Oleh:
Preseptor:
2018
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.....................................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................4
1.1. Latar Belakang...................................................................................................4
1.2. Tujuan Penulisan................................................................................................4
1.2.1. Tujuan Umum.............................................................................................4
1.2.2. Tujuan Khusus............................................................................................4
1.3. Manfaat Penulisan..............................................................................................5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................6
2.1. Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Anestesi Anak.........................................6
2.1.1. Neurobehavior............................................................................................6
2.1.2. Sistem Kardiovaskular................................................................................6
2.1.3. Sistem Respirasi.........................................................................................9
2.1.4. Sistem Renal.............................................................................................10
2.1.5. Sistem Hepatik.........................................................................................11
2.1.6. Sistem Hematopoietik..............................................................................15
2.1.7. Sistem Imunologi.....................................................................................17
2.1.8. Sistem Neuromuskular.............................................................................17
2.1.9. Traktus Gastrointestinal............................................................................19
2.1.10. Kulit dan Termoregulasi...........................................................................20
2.2. Obat Anestesi...................................................................................................21
2.2.1. Agen Inhalasi............................................................................................21
2.2.2. Agen Intravena.........................................................................................24
2.2.3. Antagonis Benzodiazepin.........................................................................26
2.2.4. Obat Agonis Alpha-2................................................................................26
2.2.5. Neuroleptik...............................................................................................27
2.2.6. Medikasi Opioid.......................................................................................27
2.2.7. Antagonis Opioid.....................................................................................29
2.2.8. Obat Blok Neuromuskular........................................................................30
2.2.9. Antagonis Blok Neuromuskular...............................................................31
2.2.10. NSAID......................................................................................................32
2.3. Teknik dan Prosedur.........................................................................................33
2
2.3.1. Persiapan Praoperatif................................................................................33
2.3.2. Manajemen Anestesi.................................................................................35
2.3.3. Manajemen Pascaoperatif.........................................................................41
BAB 3 KESIMPULAN..................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................43
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
Menambah wawasan, khususnya di bidang ilmu anestesiologi dan
reanimasi pada bedah anak; dan
Proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik senior di Bagian Anestesiologi dan Reanimasi Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Secara anatomis, sistem saraf sudah lengkap saat lahir, tetapi secara
fungsional belum matang dengan mielinasi dan sinaptogenesis berkelanjutan.
Mielinasi biasanya selesai pada usia 7 tahun. Perkembangan mental bayi normal
tergantung dari pematangan Sistem Saraf Pusat (SSP).
6
berkurangnya perfusi ke hati dan ginjal dan mempengaruhi eliminasi yang
bergantung pada aliran darah. Perfusi usus yang berkurang dapat mempengaruhi
penyerapan. Kelebihan cairan dapat meningkatkan volume distribusi obat pada
cairan ekstraseluler, seperti aminoglikosida dan NMBD. Depresi jantung oleh
agen volatil, meskipun lebih jarang daripada halotan, lebih sering terjadi pada
neonatus daripada orang dewasa.5
7
Gambar 2.1 Peningkatan berat berbagai organ dalam persen terhadap usia pada
neonatus
8
setelah operasi jantung. Neonatus memiliki persarafan simpatis yang belum
berkembang dan penyimpanan noradrenalin yang masih rendah. Stimulasi
reseptor α kardiovaskular dapat terjadi pada dosis yang lebih rendah daripada
stimulasi reseptor β karena maturasi reseptor β lebih lambat daripada reseptor α
selama perkembangan sistem adrenergik. Neonatus prematur memiliki jalur
metabolisme dan eliminasi yang belum matang sehingga dapat meningkatkan
konsentrasi dopamin setelah pemberian yang lama. Maturasi farmakokinetik dan
farmakodinamik ini berkontribusi pada penggunaan dopamin pada bayi dan
neonatus, sementara penggunaannya pada dewasa menurun.2
9
parsial jaringan mengalami peningkatan yang lebih lambat sehingga efek anestetik
menjadi tertunda.
Bronkodilator tidak efektif pada neonatus karena otot polos bronkus masih
sedikit sehingga dapat menyebabkan bronkospasme.
