Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

“ADENOMIOSIS UTERI”

Disusun Oleh :

Edwin Waroka 1433070100


Mila Saputri 1433070100
Jessica Anggreani Lubis 1433070100
Kristin Natalia Gulo 143307010043
Landi Kurnia Daeli 143307010044

Pembimbing :

Dr. dr. Mangatas Silaen, M.K.M. Sp. OG

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR (KKS) BAGIAN ILMU KESEHATAN


OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
MEDAN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus

ADENOMIOSIS UTERI

Edwin Waroka 1433070100


Mila Saputri 1433070100
Jessica Anggreani Lubis 1433070100
Kristin Natalia Gulo 143307010043
Landi Kurnia Daeli 143307010044

Telah dibacakan pada tanggal : November 2019

Nilai :

Telah disetujui pada tanggal November 2019

Pembimbing :

Dr. dr. Mangatas Silaen, M.K.M., Sp. OG

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya, paper ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tujuan penulisan
laporan kasus dengan judul “ Adenomiosis Uteri” adalah sebagai salah satu syarat
yang harus dipenuhi untuk kepaniteraan klinik di bagian ilmu Obstetri dan
Ginekologi .
Penulis juga berterima kasih kepada dokter pembimbing, Dr. dr. Mangatas
Silaen, M.K.M., Sp. OG, karena atas bimbingannya laporan kasus ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Penyusunan laporan kasus ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk penyempurnaan
laporan kasus ini.

Penulis

ii
DAFTAR PUSTAKA

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................iii

BAB 1......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

BAB 2......................................................................................................................2

TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................2

2.1. Definisi Adenomiosis Uteri.....................................................................2

2.2. Etiologi Adenomiosis Uteri.....................................................................2

2.3. Epidemiologi Adenomiosis Uteri............................................................5

2.4. Histologi Adenomiosis Uteri...................................................................6

2.5. Patofisiologi Adenomiosis Uteri.............................................................6

2.6. Diagnosis Adenomiosis Uteri..................................................................9

2.7. Penatalaksanaan Adenomiosis Uteri....................................................11

2.8. Prognosis Adenomiosis Uteri................................................................14

BAB 3....................................................................................................................15

STATUS PASIEN.................................................................................................15

BAB 4....................................................................................................................22

KESIMPULAN.....................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adenomiosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang


merupakan lapisan bagian dalam rahim tumbuh di dalam dinding (otot) rahim.
Adenomiosis merupakan endometriosis yang muncul di otot rahim. Jaringan-
jaringan endometrium ini terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma.
Endometriosis sering paling sering ditemukan pada perempuan yang
melahirkan di atas usia 30 tahun disertai dengan gejala menoragia dan
dismenore yang progresif. Kejadian adenomiosis bervariasi antara 8-40%
dijumpai pada pemeriksaan dari semua spesimen histerektomi. Dari 30%
pasien ini diketemukan adanya endometriosis dalam rongga peritoneum secara
bersamaan.
Diagnosis adeniomiosis ditegakkann secara histologis, angka insidensi
yang pasti tidaklah dapat ditentukan. Dalam berbagai penelitian, prevalensinya
berkisar antara 5 hingga 70%. Besarnya rentang ini mungkin dikarenakan oleh
banyak faktor termasuk klasifikasi diagnostik yang beragam, perbedaan
jumlah jaringan yang diambil sebagai sampel biopsi dan bias yang mungkin
ntimbul dari hali patologinya sendiri karena mempertimbangkan perjalanan
penyakitnya pasien. Secara umum, rata rata frekluensi kejadian adenomiosis
pada histerektomi adalah sekitar 20 hingga 30%. Penelitian klinis berkala
telah menunjukkan peningkatan frekuensi kejadian adenomiosis pada pasien
multipara. Kehamilan mungkin akan meningkatkan resiko kejadian
adenomiosis karena terjadi anvasi alamiah trofoblas ke mniometrioum saat
implabntasi. Sebagai tambahan, jika dibandingkan dengan jaringan eutpik,
jaringan adenomiosis memiliki rasio jumlah reseptor estrogen yang lebih
banyak, yang mana penoingatan hormon selama kehamilan mungkinn akan
mengiduksi adenomiosis.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1
2.1. Definisi
Adenomiosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang
merupakan lapisan bagian dalam rahim tumbuh di dalam dinding (otot) rahim.
Adenomiosis merupakan endometriosis yang muncul di otot rahim. Jaringan-
jaringan endometrium ini terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma. Endometriosis
sering paling sering ditemukan pada perempuan yang melahirkan di atas usia 30
tahun disertai dengan gejala menoragia dan dismenore yang progresif. Kejadian
adenomiosis bervariasi antara 8-40% dijumpai pada pemeriksaan dari semua
spesimen histerektomi. Dari 30% pasien ini diketemukan adanya endometriosis
dalam rongga peritoneum secara bersamaan.
Bird et al. (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi
jinak jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan
pembesaran uterus difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma
endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium
hipertrofik dan hiperplastik. Definisi tersebut masih berlaku hingga sekarang
dengan modifikasi. Adenomiosis adalah keberadaan kelenjar dan stroma
endometrium pada sembarang lokasi di kedalaman miometrium.

