DAFTAR ISI……………………………………………………………………………. 1
DAFTAR TABEL………………………………………………………………………. 2
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………… 3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………….
2.1 CHF………………………………………………………………………………… 6
2.2 PPOK……………………………………………………………………………… 28
BAB III LAPORAN KASUS………………………………………………………… 54
BAB IV DISKUSI………………………………………………………………………. 67
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………. 72
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung……… 19
Tabel 2.2 Dosis obat yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung………… 20
Tabel 2.3 Dosis obat ARB…………………………………………………………… 22
1
Tabel 2.4 Skala sesak menurut Britisch MRC…………………………………….. 33
Tabel 2.5 Klasifikasi PPOK…………………………………………………………. 36
Tabel 2.6 Perbedaan Klinis dan hasil pemeriksaan sprorometri pada PPOK,
DAFTAR GAMBAR
2
BAB I
PENDAHULUAN
hidup. Seorang pasien yang menderita gagal jantung biasanya sering kembali datang ke
rumah sakit karena kekambuhan yang tinggi dan peningkatan angka kematian yang tinggi
pada penyakit ini. Sekitar 45% pasien gagal jantung akut akan dirawat ulang paling tidak satu
kali, 15% paling tidak dua kali dalam dua belas bulan pertama.1
Estimasi risiko kematian dan perawatan ulang antara 60 hari berkisar 30-60%,
tergantung dari studi populasi.1 Gagal jantung merupakan penyebab paling banyak perawatan
3
di rumah sakit pada populasi Medicare di Amerika Serikat, sedangkan di Eropa dari data-data
Scottish memperlihatkan peningkatan dari perawatan gagal jantung, apakah sebagai serangan
pertama atau sebagai gejala utama atau sebagai gejala ikutan dengan gagal jantung.
Peningkatan ini sangat erat hubungannya dengan semakin bertambahnya usia seseorang.1,2
Penyebab dari gagal jantung adalah seluruh spektrum kerusakan pada jantung baik
secara struktural maupun fungsional yang tidak tertangani dengan baik yang dalam waktu
tertentu akan bermanifestasi sebagai gagal jantung pada saat jantung tidak mampu lagi
berupa kelainan mekanik, kelainan miokardium, maupun kelainan irama jantung. Penyakit
jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60-70% pasien terutama pada
pasien usia lanjut, sedangkan pada usia muda, gagal jantung akut diakibatkan oleh
kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital atau valvular dan miokarditis.2,4
Gagal jantung akut maupun gagal jantung kronik sering merupakan kombinasi
kelainan jantung dan organ sistem lain terutama penyakit metabolik. 2,4 Boleh dikatakan bahwa
gagal jantung adalah bentuk terparah atau fase terminal dari setiap penyakit jantung. 3 Oleh
sebab itu, gagal jantung di satu sisi akan dapat dengan mudah dipahami sebagai suatu
sindrom klinis, namun di sisi lain gagal jantung merupakan suatu kondisi dengan
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan
karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel
Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka
1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun
2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit
4
jantung, kanker dan penyakit serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untul penyakit ini
Refrat ini membahas mengenai Congestive Heart Failure (CHF) dan PPOK
Eksaserbasi akut yang pembahasannya kami batasi mengenai definisi, epidemiologi, factor
Penulisan refrat ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan tentang
Penulisan refrat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu pada
berbagai literatur.
BAB 2
TNJAUAN PUSTAKA
yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai/tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti
Gagal jantung merupakan kumpulan gejala klinis pasien dengan tampilan seperti :
5
Gejala khas gagal jantung : Sesak nafas saat istrahat atau aktifitas, kelelahan, edema tungkai
dan
Tanda khas Gagal Jantung : Takikardia, takipnu, ronki paru, efusi pleura,peningkatan tekanan
dan
Tanda objektif gangguan struktur atau fungsional jantung saat istrahat, kardiomegali, suara
2.1.2 Etiologi
1. Peningkatan afterload pada pasien hipertensi sistemik atau pada pasien hipertensi
pulmonal
2. Peningkatan preload karena volume overload atau retensi air
3. Gagal sirkulasi seperti pada keadaan high output states antara lain pada infeksi,
anemia, tirotoksikosis
Kondisi lain yang dapat menimbulkan gagal jantung akut adalah ketidakpatuhan
minum obat-obat gaga jantung, atau nasehat-nasehat medic, pemakaian obat seperti NSAIDs,
2.1.3 Patofisiologi
Patofisiologi dari gagal jantung dibagi menjadi beberapa bagian yaitu 11:
6
Bagian ventrikel kiri jantung kiri tidak dapat memompa dengan baik sehingga
keadaan tersebut dapat menurunkan aliran dari jantung sebelah kiri keseluruh tubuh.
Akibatnya, darah akan mengalir balik ke dalam vaskuler pulmonal. Pada saat
terjadinya aliran balik darah kembali menuju ventricular pulmonaris, tekanan kapiler
paru akan meningkat (>10 mmHg) melebihi tekanan kapiler osmotik (>25 mmHg).
ventrikel kiri pada gagal jantung apabila dilihat dari kerusakan yang diderita oleh
kedua sisi jantung, misalnya setelah terjadinya infark miokard atau tertundanya
komplikasi yang ditimbulkan akibat adanya progresifitas pada bagian jantung sebelah
kiri. Pada gagal jantung kanan dapat terjadi penumpukan cairan di hati dan seluruh
2. Mekanisme neurohormonal
pada gagal jantung diproduksi dari banyak molekul yang diuraikan oleh
respon dari penurunan curah jantung dan peningkatan aktivasi sistem saraf simpatik.
7
aldosteron. Hormon inilah yang dapat meningkatkan retensi garam dan air di ginjal,
akibatnya cairan didalam tubuh ikut meningkat. Hal inilah yang mendasari timbulnya
4. Kardiak remodeling
sebagai perubahan pada ukuran, bentuk dan fungsi jantung setelah adanya stimulasi
kapasitas pompa jantung seperti iskemia, hipertensi dan yang lainnya. Penurunan kapasitas
awalnya dikompensasi oleh mekanisme neurohumoral, yaitu sistem adrenergik, sistem renin-
angiotensin-aldosteron dan sistem sitokin. Kompensasi awal bertujuan untuk menjaga curah
ventrikel seperti remodeling ventrikel kiri dan dekompensasi jantung. Kadar angiotensin dan
katekolamin akan semakin tinggi, mengakibatkan fibrosis dan apoptosis miokardium yang
bersifat progresif. Pada tahap lebih lanjut, penurunan fungsi ini juga berpengaruh terhadap
aritmia jantung.12
8
Gambar 2.1 Patofisiologi gagal jantung
Manifestasi klinis gagal jantung terdiri atas dispnea dengan tenaga (awal) atau pada
saat istirahat (akhir), orthopnea, paroksismal nokturnal dispnea yaitu serangan sesak napas
berat dan batuk pada malam hari, biasanya membangunkan pasien, respirasi Cheyne-Stokes,
kelelahan dan kelemahan, gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, sakit perut dan
kepenuhan, serta nyeri kuadran kanan atas. Adapun gejala lain yang muncul yaitu nokturia
dan gejala serebral yaitu status mental berubah karena perfusi serebral berkurang seperti
9
3. Acute on Chronic Heart Failure
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai timbulnya sesak napas secara cepat (< 24
jam) akibat kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi sistolik atau diastolic atau irama
jantung, atau kelebihan beban awal (preload), beban akhir (afterload), atau kontraktilitas dan
Gagal jantung menahun didefinisikan sebagai sindrom klinis yang kompleks akibat
kelainan structural atau fungsional yang menganggu kemampuan pompa jantung atau
Pasien gagal jantung akut dapat datang dengan berbagai kondisi klinis, yaitu:
c) Edema paru
Sesak napas hebat, dengan ronki basah kasar di hampir semua lapangan paru,
sistolik < 90 mmHg, produksi urin 0,5 cc/kgbb/jam, laju nadi > 60 x/menit dengan
Pada gagal jantung kronis, derajat penyakit secara klinis fungsional dapat
dikategorikan berdasarkan The New York Heart Association (NYHA) dan American Heart
Association (AHA) yang berfokus pada faktor resiko dan abnormalitas struktur jantung.
10
Berdasarkan American Heart Association klasifikasi dari gagal jantung kongestif
1. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi belum
ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda dan gejala dari
gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal jantung stage A umumnya terjadi pada
2. Stage B
kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala dari gagal
jantung tersebut.
3. Stage C
Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan penyakit structural jantung yang
mendasari.
4. Stage D
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna
Klasifikasi dari gagal jantung berdasarkan The New York Heart Association (NYHA)
1. Kelas I
Tidak ada gejala dalam melakukan aktivitas fisik sehari-hari, seperti berjalan, menaiki
2. Kelas II
11
Gejala ringan (sesak napas ringan dan/ angina) serta terdapat keterbatasan ringan
3. Kelas III
4. Kelas IV
Terdapat keterbatasan aktifitas yang berat, gejala dapat muncul saat istirahat, keluhan
2.1.5 Diagnosis15
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa sesak napas yang
terutama meningkat dengan aktifitas, terbatasnya aktifitas dan hal-hal lain seperti yang
terdapat pada gejala klinis. Tanda output rendah seperti fatigue, lemah, perubahan status
mental, azotemia prerenal. Tanda gagal jantung kiri seperti dispnu, ortopnu, dispnu nokturnal
paroksismal. Tanda gagal jantung kanan seperti edema perifer, rasa tidak nyaman dikuadran
kanan atas,
Gagal jantung akut: hipotensi atau hipertensi, takikardi, diaforesis, sianosis, dingin
- Ronki paru
- Takipnu
- Pernafasan Cheyne-Stokes
12
- Iktus kordis abnormal (difus, menetap, atau bertambah bergantung pada penyebab
- Murmur jantung (karena penyakit katup jantung, distorsi anulus katup mitral, atau
- Peningkatan JVP
- Hepatomegali kongestif
- Asites
- Ikterus
- Edema perifer
Kriteria mayor:
Kriteria minor:
- Edema ekstremitas
- Batuk malam
- Sesak saat aktifitas
- Hepatomegali
- Efusi pleura
- Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
- Takikardi (> 120 kali/menit)
13
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang9,11,15,16
1. Laboratorium Rutin
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah
glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain
↑ Kreatinin, ↓ Na, uji fungsi hati abnormal. Gangguan hematologis atau elektrolit
yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang
belum diterapi.
2. Elektrokardiografi
gagal jantung. Pada gagal jantung interpretasi EKG yang perlu dicari adalah ritme,
LVH serta ada atau tidak infark (riwayat atau sedang berlangsung). Meski tidak
3. Rontgen Thoraks
dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi
penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas.
4. Pemeriksaan biomarker
gagal jantung. Dikatakan gagal jantung bila nilai BNP ≥ 100 pg/mL atau NT-
proBNP≥ 300 pg/mL. Kadar peptide natriuretik meningkat sebagai respon terhadap
14
Pemeriksaan troponin I atau T dilakukan pada penderita gagal jantung jika
gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar
troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi
5. Pemeriksaan ekokardiografi
Ekokardiogram 2-D/ Doppler untuk menilai ukuran dan fungsi ventrikel kiri
serta kondisi katup dan gerakan dinding jantung. Indeks fungsi ventrikel yang paling
dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara
pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi
2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu (fraksi ejeksi >
45 - 50%)
diastolik).6,7,8
15
Gambar 2.2 Skema diagnostik untuk pasien yang dicurigai gagal jantung
2.1.7 Penatalaksanaan9,17,18
Dalam 10-15 tahun terakhir terlihat berbagai perubahan dalam pengobatan gagal
jantung. Pengobatan tidak saja ditujukan dalam memperbaiki keluhan, tetapi juga diupayakan
pencegahan agar tidak terjadi perubahan disfungsi jantung yang asimtomatik menjadi gagal
jantung yang simtomatik. Selain dari pada itu upaya juga ditujukan untuk menurunkan angka
pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi farmakologi
maupun non-farmakologi.
16
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat
badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertimbangan dokter.
c) Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
e) Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di
rumah.
angiotensin II dan aldosteron dengan cara menghambat enzim yang dapat mengubah
angiotensin I menjadi angiotensin II. Termasuk juga dapat mengurangi kejadian remodeling
jantung serta retensi air dan garam. ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACEI kadang-
dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI haya diberikan pada pasien dengan fungsi
17
b) Beta bloker
β-blocker harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik (kecuali
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. β-blocker boleh diberikan pada pasien
yang stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik
i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat). Mekanisme kerja dari β-blocker sendiri yaitu
sehingga efek vasodilatasi tercapai. Beta bloker dapat memperlambat konduksi dari sel
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan
penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien
intoleran ACEI.
d) Diuretik
retensi air dan garam yang dapat menimbulkan edema baik sistemik maupun paru. Diuretik
direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti.Tujuan
dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan
dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari
18
dehidrasi atau resistensi. Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan
tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Tabel 2.1. dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung.
e) Digoksin
positif yang dapat membantu mengembalikan kontraktilitas dan meningkatkan dari kerja
jantung. Digoxin memiliki indeks terapi sempit yang berarti dalam penggunaan dosis rendah
sudah memberikan efek terapi. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian pada penggunaan
digoxin dan diperlukan monitoring ketat bila dikhawatirkan terjadi toksik. Pada pasien gagal
jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel
yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan.
Tabel 2.1. Dosis obat yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung.
19
Candesartan 4/8 (1x/hari) 32 (1x/hari)
ventrikel kiri
b. Tanda penurunan curah jantung (cold atau warm)
- Profil A menunjukkan hemodinamik normal. Gejala kardiopulmonal dapat
muncul akibat kelainan parenkim paru atau iskemia miokard yang bersifat
transien
- Profil B dan C menggambarkan edema paru akut. Profil B membutuhkan
diuretik dan atau vasodilator, sedangkan profil C membutuhkan diuretik dan atau
20
- Profil L menunjukkan kondisi deplesi cairan berat atau fungsi jantung yang
sangat terbatas tanpa adanya tanda overload cairan, misalnya dilatasi ventrikel
kiri dengan regurgitasi katup mitral. Profil L membutuhkan terpai ekspansi cairan.
2. Terapi jangka panjang
Penanganan gagal jantung sangat bervariasi dan tergantung faktor-faktor yang
penghambat ACE atau ARB bila tidak ada kontraindikasi selain kelainan ginjal
berat.
Tabel 2.2 Dosis Obat ARB
21
b. Semua pasien gagal jantung (baik sistolik maupun diastolik) memerlukan
penyekat beta mulai dari dosis kecil bila tidak ada kontraindikasi
c. Pasien gagal jantung NYHA III-IV yang belum membaik dengan penghambat
ACE/ ARB dan penyekat beta dapat dipertimbangkan penambahan dosis kecil
22
d. Kebanyakan pasien gagal jantung membutuhkan diuretik reguler dosis rendah
e. Pasien dengan EF < 30% atau dengan AF, sebaiknya diberikan antikoagulan untuk
23
g. Obat-obatan yang harus dihindari pada pasien gagal jantung simtomatik NYHA II-
IV:
- Golongan tiazolidinedion (glitazon) karena dapat memperburuk gejala gagal
jantung
- Golongan CCB, kecuali amilodipin dan felodipin karena memiliki efek
inotropik negatif
- OAINS dan penghambat COX-2 sebaiknya dihindari karena menyebabkan
retensi air dan natrium serta memperburuk fungsi ginjal dan gejala gagal
jantung
- Kombinasi ARB (atau renin inhibitor) dengan ACE inhibitor dan antagonis
dan 1 gram pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1,5 liter/ hari pada gagal
menit atau sepeda statis 5 kali/ minggu selama 20 menit dengan beban 70-80
24
25
Gambar 2.4 Penilaian dini pasien dengan kecurigaan gagal jantung
26
2.2 PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan
karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel
2.2.2 Epidemiologi
Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka
1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama
tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah
penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untul
Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma
Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK umumnya
berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia
kurang dari 40 tahun.8 Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS.
Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120
pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat
merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi
sebesar 90,83%. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak
27
ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. 19 Hasil Susenas (Survei Sosial
Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki
merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari
perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah
tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok
pasif. 20
Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun
2006 menunjukkan bahwa dari 46 penderita yang paling banyak adalah penderita pada
kelompok umur lebih dari 60 tahun sebesar 39 penderita (84,8%), dan penderita yang
Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang menyebabkan
terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi
faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi
genetik, hiperesponsif jalan napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah
kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas
juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan
masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat
terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai
merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian.
Tidak semua perokok akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan
faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK.
28
Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang
muda yang bukan perokok.22 Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan
dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama
kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar.
Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi
batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10
bungkus tahun artinya jika seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap
kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang
industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat
kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus
menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan
(outdoor polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok. Polusi dalam
ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan untuk
keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Status sosioekonomi merupakan
faktor risiko untuk terjadinya PPOK, kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang
tidak adekuat pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan
sosioekonomi.22
2.2.4 Patogenesis
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen
untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil
metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi
adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran
29
gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang
sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan
pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran
napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital
(KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari
saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi
dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses
ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.6
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka
ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal
terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian,
apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran
udara kolaps.6
30
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan
jaringan25. Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya
inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi
2.2.5 Diagnosis
penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat
menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat
1. Anamnesis
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya
riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polus i tempat kerja.
lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok
perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif,
atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman
(IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama
31
merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang
b. Gejala klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus
diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi
pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang
hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, sesak napas
merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan
aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang
bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai
kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas sesuai
Tabel 2.5 Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
2. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti tong
(barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seseorang yang bernapas dengan
mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot
32
bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi
vena jugularis dan edema tungkai serta penampilan pink puffer (Gambaran yang khas pada
emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing) atau
blue bloater (Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer). Pada palpasi dapat
ditemukan fremitus melemah, pada perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor dan pada
pemeriksaan auskultasi suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang,
3. Pemeriksaan Penunjang
tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat,
dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <
20% nilai awal dan < 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.14
b. Radiologi (foto toraks)
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi
33
pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan
radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya
kPa (50 mmHg), saat bernafas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya
gagal nafas.
PaO2 < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO 2 > 9,3 kPa (70 mmHg) dan pH < 7,30, member
kesan episode ang mengancam jiwa dan perlu monitor ketat serta penanganan
intensif.7
e. Mikrobiologi sputum 27
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi
34
PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru,
namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik. Perbedaan
klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 2.3 27
Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, asma
2.2.7. Penatalaksanaan 27
Tujuan penatalaksanaan :
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah eksaserbasi berulang
3. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
4. Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
1. Edukasi
35
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit
kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan
aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang
pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat
diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di
rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena
memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan
dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit,
36
b. Pengunaan obat – obatan :
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebulizer)
- Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu
saja)
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
c. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
d. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
e. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
f. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
g. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke
pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya
diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali
pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
37
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long
acting ).
Macam - macam bronkodilator :
Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita. 0
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi
sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
38
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison.
Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid
positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal
250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
Lini I : amoksisilin
makrolid
Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit, dapat dipilih :
Amoksilin dan klavulanat
Sefalosporin generasi II & III injeksi
Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
Aminoglikose per injeksi
39
Kuinolon per injeksi
Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati - hati .
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun
89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen
di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik.
40
Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat
bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan
nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau
pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
Alat bantu pemberian oksigen
Nasal kanul
Sungkup venturi
Sungkup rebreathing
Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas
kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
ventilasi mekanik dengan intubasi
ventilasi mekanik tanpa intubasi
dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah
Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :
Volume control
Pressure control
Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
41
Continous positive airway pressure (CPAP)
NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT / Long Tern
abdominal paradoksal
Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
Frekuensi napas > 25 kali per menit
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas,
abdominal paradoksal
Frekuensi napas > 35 permenit
Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)
Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)
Henti napas
Gangguan kesadaran
Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru,
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai
berikut :
PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
42
Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah . Malnutrisi dapat dievaluasi
dengan :
Penurunan berat badan
Kadar albumin darah
Antropometri
Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi
masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi
akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn
kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal
Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit
oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada
PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya
43
Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
Hipofosfatemi
Hiperkalemi
Hipokalsemi
Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi
dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.
6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program
rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
a. Latihan Fisik
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan fisis
pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk
melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasanakan
pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa
44
dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada
penderita PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot pernapasan,
maka porsi latihan otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah
tinggi dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang
diutamakan.
Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK.
Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada orang
sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya toleransi latihan
efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat. Sesak napas
faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan otot kaki. Pada penderita PPOK berat,
kelelahan kaki mungkin merupakan factor yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot
diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik. Berbaring ditempat
tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan kontrol
kardiovaskuler.
Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :
Di rumah
- Latihan dinamik
- Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda
Rumah sakit
- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe latihan
diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan subyektif dicatat.
Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting daripada hasil pemeriksaan
subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah 6-8 minggu di laboratorium dapat
memberikan informasi yang obyektif tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.
45
- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah adalah
ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walking jogging. Begitu jenis
latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit, yang cukup untuk menaikkan
denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut
jantung 60%-70% maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat.
Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari
walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat berakibat kelainan fatal,
latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan
menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga untuk melatih
ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti.
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas
akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik
ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg,
serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas
dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran
menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
46
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik
ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat
47
BAB 3
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. SB
Umur : 61 tahun
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
II. Anamnesis
September 2018 pukul 19.05 WIB di Bangsal Pria bagian Penyakit dalam RS M
Keluhan utama :
Sesak napas dirasakan sejak 1 minggu yang lalu dan semakin meningkat 1
hari yang lalu. Sesak berbunyi menciut, tidak dipengaruhi cuaca dan makanan.
48
Sesak semakin meningkat saat beraktivitas dan berkurang dengan beristirahat.
Riwayat sesak apabila tidur berbaring ada, riwayat tidur dengan bantal
ditinggikana ada, terbangun oleh sesak napas mendadak saat malam hari tidak
ada.
Batuk sejak 3 bulan yang lalu ,berdahak berwarna putih, batuk berdarah tidak
ada.
Penurunan berat badan telah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu sebesar 5 kg.
Demam hilang timbul sejak 1 minggu yang lalu, tinggi, tidak disertai keringat
Keluhan nyeri dada tidak ada, dada terasa berdebar-debar tidak ada, pusing
Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan.
Juni dan Agustus dengan keluhan sesak napas dan mendapatkan obat
49
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal,
Riwayat merokok (+) selama ± 50 tahun, sebanyak 12 batang per hari. Pasien
Tanda vital
PemeriksaanFisik
Kulit
50
Turgor kulit : baik
Kepala
Mata
51
Konjungtiva : tidak anemis
Visus : baik
Telinga
Lubang : ada
Hidung
Septum : lurus
52
Ingus : tidak ada
Mulut
Faring
Lidah : simetris
Leher
53
Kaku kuduk : tidak ada
Thoraks
Bentuk : normochest
Paru-paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi otot pernafasan tidak
ada.
Kecepatan 20 kali/menit
Auskultasi
Jantung
Palpasi : Iktus kordis teraba, kuat angkat, setinggi RIC VI, 1 jari lateral
Perkusi
54
Kiri : 2 jari lateral dari linea midclavikularis sinistra, RIC VI
Abdomen
Palpasi : Supel, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba,
Perkusi : Timpani
Punggung
Tangan
Parut : ada
55
Kekuatan :
555 555
555 555
Edema : +/+
Gerakan : baik
Refleks
Fisiologis +/+
Patologis -/-
2018)
56
Hasil Pemeriksaan EKG (13 September 2018)
Irama sinus, QRS rate 91 x/menit, axis normal, P wave normal, PR interval
0,9 detik, QRS duration 0,08 detik, Q patologis di lead II,III,AVF, ST-T change (-), T
Mikroskopis : leukosit 0-1 /LPB, eritrosit 0-1/LPB, silinder (-), kristal (-), epitel
gepeng
57
Mikroskopis : leukosit 0-1/LPB, eritrosit 0-1/LPB, Amuba (-), Ascaris lumricoides
trichura (-).
Infiltrat (+) di paracardial kanan dan kiri. Sinus dan diafragma baik. Tulang dan
58
Kesan: Obstruksi sedang
59
Kesan : Fraksi Ejeksi 48%.
V. Diagnosis Kerja
Bronkopneumonia (CAP)
Anemia ringan
Dislipidemia
60
TB paru
VII. Terapi
Istirahat
Furosemid 1x20 mg
Candesartan 1x8 mg
Amlodipin 1x10 mg
KSR 2x600 mg
Azitromicin 1x500 mg
Simvastatin 1x40 mg
Balance cairan
IX. PROGNOSIS
61
BAB IV
DISKUSI
Seorang laki-laki berusia 61 tahun dirawat di bangsal pria bagian Penyakit Dalam
RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 13 September 2018 dan saat ini merupakan hari
rawatan ke 8. Pasien rujukan dari RSUD Muaro Labuah datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil
dengan keluhan utama sesak nafas yang semakin meningkat sejak 1 hari yang lalu. Sesak
napas dapat terjadi karena jaringan dalam tubuh tidak mendapatkan suplai oksigen adekuat.
Penyebab sesak napas dapat terjadi akibat gangguan pada sistem sirkulasi, respirasi, atau
gangguan metabolik.
Pasien yang datang dengan keluhan sesak nafas harus dibedakan akibat jantung atau
paru. Sesak yang dialami pasien berbunyi menciut, tidak dipengaruhi makanan dan cuaca.
Sesak semakin meningkat saat beraktivitas dan berkurang dengan beristirahat. Sesak
nafas yang disebabkan oleh jantung biasanya dipengaruhi oleh aktifitas. Pasien menyatakan
sering mengalami keluhan sesak nafas dan cepat letih, apabila pasien berjalan lebih dari 200
m atau mengangkat beban yang berat. Pasien membutuhkan beberapa istirahat biasanya
sekitar 15 menit sebelum melanjutkan aktivitasnya. Pasien juga menyatakan tidur dengan
minimal 2 bantal dan sesak apabila berbaring. Riwayat terbangun pada malam hari oleh
karena sesak nafas mendadak juga diakui oleh pasien. Sedangkan sembab pada kedua tungkai
disangkal oleh pasien. Keluhan nyeri dada serta dada terasa berdebar tidak ada. Sembab pada
kedua tungkai tidak ada. Berdasarkan anamnesis, sesak pada pasien tersebut mungkin
Pasien mengeluhkan batuk berdahak sejak 3 bulan yang lalu ,berwarna putih, batuk
berdarah tidak ada. Batuk disebabkan karena stimulasi inflamasi (misalnya infeksi saluran
napas seperti bronchitis, pneumonia), stimulasi mekanik (misalnya inhalasi partikel),
stimulasi kimia (misalnya inhalasi uap iritan), dan stimulasi termal (misalnya inhalasi udara
yang dingin). Batuk pada pasien tidak disebabkan oleh stimulasi mekanik, kimia maupun
Demam hilang timbul sejak 1 minggu yang lalu, tinggi, tidak disertai keringat banyak,
dan tidak menggigil. Disebabkan karena adanya infeksi mikroorganisme pada pasein yang
ditandai dengan adanya peningkatan jumlah leukosit.
Pasien memiliki riwayat kebiasaan merokok selama 50 tahun, ± 12 batang per hari.
Zat-zat yang terkandung dalam rokok dapat menyebabkan banyak kerusakan, salah satunya
merusak endotel vaskular, sehingga akan memudahkan terbentuknya plak di pembuluh darah
yang mengakibatkan tersumbatnya pembuluh darah tersebut. Ini merupakan salah satu faktor
Pasien juga menyatakan memiliki riwayat hipertensi, namun pasien tidak pernah
melakukan kontrol. Pasien pernah dirawat di RSUD Muaro Labuah sebanyak dua kali, pada
bulan Juni dan Agustus dengan keluhan sesak napas dan mendapatkan obat Simbicort 2x1
dan Spiriva 1x1. Berdasarkan anamnesa, pasien juga memiliki riwayat infark miokard lama
dan PPOK.
cmH2O. peningkatan tekanan vena jugularis disebabkan oleh kongesti vena sistemik akibat
Pada pemeriksaan jantung dari palpasi didapatkan iktus kordis teraba, kuat angkat,
setinggi RIC VI, 1 jari lateral dari linea midclavicula sinistra dan perkusi didapatkan batas
jantung kiri 2 jari lateral dari linea mid klavikula sinistra RIC VI yang menandakan
kemungkinan adanya pembesaran pada jantung (kardiomegali). Ini merupakan tanda mayor
dari gagal jantung.28 Pada orang dengan jantung normal batas jantung kiri tidak lebih dari sela
iga kelima dan tidak lebih dari 10,5 cm dari tengah sternum. Pada auskultasi irama jantung
Pada ektremitas ditemukan edem pada kedua tungkai. Edem pada pasien ini terjadi
karena kongesti vena sistemik akibat peningkatan tekanan pada atrium kanan yang
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik vena. Edem perifer biasanya terjadi pada saat
terdapat gagal jantung kanan. Edema lebih tampak pada tungkai bawah karena efek gravitasi,
terutama bila pasien banyak berdiri dan biasanya membaik pada pagi hari karena pasien
berbaring semalaman.9
menurun, klorida meningkat, total protein menurun, SGOT dan SGPT meningkat,
menyebabkan pembentukan plak yang dapat menyumbat pembuluh darah. Hasil pemeriksaan
Berdasarkan pemeriksaan EKG didapatkan irama sinus, QRS rate 91 x/menit, axis
normal, P wave normal, PR interval 0,9 detik, QRS duration 0,08 detik, Q patologis di lead
II,III,AVF, ST-T change (-), T inverted (-), LVH (-), RVH (-). Pemeriksaan ini menandakan
mencukupi aliran darah ke seluruh tubuh. Dari hasil ekokardiografi didapatkan ejection
fraction (EF) adalah 48%, hal ini berarti kemampuan pompa ventrikel kiri masih baik atau
Mekanisme timbulnya sesak nafas disebabkan adanya gagal jantung, hal ini
afterload, serta gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel. Gangguan tersebut menyebabkan
output adalah dengan peningkatan volume end-diastolic dan hipertrofi dari ventirkel kiri. Hal
ini dapat meningkatkan tekanan ventrikel kiri sehingga tekanan pada atrium kiri ikut
meningkat. Darah yang ada di vena pulmonalis tidak dapat dialirakan dengan sempurna ke
dalam atrium kiri akibat peningkatan tekanan sehingga terjadi penumpukan carian dan
peninggian tekanan di vena pulmonalis yang pada akhirnya terjadi penumpukan cairan di
darah sehingga timbulah sesak nafas sebagai kompensasi tubuh untuk meningkatkan masukan
oksigen.12
Gagal jantung merupakan kumpulan tanda dan gejala yang kompleks dimana
seseorang harus memiliki tampilan berupa gejala gagal jantung (seperti sesak nafas yang
tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas, cepat lelah, dan edem tungkai), tanda
retensi cairan (kongesti paru, rhonki, dan edema pergelangan kaki) dan bukti objektif dari
gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat (kardiomegali, S3 gallop, murmur
klinis utama dari gagal jantung ialah sesak nafas, mudah capek yang mengakibatkan toleransi
aktivitas berkurang, serta retensi air yang dapat memicu edema paru dan edema perifer.
Namun demikian, keluhan dan gejala bisa berbda pada setiap individu, ada sesak nafas,
adanya 2 tanda mayor atau 1 tanda mayor dan 2 tanda minor. 29 Kriteria mayor pada pasien ini
ialah peningkatan vena jugularis, ronki paru, dan kardiomegali dan terdapat kriteria minor
berupa edema pada tungkai, orthopnu. Maka dari itu diagnosa gagal jantung dapat ditegakkan
pada pasien ini. Berdasarkan New York Heart Assotiation (NYHA) pasien digolongkan
kedalam CHF Fc II (karena keluhan sesak nafas yang dirasakan pasien muncul saat aktifitas
sehari-hari dan terdapat sedikit pembatasan dalam aktivitas) ec Hipertensi Heart Disease
Pada pasien diberikan terapi berupa anjuran untuk istirahat total, untuk mengurangi
sesaknya. Selama perawatan pasien diberikan Oksigen 3L/menit dan diberikan IVFD NaCl
0,9% 24 jam/kolf untuk maintanance cairan, balance cairan sangat diperhatikan agar tidak
terjadi overload cairan pada pasien ini. Furosemid 1x20 mg untuk mencapai status euvolemia.
mukolitik dan antioksidan. Nebu farbivent untuk mengatasi sesak. Untuk penyakit infeksi
paru diberikan injeksi Azitromicin 1 x 500 mg dan Ceftriakson 2 x 1 gr. Pada pasien juga
Prognosa pasien ialah dubia ad malam oleh karena keberhasilan terapi dipengaruhi
oleh kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat dan mematuhi nasihat yang diberikan oleh
1. American Heart Association. Heart Disease and Stroke Statistic Update. Dallas:
Indonesia; 2007.
3. Leonard, S. Lilly . Patophysiology of the heart : a collaborative project of medical
students and faculty. 5th Ed. New York: Lippicont Williams &Wikkins, a WolterKhower
Business; 2011.
4. Fox KF, Cowle MR, Wood DA et.al. Coronary artery disease as the cause incident heart
: ECG; 2005.
6. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global Strategy for The
http://www.goldcopd.org
7. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid II. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing;2009.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga;2001.
9. PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia). Pedoman
p.269-276.
15. Wardhani DP, Eka AP, Anna U . Gagal jantung: Dalam Chris T, Frans L, Sonia H, Eka
AP. Kapita Selekta Kedokteran Essential of Medicine. Media Aesculapius; 2014. p: 811-
813.
16. Marulam M.Panggabean, 2007. Gagal jantung. Dalam:Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Harrison’s principles of internal medicine. Edisi ke 18. New york: Mc Graw-hill; 2012.
19. Setiyanto, H., Yunus, F., Soepandi, P.Z., Wiyono, W.H., Hartono, S., dan Karuniawati,
A. Pola dan Sensitivitas Kuman PPOK Eksaserbasi Akut yang Mendapat Pengobatan
Echinacea Purpurea dan Antibiotik Siprofloksasin. Dalam: Wiyono, W.H. (eds). Jurnal
125.
20. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2001. Survei
Obstruktif Kronik: Studi pada Pasien IRNA Medik di Ruang Paru Laki dan Paru Wanita
Patogenesis, Klinis dan Sosial. Pidato Guru Besar, Fakultas Kedokteran Universitas
http://www.uns.ac.id/2009/penelitian.php?act=det&idA=263.
24. Sherwood, L. Sistem Pernapasan. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem.Edisi 2. Jakarta:
EGC; 2001.p.410-460.
25. Kamangar, N. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. EMedicine.com; 2010.
PA, et al. ESC guidelines forthe diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008: the TaskForce for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
Heart Failure Association of the ESC (HFA) and endorsed by theEuropean Society of