Anda di halaman 1dari 69

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………. 1
DAFTAR TABEL………………………………………………………………………. 2
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………… 3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………….
2.1 CHF………………………………………………………………………………… 6
2.2 PPOK……………………………………………………………………………… 28
BAB III LAPORAN KASUS………………………………………………………… 54
BAB IV DISKUSI………………………………………………………………………. 67
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………. 72

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung……… 19
Tabel 2.2 Dosis obat yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung………… 20
Tabel 2.3 Dosis obat ARB…………………………………………………………… 22

1
Tabel 2.4 Skala sesak menurut Britisch MRC…………………………………….. 33
Tabel 2.5 Klasifikasi PPOK…………………………………………………………. 36
Tabel 2.6 Perbedaan Klinis dan hasil pemeriksaan sprorometri pada PPOK,

asma bronkial, dan gagal jantung kronik………………………………………….


37
Tabel 2.7 Pemberian edukasi berdasarkan derajat penyakit…………………… 40
Tabel 2.8 Pemberian bronkodilator………………………………………………… 42

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patofisologi gagal jantung……………………………………………. 9


Gambar 2.2 Skema diagnostik untuk pasien yang dicurigai gagal jantung……. 16
Gambar 2.3 Tatalaksana gagal jantung……………………………………………. 21
Gambar 2.4 Penilaian dini pasien dengan kecurigaan gagal jantung……………. 24

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan penurunan kualitas

hidup. Seorang pasien yang menderita gagal jantung biasanya sering kembali datang ke

rumah sakit karena kekambuhan yang tinggi dan peningkatan angka kematian yang tinggi

pada penyakit ini. Sekitar 45% pasien gagal jantung akut akan dirawat ulang paling tidak satu

kali, 15% paling tidak dua kali dalam dua belas bulan pertama.1

Estimasi risiko kematian dan perawatan ulang antara 60 hari berkisar 30-60%,

tergantung dari studi populasi.1 Gagal jantung merupakan penyebab paling banyak perawatan

3
di rumah sakit pada populasi Medicare di Amerika Serikat, sedangkan di Eropa dari data-data

Scottish memperlihatkan peningkatan dari perawatan gagal jantung, apakah sebagai serangan

pertama atau sebagai gejala utama atau sebagai gejala ikutan dengan gagal jantung.

Peningkatan ini sangat erat hubungannya dengan semakin bertambahnya usia seseorang.1,2

Penyebab dari gagal jantung adalah seluruh spektrum kerusakan pada jantung baik

secara struktural maupun fungsional yang tidak tertangani dengan baik yang dalam waktu

tertentu akan bermanifestasi sebagai gagal jantung pada saat jantung tidak mampu lagi

mengkompensasi kerusakan tersebut. Penyebab-penyebab ini jika diklasifikasikan bisa

berupa kelainan mekanik, kelainan miokardium, maupun kelainan irama jantung. Penyakit

jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60-70% pasien terutama pada

pasien usia lanjut, sedangkan pada usia muda, gagal jantung akut diakibatkan oleh

kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital atau valvular dan miokarditis.2,4

Gagal jantung akut maupun gagal jantung kronik sering merupakan kombinasi

kelainan jantung dan organ sistem lain terutama penyakit metabolik. 2,4 Boleh dikatakan bahwa

gagal jantung adalah bentuk terparah atau fase terminal dari setiap penyakit jantung. 3 Oleh

sebab itu, gagal jantung di satu sisi akan dapat dengan mudah dipahami sebagai suatu

sindrom klinis, namun di sisi lain gagal jantung merupakan suatu kondisi dengan

patofisiologis yang sangat bervariasi dan kompleks.5

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan

karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif

nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel

atau gas yang berbahaya.6

Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka

1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun

2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit

4
jantung, kanker dan penyakit serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untul penyakit ini

mencapai $ 24 milyar pertahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan

bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat.7

Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga Departemen Kesehatan RI tahun 1992,

PPOK bersama asma bronchial menduduki peringkat ke enam.8

1.2 Batasan Masalah

Refrat ini membahas mengenai Congestive Heart Failure (CHF) dan PPOK

Eksaserbasi akut yang pembahasannya kami batasi mengenai definisi, epidemiologi, factor

risiko, diagnosis, tatalaksana, dan komplikasi.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan refrat ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan tentang

Congestive Heart Failure dan PPOK Eksaserbasi Akut.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan refrat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu pada

berbagai literatur.

BAB 2

TNJAUAN PUSTAKA

2.1 Congestive Heart Failure

2.1.1 Definisi Gagal Jantung


Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus memiliki tampilan berupa : gejala gagal jantung (napas pendek

yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai/tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti

objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.9

Definisi gagal jantung

Gagal jantung merupakan kumpulan gejala klinis pasien dengan tampilan seperti :

5
Gejala khas gagal jantung : Sesak nafas saat istrahat atau aktifitas, kelelahan, edema tungkai

dan

Tanda khas Gagal Jantung : Takikardia, takipnu, ronki paru, efusi pleura,peningkatan tekanan

vena jugularis, edema perifer, hepatomegali.

dan

Tanda objektif gangguan struktur atau fungsional jantung saat istrahat, kardiomegali, suara

jantung ke tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam gambaran ekokardiografi, kenaikan

konsentrasi peptida natriuretic

2.1.2 Etiologi

Penyakit kardiovaskular dan non kardiovaskular dapat mencetuskan gagal jantung

akut. Contoh yang paling sering antara lain:

1. Peningkatan afterload pada pasien hipertensi sistemik atau pada pasien hipertensi

pulmonal
2. Peningkatan preload karena volume overload atau retensi air
3. Gagal sirkulasi seperti pada keadaan high output states antara lain pada infeksi,

anemia, tirotoksikosis

Kondisi lain yang dapat menimbulkan gagal jantung akut adalah ketidakpatuhan

minum obat-obat gaga jantung, atau nasehat-nasehat medic, pemakaian obat seperti NSAIDs,

cyclooxygenase (COX) inhibitor dan thiazolidinediones.10

2.1.3 Patofisiologi

Patofisiologi dari gagal jantung dibagi menjadi beberapa bagian yaitu 11:

1. Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan (failure)

a) Gagal jantung kiri (Left-Sided Heart Failure)

6
Bagian ventrikel kiri jantung kiri tidak dapat memompa dengan baik sehingga

keadaan tersebut dapat menurunkan aliran dari jantung sebelah kiri keseluruh tubuh.

Akibatnya, darah akan mengalir balik ke dalam vaskuler pulmonal. Pada saat

terjadinya aliran balik darah kembali menuju ventricular pulmonaris, tekanan kapiler

paru akan meningkat (>10 mmHg) melebihi tekanan kapiler osmotik (>25 mmHg).

Keadaan ini akan menyebabkan perpindahan cairan intravaskular ke dalam

interstitium paru dan menginisiasi edema.

b) Gagal jantung kanan (Right-Sided Heart Failure)

Disfungsi ventrikel kanan dapat dikatakan saling berkaitan dengan disfungsi

ventrikel kiri pada gagal jantung apabila dilihat dari kerusakan yang diderita oleh

kedua sisi jantung, misalnya setelah terjadinya infark miokard atau tertundanya

komplikasi yang ditimbulkan akibat adanya progresifitas pada bagian jantung sebelah

kiri. Pada gagal jantung kanan dapat terjadi penumpukan cairan di hati dan seluruh

tubuh terutama di ekstermitas bawah.

2. Mekanisme neurohormonal

Istilah neurohormon memiliki arti yang sangat luas, dimana neurohormon

pada gagal jantung diproduksi dari banyak molekul yang diuraikan oleh

neuroendokrin. Renin merupakan salah satu neurohormonal yang diproduksi sebagai

respon dari penurunan curah jantung dan peningkatan aktivasi sistem saraf simpatik.