2.2. Etiologi

Penyebab tidak diketahui pasti, ada beberapa teori diduga sebagai penyebabnya:
1. Jaringan endometrium yang menyusup ke dinding rahim. Ini terjadi contohnya
saat dilakukan operasi cesar, sel endometrium menyusup ke dinding rahim,
lalu tumbuh dan berkembang disana. Beberapa ahli percaya bahwa
adenomiosis hasil dari invasi langsung dari sel-sel endometrium dari
permukaan rahim ke dalam otot yang membentuk dinding rahim. Insisi uterus
dilakukan selama operasi seperti operasi caesar (C-section) mempromosikan
invasi langsung dari sel-sel endometrium ke dalam dinding rahim.
2. Teori Pertumbuhan. Diyakini sejak awal, jaringan endometrium ini memang
koonh; sudah ada saat janin mulai tumbuh. ahli lainnya berspekulasi
adenomiosis yang berasal dalam otot rahim dari jaringan endometrium
disimpan di sana ketika rahim pertama kali terbentuk pada janin perempuan.

2
3. Peradangan rahim akibat proses persalinan. Teori ini menyatakan ada
hubungan antara adenomiosis dan proses persalinan. Proses deklamasi
endometrium pada periode paska persalinan bisa menyebabkan
pecahnya/putusya ikatan sel pada endometrium.

Dari teori diatas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa faktor risiko terkena
adenomiosis adalah persalinan baik cesar maupun normal. Walaupun tidak
berbahaya, nyeri dan perdarahan berlebihan yang ditimbulkannya bisa menggangu
aktifitas sehari-hari. Bahkan jika nyeri berulang dapat menyebabkan gangguan
psikologi pada penderita seperti depresi, sensi, gelisah, marah dan rasa tidak
berdaya. Dalam hal-hal seperti ini perlu segera cari pertolongan dokter.
Perdarahan yang banyak dalam waktu yang lama akan menyebabkan anemia.
Pada adenomiosis, kelenjar endometrium dan stroma muncul di jaringan
otot (miometrium) uterus. Meskipun etiologi yang pasti masih belum diketahui,
setidak beberapa teori sudah pernah diajukan. Teori yang pertama dan yang paling
populer adalah bahwa adenomiosis dapat berkembang dari invaginasi jaringan
endometrium di miometrium. Teori kedua menyebutkan bahwa adenomiosis dapat
berkembang secara de-novo akibat sisa sisa dari jaringan mullerian pluripotent.
Teori ketiga menyebutkan bahwa adenomyosis terjadi karena invaginasi dari
lapisan basalis pada sistem limfatik intreamiometrium. Dalam tulisan ini, penulis
lebih condong pada teori yang lebih banyak diketahui umum seperti akan
dijelaskan berikut ini. Pendapat yang paling lazim diterima adalah adenomiosis
terjadi sebagai akibat invaginasi dari endometrioum basal ke miometrium.
Invaginasi dapat terjadi karena lapisan miometrium mengalami perlunakan akibat
riwayat trauma misalnya pada riwayat operasi pelvis sebelumnya yang
memungkinkan jaringan endometrium aktif untuk tumbuh subur di tempat sel-sel
yang sudah mengalami cedera. Invaginasi sendiri juga dapat terjadi akibat adanya
fenomena immun menyimpang pada jaringan yang terlibat. Prosedur
imunohistokimia menunjukkan bahwa peningkatan jumlah makrofag akan
mengaktivasi sel T dan sel B yang kemudian akan meghasilkan antibodi dan
menstimulasi keluarnya sitokin, yang pada akhirnya sitokin ini akan merubah
struktur endomiometrial junction. Pencetus yang pasti dari proses invaginasi itu