10
memetabolisme anestesi eter, aktif di renal. Kehadiran CYP2E1 di renal
menyebabkan degradasi anestesi eter dan melepaskan florida nefrotoksik.2
Imaturitas jalur klirens dapat bermanfaat saat tata laksana apnea pasca-
anestesi pada neonatus prematur. Metilasi-N7 teofilin untuk menghasilkan kafein
berkembang dengan baik pada neonatus, sedangkan demetilasi oksidatif
(CYP1A2) untuk metabolisme kafein masih sedikit. Teofilin efektif dalam tata
laksana apnea paksaoperasi neonatus prematur, sebagian karena merupakan
prodrug kafein, yang efektif dalam mencegah apnea pada kelompok usia ini dan
hanya dapat dibersihkan secara perlahan oleh renal yang belum matur.10
Hepar merupakan salah satu organ penting dalam metabolisme obat. Jalur
klirens hepar secara umum dibagi menjadi dua jenis: reaksi fase I yang
memetabolisme obat melalui oksidasi, reduksi, atau hidrolisis; sementara reaksi
fase II memetabolisme obat melalui reaksi konjugasi, seperti konjugasi
glukuronida, sulfasi, konjugasi, dan asetilasi, ke bentuk yang lebih polar yang
dapat dieliminasi melalui renal. Aktivitas metabolisme obat di hepar muncul pada
usia gestasi 9 - 22 minggu ketika aktivitas enzim hepar janin bervariasi dari 2 -
36% dari aktivitas dewasa.2
11
memerlukan proses kelahiran tetapi tidak cukup untuk diekspresikan. Aktivitas
CYP2E1 meningkat setelah lahir, CYP2D6 terdeteksi segera setelah lahir,
CYP3A4 dan CYP2C muncul selama minggu pertama, sedangkan CYP1A2
terakhir muncul.14 Neonatus bergantung pada CYP3A4 imatur untuk klirens
levobupivacaine dan CYP1A2 untuk klirens ropivacaine, yang menyebabkan
penurunan konsentrasi epidural pada kelompok usia ini.15
Rute metabolisme obat lainnya, reaksi fase II, melibatkan reaksi sintetis
atau konjugasi yang meningkatkan hidrofilisitas molekul untuk memfasilitasi
eliminasi oleh renal. Enzim fase II terdiri dari difosfoglukoronosiluridin
transferase (UGT), sulfotransferase, N-asetiltransferase, glutasi S-transferase, dan
metil transferase. Salah satu reaksi sintetis yang paling dikenal pada bayi muda
adalah UGT; sistem enzim ini terdiri dari banyak isoform dan dapat menyebabkan
glukuronasi senyawa endogen, seperti bilirubin (UGT1A1). Chloramphenicol juga
dieleminasi oleh rute ini dan kegagalan eliminasi karena imaturitas menyebabkan
bayi mengalami kolaps sirkulasi fatal, suatu kondisi yang dikenal sebagai sindrom
bayi kelabu.
12
enzim utama untuk oksidasi levobupivacaine dan klirens melalui jalur ini lebih
cepat daripada melalui maturasi UGT.2
Beberapa sistem enzim dapat diinduksi sebelum lahir melalui paparan ibu
terhadap obat-obatan, asap rokok, atau agen induksi lainnya. Jalur lain dapat
diinduksi melalui paparan obat setelah lahir, seperti phenobarbital menginduksi
CYP1A2, CYP2C9, CYP2C19, CYP3A4, dan UGT dan dapat diperlambat oleh
hipoksia, kerusakan organ, atau penyakit tertentu.21,22,23 Klirens morfin berkurang
pada neonatus sakit berat yang merupakan membutuhkan oksigenasi membran
ekstrakorporeal, tetapi klirens meningkat drastis beberapa hari setelah oksigenasi
membran ekstrakorporeal dimulai.24
13
selanjutnya setelah lahir terjadi dengan cepat. Metabolit aktif dari tramadol (M1,
tramadol O-desmetil), yang dihasilkan oleh O-demetilasi di hepar (CYP2D6),
digunakan untuk memperkirakan maturasi (Gambar 2.3) dengan menggunakan
skor aktivitas untuk membedakan fenotip metabolik.25
14
bupivacaine yang tidak terikat protein dapat terus meningkat pada beberapa
individu dengan klirens yang sangat rendah. Dosis induksi thiopental lebih rendah
pada neonatus dibandingkan anak. Hal ini disebabkan karena terdapat keterkaitan
antara penurunan pengikatan thiopental ke albumin plasma.2
Volume darah neonatus cukup bulan bergantung pada waktu penjepitan tali
pusat, yang dapat mempengaruhi volume transfusi plasenta. Volume darah 93
ml/Kg ketika penjepitan tali pusat ditunda setelah melahirkan, dan berkurang
menjadi 82 ml/Kg jika penjepitan tali pusat dilakukan langsung setelah
melahirkan. Dalam 4 jam pertama setelah melahirkan, cairan akan berkurang dari
darah dan plasma sebanyak 25%. Semakin besar transfusi plasenta, semakin besar
pula kehilangan cairan dalam beberapa jam pertama setelah lahir yang dapat
menyebabkan hemokonsentrasi. Volume darah pada bayi prematur lebih besar (90
–105 ml/Kg) daripada pada bayi cukup bulan karena peningkatan volume plasma.