3. Aktivasi sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAAS)

Pelepasan renin sebagai neurohormonal oleh ginjal akan mengaktivasi RAAS.

Angiotensinogen yang diproduksi oleh hati diubah menjadi angiotensin I dan

angiotensinogen II. Angiotensin II berikatan dengan dinding pembuluh darah

ventrikel dan menstimulasi pelepasan endotelin sebagai agen vasokontriktor. Selain

itu, angiotensin II juga menstimulasi kelenjar adrenal untuk mensekresi hormon

7
aldosteron. Hormon inilah yang dapat meningkatkan retensi garam dan air di ginjal,

akibatnya cairan didalam tubuh ikut meningkat. Hal inilah yang mendasari timbulnya

edema pada gagal jantung kongestif.

4. Kardiak remodeling

Kardiak remodeling merupakan suatu perubahan yang nyata secara klinis

sebagai perubahan pada ukuran, bentuk dan fungsi jantung setelah adanya stimulasi

stress ataupun cedera yang melibatkan molekuler, seluler serta interstitial.9

Gagal jantung terjadi akibat sejumlah proses yang mengakibatkan penurunan

kapasitas pompa jantung seperti iskemia, hipertensi dan yang lainnya. Penurunan kapasitas

awalnya dikompensasi oleh mekanisme neurohumoral, yaitu sistem adrenergik, sistem renin-

angiotensin-aldosteron dan sistem sitokin. Kompensasi awal bertujuan untuk menjaga curah

jantung dengan meningkatkan tekanan pengisian ventrikel (preload) dan kontrakasi

miokardium. Lama-kelamaan aktifitas sistem tersebut mengalami kerusakan sekunder pada

ventrikel seperti remodeling ventrikel kiri dan dekompensasi jantung. Kadar angiotensin dan

katekolamin akan semakin tinggi, mengakibatkan fibrosis dan apoptosis miokardium yang

bersifat progresif. Pada tahap lebih lanjut, penurunan fungsi ini juga berpengaruh terhadap

aritmia jantung.12

8
Gambar 2.1 Patofisiologi gagal jantung

2.1.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis gagal jantung terdiri atas dispnea dengan tenaga (awal) atau pada

saat istirahat (akhir), orthopnea, paroksismal nokturnal dispnea yaitu serangan sesak napas

berat dan batuk pada malam hari, biasanya membangunkan pasien, respirasi Cheyne-Stokes,

kelelahan dan kelemahan, gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, sakit perut dan

kepenuhan, serta nyeri kuadran kanan atas. Adapun gejala lain yang muncul yaitu nokturia

dan gejala serebral yaitu status mental berubah karena perfusi serebral berkurang seperti

kebingungan, disorientasi, dan kesulitan berkonsentrasi.13

Berdasarkan presentasinya gagal jantung dibagi sebagai berikut.

1. Gagal jantung akut


2. Gagal jantung menahun

9
3. Acute on Chronic Heart Failure
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai timbulnya sesak napas secara cepat (< 24

jam) akibat kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi sistolik atau diastolic atau irama

jantung, atau kelebihan beban awal (preload), beban akhir (afterload), atau kontraktilitas dan

keadaan ini mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan tepat. 14

Gagal jantung menahun didefinisikan sebagai sindrom klinis yang kompleks akibat

kelainan structural atau fungsional yang menganggu kemampuan pompa jantung atau

menganggu pengisian jantung.14

Pasien gagal jantung akut dapat datang dengan berbagai kondisi klinis, yaitu:

a) Acute decompensated hearth failure (ADHF)


- Baru pertama kali (de novo)
- Dekompensasi dari gagal jantung menahun
Kedua keadaan ini masih lebih ringan dan tidak termasuk syok kardiogenik,

edema paru atau krisis hipertensi.


b) Hypertensive acute heart failure
Gejala dan tanda gagal jantung disertai dengan tekanan darah tinggi dan fungsi

ventrikel yang masih baik.

c) Edema paru
Sesak napas hebat, dengan ronki basah kasar di hampir semua lapangan paru,

ortopnu, saturasi oksigen < 90% sebelum mendapat terapi oksigen.


d) Syok kardiogenik
Terdapat hipoperfusi jaringan meskipun preload sudah dikoreksi. Tekanan darah

sistolik < 90 mmHg, produksi urin 0,5 cc/kgbb/jam, laju nadi > 60 x/menit dengan

atau tanpa kongesti organ/paru.


e) Gagal jantung kanan
Dengan gejala curah jantung rendah, peningkatan JVP, hepatomegali dan hipotensi.14

Pada gagal jantung kronis, derajat penyakit secara klinis fungsional dapat

dikategorikan berdasarkan The New York Heart Association (NYHA) dan American Heart

Association (AHA) yang berfokus pada faktor resiko dan abnormalitas struktur jantung.

10
Berdasarkan American Heart Association klasifikasi dari gagal jantung kongestif

yaitu sebagai berikut :

1. Stage A

Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi belum

ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda dan gejala dari

gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal jantung stage A umumnya terjadi pada

pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus.

2. Stage B

Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya

kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala dari gagal

jantung tersebut.

3. Stage C

Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan penyakit structural jantung yang

mendasari.

4. Stage D

Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna

saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal (refrakter).

Klasifikasi dari gagal jantung berdasarkan The New York Heart Association (NYHA)

1. Kelas I

Tidak ada gejala dalam melakukan aktivitas fisik sehari-hari, seperti berjalan, menaiki

tangga. Aktivitas fisik tidak menyebabkan dispnea, kelelahan, atau palpitasi.

2. Kelas II

11
Gejala ringan (sesak napas ringan dan/ angina) serta terdapat keterbatasan ringan

dalam aktifitas fisik sehari-hari.

3. Kelas III

Terdapat keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari misalnya berjalan 20-100 meter

pasien menjadi sesak. Pasien hanya nerasa nyaman saat istirahat.

4. Kelas IV

Terdapat keterbatasan aktifitas yang berat, gejala dapat muncul saat istirahat, keluhan

meningkat saat beraktifitas.14

2.1.5 Diagnosis15

Penegakan diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta

pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa sesak napas yang

terutama meningkat dengan aktifitas, terbatasnya aktifitas dan hal-hal lain seperti yang

terdapat pada gejala klinis. Tanda output rendah seperti fatigue, lemah, perubahan status

mental, azotemia prerenal. Tanda gagal jantung kiri seperti dispnu, ortopnu, dispnu nokturnal

paroksismal. Tanda gagal jantung kanan seperti edema perifer, rasa tidak nyaman dikuadran

kanan atas,

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain:

 Gagal jantung akut: hipotensi atau hipertensi, takikardi, diaforesis, sianosis, dingin

dan pucat pada ekstremitas

 Gagal jantung kiri:

- Ronki paru

- Pekak pada basal paru (efusi pleura sekunder)

- Takipnu

- Pernafasan Cheyne-Stokes

12
- Iktus kordis abnormal (difus, menetap, atau bertambah bergantung pada penyebab

gagal jantung tersebut)

- S3 (disfungsi sistolik), S4 (disfungsi diastolik)

- Murmur jantung (karena penyakit katup jantung, distorsi anulus katup mitral, atau

pergeseran katup papilaris)

 Gagal jantung kanan:

- Peningkatan JVP

- Tanda efusi pleura

- Hepatomegali kongestif

- Asites

- Ikterus

- Edema perifer

Dapat digunakan kriteria klinis menggunakan kriteria klasik Framingham, paling

sedikit 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

Kriteria mayor:

- Paroxysmal nocturnal dyspnea


- Distensi vena-vena leher
- Peningkatan tekanan vena jugularis
- Ronki
- Kardiomegali
- Edema paru akut
- Gallop bunyi jantung III
- Refluks hepatojugular positif

Kriteria minor:

- Edema ekstremitas
- Batuk malam
- Sesak saat aktifitas
- Hepatomegali
- Efusi pleura
- Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
- Takikardi (> 120 kali/menit)

13
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang9,11,15,16

1. Laboratorium Rutin

Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah

perifer lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi

glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain

dipertimbangkan sesuai tampilan klinis.Tanda penurunan perfusi organ vital : ↑ BUN,

↑ Kreatinin, ↓ Na, uji fungsi hati abnormal. Gangguan hematologis atau elektrolit

yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang

belum diterapi.