3
sendiri tidaklah diketahui, meski demikian, diperkirakan pengaruh dari hormon
mungkin terlibat dalam menstimulasi terjadinya migrasi dari lapisan basal
endometrium tersebut. Studi mengenai reseptor steroid berkaitan dengan hal ini
ternyata menunjukkan hasil yang beragam, namun begitu, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa jaringan adenomyosis memiliki ekspresi reseptor estradiol
yang lebih tinggi dibandingkan endometrium yang memang berada di
endometrium sebenarnya.
Peningkatan respons terhadap estrogen ini mempermudah terjadinya
proses invaginasi dan perluasan adenomiosis. Teori kedua menyatakan bahwa
adenomiosis terbentuk dari jalur perubahan de novo sisa sisa jaringan mullerian..
Matsumoto dkk mengamati bahwa endometrium ektopik yang dijumpai pada
kasus adenomiosis tidak memberikan respon terhadap perubahan hormonal
sebagaimana endometrium eutopik. Perubahan sekretorik sangat jarang dijumpai,
bahkan sekalipun lapisan basalis dari endometrium yang sebenarnya tengah
berada di fase sekretorik. Penelitian lain juga membandingkan beragam faktor
pertrumbuhan dan sitokin seperti misalnya angiogenik growth factor, basic
fibroblast growth factor, yang mana mungkin memiliki kontribusi dalam
patogenesis perdarahan uterus abnormal pada kasus adenomiosis. Hasil penelitian
menunjukkan ekspresi yang berbeda beda pada jaringan adenomiosis
dibandingkan dengan jaringan endometrium eutopik, dan hal ini berarti sejalan
dengan teori bahwa adenomiosis bukanlah berasal dari endometrium lapisan
basal, melainkan dari jalur de novo sendiri.

2.3. Epidemiologi

Diagnosis adeniomiosis ditegakkan secara histologis, angka insidensi yang


pasti tidaklah dapat ditentukan. Dalam berbagai penelitian, prevalensinya berkisar
antara 5 hingga 70%. Besarnya rentang ini mungkin dikarenakan oleh banyak
faktor termasuk klasifikasi diagnostik yang beragam, perbedaan jumlah jaringan
yang diambil sebagai sampel biopsi dan bias yang mungkin timbul dari hasil
patologinya sendiri karena mempertimbangkan perjalanan penyakitnya pasien.
Secara umum, rata rata frekluensi kejadian adenomiosis pada histerektomi adalah

4
sekitar 20 hingga 30%. Penelitian klinis berkala telah menunjukkan peningkatan
frekuensi kejadian adenomiosis pada pasien multipara. Kehamilan mungkin akan
meningkatkan resiko kejadian adenomiosis karena terjadi anvasi alamiah trofoblas
ke miometrioum saat implantasi. Sebagai tambahan, jika dibandingkan dengan
jaringan eutopik, jaringan adenomiosis memiliki rasio jumlah reseptor estrogen
yang lebih banyak, yang mana peningkatan hormon selama kehamilan mungkinn
akan mengiduksi adenomiosis. Vercellini dkk mengamati bahwa kejadian
adenomiosis memang secara langsuing sangat berkaitan dengan kehamilan. Selain
itu Levgur dkk melaporkan pasien yang telah menjalani terminasi kehamilan
melalui diatasi dan kuretase mengalami angka kejadian yang tinggi dalam hal
adenomiosis jika dibanmdingkan dengan wanita yang tidak pernah menjalani
terminasi kehamilan. Penelitian ini membuka kemungkinan bahwa efek dari
kehamilan terdahulu dalam hal patogenesis penyakit ini tidak dapat diabaikan,
namun angka pastinya masih belum dapat ditentukan. Beberapa studi menyatakan
bahwa trauma akibat operasi di pelvis dapat memicu invaginasi jaringan
adenomiosis. Parazzini dkk juga mengamati tingginya angka kejadian
adenomiosis pada mereka yang telah menjalani dilatasi dan kuretase. Meski
demikian, maish terdapat bias dalam penelitian tersebut, apakah memang
peningkatan resiko adenomiosis itu diosebabkan oleh prosedur dilatasi
kuretasenya ataukah adenomiosisnya disebabkan oleh fakta bahwa wanita yang
menjalani dilatasi kuretase biasanya mengalami hiperplasia jaringan akibat
keadaan hipoestrogen, yang pada akhirnya menyebabkan adenoimiosis. Studi lain
menyebutkan tidak ada hubungan antara adenomiosis dengan riwayat operasi
transpelvic sebelumnya, ataupun Seksio Sesarea. Oleh karena itu, masih belum
jelas apakah riwayat operasi terdahulu merupakan faktor resiko signifikan untuk
adenoimiosis. Tujuh puluh persen hingga 80% adenomiosis dilaporkan pada
wanita umur 40 tahun atau 50 tahunan. Karena diagnosis adenomiosis ditegakkan
secara histologis, pervalensi akan meningkat pada wanita yang lebih tua, mungkin
karena tingginya riwayat prosedur histerektomi pada kelompok wanita tersebut.
Mungkin juga hal ini dikarenakan paparan estrogen yang semakin meningkat
seiring dengan pertambahan usia. Lima hingga 25 persen kasus adenomiosis

5
dijumpai pada pasien berumur kurang dari 39 tahun dan hanya 5 persen hingga
10% saja yang dijumpai pada wanita usia lebih dari 60 tahun.

