokleidomastoid, M.trapezius, M.servikalis posterior, dan
M.levator skapula).

a. Etiologi dan Faktor Risiko Tension Type Headache (TTH)


Etiologi dan Faktor Risiko Tension Type Headache (TTH) adalah stress, depresi,
bekerja dalam posisi yang menetap dalam waktu lama, kelelahan mata, kontraksi otot
yang berlebihan, berkurangnya aliran darah, dan ketidakseimbangan neurotransmitter
seperti dopamin, serotonin, noerpinefrin, dan enkephalin.
b. Klasifikasi Tension Type Headache (TTH)
1. Tension Type Headache episodik.
Tension Type Headache episodik, apabila frekuensi serangan tidak mencapai 15 hari
setiap bulan. Tension Type Headache episodik (ETTH) dapat berlangsung selama 30
menit – 7 hari.
2. Tension Type Headache kronik
Tension Type Headache kronik (CTTH) apabila frekuensi serangan lebih dari 15 hari
setiap bulan dan berlangsung lebih dari 6 bulan.
c. Patofisiologi Tension Type Headache (TTH)
Patofisiologi TTH masih belum jelas diketahui. Pada beberapa literature dan hasil
penelitian disebutkan beberapa keadaan yang berhubungan dengan terjadinya TTH
sebagai berikut :
1. Disfungsi sistem saraf pusat yang lebih berperan daripada sistem saraf perifer
dimana disfungsi sistem saraf perifer lebih mengarah pada ETTH sedangkan
disfungsi sistem saraf pusat mengarah kepada CTTH,

19
2. Disfungsi saraf perifer meliputi kontraksi otot yang involunter dan permanen tanpa
disertai iskemia otot,
3. Transmisi nyeri TTH melalui nukleus trigeminoservikalis pars kaudalis yang akan
mensensitasi second order neuron pada nukleus trigeminal dan kornu dorsalis (
aktivasi molekul NO) sehingga meningkatkan input nosiseptif pada jaringan
perikranial dan miofasial lalu akan terjadi regulasi mekanisme perifer yang akan
meningkatkan aktivitas otot perikranial. Hal ini akan meningkatkan pelepasan
neurotransmitter pada jaringan miofasial,
4. Hiperflesibilitas neuron sentral nosiseptif pada nukleus trigeminal, talamus, dan
korteks serebri yang diikuti hipesensitifitas supraspinal (limbik) terhadap nosiseptif.
Nilai ambang deteksi nyeri ( tekanan, elektrik, dan termal) akan menurun di sefalik
dan ekstrasefalik. Selain itu, terdapat juga penurunan supraspinal decending pain
inhibit activity,
5. Kelainan fungsi filter nyeri di batang otak sehingga menyebabkan kesalahan
interpretasi info pada otak yang diartikan sebagai nyeri,
6. Terdapat hubungan jalur serotonergik dan monoaminergik pada batang otak dan
hipotalamus dengan terjadinya TTH. Defisiensi kadar serotonin dan noradrenalin di
otak, dan juga abnormal serotonin platelet, penurunan beta endorfin di CSF dan
penekanan eksteroseptif pada otot temporal dan maseter,
7. Faktor psikogenik ( stres mental) dan keadaan non-physiological motor stress pada
TTH sehingga melepaskan zat iritatif yang akan menstimulasi perifer dan aktivasi
struktur persepsi nyeri supraspinal lalu modulasi nyeri sentral. Depresi dan ansietas
akan meningkatkan frekuensi TTH dengan mempertahankan sensitisasi sentral pada
jalur transmisi nyeri,
8. Aktivasi NOS ( Nitric Oxide Synthetase) dan NO pada kornu dorsalis. Pada kasus
dijumpai adanya stress yang memicu nyeri kepala. Ada beberapa teori yang
menjelaskan hal tersebut yaitu (1) adanya stress fisik (kelelahan) akan menyebabkan
pernafasan hiperventilasi sehingga kadar CO2 dalam darah menurun yang akan
mengganggu keseimbangan asam basa dalam darah. Hal

20
ini akan menyebabkan terjadinya alkalosis yang selanjutnya akan mengakibatkan ion
kalsium masuk ke dalam sel dan menimbulkan kontraksi otot yang berlebihan
sehingga terjadilah nyeri kepala.
(2) stress mengaktifasi saraf simpatis sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah otak
selanjutnya akan mengaktifasi nosiseptor lalu aktifasi aferen gamma trigeminus yang
akan menghasilkan neuropeptida (substansi P). Neuropeptida ini akan merangsang
ganglion trigeminus (pons).
(3) stress dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu alarm reaction, stage of resistance, dan
stage of exhausted. Alarm reaction dimana stress menyebabkan vasokontriksi perifer
yang akan mengakibatkan kekurangan asupan oksigen lalu terjadilah metabolisme
anaerob. Metabolisme
anaerob akan mengakibatkan penumpukan asam laktat sehingga merangsang
pengeluaran bradikinin dan enzim proteolitik yang selanjutnya akan menstimulasi
jaras nyeri. Stage of resistance dimana sumber energi yang digunakan berasal dari
glikogen yang akan merangsang peningkatan aldosteron, dimana aldosteron akan
menjaga simpanan ion kalium. Stage of exhausted dimana sumber energi yang
digunakan berasal dari protein dan aldosteron pun menurun sehingga terjadi deplesi
K+. Deplesi ion ini akan menyebabkan disfungsi saraf.9,10
d. Diagnosa Tension Type Headache (TTH)
Tension Type Headache harus memenuhi syarat yaitu sekurang – kurangnya dua dari
berikut ini : (1) adanya sensasi tertekan/terjepit,
(2) intensitas ringan – sedang,
(3) lokasi bilateral,
(4) tidak diperburuk aktivitas.
Selain itu, tidak dijumpai mual muntah, tidak ada salah satu dari fotofobia dan
fonofobia.
Gejala klinis dapat berupa nyeri ringan - sedang - berat, tumpul seperti ditekan atau
diikat, tidak berdenyut, menyeluruh, nyeri lebih hebat pada daerah kulit kepala,
oksipital, dan belakang leher, terjadi spontan, memburuk oleh stress, insomnia,