2. Elektrokardiografi

Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga

gagal jantung. Pada gagal jantung interpretasi EKG yang perlu dicari adalah ritme,

LVH serta ada atau tidak infark (riwayat atau sedang berlangsung). Meski tidak

spesifik, EKG yang normal dapat mengeksklusi disfungsi sistolik. Elektrokardiografi

memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebaigian besar pasien (80-90%),

termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi LV, gangguan konduksi, aritmia.9

3. Rontgen Thoraks

Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks

dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi

penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas.

4. Pemeriksaan biomarker

Brain natriuretic peptide (BNP) cukup sensitif untuk mendeteksi adanya

gagal jantung. Dikatakan gagal jantung bila nilai BNP ≥ 100 pg/mL atau NT-

proBNP≥ 300 pg/mL. Kadar peptide natriuretik meningkat sebagai respon terhadap

peningkatan tekanan dinding ventrikel.

14
Pemeriksaan troponin I atau T dilakukan pada penderita gagal jantung jika

gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar

troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi

gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.

5. Pemeriksaan ekokardiografi

Ekokardiogram 2-D/ Doppler untuk menilai ukuran dan fungsi ventrikel kiri

serta kondisi katup dan gerakan dinding jantung. Indeks fungsi ventrikel yang paling

berguna ialah fraksi ejeksi stroke volume dibagi end-diastolic volume).

Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan

pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien

dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara

pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi

ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).

Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagal jantung

dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria:

1. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung

2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu (fraksi ejeksi >

45 - 50%)

3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiriabnormal / kekakuan

diastolik).6,7,8

15
Gambar 2.2 Skema diagnostik untuk pasien yang dicurigai gagal jantung

2.1.7 Penatalaksanaan9,17,18

Dalam 10-15 tahun terakhir terlihat berbagai perubahan dalam pengobatan gagal

jantung. Pengobatan tidak saja ditujukan dalam memperbaiki keluhan, tetapi juga diupayakan

pencegahan agar tidak terjadi perubahan disfungsi jantung yang asimtomatik menjadi gagal

jantung yang simtomatik. Selain dari pada itu upaya juga ditujukan untuk menurunkan angka

kesakitan dan diharapkan jangka panjang terjadi penurunan angka kematian.

Tatalaksana non-farmakologi, antara lain:

a) Ketaatan pasien berobat


Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup

pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi farmakologi

maupun non-farmakologi.

b) Pemantauan berat badan mandiri

16
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat

badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertimbangan dokter.

c) Asupan cairan

Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala

berat yang disertai hiponatremia.

d) Pengurangan berat badan

Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung

dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan

meningkatkan kualitas hidup.

e) Latihan fisik

Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.

Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di

rumah.

Tatalaksana farmakologi antara lain:

a) Angiotensin converting enzyme Inhibitor (ACE-I)

Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme kerja menurunkan sekresi

angiotensin II dan aldosteron dengan cara menghambat enzim yang dapat mengubah

angiotensin I menjadi angiotensin II. Termasuk juga dapat mengurangi kejadian remodeling

jantung serta retensi air dan garam. ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung

simtomatik (kecuali kontraindikasi) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI

memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena

perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACEI kadang-

kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk

dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI haya diberikan pada pasien dengan fungsi

ginjal adekuat dan kadar kalium normal.

17
b) Beta bloker

β-blocker harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik (kecuali

kontraindikasi) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. β-blocker memperbaiki fungsi

ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal

jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. β-blocker boleh diberikan pada pasien

yang stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik

i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat). Mekanisme kerja dari β-blocker sendiri yaitu

dengan menghambat adrenoseptor beta (beta-bloker) di jantung, pembuluh darah perifer

sehingga efek vasodilatasi tercapai. Beta bloker dapat memperlambat konduksi dari sel

jantung dan juga mampu meningkatkan periode refractory.

c) Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)

Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada subtipe AT1.

Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi

ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan

penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB

memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit

karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien

intoleran ACEI.

d) Diuretik

Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif yaitu dengan meningkatkan

retensi air dan garam yang dapat menimbulkan edema baik sistemik maupun paru. Diuretik

direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti.Tujuan

dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan

dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari

18
dehidrasi atau resistensi. Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan

tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.

Tabel 2.1. dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung.

Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)


Diuretik Loop
Furosemid 20 – 40 40 – 240

Bumetanid 0.5 – 1 1–5


Tiazid
Hidroklorotiazid 25 12.5 – 100

Metolazon 2.5 2.5 – 10


Diuretik hemat kalium
Spironolakton (+ ACEI/ARB) 12.5 – 25 (+ ACEI/ARB) 50

(-ACEI/ARB) 50 (-ACEI/ARB) 100-200

e) Digoksin

Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai sifat inotropik

positif yang dapat membantu mengembalikan kontraktilitas dan meningkatkan dari kerja

jantung. Digoxin memiliki indeks terapi sempit yang berarti dalam penggunaan dosis rendah

sudah memberikan efek terapi. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian pada penggunaan

digoxin dan diperlukan monitoring ketat bila dikhawatirkan terjadi toksik. Pada pasien gagal

jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel

yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan.

Tabel 2.1. Dosis obat yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung.

Obat Dosis awal (mg) Dosis target (mg)


ACEI
Captopril 6.25 (3x/hari) 50 – 100 (3x/hari)

Enalapril 2.5 (2x/hari) 10 – 20 (2x/hari)

Ramipril 2.5 (1x/hari) 5 (2x/hari)


ARB

19
Candesartan 4/8 (1x/hari) 32 (1x/hari)

Valsartan 40 (2x/hari) 160 (2x/hari)


Antagonis aldosterone
Spironolakton 25 (1x/hari) 25 – 50 (1x/hari)
Penyekat beta
Bisoprolol 1.25 (1x/hari) 10 (1x/hari)

Carvedilol 3.125 (2x/hari) 25 – 50 (2x/hari)

Gambar 2.3 Tatalaksana gagal jantung

1. Terapi jangka pendek (Gagal Jantung Akut)


Pemilihan terapi akut didasarkan pada dua hal berikut:
a. Volume overload (wet atau dry) yang menunjukkan peningkatan pengisian

ventrikel kiri
b. Tanda penurunan curah jantung (cold atau warm)
- Profil A menunjukkan hemodinamik normal. Gejala kardiopulmonal dapat

muncul akibat kelainan parenkim paru atau iskemia miokard yang bersifat

transien
- Profil B dan C menggambarkan edema paru akut. Profil B membutuhkan

diuretik dan atau vasodilator, sedangkan profil C membutuhkan diuretik dan atau

vasodilator ditambah inotropik

20
- Profil L menunjukkan kondisi deplesi cairan berat atau fungsi jantung yang

sangat terbatas tanpa adanya tanda overload cairan, misalnya dilatasi ventrikel

kiri dengan regurgitasi katup mitral. Profil L membutuhkan terpai ekspansi cairan.
2. Terapi jangka panjang
Penanganan gagal jantung sangat bervariasi dan tergantung faktor-faktor yang

mendasari. Berikut adalah garis besar pengobatan gagal jantung:


a. Semua pasien gagal jantung (baik sistolik maupun diastolik) memerlukan

penghambat ACE atau ARB bila tidak ada kontraindikasi selain kelainan ginjal

berat.
Tabel 2.2 Dosis Obat ARB

21
b. Semua pasien gagal jantung (baik sistolik maupun diastolik) memerlukan

penyekat beta mulai dari dosis kecil bila tidak ada kontraindikasi

c. Pasien gagal jantung NYHA III-IV yang belum membaik dengan penghambat

ACE/ ARB dan penyekat beta dapat dipertimbangkan penambahan dosis kecil

antagonis aldosteron seperti spironolakton

22
d. Kebanyakan pasien gagal jantung membutuhkan diuretik reguler dosis rendah

untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan menghilangkan edema.