2.4. Histologi

Junctional zone (JZ) pada lapisan terdalam miometrium atau disebut juga
archimetra memiliki karakter khas yang membedakannya dengan tautan lain,
berperan sebagai membran protektif lemah dan memungkinkan kelenjar
endometrium berkontak langsung dengan miometrium. MRI T2-weighted
menunjukkan tiga lapisan berbeda pada uterus wanita usia produktif : (1) lapisan
dalam, mukosa endometrium, intensitas tinggi (2) lapisan intermediet, JZ (3) dan
lapisan serosa. Penelitian terkini berhasil mengungkap sifat dan fungsi JZ. Zona
tersebut bersifat hormone-dependent sehingga mengalami perubahan ketebalan
secara siklis menyerupai endometrium. Karakter itu pula yang memicu timbulnya
peristaltik uterus di luar kehamilan. Lapisan miometrium pasca menopause
tampak kabur pada MRI akibat supresi aktivitas ovarium atau pemberian analog
GnRH.

2.5. Patofisiologi

Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam


miometrium masih belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara fisiologis
berproliferasi secara lebih aktif dibandingkan lapisan basalis. Hal ini
memungkinkan lapisan fungsional menjadi tempat implantasi blastokista
sedangkan lapisan basalis berperan dalam proses regenerasi setelah degenerasi
lapisan fungsional selama menstruasi. Selama periode regenerasi kelenjar pada
lapisan basalis mengadakan hubungan langsung dengan sel-sel berbentuk
gelondong pada stroma endometrium. Adenomiosis berkembang dari
pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari stratum basalis endometrium ke dalam
miometrium sehingga bisa dilihat adanya hubungan langsung antara stratum
basalis endometrium dengan adenomiosis di dalam miometrium. Di daerah ekstra-

6
uteri misalnya pada plika rektovagina, adenomiosis dapat berkembang secara
embriologis dari sisa duktus Muller. Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke
dalam miometrium pada masih harus dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi
seperti aktivitas mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis
DNA & siliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan
basalis. Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan
lapisan basalis sebagai sumber produksi untuk regenerasi endometrium akibat
degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada saat proses regenerasi,
sel-sel epitel dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan sel-sel stroma
endometrium yang membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan
gambaran sitoplasma pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel
kelenjar endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam studi
invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial invasif dimana
potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan basalis endometrium ke
dalam miometrium.Dalam studi yang menggunakan hibridisasi &
imunohistokimia insitu menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada
adenomiosis lebih mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif.
Pada endometrium yang normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat
mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal ini mungkin meskipun belum terbukti
bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium berkaitan dengan
kemampuan untuk menembus miometrium dan membentuk fokal adenomiosis.
Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada
karsinoma endometrii dibandingkan kelenjar endometrium yang normal seperti
halnya yang ditemukan pada trofoblas invasif dibandingkan yang non-invasif
pada koriokarsinoma. Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol,
menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada
ekspresi reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain
menunjukkan ekspresi reseptor progesterone yang lebih tinggi dibandingkan
estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan
konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan
basalis endometrium maupun adenomiosis. Reseptor estrogen merupakan syarat
untuk pertumbuhan endometrium yang menggunakan mediator estrogen.

7
Meskipun masih belum jelas evidensnya, hiperestrogenemia memiliki peranan
dalam proses invaginasi semenjak ditemukan banyaknya hiperplasia endometrium
pada wanita dengan adenomiosis. Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan
dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana halnya endometriosis. Hal ini
didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen dengan pemberian
Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang dikaitkan dengan
gejala menoragia & dismenorea. Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent
seperti karsinoma endometri, endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak
hanya terdapat reseptor Estrogen, namun juga aromatase, enzim yang
mengkatalisasi konversi androgen menjadi estrogen. Prekursor utama androgen,
Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase menjadi Estrone. Sumber estrogen
yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi oleh enzim Estrogen sulfatase
menjadi Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan adenomiosis. Nantinya
Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17β-estradiol yang meningkatkan tingkat
aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi, akan menstimulasi
pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen. mRNA sitokrom
P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen utama aromatase yang
terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir secara
imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.
Pertumbuhan endometrium menembus membrane basalis. Pada
pemeriksaan histologis sebagian menunjukkan pertumbuhan endometrium
menyambung ke dalam fokus adenomiosis, sebagian ada di dalam miometrium
dan sebagian lagi ada yang tidak tampak adanya hubungan antara permukaan
endometrium dengan fokus adenomiosis. Hal ini mungkin disebabkan oleh
hubungan ini terputus oleh adanya fibrosis. Seiring dengan berkembangnya
adenomiosis, uterus membesar secara difus dan terjadi hipertrofi otot polos.
Fundus uteri merupakan tempat paling umum dari adenomiosis. Pola mikroskopik
dijumpai adanya pulau-pulau endometrium yang tersebar dalam myometrium.
Endometrium ektopik dapat memperlihatkan adanya perubahan seiring dengan
adanya siklus haid, umumnya jaringan ini bereaksi denganestrogen tapi tidak
dengan progesterone.

