“ADENOMIOSIS UTERI”
Disusun Oleh :
Pembimbing :
Journal Reading
Nim : 143307010043
Nilai :
Pembimbing :
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya, paper ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tujuan penulisan
journal dengan judul “ Preeklampsia dan Eklampsia” adalah sebagai salah satu
syarat yang harus dipenuhi untuk kepaniteraan klinik di bagian ilmu Obstetri dan
Ginekologi .
Penulis juga berterima kasih kepada dokter pembimbing, Dr. dr. Mangatas
Silaen, M.K.M., Sp. OG, karena atas bimbingannya journal ini dapat diselesaikan
dengan baik.
Penyusunan paper ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk penyempurnaan journal
ini.
Penulis
ii
DAFTAR PUSTAKA
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................iii
BAB 1......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB 2......................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................2
BAB 3....................................................................................................................26
KESIMPULAN.....................................................................................................26
iii
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Adenomiosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang
merupakan lapisan bagian dalam rahim tumbuh di dalam dinding (otot) rahim.
Adenomiosis merupakan endometriosis yang muncul di otot rahim. Jaringan-
jaringan endometrium ini terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma.
Endometriosis sering paling sering ditemukan pada perempuan yang
melahirkan di atas usia 30 tahun disertai dengan gejala menoragia dan
dismenore yang progresif. Kejadian adenomiosis bervariasi antara 8-40%
dijumpai pada pemeriksaan dari semua spesimen histerektomi. Dari 30%
pasien ini diketemukan adanya endometriosis dalam rongga peritoneum secara
bersamaan.
Diagnosis adeniomiosis ditegakkann secara histologis,
angka insidensi yang pasti tidaklah dapat ditentukan. Dalam
berbagai penelitian, prevalensinya berkisar antara 5 hingga
70%. Besarnya rentang ini mungkin dikarenakan oleh banyak
faktor termasuk klasifikasi diagnostik yang beragam,
perbedaan jumlah jaringan yang diambil sebagai sampel
biopsi dan bias yang mungkin ntimbul dari hali patologinya
sendiri karena mempertimbangkan perjalanan penyakitnya
pasien. Secara umum, rata rata frekluensi kejadian
adenomiosis pada histerektomi adalah sekitar 20 hingga 30%.
Penelitian klinis berkala telah menunjukkan peningkatan
frekuensi kejadian adenomiosis pada pasien multipara.
Kehamilan mungkin akan meningkatkan resiko kejadian
adenomiosis karena terjadi anvasi alamiah trofoblas ke
mniometrioum saat implabntasi. Sebagai tambahan, jika
dibandingkan dengan jaringan eutpik, jaringan adenomiosis
memiliki rasio jumlah reseptor estrogen yang lebih banyak,
yang mana penoingatan hormon selama kehamilan mungkinn
akan mengiduksi adenomiosis.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Adenomiosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang
merupakan lapisan bagian dalam rahim tumbuh di dalam dinding (otot) rahim.
Adenomiosis merupakan endometriosis yang muncul di otot rahim. Jaringan-
jaringan endometrium ini terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma. Endometriosis
sering paling sering ditemukan pada perempuan yang melahirkan di atas usia 30
tahun disertai dengan gejala menoragia dan dismenore yang progresif. Kejadian
adenomiosis bervariasi antara 8-40% dijumpai pada pemeriksaan dari semua
spesimen histerektomi. Dari 30% pasien ini diketemukan adanya endometriosis
dalam rongga peritoneum secara bersamaan.
Bird et al. (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi
jinak jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan
pembesaran uterus difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma
endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium
hipertrofik dan hiperplastik. Definisi tersebut masih berlaku hingga sekarang
dengan modifikasi. Adenomiosis adalah keberadaan kelenjar dan stroma
endometrium pada sembarang lokasi di kedalaman miometrium.
2.2. Etiologi
2
dilakukan selama operasi seperti operasi caesar (C-section) mempromosikan
invasi langsung dari sel-sel endometrium ke dalam dinding rahim.
2. Teori Pertumbuhan. Diyakini sejak awal, jaringan endometrium ini memang
koonh; sudah ada saat janin mulai tumbuh. ahli lainnya berspekulasi
adenomiosis yang berasal dalam otot rahim dari jaringan endometrium
disimpan di sana ketika rahim pertama kali terbentuk pada janin perempuan.
