Oleh :
1. M. Syah Insyah
2. Yudia Hartika
3. Rini. S
4. Maryalis
5. Ahmad Ridwan
6. Wati
Halaman Judul............................................................................................... i
Kata Pengantar .............................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................ iii
Daftar Tabel .................................................................................................. iv
Daftar Gambar............................................................................................... iv
BAB I Pendahuluan..................................................................................... 1
BAB II Tinjauan Pustaka.............................................................................. 2
2.1 Definisi dan Batasan ........................................................................ 2
2.2 Perubahan pada Pasien Pediatrik ..................................................... 2
2.2.1 Sistem Respirasi ..................................................................... 2
2.2.2 Sistem Sirkulasi ...................................................................... 4
2.2.3 Sistem Ekskresi dan Elektrolit................................................ 6
2.2.4 Sistem Saraf ............................................................................ 6
2.2.5 Fungsi Hati ............................................................................. 7
2.2.6 Regulasi Suhu ......................................................................... 7
2.2.7 Respon Psikologis................................................................... 8
2.2.8 Respon Farmakologi............................................................... 9
2.3 Tatalaksana Anestesi pada Pasien Pediatrik .................................... 9
2.3.1 Evaluasi dan Persiapan pra Anestesi ...................................... 9
2.3.2 Induksi Pada Pasien Pediatrik................................................. 12
2.3.3 Intubasi pada Pasien Pediatrik ................................................ 13
2.3.4 Pemeliharaan Anestesi pada Pasien Pediatrik ........................ 14
2.3.5 Pengakhiran Anestesi pada Pasien Pediatrik .......................... 15
2.3.6 Komplikasi Anestesi pada Pasien Pediatrik ........................... 16
2.3.7 Pasca Anestesi pada Pasien Pediatrik ..................................... 16
BAB III Simpulan ......................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Masa neonatus dan bayi adalah masa dimana terjadi perubahan yang
sangat besar dari kehidupan didalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa ini
terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem. Sistem respirasi, sirkulasi,
dan ekskresi penting untuk anestesi pada kelompok umur ini. Begitu pula dengan
kelompok anak pra sekolah dan anak usia sekolah dimana secara anatomi,
fisiologi, psikologi, dan biokimia yang berbeda dari orang dewasa. Kelompok ini
cenderung memerlukan pendekartan-pendekatan psikologis yang berbeda sekali
dengan orang dewasa.3,4,5 Maka dari itu sangatlah diperlukan penataan dan
persiapan yang matang untuk melakukan suatu tindakan anestesi terhadap pasien
pediatrik.
2
2.2.1 Sistem Respirasi
Secara anatomi jalur nafas neonatus dan bayi lebih rentan tersumbat
daripada orang dewasa.3,4 Diameter dari lubang hidung, orofaring, dan trakea
relatif lebih kecil pada anak-anak daripada orang dewasa. Diameter tersempit
terdapat didaerah cricoid, berbeda dengan orang dewasa dimana tersempit pada
daerah epiglottis. Perbedaan ini membuat pernfasan lebih mudah tersumbat oleh
edema mukosa yang dapat disebabkan oleh inflamasi ataupun iritasi dan dapat
bersifat fatal.4,5 Produksi mukosa pada neonatus dan bayi juga lebih banyak
daripada orang dewasa, sehingga membuat jalur pernafasan lebih mudah
tersumbat.5 Lidah pada neonatus dan bayi juga relatif lebih besar dan cenderung
jatuh saat dalam pengaruh anestesi. Pada neonatus dan bayi ukuran epiglottis lebih
besar, berbentuk U, dan lebih terkulai.3,4 Hal ini membuat terkadang pengangkatan
epiglottis diperlukan untuk visualisasi pada proses intubasi. Ukuran tonsil dan
adenoid juga harus diperhatikan karena dapat mempersulit proses intubasi.