21
kelelahan kronis, iritabilitas, gangguan konsentrasi, kadang vertigo, dan rasa tidak
nyaman pada bagian leher, rahang serta temporomandibular.
e. Pemeriksaan Penunjang Tension Type Headache (TTH)
Tidak ada uji spesifik untuk mendiagnosis TTH dan pada saat dilakukan
pemeriksaa neurologik tidak ditemukan kelainan apapun. TTH biasanya tidak
memerlukan pemeriksaan darah, rontgen, CT scan kepala maupun MRI.
f. Diferensial Diagnosa Tension Type Headache (TTH)
Diferensial Diagnosa dari TTH adalah nyeri kepala pada spondilo-artrosis
deformans, nyeri kepala pasca trauma kapitis, nyeri kepala pasca punksi lumbal,
migren klasik, migren komplikata, cluster headache, nyeri kepala pada arteritis
temporalis, nyeri kepala pada desakan intrakranial, nyeri kepala pada penyakit
kardiovasikular, dan nyeri kepala pada anemia.
g. Terapi Tension Type Headache (TTH)
Relaksasi selalu dapat menyembuhkan TTH. Pasien harus dibimbing untuk
mengetahui arti dari relaksasi yang mana dapat termasuk bed rest, massage, dan atau
latihan biofeedback. Pengobatan farmakologi adalah simpel analgesia dan atau
mucles relaxants. Ibuprofen dan naproxen sodium merupakan obat yang efektif untuk
kebanyakan orang. Jika pengobatan simpel analgesia (asetaminofen, aspirin,
ibuprofen, dll.) gagal maka dapat ditambah butalbital dan kafein ( dalam bentuk
kombinasi seperti Fiorinal) yang akan menambah efektifitas pengobatan.
h. Pengobatan Profilaksis
Obat antidepresan Antidepresan trisiklik obat pilihan untuk mencegah nyeri
kepala tension- type kronis, dan beberapa daripadanya juga efektif sebagai profilaksis
migrain. Antidepresan diuji pada studi double-blind, dikontrol plasebo yang
mencakup amitriptyline, doxepin, dan maprotiline. Amitriptyline mengurangi jumlah
nyeri kepala harian atau durasi nyeri kepala sekitar 50% pada sekitar sepertiga pasien
dalam beberapa studi, meskipun studi lain menemukan ini tidak lebih baik
daripada placebo. Antidepresan trisiklik lainnya mungkin juga efektif, sebagaimana
disarankan oleh pengalaman klinis, meskipun belum diteliti pada nyeri kepala

22
tension-type kronis. SSRI: fluoxetine, paroxetine, dan citalopram belum
menunjukkan efikasi studi-terkontrol. Obat ini sering digunakan, namun, karena
mereka memiliki insiden efek samping lebih rendah. Muscle Relaxan
Cyclobenzaprine adalah relaksan otot struktural terkait dengan amitriptyline. Pada
1972 studi double-blind, 10 dari 20 pasien menerima cyclobenzaprine mengalami 50
% atau lebih perbaikan pada nyeri kepala tension- type, dibandingkan dengan 5 dari
20 pasien yang menerima plasebo. Dosis biasa cyclobenzaprine adalah 10 mg pada
waktu tidur. Tizanidine, sebuah penghambat alfa-adrenergik, dilaporkan efektif untuk
nyeri kepala tension typekronis pada percobaan plasebo-terkontrol tunggal. Dosis
biasanya dititrasi dari 2 mg pada waktu tidur hingga 20 mg per hari, dibagi menjadi
tiga dosis. Sedasi adalah efek samping paling umum dari agen ini. Valproate
Valproate, antikonvulsi agonis asam gamma-aminobutyric (GABA), telah dievaluasi
untuk keberhasilannya pada migren, dan “nyeri kepala harian kronis”. Efek samping
yang paling sering dilaporkan adalah berat bertambah, gemetaran, rambut rontok, dan
mual. Obat anti-inflamasi non steroid Obat anti-inflamasi non steroid (NSAID) secara
luas diresepkan baik
sebagai terapi tambahan nyeri kepala tension-type dan untuk profilaksis dari migren.
Toksin botulinum
Suntikan toksin botulinum pada otot kepala dan leher ditemukan efektif untuk
meredakan nyeri kepala tension-type kronis pada pasien.

TERAPI AKUT
Pengobatan akut nyeri kepala tension-type harian sulit. NSAID mungkin
berguna sebagai analgesik untuk nyeri kepala harian. Relaksan otot seperti
chlorzoxazone, orphenadrine sitrat, carisoprodol, dan metaxalone umumnya
digunakan oleh pasien dengan nyeri kepala tension-
type kronis, tetapi belum terbukti efektif untuk melegakan nyeri akut. Sumatriptan
telah dievaluasi pada beberapa studi nyeri kepala tension- type. Obat ini tidak lebih
efektif daripada plasebo untuk serangan akut pada pasien dengan nyeri kepala

23
tension-type kronis; namun, nyeri kepala tension-type episodik berat pada pasien
bersama dengan migren tampaknya merespon terhadap agen ini. Agen untuk
mencegah. Benzodiazepine, kombinasi butalbital, kombinasi
kafein, dan narkotika harus dihindari, atau gunakanlah obat-obatan tersebut dengan
kontrol yang cermat, karena risiko habituasi dan nyeri kepala diinduksi- pengobatan.

TERAPI NON FARMAKOLOGI

Manajemen stress dengan menggunakan terapi perilaku-kognitif sama efektif dengan


menggunakan relaksasi atau biofeedback dalam mengurangi nyerin kepala tension-
type. Terapi non-farmakologi terutama berguna untuk pasien yang enggan untuk
minum obat karena efek samping sebelumnya dari obat-obatan, seiring masalah
medis, atau ada keinginan untuk hamil. Sementara biofeedback dan terapi manajemen
stres biasanya memerlukan rujukan ke psikolog.

Prognosis dan Komplikasi Tension Type Headache (TTH)

TTH pada kondisi dapat menyebabkan nyeri yang menyakitkan tetapi tidak
membahayakan. Nyeri ini dapat sembuh dengan perawatan ataupun dengan
menyelesaikan masalah yang menjadi latar belakangnya jika penyebab TTH berupa
pengaruh psikis. Nyeri kepala ini dapat sembuh dengan terapi obat berupa analgesia.
TTh biasanya mudah diobati sendiri. Progonis penyakit ini baik, dan dengan
penatalaksanaan yang baik maka > 90 % pasien dapat disembuhkan. Komplikasi TTH
adalah rebound headache yaitu nyeri kepala yang disebabkan oleh penggunaan obat –
obatan analgesia seperti aspirin, asetaminofen, dll yang berlebihan.