3. Peradangan rahim akibat proses persalinan. Teori ini menyatakan ada
hubungan antara adenomiosis dan proses persalinan. Proses deklamasi
endometrium pada periode paska persalinan bisa menyebabkan
pecahnya/putusya ikatan sel pada endometrium.
Dari teori diatas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa faktor risiko terkena
adenomiosis adalah persalinan baik cesar maupun normal. Walaupun tidak
berbahaya, nyeri dan perdarahan berlebihan yang ditimbulkannya bisa menggangu
aktifitas sehari-hari. Bahkan jika nyeri berulang dapat menyebabkan gangguan
psikologi pada penderita seperti depresi, sensi, gelisah, marah dan rasa tidak
berdaya. Dalam hal-hal seperti ini perlu segera cari pertolongan dokter.
Perdarahan yang banyak dalam waktu yang lama akan menyebabkan anemia.
Pada adenomiosis, kelenjar endometrium dan stroma muncul di jaringan
otot (miometrium) uterus. Meskipun etiologi yang pasti masih belum diketahui,
setidak beberapa teori sudah pernah diajukan. Teori yang pertama dan yang paling
populer adalah bahwa adenomiosis dapat berkembang dari invaginasi jaringan
endometrium di miometrium. Teori kedua menyebutkan bahwa adenomiosis dapat
berkembang secara de-novo akibat sisa sisa dari jaringan mullerian pluripotent.
Teori ketiga menyebutkan bahwa adenomyosis terjadi karena invaginasi dari
lapisan basalis pada sistem limfatik intreamiometrium. Dalam tulisan ini, penulis
lebih condong pada teori yang lebih banyak diketahui umum seperti akan
dijelaskan berikut ini. Pendapat yang paling lazim diterima adalah adenomiosis
terjadi sebagai akibat invaginasi dari endometrioum basal ke miometrium.
Invaginasi dapat terjadi karena lapisan miometrium mengalami perlunakan akibat
riwayat trauma misalnya pada riwayat operasi pelvis sebelumnya yang
memungkinkan jaringan endometrium aktif untuk tumbuh subur di tempat sel-sel
3
yang sudah mengalami cedera. Invaginasi sendiri juga dapat terjadi akibat adanya
fenomena immun menyimpang pada jaringan yang terlibat. Prosedur
imunohistokimia menunjukkan bahwa peningkatan jumlah makrofag akan
mengaktivasi sel T dan sel B yang kemudian akan meghasilkan antibodi dan
menstimulasi keluarnya sitokin, yang pada akhirnya sitokin ini akan merubah
struktur endomiometrial junction. Pencetus yang pasti dari proses invaginasi itu
sendiri tidaklah diketahui, meski demikian, diperkirakan pengaruh dari hormon
mungkin terlibat dalam menstimulasi terjadinya migrasi dari lapisan basal
endometrium tersebut. Studi mengenai reseptor steroid berkaitan dengan hal ini
ternyata menunjukkan hasil yang beragam, namun begitu, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa jaringan adenomyosis memiliki ekspresi reseptor estradiol
yang lebih tinggi dibandingkan endometrium yang memang berada di
endometrium sebenarnya.
Peningkatan respons terhadap estrogen ini mempermudah terjaidnya
proses invaginasi dan perluasan adenomiosis. Sebagai tambahan, jaringan
adenomiosis juga mengandung enzim aromatase dan enzim estrogen sulfat yang
menghasilkan estrogen untuk menstimulasi pertumbuhan dan ekspansi jaringan
endometrium abnormal dan stromanya ke miometrium. Teori kedua menyatakan
bahwa adenomiosis terbentuk dari jalur perubahan de novo sisa sisa jaringan
mullerian. Titik titik adenomiosis ekstrauterine sebagaimana yang dijumpai di
septum rektovaginal mendukung teori tersebut. Terlebih lagi penelitian mengenai
properti biologik dan proliveratif dari endometrium ektopik dan eutopik, masing
m,asing memeiliki karakteristik tersendiri. Matsumoto dkk mengamati bahwa
endometrium ektopik yang dijumpai pada kasus adenomiosis tidak memberikan
respon terhadap perubahan hormonal sebagaimana endometrium eutopik.