Karakteristik anatomis neonatus membuat neonatus hanya dapat bernafas melalui
hidung sampai berumur 5 bulan, sehingga pemasangan pipa naso-gastrik dapat
membahayakan pernafasan.5 Hampir sama dengan neonatus dan bayi, pada
kelompok anak-anak juga mempunyai lidah yang lebih besar, laring yang letaknya
lebih anterior, epiglottis yang lebih panjang, serta leher dan trakea yang lebih
pendek daripada dewasa membuat membuat seorang anestesi lebih berhati-hati.6
Jenis pernafasan neonatus adalah pernafasan diafragma. Hal ini
disebabkan oleh thoraks pada neonatus berukuran kecil dan iga horizontal, otot-
otot pernafasan pada neonatus belum berkembang dengan baik, diafragma
terdorong keatas oleh isi perut yang besar. Dengan demikian kemampuan dalam
memelihara tekanan negatif intratorakal dan volume paru rendah sehingga
memudahkan terjadinya kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus bernafas
secara diafragmatis.3,4,5,6 Kadang- kadang tekanan negatif dapat timbul dalam
lambung pada waktu proses inspirasi, sehingga udara atau gas anestesi mudah
terhirup ke dalam lambung. Pada bayi yang mendapat kesulitan bernafas dan
perutnya kembung dipertimbangkan pemasangan
3
pipa lambung.Pada neonatus juga ditemukan pola nafas periodik dimana ada -
periode dimana nafas berhenti sebentar selama kurang dari 10 detik.5 Hal ini harus
dibedakan dengan apneu, dimana apneu berhubungan dengan desaturasi dan
bradikardi. Pada anak yang lebih besar, pola pernafasan sudah hampir sama
dengan orang dewasa namum frekuensi lebih cepat karena berhubungna dengan
tingkat metabolism yang lebih tinggi daripada orang dewasa (Tabel 1).
Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung mendorong
diafragma ke atas serta adanya keterbatasan pengembangan paru akibat sedikitnya
elemen elastis paru atau surfaktan, maka akan menurunkan FRC (Functional
Residual Capacity) sementara volume tidalnya relatif tetap (7 mL/kgBB).3,4 Untuk
meningkatkan ventilasi alveolar dicapai dengan cara menaikkan frekuensi nafas
(40-60 kali/menit), karena itu neonatus mudah sekali gagal nafas.6 Peningkatan
frekuensi nafas juga dapat akibat dari tingkat metabolisme pada neonatus yang
relative tinggi, sehingga kebutuhan oksigen juga tinggi, dua kali dari kebutuhan
orang dewasa dan ventilasi alveolar pun relative lebih besar dari dewasa hingga
dua kalinya.4,5 Tingginya konsumsi oksigen dapat menerangkan mengapa
desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau cepat, terlebih pada neonatus
prematur, karena adanya stress dingin maupun sumbatan jalan nafas.6
Estimasi volume darah pada neonatus dan bayi adalah sekitar 85 mL/kg
dan lebih tinggi pada bayi prematur (95 mL/kg) dengan nilai hematokrit neonatus
dan bayi berisar antara 45-65 %. Komposisi cairan pada neonatus dan bayi adalah
75- 80% dari berat badan dimana sebanyak 30% berada di ekstraselular, 40% di
intraselular, dan sekitar 5% di plasma. Semakin bertambah umur, komposisi
semakin menyerupai orang dewasa dimana komposisi cairan sekitar 60% dari
berat badan. 4,5,6
Hemoglobin yang terdapat pada bayi terlebih neonatus
kebanyakan adalah hemoglobin fetal (HbF) yang mempunyai afinitas oksigen
yang lebih tinggi daripada hemoglobin dewasa (HbA). Hal ini membuat oksigen
lebih susah untuk
4
ditransfer ke jaringan dalam tubuh.4 Seiring berjalannya waktu, jumlah HbF akan
berkurang dan HbA akan meningkat dimana kadar hemoglobin terendah pada saat
usia 3 bulan dan HbA menggantikan HbF seluruhnya pada usia sekitar 6 bulan.4,5
Pada neonatus dan bayi reaksi pembuluh darah masih sangat kurang,
sehingga keadaan kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan volume juga sangat
kurang ditoleransi.6 Manajemen cairan pada neonatus dan bayi harus dilakukan
dengan cermat dan teliti. Tekanan sistolik merupakan indikator yang baik untuk
menilai sirkulasi volume darah dan dipergunakan sebagai parameter yang adekuat
terhadap penggantian volume.5 Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir
tetap terpelihara normal pada tekanan sistemik antara 60-130 mmHg. Frekuensi
nadi neonatus dan bayi antara 80-160 dengan rata-rata 120 kali/menit dengan
tekanan darah sekitar 80/60 mmHg.4,5 Sedangkan tekanan darah dan frekuensi
nadi pada anak-anak bervariasi menurut umur dan semakin lama semakin sama
dengan orang dewasa seiring dengan bertambahya usia (Tabel 1).
5
matangnya jantung, sistem saraf simpatik, dan reflek baroreseptor.4,5,6 Untuk itu
monitor kardiovaskular harus dilakukan secara hati-hati.