15
Aktivitas eritropoietik dari sumsum tulang menurun segera setelah lahir
pada bayi cukup bulan dan prematur. Jumlah retikulosit darah tali pusat sebesar
5% dapat bertahan selama beberapa hari dan menurun hingga di bawah 1%
selama 1 minggu, kemudian diikuti dengan sedikit peningkatan menjadi 1 - 2%
pada minggu ke-12, dan menetap sepanjang masa kanak-kanak. Bayi prematur
memiliki jumlah retikulosit yang lebih besar (hingga 10%) saat lahir. Nilai
retikulosit abnormal menunjukkan haemoragi atau hemolisis.
Setelah bulan ketiga, konsentrasi hemoglobin stabil pada nilai 11,5 - 12,0
g/dL, hingga sekitar usia 2 tahun. Nilai hemoglobin bayi prematur dan prematur
sebanding setelah tahun pertama. Setelah itu, terjadi peningkatan bertahap dalam
konsentrasi hemoglobin ke nilai rata-rata pada pubertas, yaitu 14,0 g/dL untuk
wanita dan 15,5 g/dL untuk pria.
16
2.1.7. Sistem Imunologi
17
neuromuskular yang sama seperti pada anak atau orang dewasa nilainya lebih
sedikit 20 - 50%.2
Onset NMBD pada neonatus lebih cepat daripada anak yang lebih tua dan
dewasa. Onset (waktu hingga efek maksimal) vecuronium 70 mcg/Kg paling
cepat terjadi pada bayi [1,5 (SD 0,6)] menit dibandingkan dengan untuk anak [2,4
(SD 1,4) menit] dan dewasa [2,9 (SD 0,2) menit]. Hal serupa juga dilaporkan pada
NMBD onset menengah dan lama. Onset obat yang lebih cepat pada neonatus
disebabkan karena curah jantung yang lebih besar per kilogram berat badan.2
18
L/Kg), sedangkan waktu paruh eliminasi lebih rendah pada pasien anak. Klirens
menurun seiring pertambahan usia. Rasio Train-of Four (TOF) kembali menjadi
0,7 dalam waktu kurang dari 10 menit ketika blok neuromuskular pancuronium
90% diberikan neostigmine 30 - 40 μg/Kg pada bayi, anak, atau dewasa. Neonatus
memiliki waktu yang paling cepat untuk pulih total setelah neostigmine diberikan.
Waktu untuk rasio TOF 0,7 adalah 4 menit pada neonatus dan bayi, 6 menit pada
anak usia 2 -10 tahun, dan 8 menit pada remaja.2
19
variabilitas bioavailabilitas relatif lebih luas dibandingkan dengan pemberian oral,
menyebabkan pemberian per rektal kurang cocok untuk pemberian berulang.2
Gamabar 2.4 Profil konsentrasi paracetamol pada neonatus dan anak usia 5 tahun
20
asidosis metabolik, gangguan perfusi perifer, peningkatan risiko infeksi, dan
kelainan koagulasi. Penurunan laju metabolisme basal karena hipotermia dapat
mengurangi klirens hampir semua obat. Penggunaan penghangat udara bertekanan
sangat memperbaiki pengaturan suhu selama anestesi. Penggunaan inkubator
termonetral untuk transportasi dan pemanasan ruang operasi hingga 26°C sebelum
operasi pada neonatus juga membantu. Bantalan pemanas di meja operasi
mengurangi kehilangan panas secara konduktif; penggunaan lampu panas di atas
mengurangi kehilangan panas secara radiasi; dan menjaga kulit tetap kering
mengurangi kehilangan panas secara evaporasi. Pemanas dan pelembab gas
inspirasi harus dipertimbangkan ketika menggunakan gas kecepatan tinggi.
Luas permukaan kulit relatif yang lebih besar, peningkatan perfusi kutan,
dan stratum korneum yang lebih tipis pada neonatus meningkatkan paparan
sistemik dari obat topikal seperti kortikosteroid, krim anestetik lokal, dan
antiseptik. Neonatus memiliki kecenderungan untuk membentuk methemoglobin
karena telah terjadi penurunan aktivitas methemoglobin reduktase dan
hemoglobin fetal lebih mudah teroksidasi dibandingkan dengan hemoglobin
dewasa. Kejadian ini dikombinasikan dengan peningkatan absorpsi per kutan
mengakibatkan kewaspadaan dalam menggunakan krim lidokain-prilokain
berulang pada kelompok usia ini. Demikian pula aplikasi kulit antiseptik yodium
juga dapat menghasilkan hipotiroidisme transien.
21
sehingga mengganggu mekanisme distribusi perfusi alveoli. Anestesi inhalasi
meningkatkan aliran darah serebral (CBF) dengan menurunkan resistensi vaskular
serebral pada dewasa, berurutan dari efek terbesar ke kecil: halothane > desflurane
> isoflurane > sevoflurane. Semua anestesi inhalasi mengurangi kebutuhan
NMBD untuk menghasilkan derajat blok standar. Semua anestesi inhalasi dapat
memicu hipertermia malignan (MH) dan harus dihindari pada anak yang berisiko.
2.2.1.2. Sevoflurane
22
oleh florida anorganik yang melepaskan CYP2E1; konsentrasi plasma maksimum
terjadi 2 jam setelah anestesi berakhir. Sevoflurane juga terdegradasi in vitro,
dengan absorben karbon dioksida (Baralyme > soda lime > Amsorb Plus).
Degradasi sevoflurane meningkat seiring dengan penurunan aliran gas segar dan
absorben menjadi kering.
2.2.1.3. Desflurane
Desflurane adalah eter tefluorinasi dengan titik didih 23°C dan λb/g
terkecil, 0,42. Desflurane memiliki bau yang menyengat dan dapat menyebabkan
iritasi saluran napas bagian atas. Napas tertahan dan spasme laring sering terjadi
(~ 50%) sehingga desflurane tidak disarankan untuk induksi inhalasi pada anak.
Desflurane dapat meningkatkan Tekanan Intrakranial (ICP) lebih tinggi dari
isoflurane dan sevoflurane, meskipun efek ini dapat diminimalkan jika
hiperventilasi dilakukan sebelum pemberian. Desflurane dapat mengurangi dosis
relaksan tidak terdepolarisasi dibandingkan dengan TIVA. Desflurane kurang
nyaman digunakan dibandingkan dengan agen lain karena titik didihnya yang
rendah dan membutuhkan alat penguap khusus yang dipanaskan dengan listrik.
2.2.1.4. Isoflurane
Isoflurane adalah anestesi eter etil metil polihalogen. λb/g 1,43 menunjukkan
eliminasi di alveoli lebih lambat dibandingkan dengan sevoflurane. Selama
anestesi dengan isoflurane, tekanan darah dapat menurun meskipun denyut
jantung tidak berubah secara substantif. Sama seperti anestetik inhalasi eter
lainnya, isoflurane dapat menurunkan resistensi vaskular serebral dan
meningkatkan CBF. Isoflurane berpotensi meningkatkan efek obat penghambat
neuromuskular tidak terdepolarisasi daripada sevoflurane atau halothane sehingga
dapat mengurangi dosis obat relaksan yang diperlukan.
2.2.1.5. Halothane
Halotan dianggap sebagai anestesi yang ideal untuk anak, meskipun mulai
jarang digunakan pada anestesi anak sejak diperkenalkannya sevoflurane. Dengan
λb/g 2,3, eliminasi halothane agak lambat dibandingkan dengan sevoflurane.
Halotan dapat menekan respirasi, bergantung dosisnya; ventilasi per menit dapat
23
menurun karena penurunan volume tidal, meskipun laju pernapasan telah
meningkat. Halothane dapat menekan kontraktilitas miokard dan laju jantung,
terutama pada neonatus, yang dapat menyebabkan penurunan curah jantung.
Pemberian atropin dapat mencegah bradikardi sehingga mencegah depresi
miokard pada neonatus. Tekanan darah bayi sangat sensitif terhadap perubahan
curah jantung. Aritmia dan kontraksi ventrikel prematur sering terjadi, terutama
pada ventilasi spontan dengan hiperkarbia atau peningkatan katekolamin endogen.
Halothane merupakan peningkat CBF terbesar dibandingkan anestesi inhalasi lain
sehingga dapat meningkatkan TIK. Halothane dimetabolisme 15-20% pada
dewasa secara in vivo, tetapi berkurang anak.
Keracunan oksigen jarang terjadi, tetapi terdapat dua kelompok anak yang
berisiko terhadap oksigen konsentrasi besar: bayi prematur dan anak yang sedang
diterapi dengan bleomycin dan beberapa agen kemoterapi lainnya.
2.2.1.6.3. Helium
Helium adalah gas mulia yang langka dengan berat molekul (MW) 4. Gas
ini memiliki dua peran dalam anestesi: mengurangi densitas gas selama
penyempitan saluran udara dan sebagai gas pembawa yang tidak mudah terbakar.
Jika anak tiba di OR dengan akses intravena perifer, maka rute ini dapat
digunakan untuk menginduksi anestesi.
24
2.2.2.1. Midazolam
2.2.2.2. Propofol
25
2.2.2.4. Etomidate
Etomidate tidak banyak digunakan pada anak. Dosis induksi tunggal yang
direkomendasikan adalah 0,2 - 0,3 mg/Kg IV.
2.2.2.5. Thiopental
2.2.2.6. Methohexital
2.2.4.1. Clonidine
26
analgesia epidural kaudal sekitar 3 jam tanpa efek samping. Untuk premedikasi
oral, sedasi dengan clonidine 4 μg/Kg memiliki efek serupa dengan midazolam,
meskipun membutuhkan 60 - 90 menit untuk mencapai efek penuh saat baru
diinisiasi.
2.2.4.2. Dexmedetomidine
2.2.5. Neuroleptik
2.2.5.1. Droperidol
Droperidol adalah obat penenang yang kuat yang memiliki potensi sebagai
sedasi dan hipnotik.
2.2.6.1. Morphine
Morfin memberikan efek analgesia dan sedasi yang sangat baik dan tetap
menjadi agen yang paling memuaskan untuk analgesia sistemik pascaoperasi.
Morfin digunakan perioperatif melalui IV, epidural, dan spinal. Dosis inisial
standar morfin pada anak selama pembedahan adalah 0,05 – 0,1 mg/Kg IV dengan
dosis tambahan sesuai indikasi.Neonatus lebih sensitif terhadap efek depresan
ventilasi morfin daripada meperidine.
2.2.6.2. Codeine
27
histamin. Dosis oral atau IM adalah 0,5 - 1,5 mg/Kg. Codeine adalah prodrug
yang harus menjalani O-demetilasi melalui isozim CYP2D6 untuk melepaskan
analgesik aktif, yaitu morfin (5 – 15% dari dosis kodein yang diberikan)
2.2.6.3. Fentanyl
Fentanyl adalah opioid sintetik kuat kerja singkat. Metabolisme pada bayi
bergantung pada usia: neonatus, dan terutama bayi prematur, memetabolisme
fentanyl lebih lambat daripada bayi yang lebih tua. Peningkatan tekanan intra-
abdomen (misalnya, perbaikan omfalokel, obstruksi usus) dapat memperlambat
klirens fentanyl karena berkurangnya aliran darah hepatik. Sebagai agen analgesik
tunggal selama anestesi pada neonatus, diperlukan 15 – 50 μg/Kg untuk mencegah
respon kardiovaskular selama pembedahan. Bayi yang menerima fentanyl dosis
besar dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan efek toleransi dan jumlah
yang besar juga dapat menunjukkan tanda-tanda ketergantungan.
2.2.6.4. Remifentanil
2.2.6.5. Hydromorphone
2.2.6.6. Methadone
28
Opioid rasemik ini semakin banyak digunakan pada bayi dan anak karena
durasi kerjanya yang lama, metabolit yang tidak aktif, dan lipofilisitas. Metadon
parenteral memiliki potensi lima kali lebih kuat daripada morfin; dengan
demikian, 20 μg/Kg metadon memberikan analgesia yang setara dengan 100
µg/Kg morfin.