Permulaan dapat menggunakan diuretik kuat atau tiazid yang kemudian

disesuaikan dengan hasil terapi dan kebutuhan pasien

e. Pasien dengan EF < 30% atau dengan AF, sebaiknya diberikan antikoagulan untuk

mencegah emboli kardiak. Pemberian digitalis bermanfaat untuk gagal jantung

dengan AF dan EF < 30%


f. Bila penyebabnya adalah PJK, maka pemberian simvastatin dan aspirin

bermanfaat secara jangka panjang

23
g. Obat-obatan yang harus dihindari pada pasien gagal jantung simtomatik NYHA II-

IV:
- Golongan tiazolidinedion (glitazon) karena dapat memperburuk gejala gagal

jantung
- Golongan CCB, kecuali amilodipin dan felodipin karena memiliki efek

inotropik negatif
- OAINS dan penghambat COX-2 sebaiknya dihindari karena menyebabkan

retensi air dan natrium serta memperburuk fungsi ginjal dan gejala gagal

jantung
- Kombinasi ARB (atau renin inhibitor) dengan ACE inhibitor dan antagonis

mineralokortikoid tidak direkomendasikan karena memperburuk fungsi ginjal

dan menyebabkan hiperkalemia


h. Sesuai etiologinya, pasien gagal jantung perlu mendapat terapi yang sesuai, baik

untuk revaskularisasi (pembalonan, stent, atau operasi), pemasangan pacu jantung

(cardiac resynchronization therapy), perbaikan katup dan sebagainya.


i. Intervensi gaya hidup
- Diet rendah garam 2 gram (setengan sendok teh ) pada gagal jantung ringan

dan 1 gram pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1,5 liter/ hari pada gagal

jantung ringan dan 1 liter/ hari pada gagal jantung berat


- Berhenti merokok dan alkohol (terutama pada kardiomiopati)
- Aktivitas fisik rutin, misalnya berjalan kaki 3-5 kali perminggu selama 20-30

menit atau sepeda statis 5 kali/ minggu selama 20 menit dengan beban 70-80

% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang


- Istirahat tirah baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut

24
25
Gambar 2.4 Penilaian dini pasien dengan kecurigaan gagal jantung

26
2.2 PPOK

2.2.1 Definisi PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan

karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif

nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel

atau gas yang berbahaya.6

2.2.2 Epidemiologi

Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka

1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama

tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah

penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untul

penyakit ini mencapai $ 24 milyar pertahunnya. World Health Organization (WHO)

memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat.

Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma

bronchial menduduki peringkat ke enam. 7

Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan

perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK umumnya

berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia

kurang dari 40 tahun.8 Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS.

Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120

pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat

merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi

sebesar 90,83%. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak

27
ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. 19 Hasil Susenas (Survei Sosial

Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki

merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari

perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah

tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok

pasif. 20

Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun

2006 menunjukkan bahwa dari 46 penderita yang paling banyak adalah penderita pada

kelompok umur lebih dari 60 tahun sebesar 39 penderita (84,8%), dan penderita yang

merokok sebanyak 29 penderita dengan proporsi 63,0%. 21

2.2.3 Faktor Risiko

Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang menyebabkan

terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi

faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi

genetik, hiperesponsif jalan napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah

kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas

juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan

masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat

gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.22

Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi

terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai

merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian.

Tidak semua perokok akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan

faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK.

28
Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang

muda yang bukan perokok.22 Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan

dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama

kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar.

Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi

batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10

bungkus tahun artinya jika seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan

menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok.23

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap

kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang

industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat

kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus

menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan

(outdoor polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok. Polusi dalam

ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan untuk

keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Status sosioekonomi merupakan

faktor risiko untuk terjadinya PPOK, kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang

tidak adekuat pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan

sosioekonomi.22

2.2.4 Patogenesis

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen

untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil

metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi

adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran

29
gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang

sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan

pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran

napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital

(KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa

detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas

vital paksa (VEP1/KVP).24

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok

merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi

bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan

pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan

menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari

saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi

dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses

ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang

memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.6

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik

pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur

penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka

ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal

terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian,

apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran

udara kolaps.6

30
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,

komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh

neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic

Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan

jaringan25. Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya

ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya

inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi

berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol.26

2.2.5 Diagnosis

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat

menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat

menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.

1. Anamnesis

a. Ada faktor risiko

Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya

riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polus i tempat kerja.

Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh

lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok

perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif,

atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman

(IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama

31
merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang

(200-600), dan berat (>600).27

b. Gejala klinis

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus

diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi

pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang

tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan

hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, sesak napas

merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan

aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang

bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai

kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas sesuai

skala sesak menurut British Medical Research Council (MRC).6

Tabel 2.5 Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)

2. Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti tong

(barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seseorang yang bernapas dengan

mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot

32
bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi

vena jugularis dan edema tungkai serta penampilan pink puffer (Gambaran yang khas pada

emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing) atau

blue bloater (Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat

edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer). Pada palpasi dapat

ditemukan fremitus melemah, pada perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor dan pada

pemeriksaan auskultasi suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang,

ronki, dan mengi.27

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Faal Paru


 Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP

(%).Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75

%. VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai

beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak

tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat,

dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan

sore, tidak lebih dari 20%.6


 Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.

Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit

kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <

20% nilai awal dan < 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.14
b. Radiologi (foto toraks)
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi

atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, jantung

pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil

33
pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan

radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya

atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.6


c. Laboratorium darah rutin
Pemeriksaan hemoglobin, leukosit, trombosit, eritrosit
d. Analisa gas darah
PaO2 < 8,0 kPa (60 mmHg) dan atau Sa O 2 < 90% dengan atau tanpa PaCO 2 > 6,7

kPa (50 mmHg), saat bernafas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya

gagal nafas.
PaO2 < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO 2 > 9,3 kPa (70 mmHg) dan pH < 7,30, member

kesan episode ang mengancam jiwa dan perlu monitor ketat serta penanganan

intensif.7
e. Mikrobiologi sputum 27
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi

(derajat) PPOK, yaitu :6


Tabel 2.5 Klasifikasi PPOK

2.2.6 Diagnosis Banding

34
PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru,

namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik. Perbedaan

klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 2.3 27

Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, asma

bronkial dan gagal jantung kronik

2.2.7. Penatalaksanaan 27
Tujuan penatalaksanaan :
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah eksaserbasi berulang
3. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
4. Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi

1. Edukasi

35
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.

Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit

kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan

aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih

bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi

atau tujuan pengobatan dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :


 Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
 Melaksanakan pengobatan yang maksimal
 Mencapai aktiviti optimal
 Meningkatkan kualiti hidup

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang

pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat

diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di

rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena

memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan

dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan

keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk

meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK.

Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit,

tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.


Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
 Pengetahuan dasar tentang PPOK
 Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
 Cara pencegahan perburukan penyakit
 Menghindari pencetus (berhenti merokok)
 Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala

prioriti bahan edukasi sebagai berikut :


a. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan.