Perubahan sekretorik sangat jarang dijumpai, bahkan sekalipun lapisan basalis
dari endometrium yang sebenarnya tengah berada di fase sekretorik. Penelitian
lain juga membandingkan beragam faktor pertrumbuhan dan sitokin seperti
misalnya angiogenik growth factor, basic fibroblast growth factor, yang mana
mungkin memiliki kontribusi dalam patogenesis perdarahan uterus
abnormal pada kasus adenomiosis. Hasil penelitian menunjukkan ekspresi yang
berbeda beda pada jaringan adenomiosis dibandingkan dengan jaringan
4
endometrium eutopik, dan hal ini berarti sejalan dengan teori bahwa adenomiosis
bukanlah berasal dari endopmetrium lapisan basala, melainkan dari jalur de novo
sendiri. Teori ketiga, teori stem cell, didukung oleh fakta bahwa regenerasi
endometrium dapat diinduksi oleh stem cell yang berasal dari sumsum tulang.
Temuan ini memiliki implikasi yang potensial dalam hal menentukan etiologi
endmetriosis dan adenomiosis. Studi imunohistokimia terkini mengungkapkan
adanya jarinagn endometrium tambahan di 4 wanita yang menjalani prosedur
transplantasi sumusm tulang dengan ketidaksesuaian antigen HLA tunggal. Data
ini menunjukkan stem sel yang berasal dari sumsum tulang memiliki peranan
daklam pertumbuhan jaringan endometrium yang baru. Maka dari itu, mungkin
saja stem cell tadi juga dapat menginduksi pertumbuhan oendometrium di
jarinagn otot miometrium, dan menyebabkan adenomiosis dengan proliferasi lokal
kelenjar endmetrium dan stroma nya di miometrium.
2.3. Epidemiologi
5
melaporkan pasien yang telah menjalani terminasi kehamilan melalui
diatasi dan kuretase mengalami angka kejadian yang tinggi dalam hal
adenomiosis jika dibanmdingkan dengan wanita yang tidak pernah
menjalani terminasi kehamilan. Penelitian ini membuka kemungkinan 7
bahwa efek dari kehamilan terdahulu dalam hal patogenesis penyakit
ini tidak adapat diabaikan, namun angka pastinya masih belum dapat
ditentukan. Beberapa studi menyatakan bahwa trauma akibat operasi
di pelvis dapat memicu invaginasi jaringan adenomiosis. Parazzini dkk
juga mengamati tingginya angka kejadian adenomiosis pada mereka
yang telah menkalani dilatasi dan kuretase. Meski demikian, maish
terdapat bias dalam penelitian tersbeuit, apakah memang peningkatan
resiko adenomiosis itu diosebabkan oleh prosedur dilatasi kuretasenya
ataukah adenomiosisnya disebabkan oleh fakta bahwa wanita yang
menjalani dilatasi kuretase biasanya mengalami hiperplasia jaringan
nakiobat keadaan hipoestrogen, yang pada akhirnya menyebabkan
adenoimiosis. Studi lain mentebuitkan tidak ada hubungan antara
adenomiosis dengan riwayat operasi transpelvic sebelumnya, ataupun
Seksio Sesarea. Oleh karena itu, masih belum jelas apakah riwayat
operasi terdahulu merupakan faktor resiko signifikan untuk
adenoimiosis. Tujuh puluh persen hingga 80% adenomiosis dilaporkan
pada wanita umur 40 tahuna atau 50 tahunan. Karena diagnosis
adenomiosis ditegakkan secara histologis, pervalensi akan meningkat
pada wanitya yang lebih tua, mungkin karena tingginya riwayat
prosedur histerektomiu pada kelompok wanita tersebut. Mungkin juga
ghal ini idkarenakan paparan estrogen yang semakin meningkat seiring
dengan pertmabhan usia. Lima hingga 25 persen kasus adenomiosis
dijumpai pada pasien berumur kurangt dari 39 8 tahun dan hanya 5
persen hiungga 10% saja yang dijumpai pada wanita usia lebih dari 60
tahun.
2.4. Histologi
Junctional zone (JZ) pada lapisan terdalam miometrium atau disebut juga
archimetra memiliki karakter khas yang membedakannya dengan tautan lain,
6
berperan sebagai membran protektif lemah dan memungkinkan kelenjar
endometrium berkontak langsung dengan miometrium. MRI T2-weighted
menunjukkan tiga lapisan berbeda pada uterus wanita usia produktif : (1) lapisan
dalam, mukosa endometrium, intensitas tinggi (2) lapisan intermediet, JZ (3) dan
lapisan serosa. Penelitian terkini berhasil mengungkap sifat dan fungsi JZ. Zona
tersebut bersifat hormone-dependent sehingga mengalami perubahan ketebalan
secara siklis menyerupai endometrium. Karakter itu pula yang memicu timbulnya
peristaltik uterus di luar kehamilan. Lapisan miometrium pasca menopause
tampak kabur pada MRI akibat supresi aktivitas ovarium atau pemberian analog
GnRH.