2.2.6.7. Sufentanil
Sufentanil memiliki efek sepuluh kali lebih kuat daripada fentanyl dan
memiliki watu paruh yang lebih kecil.
2.2.6.8. Alfentanil
Alfentanil memiliki onset yang lebih cepat dan durasi aksi yang lebih
singkat daripada fentanyl dan insiden muntah yang lebih besar daripada opioid
lainnya.
29
2.2.8. Obat Blok Neuromuskular
2.2.8.2.2. Vecuronium
30
Vecuronium (bubuk liofilik) adalah agen blok neuromuskular steroid tidak
terdepolarisasi kerja menengah yang tidak memiliki efek kardiovaskular dan
pelepasan histamin yang telah digantikan oleh rocuroniu secara efektif.
2.2.8.2.3. Atracurium
2.2.8.2.4. Cis-Atracurium
31
2.2.10. NSAID
2.2.10.1. Acetaminophen
2.2.10.2. Ibuprofen
2.2.10.3. Diclofenac
2.2.10.4. Ketorolac
2.2.10.5. Tramadol
32
dosis maksimum 50 mg tiap 3 – 4 jam. Waktu paruh eliminasinya 6–7 jam, lebih
besar daripada analgesik oral lainnya.
Anak dan orang tua harus diberikan penjelasan tentang prosedur operasi
dan kunjungan rawat jalan. Penjelasan memuat informasi tertulis mengenai
operasi, anestesi, dan instruksi puasa praoperasi. Anak membutuhkan puasa yang
sama dengan orang dewasa (6 jam untuk makanan atau cairan suspensi, 2 jam
untuk cairan bening). Bayi dianggap puasa ketika empat jam setelah menyusui
ASI.
Pada anak, imunisasi rutin dilakukan. Sehingga, pada anak yang menjalani
operasi besar, penilaian risiko anestesi harus mencakup risiko efek samping
imunisasi. Pembedahan setelah imunisasi dengan imunisasi inaktif harus ditunda
selama 48 jam untuk menghindari gejala pascaimunisasi karena dapat
menyebabkan misdiagnosis. Pembedahan setelah imunisasi dengan imunisasi
hidup yang dilemahkan tidak perlu ditunda, asalkan anak dinyatakan sehat. Tidak
ada kontraindikasi imunisasi setelah anak sembuh dari operasi.
33
Pemeriksaan fisik, terutama saluran napas diperlukan, salah satunya adalah
menilai gigi susu yang goyang. Pemeriksaan darah dan lainnya dilakukan sesuai
indikasi. Skrining sel sabit harus dilakukan pada kelompok etnis yang berisiko.
Anak harus dirawat di bagian anak dengan dokter dan perawat anak.
Tempat tersebut harus nyaman dan memiliki mainan, buku, video, dan terapis
bermain. Semua anak harus ditimbang dan dihitung IMT-nya. Tekanan darah,
denyut nadi, dan suhu harus dicatat.
Dokter anestesi harus mengunjungi anak dan orang tua sebelum operasi
untuk memastikan (atau melakukan) penilaian praoperasi, mengonfirmasi
instruksi puasa, membahas teknik anestesi dan manajemen nyeri pascaoperasi,
serta memperoleh persetujuan lisan untuk prosedur invasif seperti supositoria dan
blok saraf. Tujuan utama dari kunjungan ini adalah untuk menjalin hubungan
dengan anak dan orang tua, menghilangkan kecemasan, dan meyakinkan keluarga.
Semua komunikasi harus dipahami oleh anak dan orang tua serta semua
pertanyaan harus dijawab dengan jujur dan bijaksana.
Metode induksi (IV / inhalasi) harus didiskusikan serta keinginan anak dan
orang tua dipenuhi jika memungkinkan.
Jika direncanakan induksi IV, preparat analgesik lokal topikal sebaiknya
digunakan pada lokasi pungsi.
Beberapa anak mungkin lebih baik menggunakan premedikasi sedatif oral
(midazolam oral 0,5 mg/KgBB, maksimal 20 mg, 30 - 45 menit sebelum
operasi).
Anak sebaiknya diizinkan untuk memakai pakaian yang disukainya.
Orang tua sebaiknya diajak menemani anak saat induksi anestesi dan peran
mereka saat di ruang anestesi dibahas pada kunjungan praoperasi.
34
Idealnya, operasi elektif harus ditunda 4 - 6 minggu, namun hal ini kurang praktis
karena gejala cenderung kambuh. Jika diputuskan untuk tetap lanjut,
kemungkinan risiko dan komplikasi saluran napas harus didiskusikan dengan
orang tua. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan intubasi dan ventilasi pada
pasien selama anestesi untuk meminimalkan risiko batuk atau spasme laring.
Pemantauan yang cermat dan oksigen diperlukan selama pemulihan. Ketika
terdapat tanda infeksi saluran pernapasan bawah, operasi elektif harus ditunda
selama 4 - 6 minggu untuk memastikan saluran napas kembali normal.
Induksi inhalasi lebih nyaman digunakan pada bayi dan balita dengan
akses vena yang sulit dan ketidakkooperatifan induksi intravena. Induksi inhalasi
bekerja cepat pada pasien yang masih sangat muda karena volume ventilasi yang
relatif besar dan berkaitan dengan kapasitas residual fungsional dan curah jantung
yang relatif tinggi. Sevofluran digunakan karena aromanya tidak terlalu tajam,
cepat diserap dan dieliminasi, serta mengurangi insiden efek kardiovaskular.
Untuk anak yang lebih tua dengan vena yang terlihat, induksi anestesi intravena
dengan tiopental atau propofol bekerja lebih cepat dan menghasilkan lebih sedikit
polusi di ruang operasi.
Masker Laring (LM) adalah metode paling umum dalam manajemen jalan
napas pada anak usia di atas 1 tahun yang menjalani operasi relatif singkat dengan
ventilasi spontan. LM juga dapat digunakan pada beberapa bayi berusia 6 - 12
bulan yang menjalani operasi singkat, tergantung pengalaman dan preferensi
dokter anestesi. Ukuran LM yang sesuai untuk pasien anak dan volume inflasi
maksimumnya dapat dilihat pada Tabel 2.2. Manset dengan inflasi berlebihan
harus dihindari karena dapat menyebabkan trauma pada faring dan laring atau
herniasi pada manset. LM biasanya dimasukkan selama anestesi sedang tanpa
bantuan relaksan otot. LM dapat dibiarkan di tempatnya sampai akhir operasi dan
dikeluarkan oleh perawat ketika anak sudah bangun sepenuhnya.
35
Ukuran Berat Badan (Kg) Volume Inflasi Maksimal (mL)
1,5 5 – 10 7
2,0 10 – 20 10
2,5 20 – 30 15
3,0 30 – 50 20
4,0 >50 30
Berbeda dengan orang dewasa, bayi dan anak diintubasi dengan kepala
dalam posisi netral; mengangkat kepala dan menyanggah leher dengan bantal
tidak dapat meningkatkan pandangan laring. Manuver paling efektif untuk
mengoptimalkan laringoskopi adalah dengan memberikan tekanan eksternal pada
kartilago krikoid untuk mendorong laring agar dapat terlihat.
Pada bayi, laringoskop datar dan Magill bayi yang melewati posterior
epiglotis lebih cocok digunakan daripada laringoskop lengkung karena dapat
mendatarkan lengkungan epiglotis yang berbentuk U dan mengangkatnya ke
depan agar laring dapat terlihat. Pada anak di atas 1 tahun, laringoskop yang
biasanya digunakan adalah Macintosh ukuran sedang yang ujungnya dapat
mencapai valekula.
Selama ini, pipa endotrakeal dengan balon (ETT) tidak digunakan pada
anak-anak prapubertas. Ukuran ETT dikatakan tepat jika dapat melewati cincin
krikoid dengan mudah dan hanya memberikan kebocoran minimal dengan tekanan
inflasi paru-paru hingga 20 cm H2O. Tidak adanya kebocoran pada ETT tanpa
balon menandakan kontak yang terlalu erat antara pipa dengan laring. Hal ini
harus dihindari karena dapat berisiko nekrosis tekanan. Saat ini, terjadi
peningkatan penggunaan ETT mikrobalon pada anak yang belum pubertas. Jenis
yang digunakan adalah ETT dengan balon volume tinggi bertekanan rendah yang
meminimalkan efek tekanan pada mukosa trakea. Bahkan, setelah menghitung
ukuran ETT yang tepat, masih terdapat variasi ukuran antarindividu yang
memerlukan perubahan ukuran ETT. Keuntungan utama ETT dengan balon adalah
meminimalkan instrumentasi laring dengan episode reintubasi yang diperlukan
36
untuk mengubah ukuran ETT. Jika ETT dengan balon digunakan, tekanan balon
harus sering diperiksa.