Pencegahan Tension Type Headache (TTH)

24
Pencegahan TTH adalah dengan mencegah terjadinya stress dengan olahraga teratur,
istirahat yang cukup, relaksasi otot (massage, yoga, stretching), meditasi, dan
biofeedback. Jika penyebabnya adalah kecemasan atau depresi maka dapat dilakukan
behavioral therapy. Selain itu, TTH dapat dicegah dengan mengganti bantal atau
mengubah posisi tidur dan mengkonsumsi makanan yang
3. CLUSTER HEADACHE
Definisi
Nyeri kepala tipe cluster merupakan nyeri kepala pada satu sisi yang disertai
dengan keluarnya air mata dan hidung tersumbat. Serangan berlangsung regular
selama 1 minggu hingga 1 tahun. Serangan-serangan diantarai oleh periode bebas
nyeri yang berlangsung setidanknya satu bulan atau lebih lama. Nyeri kepala
memiliki diagnosis diferensial berupa nyeri kepala tipe lain seperti migraine, nyeri
kepala sinus, serya nyeri kepala tipe tegang.
Berdasarkan kriteria diagnosis yang disusun oleh International Headache
Society (HIS), nyri kepala tipe cluster memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Pasien mengeluhkan serangan nyeri kepala yang sangat hebat, bersifat
unilateral (orbital, supraorbital, atau temporal) yang berlangsung selama 15180 menit,
dan menyerang mulai dari sekali hingga delapan kali per hari.
b. Serangan nyeri kepala disertai dengan satu atau lebih gejala berikut
(semuanya ipsilateral): injeksi konjungtiva, lakrimasi, kongesti nasal, rinore, produksi
keringat pada dahi danwajah, miosis, ptosis, atau edema palpebral.
Klasifikasi Nyeri kepala tipe cluster dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe
utama:
a. Tipe episodic, dimana terdapat setidaknya dua fase cluster yang
berlangsung selama 7 hari hingga 1 tahun, yang diantarai oleh periode bebas nyeri
selama 1 bulan atau lebih lama
b. Tipe kronis, dimana fase cluster terjadi lebih dari sekali dalam setahun,
tanpa disertai remisi, atau dengan priode bebas nyeri yang kurang dari 1 bulan

25
Epidemiologi Prevalensi dari nyeri kepala tipe cluster di Amerika Serikat
tidak diketahui
Kudrow memperkirakan nilai sebesar 0.4% pada pria dan 0.08% pada wanita.
Apabila dibandingkan dengan nyeri kepala migen yang klasik, nyeri kepala tipe
cluster relative lebih jarang ditemukan, dengan angka insidensi hanya sekitar 29%
dari jumlah kasus migraine. Angka prevalensi pada pria adalah 0.4-1%. Pada sebuah
penelitian ekstensif yang melibatkan 100,000 penduduk San Marino, didapatkan
angka prevalensi sebesar 0.07%.1 Nyeri kepala tipe cluster mulai menyerang pada
usia pertengahan (di atas 30 tahun); namun demikian, terdapat laporan kasus pada
pasien berusia 1 tahun dan 79 tahun. Nyeri kepala tipe ini ebih umum ditemukan pada
pria dibandingkan dengan wanita, dengan rasio 6:1 pada sekitar tahun 1960, namun
menjadi 2:1 saat ini. Presentasi klinis pada wanita dapat berbeda dengan pada pria,
berdasarkan data dari United States Cluster Headache Survey yang menunjukkan
bagwa wanita lebih cenderung mengalami nyeri kepala cluster pada usia yang lebih
muda, serta lebih cenderung mengalami insiden setelah usia 50 tahun.5 Hubungan
antara factor ras dan etnik belum diteliti dengan baik, namun nyeri kepala ini
ditemukan lebih prevalen pada ras Afrika-Amerika, dan kurang terdiagnosis pada
wanita dengan kulit gelap.
Patofisologi
Patofisiologi yang mendasari nyeri kepala tipe cluster masih belum
sepenuhnya dipahami. Pola periode serangan menunjukkan adanya keterlibatan jam
biologis yang diatur oleh hipotalamus (yang mengendalikan ritme sikardian), yang
disertai dengan disinhibisi jalur nosisepif dan otonomik – secara spesifik, jalur
nosiseptif nervus trigeminus. 5 Nervus trigeminus (N.V) adalah saraf campuran. Saraf
ini memiliki komponen yang lebih besar (porsio mayor) yang terdiri dari serabut
sensorik untuk wajah, dan komponen yang lebih kecil (porsio minor) yang terdiri dari
serabut motoric untuk otot-otot pengunyah (mastikasi). Ganglion trigeminale
(gasserian) bersifat seperti ganglia radiks dorsalis medulla spinalis untuk persarafan
sensorik wajah. Seperti ganglia radiks dorsalis, ganglion ini mengandung sel-sel