36
b. Pengunaan obat – obatan :
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebulizer)
- Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu
saja)
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
c. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
d. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
e. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
f. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
g. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke

pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya

diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali

pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK

stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel


Tabel 2.7 Pemberian Edukasi berdasarkan derajat penyakit

2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan

disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan

inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat

37
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long

acting ).
Macam - macam bronkodilator :
 Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga

mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).


 Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan

dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya

digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk

mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk

injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.


 Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena

keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
 kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita. 0
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,

terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi

sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.

Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.


Tabel 2.8. Pemberian Obat Bronkodilator

38
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,

berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison.

Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid

positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal

250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
 Lini I : amoksisilin
makrolid
 Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit, dapat dipilih :
 Amoksilin dan klavulanat
 Sefalosporin generasi II & III injeksi
 Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
 Aminoglikose per injeksi

39
 Kuinolon per injeksi
 Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N-

asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan

sebagai pemberian yang rutin


e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan

eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi

eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati - hati .

3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan

kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting

untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun

organ - organ lainnya.


Manfaat oksigen :
 Mengurangi sesak
 Memperbaiki aktiviti
 Mengurangi hipertensi pulmonal
 Mengurangi vasokonstriks
 Mengurangi hematokrit
 Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
 Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi :
Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90% - Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 >

89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal

jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain

Macam terapi oksigen :


 Pemberian oksigen jangka panjang
 Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
 Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
 Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen

di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik.

40
Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat

daruraat, ruang rawat ataupun ICU.

Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :


 Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT)
 Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
 Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama

bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan

nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia

yang sering terjadi bila penderita tidur.


Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan

meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau

pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
Alat bantu pemberian oksigen
 Nasal kanul
 Sungkup venturi
 Sungkup rebreathing
 Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis

gas darah pada waktu tersebut.

4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,

gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas

kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
 ventilasi mekanik dengan intubasi
 ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi


Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik

dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah

Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :
 Volume control
 Pressure control
 Bilevel positive airway pressure (BiPAP)

41
 Continous positive airway pressure (CPAP)

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT / Long Tern

Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan pada :


 Analisis gas darah
 Kualiti dan kuantiti tidur
 Kualiti hidup
 Analisis gas darah

Indikasi penggunaan NIPPV


 Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan

abdominal paradoksal
 Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
 Frekuensi napas > 25 kali per menit
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas,

disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.

Ventilasi mekanik dengan intubasi


Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit bila

ditemukan keadaan sebagai berikut :


 Gagal napas yang pertama kali
 Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat

diperbaiki, misalnya pneumonia


 Aktiviti sebelumnya tidak terbatas

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :


 Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan

abdominal paradoksal
 Frekuensi napas > 35 permenit
 Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)
 Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)
 Henti napas
 Gangguan kesadaran
 Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
 Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru,

barotrauma, efusi pleura masif)


 Telah gagal dalam penggunaan NIPPV

Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai

berikut :
 PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya

42
 Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
 Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal

Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik


 VAP (ventilator acquired pneumonia)
 Barotrauma
 Kesukaran weaning

Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan


 Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi
 Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat
 Nutrisi seimbang
 Dibantu dengan NIPPV

5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan

energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan

hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.


Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan

derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah . Malnutrisi dapat dievaluasi

dengan :
 Penurunan berat badan
 Kadar albumin darah
 Antropometri
 Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
 Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi

masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi

akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn

kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal

feedings) dengan pipa nasogaster.


Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.

Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit

oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada

PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya

fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi.

43
Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
 Hipofosfatemi
 Hiperkalemi
 Hipokalsemi
 Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi

dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.

6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki

kualiti hidup penderita PPOK


Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
 Simptom pernapasan berat
 Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
 Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim

multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program

rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
a. Latihan Fisik
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan fisis

yang baik akan menghasilkan :


 Peningkatan VO2 max
 Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
 Peningkatan cardiac output dan stroke volume
 Peningkatan efisiensi distribusi darah
 Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan
 Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan
Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot

pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk

melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasanakan

mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki kualiti hidup

dan mengurangi sesak napas.


Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot

pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa

44
dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada

penderita PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot pernapasan,

maka porsi latihan otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah

tinggi dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang

diutamakan.
 Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK.

Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada orang

sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya toleransi latihan

karena meningkatnya toleransi karena meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan

rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari

efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat. Sesak napas

bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita PPOMJ menghenikan latihannya,

faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan otot kaki. Pada penderita PPOK berat,

kelelahan kaki mungkin merupakan factor yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot

skeletal. Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan otot,

diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik. Berbaring ditempat

tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan kontrol

kardiovaskuler.
Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :
 Di rumah
- Latihan dinamik
- Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda
 Rumah sakit
- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe latihan

diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan subyektif dicatat.

Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting daripada hasil pemeriksaan

subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah 6-8 minggu di laboratorium dapat

memberikan informasi yang obyektif tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.

45
- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah adalah

ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walking jogging. Begitu jenis

latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit, yang cukup untuk menaikkan

denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut

jantung 60%-70% maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat.

Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari

perminggu. Denyut nadi maksimal adalah 220 - umur dalam tahun.


- Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat diperkecil.

walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat berakibat kelainan fatal,

dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung.

Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :


 Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
 Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
 Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi atau

pusing latihan segera dihentikan


 Pakaian longgar dan ringan
b. Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan

dapat diberikan obat


c. Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik

latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan

menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga untuk melatih
ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti.

2.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas

akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik

ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg,

serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas

dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran

menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk

46
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik

ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.

Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat

disertai gagal jantung kanan.27

47
BAB 3

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. SB

Umur : 61 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Petani

Agama : Islam

Alamat : Batang Limpauang Solok Selatan

Status Perkawinan : Menikah

Masuk RS : 13 September 2018

Tanggal Pemeriksaan : 21 September 2018

II. Anamnesis

Telah dirawat seorang pasien laki-laki berusia 61 tahun sejak tanggal 13

September 2018 pukul 19.05 WIB di Bangsal Pria bagian Penyakit dalam RS M

Djamil Padang rujukan dari RSUD Muaro Labuah dengan:

Keluhan utama :

Sesak napas yang semakin meningkat sejak 1 hari yang lalu.

Riwayat penyakit sekarang

 Sesak napas dirasakan sejak 1 minggu yang lalu dan semakin meningkat 1

hari yang lalu. Sesak berbunyi menciut, tidak dipengaruhi cuaca dan makanan.

48
Sesak semakin meningkat saat beraktivitas dan berkurang dengan beristirahat.

Riwayat sesak apabila tidur berbaring ada, riwayat tidur dengan bantal

ditinggikana ada, terbangun oleh sesak napas mendadak saat malam hari tidak

ada.

 Batuk sejak 3 bulan yang lalu ,berdahak berwarna putih, batuk berdarah tidak

ada.

 Penurunan berat badan telah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu sebesar 5 kg.

 Demam hilang timbul sejak 1 minggu yang lalu, tinggi, tidak disertai keringat

banyak, dan tidak menggigil.

 Penurunan nafsu makan sejak 1 minggu yang lalu.

 Keluhan nyeri dada tidak ada, dada terasa berdebar-debar tidak ada, pusing

tidak ada, pingsan tidak ada.

 Mual muntah tidak ada.

 Sembab pada kedua tungkai tidak ada.

 Keringat banyak pada malam hari tidak ada.

 Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan.

Riwayat penyakit dahulu

 Riwayat diabetes mellitus tidak ada.


 Riwayat hipertensi ada sejak 4 bulan yang lalu, tidak terkontrol.
 Riwayat minum obat OAT tidak ada.
 Pasien pernah dirawat di RSUD Muaro Labuah sebanyak dua kali, pada bulan

Juni dan Agustus dengan keluhan sesak napas dan mendapatkan obat

Simbicort 2x1 dan Spiriva 1x1.

49
Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal,

hipertensi, diabetes mellitus, dan keganasan.

Riwayat Pekerjaan, Sosial dan Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan:

Pasien seorang petani.

