Anda di halaman 1dari 46

Clinical Science Session

ANESTESI PADA BEDAH ANAK

Oleh:

M. Alif Qisthi Abi Rafdhi 1740312274

Preseptor:

dr. Boy Suzuki, Sp.An

ILMU ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................4
1.1. Latar Belakang...................................................................................................4
1.2. Tujuan Penulisan................................................................................................4
1.2.1. Tujuan Umum.............................................................................................4
1.2.2. Tujuan Khusus............................................................................................4
1.3. Manfaat Penulisan..............................................................................................5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................6
2.1. Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Anestesi Anak.........................................6
2.1.1. Neurobehavior............................................................................................6
2.1.2. Sistem Kardiovaskular................................................................................6
2.1.3. Sistem Respirasi.........................................................................................9
2.1.4. Sistem Renal.............................................................................................10
2.1.5. Sistem Hepatik.........................................................................................11
2.1.6. Sistem Hematopoietik..............................................................................15
2.1.7. Sistem Imunologi.....................................................................................17
2.1.8. Sistem Neuromuskular.............................................................................17
2.1.9. Traktus Gastrointestinal............................................................................19
2.1.10. Kulit dan Termoregulasi...........................................................................20
2.2. Obat Anestesi...................................................................................................21
2.2.1. Agen Inhalasi............................................................................................21
2.2.2. Agen Intravena.........................................................................................24
2.2.3. Antagonis Benzodiazepin.........................................................................26
2.2.4. Obat Agonis Alpha-2................................................................................26
2.2.5. Neuroleptik...............................................................................................27
2.2.6. Medikasi Opioid.......................................................................................27
2.2.7. Antagonis Opioid.....................................................................................29
2.2.8. Obat Blok Neuromuskular........................................................................30
2.2.9. Antagonis Blok Neuromuskular...............................................................31
2.2.10. NSAID......................................................................................................32
2.3. Teknik dan Prosedur.........................................................................................33

2
2.3.1. Persiapan Praoperatif................................................................................33
2.3.2. Manajemen Anestesi.................................................................................35
2.3.3. Manajemen Pascaoperatif.........................................................................41
BAB 3 KESIMPULAN..................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................43

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penatalaksanaan anestesi pada bedah anak sedikit berbeda bila


dibandingkan dengan dewasa. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
mendasar antara anak dan dewasa, meliputi perbedaan anatomi, fisiologi, respon
farmakologi, dan psikologi, disamping prosedur pembedahan yang berbeda pada
anak. Walaupun terdapat perbedaan yang mendasar, tetapi prinsip utama anestesi
yaitu: kewaspadaan, keamanan, kenyamanan, dan perhatian yang seksama baik
pada anak maupun dewasa adalah sama.1

Beberapa tahapan anestesi bedah anak seperti tahapan evaluasi, persiapan


prabedah, dan tahapan premedikasi-induksi merupakan tahapan yang paling
menentukan keberhasilan dati tindakan anestesi yang akan dilakukan. Berjalannya
setiap tahap dengan baik akan menentukan untuk tahap selanjutnya.1

Adaptasi fisiologis dalam sistem jantung dan pernapasan anak untuk


memenuhi peningkatan permintaan merupakan hal fisiologis yang harus
diperhatikan. Salah satu perbedaan paling penting antara pasien anak dan dewasa
adalah konsumsi oksigen pada bayi dapat melebihi 6 ml/Kg/menit, dua kali lipat
dari orang dewasa. Perbedan-perbedaan inilah yang mengakibatkan tindakan
anestesi pada neonatus dan anak adalah istimewa.1

1.2. Tujuan Penulisan


1.2.1. Tujuan Umum

Mengetahui serta menambah pengetahuan secara umum tentang anestesi


pada bedah anak.

1.2.2. Tujuan Khusus


 Mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologi anak yang berkaitan

dengan farmakologi anestesi


 Mengetahui dan memahami obat yang digunakan pada anestesi anak
 Mengetahui dan memahami teknik dan prosedur anestesi anak
1.3. Manfaat Penulisan

4
 Menambah wawasan, khususnya di bidang ilmu anestesiologi dan
reanimasi pada bedah anak; dan
 Proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik senior di Bagian Anestesiologi dan Reanimasi Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Anestesi Anak


2.1.1. Neurobehavior2

Secara anatomis, sistem saraf sudah lengkap saat lahir, tetapi secara
fungsional belum matang dengan mielinasi dan sinaptogenesis berkelanjutan.
Mielinasi biasanya selesai pada usia 7 tahun. Perkembangan mental bayi normal
tergantung dari pematangan Sistem Saraf Pusat (SSP).

Terdapat perbedaan farmakodinamik pada neonatus dan bayi. Konsentrasi


alveolar minimal (MAC) umumnya digunakan untuk menunjukkan potensi gas
anestetik. MAC untuk hampir semua jenis gas anestetik lebih rendah pada
neonatus dibandingkan bayi. MAC memuncak pada usia 1 – 6 bulan sebelum
menurun ke nilai dewasa pada masa remaja. Penyebab perubahan nilai
berdasarakan usia ini masih belum jelas. Perubahan aliran darah regional dapat
mempengaruhi jumlah obat yang masuk ke otak. Jumlah reseptor GABA atau
perkembangan regulasi transporter klorida di otak dapat berubah seiring
bertambahnya usia, sehingga dapat mengubah respon obat seperti midazolam.

Bayi memiliki kecenderungan untuk terjadi bradikardi selama induksi


dengan halotan. Konsentrasi larutan yang menurun (volume distribusi yang lebih
kecil) dan faktor ukuran (proses fisiologis yang lebih cepat) dapat meningkatkan
kecepatan onset. Peningkatan MAC (perbedaan farmakodinamik) dan curah
jantung yang dominan pada laju jantung dapat menyebabkan overdosis relatif.

2.1.2. Sistem Kardiovaskular

Transisi dari intrauterin ke ekstrauterin berhubungan dengan perubahan


besar dalam aliran darah. Mungkin juga terdapat faktor lingkungan yang dapat
mengekspresikan beberapa aktivitas enzim metabolik sehingga terjadi sedikit
peningkatan pematangan dari prediksi usia gestasi saat lahir.3,4 Terbuka atau
tertutupnya duktus paten dapat memiliki efek pada organ distribusi hingga
metabolisme obat pada bayi prematur. Duktus yang terbuka dapat menyebabkan

6
berkurangnya perfusi ke hati dan ginjal dan mempengaruhi eliminasi yang
bergantung pada aliran darah. Perfusi usus yang berkurang dapat mempengaruhi
penyerapan. Kelebihan cairan dapat meningkatkan volume distribusi obat pada
cairan ekstraseluler, seperti aminoglikosida dan NMBD. Depresi jantung oleh
agen volatil, meskipun lebih jarang daripada halotan, lebih sering terjadi pada
neonatus daripada orang dewasa.5

Fase awal distribusi menunjukkan besarnya aliran darah regional.


Akibatnya, otak, jantung, dan hati, yang menerima fraksi terbesar dari curah
jantung, terpapar pertama kali. Obat-obatan kemudian didistribusikan kembali ke
jaringan lain yang memiliki perfusi relatif baik, seperti otot rangka. Terdapat
distribusi tersier yang lebih lambat ke jaringan tubuh dengan perfusi relatif kurang
sehingga distribusi obat terjadi lebih lama. Perubahan sirkulasi perinatal (duktus
venosus dan duktus arteriosus), perbedaan maturasi massa organ relatif, dan
perbedaan aliran darah regional dapat menyebabkan perbedaan distribusi. Fraksi
aliran darah dari jantung ke ginjal dan otak meningkat seiring bertambahnya usia,
sedangkan ke hati menurun selama periode neonatal. 6 Proporsi massa otak dan
hati terhadap berat badan bayi jauh lebih besar daripada dewasa (Gambar 2.1).7
Onset obat umumnya lebih cepat pada neonatus daripada dewasa karena efek
ukuran, namun rendahnya curah jantung dan perfusi serebral pada neonatus
menandakan bahwa onset yang diharapkan setelah induksi intravena terjadi lebih
lambat. Waktu paruh juga terjadi lebih lama karena redistribusi dari jaringan
dengan perfusi baik ke jaringan dengan perfusi kurang lebih terbatas.2

7
Gambar 2.1 Peningkatan berat berbagai organ dalam persen terhadap usia pada
neonatus

Penyimpanan kalsium jantung di retikulum endoplasma lebih rendah pada


jantung neonatal karena imaturitas. Kadar kalsium eksogen memiliki dampak
yang lebih besar terhadap kontraktilitas pada kelompok usia ini dibandingkan
pada anak yang lebih tua atau dewasa. Pelepasan katekolamin dan respon terhadap
obat vasoaktif bervariasi sesuai usia. Perbedaan farmakodinamik ini berdasarkan
pada perkembangan struktur mikoardium, inervasi jantung, dan fungsi reseptor
adrenergik. Sebagai contoh, miokardium yang belum matang memiliki lebih
sedikit elemen kontraktil sehingga kemampuan kontraktilitas masih rendah.
Terdapat reseptor dopaminergik dalam vaskular paru dan diyakini berkaitan
dengan vasokonstriksi paru pada neonatus prematur. Namun, vasokonstriksi
sistemik memiliki efek yang lebih besar daripada sirukulasi paru sehingga
penggunaan dopamin pada neonatus berkontribusi pada hipertensi pulmonal

8
setelah operasi jantung. Neonatus memiliki persarafan simpatis yang belum
berkembang dan penyimpanan noradrenalin yang masih rendah. Stimulasi
reseptor α kardiovaskular dapat terjadi pada dosis yang lebih rendah daripada
stimulasi reseptor β karena maturasi reseptor β lebih lambat daripada reseptor α
selama perkembangan sistem adrenergik. Neonatus prematur memiliki jalur
metabolisme dan eliminasi yang belum matang sehingga dapat meningkatkan
konsentrasi dopamin setelah pemberian yang lama. Maturasi farmakokinetik dan
farmakodinamik ini berkontribusi pada penggunaan dopamin pada bayi dan
neonatus, sementara penggunaannya pada dewasa menurun.2

2.1.3. Sistem Respirasi2

Distribusi anestesi inhalasi sebagian besar ditentukan oleh ventilasi


alveolar dan kapasitas residu fungsional (FRC). Neonatus memiliki ventilasi
alveolar yang tinggi dan FRC yang lebih kecil dibandingkan dengan dewasa
karena peningkatan kemampuan dinding dada. Akibatnya, absorpsi paru
umumnya lebih cepat pada neonatus. Curah jantung yang lebih tinggi dan fraksi
dari curah jantung lebih banyak didistribusikan ke jaringan kaya vaskular (faktor
klirens) dan jaringan miskin vaskular / kelarutan dalam darah (faktor volume)
berkontribusi pada eliminasi anestesi inhalasi yang lebih cepat pada awal
kehidupan.

Beberapa penyakit dapat berkontribusi pada variabilitas absorpsi inhalasi.


Induksi anestesi dapat melambat karena shunting darah kanan-ke-kiri pada
neonatus yang menderita penyakit jantung bawaan sianotik atau penyakit
intrapulmonar. Perlambatan paling besar terjadi pada anestetik yang susah larut
(nitrogen oksida dan sevoflurane). Shunt kiri-ke-kanan biasanya memiliki efek
minimal pada pengikatan agen anestetik karena peningkatan curah jantung dapat
mempertahankan perfusi jaringan sistemik menjadi normal. Aliran darah vena
campuran yang kembali ke jantung kanan dapat mengikat agen anestesik. Jika
curah jantung tidak meningkat, yang menyebabkan perfusi perifer berkurang,
maka akan terjadi penurunan pengikatan agen anestesik di paru. Meskipun
tekanan parsial anestesi alveolar dapat ditingkatkan dengan cepat, namun tekanan

9
parsial jaringan mengalami peningkatan yang lebih lambat sehingga efek anestetik
menjadi tertunda.

Faktor yang menentukan absorpsi anestesi melalui paru (ventilasi alveolar,


FRC, curah jantung, kelarutan) juga berkontribusi pada kinetika eliminasi.
Eliminasi yang lebih cepat pada neonatus untuk setiap jenis anestesi terjadi karena
rasio ventilasi alveolar terhadap FRC yang besar, fraksi darah yang lebih besar
dari curah jantung ke jaringan kaya vaskular, berkurangnya kelarutan dalam darah
dan jaringan, dan rendahnya distribusi ke jaringan lemak dan otot. Usia yang lebih
muda, seperti neonatus, akan mempercepat eliminasi anestesi yang mudah larut,
seperti halotan, daripada anestesi yang kurang larut, seperti desflurane dan
sevoflurane. Halothane, isoflurane (1,5%), dan sevoflurane (5%), mengalami
metabolisme di hati. Halothane mengalami metabolisme sebanyak 20-25% tetapi
eliminasi halothane oleh hepar sangat kecil.

Bronkodilator tidak efektif pada neonatus karena otot polos bronkus masih
sedikit sehingga dapat menyebabkan bronkospasme.

2.1.4. Sistem Renal

Eliminasi obat di renal dan metabolitnya ditentukan oleh tiga proses:


filtrasi glomerulus, sekresi tubular, dan reabsorpsi tubular. Aminoglikosida secara
khusus dieliminasi dengan Laju FIltrasi Glomerulus (GFR) dan dosis
pemeliharaannya dapat diprediksi dengan usia gestasi karena memprediksi waktu
maturasi renal. Eliminasi Obat Blok Neuromuskular (NMBD), d-tubocurarine,
juga dapat berkorelasi dengan GFR. GFR dan proses sekresi tubular aktif
berkontribusi terhadap eliminasi digoxin, yang nilainya mungkin lebih tinggi dari
yang diharapkan.2

Retardasi pertumbuhan intrauterin dapat dikaitkan dengan berkurangnya


fungsi renal saat lahir sehingga mempengaruhi eliminasi aminoglikosida
(Allegaert et al. 2007a). Beberapa obat seperti Obat Antiinflamasi Nonsteroid
(NSAID) dapat membahayakan klirens ginjal pada awal kehidupan: ibuprofen
mengurangi GFR sebesar 20% pada neonatus prematur, berapapun usia
gestasinya.8,9 Renal juga mampu memetabolisme obat; CYP2E1, yang

10
memetabolisme anestesi eter, aktif di renal. Kehadiran CYP2E1 di renal
menyebabkan degradasi anestesi eter dan melepaskan florida nefrotoksik.2

Imaturitas jalur klirens dapat bermanfaat saat tata laksana apnea pasca-
anestesi pada neonatus prematur. Metilasi-N7 teofilin untuk menghasilkan kafein
berkembang dengan baik pada neonatus, sedangkan demetilasi oksidatif
(CYP1A2) untuk metabolisme kafein masih sedikit. Teofilin efektif dalam tata
laksana apnea paksaoperasi neonatus prematur, sebagian karena merupakan
prodrug kafein, yang efektif dalam mencegah apnea pada kelompok usia ini dan
hanya dapat dibersihkan secara perlahan oleh renal yang belum matur.10

2.1.5. Sistem Hepatik

Hepar merupakan salah satu organ penting dalam metabolisme obat. Jalur
klirens hepar secara umum dibagi menjadi dua jenis: reaksi fase I yang
memetabolisme obat melalui oksidasi, reduksi, atau hidrolisis; sementara reaksi
fase II memetabolisme obat melalui reaksi konjugasi, seperti konjugasi
glukuronida, sulfasi, konjugasi, dan asetilasi, ke bentuk yang lebih polar yang
dapat dieliminasi melalui renal. Aktivitas metabolisme obat di hepar muncul pada
usia gestasi 9 - 22 minggu ketika aktivitas enzim hepar janin bervariasi dari 2 -
36% dari aktivitas dewasa.2

Aktivitas enzim mikrosomal dapat diklasifikasikan menjadi tiga


kelompok: (1) matur saat lahir, tetapi menurun seiring usia (CYP3A7 untuk
klirens metadon pada neonatus;11 (2) matur saat lahir dan menetap hingga dewasa
(esterase plasma yang mengeliminasi remifentanil;12 (3) imatur saat lahir13.
Aktivitas enzim mikrosomal yang terakhir merupakan jalur klirens yang paling
besar.

CYP adalah protein yang mengandung haem yang melakukan banyak


metabolisme obat fase I untuk senyawa lipofilik. Jalur yang lain berkembang pada
kecepatan yang berbeda serta bergantung pada hormon pertumbuhan dan mediator
lainnya. Enzim yang lain berkembang di zona hepar yang berbeda dan maturitas
beberapa komponen dapat memakan waktu berbulan-bulan. Beberapa enzim
tampaknya dipicu oleh proses kelahiran, sementara enzim yang lain tetap

11
memerlukan proses kelahiran tetapi tidak cukup untuk diekspresikan. Aktivitas
CYP2E1 meningkat setelah lahir, CYP2D6 terdeteksi segera setelah lahir,
CYP3A4 dan CYP2C muncul selama minggu pertama, sedangkan CYP1A2
terakhir muncul.14 Neonatus bergantung pada CYP3A4 imatur untuk klirens
levobupivacaine dan CYP1A2 untuk klirens ropivacaine, yang menyebabkan
penurunan konsentrasi epidural pada kelompok usia ini.15

Rute metabolisme obat lainnya, reaksi fase II, melibatkan reaksi sintetis
atau konjugasi yang meningkatkan hidrofilisitas molekul untuk memfasilitasi
eliminasi oleh renal. Enzim fase II terdiri dari difosfoglukoronosiluridin
transferase (UGT), sulfotransferase, N-asetiltransferase, glutasi S-transferase, dan
metil transferase. Salah satu reaksi sintetis yang paling dikenal pada bayi muda
adalah UGT; sistem enzim ini terdiri dari banyak isoform dan dapat menyebabkan
glukuronasi senyawa endogen, seperti bilirubin (UGT1A1). Chloramphenicol juga
dieleminasi oleh rute ini dan kegagalan eliminasi karena imaturitas menyebabkan
bayi mengalami kolaps sirkulasi fatal, suatu kondisi yang dikenal sebagai sindrom
bayi kelabu.

Morphine, paracetamol, dexmedetomidine dan lorazepam juga mengalami


glukuronidasi. Maturasi isoform enzim UGT bervariasi, tetapi secara umum
aktivitas dewasa dicapai pada usia 6 - 18 bulan.16 Beberapa perbedaan tingkat
maturasi disebabkan oleh penggunaan model ukuran per kilogram. Penggunaan
alometer dengan model maturasi telah meningkatkan pemahaman. Waktu maturasi
untuk metabolisme morphine17, paracetamol18, dexmedetomidine19, dan GFR20
sangat mirip (Gambar 2.2) dengan 50% dari nilai dewasa (waktu paruh maturasi,
TM50) dicapai dalam usia 8 - 12 minggu setelah kelahiran cukup bulan. Ketiga
obat tersebut sebagian besar dimetabolimse oleh UGT yang mengubahnya
menjadi metabolit yang larut dalam air dan diekskresikan oleh ginjal, dan tingkat
maturasi mirip dengan GFR. Glukuronidasi adalah jalur metabolisme utama
propofol dan jalur ini imatur pada neonatus, meskipun beberapa CYP isoenzim,
termasuk CYP2B6, CYP2C9 atau CYP2A6 juga berkontribusi terhadap
metabolisme propofol dan menyebabkan maturasi yang lebih cepat dari harapan
dibanding konjugasi glukuronid saja.3 Reaksi fase I (CYP3A4) adalah sistem

12
enzim utama untuk oksidasi levobupivacaine dan klirens melalui jalur ini lebih
cepat daripada melalui maturasi UGT.2

Gambar 2.2 Maturasi klirens dalam presentase dewasa

Beberapa sistem enzim dapat diinduksi sebelum lahir melalui paparan ibu
terhadap obat-obatan, asap rokok, atau agen induksi lainnya. Jalur lain dapat
diinduksi melalui paparan obat setelah lahir, seperti phenobarbital menginduksi
CYP1A2, CYP2C9, CYP2C19, CYP3A4, dan UGT dan dapat diperlambat oleh
hipoksia, kerusakan organ, atau penyakit tertentu.21,22,23 Klirens morfin berkurang
pada neonatus sakit berat yang merupakan membutuhkan oksigenasi membran
ekstrakorporeal, tetapi klirens meningkat drastis beberapa hari setelah oksigenasi
membran ekstrakorporeal dimulai.24

Perubahan nukleotid tunggal atau polimorfisme sekuensi DNA enzim CYP


dapat menyebabkan penurunan atau peningkatan aktivitas metabolik substrat obat
tertentu. Polimorfisme isoenzim CYP2D6 pada beberapa individu menunjukkan
aktivitas metabolisme yang normal atau menurun, sementara pada individu yang
lain dapat meningkat.2

Codeine merupakan prodrug yang mengalami aktivasi metabolik oleh


CYP2D6 O- demetilasi menjadi morfin. Metabolisme yang buruk menyebabkan
efek analgesik dari kodein menjadi sedikit. Neonatus mengalami efek analgesik
minimal dari kodein karena aktivitas CYP2D6 yang rendah saat lahir. Maturasi

13
selanjutnya setelah lahir terjadi dengan cepat. Metabolit aktif dari tramadol (M1,
tramadol O-desmetil), yang dihasilkan oleh O-demetilasi di hepar (CYP2D6),
digunakan untuk memperkirakan maturasi (Gambar 2.3) dengan menggunakan
skor aktivitas untuk membedakan fenotip metabolik.25

Gambar 2.3 Klirens formasi metabolit tramadol M1 (CYP2D6) terhadap usia


gestasi

Asam glikoprotein alpha-1 (AAG) merupakan reaktan fase akut yang


meningkat setelah pembedahan. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi
plasma total pada obat ekstraksi rendah-menengah seperti bupivacaine.
Konsentrasi obat yang tidak terikat protein tidak akan mengalami perubahan
karena klirens obat yang tidak terikat protein hanya dipengaruhi oleh kapasitas
metabolisme hepar intrinsik. Peningkatan konsentrasi obat selama anestesi
epidural jangka panjang lebih disebabkan oleh penurunan klirens daripada
konsentrasi AAG. Konsentrasi bupivacaine total meningkat dalam 24 jam pertama
setelah operasi pada neonatus yang diberikan analgesia dengan infus epidural,
yang disebabkan oleh peningkatan AAG. Karena peningkatan konsentrasi
bupivacaine total dikombinasikan dengan laporan kejang pada bayi yang
diberikan infus bupivacaine epidural, maka direkomendasikan untuk
menghentikan infus epidural dalam 24 jam setelah operasi. Namun, karena
bupivacaine yang tidak terikat protein yang menyebabkan efek tersebut dan
konsentrasi tidak terikat tersebut tidak berubah, maka infus dapat dijalankan lebih
lama.26,27 Klirens adalah parameter utama dan hal ini berkurang pada neonatus.
Namun, terdapatr variasi klirens antarsubjek yang besar sehingga konsentrasi