26
ganglion pseudounipolar, yang prosesus sentralnya berproyeksi ke nucleus sensorik
prinsipalis nervis trigemini (untuk raba dan diskriminasi) dan ke nucleus spinalis
tigemini (untuk nyeri dan suhu). Nukleus mesensefali nervis trigemini merupakan
kasus khusus, karena sel-selnya mirip dengan sel-sel ganglion radiks dorsalis
meskipun terletak di dalam batang otak; yaitu seakan-akan nucleus perifer telah
dipindahkan ke system saraf pusat. Prosesus perifer neuron pada nucleus ini
menerima impuls dari reseptor perifer di spindle otot yang berbeda di dalam otot-otot
pengunyah, dan dari reseptor lain yang memberikan respons terhadap tekanan.
Aktivasi area spesifik pada otak selama periode nyeri tipe cluster5 Ketiga nuclei yang
disebutkan tadi membentang dari medulla spinalis servikalis hingga ke mesensefalon,
Ganglion trigiminale terletak di basis kranii di atas apeks os. Petrosus, tepat di lateral
bagian posterolateral sinus kavernosus. Ganglion ini membentuk tiga buah cabang
nervus trigeminus ke area wajah yang berbeda, yaitu nervus oftalmikus (V1), yang
keluar dari tengkorak melalui fisura orbitalis superior, nervus maksilaris (V2), yang
keluar melalui foramen rotudum; dan nervus mandibularis (V3), yang keluar melalui
foramen ovale. 6 Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET) dan morfometri
berhasil mengidentifikasi area abu-abu pada bagian posterior hipotalamus sebagai
area inti dari defek pada nyeri kepala tipe cluster.
Pencitraan Voxel-based morphometry (VBM) menunjukkan area spesifik
pada otak (hipotalamus) yang mengalami perbedaan dengan otak pada pasien tanpa
nyeri kepala tipe cluster5 Terdapat perubahan pola sirkuit neuron tregimenus-fasial
sekunder terhadap sensitisasi sentral, yang disertai dengan disfungsi jalur
serotonergic nucleihipotalamus. Disfungsi fungsional hipotalamus telah berhasil
dikonfirmasi dengan adanya metabolisme yang abnormal berdasarkan marker neuron
N-asetilaspartat pada pemeriksaan magnetic resonance spectroscopy. Neuron-neuron
substansia P membawa impuls motoric dan sensorik pada divisi maksilaris dan
oftalmik dari nervus trigeminus. Nervus ini berhubungan dengan ganglion
sphenopalatina dan pleksus simpatis perivaskuler karotis. 5 Dilatasi vaskuler
mungkin memiliki peranan penting dalam pathogenesis nyeri kepala tipe cluster,

27
meskipun hasil penelitian terhadap aliran darah masih menunjukkan hasil yang tidak
konsisten. Aliran darah ekstra kranial mengalami peningkatan (hipertermi dan
peningkatan aliran darah arteri temporalis), namun hanya setelah onset nyeri.
Sekalipun bukti-bukti terkait peranan histamine masih inkosisten, namun
nyeri kepala tipe cluster dapat dipresipitasi dengan sejumlah kecil histamine.
Terdapat peningkatan jumalh sel mast pada kulit area yang terasa nyeri pada beberapa
pasien, namun temuan ini tidaklah konsisten.
Gejala Klinis
Serangan nyeri kepala tipe cluster secara tipikal berlangsung pendek dan
terjadi dengan periode yang jelas, khususnya selama pasien tidur atau pada pagi hari,
biasanya berkoresponedensi dengan fase rapid eye movement pada saat tidur.
Berbeda dengan nyeri kepala migraine, nyeri kepala cluster tidak didahului dengan
aura dan biasanya tidak disertai dengan mual, muntah, fotofobia, atau osmofobia.
Pasien biasanya mengalami 1-2 kali periode cluster dalam setahun, masing-masing
bertahan selama 2 minggu hingga 3 bulan.
The International Headache Society (IHS) mengkalisifikasikan nyeri kepala tipe
cluster menjadi tipe episodic dan kronis berdasarkan sebagai berikut:
a. Tipe episodic berlangsung selama 7 hari hingga 1 tahun; serangan cluster diantarai
oleh periode bebas nyeri yang berlangsung hingga satu bulan
b. Tipe kronis berlangsung selama lebih dari satu tahun, tanpa adanya priode remisi,
atau dengan periode remisi kurang dari satu bulan. Tipe kronis diklasifikasikan
menjadi 2 sub-kategori, yakni tipe kronis sejak awal dan tipe kronis yang
berkembang dari tipe episodic.
Nyeri pada tipe cluster digambarkan sebagai berikut:
a. Karakterisitik: nyeri sangat hebat, menyiksa, menusuk, tajam, bola mata seperti
hendak dicungkil keluar
b. Lokasi: unilateral, pada area periorbita, retro-orbital, temporal, umumnya tidak
menjalar sekalipun kadang-kadang dapat menjalar ke area pipi, rahang, oksipital, dan
tengkuk

28
c. Distribusi: nyeri pada divisi pertama dan kedua dari nervus trigemnius; sekitar 18-
20% pasien mengeluhkan nnyeri pada area trigeminus
d. Onset: tiba-tiba, memuncak dalam 10-15 menit
e. Durasi: 5 menit hingga 3 jam per episode
f. Frekuensi: dapat terjadi 1-8 kali sehari selama berbulan-bulan
g. Periodisitas: regularitas sikardian pada 47% kasus
h. Remisi: periode panjang bebas nyeri dapat ditemukan pada sebagian pasien;
panjang remisi rata-rata 2 tahun, namun dapat berikisar antara 2 bulan hingga 20
tahun.
Nyeri dapat disertai dengan berbagai gejala parasipatis karnial, antara lain:
a. Lakrimasi ipsilateral (84-91%) atau injeksi konjungtiva
b. Hidung tersumbat (48-75%) atau rinore
c. Edema palpebral ipsilateral
d. Miosis atau ptosis ipsilateral
e. Perspirasi pada dahi dan wajah sisi ipsilateral (26%)8
Produk alcohol dan tembakau dapat mempresipitasi serangan. Pemicu lain
dapat berupa cuaca panas, menonton televisi, nitrogliserin, stress, relaksasi, rhinitis
alergi, dan aktifitas seksual. Selama periode serangan nyeri kepala tipe cluster,
sebanyak 90% dari pasien menjadi gelisah dan tidak dapat beristirahat. Mereka tidak
dapat berbaring untuk istirahat; sebaliknya, pasien memilih untuk berjalan dan
bergerak kesana kemari. Pasien dapat merasa putus asa dan membenturkan kepalanya
pada permukaan yang keras, menjerit kesakitan, serta berguling-guling.
Diagnosis
Penegakan diagnosis nyeri kepala tipe cluster berdasarkan anamnesis dan
temuan klinis. Riwayat serangan yang berlangsung dengan adanya periodisitas dan
ritmik merupakan kunci diagnosis. Pemeriksaan laboratorium tidak memiliki makna
penting dalam diagnosis kasus ini. Pemeriksaan radiologis, sekalipun tidak memiliki
makna diagnostik, namun dapat menyingkirkan beberapa kemungkinan penyebab lain
pada beberapa pasien. Pencitraan neurologis dengan penilaian vaskuler intracranial

29
dan servikal serta area selar dan paranasal, direkomendasikan pada semua pasien
dengan gejala klinis yang tidak khas pada nyeri kepala otonom trigeminus.
Kriteria Diagnosis Nyeri Kepala tipe Cluster berdasarkan International Headache
Society :
A. Nyeri hebat atau sangat hebat unilateral pada area orbital, dan atau temporal yang
berlangsung 15 – 180 menit apabila tidak ditangania
B. Nyeri kepala disertai dengan setidaknya satu dari tandaberikut:
 Ipsilateral injeksi konjungtiva dan atau lakrimasi
 Ipsilateral kongesti nasal dan/atau rhinorrhea.
 Ipsilateral edema palpebra
 Ipsilateral perspirasi pada dahi dan wajah
 Ipsilateral miosis dan/atau ptosis.
 Perasaan gelisah dan tidak dapat beristirahat
C. Serangan dapat berlangsung sekali hingga delapan kali dalam seharib
D. Tidak memiliki hubungan dengan penyakit lain.