Riwayat merokok (+) selama ± 50 tahun, sebanyak 12 batang per hari. Pasien

telah berhenti merokok sejak 3 tahun yang lalu.

III. STATUS GENERALIS

Tanda vital

Kesadaran : CMC Keadaan Umum : Sedang

Tekanan darah : 120/ 80 mmHg Keadaan Gizi : Baik

Nadi : 82 x/menit Tinggi Badan : 170 cm

Suhu : 36,7 oC Berat Badan : 65 kg

Pernapasan : 20 x/menit Edema : tidak ada

Sianosis : tidak ada Anemis : tidak ada

Ikterus : tidak ada

PemeriksaanFisik

Kulit

Warna : sawo matang

Pigmentasi : tidak ada

Jaringan parut : ada

Pertumbuhan rambut : baik

50
Turgor kulit : baik

Ikterus : tidak ada

Edema : tidak ada

Kelenjar getah bening

Submandibula : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Supraklavikula : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Ketiak : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Kepala

Simetris muka : simetris

Rambut : berwarna hitam dan beruban

Deformitas : tidak ada

Mata

Exoftalmus : tidak ada

Tekanan bola mata : dalam batas normal

Kelopak : dalam batas normal

51
Konjungtiva : tidak anemis

Sklera : tidak ikterik

Kornea : refleks kornea (+)

Pupil : isokor, diameter 3 mm

Lensa : tidak keruh

Visus : baik

Lapangan penglihatan : tidak terganggu

Tanda penyakit grave : tidak ada

Telinga

Lubang : ada

Cairan : tidak ada

Nyeri tekan prosesus mastoideus : tidak ada

Pendengaran : tidak terganggu

Hidung

Bagian luar : deformitas tidak ada

Septum : lurus

52
Ingus : tidak ada

Penyumbatan : tidak ada

Perdarahan : tidak ada

Mulut

Bibir : pucat tidak ada

Bau Pernafasan : bau uremik tidak ada

Gigi : karies dentis tidak ada

Faring

Gusi : berdarah (-), bengkak (-)

Lidah : simetris

Tonsil : T1 - T1, tidak hiperemis

Leher

Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran

Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran

Tekanan vena jugularis : 5 + 3 cmH2O

53
Kaku kuduk : tidak ada

Trakhea : deviasi tidak ada

Tumor : tidak ada

Thoraks

Pembuluh darah : tidak ada venektasi

Bentuk : normochest

Kulit : spider nevi tidak ada, dalam batas normal

Paru-paru

Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi otot pernafasan tidak

ada.

Jenis pernapasan abdominal torakal

Kecepatan 20 kali/menit

Palpasi : Fremitus sama paru kiri dan kanan

Perkusi : Sonor paru kiri dan kanan

Auskultasi

Kanan : Suara nafas bronkovesikuler, ronki (+), wheezing (-)

Kiri : Suara nafas bronkovesikuler , ronki (-), wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba, kuat angkat, setinggi RIC VI, 1 jari lateral

dari linea midclavicula sinistra

Perkusi

Kanan : linea parasternalis dekstra

54
Kiri : 2 jari lateral dari linea midclavikularis sinistra, RIC VI

Atas : RIC II, linea parasternalis sinistra

Auskultasi : Irama Reguler, frekuensi 82x / menit, bising (-)

Abdomen

Inspeksi : tidak membuncit

Palpasi : Supel, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba,

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Punggung

Inspeksi : simetris kri dan kanan

Palpasi : fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi : nyeri ketok costovertebre tidak ada

Alat Kelamin tidak diperiksa

Anus dan rektum tidak diperiksa

Tangan

Warna : sawo matang

Kuku : tidak ada kelainan

Tremor : tidak ada

Tungkai dan kaki

Luka : tidak ada

Parut : ada

Sendi : dapat digerakkan

55
Kekuatan :

555 555
555 555

Edema : +/+

Gerakan : baik

Suhu raba : hangat

Refleks

Fisiologis +/+

Patologis -/-

IV. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap (13-20 September

2018)

Hemoglobin : 10,8 g/dl GDS : 76 mg/dl


3
Leukosit : 19.600/mm GD 2PP : 125 mg/dl
Trombosit : 394.000/mm3 SGOT/SGPT : 41/45 u/l
Hematokrit : 35 % Total kolesterol : 104 mg/dl
Ureum : 19 mg/dl HDL kolesterol : 28 mg/dl
Kreatinin : 1 mg/dl LDL kolesterol : 52 mg/dl
Natrium : 142 Mmol/L Trigliserida : 121 mg/dl
Kalium : 3,4 Mmol/L pH : 7,4
Klorida : 116 Mmol/L pCO2 : 26 mmHg
Kalsium : 8,9 mg/dl pO2 : 86 mmHg
Total protein: 6,4 g/dl SO2 : 97
Albumin : 3,9 g/dl HCO3- : 17,5 mmol/L
Globulin : 2,5 g/dl Hitung jenis : 0/8/0/60/31/1
Kesan : anemia ringan, leukositosis, kalium menurun, klorida meningkat, total

protein menurun, SGOT dan SGPT meningkat, dislipidemia, eosinofilia

56
Hasil Pemeriksaan EKG (13 September 2018)

Irama sinus, QRS rate 91 x/menit, axis normal, P wave normal, PR interval

0,9 detik, QRS duration 0,08 detik, Q patologis di lead II,III,AVF, ST-T change (-), T

inverted (-), LVH (-), RVH (-)

Hasil Pemeriksaan Urin (14 September 2018)

Makroskopis : warna kuning muda, kekeruhan (-), pH 5,0

Mikroskopis : leukosit 0-1 /LPB, eritrosit 0-1/LPB, silinder (-), kristal (-), epitel

gepeng

Kimia : protein (-), glukosa (-), bilirubin (-), urobilinogen (+).

Kesan : dalam batas normal

Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi Sputum (14 September 2018)

Dalam batas normal

Hasil pemeriksaan Feses (20 September 2018)

Makroskopis : warna cokelat, konsistensi lunak, darah (-), lendir (-).

57
Mikroskopis : leukosit 0-1/LPB, eritrosit 0-1/LPB, Amuba (-), Ascaris lumricoides

(-), Ancylostoma duodenale (-), Oxyuris vernicularis (-), Trichuris

trichura (-).

Kesan dalam batas normal

Hasil Pemeriksaan Foto Thorax (14 September 2018)

Cor membesar (CTR 72,7%). Hillus melebar dengan cranialisasi vaskular.

Infiltrat (+) di paracardial kanan dan kiri. Sinus dan diafragma baik. Tulang dan

jaringan lunak dinding dada baik.

Kesan : Cardiomegali dengan bendungan paru dan BP

Hasil Pemeriksaan Tes Bronkodilator (17 September 2018)

58
Kesan: Obstruksi sedang

Tes bronkodilator (+)

Hasil Pemeriksaan Ekokardiografi (14 September 2018)

59
Kesan : Fraksi Ejeksi 48%.

V. Diagnosis Kerja

 Congestive Heart Failure Fc II LVH RVH irama sinus ec HHD

 PPOK eksaserbasi akut (dalam perbaikan)

 Old miocard infark

 Bronkopneumonia (CAP)

 Anemia ringan

 Dislipidemia

VI. Diagnosis Banding

60
 TB paru

VII. Terapi

 Istirahat

 Oksigen nasal kanul 2-4L

 IVFD NaCl 0,9% 24 jam/kolf

 Furosemid 1x20 mg

 Candesartan 1x8 mg

 Amlodipin 1x10 mg

 KSR 2x600 mg

 Ceftriaxon 2x1 gram

 Azitromicin 1x500 mg

 Injeksi Flumucyl 3x 1 gram

 Nobu farbivent / 8 jam

 Simvastatin 1x40 mg

 Paracetamol (bila demam ) 3x500 mg

 Balance cairan

VIII. Rencana tindakan

Pemeriksaan Gene expert

IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

Quo ad functionam : dubia ad malam

61
BAB IV

DISKUSI

Seorang laki-laki berusia 61 tahun dirawat di bangsal pria bagian Penyakit Dalam

RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 13 September 2018 dan saat ini merupakan hari

rawatan ke 8. Pasien rujukan dari RSUD Muaro Labuah datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil

dengan keluhan utama sesak nafas yang semakin meningkat sejak 1 hari yang lalu. Sesak

napas dapat terjadi karena jaringan dalam tubuh tidak mendapatkan suplai oksigen adekuat.