Ukuran ETT pada bayi dan anak kurang dari 2 tahun harus dihafal.
Neonatus normal dengan berat 3 kg biasanya membutuhkan ETT 3 mm; bayi
prematur dan berat badan lahir rendah mungkin memerlukan ETT 2,5 mm.
Ukuran lain dapat disesuaikan.
Panjang pipa orotrakeal untuk pasien kurang dari 2 tahun harus dihafal.
Panjang untuk neonatus adalah 10 cm, dan untuk usia 1 tahun adalah 12 cm;
panjang tabung lainnya dapat disesuaikan. Posisi pipa pada trakea harus selalu
diperiksa dengan auskultasi paru.
Secara umum, bayi adalah calon pasien yang buruk untuk anestesi dengan
ventilasi spontan karena mekanika paru yang masih belum sempurna. Pada
37
sebagian besar pasien ini, diperlukan kombinasi intubasi trakea diiringi anestesi
dengan relaksan otot dosis penuh, ventilasi terkontrol, anestesi inhalasi
konsentrasi minimal, dan pengurangan dosis opioid. Rejimen ini memberikan
kondisi bedah yang ideal dengan depresi kardiovaskular yang minimal dan
pengembalian refleks laring yang cepat pada akhir anestesi.
Blok saraf pada anak hampir selalu dilakukan setelah anak dibius.
Persetujuan untuk blok harus ditetapkan sebelum operasi saat diskusi dengan
orang tua dan harus diperhatikan dengan cermat untuk memperbaiki blok situs.
Semua blok saraf yang dilakukan pada orang dewasa cocok untuk anak-anak,
dengan pengecualian blok infraklavikular vertikal. Ultrasound telah terbukti
meningkatkan keberhasilan penentuan blok saraf.
38
memungkinkan ventilasi dengan tangan dalam kondisi penurunan fungsi paru atau
obstruksi pernapasan parsial. Kelemahan dari sistem ini adalah penggunaan gas
yang tinggi (3 - 8 L per menit) dan ketidakmampuan untuk megolah gas limbah.
Namun, kelebihan dari T-piece dapat lebih besar daripada kelemahannya ketika
digunakan untuk induksi anestesi dan anestesi dengan durasi yang pendek.
2.3.2.5. Pemantauan
EKG
Tekanan darah noninvasif
Saturasi oksigen
Pernapasan
Berbagai ukuran manset anak harus tersedia untuk mengukur tekanan darah;
manset berukuran tepat mencakup dua pertiga lengan atas. Pengukuran suhu wajib
dilakukan pada bayi dan anak yang berisiko tinggi hipotermia. Alat pemanas
seperti selimut elektrik dan peniup udara hangat harus tersedia untuk mengatasi
kehilangan panas pada pasien anak.
39
carian intraoperatif (misalnya kehilangan cairan ke ruang ketiga dan darah). Pada
sebagian besar anak di atas usia 1 bulan, semua kebutuhan ini harus diberikan di
awal dengan memberikan cairan isotonik seperti larutan garam fisiologis atau
Hartmann. Neonatus dan beberapa pasien berisiko tinggi lainnya harus menerima
cairan pemeliharaan yang mengandung glukosa dan / atau glukosa darah pasien
harus dipantau selama dan sesudah operasi.
40
Begitu anak terjaga, orang tua harus dipanggil ke ruang pemulihan. Dokter
anestesi harus memeriksa bahwa pasien tidak mengalami nyeri serta cairan
pascaoperasi, analgesik, dan antiemetik telah diresepkan sebelum anak
dikembalikan ke bangsal bedah. Kodein tidak digunakan pada anak kurang dari 12
tahun dan pada pasien tonsilektomi dengan OSA. Beberapa tempat tidak
menggunakan kodein untuk semua anak.
41
BAB 3
KESIMPULAN
42
DAFTAR PUSTAKA
43
apnea associated with bronchiolitis and anesthesia. Paediatr Anaesth. 2004;
(14):541–50.
44
Nephrol. 2009;(24):67–76.
45
Comparison of cisatracurium and vecuronium by infusion in neonates and
small infants after congenital heart surgery. Anesthesiology. 2004;
(101):1122–7.
46