Anda di halaman 1dari 47

REFERAT

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

“Endometriosis”

Pembimbing :

dr. Wahyu Widoyoko, Sp.OG (K)

Oleh :

Ni Putu Sintya Radhayanti

20710111

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA

SURABAYA

DI RSUD KABUPATEN SIDOARJO

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia- Nya
sehingga referat yang berjudul “Endometriosis” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak
lupa penulis juga menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan segala pihak yang telah
berkontribusi dalam penulisan referat ini, khususnya pihak dokter pembimbing
Kepaniteraan Klinik SMF Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo
yang telah memberikan dasar materi yang dapat membantu mengarahkan penulisan referat
ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan memiliki banyak
kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun demi terciptanya
kesempurnaan referat ini. Harapan penulis adalah referat ini dapat bermanfaat baik bagi
penulis sendiri maupun bagi pembaca.

Sidoarjo, Juli 2021

Ni Putu Sintya Radhayanti

DAFTAR ISI

ii
Halaman

Halaman Judul.............................................................................................. i

Kata Pengantar ............................................................................................ ii

Daftar Isi...................................................................................................... iii

Daftar Gambar.............................................................................................. iv

Daftar Tabel................................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang........................................................................... 1

1.2 Tujuan........................................................................................ 2

1.3 Manfaat ..................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 3

2.1 Definisi...................................................................................... 3

2.2 Lokasi Anatomi ........................................................................ 4

2.3 Epidemiologi............................................................................. 5

2.4 Patogenesis ............................................................................... 5

2.5 Faktor Risiko............................................................................. 16

2.6 Klasifikasi................................................................................. 17

2.7 Gejala Klinis............................................................................... 19

2.8 Penegakkan Diagnosis............................................................... 23

2.9 Diagnosis Banding.................................................................... 27

2.10 Tatalaksana.............................................................................. 28

2.11 Prognosis................................................................................. 35

iii
BAB III PENUTUP.................................................................................... 36

3.1 Kesimpulan .............................................................................. 36

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 38

DAFTAR GAMBAR

iv
Halaman

Gambar 2.1 Organ Internal Sistem Reproduksi Wanita.............................. 3

Gambar 2.2 Lokasi dari implant endometriosis................................................ 4

Gambar 2.3 Teori aliran balik darah haid.................................................... 7

Gambar 2.4 Teori metaplasia ...................................................................... 8

Gambar 2.5 Teori hormon............................................................................ 9

Gambar 2.6 Teori hormon resistensi progesteron ....................................... 11

Gambar 2.7 Teori inflamasi pada patogenesis endometriosis ..................... 13

Gambar 2.8 Teori defek sistem imun .......................................................... 14

Gambar 2.9 Teori defek sistem imun sistem imunsurveilen........................ 14

Gambar 2.10 Klasifikasi endometriosis.......................................................... 18

Gambar 2.11 Stadium dari endometriosis ................................................... 19

Gambar 2.12 Kista endometriosis pada USG transvaginal.......................... 24

Gambar 2.13 Nodul endometriotik pada kandung kemih............................ 25

Gambar 2.14 Endometriosis pada septum rectovaginal............................... 25

Gambar 2.15 Lesi endometriosis di peritoneum, uterus, dan ovarium........ 27

Gambar 2.16 Laparoskopi kista endometriosis............................................ 34

DAFTAR TABEL

v
Halaman

Tabel 2.1 Teori patogenesis dan mekanisme endometriosis........................ 6

Tabel 2.2 Klasifikasi endometriosis............................................................. 17

Tabel 2.3 Diagnosis banding endometriosis................................................ 28

Tabel 2.4 Dua prinsip terapi endometriosis................................................. 28

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Endometriosis merupakan kondisi medis pada wanita yang ditandai dengan


tumbuhnya sel-sel endometrium di luar kavum uteri. Sel-sel endometrium yang
melapisi kavum uteri sangat dipengaruhi hormon wanita. Dalam keadaan normal, sel-
sel endometrium kavum uteri akan menebal selama siklus menstruasi berlangsung
agar nantinya siap menerima hasil pembuahan sel telur oleh sperma. Bila sel telur
tidak mengalami pembuahan, maka sel-sel endometrium yang menebal akan meluruh
dan keluar sebagai darah menstruasi.

Endometriosis adalah suatu penyakit ginekologis yang sering terjadi pada


sedikitnya 10% wanita usia reproduksi. Pada wanita dengan keluhan nyeri panggul,
infertilitas atau massa adneksa 35-50% diantaranya adalah penderita endometriosis.
Diperkirakan bahwa 8% hingga 10% wanita di dunia menderita endometriosis.
Endometriosis pada pelvis terdapat pada 6% hingga 43% wanita yang dilakukan
sterilisasi, 12% hingga 32% wanita yang menjalani laparoskopi dengan indikasi nyeri
panggul, dan 21% hingga 48% wanita yang menjalani laparoskopi pada infertilitas.
Endometriosis biasanya terjadi pada wanita usia reproduksi dan lebih jarang pada
wanita pascamenopause. Endometriosis lebih sering terjadi pada wanita yang belum
pernah memiliki anak. Banyak wanita dengan endometriosis tidak menunjukkan
gejala, dan diagnosis ditemukan hanya saat dilakukan pembedahan untuk indikasi lain
(Luqyana, 2019).

Beberapa bukti menunjukkan bahwa endometriosis mungkin memiliki faktor


genetik. Wanita dengan orang tua yang mengalami endometriosis memiliki
peningkatan risiko 7 - 10 kali lipat untuk terjadinya endometriosis. Mekanisme
genetik pada kasus ini adalah poligenik dan multifaktorial (Luqyana, 2019).

1
1.2 Tujuan
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas persyaratan mengikuti ujian akhir
dari serangkaian kegiatan kepaniteraan klinik Bagian Kebidanan dan Kandungan dan
untuk mengetahui tentang Endometriosis.

1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan penyusun referat ini yaitu:
a. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan masukan bagi institusi pendidikan untuk menjadi kepustakaan
penyusunan karya ilmiah lainnya.
b. Bagi Dokter Muda
Dokter muda mampu memahami dan mengaplikasikan semua ilmu yang
telah diperoleh selama proses penyusunan referat ini.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Endometriosis merupakan kondisi medis pada wanita yang ditandai dengan
tumbuhnya sel-sel endometrium di luar kavum uteri. Jaringan yang terdiri atas
kelenjar - kelenjar dan stroma, terdapat di dalam miometrium ataupun di luar uterus.
Penyakit ini bersifat jinak dan dapat mengadakan invasi ke jaringan sekitar. Bentuk
bervariasi, bisa berupa lesi tipikal, plaque atau nodul berwarna hitam, cokelat gelap,
kebiruan (Suparman, 2012).
Jaringan endometrium berlokasi ektopik, diluar cavum uteri, lesi
endometriosis tersebut dapat ditemukan di beberapa tempat, yaitu peritonemum
panggul, ovarium, tuba falopii, dinding uterus, kavum douglas, septum rektovagina,
ureter, vesical urinaria, bahkan dapat ditemukan pada lokasi yang jauh walaupun
jarang dapat misalnya pada anus, usus, apendik, pleura, dan sebagainya.
Endometriosis disebut sebagai estrogent dependent disease karena tumbuh dan
perkembangan jaringan endometrium ektopik tersebut membutuhkan stimulasi
hormone estrogen (Hendarto, 2015).

Gambar 2.1. Organ Internal Sistem Reproduksi Wanita


(sumber: Wahyuni, 2010)

3
2.2 Lokasi Anatomi
Secara patologi endometriosis paling sering ditemukan pada ovarium dan
biasanya bilateral. Struktur pelvis yang lain yang sering terdapat endometriosis yaitu
daerah cavum Douglas (terutama ligamen uterosakral dan septum rektovaginal),
ligamentum rotundum, tuba falopi, dan kolon sigmoid. Daerah yang jarang,
endometriosis jauh ditemukan pada bekas luka operasi di abdomen, umbilikus, dan
berbagai organ di luar rongga panggul, termasuk paru-paru, otak, dan bagian ureter
(Luqiana, 2019).
Penampilan kasar endometriosis sangat bervariasi dan mencakup bentuk-
bentuk berikut (Luqiana, 2019) :

a. Lesi kecil (1 mm), bening, atau putih.


b. Lesi kecil, merah tua ("mulberry"), atau coklat ("seperti debu").
c. Kista yang diisi dengan cairan yang mengandung hemosiderin berwarna merah
tua atau coklat (kista "coklat").
d. "Kubah" merah tua atau biru yang bisa mencapai 15 sampai 20 cm.

Gambar 2.2 Lokasi dari implant endometriosis


Sumber : (Luqiana, 2019).

Fibrosis reaktif sering mengelilingi lesi-lesi ini, yang memberikan penampilan


tampak mengerut. Penyakit yang bermetastasis lebih lanjut menyebabkan fibrosis
parah dan dapat menyebabkan perlekatan yang padat. Wanita dengan endometriosis

4
menunjukkan berbagai gejala. Sifat dan keparahan dari gejala mungkin tidak sesuai
dengan lokasi atau luasnya penyakit (Luqiana, 2019).

2.3 Epidemiologi
Data studi epidemiologi menunjukkan bahwa endometriosis terjadi pada 5-
15% wanita usia 15-49tahun serta 3-5% wanita usia > 49 tahun. Wanita yang
mengalami endometriosis dilaporkan sebanyak 7 juta di Amerika Serikat dan > 70
juta secara global. Hingga saat ini angka tersebut ditinjau terus menunjukkan
peningkatan (Pramesti et al., 2020).
Di Indonesia Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang
paling banyak dihadapi pada saat ini. Angka kejadian endometriosis pada populasi
umum seluruh wanita di dunia mencapai 5-20%. Kejadian endometriosis pada
perempuan dengan keluhan dismenorea (nyeri haid) adalah 40-80%, sedangkan pada
perempuan dengan infertilitas sekitar 20-50% (Hanina et al., 2018).

2.4 Patogenesis
Terdapat tiga teori tentang etiologi dari endometriosis. Teori Halban
menyebutkan bahwa jaringan endometrial ditransport melalui system limfatik ke
beberapa daerah di pelvis, dimana kemudian ia bertumbuh secara ektopik. Teori
Meyer mengatakan bahwa sel multipotensial di jaringan peritoneal melakukan
transformasi metaplastik menjadi jaringan endometrial fungsional. Lalu, teori
Sampson menyebutkan bahwa jaringan endometrial ditransport melalui tuba fallopi
selama menstruasi retrogard dan akhirnya terjadi implantasi di intra-abdominal
pelvic. Teori ini dibuktikan dengan ditemukan adanya darah haid dalam rongga
peritoneum pada waktu haid dengan laparoskopi, dan sel endometrium yang ada
dalam darah haid itu dapat dikultur dan dapat hidup menempel serta bertumbuh
kembang pada sel mesotel peritoneum.

5
Tabel 2.1 Teori patogenesis dan mekanisme endometriosis.

TEORI MEKANISME
Aliran balik darah Aliran balik darah haid berisi jaringan
haid endometrium menuju rongga panggul sehingga
terjadi implantasi menjadi jaringan endometriosis
Metaplasia Transformasi sel-sel peritoneum menjadi jaringan
endometriosis melalui stimulasi factor hormone
dan imunologi
Homon Proliferasi jaringan endometriosis distimulasi oleh
hormone esterogen dan di kontrol resistensi
progesteron
Inflamasi dan stress Produksi sel imun dan beberapa sitokin
oksidatif mempromosi pertumbuhan jaringan endometriosis
Defek sistem imun Menghambat eliminasi debris menstruasi dan
mempromosi pertumbuhan dan implantasi menjadi
jaringan endometriosis
Genetik Penyakit poligenik/multifactor melibatkan
beberapa gen kandidat yang berpotensi keterkaitan
biologis dengan kejadian endometriosis
Stem Cell Inisiasi deposit jaringan endometriosis oleh sel-sel
yang belum berdiferensiasi dengan kemampuan
melakukan regenerasi

Teori Aliran Balik Darah Haid termasuk teori paling tua menerangkan
etiologi endometriosis. Pada teori tersebut digambarkan bahwa terdapat aliran balik
darah haid yang berisi jaringan endometrium melalui saluran tuba falopii kemudian
tumpah keluar dan melakukan implantasi di rongga peritoneum. Teori yang
dikembangkan oleh Sampson pada tahun 1927 ini telah dikonfirmasi dengan
pemeriksaan laparoskopi yang memang terbukti bahwa terdapat aliran balik darah
haid pada sebagian besar perempuan. Beberapa bukti mendukung teori Sampson,
yaitu meningkatnya kejadian endometriosis pada perempuan dengan anomali duktus
Mulleri berupa obstruksi pada kanalis serviks sehingga darah haid tidak bisa keluar
secara normal di uterus. Berdasarkan teori ini endometriosis merupakan konsekuensi
dari aliran balik darah haid melalui saluran telur yang berlanjut dengan implantasi dan
tumbuh di peritoneum dan ovarium.

6
Beberapa bukti pendukung teori John Sampson di atas adalah sebagai berikut.
a. Pada pemeriksaan laparoskopi saat haid terlihat aliran darah keluar
dari fimbria.
b. Endometriosis tampak di ovarium, kavum douglasi, ligamentum
sakrouterinum, dinding belakang uterus dan ligamentum latum.

Gambar 2.3 Teori aliran balik darah haid (retrograde menstruation) melalui tuba falopii
(Teori Sampson)
(sumber: Burney, 2012)

Teori Metaplasia menyatakan bahwa endometriosis berasal dari sel ekstra


uteri yang secara abormal melakukan transdiferensiasi atau transformasi menjadi sel
endometriosis. Teori metaplasia celomic mempostulasikan bahwa endometriosis
berasal dari metaplasia sel-sel yang sudah terspesialisasi di lapisan mesotel di
peritoneum dan organ visera abdomen. Diduga hormon dan faktor imunologi yang
berperan menstimuli sel-sel peritoneum tersebut menjadi sel mirip endometrium.
Teori metaplasia coelomic ini dapat menerangkan kejadian endometriosis pada
remaja putri prepubertas yang belum mendapat haid. Ternyata endometriosis juga
ditemukan pada fetus perempuan, keadaan ini diduga merupakan hasil defek
embriogenesis. Berdasarkan teori ini sel embrionik residu dari duktus Wolf dan
Mulleri tetap persisten dan karena pengaruh hormon estrogen menjadi berkembang
menjadi endometriosis. Teori metaplasia coelomic ini dapat menerangkan kejadian
endometriosis pada remaja bahkan selanjutnya berkembang menjadi endometriosis
stadium berat dan progresif. Faktor biokimia dan imunologi endogen berperan
menginduksi sel- sel undifferentiated berdiferensiasi menjadi sel mirip
endometrium di lokasi ektopik.

7
Gambar 2.4 Teori metaplasia pada patogenesis endometriosis; Hormone-dependent
transformation dari sel peritoneum menjadi Mullerian-type cells.
(sumber: Burney, 2012)

Teori Hormon terkait dengan teori sebelumnya bahwa kejadian endometriosis


sebagian besar didapatkan pada perempuan usia reproduksi dan tidak terjadi pada
perempuan usia pascamenopause yang sudah tidak mempunyai hormon estrogen lagi.
Hormon seks steroid berperan sentral pada patogenesis endometriosis. Pada siklus
haid normal hormon estrogen berperan pada proliferasi endometrium, keadaan ini
sama dengan endometriosis dimana hormon estrogen menstimulasi proliferasi
endometrium ektopik dan meningkatkan respon jaringan endometriosis terhadap
estrogen. Perubahan hormon tersebut berpengaruh pada proliferasi sel endometrium
ektopik, penempelan pada mesotelium dan penghindaran dari clearance sistem imun
tubuh. Keadaan di atas mendukung konsep bahwa endometriosis adalah estrogen
dependent disease.
Di dalam jaringan endometriosis didapatkan formasi estrogen yang tinggi.
Hormon estrogen yang berada di dalam jaringan endometriosis dapat berasal dari tiga
sumber, yaitu dari ovarium, jaringan ekstraovarium (jaringan adiposa dan kulit) dan
berasal dari produksi jaringan endometriosis itu sendiri. Sumber utama estradiol
adalah androstenedion (A) yang berasal dari adrenal dan ovarium, kemudian
dikonversi menjadi estron (E1) dan selanjutnya menjadi estradiol (E2). Telah terbukti
terdapat peningkatan ekspresi enzim 17b hidroksisteroid dehidrogenase tipe 1 di
jaringan endometriosis yang mengkatalisis konversi dari E1 ke E2. Didapatkan bukti
pula bahwa estradiol dan sitokin Interleukin (IL)-1b dan Tumor Necrosis Factor

8
(TNF)-a yang meningkat pada endometriosis akan mengaktivasi enzim siklo-
oksigenase-2 (COX-2) hingga akan meningkatkan prostaglandin E2 (PGE2). PGE2
ini adalah stimulator paling poten untuk aktivitas aromatase di stroma jaringan
endometriosis.
Selain itu didapatkan perbedaan aktivitas enzim 17b hidroksisteroid
dehidrogenase (17b-HSD) antara di jaringan endometrium eutopik (endometrium
yang berada didalam kavum uteri) dan di jaringan endometrium ektopik
(endometriosis). Di jaringan endometrium eutopik terdapat keseimbangan antara 17b-
HSD tipe 1 dan tipe 2. Perlu diketahui sebagai respons adanya hormon progesteron
pada siklus normal endometrium, enzim 17β-HSD tipe 2 akan melakukan inaktivasi
estradiol dengan cara mengkonversi menjadi estron yang lebih tidak poten.

Gambar 2.5 Teori Hormon: Biosintesis hormon estrogen di jaringan endometriosis.


Androstenedion (A) di jaringan endometriosis berasal dari adrenal dan ovarium. A
mengalami proses aromatisasi menjadi estron dan selanjutnya dikonversi menjadi estradiol
(E2). Kadar IL-1b, TNF- a dan E2 yang tinggi di jaringan endometriosis akan mengaktivasi
enzim COX-2 sehingga terjadi peningkatan PGE2 yang berasal dari asam arakhidonat.
PGE2 merupakan stimulator poten proses aromatisasi. Di jaringan endometriosis terjadi
resistensi progesteron sehingga terjadi penurunan enzim 17b-HSD tipe 2.
(sumber: Burney, 2012)

9
Berbeda dengan kejadian di jaringan endometriosis, yaitu terdapat penurunan
ekspresi enzim 17β-HSD tipe 2 yang berakibat tidak mampu melakukan konversi E2
ke E1 seperti pada siklus normal sehingga kadar estradiol yang poten tetap tinggi pada
jaringan endometriosis. Keadaan ini karena terjadi resistensi progesteron di jaringan
endometriosis.
Jaringan endometriosis tidak mampu mengaktivasi enzim 17β-HSD tipe 2
karena terdapat “down-regulation” RP-B sehingga gagal melakukan metabolisme
estradiol menjadi estron yang lebih tidak poten. Konsekuensi adalah pasien akan
terpapar dengan Estradiol kadar tinggi terus-menerus. Pemahaman terhadap
mekanisme molekuler yang mendasari defisiensi RP-B menjadi salah satu pemikiran
penting pada patogenesis endometriosis.
Konsep resistensi progesteron pada endometriosis melibatkan ekspresi
abnormal reseptor estrogen (RE)α dan reseptor estrogen (RE)β yang berdampak pada
penurunan ekspresi reseptor progesteron (RP). Suatu mekanisme kompleks yang
melibatkan regulasi promoter pada gen reseptor estrogen bertanggung jawab terhadap
keadaan patologis di stroma jaringan endometriosis tersebut. Berbeda dengan kejadian
di jaringan endometrium normal, di jaringan endometriosis terjadi hipometilasi CpG
island pada regio promoter gen REβ. Selanjutnya daerah hipometilasi tersebut
diduduki oleh co-activator (Co-Act) berupa enhancer transcriptional complex,
kemudian akan mengaktivasi ekspresi REb. Peningkatan ekpresi REb akan menekan
ekspresi REa yang selanjutnya membuat terjadi penurunan ratio REa : REb. Kondisi
rasio REa : REb yang rendah di stroma jaringan endometriosis akan memicu
pergeseran dari estradiol stimulasi menjadi estradiol inhibisi ke ekspresi reseptor
progesteron.

10
Gambar 2.6 Teori hormon resistensi progesteron. (A) Terjadi hipometilasi CpG island di
regio promoter gen REb di stroma jaringan endometriosis sehingga terjadi aktivasi dan
peningkatan ekspresi REb. (B) Peningkatan REb akan menekan REa. (C) Rasio REa: REb
yang rendah akan memicu inhibisi RP-B.
(sumber: Burney, 2012)

Mekanisme ini yang menjadi jawaban etiologi penurunan RP-B di stroma


jaringan endometriosis yang berkontribusi pada patogenesis resistensi progesteron
pada perempuan dengan endometriosis. Ekspresi RP-B yang rendah di stroma
jaringan endometriosis akan mengganggu interaksi epitel-stroma normal sehingga sel
epitel akan rusak dan selanjutnya terjadi defisiensi enzin 17β-HSD tipe 2 dan pada
gilirannya terjadi resistensi progesteron.
Teori Inflamasi Dan Stres Oksidatif beberapa studi membuktikan telah
terjadi peningkatan penanda inflamasi di serum dan zalir peritoneum perempuan
penderita endometriosis. Selain itu, keluhan nyeri pada penderita endometriosis dapat
berkurang dengan pemberian obat nonsteroid antiinflamasi. Bukti diatas mendukung
inflamasi kronis terlibat pada patogenesis endometriosis.

11
Di zalir peritoneum perempuan dengan endometriosis ditemukan banyak
makrofag aktif dan sejumlah sitokin. Suatu protein mirip haptoglobin ditemukan
berikatan dengan makrofag di zalir peritoneum sehingga membuat makrofag tersebut
kehilangan kemampuan fagositosis dan justru akan mengeluarkan beberapa sitokin
pro-inflamasi, yaitu interleukin (IL)-6, macrophage migration inhibitory factor
(MIF), TNF-α, IL-1β, IL-8, regulated on activation normal T expressed and secreted
(RANTES) dan monocyte chemotactic protein (MCP)-1. Di jaringan endometriosis
TNF-α memicu sel endometriosis memproduksi prostaglandin (PG)F2α dan PGE2,
sedangkan makrofag di zalir peritoneum juga mensekresi enzim cyclo-oxigenase
(COX)-2 yang memproduksi PGE2 dan selanjutnya akan mengaktivasi steroidogenic
acute reguatory protein dan aromatase. Aktivasi PGE2 akan menyebabkan terjadi
peningkatan estradiol lokal di jaringan endometriosis. Mekanisme di atas yang
mendasari interaksi estrogen-dependent dengan proses inflamasi di endometriosis.
Selain itu patogenesis endometriosis juga terkait dengan oksidasi lipoprotein
dan selanjutnya Reactive Oxygen Species (ROS) akan menyebabkan peroksidasi lipid
yang mengakibatkan kerusakan DNA sel endometrium. Volume zalir peritoneum
perempuan dengan endometriosis meningkat lebih tinggi dari normal yang ditandai
dengan peningkatan air dan elektolit sebagai sumber ROS.
ROS akan menyebabkan terjadi pelepasan produk pro-inflamasi dan stres
oksidatif sehingga menimbulkan reaksi inflamasi, selanjutnya mengakibatkan
penumpukan limfosit dan makrofag yang kaya dengan produksi sitokin. Beberapa
sitokin tersebut akan menginduksi oksidasi enzim dan mempromosi pertumbuhan sel
endotel. Akumulasi ROS berkontribusi pada perkembangan penyakit endometriosis
beserta keluhannya.

12
Gambar 2.7. Teori inflamasi pada patogenesis endometriosis. Makrofag di zalir
peritoneum menjadi aktif dan memproduksi berbagai sitokin proinflamasi untuk
menstimuli lingkungan mikro yang ideal bagi pertumbuhan jaringan endometriosis.
(sumber: Burney, 2012)

Teori Defek Sistem Imun kemampuan jaringan endometrium untuk mampu


bertahan hidup di lokasi ektopik diduga berhubungan dengan respons imun penderita
yang abnormal. Sampai sekarang belum diketahui imunitas abnormal ini sebagai
sebab atau akibat kejadian endometriosis. Telah diketahui terjadi perubahan imunitas
seluler maupun humoral pada penderita endometriosis sehingga respons imun yang
abnormal ini akan menghasilkan eleminasi yang tidak efektif terhadap debris-debris
aliran balik darah haid. Kondisi ini menjadi faktor penyebab perkembangan penyakit
endometriosis.
Regurgitasi jaringan endometrium kedalam rongga peritoneum memicu respon
inflamasi sehingga menyebakan penumpukan makrofag dan leukosit lokal. Pada
penderita endometriosis makrofag peritoneum akan teraktivasi, sedangkan sel NK
akan terepresi karena ada perubahan ekspresi reseptor killer. Keadaan ini
menyebabkan penyakit endometriosis menjadi berkembang melalui peningkatan
produksi sitokin dan faktor pertumbuhan yang menstimulasi proliferasi endometrium
ektopik dan penghambatan fungsi scavenger.
Respons inflamasi pada endometriosis akan menyebabkan defek
imunsurveilen sehingga menghambat eliminasi debris darah haid dan memicu
implantasi serta pertumbuhan sel endometrium di lokasi ektopik.

13
Gambar 2.8 Teori defek sistem imun. Pada perempuan dengan endometriosis
aktivitas sitotoksik sel NK terrepresi.
(sumber: Burney, 2012)

Gambar 2.9 Teori defek sistem imun sistem imunsurveilen. Sistem imunsurveilen
tidak mampu mengenali sel endometriosis karena terjadi peningkatan ekspresi
sICAM-1 sehingga tidak terjadi interaksi LFA-1/ICAM-1.
(sumber: Burney, 2012)

Teori Genetik pada patogenesis endometriosis adalah laporan terkait agregasi


famili dan risiko tinggi pada first degree relative serta kejadian endometriosis pada
saudara kembar. Dengan menggunakan linkage analysis beberapa candidate genes
yang mempunyai potensi keterkaitan biologis dengan kejadian endometriosis telah
ditemukan. Beberapa gen tersebut antara lain gen yang mengkode detoksifikasi

14
enzim, polimorfisme reseptor estrogen dan gen yang berhubungan dengan sistem
imun tubuh. Polimorfisme komponen reseptor dioksin bersama-sama dengan gen
terkait detoksifikasi berkontribusi pada kejadian endometriosis tingkat lanjut.
Endometriosis adalah penyakit yang sangat tergantung dengan hormon
estrogen. Sangat mungkin bahwa variasi genetik yang menghasilkan peningkatan
pengaruh estrogen pada lesi endometriosis akan memengaruhi perkembangan
endometriosis.
Telah terbukti bahwa perempuan dengan polimorfisme REα allele mempunyai
prognosis buruk dibandingkan dengan perempuan dengan wild-type genotype.
Kondisi ini menunjukkan bahwa polimorfisme gen REα merupakan faktor risiko
genetik untuk endometriosis dan terkait dengan kekambuhan endometriosis. Selain itu
polimorfisme gen yang mengkode sitokin dan protein imunomodulator berimplikasi
juga pada patogenesis endometriosis. Predisposisi genetik ternyata meningkatkan
kejadian kerusakan seluler, misal mutasi genetik dapat menyebabkan kerusakan sel
yang berimplikasi pada progresivitas endometriosis. Hal ini tampak pada penderita
endometriosis berupa perubahan perilaku sel endometrium yang memungkinkan dapat
tumbuh di lingkungan ekstrauteri.
Teori sTem Cell sejak teori Sampson dikemukakan telah banyak pendapat
maupun teori lain dikembangkan, namun penjelasan etiologi dan patogenesis
endometriosis tetap belum tuntas dan penuh teka-teki. Saat ini dikemukakan teori
stem cell yang membuka wacana lanjut terkini untuk mengetahui etiologi
endometriosis.
Stem cell adalah sel yang tidak/belum terspesialisasi yang mempunyai dua
sifat, yaitu mampu berdiferensiasi menjadi sel lain dan mampu memperbarui atau
meregenerasi diri sendiri (self renewal). Secara spesifik telah diketahui eksistensi
stem cell pada regenerasi endometrium setiap bulan setelah haid dan pada
reepitelialisasi endometrium pascapersalinan dan kuret. Stem cell tersebut ditemukan
berada pada lapisan basalis endometrium. Saat ini sel klonogenik yang merupakan
representasi populasi stem cell pada endometrium manusia telah diidentifikasi dan
diduga kuat berkaitan dengan tumbuhnya formasi jaringan endometrium ektopik.
Teori kombinasi lebih bisa diterima untuk patogenesis endometriosis, yaitu
eksistensi stem cell endometrium pluripoten dan kontribusi bone marrow sebagai
sumber lain stem cell endometrium. Stem cell endometrium yang lepas melalui

15
saluran tuba falopii saat menstruasi bertanggung jawab terhadap terjadinya implan
endometriosis dan juga stem cell yang bersirkulasi berasal dari bone marrow dapat
mencapai rongga peritoneum ikut berperan pada patogenesis endometriosis.
Observasi dilakukan pada hewan baboon yang dilakukan induksi pemberian
jaringan endometrium lapisan basalis yang kaya stem cell ternyata menghasilkan
100% jaringan endometriosis pada seluruh hewan coba. Lapisan basalis endometrium
yang berisi stem cell/sel progenitor mampu bertahan tetap hidup menjadi deposit
endometriosis karena kemampuan untuk regenerasi dibandingkan dengan sel
endometrium lapisan fungsional. Ternyata saat terjadi aliran balik darah haid
perempuan penderita endometriosis melepaskan lebih banyak lamina basalis
dibandingkan perempuan sehat tanpa endometriosis. Stimulasi sitokin dan faktor
pertumbuhan pada sel endometrium lapisan basal ektopik akan terjadi aktivasi
renewal invasi, dan kemudian berdiferensiasi menjadi jaringan endometriosis. Sebagai
alternatif lain stem cell yang berasal dari bone marrow akan berkontribusi diseminasi
hematogen melalui pembuluh darah atau secara limpatik menuju lokasi ektopik.
Perlu diketahui bahwa stem cell tersebut agar dapat berdiferensiasi menjadi sel
matur harus dalam koordinasi dengan lingkungan niche untuk memicu regenerasi
menjadi jaringan endometriosis. Lingkungan niche diperlukan sebagai pembuat sinyal
kepada stem cell bone marrow homing menuju lokasi ektopik.

2.5 Faktor Resiko


Faktor risiko endometriosis ialah riwayat keluarga seperti wanita yang ibu atau
saudara perempuannya menderita endometriosis, wanita usia produktif yaitu 15-49
tahun, siklus menstruasi kurang dari 28 hari, usia menarche yang lebih awal
(menarche dini) dari normal (<11 tahun), dan lama waktu menstruasi lebih dari 6 hari
juga berpengaruh untuk terjadinya endometriosis. Resiko lainnya seperti nuliparitas,
menoragia, dan anomali duktus müllerian berhubungan dengan peningkatan
terjadinya endometriosis (Hemmings et al, 2004).
Wanita yang memiliki hubungan derajat pertama (ibu atau saudara
perempuan) yang mengalami endometriosis memiliki resiko 7% untuk menderita
endometriosis dibandingkan wanita yang tidak memiliki riwayat keluarga memiliki
resiko 1% untuk menderita endometriosis. Hubungan antara endometriosis dan

16
penyakit inflamasi autoimun seperti lupus, asma, hipotiroid, sindrom kelelahan
kronis, fibromyalgia, dan alergi juga sedang dilakukan penelitian. Dengan alasan yang
kurang jelas, endometriosis ditemukan lebih jarang terjadi pada wanita ras kulit hitam
dan Asia (Tendean et al, 2017).
Bedasarkan penelitian Mukti tahun 2014 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
yang menunjukkan bahwa salah satu faktor risiko endometriosis adalah obesitas.
Estrogen diduga berperan dalam peningkatan kejadian endometriosis. Pada masa
reproduksi, estrogen diproduksi oleh jaringan lemak. Presentase lemak tubuh dapat
diukur menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT yang berlebih cenderung
menunjukan adanya peningkatan produksi hormone estrogen (Hanina et al, 2018).

2.6 Klasifikasi
Berdasarkan sistem klasifikasi dari American Society for Reproductive
Medicine (revised American Fertility Society Classification of Endometriosis),
endometriosis terbagi menjadi 4 stadium (Wahyuni, 2008). Keterbatasan yang
dimiliki stadium AFS adalah: Laparoskopi atau laparotomi harus dilakukan apabila
menggunakan skor AFS, adanya variasi interobserver dan intraobserver, dan apabila
tidak adanya korelasi antara tingkat penyakit dengan tingkat keparahan gejala (Konar,
2013).
Tabel 2.2 klasifikasi endometriosis

17
Stadiu Klasifikasi Skor Keterangan
m
1 Endometriosis 1-5 Implantasi terbatas dan tidak ada
minimal perlengketan

2 Endometriosis ringan 6-15 Implantasi superfisial berkelompok


dengan luas kurang dari 5 cm,
tersebar pada ovarium dan
peritoneum. Tidak ada perlengketan
yang nyata.

3 Endometriosis sedang 16-40 Implantasi superfisial dan dalam


jumlah yang multipel. Terdapat
perlengketan peritubal dan
periovarium.

4 Endometriosis berat >40 Implantasi superfisial dan dalam yang


multipel, terdapat endometrioma
ovarium yang besar. Terdapat
perlengketan yang yang hebat.

18
Gambar 2.10. Klasifikasi endometriosis. Menurut American Society
For Reproductive Medicine yang telah di revisi pada tahun 1997.
(Sumber : Hoffman 2016)

19
Gambar 2.11. Stadium dari endometriosis (Sumber : DeCherney,
2007)

2.7 Gejala Klinis


Sekitar 25 persen pasien dengan endometriosis tidak memiliki gejala, yang
secara tidak sengaja ditemukan baik selama laparoskopi atau laparotomi. Gejala tidak
berhubungan dengan luasnya lesi. Bahkan ketika endometriosis tersebar luas,
mungkin tidak ada gejala apapun. Sebaliknya, mungkin ada gejala khas dengan
endometriosis minimal. Kedalaman penetrasi lebih berkaitan dengan gejala daripada
penyebaran. Lesi menembus lebih dari 5 mm dapat menimbulkan nyeri yaitu
dismenore dan dispareunia. Gejala sebagian besar terkait dengan lokasi lesi dan
kemampuannya untuk merespons hormon. Derajat nyeri tidak berhubungan dengan
beratnya endometriosis (Konar, 2013).
Wanita dengan endometriosis yang besar mungkin memiliki beberapa gejala,
sedangkan dengan endometriosis minimal mungkin akan mengalami nyeri yang
parah. Endometriosis juga dapat asimtomatis. Rasa sakit pada endometriosis
diperkirakan lebih bergantung pada kedalaman invasi lesi daripada jumlah atau
luasnya lesi (Luqiana, 2019).
Gejala klasik endometriosis meliputi dismenorea progresif dan dispareunia.
Pada beberapa pasien dengan gejala kronis, biasanya mengalami ketidaknyamanan
pada panggul yang tidak ada henti-hentinya dengan dismenore dan dyspareunia. Nyeri
panggul kronis mungkin terkait dengan adhesi dan jaringan parut panggul yang
ditemukan berhubungan dengan endometriosis (Luqiana, 2019).
a. Chronic Pelviv Pain (CPP)
Perempuan dengan endometriosis bisa saja tidak bergejala, namun nyeri
panggul kronis (CPP/Chronic Pelviv Pain) atau subfertilitas merupakan gejala
yang umum terjadi terjadi pada endometriosis. Endometriosis yang berhubungan
dengan CPP, dismenore, dispareunia (nyeri pada saat senggama), dan nyeri
nonsiklik sering terjadi pada pasien endometriosis. Perempuan yang mengalami
endometriosis mungkin juga mengeluhkan diskezia (nyeri pada saat buang air
besar), disuria (nyeri pada saat buang air kecil), ataupun sakit di dinding perut

20
(Hoffman et al, 2016).
Rasa sakitnya bervariasi dari ketidaknyamanan panggul, sakit perut bagian
bawah atau sakit punggung. Penyebabnya mungkin multifaktorial. Beberapa teori
menyebutkan pertama, peradangan pada implan peritoneum dan pelepasan PGF,
dan juga karena perlengketan dan kista ovarium. Kedua, aksi sitokin inflamasi
yang dilepaskan oleh makrofag. Ketiga, invasi saraf atau keterlibatan kandung
kemih dan usus. Rasa sakit bertambah parah selama periode (Konar, 2013).
b. Dispareunia
Dispareunia sering dikaitkan dengan penyakit ligamen rektovaginal dan
uterosakral. Fiksasi uterus atau ovarium oleh perlengketan, terutama jika
ditemukan endometrioma, juga berhubungan dengan dispareunia. Nyeri panggul
kronis dan berulang yang terkait dengan endometriosis seringkali merupakan
keluhan yang membuat penderita datang ke rumah sakit (Murphy, 2002).
Dispareunia 20–40% dikeluhkan oleh penderita endometriosis. Dispareunia
biasanya dalam. Kemungkinan karena peregangan struktur kantong Douglas atau
nyeri tekan kontak langsung. Dengan demikian, sebagian besar ditemukan pada
endometriosis septum rektovaginal atau kantong Douglas dan dengan uterus
retroversi tetap (Konar, 2013).
c. Nyeri haid (Dismenorea)
Dismenorea yang terjadi 1-3 hari sebelum haid, dan dengan makin
banyaknya darah haid yang keluar keluhan dismenorea akan mereda. Setiap bulan
jaringan endometriosis di luar kavum uteri mengalami penebalan dan perdarahan
mengikuti siklus menstruasi. Perdarahan ini tidak mempunyai saluran keluar
seperti darah menstruasi yang normal, tetapi terkumpul dalam rongga panggul dan
menimbulkan nyeri. Hebatnya nyeri tergantung pada lokasi endometriosis, dapat
berupa nyeri pada saat menstruasi, serta nyeri selama dan sesudah hubungan intim
(Suparman, 2012).
Dismenore sekunder semakin meningkat. Rasa sakit dimulai beberapa hari
sebelum menstruasi, memburuk selama menstruasi dan membutuhkan waktu,
bahkan setelah penghentian periode, untuk menghilangkan rasa sakit, nyeri
biasanya terletak dalam dan di punggung atau rektum. Peningkatan sekresi PGF
2α, tromboksan 2 dari jaringan endometriotik adalah penyebab nyeri (Konar,
2013).

21
d. Nyeri Perut
Mungkin ada berbagai tingkat nyeri perut di sekitar periode tersebut.
Terkadang, rasa nyeri bisa akut karena pecahnya kista coklat (Konar, 2013).
e. Abnormal menstruation (20%):
Menoragia adalah kelainan yang dominan. Jika ovarium juga terlibat, dapat
terjadi polimenorea atau epimenorrhagia. Mungkin ada bercak pramenstruasi
(Konar, 2013).
f. Infertilitas
Endometriosis ditemukan pada 25% wanita infertil, dan diperkirakan 50%-
60% dari kasus endometriosis akan infertil. Endometriosis yang invasif akan
mengakibatkan kemandulan akibat berkurangnya fungsi kavum uteri dan adanya
perlengketan pada tuba dan ovarium. Terdapat beberapa teori yang
mengemukakan bahwa endometriosis menghasilkan prostaglandin dan materi
proinflamasi lainnya, yang dapat mengganggu fungsi organ reproduksi dengan
menimbulkan kontraksi atau spasme. Juga dikemukakan bahwa pada
endometriosis fungsi tuba Fallopi menjadi terganggu dalam hal pengambilan sel
telur dari ovarium, bahkan dapat merusak epitel dinding kavum uteri dan
menyebabkan kegagalan implantasi hasil pembuahan. Sebagai akibat, pasien
dengan endometriosis memiliki riwayat abortus tiga kali lebih sering dari pada
wanita normal (Suparman, 2012).
g. Gejala Lain
Endometriosis pada ovarium akan menyebabkan terjadinya kista
endometriosis. Bila ukuran kista endometriosis tersebut sudah >5 cm, sering
menimbulkan gejala penekanan. Gejala-gejala lain yang mengarah pada
endometriosis ialah nyeri pelvis, nyeri senggama, nyeri perut merata, nyeri
suprapubik, disuria, hematuria, benjolan pada perut bawah, serta gangguan miksi
dan defekasi (Suparman, 2012).
Gejala endometriosis lain yang jarang terjadi adalah gejala gastrointestinal
(GI), seperti perdarahan rektum dan diskezia (motilitas usus yang nyeri) pada
pasien dengan endometriosis pada usus, dan gejala hematuria biasanya terjadi
pada pasien dengan endometriosis pada vesika urinaria atau ureter. Kadang-
kadang, pasien datang dengan nyeri abdomen akut, yang mungkin terkait dengan
endometrioma terjadi adalah gejala yang ruptur atau terpuntir (Luqyana et al,

22
2019).
Endometriosis, pada pasien dengan bekas luka, lebih sering terjadi pada
kulit perut dan jaringan subkutan dibandingkan dengan otot dan fasia.
Endometriosis yang hanya melibatkan otot rektus dan selubungnya sangat jarang.
Terjadinya endometriosis panggul secara simultan dengan bekas luka
endometriosis jarang terjadi. Endometriosis parut jarang terjadi dan sulit
didiagnosis, sering dikacaukan dengan kondisi bedah lainnya. Scar endometrioma
diyakini sebagai hasil inokulasi langsung fasia abdomen atau jaringan subkutan
dengan sel-sel endometrium selama intervensi bedah dan kemudian dirangsang
oleh estrogen untuk menghasilkan endometrioma. Teori ini secara meyakinkan
ditunjukkan oleh eksperimen di mana efluen menstruasi normal yang
ditransplantasikan ke dinding perut menghasilkan endometriosis subkutan.
Endometriosis parut jarang terjadi dan sulit didiagnosis. Hal ini sering salah
didiagnosis sebagai granuloma jahitan, hernia inguinalis, lipoma, abses, kista,
hernia insisional, tumor desmoid, sarkoma, limfoma, atau kanker primer dan
metastasis (Al-Jabri, 2009).
2.8 Penegakkan Diagnosis
1) Anamnesis
Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri pelvik kronis yang
disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada endometriosis.
Endometrium pada organ tertentu akan menimbulkan efek yang sesuai dengan
fungsi organ tersebut, sehingga lokasi penyakit dapat diduga. Riwayat dalam
keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena penyakit ini bersifat
diwariskan. Kerabat jenjang pertama berisiko tujuh kali lebih besar untuk
mengalami hal serupa. Endometriosis juga lebih mungkin berkembang pada
saudara perempuan monozigot daripada dizigot. Rambut dan nevus displastik
telah diperlihatkan berhubungan dengan endometriosis (Limbong, 2012).
2) Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pada inspeksi kasus endometriosis, sebagian besar ditemukan di dalam
rongga panggul, sehingga sering tidak ditemukan kelainan saat pemeriksaan
fisik inspeksi. Namun, pada endometriosis bekas luka yang ditimbulkan
akibat episotomi atau operasi dapat terlihat saat inspeksi. Endometriosis

23
jarang berkembang demgan spontan di daerah perineum atau perianal
(Hoffman et al, 2012).
b. Pemeriksaan abdomen
Palpasi abdomen sering tidak menunjukkan kelainan. Massa dapat
dirasakan pada bagian bawah abdomen yang timbul dari panggul akibat
adanya kista cokelat yang membesar atau massa tubo-ovarium karena
perlengketan endometriotik, dapat teraba massa lunak dengan mobilitas
terbatas (Konar, 2013).
c. Pemeriksaan panggul
 Pemeriksaan bimanual : kemungkinan tidak terdapat kelainan. Temuan
positif yang diharapkan adalah nyeri tekan panggul, nodul di kantong
Douglas, teraba nodular pada ligamen uterosakral, uterus retroversi
terfiksasi atau massa adneksa unilateral atau bilateral dengan berbagai
ukuran (Konar, 2013).
 Pemeriksaan speculum : ditemukan bintik-bintik kebiruan di forniks
posterior. Dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan rektal atau
rectovaginal (Konar, 2013).
3) Pemeriksaan Penunjang
a) Serum marker CA 125
Peningkatan moderat CA 125 serum terlihat pada pasien dengan
endometriosis berat. Tetapi tidak spesifik untuk endometriosis, karena
meningkat secara signifikan pada karsinoma ovarium epitel. Namun,
sangat membantu untuk menilai respon terapeutik dan dalam tindak lanjut
kasus dan untuk mendeteksi kekambuhan setelah terapi. Kadar Monocyte
Chemotactic Protein (MCP-1) meningkat dalam cairan peritoneum wanita
dengan endometriosis (Konar, 2013).
b) Pemeriksaan Radiologi
1. Ultrasonografi (USG)
USG hanya digunakan untuk mendiagnosis endometriosis (kista
endometriosis) > 1 cm, tidak dapat digunakan untuk melihat bintik –
bintik endometriosis ataupun perlengketan. Endometrioma dideteksi
menggunakan USG transvagina didapatkan 13-38% adalah
endometriosis dengan gambaran ground-glass, homogen, internal echo

24
difus dengan latar belakang hypoechoic. Sensitivitas 64-89%,
spesivisitas 89-100%. Dengan menggunakan USG transvaginal dapat
pula melihat gambaran karakteristik kista endometriosis dengan
bentuk kistik dan adanya interval echo di dalam kista (Hendarto,
2015).

Gambar 2.12. Kista endometriosis (endometrioma) dengan


pemeriksaan USG transvaginal dengan gambaran homogen, internal
echo difus dengan latar belakang hypoechoic. (Dokumentasi Klinik
Fertilitas Graha Amerta RSUD Dr Soetomo Surabaya)
(Sumber : Hendarto 2015.)

Gambar 2.13 Nodul endometriotik pada kandung kemih


(Sumber : Exacoustos et al., 2009)

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI menawarkan pemeriksaan yang lebih superior dibandingkan
dengan USG. MRI dapat digunakan untuk melihat kista, massa

25
ekstraperitoneal, adanya invasi ke usus dan septum rektovagina. MRI
terutama digunakan untuk diagnostik deep endometriosis yaitu
infiltasi dari endometriosis yang dalam. Namun MRI membutuhkan
biaya yang mahal sehingga tidak dianggap sebagai alat diagnostik
yang cost-effective (Carbognin et al., 2004).

Gambar 2.14. Endometriosis pada septum rectovaginal. (A) Bidang sagital,


(B) bidang coronal. Dapat dilihat bagian proksimal dari septum rectovaginal
yang menebal.
Sumber : Carbognin et al., 2004

c) Laparoskopi
Laparoskopi adalah gold standart untuk diagnosis endometriosis.
Sebagian besar tindakan laparoskopi yaitu tindakan pembedahan di
abdomen atau panggul menggunakan insisi kecil 0,5 – 1,5 cm dengan
memasukkan kamera ke dalamnya. Laparoskopi dapat digunakan untuk
diagnostik dan sekaligus tindakan operasi.
Keuntungan laparoskopi adalah:
 Konfirmasi lesi dengan lokasi, ukuran dan luasnya.
 Biopsi dapat dilakukan pada waktu yang bersamaan.
 Staging dapat dilakukan
 Tingkat adhesi dapat dicatat
 Kesempatan untuk melakukan operasi laparoskopi jika
diperlukan
 Temuan dapat direkam dalam video atau DVD (RCOG- 2006)
Terdapat 3 tipe lesi endometriosis yang terlihat saat visualisasi dengan

26
laparoskopi, yaitu :
1. Lesi superfisial
Lesi berlokasi di peritoneum dan permukaan ovarium. Lesi dapat
berbentuk blue-black powder burn, subtle lesion: petechial,
vesicular, polypoid, dan haemorrhagic lesion.
2. Kista endometriosis atau endometrioma
Lesi endometriosis berbentuk kista berisi cairan kecoklatan kental
yang mengelompok pada permukaan peritoneum (fossa ovarium).
Endometrioma terbentuk akibat invaginasi korteks ovarium setelah
terjadi akumulasi debris darah haid.
3. Deep infiltrating endometriosis atau lesi infiltrasi dalam
Lesi endometriosis melakukan infiltrasi lebih dalam 5 mm di
bawah permukaan peritoneum, dapat juga penetrasi atau melekat
pada struktur lain, misalnya kandung kemih, usus, ureter dan
vagina.

Gambar 2.15 Lesi endometriosis di peritoneum, uterus, dan ovarium. (1)


Tampilan lesi merah dan hiperemi di peritoneum. (2) Tampilan blue-black lesion
dan adesi di uterus. (3) Perlekatan (adesi) di uterus. (4) Kista endometriosis
(endometrioma) di ovarium. (Dokumentasi Klinik Fertilitas Graha Amerta RSUD
Dr Soetomo Surabaya). Sumber : Hendarto, 2015.

d) Pemeriksaan Patologi Anatomi

27
Karena endometriosis memiliki bentuk yang kasar, biopsi jaringan
untuk konfirmasi kelenjar dan stroma endometrium diperlukan untuk
menegakkan diagnosis. Kehadiran dua atau lebih gambaran histologis
berikut digunakan sebagai kriteria untuk menegakkan diagnosis oleh ahli
patologi:
 Epitel endometrium
 Kelenjar endometrium
 Stroma endometrium
 Makrofag yang sarat Hemosiderin
Konfirmasi jaringan untuk diagnosis endometriosis memerlukan
prosedur bedah (Luqyana et al, 2019).

2.9 Diagnosa Banding


Diagnosa banding bergantung pada gejalanya, diagnosis banding akan
berubah. Pada pasien dengan nyeri perut kronis, diagnosis seperti penyakit radang
panggul kronis, adhesi panggul, disfungsi GI, dan etiologi lain dari nyeri panggul
kronis harus dipertimbangkan. Pada pasien dengan dismenore, baik dismenore
primer dan dismenore sekunder harus difikirkan. Pada pasien dengan dispareunia,
diagnosis banding meliputi penyakit radang panggul kronis, kista ovarium, dan
retroversi uterus simtomatik. Nyeri perut yang tiba-tiba dapat mungkin disebabkan
oleh pecahnya endometrioma atau kehamilan ektopik, penyakit radang panggul akut,
torsio tuba, dan pecahnya kista corpus luteum atau neoplasma ovarium (Luqyana et
al, 2019).
Tabel 2.3 Diagnosis banding endometriosis.

Gangguan Ginekologi Gangguan Non-Ginekologi

 Penyakit inflamasi pelvis :  Interstitial cystitis


abses tubo-ovarium,  ISK kronik
salpingitis, endometriosis  Batu ginjal
 Perdarahan kista ovarium  Inflammatory bowel disease
 Torsio ovarium  Irritable bowel syndrome
 Dismenore primer  Divertikulitits
 Leiomyoma  Mesenteric lymphadenitis

28
 Kelainan muskoloskeletal

2.10 Tatalaksana
Endometriosis perlu diobati karena merupakan penyakit progresif (30-60%).
Pilihan pengobatan ditentukan dengan melihat usia pasien, ukuran dan luas lesi,
tingkat keparahan gejala, lokasi penyakit, Keinginan untuk kesuburan dan hasil
terapi sebelumnya. Namun, sulit untuk mencapai tujuan karena etiologi yang tidak
jelas dan riwayat hidup yang tidak dapat diprediksi. Hasil pengobatan sulit untuk
dievaluasi karena staging atau grading yang tidak seragam (Tosti et al., 2017).
Tabel 2.4 Dua prinsip terapi yang dilakukan pada endometriosis :
Terapi Preventif Terapi Kuratif
- Untuk menghindari uji patensi tuba segera - Untuk menghilangkan atau
setelah kuretase atau sekitar waktu meminimalkan gejala
menstruasi. (nyeri panggul dan
- Pemeriksaan panggul secara paksa tidak dyspareunia).
boleh dilakukan selama atau segera setelah - Untuk meningkatkan
menstruasi. kesuburan
- Wanita menikah dengan riwayat keluarga - Untuk mencegah
endometriosis didorong untuk tidak kekambuhan.
menunda konsepsi pertama.

A. Expectant Management
Protokol untuk expectant management adalah observasi dengan pemberian
obat anti inflamasi non steroid (NSAIDs) atau obat penghambat prostaglandin
sintetase digunakan untuk meredakan nyeri. Ibuprofen 800-1200 mg atau asam
mefenamat 150-600 mg sehari cukup efektif. Wanita yang sudah menikah
dianjurkan untuk memiliki konsepsi. Kehamilan biasanya menyembuhkan kondisi
tersebut. Hal ini disebabkan tidak adanya pelepasan dan perubahan desidua pada
endometrium ektopik yang menyebabkan nekrosis dan absorpsinya. Eexpectant
management dianjurkan pada beberapa kondisi yaitu penderita dengan
endometriosis minimal tanpa temuan panggul abnormal lainnya, belum menikah,
menikah muda yang siap memulai keluarga atau pada wanita yang mendekati
menopause (Konar, 2013).
B. Analgetika

29
Pengobatan dengan memberikan anti nyeri seperti parasetamol, 500 mg 3 kali
sehari, Non Steroidal Anti Inflamatory Drugs (NSAID) seperti ibuprofen 400 mg
tiga kali sehari, asam mefenamat 500 mg tiga kali sehari. Tramadol, parasetamol
dengan codein, GABA inhibitor seperti gabapentin (Sarwono, 2011).
C. Terapi Medikamentosa Hormonal
Untuk menekan hormon steroid ovarium yaitu estrogen, agar terjadi kondisi
hipoestrogen sehingga menyebabkan atrofi lesi endometrium ektopik. Pemberian
terapi medis akan mempengaruhi kondisi keseimbangan hormone pada siklus haid
sehingga terajadi anovulasi kronis dan amenore yang selanjutnya akan
menginduksi desidualisasi endometrium hingga timbul keadaan pseudo-
pregnancy. Selain itu, akan memicu atrofi endometrium hingga timbul pseudo-
menopause. Keadaan patologis yang terjadi di endometrium eutopik dan ektopik
akan berdampak pada penekanan sel endometrium, peningkatan apoptosis dan
penurunan pertumbuhan jaringan endometrium. Hal tersebut menjadi dasar terapi
medis yang dipakai untuk menekan pertumbuhan sehingga terjadi regresi lesi
endometriosis (Hendarto, 2015).
Tatalaksana medis endometriosis menggunakan tatalaksana hormonal yaitu
menginduksi atropi dari endometrium ektopik dengan mengubah efek estrogen
pada jaringan ektopik atau mengurangi kadar estrogen dalam darah. Efeknya dapat
mengurangi perdarahan pada saat menstruasi atau sampai amenorea. Pilihan
tatalaksana obat hormonal seperti kontrasepsi oral atau progestogen berkelanjutan,
danazol dan analog GnRH (Grandi et al., 2019).
1. Kontrasepsi Oral
Penanganan terhadap endometriosis dengan pemberian pil kontrasepsi
dosis rendah untuk mengurangi keluhan nyeri haid (dismenore).
Kombinasi monofasik (sekali sehari selama 6-12 bulan) merupakan
pilihan pertama yang sering dilakukan untuk menimbulkan kondisi
kehamilan palsu dengan timbulnya amenorea dan desidualisasi jaringan
endometrium. Kombinasi pil kontrasepsi apapun dalam dosis rendah yang
mengandung 30-35 ug etinilestradiol yang digunakan terus – menerus bisa
menjadi efektif terhadap penanganan endometriosis dan dapat digunakan
pada pasien muda dengan penyakit ringan yang ingin menunda kehamilan.
Tujuan pengobatan itu sendiri adalah induksi amenorea, dengan

30
pemberian lanjut selama 6-12 bulan. Membaiknya gejala dismenorea dan
nyeri panggul dirasakan 60-95% pasien. Tingkat kambuh pada tahun
pertama terjadi sekitar 17-18% (Sarwono, 2011).
Kombinasi monofasik dengan estrogen dosis rendah biasanya
memiliki hasil terbaik untuk pengobatan nyeri endometriosis dan
ditoleransi lebih baik daripada kombinasi trifasik atau dosis estrogen yang
lebih tinggi. Kontrasepsi oral biasanya merupakan pilihan pengobatan
awal untuk pasien yang gagal NSAID (Lindsay et al., 2015).
2. Progestin
Progestin memungkinkan efek antiendometriosis dengan
menyebabkan desidualisasi awal pada jaringan endometrium dan diikuti
dengan atrofi. Progestin dapat dianggap sebagai pilihan utama terhadap
penanganan endometriosis karena efektif mengurangi rasa sakit seperti
danazol, lebih murah, tetapi memiliki efek samping lebih ringan
dibandingkan danazol. Hasil pengobatan telah dievaluasi pada 3-6 bulan
setelah terapi. Medroxyprogesteron Acetate (MPA) adalah hasil yang
paling sering diteliti dan sangat efektif dalam meringankan rasa nyeri.
Dimulai dengan dosis 30 mg per hari kemudian ditingkatkan sesuai
dengan respons klinik dan pola perdarahan. MPA 150 mg yang diberikan
intramuskuler setiap 3 bulan, juga efektif terhadap penanganan rasa nyeri
pada endometriosis (Sarwono, 2011).
Pengobatan dengan suntikan progesterone. Pemberian suntikan
progesterone depot seperti suntikan KB dapat membantu mengurangi
gejala nyeri dan perdarahan. Pilihan lain dengan menggunakan alat
kontrasepsi dalam rahim (AKDR) yang mengandung progesterone,
levonorgestrel dengan efek timbulnya amenorea dapat digunakan untuk
pengobatan endometriosis. Strategi pengobatan lain meliputi didrogestion
(20-30 mg perhari baik itu terus menerus maupun pada hari ke 5-25) dan
lynesterol 10 mg per hari. Efek samping progestin meliputi nausea,
bertambahnya berat badan, depresi, nyeri payudara dan perdarahan lecut
(Sarwono, 2011).
3. Danazol

31
Danazol adalah androgen sintetik 2,3-isoksazol turunan dari 17 alpha
ethinyltestosteron yang menyebabkan level androgen dalam jumlah tinggi
dan level esterogen dalam jumlah yang rendah sehingga menekan
berkembangnya endometriosis dan timbul amenorea yang diproduksi
untuk mencegah implant baru pada uterus sampai ke rongga peritoneal.
Danazol menginduksi penghambatan pelepasan gonadotropin,
menentukan penghambatan kompetitif enzim steroidogenik, memodulasi
fungsi imunologi, dan menekan proliferasi sel dan secara klinis
mengurangi gejala nyeri terkait endometriosis (Tosti el al., 2017).
Cara praktis menggunakan danazol adalah memulai perawatan
dengan 400-800 mg per hari, dapat dimulai dengan pemberian 200 mg
dua kali sehari selama enam bulan. Dosis dapat ditingkatkan bila perlu
untuk mencapai amenorea dan menghilangkan gejala – gejala. Tingkat
kambuh endometriosis berkisar antara 5-20% per tahun sampai ke tingkay
kumulatif yaitu 40% setelah 5 tahun. Efek samping paling umum adalah
peningkatan berat badan, akne, hirsutisme, vagina atrofi, kelelahan,
pengecilan payudara, gangguan emosi, peningkatan kadar LDL kolesterol,
dan kolesterol total (Sarwono, 2011).
4. Gestrinon
Gestrinon adalah 19 nortesteron termasuk androgenik,
antiprogestagenik, dan anti gonadotropik. Gestrinon bekerja sentral dan
perifer untuk meningkatkan kadar testosterone dan mengurangi kadar Sex
Hormone Binding Globuline (SHBG, menurunkan nilai serum estradiol ke
tingkat folikulat awal (antiesterogenik), mengurangi kadar Luitinezing
hormone (LH), dan mengurangi lonjakan LH. Amenorea sendiri terjadi
pada 50-100% wanita. Gestrinon diberikan dengan dosis 2.5-10 mg, dua
sampai tiga kali seminggu, selama enam bulan. Efek sampingnya sama
dengan danazol tetapi lebih jarang (Sarwono, 2011).
5. Gonadotropin Releasing Hormone Agonist (GnRHa)
GnRHa menyebabkan sekresi terus menerus FSH dan LH sehingga
hipofisis mengalami desentisisasi dengan menurunnya sekresi FSH dan
LH mencapai keadaan hipogonadotropik hipogonadisme, dimana ovarium
tidak aktif sehingga tidak terjadi siklus haid yang berarti GnRHa

32
menginduksi amenore dan atrofi endometrium ektopik secara progresif
(Hendarto, 2015).
Pemberian GnRHa dapat diberikan intramuskuler, subkutan dan
intranasal. Pemberian intranasal dilakukan dengan semprot hidung setiap
hari (Nafarelin Asetat 200 mcg) dan injeksi formula jangka pendek yang
disuntikkan setiap hari (Buserelin asetat 1 mg) atau injeksi formula jangka
panjang yang disuntikan setiap 1 – 3 bulan sekali (Leuprolide asetat 3,75
mg). GnRHa diberikan selama 6-12 bulan (Sarwono, 2011).
Efek samping antara lain hipoestrogen akibat pemberian GnRHa,
yaitu hot-flushes, vagina kering, penurunan libido, penurunan mood, nyeri
kepala, deplesi atau penurunan densitas tulang. Untuk mengurangi efek
samping dapat disertai denga terapi add back dengan esterogen dan
progesterone alamiah. Terapi add back didasarkan pada estrogen
threshold hypothesis yaitu pemberian estrogen dosis rendah ditujukan
untuk mengatasi keluhan hipoestrogen tetapi tidak menstimulasi
pertumbuhan dari endometriosis. Sediaan yang sering digunakan adalah
norethindrone asetat atau kombinasi estrogen dan progesterone (Hendarto,
2015).
6. Aromatase Inhibitor
Aromatase inhibitor mengganggu konversi androgen menjadi
estrogen dengan menghambat aktivitas aromatase, dan menekan produksi
estrogen ovarium dan lokal pada jaringan endometriotik dengan cara
menekan ekspresi enzim aromatase P450 yang berfungsi sebagai
katalisator konversi androgen menjadi estrogen. Aromatase inhibitor
generasi ketiga (anastrozole, letrozole, exemestane, dan vorozole) lebih
poten dan lebih spesifik untuk enzim aromatase (Tosti et al., 2017).
Terapi ini belum disetujui untuk pengobatan endometriosis karena
dapat menyebabkan bone loss, rasa semburan panas (hot flashes), nausea
dan vomiting, dan penggunannya harus dikombinasikan dengan OCPs dan
GnRHa untuk mencegah perkembangan kista folikular. Aromatase P450
banyak ditemukan pada perempuan dengan gangguan organ reproduksi
seperti endometriosis, adenomiosis dan mioma uteri (Sarwono, 2011).
D. Penanganan pembedahan pada endometriosis

33
Pembedahan pada endometriosis adalah untuk menangani efek endometriosis
itu sendiri yaitu nyeri panggul, subfertilitas, dan kista. Pembedahan bertujuan
menghilangkan bintik – bintik dan kista endometriosis, serta menahan laju
kekambuhan.
Indikasi terapi pembedahan pada pasien endometriosis adalah :
a) Endometriosis dengan gejala parah yang tidak responsif terhadap terapi
hormone.
b) Endometriosis yang parah dan menginfiltrasi untuk memperbaiki distorsi
anatomi panggul.
c) Endometriosis > 1 cm.

Pembedahan bisadilakukan secara konservatif ataupun definitif. Metode


pembedahan apapun yang digunakan harus disesuaikan dengan usia pasien, tingkat
kesuburan pasien, dan respon pasien terhadap perawatan medis (Konar, 2013).
1. Penanganan Pembedahan konservatif
Pembedahan ini bertujan untuk mengangkat semua sarang endometriosis
dan melepeskan perlengketan sera memperbaiki kembali struktur anatomi
reproduksi. Sarang endometriosis dibersihkan dengan eksisi, ablasi kauter,
ataupun laser. Sementara itu kista endometriosis < 3 cm di drainase dan di
kauter dinding kista, kista > 3 cm dilakukan kistektomi dengan meninggalkan
jaringan ovarium yang sehat (Hendarto, 2015).
Penanganan pembedahan dapat dilakukan dengan laparotomy maupun
laparoskopi. Penanganan dengan laparoskopi menawarkan keuntungan lama
rawatan yang pendek, nyeri pasca operatif minimal, lebih sedikit perlengketan,
visulaisasi operatif yang lebih baik terhadap bintik – bintik endometriosis.
Penanganan konservatif ini menjadi pilihan pada perempuan – perempuan yang
masih muda, menginginkan keturunan, memerlukan hormone reproduksi,
mengingat endometriosis ini merupakan suatu penyakit yang lambat progresif,
tidak cenderung ganas, dan akan regesi saat menopause (Sarwono, 2011).

34
Gambar 2.16 Tindakan bedah laparoskopi pada kista endometriosis
(endometrioma) menggunakan two-atraumatic grasping forceps
(Dokumentasi Klinik Fertilitas Graha Amerta RSUD Dr Soetomo Surabaya).
Sumber : Hendarto, 2015

Teknik ablasi adalah tindakan bedah destruksi lesi endometriosis dengan


koagulasi menggunakan sumber tenaga termal. Teknik ini juga dapat dilakukan
memakai cara vaporisasi dengan sumber tenaga laser. Desktruksi akan merusak
lesi sehingga tidak tersedia specimen untuk konfirmasi pemeriksaan hitologi-
patologi. Teknik eksisi yaitu tindakan bedah mengangkat lesi endometriosis
dengan cara memotong dan memisahkan lesi dari jaringan sektar menggunakan
gunting dengan termal atau laser. Teknik ini tidak merusak lesi endometriosis
sehingga specimen lesi dapat digunakan untuk konfirmasi pemeriksaan hitologi-
patologi. Namun tindakan eksisi membutuhkan keterampilan operator karena
terdapat resiko trauma pada organ vital misalnya usus, kandung kemih, dan
ureter di bawah lesi yang di eksisi (Hendarto, 2015).
2. Penanganan pembedahan radikal
Dilakukan dengan histerektomi dan bilateral salfingo-oovorektomi.
Ditujukan pada perempuan yang mengalami penanganan medis maupun bedah
konservatif gagal dan tidak membutuhkan fungsi reproduksi. Setelah
pembedahan radikal diberikan terapi substitusi hormon (Sarwono, 2011).
Histerektomi dengan salpingo-ooforektomi bilateral merupakan pilihan
perawatan yang berguna pada wanita yang tidak berusaha untuk hamil, tetapi
menghasilkan menopause bedah (Maharani et al., 2021).
3. Penanganan pembedahan simptomatis
Dilakukan untuk menghilangkan nyeri dengan presacral neurectomy atau
LUNA (Laser Uterosacral Nerve Ablation) (Sarwono, 2011). LUNA dilakukan
ketika rasa sakit sangat parah. Keuntungan laser adalah untuk memotong
jaringan dengan tepat dengan kemungkinan kerusakan yang paling kecil pada
struktur vital yang mendasarinya (Konar, 2013).

35
2.11 Prognosis
Pada kasus endometriosis, salah satu yang terpenting adalah penderita harus
diberikan konseling dan pengertian tentang penyakit yang dideritanya secara tepat.
Pasien harus diberi pengertian bahwa pengobatan yang diberikan belum tentu
dapat menyembuhkan. Operasi definitif tidak dapat memberikan kesembuhan total,
sekalipun resiko relaps (kambuh) sangat rendah yaitu hanya 3%. Resiko relaps
lebih rendah dengan diberikannya terapi sulih hormon estrogen. Setelah dilakukan
operasi konservatif, tingkat kekambuhan dilaporkan sangat bervariasi. Jumlah
kasus yang terjadi rata - rata melebihi 10% dalam tiga tahun dan 35 % dalam lima
tahun (Evans et al., 2017).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Endometriosis merupakan kondisi medis pada wanita yang ditandai dengan
tumbuhnya sel-sel endometrium di luar kavum uteri. Penyakit ini bersifat jinak dan
dapat mengadakan invasi ke jaringan sekitar. Endometriosis disebut sebagai
estrogent dependent disease karena tumbuh dan perkembangan jaringan

36
endometrium ektopik tersebut membutuhkan stimulasi hormone estrogen.
endometriosis terjadi pada 5-15% wanita usia 15-49tahun serta 3-5% wanita usia >
49 tahun. Kejadian endometriosis pada perempuan dengan keluhan dismenorea
(nyeri haid) adalah 40-80%, sedangkan pada perempuan dengan infertilitas sekitar
20-50%.
Terdapat tiga teori tentang etiologi dari endometriosis yaitu teori Halban
menyebutkan bahwa jaringan endometrial ditransport melalui system limfatik ke
beberapa daerah di pelvis, dimana kemudian ia bertumbuh secara ektopik. Teori
Meyer mengatakan bahwa sel multipotensial di jaringan peritoneal melakukan
transformasi metaplastik menjadi jaringan endometrial fungsional. Lalu, teori
Sampson menyebutkan bahwa jaringan endometrial ditransport melalui tuba fallopi
selama menstruasi retrogard dan akhirnya terjadi implantasi di intra-abdominal
pelvic.
Faktor risiko endometriosis ialah riwayat keluarga seperti wanita yang ibu atau
saudara perempuannya menderita endometriosis, wanita usia produktif yaitu 15-49
tahun, siklus menstruasi kurang dari 28 hari, menarche dini (<11 tahun), lama waktu
menstruasi lebih dari 6 hari, nuliparitas, menoragia, dan anomali duktus müllerian.
Berdasarkan sistem klasifikasi dari American Society for Reproductive
Medicine (revised American Fertility Society Classification of Endometriosis),
endometriosis terbagi menjadi 4 stadium yaitu stadium 1 endometriosis minimal
(skor 1-5), stadium 2 endometriosis ringan (skor 6-15), stadium 3 endometriosis
sedang (skor 16-40), dan stadium 4 endometriosis berat (skor >40).
Endometriosis dapat diduga berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium dan pencitraan. Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri
pelvik kronis yang disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada
endometriosis. Gejala klasik endometriosis meliputi dismenorea progresif dan
dyspareunia yang menyebabkan ketidaknyamanan pada panggul. Terdapat pula
gejala lainnya seperti siklus menstruasi yang abnormal yaitu menoragia, hematuria,
gangguan miksi, gangguan defekasi. Perempuan yang mengalami endometriosis
mungkin juga mengeluhkan diskezia (nyeri pada saat buang air besar), disuria (nyeri
pada saat buang air kecil), ataupun sakit di dinding perut.
Pada pemeriksaan fisik abdomen sering tidak menunjukan gejala. Dapat teraba
massa lunak dengan mobilitas pada bagian bawah abdomen. Pada pemeriksaan

37
panggul dengan cara bimanual dapat ditemukan nyeri tekan panggul, nodul di
kantong Douglas, dan teraba nodular pada ligamen uterosacral. Sementara dengan
speculum dapat ditemukan bintik-bintik kebiruan di forniks posterior. Diagnosa
endometriosis juga dapat menggunakan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan
serum CA 125, USG, MRI, laparoskopi yang merupakan gold standart untuk
diagnosis endometriosis, dan pemeriksaan patologi anatomi.
Terapi secara medikamentosa pada endometriosis dapat diberikan NSAIDs
sebagai anti-nyeri, terapi hormonal seperti kontrasepsi oral, progestin, danazol,
gestrinon, agonis GnRH, dan aromatase inhibitor. Sementara tatalaksana
pembedahan pada endometriosis dapat secara konservatif, untuk mengangkat semua
sarang endometriosis dan melepeskan perlengketan dan memperbaiki kembali
struktur anatomi reproduksi dengan cara eksisi, ablasi kauter, ataupun laser. Dapat
pula dengan pembedahan radikal yaitu dengan histerektomi dan bilateral salfingo-
oovorektomi. Operasi harus segera diikuti dengan terapi medis untuk menunda
kekambuhan implantasi endometrium dan nyeri.
Konseling dan pengertian tentang penyakit perlu dilakukan kepada penderita
endometriosis. Pasien harus diberi pengertian bahwa pengobatan yang diberikan
belum tentu dapat menyembuhkan. Operasi tidak dapat memberikan kesembuhan
total, terdapat resiko relaps 3%.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabri K. 2009. Case Repport;Endometriosis at Caesarian Section Scar. Oman Medical


Journal. Vol 24. Issue 4. Pp 294-295

Burney R.O., Guidice L.C. 2012. Pathogenesis and pathophysiology of endometriosis.


Fertility and Sterility. Vol 98. No 3. Pp 511-519.

38
Carbognin G., Guarise A., Minelli L., Vitale I., Malago R., Zamboni G., & Procacci C.
2004. Pelvic endometriosis: US and MRI features. Adbominal Imaging. 29:609–
618.

DeCherney, AH, Nathan L, Goodwin, Murphy, Laufer, Neri. 2007. Current Diagnosis &

th
Treatment Obstetrics & Gynecology. 10 Edition. New York : McGraw-Hill
Companies, Chapt.43.

Evans M.B., & Decherney A. 2007. Fertility and Endometriosis. Clinical Obstetrics and
Gynecology. Vol. 60. No. 3. Pp 497-502.

Exaxoustos C., Zupi E., Carusotti C., Rinaldo D., Marconi D., Lanzi G., & Arduini D. .
2003. Staging of Pelvic Endometriosis: Role of Sonographic Appearance in
Determining Extension of Disease and Modulating Surgical Approach. The
Journal of the American Association of Gynecologic Laparoscopists. Vol. 10. No
3. Pp 378-382.

Grandi G., Barra F., Ferrero S., Sileo F.G., Bertucii E., Napolitano A., & Facchinetti F.
2019. Hormonal Contraception In Women With Endometriosis: A Systematic
Review. The European Journal of Contraception & Reproductive Health Care. Pp
1-10.

Hanina S.M., Fauzi A., & Krisna R. 2018. Hubungan Obesitas Dengan Kejadian
Endometriosis di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 1 Januari
2015-31 Desember 2016. Majalah Kedokteran Sriwijaya. Th 50. No. 4. Pp 107-
113.

Hendarto H, 2012. Pathomechanism of Infertility in Endometriosis in : Chaudhury K and


Chakravarty B. Endometriosis–Basic Concepts and Current Research Trends.
Intech, Croatia 2012: 343-354.

Hemmings R., Rivard M., Olive D., Poliquin-Fleury J., Gagne D., Hugo P., & Gosseline
D. 2004. Evaluation Of Risk Factors Associated With Endometriosis. Fertility and
Sterility. Vol. 81. No. 6. Pp 1513-1521.

Hoffman LB, Schorage JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Bradshaw KD, Cunningham FG,

39
nd
2012. Williams Gynecology. 2 Edition. New York : McGraw-Hill Companies,
285.

Konar, H. (ed.). 2013. DC DUTTA‟s: Textbook of Gynecology Including Contraception‟,


6th Ed, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, New Delhi, pp. 306-313.

Leibson C., Good A.E., Hass S.L., Ransom J., Yawn B., O’Fallon W.M., & Melton L.J.
2004. Incidence And Characterization Of Diagnosed Endometriosis In A
Geographically Defined Population. Fertility and Sterility. Vol. 82. No. 2. Pp 314-
321.

Limbong, Vinanda MA, 2012. Profil Gambaran Endometriosis di RSUP H. Adam Malik
Periode 2008-2011. Skripsi. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

Lindsay S.F., Luciano D.E., & Luciano A.A. 2015. Emerging Therapy For Endometriosis.
Informa Healthcare. Pp 1-20.

Luqyana S.D., & Rodiani. 2019. Diagnosis Dan Tatalaksana Terbaru Endometriosis.
JIMKI Vol. 7. No. 2. Pp 67-74.

Maharani C.R., Yeni C.M., & Sinaga J.L. 2021. Pemilihan Terapi Konservatif dan
Operatif pada Endometriosis. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Vol. 21. No.1. Pp
64-73.

Murphy A.A. 2002. Clinical Aspect of Endometriosis. Annals New York Academy Of
Sciences. Pp 1-10.

Pramesti P.A.W., Dewi S.M., Sumadi I.W., & Sriwidyani P. 2020. Karakteristik
Klinikopatologi Penderita Endometriosis Di RSUP Sanglah Denpasar Tahun
2017-2018. Jurnal Medika Udayana. Vol. 9. No. 2. Pp 100-106.

Suparman E. 2012. Penatalaksanaan Endometriosis. Jurnal Biomedik. Vol. 4. No. 2. Pp


69-78.

Tendean H.M., Wu I.B., & Mewengkang M.E. 2017. Gambaran Karakterisktik Penderita
Endometriosis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurna e-Clinic (eCI). Vol

40
5. No. 2. Pp 279-285.

Wahyuni A., 2008. Endometriosis dan Infertilitas. Mutiara Medika. Vol. 8. No 1. Pp 62-
71.

41

Anda mungkin juga menyukai