Penyebab sesak napas dapat terjadi akibat gangguan pada sistem sirkulasi, respirasi, atau

gangguan metabolik.

Pasien yang datang dengan keluhan sesak nafas harus dibedakan akibat jantung atau

paru. Sesak yang dialami pasien berbunyi menciut, tidak dipengaruhi makanan dan cuaca.

Suara menciut dapat terjadi apabila terdapat penyempitan saluran napas.

Sesak semakin meningkat saat beraktivitas dan berkurang dengan beristirahat. Sesak

nafas yang disebabkan oleh jantung biasanya dipengaruhi oleh aktifitas. Pasien menyatakan

sering mengalami keluhan sesak nafas dan cepat letih, apabila pasien berjalan lebih dari 200

m atau mengangkat beban yang berat. Pasien membutuhkan beberapa istirahat biasanya

sekitar 15 menit sebelum melanjutkan aktivitasnya. Pasien juga menyatakan tidur dengan

minimal 2 bantal dan sesak apabila berbaring. Riwayat terbangun pada malam hari oleh

karena sesak nafas mendadak juga diakui oleh pasien. Sedangkan sembab pada kedua tungkai

disangkal oleh pasien. Keluhan nyeri dada serta dada terasa berdebar tidak ada. Sembab pada

kedua tungkai tidak ada. Berdasarkan anamnesis, sesak pada pasien tersebut mungkin

diakibatkan adanya gagal jantung akut.

Pasien mengeluhkan batuk berdahak sejak 3 bulan yang lalu ,berwarna putih, batuk

berdarah tidak ada. Batuk disebabkan karena stimulasi inflamasi (misalnya infeksi saluran
napas seperti bronchitis, pneumonia), stimulasi mekanik (misalnya inhalasi partikel),

stimulasi kimia (misalnya inhalasi uap iritan), dan stimulasi termal (misalnya inhalasi udara

yang dingin). Batuk pada pasien tidak disebabkan oleh stimulasi mekanik, kimia maupun

termal, sehingga kemungkinan disebabkan oleh inflamasi disaluran napas. 2

Demam hilang timbul sejak 1 minggu yang lalu, tinggi, tidak disertai keringat banyak,
dan tidak menggigil. Disebabkan karena adanya infeksi mikroorganisme pada pasein yang
ditandai dengan adanya peningkatan jumlah leukosit.
Pasien memiliki riwayat kebiasaan merokok selama 50 tahun, ± 12 batang per hari.

Zat-zat yang terkandung dalam rokok dapat menyebabkan banyak kerusakan, salah satunya

merusak endotel vaskular, sehingga akan memudahkan terbentuknya plak di pembuluh darah

yang mengakibatkan tersumbatnya pembuluh darah tersebut. Ini merupakan salah satu faktor

dari penyakit jantung koroner dan penyebab terjadinya PPOK.

Pasien juga menyatakan memiliki riwayat hipertensi, namun pasien tidak pernah

melakukan kontrol. Pasien pernah dirawat di RSUD Muaro Labuah sebanyak dua kali, pada

bulan Juni dan Agustus dengan keluhan sesak napas dan mendapatkan obat Simbicort 2x1

dan Spiriva 1x1. Berdasarkan anamnesa, pasien juga memiliki riwayat infark miokard lama

dan PPOK.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan peningkatan tekanan vena jugularis, 5 + 3

cmH2O. peningkatan tekanan vena jugularis disebabkan oleh kongesti vena sistemik akibat

penurunan kemampuan pompa ventrikel kanan.

Pada pemeriksaan jantung dari palpasi didapatkan iktus kordis teraba, kuat angkat,

setinggi RIC VI, 1 jari lateral dari linea midclavicula sinistra dan perkusi didapatkan batas

jantung kiri 2 jari lateral dari linea mid klavikula sinistra RIC VI yang menandakan

kemungkinan adanya pembesaran pada jantung (kardiomegali). Ini merupakan tanda mayor

dari gagal jantung.28 Pada orang dengan jantung normal batas jantung kiri tidak lebih dari sela
iga kelima dan tidak lebih dari 10,5 cm dari tengah sternum. Pada auskultasi irama jantung

regular dan tidak terdapat bising.

Pada ektremitas ditemukan edem pada kedua tungkai. Edem pada pasien ini terjadi

karena kongesti vena sistemik akibat peningkatan tekanan pada atrium kanan yang

menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik vena. Edem perifer biasanya terjadi pada saat

terdapat gagal jantung kanan. Edema lebih tampak pada tungkai bawah karena efek gravitasi,

terutama bila pasien banyak berdiri dan biasanya membaik pada pagi hari karena pasien

berbaring semalaman.9

Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan kesan anemia ringan, leukositosis, kalium

menurun, klorida meningkat, total protein menurun, SGOT dan SGPT meningkat,

dislipidemia, asam urat meningkat, eosinofilia. Adanya dislipidemia dapat menyebabkan

menyebabkan pembentukan plak yang dapat menyumbat pembuluh darah. Hasil pemeriksaan

urinalisa dan feses didapatkan hasil dalam batas normal.

Berdasarkan pemeriksaan EKG didapatkan irama sinus, QRS rate 91 x/menit, axis

normal, P wave normal, PR interval 0,9 detik, QRS duration 0,08 detik, Q patologis di lead

II,III,AVF, ST-T change (-), T inverted (-), LVH (-), RVH (-). Pemeriksaan ini menandakan

telah terjadinya infark miokard lama di inferior.

Pada pemeriksaan rontgen toraks didapatkan kardiomegali. Pembesaran jantung

merupakan suatu kompensasi karena peningkatan kontraksi otot-otot jantung untuk

mencukupi aliran darah ke seluruh tubuh. Dari hasil ekokardiografi didapatkan ejection

fraction (EF) adalah 48%, hal ini berarti kemampuan pompa ventrikel kiri masih baik atau

sedikit terganggu.. Normalnya EF ≥ 45%.Pada tes bronkodilator dinyatakan positif dengan

adanya obtruksi sedang.

Mekanisme timbulnya sesak nafas disebabkan adanya gagal jantung, hal ini

didasarkan pada ketidakmampuan jantung untuk mempompakan darah ke seluruh tubuh


sehingga kebutuhan metabolisme tubuh tidak terpenuhi. Ketidakmampuan jantung untuk

memompakan darah dapat disebabkan oleh gangguan kontraktilitas ventrikel, peningkatan

afterload, serta gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel. Gangguan tersebut menyebabkan

menurunnya cardiac output jantung. Kompensasi jantung terhadap menurunnya cardiac

output adalah dengan peningkatan volume end-diastolic dan hipertrofi dari ventirkel kiri. Hal

ini dapat meningkatkan tekanan ventrikel kiri sehingga tekanan pada atrium kiri ikut

meningkat. Darah yang ada di vena pulmonalis tidak dapat dialirakan dengan sempurna ke

dalam atrium kiri akibat peningkatan tekanan sehingga terjadi penumpukan carian dan

peninggian tekanan di vena pulmonalis yang pada akhirnya terjadi penumpukan cairan di

alveolus. Penumpukan cairan di alveolus menyebabkan terganggunya difusi oksigen kedalam

darah sehingga timbulah sesak nafas sebagai kompensasi tubuh untuk meningkatkan masukan

oksigen.12

Gagal jantung merupakan kumpulan tanda dan gejala yang kompleks dimana

seseorang harus memiliki tampilan berupa gejala gagal jantung (seperti sesak nafas yang

tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas, cepat lelah, dan edem tungkai), tanda

retensi cairan (kongesti paru, rhonki, dan edema pergelangan kaki) dan bukti objektif dari

gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat (kardiomegali, S3 gallop, murmur

jantung, abnormalitas ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptide neuretik). 14 Manifestasi

klinis utama dari gagal jantung ialah sesak nafas, mudah capek yang mengakibatkan toleransi

aktivitas berkurang, serta retensi air yang dapat memicu edema paru dan edema perifer.