8
2.6. Diagnosis

1. Gejala Klinis
Seiring dengan bertambah beratnya adenomiosis gejala yang timbul
adalah:
 Sebanyak 50% mengalami menoragia. Kemungkinan disebabkan oleh
gangguan kontraksi myometrium akibat adanya focus-fokus adenomiosis
ataupun makin bertambahnya vaskularisasi di dalam Rahim.
 Sebanyak 30% dari pasien mengeluh dismenorhea ini semakin lama
semakin berat. Hal ini akibat gangguan konraksi myometrium yang
disebabkan oleh pembengkakkan prahaid dan perdarahan haid didalam
kelenjar endometrium.
 Subfertilitas. Dengan makin beratnya adenomiosis biasanya pasien
semakin sulit untuk mendapatkan keturunan.
 Pada pemeriksaan dalam dijumpai Rahim yang membesar secara merata.
Rahim biasanya nyeri tekan dan sedikit lunak bila dilakukan pemeriksaan
bimanual sebelum prahaid (tanda halban)

Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari kelenjar


adenomiosis ke dalam miometrium dan densitas pada gambaran histologis

9
dari kelenjar adenomiosis di dalam miometirum. Kedalaman adenomiosis
dan hubungannya dengan perdarahan banyak menentukan pilihan strategi
penatalaksanaannya. McCausland menunjukkan bahwa dari biopsi reseksi
endometrium, kedalaman penetrasi adenomiosis ke dalam miometrium
berhubungan dengan jumlah perdarahan banyak yang dilaporkan.
Sehingga pada adenomiosis superfisial dilakukan reseksi atau ablasi
endometrium. Sedangkan pada kasus adenomiosis yang lebih dalam atau
dengan perdarahan banyak yang berlanjut, perlu dilakukan
penatalaksanaan bedah konvensional yaitu histerektom

2. Pemerikaan
 Ultrasonografi (USG)
Dengan melakukan USG kitadapat melihat adanya uterus yang
membesar secara difus dan gambaran penebalan dinding Rahim
terutama pada bagian posterior dengan fokus-fokus ekogenik, rongga
endometriosis eksentrik, adanya penyebaran dengan gambaran
hiperekoik, kantung-kantung kistik 5-7 mm yang menyebar
menyerupai gambaran sarang lebah

 MRI
Terlihat adanya penebalan dinding myometrium yang difus.

 Pemeriksaan patologi anatomi


Pemeriksaan pasti adenomiosis adalah pemeriksaan patologi
dari bahan specimen histerektomi. Ditemukan adanya pulau-pulau
endometrium yang tersebar dalam myometrium. Konsistensi uterus
keras dan tidak beraturan pada potongan permukaan terlihat cembung
dan mengeluarkan serum, jaringan berpola trabekula atau gambaran
kumparan dengan isi cairan kuning kecoklatan atau darah.
.
2.7. Penatalaksanaan adenomiosis

10
Secara medik agak sulit. Bila pasien ingin mempunyai anak dan usia
muda maka pertimbangan yang perlu dilakukan adalah melakukan pengobatan
hormonal GnRH agonis selama 6 bulan dengan/ atau disertai penanganan
bedah reseksi minimalisasi jaringan adenomiosis, dilanjutkan dengan program
teknologi reproduksi berbantu.
Penanganan secara medis sehubungan dengan keluhan perdarahan
ataupun nyeri dapat dilakukan dengan:

 Pengobatan hormonal GnRH agonis


Diberikan salaam 6 bulan, tapi ini bersifat sementara yang dalam beberapa
waktu kemudian akan kambuh kembali

 Pengobatan dengan suntikan progesterone


Pemberian suntikan progesterone depot seperti suntikan KB dapat
membantu mengurangi gejala nyeri dan perdarahan. Meskipun belum ada
studi acak ganda tersamar yang mencoba mengevaluasi penggunaan pil
kontrasepsi oral pada pasien dengan adenomiosis dengan dismenorhea dan
menorhagia, namun obat obatan tersebut dapat sedikit mengurangi
keluhan. Penggunaan progestin dosis tinggi seperti misalnya pil oral
norethindrone asetat jangka panjang atau medroxyprogesteron depo belum
pernah diteliti sebagai terapi adenomiosis, namun begitu, peranan mereka
sebagai terapi supresi hormon dapat sedikit banyak memicu regresi
jaringan adenomiosis.

 Penggunaan IUD yang mengandung hormone progesterone


Penelitian menunjukkan penggunaan IUD yang mengandung hormone
dapat mengurangi gejala dismenorea dan menoragia seperti Mirena yang
mengandung levonorgestrel yang dilepaskan secara perlahan-lahan ke
dalam rongga rahim. Sedian LNG AKDR (mirena) mensekresikan 20 ug
levonorgesterel per harinya dan merupkan terapi yang efektif dalam
penatalaksanaan adenomiosis. Penggunaan LNG AKDR berkaitan dengan
proses desidualisasi endometrium untuk mengurangi perdarahan dan

11
diperkirakan juga bekerja langsung pada deposit jaringan adenomiosis
dengan mendown regulasikan reseptor estrogen. Hal ini pada kahirnya
akan mengurangu ukuran fokusjaringan adenomiosis, memperbaiki
kontraktilitas uterus sehingga dapat mengurangi jumlah kehilangan darah,
mengurangi gejala dismenorhea dengan menurunkan produksi
prostaglandin dalam endometrium dan juga menginduksi amenorhea.
Penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan LNG AKDR berakibat
pada perbaikan gejala menorhagia dan dismenorhea dan perubahan
radiologis pada uterus yang mengalami adenomiosis. Namun begitu, tak
satupun dari studi tersebut yang merupakan studi acak tersamar ganda, dan
pasien dalam studi tersebut tidak di follow up sampai waktu dilepaskannya
AKDR. Terapi dengan LNG AKDR mungkin cukup bermanfaat pada
wanita yang menginginkan memiliki keturunan pasca terapi. Sheng dkk
melakukan penelitian tentang manfaat LNG AKDR setelah m enggunaan
selama 36 bulan pada 94 wabnita dengan dismenorhea sedang hingga berat
yang diakibatkan oleh adenomiosis dengan menggunakan trans vaginal
USG. Keluhan nyeri diukur dengan menggunakan Visual Analog Scale
(VAS) dan ternyata hasilnya berkurang dari awalnya skornya adalah 77,9
menjadi 11,8 dimana 25% pasien melaporkan terjaid amenorhea. Volume
uterus berkurang secara signifikan, dari 115,8 ml menjadi 94,5 ml, dan
begitu juga dengan kadar Ca 125. Secara umum, tingkat kepuasan dan
keberhasilan terapi ini adalah 72,5%.

 Aromatase inhibitor
Fungsinya menghambat enzim aromatase yang menghasilkan estrogen
seperti anastrazole dan letrozole

 Eksisi Jaringan Miometrium atau Adenomioma


Eksisi dari fokus jaringan adenomiosis dapat dilakukan jika lokasi fokus
jaringan dapat ditentukan dengan pasti. Tidak seperti miomectomy,
tindakan ini agak lebih sulit dalam hal menentukan luasnya lesi,
mengekspos lesi, mennetukan batas serta kedalama invasi jaringan.

12
Dengan mempertimbangkan tantangan tersebut, mungkin saja dalam
prosedur tersebut jaringan adenomiosisnya masih tertinggal dan dengan
begitu, sebagian jaringan mungkin tidak akan tuntas dan dapat kambuh
kembali. Oleh sebab iotu tingkat keberhasilan teknik ini masih dibawah
50%. Tambahan terapi dengan menggunakan agonis GnRH pada teknik ini
selama 6 bulan setelah eksisi akan dapat menurunkan angka kekambuhan
sebanyak 20% pada 2 tahun berikutnya. Pada wanita yang ingin bisa
hmail, eksisi dapat dilakukan jika miometrium tetap dipertahankan dan
pembentukan jaringan parut yang ada tidak mempengaruhi permukaan
tempat implantasi. Angka kejadian abortus spontan jadi lebih tinggi pada
kelompok ini juka dibandingkan dengan masyafrakat umum. Hal ini
kemungkinan besar dikarenakan oleh pembentukan jaringan parut yang
akan mempengaruhi kemampuan uterus untuk mempertahankan isinya,
Meski begitu, suatu studi memperlihatkan bahwa terapi konservatiof
dengan eksisi adenomioma dengan ukuran 55 mm masih dapat
menginduksi kehamilan pada 70% kasus dengan disertai berkurangnya
gejala menorhagia dan dismenorhea
 Histerektomi
Dilakukan pada perempuan yang tidak membutuhan fungsi reproduksi

2.8. Prognosis
Adenomiosis merupakan suatu penyakit yang progresif selama masa
reproduksi dan akan mengalami regresi bila memasuki masa menopause. Tidak
mempunyai kecenderungan menjadi ganas.

13
BAB 3
STATUS PASIEN

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. R

Umur : 44 tahun

No. RM : 04.27.84

Tanggal masuk : 02 Oktober 2019

3.2 Anamnesis

Keluhan utama :

Nyeri saat haid, haid tidak teratur dan darah yang banyak ketika haid

Telaah :

14
Pasien mengeluhkan nyeri yang dirasakan saat haid dan siklus haid yang tidak
teratur serta perdarahan yang banyak dialami ketika haid selama ± 1 minggu.

Riwayat penyakit terdahulu : Mioma uteri dan riwayat miomektomi

Riwayat penyakit keluarga : Tidak diketahui

Riwayat penggunaan obat : Tidak diketahui

Riwayat alergi obat : Tidak diketahui

Riwayat menstruasi : Tidak teratur

3.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum

Kesan umum

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

HR : 76x/i

RR : 20x/i

T : 36,7oC

Kulit : Hangat, CRT < 2 detik

Kelenjar Getah Bening : Tidak dijumpai pembesaran

Edema : Tidak dijumpai

15
Kepala dan Leher

Bentuk dan posisi : Normocephali

Pergerakan : Baik

Kelenjar parotis : Dalam batas normal

Lain-lain :-

Thorax dan Abdomen

Pemeriksaan Thorax Abdomen


Inspeksi Simetris kanan=kiri Distensi (-)
Palpasi SF kanan=kiri Soepel, nyeri tekan
(-)
Perkusi Sonor Timpani
Auskultasi SP: Vesikuler Peristaltik (N)

ST : -

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

3.4 Hasil Pemeriksaan Darah Rutin : Oktober 2019

No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal


1. Hemoglobin 8.7 g/dl 13.5-15.5
2. Leukosit - /mm3 5000-11000
3. Laju Endap Darah - mm/jam 0-20
4. Trombosit - /mm3 150000-450000
5. Hematocrit - % 30.5-45.0
6. Eritrosit - 10^6/mm3 3.50-5.50
7. MCV - µm3 75.0-95.0
8. MCH - pg/cell 27.0-31.0
9. MCHC - g/dl 32.0-34.0
10. RDW - % 11.50-14.50

16
11. PDW - Fl 12.0-53.0
12. MPV - fL 6.50-9.50
13. PCT - % 0.10-0.50
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil - % 1-3
Basofil - % 0-1
Monosit - % 2-8
Neutrofil - % 50-70
Limfosit - % 20-40
LUC - % 0-4

3.5 Rencana Operasi: STAH (Subtotal abdominal histerectomy) + SOD


(salfingo-ooforektomi dekstra)

3.6 Follow Up :

02 Oktober 2019
S Nyeri saat datang haid, darah banyak (+)
O Sensorium Compos Mentis; GCS = 15 (E : 4, V: 5, M: 6)
TD : 110/80 mmHg Anemis : (-)
Ikterus : (-) Ikterus : (-)
HR : 76 x/i, regular Dispnea : (-)
Dispnea : (-) Sianosis : (-)
RR : 20 x/i, regular Edema : (-)
Sianosis : (-)
Temperatur : 36.7oC
HB : 8,7
 Mata : Simetris, konjungtiva anemis (+/+), pupil isokor (+/
+), mata cekung (-/-)
 Abdomen
- Inspeksi : Simetris datar; pembesaran (-), luka bekas operasi
(-)
- Palpasi : Soepel; Nyeri Tekan (-) di ulu hati dan perut kanan
bawah, McBurney’s sign (-)
- Perkusi : Shifting dullness (-), Timpani
- Auskultasi : Peristaltik Normal
 Ekstremitas : Oedem (-/-), akral hangat (+/+)

17
A Mioma uteri + Anemia
P  Terapi
- Bedrest
- IVFD Rl 20 gtt/i
- Oksigen 2 L/ menit
- Inj. Ceftriaxon 1 gr/8 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
- Transfusi PRC 500 cc
- Diet M II

03 Oktober 2019
S Nyeri pada luka operasi dan sudah buang angin.
O Sensorium Compos Mentis; GCS = 15 (E : 4, V: 5, M: 6)
TD : 130/90 mmHg Anemis : (-)
Ikterus : (-) Ikterus : (-)
HR : 82 x/i, regular Dispnea : (-)
Dispnea : (-) Sianosis : (-)
RR : 20 x/i, regular Edema : (-)
Sianosis : (-)
Temperatur : 36,7oC
 Mata : Simetris, konjungtiva anemis (-/-), pupil isokor (+/
+), mata cekung (-/-)
 Abdomen
- Inspeksi : Simetris datar; pembesaran (-), luka bekas operasi
(-)
- Palapsi : Soepel; Nyeri Tekan (-) di ulu hati dan perut kanan
bawah, McBurney’s sign (-)
- Perkusi : Shifting dullness (-), Timpani
- Auskultasi : Peristaltik Normal
 Ekstremitas : Oedem (-/-), akral hangat (+/+)
A Adenomiosis + PUD + Anemia
P  Terapi
- Bedrest
- IVFD Rl 30 gtt/i
- Cefepime 1 gr/ 12 jam
- Inj Ketorolac 30 mg/ 8 jam
- Gentamicin 80 mg/ 8 jam
- Diet M II

18
04 Oktober 2019
S Nyeri pada luka operasi
O Sensorium Compos Mentis; GCS = 15 (E : 4, V: 5, M: 6)
TD : 130/80 mmHg Anemis : (-)
Ikterus : (-) Ikterus : (-)
HR : 80 x/i, regular Dispnea : (-)
Dispnea : (-) Sianosis : (-)
RR : 20 x/i, regular Edema : (-)
Sianosis : (-)
Temperatur : 36.8oC
Edema : (-)
 Mata : Simetris, konjungtiva anemis (-/-), pupil isokor (+/
+), mata cekung (-/-)
 Abdomen
- Inspeksi : Simetris datar; pembesaran (-), luka bekas operasi
(-)
- Palapsi : Soepel; Nyeri Tekan (-) di ulu hati dan perut kanan
bawah, McBurney’s sign (-)
- Perkusi : Shifting dullness (-), Timpani
- Auskultasi : Peristaltik Normal
 Ekstremitas : Oedem (-/-), akral hangat (+/+)
A Adenomiosis + PUD + Anemia
P  Terapi
- Bedrest
- IVFD Rl 30 gtt/i
- Cefepime 1 gr/ 12 jam
- Inj ketorolac 1 amp/ 8 jam
- Diet M II

3.7 Diagnosa Akhir


Adenomiosis + PUD + Anemia
3.8 Terapi PBJ
- Cefadroxil 500 mg tab 3x1 tab
- Femisic (Asam Mefenamat) 500 mg tab 3x1 tab
- Mirabion 2x1 tab

19
BAB 4

KESIMPULAN

Nama : Ny. R

Umur : 44 tahun

Tanggal Masuk : 02 Oktober 2019

20
Anamnesa :Pasien mengeluhkan nyeri yang dirasakan saat haid dan
siklus haid yang tidak teratur serta perdarahan yang banyak dialami ketika haid
selama ± 1 minggu.

Pemeriksaan Fisik : Tidak dijumpai kelainan

Pemeriksaan Penunjang :Pemeriksaan laboratorium : Hb 8,7 g/dl

Diagnosa Kerja : Adenomiosis + PUD + Anemia

Penatalaksanaan :

- Tindakan Operasi : STAH + SOD


- Bedrest
- IVFD RL 30 gtt/i
- Cefepime 1 gr/ 12 jam
- Inj Ketorolac 30 mg/ 8 jam
- Gentamicin 80 mg/ 8 jam
- Transfusi PRC
- Diet M II
Diagnosa Akhir : Adenomiosis + PUD + Anemia

Penatalaksaan PBJ :

- Cefadroxil 500 mg tab 3x1 tab


- Femisic (Asam Mefenamat) 500 mg tab 3x1 tab
- Mirabion 2x1 tab

DAFTAR PUSTAKA

Angsar, D.M. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo; 2014
Adriaanz, G,. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2009
American College of Obstetricians and Gynecologists, 2019. Clinical
management guidelines for obstetrician-Gynecologists; ACOG Practice
Bulletin. Vol. 133 No. 1 Januari 2019.
Cunningham, F.G et al . Williams Obstetrics. 22st edition. New York: Mc Graw
Hill Medical Publishing Division

21
Dharma, R., Wibowo, N., Raranta, T.,P,. 2006. Makara Kesehatan Vol. 9 No. 2
Desember 2005 ; 63-69
Fatmawati, L., Ssilistyono, A., Notobroto, B. 2017. Pengaruh status kesehatan ibu
terhadap derajat Preeklampsia dan eklampsia di Kabupaten Gresik;
Surabaya
Kemenkes, 2014. Hipertensi. Infodatin Pusat data dan informasi kementrian
kesehatan RI
Kemenkes RI. 2007. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.
Sarwono. 2005. Ilmu kandungan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
Jakarta.
Wiknjosastro H. 2005. Ilmu kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta.

22

Anda mungkin juga menyukai