Myelinisasi pada neonatus belum sempurna dan akan matang dan lengkap
pada usia 3-4 tahun. Jadi saat neonatus, otak sangat sensitive terhadap keadaan-
keadaan hipoksia. Perkembangan yang belum sempurna pada neuromuscular
junction dapat mengakibatkan kenaikan sensitifitas dan lama kerja dari obat
pelumpuh otot non depolarizing.6
Syaraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga aktivitas
parasimpatis lebih dominan, yang mengakibatkan kecenderungan terjadinya
refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi <110 kali/menit) terutama pada
saat bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila ada stimulasi daerah nasofaring.4,5
Sirkulasi
6
bayi baru lahir stabil setelah berusia 24-48 jam. Belum sempurnanya mielinisasi
dan kenaikan permeabilitas blood brain barrier akan menyebabkan akumulasi
obat- obatan seperti barbiturat dan narkotik, dimana mengakibatkan aksi yang
lama dan depresi pada periode pasca anestesi. Sisa dari blok obat relaksasi otot
dikombinasikan dengan zat anestesi intravena dapat menyebabkan kelelahan otot-
otot pernafasan, depresi pernafasan dan apnoe pada periode pasca anestesi.6
Setiap keadaan bradikardia harus dianggap berada dalam keadaan hipoksia
dan harus cepat diberikan oksigenasi. Kalau pemberian oksigen tidak menolong
baru dipertimbangkan pemberian sulfas atropin.6
Fungsi hati belum matang pada bayi terlebih neonatus. 3,4 Fungsi
detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme karbohidrat yang rendah pula
yang dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan asidosis metabolik. 6
Cadangan glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal pada bayi baru lahir
adalah 50-60%. Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30 mg/dL) sukar diketahui
tanda-tanda klinisnya, dan diketahui bila ada serangan apnoe atau terjadi kejang.
Sintesis vitamin K juga belum sempurna. Pada pemberian cairan rumatan
dibutuhkan konsentrasi dextrose lebih tinggi (10%).3,6
7
Hipertermia dapat terjadi akibat dehidrasi, suhu sekitar yang panas,
selimut atau kain penutup yang tebal dan pemberian obat penahan keringat (misal:
atropin, skopolamin). Adapun hipotermia bisa disebabkan oleh suhu lingkungan
yang rendah, permukaan tubuh terbuka, pemberian cairan infus atau tranfusi darah
dingin, irigasi oleh cairan dingin, pengaruh obat anestesi umum yang menekan
pusat regulasi suhu, maupun obat vasodilator.6,7
Temperatur lingkungan yang direkomendasikan untuk neonatus adalah
270C.4,5 Pemantauan suhu tubuh, mengusahakan suhu kamar optimal atau
pemakaian selimut hangat, lampu penghangat, incubator, cairan intra vena hangat,
gas anestesi, cairan irigasi maupun cairan antiseptic yang hangat dapat dilakukan
untuk mencegah hipotermia.5,6 Untuk anak yang lebih besar, penanganan suhu
sama dengan orang dewasa.6
8
2.2.8 Respon Farmakologi
Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang diberikan pada
neonatus dan bayi berbeda dibandingkan dengan dewasa karena6:
1. Perbandingan volume cairan intravaskuler terhadap cairan ekstravaskuler
berbeda dengan orang dewasa.
2. Laju filtrasi glomerulus masih rendah
3. Laju metabolisme yang tinggi
4. Kemampuan obat berikatan dengan protein masih rendah
5. Liver/hati yang masih immature akan mempengaruhi proses
biotransformasi obat.
6. Aliran darah ke organ relative lebih banyak (seperti pasa otak, jantung,
liver dan ginjal)
7. Khusus pada anestesi inhalasi, perbedaan fisiologi system pernafasan:
ventilasi alveolar tinggi, minute volume, FRC rendah, lebih rendahnya
MAC dan koefisien partisi darah/gas akan meningkatkan potensi obat,
mempercepat induksi dan mempersingkat pulih sadarnya.