Namun demikian, keluhan dan gejala bisa berbda pada setiap individu, ada sesak nafas,

belum tentu ada edema perifer dan sebagainya.10

Kriteria Framingham dapat dipakai untuk memudahkan menegakkan diagnosa gagal

jantung. Berdasarkan kriteria Framingham, diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan

adanya 2 tanda mayor atau 1 tanda mayor dan 2 tanda minor. 29 Kriteria mayor pada pasien ini
ialah peningkatan vena jugularis, ronki paru, dan kardiomegali dan terdapat kriteria minor

berupa edema pada tungkai, orthopnu. Maka dari itu diagnosa gagal jantung dapat ditegakkan

pada pasien ini. Berdasarkan New York Heart Assotiation (NYHA) pasien digolongkan

kedalam CHF Fc II (karena keluhan sesak nafas yang dirasakan pasien muncul saat aktifitas

sehari-hari dan terdapat sedikit pembatasan dalam aktivitas) ec Hipertensi Heart Disease

(HHD), bronkopneumonia (Community Acquired Pneumonia).

Pada pasien diberikan terapi berupa anjuran untuk istirahat total, untuk mengurangi

sesaknya. Selama perawatan pasien diberikan Oksigen 3L/menit dan diberikan IVFD NaCl

0,9% 24 jam/kolf untuk maintanance cairan, balance cairan sangat diperhatikan agar tidak

terjadi overload cairan pada pasien ini. Furosemid 1x20 mg untuk mencapai status euvolemia.

Preparat Kalium ditambahan untuk mencegah efeksamping furosemid. efek samping

Candesartan 1x4 mg diberikan untuk menghambat reseptor angiotensin II. Untuk

menurunkan tekanan darah diberikan Amlodipin 1 x 10 mg. Flumucyl diberikan sebagai

mukolitik dan antioksidan. Nebu farbivent untuk mengatasi sesak. Untuk penyakit infeksi

paru diberikan injeksi Azitromicin 1 x 500 mg dan Ceftriakson 2 x 1 gr. Pada pasien juga

diberikan Simvastatin 1 x 40 mg untuk menurunkan kolesterol. Jika pasien demam diberikan

Paracetamol 3 x 500 mg untuk menurunkan demam.

Prognosa pasien ialah dubia ad malam oleh karena keberhasilan terapi dipengaruhi

oleh kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat dan mematuhi nasihat yang diberikan oleh

dokter terhadap kondisi klinis.10


DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association. Heart Disease and Stroke Statistic Update. Dallas:

American Heart Association; 2003.


2. Sudoyo, Aru. W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Ed. 5. Jakarta Pusat

:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia; 2007.
3. Leonard, S. Lilly . Patophysiology of the heart : a collaborative project of medical

students and faculty. 5th Ed. New York: Lippicont Williams &Wikkins, a WolterKhower

Business; 2011.
4. Fox KF, Cowle MR, Wood DA et.al. Coronary artery disease as the cause incident heart

failure in the population. Eur Heart J;2001:(22):228-36.


5. Price SA, Wilson ML. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Ed.6. Jakarta

: ECG; 2005.
6. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global Strategy for The

Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

Barcelona: Medical Communications Resources; 2009. Available from:

http://www.goldcopd.org
7. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid II. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing;2009.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga;2001.
9. PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia). Pedoman

Tatalaksana Gagal Jantung; 2015.


10. Manurung D, Muhadi. Gagal Jantung Akut dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi

VI. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia; 2014.p.1136-1147.


11. Houn HG, et al. Lecture Note Kardiologi. Jakarta: Erlangga; 2005.p.80-97.
12. Lily, LS.Pathophsiology of heart disease: a collaborative project of medical student and

faculty. Lippincott Williams & willkin; 2011.


13. Schoenstadt Arthur, 2008. Penyebab Gagal Jantung Kronis. Emedicine WebMed ;2008.
14. Rilantono L. PenyakitKardiovaskuler. Edisi I. Jakarta:BadanPenerbit FKUI; 2016.

p.269-276.
15. Wardhani DP, Eka AP, Anna U . Gagal jantung: Dalam Chris T, Frans L, Sonia H, Eka

AP. Kapita Selekta Kedokteran Essential of Medicine. Media Aesculapius; 2014. p: 811-

813.
16. Marulam M.Panggabean, 2007. Gagal jantung. Dalam:Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

PDUI, Jilid 2. 2007:(342):1514.


17. Siswanto BB, Gagal jantung, dalam : Rilantono LL. Penyakit kardiovaskular . Jakarta:

Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012


18. Mana DL dkk, Heart Failure and Cor Pulmonal Dalam : Longo Dl dkk: penyunting

Harrison’s principles of internal medicine. Edisi ke 18. New york: Mc Graw-hill; 2012.
19. Setiyanto, H., Yunus, F., Soepandi, P.Z., Wiyono, W.H., Hartono, S., dan Karuniawati,

A. Pola dan Sensitivitas Kuman PPOK Eksaserbasi Akut yang Mendapat Pengobatan

Echinacea Purpurea dan Antibiotik Siprofloksasin. Dalam: Wiyono, W.H. (eds). Jurnal

Respirologi Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2008; 28(3):107-

125.
20. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2001. Survei

Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), 2002.


21. Shinta, dan Wara, D. Studi Penggunaan Antibiotik pada Eksaserbasi Akut Penyakit Paru

Obstruktif Kronik: Studi pada Pasien IRNA Medik di Ruang Paru Laki dan Paru Wanita

RSU dr. Soetomo Surabaya. Surabay: Universitas Airlangga; 2007.


22. Helmersen, D., Ford, G., Bryan, S., Jone, A., and Little, C. Risk Factors. In: Bourbeau,

J., ed. Comprehensive Management of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

London: BC Decker Inc, 2002; 33-44.


23. Suradi. Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Tinjauan

Patogenesis, Klinis dan Sosial. Pidato Guru Besar, Fakultas Kedokteran Universitas

Sebelas Maret Surakarta; 2009. Available from :

http://www.uns.ac.id/2009/penelitian.php?act=det&idA=263.
24. Sherwood, L. Sistem Pernapasan. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem.Edisi 2. Jakarta:

EGC; 2001.p.410-460.
25. Kamangar, N. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. EMedicine.com; 2010.

Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/297664-overview.


26. Chojnowski, D. “GOLD” Standards for Acute Exacerbation in COPD. The Nurse

Practitioner. EBSCO Publishing, 2003;28 (5): 26-36.


27. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), Pedoman

Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia; 2003.


28. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012.

European Heart Journal; 2012:(33):1787–1847.


29. Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, McMurray JJ, Ponikowski P, Poole-Wilson

PA, et al. ESC guidelines forthe diagnosis and treatment of acute and chronic heart

failure 2008: the TaskForce for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart

failure 2008of the European Society of Cardiology. Developed in collaboration withthe

Heart Failure Association of the ESC (HFA) and endorsed by theEuropean Society of

Intensive Care Medicine (ESICM). Eur J Heart Fail; 2008:(10):933–989.

Anda mungkin juga menyukai