A Dalam sebagian (namun kurang dari setengah) periode nyeri kepala tipe cluster,
serangan dapat berlangsung dengan intensitas nyeri yang lebih kecil dan durasi yang
lebih pendek.
b Dalam sebagian (namun kurang dari setengah) periode nyeri kepala tipe cluster,
frekuensi serangan dapat terjadi lebih
cAnamnesis serta pemeriksaan fisik dan neurologis tidak mengarahkan adanya
kemungkinan penyakit lai yang mendasari, atau menunjukkan kecurigaan terhadap
penyakit lain namun dapat disingkirkan berdasarkan pemeriksaan lain.
Kriteria diagnosis untuk nyeri kepala tipe cluster tipe Episodic dan Kronis
berdasarkan International Headache Society
A. Tipe Episodic

30
Deskripsi: Serangan berlangsung selama 7 hari – 1 tahun yang diantarai dengan
periode bebas nyeri selama 1 bulan atau lebih lama. Kriteria diagnosis: Setidaknya
terdapat dua periode cluster yang berlangsung selama 7 - 365 hari dan diantarai
dengan periode remisi selama lebih dari 1 bulan.
B. Tipe Kronik
Deskripsi: Serangan berlangsung selama lebih dari 1 tahun tanpa adanya periode
remisi, atau dengan periode remisi kurang dari 1 bulan. Kriteria diagnosis: Serangan
berlangsung selama lebih dari 1 tahun tanpa adanya periode remisi, atau dengan
periode remisi kurang dari 1 bulan.

Penatalaksanaan
Agen-agen abortif diberikan untuk menghentikan atau mengurangi nyeri
serangan akut, sementara agen-agen profilaksis digunakan untuk mengurangi
frekuensi dan intensitas eksaserbasi nyeri kepala. Mengingat tipe serangan dari nyeri
kepala tipe cluster, maka terapi profilaksis yang efektif harus dipertimbangkan
sebagai penatalaksanaan utama. Regimen profilaksis harus dimulai saat onset siklus
nyeri kepala tipe cluster dan dapat diturunkan perlahan untuk mengurangi rekurensi.
Agen-agen abortif Oksigen (8 liter/ menit selama 10 menit) dapat mengurangi nyeri
apabila segera diberikan. Mekanisme kerjanya tidak diketahui. Agonis reseptor 5-
Hydroxytryptamine-1 (5-HT1), seperti triptan atau alkaloid ergot dengan
metoclopramide, sering kali digunakan sebagai terapi lini pertama. Stimulasi reseptor
5-Hydroxytryptamine-1 (5-HT1) menyebabkan efek vasokonstriksi langsung dan
dapat menghilangkan serangan. Jenis agen triptan yang paling banyak diteliti sebagai
terapi nyeri kepala tipe cluster adalah sumatriptan. Injeksi per subkutaneus dapat
efektif menghilangkan nyeri oleh karena onset kerja yang cepat. Sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa pemberian intranasal lebih efektif dibandingkan placebo, namun
tidak seefektif injeksi. Tidak terdapat bukti bahwa pemberian per oral efektif. Dosis
umumnya sebesar 6 mg per subkutaneus, yang dapat diulangi pemberiaannya dalam
24 jam. Semprot nasal (20mg) juga dapat digunakan. Jenis triptan lain yang dapat

31
digunakan untuk terapi nyeri kepala tipe cluster antara lain: zolmitriptan, naratriptan,
rizatriptan, almotriptan, frovatriptan, dan eletriptan. Beberapa peneliti telah mulai
mempelajari kemungkinan digunakannya triptan sebagai agen profilaksis nyeri kepala
tipe cluster.
Dihydroergotamine dapat menjadi agen abortif yang efektif. Obat ini biasanya
diberikan secara intravena atau intramuskuler; juga dapat diberikan secara intranasal
(0.5mg bilateral). Dihydroergotamine lebih jarang menimbulkan vasokonstriksi
arterial dibandingkan dengan ergotamine tartrate, dan lebih efektif jika diberikan
sedini mungkin. Opiat parenteral dapat digunakan jika nyeri belum mereda.
Karakteristik nyeri kepala tipe cluster yang tidak dapat diprediksi menyebabkan tidak
efektifnya penggunaan agen narkosis atau analgetik oral. Terdapat resiko
penyalahgunaan obat. Cyanide dan capsaicin intranasal menunjukkan hasil yang baik
pada pengujian klinis. Penggunaan capsaicin pada mukosa nasal menimbulkan
penurunan angka kejadian dan keparahan nyeri kepala tipe cluster yang signifikan.
Pemberian tetes lidokain secara intranasal (1mL larutan 10% yang di oleskan pada
masing-masing nostril selama 5 menit) dapat membantu meredakan nyeri; namun
demikian merupakan teknik yang sulit. Agen Profilaksis. Penyekat saluran kalsium
merupakan agen yang paling efektif untuk profilaksis nyeri kepala tipe cluster.
Pemberiannya dapat dikombinasikan dengan ergotamine atau litium. Verapamil
merupakan penyekat saluran kalsium yang paling baik, sekalipun jenis lainnya seperti
nimodipine dan diltiazem juga telah dilaporkan efektif. Litium juga dipertimbangkan
sebagai salah satu pilihan oleh karena sifat siklik dari nyeri kepala tipe cluster yang
serupa pada gangguan bipolar. Litium secara efektif mencegah terjadinya nyeri
kepala tipe cluster. Litium masih direkomendasikan sebagai agen lini pertama untuk
terapi nyeri kepala tipe cluster.
Terdapat kecenderungan terjadinya efek samping didalam minggu pertama
penggunaan. Methysergide, sangat efektif untuk profilaksis nyeri kepala tipe cluster
tipe episodic dan kronis. Agen ini dapat mengurangi frekuensi nyeri, khususnya pada
pasien-pasien berusia muda dengan tipe episodic. Agen ini tidak boleh diberikan

32
secara kontinu lebih dari 6 bulan. Beberapa penelitian kecil menunjukkan bahwa
antikonvulsan (misalnya topiramate dan divalproex) dapat efektif sebagai agen
profilaksis nyeri kepala tipe cluster, sekalipun mekanisme kerjanya belum jelas.
Kortikosteroid sangat efektif dalam menghentikan siklus nyeri kepala tipe cluster dan
mencegah rekurensi nyeri. Prednison dosis tinggi diberikan untuk beberapa hari
pertama, diikuti dengan penurunan dosis secara gradual. Mekanisme kerjanya masih
belum jelas. Anti depresan tricyclic lebih berguna sebagai profilaksis jenis nyeri
kepala yang lain.
Secara umum nyeri kepala tipe cluster akan berlangsung seumur hidup.
Beberapa prognosis meliputi serangan rekuren, remisi yang memanjang, dan
kemungkinan transformasi tipe episodic menjadi tipe kronis dan begitupula
sebaliknya. 1 Sebanyak 80% pasien-pasien dengan nyeri kepala tipe cluster tipe
episodic tetap berada dalam periode episodiknya. Pada 4-13% kasus, tipe episodic
berubah menjadi tipe kronis. Remisi spontan terjadi pada 12% dari pasien, khususnya
mereka dengan tipe episodic. Tipe kronis menetap pada 55% dari kasus. Meskipun
jarang, nyeri kepala tipe cluster tipe kronis dapat berubah menjadi tipe episodic. 1
Tidak terdapat laporan mortalitas yang berhubungan langung dengan nyeri kepala
tipe cluster. Namun demikian, pasien-pasien dengan nyeri kepala tipe cluster
memiliki resiko menciderai diri sendiri, melakukan upaya bunuh diri, konsumsi
alcohol, merokok, dan ulkus peptic. Upaya bunuh diri telah dilaporkan pada kasus-
kasus dengan serangan yang hebat dan frekuen. Intensitas serangan pada nyeri kepala
tipe cluster sering kali menyebabkan pasien terganggu dalam menjalankan
aktifitasnya.

33
SECONDARY HEADACHE
Sakit kepala sekunder disebabkan oleh gangguan struktural, metabolik, atau
infeksi yang diakibatkannya. Mereka lebih sering terjadi pada orang dengan sindroma
sakit kepala primer, yang memiliki ambang penurunan untuk perkembangan nyeri
kepala, seringkali secara turun-temurun. Dalam praktik perawatan primer, 94% sakit
kepala berkala berulang adalah migrain atau migrain; Namun, sakit kepala sekunder
harus selalu dipertimbangkan.
A. MENINGITIS
Nyeri kepala yang dialami oleh pasien meningitis cenderung umum, berdenyut
dalam kualitas, dan terkait dengan fotofobia dan mual. Sering ada radiasi posterior.
Dengan cara ini, hal ini mirip dengan migrain, namun meningitis menghasilkan rasa
sakit yang tidak berulang yang cenderung meningkat dengan cepat. Kekakuan nuchal
menjadi menonjol saat sakit kepala berlanjut dan, karena migrain juga bisa dikaitkan
dengan nyeri leher, pada awal kursus mungkin sulit membedakan dua jenis sakit
kepala. Namun, kekakuan nuchal meningitis paling menonjol dengan fleksi. Selain
itu, demam bukanlah ciri migrain dan, jika hadir dalam setting ini, tusukan lumbal
menjadi wajib. Migrain dikaitkan dengan peradangan dural neurogenik yang dapat
menyebabkan pleositosis ringan; Oleh karena itu, bahkan tes ini mungkin tidak selalu
menjadi diagnostik meningitis.
B. SINUS HEADACHE

Yang disebut sakit kepala sinus sering didiagnosis tapi biasanya dengan sedikit
bukti pendukung. Sebagian besar pasien dengan sakit kepala episodik dan gejala
"sinus" sebenarnya mengalami migrain. Banyak migraine mengalami rasa sakit yang
memburuk saat mereka condong ke depan dan mengalami ketidaknyamanan pada
wajah, rhinorrhea, nasal stuffiness, dan lacrimation. Sinusitis akut dapat
menyebabkan rasa sakit di kepala, wajah, atau gigi, namun bukti obyektif sinusitis
akut dengan pengeluaran nasal purulen atau studi pencitraan abnormal diperlukan

34
untuk membuat diagnosis ini. Penyakit sinus kronis jarang menyebabkan sakit kepala
dan tidak meniru sindrom sakit paroksismal seperti migrain. Sinusitis sphenoid yang
terisolasi dapat meniru sakit kepala tipe-ketegangan kronis dengan sudut tak henti-
hentinya rasa sakit. Beberapa individu dengan sakit kepala kronis yang memiliki titik
kontak septum yang dapat diidentifikasi, dimana anestesi topikal ke daerah ini
mengurangi rasa sakit, dapat diuntungkan dari reseksi lokal.

C. OCULAR CAUSES OF HEADACHE

Penyebab okular rasa sakit mata, termasuk glaukoma akut, dikaitkan dengan
"mata merah," yang ditandai dengan konjungtiva dan injeksi skleral, kelainan pada
kornea, dan gangguan penglihatan. Kesalahan bias pada mata jarang menyebabkan
sakit kepala. Ketika mereka melakukannya, sakit kepala jelas terkait pada waktunya
dengan penggunaan kacamata baru dan tidak ada saat terbangun.

D. HIPERTENSI
Hipertensi jarang menyebabkan sakit kepala. Tidak ada korelasi antara tingkat
hipertensi dan beban sakit kepala kecuali pada pasien dengan tekanan tekanan darah
ekstrim.
E. SUBARACHNOID HEMORRHAGE

Ciri sakit kepala akibat perdarahan subarachnoid adalah onset apopik sakit
kepala yang hebat, yang disebut sebagai sakit kepala "guntur". Sakit kepala ruptur
aneurisma paling sering terjadi unilateral dan disertai mual, muntah, fotofobia,
kekakuan nuchal, dan berbagai tingkat ensefalopati. Karena pendarahan subarachnoid
volume rendah mendahului pendarahan bencana pada 50% pasien, penting untuk
mempertimbangkan diagnosis perdarahan subarachnoid meskipun sakit kepala hilang
secara spontan atau dengan pengobatan. Karakterisasi pasien sakit kepala sebagai
"sakit kepala terburuk dalam hidup saya" umumnya menandakan migrain terburuk,
karena migrain adalah kondisi yang jauh lebih lazim daripada perdarahan

35
subarachnoid. Ini adalah tingkat onset rasa sakit, bukan intensitas nyeri absolut, yang
biasanya membedakan keduanya. Respon terhadap pengobatan, terutama triptan,
sama sekali tidak mendiagnosis migrain. Pasien dengan sakit kepala apoplikan yang
merespons pengobatan masih memerlukan evaluasi yang lengkap.
F. TUMOR OTAK

Sakit kepala terlihat pada saat presentasi pada 50% pasien dengan neoplasma
intrakranial dan bahkan lebih sering lagi pada mereka yang memiliki tumor
intraventrikular atau tumor fossa posterior. Pandangan yang dipegang luas bahwa
sakit kepala yang terkait dengan tumor otak membangkitkan seseorang dari tidur dan
memperbaiki seiring berjalannya waktu tidak akurat dalam banyak kasus. Sakit
kepala migrain dan cluster jauh lebih mungkin terjadi daripada neoplasma serebral
yang menyebabkan sakit kepala yang membuat penderitanya terbangun. Sakit kepala
yang berhubungan dengan tumor otak terlihat lebih umum pada pasien dengan
sindroma kepala primer yang sudah ada sebelumnya, dan pada pasien ini cenderung
berkembang sebagai pemburukan pola tipe sakit kepala yang sudah ada sebelumnya.
Sakit kepala terkait tumor otak terus berlanjut seiring berjalannya waktu. Lokasi sakit
kepala biasanya tidak melokalisasi tumor karena, seperti dicatat dalam pendahuluan
bab ini, kebanyakan struktur sensitif rasa sakit di kepala diinervasi oleh divisi
pertama saraf trigeminal dan oleh karena itu merujuk sakit pada mata atau bait suci.
Tingkat sakit kepala berkorelasi paling baik dengan derajat edema serebral dan bukan
ukuran massa. Lesi massa lainnya yang menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial (misalnya, abses otak, hematoma subdural) akan menyebabkan sakit
kepala pada tipe yang sama.
G. HYPERTENS INTRACRANIAL IDIOPATIK
Dalam kondisi ini, juga dikenal sebagai pseudotumor cerebri, rasa sakit itu
berselang, umum, berdenyut, dan berhubungan dengan mual. Profil pasien "khas"
yang sering dikutip dari seorang wanita gemuk dengan kelainan menstruasi dilebih-

36
lebihkan. Pemeriksaan neurologis pasien hipertensi intrakranial idiopatik tidak umum
dan umumnya mengungkapkan papilledema. Bruit atau bising di kepala kepala sering
dicatat. Karena lengan akar bisa melebar, nyeri radikuler sering terjadi.
H. GIANT CELL ARTRITIS

Arteri roma sel raksasa jarang terjadi pada pasien yang berusia kurang dari 55
tahun. Gejalanya meliputi nyeri allodynic generalisata dan nyeri tekan pada kulit
kepala. Sakit kepala tidak pernah merupakan satu-satunya gejala arteritis sel raksasa,
dan pasien sering mengalami polymyalgia rheumatica, kelelahan, dysphoria, demam
ringan, dan penurunan berat badan. Kondisi ini bersifat sistemik, kadang-kadang
mempengaruhi arteri berukuran sedang di seluruh tubuh, dengan risiko pembawa
infark miokard, gangren anggota tubuh, dan infark viseral. Hambatan arteri
mandibula dan temporal dapat menyebabkan claudication rahang, dan penyempitan
arteri lingual dapat menyebabkan claudication lidah atau nekrosis lidah. Respon
terhadap kortikosteroid cenderung cepat dan dramatis.

I. EXERTIONAL HEADACHE

Sakit kepala yang terjadi dengan tenaga kerja, selain sebagai gejala angina,
bisa terjadi sesekali, dan sakit kepala onset mendadak selalu menimbulkan
kemungkinan pendarahan subarachnoid. Latihan yang dilakukan melawan glotis
tertutup (misalnya, yang terjadi dengan manuver Valsava) paling mungkin memicu
sakit kepala seperti itu. Sakit kepala berlebihan sering terjadi dengan mengangkat
beban, batuk, atau bersin, atau berhubungan dengan orgasme. Serangan semacam itu
seringkali terbatas pada diri sendiri dan tidak berulang, setelah berlangsung beberapa
hari. Meskipun kebanyakan kasus tidak berbahaya, lesi pada fosa posterior (mis.,
Neoplasma dan malformasi Chiari dekompensasi) harus dipertimbangkan pada pasien
dengan nyeri kepala exertional.

37
J. SEXUALLY INDUCED HEADACHE

Sakit kepala yang paling umum terjadi dengan orgasme adalah rasa sakit
dengan onset eksplosif, kemungkinan terkait dengan penyebab lain sakit kepala
exertional jinak. Selain sakit kepala apoplektik yang berhubungan dengan orgasme,
sakit kepala bertekanan rendah juga bisa terjadi. Seperti semua bentuk sakit kepala
bertekanan rendah, ada nyeri postural pada awalnya, diikuti oleh gejala sugestif
meningitis, dengan kekakuan nuchal, sakit kepala umum, dan fotofobia. Sakit kepala
seperti onset dan resolusi bertahap juga dapat terjadi dengan aktivitas seksual.

K. CARDIAC HEADACHE

Sakit kepala periodik bisa menjadi gejala angina. Dahi dan rahang adalah
lokasi yang paling umum, namun angina dapat merujuk rasa sakit ke lokasi di atas
umbilikus. Sakit kepala, bila gejala angina, cenderung terjadi lebih sering dengan
olahraga yang kuat dan untuk menyelesaikan dengan istirahat. Sakit kepala seperti itu
sering merespons nitrogliserin.

O. COLD STIMULUS HEADACHE

Jenis sakit kepala ini paling sering dikaitkan dengan konsumsi es krim namun
bisa dipicu oleh pendinginan mulut, misalnya saat aktivitas outdoor di udara dingin.
Rasa sakit biasanya dialami di pelipis atau dahi tapi bisa juga diacu ke telinga atau
tenggorokan. Seperti bentuk sakit kepala sekunder lainnya, rasa sakit ini paling sering
dialami migren dan sering disebut lokasi yang sama dengan migrain mereka.

P. NEW DAILY PERSISTENT HEADACHE

38
Bentuk sakit kepala kronis setiap hari ini dimulai de novo dan berlanjut tanpa remisi.
Penyebabnya tidak diketahui dan cenderung bersifat heterogen. Sakit kepala bisa
mengikuti penyakit flulike. Pasien biasanya mengingat saat tepatnya saat sakit kepala
dimulai. Karena sakit kepala semacam itu bisa memiliki gejala migrain atau sakit
kepala tipe tegang, riwayat sindrom ini perlu dievaluasi dan penyebab sekunder sakit
kepala kronis tidak diikutsertakan. Penyebab ini meliputi pengobatan berlebihan,
sakit kepala tekanan rendah, trauma, dan infeksi.

Q. NYERI KEPALA TERKAIT DENGAN TIDUR

1. Sakit kepala Hipotek


Sakit kepala terutama terjadi pada orang tua, dengan kejadian pertama yang terjadi
setelah usia 50 tahun. Individu terbangun dari tidur hampir setiap malam dengan sakit
kepala yang umum dan sering berdenyut yang terus berlanjut saat terbangun. Tidak
ada gejala autonom yang signifikan yang menyertai rasa sakit, tapi mual sering
terjadi. Arteriitis sel raksasa dan bentuk-bentuk lain dari sakit kepala sekunder,

39
khususnya yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, perlu dikeluarkan.
Pengobatan dengan litium karbonat atau kafein pada waktu tidur umumnya
memuaskan.
2. Sakit kepala yang Berhubungan dengan Sleep Apnea
Sleep apnea dapat dikaitkan dengan sakit kepala pagi, mungkin dipicu oleh akumulasi
karbon dioksida, hipoksia, atau kurang tidur. Nyeri umumnya bersifat bilateral, tidak
sembarangan, dan tidak terkait dengan gejala autonom. Kelainan tidur lainnya, seperti
pergerakan kaki periodik tidur, juga bisa memicu sakit kepala saat terjaga akibat
gangguan tidur. Pasien yang sering terbangun dengan sakit kepala harus menjalani
polysomnography.
3. Turtling
Orang yang tidur di bawah selimut dengan wajah tertutup mungkin menumpuk
karbondioksida dan terbangun dengan sakit kepala. Sebagian besar penderita sakit
kepala secara naluriah lebih suka tidur di lingkungan sejuk dan teraerasi dengan baik.
4. Exploding Head Syndrome
Ini sebenarnya bukan sindrom sakit kepala, tapi parasomnia. Penderita terbangun
dari tidur dengan suara tak peduli di kepala yang mensimulasikan ledakan parah. Hal
itu bisa dikaitkan dengan bentuk tidur indrawi lainnya. Pengobatan dengan
clomipramine umumnya memuaskan

TEMPOROMANDIBULAR JOINT DISORDER

Ini adalah kelainan umum namun seringkali overdiagnosis untuk menjelaskan sakit
kepala yang lebih parah. Sindrom ini sering menyertai sakit kepala tipe-ketegangan
kronis. Rasa sakit dapat mencerminkan baik kejang otot temporalis dan masseter atau
patologi utama sendi temporomandibular, seperti rheumatoid arthritis. Pada pasien
dengan gangguan sendi temporomandibular, mengunyah memicu rasa sakit, klik dan
rasa sakit dialami selama persendian selama gerakan rahang, dan gerakan yang
berkurang atau tidak merata terjadi saat membuka rahang. Sering serangan self-

40
limited mengikuti mengunyah atau overopening mulut. Relaksan otot dan NSAID
dapat membantu. Jika sindrom ini menjadi kronis, evaluasi gigi diindikasikan.
Laporan perbaikan setelah injeksi botulinum neurotoxin A ke otot masticatory sangat
menjanjikan.
PRIMARY STABBING HEADACHE

Sakit kepala menusuk primer (juga disebut sindrom jab-andjolts, sindrom jarum
suntik, atau sakit kepala es) tidak benar-benar neuralgia. Penderita merasakan sakit
yang tajam di mata atau pura yang sering berganti lokasi. Sakit kepala tusukan
idiopatik sering terjadi pada migraineurs, terutama wanita, dan kadang-kadang
menyinggung serangan migren mereka. Rasa sakitnya berbeda dengan neuralgia
trigeminal karena biasanya melibatkan divisi pertama saraf trigeminal (jarang terjadi
pada neuralgia trigeminal) dan tidak dipicu oleh rangsangan kutaneous. Sakit kepala
tusukan utama juga sering menyertai sindroma sakit kepala primer lainnya, seperti
hemicrania continua, sindrom SUNCT, dan sakit kepala cluster. Selain jaminan,
perawatan biasanya tidak diperlukan. Serangan periodik sering dan merepotkan.
Dalam setting itu, indomethacin atau aspirin mungkin efektif.
NUMMULAR HEADACHE

Sakit kepala nummular adalah nyeri disfungsi fokal di kepala, dengan tingkat
keparahan ringan sedang, kontinyu atau intermiten. Sebagian besar kasus adalah lesi
idiopatik, meskipun intrakranial, meningeal, tulang, dan kulit kepala perlu
dikeluarkan. Pengobatannya sulit dilakukan, dengan beberapa kasus yang dilaporkan
merespons toabot toksin A atau gabapentin.

41
DAFTAR PUSTAKA
1. Brust J. 2012. Current Diagnosis and Treatment Neurology Edisi ke-2. New
York : Columbia University College of Physicians & Surgeons
2. Headache Classification Subcommitee of the International Headache Society.
The International Headache Classification Disorder: 2nd Edition. Cephalgia
2004; 24 Suppl 1:1-160.
3. Sjahrir, Hasan. Nyeri Kepala. Kelompok Studi Nyeri Kepala. Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2004
4. Price, Sylvia dan Lorraine M.Wilson. Patofisiologi edisi 6.Jakarta : EGC.2003

42

Anda mungkin juga menyukai