14
bupivacaine yang tidak terikat protein dapat terus meningkat pada beberapa
individu dengan klirens yang sangat rendah. Dosis induksi thiopental lebih rendah
pada neonatus dibandingkan anak. Hal ini disebabkan karena terdapat keterkaitan
antara penurunan pengikatan thiopental ke albumin plasma.2

Komponen sistem koagulasi matur pada kecepatan yang berbeda dan


perubahan rasio faktor koagulasi darah dapat berkontribusi terhadap perbedaan
respon terapi pada bayi. Metabolisme enzim tergantung-vitamin K yang
berkurang dalam hepar imatur dapat meningkatkan resistensi terhadap terapi
warfarin.28 Respon heparin dapat lebih rendah karena konsentrasi antitrombin III
dalam 3 bulan pertama masih rendah, namun efek ini dapat dinetralkan dengan
peningkatan inhibisi trombin dari konsentrasi makroglobulin-α2-yang lebih tinggi
sehingga perbedaan klinis antara bayi dan anak yang lebih tua dapat diabaikan.2

2.1.6. Sistem Hematopoietik2

Volume darah neonatus cukup bulan bergantung pada waktu penjepitan tali
pusat, yang dapat mempengaruhi volume transfusi plasenta. Volume darah 93
ml/Kg ketika penjepitan tali pusat ditunda setelah melahirkan, dan berkurang
menjadi 82 ml/Kg jika penjepitan tali pusat dilakukan langsung setelah
melahirkan. Dalam 4 jam pertama setelah melahirkan, cairan akan berkurang dari
darah dan plasma sebanyak 25%. Semakin besar transfusi plasenta, semakin besar
pula kehilangan cairan dalam beberapa jam pertama setelah lahir yang dapat
menyebabkan hemokonsentrasi. Volume darah pada bayi prematur lebih besar (90
–105 ml/Kg) daripada pada bayi cukup bulan karena peningkatan volume plasma.

Rentang hemoglobin normal pada neonatus adalah antara 14 - 20 g/dL.


Lokasi pengambilan sampel harus dipertimbangkan ketika untuk mendiagnosis
anemia neonatal atau sindrom hiperviskositas. Pengambilan sampel kapiler
(misalnya pada tumit) umumnya didapatkan konsentrasi hemoglobin yang lebih
tinggi karena stasis di pembuluh perifer menyebabkan hilangnya plasma dan
menghasilkan hemokonsentrasi. Padahal, nilai tersebut lebih besar hingga 6 g/dL
dari nilai sesungguhnya sehingga pengambilan sampel dari vena lebih dianjurkan
daripada di kapiler. Pada 1% bayi, transfusi janin-ibu sebelum tali pusat dipotong
dapat menyebabkan nilai hemoglobin yang lebih rendah dari yang sesungguhnya.

15
Aktivitas eritropoietik dari sumsum tulang menurun segera setelah lahir
pada bayi cukup bulan dan prematur. Jumlah retikulosit darah tali pusat sebesar
5% dapat bertahan selama beberapa hari dan menurun hingga di bawah 1%
selama 1 minggu, kemudian diikuti dengan sedikit peningkatan menjadi 1 - 2%
pada minggu ke-12, dan menetap sepanjang masa kanak-kanak. Bayi prematur
memiliki jumlah retikulosit yang lebih besar (hingga 10%) saat lahir. Nilai
retikulosit abnormal menunjukkan haemoragi atau hemolisis.

Pada bayi cukup bulan, konsentrasi hemoglobin menurun selama minggu


ke 9 - 12 hingga 10 - 11 g/dL (hematokrit 30 - 33%) dan kemudian meningkat.
Penurunan konsentrasi hemoglobin terjadi karena penurunan eritropoiesis dan
masa hidup eritrosit yang singkat. Pada bayi prematur, penurunan konsentrasi
hemoglobin terjadi lebih besar dan secara langsung berkaitan dengan derajat
prematuritas yang tercapai pada minggu yang lebih awal (4 - 8 minggu). Pada
bayi dengan berat 800 – 1000 g, penurunan hemoglobin dapat mencapai
konsentrasi yang sangat rendah, hingga 8 g/dL. Anemia ini merupakan anemia
fisiologis yang timbul akibat penyesuaian fisiologis normal untuk kehidupan
ekstrauterin. Meskipun terjadi penurunan hemoglobin, pengiriman oksigen ke
jaringan tidak terganggu karena pergeseran kurva disosiasi oksigen-hemoglobin
(ke kanan) dan peningkatan 2,3-difosfogliserat. Selain itu, hemoglobin fetal
digantikan dengan hemoglobin dewasa, yang juga menghasilkan pergeseran ke
arah yang sama. Pada neonatus, terutama bayi prematur, penurunan konsentrasi
hemoglobin dapat menyebabkan apnea dan takikardia. Bayi dengan anemia
prematuritas tidak dapat memproduksi eritropoietin yang cukup dan eritropoietin
manusia rekombinan dapat merangsang eritropoiesis dan menurunkan kebutuhan
transfusi.

Setelah bulan ketiga, konsentrasi hemoglobin stabil pada nilai 11,5 - 12,0
g/dL, hingga sekitar usia 2 tahun. Nilai hemoglobin bayi prematur dan prematur
sebanding setelah tahun pertama. Setelah itu, terjadi peningkatan bertahap dalam
konsentrasi hemoglobin ke nilai rata-rata pada pubertas, yaitu 14,0 g/dL untuk
wanita dan 15,5 g/dL untuk pria.

16
2.1.7. Sistem Imunologi

Jumlah leukosit biasanya mencapai 21.000/mm3 dalam 24 jam pertama


kehidupan dan 12.000/mm3 pada akhir minggu pertama, dengan jumlah neutrofil
yang setara dengan jumlah limfosit. Leukosit kemudian menurun secara bertahap,
mencapai nilai dewasa saat pubertas. Saat lahir, granulosit neutrofil mendominasi,
tetapi jumlahnya menurun cepat sehingga selama minggu pertama kehidupan
sampai usia 4 tahun, limfosit adalah sel yang dominan. Setelah tahun keempat,
nilai leukosit mendekati nilai dewasa. Neonatus lebih rentan terhadap infeksi
bakteri karena imaturitas fungsi leukosit. Sepsis berhubungan dengan respon
leukosit yang masih minimal atau karena leukopenia. Kenaikan palsu leukosit
dapat terjadi karena obat seperti adrenalin. Insiden sepsis neonatal berbanding
terbalik dengan usia kehamilan dan mencapai 58% pada bayi berat lahir sangat
rendah.29

2.1.8. Sistem Neuromuskular

Dosis NMBD pada berbagai usia bergantung pada hubungan yang


kompleks antara faktor farmakodinamik dan farmakokinetik. Volume distribusi
menunjukkan perubahan Cairan Ekstraseluler (ECF) dan dapat diperkirakan
dengan menggunakan model kekuatan alometrik 3/4 atau model luas permukaan,
yang keduanya memperkirakan perubahan ECF terhadap berat badan (Anderson
dan Meakin 2002). Hal ini terjadi karena ECF merupakan cairan utama yang
membentuk volume distribusi pada kondisi satbil (Vss). Perubahan volume ini
terjadi pada obat depolarisasi (suxamethonium) dan NMD non-depolarisasi.2

Dosis sesuai usia dibutuhkan untuk mencapai tingkat blok neuromuskular


yang diinginkan. Dosis ED95 vecuronium, misalnya, 47 (SD 11) mcg/Kg pada
neonatus dan bayi, 81 (SD 12) mcg/Kg pada anak usia 3 - 10 tahun, dan 55 (SD
12) mcg/Kg pada pasien usia 13 tahun atau lebih. Hal serupa juga terdapat pada
NMBD lainnya. Peningkatan dosis pada anak dapat menyebabkan peningkatan
massa otot. Dosis yang lebih besar diberikan pada neonatus dengan imaturitas
sambungan neuromuskular karena volume ekstraseluler meningkat, diiringi
dengan durasi blok neuromuskular yang lebih lama karena jalur klirens masih
imatur. Konsentrasi plasma yang diperlukan neonatus untuk mencapai blok

17
neuromuskular yang sama seperti pada anak atau orang dewasa nilainya lebih
sedikit 20 - 50%.2

Onset NMBD pada neonatus lebih cepat daripada anak yang lebih tua dan
dewasa. Onset (waktu hingga efek maksimal) vecuronium 70 mcg/Kg paling
cepat terjadi pada bayi [1,5 (SD 0,6)] menit dibandingkan dengan untuk anak [2,4
(SD 1,4) menit] dan dewasa [2,9 (SD 0,2) menit]. Hal serupa juga dilaporkan pada
NMBD onset menengah dan lama. Onset obat yang lebih cepat pada neonatus
disebabkan karena curah jantung yang lebih besar per kilogram berat badan.2

Suxamethonium merupakan NMBD dengan onset paling cepat. Onset


untuk dosis pelumpuh (1,0 mg/Kg) suxamethonium adalah 35 - 55 detik pada
anak dan remaja. Onset dalam dosis 3 mg/Kg pada neonatus dapat lebih cepat (30
– 40 detik). Onset tergantung pada usia dan dosis; semakin muda anak dan
semakin besar dosisnya, maka semakin pendek onsetnya. Suxamethonium juga
dapat diberikan dalam suntikan intramuskular untuk intubasi pada anak. Dosis 5
mg/Kg mungkin diperlukan untuk memudahkan intubasi. Onset untuk blokade
maksimum terjadi dengan lambat [4 (SD 0,6) menit] dan pemulihan total T1
terjadi 15,6 (SD 0,9) menit setelah injeksi.2

Klirens plasma total NMBD non-depolarisasi yang dieliminasi oleh ginjal


(alcuronium dan d-tubocurarine) atau hepar (pancuronium, rocuronium, dan
vecuronium), atau keduanya, semuanya menurun pada neonatus. Sebaliknya,
klirens atracurium dan cisatracurium tidak tergantung pada renal dan hepar, tetapi
lebih bergantung pada eliminasi Hofmann, hidrolisis ester, dan jalur tidak spesifik
lainnya. Klirens obat tersebut meningkat pada neonatus ketika dinyatakan dalam
kilogram.30,31 Ketika klirens distandarisasi menggunakan skala alometrik
kekuatan-¾, atracurium dan cisatracurium memiliki klirens yang serupa pada
semua kelompok umur. Klirens suxamethonium yang dinyatakan dalam kilogram
juga menurun seiring pertambahan usia. Suxamethonium dihidrolisis oleh
butirilkolinesterase. Klirens remifentanil juga mengalami hal serupa, namun
diklirens oleh esterase plasma.32 Jalur klirens ini matang saat lahir.

Perihal pemulihan blok neuromuskular, volume distribusi neostigmine


serupa pada bayi (2 - 10 bulan), anak-anak (1 - 6 tahun), dan dewasa (Vss 0,5

18
L/Kg), sedangkan waktu paruh eliminasi lebih rendah pada pasien anak. Klirens
menurun seiring pertambahan usia. Rasio Train-of Four (TOF) kembali menjadi
0,7 dalam waktu kurang dari 10 menit ketika blok neuromuskular pancuronium
90% diberikan neostigmine 30 - 40 μg/Kg pada bayi, anak, atau dewasa. Neonatus
memiliki waktu yang paling cepat untuk pulih total setelah neostigmine diberikan.
Waktu untuk rasio TOF 0,7 adalah 4 menit pada neonatus dan bayi, 6 menit pada
anak usia 2 -10 tahun, dan 8 menit pada remaja.2

Sugammadex, obat baru untuk memulihkan efek pemblokiran


neuromuskular dari rocuronium dan pada tingkat lebih rendah, vecuronium,
dengan dosis 2 mg/Kg dapat memulihkan blok neuromuskular moderat
rocuronium yang diinduksi pada bayi, anak, dan remaja. 33 Waktu rata-rata untuk
memulihkan rasio TOF menjadi 0,9 adalah 1,2, 1,1, dan 1,2 menit pada anak,
remaja, dan dewasa.2

2.1.9. Traktus Gastrointestinal

Obat anestesi biasanya diberikan melalui intravena atau inhalasi, namun


premedikasi dan analgesi pascaoperasi biasanya diberikan secara enteral. Absorpsi
per oral lebih lambat pada neonatus dibandingkan pada anak karena pengosongan
lambung yang lambat. Absorpsi dewasa baru akan tercapai saat usia 6 - 8 bulan.
Malformasi kongenital (seperti atresia duodenum), pemberian bersama obat lain
(seperti opioid), atau penyakit tertentu (seperti enterokolitis nekrotikan) dapat
menyebabkan variasi penyerapan. Pengosongan lambung yang lambat dan
penurunan klirens dapat menyebabkan penurunan dosis dan frekuensi pemberian
(Gambar 2.4) Sebagai contoh, rata-rata konsentrasi target paracetamol pada
kondisi stabil lebih dari 10 mg/L dapat dicapai dengan dosis oral 25 mg/Kg/hari
pada neonatus prematur usia kehamilan 30 minggu, 45 mg/Kg/hari pada usia
kehamilan 34 minggu, dan 60 mg/Kg/hari pada usia kehamilan 40 minggu.
Karena pengosongan lambung yang lambat pada neonatus prematur, pemberian
hanya diperlukan dua kali sehari.34 Pemberian per rektal (thiopental dan
methohexital) lebih cepat diabsorpsi pada neonatus untuk pemeriksaan kateter
jantung atau sedasi radiologis. Namun, absorpsi per rektal antarindividu dan

19
variabilitas bioavailabilitas relatif lebih luas dibandingkan dengan pemberian oral,
menyebabkan pemberian per rektal kurang cocok untuk pemberian berulang.2

Gamabar 2.4 Profil konsentrasi paracetamol pada neonatus dan anak usia 5 tahun

Terdapat ekspresi yang bergantung usia pada reseptor motilin intestinal


dan modulasi kontraksi antral pada neonatus. Agen prokinetik tidak terlalu
bermanfaat pada neonatus yang sangat prematur, bermanfaat sebagian pada bayi
prematur, tetapi sangat bermanfaat pada bayi cukup bulan.2

pH intragastrik yang meningkat (> 4) pada neonatus dapat meningkatkan


bioavailabilitas senyawa asam labil (penicillin G) dan menurunkan
bioavailabilitas asam lemah (fenobarbital) ketika diberikan per oral. Usus bayi
lebih permeabel terhadap molekul besar, seperti protein dan obat dengan berat
molekul tinggi, dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Efek dari sistem
gastrointestinal imatur banyak yang tidak spesifik atau tidak diketahui. Konjugasi
imatur dan transpor garam empedu ke dalam lumen usus dapat mempengaruhi
konsentrasi obat lipofilik di darah, sementara perubahan aliran darah splanknikus
dalam beberapa minggu pertama kehidupan dapat mengubah gradien konsentrasi
di mukosa intestinal dan berpengaruh terhadap absorpsi. Peran perubahan
mikroflora usus pada neonatus dan efeknya pada obat, seperti inaktivasi digoxin
masih belum jelas.2

2.1.10. Kulit dan Termoregulasi2

Anestesi umum dapat menekan respon termoregulasi pada anak,


memperlebar rentang suhu tubuh, dan mengurangi respon vasokonstriktor. Panas
juga menghilang dari inti ke jaringan perifer. Hipotermia dapat menyebabkan

20
asidosis metabolik, gangguan perfusi perifer, peningkatan risiko infeksi, dan
kelainan koagulasi. Penurunan laju metabolisme basal karena hipotermia dapat
mengurangi klirens hampir semua obat. Penggunaan penghangat udara bertekanan
sangat memperbaiki pengaturan suhu selama anestesi. Penggunaan inkubator
termonetral untuk transportasi dan pemanasan ruang operasi hingga 26°C sebelum
operasi pada neonatus juga membantu. Bantalan pemanas di meja operasi
mengurangi kehilangan panas secara konduktif; penggunaan lampu panas di atas
mengurangi kehilangan panas secara radiasi; dan menjaga kulit tetap kering
mengurangi kehilangan panas secara evaporasi. Pemanas dan pelembab gas
inspirasi harus dipertimbangkan ketika menggunakan gas kecepatan tinggi.

Luas permukaan kulit relatif yang lebih besar, peningkatan perfusi kutan,
dan stratum korneum yang lebih tipis pada neonatus meningkatkan paparan
sistemik dari obat topikal seperti kortikosteroid, krim anestetik lokal, dan
antiseptik. Neonatus memiliki kecenderungan untuk membentuk methemoglobin
karena telah terjadi penurunan aktivitas methemoglobin reduktase dan
hemoglobin fetal lebih mudah teroksidasi dibandingkan dengan hemoglobin
dewasa. Kejadian ini dikombinasikan dengan peningkatan absorpsi per kutan
mengakibatkan kewaspadaan dalam menggunakan krim lidokain-prilokain
berulang pada kelompok usia ini. Demikian pula aplikasi kulit antiseptik yodium
juga dapat menghasilkan hipotiroidisme transien.

2.2. Obat Anestesi35


2.2.1. Agen Inhalasi

Konsentrasi anestesi inhalasi di alveoli meningkat dengan cepat seiring


bertambahnya usia: bayi > anak > dewasa. Ekskresi agen anestesi inhalasi, diiringi
dengan pemulihan, juga lebih cepat pada bayi dan anak kecil daripada dewasa,
jika ventilasi tidak tertekan. MAC dari anestesi inhalasi meningkat pada bayi
prematur, memuncak pada bayi, dan menurun pada anak dan dewasa (Tabel 2.1);
Namun, sampai saat ini alasannya belum diketahui. Semua anestesi inhalasi
menekan ventilasi pada derajat karena kurva respon CO2. Anestesi inhalasi
menekan miokardium bergantung dosis karena aktivitas penghambat saluran
kalsium. Anestesi inhalasi menghambat vasokonstriksi pulmonal hipoksik

21
sehingga mengganggu mekanisme distribusi perfusi alveoli. Anestesi inhalasi
meningkatkan aliran darah serebral (CBF) dengan menurunkan resistensi vaskular
serebral pada dewasa, berurutan dari efek terbesar ke kecil: halothane > desflurane
> isoflurane > sevoflurane. Semua anestesi inhalasi mengurangi kebutuhan
NMBD untuk menghasilkan derajat blok standar. Semua anestesi inhalasi dapat
memicu hipertermia malignan (MH) dan harus dihindari pada anak yang berisiko.

Tabel 2.1 MAC (%) agen inhalasi

Usia Halothane Isoflurane Sevoflurane Desflurane


Neonatus Tidak tersedia Tidak tersedia Tidak tersedia
1,3 – 1,4
prematur data data data
Neonatus cukup
0,87 1,6 3,3 9,2
bulan
Bayi 1,2 1,8 3,2 9,4
Anak 0,95 1,6 2,5 8,5

2.2.1.1. Nitrogen Oksida (N2O)

N2O umumnya digunakan untuk mempercepat, memfasilitasi induksi, dan


memberikan analgesia / amnesia selama pemeliharaan.

2.2.1.2. Sevoflurane

Dalam dekade terakhir, sevoflurane telah menjadi agen pilihan untuk


induksi inhalasi pada anak. Ventilasi per menit menurun sekitar 50% dengan
sevoflurane 8% karena penurunan volume tidal, meskipun telah terjadi
kompensasi peningkatan laju pernapasan. Sevoflurane menyebabkan depresi
miokard yang lebih rendah daripada halothane, isoflurane, atau desflurane dan
jarang menyebabkan aritmia, bahkan jika pemakainnya dtambah dengan larutan
yang mengandung epinefrin. Sevoflurane memiliki efek yang sama pada CBF dan
konsumsi oksigen seperti isoflurane. Sevoflurane menurunkan kebutuhan dosis
dan memperpanjang efek relaksan tidak terdepolarisasi dibandingkan dengan
TIVA. Aktivitas EEG epileptiform dan gerakan mioklonik jarang dilaporkan
selama anestesi dengan sevoflurane. Pemulihan dari anestesi sevoflurane terjadi
dengan halus dan cepat, meskipun delirium dapat terjadi pada beberapa bayi dan
anak, terutama anak usia prasekolah. Sevoflurane dimetabolisme (5%) in vivo

22
oleh florida anorganik yang melepaskan CYP2E1; konsentrasi plasma maksimum
terjadi 2 jam setelah anestesi berakhir. Sevoflurane juga terdegradasi in vitro,
dengan absorben karbon dioksida (Baralyme > soda lime > Amsorb Plus).
Degradasi sevoflurane meningkat seiring dengan penurunan aliran gas segar dan
absorben menjadi kering.

2.2.1.3. Desflurane

Desflurane adalah eter tefluorinasi dengan titik didih 23°C dan λb/g
terkecil, 0,42. Desflurane memiliki bau yang menyengat dan dapat menyebabkan
iritasi saluran napas bagian atas. Napas tertahan dan spasme laring sering terjadi
(~ 50%) sehingga desflurane tidak disarankan untuk induksi inhalasi pada anak.
Desflurane dapat meningkatkan Tekanan Intrakranial (ICP) lebih tinggi dari
isoflurane dan sevoflurane, meskipun efek ini dapat diminimalkan jika
hiperventilasi dilakukan sebelum pemberian. Desflurane dapat mengurangi dosis
relaksan tidak terdepolarisasi dibandingkan dengan TIVA. Desflurane kurang
nyaman digunakan dibandingkan dengan agen lain karena titik didihnya yang
rendah dan membutuhkan alat penguap khusus yang dipanaskan dengan listrik.

2.2.1.4. Isoflurane

Isoflurane adalah anestesi eter etil metil polihalogen. λb/g 1,43 menunjukkan
eliminasi di alveoli lebih lambat dibandingkan dengan sevoflurane. Selama
anestesi dengan isoflurane, tekanan darah dapat menurun meskipun denyut
jantung tidak berubah secara substantif. Sama seperti anestetik inhalasi eter
lainnya, isoflurane dapat menurunkan resistensi vaskular serebral dan
meningkatkan CBF. Isoflurane berpotensi meningkatkan efek obat penghambat
neuromuskular tidak terdepolarisasi daripada sevoflurane atau halothane sehingga
dapat mengurangi dosis obat relaksan yang diperlukan.

2.2.1.5. Halothane

Halotan dianggap sebagai anestesi yang ideal untuk anak, meskipun mulai
jarang digunakan pada anestesi anak sejak diperkenalkannya sevoflurane. Dengan
λb/g 2,3, eliminasi halothane agak lambat dibandingkan dengan sevoflurane.
Halotan dapat menekan respirasi, bergantung dosisnya; ventilasi per menit dapat

23
menurun karena penurunan volume tidal, meskipun laju pernapasan telah
meningkat. Halothane dapat menekan kontraktilitas miokard dan laju jantung,
terutama pada neonatus, yang dapat menyebabkan penurunan curah jantung.
Pemberian atropin dapat mencegah bradikardi sehingga mencegah depresi
miokard pada neonatus. Tekanan darah bayi sangat sensitif terhadap perubahan
curah jantung. Aritmia dan kontraksi ventrikel prematur sering terjadi, terutama
pada ventilasi spontan dengan hiperkarbia atau peningkatan katekolamin endogen.
Halothane merupakan peningkat CBF terbesar dibandingkan anestesi inhalasi lain
sehingga dapat meningkatkan TIK. Halothane dimetabolisme 15-20% pada
dewasa secara in vivo, tetapi berkurang anak.

2.2.1.6. Gas Lainnya


2.2.1.6.1. Oksigen

Keracunan oksigen jarang terjadi, tetapi terdapat dua kelompok anak yang
berisiko terhadap oksigen konsentrasi besar: bayi prematur dan anak yang sedang
diterapi dengan bleomycin dan beberapa agen kemoterapi lainnya.

2.2.1.6.2. Nitrit Oksida

Nitrit oksida merupakan vasodilator paru selektif, yang tidak banyak


tersedia di kamar operasi (OR).

2.2.1.6.3. Helium

Helium adalah gas mulia yang langka dengan berat molekul (MW) 4. Gas
ini memiliki dua peran dalam anestesi: mengurangi densitas gas selama
penyempitan saluran udara dan sebagai gas pembawa yang tidak mudah terbakar.

2.2.2. Agen Intravena

Jika anak tiba di OR dengan akses intravena perifer, maka rute ini dapat
digunakan untuk menginduksi anestesi.

24
2.2.2.1. Midazolam

Midazolam merupakan benzodiazepin yang larut dalam air, telah


digunakan untuk premedikasi (0,25 - 0,75 mg/Kg PO atau 0,05 - 0,01 mg/Kg IV),
dan sebagai suplemen amnesia pada anestesi umum.

2.2.2.2. Propofol

Propofol (2,6-diisopropilfenol) adalah anestesi umum kerja cepat dengan


pemulihan yang nyaman. Refleks napas dan tonus otot orofaring ditekan oleh
propofol; Hal ini berguna untuk kasus yang membutuhkan instrumentasi saluran
napas (misalnya, LMA, intubasi tanpa relaksan otot, atau jalan nafas yang sulit)
dan biasanya menghasilkan jalan napas yang baik. Nyeri sering terjadi di tempat
injeksi IV, meskipun dapat diminimalkan jika propofol diinjeksi melalui infus atau
ke vena antekubital besar. Propofol dapat diinfus secara berkelanjutan untuk
anestesi pemeliharaan pada anak untuk memberikan anestesi intravena total
(TIVA). Propofol memiliki efek antiemetik yang kuat dan telah digunakan pada
anak dengan riwayat muntah persisten pascaoperasi setelah anestesi atau berisiko
tinggi muntah. Propofol cukup banyak digunakan pada neonatus (misalnya,
sebelum intubasi di NICU); Namun, terdapat kejadian yang jarang terjadi berupa
hipotensi berat pada neonatus yang diberikan propofol dan kejadian yang belum
dipublikasikan berupa serangan jantung pascaanestesi. Propofol tidak lagi
direkomendasikan untuk sedasi jangka panjang di unit rawat intensif anak

2.2.2.3. Ketamine Hydrochloride

Ketamine, turunan fensiklidin, telah digunakan sebagai sedasi dan anestesi


bayi dan anak untuk berbagai situasi, meskipun penggunaannya telah berkurang
dengan diperkenalkannya propofol. Ketamine 1 – 2 mg/Kg IV digunakan untuk
induksi anestesi umum dalam 1 menit. Untuk sedasi, 3 – 10 mg/Kg IM dengan
onset 2 - 5 menit untuk efek selama 30 - 60 menit. Ketamin memiliki efek
gastrointestinal yang terbatas, meskipun hipersalivasi, mual, dan muntah dapat
terjadi. Ketamine telah banyak digunakan pada anak untuk pembersihan luka
bakar dan prosedur cangkok kulit minor.

25
2.2.2.4. Etomidate

Etomidate tidak banyak digunakan pada anak. Dosis induksi tunggal yang
direkomendasikan adalah 0,2 - 0,3 mg/Kg IV.

2.2.2.5. Thiopental

Thiopental telah digantikan oleh propofol sebagai agen induksi intravena


primer pada bayi dan anak

2.2.2.6. Methohexital

Methohexital jarang digunakan untuk induksi anestesi, meskipun beberapa


penulis melaporkan bahwa pemulihan setelah penggunaan methohexital lebih
cepat daripada thiopental. Methohexital merupakan sedasi / induksi anestesi
paling efektif pada anak gelisah usia kurang dari 3 tahun per rektal, meskipun
jarang digunakan saat ini

2.2.3. Antagonis Benzodiazepin


2.2.3.1. Flumazenil

Antagonis benzodiazepin ini memiliki onset cepat untuk mencapai efek


maksimal, yaitu 5 – 10 menit setelah pemberian IV. Dosis 2 – 20 μg/Kg IV dapat
diulang seperlunya untuk memulihkan efek penenang / pernapasan dari
benzodiazepin dan IM berulang untuk mencegah rekurensi. Anak yang
mendapatkan flumazenil harus diobservasi selama minimal 2 jam.

2.2.4. Obat Agonis Alpha-2

Obat golongan ini bekerja pada reseptor presinaptik alfa-2 di saraf


simpatis dan pascasinaps sistem saraf pusat untuk menghambat pelepasan
norepinefrin dan neurotransmiter lainnya sehingga mempengaruhi tingkat
kesadaran dan persepsi nyeri.

2.2.4.1. Clonidine

Klonidin paling sering digunakan dalam anestesi anak sebagai tambahan


untuk blokade neuraksial dengan anestesi lokal. Ketika dikombinasikan dengan
anestesi lokal melalui epidural, clonidine 2 μg/Kg dapat memperpanjang durasi

26
analgesia epidural kaudal sekitar 3 jam tanpa efek samping. Untuk premedikasi
oral, sedasi dengan clonidine 4 μg/Kg memiliki efek serupa dengan midazolam,
meskipun membutuhkan 60 - 90 menit untuk mencapai efek penuh saat baru
diinisiasi.

2.2.4.2. Dexmedetomidine

Dexmedetomidine delapan kali lebih spesifik untuk reseptor α2 daripada


clonidine, dengan efek fisiologis yang serupa. Berbagai rejimen telah disesuaikan
untuk menimbulkan efek sedasi dengan obat ini. Untuk MRI, dosis 1 μg/Kg
selama lebih dari 10 menit dikombinasikan dengan 0,1 mg/Kg midazolam, diikuti
dengan infus 0,7 μg/Kg/jam merupakan dosis yang efektif. Sebagai premedikasi
oral, dexmedetomidine memiliki onset yang lebih cepat daripada clonidine.

2.2.5. Neuroleptik
2.2.5.1. Droperidol

Droperidol adalah obat penenang yang kuat yang memiliki potensi sebagai
sedasi dan hipnotik.

2.2.6. Medikasi Opioid

Morfin, meperidine, dan fentanyl telah diberikan secara luas sebagai


bagian dari anestesi berimbang pada anak.

2.2.6.1. Morphine

Morfin memberikan efek analgesia dan sedasi yang sangat baik dan tetap
menjadi agen yang paling memuaskan untuk analgesia sistemik pascaoperasi.
Morfin digunakan perioperatif melalui IV, epidural, dan spinal. Dosis inisial
standar morfin pada anak selama pembedahan adalah 0,05 – 0,1 mg/Kg IV dengan
dosis tambahan sesuai indikasi.Neonatus lebih sensitif terhadap efek depresan
ventilasi morfin daripada meperidine.

2.2.6.2. Codeine

Codeine merupakan alkaloid opium alami yang membentuk sekitar 0,5%


opium mentah. Pemberiannya dapat dilakukan melalui oral, rektal, atau IM, tetapi
tidak boleh dilakukan melalui IV; hipotensi berat dapat terjadi karena pelepasan

27
histamin. Dosis oral atau IM adalah 0,5 - 1,5 mg/Kg. Codeine adalah prodrug
yang harus menjalani O-demetilasi melalui isozim CYP2D6 untuk melepaskan
analgesik aktif, yaitu morfin (5 – 15% dari dosis kodein yang diberikan)

2.2.6.3. Fentanyl

Fentanyl adalah opioid sintetik kuat kerja singkat. Metabolisme pada bayi
bergantung pada usia: neonatus, dan terutama bayi prematur, memetabolisme
fentanyl lebih lambat daripada bayi yang lebih tua. Peningkatan tekanan intra-
abdomen (misalnya, perbaikan omfalokel, obstruksi usus) dapat memperlambat
klirens fentanyl karena berkurangnya aliran darah hepatik. Sebagai agen analgesik
tunggal selama anestesi pada neonatus, diperlukan 15 – 50 μg/Kg untuk mencegah
respon kardiovaskular selama pembedahan. Bayi yang menerima fentanyl dosis
besar dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan efek toleransi dan jumlah
yang besar juga dapat menunjukkan tanda-tanda ketergantungan.

2.2.6.4. Remifentanil

Remifentanil, opioid sintetik kerja sangat singkat, merupakan opioid kelas


baru yang harus diberikan sebagai infus intravena berkelanjutan. Dosis awal
intravena adalah 0,5 - 2,0 μg/Kg dan dosis pemeliharaan adalah 0,05 - 2,0
μg/Kg/menit.

2.2.6.5. Hydromorphone

Hydromorphone adalah opioid reseptor mu yang kuat, lebih lipofilik, dan


5-7 kali lebih kuat dari morfin. Obat ini digunakan untuk mengobati nyeri akut
berupa bolus IV, infus, atau epidural pada anak. Dosis hydromorphone adalah 0,03
- 0,08 mg/Kg/ tiap 3 – 4 jam per oral dan 0,01 – 0,02 mg/Kg/ IV tiap 3-4 jam.
Kecepatan infus IV atau epidural berkelanjutan adalah 1 μg/Kg/jam.Terdapat
sediaan oral dengan absorpsi duodenum yang cepat (30 - 60 menit) yang
menghasilkan bioavailabilitas 60% sebagai hasil dari metabolisme pertama.

2.2.6.6. Methadone

28
Opioid rasemik ini semakin banyak digunakan pada bayi dan anak karena
durasi kerjanya yang lama, metabolit yang tidak aktif, dan lipofilisitas. Metadon
parenteral memiliki potensi lima kali lebih kuat daripada morfin; dengan
demikian, 20 μg/Kg metadon memberikan analgesia yang setara dengan 100
µg/Kg morfin.

2.2.6.7. Sufentanil

Sufentanil memiliki efek sepuluh kali lebih kuat daripada fentanyl dan
memiliki watu paruh yang lebih kecil.

2.2.6.8. Alfentanil

Alfentanil memiliki onset yang lebih cepat dan durasi aksi yang lebih
singkat daripada fentanyl dan insiden muntah yang lebih besar daripada opioid
lainnya.

2.2.7. Antagonis Opioid

Opioid biasanya diberikan secara hati-hati sehingga penggunaan antagonis


opioid jarang digunakan setelah anestesi umum. Perlu diingat jka antagonis opioid
digunakan, pasien mungkin akan mengalami nyeri berat dan resedasi / gangguan
saluran napas dapat terjadi.

2.2.7.1. Naloxone hydrochloride

Naloxone hydrochloride (Narcan), turunan N-alil dari oksimorfon HCl,


antagonis opioid; depresi pernafasan dapat ditata laksana dengan dosis 0,5 μg/Kg
IV, meskipun dosis yang lebih besar (hingga 100 μg/Kg) mungkin diperlukan.
Dosis kecil berulang yang dititrasi untuk menghasilkan efek antidepresi
pernafasan yang dipicu oleh opioid tanpa mempengaruhi analgesia lebih sering
digunakan. Dosis penuh diperlukan jika apnea telah terjadi. Dosis kumulatif
seperti dosis antidepresi pernapasan juga dapat diberikan secara intramuskular
untuk mencegah kejadian berulang. Naloxone merupakan kontraindikasi pada
anak yang bergantung opioid.

29
2.2.8. Obat Blok Neuromuskular

Obat penghambat neuromuskular secara luas digunakan untuk membantu


intubasi trakea dan untuk memberikan relaksasi otot selama ventilasi terkontrol
dan operasi.

2.2.8.1. Relaksan Otot Terdepolarisasi


2.2.8.1.1. Succinylcholine

Succinylcholine merupakan satu-satunya relaksan terdepolarisasi yang


digunakan secara klinis. Succinylcholine dapat diberikan IV, IM, atau intralingual.
Succinylcholine IV (2 mg/Kg) memiliki onset 20 - 30 detik pada anak dan
mencapai efek maksimumnya dalam waktu 40 detik. Bradikardia sering terjadi
setelah satu dosis IV succinylcholine diberikan pada bayi dan anak. Meskipun
mioglobinemia dan mioglobinuria sering terjadi setelah pemberian
succinylcholine pada anak dibandingkan pada dewasa, terutama jika didahului
oleh pemberian halothane, insidens fasikulasi kuat dan nyeri otot jarang terjadi.
Spasme maseter terjadi pada 1% anak yang diberikan succinylcholine IV setelah
induksi halothane. Succinylcholine tidak menurunkan tekanan penghalang
lambung-esofagus. Kadar kalium serum tidak meningkat pada anak dengan palsi
serebral, tetapi meningkat setelah pemberian succinylcholine pada anak dengan
luka bakar setelah 24 jam pertama, cedera remuk, penyakit otot dan neurologis
(lesi neuron motorik atas dan bawah), gagal tidur kronis, dan gagal ginjal .

2.2.8.2. Agen Blok Neuromuskular Tidak Terdepolarisasi Kerja


Menengah
2.2.8.2.1. Rocuronium

Rocuronium merupakan relaksan otot tidak terdepolarisasi berbasis steroid


dengan onset yang lebih cepat dan stabilitas yang lebih besar dalam larutan pada
suhu kamar dibandingkan vecuronium. Rocuronium menyebabkan nyeri saat
injeksi, efek tersebut dapat dikurangi dengan pemberian lidocaine atau
remifentanil sebelumnya.

2.2.8.2.2. Vecuronium

30
Vecuronium (bubuk liofilik) adalah agen blok neuromuskular steroid tidak
terdepolarisasi kerja menengah yang tidak memiliki efek kardiovaskular dan
pelepasan histamin yang telah digantikan oleh rocuroniu secara efektif.

2.2.8.2.3. Atracurium

Atracurium, benzilisokuinolinium, adalah agen blok neuromuskular tidak


terdepolarisasi dengan durasi menengah (~ 30 menit).

2.2.8.2.4. Cis-Atracurium

Cis-atracurium, satu dari sepuluh stereoisomer atracurium besylate,


memberikan hemodinamik yang paling stabil dan pelepasan histamin yang paling
sedikit dari isomer, yang menggantikan penggunaan atracurium dalam praktek
klinis.

2.2.8.3. Relaksan Durasi Jangka Panjang


2.2.8.3.1. Pancuronium

Pancuronium adalah satu-satunya relaksan tidak terdepolarisasi dengan


durasi lama. Dosis inisial 0,1 mg/Kg memungkinkan intubasi dalam waktu sekitar
2 menit.

2.2.9. Antagonis Blok Neuromuskular

Agen blok neuromuskular tidak terdepolarisasi harus selalu dinberikan


antagonis, kecuali fungsi neuromuskular anak telah sepenuhnya pulih yang
ditunjukkan dengan stimulator saraf. Kecukupan antagonis mungkin sulit untuk
dinilai, terutama pada bayi. Regimen yang umum digunakan sebagai antagonis
relaksan otot tidak terdepolarisasi pada bayi dan anak adalah sebagai berikut:

a. Neostigmine (50 μg/Kg) ditambah atropine (20 - 25 μg/Kg) memiliki kerja


yang paling efektif, namun menghasilkan aritmia jantung ringan yang
tidak signifikan, bahkan pada anak yang menderita penyakit jantung
kongenital.
b. Edrophonium (1 mg/Kg) setelah pemberian atropine (20 - 25 μg/Kg) juga
dapat digunakan.
c. Sugammadex adalah siklodekstrin untuk mengikat rocuronium dan
mengeliminasinya melalui ginjal

31
2.2.10. NSAID
2.2.10.1. Acetaminophen

Acetaminophen adalah obat analgesik dan antipiretik tanpa anti-inflamasi,


tetapi tetap dikelompokkan dalam NSAID. Terdapat dua formula acetaminophen
IV: paracetamol dan proparacetamol. Dosis rekomendasi paracetamol IV
(Perfalgan) adalah 7,5 mg/Kg pada bayi <10 Kg, 15 mg/Kg pada anak 11 – 50 Kg,
dan 1 g untuk anak >50 kg tiap 6 jam. Terdapat beberapa kasus overdosis
paracetamol IV yang menyebabkan insufisiensi hepatik transien pada anak dan
kematian pada dewasa muda.

2.2.10.2. Ibuprofen

Ibuprofen (4 - 10 mg/Kg PO tiap 6 jam, maksimal 40 mg/Kg/hari)


mengurangi kebutuhan morfin pascaoperasi dan meningkatkan pereda nyeri pada
anak.

2.2.10.3. Diclofenac

Diklofenac adalah agen anti-inflamasi nonsteroid yang tersedia dalam


formulasi oral (tablet 25 - 75 mg), intravena, dan dubur (supositoria 50 atau 100
mg).

2.2.10.4. Ketorolac

Ketorolak adalah campuran rasemik analgesik nonsteroid yang tersedia


untuk penggunaan parenteral, baik intramuskular atau intravena. Ketorolak harus
digunakan hanya untuk periode singkat (beberapa hari pada suatu waktu) karena
berisiko nefrotoksisitas.

2.2.10.5. Tramadol

Tramadol adalah agonis reseptor mu-opioid lemah yang juga menghambat


pengambilan ulang noradrenaline dan serotonin. Dosisnya 0,5 - 1 mg/Kg dengan

32
dosis maksimum 50 mg tiap 3 – 4 jam. Waktu paruh eliminasinya 6–7 jam, lebih
besar daripada analgesik oral lainnya.

2.3. Teknik dan Prosedur36


2.3.1. Persiapan Praoperatif

Anak seharusnya mendapatkan perawatan khusus berdasarkan usia dan


keluarganya. Hal ini termasuk staf yang terlatih dan berpengalaman dalam
memberikan asuhan perioperatif untuk anak.

2.3.1.1. Sebelum Rawat Inap

Anak dan orang tua harus diberikan penjelasan tentang prosedur operasi
dan kunjungan rawat jalan. Penjelasan memuat informasi tertulis mengenai
operasi, anestesi, dan instruksi puasa praoperasi. Anak membutuhkan puasa yang
sama dengan orang dewasa (6 jam untuk makanan atau cairan suspensi, 2 jam
untuk cairan bening). Bayi dianggap puasa ketika empat jam setelah menyusui
ASI.

Asuhan sebelum rawat inap mencakup kunjungan ke poli anestesi untuk


penilaian praoperasi. Asuhan sebelum rawat inap mencakup persiapan psikologis
sesuai usia dengan menggunakan buku, gambar, video, terapi bermain, dan/atau
kunjungan ke rumah sakit. Asuhan tersebut diharapkan dapat mengurangi
kecemasan pada anak.

Riwayat kelahiran yang mencakup lama kehamilan, masalah persalinan


atau perinatal, penyakit kongenital dan/atau didapat harus ditanyakan. Riwayat
anestesi sebelumnya dan riwayat keluarga dengan masalah anestesi juga harus
ditanyakan.

Pada anak, imunisasi rutin dilakukan. Sehingga, pada anak yang menjalani
operasi besar, penilaian risiko anestesi harus mencakup risiko efek samping
imunisasi. Pembedahan setelah imunisasi dengan imunisasi inaktif harus ditunda
selama 48 jam untuk menghindari gejala pascaimunisasi karena dapat
menyebabkan misdiagnosis. Pembedahan setelah imunisasi dengan imunisasi
hidup yang dilemahkan tidak perlu ditunda, asalkan anak dinyatakan sehat. Tidak
ada kontraindikasi imunisasi setelah anak sembuh dari operasi.

33
Pemeriksaan fisik, terutama saluran napas diperlukan, salah satunya adalah
menilai gigi susu yang goyang. Pemeriksaan darah dan lainnya dilakukan sesuai
indikasi. Skrining sel sabit harus dilakukan pada kelompok etnis yang berisiko.

Kontak via telepon sebelum operasi dapat memberikan kesempatan untuk


mengonfirmasi kehadiran, mengingatkan kembali instruksi praoperasi, dan
mendeteksi dini pembatalan operasi, seperti masalah keluarga atau infeksi akut.

2.3.1.2. Saat Rawat Inap

Anak harus dirawat di bagian anak dengan dokter dan perawat anak.
Tempat tersebut harus nyaman dan memiliki mainan, buku, video, dan terapis
bermain. Semua anak harus ditimbang dan dihitung IMT-nya. Tekanan darah,
denyut nadi, dan suhu harus dicatat.

Dokter anestesi harus mengunjungi anak dan orang tua sebelum operasi
untuk memastikan (atau melakukan) penilaian praoperasi, mengonfirmasi
instruksi puasa, membahas teknik anestesi dan manajemen nyeri pascaoperasi,
serta memperoleh persetujuan lisan untuk prosedur invasif seperti supositoria dan
blok saraf. Tujuan utama dari kunjungan ini adalah untuk menjalin hubungan
dengan anak dan orang tua, menghilangkan kecemasan, dan meyakinkan keluarga.

 Semua komunikasi harus dipahami oleh anak dan orang tua serta semua
pertanyaan harus dijawab dengan jujur dan bijaksana.
 Metode induksi (IV / inhalasi) harus didiskusikan serta keinginan anak dan
orang tua dipenuhi jika memungkinkan.
 Jika direncanakan induksi IV, preparat analgesik lokal topikal sebaiknya
digunakan pada lokasi pungsi.
 Beberapa anak mungkin lebih baik menggunakan premedikasi sedatif oral
(midazolam oral 0,5 mg/KgBB, maksimal 20 mg, 30 - 45 menit sebelum
operasi).
 Anak sebaiknya diizinkan untuk memakai pakaian yang disukainya.
 Orang tua sebaiknya diajak menemani anak saat induksi anestesi dan peran
mereka saat di ruang anestesi dibahas pada kunjungan praoperasi.

Anak dengan riwayat infeksi saluran pernapasan atas 4 minggu sebelum


operasi berisiko mengalami komplikasi pernapasan selama atau setelah anestesi.

34
Idealnya, operasi elektif harus ditunda 4 - 6 minggu, namun hal ini kurang praktis
karena gejala cenderung kambuh. Jika diputuskan untuk tetap lanjut,
kemungkinan risiko dan komplikasi saluran napas harus didiskusikan dengan
orang tua. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan intubasi dan ventilasi pada
pasien selama anestesi untuk meminimalkan risiko batuk atau spasme laring.
Pemantauan yang cermat dan oksigen diperlukan selama pemulihan. Ketika
terdapat tanda infeksi saluran pernapasan bawah, operasi elektif harus ditunda
selama 4 - 6 minggu untuk memastikan saluran napas kembali normal.

2.3.2. Manajemen Anestesi


2.3.2.1. Induksi

Induksi inhalasi lebih nyaman digunakan pada bayi dan balita dengan
akses vena yang sulit dan ketidakkooperatifan induksi intravena. Induksi inhalasi
bekerja cepat pada pasien yang masih sangat muda karena volume ventilasi yang
relatif besar dan berkaitan dengan kapasitas residual fungsional dan curah jantung
yang relatif tinggi. Sevofluran digunakan karena aromanya tidak terlalu tajam,
cepat diserap dan dieliminasi, serta mengurangi insiden efek kardiovaskular.
Untuk anak yang lebih tua dengan vena yang terlihat, induksi anestesi intravena
dengan tiopental atau propofol bekerja lebih cepat dan menghasilkan lebih sedikit
polusi di ruang operasi.

2.3.2.2. Manajemen Jalan Napas

Masker Laring (LM) adalah metode paling umum dalam manajemen jalan
napas pada anak usia di atas 1 tahun yang menjalani operasi relatif singkat dengan
ventilasi spontan. LM juga dapat digunakan pada beberapa bayi berusia 6 - 12
bulan yang menjalani operasi singkat, tergantung pengalaman dan preferensi
dokter anestesi. Ukuran LM yang sesuai untuk pasien anak dan volume inflasi
maksimumnya dapat dilihat pada Tabel 2.2. Manset dengan inflasi berlebihan
harus dihindari karena dapat menyebabkan trauma pada faring dan laring atau
herniasi pada manset. LM biasanya dimasukkan selama anestesi sedang tanpa
bantuan relaksan otot. LM dapat dibiarkan di tempatnya sampai akhir operasi dan
dikeluarkan oleh perawat ketika anak sudah bangun sepenuhnya.

Tabel 2.2 Ukuran LM pada pasien anak

35
Ukuran Berat Badan (Kg) Volume Inflasi Maksimal (mL)
1,5 5 – 10 7
2,0 10 – 20 10
2,5 20 – 30 15
3,0 30 – 50 20
4,0 >50 30

Meskipun LM lebih populer, intubasi trakea tetap menjadi standar emas


untuk manajemen saluran napas anak, terutama ketika diperlukan ventilasi
terkontrol.

Berbeda dengan orang dewasa, bayi dan anak diintubasi dengan kepala
dalam posisi netral; mengangkat kepala dan menyanggah leher dengan bantal
tidak dapat meningkatkan pandangan laring. Manuver paling efektif untuk
mengoptimalkan laringoskopi adalah dengan memberikan tekanan eksternal pada
kartilago krikoid untuk mendorong laring agar dapat terlihat.

Pada bayi, laringoskop datar dan Magill bayi yang melewati posterior
epiglotis lebih cocok digunakan daripada laringoskop lengkung karena dapat
mendatarkan lengkungan epiglotis yang berbentuk U dan mengangkatnya ke
depan agar laring dapat terlihat. Pada anak di atas 1 tahun, laringoskop yang
biasanya digunakan adalah Macintosh ukuran sedang yang ujungnya dapat
mencapai valekula.

Selama ini, pipa endotrakeal dengan balon (ETT) tidak digunakan pada
anak-anak prapubertas. Ukuran ETT dikatakan tepat jika dapat melewati cincin
krikoid dengan mudah dan hanya memberikan kebocoran minimal dengan tekanan
inflasi paru-paru hingga 20 cm H2O. Tidak adanya kebocoran pada ETT tanpa
balon menandakan kontak yang terlalu erat antara pipa dengan laring. Hal ini
harus dihindari karena dapat berisiko nekrosis tekanan. Saat ini, terjadi
peningkatan penggunaan ETT mikrobalon pada anak yang belum pubertas. Jenis
yang digunakan adalah ETT dengan balon volume tinggi bertekanan rendah yang
meminimalkan efek tekanan pada mukosa trakea. Bahkan, setelah menghitung
ukuran ETT yang tepat, masih terdapat variasi ukuran antarindividu yang
memerlukan perubahan ukuran ETT. Keuntungan utama ETT dengan balon adalah
meminimalkan instrumentasi laring dengan episode reintubasi yang diperlukan

36
untuk mengubah ukuran ETT. Jika ETT dengan balon digunakan, tekanan balon
harus sering diperiksa.

Rumus untuk memperkirakan ukuran ETT berikut dapat digunakan


sebagai panduan pada anak usia 2 tahun ke atas:

Ukuran pipa tanpa balon (diameter internal dalam mm) =

Ukuran pipa dengan balon (diameter internal dalam mm) =

Ukuran ETT pada bayi dan anak kurang dari 2 tahun harus dihafal.
Neonatus normal dengan berat 3 kg biasanya membutuhkan ETT 3 mm; bayi
prematur dan berat badan lahir rendah mungkin memerlukan ETT 2,5 mm.
Ukuran lain dapat disesuaikan.

Beberapa dokter anestesi memotong ETT sehingga ujung pipa dapat


ditempatkan di midtrakea, sementara 2 - 3 cm menonjol keluar dari mulut untuk
fiksasi. Rumus berikut dapat digunakan untuk memperkirakan panjang ETT
orotrakeal pada anak usia di atas 2 tahun:

Panjang pipa orotrakeal (cm) =

Panjang pipa orotrakeal untuk pasien kurang dari 2 tahun harus dihafal.
Panjang untuk neonatus adalah 10 cm, dan untuk usia 1 tahun adalah 12 cm;
panjang tabung lainnya dapat disesuaikan. Posisi pipa pada trakea harus selalu
diperiksa dengan auskultasi paru.

2.3.2.3. Pemeliharaan Anestesi

Secara umum, bayi adalah calon pasien yang buruk untuk anestesi dengan
ventilasi spontan karena mekanika paru yang masih belum sempurna. Pada

37
sebagian besar pasien ini, diperlukan kombinasi intubasi trakea diiringi anestesi
dengan relaksan otot dosis penuh, ventilasi terkontrol, anestesi inhalasi
konsentrasi minimal, dan pengurangan dosis opioid. Rejimen ini memberikan
kondisi bedah yang ideal dengan depresi kardiovaskular yang minimal dan
pengembalian refleks laring yang cepat pada akhir anestesi.

Anak berusia di atas 1 tahun yang menjalani operasi panjang atau


kompleks juga akan mendapat manfaat dari kombinasi anestesi. Anak yang
menjalani operasi yang berlangsung kurang dari 30 – 40 menit, cukup diberikan
anestesi inhalasi sederhana dengan 66% nitrogen oksida dalam oksigen dan
sevofluran (2 - 3%). Metode ini dapat dikombinasikan dengan analgesik opioid,
infiltrasi lokal, atau blok regional untuk memberikan efek analgesik pada periode
pascaoperasi.

Blok saraf pada anak hampir selalu dilakukan setelah anak dibius.
Persetujuan untuk blok harus ditetapkan sebelum operasi saat diskusi dengan
orang tua dan harus diperhatikan dengan cermat untuk memperbaiki blok situs.
Semua blok saraf yang dilakukan pada orang dewasa cocok untuk anak-anak,
dengan pengecualian blok infraklavikular vertikal. Ultrasound telah terbukti
meningkatkan keberhasilan penentuan blok saraf.

2.3.2.4. Sistem Pernapasan dalam Anestesi

Sistem pernapasan anestesi dapat diklasifikasikan menjadi sistem yang


mengandung bahan kimia untuk menyerap karbon dioksida dan yang tidak
mengandung bahan tersebut. Dulu, kekhawatiran terhadap kesulitan bernapas
dengan penggunaan sistem penyerap karbon dioksida mendorong dokter anestesi
anak untuk menggunakan sistem pernapasan tanpa penyerap karbon dioksida.
Namun, dengan alasan ekonomi dan lingkungan, sistem penyerap karbon dioksida
semakin sering digunakan dalam anestesi anak.

T-piece Jackson Rees adalah sistem pernapasan tanpa penyerap karbon


dikosada yang sering digunakan untuk anestesi anak karena ukurannya yang pas
dan berisiko rendah terhadap kesulitan bernapas. Volume kompresi yang rendah
dari T-piece memberikan kenyamanan pada paru bayi dan anak serta

38
memungkinkan ventilasi dengan tangan dalam kondisi penurunan fungsi paru atau
obstruksi pernapasan parsial. Kelemahan dari sistem ini adalah penggunaan gas
yang tinggi (3 - 8 L per menit) dan ketidakmampuan untuk megolah gas limbah.
Namun, kelebihan dari T-piece dapat lebih besar daripada kelemahannya ketika
digunakan untuk induksi anestesi dan anestesi dengan durasi yang pendek.

Kelebihan utama sistem pernapasan dengan penyerap karbon dioksida


adalah penggunaan agen anestesi dan gas yang lebih ekonomis, konservasi panas
dan kelembaban pada saluran pernapasan, dan mengurangi polusi di ruang
operasi. Kelebihan paling jelas terlihat ketika digunakan untuk pemeliharaan
anestesi durasi menengah-panjang. Kekurangan utama sistem ini pada anestesi
anak adalah volume kompresi tinggi yang memberikan ketidaknyamanan pada
paru pada bayi dan anak serta menyulitkan untuk memberikan ventilasi tangan
pada pasien jika terjadi penurunan fungsi paru. Dengan demikian, sistem dengan
volume kompresi rendah, seperti T-piece, harus selalu tersedia ketika
menggunakan sistem pernapasan dengan penyerap karbondioksida pada anak-
anak.

2.3.2.5. Pemantauan

Pemantauan rutin harus mencakup:

 EKG
 Tekanan darah noninvasif
 Saturasi oksigen
 Pernapasan

Berbagai ukuran manset anak harus tersedia untuk mengukur tekanan darah;
manset berukuran tepat mencakup dua pertiga lengan atas. Pengukuran suhu wajib
dilakukan pada bayi dan anak yang berisiko tinggi hipotermia. Alat pemanas
seperti selimut elektrik dan peniup udara hangat harus tersedia untuk mengatasi
kehilangan panas pada pasien anak.

2.3.2.6. Terapi Intravena

Cairan intravena diberikan selama operasi untuk memperbaiki defisit


puasa praoperasi, memenuhi cairan pemeliharaan, dan mengganti kehilangan

39
carian intraoperatif (misalnya kehilangan cairan ke ruang ketiga dan darah). Pada
sebagian besar anak di atas usia 1 bulan, semua kebutuhan ini harus diberikan di
awal dengan memberikan cairan isotonik seperti larutan garam fisiologis atau
Hartmann. Neonatus dan beberapa pasien berisiko tinggi lainnya harus menerima
cairan pemeliharaan yang mengandung glukosa dan / atau glukosa darah pasien
harus dipantau selama dan sesudah operasi.

Defisit puasa biasanya dapat dipenuhi dengan memberikan bolus 10


mL/KgBB larutan Hartmann setelah diinduksi. Kebutuhan cairan pemeliharaan
dapat dihitung dari berat badan pasien menggunakan metode Holliday-Segar
(Tabel 2.3). Kehilangan cairan ke ruang ketiga mungkin hanya 1–2 mL/KgBB/jam
dalam bedah saraf dan 6–10 mL/KgBB/jam dalam laparotomi mayor. Tanda-tanda
klinis seperti denyut jantung, tekanan darah, dan waktu pengisian kapiler dapat
digunakan sebagai patokan dalam penggantian cairan. Ketika telah terjadi
pergeseran cairan ke ruang keitga dalam jumlah besar, pengukuran tekanan darah
harus dilakukan.

Tabel 2.3 Metode Holliday-Segar dalam menghitung kebutuhan cairan pemeliharaan


pada anak

10 Kg pertama 100 mL/KgBB/hari 4 mL/KgBB/jam


10 Kg kedua 50 mL/KgBB/hari 2 mL/KgBB/jam
Setiap 1 Kg setelahnya 20 mL/KgBB/hari 1 mL/KgBB/jam

Kehilangan darah harus diperkirakan dan diganti di awal dengan cairan


isotonik atau koloid. Transfusi darah diindikasikan jika Hb menurun menjadi 7,0
g/dL dengan hematokrit 25%.

2.3.3. Manajemen Pascaoperatif

Pada akhir anestesi, anak harus diposisikan lateral, diberi oksigen,


dipantau CO2, dan di bawa ke ruang pemulihan. Rincian prosedur operasi dan
instruksi khusus harus diberikan kepada perawat ruang pemulihan untuk merawat
anak. Protokol di ruang pemulihan harus mencakup pemeliharaan saluran napas,
terapi oksigen, pemantauan CO2, pemantauan saturasi oksigen, denyut nadi,
respirasi dan tekanan darah, serta pelengkapan grafik pemulihan pasca-anestesi.

40
Begitu anak terjaga, orang tua harus dipanggil ke ruang pemulihan. Dokter
anestesi harus memeriksa bahwa pasien tidak mengalami nyeri serta cairan
pascaoperasi, analgesik, dan antiemetik telah diresepkan sebelum anak
dikembalikan ke bangsal bedah. Kodein tidak digunakan pada anak kurang dari 12
tahun dan pada pasien tonsilektomi dengan OSA. Beberapa tempat tidak
menggunakan kodein untuk semua anak.

41
BAB 3

KESIMPULAN

Anatomi dan fisiologi anak berbeda dengan dewasa. Hal tersebut


menyebabkan perbedaan farmakologi obat anestesi pada anak. Anatomi dan
fisiologi pada anak yang berkaitan dengan farmakologi obat anestesi adalah
neurobehavior, sistem kardiovaskular, sistem respirasi, sistem renal, sistem
hepatik, sistem hematopoietik, sistem imunologi, sistem neuromuskular, traktus
gastrointestinal, serta kulit dan termoregulasi.

Obat anestesi yang digunakan pada anak memiliki beberapa penyesuaian


dibandingkan pada dewasa. Hal tersebut mencakup pilihan obat, dosis, cara
pemberian, dan evaluasi pascapemberian. Obat yang biasa digunakan untuk
anestesi pada anak mencakup agen inhalasi, seperti nitrogen oksida, sefovlurane,
desflurane, isoflurane, halothane, dan gas lainnya; agen intravena, seperti
midazolam, propofol, ketamine hydrochloride, etomidate, thiopental, dan
methohexital; antagonis benzodiazepine, seperti flumazenil; obat agonis alpha-2,
seperti clonidine dan dexmedetomidine; neuroleptik, seperti droperidol; medikasi
opioid, seperti morphine, codeine, fentanyl, remifentanil, hydromorphone,
methadone, sufentanil, alfentanil; antagonis opioid, seperti naloxone
hydrochloride; obat blok neuromuskular, seperti relaksan otot terdepolarisasi,
relaksan otot tidak terdepolarisasi durasi menengah, dan relaksan otot durasi
panjang; antagonis blok neuromuskular; serta NSAID, seperti acetaminophen,
ibuprofen, diclofenac, ketorolac, dan tramadol.

Perbedaan anatomi, fisiologi, dan farmakologi antara anak dengan dewasa


menyebabkan perbedaan teknik dan prosedur anestesi pula. Hal tersebut
mencakup persiapan preoperatif, seperti sebelum dan saat rawat inap; manajemen
anestesi, seperti induksi, manajemen jalan napas, pemeliharaan anestesi, sistem
pernapasan dalam anestesi, pemantauan, dan terapi intravena; serta manajemen
pascaoperasi.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdelmalak B, Abel M, Ali H, Aronson S, Avery G, et al. Anesthesiology.


2nd ed. McGrawhill; 2012.

2. Hardman J, Morton N. Paediatric anaesthesia. In: Hardman J, Hopkins P,


Struys M, editors. Oxford Textbook of Anaesthesia. 1st ed. Oxford: Oxford
University Press; 2017. p. 1191–221.

3. Allegaert K, Peeters M, Verbesselt R, et al. Interindividual variability in


propofol pharmacokinetics in preterm and term neonates. Br J Anaesth.
2007;(99):864–70.

4. Holford N, Heo Y, Anderson B. A pharmacokinetic standard for babies and


adults. J Pharm Sci. 2013;(102):2941–52.

5. Friesen R, Wurl J, Charlton G. Haemodynamic depression by halothane is


age-related in paediatric patients. Paediatr Anaesth. 2000;(10):267–72.

6. Bjorkman S. Prediction of drug disposition in infants and children by


means of physiologically based pharmacokinetic (PBPK) modelling:
theophylline and midazolam as model drugs. Br J Clin Pharmacol. 2005;
(59):691–704.

7. Johnson T, Tucker G, Tanner M, Rostami-Hodjegan A. Changes in liver


volume from birth to adulthood: a meta-analysis. Liver Transpl. 2005;
(11):1481–93.

8. Allegaert K, Cossey V, Langhendries J, et al. Effects of coadministration of


ibuprofen-lysine on the pharmacokinetics of amikacin in preterm infants
during the first days of life. Biol Neonate. 2004;(86):207–11.

9. Allegaert K, Cossey V, Debeer A, et al. The impact of ibuprofen on renal


clearance in preterm infants is independent of the gestational age. Pediatr
Nephrol. 2005;(20):740–3.

10. Mcnamara D, Nixon G, Anderson B. Methylxanthines for the treatment of

43
apnea associated with bronchiolitis and anesthesia. Paediatr Anaesth. 2004;
(14):541–50.

11. Ward R, Drover D, Hammer G, et al. The pharmacokinetics of methadone


and its metabolites in neonates, infants, and children. Pediatr Anesth. 2014;
(24):591–601.

12. Welzing L, Ebenfeld S, Dlugay V, Wiesen M, Roth B, Mueller C.


Remifentanil degradation in umbilical cord blood of preterm infants.
Anesthesiology. 2011;(114):570–7.

13. Hines R. Developmental expression of drug metabolizing enzymes: impact


on disposition in neonates and young children. Int J Pharm. 2013;(452):3–
7.

14. Kearns G, Abdel-Rahman S, Alander S, Blowey D, Leeder J, Kauffman R.


Developmental pharmacology-drug disposition, action, and therapy in
infants and children. N Engl J Med. 2003;(349):1157–67.

15. Anderson B, Hansen T. Getting the best from pediatric pharmacokinetic


data. Paediatr Anaesth. 2004;(14):713–5.

16. Miyagi S, Collier A. The development of UDP-glucuronosyltransferases


1A1 and 1A6 in the pediatric liver. Drug Metab Dispos. 2011;(39):912–9.

17. Anand K, Anderson B, Holford N, et al. Morphine pharmacokinetics and


pharmacodynamics in preterm and term neonates: secondary results from
the NEOPAIN trial. Br J Anaesth. 2008;(101):680–9.

18. Anderson B, Holford N. Mechanistic basis of using body size and


maturation to predict clearance in humans. Drug Metab Pharmacokinet.
2009;(24):25–36.

19. Potts A, Warman G, Anderson B. Dexmedetomidine disposition in children:


a population analysis. Paediatr Anaesth. 2008;(18):722–30.

20. Rhodin M, Anderson B, Peters A, et al. Human renal function maturation: a


quantitative description using weight and postmenstrual age. Pediatr

44
Nephrol. 2009;(24):67–76.

21. Perucca E. Clinically relevant drug interactions with antiepileptic drugs. Br


J Clin Pharmacol. 2006;(61):246–55.

22. Strolin-Benedetti M, Ruty B, Baltes E. Induction of endogenous pathways


by antiepileptics and clinical implications. Fundam Clin Pharmacol. 2005;
(19):511–29.

23. Corcos L, Lagadic-Gossmann D. Gene induction by Phenobarbital: an


update on an old question that receives key novel answers. Pharmacol
Toxicol. 2001;(89):113–22.

24. Peters J, Anderson B, Simons S, Uges D, Tibboel D. Morphine


pharmacokinetics during venoarterial extracorporeal membrane
oxygenation in neonates. Intensive Care Med. 2005;(31):257–63.

25. Allegaert K, Van den Anker J, De Hoon J, et al. Covariates of tramadol


disposition in the first months of life. Br J Anaesth. 2008;(100):525–32.

26. Bosenberg A, Thomas J, Cronje L, et al. Pharmacokinetics and efficacy of


ropivacaine for continuous epidural infusion in neonates and infants.
Paediatr Anaesth. 2005;(15):739–49.

27. Calder A, Bell G, Andersson M, Thomson A, Watson D, Morton N.


Pharmacokinetic profiles of epidural bupivacaine and ropivacaine
following single-shot and continuous epidural use in young infants.
Paediatr Anaesth. 2012;(22):430–7.

28. Takahashi H, Ishikawa S, Nomoto S, et al. Developmental changes in


pharmacokinetics and pharmacodynamics of warfarin enantiomers in
Japanese children. Clin Pharmacol Ther. 2000;(68):541–55.

29. Stoll B, Hansen N, Bell E, et al. Neonatal outcomes of extremely preterm


infants from the NICHD Neonatal Research Network. Pediatrics. 2010;
(126):443–56.

30. Reich D, Hollinger I, Harrington D, Seiden H, Chakravorti S, Cook D.

45
Comparison of cisatracurium and vecuronium by infusion in neonates and
small infants after congenital heart surgery. Anesthesiology. 2004;
(101):1122–7.

31. Imbeault K, Withington D, Varin F. Pharmacokinetics and


pharmacodynamics of a 0.1 mg/kg dose of cisatracurium besylate in
children during N2O/O2/propofol anesthesia. Anesth Analg. 2006;
(102):738–43.

32. Rigby-Jones A, Priston M, Sneyd J, et al. Remifentanil-midazolam sedation


for paediatric patients receiving mechanical ventilation after cardiac
surgery. Br J Anaesth. 2007;(99):252–61.

33. Plaud B, Meretoja O, Hofmockel R, et al. Reversal of rocuronium-induced


neuromuscular blockade with sugammadex in pediatric and adult surgical
patients. Anesthesiology. 2009;(110):284–94.

34. Anderson B, Van Lingen R, Hansen T, Lin Y, Holford N. Acetaminophen


developmental pharmacokinetics in premature neonates and infants: a
pooled population analysis. Anesthesiology. 2002;(96):1336–45.

35. Lerman J, Cote C, Steward D, editors. Clinical Pharmacology. In: Manual


of Pediatric Anesthesia. 7th ed. Springer Nature; 2016. p. 39–75.

36. Lomas B. Paediatrics. In: Pollard B, Kitchen G, editors. Handbook of


Clinical Anaesthesia. 4th ed. Boca Raton: CRC Press Taylor & Francis
Group; 2018. p. 533–6.

46

Anda mungkin juga menyukai