2.5. Patofisiologi
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam
miometrium masih belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara fisiologis
berproliferasi secara lebih aktif dibandingkan lapisan basalis. Hal ini
memungkinkan lapisan fungsional menjadi tempat implantasi blastokista
sedangkan lapisan basalis berperan dalam proses regenerasi setelah degenerasi
lapisan fungsional selama menstruasi. Selama periode regenerasi kelenjar pada
lapisan basalis mengadakan hubungan langsung dengan sel-sel berbentuk
gelondong pada stroma endometrium. Adenomiosis berkembang dari
pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari stratum basalis endometrium ke dalam
miometrium sehingga bisa dilihat adanya hubungan langsung antara stratum
basalis endometrium dengan adenomiosis di dalam miometrium. Di daerah ekstra-
uteri misalnya pada plika rektovagina, adenomiosis dapat berkembang secara
embriologis dari sisa duktus Muller. Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke
dalam miometrium pada masih harus dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi
seperti aktivitas mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis
DNA & siliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan
basalis. Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan
lapisan basalis sebagai sumber produksi untuk regenerasi endometrium akibat
degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada saat proses regenerasi,
7
sel-sel epitel dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan sel-sel stroma
endometrium yang membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan
gambaran sitoplasma pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel
kelenjar endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam studi
invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial invasif dimana
potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan basalis endometrium ke
dalam miometrium.Dalam studi yang menggunakan hibridisasi &
imunohistokimia insitu menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada
adenomiosis lebih mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif.
Pada endometrium yang normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat
mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal ini mungkin meskipun belum terbukti
bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium berkaitan dengan
kemampuan untuk menembus miometrium dan membentuk fokal adenomiosis.
Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada
karsinoma endometrii dibandingkan kelenjar endometrium yang normal seperti
halnya yang ditemukan pada trofoblas invasif dibandingkan yang non-invasif
pada koriokarsinoma. Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol,
menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada
ekspresi reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain
menunjukkan ekspresi reseptor progesterone yang lebih tinggi dibandingkan
estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan
konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan
basalis endometrium maupun adenomiosis.4 Reseptor estrogen merupakan syarat
untuk pertumbuhan endometrium yang menggunakan mediator estrogen.
Meskipun masih belum jelas evidensnya, hiperestrogenemia memiliki peranan
dalam proses invaginasi semenjak ditemukan banyaknya hiperplasia endometrium
pada wanita dengan adenomiosis. Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan
dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana halnya endometriosis. Hal ini
didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen dengan pemberian
Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang dikaitkan dengan
gejala menoragia & dismenorea.4 Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent
seperti karsinoma endometri, endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak
8
hanya terdapat reseptor Estrogen, namun juga aromatase, enzim yang
mengkatalisasi konversi androgen menjadi estrogen. Prekursor utama androgen,
Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase menjadi Estrone. Sumber estrogen
yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi oleh enzim Estrogen sulfatase
menjadi Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan adenomiosis. Nantinya
Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17β-estradiol yang meningkatkan tingkat
aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi, akan menstimulasi
pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen. mRNA sitokrom
P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen utama aromatase yang
terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir secara
imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.
Pertumbuhan endometrium menembus membrane basalis. Pada pemeriksaan
histologis sebagian menunjukkan pertumbuhan endometrium menyambung ke
dalam fokus adenomiosis, sebagian ada di dalam miometrium dan sebagian lagi
ada yang tidak tampak adanya hubungan antara permukaan endometrium dengan
fokus adenomiosis. Hal ini mungkin disebabkan oleh hubungan ini terputus oleh
adanya fibrosis. Seiring dengan berkembangnya adenomiosis, uterus membesar
secara difus dan terjadi hipertrofi otot polos. Fundus uteri merupakan tempat
paling umum dari adenomiosis. Pola mikroskopik dijumpai adanya pulau-pulau
endometrium yang tersebar dalam myometrium. Endometrium ektopik dapat
memperlihatkan adanya perubahan seiring dengan adanya siklus haid, umumnya
jaringan ini bereaksi denganestrogen tapi tidak dengan progesterone.
2.6. Diagnosis
1. Gejala Klinis
Seiring dengan bertambah beratnya adenomiosis gejala yang timbul
adalah:
Sebanyak 50% mengalami menoragia. Kemungkinan disebabkan oleh
gangguan kontraksi myometrium akibat adanya focus-fokus adenomiosis
ataupun makin bertambahnya vaskularisasi di dalam Rahim.
Sebanyak 30% dari pasien mengeluh dismenorhea ini semakin lama
semakin berat. Hal ini akibat gangguan konraksi myometrium yang
9
disebabkan oleh pembengkakkan prahaid dan perdarahan haid didalam
kelenjar endometrium.
Subfertilitas. Dengan makin beratnya adenomiosis biasanya pasien
semakin sulit untuk mendapatkan keturunan.
Pada pemeriksaan dalam dijumpai Rahim yang membesar secara merata.
Rahim biasanya nyeri tekan dan sedikit lunak bila dilakukan pemeriksaan
bimanual sebelum prahaid (tanda halban)
10
2. Pemerikaan
Ultrasonografi (USG)
Dengan melakukan USG kitadapat melihat adanya uterus yang
membesar secara difus dan gambaran penebalan dinding Rahim
terutama pada bagian posterior dengan fokus-fokus ekogenik, rongga
endometriosis eksentrik, adanya penyebaran dengan gambaran
hiperekoik, kantung-kantung kistik 5-7 mm yang menyebar
menyerupai gambaran sarang lebah
MRI
Terlihat adanya penebalan dinding myometrium yang difus.
11
Pengobatan dengan suntikan progesterone
Pemberian suntikan progesterone depot seperti suntikan KB dapat
membantu mengurangi gejala nyeri dan perdarahan. Meskipun belum ada
studi acak ganda tersamar yang mencoba mengevaluasi penggunaan pil
kontrasepsi oral pada pasien dengan adenomiosis dengan dismenorhea dan
menorhagia, namun obat obatan tersebut dapat sedikit mengurangi
keluhan. Penggunaan progestin dosis tinggi seperti misalnya pil oral
norethindrone asetat jangka panjang atau medroxyprogesteron depo belum
pernah diteliti sebagai terapi adenomiosis, namun begitu, peranan mereka
sebagai terapi supresi hormon dapat sedikit banyak memicu regresi
jaringan adenomiosis.
12
AKDR. Terapi dengan LNG AKDR mungkin cukup bermanfaat pada
wanita yang menginginkan memiliki keturunan pasca terapi. Sheng dkk
melakukan penelitian tentang manfaat LNG AKDR setelah m enggunaan
selama 36 bulan pada 94 wabnita dengan dismenorhea sedang hingga berat
yang diakibatkan oleh adenomiosis dengan menggunakan trans vaginal
USG. Keluhan nyeri diukur dengan menggunakan Visual Analog Scale
(VAS) dan ternyata hasilnya berkurang dari awalnya skornya adalah 77,9
menjadi 11,8 dimana 25% pasien melaporkan terjaid amenorhea. Volume
uterus berkurang secara signifikan, dari 115,8 ml menjadi 94,5 ml, dan
begitu juga dengan kadar Ca 125. Secara umum, tingkat kepuasan dan
keberhasilan terapi ini adalah 72,5%.
Aromatase inhibitor
Fungsinya menghambat enzim aromatase yang menghasilkan estrogen
seperti anastrazole dan letrozole
13
kemungkinan besar dikarenakan oleh pembentukan jaringan parut yang
akan mempengaruhi kemampuan uterus untuk mempertahankan isinya,
Meski begitu, suatu studi memperlihatkan bahwa terapi konservatiof
dengan eksisi adenomioma dengan ukuran 55 mm masih dapat
menginduksi kehamilan pada 70% kasus dengan disertai berkurangnya
gejala menorhagia dan dismenorhea
Histerektomi
Dilakukan pada perempuan yang tidak membutuhan fungsi reproduksi
2.8. Prognosis
Adenomiosis merupakan suatu penyakit yang progresif selama masa
reproduksi dan akan mengalami regresi bila memasuki masa menopause. Tidak
mempunyai kecenderungan menjadi ganas.
14
DAFTAR PUSTAKA
15
Sarwono. 2005. Ilmu kandungan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
Jakarta.
Wiknjosastro H. 2005. Ilmu kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta.
16