9
anti obstruksi, ringan dan mudah dipindahkan. Biasanya digunakan system
anestesi semi-open modifikasi system pipa T dari Ayre yaitu peralatan dari
Jackson-Rees.5,6,7 Untuk anestesi yang lama, gas-gas anestetik
dihangatkan, dilembabkan dengan pelembab listrik.6 Pada kelompok anak
pra sekolah dan usia sekolah, kunjungan anestesi dilakukan selain untuk
menilai keadaan umum, keadaan fisik, mental, dan menilai masalah yang
akan dihadapi penderita, juga merupakan kesempatan untuk mendapatkan
kepercayaan anak tersebut sehingga mengurangi kecemasan anak.7
Puasa
Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Lama
puasa yang dianjurkan adalah stop susu 4 jam dan pemberian air gula 2
jam sebelum anestesi untuk umur < 6 bulan. Stop susu 6 jam dan
pemberian air gula 3 jam sebelum anestesi untuk umur 6-36 bulan. Untuk
>36 bulan dengan cara stop susu 8 jam dan pemberian air gula 3 jam
sebelum anestesi.3,6 Untuk anak yang sudah lebih besar, puasa seperti
orang dewasa yaitu 6-8 jam.7
Infus
10
rencana airway manajemen. Mesin anestesi harus diperiksa terlebih dahulu
dan ventilator diatur sesuai tubuh pasien, ukuran face mask yang sesuai,
dan juga oral airway. Laringoskop harus di cek apakah berfungsi dengan
baik, dan ukuran blade yang sesuai harus dipersiapkan. Obat obatan, tube
trakea, stylet yang sesuai juga merupakan hal yang esensial dalam
persiapan. Peralatan untuk resusitasi, obat-obat emergensi juga harus
dipersiapkan. Karena permukaan tubuh anak lebih besar daripada dewasa,
sehingga cenderung untuk terjadi hipotermi, suhu di ruangan operasi tentu
harus disesuaikan, dan alat pemanas dapat disediakan untuk dapat menjaga
suhu pasien.3,7
11
Premedikasi
1. Sulfas Atropine
Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan Halotan,
Enfluran, Isofluran, suksinil cholin atau eter. Dosis atropine 0,02
mg/kg, minimal 0,1 mg dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara
intravena dengan pengenceran. Hati-hati pada bayi demam, takikardi,
dan keadaan umumnya jelek.3,6
2. Penenang
Tidak dianjurkan pada neonatus dan bayi, karena susunan saraf
pusat belum berkembang, mudah terjadi depresi. Untuk anak pra
sekolah dan usia sekolah yang tidak bisa tenang dan cemas, pemberian
penenang dapat dilakukan dengan pemberian midazolam. Dosis yang
dianjurkan adalah 0,5mg/kgBB. Efek sedasi dan hilangnya cemas
dapat timbul 10 menit setelah pemberian. 3,6
Cara induksi pada pasien pediatrik tergantung pada umur, status fisik, dan
tipe operasi yang akan dilakukan. Ahli anestesi tentu memiliki cara dan taktik
tersendiri dalam menginduksi pasien pediatrik dan harus memiliki informasi yang
adekuat dari pasien yang akan diinduksi, minimal umur dan berat badan pasien,
jenis pembedahan, apakah emergensi atau elektif, status fisik dan mental
(kooperatif/tidak) pasien. Hal ini dilakukan untuk persiapan keperluan-keperluan
seperti pipa ETT, pemanjangan anestesi, manajemen nyeri post operatif, ventilasi,
dan perawatan intensif yang memadai.3,4,5
Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya ada yang membantu.
Induksi diusahakan agar berjalan mulus dengan trauma yang sekecil mungkin.
Induksi dapat dikerjakan secara inhalasi atau seintravena.3
12
Induksi inhalasi.
Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit dicari venanya atau pada yang
takut disuntik. Diberikan halotan dengan oksigen atau campuran N2O dalam
oksigen 50%. Konsentrasi halotan mula-mula rendah 0,5 vol% kemudian
dinaikkan setiap beberapa kali bernafas 0,5 vol % sampai tidur. Sungkup muka
mula-mula jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan hidung, kalau sudah
tidur barn dirapatkan ke muka penderita.3,4
Induksi intravena.
Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada
mereka yang sudah terpasang infus. Induksi dapat dilakukan dengan
menggunakan propofol 2-3 mg/kg diikuti dengan pemberian pelumpuh
otot non depolarizing seperti atrakurium 0,3 -0,6 mg/kg.3,4 Seringkali pada
praktik pediatri, intubasi bisa dilakukan dengan kombinasi propofol,
lidokain, dan opiate dengan atau tanpa agen inhalasi sehingga tidak
diperlukan pelumpuh otot. Pelumpuh otot juga tidak diperlukan saat
pemasangan LMA.3
13
ditekannya trauma, yang dapat dilakukan dengan menggunakan ataupun tanpa
pelumpuh otot. Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan plastic, tembus
pandang dan tanpa cuff. Untuk premature digunakan ukuran diameter 2-3 mm
sedangkan pada bayi aterm 2,5-3,5 mm. Pipa yang digunakan juga jenis pipa non
kinking atau yang tidak mudah tertekuk.7
Pada anak-anak, digunakan blade laringkoskop yang lebih kecil dan lurus,
jenisnya tergantung pada piliban ahli anestesi dan adanya gangguan saluran
pernapasan. Pipa trakea dipilih berdasarkan prinsip babwa pipa yang dapat
dibengkokkan tidak digunakan di bawah nomor 7, dan dua nomor lebih rendah
harus disiapkan bila diperlukan.3,7
Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang tanpa cuff.
Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh dengan cuff pada kasus-kasus laparotomi atau
jika ditakutkan akan terjadi aspirasi. Secara kasar ukuran besarnya pipa trakea
sama dengan besarnya jari kelingking atau besarnya lubang hidung. Untuk
menghitung perkiraan diameter dan panjang pipa dapat menggunakan formula3 :
14
sifat anestetikanya sangat lemah. Karena itu sering dicampur dengan halotan,
enfluran atau isofluran. 1,3
Narkotika hanya diberikan untuk usia diatas 1 tahun
atau pacta berat diatas 10 kg. Morfin dengan dosis 0,1 mg/kg atau per dosis 1-2
mg/kg. Pelumpuh otot non depolarisasi sangat sensitif, karena itu haus
diencerkan dan diberikan secara sedikit demi sedikit.6
Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan dengan
banyaknya cairan yang hilang. Terapi cairan dimaksudkan untuk mengganti cairan
yang hilang pada waktu puasa, pada waktu pembedahan, adanya perdarahan dan
oleh sebab-sebab lain, cairan fistula dan lain-lainnya. Cairan yang seharusnya
masuk, karena puasa harus diganti dengan pedoman1,3,4 :
Pada jam I diberikan 50% defisit + cairan
pemeliharaan/jam Pada jam II diberikan 25% nya + cairan
pemeliharaan/jam Pada jam III diberikan 25% nya + cairan
pemeliharaan/jam
Cairan hilang akibat perdarahan yang kurang dari 10 % diganti dengan cairan
kristaloid dalam dekstrosa, misalnya cairan dekstrosa 5% dalam Ringer-Iaktat
sedangkan diatas 10% dilakukan transfusi.6
Banyaknya perdarahan dapat diperkirakan dengan6,7:
1. Mengukur darah dalam botol penyedot, menimbang kain kasa sebelum
dan sesudah kena darah dengan bantuan kolorimeter. Jumlahkan
keduanya kemudian tambahkan 25% untuk darah yang sulit dihitung
misalnya yang menempel di tangan pembedah, yang melengket di kain
penutup dan lain-lain.
2. Mengukur hematokrit secara serial. Perdarahan melebihi 10% pada
neonatus harus diganti dengan darah.
15
Depresi nafas oleh narkotika-analgetika netralkan dengan nalokson 0,2-0,4 mg
secara titrasi.3,4,6
Ekstubasi pada bayi dikerjakan kalau bayi sudah sadar benar, anggota
badan. bergerak-gerak, mata terbuka, nafas spontan adekuat. Ekstubasi dalam
keadaan anestesia ringan, akan menyebab kan batuk-batuk, spasme laring atau
bronkus. Ekstubasi dalam keadaan anestesia dalam digemari karena kurang
traumatis. Dikerjakan kalau nafas spontannya adekuat, keadaan umumnya baik
dan diperkirakan tidak akan menimbulkan kesulitan pasca intubasi.3,6
16
Yang Dinilai Nilai
GERAKAN
Menggerakkan 4 ekstremitas sendiri atau dengan perintah 2
Menggerakkan 2 ekstremitas sendiri atau dengan perintah 1
Tidak dapat menggerakkan ekstremitas 0
PERNAFASAN
Bernafas dalam dan kuat serta batuk 2
Bernafas berat atay dispneu 1
Apneu atau perlu dibantu 0
TEKANAN DARAH
Sama dengan nilai awal + 20% 2
Berbeda lebih dari 20-50% dari nilai awal 1
Berbeda lebih dari 50% dari nilai awal 0
WARNA KULIT
Merah 2
Pucat, Ikterus, dan lain-lain 1
Sianosis 0
KESADARAN
Sadar penuh 2
Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan 1
Tidak ada reaksi 0
Gambar 1. Skala Aldrete.7
17
BAB III
SIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA