Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

HAMIL MOLA HIDATIDOSA

Dosen Pembimbing : Heny Ekawati, S.Kep., Ns., M.Kes

OLEH:
1. Ilham Putra Wijaya (2002013044)
2. Salsabella (2002013046)
3. Isnaini Fidyatus S (2002013039)
4. Dina Lorenza (2002013021)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Lamongan, 12 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
BAB I PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1
1.1 Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1
1.2 Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1
1.3 Tujuan Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .2
BAB II ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3
2.1 Pengertian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
2.2 Anatomi dan Fisiologi Uterus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3
2.3 Etiologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
2.4 Manifestasi Klinis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .6
2.5 Epidemiologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .8
2.6 Patofisiologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .9
2.7 Pathway . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
2.8 Diagnosis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11
2.9 Pemeriksaan Ultrasonografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ,11
2.10 Penatalaksanaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .11
2.11 Komplikasi dan Prognosis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .15
2.12 Asuhan Keperawatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .16
BAB III PENUTUP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .21
3.1 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .21
3.2 Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .22

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator penting dalam
menentukan derajat kesehatan masyarakat. AKI menggambarkan jumlah wanita yang
meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau
penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentif) selama kehamilan,
melahirkan dan masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama
kehamilan per 100.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia, 2010). Angka
kematian ibu saat ini masih jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015 sesuai
dengan kesepakatan sasaran pembangunan Millenium Development Golds/ MDGs
(Marisah, dkk, 2011). Rata-rata angka kematian ibu (AKI) di Indonesia mengalami
kenaikan dari 228 ribu kasus kematian per 100 ribu kelahiran hidup pada 2007, menjadi
359 per 100 ribu pada 2012 (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia-SDKI 2012).
Adapun penyebab langsung dari kematian ibu di Indonesia adalah trias klasik yaitu
perdarahan, infeksi, toksemia gravidarum. Perdarahan sebanyak 30% dari total kasus
kematian, eklamsi (keracunan kehamilan) 25%, infeksi 12%. Salah satu dari ketiga
ketiga faktor tersebut adalah perdarahan, perdarahan dapat terjadi pada saat kehamilan,
persalinan dan masa nifas. Perdarahan yang terjadi pada kehamilan, bisa terjadi pada
awal kehamilan maupun kehamilan lanjut, dengan besar angka kejadiannya 3% pada
kehamilan lanjut dan 5% pada awal kehamilan. Perdarahan yang terjadi pada awal
kehamilan meliputi abortus, mola hidatidosa dan kehamilan ektopik. Pada kehamilan
lanjut antara lain meliputi Solutio Plasenta dan Plasenta Previa. Dari kasus perdarahan
diatas ternyata didapatkan besar kasus paling tinggi adalah perdarahan pada awal
kehamilan yang dari salah satu perdarahan awal kehamilan tersebut terdapat kehamilan
molahidatidosa.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian mola hidatidosa?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi uterus?
3. Bagaimana etiologi mola hidatidosa?
4. Bagaimana manifestasi klinis mola hidatidosa?
5. Bagaimana klasifikasi dan epidemiologi mola hidatidosa?
6. Bagaimana patofisiologi molahidatidosa?

1
7. Bagaimana pathway mola hidatidosa?
8. Bagaimana diagnosis mola hidatidosa?
9. Bagaimana pemeriksaan ultrasonografi mola hidatidosa?
10. Bagaimana penatalaksanaan mola hidatidosa?
11. Apa komplikasi dan prognosis mola hidatidosa?
12. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan mola hidatidosa?

1.2 Tujuan Penulisan

1. Mampu menjelaskan pengertian mola hidatidosa


2. Mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi uterus
3. Mampu menjelaskan etiologi mola hidatidosa
4. Mampu menjelaskan manifestasi klinis mola hidatidosa
5. Mampu menjelaskan klasifikasi dan epidemiologi mola hidatidosa
6. Mampu menjelaskan patofisiologi molahidatidosa
7. Mampu menjelaskan pathway mola hidatidosa
8. Mampu menjelaskan diagnosis mola hidatidosa
9. Mampu menjelaskan pemeriksaan ultrasonografi mola hidatidosa
10. Mampu menjelaskan penatalaksanaan mola hidatidosa
11. Mampu menjelaskan komplikasi dan prognosis mola hidatidosa
12. Mampu menjelaskan mengenai asuhan keperawatan klien dengan mola hidatidosa

2
BAB II
ISI

2.1 Pengertian Mola Hidatidosa


Mola Hidatidosa adalah kehamilan yang terjadi pada saat sel telur yang dibuahi
sperma tidak berkembang menjadi sebuah janin sebagaimana biasanya. Hasil
pembuahan justru berkembang menjadi gelembung – gelembung yang semakin lama
makin banyak dan membentuk kelompok – kelompok yang mirip dengan buah anggur.
Mola Hidatidosa (Hamil Anggur) adalah suatu massa atau pertumbuhan di dalam rahim
yang terjadi pada awal kehamilan. Mola Hidatidosa adalah kehamilan abnormal, dimana
seluruh villi korialisnya mengalami perubahan hidrofobik. Mola hidatidosa adalah
kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stoma villus korialis langka, vaskularisasi dan
edematus. Janin biasanya meninggal akan tetapi villus-villus yang membesar dan
edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan adalah sebagai segugus
buah anggur. Mola Hidatidosa adalah kehamilan abnormal ditandai dengan villi korialis
yang mengalami perubahan hidrofobik membentuk kelompok-kelompok menyerupai
buah anggur. Mola Hidatidosa (MH) merupakan salah satu tipe penyakit trofoblas
gestasional (Gestational Trophoblast Disease/GTD), yakni penyakit berasal dari sel
yang pada keadaan normal berkembang menjadi plasenta pada masa kehamilan,
meliputi berbagai penyakit yang berasal dari sel-sel trofoblast.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Uterus


Uterus (rahim) adalah organ berongga yang tebal, berotot, panjang kurang lebih
7,5cm dan lebar 5cm dengan berat 30 – 40 gram. Terletak dalam rongga panggul minor
di antara kandung kemih dan anus, ototnya disebut miometrium dan selaput lender yang
melapisi bagian dalamnya disebut endometrium. Peritoneum menutupi sebagian besar
permukaan luar uterus, posisi uterus pada wanita dewasa bervariasi tergantung dari
kondisi kandung kencing dan rectum. Bagian bawah bersambung dengan vagina dan di
bagian atasnya tuba uterin masuk ke dalamnya. Ligamentum latum uteri dibentuk oleh
dua lapisan peritoneum, di setiap sisi uterus terdapat ovarium dan tuba uterine. Uterus
terbagi atas 3 bagian yaitu : fundus yang terletak di atas muara tuba uterine; korpus uteri
yang melebar dari fundus ke serviks; isthmus terletak antara korpus dan serviks, bagian
bawah uterus yang sempit disebut serviks. Rongga serviks bersambung dengan rongga

3
korpus uteri melalui ostium uteri interna dan bersambung dengan rongga vagina melalui
ostium uteri eksterna.
Sekitar 5 hari setelah pembuahan terjadi dalam tuba fallopi, blastosit mencapai
uterus. Blastosit terdiri atas inner cells dan outer cells, inner cells dari blastosit kemudian
akan berkembang menjadi fetus, bagian luar blastosit (outer cells) dilapisi sel yang
disebut trofoblast. Plasenta berkembang dari blastosit trofoblas dan merupakan organ
pertama kehamilan yang berdiferensiasi. Trofoblast akan berkembang menjadi
bermacam sel yang ditemukan di placenta. Selain itu, trofoblast plasenta memediasi
terjadinya implantasi, merangsang produksi hormon kehamilan ( β-Human Chorionic
Gonadotrophyn ), memberikan perlindungan sistem kekebalan tubuh bagi janin dan
meningkatkan aliran darah vaskuler dari ibu ke plasenta. Sel-sel trofoblast yang terletak
di kutub embrio blastosit mulai menembus mukosa rahim pada hari ke-6. Hari ke-9
perkembangannya, blastosit tertanam lebih dalam ke endometrium.Trofoblast
memperlihatkan kemajuan besar dalam perkembangannya, terutama di kutub embrio
dimana vakuola muncul dalam syncytium (hari 9).
Awal bulan ke-2, trofoblas ditandai oleh sejumlah besar vili sekunder dan tersier
yangmemberikan tampilan radial. Pada kutub embrio, vili banyak dan terbentuk dengan
baik sedangkan pada kutub seberangnya vili yang terbentuk sedikit dan kurang
berkembang. Awal bulan ke-4, plasenta memiliki dua komponen yaitu di kutub janin
terbentuk frondosum korion (chorionic plate) dan di kutub ibu dibentuk oleh desidua
basalis ( basal plate ) yang dijembatani oleh korda umbilikalis. Ketika plasenta telah
terbentuk sempurna akan terjadi koneksi penting antara ibu dan janin yang sedang
berkembang untuk memungkinkan pertukaran gas penting dan nutrisi. Satu – satunya
fungsi plasenta adalah untuk kelangsungan hidup janin. Ketika dilahirkan, plasenta
terdiri atas dua sisi yaitu sisi maternal dan sisi fetus. Sisi maternal akan terlihat dengan
permukaan yang tidak rata yang terdiri atas kotiledon-kotiledon dan sisi fetus akan
terlihat lebih halus dan mengkilap. Disamping berfungsi dalam pemenuhan kebutuhan
gas dan nutrisi bagi janin, plasenta menghasilkan hormone steroid yaitu estrogen dan
progesteron. Human chorionic gonadotrophyn (hCG) merupakan luteneizing hormone
yang dihasilkan oleh syncytiotrophoblasts dari plasenta di awal kehamilan, sebab itulah
adanya hormon ini dalam darah dan urin seorang wanita menjadi tanda awal adanya
kehamilan. Saat plasenta menghasilkan hormon-hormon steroid maka sekresi hCG
segera mengalami penurunan.

4
2.3 Etiologi
Penyebab terjadinya MH tidak diketahui dengan pasti, diperkirakan adanya peranan
kelainan kromosomal. Sel sperma membuahi ovum abnormal yang tidak memiliki
nukleus (atau kromosom) pada CMH. Penyebab terbentuknya ovum abnormal tersebut
tidak diketahui. Bila fertilisasi dengan kondisi tersebut berlangsung, perkembangan
normal tidak akan terjadi, tidak akan terbentuk chorion, amnion atau korda umbilikalis
dan fetus juga tidak terbentuk. Sebaliknya sel trofoblast pembentuk plasenta akan
berkembang pesat menjadi CMH. Embrio atau janin pada PMH secara parsial
berkembang tetapi biasanya tidak bertahan hidup sampai rata-rata minggu kedelapan
akan mati. Kebanyakan kehamilan dianggap berisiko tinggi dan dapat berakibat fatal
terhadap ibu.
CMH dapat berkembang setelah terjadinya abortus ataupun dari sisa-sisa sel
trofoblast setelah kehamilan aterm. Beberapa faktor resiko yang banyak disebutkan
yaitu usia kehamilan di atas 35 tahun dimana kemungkinan terjadi MH menjadi dua kali
lipat, usia setelah 40 tahun kemungkinannya menjadi 5-10 kali lipat (Moore). Faktor
resiko terhadap kehamilan sebelum usia 16 tahun juga meningkat (Vorvick). Faktor
lainnya adalah intake prekursor vitamin A (beta karoten), konsumsi protein dan lemak
hewani yang rendah diperkirakan erat kaitan terhadap terjadinya CMH, paritas, riwayat
pernah mengalami ataupun dalam keluarga mengalami kehamilan mola dan kondisi
tingkat sosioekonomi dan edukasi yang rendah. Faktor lainnya yang sebenarnya belum
jelas benar hubungannya antara lain penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang,
golongan darah, pernah abortus dan kesulitan memiliki keturunan.
Penyebab molahidatidosa belum diketahui secara pasti, namun ada faktor-faktor
penyebabnya adalah :
1. Faktor ovum Pembuahan sel telur dimana intinya telah hilang atau tidak aktif lagi
oleh sebuah sel sperma.
2. Imunoselektif dari trofoblas Perkembangan molahidatidosa diperkirakan
disebabkan oleh kesalahan respon imun ibu terhadap invasi oleh trofoblas.
Akibatnya vili mengalami distensi kaya nutrient. Pembuluh darah primitive di dalam
vilus tidak terbentuk dengan baik sehingga embrio ‘ kelaparan’, mati, dan
diabsorpsi, sedangkan trofoblas terus tumbuh dan pada keadaan tertentu
mengadakan invasi kejaringan ibu.
3. Usia Faktor usia yang dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun dapat terjadi kehamilan
mola. Prekuensi molahidatidosa pada kehamilan yang terjadi pada awal atau akhir

5
usia subur relatif tinggi. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada usia berapa pun
dalam usia subur dapat terjadi kehamilan mola.
4. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah Dalam masa kehamilan keperluan akan zat-
zat gizi meningkat. Hal ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan
perkembangan janin, dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah maka untuk
memenuhi zat-zat gizi yang diperlukan tubuh kurang sehingga mengakibatkan
gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan janinnya.
5. Paritas tinggi Pada ibu yang berparitas tinggi, cenderung beresiko terjadi kehamilan
molahidatidosa karena trauma kelahiran atau penyimpangan transmisi secara
genetik yang dapat diidentifikasikan dengan penggunaan stimulandrulasi seperti
klomifen atau menotropiris (pergonal). Namun juga tidak dapat dipungkiri pada
primipara pun dapat terjadi kehamilan molahidatidosa.
6. Defisiensi protein Protein adalah zat untuk membangun jaringan-jaringan bagian
tubuh sehubungan dengan pertumbuhan janin, pertumbuhan rahim dan buah dada
ibu, keperluan akan zat protein pada waktu hamil sangat meningkat apabila
kekurangan protein dalam makanan mengakibatkan pertumbuhan pada janin tidak
sempurna.
7. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas Infeksi mikroba dapat
mengenai semua orang termasuk wanita hamil. Masuk atau adanya mikroba dalam
tubuh manusia tidak selalu menimbulkan penyakit (desease). Hal ini sangat
tergantung dari jumlah mikroba (kuman atau virus) yang termasuk virulensinya seta
daya tahan tubuh.
8. Riwayat kehamilan mola sebelumnya Kekambuhan molahidatidosa dijumpai pada
sekitar 1-2% kasus. Dalam suatu kejadian terhadap 12 penelitian yang total
mencangkup hampir 5000 Kelahiran, frekwensi mola adalah 1,3%. Dalam suatu
ulasan tentang molahidatidosa berulang tapi pasangan yang berbeda bisa
disimpulkan bahwa mungkin terdapat “masalah oosit primer”.

2.4 Manifestasi Klinis


Tahap awal perkembangannya kehamilan mola menunjukkan karakteristik klinis
yang sulit dibedakan dengan gejala kehamilan normal. Kemudian pada trimester 1 dan
terutama selama trimester ke-2 sejumlah perubahan terjadi, yang paling umum adalah
perdarahan pervaginam berwarna kecoklatan yang sering disertai dengan jaringan-
jaringan menyerupai buah anggur, pembesaran ukuran uterus biasanya lebih besar untuk

6
usia kehamilan terutama pada kasus CMH (4 minggu lebih tua), dan bunyi jantung janin
tidak ditemukan. Anemia terjadi pada kasus-kasus prolonged bleeding yang ditandai
dengan gejala fatique dan sesak nafas, preeklampsi yang ditandai dengan hipertensi
dapat terjadi sebelum usia kehamilan kurang dari 24 minggu. Tanda lainnya yang dapat
ditemukan pada kehamilan mola adalah hipertiroid dan terbentuknya kista ovarium yang
disebabkan tingginya kadar β-hCG perdarahan terutama pada CMH, adapun gejala yang
dapat ditemukan pada mola hydatidosa adalah sebagai berikut :
1. Adanya tanda-tanda kehamilan disertai dengan perdarahan. Perdarahan ini biasa
intermitten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau
kematian karena perdarahan ini, maka umumnya mola hidatidosa masuk RS dalam
keadaan anemia. Perdarahan uterus abnormal yang bervariasi dari spotting sampai
perdarahan hebat merupakan gejala yang paling khas dari kehamilan mola dan
pertama kali terlihat antara minggu keenam dan kedelapan setelah amenore. Sekret
berdarah yang kontinyu atau intermitten dapat berkaitan dengan keluarnya vesikel-
vesikel yang menyerupai buah anggur.
2. Hiperemesis gravidarum, yang ditandai dengan nausea dan vomiting yang berat. 3.
Tanda-tanda pre-eklampsia pada Trimester I.
3. Tanda-tanda tirotoksikosis, adanya hipertiroidisme dimana sekitar 7 % pasien
dengan takikardi, tremor dan kulit yang hangat
4. mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari
segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita
meninggal karena krisis tiroid.
5. Kista lutein unilateral/bilateral
Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein. Umumnya kista imi segera
menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan, tetapi ada juga kasus-kasus dimana
kista lutein baru ditemukan pada waktu follow up. Kasus mola dengan kista lutein
mempunyai resiko 4 kali lebih besar untuk mendapatkan degenerasi keganasan
dikemudian hari dari pada kasus-kasus tanpa kista.
6. Umumya uterus lebih besar dari usia kehamilan.
7. Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin, balottement kecuali pada mola
parsial.
8. Kadar gonadotropin chorion tinggi dalam darah dan urin.
9. Emboli paru. Penyulit lain yang mungkin terjadi ialah emboli sel trofoblas keparu-
pam. Sebetulnya pada tiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke peredaran

7
darah kemudian keparu-paru tanpa memberikan gejala apa-apa tetapi pada mola
kadang-kadang jumlah sel trofoblas ini demikian banyak sehingga dapat
menimbulkan emboli paru-paru akut yang bisa menyebabkan kematian.
10. Keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada), yang
mempakan diagnosa pasti.

2.5 Klasifikasi dan Epidemiologi


Mola hidatidosa terbagi atas dua tipe, yakni mola hidatidosa komplet (CMH) dan
mola hidatidosa parsial (PMH). Mola hidatidosa komplet dapat terjadi sebagai hasil dari
fertilisasi oleh 1 atau 2 sel sperma terhadap sel telur yang tidak memiliki DNA (an empty
egg cell) sehingga uterus tidak berisi jaringan fetus. Semua kromosomnya berasal dari
paternal. Pada mola hidatidosa komplet, vili khoriales memiliki ciri khas menyerupai
buah anggur dan secara total mengganti jaringan yang semestinya terbentuk sebagai
plasenta serta ditemukan hiperplasia tropoblastik. Sebanyak 1 dari 5 wanita akan
mengalami persistensi jaringan mola dimana kebanyakan menjadi mola invasif, tetapi
dapat pula menjadi koriokarsinoma, suatu bentuk ganas (kanker) dari GTD.
Mola hidatidosa parsial terbentuk dari fertilisasi sel ovum normal oleh 2 sel sperma
dengan kariotipe triploid sehingga dapat ditemukan adanya jaringan fetus yang
selanjutnya bertumbuh menjadi janin dengan multiple anomali dan biasanya dapat
bertahan hidup selama beberapa minggu dan abortus yang tejadi kemudian selalu
disertai adanya jaringan janin. Hanya sebagian vili khoriales yang mengalami perubahan
hidrofobik sedangkan sebagian masih berupa jaringan placenta yang normal.
Insidensi MH disebutkan sebesar 1,1 per 1000 kehamilan, akan tetapi ada juga
literature yang mengatakan lebih spesifik untuk tiap 1000 kelahiran hidup. Insidensi
tersebut tidak dapat pula menjelaskan angka pasti untuk CMH maupun untuk PMH.
Penyebab kesulitan tersebut adalah masih sulitnya membedakan degenerasi hidrofobik
parsial atau komplit. Penyebab lainnya juga oleh karena adanya kerancuan terhadap
kemungkinan kelainan kromosom bawaan janin. Insidensi GTD secara umum yang
pernah dipublikasikan mulai dari yang terendah yaitu 0,5 per 1000 kehamilan di
Amerika Serikat sampai yang tertinggi di Taiwan. Walaupun insidensi secara pastinya
bervariasi antara satu penelitian terhadap penelitian lainnya, insidensi pada populasi
Asia tetap selalu yang tertinggi dibandingkan dengan etnik lainnya. Alasan tingginya
insidensi pada populasi Asia belum sepenuhnya dapat dipahami tetapi kemungkinan erat

8
kaitannya dengan basis genetik, kondisi sosioekonomi dan basis lingkungan. Distribusi
usia yang sering dilaporkan adalah kehamilan pada usia sebelum 20 tahun dan setelah
40 tahun.

2.6 Patofisiologi
Setelah ovum dibuahi, terjadi pembagian dari sel tersebut. Tidak lama kemudian
terbentuk biastokista yang mempunyai lumen dan dinding luar. Dinding ini terjadi atas
sel-sel ekstoderm yang kemudian menjadi tropoblash. Sebagian vili berubah menjadi
gelembung berisi cairan jernih, biasa tidak ada janin. Gelembung-gelambung atau
tesikel ukurannya bervariasi mulai dari yang mudah dilihat, sampai beberapa sentimeter,
bergantung dalam beberapa kelompok dari tangkai yang tipis. Masa tersebut dapat
tumbuh cukup besar sehingga memenuhi cavum uteri. Pembesaran uterus sering tidak
sesuai dan melebihi usia kehamilan.
Pada beberapa khusus, sebagian pertumbuhan dan perkembangan villi korealis
berjalan normal sehingga janin dapat tumbuh dan berkembang bahkan sampai aterm.
Keadaan ini disebut mola parsial. Ada beberapa kasus pertumbuhan dan perkembangan
villi korealis berjalan normal sehingga janin dapat tumbuh dan berkembang.
1. Teori Missed Abortion Mudigan mati pada kehamilan tiga sampai lima
minggu,karena terjadi gangguan peredaran darah,sehingga terjadi penemuan cairan
dalam jaringan masenkim dari villi dan akhirnya terbentuk gelembung-gelembung.
2. Teori Neoplasma dari park Bahwa yang normal adalah sel trofoblast yang
mempunyai fungsi abnormal pula, dimana terjadi cairan yang berlebihan dalam villi
sehingga timbul gelembung,hal ini menyebabkan peredaran gangguan peredaran
darah dan kematian mudigan.
3. Menurut Sarwono, 1994, Patofisiologi dari kehamilan mola hidatodosa yaitu karena
tidak sempurnanya peredaran darah fetus, yang terjadi pada sel telur patologis yakni
: hasil pembuahan dimana embrionnya matai pada umur kehamilan 3-5 minggu
dank arena pembuluh darah villi tidak berfungsi maka terjadi penimbunan cairan di
dalam jaringan mesenkim villi.
Dan menurut Cuningham, 1995. Dalam stadium pertumbuhan mola yang dini
terdapat beberapa cirri khas yang membedakan dengan kehamilan normal, namun, pada
stadium lanjut trimester pertama dan selama trimester kedua sering terlihat perubahan
seperti berikut:
1. Perdarahan

9
Perdarahan uterus merupakan gejala yang mencolok dan bervariasi mulai dari
spoting sampai perdarahan yang banyak. Perdarahan ini dapat dimulai sesaat
sebelum abortus atau yang lebih sering timbul secara intermiten selama berminggu-
minggu atau setiap bulan. Sebagai akibat perdarahan tersebut gejala anemia ringan
sering dijumpai
2. Ukuran uterus
Uterus yang lebih sering tumbuh lebih besar dari usia kehamilan yang sebenarnya.
Mungkin uterus leawat palpasi sulit dikenali dengan tepat pada wanita multipara,
khususnya karena konsistensi tumor yang lunak di bawah abdomen yang kenyal.
Ovarium kemungkinan mempunyai konsistensi yang lebih lunak.
3. Aktivitas janin
Meskipun uterus cukup membesar mencapai bagian atas symfisis, secara khas tidak
akan ditemukan aktivitas janin, sekalipun dilakukan test denagn alat yang sensitive
sekalipun dilakukan test dengan alat yang sensitive sekalipun, kadangkadadang
terdapat plasenta yang kembar pada kehamilan mola hidatidosa komplit.

2.7 Pathway

10
2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik yang
ditemukan, pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, USG dan pemeriksaan
histologis. Trias temuan klinis pada mola hidatidosa komplit yaitu yang pertama adanya
pembesaran uterus yang tidak sesuai usia kehamilan, dimana biasanya lebih besar 4
minggu dari usia sebenarnya, yang kedua adalah tanda adanya perdarahan pervaginam
dan yang ketiga adalah adanya peningkatan kadar βhCG persisten sampai melebihi usia
kehamilan 9-12 minggu yang didapatkan melalui pemeriksaan laboratorium dan sering
mengakibatkan hiperemesis gravidarum dini.
Pemeriksaan laboratorium lainnya yang perlu dilakukan yaitu pemeriksaan darah
lengkap, fungsi pembekuan darah, fungsi tiroid. Pemeriksaan histologis
memperlihatkan tidak adanya jaringan fetus pada mola komplit, proliferasi trofoblastik
yang nyata, villi koriales yang hidrofik dengan kromosom 46,XX atau 46,XY. Temuan
peningkatan faktor pertumbuhan antara lain c-myc, epidermal growth factor dan c-eb
B-2 jika dibandingkan pada plasenta yang normal juga merupakan penanda mola
komplit.
2.9 Pemeriksaan Ultrasonografi
Kebanyakan mola sudah dapat dideteksi pada trimester awal kehamilan sebelum
onset tanda klasik muncul dengan bantuan alat penunjang ultrasonografi (USG) yang
beresolusi tinggi. Karakteristik USG mola adanya gambaran badai salju (snowstorm)
yang mengindikasikan villi koriales yang hidrofik. Pencitraan ultrasonografi merupakan
pemeriksaan pilihan untuk awal diagnosa untuk selanjutnya diperkuat dengan hasil
pemeriksaan laboratorium dengan nilai βhCG yang tinggi ( >100,000 mIU per milliliter)
dan dari hasil pemeriksaan histopatologi.
2.10 Penatalaksanaan
Karena molahidatidosa adalah suatu kehamilan patologi dan tidak jarang disertai
penyulit yang membahayakan jiwa, pada prinsipnya harus segera dikeluarkan. Terapi
molahidatidosa terdiri dari tiga tahap, yaitu :
1. Perbaikan Keadaan Umum Perbaikan keadaan umum pada pasien molahidatidosa,
yaitu :
a. Koreksi dehidrasi.
b. Transfusi darah bila ada anemia (Hb 8 gr% atau kurang), juga untuk
memperbaiki syok.

11
c. Bila ada gejala preeklamsia dan hiperemesis gravidarum diobati sesuai protocol
penanganannya.
d. Bila ada gejala-gejala tirotoksikosis dikonsul ke bagian penyakit dalam
2. Pengeluaran jaringan mala dengan cara kuretase dan histerektomi
a. Kuretase (suction curetase)
1) Definisi Kuret adalah pembersihan sisa-sisa jaringan yang ada dalam rahim
2) Faktor Resiko
• Usia ibu yang lanjut
• Riwayat obstetri/ginekologi yang kurang baik .
• Riwayat infertilitas
• Adanya kelainan/penyakit yang menyertai kehamilan
• Berbagai macam infeksi
• Paparan dengan berbagai macam zat kimia
• Trauma abdomen/pelvis pada trimester pertama
• Kelainan kromosom
3.) Teknik Pengeluaran Jaringan Pengeluaran jaringan yaitu setelah serviks
terbuka (primer maupun dengan dilatasi), jaringan konsepsi dapat
dikeluarkan secara manual, dilanjutkan dengan kuretase.
• Sondage, menentukan posisi ukuran uterus.
• Masukan tang abortus sepanjang besar uterus, buka dan putar 900 untuk
melepaskan jaringan, kemudian tutup dan keluarkan jaringan tersebut.
• Sisa abortus dikeluarkan dengan tumpul, gunakan sendok terbesar
yang bisa masuk.
• Pastikan sisa konsepsi telah keluar semua, dengan eksplorasi jari
maupun kuret.
4.) Risiko Yang Mungkin Terjadi
• Perdarahan
• Pengerokan yang terlalu dalam akan meninggalkan cerukan atau lubang
di dinding rahim.
• Gangguan haid
• Infeksi
5.) Persiapan Sebelum Operasi
• Informed consend

12
• Puasa
• Cek darah, darah harus tersedia dan sudah dilakukan crossmatching.
6.) Kuretase Pada Pasien Molahidatidosa
• Dilakukan setelah pemeriksaan persiapan selesai (pemeriksaan darah
rutin, kadar beta Hcg dan foto toraks) keculai bila jaringan mola sudah
keluar sepontan .
• Bila kanalis servikalis belum terbuka maka dilakukan pemasangan
laminaria stift (LS) dan dilakukan kuretase 24 jam kemudian .
• Sebelum melakukan kuretase, sediakan darah 500 cc dan pasang infus
dengan tetesan infus oksitosin 10 IU dalam 500 cc dextrose 5%.
• Kuretase dilakukan 2 kali dengan interval waktu minimal 1 minggu .
• Seluruh jaringan mola hasil kerokan dikirim ke labolatorium PA. 7)
Teknik Suction Curetase
• Dilatasi seviks kanalis dengan busi terbesar yang dapat di masukkan.
• Pilihlah kanula yang paling besar dan dapat dimasukkan kedalam
kanalis servikalis.
• Serviks dipegang dengan tenakulum
• Menjelang dilakukan suction curetase, oksitosin disuntikkan ataun
secara drip sehingga suction akan selalu diikuti dengan makin kecilnya
uterus
• Tangan kiri diletakkan pada fundus uteri dengan tujuan untuk
mengikuti turunnya fundus uteri dan merasakan bahwa tidak teerjadi
perforasi karena kanula.
• Setelah suction kuretase, ikuti dengan kuret tajam dan besar sehingga
dapat dijamin kebersihannya.
b. Histerektomi
1) Syarat melakukan histerektomi adalah:
• Pertimbangan usia yang sudah lanjut, diatas usia 40 tahun dan usia anak
cukup.
• Terjadi perdarahan banyak setelah kuretase untuk menyelamatkan jiwa
penderita
• Resisten teerhadap obat kemoterapi.
• Dugaan perforasi pada mola destruen

13
• Sejak semula sudah tergolong penyakit trofoblas resiko tinggi
• Dugaan sulitnya melakukan pengawasan ikutan
2) Histerektomi yang dilakukan dapat dilaksanakan:
• Pada Mola hidatidosa in toto (in situ)
• Segera setelah suction curetase berakhir
• Pada koriokarsinoma dengan pertimbangan khusus
3) Tekhnik Operasi Teknik operasi sampai saat ini belum dijumpai secara utuh
diberbagai pustaka. Oleh karena itu,kami menganjurkan teknik operasi
sebagai berikut:
• Jangan terlalu banyak melakukan manipulasi uterus sehingga dapat
mengurangi mestastase saat operasi berlangsung.
• Lakukan langkah histerektomi dengan mencari dulu pembuluh darah
yang besar dipotong dan diikat sehingga tidak terlalu banyak
menimbulkan perdarahan.
• Lakukan vaginal alcohol tampon padat sehingga tercecernya sel
trofoblas dari uterus segera mengalami denaturasi dan dapat mengalami
kemungkinan hidup untuk mestastase
• Jika dapat dilakukan, serviks dijahit sehingga kanalis servikalis tertutup
dan mengurangi kemungkinan tercecernya sel trofoblas saat operasi
berlangsung.
• Mestastase durante operationum, dapat dilindungi dengan kemoterapi
drip (belum umum diIndonesia) tetapi kami anjurkan dan evaluasi
hasilnya.
4) Filosofi Operasi Pada Histerektomi
• Trauma yang terjadi haruslah minimal
• Lindungi organ penting pelvis dari trauma, yaitu : ureter, pembuluh
darah dan Vesika urinaria .
• Kurangi komplikasi operasi, infeksi, perdarahan, dan trauma organ
pelvis atau kenali secepatnya bila terjadi trauma untuk segera
melakukan rekontruksi
• Hindari terjadinya prolapsus vaginal stump
• Upayakan agar tidak terjadi komplikasi pascaoperasi Operasi
khususnya di Indonesia dengan KU rendah dan anemia, tindakan

14
operasi dengan hilangnya darah minimal sangat penting karena darah
adalah RED (Rare, Expensive, Dangerous).
Kami anjurkan agar saat melakukan operasi diberikan profilaksis kemoterapi
sehingga dapat memperkecil aktivitas sel-sel trofoblas ganas yang kebetulan dapat
masuk kepembuluh darah atau tercecer pada vagina, untuk tumbuh dan berkembang.
3. Pemeriksaan tindak lanjut:
Tujuan utama tindakan lanjut adalah deteksi dini setiap perubahan yang
mengisyaratkan keganasan. Pemeriksaan tindak lanjut pada pasien molahidatidosa
meliputi:
a. Cegah kehamilan selama masa tindak lanjut, sekurang-kurangnya satu tahun.
b. Ukur kadar β hCG setiap 2 minggu, walaupun sebagian menganjurkan
pemeriksaan setiap minggu, belum terbukti adanya manfaat yang nyata.
c. Tunda terapi selama kadar serum tersebut terus berkurang. Kadar yang
meningkat atau mendatar mengisyaratkan perlunya evaluasi dan biasanya
terapi.
d. Setelah kadar normal yaitu setelah mencapai batas bawah pengukuran
pemeriksaan dilakukan setiap 6 bulan, lalu setiap 2 bulan untuk total 1 tahun.
e. Tindak lanjut dapat dihentikan dan kehamilan diijinkan setelah 1 tahun.
f. Karena itu, tindak lanjut serta penatalaksanaan saat ini berpusat pada
pengukuran serial kadar β hCG serum untuk mendeteksi tumor trofoblas
persisten.
2.11 Komplikasi dan Prognosis
Pasien yang didiagnosis dengan kehamilan mola harus dievaluasi untuk
kemungkinan terjadinya komplikasi medis seperti anemia, toksemia, atau
hipertiroidisme. Semua pasien harus menjalani pemeriksaan fisik lengkap dan
pemeriksaan laboratorium rutin, termasuk penentuan golongan darah, fungsi tiroid,
hati, dan ginjal.
Pemeriksaan radiologis x-rays, magnetic resonance imaging dan computed
tomography thorax, pelvis, otak dan abdomen juga sangat dibutuhkan untuk
mengevaluasi kemungkinan terjadinya metastase jauh. Data yang pernah didapatkan
dari beberapa sentra disebutkan terjadinya rekurensi peningkatan kadar β-hCG sebesar
kurang dari 1% pada pasien yang telah dinyatakan bebas selama 6 bulan berturut-turut.
Mola dianggap sebagai lesi prakanker karena 15-20% dari mola hidatidosa
lengkap (CMH) dan 1% dari mola hidatidosa parsial (PMH) mengalami transformasi

15
maligna. Jaringan trofoblas menginvasi sistem pembuluh darah ibu dan dapat diangkut
ke organ ekstrauterine lokal seperti vagina dan panggul, tetapi dapat mencapai organ
yang lebih jauh seperti paru-paru dan otak. Metastase yang sangat langka yaitu ke
sumsum tulang belakang dan jaringan paraspinal juga pernah dilaporkan. Metastase
ekstrauterin biasanya terdeteksi secara klinis beberapa bulan setelah evakuasi
kehamilan mola. Koriokarsinoma biasanya dapat mencapai hitungan tahun paska
evakuasi kehamilan mola baru terdeteksi secara klinis.
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut :
1. Perdarahan yang hebat sampai syok
2. Perdarahan berulang-ulang yang dapat menyebabkan anemia
3. Infeksi sekunder
4. Perforasi karena tindakan atau keganasan
5. Anemia
6. Preeklampsi atau Eklampsia
7. Tirotoksikosis
8. Perforasi karena keganasan dan karena tindakan
9. Menjadi ganas (PTG) pada kira - kira 18-20% kasus, akan menjadi mola destruens
atau koriokarsinoma.
2.12 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a) Identitas pasien.
Seperti : nama, umur, pendidikan, status pernikahan, pekerjaan, alamat
b) Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama Biasanya klien datang dengan keluhan nyeri atau kram
perut disertai dengan perdarahan pervaginam, keluar secret pervaginam,
muntah-muntah
2. Riwayat kesehatan sekarang Biasanya keluhan pasien akan mengalami
perdarahan pervaginam diluar siklus haidnya, terjadi pembesaran uterus
lebih besar dari usia kehamilan
3. Riwayat kesehatan dahulu Poltekkes Kemenkes Padang 15 Kaji jumlah
paritas ibu, paritas lebih dari 3 perlu diwaspadai karena semakin banyak
anak keadaan rahim ibu akan semakin melemah. ibu multipara cenderung
beresiko terjadinya kehamilan mola hidatidosa karena trauma kelahiran.
4. Status obstetri ginekologi

16
a. Usia saat hamil , sering terjadi pada usia produktif 25 – 45 tahun,
berdampak bagi psikososial, terutama keluarga yang masih
mengharapkan anak.
b. Riwayat persalinan yang lalu, Apakah klien melakukan proses
persalinan di petugas kesehatan atau di dukun, melakukan persalinan
secara normal atau operasi.
c. Riwayat penggunaan alat kontrasepsi, seperti penggunaan IUD. d.
Adanya keluhan haid, keluarnya darah haid dan bau yang menyengat.
Kemungkinan adanya infeksi.
5. Riwayat kesehatan keluarga Hal yang perlu dikaji kesehatan suami,
apakah suami mengalami infeksi system urogenetalia, dapat menular pada
istri dan dapat mengakibatkan infeksi pada celvix.
a) Pola aktivitas sehari – hari
1. Pola nutrisi Biasanya pada klien mola hidatidosa terjadi penurunan
nafsu makan, karena pasien biasanya akan mengalami mual dan
muntah akibat peningkatan kadar hCG dalam tubuh.
2. Eliminasi Biasanya pada BAB klien ini dapat menimbulkan resiko
terhadap konstipasi itu diakibatkan karena penurunan peristaltik
usus, imobilisasi, obat nyeri, adanya intake makanan dan cairan yang
kurang. Sehingga tidak ada rangsangan dalam pengeluaran feces.
Pada BAK klien mengalami output urine yang menurun <
1500ml/hr, karena intake makanan dan cairan yang kurang.
3. Personal hygiene Poltekkes Kemenkes Padang 16 Biasanya akibat
banyak nya perdarahan yang dialami pasien akan mengalami
kelemahan fisik, pasien akan mengalami pusing dan dapat
mengakibatkan pembatasan gerak, takut mlakukan aktivitas, karena
kemungkinan akan timbul nya nyeri, sehingga dalam personal
hygiene tergantung pada orang lain.
4. Pola aktivitas (istirahat tidur) Biasanya terjadi gangguan istirahat,
nyeri akibat luka post op atau setelah kuratese
b) Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum Biasanya keadaan umum kllien akan tampak pucat,
lemah, lesu, dan tampak mual atau muntah

17
2. Pemeriksaan kepala dan leher Biasanya muka dan mata pucat,
conjungtiva anemis
3. Pemeriksaan leher dan thorak Tanda-tanda mola hidatidosa tidak
dapat di identifikasikan melalui leher dan thorax
4. Pemeriksaan abdomen Biasanya hampir 50 % pasien mola hidatidosa
uterus lebih besar dari yang diperkirakan dari lama nya
amenore.Pada 25% pasien uterus lebih kecil dari yang
diperkirakan.Bunyi jantung janin tidak ada. (Prawirohardjo, 2010)
5. Pemeriksaan genetalia Biasanya sebelum dilakukan tindakan operasi
pada pemeriksaan genetalia eksterna dapat ditemukan adanya
perdarahan pervaginam.
6. Pemeriksaan ekstremitas Poltekkes Kemenkes Padang 17 Pada
ekstrimitas atas dan bawah biasanya ditemukan adanya akral dingin
akibat syok serta tanda-tanda cyanosis perifer pada tangan dan kaki.
c) Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan HCG
2. Pemeriksaan USG
2. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan pervaginam
2. Nyeri berhubungan dengan perdarahan, proses penjalaran penyakit
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan asupan oral, ketidaknyamanan mulut, mual sekunder akibat
peningkatan kadar HCG
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan fungsi peran
3. Intervensi Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan pervaginam
Manajemen cairan
1. Jaga intake atau asupan yang akurat dengan catat output pasien
2. Monitor status hidrasi ( misalnya, membran mukosa lembab,denyut nadi
adekuat)
3. Monitor hasil laboratorium yang relevan dengan retensi cairan ( misalnya
penurunan hematokrit )
4. Monitor tanda-tanda vital pasien

18
5. Monitor makanan atau cairan yang dikonsumsi dan hitung asupan kalori
harian
6. Berikan terapi IV
7. Dukung pasien dan keluarga untuk membantu dalam pemberian makan
dengan baik
Pencegahan perdarahan
1. Catat nilai hemoglobin dan hemtokrit sebelum dan setelah pasien
kehilangan darah sesuai indikasi
2. Monitor tanda dan gejala perdarahan menetap ( contoh : cek smua sekresi
darah yang terlihat jelas maupun yang tersembunyi )
3. Monitor komponen koagulasi darah (termasuk protrombin time (PT),
Partial Thromboplastin Time (PTT), fibrinogen, degradasi fibrin, dan
trombosit hitung dengan cepat.
4. Monitor tanda-tanda vital
5. Pertahankan agar pasien tetap tirah baring jika terjadi perdarahan aktif
6. Instruksikan pasien untuk meningkatkan makanan yang kaya vitamin K
2. Nyeri berhubungan dengan perdarahan, proses penjalaran penyakit
Manajemen nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan berat nya nyeri
2. Pastikan perawatan analgetik bagi pasien dilakukan dengan pemantauan
yang ketat
3. Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai nyeri
4. 4. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama
nyeri akan dirasakan, mengantisipasi dari ketidaknyamanan akibat
prosedur
5. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
6. Pilih dan implementasikan tindakan yang beragam ( misalnya,
farmakologi, non farmakologi, interpersonal ) untuk memfasilitasi
penurunan nyeri, sesuai dengan kebutuhan
7. Evaluasi ke efektifan dari tindakan pengontorl nyeri yang dipakai selama
pengkajian nyeri yang dilakukan

19
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan asupan oral, ketidaknyamanan mulut, mual sekunder akibat
peningkatan kadar HCG
Manajemen Nutrisi
1. Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi
persyaratan gizi
2. Lakukan atau bantu pasien terkait dengan perawatan mulut sebelum makan
3. Monitor kalori dan asupan makanan
4. Monitor kecendrungan terjadinya penurunan dan kenaikan berat badan
5. Berikan arahan bila diperlukan
Monitor Nutrisi
1. Timbang berat badan pasien
2. Monitor kecendrungan turun dan naiknya berat badan
3. Identifikasi pertumbuhan berat badan terakhir
4. Monitor tugor kulit dan mobilitas
5. Monitor adanya mual muntah
6. Monitor adanya (warna) pucat, kemerahan dan jaringan konjungtiva yang
kering
7. Lakukan pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht )
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan fungsi peran
Terapi Relaksasi
1. Tentukan apakah ada intervensi relaksasi dimasa lalu yang sudah
memberikan manfaat
2. Berikan deskripsi detail terkait intervensi relaksasi yang dipilih
3. Ciptakan lingkungan yang tenang dan tanpa distraksi dengan lampu yang
redup dan suhu lingkungan yang nyaman, jika memungkinkan
4. Dapatkan perilaku yang menunjukan terjadinya relaksasi, misalnya
bernapas dalam, menguap, pernapasan perut, atau banyangan yang
menyenangkan
5. Minta klien untuk rileks dan merasakan sensasi yang terjadi
6. Tunjukan dan praktekan teknik relaksasi pada pasien Evaluasi dan
dokumentasikan respon terhadap terapi relaksasi

20
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada wanita yang mengalami Mola hidatidosa sering mengalami mual muntah
akibat produksi Hcg yang tinggi. Produksi ini meningkat disebabkan pembesaran uterus
yang abnormal lebih besar daripada pembesaran uterus biasanya. Sehingga
menyebabkan distensi rahim yang bisa menyebabkan mual muntah pada penderita Mola
hidatidosa. Selain itu perdarahan yang abnormal saat usia kehamilan masih muda, dapat
menyebabkan resiko tinggi infeksi. Resiko infeksi harus segera diatasi untuk
menghindari gejala infeksi yaang dapat membahayakan bagi keselamatan wanita
tersebut. Perlu pengetahuan ibu tentang beberapa gejala penyakit yang dapat menyerang
ibu hamil saat berada pada usia kehamilannya yang masih baru tau berada pada
Trimester 1.
3.2. Saran
1. Untuk Klien
Diharapkan klien dengan kehamilan Molahidatidosa mendapatkan perawatan dan
penanganan yang komprehensif, serta melakukan follow up pasca mola selama 12
bulan sesuai jadwal, supaya dapat mendeteksi sedini mungkin bila terjadi
keganasan sampai pasien benar-benar dikatakan sembuh atau sehat.
2. Untuk Sarana Kesehatan
Diharapkan sarana kesehatan untuk memberikan penanganan yang lebih baik lagi,
untuk meminimalkan kejadian kematian ibu akibat perdarahan khususnya yang
diakibatkan kehamilan Molahidatidosa dan kejadian keganasan akibat
Molahidatidosa.

21
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/279752602/Kegawatdaruratan-Maternal-Dan-Neonatal
https://www.scribd.com/doc/20903278/Askeb-Dengan-Mola-Hydatidosa
https://tiarameltiaputri.wordpress.com/2014/06/24/mola-hidatidosa
https://www.scribd.com/doc/78596622/ASKEP-MOLAHIDATIDOSA
https://www.scribd.com/document/128842048/Kegawatdaruratan-Obstetri
NANDA. 2006. Nursing Diagnosis : Definition and Classification. Philadelphia : North
American Nursing Association.
Mansjoer, dkk. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesbulapius Fakultas UI
Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 2. Jakarta: EGC
Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri. Edisi 2. Jakarta: EGC
Prawirohardjo. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBPSP
Sarwono. 1994. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Jakarta
Sulaiman. 2004. Ilmu Kesehatan Reproduksi. Edisi 2. Jakarta: EGC
Wiknjosartro. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

22

Anda mungkin juga menyukai